arsitektur nusantara minangkabau · pdf filearsitektur nusantara minangkabau (rumah gadang) 1...

44
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang) 1 PENDAHULUAN Arsitektur nusantara berusaha membuat tinjauan dalam perspektif ilmu arsitektur dengan obyek (salah satunya) adalah arsitektur tradisional/folk architecture/arsitektur vernakular. Antropologi, post kolonialisme, dan arsitektur tradisional adalah wilayah pengetahuan descriptive (penjelasan) bukan prescriptive (resep untuk mendesain). Arsitektur nusantara tidak membatasi geografis, arsitektur nusantara merupakan perubahan cara pandang (Dinapradipta, 2006). Arsitektur nusantara menempatkan arsitektur tradisional bukan sebagai bendanya tetapi sebagai cara pandang arsitektur tradisional dari sisi pengetahuan arsitektur (Dinapradipta,2006). Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Arsitektur Nusantara Minangkabau yang dilihat dari sisi pengetahuan arsitektur bukan pengetahuan antropologi. Dalam hal ini yang dibahas adalah arsitektur rumah tinggal masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau berlokasi di Sumatra Barat, sebagian daerah pesisir Barat Sumatra Utara, sebagian daerah propinsi Riau bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi bagian Selatan Barat. Dari cakupan wilayah yang didiami oleh Bangsa Minangkabau tersebut, bisa dikatakan bahwa Bangsa Minangkabau menempati wilayah yang luas dan menyebar dari daratan sampai ke pesisir. Tapi asal Bangsa Minangkabau adalah dari daratan. Karena itulah maka Arsitektur Nusantara Minangkabau bisa dikatakan sebagai arsitektur nusantara daratan.

Upload: hanhi

Post on 03-Feb-2018

291 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

1 PENDAHULUAN

Arsitektur nusantara berusaha membuat tinjauan dalam

perspektif ilmu arsitektur dengan obyek (salah satunya) adalah

arsitektur tradisional/folk architecture/arsitektur vernakular.

Antropologi, post kolonialisme, dan arsitektur tradisional adalah

wilayah pengetahuan descriptive (penjelasan) bukan prescriptive

(resep untuk mendesain). Arsitektur nusantara tidak membatasi

geografis, arsitektur nusantara merupakan perubahan cara pandang

(Dinapradipta, 2006).

Arsitektur nusantara menempatkan arsitektur tradisional bukan

sebagai bendanya tetapi sebagai cara pandang arsitektur tradisional

dari sisi pengetahuan arsitektur (Dinapradipta,2006). Dalam tulisan ini

akan dibahas mengenai Arsitektur Nusantara Minangkabau yang dilihat

dari sisi pengetahuan arsitektur bukan pengetahuan antropologi. Dalam

hal ini yang dibahas adalah arsitektur rumah tinggal masyarakat

Minangkabau.

Masyarakat Minangkabau berlokasi di Sumatra Barat, sebagian

daerah pesisir Barat Sumatra Utara, sebagian daerah propinsi Riau

bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi bagian Selatan Barat.

Dari cakupan wilayah yang didiami oleh Bangsa Minangkabau tersebut,

bisa dikatakan bahwa Bangsa Minangkabau menempati wilayah yang

luas dan menyebar dari daratan sampai ke pesisir. Tapi asal Bangsa

Minangkabau adalah dari daratan. Karena itulah maka Arsitektur

Nusantara Minangkabau bisa dikatakan sebagai arsitektur nusantara

daratan.

1

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Rumah tempat tinggal Minangkabau disebut sebagai Rumah

Gadang (Rumah Besar/Rumah Buranjang). Dikatakan Gadang (besar)

bukan karena fisiknya yang besar melainkan karena fungsinya selain

sebagai tempat kediaman keluarga, Rumah Gadang merupakan

perlambang kehadiran satu kaum dalam satu nagari1, serta sebagai

pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga

kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat

anggota keluarga yang sakit.

Ditinjau dari bentuk, ukuran, serta gaya pemerintahan

Kelarasan2 dan Gaya Luhak3, Rumah Gadang mempunyai nama yang

beraneka ragam. Menurut Gaya Kelarasan aliran Koto Piliang, bentuk

Rumah Gadangnya diberi nama Garudo Tabang 4, karena di kedua ujung

rumah diberi beranjang (gonjong)5. Sedangkan Rumah Gadang dari

Kelarasan Bodi Caniago lazimnya disebut Garudo Menyusukan Anak6.

Bangunan tidak beranjung atau berserambi pada bagian kiri dan kanan

bangunan, tetapi pada bagian ujung kiri dan kanan di bawah gonjong

diberi beratap (emper) yang merupakan sayap burung yang sedang

mengerami anaknya.

Jika menurut Gaya Luhak, masing-masing Luhak mepunyai gaya

dan namanya sendiri. Rumah Gadang yang merupakan kepunyaan dari

Kaum Penghulu Pucuk di Luhak Tanah Datar dinamakan Gajah

1 Perkampungan penduduk Minangkabau yang memiliki tiga bagian utama, yaitu: Taratak, Koto, Dusun Kota. Pusatnya disebut Kampung. 2 Tingkat territorial Pemerintahan zaman Belanda yang statusnya lebih tinggi dari Kepala Nagari/desa 3 Komunitas yang merupakan gabungan dari beberapa Nagari 4 Garuda Terbang 5 Sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi dari lantai rumah bagian tengah 6 Garuda menyusukan anak

2

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Maharam7 karena besarnya. Sedangkan modelnya Rumah Baanjuang

karena Luhak tersebut menganut aliran kelahiran Koto8 Piliang.

Rumah Gadang Luhak Agam merupakan kepunyaan Kaum

Penghulu Andiko (yang memerintah) dinamakan Serambi Papek

(Serambi Pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada bagian kedua

ujung bangunannya. Sedangkan modelnya adalah Rumah Gadang di

bawah gonjong pada kedua ujungnya diberi ber emper dengan atap,

karena Luhak tersebut menganut Kelarasan Bodi Coniago.

Rumah Gadang Luhak Limopuluh Koto disebut dengan Rajo

Babandiang9 yang bentuknya seperti rumah di Luhak Tanah Datar yang

tidak mempunyai dan memakai Anjuang pada kedua ujung bangunan

atau tidak mempunyai lantai yang ditinggikan pada kedua ujung

bangunannya.

Gambar 1: Rumah Gadang Luhak Agam Serambi Papek

Gambar 2: Rumah Gadang Luhak

Tanah Datar

7 Gajah tidur 8 Gabungan dari beberapa buah dusun / dusun yang berkembang 9 Raja berbanding

3

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

4

Gambar 3: Rumah Gadang Luhak Lima Puluhan Kota

Bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang berbentuk segi

empat atau empat persegi panjang yang tidak simetris yang

mengembang ke atas. Dilihat pada sisi lain maka Rumah Gadang adalah

Rumah Panggung, karena lantainya terletak jauh di atas tanah.

Rumah Gadang bentuknya yang memanjang tersebut biasanya

didasarkan kepada jumlah ruang dalam bilangan ganjil: 3,5,7,9, dan

ada pula 17 ruang pada masa lalu tetapi sekarang tidak diketemukan

lagi (Syamsidar, 1991).

Gambar 4: Denah Dasar Kompleks Rumah Gadang

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Keterangan Gambar: A: Rumah Gadang B: Deretan Rangkiang (Lumbung) C: Lesung D: Limau Manih Sandaran Alu E: Kemuniang Hutan Kudo F: Tebat Ikan G: Tepian Tempat Mandi H: Kebun Bunga 1. Anjung Kiri (Ujung) 2. Anjung Kanan (Pangka) 3. Jenjang 4. Sitinjau Lauik 5. Sibayau-Bayau 6. Sitangka Lapa 7. Jalan Masuk 8. Jalan Besar 9. Puding Perak Paga di Luar 10. Puding Emas Paga di Dalam 11. Jalan Kecil Ketapian Mandi 12. Halaman Pakai Pasir Halus 13. Kepuak Gadang 14. Kapuak Ketek 15. Batu Tapakan

5

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

2 PEMBAHASAN

PROSES MEMBUAT ARSITEKTUR NUSANTARA MINANGKABAU

Sebagaimana lazim dilakukan dalam masyarakat Nusantara,

secara umum proses membangun itu dapat dikatakan terdiri dari empat

langkah atau tahapan (Prijotomo, 1995).

Pertapakan

Langkah atau tahap pertama dari proses membangun adalah

proses pertapakan, yaitu proses di mana sebuah tapak ditetapkan,

termasuk di sini adalah penetapan tempat-tempat yang akan

diperuntukkan bagi berdirinya bangunan-bangunan (Prijotomo, 1995).

Hal pertama dari penentuan tapak adalah mendefinisikan area of

ground. Maksud dari area of ground adalah identifikasi tipe-tipe

tempat. Bisa saja tempat itu sempit, atau bisa juga sangat luas. Bukan

hanya butuh bentuk yang persegi empat, tapi juga yang lain (Unwin,

1997). Dengan mengidentifikasi tempat terlebih dahulu, maka akan

dapat ditentukan mana tempat yang sesuai untuk suatu bangunan,

sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam pembangunan nantinya.

Untuk mendirikan sebuah Rumah Gadang, masyarakat tidak bisa

langsung memutuskan sendiri. Sebelumnya harus dimulai dengan

permusyawarahan antara orang-orang yang sekaum. Dalam

permusyawarahan tersebut akan dikaji patut tidaknya pembangunan

Rumah Gadang tersebut dilaksanakan. Hal ini dilihat dari segi

kepentingan satu-satu dan kepentingan tidak rusaknya adat. Misalnya

ketentuan adat mengatakan bahwa mendirikan Rumah Gadang pada

6

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

suatu tempat tertentu atau komunitas tertentu memiliki peraturan

yang berbeda dengan tempat dan komunitas lain dalam menentukan

bentuk dan ukuran serta gonjong Rumah Gadang tersebut. Rumah

Gadang bergonjong empat dan selebihnya, hanya boleh didirikan pada

perkampungan yang berstatus Nagari atau pusat Nagari atau komunitas

yang disebut dengan Koto. Di perkampungan yang lebih kecil seperti

Dusun10 atau yang lainnya hanya boleh mendirikan Rumah Gadang yang

bergonjong dua. Sedangkan pada komunitas yang disebut dengan

Taratak11 tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.

Gambar 6: Rumah Gadang bergonjong dua

Gambar 5: Rumah Gadang bergonjong empat

Sehubungan dengan ketentuan adat tersebut, dalam

musyawarah pembangunan Rumah Gadang juga dikaji letak yang tepat

serta ukurannya, serta penentuan waktu mulai mengerjakannya. Hasil

mufakat tersebut disampaikan kepada Penghulu Suku untuk

menyampaikan rencana pendirian Rumah Gadang itu kepada Penghulu

10 Gabungan dari beberapa Taratak atau Taratak yang berkembang 11 Tempat orang berladang secara bersama-sama, bagian yang dikerjakan masing-masing merupakan milik masing-masing. Pimpinannya disebut Tuo (Tua atau Ketua)

7

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Suku lainnya di dalam Nagari atau Dansanak Penghulu12 (Syamsidar,

1991).

Selain persyaratan tempat yang berhubungan dengan peraturan

dan luas perkampungan, terdapat pula persyaratan yang bersifat teknis.

Rumah Gadang tidak boleh didirikan pada tanah yang basah, rendah

atau labil, atau di atas lahan pertanian. Masyarakat Minangkabau

dituntun dalam penggunaan lahan dan tanaman harus disesuaikan

dengan kondisi dan sifat masing-masing (Yurnaldi, 2000). Hal ini

dikarenakan Rumah Gadang tidak memiliki pondasi yang ditanam,

sehingga harus diletakkan di tanah yang stabil. Setiap tahapan dari

proses pendiriannya diperhitungkan dengan cara seksama dan dapat

dilihat sebagai sebuah pola dari penggunaan tanah dan tumbuh-

tumbuhan.

Soal orientasi Rumah Gadang, harus memperhatikan segi

keamanan, kepercayaan, dan kesehatan. Rumah Gadang dibangun

berjajar menurut arah mata angin dari Utara ke Selatan. Tapi ada juga

pendapat lain yang menyebutkan bahwa orientasi bangunan Rumah

Gadang tidak terpaku pada arah mata angin, melainkan terpaku pada

letak Gunung Merapi yang dipandang sebagai gunung bertuah karena

dalam kisah Tambo13 diceritakan bahwa Datuk Maharajo Dirajo

mendarat ke pantai pulau Sumatera karena melihat puncak Gunung

Merapi sebesar telur dari arah laut. Kemudian tempat pertama yang

dijadikan perkampungan adalah di lereng gunung tersebut. Letak

bangunan Rumah Gadang tidak boleh membelakangi Gunung Merapi.

Tetapi semenjak adanya jalan raya yang memenuhi hubungan antara

satu Nagari dengan Nagari lain atau pembangunan jalan raya dalam

12 Kelompok kepenghuluan yang sama seberat seringan 13 Sejarah kelahiran masyarakat Minangkabau

8

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Pemerintahan Belanda maka posisi bangunan Rumah Gadang ikut

terpengaruh, sehingga banyak yang dibangun paralel dengan jalan.

Pada perkampungan-perkampungan tua kita melihat adanya

bangunan rumah Gadang yang membelakangi jalan raya. Hal ini

bukanlah karena tempat bangunan dari Rumah Gadang tersebut

dilaksanakan demikian. Tetapi karena jalan raya itu dibangun lebih

kemudian daripada bangunan Rumah Gadang. Oleh karena itulah

bangunan Rumah Gadang itu tidak selalu menghadap ke jalan raya akan

tetapi karena kepercayaan rumah

Gadang tersebut yang tidak boleh

membelakangi Gunung Merapi maka

letak dan tempat Rumah Gadang itu

selalu lebih berdasarkan kepada

kepercayaan akan makna Gunung

Merapi sebagai suatu makna yang

bertuah dalam kehidupan orang

Minangkabau.

Mengenai arah letak yang

menyatakan bahwa letak Rumah

Gadang adalah arah mata angin, ada

yang mengatakan memanjang arah

utara ke selatan dan ada pula yang

menyatakan memanjang arah timur

barat. Dari kenyataan itu kita dapat

mengambil kesimpulan bahwa letak itu

sangat dipengaruhi oleh bukan pada arah timur dan barat atau utara

dan selatan tetapi jelas letak dari bangunan Rumah Gadang yang akan

didirikan itu harus tidak membelakangi Gunung Merapi. Tempat

mendirikan Rumah Gadang ini adalah di tanah pusako tinggi satu

Gambar 7: Rumah Gadang merupakan rumah panggung

9

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

paruik14. Gunanya didirikan di sana ialah rumah itu basis bagi kaum

untuk bermusyawarah antara mamak dengan kemenakan, tempat

mamak memberi petunjuk dan pengajaran kepada anak kemenakannya,

tempat anak kemenakan mengadu dan bercerita, dan juga tempat

menyimpan barang-barang pusaka peninggalan mamak-mamak

sebelumnya. Jadi Rumah Gadang ini adalah rumah pusako dalam kaum

itu (Syamsidar, 1991).

Letak Rumah Gadang tidak rata dengan tanah, tapi memiliki

platform yang dinaikkan. Platform yang dinaikkan menciptakan level

permukaan horizontal yang diangkat di atas lahan yang asli. Bisa tinggi

bisa juga rendah. Bisa besar, berupa panggung atau teras, bisa juga

berukuran sedang, seperti meja atau altar, atau bisa juga kecil, berupa

anak tangga (Unwin, 1997). Jadi Rumah Gadang bisa dikatakan sebagai

rumah panggung, karena lantainya terletak jauh di atas tanah. Lantai

Gambar 8: atap Rumah Gadang yang tampak dominan pada keseluruhan bentuknya sehingga menjadi tanda

14 Tanah yang dulunya digarap oleh ninik mereka

10

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai ditinggikan satu

tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah Gadang tidak

beranjang maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga tinggi yang

merupakan lantai perahu. Ketinggian panggung atau platform Rumah

Gadang adalah sekitar satu atau dua meter di atas permukaan tanah.

Ruangan di bawah lantai ditutup anyaman bambu untuk kandang .

Dalam mengidentifikasi tempat, bisa menggunakan marker atau

tanda. Marker mengidentifkasi tempat yang khusus dengan cara yang

paling dasar. Bisa saja berupa batu atau bendera (Unwin, 1997).

Sesuatu yang menjadi tanda dari Rumah Gadang adalah bentuk

atapnya yang khas, yaitu menjulang ke atas sampai titik terkecil di

ujung sopi. Bentuknya secara keseluruhan menyerupai tanduk kerbau.

Penafsiran

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang

berkelompok dan memiliki peraturan serta pemimpin dalam

kelompoknya. Mereka sangat menghormati keputusan pemimpin dalam

menentukan segala sesuatu, termasuk yang berkaitan dengan pendirian

bangunan. Untuk itulah sebelum mendirikan suatu bangunan diadakan

musyawarah terlebih dahulu antar pemimpin desa tentang layak

tidaknya atau boleh tidaknya bangunan ini didirikan.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tempat atau tapak di

mana bangunan akan didirikan dapat menentukan bentuk bangunan

tersebut. Di Nagari boleh didirikan Rumah Gadang yang bergonjong

empat atau lebih. Hal ini disebabkan karena Nagari merupakan

perkampungan yang terbesar dan merupakan gabungan antara Dusun,

Koto, dan Taratak sehingga sudah dianggap layak memiliki bangunan

yang besar. Sedangkan Dusun, memiliki wilayah yang luasnya di bawah

Nagari sehingga hanya diperbolehkan memiliki bangunan yang tidak

11

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

terlalu besar, hanya memiliki gonjong dua. Sementara Taratak tidak

diperbolehkan memiliki bangunan yang bergonjong karena Taratak

merupakan permukiman yang paling luar dari kesatuan Nagari dan

belum punya Penghulu.

Dalam hal orientasi bangunan yang tidak boleh membelakangi

Gunung Merapi, disebabkan karena Gunung Merapi dipercaya

merupakan cikal bakal tempat terbentuknya masyarakat Minangkabau

sehingga Gunung Merapi memiliki makna yang dalam yang dipercaya

sebagai sumber kehidupan dan keberuntungan. Orang yang berani

mengambil resiko mendirikan bangunan Rumah Gadang dengan

membelakangi Gunung Merapi dipercaya tidak akan mendapatkan

kejayaan dan keselamatan dalam hidupnya.

Rumah Gadang merupakan Rumah Panggung. Hal ini bisa jadi

disebabkan karena daerah Sumatra Barat yang merupakan lokasi

masyarakat Minangkabau bermukim merupakan lokasi yang rawan

binatang buas, jadi didirikan rumah panggung adalah dengan maksud

sebagai tempat perlindungan dari binatang buas. Selain itu rumah

panggung berarti bahwa kedudukan manusia memiliki derajat yang

lebih tinggi daripada hewan mengingat kolong di bawah rumah

diperuntukkan sebagai kandang hewan peliharaan.

Perangkaan

Langkah atau tahap kedua adalah proses perangkaan. Langkah

ini termasuk penyiapan hingga pemberdirian rerangka atau kerangka

bangunan. Kerangka bangunan ini biasa dikenal dengan sebutan struktur

utama bangunan. Proses perangkaan bangunan ini dapat dikatakan

berlaku sebagai langkah kedua, tak peduli apa kerangka bangunan yang

12

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

akan dipergunakan, kerangka/struktur batang ataukah

kerangka/struktur bidang (dinding pemikul)(Prijotomo, 1995).

Untuk mendirikan Rumah Gadang dicarikan bahannya ke hutan

di mana dipilih kayu yang baik dan tahan lama yang kemudian ditebang

dan dipotong menurut ukuran yang dikehendaki, lalu dibawa bersama-

sama ke tempat rumah itu akan didirikan. Sebagai sandi tiap-tiap

tonggak akan ditegakkan. Pada masa sekarang sebagai sandi telah

ditukar dengan mempergunakan semen yang dicor. Setelah persiapan-

persiapan kerangka rumah sudah siap untuk ditegakkan, selanjutnya

tahap kegiatan tersebut dengan batagak tiang atau batagak kudo-kudo,

yaitu kegiatan di mana seluruh tiang dan kerangka rumah mulai dari

bangunan bawah, bagian tengah, bagian atas telah siap dilakukan.

Yang dibangun pertama kali adalah rumah bagian bawah. Yang

dimaksud dengan bagian bawah adalah dari sandi sampai kepada

kandang. Mula-mula tanah di mana tempat bangunan itu didirikan

diratakan. Sudah itu dicari batu yang hampir bersamaan besarnya yang

digunakan sebagai sandi dari bangunan. Sandi dari bangunan itu

ditanamkan ke tanah sebagai tempat tiang-tiang rumah atau tonggak

ditegakkan. Biasanya sandi tersebut luas permukaannya lebih luas

daripada garis menengah lingkaran tonggak. Sandi tersebut tidak

dipersiapkan atau dibentuk dari batu yang berukuran besar melainkan

dicari batu yang mempunyai permukaan yang datar, dan dapat

ditanamkan sebagian dari badan batu tersebut ke dalam tanah.

Penentuan letak dan bentuk sandi serta cara pemasangannya sangat

menentukan kekokohan Rumah Gadang tersebut.

Antara lantai dan sandi-sandi yang merupakan tempat berdirinya

tiang rumah disebut dengan kandang. Fungsi kandang adalah untuk

memelihara ternak seperti ayam, itik, kambing, kerbau, dan sapi. Maka

antara tiang-tiang dari atas sendi ke lantai diberi sasak, yakni ditutup

13

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

atau dipagar dengan bambu yang dianyam sehingga pagar itu satu

dengan yang lainnya saling terikat. Pagar yang terbuat dari bambu ini

disebut dengan sasak. Bila sasaknya terbuat dari bagian bambu yang

dibelah dengan ukuran 7 cm disebut dengan sasak gadang. Sedangkan

bila dibelah dengan ukuran 2 sampai 3 cm disebut dengan sasak bugih.

Cara pembuatan dari sasak ini adalah dengan membelah-belah bambu

sesuai dengan besarnya yang dikehendaki dengan merautnya sehingga

bilah-bilah dari bambu tersebut yang tajam menjadi tumpul. Kemudian

setelah bambu menjadi sasak dilakukan pembenaman ke dalam lumpur

yang selalu digenangi oleh air sampai dengan bambu tersebut berubah

bentuk dan warnanya menjadi hitam. Masa pembenaman ini lebih lama

lebih baik tetapi tidak melebihi dari jangka waktu 2 tahun.

Pada Rumah Gadang yang asli tangganya terbuat dari kahu15.

Induk dari tangga tersebut dilobangi dengan mempergunakan pahat

sebanyak 7 atau 9 buah atau yang merupakan angka ganjil, gunanya

untuk kedudukan anak tangga. Lobang itu harus dibuat miring, supaya

kalau nanti tangga itu ditegakkan akan datar kembali.

Teknik dan cara pembuatan bangunan Rumah Gadang pada

bagian tengah pada dasarnya merupakan kelanjutan dari teknik dan

cara pembuatan atau mendirikan tiang-tiang atau tonggak-tonggak yang

ada dalam sebuah Rumah Gadang seperti disebut dengan tiang: tonggak

tuo maksudnya tiang yang dituakan di mana pada tiang tersebut

menghubungkan seluruh tiang-tiang bangunan rumah gadang. Tiang

panjang merupakan tiang-tiang yang melintang berdekatan dengan

tonggak tua dan ada lagi tiang yang disebut dengan tiang dalam, tiang

temban, tiang dapur, tiang tepi, tonggak gantung yang kesemuanya

adalah tiang-tiang yang membentuk kerangka Rumah Gadang menjadi

15 Papan tebal

14

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

empat persegi panjang dengan dibatasi oleh tiang-tiang pada garis

tengah rumah.

Tiang Rumah Gadang berbentuk dasar bulat yang dibuat bersegi-

segi. Tidak ada tiang rumah Gadang yang terbuat dari kayu bulat. Tiang

merupakan bagian penting dari bangunan. Segi-segi dari tiang tidak

sama besarnya. Tiang yang besar terdapat pada tengah bangunan.

Tiang yang berada di tengah bangunan dibuat bersegi 8 sedangkan yang

terletak di samping bersegi 5. Tiang-tiang ini banyak fungsinya, yang

mana tiap nama menunjukkan fungsinya yaitu tiang: tepi, temban,

tengah, dalam panjang, salek, dapur, yang kesemuanya diberi ukiran

yang sesuai menurut fungsinya (Syamsidar, 1991).

Gambar 9: Letak tiang-tiang dalam Rumah Gadang

Antara dua deretan tiang-tiang yang dikasarkan merupakan satu

ruangan. Jumlah seluruh tiang-tiang badan istana adalah 10 x 5 = 50

buah dengan 9 ruangan. Jumlah tiang-tiang anjung masing-masing

adalah 9 buah yang terdiri dari dua ruangan. Jadi jumlah seluruh tiang

anjung kiri kanan adalah 18 buah. Rumah untuk tangga mempunyai

tiang yang agak kecil 4 buah. Jadi jumlah seluruh tiang-tiang istana

adalah 50+18+4 buah=72 buah tiang besar kecil (Syamsidar, 1991).

Tiang utama rumah didirikan tegak, tiang luar rumah lebih tua

agak condong ke luar sedikit. Hal itu untuk memberi sentuhan garis

15

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

atap yang dibangun ke

atas dan ke luar dengan

cara balok-balok

melintang dan kerangka

penguat, puncaknya

diperluas dengan

pemakaian penunjang

dan pengikat (Tjahjono,

2002).

Antara tiang-tiang

tersebut antara bagian

tengahnya dihubungkan

oleh rasuak, yaitu

merupakan dasar dari

bagian tengah dari bagian rumah gadang. Di atas rasuak yang dibantu

oleh hariau16 dibangun lantai yang dari ujung ke ujungnya meninggi dan

adakalanya dari ujung ke ujungnya bertingkat yang disebut dengan

anjuang. Lantai dari bangunan Rumah Gadang kesemuanya terbuat dari

papan yang diketam secara lurus dan kemudian disusun secara datar

dan rapat di atas jariau-jariau yang telah dipersiapkan untuk itu

(Syamsidar, 1991). Tiang-tiang rumah gadang tidak ditanam ke dalam

tanah. Tiang-tiang ini hanya diletakkan di atas batu layah. Untuk

menghubungkan tiang-tiang dan bagian rumah tidak digunakan paku,

melainkan pasak dari bambu (Yurnaldi, 2000).

Gambar 10: bagian tiang

Penafsiran

Kayu yang dipilih dalam pembangunan Rumah Gadang adalah

kayu yang terbaik. Terutama yang akan digunakan sebagai tiang. Hal ini

16 Kayu untuk memperkuat kedudukan bangunan lantai

16

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

disebabkan karena tiang-tiang pada banguan Rumah Gadang tidak

ditanam ke dalam tanah sehingga diperlukan kayu yang kuat. Kayu

tersebut dipotong dengan besaran yang berbeda tergantung nantinya

akan dijadikan tiang yang mana. Ada beberapa macam tiang yaitu tuo,

tepi, temban, tengah, dalam, panjang, salek, dan dapur. Tiang-tiang

tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda karena memiliki fungsi

yang berbeda. Tonggak tuo berada di tengah bangunan memiliki segi 8

dan ukuran yang paling besar. Hal ini disebabkan karena tiang ini

merupakan tiang utama yang menyangga bangunan Rumah Gadang dan

menghubungkan antara tiang-tiang yang lain. Tiang-tiang yang lain

memiliki segi 5 dengan besaran yang lebih kecil karena fungsinya bukan

sebagai kolom struktur. Dari susunan tiang-tiang tersebut dapat

disimpulkan bahwa bangunan Rumah Gadang memiliki jenis

struktur/kerangka batang.

Persungkupan

Langkah ketiga yang ditempuh adalah proses persungkupan,

yakni proses memasang bidang lantai, dinding dan penyekat, serta

pemasangan penutup atap bangunan (Prijotomo, 1995). Pada Rumah

Gadang, kegiatan ini secara berurutan adalah memasang atap,

memasang lantai, kemudian memasang dinding, lalu langsung membuat

kamar dan seterusnya menyasak rumah atau melekatkan dinding-

dinding yang terbuat dari bambu (Syamsidar, 1991).

Roof or canopy

Roof memisahkan tempat dari langit, melindungi dari matahari

dan hujan. Roof juga mendefinisikan area tanah di bawahnya. Roof bisa

jadi kecil sebagai sebuah balok di atas pintu, atau bisa jadi sebesar

17

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

stadion. Karena gaya gravitasi, roof membutuhkan penyangga, bisa

berupa dinding atau kolom (Unwin, 1997).

Menurut bentuknya, Rumah Gadang biasa disebut Rumah

Gonjong atau Rumah Bagonjong, karena atapnya berbentuk bergonjong

runcing menjulang, adalah nama yang membedakan dengan rumah

biasa. Lengkungan pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau,

sedangkan lengkung pada badan rumah landai seperti badan kapal

(Syamsidar, 1991).

Gonjong adalah bagian yang paling tinggi dari setiap ujung atap

yang menghadap ke atas, dan merupakan ujung turang yang dibalut

dengan timah yang berbentuk:

• 2 labu-labu di bagian bawah

• 1 kelimbing di atas labu-labu

• 1 anting-anting di atas belimbing

• 1 ujung yang tajam di atas anting-anting

Gambar 11: bagian atap

Antara labu-labu, belimbing dan anting-anting ada peraturan yang

searah dengan ujung yang paling atas. Kombinasi bentuk gonjong inilah

18

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

yang seperti ujung tanduk kerbau jantan, dan dinamakan ‘isendak

langit’. Turang adalah bagian di bawah gonjong sampai ke batas garis

lurus bubungan atas kepemimpinan. Turang ini adalah tempat penahan

gonjong. Kombinasi bentuk turang dengan gonjong itulah yang

berbentuk ‘Rabuang mambacuik’. Keseluruhannya (antara Turang dan

Gonjong) disebut Gonjong saja.

Atap terbuat dari ijuk. Saga ijuk diatur susunannya dengan nama

Labah Mangirok atau Labah Maraok dan Bada Mudiak. Bubungan seperti

legkungan sayap burung burak akan terbang. Lengkungan bubungan

terletak antara dua gonjong yang ditengah. Gonjongnya seperti rebung

yang mula keluar dari tanah. Pucuk gonjong mencuat ke atas

(Syamsidar, 1991).

Lantai

Lantai terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai

ditinggikan satu tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah

Gadang tidak beranjang maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga

tinggi merupakan lantai perahu.

Pada Rumah Gadang yang asli, lantai tidak terbuat dari kayu,

akan tetapi dibuat dari bambu yang dipecah dan didatarkan yang

disebut dengan palupuah. Jadi tidak menggunakan paku di dalam

pemasangannya tetapi hanya menggunakan rotan yang telah dibelah

untuk mengikat sehingga lantai tersebut tidak terlepas dan bercerai

berai (Syamsidar, 1991).

Barrier

Sebuah barrier membagi satu tempat dengan yang lain. Bisa

berupa dinding, tapi bisa juga berupa pagar. Tapi bisa juga barrier

secara psikologis yang berupa garis pada lantai (Unwin, 1997).

19

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Barrier pada bangunan Rumah Gadang berupa dinding penyekat.

Bangunan dinding rumah yang membesar ke atap disebut dengan silek

membebaskannya dari terpaan tempian. Di bawah lantai terdapat ruang

kosong yang dinamakan kolong. Kolong tersebut menjadi tempat

penyimpanan alat-alat pertanian atau juga tempat perempuan

bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruang atau sasak yang berkisi

jarang. Kolong ini ditutup dengan mempergunakan bambu yang

dianyam langsung waktu menutup kolong itu. Cara membuatnya

dilakukan dengan bergotong royong. Mula-mula diambil bambu yang

panjang beberapa

potong direntangkan

pada tepi kandang dan

diatur jaraknya,

kemudian diselip dari

atas ke bawah,

sehingga merupakan

anyaman. Untuk lebih

kuat dan kokoh, tiap-

tiap menyelip ini

antara yang satu

dengan yang lainnya harus berhadapan. Pekerjaan ini dinamakan

menyasak. Membuat janjang dengan mempergunakan papan tebal dan

lebar, induknya dilobangi dengan menggunakan pahat dan gergaji

sebanyak 7 atau 9 buah sebagai tempat bagi anak janjang. Lobang

dibuat miring, karena jenjang ini akan ditegakkan miring di tengah-

tengah rumah (Syamidar, 1991). Dinding-dinding tersebut membagi

Rumah Gadang menjadi beberapa ruangan.

Gambar 12: Perbedaan bahan untuk dinding penutup kolong dan ruang utama

Untuk pembuatan dinding dan pintu-pintu serta bilik atau kamar

pada bagian tengah Rumah Gadang biasanya telah diatur berdasarkan

20

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

ruang atau bagian yang diatur oleh tiang-tiang yang ada. Sebuah Rumah

Gadang biasanya hanya mempunyai sebuah pintu saja dan terletak pada

bagian ruang yang di tengah. Sedangkan jendela adalah setiap satu

ruang Rumah Gadang ada satu jendela yang kesemuanya menghadap

pada bagian depan rumah. Pada setiap pintu ada bandue17 (Syamsidar,

1991).

Rumah Gadang secara memanjang dibagi atas beberapa

ruang/lanjar. Maka secara melebar ia dibagi kepada didieh. Dan pada

sebagian Rumah Gadang pada ujung kiri dan kanan ada ruangan yang

disebut dengan anjuang dan ada kalanya ada ruangan yang menjorok

keluar di atas pintu masuk yang disebut dengan Balai18 (Syamsidar,

1991).

Ruangan dalam Rumah Gadang dibagi atas beberapa bagian

yaitu didieh yang menghadap ke depan atau bagian depan yang

merupakan ruang terbuka, dan didieh yang arah ke dalam disebut

Bandua digunakan sebagai Biliek (kamar tidur), dan di tengahnya

sebagai tempat sirkulasi keluar masuk (Syamsidar, 1991).

Gambar 13: Susunan ruang dalam Rumah Gadang

17 yang disebut dengan dasar dari pada pintu 18 yang digunakan untuk menerima tamu

21

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Makna dan Perlambangan

Orang Minang membandingkan ujung yang agung dengan tanduk

’kerbau kemenangan’ yang legendaris dalam pertandingan yang

diselenggarakan oleh pesaing dari Jawa (Tjahjono, 2002).

Penafsiran

Urutan pembuatan Rumah Gadang dalam kajian persungkupan

ini berbeda dengan urutan kebanyakan bangunan. Urutannya terbalik

yaitu dari atap, lalu lantai, kemudian baru dinding. Hal ini bisa jadi

disebabkan karena atap berfungsi untuk melindungi bangunan sehingga

ditutup terlebih dahulu supaya pada pengerjaan lantai dan dinding

nantinya tidak terganggu oleh panas dan hujan. Kemudian lantai

dikerjakan sesudah atap karena lantai merupakan tempat berpijak

untuk dinding dan dapat memudahkan dalam pengerjaan dinding bila

lantai sudah terpasang. Lalu yang terakhir adalah pengerjaan dinding.

Dinding dilakukan terakhir setelah atap dan lantai sehingga mudah

dalam pengerjaanya. Pembagian ruangnya pun telah terbantu oleh

tiang-tiang yang sudah terpasang sebelumnya.

Atap yang bergonjong menunjukkan kebesaran Bangsa

Minangkabau. Jumlah gonjong tidak bisa ditentukan secara bebas oleh

pemilik rumah. Dalam menentukan jumlahnya harus memperhatikan

peraturan adat yang berlaku. Susunan atap sudah merupakan ketentuan

dalam peraturan adat Minangkabau.

Pada Rumah Gadang yang asli, lantai tidak menggunakan kayu

melainkan bambu. Ini disebabkan karena bambu lebih mudah didapat

daripada kayu. Terlebih lagi bambu membutuhkan perawatan yang

lebih mudah daripada lantai kayu.

22

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Penutup ruang utama dan kolong berasal dari material yang

berbeda. Hal ini disebabkan karena fungsi dari kedua ruangan itu

berbeda. Untuk kolong cukup ditutup dengan sasak yang berkisi jarang

karena yang menghuni kolong hanyalah hewan-hewan peliharaan atau

alat-alat pertanian. Sedangkan ruang utama ditutup dengan kayu yang

masif karena aktivitas di dalamnya membutuhkan privasi penghuninya.

Hanya ada satu pintu

di Rumah Gadang.

Hal ini disebabkan

karena Rumah

Gadang merupakan

rumah panggung yang

membutuhkan tangga

untuk memasukinya.

Karena tangga yang

tersedia hanya satu,

maka hanya di situlah

letak pintu yang ada.

Karena merupakan sebuah pemborosan jika dibangun tangga yang lebih

dari satu.

Gambar 14: Rumah Gadang yang besar hanya memiliki satu tangga di depan dan satu pintu

Persolekan

Langkah keempat, sekaligus dipandang sebagai langkah terakhir

adalah proses persolekan. Proses ini bisa juga dikenal dengan proses

perampungan (finishing). Walaupun sebuah bangunan kayu misalnya,

tidak melakukan pengecatan atau pelapisan (jadi dibiarkan

sebagaimana bahan aslinya) tidaklah berarti bahwa proses persolekan

tidak terselenggara. Pemasangan atau penempelan benda-benda

23

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

tertentu harus dipandang sebagai sebuah tindakan dalam langkah

persolekan ini (Prijotomo, 1995).

Kegiatan terakhir dari tahapan pembangunan Rumah Gadang

ialah mengukir dan mencat bagian-bagian dari bangunan yang

diperlukan ukiran, dan yang paling akhir adalah membuat parit di

sekeliling rumah. Dinding Rumah Gadang juga berukir dengan ukiran

yang telah tertentu. Atap Rumah Gadang juga ada ukiran yang relatif

sifatnya. Relatif di sini berarti bahwa setiap Rumah Gadang tidak

memiliki motif ukiran yang sama.

Salah satu hal yang sangat penting pada ukiran rumah adat

Minangkabau adalah nama ukirannya. Nama ukiran dapat dilihat dari

kaitan ukiran dengan kehidupan masyarakat. Setiap nama ukiran

melambangkan suatu gejala hidup dalam masyarakat yang menjadi

pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Minangkabau.

Penggambaran kehidupan gejala alam dapat dilihat dari nama ukiran

yang berasal dari nama tumbuh-tumbuhan dan nama binatang.

Sedangkan penggambaran nilai-nilai kehidupan manusia dalam

masyarakat dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari kata-kata

adat.

Bentuk yang mula-mula timbul adalah bentuk realis, yaitu

meniru bentuk alam seperti apa yang dilihatnya. Tetapi kemudian

bentuk-bentuk alam itu mulai ada yang dirubah sesuai dengan

pandangan dan selera pembuatnya. Tetapi tidak berarti bahwa bentuk

realis sudah ditinggalkan sama sekali. Biasanya kedua bentuk itu

dikombinasikan dalam sebuah ukiran. Hal itu terlihat menonjol pada

ukiran Minangkabau.

Pada umumnya motif dasar yang banyak ditiru adalah bentuk

tumbuh-tumbuhan dan bentuk binatang. Suatu hal yang menjadi prinsip

motif ukiran rumah Minangkabau adalah motif itu diambilkan dari

24

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

benda-benda mati seperti pemandangan, pasir putih di pantai,

gantungan kain dan sebagainya.

Ukiran adat Minangkabau tidak memiliki pola tertentu, sesuai

dengan sifat gejala alam yang sukar dibuat polanya. Pola ukiran

Minangkabau hanya terletak dalam pikiran dan keahlian masing-masing

tukang ukir dalam memindahkan bentuk-bentuk alam ke dalam bentuk-

bentuk ukiran. Proses pemindahan bentuk alam ke bentuk ukiran hanya

terjadi dengan melihat bentuk alam, kemudian melalui proses abstraksi

alam pikirannya, lalu dipahatkan ke atas kayu yang hendak diukir.

Dengan demikian cetakan atau pola tetap tidak dikenal dalam ukiran

Minangkabau. Di samping itu prinsip pokok dalam ukiran Rumah Adat

Minangkabau disebutkan dalam kata-kata adat yang sudah mentradisi

dalam kehidupan masyarakat.

Ukiran dalam Rumah Gadang tidak dibiarkan polos tanpa warna.

Semua warna dipakai untuk menghidupkan seni ukiran. Warna dasar

yang digunakan adalah warna merah coklat, dibumbui dengan warna-

warna lain yang cocok sehingga tiap ukiran memiliki bentuk yang sesuai

dengan kenyataannya.

Ukiran tidak diletakkan di sembarang tempat. Sebelum ukiran

dibuat harus dipikirkan lebih dahulu motif ukiran yang sesuai dengan

tempat di mana ukiran itu akan ditempatkan. Umumya orang

Minangkabau akan selalu terpancing dengan sifat alam di sekitarnya

baik itu merupakan gerak-gerik isyarat ataupun bersifat lambang. Jadi

untuk menempatkan suatu ukiran itu hendaknya tepat pada sasarannya.

Ukiran akar-akaran dapat kita temui pada tempat-tempat yang

mengundang orang harus terlebih dahulu menggunakan akal pikiran

sebelum bertindak, yaitu ditempatkan di tiang-tiang, di pintu gerbang,

di pintu masuk di rangkiang. Begitu juga dengan penempatan ukiran

yang banyak melambangkan bunga-bunga. Kebanyakan ukiran bunga-

25

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

bungaan ini ditempatkan di tempat-tempat yang cepat terpandang

seperti di pintu-pintu, jendela-jendela, sampai ke bubungan atap.

Ukiran yang bermotif umbi-umbian dan daun-daunan banyak terdapat

pada pinggang rumah dan lisplang dalam kamar.

Sedangkan untuk ukiran yang bermotif binatang bisa

ditempatkan di dalam kamar maupun di luar kamar. Ukiran yang

terdapat di dalam kamar adalah yang bermotifkan binatang piaraan

seperti kucing lalok, kucing menyusukan anak, itiak pulang patang, dan

lain-lain. Sedangkan yang bermotif binatang liar kebanyakan di

tempatkan di tempat terbuka seperti alang bebega, gajah badorong,

kijang lari, ruso balari dalam ransam, harimau dalam parangkok, kudo

manyipak, dan lain-lain. Untuk ukiran ramo-ramo, kunang-kunang

berabah mandi, alang babega, sikumbang janti tantandu bararak,

sipaduik manyosok bungo, banyak terlihat pada pintu-pintu kamar anak

gadis. Sedangkan pada pintu bujangan banyak dijumpai ukiran paruah

anggang, kudo manyipak, takuak kodo manyipak, lokan-lokan, kaluang

bagayuik, kijang lari, dan lain-lain.

Pada bandua ayam19 dihiasi dengan tiga jenis ukiran dengan

nama aka cino bapilin, siriah gadang, dan sikambang manih. Pada

bagian dinding yang lebih luas dihiasi dengan ukiran yang bernama

pucuak rabuang, aka cino dan tabendang ka langik. Pada ventilasi di

atas jendela dihiasi ukiran dengan nama sikambang manih. Pada ujung

atap dihiasi ukiran pisang sasikek, tantadu bararak dan itiak pulang

patang. Pada pintu masuk dihiasi ukiran daun bodi, bungo lado, buah

palo, pucuak rabuang (Yulnardi, 2000). Dewasa ini muncul ukiran-

ukiran yang ditata dengan menggunakan tempelan pecahan kaca,

menjadikan penampilan ukiran berkesan lebih semarak (Minarsih, 1998)

19 Bagian memanjang bawah jendela

26

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Makna dan Perlambangan

Tiap-tiap ukiran mempunyai makna dan maksud tersendiri. Hal

itu juga berhubungan dengan tempat diletakkannya ukiran tersebut.

Berikut adalah arti dari beberapa buah ukiran:

1. Aka Bapilin (akar berpilin). Artinya bahwa tindakan orang

Minangkabau tidak ada yang sia-sia, semuanya harus ada maksud

dan tujuan. Oleh karena itu tidak boleh putus asa, karena

manusia sudah dibekali dengan akal pikiran untuk memikirkan

segala sesuatu yang berguna untuk hidupnya.

2. Kaluak paku (gulungan pucuk pakis muda). Ukiran ini

melambangkan tanggung jawab seorang mamak terhadap

kemenakan di rumah orang tua, juga sebagai ayah di rumah

isteri.

3. Bungo mantimun (bunga mentimun). Ukiran ini menggambarkan

bahwa sesuatunya itu harus dibiarkan berkembang sesuai dengan

kodratnya. Manusia hanya memelihara supaya perkembangannya

jangan terhalang, bahkan harus dipupuk supaya perkembangan

yang sudah ada jangan sampai mundur kembali.

4. Daun kacang goreng. Ukiran ini menggambarkan bahwa segala

sesuatu yang terdapat di alam memiliki tanda-tanda yang

menunjukkan keadaan alam itu sendiri.

5. Daun sirih. Ukiran ini menggambarkan konsep-konsep dalam

sistem sosial orang Minangkabau.

6. Bada mudiak (iringan ikan teri ke hulu sungai). Ukiran ini

menggambarkan kehidupan yang seia sekata dalam pergaulan

masyarakat, tidak terdapat saling pertentangan.

7. Itiak pulang patang (itik pulang sore). Ukiran ini

menggambarkan kehidupan yang santai sesudah berusaha dan

27

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

bekerja seharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bermakna keteraturan, ketertiban dan kedisiplinan.

8. Kuciang lalok (kucing tidur). Ukiran ini menggambarkan keadaan

orang yang malas seperti kucing tidur.

9. Limpapeh (lipas besar). Ukiran ini menggambarkan bila dalam

sebuah rumah adat terdapat anak gadis yang cantik, maka

kepadanya diberi nama julukan limpapeh.

10. Ramo-ramo (kupu-kupu). Ukiran ini menggambarkan tentang

pusaka Minangkabau yang tetap, tidak berubah dari dahulu

sampai sekarang, walaupun para pendukungnya sudah silih

berganti. Pusaka Minangkabau yang dimaksudkan adalah adat

Minangkabau.

11. Sikambang manih. Ukiran ini bermakna kemeriahan, keramahan,

dan kesopanan.

12. Aka cino. Ukiran ini bermakna kehaluasan dan keserasian.

Gambar 16: Ukiran Ramo-ramo

Gambar 15: Ukiran Itik Pulang Patang

Penafsiran

28

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Ukiran merupakan upaya dari masyarakat Minangkabau dalam

memperindah bangunannya. Ukiran juga melambangkan identitas dan

kejayaan penghuni bangunan. Semakin penuh ukiran menyelubungi

bangunan, menunjukkan semakin jayanya keluarga yang menempati

rumah tersebut.

Ukiran yang terdapat pada Rumah Gadang adalah ukiran yang

menggambarkan sesuatu yang ada di alam seperti tumbuhan dan

hewan. Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari siklus kehidupan alam

yang terjadi di

luar kuasa

manusia. Begitu

juga dengan

kehidupan

masyarakat

Minangkabau.

Mereka tidak bisa

hidup lepas dari

alam. Karena

itulah mereka

menorehkan alam ke dalam bangunannya dalam bentuk ukiran.

Gambar 17: Ukiran tergambar di keseluruhan elemen

Rumah Gadang

Ukiran-ukiran yang bertemakan tumbuh-tumbuhan dan bunga-

bungaan sering dijumpai di tempat yang mudah dilihat oleh orang luar.

Ini menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau suka dengan segala

bentuk keindahan dan diharapkan supaya orang lain ikut merasakan

segala keindahan tersebut dengan menempatkannya di tempat yang

mudah dilihat.

Ukiran-ukiran yang berwujud hewan peliharaan sering dijumpai

di dalam kamar, karena letak hewan peliharaan adalah di dalam rumah.

29

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Sebaliknya, letak hewan liar adalah di luar rumah, karena itu ukiran

yang menggambarkan hewan liar diletakkan di luar rumah.

Ukiran-ukiran dan warna-warna yang disematkan pada seluruh

bagian Rumah Gadang memperkaya makna dan semakin memperindah

tampilan Rumah Gadang. Rumah Gadang sudah memiliki bentuk yang

unik walaupun tanpa ukiran. Dengan ukiran, maka bentuk yang unik

tersebut semakin memiliki banyak makna dan menjadi semakin indah.

Upacara pada setiap langkah/proses pembuatan

Di dalam setiap langkah itu, bisa saja terselenggara upacara dan

tatacara tertentu yang harus diselenggarakan oleh masyarakat

bersangkutan. Ini berarti bahwa dalam proses membangun itu

terselenggara pula sebuah organisasi dan pengelolaan

konstruksi/pembangunan. Sementara itu, terhadap keberadaan

bangunan dalam setiap langkah itu, bisa saja didapatkan makna dan

atau simbolisasi tertentu. Memang, makna dan simbolisasi itu bisa saja

terberikan setelah seluruh proses terjalani, tetapi di sini dianggap

bahwa makna dan simbolisasi itu terjumpai/terdapati di dalam masing-

masing langkah. Maksudnya, makna dan simbolisasi bisa saja

ditempatkan di dalam penggal-penggal langkah dari proses pengadaan

bangunan (Prijotomo, 1995).

Dalam masyarakat Minangkabau, upacara-upacara yang

dilakukan sebelum mendirikan bangunan dikenal dengan upacara yang

disebut dengan batoboh dan me orak rabo. Upacara batoboh adalah

upacara yang dilakukan untuk memasang niat dalam rangka mengambil

kayu ke hutan sebagai bahan bangunan. Upacara ini dilaksanakan di

hutan tempat penebangan kayu. Sedangkan me orak rabo berarti

melakukan pembersihan atau mendatarkan tempat dari semak-semak

yang harus dibuang sehingga tempat bangunan yang akan dibangun

30

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

menjadi datar dan jelas sehingga mudah dilakukan pengukuran untuk

meletakkan tiang-tiang. Upacara ini juga bermaksud untuk

membersihkan setan-setan halus yang ada di tempat itu. Upacara ini

dilakukan di tempat bangunan akan didirikan.

Selain itu terdapat pula upacara yang disebut dengan

mencataktiang tua atau mencacak tonggak tuo yaitu pekerjaan yang

pertama yakni membuat tiang utama. Mencacak berarti memahat atau

melobangi tiang yang pertama yang dianggap tertua. Upacara ini

dianggap sebagai waktu peresmian bangunan akan didirikan dan

dilaksanakan di halaman atau di tempat bangunan akan didirikan.

Ketika mendirikan bangunan, terdapat satu upacara yang

disebut dengan nama batagak rumah atau batagak kudo-kudo. Batagak

rumah berarti menegakkan tiang-tiang rumah di atas sandi rumah yang

telah ditetapkan. Batagak kudo-kudo memasang tiang-tiang yang tegak

lurus dan melintang tempat pemasangan atap yang berbentuk pelana

kuda sebagai dasar atap bangunan rumah yang bergonjong. Tujuan

upacara ini adalah untuk mendapat restu dari nagari dan mendapat

dorongan moril dalam melaksanakan pembangunan tersebut.

Setelah bangunan selesai dibangun juga dilaksanakan upacara.

Pada bangunan Rumah Gadang, upacara ini disebut dengan upacara

menaiki rumah. Karena tiap-tiap bangunan yang telah selesai akan

segera ditunggui atau dihuni oleh pemilik rumah. Tujuan dari upacara

ini selain peresmian bahwa bangunan itu akan dihuni, juga merupakan

tanda ucapan terima kasih dan permohonan doa restu kepada kaum

kerabat yang sudah berperan serta dalam pendirian bangunan tersebut.

Upacara ini diselenggarakan pada bangunan yang bersangkutan

(Syamsidar, 1991).

31

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Penafsiran

Sebagai masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat,

masyarakat Minangkabau masih melakukan upacara-upacara dalam

mendirikan bangunan, yang mana upacara-upacara tersebut telah

dilaksanakan secara turun temurun sejak para pendahulunya. Masih

dilaksanakannya upacara-upacara tersebut antara lain disebabkan oleh

masih percayanya masyarakat Minangkabau terhadap mitos-mitos yang

ada.

Apabila dalam mengambil kayu di hutan tanpa dilaksanakan

upacara sebelumnya, dikuatirkan kayu yang ditebang berasal dari pohon

yang ‘berpenghuni’. ‘Penghuni’ tersebut bisa jadi menjadi marah dan

rumah yang dibangun nantinya menjadi tidak aman. Jadi upacara yang

dilakukan juga memiliki maksud meminta ijin kepada para ‘penghuni’

untuk memotong ‘tempat tinggalnya’ untuk digunakan sebagai bahan

bangunan.

Begitu juga yang terjadi dengan upacara di tapak bangunan.

Tapak yang kosong, bukan berarti benar-benar ‘kosong’. Membangun

rumah di tapak tanpa melakukan upacara pendirian dipercaya bisa

mengakibatkan bencana dalam proses pembangunan rumahnya. Bisa

jadi mengakibatkan tukang yang mengerjakannya celaka, dan lain

sebagainya.

Sedangkan upacara menaiki rumah dilakukan supaya rumah yang

akan ditinggali tersebut membawa keberuntungan bagi penghuni rumah

di masa depannya.

Kepercayaan masyarakat Minangkabau terhadap hal-hal mistis

tersebut menjadikan upacara-upacara pendirian rumah masih

dilakukan. Hal ini berguna bagi kelangsungan adat istiadat yang sudah

turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sebelumnya.

32

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Pelaksanaan upacara dilakukan di setiap proses pembangunan

kecuali pada proses persolekan. Pada proses pertapakan, perangkaan,

dan persungkupan, dilakukan upacara karena proses ini merupakan

proses utama dalam pendirian sebuah bangunan. Sedangkan proses

persolekan hanyalah sebuah proses finishing, jadi bukan proses

pendirian bangunan. Sehingga upacara tidak diperlukan pada proses ini.

TRANSITION, HIERARCHY, HEART

Mengalami sebuah arsitektur melibatkan suatu pergerakan.

Seseorang melewati dari luar ke dalam, atau melalui beberapa rute

tingkatan. Seseorang bisa saja berpikir sebuah tempat sebagai tempat

pemberhentian. Hal ini bisa disebut sebagai tempat yang statis. Tetapi

sebuah jalan yang diambil oleh seseorang dari satu tempat statis ke

tempat statis lain disebut tempat juga. Hal ini bisa disebut sebagai

tempat dinamis.

Karakteristik dari tempat statis bisa dipengaruhi oleh tempat

dinamis yang mengarah padanya. Dan karakteristik dari tempat dinamis

bisa dipengaruhi oleh tempat statis ke mana dia mengarah.

Transisi membentuk bagian dari pengalaman berarsitektur.

Sebuah pintu dari rumah merupakan batas antara dunia publik dan

dunia private. Tempat-tempat transisi penting sebagai cara tempat

statis berhubungan satu sama lain. Seringkali terdapat sekuen, atau

hirarki tingkatan antara satu tempat statis dan yang lainnya. Biasanya

hirarki ini memuncak pada pusat arsitektur yang disebut sebagai

jantung (heart) (Unwin, 1997).

33

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Trantition

Yang berfungsi sebagai transisi pada suatu bangunan adalah

penghubung dua tempat, dalam hal ini adalah pintu. Pintu adalah

sesuatu yang kita lalui untuk berpindah dari satu tempat ke tempat

yang lain; dan jendela adalah sesuatu yang membuat kita bisa melihat

ke luar ruangan dan yang menyebabkan cahaya dan udara dapat masuk

ke ruangan (Unwin, 1997).

Semua jendela dan pintu dalam rumah Gadang disebut dengan

pintu. Pintu Badan Rumah Gadang adalah jendela, sedangkan pintu

masuk Rumah Gadang adalah yang terdapat pada anjuang. Jadi ada dua

pintu menurut istilah orang Minangkabau, yaitu pintu di badan rumah

dan pintu untuk masuk ke rumah (Syamsidar, 1991).

Letak pintu adalah pada badan rumah gadang bagian muka dan

samping kiri kanan. Kalau kita melihat dinding bagian belakang Rumah

Gadang maka kita melihat dinding terbuat dari sasak20. Jumlah jendela

pada Rumah Gadang tergantung pada jumlah ruangan.

Pintu pada Rumah Gadang yang berfungsi sebagai transisi adalah

satu pintu yang terdapat di depan bangunan di depan tangga masuk.

Pintu ini menghubungkan dunia luar dengan dunia di dalam Rumah

Gadang atau bisa dikatakan bahwa pintu ini merupakan penghubung

antara dua tempat statis. Seseorang yang ingin mengalami kehidupan di

dalam Rumah Gadang harus melalui pintu ini terlebih dahulu.

Hierarchy

Hirarki dalam arsitektur adalah sebuah rangkaian atau rute

tingkatan yang dialami dalam sebuah arsitektur. Dalam mengalami

suatu hirarki, seseorang harus melalui sebuah jalan/path. Sebuah path

bisa berupa ramp atau tangga (Unwin, 1997).

20 Bambu yang telah dibelah

34

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang

terletak di bagian depan. Rumah Gadang Rajo Babandiang di Luhak

Limopuluhan Kota letak tangganya di belakang. Sedangkan Rumah

Gadang Surambi Papek dari Luhak Agam letak tangganya di samping

sebelah kiri menghadap ke depan. Akan tetapi Rumah Gadang Gajah

Maharam atau Si Tinjau Lauik atau Rumah Baanjuang tipe Koto Piliang

mempunyai tangga di depan dan belakang yang letaknya di tengah.

Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet

pada dinding. Pada Rumah Gadang Rajo Babandiang tangganya terletak

pada antara bagian dapur dan rumah. Sedangkan pada Rumah Gadang

Surambi Papek dapur dibangun terpisah oleh jalan keluar masuk melalui

tangga rumah (Syamsidar, 1991). Untuk masuk ke dalam Rumah

Gadang, maka seseorang harus melalui tangga ini terlebih dahulu. Ini

merupakan satu-satunya jalan masuk ke dalam Rumah Gadang. Setelah

itu akan dialami tingkatan ruang-ruang di dalam Rumah Gadang.

Rumah Gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-

masingnya mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian merupakan

ruangan lepas kecuali biliek21. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan

ruang-ruang ditandai oleh tiang. Tiang tersebut berbanjar dari muka ke

belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke

belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai

ruang. Jumlah lajur tergantung pada besar rumah, biasanya 3, 5, dan 7.

Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara 3 sampai dengan 9.

Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang yang

disebut didieh belakang atau Bandua biasanya digunakan untuk kamar-

kamar. Jumlah kamar tergantung kepada perempuan yang tinggal di

dalamnya atau besarnya lanjar yang ada. Kamar tersebut umumnya

kecil, sekedar termuat sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan

21 Kamar Tidur

35

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar-kamar digunakan untuk tidur

dan berganti pakaian saja, dan tak mungkin digunakan untuk keperluan

lain, karena keperluan lain harus digunakan pada ruangan atau tempat

yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang

komunalistis, tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang

memberikan kesempatan pengembangan pada kehidupan yang

individual. Kamar untuk para gadis ialah pada bagian ujung kanan jika

orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri

biasanya digunakan oleh penganten baru atau pasangan suami istri yang

paling muda. Meletakkan mereka di sana agar bisa terhindar dari hingar

bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjuang, maka

anjuang sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan

anjuang sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi

penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara adat. Pada hari-

hari biasa, anjungan bagian kiri digunakan untuk meletakkan peti-peti

penyimpanan barang berharga milik kaum.

Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai

previlasi dari para penghuni kamar. Seperti tempat mereka makan,

tempat mereka menanti tamu masing-masing. Luasnya seluas Lanjar

kali satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka. Lanjar

ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar tiga. Sebagai

lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu dari masing-

masing penghuni kamar yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu

dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan

bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua

perempuan tua yang memimpin rumah tangga tersebut. Perempuan lain

yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk

di lajur kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu ada

laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya,

36

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang

menemaninya di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini

ialah di kedua ujung ke ujung rumah. Pangkal rumah adalah di bagian

tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya merupakan tiang

yang paling tengah. Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan

dinding depan. Merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan

sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan (Syamsidar,

1991).

Rumah Gadang pada umumya terdiri dari tiga ruang sampai

sebelas ruang. Fungsinya selain untuk menentukan batas kamar tidur

dengan wilayahnya, maka pada prinsipnya terdiri dari tiga bagian. Yakni

bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan. Apabila Rumah Gadang

itu memiliki tangga di tengah bagi yang terletak di belakang maupun di

depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari muka ke

belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat

duduk atau makan, baik pada waktu sehari-hari ataupun pada waktu

diadakan perjamuan atau bertamu. Pada Rumah Gadang Serambi Papek

yang tangganya di sebelah sisi rumah, maka ruangannya terbagi dua,

yakni ruang ujung dan ruang pangka (pangka=pangkal). Dalam bertamu

atau perjamuan ruang di ujung tempat tamu, sedang ruang di pangkal

tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi pangkal (tuan

rumah) (Syamsidar, 1991).

Dari fungsi-fungsi ruang yang disebutkan di atas, dapat dilihat

adanya hirarki dalam penyusunan ruang-ruang tersebut. Hirarkinya

dapat dilihat dari penting tidaknya ruang tersebut dalam kaitannya

dengan fungsi ruang terhadap penghuninya. Juga dapat dilihat

berdasarkan fungsi publik - private. Lanjar belakang – lanjar kedua –

lanjar ketiga – lanjar tengah – lanjar tepi merupakan urutan private –

37

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

semi private – semi publik – semi publik – publik. Ini adalah hirarki

dalam Rumah Gadang yang dilihat dari fungsi publik-private.

Selain itu, hirarki dalam Rumah Gadang juga berdasarkan siklus

kehidupan wanita, dan membentuk perjalanan dari pusat menuju ke

anjuang, kemudian biliak, dan terakhir dapur

(http://cyclops.prod.untd.com). Pada masyarakat Minang yang

matrilineal, suami hidup di rumah istri, dan secara tradisional, anjuang

merupakan tempat tinggal banyak anak perempuan yang baru menikah

dan suaminya tinggal. Wanita lain yang sudah menikah dan pasangannya

menempati bilik atau biliak, di belakang rumah. Setiap gadis yang

menikah pindah ke anjuang, sementara wanita yang sudah menikah

lainnya pindah bergeser satu ruangan ke arah dapur. Idealnya, wanita

tertua di rumah harus tidur di biliak sebelah dapur. Jika tidak ada

biliak kosong untuk ditempati, ia pindah ke ruangan yang disebut

pangkalan (tiang pusat) melambangkan kedudukannya sebagai wanita

tua (Tjahjono, 2002).

Heart

Gambar 18: siklus kehidupan wanita dalam Rumah Gadang

38

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

Heart merupakan puncak dari susunan Hirarki yang terdapat

dalam bangunan. Heart bisa juga diartikan sebagai fokus dalam

arsitektur. Dalam arsitektur, fokus bisa berarti elemen manapun yang

merupakan pusat atau inti. Bisa saja berupa fireplace, tapi mungkin

juga berupa altar, bahkan gunung yang jauh (Unwin, 1997).

Dalam susunan ruang pada Rumah Gadang, ada satu ruang yang

ditinggikan, disebut anjuang. Di masyarakat Minang yang matrilineal,

suami hidup di rumah istri, dan secara tradisional anjuang merupakan

tempat tinggal anak perempuan yang baru menikah bersama suaminya.

Sebagai kehidupan wanita yang masih gadis, anjuang merupakan

puncak, karena di sinilah tempat mereka bila mereka sudah menikah.

Namun untuk pasangan yang menikah lebih lama, anjuang hanyalah

sebuah titik awal. Puncaknya berada pada pangkalan.

FAKTOR DAN UNSUR ALAM DALAM ARSITEKTUR

Dalam perspektif arsiektur lingkungan, pengetahuan arsitektur

sebaiknya meliputi pengetahuan yang terukur dan tidak terukur tentang

arsitektur. Pengetahuan yang terukur yaitu pengetahuan tentang

bangunan, kenyamanan, keefisiensian dan keefektifan bangunan, serta

hal-hal yang bersifat referensial. Sedangkan pengetahuan yang tidak

terukur antara lain arsitektur, kesenangan dan kepuasan, makna, serta

hal-hal yang bersifat simbolis. Kenyamanan merupakan standart

bangunan, sedangkan kenikmatan bukanlah sebuah standart, hal ini

berhubungan dengan manusia yang menempati dan mengalami

bangunannya.

Sudut pandang arsitektur nusantara merupakan sudut pandang

pengetahuan arsitektur. Hal ini berbeda dengan arsitektur tradisional.

Dalam arsitektur tradisional, sudut pandang yang digunakan berasal

39

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

dari pengetahuan antropologi. Dalam pengetahuan antropologi,

lingkung bina atau arsitektur digunakan oleh manusia untuk

mengekspresikan diri. Sedangkan dalam pengetahuan arsitektur,

manusia dan budaya dibawa demi terciptanya lingkung bina atau

arsitektur.

Lingkung bina dapat menjadi arsitektur dengan melihat

kemampuannya dalam mempengaruhi manusia dan kesempatannya

dalam memanfaatkan iklim. Faktor yang mempengaruhi arsitektur

antara lain: angin, kelembaban, temperatur udara, curah hujan, panas

matahari, dan lain sebagainya. Sedangkan unsur yang mempengaruhi

faktor-faktor tersebut adalah dinding, bukaan, sosoran, dan lain

sebagainya (Dinapradipta, 2006).

Sebagai Arsitektur Nusantara, Rumah Gadang memperhatikan

iklim tropis tempat mereka berdiri. Seperti masyarakat tradisional yang

lain, masyarakat Minangkabau memanfaatkan alam dan iklim demi

menciptakan kenyamanan dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Hal

ini tercermin dalam desain rumah tinggalnya.

Bangunan dinding Rumah Gadang membesar ke atap yang

disebut dengan silek. Ini berguna pada saat musim hujan, mengingat

iklim di Indonesia mempunyai curah hujan yang tinggi. Dinding yang

berbentuk seperti ini berfungsi untuk membebaskan bangunan dari

terpaan air hujan. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan

endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis. Air hujan yang bagaimana

pun lebatnya, akan meluncur cepat pada atapnya.

Kolong Rumah Gadang dibuat tinggi untuk memberikan hawa

yang segar, terutama pada musim panas, Di samping itu agar lebih

aman dalam menghadapi bahaya banjir. Hal yang tak kalah pentingnya

dari segi arsitekturnya, adalah tiang-tiang Rumah Gadang yang tidak

ditanam ke dalam tanah. Tiang-tiang ini hanya diletakkan di atas batu

40

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

layah. Untuk menghubungkan tiang-tiang dan bagian rumah tidak

digunakan paku, melainkan pasak dari bambu. Kondisi ini membuat

rumah gadang relatif tahan terhadap goncangan gempa ataupun angin

kencang (Yurnaldi, 2000). Kebanyakan material yang digunakan adalah

kayu, jadi musuh utama rumah gadang adalah api (Irwan).

Rumah Gadang yang dibangun berjajar menurut arah mata angin

dari Utara ke Selatan berguna membebaskannya dari panggang

matahari serta hembusan angin yang keras. Tetapi jika dilihat dari

kegunaannya, garis-garis Rumah Gadang menunjukkan penyesuaian

dengan alam tropis.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Rumah Gadang

memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan alam dan iklim

setempat. Sehingga tinggal di Rumah Gadang dapat merasakan

kenyamanan tinggal di iklim tropis.

41

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

3 KESIMPULAN

Arsitektur Nusantara Minangkabau mengalami semua proses

dalam membangun arsitektur seperti yang disebutkan oleh Josef

Prijotomo, 1995, yaitu Proses Pertapakan, Perangkaan, Persungkupan,

dan Persolekan. Proses pertapakan adalah berkaitan dengan pencarian

tapak yang tepat dalam pembangunan rumahnya, kemudian pencarian

bahan bangunannya, sampai dengan pembersihan tapaknya. Proses

berikutnya adalah proses perangkaan, yaitu pemasangan tiang-tiang

yang disusun berdasarkan ruang-ruang dalam Rumah Gadang.

Kemudian adalah proses Persungkupan. Proses ini agak berbeda dengan

bangunan yang lain, karena pemasangannya diawali dengan penutupan

atap terlebih dahulu, kemudian lantai, dan yang terakhir adalah

dinding. Proses terakhir adalah proses persolekan, yaitu pemberian

ukiran di seluruh elemen bangunannya.

Dalam melakukan proses membangun tersebut, masyarakat

Minangkabau tidak melupakan keharusan yang sudah ditetapkan oleh

adat istiadat Minangkabau sebelumnya, yaitu pelaksanaan upacara.

Dengan pelaksanaan upacara ini, mereka percaya dalam

pembangunannya tidak akan terjadi bencana, dan dalam

penempatannya akan membawa keberuntungan bagi penghuninya.

Upacara ini dapat melestarikan adat istiadat Minangkabau.

Hirarki juga terdapat dalam penataan ruang-ruang dalam Rumah

Gadang. Hirarki yang digunakan ada 2, yaitu berdasarkan fungsi publik-

private, dan berdasarkan siklus kehidupan wanita, mengingat

masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang matrilineal. Yang

berdasarkan fungsi publik-private, hirarkinya adalah Lanjar belakang –

42

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

lanjar kedua – lanjar ketiga – lanjar tengah – lanjar tepi. Sedangkan

yang berdasarkan siklus kehidupan wanita, hirarkinya adalah dari pusat

menuju ke anjuang, kemudian biliak, dan terakhir dapur.

Rumah Gadang merupakan arsitektur yang memanfaatkan iklim

dalam usahanya untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuninya.

Dalam hal ini, Rumah Gadang cocok ditampatkan di iklim tropis. Hal ini

terlihat dari bentuk bangunannya yang memperhatikan curah hujan dan

penghawaan.

43

Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)

4 DAFTAR PUSTAKA

Dinapradipta, Asri. 2006. Materi Perkuliahan Arsitektur Nusantara. Surabaya: Pascasarjana Arsitektur ITS

http://cyclops.prod.untd.com

Irwan. ___. History of Rumah Gadang. www.kangguru.org

Tjahjono, Gunawan. 2002. Indonesian Heritage, Arsitektur. Jakarta: Buku Antara Bangsa

Minarsih. 1998. Korelasi Antara Motif Hias Songket Dan Ukiran Kayu Di Propinsi Sumatera Barat (Studi Kasus Daerah Pandai Sikek, Silungkang Dan Kubang). http://digilib.itb.ac.id

Prijotomo, Josef. 1995. Analisa Formal Bagi Identifikasi Jatidiri. Proceeding Seminar on Nusantarian Architecture, Change and Continuity. Surabaya. WTC.

Prijotomo, Josef. 2004. Arsitektur Nusantara Menuju Keniscayaan. Surabaya: Wastu Lanas Grafika

Syamsidar, B.A. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatra Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routlegde

Yurnaldi, 2000. Bagonjong, Wujud Arsitektur dari Karya Sastra. www.kompas.com

44