tinjuan ekonomi islam pada konsep kepemilikan …

15
106 TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN DALAM KONTEKS INDONSIA Ridan Muhtadi 1 , Moh. Safik 2 , Mansur 3 Jurusan Syariah, STAI Miftahul Ulum Pamekasan 1 [email protected] , 2 [email protected], 3 [email protected] Abstrak- Ekonomi Islam adalah sebagai bagian dari sistem Islam yang bersifat universal dan berlandaskan pada prinsip pertengahan serta keseimbangan yang adil (tawadzun). Hal itulah yang menyeimbangkan kehidupan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Adapun nilai pertengahan dan keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya Islam dalam bidang ekonomi selain masalah harta adalah Hak Kepemilikan (Ownership Rights). Tujuan dari penelitian ini agar dapat mengetahui kepemilikan berdasarkan konteks Negara Indonesia dalam perspektif ekonomi Islam. Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilikan pribadi disamping kepemilikan umum. Begitupun dari segi sebab-sebabnya dan jenisnya. Sehingga dalam hal bernegara pun dapat melihat posisi sumberdaya yang ada sesuai dengan prinsip islam yang Rahmatan lil Alamin. Keyword: Kepemilikan Negara Indonesia, Kepemilikan Islam PENDAHULUAN Stigma yang terjadi pada masyarakat muslim dalam memahami Islam ialah hanya secara parsial yang diwujudkan dalam bentuk ritualisme ubudiyah semata, hal ini mengasumsikan bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan dunia dan sebagainya. Bahkan ada anggapan bahwa Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi, sebaliknya kegiatan ekonomi dan keuangan akan meningkat dan berkembang jika bebas dari nilai-nilai normatif dan ketentuan syariah. Islam sebagai dien (way of life) tidaklah sama dengan ideologi lainnya, keistimewaannya yang datang dari Sang Pencipta tidak hanya sekadar teori. Syariatnya benar-benar memposisikan manusia sesuai dengan fitrahnya. Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia yang telah diatur sedemikian rupa sehingga rahmat bagi seluruh alam bukanlah sekadar asumsi belaka. Prinsip dasar yang tercantum dalam Al- Qur’an dan Al -hadist sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang di ciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk konsumsi dan produksi namu tidak memberikan hak itu secara Absolut. Al- Qur’an dengan jelas mengkritik tindakan merusak tanaman-tanaman dan tenaga kerja. Konsep islam adalah membahas tentang kepemilikan mengenai

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

106

TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN

DALAM KONTEKS INDONSIA

Ridan Muhtadi1, Moh. Safik2, Mansur3

Jurusan Syariah, STAI Miftahul Ulum Pamekasan [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak- Ekonomi Islam adalah sebagai bagian dari sistem Islam yang bersifat universal dan

berlandaskan pada prinsip pertengahan serta keseimbangan yang adil (tawadzun). Hal itulah yang

menyeimbangkan kehidupan antara dunia dan akhirat, antara individu dan

masyarakat. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita

dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Adapun nilai pertengahan dan

keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya Islam dalam bidang ekonomi selain

masalah harta adalah Hak Kepemilikan (Ownership Rights). Tujuan dari penelitian ini agar dapat

mengetahui kepemilikan berdasarkan konteks Negara Indonesia dalam perspektif ekonomi Islam.

Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilikan pribadi disamping kepemilikan umum.

Begitupun dari segi sebab-sebabnya dan jenisnya. Sehingga dalam hal bernegara pun dapat

melihat posisi sumberdaya yang ada sesuai dengan prinsip islam yang Rahmatan lil Alamin.

Keyword: Kepemilikan Negara Indonesia, Kepemilikan Islam

PENDAHULUAN

Stigma yang terjadi pada masyarakat muslim dalam memahami Islam ialah hanya secara

parsial yang diwujudkan dalam bentuk ritualisme ubudiyah semata, hal ini mengasumsikan bahwa

Islam tidak ada kaitannya dengan dunia dan sebagainya. Bahkan ada anggapan bahwa Islam dengan

sistem nilai dan tatanan normatifnya menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi, sebaliknya

kegiatan ekonomi dan keuangan akan meningkat dan berkembang jika bebas dari nilai-nilai

normatif dan ketentuan syariah.

Islam sebagai dien (way of life) tidaklah sama dengan ideologi lainnya, keistimewaannya

yang datang dari Sang Pencipta tidak hanya sekadar teori. Syariatnya benar-benar memposisikan

manusia sesuai dengan fitrahnya. Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan

manusia yang telah diatur sedemikian rupa sehingga rahmat bagi seluruh alam bukanlah sekadar

asumsi belaka.

Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-hadist sangat memperhatikan masalah

perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang di ciptakan Allah untuk

manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk konsumsi dan produksi namu

tidak memberikan hak itu secara Absolut. Al-Qur’an dengan jelas mengkritik tindakan merusak

tanaman-tanaman dan tenaga kerja. Konsep islam adalah membahas tentang kepemilikan mengenai

Page 2: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

107

barang konsumsi dan alat-alat produksi.1 Namun kepemilikan yang dimiliki oleh manusia hanya

bersifat amanah, untuk menjaga agar kehidupan di dunia ini tidak kacau maka turunlah syariat

tentang hak kepemilikan.

Membicarakan masalah konsep kepemilikan, hal itu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan

masalah Al-Mal (harta benda) dan Al-Milk (milik). Perihal kepemilikan diatur agar tidak terjadi

pelanggaran hak (milik) seseorang oleh pihak lain, sebab manusia memiliki kecenderungan

materialistis. Islam mengakui adanya hak milik pribadi maupun milik umum. Islam juga

menghormati hak milik sekaligus memberikan aturan-aturannya, seperti jika hak milik seseorang

telah mencapai jumlah tertentu harus didistribusikan kepada orang lain, di mana hal ini tercantum

jelas dalam al- Qur’an secara qath’iy. Dalam karya tulis ini mencoba membahas yang berkaitan

antara konsep kepemilikan dalam Islam dan kepemilikan berdasakan konsep negara Indonesia serta

perkembangan kausa legal kasus di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Jenis karya tulis ini secara keseluruhan merupakan jenis karya tulis studi kepustakaan

(library research) dengan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan

deskripsi berupa kata-kata tertulis dari studi literatur atau studi kepustakaan berdasarkan

pendalaman kajian pustaka berupa data teori dan fatwa, sehingga realitas dapat dipahami dengan

baik. Karya tulis ini menggunakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

penelitian studi kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari, mendalami dan mengutip teori-teori

atau konsep-konsep dari sejumlah literatur seperti jurnal, buku, dan lain-lain.

PEMBAHASAN

Akar kata Al-Milk adalah rangkaian huruf mim, lam dan kaf, dan huruf ‘illat. Dalam bahasa

Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut

dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. “MILIK" adalah hubungan khusus

seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan

si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang

menghalanginya.

Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT2:

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu

melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah

1 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, GIP, 1997, JKT. hal 22

2 Veitzhal Rivai dan Andi Buchari. Islamic Economics “Ekonomi Syariah bukan Opsi. Tapi SOLUSI!”. Jakarta: Bumi

Aksara.2009, hal. 366

Page 3: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

108

akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah

mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).

Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai “kewenangan atas sesuatu dan

kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan

membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syariah”.

Ibnu Taimiyah mendefinisikan sebagai “sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk

menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan

tingkatannya. “ Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda

itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau

menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak

lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.

Para ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk) sebagai ”kekhususan seseorang terhadap

harta yang diakui syari’ah, sehingga menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu

harta tersebut, baik memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”.

Secara terminology, ada beberapa definisi Al Milk yang dikemukakan oleh para fukaha.

Wahbah al-Zuhaily memberikan definisi al-milk (hak milik) seperti yang dikutip Sulaeman Jajuli

sebagai berikut3:

احبه من التصرف ابتداء الا لمانع شرعياختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن ص

Artinya: Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang

lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada

halangan syar’iy”.

Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya sebagai berikut4 :

اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء

Artinya: Pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkan untuk

bertindak hukum terhadap benda tersebut.

Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa kepemilikan merupakan

kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu berupa barang atau harta baik secara riil maupun secara

hukum, yang memungkinkan pemilik melakukan tindakan hukum, seperti jual beli, hibah, wakaf,

dan sebagainya, sehingga dengan kekuasaan ini orang lain baik secara individual maupun

3 Sulaeman Jajuli, Kepemilikan Umum dalam Islam. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, vol. 48 no 2,

Desember 2014. Hal 412 4 Ibid

Page 4: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

109

kelembagaan terhalang untuk memanfaatkan atau mempergunakan barang tersebut. Pada prinsipnya

atas dasar kepemilikan itu, seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam berbuat

sesuatu atau tidak berbuat sesuatu kecuali ada halangan tertentu yang diakui syara’.

Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut

bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri

maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi tersebut dapat dibedakan antara hak dan

milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengampu berhak menggunakan harta

orang yang berada di bawah ampunannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan

pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampunannya. Dengan kata lain dapat

dikatakan “tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak

penggunaan dapat memiliki.5

Sebab-sebab Kepemilikan untuk memiliki (tamalluk) yang ditetapkan syariat, terdiri atas

empat sebab sebagai berikut:

1. Ihrazul Mubahat (Menimbulkan Kebolehan)

Ihrazul Mubahat merupakan sebab timbul atau sifat memiliki atas benda oleh

seseorang. Yang dimaksud dengan mubah dalam ihrazul mubahat adalah harta yang tidak

masuk ke dalam milik yang dihormati (milik seorang yang sah) dan tidak ada pula suatu

penghalang yang dibenarkan syara’ dari memilikinya.6

Untuk memeiliki benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu: a) Benda mubahat belum

di ikhrazkan oleh orang lain. Seseorang mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air

tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab telah di

ikhrazkan orang lain. b) Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta

mubahat tanpa adanya niat, tidak termasuk ikhraz, umpamanya seorang pemburu meletakkan

jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah burung-burung, bila pemburu meletakkan jaringnya

sekedar untuk mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut.7

2. Khalafiyah (Penggantian)

Yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama,

yang telah hilang sebagai macam haknya. Khalafiyah ada dua macam, yaitu8: a) Khalafiyah

syakhsy’an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang

5 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Raja Grafindo, 2005, hal. 33-34.

6 Rizal Qosim, Pengamalan Fikih 1, Solo : Pustaka Mandiri, 2014, hal. 99. Lihat juga, Teungku Muhammad Hasbi

Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua 2001, hal 12-13 7 Hendi Suhendi, Op.Cit., hal. 38. Lihat juga, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua 2001, hal 12-13 8 Ibid., hal. 38-39. Lihat juga, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua 2001, hal 14-15

Page 5: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

110

ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tarikah. b)

Khalafiyah syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain atau

menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di tangannya atau hilang, maka wajiblah

dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka Khalafiyah syai’an

syai’in ini disebut tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).

3. Al-‘Uqud (Akad)

Al-‘Uqud (akad) merupakan sebab terjadi kepemilikan. Akad ini lazim disebut dengan

transaksi pemindahan hak. Maksud akad dalam sistem kepemilikan, ada dua hal penting yang

harus diperhatikan. Pertama, Uqud jabariah adalah Akad-akad yang harus dilakukan

berdasarkan pada keputusan hakim, seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa.

Kedua, Istimlak untuk maslahat umum. Misalnya, tanah-tanah disamping masjid apabila

diperlukan untuk masjid harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.9

4. At-Tawallud min al- Mamluk (Kepemilikan dari Benda yang dimiliki)

At-Tawallud min al-mamluk adalah segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki

menjadi hak bagi pemilik benda tersebut. Misalnya, seseorang memiliki pohon yang

menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi milik bagi pemilik pohon; seseorang memiliki

ternak kambing lalu mengambil susunya, susu yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi

milik pemilik kambing.10

Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu: 1) kepemilikan sempurna

(tamm). 2) kepemilikan kurang (naaqis).

1. Hak Milik Sempurna (al-Milk at-Tamm)

Hak milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat sesuatu (bendanya) dan

manfaatnya bersama-sama, sehingga dengan demikian semua hak-hak yang diakui oleh syara’

tetap ada ditangan pemilik. Hak milik yang sempurna merupakan hak penuh yang

memberikan kesempatan dan kewenangan kepada si pemilik untuk melakukan berbagai

jenis tasarruf yang dibenarkan oleh syar’i. Ada beberapa keistimewaan dari hak milik yang

sempurna ini sebagai berikut11: Pertama, Milik yang sempurna memberikan hak kepada si

pemilik untuk melakukan tasarruf terhadap barang dan manfaatnya dengan berbagai macam

cara yang telah dibenarkan oleh syara’ seperti jual beli, hibah, ijarah (sewa menyewa),i’arah,

wasiat, wakaf, dan tasarruf- tasarruf lainnya yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidahnya. Kedua, Milik yang sempurna juga

memberikan hak manfaat penuh kepada si pemilik tanpa dibatasi dengan aspek

9 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed.

kedua 2001, hal 14 10

Rizal Qosim, Op.Cit., hal. 100-101. 11

Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010, hal. 73-74.

Page 6: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

111

pemanfaatannya, masanya, kondisi dan tempatnya, karena yang menguasainya hanya satu

orang, yaitu sipemilik. Satu-satunya pembatasan ialah bahwa pemanfaatan atas barang

tersebut tidak diharamkan oleh syara’. Ketiga, Milik yang sempurna tidak di batasi dengan

masa dan waktu tertentu. Ia hak mutlak tanpa dibatasi dengan waktu, tempat, dan syarat.

Setiap syarat yang bertentangan dengan tujuan akad tidak berlaku. Hak milik tersebut tidak

berakhir kecuali dengan perpindahan hak kepada orang lain dengan cara-caratasarruf yang

memindahkan hak milik sah, atau dengan warisan atau benda di mana hak milik tersebut ada

telah hancur atau rusak.

2. Hak Milik yang Tidak Sempurna (al-Milk an-Naqish)

Hak milik Naqish (tidak sempurna) adalah memiliki manfaatnya saja karena barangnya

milik orang lain, atau memiliki barangnya tanpa manfaat. Adapun macam-macam hak

milik naqish yaitu: Pertama, Milk al-‘ain atau milk al-raqabah yaitu hak milik atas bendanya

saja, sedangkan manfaatnya dimiliki oleh orang lain. Dalam keadaan di mana manfaat suatu

benda dimiliki oleh orang lain, pemilik benda tidak bisa mengambil manfaat atas benda yang

dimilikinya, dan ia tidak boleh melakukan tasarruf atas benda dan manfaatnya. Ia wajib

menyerahkan benda tersebut kepada pemilik manfaat, agar ia bisa memanfaatkannya. Apabila

pemilik benda menolak menyerahkan bendanya, maka ia bisa dipaksa.12 Kedua, Milk al-

manfaat asy-syakhshi atau hak intifa’ yaitu ada lima hal yang menyebabkan timbulnya milk

al-manfaat, yaitu: i’arah (pinjaman); ijarah (sewa menyewa); wakaf; wasiat dan ibrahah.13

Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya

sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau

nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang

terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya

memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki

konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa,

pinjam-meminjam dan lain-lain.14

Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang

berkaitan dengan masalah kepemilikan (al-milkiyyah), tata cara mengelola dan mengembangkan

(kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal), serta cara mendistribusikannya (al-tawzi’ al-tharwah bayna al-

nas) secara detail melalui ketetapan hukum-hukum-Nya. Dalam hal ini, pembahasan hanya

difokuskan pada masalah kepemilikan (al-milkiyyah). Menurut pandangan Islam, (al-milkiyyah)

12

Ahmad Wardi, Op.Cit, hal 74-76 13

Ibid, hal. 76-83 14

Drs. Muhammad, M.Ag, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE-Jogjakarta, 2004, Jogjakarta. hal 90

Page 7: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

112

dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). kepemilikan individu (private property); (2)

kepemilikan umum (collective property); dan (3) kepemilikan negara (state property). 15

1. Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)

Kepemilikan pribadi adalah hukum shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan

tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta

memperoleh kompensasinya–baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa

ataupun karena dikonsumsi–dari barang tersebut.

Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan

melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa

menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak

kepemilikan individual.

Karena kepemilikan merupakan izin al-shari’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka

kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena

karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang

diberikan oleh al-shari’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari’ untuk

memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi,

ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.16

Pembatasan Penggunaan Hak Milik Pribadi Dalam Islam sangat diatur oleh Islam.

Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan merupaka hal yang fitri, bahkan merupakan

suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tidak boleh diserahkan begitu saja

kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk

mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya.

Sebab cara demikian itu akan menyebabkan gejolak dan kekacauan, bahkan kerusakan dan

kenestapaan. Oleh karena itu, cara memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi dengan

mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan yang dapat dijangkau oleh semua

orang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan fitrahnya, dimana kebutuhan primer mereka

dapat dipenuhi,berikut kemungkinan mereka dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan

tersiernya. Dengan kata lain, kepemilikan harus ditentukan dengan mekanisme tertentu.

Karena membatasi kepemilikan seseorang akan menyebabkan pelanggaran terhadap fitrah

manusia.

Batasan kepemilikan ini nampak pada sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan,

dimana dengan sebab-sebab tersebut hak milik seseorang bias diakui. Ketika islam membatasi

15 M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yokyakarta : Ekonisia, Cet. I, 2003, hal. 99. Lihat juga Faisal

Badroen, M.B.A., Etika Bisnis Dalam Islam, (Cet. II; Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hal. 108-109 16

Faruq Nababan. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres. 2000. Hal 105- 107

Page 8: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

113

suatu kepemilikan islam tidak membatasinya dengan cara perampasan, melainkan dengan

menggunakan mekanisme yang sesuai dengan fitrah. Adapun pembatasan kepemilikan

dengan menggunakan mekanisme tertentu itu Nampak pada beberapa hal berikut: (a) Dengan

cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan

hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik. (b) Dengan

cara menentukan mekanisme mengelolanya. (c) Dengan cara menyerahkan kharafiyah sebagai

milik Negara, bukan sebagai individu. Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai

milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu. (d) Dengan cara mensuplai orang

yang memiliki keterbatasan factor produksi, sehingga bias memenuhi kebutuhannya sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-’ammah/ public property)

Kepemilikan umum adalah izin al-shari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama

memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum

adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari’ sebagai benda-benda yang dimiliki

komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena

milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.

Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga

jenis, yaitu:

a. Fasilitas Dan Sarana Umum

Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan

pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan

persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana

umum:

المسلمون شركاء في ثلث في الكل والماء والنار

Artinya: “Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang

rumput dan api”

Air yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah air yang masih belum diambil,

baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan

air yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha

mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil

tersebut. Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala)

maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang

tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala

sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu bakar.

Page 9: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

114

Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut

saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika

tidak terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan

karena adanya indikasi al-shari’ yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa

benda-benda tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang

terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.

b. Sumber Alam Yang Tabiat Pembentukannya Menghalangi Dimiliki Oleh Individu Secara

Perorangan

Meski sama-sama sebagai sarana umum sebagaimana kepemilikan umum jenis

pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama,

tabiat dan asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka

jenis kedua ini, secara tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk

memilikinya secara pribadi. Sebagaimana hadits nabi:

منى مناخ من سبق

Artinya: “Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai

kepadanya)”

Mina adalah sebuah nama tempat yang terletak di luar kota Makkah al-Mukarramah

sebagai tempat singgah jama’ah haji setelah menyelesaikan wukuf di padang Arafah

dengan tujuan meleksanakan syiar ibadah haji yang waktunya sudah ditentukan, seperti

melempar jumrah, menyembelih hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana.

Makna “munakh man sabaq” (tempat mukim orang yang lebih dahulu sampai) dalam lafad

hadith tersebut adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum muslimin. Barang

siapa yang lebih dahilu sampai di bagian tempat di Mina dan ia menempatinya, maka

bagian itu adalah bagiannya dan bukan merupakan milik perorangan sehingga orang lain

tidak boleh memilikinya (menempatinya).17

Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya,

penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh

diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori

ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan

pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri

sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.

c. Barang Tambang Yang Depositnya Tidak Terbatas

17

Faruq Nababan. Op.Cit.,hal 123

Page 10: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

115

Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini

adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada

Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma’rab:

ا أن ولىأنه صلى اللهم عليه وسلم فاستقطعه الملح فقطعه له فلم قال رجل من وفد إلى رسول الل

المجلس أتدري ما قطعت له إنما قطعت له الماء العد قال فانتزع منه

Artinya: “Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka

beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang

bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan

kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air

mengalir”. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali

tambang itu darinya”

Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi

seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak

terbatas. Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di

permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi

seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya.

Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki

oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan

keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi

pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah

yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan

menyimpan hasilnya di bayt al-Mal.

Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas,

dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi

yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang

sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus

(seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.

3. Kepemilikan Negara (Milkiyyat Al-Dawlah/ State Private)

Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum

muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana

khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum

muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya

kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.

Page 11: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

116

Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan

ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-’ammah/public property) namun terkadang

bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah). Beberapa

harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari’ dan

khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:(1) Harta

ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay’ (harta

yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus. (2) Harta yang berasal dari kharaj

(hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau

tidak). (3) Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari

orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam). (4) Harta yang berasal dari daribah

(pajak). (5) Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari

pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan

berdasarkan agamanya. (6) Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa

waris (amwal al-fadla). (7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad. (8) Harta yang

diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan

dengan shara’. (9) Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan

tanah mati yang tidak ada pemiliknya

Untuk itu, harta itu menjadi tanggung jawab negara yang diwakili oleh pejabat atau

pemerintahan untuk merawat, mengelola dan memanfaatkannya untuk kepentingan rakyatnya,

seperti keperluan perang, menggaji pegawai pemerintah, penyelenggaraan pendidikan,

penyediaan fasilitas publik, memelihara hukum dan keadilan, menyantuni fakir-miskin, dan

hal-hal lain yang terkait dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.

Di bawah ini, akan digambarkan pembagian kepemilikan (al-milkiyyat) sebagai berikut:

Page 12: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

117

Sumber daya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah

yang semestinya. Mengapa negara kaya seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin papa

laksana “ayam mati di atas pendaringan beras”. Mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak

kekeliruannya, pada konsep atau sistem pengelolaannya atau pada orang-orangnya yang kurang

cakap dan kurang amanah ataukah keduanya?

Pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan sekarang, realitanya telah memberikan

kebebasan bagi individu ataupun swasta untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi

sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi. Konsep

penguasaan dan pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan cabang-cabang poduksi yang

menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia diatur oleh pasal 33 ayat (1), (2) dan (3)

Undang-undang Dasar 1945 yang berbuyi:18

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh Negara.

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi

ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-

anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang

18

Amandemen (Undang Undang Dasar) UUD 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (Dalam Suatu

Naskah)

Page 13: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

118

seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam

bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Sehingga, secara tegas Pasal 33 (Undang Undang Dasar) UUD 1945 beserta penjelasannya,

melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang. Dengan kata lain

monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah

bertentangan dengan prinsip Pasal 33.

Kemudian Hak Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh di antaranya

dalam 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi

negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber

daya alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam:

1. UU tentang Pokok Agraria

2. UU tentang Pokok Kehutanan

3. UU tentang Pokok Pertambangan

4. UU tentang Ketentuan Pokok Pengairan;

5. UU tentang Jalan;

6. UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan;

7. UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;

8. UU tentang Ketentuan Pokok Perikanan;

9. UU tentang Perindustrian; dan

10. UU tentang Konservasi Sumberdaya Hayati.

Konsep kepemilikan di Indonesia dalam konsep dasarnya menunjukkan bahwa segala

kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau yang dibutuhkan oleh setiap orang

pemanfaatannya yang disebut sebagai kekayaan atau harta benda milik umum masuk dalam lingkup

harta benda milik negara. Hal ini karena Indonesia melandasi prinsipnya dengan prinsip

kekeluargaan. Dan mau tidak mau harus diakui bahwa prinsip itu mempunyai kesamaan dengan

prinsip sosialisme.

Islam justru membedakan antara keduanya dengan secara detail. Secara konsep dasar saja

Islam dengan jelas membedakan keduanya. Kepemilkan umum dalam Islam justru memberikan

ruang kepada masyarakat individu-individunya untuk bersama-sama mengelola, memelihara untuk

kepentingan bersama. Karena kekayaan itu adalah hak mereka. Para fuqoha mengatakan mengenai

jalan, sungai dan sebagainya adalah milik masyarakat dan dipelihara oleh masyarakat bukan oleh

pemerintah.19 Lain dari pada itu negara akan turun ikut campur ketika ada persoalan di antara

19

Drs. Muhammad, Loc.Cit, hal 104

Page 14: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

119

mereka. Negara juga melakukan antisipasi-antisipasi agar pemeliharaan dan pemanfaatannya dapat

berjalan baik secara adil.

Walau negara bertangggung jawab atas perekonomian termasuk pengelolaan terhadap harta

benda milik umum, negara tetap tidak bisa memilikinya atau menetapkannya sebagai milik individu

walaupun dengan alasan kemaslahatan. Karena kemaslahatan dalam harta ini telah ditentukan oleh

Syariat ketika menjelaskan mana harta milik umum, mana milik negara dan mana milik pribadi.20

SIMPULAN

Dari uarain makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam mengakui fitrah manusia

untuk mencintai harta dan memilikinya. Harta yang ada di tangan manusia hanyalah titipan dan

amanat yang harus ditunaikan sesuai apa yang diinginkan sang pemilik-Nya. Konsep kepemilikan

harta dalam Islam sangat komprehensif, dimana Islam tidak hanya mengatur bagaimana harta itu

dapat diperoleh dengan cara yang halal, bagaimana harta dapat dikembangkan, dan didayagunakan,

akan tetapi juga mengatur bagaimana agar harta itu dapat berfungsi mensejahterakan umat, yaitu

dengan menggerakkan para pemilik untuk mendistribusikan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Justru itu, Islam mengakui adanya kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan

negara. Ketiga macam kepemilikan tersebut diberi batasan wewenang sesuai dengan fungsinya

masing-masing. yang pada intinya agar terjaga keseimbangan untuk menuju kesejahteraan baik

individu, masyarakat dan negara.

Konsep kepemilikan negara dalam konteks ke-Indonesia-an tidak hanya menguasai segala

sesuatu yang menjadi milik negara an sih seperti sarana dan prasarana untuk operasional

kenegaraan/pemerintah dan segala benda yang digunakan sebagai operasional negara, tapi juga

barang-barang milik umum yang menjadi hak milik orang banyak juga masuk dalam kepemilikan

negara. Konsep ini berdasarkan pada pasal 33 UUD 1945. Kepemilikan negara dapat berupa

kepunyaan privat dan kepunyaan publik serta keuangan negara. Di sisi lain dalam masyarakat

menjadi sempit dalam akses pengelolaannya, manajemen pengelolaan dan pemeliharan harta umum

dengan didasarkan pada kekuasaan negara saja memberikan peluang pada hanya sebagian orang

saja yang dapat mengelola, memelihara, menikmati atau memiliki harta umum, dan akhirnya hal ini

menciptakan ketimpangan di masyarakat terjadi ketidakadilan, padahal keadilan adalah salah satu

unsur yang menjadi prinsip dari ekonomi Islam.

20

Taqiyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terj. Maghfur Wachid. Surabaya:, Risalah Gusti,

1996, hal.255-257.

Page 15: TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN …

120

DAFTAR PUSTAKA

Anto, M. B. Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yokyakarta : Ekonisia, Cet. I, 2003.

Badroen, Faisal. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Jajuli, Sulaeman. Kepemilikan Umum dalam Islam. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, vol. 48 no 2, Desember 2014.

Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE-Jogjakarta, 2004

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 2001. Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua

Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Qosim, Rizal. Pengamalan Fikih 1, Solo : Pustaka Mandiri, 2014 Rivai, Veitzhal dan Andi Buchari. Islamic Economics “Ekonomi Syariah bukan Opsi. Tapi

SOLUSI!”. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Suhendi. Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo, 2005. Wardi, Ahmad. Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010.

Nabhani, Taqiyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terj. Maghfur Wachid. Surabaya:

Risalah Gusti , 1996.