tinjuan ekonomi islam pada konsep kepemilikan …
TRANSCRIPT
106
TINJUAN EKONOMI ISLAM PADA KONSEP KEPEMILIKAN
DALAM KONTEKS INDONSIA
Ridan Muhtadi1, Moh. Safik2, Mansur3
Jurusan Syariah, STAI Miftahul Ulum Pamekasan [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak- Ekonomi Islam adalah sebagai bagian dari sistem Islam yang bersifat universal dan
berlandaskan pada prinsip pertengahan serta keseimbangan yang adil (tawadzun). Hal itulah yang
menyeimbangkan kehidupan antara dunia dan akhirat, antara individu dan
masyarakat. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita
dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Adapun nilai pertengahan dan
keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya Islam dalam bidang ekonomi selain
masalah harta adalah Hak Kepemilikan (Ownership Rights). Tujuan dari penelitian ini agar dapat
mengetahui kepemilikan berdasarkan konteks Negara Indonesia dalam perspektif ekonomi Islam.
Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilikan pribadi disamping kepemilikan umum.
Begitupun dari segi sebab-sebabnya dan jenisnya. Sehingga dalam hal bernegara pun dapat
melihat posisi sumberdaya yang ada sesuai dengan prinsip islam yang Rahmatan lil Alamin.
Keyword: Kepemilikan Negara Indonesia, Kepemilikan Islam
PENDAHULUAN
Stigma yang terjadi pada masyarakat muslim dalam memahami Islam ialah hanya secara
parsial yang diwujudkan dalam bentuk ritualisme ubudiyah semata, hal ini mengasumsikan bahwa
Islam tidak ada kaitannya dengan dunia dan sebagainya. Bahkan ada anggapan bahwa Islam dengan
sistem nilai dan tatanan normatifnya menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi, sebaliknya
kegiatan ekonomi dan keuangan akan meningkat dan berkembang jika bebas dari nilai-nilai
normatif dan ketentuan syariah.
Islam sebagai dien (way of life) tidaklah sama dengan ideologi lainnya, keistimewaannya
yang datang dari Sang Pencipta tidak hanya sekadar teori. Syariatnya benar-benar memposisikan
manusia sesuai dengan fitrahnya. Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan
manusia yang telah diatur sedemikian rupa sehingga rahmat bagi seluruh alam bukanlah sekadar
asumsi belaka.
Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-hadist sangat memperhatikan masalah
perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang di ciptakan Allah untuk
manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk konsumsi dan produksi namu
tidak memberikan hak itu secara Absolut. Al-Qur’an dengan jelas mengkritik tindakan merusak
tanaman-tanaman dan tenaga kerja. Konsep islam adalah membahas tentang kepemilikan mengenai
107
barang konsumsi dan alat-alat produksi.1 Namun kepemilikan yang dimiliki oleh manusia hanya
bersifat amanah, untuk menjaga agar kehidupan di dunia ini tidak kacau maka turunlah syariat
tentang hak kepemilikan.
Membicarakan masalah konsep kepemilikan, hal itu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
masalah Al-Mal (harta benda) dan Al-Milk (milik). Perihal kepemilikan diatur agar tidak terjadi
pelanggaran hak (milik) seseorang oleh pihak lain, sebab manusia memiliki kecenderungan
materialistis. Islam mengakui adanya hak milik pribadi maupun milik umum. Islam juga
menghormati hak milik sekaligus memberikan aturan-aturannya, seperti jika hak milik seseorang
telah mencapai jumlah tertentu harus didistribusikan kepada orang lain, di mana hal ini tercantum
jelas dalam al- Qur’an secara qath’iy. Dalam karya tulis ini mencoba membahas yang berkaitan
antara konsep kepemilikan dalam Islam dan kepemilikan berdasakan konsep negara Indonesia serta
perkembangan kausa legal kasus di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Jenis karya tulis ini secara keseluruhan merupakan jenis karya tulis studi kepustakaan
(library research) dengan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan
deskripsi berupa kata-kata tertulis dari studi literatur atau studi kepustakaan berdasarkan
pendalaman kajian pustaka berupa data teori dan fatwa, sehingga realitas dapat dipahami dengan
baik. Karya tulis ini menggunakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
penelitian studi kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari, mendalami dan mengutip teori-teori
atau konsep-konsep dari sejumlah literatur seperti jurnal, buku, dan lain-lain.
PEMBAHASAN
Akar kata Al-Milk adalah rangkaian huruf mim, lam dan kaf, dan huruf ‘illat. Dalam bahasa
Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut
dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. “MILIK" adalah hubungan khusus
seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan
si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang
menghalanginya.
Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT2:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah
1 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, GIP, 1997, JKT. hal 22
2 Veitzhal Rivai dan Andi Buchari. Islamic Economics “Ekonomi Syariah bukan Opsi. Tapi SOLUSI!”. Jakarta: Bumi
Aksara.2009, hal. 366
108
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).
Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai “kewenangan atas sesuatu dan
kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan
membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syariah”.
Ibnu Taimiyah mendefinisikan sebagai “sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk
menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan
tingkatannya. “ Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda
itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau
menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak
lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.
Para ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk) sebagai ”kekhususan seseorang terhadap
harta yang diakui syari’ah, sehingga menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu
harta tersebut, baik memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”.
Secara terminology, ada beberapa definisi Al Milk yang dikemukakan oleh para fukaha.
Wahbah al-Zuhaily memberikan definisi al-milk (hak milik) seperti yang dikutip Sulaeman Jajuli
sebagai berikut3:
احبه من التصرف ابتداء الا لمانع شرعياختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن ص
Artinya: Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang
lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada
halangan syar’iy”.
Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya sebagai berikut4 :
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء
Artinya: Pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkan untuk
bertindak hukum terhadap benda tersebut.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa kepemilikan merupakan
kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu berupa barang atau harta baik secara riil maupun secara
hukum, yang memungkinkan pemilik melakukan tindakan hukum, seperti jual beli, hibah, wakaf,
dan sebagainya, sehingga dengan kekuasaan ini orang lain baik secara individual maupun
3 Sulaeman Jajuli, Kepemilikan Umum dalam Islam. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, vol. 48 no 2,
Desember 2014. Hal 412 4 Ibid
109
kelembagaan terhalang untuk memanfaatkan atau mempergunakan barang tersebut. Pada prinsipnya
atas dasar kepemilikan itu, seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu kecuali ada halangan tertentu yang diakui syara’.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut
bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri
maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi tersebut dapat dibedakan antara hak dan
milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengampu berhak menggunakan harta
orang yang berada di bawah ampunannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan
pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampunannya. Dengan kata lain dapat
dikatakan “tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak
penggunaan dapat memiliki.5
Sebab-sebab Kepemilikan untuk memiliki (tamalluk) yang ditetapkan syariat, terdiri atas
empat sebab sebagai berikut:
1. Ihrazul Mubahat (Menimbulkan Kebolehan)
Ihrazul Mubahat merupakan sebab timbul atau sifat memiliki atas benda oleh
seseorang. Yang dimaksud dengan mubah dalam ihrazul mubahat adalah harta yang tidak
masuk ke dalam milik yang dihormati (milik seorang yang sah) dan tidak ada pula suatu
penghalang yang dibenarkan syara’ dari memilikinya.6
Untuk memeiliki benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu: a) Benda mubahat belum
di ikhrazkan oleh orang lain. Seseorang mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air
tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab telah di
ikhrazkan orang lain. b) Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta
mubahat tanpa adanya niat, tidak termasuk ikhraz, umpamanya seorang pemburu meletakkan
jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah burung-burung, bila pemburu meletakkan jaringnya
sekedar untuk mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut.7
2. Khalafiyah (Penggantian)
Yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama,
yang telah hilang sebagai macam haknya. Khalafiyah ada dua macam, yaitu8: a) Khalafiyah
syakhsy’an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang
5 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Raja Grafindo, 2005, hal. 33-34.
6 Rizal Qosim, Pengamalan Fikih 1, Solo : Pustaka Mandiri, 2014, hal. 99. Lihat juga, Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua 2001, hal 12-13 7 Hendi Suhendi, Op.Cit., hal. 38. Lihat juga, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua 2001, hal 12-13 8 Ibid., hal. 38-39. Lihat juga, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua 2001, hal 14-15
110
ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tarikah. b)
Khalafiyah syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain atau
menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di tangannya atau hilang, maka wajiblah
dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka Khalafiyah syai’an
syai’in ini disebut tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).
3. Al-‘Uqud (Akad)
Al-‘Uqud (akad) merupakan sebab terjadi kepemilikan. Akad ini lazim disebut dengan
transaksi pemindahan hak. Maksud akad dalam sistem kepemilikan, ada dua hal penting yang
harus diperhatikan. Pertama, Uqud jabariah adalah Akad-akad yang harus dilakukan
berdasarkan pada keputusan hakim, seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa.
Kedua, Istimlak untuk maslahat umum. Misalnya, tanah-tanah disamping masjid apabila
diperlukan untuk masjid harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.9
4. At-Tawallud min al- Mamluk (Kepemilikan dari Benda yang dimiliki)
At-Tawallud min al-mamluk adalah segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki
menjadi hak bagi pemilik benda tersebut. Misalnya, seseorang memiliki pohon yang
menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi milik bagi pemilik pohon; seseorang memiliki
ternak kambing lalu mengambil susunya, susu yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi
milik pemilik kambing.10
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu: 1) kepemilikan sempurna
(tamm). 2) kepemilikan kurang (naaqis).
1. Hak Milik Sempurna (al-Milk at-Tamm)
Hak milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat sesuatu (bendanya) dan
manfaatnya bersama-sama, sehingga dengan demikian semua hak-hak yang diakui oleh syara’
tetap ada ditangan pemilik. Hak milik yang sempurna merupakan hak penuh yang
memberikan kesempatan dan kewenangan kepada si pemilik untuk melakukan berbagai
jenis tasarruf yang dibenarkan oleh syar’i. Ada beberapa keistimewaan dari hak milik yang
sempurna ini sebagai berikut11: Pertama, Milik yang sempurna memberikan hak kepada si
pemilik untuk melakukan tasarruf terhadap barang dan manfaatnya dengan berbagai macam
cara yang telah dibenarkan oleh syara’ seperti jual beli, hibah, ijarah (sewa menyewa),i’arah,
wasiat, wakaf, dan tasarruf- tasarruf lainnya yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidahnya. Kedua, Milik yang sempurna juga
memberikan hak manfaat penuh kepada si pemilik tanpa dibatasi dengan aspek
9 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed.
kedua 2001, hal 14 10
Rizal Qosim, Op.Cit., hal. 100-101. 11
Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010, hal. 73-74.
111
pemanfaatannya, masanya, kondisi dan tempatnya, karena yang menguasainya hanya satu
orang, yaitu sipemilik. Satu-satunya pembatasan ialah bahwa pemanfaatan atas barang
tersebut tidak diharamkan oleh syara’. Ketiga, Milik yang sempurna tidak di batasi dengan
masa dan waktu tertentu. Ia hak mutlak tanpa dibatasi dengan waktu, tempat, dan syarat.
Setiap syarat yang bertentangan dengan tujuan akad tidak berlaku. Hak milik tersebut tidak
berakhir kecuali dengan perpindahan hak kepada orang lain dengan cara-caratasarruf yang
memindahkan hak milik sah, atau dengan warisan atau benda di mana hak milik tersebut ada
telah hancur atau rusak.
2. Hak Milik yang Tidak Sempurna (al-Milk an-Naqish)
Hak milik Naqish (tidak sempurna) adalah memiliki manfaatnya saja karena barangnya
milik orang lain, atau memiliki barangnya tanpa manfaat. Adapun macam-macam hak
milik naqish yaitu: Pertama, Milk al-‘ain atau milk al-raqabah yaitu hak milik atas bendanya
saja, sedangkan manfaatnya dimiliki oleh orang lain. Dalam keadaan di mana manfaat suatu
benda dimiliki oleh orang lain, pemilik benda tidak bisa mengambil manfaat atas benda yang
dimilikinya, dan ia tidak boleh melakukan tasarruf atas benda dan manfaatnya. Ia wajib
menyerahkan benda tersebut kepada pemilik manfaat, agar ia bisa memanfaatkannya. Apabila
pemilik benda menolak menyerahkan bendanya, maka ia bisa dipaksa.12 Kedua, Milk al-
manfaat asy-syakhshi atau hak intifa’ yaitu ada lima hal yang menyebabkan timbulnya milk
al-manfaat, yaitu: i’arah (pinjaman); ijarah (sewa menyewa); wakaf; wasiat dan ibrahah.13
Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya
sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau
nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang
terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya
memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki
konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa,
pinjam-meminjam dan lain-lain.14
Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang
berkaitan dengan masalah kepemilikan (al-milkiyyah), tata cara mengelola dan mengembangkan
(kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal), serta cara mendistribusikannya (al-tawzi’ al-tharwah bayna al-
nas) secara detail melalui ketetapan hukum-hukum-Nya. Dalam hal ini, pembahasan hanya
difokuskan pada masalah kepemilikan (al-milkiyyah). Menurut pandangan Islam, (al-milkiyyah)
12
Ahmad Wardi, Op.Cit, hal 74-76 13
Ibid, hal. 76-83 14
Drs. Muhammad, M.Ag, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE-Jogjakarta, 2004, Jogjakarta. hal 90
112
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). kepemilikan individu (private property); (2)
kepemilikan umum (collective property); dan (3) kepemilikan negara (state property). 15
1. Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Kepemilikan pribadi adalah hukum shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan
tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta
memperoleh kompensasinya–baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa
ataupun karena dikonsumsi–dari barang tersebut.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan
melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa
menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak
kepemilikan individual.
Karena kepemilikan merupakan izin al-shari’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka
kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena
karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang
diberikan oleh al-shari’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari’ untuk
memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi,
ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.16
Pembatasan Penggunaan Hak Milik Pribadi Dalam Islam sangat diatur oleh Islam.
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan merupaka hal yang fitri, bahkan merupakan
suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tidak boleh diserahkan begitu saja
kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk
mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya.
Sebab cara demikian itu akan menyebabkan gejolak dan kekacauan, bahkan kerusakan dan
kenestapaan. Oleh karena itu, cara memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi dengan
mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan yang dapat dijangkau oleh semua
orang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan fitrahnya, dimana kebutuhan primer mereka
dapat dipenuhi,berikut kemungkinan mereka dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan
tersiernya. Dengan kata lain, kepemilikan harus ditentukan dengan mekanisme tertentu.
Karena membatasi kepemilikan seseorang akan menyebabkan pelanggaran terhadap fitrah
manusia.
Batasan kepemilikan ini nampak pada sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan,
dimana dengan sebab-sebab tersebut hak milik seseorang bias diakui. Ketika islam membatasi
15 M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yokyakarta : Ekonisia, Cet. I, 2003, hal. 99. Lihat juga Faisal
Badroen, M.B.A., Etika Bisnis Dalam Islam, (Cet. II; Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hal. 108-109 16
Faruq Nababan. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres. 2000. Hal 105- 107
113
suatu kepemilikan islam tidak membatasinya dengan cara perampasan, melainkan dengan
menggunakan mekanisme yang sesuai dengan fitrah. Adapun pembatasan kepemilikan
dengan menggunakan mekanisme tertentu itu Nampak pada beberapa hal berikut: (a) Dengan
cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan
hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik. (b) Dengan
cara menentukan mekanisme mengelolanya. (c) Dengan cara menyerahkan kharafiyah sebagai
milik Negara, bukan sebagai individu. Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai
milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu. (d) Dengan cara mensuplai orang
yang memiliki keterbatasan factor produksi, sehingga bias memenuhi kebutuhannya sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-’ammah/ public property)
Kepemilikan umum adalah izin al-shari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum
adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari’ sebagai benda-benda yang dimiliki
komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena
milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga
jenis, yaitu:
a. Fasilitas Dan Sarana Umum
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan
pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan
persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana
umum:
المسلمون شركاء في ثلث في الكل والماء والنار
Artinya: “Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang
rumput dan api”
Air yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah air yang masih belum diambil,
baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan
air yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha
mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil
tersebut. Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala)
maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang
tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala
sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu bakar.
114
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut
saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika
tidak terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan
karena adanya indikasi al-shari’ yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa
benda-benda tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang
terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.
b. Sumber Alam Yang Tabiat Pembentukannya Menghalangi Dimiliki Oleh Individu Secara
Perorangan
Meski sama-sama sebagai sarana umum sebagaimana kepemilikan umum jenis
pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama,
tabiat dan asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka
jenis kedua ini, secara tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk
memilikinya secara pribadi. Sebagaimana hadits nabi:
منى مناخ من سبق
Artinya: “Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai
kepadanya)”
Mina adalah sebuah nama tempat yang terletak di luar kota Makkah al-Mukarramah
sebagai tempat singgah jama’ah haji setelah menyelesaikan wukuf di padang Arafah
dengan tujuan meleksanakan syiar ibadah haji yang waktunya sudah ditentukan, seperti
melempar jumrah, menyembelih hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana.
Makna “munakh man sabaq” (tempat mukim orang yang lebih dahulu sampai) dalam lafad
hadith tersebut adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum muslimin. Barang
siapa yang lebih dahilu sampai di bagian tempat di Mina dan ia menempatinya, maka
bagian itu adalah bagiannya dan bukan merupakan milik perorangan sehingga orang lain
tidak boleh memilikinya (menempatinya).17
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya,
penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh
diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori
ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan
pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri
sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
c. Barang Tambang Yang Depositnya Tidak Terbatas
17
Faruq Nababan. Op.Cit.,hal 123
115
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini
adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada
Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma’rab:
ا أن ولىأنه صلى اللهم عليه وسلم فاستقطعه الملح فقطعه له فلم قال رجل من وفد إلى رسول الل
المجلس أتدري ما قطعت له إنما قطعت له الماء العد قال فانتزع منه
Artinya: “Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka
beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan
kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air
mengalir”. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali
tambang itu darinya”
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi
seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak
terbatas. Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di
permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi
seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki
oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan
keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi
pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah
yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan
menyimpan hasilnya di bayt al-Mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas,
dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi
yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang
sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus
(seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.
3. Kepemilikan Negara (Milkiyyat Al-Dawlah/ State Private)
Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum
muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana
khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum
muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
116
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan
ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-’ammah/public property) namun terkadang
bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah). Beberapa
harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari’ dan
khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:(1) Harta
ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay’ (harta
yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus. (2) Harta yang berasal dari kharaj
(hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau
tidak). (3) Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari
orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam). (4) Harta yang berasal dari daribah
(pajak). (5) Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari
pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan
berdasarkan agamanya. (6) Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa
waris (amwal al-fadla). (7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad. (8) Harta yang
diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan
dengan shara’. (9) Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan
tanah mati yang tidak ada pemiliknya
Untuk itu, harta itu menjadi tanggung jawab negara yang diwakili oleh pejabat atau
pemerintahan untuk merawat, mengelola dan memanfaatkannya untuk kepentingan rakyatnya,
seperti keperluan perang, menggaji pegawai pemerintah, penyelenggaraan pendidikan,
penyediaan fasilitas publik, memelihara hukum dan keadilan, menyantuni fakir-miskin, dan
hal-hal lain yang terkait dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Di bawah ini, akan digambarkan pembagian kepemilikan (al-milkiyyat) sebagai berikut:
117
Sumber daya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah
yang semestinya. Mengapa negara kaya seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin papa
laksana “ayam mati di atas pendaringan beras”. Mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak
kekeliruannya, pada konsep atau sistem pengelolaannya atau pada orang-orangnya yang kurang
cakap dan kurang amanah ataukah keduanya?
Pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan sekarang, realitanya telah memberikan
kebebasan bagi individu ataupun swasta untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi
sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi. Konsep
penguasaan dan pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan cabang-cabang poduksi yang
menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia diatur oleh pasal 33 ayat (1), (2) dan (3)
Undang-undang Dasar 1945 yang berbuyi:18
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi
ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-
anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang
18
Amandemen (Undang Undang Dasar) UUD 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (Dalam Suatu
Naskah)
118
seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam
bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Sehingga, secara tegas Pasal 33 (Undang Undang Dasar) UUD 1945 beserta penjelasannya,
melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang. Dengan kata lain
monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah
bertentangan dengan prinsip Pasal 33.
Kemudian Hak Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh di antaranya
dalam 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi
negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber
daya alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam:
1. UU tentang Pokok Agraria
2. UU tentang Pokok Kehutanan
3. UU tentang Pokok Pertambangan
4. UU tentang Ketentuan Pokok Pengairan;
5. UU tentang Jalan;
6. UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan;
7. UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
8. UU tentang Ketentuan Pokok Perikanan;
9. UU tentang Perindustrian; dan
10. UU tentang Konservasi Sumberdaya Hayati.
Konsep kepemilikan di Indonesia dalam konsep dasarnya menunjukkan bahwa segala
kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau yang dibutuhkan oleh setiap orang
pemanfaatannya yang disebut sebagai kekayaan atau harta benda milik umum masuk dalam lingkup
harta benda milik negara. Hal ini karena Indonesia melandasi prinsipnya dengan prinsip
kekeluargaan. Dan mau tidak mau harus diakui bahwa prinsip itu mempunyai kesamaan dengan
prinsip sosialisme.
Islam justru membedakan antara keduanya dengan secara detail. Secara konsep dasar saja
Islam dengan jelas membedakan keduanya. Kepemilkan umum dalam Islam justru memberikan
ruang kepada masyarakat individu-individunya untuk bersama-sama mengelola, memelihara untuk
kepentingan bersama. Karena kekayaan itu adalah hak mereka. Para fuqoha mengatakan mengenai
jalan, sungai dan sebagainya adalah milik masyarakat dan dipelihara oleh masyarakat bukan oleh
pemerintah.19 Lain dari pada itu negara akan turun ikut campur ketika ada persoalan di antara
19
Drs. Muhammad, Loc.Cit, hal 104
119
mereka. Negara juga melakukan antisipasi-antisipasi agar pemeliharaan dan pemanfaatannya dapat
berjalan baik secara adil.
Walau negara bertangggung jawab atas perekonomian termasuk pengelolaan terhadap harta
benda milik umum, negara tetap tidak bisa memilikinya atau menetapkannya sebagai milik individu
walaupun dengan alasan kemaslahatan. Karena kemaslahatan dalam harta ini telah ditentukan oleh
Syariat ketika menjelaskan mana harta milik umum, mana milik negara dan mana milik pribadi.20
SIMPULAN
Dari uarain makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam mengakui fitrah manusia
untuk mencintai harta dan memilikinya. Harta yang ada di tangan manusia hanyalah titipan dan
amanat yang harus ditunaikan sesuai apa yang diinginkan sang pemilik-Nya. Konsep kepemilikan
harta dalam Islam sangat komprehensif, dimana Islam tidak hanya mengatur bagaimana harta itu
dapat diperoleh dengan cara yang halal, bagaimana harta dapat dikembangkan, dan didayagunakan,
akan tetapi juga mengatur bagaimana agar harta itu dapat berfungsi mensejahterakan umat, yaitu
dengan menggerakkan para pemilik untuk mendistribusikan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Justru itu, Islam mengakui adanya kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan
negara. Ketiga macam kepemilikan tersebut diberi batasan wewenang sesuai dengan fungsinya
masing-masing. yang pada intinya agar terjaga keseimbangan untuk menuju kesejahteraan baik
individu, masyarakat dan negara.
Konsep kepemilikan negara dalam konteks ke-Indonesia-an tidak hanya menguasai segala
sesuatu yang menjadi milik negara an sih seperti sarana dan prasarana untuk operasional
kenegaraan/pemerintah dan segala benda yang digunakan sebagai operasional negara, tapi juga
barang-barang milik umum yang menjadi hak milik orang banyak juga masuk dalam kepemilikan
negara. Konsep ini berdasarkan pada pasal 33 UUD 1945. Kepemilikan negara dapat berupa
kepunyaan privat dan kepunyaan publik serta keuangan negara. Di sisi lain dalam masyarakat
menjadi sempit dalam akses pengelolaannya, manajemen pengelolaan dan pemeliharan harta umum
dengan didasarkan pada kekuasaan negara saja memberikan peluang pada hanya sebagian orang
saja yang dapat mengelola, memelihara, menikmati atau memiliki harta umum, dan akhirnya hal ini
menciptakan ketimpangan di masyarakat terjadi ketidakadilan, padahal keadilan adalah salah satu
unsur yang menjadi prinsip dari ekonomi Islam.
20
Taqiyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terj. Maghfur Wachid. Surabaya:, Risalah Gusti,
1996, hal.255-257.
120
DAFTAR PUSTAKA
Anto, M. B. Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yokyakarta : Ekonisia, Cet. I, 2003.
Badroen, Faisal. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Jajuli, Sulaeman. Kepemilikan Umum dalam Islam. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, vol. 48 no 2, Desember 2014.
Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE-Jogjakarta, 2004
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 2001. Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.4 Ed. kedua
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Qosim, Rizal. Pengamalan Fikih 1, Solo : Pustaka Mandiri, 2014 Rivai, Veitzhal dan Andi Buchari. Islamic Economics “Ekonomi Syariah bukan Opsi. Tapi
SOLUSI!”. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Suhendi. Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo, 2005. Wardi, Ahmad. Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010.
Nabhani, Taqiyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terj. Maghfur Wachid. Surabaya:
Risalah Gusti , 1996.