tinjauan hukum islam tentang sterilisasi dalam …

86
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM KELUARGA BERENCANA (Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi) Oleh: SABARUDIN BINTANG NIM : 105043101284 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI JAKARTA 1431 H/2010 M

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

1

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM

KELUARGA BERENCANA

(Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi)

Oleh:

SABARUDIN BINTANG

NIM : 105043101284

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

JAKARTA

1431 H/2010 M

Page 2: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

2

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan memenuhi

salah satu persayaratan memperoleh gelar sarjana (S1) di Universitas Islam

Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2010

Sabarudin Bintang

Page 3: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

i

KATA PENGANTAR

انرحيى انرح الله بسى

Assalamu‟alaikum.Wr. Wb.

Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain puji dan

syukur atas kehadirat Allah Swt, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai

setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa pula, shalawat serta

salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhamad Saw, keluarga,

para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan

risalahnya, hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai

persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan

Hukum. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak mengalami kesulitan serta hambatan

yang penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras dan motivasi serta

bantuan dari para pihak, maka segala kesulitan tersebut memberikan hikmah

tersendiri bagi para penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuan, bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua orang tua

penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang dan doanya serta berharap ananda

dapat dapat menjadi anak yang mulia dan sukses dalam menempuh hidup di dunia

dan akhirat. “Semoga amal baik keduanya mendapat balasan yang setimpal disisi

yang maha kuasa”. Amin.

Page 4: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

ii

Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi

ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar

dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis

hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima

kasih dan do‟a semoga Allah Swt membalasnya.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA sebagai ketua Program Studi Perbandingan

Madzhab dan Hukum, beserta Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag sebagai

Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan

ilmu yang berharga. Dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum

maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya

yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya

ilmiah ini.

4. Teristimewa buat Ayahhanda H. Saan dan Ibunda Hj. Sunarmah (alm), serta

kakanda Rosidi dan Fajarudin. Yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi

penulis dalam menyelesaikan skripsi.

5. Terima kasih kepada kawan-kawan senasib seperjuangan Fakultas Syariah dan

Hukum Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih angkatan 2005/2006, Faisal

Page 5: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

iii

6. Muchtar, Ali Imran, Dedi Aldi Wahyudi, Ahmad Hambali, Tedy Ramadhani,

Ivan Sunarya, Eka Syarifudin dan

7. Terimakasih kepada kawan-kawan Fakultas Syariah dan Hukum Konsenterasi

Perbandingan Mazhab Fiqih angkatan 2005/2006 yang telah memberikan aroma

tersendiri bagi penulis selama menempuh masa-masa pendidikan di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut

membantu dalam menyusun dan merampungkan skripsi ini.

Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh

kompenen yang telah berjasa memberikan kontribusinya. Tidak ada yang dapat

diberikan sebagai tanda belas jasa penulis, kecuali hanya dengan doa semoga Allah

Swt membalas segala amal dan budi baik mereka dengan sebaik-baik balasan.

Wassalamu‟alaikum.Wr.Wb.

Jakarta, 25 Juni 2010 M.

Sabarudin Bintang

105043101284

Page 6: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8

D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 8

E. Metode Penelitian ....................................................................... 10

F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA DAN

STERILISASI

A. Pengertian KB dan Sterilisasi .................................................... 15

B. Alat-Alat Kontrasepsi Sebagai Sarana Pelaksanaan KB ............. 24

C. Macam-macam Alat Kontrasepsi ................................................ 27

Page 7: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

v

BAB III PANDANGAN UMUM TENTANG KOMISI FATWA

A. Latar Belakang Komisi Fatwa..................................................... 34

B. Kedudukan Komisi Fatwa Dalam Hukum Islam ........................ 37

C. Komisi Fatwa Sebagai Lembaga Ijtihad MUI …......................... 41

BAB IV ANALISA TERHADAP FATWA MUI TENTANG STERILISASI

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

A. Sterilisasi Dari Aspek Hukum Islma .......................................... 52

B. Fatwa MUI Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana ...... 59

C. Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi ...................... 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 71

B. Saran-Saran ................................................................................. 72

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 73

LAMPIRAN

Page 8: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa sekarang ini Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

mengadakan pembangunan Nasional. Namun pembangunan tersebut tidak dapat

terlepas dari masalah penduduk tanpa pengatasan terhadap masalah penduduk

pembangunan tidak akan berjalan lancar. Masalah penduduk yang paling utama di

Negara yang sedang berkembang pada umumnya dan di Indonesia khususnya adalah

pertambahan jumlah penduduk. Yang di maksud pertambahan penduduk adalah

selisih antara angka kelahiran dan angka kematian.

Pada saat ini, sebagai akibat kemajuan yang di temukan dalam bidang

kedokteran, kemajuan dalam bidang pendidikan termasuk pendidikan kesehatan serta

sebagai akibat makin baiknya sistem komunikasi, maka angka kelahiran tetap tidak

banyak terpengaruh. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya masalah pertambahan

jumlah penduduk, yang terutama di alami oleh Negara yang sedang berkembang

termasuk Indonesia.

Karena pertambahan jumlah penduduk yang besar, maka timbul masalah-

masalah sosio-ekonomi, pengangguran, kejahatan yang terus meningkat disamping

itu juga derajat kesehatan masyarakat, mutu lingkungan hidup dan kwalitas hidup

menjadi rendah. Banyak anak yang tidak dapat meneruskan sekolah bahkan sama

Page 9: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

2

sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah karena kekurangan

atau ketiadaan biaya, di lain pihak pendapatan perkapita Negara tidak sesuai dengan

jumlah penduduk yang ada.

Untuk mengatasi masalah kependudukan tadi, pelbagai upaya penyelesaian

banyak dilakukan terutama yang menuju kearah pengendalian jumlah penduduk.

Dalam rangka mencari jalan keluar dari tingginya laju pertambahan penduduk di

Indonesia, pemerintah melaksanakan beberapa aktivitas, antara lain peraturan dan

undangan-undang (tanggungan keluarga dan perkawinan) dan salah satu antaranya

ialah dengan melaksanakan program KB.1

Dalam kegiatan selanjutnya, keluarga berencana di Indonesia mengalami

proses yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Negara-negara lainya yang

sedang berkembang, yaitu sangat ditentukan oleh alasan kesehatan. Tetapi

perkembangan selanjutnya semakin di sadari lagi, bahwa permasalahannya

bertambah luas; dimana keluarga berencana dianggap sebagai salah satu cara untuk

menurunkan angka kelahiran, sebagai suatu sarana untuk mengendalikan

pertambahan penduduk yang semakin pesat.2

Dalam hal ini KB dapat dipahami dalam dua pengertian : Pertama, KB dapat

dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk

mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk

1 Aznul Azwar, Peranan Sterlisasi Dalam Pengendalian Pertambahan Penduduk (Seminar

Evaluasi ZPG Pusat Indonesia 29-30 September 1979) di Yogyakarta, hal. 3.

2 Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,

(Jakarta : Kalam Mulia, 2003), cet. Pertama, hal. 59.

Page 10: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

3

tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB

didasarkan pada teori populasi menurut Thomas Robert Malthus. KB dalam

pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran).3

Kedua, KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan

(man‟u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom,

IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian kedua diberi istilah tanzhim an-

nasl (pengaturan kelahiran).

Adapun hukum keduanya ulama kontemporer membolehkan tanzhim an-nasl

(pengaturan atau penjarangan kelahiran). Namun melarang dan mengharamkan

tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran atau yang umum dikenal dengan KB).

Ulama kontemporer melarang tahdid an-nasl di dalam KB sebagai program

nasional tidak dibenarkan secara syara‟. Jika pembatasan kelahiran itu

dilatarbelakangi oleh sikap takut miskin, takut anak tidak kebagian rizki, dan yang

semisalnya, maka yang demikian ini hukumnya haram karena bertentangan dengan

Aqidah Islam.

Selain itu, dari segi tinjauan fakta, teori Malthus tidak sesuai dengan

kenyataan, bahwa produksi pangan dunia bukan kurang, melainkan cukup, bahkan

lebih dari cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada

bulan Mei tahun 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan

3 Ali Ahmad As-Salus, Mausu‟ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu‟ashirah, (Mesir :

Daruts Tsaqafah – Maktabah Darul Qur`an, 2002), hal. 53.

Page 11: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

4

hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk

dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia.4

Sedangkan ulama kontemporer membolehkan tanzhim an-nasl (pengaturan

atau penjarangan kelahiran), apabila dijalankan oleh individu (bukan dijalankan

karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man‟u al-hamli) dengan berbagai

cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimana pun juga motifnya.

Adapun dalil yang membolehkannya tanzhim an-nasl diantaranya : Hadits

dari sahabat Jabir RA yang berkata, ”Dahulu kami melakukan „azl pada masa

Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun.” (Muttafaq Alaihi). Menurut

riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi SAW dan beliau tidak melarangnya

pada kami.

Namun kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar).

Sebagaimana kaidah fiqih menyebutkan : Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya

haruslah dihilangkan). Dan kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada

pencegahan kehamilan yang temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan

kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang permanen (sterilisasi), seperti

vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram. Sebab Nabi SAW telah melarang

pengebirian (al-ikhtisha`), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang

ada saat itu.

4 Ibid., hal. 31.

Page 12: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

5

Di mana gerakan program keluarga berencana di Indonesia sudah dirintis

sejak tahun 1953 oleh tokoh-tokoh masyarakat. Kemudian tahun 1957 berdiri

organisasi swasta bernama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)

mulai melopori pelaksanaannya. Kegiatannya dilakukan secara diam-diam dan

bersifat perseorangan, karena waktu itu program keluarga berencana masih dilarang

oleh pemerintah.

Sejak lahirnya orde baru tahun 1996, Pemerintah mulai menyadari bahwa

masalah penduduk harus segera mendapat perhatian. Tahun 1967 Preside RI ikut

mendatangi Deklarasi Kependudukan Dunia dan sejak itu pemerintah mengambil alih

tanggung jawab pelaksanaan keluarga berencana melalui intruksi presiden No.20

tahun 1968 yang membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang

berstatus semi pemerintah. Fungsi dari lembaga ini adalah untuk mengembangkan

keluarga berencana dan mengelola segala jenis bantuan. Pada tahun 1970 pemerintah

mengambil kebijaksanaan bahwa keluarga berencana merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional. Dengan keputusan presiden No.8 tahun 1970 dibentuklah

Badan Koordinasi Keluarga Berencan Nasional (BKKBN) yang berstatus lembaga

pemerintah yang berfungsi :

Membantu presiden dalam menetapkan kebijaksanaan pemerintah dalam

bidang keluarga berencana.

Mengkoordinasikan pelaksanaan keluarga berencana yang dilakukan oleh

unit-unit keluarga berencana.

Page 13: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

6

Sesuai dengan perkembangan yang telah meningkat maka organisasi BKKBN

pun terus disempurnakan. Tahun 1972 dikeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 38

tahun 1978 organisasi dan tata kerja BKKBN menjadi Lembaga Pemerintah Non

Departemen yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Bertugas mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan

program keluarga berencana dan kependudukan yang mendukungnya, baik ditingkat

pusat maupun daerah serta mengkoordinasikan pelaksanaannya dilapangan.5

Pada dasarnya syari‟at Islam tidak membenarkan usaha pengaturan kehamilan

dengan cara sterilisasi karena akan menimbulkan ketidakmampuan menurunkan

keturunan, adapun keluarga berencanan yang dikehendaki Islam adalah keluarga

berencana dalam arti “membatasi kelahiran secara mutlak bagi setiap orang dalam

berbagai kondisi”. Oleh karena itu, sterilisasi apabila dilaksanakan hanya untuk

pencegahan kehamilan serta dijiwai niat segan mempunyai keturunan tanpa alasan

lain tidak dibolehkan dalam Islam, karena tindakan sterilisasi itu tidak sesuai dengan

tinjauan terhadap keluarga berencana menurut pandangan Islam: “Ikhtiar manusia

untuk mengatur kelahiran diseimbangkan dengan kemampuan dan kesanggupan dan

bukan karena adanya rasa segan mempunyai anak”.6

5 A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, Indonesia : Keluarga Berencana Ditinjau Dari

Hukum Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1406 H-1986 M), cet. I, hal. 11.

6 BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga Berencana,

(Jakarta : BKKBN, 1979), hal. 8.

Page 14: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

7

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis sangat tertarik melakukan

penelitian tentang bagaimana sterilisasi dapat digunakan atau diterapkan di dalam

Keluarga Berencana terhadap masyarakat. Oleh karena itu, penulis akan mengangkat

judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM

KELUARGA BERENCANA (Studi Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang

Sterilisasi)”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Secara substantif, pembahasan mengenai fatwa MUI sangat luas cakupannya.

Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam kajian ini, maka penulis

membatasi kepada fatwa yang dikeluarkan olah MUI pusat tentang sterilisai,

dikarenakan banyaknya fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa yang berada

ditingkat daerah dan sebagainya.

Melihat dari pembatasan diatas, maka penulis mengambil rumusan-rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Majlis Ulama Indonesia menyikapi permasalahan program

keluarga berencana ?

2. Apa dasar hukum yang digunakan komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia

tentang sterilisasi ?

3. Bagaimana istinbath hukum yang digunakan komisi fatwa Majelis Ulama

Indonesia tentang sterilisasi ?

Page 15: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Supaya penulis lebih mengetahui secara mendalam tentang keluarga

berencana pada masyarakat.

b. Agar penulis mengetahui konsep hukum islam terhadap keluarga

berencana.

c. Untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga.

2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan akademik untuk memenuhi satu syarat guna memperoleh gelar

S1 dalam bidang Hukum Islam.

b. Pengembangan dan pengaktualisasian dalam konteks Hukum Islam

(syariah) umumnya dan Hukum ber-KB pada khususnya.

c. Sumbangsih kepada masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang

alat kontrasepsi didalam keluarga berencana.

D. Tinjaun Pustaka

Pembahasan tentang keluarga berencana telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, sedikitnya terdapat dua penelitian yang dapat di jadikan fokus kajian

kepustakaan berkenaan dengan topik yang di pilih penulis dalam penelitian ini.

Page 16: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

9

1. Judul : Masalah Sterilisasi Dan Penggunaan Alat-Alat Kontrasepsi Sebagai

Sarana Keluarga Berencana di Tinjau Dari Aspek Sosial Dan Hukum

Islam.

Penulis : Ria Fajriah, ASS, Tahun 2004

Skripsi ini membahas tentang program keluarga berencana yang diterapkan di

Indonesia yang dilakukan oleh suami istri secara sadar dan sukarela dan membahas

alatkontrasepsi yang sudah dikenal dan upaya untuk memperlambat kehamilan,

sesuai dengan kondisi kesehatan, sosio-ekonomi masyarakat.

2. Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Vasektomi dan Tubektomi (KB) di

Indonesia.

Penulis : Heni Marlina, SJPMH, Tahun 2004

Skripsi ini membahas tentang berbagai cara yang dilakukan oleh dokter ahli

dalam upaya (Vasektomi dan Tubektomi). Dan pelaksanaan Vasektomi dan

Tubektomi di Indonesia akan besar peranannya untuk menurunkan tingkat kematian

ibu (MMR) serta kematian bayi (IMR) di Indonesia serta pelaksanaan program

Vasektomi dan Tubektomi itu sendiri.

Adapun perbedaan antara skripsi ini dengan sebelumnya, dimana penelitian

sebelumnya hanya menitik beratkan kepada program keluarga berencananya saja dan

hanya melihat kepada kualitas sumber daya manusia sehingga aspek dan tinjauan

hukum islam yang berkenaan dengan masalah keluarga berencana dan sterilisasi itu

sendiri tidak terlalu diperhatikan sebagaimana mestinya. Sehingga sekiripsi ini,

Page 17: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

10

mudah-mudah dapat membantu di dalam memahami hukum islam yang berkenaan di

dalam masalah keluarga berencana.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data. Data yang

diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, disamping itu

metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai satu tujuan, sehingga

hasil penelitian ini untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat serta obyektif,

peneliti melakukan penggabbungan antara dua macam pendekatan yaitu;

a. Field Reseach

Field dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti padang medan

daerah, sedangkan reseach adalah pemeriksaan penyelidikkan, field reseach

juga diartikan sebagai penelitian lapangan, jenis penelitian ini biasanya di

gunakan dalam penelitian yang digunakan pendekatan kaulitatif. Data-data

tersebut diperoleh dari sumber-sumber otentik yang terdiri dari:

1. Sumber data primer yaitu : sumber yang harus ada dan menjadi pokok

dari data-data yang dikumpulkan yaitu Fatwa Majelis Ulama Indonesia

tentang sterilisasi dan wawancara dengan komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia.

Page 18: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

11

2. Sumber data sekunder yaitu : sejumlah literatur yang ada hubungannya

dengan masalah yang diteliti.

b. Library Reseach

Studi kepustakaan dilakukan dalam penelitian untuk mendapatkan

dasar pemikiran, perumusan dan operasinonalisasi konsep yaitu dengan cara

mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku, artikel-artikel diinternet

yang khusus yang membahas kasus dan hal-hal yang berkaitan dengan teori-

teori yang mendukung dalam bab analisa yang berkenaan dengan masalah

sterilisasi.

2. Teknik Pengumpulan Data

Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka teknik

yang digunakan dalam mengumpulkan data dengan melalui metode wawancara.

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara

dialogis terhadap responden mengenai masalah penelitian. Wawancara ini ditunjukan

kepada salah satu anggota komisi fatwa MUI dengan memberikan beberapa

pertanyaan berkaitan dengan masalah sterilisasi dengan alat bantu perekam seperti

walkman, hp dan sebagainya yang dapat digunakan dalam wawancara tersebut.

3. Jenis dan Alat Pengumpulan Data

Berhubung dalam penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan

kaulitatif, maka jenis data yang digunakan adalah wawancara. Data kaulitatif

memerlukan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara lapangan kepada pihak-

Page 19: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

12

pihak yang terkait dengan permasalahan yang telah ditentukan. Data yang diperoleh

dari hasil wawancara merupakan data primer yang nantinya diolah dan kemudian di

analisa secara deskriptif, dalam metode wawancara maka instrument yang digunakan

untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

Pedoman wawancara, yaitu berlaku sebagai pegangan peneliti dalam

melakukan proses wawancara agar tidak menyimpan dan tujuan penelitian.

Kemudian untuk melengkapi data maka penelitian ini, selain data primer,

peneliti juga menggunakan data sekunder, diperoleh dari buku, dokumen, arsip atau

jurnal yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam landasan teoritis, karena

penelitian ini menggunakan juga pendekatan kuantitatif maka data-data yang

mendukung tentunya dari dokumen-dokumen yang dengan kasus-kasus masalah

sterilisasi.

4. Analisa Data

Setelah memperoleh data baik yang diperoleh melalui metode pustaka

maupun melalui metode wawancara, data-data tersebut kemudian dikumpulkan,

diolah, dianalisa, dan diinterprestasikan untuk dapat menjawab permasalahan-

permasalahan yang telah dirumuskan.

Data yang diperoleh, dari buku-buku, artikel-artikel, maupun tulisan-tulisan

yang didapat melalui internet kemudian diklasifikasi untuk di masukkan kemasing-

masing variable dan kemudian diinterprestasikan. Begitu pula data yang diperoleh

Page 20: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

13

dari hasil lapangan maka setiap poin pertanyaan-pertanyaan di jawab dari wawancara.

Kemudian, dimasukkan kevariabel yang tepat untuk dapat diinterprestasikan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka penulis

mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan

sebagai berikut :

BAB I Bab pendahuluan yang membahas latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode

penelitian yang meliputi jenis penelitian, teknik pengumpulan data,

jenis dan alat pengumpulan data dan analisa data. sistematika

penulisan.

BAB II Berisikan tentang pandangan umum Majlis Ulama Indonesia (MUI)

sebagai institusi, yang mencakup kepada sejarah singkat pembentukan

MUI, peranan MUI dalam masyarakat indonesia, dan metode MUI dalam

menetapkan fatwa, serta kedudukan fatwa dalam Islam.

BAB III Landasan teoritis terdiri dari penjabaran konsep-konsep mulai dari

pengertian keluarga berencana dan sterilisasi sampai alat-alat

kontrasepsi yang digunakan di dalam program keluarga berencana.

BAB IV Dalam bab ini akan dijelaskan kajian terhadap fatwa MUI tentang

alat-alat kontrasepsi-sterilisasi di tinjau dari hukum islam, serta

Page 21: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

14

fatwa MUI tentang sterilisasi dalam keluarga berencana, dan analisa

terhadap fatwa MUI mengenai sterilisasi .

BAB V Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Page 22: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA

DAN STERILISASI

A. Pengertian KB dan Sterilisasi

Setiap kalimat yang telah dirumuskan dalam bentuk suatu istilah, ada baiknya

dijelaskan lebih dahulu makna maksudnya secara definitif, agar terdapat kesatuan

pengertian pada pihak-pihak yang bersangkutan dalam memahamkan persoalan

sebaik-baiknya.

Yang dimaksud dengan keluarga di sini ialah suatu kesatuan sosial yang diikat

oleh tali perkawinan yang sah, atau dapat dikatakan kelompok orang yang ada

hubungan darah atau perkawinan dan yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah

bapak, ibu, dan anak-anaknya.1

1. Keluarga Berencana

Keluarga berencana adalah pasangan suami istri yang telah mempunyai

perencanaan yang konkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir dan

pasangan suami istri tersebut juga merencanakan beberapa anak yang dicita-citakan,

1 A. W. Widjaja, Manusia Indonesia, Individu, Keluarga dan Masyarakat, (Jakarta:

Akademika Pressindo, 1986), hal. 5.

Page 23: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

16

yang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan situasi kondisi masyarakat dan

negaranya.2

Jadi keluarga berencana dititikberatkan pada perencanaan, pengaturan, dan

pertanggungan jawaban orang terhadap anggota-anggota keluarganya, berbeda

dengan istilah birth control yang artinya pembatasan/penghapusan kelahiran.3 Jika

dilihat dari definisi keluarga berencana seperti tersebut di atas maka tidak ada alasan

kita menolaknya. Hanya sekarang yang dipermasalahkan cara pelaksanaan keluarga

berencana dimana dari sebagaian prakteknya ada cara-cara yang dilarang oleh agama

(Islam), misalnya vasektomi dan tubektomi.

Keluarga berencana di Indonesia selain untuk kepentingan Nasional juga

berkaitan erat dengan kepentingan pribadi dari suami isteri. Sebagai kepentingan

Nasional sebab keluarga berencana oleh Pemerintah dimaksudkan untuk menekan

laju pertambahan penduduk. Kalau keluarga berencana berhasil berarti Pemerintah

akan lebih mudah menanggulangi masalah kependudukan yang semakin rumit,

masalah sandang, pangan, perumahan, penanggulangan, kependudukan akan mudah

diatasi jika program keluarga berencana berhasil dilaksanakan.

Setelah kita mengetahui betapa pentingnya keluarga berencana, baik untuk

kepentingan pribadi maupun demi kepentingan umum, dalam upaya mendukung

program pemerintah, maka kita tidak perlu lagi menyaksikan atau ragu-ragu menjadi

2 Aminudin Yakub, Kb Dalam Polemik: Melacak Pesan Substantif Islam, (Jakarta: Pusat

Bahasa dan Budaya, UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hal. 24.

3 Masjfuk Zuhdi, Islam dan Keluarag Berencana di Indonesia, (Surabaya : PT Bina Ilmu,

1986), cet. V, hal. 40.

Page 24: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

17

peserta keluarga berencana. Hanya saja untuk menjadi peserta keluarga berencana

harus berpijak pada tiga dasar yaitu:

a. Tidak hanya dengan cara yang bertentangan dengan ajaran agama (Islam).

b. Tidak menggangu dan merusak hubungan suami isteri.

c. Mendapat izin dari suami atau dari isteri.

Keputusan ikut dan tidaknya menjadi keluarga berencana ada sepenunya

ditangani suami isteri, tetapi ada juga yang berdasarkan nasehat dokter. Menurut

Nasaruddin Latif menjelaskan bahwa usaha-usaha keluarga berencana di Negara-

negara Demokrasi dijalankan secara sukarela.4

Mengenai keluarga berencana yang dijalankan oleh seseorang untuk

membatasi jumlah anak dalam rumah tangganya, memang boleh dan tidak mengapa

selama tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Perinsip yang demikian ini, khusus

sifatnya bukanlah menjadi ukuran bagi seluruh umat Islam. Jika mempergunakan

suatu cara untuk mencegah kehamilan karena ini merupakan perbuatan khusus antara

suami isteri yang bersifat darurat.5

Keluarga berencana salah satu bentuk yang ditempuh untuk mengatasi

masalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, cara pengaturan kelahiran

(fertilitas) dengan tujuan mencapai suatu kelurag (ayah, ibu, dan anak) yang sehat,

baik fisik dan mental maupun sosial ekonomis. Dalam tujuan keluarga berencana

4 Nasaruddin Latif, KB Dipandang Dari sudut Hukum Islam, (Jakarta : BKKBN, 1972), hal.

16.

5 Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani, Etika Dalam Rumah Tangga Islam, (Surabaya : PT.

Bungkur Indah), hal. 154.

Page 25: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

18

tersebut terdapat kemaslahatan, yaitu kesejahteraan materiil dan s[iritual. Dalam

pengertian ini, keluarga berencana adalah salah satu bentuk usaha menyiapkan

generasi yang tanggung. Dengan demikian, selama cara yang ditempuh untuk

mencapai tujuan itu dapat dibenarkan ajaran Islam. Allah SWT berfirman :

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang

mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu

hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka

mengucapkan Perkataan yang benar”. (Q.S. An nisaa : 9).6

Tujuan keluarga berencana itu dicapai dengan, misalnya menghindari

kehamilan yang tidak atau belum diinginkan, mengatur jarak kehamilan, serta

mengatur waktu kehamilan dan persalinan agar terjadi pada usia terbaik bagi ayah

serta ibu. Meskipun tujuannya baik, tidak semua cara untuk mencapai tujuan itu

diperkenankan oleh Islam.7

Motivasi keluarga berencana dapat diberikan dengan berbagai cara, akan

tetapi diharapkan caranya itu adalah yang mudah dan dapat diterima oleh rakyat

banyak. Jika selama ini dari berbagai macam segi sudah mendukung, bagaimanapun

agama diharapkan dapat memberikan motivasi kea rah sukesnya bangsa kita hidup

6 Al-Qur‟an dan Terjemahnya.

7 Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan Dasar

(Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 2005), hal. 27.

Page 26: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

19

beragama, serta selalu mengaitkan seluruh permasalahan hidup mereka dengan aspek

keagamaan.

Pelaksanaan keluarga berencana, harus diarahkan pada pembinaan keluarga

sebagai suatu alternatif untuk mencapai kesejahteraan keluarga. Alasan pelaksanaan

keluarga berencana dalam hubungan ini adalah :

a) Kesehatan dan kemampuan ibu.

b) Kemampuan riil ekonomi orang tua atau rumah tangga.

c) Pendidikan anak-anak atau masa depan keluarga.8

Keluarga berencana mempunyai kepentingan vital, bagi keluarga khususnya,

dan bagi Negara umumnya. Dasar utama bagi suatu keluarga adalah kesadaran yang

tumbuh atas kepentingan kesehatan, juga kesejahteraan. Sebagai salah satu upaya

mengurangi lajunya pertambahan penduduk di Indonesia. Keluarga berencana

mengandung pengertian usaha penjarakan kelahiran, atas dasar untuk mencapai

kemaslahatan. Dengan demikian harus dapat ditingkatkan kesadaran di kalangan

masyarakat secara meluas bahwa tujuan keluarga berencana adalah suatu langkah

untuk memperkaya manusia, dan bukan menguranginya.

Jelasnya tujuan program keluarga berencana adalah :

1. Memelihara kesehatan ibu dan anak, baik fisik maupun psychis dalam arti yang

luas.

8 BKKBN, Keluarga Berencana Ditinjau Dari Segi Agama-agama Besar di Dunia, (Jakarta :

BKKBN, 1982), cet. IV, hal. 7.

Page 27: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

20

2. Mengatur kehamilan dan kelahiran sesuai dengan kemampuan manusia yang

terbatas.

3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hakikat dan tanggung jawab

keluarga.9

2. Sterilisasi

Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi (pada

umumnya) agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Dengan demikian sterilisasi

berbeda dengan cara/alat kontrasepsi yang pada umumnya hanya bertujuan untuk

menghindari atau menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja.

Sterilisasi pada pria disebut vasektomi (vas ligation) yaitu operasi pemutusan

atau pengikatan saluran/pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma)

dengan kelenjar prostate (gudang sperma), sehingga sperma tidak dapat mengalir ke

luar penis (uretra). Sterilisasi pada lelaki merupakan operasi ringan, tidak

memerlukan perawatan di rumah sakit dan tidak mengganggu kehidupan seksualnya.

Lelaki tidak kehilangan sifat kelakiannya karena operasi.

Sedangkan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi (tuba ligation), yaitu

operasi pemutusan hubungan saluran/pembuluh sel telur (tuba falopii) yang

menyalurkan ovum dan menutup kedua ujungnya, sehingga sel telur tidak dapat ke

luar dan memasuki rongga rahim; sementara itu sel sperma yang masuk ke dalam

9 Lembaga Kemaslahatan Kelurga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, Membina Kemaslahatan

Keluarga, (Jakarta : BKKBN, 1982), hal. 9.

Page 28: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

21

vagina wanita itu tidak mengandung spermatozoa sehingga tidak terjadi kehamilan

walaupun coitus tetap normal tanpa gangguan apapun.10

Meskipun sterilisasi merupakan tindakan untuk memandulkan wanita atau

pria, tetapi tidak dapat disamakan pengertiannya dengan istilah infertilitas; karena

istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut :

Infertilitas (kemandulan) menyatakan berkurangnya kesanggupan untuk

berkembang biak, tanpa melalui proses operasi.11

Jadi perbedaannya adalah sterilisasi merupakan pemandulan dengan cara yang

disengaja, tetapi infertilitas merupakan kemandulan yang tidak disengaja. Maka dapat

diketahui bahwa infertilitas (kemandulan) menjadi dua macam; yaitu:12

1. Infertilasi primer, adalah kemandulan yang sama sekali tidak pernah hamil.

2. Infertilitas sekunder, adalah keadaan wanita yang sudah pernah hamil, lalu

menjadi mandul karena factor umur yang sudah lanjut.

Dilaksanakannya sterilisasi karena dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain :

a. Indikasi Medis yaitu biasanya dilakukan terhadap wanita yang mengidap penyakit

yang dianggap dapat berbahaya baginya, misalnya:

1) Penyakit Jantung;

10 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Hadistah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum

Islam, (Surabaya : . PT RajaGrafindo Persada, 1996), ed. I, cet., I, hal. 53.

11

Bagian Obstetri dan Ginelogi Fak. Kedokteran UNPAD, Teknik Keluarga Berencana

(Peranan Kesuburan), (Bandung : Pen. Elstas, 1980), hal. 152.

12

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,

(Jakarta : Kalam Mulia, 2003), cet. Pertama, hal. 69.

Page 29: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

22

2) Penyakut ginjal;

3) Hypertensi dan sebagainya.

b. Sosio Ekonomi yaitu biasanya dilakukan, karena suami isteri tidak sanggup

memenuhi kewajiban bila mereka melahirkan anak, karena terlalu miskin.

c. Permintaan Sendiri yaitu dilakukan, karena permintaan oleh yang bersangkutan,

meskipun ia tergolong mampu ekonominya. Karena mungkin isteri atau suaminya

ingin mengarahkan kegiatan-kegiatannya yang lebih banyak di luar rumah

tangganya, maka ia tidak mempunyai anak.

Ada beberapa cara yang sering dilakukan dalam proses sterilisasi wanita,

antara lain :13

a. Cara Radiasi yaitu merusak fungsi ovarium, sehingga tidak dapat lagi

menghasilkan hormon-hormon yang mengakibatkan wanita menjadi menopause.

b. Cara Operatif yang terdiri dari beberapa teknik, antara lain :

1) Ovarektomi yaitu mengangkat atau memiringkan kedua ovarium, yang

efeknya sama dengan radiasi.

2) Tubektomi yaitu mengangkat seluruh tuba agar wanita tidak bisa lagi hamil,

karena saluran tersebut sudah bocor.

3) Ligasi Tuba yaitu mengikat tuba, sehingga tidak dapat lagi dilewati ovum

(sel-sel telur).

13 Ibid., hal. 70.

Page 30: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

23

c. Cara Penyubambatan Tuba yaitu menggunakan zat-zat kimia untuk menyumbat

lubang tuba dengan teknik suntikan.

Mengenai cara yang biasa dilakukan dalam proses sterilisasi pria adalah

vasektomi dengan teknik membedah dan membuka vas (bagian dalam buah pelir),

kemudian diikat atau dijepit, agar tidak dilewati lagi sperma.

Dari berbagai cara yang dilakukan oleh Dokter Ahli dalam upaya sterilisasi,

baik yang dianggapnya aman pemakaiannya, maupun yang penuh resiko,

kesemuanya dilarang menurut ajaran Islam karena mengakibatkan seseorang tidak

mempunyai anak lagi.

Pemandulan yang dibolehkan dalam ajaran Islam adalah sifatnya berlaku pada

waktu-waktu tertentu saja (temporer) atau istilah يلخب menurut istilah Agama, bukan

yang sifatnya selama-lamanya atau يؤبدا menurut istilah tersebut. Artinya, alat

kontrasepsi yang seharusnya dipakai oleh isteri atau suami dalam ber-KB, dapat

dilepaskan atau ditinggalkan, bila suatu ketika ia menghendaki anak lagi. Maka alat

kontrasepsi berupa sterilisasi dilarang digunakan dalam Islam, karena sifatnya

pemandulan untuk selama-lamanya, kecuali alat itu dapat disambung lagi, sehingga

dapat disaluri ovum atau sperma, maka hukumnya boleh, karena sifatnya sementara.

Tetapi kalau kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa, sehingga

diadakan hal yang tersebut, menurut hasil penyelidikan seorang dokter yang

terpercaya, baru dibolehkan melakukannya, karena dianggap dharurat menurut Islam.

Sedangkan pertimbangan dharurat, membolehkan melakukan hal yang dilarang

Page 31: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

24

sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi: “Keterpaksaan dapat

memperbolehkan memperoleh hal yang dilarang”.14

B. Alat-alat Kontrasepsi sebagai sarana Pelaksanaan Keluarga Berencana

Perencanaan keluarga berencana merujuk kepada penggunaan metode-metode

kontrasepsi oleh suami istri atas persetujuan bersama diantara mereka, untuk

mengatur kesuburan mereka dengan tujuan untuk menghindari kesulitan kesehatan,

kemasyarakatan, dan ekonomi, dan untuk memungkinkan mereka memikul tanggung

jawab terhadap anak-anaknya dan masyarakat. Ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Menjarangkan anak untuk memungkinkan penyusuan dan penjagaan kesehatan

Ibu dan anak;

b) Pengaturan masa hamil agar terjadi pada waktu yang aman;

c) Mengatur jumlah anak, bukan saja untuk keperluan keluarga melainkan juga

untuk kemampuan fisik, financial, pendidikan, dan pemeliharaan anak.

Menurut aturannya, pilihan semacam itu harus merupakan sukarela tanpa

paksaan hukum yang menetapkan jumlah anak perkeluarga.15

Dewasa ini, untuk keperluan yang dirasakan mendesak, banyak pelaksanaan

Keluarga Berencana yang efektif. Menurut istilah fikih semuanya dapat dianalogikan

(dikiaskan) kepada dua cara yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW,

14 Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, (Bandung : Rajawali, 1983), jilid II,

hal. 143.

15

Abd. Al-Rahim „Umran, Islam dan KB, (Jakarta : Lentera 1997), cet. I, hal. XXVii.

Page 32: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

25

yang satu diperbolehkan oleh ajaran Islam dan yang lainnya di haramkan. Yang

dibolehkan oleh agama Islam adalah cara yang bersifat sementara. Sebagai contoh,

senggama terputus („azl atau coitus interuptus), yaitu suatu cara menghindari

kehamilan dengan menarik keluar zakar pria dari lubang kemaluan wanita sebelum

air mani keluar. Cara ini diperkenankan oleh ajaran Islam. Dalam sebuah hadits Nabi

SAW yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:

كبعسل عهى عدرسل الله عهي انصلاة انسلاو : ع جببررضى الله ع لبل

.يخفك عهي. انمرا يسل نكب شيئبيى ع نببع انمرا

.فبهغ ذنك رسل الله عهي انصلاة انسلاو فهى يب ع: نسهى

Artinya : “Dari Jabir ra ia berkata, “Kami melakukan „azl pada zaman

Rasulullah SAW, dan al-Qur‟an masih diturunkan, jika ia

merupakan sesuatu yang dilarang, niscaya al-Qur‟an

melarangnya kepada kami”. (Muttafaq Alaihi).

Menurut riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi SAW dan

beliau tidak melarangnya pada kami.

Mengenai hadist di atas yang di riwayatkan oleh Muslim, dimaksudkan

kepada penghindaran kehamilan melalui senggama terputus bersifat sementara (al-

„azl). Apabila suami isteri sudah merasakan adanya kebutuhan untuk mendatangkan

kehamilan, maka dengan serta merta mereka dapat meninggalkan praktek senggama

terputus itu, maka cara Keluarga Berencana yang lain (yang bersifat sementara) juga

diperkenankan oleh ajaran Islam. Cara-cara itu diantaranya adalah pantang berkala,

yaitu usaha menghindari kehamilan dengan melakukan “puasa” pada masa subur

Page 33: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

26

seorang wanita; cara kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat, dan juga cara

kontrasepsi dengan cara efektif, tetapi sementara.

Pemakaian alat-alat seperti spiral, IUD atau Diafragma, kondom, dan lain

sebagainya dalam rahim seorang wanita atau pada kemaluan seorang pria, tidak

diperbolehkan kecuali jika dipasang sendiri atau dipasang oleh suami atau istrinya

sendiri karena melihat atau menjamah aurat orang lain, terutama kemaluannya,

dilarang oleh syari‟at Islam.16

Allah SWT berfirman:

.

….

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah

mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;

yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah

kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan

pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka

Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari

padanya ….” (QS. An Nuur : 30-31).

Adapun sarana atau metode yang diharamkan oleh ajaran Islam adalah cara

yang sifatnya permanent. Sehingga cara pelaksanaan keluarga berencana seperti ini

dapat disebut sebagai pengebirian pada masa Nabi dan tindakan ini tidak dibenarkan

oleh ajaran Islam. Adapun tindakan pengebirian itu dalam pelaksanaan keluarga

berencana dapat dikiaskan atau disamakan dengan sterilisasi, yaitu pemandulan

16

Artikel diakses pada tanggal 08 September 2010 dari http://ratnarespati.com/2009/01/30/

kb-halal-atau-haram.

Page 34: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

27

dengan cara operasi, sehingga praktis dengan demikian hubungan kelamin pria dan

wanita tidak akan membuahkan kehamilan lagi. Sterilisasi pada pria disebut

vasektomi dan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi. Di samping itu, vasektomi

dan tubektomi juga dilarang karena mengubah fitrah kejadian manusia.

Bagi umat Islam, vasektomi dan tubketomi hanya diperbolehkan jika

pelakunya dihadapkan pada pilihan tunggal, yakni hanya dengan upaya ini

keselamatan ibu akan terjamin. Misalnya, apabila seorang ibu melahirkan kembali,

sangat boleh jadi dalam kelahiran itu akan terjadi kematian si ibu.

Cara lain yang juga diharamkan dalm Islam adalah pengguguran karena pada

dasarnya janin di awal kelahiran adalah manusia juga. Melakukan pengguguran

berarti melakukan pembunuhan terhadap manusia. Islam memang melarang

pembunuhan, secara lebih khusus disebutkan di dalam Al-Qur‟an sebagai berikut:

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut

kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan

juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu

dosa yang besar”. (QS. Al-Israa : 31).

C. Macam-macam Alat Kontrasepsi

Mengenaia macamnya, alat-alat kontrasepsi banyak sekali, tetapi penulis akan

membatasi penyebutannya hanya pada yang lazim di pakai orang terutama di

Indonesi.

Page 35: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

28

Alat kontrasepsi dapat di bagi atas:

1. Cara Kontrasepsi Sederhana:

a. Tanpa memakai alat atau obat, yang disebut dengan cara tradisional :

Senggama Terputus

Senggama terputus/‟azl/coitus interuptus artinya menarik zakar

sebelum terjadinya pancaran sperma, di sini senggama tidak lengkap,

terputus, maka ini dinamakan senggama terputus, yang lazim disebut

coitus interuptus.17

Pantang Berkala

Pantang berkala yaitu usaha menghindari kehamilan dengan

melakukan “puasa” pada masa subur seorang wanita.18

Perlu diingat metode ini dapat dilakukan jika perempuan memliki

daur menstruasi yang cukup teratur, perlu diketahui tidak semua

perempuan memiliki daur menstruasi sendidri-sendiri. Karena itu sangat

dianjurkan untuk meminta petunjuk medis yang bisa membantu

menentukan masa subur kita.19

17

A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, Indonesia : Keluarga Berencana Ditinjau Dari Hukum

Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1406 H-1986 M), cet. I, hal. 6.

18

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan

Pernikahan Dalam Islam, (Jakarta : BKKBN, 1988), hal. 21.

19

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002, Membantu Remaja Memahami Dirinya.

hal. 63.

Page 36: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

29

b. Memakai alat atau obat

Kondom

Kondom adalah kentung karet yang sangat tipis dan dipakai untuk

menutup zakar sehingga yang keluar tidak mencapai vagina.20

Metode ini dinilai bermanfaat baik untuk mencegah kehamilan maupun

untuk mencegah penularan penyakit menular seksual jika dipergunakan

dengan cara yang benar. Jika perempuan tidak yakin apakah dia berada

pada masa tidak subur, maka kondom bisa digunakan sebagai dua

pelindung ganda untuk mencegah kehamilan.21

Diafragma atau cap

Diafragma atau cap menutupi cervix (Mulut Rahim) dari bawah

sehingga sel mani tidak dapat memasuki saluran cervix, biasanya dipakai

bersamaan dengan spermatisida.22

Diafragma terbuat dari karet tipis halus dengan pinggiran kuat tetapi

plexibel, dimasukkan dengan jari tangan ke dalam vagina sampai

menutupi lubang rahim. Dengan demikian dicegah masuknya sperma ke

dalam rahim sehingga tidak terjadi pembuahan.

20

Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan Dasar

(Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 2005), hal. 28.

21

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002, op. cit, hal. 65.

22

A. Rahmat Rosyadi Soeroso Dasar, op. cit., hal. 18.

Page 37: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

30

Diafragma bisa dipasang beberapa jam setelah coitus, dan pemakainya

tidak merasakan kalau memakai diafragma. Diafragma dikeluarkan dari

rahim selambat-lambatnya 2 jam setelah coitus, dicuci dan dikeringkan,

dan bisa dipakai lagi.

Cream, Jelly dan Cairan Berbusa

Cream, Jelly dan Cairan Berbusa yang disebut juga spermicide, adalah

suatu bahan kimia yang menghentikan gerak atau melumpukan

spermatozoa di dalam vagina, sehingga tidak bisa membuahi telur.

Bahan kimia yang aktif ini berbentuk tablet, foam (busa) atau cream

yang harus di tempatkan di dalam vagina setinggi mungkin dekat cervix.

Cream dan foam juga bertindak sebagai penghalang spermatozoa yang

masuk ke dalam cervix.23

Tablet Berbusa (vaginal tablet)

Vaginal tablet adalah tablet yang dimasukkan ke dalam vagina

sedalam mungkin 2-10 menit sebelum coitus. Vaginal tablet mengandung

bahan-bahan kimiawi yang dapat membunuh sel sperma dan dapat

menutup lubang rahim.

23 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan

Pernikahan Dalam Islam, (Jakarta : BKKBN, 1988), hal. 18.

Page 38: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

31

Vaginal tablet kadang-kadang menimbulkan rasa tidak enak pada

vagina (rasa panas dan sebgainya), tetapi tidak berbahaya. Efektifitas

vaginal tablet cukup tinggi.24

2. Cara Kontrasepsi dengan metode efektip :

a. Tidak Permanen :

Pil atau Oral Pill

Orall pill dapat mencegah masaknya sel telur dari ovarium, jadi

mencegah terjadinya ovulasi, sehingga tidak ada sel telur yang masak atau

dibuahi. Sekalipun ada side effect, penggunaan orall pill ini sangat efektif.

Tidak semua orang boleh menggunakan orall pill. Orang-orang dengan

penyakit tertentu dilarang menggunakan orall pill, misalnya penyakit

darah tinggi, ginjal, asma, kanker pada buah dada/rahim, penyakit gula.

Suntikan

Dengan jalan menyuntikkan preparat-preparat tertentu ke dalam tubuh

sehingga mencegah terjadinya ovulasi, yang mekanisme bekerjanya

menyerupai orall pill, hanya cara memasukkannya ke dalam tubuh

memulai suntikan. Penggunaan cara ini harus dengan petujuk dokter.25

24

Ibid., hal. 26.

25

Ibid., hal. 27.

Page 39: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

32

IUD (Intra Uterine Device) atau AKDR (Alat Kontrsasepsi Dalam Rahim)

IUD atau alat kontrasepsi dalam rahim adalah suatu alat kontrasepsi

yang dipasang pada rahim wanita untuk mencegah suatu kehamilan. IUD

sudah dikenal oleh orang sejak dulu sebagai alat kontrasepsi yang efektif

dan ekonomis.

Di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama spiral, karena

memang bentuknya seperti spiral. Benda ini yang dibuat dari bahan plastik

polythelene dipasang ke dalam rahim sehingga mencegah bertemunya

sperma dengan telur perempuan.

IUD dipasang 3 bulan setelah melahirkan atau 2-3 hari setelah selesai

haid. Pemasangannya dilakukan oleh tenaga terlatih, dan harus dikontrol

secara teratur pada saat-saat tertentu.

Dengan alat ini bisa timbul akibat samping, seperti pendarahan, mulas-

mulas, alat keluar spontan, tetapi pada umumnya tidak berbahaya dan

jumlahnya sangat kecil.26

b. Permanen :

Tubektomi (sterilisasi untuk wanita)

Tubektomi yang dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui

operasi rongga perut atau melalui vagina, telur ovarium tidak adapt

26

Ibid., hal. 42.

Page 40: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

33

mencapai rongga rahim, sehingga dengan demikian tidak dapat terjadi

pembuahan.

Vasektomi (sterilisasi untuk pria)

Dengan oprasi ringan dan mati rasa setempat (lokal anesthasi) dapat

dilakukan vasektomi. Operasi ini membutuhkan waktu kira-kira 10 menit

dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.27

27

A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, op. cit., hal. 52.

Page 41: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

34

BAB III

PANDANGAN UMUM TENTANG KOMISI FATWA MUI

A. Latar Belakang Komisi Fatwa MUI

Sejalan dengan dinamika sosial keagamaan pada masyarakat, berkembang

pula berbagai masalah di seputar fiqh, yang sebagian besar belum terserap dalam

pemikiran hukum para ulama.1 Terhadap masalah-masalah yang biasa disebut dengan

masa‟il fiqhiyah al-haditsah. Para ulama sejatinya telah memiliki mekanisme

institusional yang digunakan untuk memecahkan problematika tersebut.

Keberadaan Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dipandang sangat penting, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala

permasalahan hukum Islam yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang

dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Tugas mulia yang ditempuh Komisi Fatwa,

yakni memberikan fatwa, bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh

setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung resiko berat yang kelak

dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan pekerjaan

tersebut adalah menjelaskan hukum Allah SWT. kepada masyarakat yang akan

mempedomani dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika

hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ (Fatwa) dan menetapkan

1 Jaih Mubarok, Metode Pengambilan Keputusan Hukum Bahtsul Masa‟il NU, (Ciamis:

LPPIAID, 2004), hal. 480.

Page 42: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

35

sejumlah prinsip, Adab (kode etik), dan persyaratan sangat ketat berat yang harus

dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa.

Diantara prinsip dan persyaratan tersebut ialah bahwa seorang mufti (orang

yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut

dalil-dalilnya.2 Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya dengan dugaan-dugaan semata

tanpa didasari pada dalil. Tegasnya, setiap yang menyatakan suatu hukum haruslah

menunjukkan dalilnya baik dari Al-qur‟an, Hadits nabi, maupun dalil hukum lainnya.

Komisi Fatwa adalah salah satu komisi yang ada di MUI disamping komisi

lainnya seperti Komisi Ukhuwah, Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga,

Pengkajian dan Pengembangan, Dakwah, Pengembangan Pendidikan Islamiyah, luar

negeri, Ekonomi Islam, dan Kerukunan Antar Umat Beragama.

Komisi Fatwa MUI mempunyai beberapa program umum. Salah satu program

tersebut diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan, seperti penyempurnaan pedoman

mekanisme kerja (tata kerja); penyempurnaan pedoman penetapan fatwa;

penyempurnaan pedoman penetapan sertifikat halal; dan mengupayakan terbentuknya

peraturan perundang-undangan tentang pengawasan produk-produk halal (yang telah

mendapat sertifikat halal MUI).3

Termasuk dalam program umum komisi fatwa ini adalah pengkajian dan

pengembangan masalah-masalah syari‟ah (Hukum Islam). Program tersebut

2 Yusuf al-qardhawy, Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub (Terj), (Jakarta, Pustaka Al-

Kautsar, 1996), hal. 32.

3 Majlis ULama Indonesia, Mimbar Ulama, (Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 2000), hal. 7.

Page 43: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

36

diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan pengkajian dan penetapan fatwa masalah

aktual yang diperlukan fatwanya, terutama yang dimintakan fatwa oleh masyarakat

maupun pemerintah, seperti tentang cash wakaf, hal-hal yang berkaitan dengan Haji.

Jenis kegiatan lainnya adalah mengkaji ulang fatwa-fatwa MUI terdahulu yang

dipandang perlu ditinjau dan dimantapkan, misalnya fatwa tentang kepeloporan

pejabat dalam melaksanakan ibadah dan jenis kegiatan yang ketiga adalah

menyelenggarakan muzakarah/seminar/loka karya nasional tentang masalah-masalah

aktual.

Jenis kegiatan keempat adalah melakukan penelitian terhadap kehalalan

makanan, minuman, bentuk obat-obatan dan kosmetika produk luar negeri, baik yang

belum memperoleh sertifikat halal maupun sudah namun masih diragukan. Kelima

adalah melakukan penelitian tentang respon masyarakat terhadap fatwa-fatwa MUI.

Keenam adalah mengusahakan agar fatwa-fatwa MUI baik pusat maupun daerah

mempunyai kekuatan hukum positif.

Sosialisasi dan publik kasihasil fatwa adalah program umum komisi fatwa

yang menduduki posisi signifikan untuk mempengaruhi masyarakat. Jenis kegiatan

dari program tersebut berupa sosialisasi fatwa MUI daerah; melakukan pertemuan

dengan ormas-ormas Islam, lembaga legeslatif, eksekutif, dan yudikatif dalam

memasyarakatkan hasil-hasil fatwa; menerbitkan buku himpunan fatwa MUI; dan

mempublikasikan hasil-hasil fatwa melalui mimbar ulama dan media lain.

Page 44: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

37

B. Kedudukan Komisi Fatwa dalam Hukum Islam

Secara etimologi, kata fatwa berasal dari bahasa arab, merupakan bentuk

mashdar yang berarti jawaban pertanyaan, atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum

mengenai suatu kejadian sebagai jawaban atas pertanyaan yang belum jelas

hukumnya. Kata fatwa juga berarti memberikan penjelasan (al-Ibanah). Dikatakan

aftahu al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan kepadanya atau memberikan

jawaban atas persoalan yang di ajukan.

Sedangkan secara terminologis, fatwa adalah menerangkan hukum agama dari

suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa

(mustafi), baik perseorangan maupun secara kolektif, baik di kenal maupun tidak di

kenal.4

Fatwa berarti ketentuan yang berisi jawaban dari mufti tentang hukum

syari‟ah kepada pihak yang meminta fatwa. atau fatwa adalah jawaban resmi terhadap

pertanyaan atau persoalan penting yang menyangkut dogma atau hukum yang

diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.5

Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa

dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam

perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa

4 M. Asroru Ni‟am, disertasi Sadd Al-dzari‟ah dan Aplikasinya dalam Fatwa Majlis Ulama

Indonesai, hal. 82-83.

5 Catur Nopianto, skripsi Penerapan Fatwa MUI dalam Melahirkan Produk Halal, PMH

2006, hal. 13.

Page 45: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

38

terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syari‟iyah) menghadapi persoalan

serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak

tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secara

kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin

berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana ungkapan para

ulama: “Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang

timbul tidak terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan

permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”.

Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar

mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut. Salah satu syarat

menetapkan fatwa adalah harus memenuhi metodologi (manhaj) dalam berfatwa,

karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh

agama. Menetapkan fatwa yang didasarkan semata karena adanya kebutuhan (li al-

hajah), atau karena adanya kemaslahatan (li al-mashlahah), atau karena intisari

ajaran agama (li maqashid as-syari‟ah), dengan tanpa berpegang pada nushus

syar‟iyah, termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi).

Sebaliknya, kelompok yang rigid memegang teks keagamaan (an-nushus as-

syar‟iyah) dengan tanpa memperhatikan kemaslahatan (al-mashlahah) dan intisari

ajaran agama (maqashid as-syari‟ah), sehingga banyak permasalahan yang tidak bisa

dijawab, maka kelompok seperti ini termasuk kategori gegabah (tafrithi).

Page 46: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

39

Oleh karenanya, dalam berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara

harus tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya untuk

tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil hukum

yang jelas. Tapi di sisi lain juga harus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa

tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu

alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam.

Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga

dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa

yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang

dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya,

implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu

keniscayaan.

Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan

fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath‟i, Pendekatan

Qauli dan Pendekatan Manhaji.

a. Pendekatan Nash Qoth‟i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur‟an

atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat

dalam nash al-Qur‟an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak

terdapat dalam nash al-Qur‟an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan

dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.

Page 47: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

40

b. Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan

mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih

terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila

jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-

kutub al-mu‟tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika

pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena

sangat sulit untuk dilaksanakan (ta‟assur atau ta‟adzdzur al-„amal atau

shu‟ubah al-„amal) , atau karena alasan hukumnya („illah) berubah. Dalam

kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i‟adatun nazhar),

sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak

terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat

tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman. Apabila

jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth‟i dan juga

tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih

terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan

melalui pendekatan manhaji.

c. Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan

mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan

metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan

hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara

kolektif (ijtihad jama‟i), dengan menggunakan metode: mempertemukan

Page 48: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

41

pendapat yang berbeda (al-Jam‟u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih

akurat dalilnya (tarjihi), menganalogikan permasalahan yang muncul dengan

permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi)

dan istinbathi.

Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada

sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih

salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk

memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk

dijadikan pedoman bagi masyarakat. Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada

pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub

al-mu‟tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka

penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah

yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu‟tabarah.

Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula

kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-

syari‟ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab

permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan

umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.

Page 49: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

42

C. Komisi Fatwa Sebagai Lembaga Ijtihad MUI

1. Kedudukan dan Fungsi Komisi Fatwa

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tahun 1975 merupakan

wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Organisai ini di

bentuk dengan tujuan untuk mengamalkan ajaran Islam dan ikut serta mewujudkan

masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur dalam Negara Republik Indonesia.6

Sesuai dengan namanya, maka tugas Komisi Fatwa MUI adalah memberikan

nasehat-nasehat berupa fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan

dan kemasyakaratan terutama yang berhubungan dengan pembangunan nasional.

Komisi Fatwa dan Hukum dibentuk sejak pertama kali MUI didirikan yaitu pada

tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395). Tugas memberikan fatwa bukanlah pekerjaan

mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang karena kelak akan

dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan dari pemberian

fatwa itu adalah menjelaskan hukum-hukum Allah kepada masyarakat yang akan

mempedomani dan mengamalkannya. Maka tidak mengherankan jika hampir seluruh

kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ dan menetapkan sejulah persyaratan

yang harus dipenuhi oleh orang yang akan mengeluarkan fatwa. Seorang mufti harus

memahami hukum Islam secara mendalam beserta dalil-dalilnya baik dari al-Quran,

hadist maupun dalil hukum lainnya.

6 Majlis Ulama Indonesia, Muqaddimah Pedoman dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,

(Jakarta: Sekretariat MUI, 1986), hal. 26.

Page 50: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

43

Oleh karena itu, kiranya dapat dimaklumi apabila ada kesan bahwa komisi

fatwa kurang produktif atau agak lamban dalam merespon persoalan yang muncul di

tengah-tengah masyarakat. Sebab untuk mengeluarkan sebuah fatwa, selain

keharusan menggali dalil-dalil hukumnya, Komisi Fatwa juga harus memperhatikan

situasi dan kondisi, sehingga fatwa tersebut benar-benar membawa kemaslahatan bagi

masyarakat dan sejalaan dengan tujuan pensyariatan hukum Islam (maqasid at-

tasyri‟), yaitu al-masalih al-„ammah atau kemaslahatan umum yang disepakati oleh

para ulama.7

2. Cara Kerja Pembuatan Fatwa

Sudah kerap kali bahwa dalam banyak hal MUI mengeluarkan fatwa-fatwa

untuk mengumumkan pendirian akhirnya mengenai persoalan-persoalan tertentu. Jika

sifat dan cara pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, peranan yang

dilakukan fatwa-fatwa itu bersifat secular. Fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk

mempersatukan pendapat kaum muslimin dan memberikan nasihat kepada

pemerintah tentang peraturan hukum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun

kebijakan tertentu.

Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh komisi fatwa MUI.

Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai

persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Pada waktu

pembentukannya tahun 1975, komisi ini mempunyai tujuh orang anggota, tetapi

7 Sambutan Ketua Komisi Fatwa dan hukum KH. Ibrahim Hosen dalam Himpunan Fatwa-

Fatwa MUI (Jakarta : Sekretariat MUI, 1997).

Page 51: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

44

jumlah itu dapat berubah karena kematian atau penggantian anggota; setiap lima

tahun sekali komisi itu diperbaharui melalui pengangkatan baru. Ketua komisi fatwa

secara otomatis bertindak selaku salah seorang wakil ketua MUI.

Persidangan-persidangan komisi fatwa diadakan menurut keperluan atau bila

MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai

persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan macam itu biasanya di

samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh undangan dari luar, terdiri

dari para ulama dan paraa ilmuwan sekular, yang ada hubungannya dengan masalah

yang dibicarakan. Untuk mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan hanya satu

sidang, tetapi adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang;

sebaliknya, dalam sekali persidangan ada pula yang dapat menghasilkan beberapa

fatwa, sepeti dalam masalah vasektomi (pemandulan), tubektomi, dan sumbangan

kornea mata.8

Fatwa-fatwa itu sendiri adalah berupa pernyataan-pernyataan, diumumkan

baik oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriah fatwa selalu sama,

dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah mengadakan siding pada tanggal

tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang

atau badan-badan tertentu.. kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil, yang

dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil-dalil itu berbeda

dalam panjang dan kedalamannya bagi masing-masing fatwa. Dalil bagi kebanyakan

8 Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa MUI (Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum

Islam di Indonesia 1975-1988 (edisi dwi bahasa), (Jakarta:INIS, 1993), hal. 79

Page 52: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

45

fatwa dimulai berdasarkan ayat Alquran disertai hadist-hadist yang bersangkutan

serta kutipan naskah-naskah fiqh dalam bahasa Arab. Dalil-dalil menurut akal

(rasional) juga diberikan sebagai keterangan pendukung. Setelah itu barulah

pernyataan sebenarnya dari fatwa itu diberikan dan hal itu dicantumkan pada bagian

akhir. Akan tetapi, dalam beberapa kejadian sama sekali tidak dicantumkan dalil-

dalilnya, baik yang dikutip dari ayat Alquran maupun yang menurut akal, melainkan

keputusan itu langsung saja berisi pernyataan fatwa, dimana dalil-dalil mungkin

sekali dapat ditemukan dalam catatan persidangan-persidangan. Pada bagian akhir

fatwa selalu ada tiga hal yang dicantumkan: tanggal dikeluarkannya fatwa, yang bisa

berbeda dengan tanggal diadakan sidangsidang, nama-nama para ketua dan anggota

komisi disertai tanda tangan mereka, dan nama-nama mereka yang telah menghadiri

sidang. Adakalanya tanda tangan ketua MUI dicantumkan pada fatwa bersangkutan,

bahkan telah terjadi pada satu fatwa ada dicantumkan tanda tangan Menteri Agama.

Cara lain untuk mewujudkan fatwa adalah dengan memperbincangkan soal itu

dalam konferensi tahunan para ulama yang diselenggrakan oleh MUI. Konferensi

semacam itu, yang dihadiri oleh jumlah yang lebih besar para ulama pada lingkungan

yang lebih luas, mengemukakan persoalan-persoalan yang memerlukan dibuatnya

fatwa, dan setelah beberapa persoalan dapat disetujui serta dilengkapi dalil-dalilnya,

kemudian mendaftar dan menyampaikan persoalanpersoalan kepada komisi fatwa,

yang selanjutnya kan mengumumkannya dalaam bentuknya yang biasa. Dengan

demikian para anggota komisi fatwa tidak usah memperbincangkannya lagi, karena

Page 53: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

46

persoalan-persoalannya sudah dirundingkan dalam sidang yang lebih besar.

Konferensi nasional para ulama pada tahun 1980 misalnya, mengemukakan persoalan

operasi pergantian kelamin, pernikahan antaragama dan gerakan ahmadiyyah.9

Kita beralih sekarang kepada Statuta MUI tentang metode pembuatan fatwa.

Ini pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian dalam Himpunan Fatwa

MUI 1995 dan 1997. Aturan saat ini dimulai dengan memperhatikan bahwa pada

periode 1975-1980 dan 1980-1985, fatwa-fatwa MUI ditetapkan oleh komisi fatwa

dan dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris komisi fatwa. Atas dasar siding pleno MUI

pada 18 Januari 1986, perubahan dalam prosedur itu diputuskan: keputusan yang

berkaitan dengan fatwa dari komisi fatwa selanjutnya diambil alih oleh pimpinan

pusat MUI dalam bentuk “Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa” yang dipimpin oleh

Ketua Umum dan sekretaris Umum bersama-sama dengan Ketua komisi fatwa MUI.

Petnjuk prosedur penetapan fatwa adalah sebagai berikut:

a. Dasar-dasar fatwa adalah:

a. Al-Qur‟an.

b. Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi).

c. Ijma‟ (kesepakatan pendapat para ulama).

d. Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi).

b. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:

a. Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.

9 Majlis Ulama Indonesia, Keputusan-Keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama

Indonesia, (Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1980), hal. 65.

Page 54: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

47

b. Pendapat imam mazhab mengenai hukum Islam dan pendapat para

ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiarn al-

Qur‟an.

c. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan metode

penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi

masyarakat Islam.

d. Ketika suatu masalah yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti

prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan

pertimbangan (ijtihad).

e. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai

berikut:

1. MUI berkaitan dengan:

1) Masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dengan

masyarakat Islam Indonesia secara umum.

2) Masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu yang

dianggap dapat diterapkan oleh wilayah lain.

2. MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang

sifatnya local dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan

MUI pusat dan komisi fatwa.

Page 55: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

48

f. Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri oleh para anggota Komisi Fatwa yang

telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi

dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.

g. Sidang Komisi Fatwa harus diselenggarakan ketika:

a. Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.

b. Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah,

lembagalembaga sosial dan masyarakat atau MUI sendiri.

h. Sesuai dengan aturan sidang Komisi Fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan

dengan masalah tertentu harus diserahkan Ketua Komisi Fatwa kepada

Ketua MUI nasional dan propinsi.

i. Pimpinan pusat MUI nasional/ propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu

ke dalam bentuk Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa.

Jelaslah dari ringkasan di atas bahwa sumber-sumber fatwa diatur secara

hierarkis. Seperti dalam Komisi Fatwa nasional dan propinsi. Sebagaimana akan kita

lihat pada praktiknya, fatwa MUI bersandar kepada nash Al-Quran dan hadist yang

disertakan dalam bererapa kasus, tetapi tidak semuanya, dengan rujukan kepada teks-

teks fiqih. Teks-teks tersebut selalu berasal dari mazhab Syafi‟i. Namun demikian,

kadang-kadang kita menemukan rujukan kepada karya-karya Timur-Tengah (Mesir)

kontemporer, khususnya karya-karya Syaltut dan beberapa karya lain yang kurang

dikenal.10

10

MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia (Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial), (Jakarta:

Teraja, 2002), hal. 93.

Page 56: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

49

3. Metode Istinbath Hukum MUI

Secara kelembagaan, Komisi Fatwa mengidentifikasikan diri sebagai mujtahid

yang berijtihad untuk menyelsaikan berbagai kasus yang berkenaan dengan hukum

Islam. Ijtihad yang dilakukan tergolong ijtihad jama‟i, karena mengandalkan

kemampuan ilmu yang secara kolektif memenuhi persyaratan sebagai mujtahid.

Dalam berijtihad, komisi ini menggunakan metode yang dipakai imam mujtahid

terdahulu, sepanjang metode tersebut masih relevan untuk diterapkan.

Dalam Pedoman umum penetapan Fatwa MUI dinyatakan bahwa setiap keputusan

fatwa harus mempunyai dasar-dasar dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang

mu‟tabarah serta tidak beertentangan dengan kemaslhatan umat. Apabila tidak

teradapat penjelasan dalam kedua sumber tersebut, maka keputusan fatwa tidak boleh

bertentangan dengan ijma‟ dan qiyas serta dalil-dalil hukum yang lain seperti ihtisan,

masalih mursalih dan saad az-zariah. Sebelum proses pengambilan keputusan terlebih

dahulu dilakukan peninjauan terhadap pendapatpendapat para imam mazhab.

Disamping itu, Komisi Fatwa juga mempertimbangkan pandangan para ahli dalam

membahas masalah yang akan diambil keputusan fatwanya.11

MUI menggunakan dan mendasarkan keputusannya pada ayat-ayat Qur‟an

dan Sunnah Nabi, tetapi pengambilan tersebut bukanlah pengambilan murni,

melainkan hanya meminjam argument-argumen yang ditulis oleh para imam mazhab.

Dengan kata lain, jika suatu mazhab menggunakan nas tersebut dan pendapatnya

11

Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Mui Tentang Pedoman Umum

Penetapan Fatwa Pasal 2 Yang Diterbitakan (Jakarta : Sekretariat MUI Pusat, 1997) hal. 5.

Page 57: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

50

dianggap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan ke-Indonesiaan. Dasar yang paling

menonjol sebenarnya adalah dasar maslahat. Maka kalau ada maslahat yang dianggap

bisa tercipta maka dicari mazhab yang menggunakan teori tersebut dan kemudian

diadopsi dengan cara menuliskan alasan-alasan mazhab yang bersangkutan.

Maka kebebasan mazhab yang ada dalam tubuh MUI sebenarnya lebih banyak

bermakna kebebasan memilih pendapat imam-imam mazhab daripada bebas dalam

arti melakukan ijtihad secara mandiri. Dalam kasus-kasus yang tidak ditemukan

pendapat imam dan mazhab tertentu, MUI secara tegas mendasarkan penetapan

fatwanya pada maslahat dan menghindari mafsadat.12

Berdasarkan hasil rumusan ijtihad Komisi Fatwa MUI, maka pola ijtihad

lembaga ini dapat dikelompokkan menjadi tiga:

1. Ijtihad fi al-mazhab. Ijtihad ini yang dilakukan apabila komisi

menghadapi suatu kasus yang ketentuan hukumnya pernah ditetapkan oleh

fuqaha terdahulu dengan melakukan penelitian terhadap wajh istidlal-nya.

Ijtihad ini dapat diterapkan selama kasus yang dihadapi masih relevan jika

diselesaikan dengan cara ijtihad fi al-mazhab.

2. Ijtihad tarjih. Penerapan ijtihad tarjih dilakukan apabila komisi menemui

suatu kasus yang ketentuan hukumnya pernah diputuskan oleh ulama

tersdahulu, tetapi dengan pendapat yang berbeda-beda. Apabila komisi ini

menghadapi hal ini, maka mereka menggunakan metode muqaranah

12

Khoiruddin Nasution., Metode Penetapan Hukum MUI, NU dan Muhammadiyyah, (Jakarta:

INIS, 2002), hal. 90

Page 58: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

51

(perbandingan) atau tarjih dengan cara memilih mana diantara pendapat

itu yang sesuai dengan tuntutan zaman serta membawa kemaslahatan

umat.

3. Ijtihad muntasib (mengikuti metode ijtihad yang ada) ijtihad muntasib

diterapkan secara jama‟i untuk memecahkan persoalan baru yang tidak

bisa diselesaikan dengan cara ijtihad fi al-mazhab maupun ijtihad tarjih.

Dalam melakukan ijtihad kolektif ini, komisi melakukan musyawarah tanpa

mengambil pendapat dari mazhab manapun, tetapi membahasnya secara khusus

dengan menghadirkan berbagai ahli sesuai dengan masalah yang dihadapi.

Page 59: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

52

BAB IV

ANALISA TERHADAP FATWA MUI TENTANG STERILISASI DITINJAU

DARI HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Sterilisasi Dari Aspek Hukum Islam

Islam bukan hanya agama. Ia juga merupakan sistem sosial, sebuah kultur dan

peradaban. Karena itu, ia mempunyai nilai-nilai, ideal-ideal, dan tujuan-tujuan yang

dipandang sebagai kulminasi dari kesempurnaan masnusia dalam seluruh aspek

kehidupan.

Legislasi Islam sangat komprehensif. Islam tidak hanya berurusan secara

ekslusif dengan masalah keimanan dan ibadah. Islam juga mengatur perilaku moral,

interaksi sosial, urusan muamalah, termasuk system perundang-undangan,

perpajakan, pembentukan keluarga, perkembangan komunitas, struktur sosial, dan

hubungan internasional.1

Dalam sejarah lembaga dan peraturannya, Islam menggugah akal dan

senentiasa selaras dengan fitrah (watak alami) manusia. Islam tidak pernah gagal

memperagakan kasih sayangnya yang besar pada pemeluknya, tidak pula ia hendak

menimpahkan beban yang tidak semestinya dan batasan yang tidak bertanggung

kepada mereka. Al Qur‟an menyatakan prinsip ini dengan sangat ringkas diantaranya

:

1 „Abd Al Rahim „Umran, Islam dan KB, (Jakarta : Lentera, 1997), cet. Pertama, hal. 68

Page 60: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

53

… …

Artinya : …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu…. (Q.S. Al Baqarah : 185).

… …

Artinya : …dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama

suatu kesempitan… (Q. S. Al Hajj : 78).

Artinya : Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan

manusia dijadikan bersifat lemah. (Q. S. An Nisa :28).

Jadi, Islam bersikap simpatik kepada perencanaan keluarga apabila kehamilan

yang jarang dan pengaturan jumlahnya akan membuat si ibu lebih bugar secara fisik

dan si ayah lebih panjang dalam urusan financial, terutama karena hal ini tidak

bertentangan dengan nas-nas yeng melarang secara tegas dalam Al Qur‟an atau dalam

sunnah Nabi. Sesungguhnya ada sesuatu ketetapan dasar dalam syari‟at Islam yang

menyatakan.

لاضرار (را يبنك اب يبج)لاضرر

Artinya : “Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan” (H.R. Malik

dan Ibnu Majah).2

Kontrasepsi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang diambil untuk

mencegah kemungkinan lahirnya keturunan. Tetapi, kontrasepsi tidak berarti tidak

2 Ibid. h. 69.

Page 61: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

54

terpenuhinya salah satu tujuan pernikahan, yiatu menghasilkan keturunan spesies

manusia.

Al Qur‟an tidak memuat pernyataan yang pasti dalam menyetujui atau

menentang kontrasepsi. Tetapi, secara eksplisit Al Qur‟an mengutuk pembunuhan

bayi, yang umumnya dilakukan pada bayi perempuan dan sering terjadi di Arab pada

zaman Pra-Islam.

Para Fuqaha menggunakan Al Qur‟an sebagai petunjuk untuk menentukan

apakah suatu masalah adalah:

Halal, yaitu sah menurut hukum.

Haram, yaitu tidak sah menurut hukum.

Mubah, yaitu dibolehkan atau pantas.

Makruh, yaitu tidak patut atau dibenci atau tidak pantas atau tidak dianjurkan.

Mandub, yaitu dianjurkan atau dipuji.

Jika mereka tidak menemukan di dalamnya pernyataan eksplisit yang dapat

diterapkan pada masalah yang sedang di bicarakan, mereka menggunakan hadits atau

sunnah Nabi untuk mencari keterangan.3

Ber-KB dengan cara sterilisasi yaitu vasektomi bagi pria dan tubektomi bagi

wanita, pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam karena telah

merusak organ tubuh dan mempunyai dampak negative yang lebih jauh apabila salah

satu suami/isteri meninggal. Kecuali karena darurat, misalnya salah seorang

3 Adb Fadl Mohsin Ebrahim, Isu-isu Biomedis Dalam Perspektif Islam, Aborsi Kontrasepsi,

dan Mengatasi kemandulan. (Bandung : Mizan, 1997), hal. 55.

Page 62: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

55

suami/isteri berpenyakit yang dapat menurun kepada calon anak dalam rahim

sehingga mengakibatkan anak cacat. Termasuk sterilisasi ini adalah pemandulan dan

pengebiriab (ikhtisha‟) non operasi.4

Sterilisasi pada hakekatnya adalah suatu metode Keluarga Berencana, yang

dengan steriliasi itu dapat dicegah kehamilan, sebagai alat kontrasepsi maka

sterilisasi dapat disejajarkan dengan alat kontrasepsi lainnya seperti IUD, Pil dan lain

sebagainya. Akhir-akhir ini ternyata banyak orang yang menggunakan sterilisasi

sebagai alat kontrasepsi untuk mencapai keluarga sejahtera.5

Sekian banyak cara pelaksanaan Keluarga Berencana, adalah sterilisasi yang

dilakukan dengan memotong atau mengikat kedua saluran telur wanita atau pada

saluran bibit pria dan mengakibatkan kemandulan yang permanent, karena sterilisasi

berbeda dengan alat-alat kontrasepsi lainnya, pada umumnya hanya bertujuan untuk

menghindari kehamilan untuk sementara waktu saja, sedangkan sterilisasi sekalipun

secara teori orang yang disterilisasikan masih bisa dipulihkan, tetapi para ahli

kedokteran mengakui harapan tipis untuk bisa berasil.

Pada dasarnya syari‟at Islam tidak membenarkan usaha pengaturan kehamilan

dengan cara sterilisasi karena akan menimbulkan ketidakmampuan menurunkan

keturunan, serta keluarga berencanan yang dikehendaki Islam adalah keluarga

4 Khuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta :

Pustaka Firdaus, 1996), buku kedua, hal. 153.

5 Azyumarsi Azra, ikhwal Kependudukan, Pelajaran Dari eropa, Panji Masyarakat: No 413,

(Jakarta : Nurul Islam, 1993), hal. 14.

Page 63: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

56

berencana dalam arti “membatasi kelahiran secara mutlak bagi setiap orang dalam

berbagai kondisi”. Oleh karena itu, sterilisasi apabila dilaksanakan hanya untuk

pencegahan kehamilan serta dijiwai niat segan mempunyai keturunan tanpa alasan

lain tidak dibolehkan Islam, karena tindakan sterilisasi itu tidak sesuai dengan

tinjauan terhadap keluarga berencana menurut pandangan Islam : “Ikhtiar manusia

untuk mengatur kelahiran diseimbangkan dengan kemampuan dan kesanggupan dan

bukan karena adanya rasa segan mempunyai anak”.6

Pengurus Besar Syuriyah Nahdhatul Ulama menyatakan :7

1. Keluarga Berencana harus diartikan sebagai pengaturan penjarangan kehamilan

untuk kesejahteraan ibu dan bukan untuk mencegah kehamilan untuk pembatasan

keluarga.

2. Keluarga Berencana harus didasarkan atas kepentingan kesejahteraan ibu dan

anak dan bukan karena katakutan akan kemiskinan, kelaparan dan sebagainya.

3. Keluarga Berencana tidak boleh dilakukan dengan menggugurkan kandungan.

4. Tidak diperbolehkan merusak dan atau menghilangkan bagian tubuh suami

maupun isteri yang bersangkutan.

Pimpinan Muhammadiyah pun berpendapat sebagai berikut :8

6 BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga Berencana,

(Jakarta : BKKBN, 1979), hal. 8.

7 Proyek Keluarga Berencana, Pedoman Penerangan Tentang KB, (Jakarta : Yayasan

Kesejahteraan Muslimat, 1974), hal. 8.

8 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Membina Keluarga Sejahtera, (Yogyakarta : Persatuan,

1971), hal. 45.

Page 64: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

57

Usaha memperkecil jumlah keturunan lebih-lebih untuk tidak mempunyai

keturunan sama sekali, dalam keadaan badan (tidak ada kekhawatiran apapun baik

atas dirinya ataupun anak keturunannya) adalah tidak sejalan dengan ketentuan naluti

manusia, maka oleh karena itu tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.

Selanjutnya dijelaskan :

Pencegahan kehamilan yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam ialah

sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat mempunyai anak dan

mempunyai keturunan atau dengan cara merusak/merubah organisme yang

bersangkutan, seperti memotong, mengikat, dan lain-lain.9

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa melakukan sterilisasi

diharamkan oleh Syari‟at Islam, namun Islam tidak menutup kemungkinan

membolehkan sterilisasi bila suatu keluarga memiliki alas an yang dapat dibenarkan

oleh kesehatan, demi kesehatan anggota keluarga terutama ibu dan anak serta adanya

kekhawatiran kesehatan jiwa berdasarkan keterangan dokter yang dapat dipercaya.

Dalam keadaan seperti itu dibenarkan menghindari terjadinya kehamilan, dan jika hal

itu berlangsung terus ketika hamilnya akan dapat membahayakan ibu atau anak.

Seperti yang dijelaskan oleh MUI :

Melakukan vasektomi (usaha mengikat/memotong saluran benih pria

(vasdiferens) sehingga pria itu tidak dapat menghamilkan), dan Tubektomi (usaha

mengikat/memotong kedua saluran telur, sehingga wanita itu pada umumnya tidak

dapat hamil lagi) bertentengan dengan hukum Islam (haram), kecuali dalam keadaan

9 Ibid., hal. 54.

Page 65: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

58

sangat terpaksa (darurat) seperti untuk menghindarkan penurunan penyakit dari

ibu/bapak terhadap anak keturunannya yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu

bila ia mengandung atau melahirkan lagi”.10

Dari berbagai cara yang dilakukan oleh Dokter Ahli dengan upaya sterilisasi,

baik yang dianggapnya aman pemakaiannya, maupun yang penuh resiko,

kesemuanya dilarang menurut ajaran Islam, karena mengakibatkan seseorang tidak

dapat mempunyai anak lagi.

Pemandulan yang dibolehkan dalam ajaran Islam, adalah yang bersifatnya

berlaku pada waktu-waktu tertentu saja (temporer) atau istilah يلخب menurut istilah

Agama, bukan yang sifatnya selama-lamanya atau يؤبرا menurut istilah tersebut.

Artinya, alat kontrasepsi yang seharusnya dipakai oleh isteri atau suami dalam ber-

KB, dapat dilepaskan atau ditinggalkan, bila suatu ketika ia menghendaki anak lagi.

Maka alat kontrasepsi berupa sterilisasi, dilarang digunakan dalam Islam karena

sifatnya pemandulan untuk selama-lamanya, kecauli kalau alat tersebut dapat

disambung lagi, sehingga dapat disalurkan ovum atau sperma, maka hukumnya

boleh, karena sifatnya sementara.

Tetapi kalau kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa, sehingga

diadakan hal tersebut, menurut hasil penyelidikan seorang dokter yang terpecaya,

baru dibolehkan melakukannya, karena dianggap dharurat menurut Islam.11

10

Musyawarah Nasional Ulama, Tentang Kependudukan Kesehatan dan Pembangunan,

(Jakarta : BKKBN, 1983), hal. 13. 11

DRS. H. Mahjuddin, M. Pd, Op. Cit, h. 69.

Page 66: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

59

Melakukan sterilisasi untuk mempertahankan jiwa dan menjaga keselamatan

ibu dan anak diperbolehkan, karena hal itu merupakan kebutuhan pokok manusia, dan

dharurat sifatnya. Kaedah Ushul Fiqh menjelaskan :

انضررة حبيح انحظراث

“Keterpaksaan dapat memperbolehkan memperoleh hal yang dilarang”.12

B. Fatwa MUI Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana

1. Deskripsi Masalah

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, pada 1979 telah menfatwakan bahwa

vasektomi/tubektomi hukumnya haram. Fatwa yang ditetapkan pada 13 Juni 1979 ini

diputuskan setelah membahas kertas kerja yang disusun oleh KH. Rahmatullah

Siddiq, KHM. Syakir, dan KHM. Syafi‟I Hadzami, yang menegaskan bahwa;

a. Pemandulan dilarang oleh agama;

b. Vasektomi/tubektomi adalah salah satu bentuk pemandulan;

c. Di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasektomi/tubektomi dapat

disambung kembali.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, kini vasektomi dapat

dipulihkan kembali pada situasi semula. Menyambung spermatozoa (vas deferen)

dapat dilakukan oleh ahli urologi dengan menggunaan operasi menggunakan

mikroskop. Namun, kemampaun untuk mempunyai anak kembali akan sangat

menurun tergantung lamanya tindakan vasektomi.

12

Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, Jilid II, Bandung 1983, h. 143.

Page 67: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

60

Vasektomi, yang dalam terminology BKKBN dikenal dengan istilah MOP

(Medis Operasi Pria) merupakan salah satu metode kontrasepsi efektif yang masuk

dalam system Program BKKBN. Kelebihan alat kontrasepsi ini adalah memiliki efek

samping sangat kecil, tingkat kegagalan sanagt kecil dan berjangka panjang.

Kalau dulu MOP dianggap permanent, bagaimana pandangan hokum islam terhadap

vasektomi/tubektomi dengan ditemukannya “rekanalisasi” (penyambungan ulang)?.

2. Ketentuan Hukum

MUI mengeluarkan fatwa diharamkannya sterilisasi, bahwasanya sterilisasi

(vasektomi/tubektomi) sebagai alat kontrasepsi KB sekarang ini dilakukan dengan

memotong salurang sperma. Hal itu berakibat terjadinya kemandulan tetap. Upaya

rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan

kembali yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa memutuskan

praktek vasektomi hukumnya haram.

3. Dasar Penetapan

Adapun dasar penetapannya, MUI menggunakan nash-nash yang bersumber

dari al-Qur‟an dan hadist Nabi serta kaidah-kaidah ushuliyyah didalam menetapkan

fatwa diharamkannya sterilisasi, diantaranya:

a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-An‟am[6] : 151 :

Page 68: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

61

Artinya : “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan

atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu

mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah

terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu

membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami

akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan

janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,

baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,

dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang

benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya

kamu memahami(nya). (QS. Al-An‟am[6] : 151).

b. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra[17]: 31

Artinya :“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut

kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka

dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah

suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra[17]: 31).

c. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Syura[42]: 50

Artinya :“Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan

perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia

menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya

Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Al-Syura[42]:

50).

d. Firman Allah SWT dalam QS. Al-An‟am[6]: 137:

Page 69: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

62

Artinya : Dan Demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah

menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu

memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk

membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka

agama-Nya[509]. dan kalau Allah menghendaki, niscaya

mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggallah mereka dan

apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An‟am[6]: 137).

e. Firman Allah SWT dalam QS. AL-Nisa‟[4]: 119:

Artinya : Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan

membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan

menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak),

lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh

mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka

merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi

pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita

kerugian yang nyata. (QS. AL-Nisa‟[4]: 119.

f. Hadis Nabi SAW

ى ؤسل الله صهى الله عهي سهى ع أدانببث عمق الأ يبث ع يع : ع انغيرة لبل

(401:2را انداريي ج )بث ع ليم لبل كثرة انسؤال إضبعت انبل

Artinya : “Dari Mughirah ra ia berkata: “Rasulullah SAW. Melarang

mengubur anak perempuan (hidup-hidup), durhaka pada

orang tua, menarik pemberian, berkata tanpa jelas sumbernya

Page 70: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

63

(hanya katanya-katanya), banyak meminta, dan

menghamburkan-menghamburkan harta. (HR. Al-Darimi)”.

g. Hadis Nabi SAW

سعج رسل الله عهي سهى يهع انخخصب انخفهجبث ان شبث : ع ب يسعد لبل

(را أحد)انلاحي يغير خهك الله Artinya : “Dari Ibn Masud ra ia berkata: Saya mendengar rasulullah

SAW. Melaknat perempuan yang memendekkan rambutnya,

membuat tato yang merubah ciptaan Allah”. (HR. Ahmad).

h. Kaidah Ushuliyyah:

اني ع انشي ءي ع سبئه Artinya :“Larangan terhadap sesuatu juga merupakan larangan

terhadapo sarana-sarananya”.

i. Kaidah Ushuliyyah:

انحكى يدر يع عهخ جدا عديب

Artinya : “Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya „illat”.

j. Kaidah Ushuliyyah:

لايكر حغير الأحكبو بخغير الأزيت الأيكت الأحال انعائد Artinya : “Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya

perubahan waktu, tempat, kondisi, dan kebiasaan”.

k. Penjelasan Prof. Dr/ Farid Anfasa Moeloek, Bagian Obteri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta dan penjelasan FUrqan

Ia Faried dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

Page 71: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

64

pada Halqah MUI tentang Vasektomi dan Tubektomi yang

diselenggarakan di Jakarta pada 22 Januari 2009.

C. Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga

Berencana.

Majelis Ulama Indonesia terdiri atas beberapa komisi dan salah satunya

adalah komisi fatwa. Komisi ini bertugas secara khusus memberi fatwa (ifta‟), baik

diminta atau yang sengaja diajukan dan disampaikan oleh MUI secara langsung

kepada umat.

Memberikan fatwa (ifta‟) bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan

oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit serta mengandung resiko berat yang

kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Hal ini mengingat tujuan

dari usaha tersebut adalah memberikan dan menjelaskan hukum Islam kepada

masyarakat yang akan mengikuti dan mengamalkananya. Oleh karena itu pada

hampir seluruh kitab Ushul Fiqh yang membicarakan masalah ifta‟, menetapkan

sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan persyaratan sangat ketat serta berat yang harus

dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa.

Pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk

mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-dasar

untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan singkat, adalah: alQuran, Sunnah, ijma‟

dan qiyas. Hal ini harus disusuli dengan penelitian pendapat imam mazhab yang ada

dan fuqaha, yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.

Page 72: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

65

Dalam buku pedoman itu, juga ada peraturan bahwa MUI bertanggung jawab untuk

mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah tentang kaum muslimin umumnya di

tanah air atau paling sedikitnya di lebih dari satu propinsi, dan majelis ulama daerah

bertanggung jawab atas pengeluaran fatwa mengenai masalah-masalah setempat.

Selanjutnya majelis ulama daerah harus berkonsultasi dengan MUI sebelum

mengelurkan fatwa apa pun. Peraturan yang lebih ketat lagi ialah bahwa komisi

fatwa, baik yang di daerah maupun pusat, tidak dibolehkan mengeluarkan fatwa apa

pun tanpa ada tangan ketua umum majelis ulama di tempat bersangkutan, suatu hal

yang belum pernah diwajibkan sebelumnya.

Dalam persoalan yang hukumnya telah ditetapkan nash qath‟i, yakni

persoalan yang tidak perlu diijtihadi lagi status hukumnya, MUI tidak

memanfaatkannya. Yang dilakukan MUI adalah menyampaikan seadanya

sebagaimana yang ditetapkan syar‟i tersebut. Fatwa-fatwa MUI hanya berkenaan dan

berkisar masalah-masalah ikhtilafi (masalah yang diperdebatkan) dengan kategori

yang merupakan hasil ijtihad para ulama dan nash zhanni. Kita beralih kepada fatwa

haram MUI mengenai vasektomi, Majelis Ulama Indonesia dalam Munasnya tahun

1983 tentang kependudukan, kesehatan dan pembangunan. Melakukan vasektomi

(usaha mengikat/ memotong saluran benih pria (vas deferens) sehingga pria tidak

apat menghamilkan) dan tubektomi, usaha mengikat atau memotong kedua saluran

telur sehingga wanita itu pada umumnya tidak dapat hamil lagi,/ beretentangan

dengan hukum Islam (haram), kecuali dalam keadaaan sangat terpaksa (darurat)

Page 73: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

66

seperti untuk menghindarkan penurunan penyakit dari ibu/bapak terhadap anak

keturunannya yang bakal lahir atau terancam jiwa si ibu bila ia mengandung atau

melahirkan lagi.

Fatwa MUI mengenai Keluarga Berencana tidak dikeluarkan oleh komisi

fatwa, tetapi oleh Muktamar Nasional Ulama tentang kependudukan, kesehatan dan

pembangunan yang diadakan di Jakarta dari tanggal 17 hingga 20 Oktober 1983.

Pernyataan tentang larangan melakukan vasektomi dan tubektomi adalah

ulangan fatwa-fatwa MUI terdahulu.115 Dalam musyawarah terbatas tersebut MUI

mengeluarkan tiga pernyataan yang tegas, yaitu:

Pemandulan dilarang agama.

Vasektomi dan tubektomi adalah salah satu usaha pembunuhan.

Di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasektomi dan tubektomi dapat

disambung lagi.

Dalil-dalil yang dikemukakan dalam fatwa itu sebenarnya hanyalah kutipan-

kutipan ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadist, tidak ada referensi sama seekali pada

naskah-naskah fiqh atau karya-karya lainnya. Fatwa itu mengutip 15 ayat Alquran

dan kira-kira enam hadist. Ayat-ayat Alquran yang dikutip pada dasarnya mengenai

nilai anak dan kebahagiaan mempunyai anak, bahaya anak dan kekayaan, jika tidak

diurus dengan baik dan dipelihara dengan baik, dan kenyataan bahwa Allah telah

menciptakan umat manusia secara berpasangan dan menjelmakan dalam mereka

benih-benih kasih dan sayang, dan bahwa para ibu dapat menyusui bayinya selama

Page 74: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

67

dua tahun penuh atau hingga 30 bulan yang merupakan jarak antara dua kali

kelahiran yang dikehendaki.

Hadist-hadist yang dikutip menyangkut banyak masalah: anjuran agar orang

segera kawin kalau secara ekonomis sanggup, perlunya umat Islam berbadan sehat,

pentingnya mewariskan anak dengan kekayaan memadai daripada kemiskinan,

dilakukannya sanggama terputus (coitus interuptus) di zaman Nabi, dan kewajiban

orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan baik. Hadisthadist tersebut dianggap

dapat dipercaya, karena tiga diantaranya telah dicatat oleh Bukhari dan Muslim dan

lainnya oleh Tirmidzi dan al-Hakim.

Fatwa tentang vasektomi yang terakhir adalah fatwa yang ditetapkan di

Padang Panjang pada tanggal 24-26 Januari 2009 dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa

Se-Indonesia oleh Tim materi Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia, yang

bunyinya sebagai berikut:

Vasektomi sebagai alat kontrsepsi sekarang ini dilakukan dengan memotong

saluran sperma. Hal itu berakibat pemandulan tetap.

Upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat

kesuburan yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia memutuskan praktek

vasektomi hukumnya haram.

Dasar pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa haram ini adalah ayat-

ayat al-Quran yang menerangkan larangan membunuh anak karena takut miskin serta

Page 75: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

68

larangan berbuat keji, ada juga ayat yang menerangkan bahwa Allah lah yang berhak

menentukan bahwa orang itu mandul atau tidak memiliki anak. Pada ayat lain juga

disebutkan larangan merubah sesuatu yang telah Allah ciptakan yang dalam persoalan

vasektomi, ada sesuatu yang dipotong yakni saluran maninya.

Sementara hadist-hadist yang dijadikan dasar pertimbangan MUI adalah

hadist dari sahabat Mughirah ra. yang berisi larangan membunuh anak perempuan

(hidup-hidup), hadist lain menyebutkan larangan merubah ciptaan Allah. Kaidah-

kaidah fiqh yang digunakan yakni yang berhubungan dengan ada tidaknya illat dalam

penetapan hukum serta yang berhubungan dengan perubahan waktu, tempat dan

kondisi untuk perubahan hukum. Dalam pertimbangan hukum terhadap fatwa

vasektomi ini yakni penjelasan seorang ahli dan juga perwakilan dari Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Halaqah MUI tentang

vasektomi dan tubektomi yang diselenggarakan di Jakarta pada 22 Januari 2009.

Dalam penetapan fatwa haram vasektomi, MUI menggunakan metode qiyas

(menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash

hukumnya karena adanya persamaan illat hukum).120 Haramnya vsektomi

disamakan dengan larangan membunuh anak karena takut miskin. Selain itu, MUI

juga mengqiyaskan vasektomi dengan larangan merubah ciptaan Allah yang telah ada

nash nya, baik dalam al-Qur‟an maupun Hadist.

Pada dasarnya pemilihan kontrasepsi permanen harus didukung dengan alasan

medis maupun kesiapaan mental. Tanpa alasan medis yang kuat, biasanya dokter

akan menawarkan alternatif kontrasepsi jenis lain.

Page 76: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

69

Kesiapan mental disini sangatlah penting, dikarenakan orang yang di

vasektomi akan ada bagian tubuhnya yang hilang atau dipotong, sehingga apabila

tidak adanya kesiapan mental akan berdampak kepada psikologis orang tersebut.

Rendahnya peminat vasektomi pada tahun 2009 ini dipengaruhi oleh fatwa

haram yang dikeluarkan MUI karena vasektomi dianggap memutus jalan untuk

mendapatkan keturunan. Padahal jika pasangan ingin untuk mendapatkan keturunan

kembali, jalur yang sudah diputus atau dihambat itu bisa dikembalikan lagi

(rekanalisasi).

Selain itu vasektomi menyebabkan akseptor (dalam hal ini suami), mengalami

kehilangan fungsi reproduktifnya meski tidak sepenuhnya. Karena pada vasektomi

hanya menghambat keluarnya sel semen pada organ reproduksi lak-laki. Hal itu

dikhawatirkan oleh para istri sebagai celah untuk melakukan perselingkuhan.

Dampak yang ditimbulkan fatwa haram vasektomi bagi masyarakat yaitu

mencegah terjadinya kemadulan tetap bagi pasangan yang masih ingin memiliki anak

lagi, pelaksaaan sunnah nabi untuk memperbanyak keturunan harus benarbenar

dilaksanakan, dengan adanya fatwa haram vasektomi ini serta masyarakat tidak perlu

khawatir lagi dalam pemilihan alat kontrasepsi.

Demikian jelaslah mengapa MUI mengeluarkan fatwa haram tentang

vasektomi/tubektomi (sterilisasi), karena bertentangan dengan kaidah-kaidah al-

Qur‟an dan sunnah Nabi yang menjadi landasan untuk menetapkan suatu hukum yang

ditujukan kepada umat Islam. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya agama

Page 77: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

70

Islam sehingga peran ulama sangatlah penting di dalam pelaksanaan atau penetapan

hukum Islam itu sendiri.

Page 78: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam

skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Bagaimana Majlis Ulama Indonesia menyikapi permasalahan program

keluarga berencana ?

2. Dasar pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa haram tentang sterilisasi, karena

dalam sterilisai terdapat illat mencegah dan sama sekali tidak mau mendapat

keturunan, disebabkan karena adanya kemandulan secara permanen. Sedangkan

Tujuan utama perkawinan adalah untuk memperoleh keturuan. MUI

mengharamkan sterilisasi secara mutlak, tanpa kecuali. Alasannya, bahwa

memperoleh keturunan merupakan tujuan utama disyariatkannya nikah dalam

Islam, sepeti yang digariskan dalam ayat-ayaat al-Qur‟an dan hadist Nabi.

3. Dalam mengeluarkan fatwa MUI menggunakan metode ijtihad jama‟i karena

mengandalkan kemampuan ilmu yang secara kolektif memenuhi persyaratan

sebagai mujtahid, serta memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi),

dan menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang

telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.

Page 79: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

72

B. Saran-saran

1. Walaupun MUI merupakan lembaga Independen, namun azas Amar Ma‟ruf

Nahi Munkar yang dijadikan pedoman bagi seluruh Ulama, MUI harus

berupaya keras untuk mempengaruhi pemerintah dalam meminimalkan

pelaksanaan sterilisasi yang nyatanya masih dilakukan oleh masyarakt

Indonesia.

2. Banyak Dalil-dalil yang melarang adanya praktek sterilisasi didalam program

KB, baik dalam ruang lingkup yang kecil sampai kepada ruang lingkup yang

lebih besar, maka bagi masyarakat Indonesia yang pada umumnya mayoritas

muslim melarang praktek tersebut yang mengakibatkan pemandulan

selamanya.

3. Terakhir, penulis menyarankan kepada kaum muslimin dan khususnya bagi

penulis sendiri, janganlah kita termasuk orang yang berkhianat kepada Allah,

Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin lantaran salah pilih atau memilih tanpa

asal-asalan, atau memilih karena dorongan hawa nafsu dan tergoda bujuk rayu

dengan sedikit urusan dunia dalam memilih alat kontrasepsi didalam program

keluarga berencana.

Page 80: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

73

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur‟an al-Karim.

Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani, Bandung : PT ROSDAKARYA, Cet.

III, 1999.

Azra, Azyumardi, Ikhwal Kependudukan, Pelajaran Dari eropa, Panji Masyarakat:

No 413, Jakarta : Nurul Islam, 1995.

Azwar, Aznul. Peranan Sterlisasi Dalam Pengendalian Pertambahan Penduduk

(Seminar Evaluasi ZPG Pusat Indonesia 29-30 September 1979) di

Yogyakarta.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan

Pernikahan Dalam Islam, Jakarta: BKKBN, 1988.

Bagian Obstetri dan Ginelogi Fak. Kedokteran UNPAD, Teknik Keluarga Berencana

(Peranan Kesuburan), Bandung : Elstas, 1980.

BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga

Berencana, Jakarta : BKKBN 1979.

BKKBN, Kelurag Berencana Ditinjau Dari Segi Agama-Agama Besar di Dunia,

Jakarta : BKKBN, cet. IV, 1982.

BKKBN, Pedoman dan Tuntunan Perkawinan Dalam Islam. Jakarta : BKKBN,

1988.

Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 1983-1984.

Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan

Dasar (Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH,

Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Ebrahim, Abd Fadl Mohsin, Isu-isu Biomedis Dalam perspektif Islam, Aborsi

Kontrasepsi, dan Mengatasi Kemandulan, Bandung: Mizan, 1997.

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Hadistah Pada Masalah-Masalah Kontemporee

Hukun Islam, Surabaya: PT RajaGrafindo Persada,1996.

Page 81: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

74

Hasani, Muhammad Alwi Al Maliki Al-, Etika Dalam Rumah Tangga Islam,

Surabaya: PT. Bungkur Indah, 1992.

Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia, Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1994.

Khalaf, Abdul Wahab, Kaedah-kaedah Hukum Islam. Bandung : Rajawali, Jilid II,

1983.

Latif, Nasaruddin. KB Dipandang Dari sudut Hukum Islam. Jakarta : BKKBN, 1972.

Lembaga Kemaslahatan Kelurga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, Membina

Kemaslahatan Keluarga. Jakarta : BKKBN, 1982.

Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa

Kini. Jakarta : Kalam Mulia. Cet. Pertama, 2003.

Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum. Jakarta : BP IBLAM, 2004.

Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : BP IBLAM, 2004.

Mudhofar, M. Tinjauan Hukum Islam Tentang Sterilisasi dan Rekanilisasi Dalam

Keluarga Berencana, UIN Jakarta, 1990.

Musyawarah Nasional Ulama, Tentang Kependudukan Kesehatan dan Pembangunan,

Jakarta : BKKBN, 1983.

Ni‟am, M. Asroru disertasi Sadd Al-dzari‟ah dan Aplikasinya dalam Fatwa Majlis

Ulama Indonesia, 1999.

Nopianto, Catur, Penerapan Fatwa MUI Dalam Melahirkan Produk Halal, UIN

Jakarta, 2006.

Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002. Membantu

Remaja Memahami Dirinya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Membina Keluarga Sejahtera, Yogyakarta:

Persatuan 1971.

Proyek Keluarga Berencana, Pedoman Penerangan Tentang KB, Jakarta: Yayasan

Kesejahteraan Muslimat, 1974.

Page 82: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

75

Rosyadi, A. Rahmat-Soerso Dasar, Indonesia : Keluarga Berencana Ditinjau Dari

Hukum Islam, Bandung : Penerbit Pustaka, 1986.

Salus, Ali Ahmad As-, Mausu‟ah Al-Qadhaya Al-Fiqhitah Al-Mu‟ashirah, Mesir :

Daruts Tsaqafah-Maktabah Darul Qur‟an, 2002.

Suma, M. Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan

Pelaksanaan lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2004.

Sumapraja, Sudrajat, Konperensi Khusus PUSSI (Perkumpulan Untuk Sterilisasi

Sukarela), Jakarta: PUSSI, 1976.

Sumekto, Guna, Majalah Ilmiyah PKMI “MANTAP”, No. 3 Tahun 1985.

Yanggo, Huzaimah Tahido dan Hafiz Anshary. Problematika Hukum Islam

Kontemporer. Jakarta : Pustaka Firdaus, Buku Kedua, 1996.

Zuhdi, Masjfuk. Islam dan Keluarag Berencana di Indonesia. Surabaya : PT Bina

Ilmu, Cet. V, 1986.

Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1990.

Page 83: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

76

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 84: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

77

SURAT KETERANGAN

Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala Puskesmas Sawangan-Depok, dengan ini

menerangkan bahwa :

Nama : Sabarudin Bintang

Nim : 105043101284

Fakultas : Syariah dan Hukum

Semester : X (sepuluh)

Bahwa benar nama tersebut diatas telah melakukan observasi/wawancara pada

Puskesmas Sawangan-Depok, dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Tentang

Sterilisasi Dalam Program Keluarga Berencana (Analisa Terhadap Fatwa MUI Se-

Indonesia Tahun 2009 Tentang Sterilisasi)”.

Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya.

Sawangan, Juni 2010

Kepala Puskesmas Sawangan

Dr. Hj. Yani Haryani S. MM

Page 85: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

78

WAWANCARA

Hari / Tanggal : Selasa, 22 Juni 2010

Waktu : 11.00 WIB

Tempat Wawancara : Puskesmas Sawangan

Nama Responden : Ulil Endah M

Jabatan : Staf Bidan

Telp : 08567015912

1. T : Apa yang dimaksud dengan program keluarga berencana ?

J : Program untuk mengatur jarak kehamilan sehingga jarak melahirkan ibu

tidak terlalu dekat dan terlalu sering untuk mewujudkan kesehatan ibu dan

anak.

2. T : Alat-alat kontrasepsi apa saja yang dapat digunakan di dalam keluarga

berencana ?

J : Pil KB, alat KB dalam rahim (IUD), kondom, suntik dan implan.

3. T : Apa yang anda ketahui tentang alat kontrasepsi vasektomi/tubektomi

(sterilisasi) dalam keluarga berencana ?

J : Vasektomi : metode KB dengan cara memutus-mengikat saluran vas

deferens (sel sperma) pada pria.

Tubektomi : metode KB dengan cara memutus-mengikat saluran tuba

fallovi (saluran yang dilewati sel telur) pada wanita.

4. T : Bagaimana prosesi sterilisasi dapat di lakukan atau diterapkan sebagai alat

kontrasepsi ?

J : Persiapan akseptor kemudian inform consent (persetujuan) dari suami-

isteri setelah itu prosesi pelaksanaan tubektomi atau vasektomi dapat di

lakukan.

5. T : Pada dasarnya sterilisasi merupakan alat kontrasepsi yang sifatnya

permanen. Apakah setelah proses sterilisasi itu, dikemudian hari/suatu saat

dapat disambung kembali (rekanilisasi) ? dan dampak dari rekanilisasi itu

seperti apa ?

J : Dalam teori memang rekanalisasi dapat dilakukan, dan disebutkan bahwa

tidak menjamin secara penuh untuk kembalinya pertilitas.

6. T : Bagaimana menurut/pandangan anda Mengenai fatwa MUI yang

mengharamkan tentang alat kontrasepsi sterilisasi dalam keluraga

berencana ?

J : Menurut kami, mengenai fatwa MUI untuk mengharamkan Tubektomi

dan vasektomi tidak baku pada setiap pasien. Pemberlakuannya perlu

Page 86: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM …

79

menimbang kembali latar belakang keadaan pasien/akseptor. Bilamana

keadaan lebih menghasilkan kemaslahatan jika melakukan sterilisasi

(khususnya alasan kesehatan), maka tindakan tersebut dapat dibenarkan.

7. T : Bagaimana saran anda mengenai fatwa MUI yang mengharamkan alat

kontrasepsi sterilisasi dalam program KB ?

J : Lebih ditinjau kembali, karena tidak mutlak. Setiap orang dalam kondisi

yang sama, khususnya alasan kesehatan.

Sawangan, Juni 2010

Staf Bidan

Ulil Endah M