bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang efektivitas hukum
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum
1. Pengertian Efektivitas Hukum
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti
berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus
ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan
penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,
pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-
Undang atau peraturan. Sedangkan kata efektifitas sendiri berasal dari
kata efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat yang dikehendaki
dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif
karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau
dikehendaki dari perbuatan itu.17
Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam
pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of
social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di
dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang
serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu
17
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta. Balai Pustaka. Hal. 284.
17
hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social
engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan
dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola
pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam
pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivikasi hukum
merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif.
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,
maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu
ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya,
kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah
efektif. Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu
efektif, tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh
derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan
hukum tergantung pada kepentingannya.18
2. Teori-Teori Tentang Efektivitas
Teori Efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisisi
tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam pelaksanaan dan penerapan hukum.
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor,
yaitu :
18
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta. Penerbit Kencana. Hal. 375.
18
1) Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.19
Ada beberapa ahli juga mengemukakan tentang teori efektivitas seperti
Bronislav Molinoswki, Clerence J Dias, dan Anthoni Allot.
Teori efektivitas hukum menurut Bronislaw Malinowski meliputi tiga
masalah, yaitu :
1) Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga
antara lain oleh suatu sistem pengendalian sosial yang bersifat
memaksa, yaitu hukum, untuk melaksanakannya hukum
didukung oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian,
pengadilan dan sebagainya) yang diorganisasi oleh suatu
negara.
2) Dalam masyarakat primitif alat-alat kekuasaan serupa itu
kadang-kadang tidak ada.
19
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 8
19
3) Dengan demikian apakah dalam masyarakat primitif tidak ada
hukum20
Bronislaw Malinowski menganalisis efektivitas hukum dalam
masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu masyarakat
modern dan masyarakat primitif. Masyarakat modern merupakan
masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas,
spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih. Di
dalam masyarakat modern hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang itu ditegakkan oleh kepolisian, pengadilan
dan sebagainya, sedangkan masyarakat primitif merupakan
masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi yang sederhana dan
dalam masyarakat primitif tidak mengenal alat-alat kekuasaan.
Pandangan tentang efektifitas hukum oleh Clerence J Dias dijelaskan
oleh Marcus Priyo Guntarto yang mengatakan sebagai berikut, terdapat
5 (lima) syarat bagi efektif tidaknya satu sistem hukum meliputi :
1) Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap.
2) Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui
isi aturan-aturan yang bersangkutan.
3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum
dicapai dengan bantuan aparat administrasi yang menyadari
melibatkan dirinya kedalam usaha mobilisasi yang demikian,
20
Koentjaraningrat dalam H. Halim HS, Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2014.Hal. 305.
20
dan para warga masyarakat yang terlibat dan merasa harus
berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum.
4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya
harus mudah dihubungi dan dimasukan oleh setiap warga
masyarakat, akan tetapi harus cukup efektif menyelesaikan
sengketa.
5) Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di
kalangan warga masyarakat yang beranggapan bahwa aturan-
atauran dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya
berdaya mampu efektif.21
Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot
sebagaimana dikutip Felik adalah sebagai berikut:
Hukum akan mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan
penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak
diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif
secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat
diwujudkan. Jika suatu kegelapan maka kemungkinan terjadi
pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk
melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang
berbeda, hukum akan sanggup menyelsaikan.22
21
Salim H.S dan Erlies S., Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi, Edisi Pertama, ctk Kesatu, Rajawali Press, Jakarta, hal. 308. 22
Salim H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Op.cit, Hal 303
21
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum
Berdasarkan teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto di
atas yang menyatakan bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum
ditentukan oleh 5 faktor yaitu Faktor hukumnya sendiri (undang-
undang), Faktor penegak hukum (pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum), Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat (lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan), Faktor kebudayaan (sebagai
hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup).
1) Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada
kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan
keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata,
sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang
hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-
undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai.
Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum
setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum
tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja.23
23
Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 8
22
2) Faktor Penegak Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian
petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada
masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau
penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah
laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam
melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena
sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang
atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan
wibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang
rendah dari aparat penegak hukum tersebut.24
3) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat
lunak dan perangkat keras, bahwa para penegak hukum tidak
dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan
kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh
karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang
sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya
sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak
24
Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 21
23
hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan
yang aktual.25
4) Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga
masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai
kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf
kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,
atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya
hukum yang bersangkutan.
5) Faktor Kebudayaan
Yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia dalam pergaulan hidup. Kebudayaan hukum
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang mana merupakan konsepsi-
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga
dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai
yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan.26
25
Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 37 26
Ibid. Hal. 56-60
24
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena
menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur
dari efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum
tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik
sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun
oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak
hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan
oleh masyarakat luas.
B. Tinjauan Tentang Pembuktian Dalam Perkara Pidana
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang dalam “Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan
kebenaran peristiwa atau keterangan nyata”.27
Pembuktian adalah
merupakan tindakan atau perbuatan untuk membuktikan kebenaran
atas suatu peristiwa yang telah terjadi.
Menurut pendapat beberapa ahli hukum, tentang pembuktian antara
lain sebagai berikut :
a. R. Subekti berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses
untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.28
27
Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Hal. 229. 28
R. Subekti, 2008. Hukum Pembuktian. Jakarta. Pradnya Paramita. Hlm.1.
25
b. Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan bahwa: “Pembuktian
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas
sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut.29
c. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa: “Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-
undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan.”30
d. Hari Sasangka dan Lily Rosita berpendapat bahwa Hukum
Pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk
menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.31
Dari beberapa pengerian diatas jadi yang dimaksud dengan
pembuktian adalah suatu pencarian kebenaran materiil dimuka
29
Martiman Prodjohamidjojo. Komentar atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, 1984, hlm.11. 30
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.273. 31
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.10.
26
persidangan guna membuktikan kesalahan terdakwa menurut pasal
yang didakwakan dengan menggunakan alat-alat bukti menurut
undang-undang sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu
perkara. Dimasukkannya pengertian pembuktian dalam tinjauan
pustaka ini yaitu dengan maksud untuk memberikan gambaran umum,
konsep dan batasan dalam memahami pembuktian yang akan dikaji
dalam pembahasan penelitian ini.
Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral
di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui
tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara dan perbuatan
membuktikan untuk menunjukan benar salahnya terdakwa terhadap
suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan. Pembuktian
merupakan penyajian-penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum oleh hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
2. Teori/Sistem Pembuktian Dalam Perkara Pidana
a. Conviction In Time (Pembuktian berdasar keyakinan hakim
melulu)
Sistem ini yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata
ditentukan penilaian keyakinan hakim kelemahan sistem ini adalah
dasar keyakinan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup. Ada
kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakinannya
membebaskan terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun
27
kesalahannya telah terbukti. Dengan sistem ini pemidanaan
dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam
Undang-undang.32
b. Conviction In Raisone (Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim
Atas Alasan yang Logis)
Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga
mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-
satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan
hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan
logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim
tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak
diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh
undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di
luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan
adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan
dengan alasan yang logis.33
c. Positief Wettelijke Bewijstheorie (Pembuktian Menurut Undang-
undang Secara Positif)
Sistem ini menentukan pembuktian hanya didasarkan kepada alat-
alat pembuktian yang disebut undang-undang. Disebut secara
positif karena pembuktian itu melulu didasarkan kepada undang-
32
Dr. H.P Panggabean, S.H., M.S, HUKUM PEMBUKTIAN, TEORI-PRAKTIK DAN YURISPRIDENSI INDOENSIA, PT. Alumni, Bandung, 2014, hal. 81 33
Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata. Bandung. Citra Aditya. 2006. Hlm, 56.
28
undang, artinya juka telah terbukti suatu perbuatan dengan alat-alat
bukti yang disebut undang-undang maka keyakinan hakim tidak
diperlukan lagi. Sistem ini sudah tidak dianut lagi dalam praktik
peradilan karena dibanyak hal keyakinan hakim yang jujur dan
berpengalaman adalah sesuai dengan “public opinion”.34
d. Negatief Wettelijke (Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara
Negatif)
Teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur objektif dan
subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak
ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Terdakwa
dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan
kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian
kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.35
Berdasarkan toeri pembuktian yang diutarakan diatas dapat diketahui
bahwa pembagian teori pembuktian terbagi dalam 4 jenis yaitu :
Conviction-in Time, Conviction-Raisonee, positief wettelijke stelsel
dan negatief wettelijke stelsel dari ke 4 (empat) jenis pembuktian
tersebut yang paling sering digunakan dalam sistem peradilan di
34
Dr. H.P Panggabean, S.H., M.S, HUKUM PEMBUKTIAN, TEORI-PRAKTIK DAN YURISPRIDENSI INDOENSIA, PT. Alumni, Bandung, 2014, hal. 82 35
Waluyadi. 2004. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung Mandar Maju. Hlm. 39
29
Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif atau yang biasa disebut dengan negatief wettelijke dikarenakan
sesuai dengan peraturan hukum yang ada yaitu kitab undang undang
hukum pidana dan kitab undang undang hukum acara pidana.
3. Tujuan dan Kegunaan Pembuktian
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam
proses pemeriksaan persidangan sebagai berikut:
1) Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk
meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar
menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau
catatan dakwaan.
2) Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah
merupakan usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim, yakni
berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan seorang terdakwa
dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan
pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin
harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau
meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti
kebalikan.
3) Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya
alat-alat bukti yang ada dalam persidangan, baik yang berasal dari
30
penuntut umum maupun penasihhat hukum/terdakwa dibuat atas
dasar untuk membuat keputusan.36
4. Jenis-Jenis Alat Bukti
Pada setiap pemeriksaan, baik itu pemeriksaan dengan acara biasa,
acara singkat, maupun acara cepat, diperlukan alat bukti untuk
membantu hakim mengambil keputusannya. Adapun alat bukti yang
sah menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
diatur di dalam Pasal 184 yaitu :
1) Keterangan Saksi
2) Keterangan Ahli
3) Surat
4) Petunjuk
5) Keterangan Terdakwa
Alat-alat bukti ini menjadi sesuatu yang penting, oleh karena itu hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan berdasarkan
pada keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana tersebut benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan tersebut. Maka
dengan demikian alat bukti itu sangatlah penting dalam menemukan
pelaku tindak pidana dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
36
Alfitrah, SH., MH., HUKUM PEMBUKTIAN DALAM BERACARA PIDANA, PERDATA, DAN KORUPSI DI INDONESIA, Raih Asa Sukses, Depok, 2011, Hal. 25
31
pelaku tindak pidana tersebut. Oleh karena itu berikut ini penjelasan
untuk masing-masing alat bukti tersebut:
1) Keterangan Saksi
Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27
KUHAP menentukan, bahwa:
“Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu”
Sedangkan menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan
pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti,
bahwa : “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan”.
Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa keterangan saksi
sebagai alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh
dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian
alat bukti keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Sebelum saksi memberikan keterangan, ia wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa
ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain
daripada yang sebenarnya. Sumpah atau janji dapat dilakukan
sebelum atau sesudah saksi memberikan keterangan di muka
persidangan. Kecuali dalam hal-hal tertentu, misalkan agama
32
melarangnya untuk mengucapkan sumpah, maka sumpah biasa
diganti dengan janji.
Didalam Pasal 168 KUHAP ada beberapa orang yang dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi, yaitu :
“a). Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa. b). Saudara dari terdakwa
atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara sampai derajat ketiga. c).
Suami atau istri terdakwa meskipun sudah cerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa”
Disamping karena hubungan kekeluargaan, ditentukan pula oleh
Pasal 170 KUHAP, bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
diminta dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan
sebagai saksi. Pasal 170 KUHAP menegaskan, bahwa :”... dapat
minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai
saksi”, maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi dapat
diperiksa oleh hakim. Oleh karena itu, pengecualian menjadi saksi
karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya
merupakan pengecualian relative.
Selanjutnya di dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan
pengecualian untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah ialah:
33
a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum kawin.
b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya
baik kembali.
2) Keterangan Ahli
Keterangan ahli atau verklaringen van een
deskundige/expect testimony adalah keterangan yang diberikan
oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP).
Terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan saksi
ahli. Keterangan saksi ahli ialah keterangan yang diberikan
mengenai hal yang ia alami, ia lihat, atau ia dengar sendiri,
sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas
dasar keahlian yang ia miliki yang memberikan penghargaan atas
suatu keadaan dengan memberikan kesimpulan pendapat, seperti
hal kematian, maka saksi ahli akan memberikan pendapat tentang
sebab-sebab kematian, apakah keracunan atau dari sebab lain.
Kedua keterangan lain, yaitu saksi dan saksi ahli oleh
KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, akan tetapi
keterangan saksi dan saksi ahli yang diberikan tanpa sumpah tidak
mempunyai kekuatan pembuktian melainkan hanya dapat
34
dipergunakan untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim
berdasarkan Pasal 161 ayat (2) KUHAP.
3) Surat
Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti
surat ini juga mempunyai syarat agar dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sah pada sidang pengadilan. Dimana pengaturan
mengenai alat bukti surat ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP.
Menurut ketentuan ini, surat dapat dinilai sebagai alat bukti yang
sah menurut Undang-undang ialah :
a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.
b. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.37
Pasal 187 KUHAP menentukan bahwa surat sebagaimana tersebut
pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
“a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. c. Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat yang
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. d. Surat lain
yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain”.
37
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm.115.
35
4) Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan definisi petunjuk sebagai
berikut :
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.38
Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP,
petunjuk merupakan bagian keempat sebagai alat bukti. Esensi alat
bukti petunjuk ini diatur dalam ketentuan Pasal 188 KUHAP yang
selengkap-lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaian, baik antara satu dan yang lain, maupun tindak pidana
itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya. 2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat,
keterangan terdakwa 3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu oleh hakim dengan
arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat kepada
prinsip atas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar
petunjuk memiliki kekuatan hukum pembuktian yang cukup
harus didukung oleh sekurang-kurangnya satu alat bukti
5) Keterangan Terdakwa
KUHAP secara jelas dan sengaja mencantumkan keterangan
terdakwa sebagai alat bukti yang terakhir dalam Pasal 184 ayat (1).
38
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 884
36
Pada dasarnya keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu
sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya di dengar. Apakah itu berupa penyangkalan,
pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau
keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan
karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat:
“Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan dan
Mengaku ia bersalah.”39
Selanjutnya, terhadap keterangan terdakwa secara limintatif diatur
oleh Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi :
“1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang
diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung
oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan padanya. 3) Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri. 4) Keterangan terdakwa
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti lain”.
5. Pembuktian Elektronik
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin
lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital,
termasuk dalam berinteraksi antar sesamanya. Oleh karena itu semakin
lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum
pembuktian, untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat
seperti itu. Dalam ini, posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan
39
Andi Hamzah, Op.cit, hlm.286-287.
37
berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan
kompromistis. Di satu pihak agar hukum selalu dapat mengikuti
perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap
berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai
alat bukti di pengadilan. Akan tetapi, dilain pihak kecenderungan
terjadi manupulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab.40
Di Indonesia terdapat perkembangan dalam sistem hukum
pembuktian khusus yang menyangkut dengan pembuktian elektronik,
setelah keluarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan
persyaratan materil yang diatur dalam Undang-Undang No.11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
40
Munir Fuadi, TEORI HUKUM PEMBUKTIAN Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hal.151