bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang efektivitas hukum

22
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum 1. Pengertian Efektivitas Hukum Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang- Undang atau peraturan. Sedangkan kata efektifitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu. 17 Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu 17 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta. Balai Pustaka. Hal. 284.

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

1. Pengertian Efektivitas Hukum

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti

berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus

ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan

penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,

pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-

Undang atau peraturan. Sedangkan kata efektifitas sendiri berasal dari

kata efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat yang dikehendaki

dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif

karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau

dikehendaki dari perbuatan itu.17

Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam

pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of

social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di

dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang

serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu

17

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta. Balai Pustaka. Hal. 284.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

17

hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social

engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan

dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola

pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam

pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivikasi hukum

merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif.

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,

maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu

ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya,

kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah

efektif. Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu

efektif, tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh

derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan

hukum tergantung pada kepentingannya.18

2. Teori-Teori Tentang Efektivitas

Teori Efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisisi

tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

dalam pelaksanaan dan penerapan hukum.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa

efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor,

yaitu :

18

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta. Penerbit Kencana. Hal. 375.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

18

1) Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum.

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan

hidup.19

Ada beberapa ahli juga mengemukakan tentang teori efektivitas seperti

Bronislav Molinoswki, Clerence J Dias, dan Anthoni Allot.

Teori efektivitas hukum menurut Bronislaw Malinowski meliputi tiga

masalah, yaitu :

1) Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga

antara lain oleh suatu sistem pengendalian sosial yang bersifat

memaksa, yaitu hukum, untuk melaksanakannya hukum

didukung oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian,

pengadilan dan sebagainya) yang diorganisasi oleh suatu

negara.

2) Dalam masyarakat primitif alat-alat kekuasaan serupa itu

kadang-kadang tidak ada.

19

Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 8

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

19

3) Dengan demikian apakah dalam masyarakat primitif tidak ada

hukum20

Bronislaw Malinowski menganalisis efektivitas hukum dalam

masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu masyarakat

modern dan masyarakat primitif. Masyarakat modern merupakan

masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas,

spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih. Di

dalam masyarakat modern hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh

pejabat yang berwenang itu ditegakkan oleh kepolisian, pengadilan

dan sebagainya, sedangkan masyarakat primitif merupakan

masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi yang sederhana dan

dalam masyarakat primitif tidak mengenal alat-alat kekuasaan.

Pandangan tentang efektifitas hukum oleh Clerence J Dias dijelaskan

oleh Marcus Priyo Guntarto yang mengatakan sebagai berikut, terdapat

5 (lima) syarat bagi efektif tidaknya satu sistem hukum meliputi :

1) Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap.

2) Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui

isi aturan-aturan yang bersangkutan.

3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum

dicapai dengan bantuan aparat administrasi yang menyadari

melibatkan dirinya kedalam usaha mobilisasi yang demikian,

20

Koentjaraningrat dalam H. Halim HS, Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2014.Hal. 305.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

20

dan para warga masyarakat yang terlibat dan merasa harus

berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum.

4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya

harus mudah dihubungi dan dimasukan oleh setiap warga

masyarakat, akan tetapi harus cukup efektif menyelesaikan

sengketa.

5) Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di

kalangan warga masyarakat yang beranggapan bahwa aturan-

atauran dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya

berdaya mampu efektif.21

Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot

sebagaimana dikutip Felik adalah sebagai berikut:

Hukum akan mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan

penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak

diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif

secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat

diwujudkan. Jika suatu kegelapan maka kemungkinan terjadi

pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk

melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang

berbeda, hukum akan sanggup menyelsaikan.22

21

Salim H.S dan Erlies S., Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi, Edisi Pertama, ctk Kesatu, Rajawali Press, Jakarta, hal. 308. 22

Salim H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Op.cit, Hal 303

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

21

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum

Berdasarkan teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto di

atas yang menyatakan bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum

ditentukan oleh 5 faktor yaitu Faktor hukumnya sendiri (undang-

undang), Faktor penegak hukum (pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum), Faktor sarana atau fasilitas yang

mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat (lingkungan dimana

hukum tersebut berlaku atau diterapkan), Faktor kebudayaan (sebagai

hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di

dalam pergaulan hidup).

1) Faktor Hukum

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada

kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan

keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata,

sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang

hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-

undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai.

Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum

setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum

tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja.23

23

Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 8

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

22

2) Faktor Penegak Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian

petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau

peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada

masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan

masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau

penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah

laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam

melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena

sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang

atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan

wibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang

rendah dari aparat penegak hukum tersebut.24

3) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat

lunak dan perangkat keras, bahwa para penegak hukum tidak

dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan

kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh

karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang

sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya

sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak

24

Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 21

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

23

hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan

yang aktual.25

4) Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga

masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai

kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf

kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,

atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat

terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya

hukum yang bersangkutan.

5) Faktor Kebudayaan

Yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia dalam pergaulan hidup. Kebudayaan hukum

pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum

yang berlaku, nilai-nilai yang mana merupakan konsepsi-

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga

dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai

yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus

diserasikan.26

25

Soerjono Soekanto. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 37 26

Ibid. Hal. 56-60

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

24

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena

menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur

dari efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum

tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik

sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun

oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak

hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan

oleh masyarakat luas.

B. Tinjauan Tentang Pembuktian Dalam Perkara Pidana

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang dalam “Kamus Besar

Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan

kebenaran peristiwa atau keterangan nyata”.27

Pembuktian adalah

merupakan tindakan atau perbuatan untuk membuktikan kebenaran

atas suatu peristiwa yang telah terjadi.

Menurut pendapat beberapa ahli hukum, tentang pembuktian antara

lain sebagai berikut :

a. R. Subekti berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses

untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil

yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.28

27

Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Hal. 229. 28

R. Subekti, 2008. Hukum Pembuktian. Jakarta. Pradnya Paramita. Hlm.1.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

25

b. Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan bahwa: “Pembuktian

mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas

sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran

peristiwa tersebut.29

c. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa: “Pembuktian adalah

ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang

cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-

undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan

yang didakwakan.”30

d. Hari Sasangka dan Lily Rosita berpendapat bahwa Hukum

Pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana

yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara

mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk

menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.31

Dari beberapa pengerian diatas jadi yang dimaksud dengan

pembuktian adalah suatu pencarian kebenaran materiil dimuka

29

Martiman Prodjohamidjojo. Komentar atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, 1984, hlm.11. 30

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.273. 31

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.10.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

26

persidangan guna membuktikan kesalahan terdakwa menurut pasal

yang didakwakan dengan menggunakan alat-alat bukti menurut

undang-undang sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu

perkara. Dimasukkannya pengertian pembuktian dalam tinjauan

pustaka ini yaitu dengan maksud untuk memberikan gambaran umum,

konsep dan batasan dalam memahami pembuktian yang akan dikaji

dalam pembahasan penelitian ini.

Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral

di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui

tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara dan perbuatan

membuktikan untuk menunjukan benar salahnya terdakwa terhadap

suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan. Pembuktian

merupakan penyajian-penyajian alat-alat bukti yang sah menurut

hukum oleh hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan

kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

2. Teori/Sistem Pembuktian Dalam Perkara Pidana

a. Conviction In Time (Pembuktian berdasar keyakinan hakim

melulu)

Sistem ini yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata

ditentukan penilaian keyakinan hakim kelemahan sistem ini adalah

dasar keyakinan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup. Ada

kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakinannya

membebaskan terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

27

kesalahannya telah terbukti. Dengan sistem ini pemidanaan

dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam

Undang-undang.32

b. Conviction In Raisone (Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim

Atas Alasan yang Logis)

Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga

mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-

satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan

hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan

logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim

tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak

diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh

undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di

luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan

adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan

dengan alasan yang logis.33

c. Positief Wettelijke Bewijstheorie (Pembuktian Menurut Undang-

undang Secara Positif)

Sistem ini menentukan pembuktian hanya didasarkan kepada alat-

alat pembuktian yang disebut undang-undang. Disebut secara

positif karena pembuktian itu melulu didasarkan kepada undang-

32

Dr. H.P Panggabean, S.H., M.S, HUKUM PEMBUKTIAN, TEORI-PRAKTIK DAN YURISPRIDENSI INDOENSIA, PT. Alumni, Bandung, 2014, hal. 81 33

Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata. Bandung. Citra Aditya. 2006. Hlm, 56.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

28

undang, artinya juka telah terbukti suatu perbuatan dengan alat-alat

bukti yang disebut undang-undang maka keyakinan hakim tidak

diperlukan lagi. Sistem ini sudah tidak dianut lagi dalam praktik

peradilan karena dibanyak hal keyakinan hakim yang jujur dan

berpengalaman adalah sesuai dengan “public opinion”.34

d. Negatief Wettelijke (Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara

Negatif)

Teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur objektif dan

subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak

ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Terdakwa

dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan

kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian

kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.35

Berdasarkan toeri pembuktian yang diutarakan diatas dapat diketahui

bahwa pembagian teori pembuktian terbagi dalam 4 jenis yaitu :

Conviction-in Time, Conviction-Raisonee, positief wettelijke stelsel

dan negatief wettelijke stelsel dari ke 4 (empat) jenis pembuktian

tersebut yang paling sering digunakan dalam sistem peradilan di

34

Dr. H.P Panggabean, S.H., M.S, HUKUM PEMBUKTIAN, TEORI-PRAKTIK DAN YURISPRIDENSI INDOENSIA, PT. Alumni, Bandung, 2014, hal. 82 35

Waluyadi. 2004. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung Mandar Maju. Hlm. 39

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

29

Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negatif atau yang biasa disebut dengan negatief wettelijke dikarenakan

sesuai dengan peraturan hukum yang ada yaitu kitab undang undang

hukum pidana dan kitab undang undang hukum acara pidana.

3. Tujuan dan Kegunaan Pembuktian

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam

proses pemeriksaan persidangan sebagai berikut:

1) Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk

meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar

menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau

catatan dakwaan.

2) Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah

merupakan usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim, yakni

berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan seorang terdakwa

dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan

pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin

harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau

meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti

kebalikan.

3) Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya

alat-alat bukti yang ada dalam persidangan, baik yang berasal dari

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

30

penuntut umum maupun penasihhat hukum/terdakwa dibuat atas

dasar untuk membuat keputusan.36

4. Jenis-Jenis Alat Bukti

Pada setiap pemeriksaan, baik itu pemeriksaan dengan acara biasa,

acara singkat, maupun acara cepat, diperlukan alat bukti untuk

membantu hakim mengambil keputusannya. Adapun alat bukti yang

sah menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

diatur di dalam Pasal 184 yaitu :

1) Keterangan Saksi

2) Keterangan Ahli

3) Surat

4) Petunjuk

5) Keterangan Terdakwa

Alat-alat bukti ini menjadi sesuatu yang penting, oleh karena itu hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan berdasarkan

pada keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana tersebut benar-benar

terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan tersebut. Maka

dengan demikian alat bukti itu sangatlah penting dalam menemukan

pelaku tindak pidana dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh

36

Alfitrah, SH., MH., HUKUM PEMBUKTIAN DALAM BERACARA PIDANA, PERDATA, DAN KORUPSI DI INDONESIA, Raih Asa Sukses, Depok, 2011, Hal. 25

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

31

pelaku tindak pidana tersebut. Oleh karena itu berikut ini penjelasan

untuk masing-masing alat bukti tersebut:

1) Keterangan Saksi

Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27

KUHAP menentukan, bahwa:

“Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu”

Sedangkan menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan

pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti,

bahwa : “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi

nyatakan di sidang pengadilan”.

Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa keterangan saksi

sebagai alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh

dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian

alat bukti keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping

pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan

pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Sebelum saksi memberikan keterangan, ia wajib mengucapkan

sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa

ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain

daripada yang sebenarnya. Sumpah atau janji dapat dilakukan

sebelum atau sesudah saksi memberikan keterangan di muka

persidangan. Kecuali dalam hal-hal tertentu, misalkan agama

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

32

melarangnya untuk mengucapkan sumpah, maka sumpah biasa

diganti dengan janji.

Didalam Pasal 168 KUHAP ada beberapa orang yang dapat

didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai

saksi, yaitu :

“a). Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas

atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa. b). Saudara dari terdakwa

atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara

bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena

perkawinan dan anak-anak saudara sampai derajat ketiga. c).

Suami atau istri terdakwa meskipun sudah cerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa”

Disamping karena hubungan kekeluargaan, ditentukan pula oleh

Pasal 170 KUHAP, bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat

martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat

diminta dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan

sebagai saksi. Pasal 170 KUHAP menegaskan, bahwa :”... dapat

minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai

saksi”, maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi dapat

diperiksa oleh hakim. Oleh karena itu, pengecualian menjadi saksi

karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya

merupakan pengecualian relative.

Selanjutnya di dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan

pengecualian untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah ialah:

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

33

a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan

belum kawin.

b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya

baik kembali.

2) Keterangan Ahli

Keterangan ahli atau verklaringen van een

deskundige/expect testimony adalah keterangan yang diberikan

oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP).

Terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan saksi

ahli. Keterangan saksi ahli ialah keterangan yang diberikan

mengenai hal yang ia alami, ia lihat, atau ia dengar sendiri,

sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas

dasar keahlian yang ia miliki yang memberikan penghargaan atas

suatu keadaan dengan memberikan kesimpulan pendapat, seperti

hal kematian, maka saksi ahli akan memberikan pendapat tentang

sebab-sebab kematian, apakah keracunan atau dari sebab lain.

Kedua keterangan lain, yaitu saksi dan saksi ahli oleh

KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, akan tetapi

keterangan saksi dan saksi ahli yang diberikan tanpa sumpah tidak

mempunyai kekuatan pembuktian melainkan hanya dapat

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

34

dipergunakan untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim

berdasarkan Pasal 161 ayat (2) KUHAP.

3) Surat

Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti

surat ini juga mempunyai syarat agar dapat dijadikan sebagai alat

bukti yang sah pada sidang pengadilan. Dimana pengaturan

mengenai alat bukti surat ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP.

Menurut ketentuan ini, surat dapat dinilai sebagai alat bukti yang

sah menurut Undang-undang ialah :

a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.

b. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.37

Pasal 187 KUHAP menentukan bahwa surat sebagaimana tersebut

pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP dibuat atas sumpah

jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :

“a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya

yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau yang jelas dan tegas tentang

keterangannya itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh

pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang

menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi

pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. c. Surat

keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat yang

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. d. Surat lain

yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dari alat pembuktian yang lain”.

37

M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm.115.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

35

4) Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan definisi petunjuk sebagai

berikut :

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.38

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP,

petunjuk merupakan bagian keempat sebagai alat bukti. Esensi alat

bukti petunjuk ini diatur dalam ketentuan Pasal 188 KUHAP yang

selengkap-lengkapnya berbunyi sebagai berikut :

“1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaian, baik antara satu dan yang lain, maupun tindak pidana

itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana

dan siapa pelakunya. 2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat,

keterangan terdakwa 3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari

suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu oleh hakim dengan

arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan

penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.

Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri

membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat kepada

prinsip atas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar

petunjuk memiliki kekuatan hukum pembuktian yang cukup

harus didukung oleh sekurang-kurangnya satu alat bukti

5) Keterangan Terdakwa

KUHAP secara jelas dan sengaja mencantumkan keterangan

terdakwa sebagai alat bukti yang terakhir dalam Pasal 184 ayat (1).

38

M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 884

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

36

Pada dasarnya keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu

sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa

hendaknya di dengar. Apakah itu berupa penyangkalan,

pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau

keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan

karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat:

“Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan dan

Mengaku ia bersalah.”39

Selanjutnya, terhadap keterangan terdakwa secara limintatif diatur

oleh Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi :

“1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di

sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui

sendiri atau alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang

diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu

menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung

oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang

didakwakan padanya. 3) Keterangan terdakwa hanya dapat

digunakan terhadap dirinya sendiri. 4) Keterangan terdakwa

saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti lain”.

5. Pembuktian Elektronik

Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin

lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital,

termasuk dalam berinteraksi antar sesamanya. Oleh karena itu semakin

lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum

pembuktian, untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat

seperti itu. Dalam ini, posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan

39

Andi Hamzah, Op.cit, hlm.286-287.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum

37

berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan

kompromistis. Di satu pihak agar hukum selalu dapat mengikuti

perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap

berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai

alat bukti di pengadilan. Akan tetapi, dilain pihak kecenderungan

terjadi manupulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang

tidak bertanggung jawab.40

Di Indonesia terdapat perkembangan dalam sistem hukum

pembuktian khusus yang menyangkut dengan pembuktian elektronik,

setelah keluarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan

persyaratan materil yang diatur dalam Undang-Undang No.11 tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

40

Munir Fuadi, TEORI HUKUM PEMBUKTIAN Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hal.151