tinea cruris lapkas
TRANSCRIPT
I.DEFINISI
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini
dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur
hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah
sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris
mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch
(Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)
II.ETIOLOGI
Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython
fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%) (Boel, Trelia.Drg.
M.Kes.2003)
III EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka
kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada
kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang
memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab (Wiederkehr,
Michael. 2008)
III.PATOFISIOLOGI
Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan langsung
dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau
tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian
debu. Agen penyebabjuga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau
sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini
menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum
korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan
keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis
dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi
kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
a.Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik, geofilik.
Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal
afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum
jarang menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt paha
bagian dalam.
b.Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
c.Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau
lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang
penyakit jamur.
d.Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden penyakit
jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada
golongan ekonomi yang baik
e.Faktor umur dan jenis kelamin (Boel, Trelia.Drg. M.Kes.2003)
IV.MANIFESTASI KLINIS
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke
sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen
bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif
berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara,
tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula
eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis
atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.
Manifestasi tinea cruris :
1.Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan proksimal
dari abdomen bawah dan pubis
2.Daerah bersisik
3.Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif
4.Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai
likenifikasi
5.Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan
sedikit skuama
6.Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
7.Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin muncul karena
garukan
8.Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit
eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler
9.Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis (Wiederkehr,
Michael. 2008).
Gambar Tinea Cruris
Gambar Tinea cruris with red annular scaly plaques
V.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur
diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
a.Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2
tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan
pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat,
dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau
sudah diobati, dan miselium
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud
dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk
menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur
biasanya antara 3-6 minggu (Wiederkehr, Michael. 2008)
c.Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff, jamur akan tampak merah
muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau
hitam (Wiederkehr, Michael. 2008).
Pengecatan dengan Periodic Acid Shiff
Pengecatan dengan (hematoxylin and eosin stain).
d. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana
akan tampak floresensi merah bata(Wiederkehr, Michael. 2008).
VI.DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat
gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah
disebutkan dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%, sediaan
biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood.
VII.DIAGNOSIS BANDING
Candidosis intertriginosa
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya
oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina,
kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur,
baik laki-laki maupun perempuan.
Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen maupun eksogen.
Faktor endogen misalkan kehamilan karena perubahan pH dalam vagina, kegemukan
karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan
bayi, imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan kelembapan,
kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama menimbulkan
maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan penderita.
Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak, bagian bawah payudara,
bagian pusat, lipat bokong, selangkangan, dan sela antar jari; dapat juga mengenai daerah
belakang telinga, lipatan kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari tangan
biasanya antara jari ketiga dan keempat, pada sela jari kaki antara jari keempat dan kelima,
keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar.
Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa lenting-lenting yang dapat berisi
nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak kemerahan, batas tegas, Pada bagian tepi
kadang-kadang tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh lenting-lenting
atau papul di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka,
dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit sela jari tampak merah
atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal dan
berwarna putih.
Gambar Candidosis intertriginosa
Erytrasma
Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh
Corynebacterium minitussismum, ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di
daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi
eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya
bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di daerah
intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang
eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi yang
sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama
kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan
lampu wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral red) (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)
Gambar erytrasma
Gambar erytrasma dengan lampu wood tampak floresensi merah
Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar,
berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat
predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas ekstensor
terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema
yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi
pada stadium penyembuhan sering bagian di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi.
Gambar Psoriasis
Dermatitis Seboroik
Dermatitis Seboroik merupakan penyakit inflamasi konis yang mengenai daerah
kepala dan badan. Prevalensi Dermatitis Seboroik sebanyak 1-5% populasi.Lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ni dapat mengenai bayi sampa orang
dewasa. Umumnya pda bayi terjadi pada usia 3 bulan sedang pada dewasa pada usia 30-
60 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan dengan batas kurang tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya
bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudat dan krusta tebal.
VIII.PENATALAKSANAAN
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja
dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi. Semuanya
memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat
ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas
lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik
dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal.
Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut.
Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4
mingggu.
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan yaitu:
golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,tolnaftan,
haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah
enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana truktur tersebut
merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan Alynamin menghambat keja
dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang
berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan
penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol
tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan
alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris
tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik:
Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:
1.Golongan Azol
a.Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena
bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi
dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis.
Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream
1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi
obat ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas,
peradangan infeksi yang luas dan hinari kontak mata.
b.Mikonazole (icatin, Monistat-derm)
Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan
mata.
c.Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas
dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat
dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4 kali dalam
sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.
d.Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum
akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama
2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari
kontak dengan mata.
e.Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis
ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam
bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan
sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.
f.Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel,
sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan
solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa
(dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).
2.Golongan alinamin
a.Naftifine (Naftin)
Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang
mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4
minggu jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. .
Penggunaan pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).
b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang
merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan
ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian
melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi
penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu
3.Golongan Benzilamin
a. Butenafine (mentax)
Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur
menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,
diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan
sebanyak 4kali sehari.
4.Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA
b.Haloprogin (halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu dan
dioleskan sebanyak 3kali sehari.
c.Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4
minggu(Wiederkehr, Michael. 2008).
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea
cruris:
a. Ketokonazole
Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yangberspektrum luas.
Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu.
b. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas
yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent
sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur.Pada
penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil terbaik
2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selam 1 minggu dan dosis dapat
dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi 400mg/hari.Untuk anak-
anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang
hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan cisapride karena berhubunngan dengan
aritmia jantung.
c.Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat
mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole.
Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-
4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari
c.Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara
oral disesuaikan dengan berat badan:
12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu
20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu
>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu
Edukasi kepada pasien di rumah :
1.Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2.Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
3.Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti
pakaian yang lembab
4.Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak
ketat dan ganti setiap hari.
5.Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus
segera dicuci dan direndam air panas.
IX.KOMPLIKASI
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi
jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
X.PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan
kebersihan kulit selalu dijaga.
2 comments.
PEMERIKSAAN DAN TERAPI MORBUS HANSENPosted on May 18, 2009 by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.
LAPORAN KASUS
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
I.IDENTITAS PENDERITA
Nama: Tn. M
Umur: 26 tahun
Alamat: A, Jember
Jenis Kelamin: Laki-laki
Pekerjaan: Wiraswasta
Status: Menikah
Suku: Jawa
Agama: Islam
II.ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Bercak kemerahan pada pipi dan tidak terasa raba
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 tahun yang lalu, penderita mengeluh munculnya bercak kemerahan pada
punggung, timbul mendadak dan terasa gatal. Karena dianggap sebagai panu, penderita
membiarkannya. Tidak lama kemudian muncul bercak yang sama di bagian dada dan
tangan. Gatal namun tidak terasa nyeri. Selain itu muncul benjolan pada cuping telinga
kiri. Lama-kelamaan bercak menajdi semakin banyak dan penderita mengeluh tidak dapat
merasakan apa-apa ketika bercak tersebut disentuh. Penderita kemudian berobat ke
RSUD Balung dan dibilang sakit kulit. Penderita diberi obat kapsul 3 macam dan pil 2
macam. Penderita lupa nama obatnya. Setelah minum obat tersebut, penderita merasa
sakitnya berkurang. Karena merasa sudah sembuh, penderita menghentikan minum obat
dan tidak kontrol. Sekitar 1 bulan yang lalu muncul bercak kemerahan di leher dan
bercak putih di kaki disertai dengan bengkak pada punggung kaki kanan. Kemudian
Pasien berobat ke Puskesmas Lojejer dan diberi obat satu grenjeng warna putih dan
coklat diminum 1x perhari. Semakin lama bercak menjadi semakin banyak dan pasien
mengeluh kulitnya terasa tebal. Karena merasa takut, penderita akhirnya berobat ke
RSUD dr. SOEBANDI Jember.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
1. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang menderita penyakit seperti
ini.
1. Riwayat Pengobatan
Pernah berobat ke RSUD Balung dan Puskesmas namun pasien tidak tahu nama obatnya.
1. Riwayat Alergi
Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun makanan, dan pasien tidak pernah
melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya.
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Kesadaran: komposmentis
Keadaan Umum: baik
Kepala/Leher: dalam batas normal
Thorak
Cor: S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal
Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal
Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas normal
Ekstremitas: dalam batas normal
Genitalia: dalam batas normal
1. Status Lokalis
Regio Effloresensi
Fasialis Makula hiperpigmentasi dengan
hipoanestesi, batas tegas, plakat,
permukaan halus
Auricularis Cuping telinga menebal, iktiosis, simetris
bilateral
Torakalis Makula hiperpigmentasi, numular, batas
tegas, menyebar, hipoanestesi
Amtebrachii dextra/sinistra et dosrum
manus
Makula hiperpigmentasi dengan
hipoanestesi, numular sampai plakat, batas
tegas, iktiosis, skuama kasar
Cruris Oedema, eritematus, hangat pada perabaan,
iktiosis
Dorsum et plantar pedis Oedema eritematus, iktiosis, ulserasi
Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan saraf tepi
N. Auricularis magnus: menebal D/S (+), nyeri D/S (-)
N. Ulnaris: menebal D/S (-), nyeri D/S (-)
N. Peroneus lateralis: menebal D/S (-), nyeri D/S (-)
Fungsi saraf tepi
a.Sensorik
Sensasi raba: terganggu di dalam lesi dan tidak di luar lesi
Sensasi nyeri: terganggu pada lesi
Sensasi suhu: terganggu di dalam lesi
b.Motorik
Mata: lagoftalmus (+)
Ekstremitas superior: tahanan sedang
Ekstremitas inferior: tahanan sedang
c.Otonom
Kulit tampak kering dan retak-retak (fisura), ekstremitas inferior tampak oedema
Pemeriksaan komplikasi
R. Fasialis: Fascies leonina (-), madarosis (-), saddle nose (-), lagoftalmus (+)
Pemeriksaan bakteriologis
BI = +2,MI= -
IV.RESUME
Sejak 2 tahun yang lalu pasien mengeluh bercak kemerahan, berawal dari punggung yang
kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Pasien merasa pada bercak tersebut terasa menebal dan
tidak terasa apa-apa ketika disentuh. Kaki bengkak berwarna merah kehitaman, terasa nyeri pada
punggung kaki dan pada telapak kaki terasa tebal. Pada pemeriksaan di regio pedis didapatkan
oedema eritematus pada dorsum pedis dan ulserasi pada plantar pedis. Pada seluruh tubuh
didapatkan makula hiperpigmentasi, batas tegas, sentral healing (-), tepi sedikit meninggi,
iktiosis dan terdapat penebalan cuping telinga bilateral. Pada pemeriksaan tambahan didapatkan
tes sensibilitas (-) penebalan N. Aurikularis magnus. Bakteriologi indeks +2 dan morfologi
indeks (-).
V.DIAGNOSIS BANDING
1. Ptiriasis alba
2. Ptiriasis rosea
VI.DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe Multibasiler
VII.PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa
a.Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan akan
berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat di
puskesmas dan tidak boleh putus obat.
b.Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh
tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke
saranan pelayanan kesehatan.
c.Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada
tindakan pencegahan. Pencegahan
oCuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak
mengandung pelembab, bukan detergen.
oRendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah
lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.
oUntuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
oSecara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera
mencari pertolongan medis.
oProteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau
menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
1. Medikamentosa
Terapi MDT-MB (Rifampisin, Lampren, dan DDS) selama 12-18 bulan.
VIII.PROGNOSIS
Pada umumnya baik, hanya jika pasien mampu mengikuti program secara teratur..
REFLEKSI KASUS
PEMERIKSAAN DAN TERAPI MORBUS HANSEN
I.SINONIM
Morbus Hansen juga dikenal dengan nama lepra, penyakit kusta, leprosy, Hansen’s
disease, dan Hanseniasis.
II.DEFINISI
Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada manusia
yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer (Fauci, 2008). Istilah kusta
berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.
Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu
Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen
(Zulkifli, 2:2003).
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada
umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai
kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian,
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Hiswani, 1:2001).
III.ETIOLOGI
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak
membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai
mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan basil
“cepat asam” (Brooks, 453:2005). Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra.
Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar
morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya
(Isselbacher, 808:1999).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk
pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk clumps.
Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya
biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian
atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan
seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana
beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok –
kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan kelompok
besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa
bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni,
4-5:2009).
IV.EPIDEMIOLOGI
4.1 Distribusi Menurut Geografi
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar kasus lepra terjadi pada wilayah
dengan iklim tropis.
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah
pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah
pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan
dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak
dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan jumlah rata-
rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah
penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175
(WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai
tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe
multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all, 21:2003).
4.2 Distribusi Menurut Waktu
Seperti terlihat pada tabel di bawah, ada 17 negara yang melaporkan 1.000 atau lebih
kasus baru selama tahun 2005. Tujuh belas negara ini memiliki kontribusi 94% dari seluruh
kasus baru di dunia (Depkes, 7:2006).
Dari tabel terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru, akan
tetapi sejak tahun 2002 pada berbagai negara terjadi peningkatan kasus baru seperti di Republik
Demokrasi Kongo, Indonesia, dan Filipina (Depkes RI, 7:2006)
Tabel Penemuan kasus baru di 17 negara dengan jumlah pasien kusta terbanyak
No. NegaraJumlah kasus baru ditemukan
1993 2002 2003 2004 2005
1 Angola 339 4.727 2.933 2.109 1.877
2 Bangladesh 6.943 9.844 8.712 8.242 7.882
3 Brazil 34.235 38.365 49.206 49.384 38.410
4 China 3.755 1.646 1.404 1.499 1.658
5 D. R. Congo 3.927 5.037 7.165 11.781 10.737
6 Egypt 1.042 1.318 1.412 1.216 1.134
7 Ethiopati 4.090 4.632 5.193 4.787 4.698
8 India 456.000 473.658 367.143 260.063 161.457
9 Indonesia 12.638.74
012.377 14.641 16.549 19.695
10 Madagascar 740 5.482 5.104 3.710 2.709
11 Mozambique 1.930 5.830 5.907 4.266 5.371
12 Myanmar 12.018 7.386 3.808 3.748 3.571
13 Nepal 6.152 13.830 8.046 6.958 6.150
14 Nigeria 4.381 5.078 4.799 5.276 5.024
15 Philippines 3.442 2.479 2.397 2.254 3.130
16 Sri Lanka 944 2.214 1.952 1.995 1.924
17 U.R.Of Tanzania 2.731 6.497 5.279 5.190 4.237
Jumlah
555.307
(94%)
599.945
(97%)
495.074
(96%)
389.027
(95%)
279.664
(94%)
Jumlah Global 590.933 620.638 514.718 407.791 296.499
.
4.3 Distribusi Menurut Faktor Manusia
a. Etnik atau Suku
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena
faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama:
kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau
India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
b. Faktor Sosial Ekonomi
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal
ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut
ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta
impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).
c. Distribusi Menurut Umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan
prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat
sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya
penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data
umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta
diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih
dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes RI,
8:2006).
d. Distribusi Menurut Jenis Kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di
dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang
dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena
faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki
lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 8:2006).
4.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta
a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang
tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).
b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung
dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10.
Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan
sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006).
c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara
penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang
lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak
menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).
d. Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat
dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem
kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas,
menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis
penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe
penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat
ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang
dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
V.PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell)
dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung
pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC
pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada
permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.
Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1
dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni,
6:2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3
melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel
B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I
akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal
hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka
sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag
akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid
ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL
4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan
melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling
efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk
tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk
bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya
peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator
CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan
yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu –
satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 –
TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein.
TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni,
8:2009).
5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC
kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan
Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat
glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan
merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan
saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.
Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).
5.2 Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe
reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang
cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi
pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada
respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous
( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.
Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada
pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan
mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel
(Wahyuni, 8:2009).
VI.Gambaran Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan
dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer
yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan
tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak
seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang
dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat
mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke
seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar
limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.
Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling
SifatLepromatous
Leprosy (LL)
Borderline
Lepromatous (BL)
Mid Borderline
(BB)
Lesi
Bentuk Makula, Infiltrat
Difus, Papul, Nodul
Makula, Plakat,
Papul
Plakat, Dome
Shaped (Kubah),
Punched Out
Jumlah
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir Simetris Asimetris
Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Kasar/berkilat
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas
Anastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas
BTA
Lesi Kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak
Sekret Hidung Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di
bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipostesia atau sedikit penebalan saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama
karena kerusakan saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari
bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan tangan. Pada N.
Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung
(foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki,
claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah
cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta
servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada
N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk
plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape
resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman aktif
kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun lama
pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu
tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular skin
lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan
berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ
tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan
nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang
nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan
nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil
M.leprae di endotel kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi
bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.
VII.Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat
– alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing –
masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi
dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran
reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak
(Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh
sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf
mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).
Cara pemeriksaan saraf tepi
d.N. Aurukularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan
terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua
jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada
penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau
kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan (Daili, 21:2003).
e.N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi
ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan
dan yang kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau tidak (Daili, 22:2003).
f.N. Paroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum
fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).
7.2 Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
-. Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan
rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada
waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa
disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan
jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa
pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus
diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).
-. Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam
dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang
tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).
-. Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya
400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke
tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah
menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu
(Daili, 22:2003).
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan
lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
1. Tes dengan pensil tinta
Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke
daerah kulit normal.
1. Tes pilokarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin subkutan. Setelah
beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap
kering.
c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
-. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari telunjuk,
jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika
pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari
manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik
kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.
-. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat
ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus.
Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.
-. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan
ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
-. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi pada
pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan
ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
7.3 Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping
telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA
dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %
Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
7.4 Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
7.5 Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan
alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
7.6 Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae.
O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada
tuberkolosis.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
VIII.Diagnosis
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang
hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan
tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan
didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa
nyeri.
2.Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.
IX.Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis
alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak,
Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis
dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel
melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang
dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan
hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka
diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit.
Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter
saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan
diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin.
Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan
fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering
terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan
hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris.
Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan
ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga
yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental
adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang
hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial
adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium
awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu
pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora
normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau
Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua
yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun
penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek
sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna –
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang,
dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala
klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir,
daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak
terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku –
siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi
virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya
bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan
disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang
meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di
bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat
konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari
berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif
tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan
saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan,
maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual,
muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi
dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin
( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly
neuropathy dan demensia.
X.Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.
Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali
normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit
beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan
bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di
berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan
PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-
5).
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum
obat.
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum di
rumah
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.
Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu
berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama
2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampici
n
Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari diminum
di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari diminum
di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw
toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,
pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat
penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat
kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan
pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan
dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,
Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling
dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide
juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan
sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison
atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga
diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon
maksimal.
XI.Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe
pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau
resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:
Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis
6 Bulan Klofazimin
Ofloksasin
Minosiklin
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg.hari
Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan
Ofloksasin atau
Minosiklin
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg/hari
Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan
klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di atas.
b.Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin
pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin
100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen
MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB, obat
ini harus dihentikan.
Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:
Rifampisin Klofazimin
Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan
XII.Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik
sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering
terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus
difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada
penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
XIII.Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen
dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga
ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, et all. 2005. Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Daili, et all. 2003. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Nasional.
Erlan, J.E, et all, 2003. Penderita Lepra Rawat Jalan di RSUD dr. SOEBANDI Jember. Dalam Jurnal Biomedis. Jember: Penerbit FK UNEJ.
Fauci, A. 2008. 17th edition, Harrison’s Prinsiples of Internal Medicine. USA: Mc. Graw-Hill Companies, Inc.
Hiswani, 2001. Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih Dijumpai di Indonesia. Medan: USU Digital Library.
Isselbacher, et all. 1999. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lerner, K, et all. 2003. World of Mikrobiology and Immunology. USA: Gale and Design TM and Thomson Learning TM.
Wahyuni, S. 2009. Dermatomuskular Sistem Dengan Kusta. Medan: USU Digital Library.
WHO. 2002. Definitions and Technical Guidelines for Leprosy Case Holding In The Frame of The Leprosy Elimination Strategy. Regional Office for Africa Division of prevention and control of communicable diseases Regional Leprosy Elimination Programme.
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Medan: USU Digital Library.
2 comments.
IMPETIGO: TERAPI DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TOPIKAL BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE
Posted on by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.
LAPORAN KASUS
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
I.IDENTITAS PENDERITA
Nama: An R. M. R
Jenis Kelamin: Laki-laki
Umur: 16 bulan
Suku: Jawa
Agama: Islam
Pekerjaan: -
Alamat:S, Jember
II.HETEROANAMNESIS
Heteroanamnesis dilakukan pada Mbah pasien yang mengantarkan pasien berobat ke
RSUD dr. SOEBANDI Jember
1. Keluhan Utama
Luka garukan di regio lumbal posterior dekstra
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut Mbah pasien mulai 10 hari yang lalu pasien mengeluhkan gatal pada regio
lumbal posterior dekstra, tanpa adanya keluhan gatal di daerah lain.
Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah
dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan
menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan
tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
1. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang menderita penyakit seperti
ini.
1. Riwayat Pengobatan
Pernah berobat ke dokter umum, lalu diberi salep dan tablet, namun keluhan tidak
berkurang.
1. Riwayat Alergi
Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun makanan, dan pasien tidak pernah
melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya.
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Kesadaran: komposmentis
Keadaan Umum: baik
Kepala/Leher: dalam batas normal
Thorak
Cor: S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal
Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal
Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas normal
Ekstremitas: dalam batas normal
Genitalia: dalam batas normal
1. Status Lokalis
Lokasi : regio lumbal dekstra bagian posterior
Efloresensi : Pada pemeriksaan didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh,
tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah
berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.
IV.RESUME
Seorang anak laki-laki 16 bulan, dating dengan keluhan utama adanya luka garukan di
regio lumbal dekstra bagian posterior.
Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah
dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan
menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan
tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di region lumbal dekstra bagian posterior,
didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah
eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus
dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.
V.DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis kontak
2. Varicella
3. Karbunkel
4. Furunkel
VI.DIAGNOSIS KERJA
Impetigo Bulosa
VII.USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila diperlukan dapat melakukan pemeriksaan isi vesikel dengan pengecatan gram, lalu
bias dilakukan uji katalase.
VIII.PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa
Menjaga kebersihan, yaitu dengan :
-. Mandi teratur dengan sabun mandi
-. Pakaian, handuk, sprei, sering diganti dan dicuci air panas
-. Pakaian, handuk, sebaiknya hanya digunakan oleh satu orang (tidak untuk digunakan
beramai-ramai)
-. Kontrol setelah 5-7 hari
1. Medikamentosa
Sistemik : Eritromisin sirup 250 mg, 3 DD I ct
Topikal : Asam Fusidat
IX.PROGNOSIS
Pada umumnya baik, pada pasien ini 5-7 hari kemudian tidak kontrol mungkin saja sudah
tejadi perbaikan sehingga menurut keluarga pasien tidak perlu kontrol.
REFLEKSI KASUS
IMPETIGO: TERAPI DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TOPIKAL
BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE
I.DEFINISI
Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit
(Djuanda, 56:2005). Impetigo biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit
dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis, Skabies,
Infeksi jamur, dan pada insect bites (Beheshti, 2:2007).
II.SINONIM
Impetigo krustosa juga dikenal sebagai impetigo kontangiosa, impetigo vulgaris, atau
impetigo Tillbury Fox. Impetigo bulosa juga dikenal sebagai impetigo vesikulo-bulosa atau cacar
monyet (Djuanda, 56-57:2005).
III.ETIOLOGI
Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik
Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan pathogen primer pada
impetigo bulosa dan ecthyma (Beheshti, 2:2007).
Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif dengan ukuran 1 µm, berbentuk bulat,
biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad,
dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan. Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit berkat
kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui
produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain
berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan
katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok
toksik, dan enterotoksin. (Brooks, 317:2005).
Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang mempunyai
karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20
produk ekstraseluler yang antigenic termasuk dalam grup A, (Streptococcus pyogenes)
diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin pirogenik,
disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin (Brooks, 332:2005).
IV.EPIDEMIOLOGI
Impetigo terjadi di seluruh Negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari
tahun ke tahun. Di Amerika Serikat Impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai
pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara
Amerika (Provider synergies, 2:2007). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4
tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan
impetigo krustosa (Cole, 1:2007).
Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk
lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak atau juga
pada tempat dengan hygiene buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk (Cole, 1:2007).
V.FAKTOR PREDISPOSISI
o Kontak langsung dengan pasien impetigo
o Kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo
o Cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab
o Kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat
o Pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik
(Sumber Beheshta, 2:2007).
VI.MANIFESTASI KLINIK
1)Impetigo Krustosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di wajah, terutama sekitar
lubang hidung dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang
mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi
umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi (Boediardja, 2005; Djuanda, 2005).
Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi,
tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih sering disebabkan
oleh Streptococcus.
Kelainan kulit didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera
terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa dan
purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi gambaran
karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit
disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat
dengan mudah menyebar secara autoinokulasi (Boediardja, 2005).
2). Impetigo Bulosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung.
Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa
vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh,
dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang
berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette”
pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan
memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat
rapuh (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai
dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali
di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi. (Yayasan Orang Tua Peduli,
1:2008).
Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali
disetai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).
VII.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk
menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negative. Bisa dilanjutkan
dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara Staphylococcus dan Streptococcus
(Brooks, 332:2005).
VIII.DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit
kering; penebalan pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak
seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.
2. Candidiasis (infeksi jamur candida): papul merah, basah; umumnya di daerah selaput
lender atau daerah lipatan.
3. Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitive yang kontak dengan zat-zat yang
mengiritasi.
4. Diskoid lupus eritematus: lesi datar(plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel
rambut.
5. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat
menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai
jaringan kulit dalam (dermis).
6. Herpes simpleks: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi
lecet tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit.
7. Gigitan serangga: Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.
8. Skabies: Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal
pada malam hari.
9. Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan, kaki,
dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap
(vesikel, krusta) pada saat yang sama (Cole, 3:2007).
IX.KOMPLIKASI
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati.
Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama
usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotic. Gejala berupa bengkak
dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urine seperti warna the. Keadaan ini
umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul (Yayasan Orang Tua
Peduli, 4:2008).
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-
paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh
limfe atau kelenjar getah bening (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008).
X.PENATALAKSANAAN
1.Terapi nonmedikamentosa
oMenghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai
mengelupaskan krusta dengan handuk basah
oMencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet
dengan perban tahan air dan memotong kuku anak
oLanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh
oLakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran local
oDapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo krustosa.
oLakukan pencegahan seperti yang disebutkan pada point XI di bawah.
2.Terapi medikamentosa
a.Terapi topikal
Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan
baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan
dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik (Djuanda, 57:2005).
1). Antiseptik
Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo terutama yang
telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan menggunakan
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil
penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan
2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah sebanyak 0 koloni (Suswati, 6:2003).
Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu untuk mengendalikan penyebaran
penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus (Suswati, 6:2003).
2). Antibiotik Topikal
oMupirocin
Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai digunakan sejak
tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan protein
dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan
mupirocin topikal yang dibandingkan dengan pemberian eritromisin oral pada pasien
impetigo yang dilakukan di Ohio didapatkan hasil sebagai berikut:
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan mupirocin topikal jauh lebih
unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo, meskipun pada awal
kunjungan diketahui lebih baik penggunaan eritromisin oral, namun pada akhir terapi
dan pada evaluasi diketahui jauh lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan
eritromisin oral dan penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure (Goldfarb,
1-3).
Untuk penggunaan mupirocin topikal dapat dilihat pada tabel berikut:
oFusidic Acid
Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang dibandingkan
dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien impetigo dan
didapatkan hasil sebagai berikut:
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid.
oRatapamulin
Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo. Namun bukan
untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin resisten.
Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan
peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein sintesis dari bakteri
(Buck, 1:2007).
Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo yang
berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau
>2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien tersebut
didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-pasien tersebut
diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi. Evaluasi dilakukan
mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi
telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik tanpa penggunaan terapi
tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan ratapamulin didapatkan
perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang
menggunakan plasebo (Buck, 1:2007).
oDicloxacillin
Penggunaan dicloxacillin merupaka First line untuk pengobatan impetigo, namun
akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin mulai tergeser oleh penggunaan ratapamulin
topikal karena diketahui ratapamulin memiliki lebih sedikit efek samping bila
dibandingkan dengan dicloxacillin. Penggunaan dicloxacillin sebagai terapi topical
pada impetigo sebagai berikut:
(Sumber: Primary Clinical Care Manual 2007)
b.Terapi sistemik
1)Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu)
a.Penicillin G procaine injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehari
Anak: 25.000-50.000 IU im 1-2 x sehari
b.Ampicillin
Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac
c.Amoksicillin
Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac
d.Cloxacillin (untuk Staphylococcus yang kebal penicillin)
Dosis: 250-500 mg/ dosis, 4 x sehari ac
Anak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac
e.Phenoxymethyl penicillin (penicillin V)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari ac
Anak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari ac
2)Eritromisin (bila alergi penisilin)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari pc
Anak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc
3)Clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna)
Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari
Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari
4)Penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya
Pada penggunaan sistemik antibiotik lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah, sebagai
berikut:
XI.PENCEGAHAN
Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya
1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien,
terutama apabila terkena luka.
2. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita
3. Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada
orang lain, setelah digunakan pasien
4. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat
mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)
5. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan
bersih
6. Jauhkan diri dari orang dengan impetigo
7. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya.
Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas.
Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
8. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan
cuci tangan setelah itu
(Sumber: Northern Kentucky Health Department, 1:2005).
XII.PROGNOSIS
Pada umumnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
Beheshti, 2007, Impetigo, a brief review, Fasa-Iran: Fasa Medical School.
Buck, 2007, Ratapamulin: A New Option of Impetigo, Virginia USA: University of Virginia
Children’s Hospital.
Cole, 2007, Diagnosis and Treatment of Impetigo, Virginia:University of Virginia School of
Medicine.
Djuanda, 2005, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Goldfarb,Randomized Clinical Trial of Topical Mupirocin Versus Oral Eyitromycin for
Impetigo, Ohio: University School of Medicine.
NN, 2007, Primary Clinical Care Manual 2007,
Northern Kentucky Health Department, 2005, Impetigo, Kentucky: Epidemiology Services,
Northern Kentucky Health Department.
Provider synergies, 2007, Impetigo Agents, Topical Review, Ohio: Intellectual Property
Department Provider Synergies LLC.
Suswati. E, 2003, Efek Hambatan Triklosan 2% Terhadap Pertumbuhan Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA), Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Yayasan Peduli Orang Tua, 2007, Impetigo, Jakarta Selatan: Yayasan Peduli Orang Tua.
no comments yet.
ACNE VULGARISPosted on April 25, 2009 by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.
Made by my senior: Andi Shita Anggraeni
AKNE VULGARIS
DEFINISIAkne vulgaris adalah penyakit kulit yang sering menyerang manusia (85-100%).Ditandai dengan
papul folikular tidak meradang atau komedo dan papul yang meradang,pustule,dan nodul dalam
bentuknya yang lebih berat.Lokasi yang sering terkena adalah daerah dengan folikel sebasea
yang padat yaitu wajah,dada atas dan punggung.
EPIDEMIOLOGI
Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini,maka sering dianggap sebagai
kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Kligman menyatakan bahwa tidak ada seorangpun
(artinya 100%),yang sama sekali tidak pernah menderita penyakit ini.Penyakit ini memang
jarang terdapat pada waktu lahir,namun ada kasus yang terjadi pada masa bayi.Betapapun pada
masa remajalah akne vulagaris menjadi salah satu problem.Umumnya insidens terjadi pada umur
14 – 17 tahun pada wanita,16 – 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang predominan
adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang.
Pada seorang gadis akne vulgaris dapat terjadi premenarke.Setelah masa remaja kelainan ini
berangsur berkurang.Namun kadang-kadang terutama pada wanita ,akne vulgaris menetap
sampai dekade umur 30-an atau bahkan lebih.Meskipun pada pria umumnya akne vulgaris lebih
cepat berkurang,namun pada penelitian diketahui bahwa gejala akne vulgaris yang berat biasanya
terjadi pada pria.Diketahui pula bahwa ras oriental (Jepang.Cina,Korea) lebih jarang menderita
acne vulgaris dibanding ras Kaukasia (Eropa,Amerika),dan lebih sering terjadi nodulo-kistik
pada kulit putih daripada negro.Akne vulgaris mungkin familial,namun karena tingginya
prevalensi penyakit ini sukar dibuktikan.Dari sebuah penelitian diketahui bahwa mereka yang
bergenotip XYY mendapat akne vulgaris yang lebih berat.
PATOFISIOLOGI
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan akne yaitu hiperproliferasi folikel
epidermal dengan rangkaian penutupan folikel,kelebihan sebum,aktivitas Propionibacterium
acnes,dan inflamasi.
1.Hiperproliferasi foikel epidermis,dapat dijelaskan oleh 3 teori yaitu :
1.Teori hormone androgen.Pada masa adrenarche didapatkan penutupan folikel sebasea
yang mengakibatkan munculnya komedo selain itu beratnya komedo pada usia remaja
berbanding lurus dengan nilai androgen adrenal dehydroiandrosterone sulfate
(DHEA-S) dan peningkatan reseptor androgen pada folikel sebasea.
2.Perubahan komposisi lemak kulit.Penderita akne sering disertai dengan kelebihan
produksi sebum dan kulit yang berminyak.Kelebihan sebum ini akan terlarut dalam
lemak epidermal dan merubah berbagai konsentrasi berbagai lemak termasuk
penurunan asam linoleat.
3.Inflamasi,Interleukin (IL)- 1-Alpha adalah sitokin pro inflamatori yang dipakai jaringan
dalam memicu terjadinya hiperproliferasi folikel epidermal.
2.Kelebihan sebum juga menjadi faktor lain terbentuknya akne.Produksi dan akskresi sebum
diatur oleh beberapa hormon dan mediator.Hiperresponsif organ terhadap hormon
androgen,hormon pertumbuhan menjadi penyebab timbulnya akne.
3.Propionibacterium acnes adalah organisme mikroaerofili yang didapatkan pada akne.
Propionibacterium acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi mediator proinflamasi
yang dapat berdifusi melalui dinding folikel.Selain itu juga mengaktivasi toll-like receptor 2
pada monosit dan netrofil yang akan memicu produksi berbagai sitokin proinflamatori
misalnya IL-12,IL-8,dan TNF.
4.Inflamasi dapat terjadi primer maupun sekunder karena Propionibacterium acnes.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH :
1.Keturunan.
2.Stres dan emosi.
3.Musim.
4.Diet : Pengaruh makanan masih menjadi perdebatan para ahli.
5.Menstruasi.
70% wanita mengalami eksaserbasi 2 – 7 hari sebelum menstruasi.
6.Obat – Obat :
Kortikodsteroidoral/
topikal,ACTHandrogen,yodida,bromida,INH,Vit.B12,diphenylhidantoin,phenobarbital dapat
menyebabkan eksaserbasi akne yang sudah ada atau menyebabkan erupsi yan mirip akne
(“acneiform eruptions”).
7.Kosmetika.
Bahan-bahan yang bersifat komedogenik sering sebagai penyebab terutama terdapat pada
krim dasar,pelembab,krim tabir surya.
GEJALA KLINIS
Tempat predileksi akne vulgaris adalah di muka, bahu, dada bagian atas, dan punggung
bagian atas.Lokasi kulit lain misalnya lengan atas,dan glutea kadang-kadang terkena.Erupsi kulit
polimorfi, dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang tidak beadang, dan
pustul, nodus dan kista yang beradang.Dapat disertai rasa gatal, namun umunya keluhan
penderita adalah keluhan estetis.Komedo adalah gejala patognomonik bagi acne berupa
papulmiliar yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam akibat
mengandung unsur melanin disebut komedo hitam atau komedo terbuka (black komedo,open
komedo).Sedang bila berwarna putih karena letaknya lebih dalam sehingga tidak mengandung
unsur melanin disebut sebagai komedo putih atau komedo tertutup (white komedo,close komedo).
KLASIFIKASI
Klasifikasi akne diperlukan untuk mengetahui berat ringannya penyakit serta pengobatan yang
dilakukan.Banyak sekali penggolongan akne,salah satunya adalah klasifikasi akne menurut
Plewig dan Kligman :
1.Akne Komedonal
Tingkat I: kurang dari 10 komedo tiap sisi muka
Tingkat II: 10 – 25 komedo tiap sisi muka.
Tingkat III: 25 – 50 komedo tiap sisi muka.
Tingkat IV: lebih dari 50 komedo tiap sisi muka.
2.Akne papulopustuler
Tingkat I: kurang dari 10 lesi beradang tiap sisi muka.
Tingkat II: 10 – 20 lesi beradang tiap sisi muka.
Tingkat III: 20 – 30 lesi beradangtiap sisi muka.
Tingkat IV: lebih dari 30 lesi beradang tiap sisi muka.
3.Akne konglobata
Adapun penulis di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN dr.Cipto
Mangunkusumo membuat gradasi akne vulgaris sebagai berikut :
1. Ringan
Beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi.
Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi.
Sedikit lesi beradang pada 1 predileksi.
2. Sedang
Banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi.
Beberapa lesi tak beradang lebih dari 1 predileksi.
Beberapa lesi beradang pada 1 predileksi,sedikit lesi beradang pada lebih dari 1
predileksi.
3. Berat
Banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi.
Banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi.
Catatan:Sedikit
Beberapa 5 – 10 lesi.
Banyak > 10 lesi.
Tak beradang : komedo putih,komedo hitam,papul.
Beradang : pustul,nodul,kista.
DIAGNOSIS
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan pemeriksaan ekskohleasi
sebum,yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok unna).Sebum yang
menyumbat folikeltampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lunak bagai nasi yang
kadang ujungnya berwarna hitam.
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik berupa
sebukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan massa sebum di dalam
folikel.Pada kista,radang sudah menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair
sebum yang bercampur dengan darah,jaringan mati, dan keratin yang lepas.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran pada etiologi
dan patogenesis penyakit dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi yang lengkap untuk
tujuan penelitian,namun hasilnya sering tidak memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids) dapat pula
dilakukan untuk tujuan serupa.Pada akne vulgaris kadar lemak bebas (free fatty acid) meningkat
dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaanakne vulgaris bertujuan untuk mencegah terjadinya erupsi (preventiv)
dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif).
Penatalaksanaan akne vulgaris dibagi menjadi :
1.Prinsip umum
Menurut urutan yang terpenting,yaitu :
1)Mencegah pembentukan komedo (dengan peeling agents)
2)Mencegah pecahnya micro komedo atau melemahkan reaksi radang yang berlangsung
(denan antibiotika)
3)Mempercepat resolusi lesi yang beradang (dengan sinar ultra violet,pembekuan,bahan
iritan,dsb)
2.Perawatan kulit
1)Cuci muka dengan sabun dan air hangat 2 kali sehari
2)Jangan memencat atau memijit-mijit lesi yang ada
3)Mencegah pemakaian kosmetik yang berminyak
4)Menghirup udara segar dan olah raga teratur
5)Jangan mencuci muka berlebihan denagn sabun (6 – 8 kali sehari) karena sabun bersifat
komedogenikdan dapat menyebabkan akne detergen
6)Sabun-sabun bakteriostatik yang biasanya mengandung bahan-bahan heksaflofen
trikarbaninid,dan chlorinated salicylanilidies dapat mengurangi flora aerobik kulit
tetapi tidak ada efek terhadap Propionibacterium acnes
3.Makanan
4.Pengobatan
A.Pengobatan topikal
Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo,menekan
peradangan,dan mempercepat penyembuhan lesi.Obat topikal terdiri atas :
1)Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling),seperti :
a.Retinoid
Retinoid (derivat vitaminA) topikal,tretionin,isotretionin,dan adapalene
menyebabkan peeling superfisial tanpa memblok felikel,sehingga sesuai untuk tipe
akne komedonal.
Tretinoin kadang menyebabkan dermatitis iritan.Pada permulaan dianjurkan
memakai tretionin sekali sehari pada malam hari.Bila tidak terjadi eritema dan
pengelupasan, obat dapat dipakai 2 kali sehari.Pada pemakaian tretinoin dianjurkan
untuk :
1.Menghindari sinar matahari (karena adanya proses fotodegradasi dan
peningkatan kepekaan terhadap sinar matahari) atau menggunakan tabir surya.
2.Tidak terlalu sering mencuci muka.
3.Tidak menggunakan obat terlalu banyak
4.Hati-hati penggunaan obat di sudut mulut, hidung, dan mukosa.
Adapun adapalena dan isotretionin sama efektifnya seperti tretionin, bahkan lebih
tidak menyebabkan iritasi dibandingkan tretionin.Retinoid tropikal tidak boleh
digunakan pada wanita hamil.
b.Benzoil peroksida
Benzoil peroksida memiliki efek sebagai anti bakteri, keratolitik dan sedikit anti
inflamasi.Bermanfaat untuk mengobati akne ringan sampai sedang.Efek samping
yang sering terjadi adalah kulit kering, eritema, dan peeling (pengelupasan kulit).Pada
pemulaan pengobatan pasien merasa seperti terbakar,gejala ini akan berkurang dalam
beberapa minggu, sehingga sebaiknya dimulai dari dodid yang rendah dahulu,
kemudian lambat laun dinaikkan dosisnya.
c.Asam salisilat
Agen ini menghambat pembentukan komedo,dan mempunyai efek sebagai
komedolitik dan keratolitik.Dapat dipakai sebagai terapi tunggal atau kombinasi, dan
dapat dipakai sebagai terapi alternatif bagi penderita yang tidak toleran terhadap
benzoil peroksida.Digunakan pada terapi akne gradasi ringan sampai sedang.
2)Anti biotika
Anti biotika topikal ini bekerja dengan mengurangi jumlah P.Acnes di dalam folikel
pilosebasea.Obat ini jarang menyebabkan iritasi.Tetapi perlu diketahui bahwa
antibiotika topikal tidak lebih efektif daripada benzoil peroksida dan trtionin untuk
mengatasi akne ringan sampai sedang.Karena meskipun antibiotika topikal
mengurangi inflamasi tetapi efek terhadap komedo kurang konsisten.
Clindamycin dan eritomycin adalah antibiotika topikal yang banyak
digunakan.Kombinasi antara benzoil peroksida dan Clindamycin atau eritomycin
lebih efektif dibandingkan dengan antibiotik topikal saja.Erytromycin adalah
antibiotika topikal yang paling aman digunakan untuk wanita hamil.Tetrasiklin
topikal juga bisa digunakan, tetapi kurang disukai karena menyebabkan pewarnaan
pada kulit dan pakaian.
3)Anti peradangan topikal
Dapat digunakan sediaan seperti kortikosteroid ringan (hidrocortison 1 – 2,5%) atau
suntikan intralesi kortikosteroid kuat (triamsinolon asetonid 10 mg/cc) pada lesi
nodulokistik.
B.Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad renik disamping dapat
juga untuk mengurangi reaksi radang,menekan produksi sebum,dan mempengaruhi
keseimbangan hormonal.Terdiri atas :
1.Antibiotik sistemik
a.Golongan Tetracyclin
Golongan teracyclin bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri pada
ribosomnya.Absorbsinya 30 – 80% dalam saluran cerna.Doksisiklin dan minoksiklin
90%.Adanya makanan dalam lambung menghambat penyerapan golongan
tetracyclin,kecuali doksisiklin dan minoksiklin.Ditimbun dalam hati,limpa, dan sumsum
tulang, serta dentin dan email gigi dari gigi yang belum erupsi.Doksisiklin dan
minoksiklin penetrasi ke jaringan lebih baik.Diekskresi melalui urine dan feces.
Golongan tetracyclin dibagi 3 berdasarkan sifat farmakokinetiknya,yaitu : (1)Tetrasiklin,
klortetrasiklin dan oksitetrasiklin, absorbsinya tidak lengkap, waktu paruh 6 – 12 jam.(2)
Dimetilklortetrasiklin, absorbsinya lebih baik, masa paruh 16 jam.(3) Doksisiklin dan
minoksiklin absorbsinya lebih baik sekali, masa paru 17 – 20 jam, cukup diberikan 1 atau
2 kali sehari.
Tetracyclin dapat mengakibatkan perubahan warna gigi dan tidak dianjurkan untuk
wanita hamil.Efek samping yang lain iritasi lambung, dan infeksi jamur vagina.Dois 4 x
250 mg setiap hari, diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan selama 4 –
8 minggu berikutnya.
Dimekksosiklin dosis tinggi 4 x 250 mg sehari diberikan 1 jam sebelum makan selama 3
– 6 minggu dan dosis disesuaikan setiap 3 – 4 minggu berikutnya.Dosis rendah 150 mg
sehari diberikan 1 jam sebelum makan selama 6 minggu dan dosis berikutnya disesuaikan
setiap 6 minggu.Obat ini jarang dipakai.
Doxycyclin efektif membunuh kuman gram positif dan negatif.Dosis tinggi 2 x 200 mg
sehari diberikan selama 2 – 4 mingu, selanjutnya dosis disesuaikan dengan keadaan
penyakit.Dosis rendah 1 x 200 mg sehari diberikan selama 6 – 8 minggu, selanjutnya
disesuaikan sesuai keadaan penyakit.Efek sampingnya berupa fototoksik,renal diabetes
insipidus syndrom.
Minoksiklin efektif untuk membunuh bakteri gram positih dan negatif.Dosis 2 x 100 mg
sehari diberikan 3 -6 minggu,selanjutnya dosis disesuaikan setiap 3 – 6 minggu
berikutnya.Dosis rendah 50 – 100mg sehari diberikan selama 4 – 6 minggu selanjutnya
dosis disesuaikan setiap 6 minggu.Efeksampingnya adalah gangguan
keseimbangan,nousea,diskolorisasi kilit warna abu-abu sampai biru.
b.Erytromycin
Merupakan obat pilihan untuk penderita yang sensitif pada tetrasiklin dan wanita
hamil.Memiliki efek bakterisida terhadap P.Acnes.Dosis 1gr/hari.
c.Klyndamicyn
Efektif untuk akne bentuk kistik,absorbsinya tidak dipengaruhi makanan.Dosis 150 – 300
mg sehari 2 kali.
2. Hormonal
a.kortikosteroid
Kortikosteroid intralesi berguna untuk lesi nodulokistik besar dan sinus pada acne
conglobata.Cepat mengurangi keradanagan dan mencegah timbulnya cicatric.Dipakai
larutan dengan konsentrasi 2,5 mg/ml dan penyuntikan dapat diulangi 1 – 2
minggu.Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk acne tipe nodulokistik dengan
cicatric yang hebat dan diberikan dalam jangka waktu yang pendek.
b.Esterogen (Oral Contraceptive Pills (OCPs))
Kontrasepsi ini mungkin dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada terapi akne pada
wanita.OCPs menurunkan sirkulasi androgen,yang akhirnya dapat menurunkan produksi
sebum.Estrogen pada OCPs meningkat setara dengan sex-hormon-binding globulin,
dimana, akhirnya, menurunkan jumlah testosterone bebas.Estrogen juga menurunkan
sekresi gonadotropin oleh pituitai anterior, dengan konsekuensi penurunan produksi
androgen pada ovarium.Saat OCPs digunakan untuk terapi akne, dokter harus meresepkan
formulasi yang mengandung progestin dengan efek androgen yang rendah.Progestin yang
tepat digunakan antara lain norethindrone (Norlutin), norethindrone acetate (Aygestin),
ethynodiol diacetate (Zovia), dan norgestimate (Ortho-Cyclen).
3. D.D.S (Diamino Diefil Sulfon)
Seperti sulfonamida,DDS dapat menghambat pemakaian PABA (Para Aminino Benzoid
Acid) oleh bakteri.Obat ini hanya digunakan untuk akne dengan peradangan yang hebat,
seperti akne konglobata dan papulo pustula yang sukar diobati.DDS tidak pernah dipakai
sendiri, biasanya dipakai bersama-sama dengan antibiotika dan obat yang dapat
mengadakan pengelupasan kulit.
Mekanisme kerja DDS :
Anti inflamasi seperti kortikosteroid
Mustabilir lisosom
Efek samping : leukopeni, agranuositosis, nausea, muntah, kepala pusing dan reaksi
pada kulit.
4. Vitamin A
Bila diberikan peroral bersama-sama dengan antibiotika oral dan topikal, vitamin A asam
sangat efektif untuk akne bentuk nodul dan kistik yang hebat.Diduga vitamin ini
mempengaruhi produksi atau metabolisma androgen.Dosis : 50.000 – 100.000 IU/hari.
5. Isoretinoit
Suatu bentuk 13- cis/asam retinoat digunakan untuk pengobatan akne berbentuk kistik dan
konglobata.Pada kebanyakan kasus obat ini memberikan remisi sempurna selama berbulan-
bulan dan sampai bertahun-tahun.Dosis : 1 mg/kg/hari.Efek samping : gangguan selaput
lendir dan kulit seperti keilitis, serosis dan pendarahan hidung.Isoretinoit bersifat
keratogenik.
6. Senk (Zink)
Efeknya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga mempunyai efek inflamasi.Unsur ini
berpengaruh terhadap epitelisasi,aktivitas enzim pada metaboloisme vitamin A, dan
memperbaiki gangguan kemotaksis leukosit.Dosis 3 x 200 mg/hari.
7. Diretika
Sering terjadi eksaserbasi akne 7 – 10 hari sebelum menstruasi.Hal ini mungkin disebabkan
karena adanya retensi cairan sebalum menstruasi, yang disertai dengan hidrasi dermis dan
juga edema pada keratin.Kebanyakan penyelidik memberikan diuretika satu minggu
sebelum haid.
Tindakan Khusus
Beberapa macam tindakan khusus akne antara lain yaitu :
Ekstraksi komedo : untuk menghilangkan komedo terbuka dan dilakukan sebulan sekali
setelah terapi keratolitik, dilanjutkan secara interval sampai keadaan bersih.
Injeksi kortikosteroid intralesi : dilakukan pada lesi krista atau nodul yang dalam, dan
biasanya dipakai triamsinolon asetonid 0,025 – 0,05 mg/ml, tiap lesi tidak lebih dari 0,1
ml untuk mencegah terjadinya antrofi.
Peeling dengan bahan kimia yaitu glicolic acid atau trichloroasetic acid konsentrasi rendah
Dermabrasi, punch graft dan kolagen implant dapat memperbaiki parut yang ada.
Terapi laser, laser dengan panjang gelombang 1320-nm bermanfaat untuk terapi
akne.Banyak pasien memilih terapi laser daripada terapi lain karena terapi ini dianggap
menyenangkan, tetapi persentase terapi ini dapat menurun sangat drastis saat mereka
tahu biaya yang harua dikeluarkan untuk terapi tersebut.Laser dengan panjang
gelombang 1450-nm lebih sering digunakan dalam terapi akne karena diserap lebih
baik oleh glandula sebasa dibandingkan denagn panjang gelombang 1320-nm.Semakin
sering melakukan terapi, hasilnaya akan semakin baik.
PROGNOSIS
Umumnya prognosis penyakit baik, tetapi sebagian penderita sering residif.Akne vulgaris
umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30 – 40 an.Jarang terjadi akne vulgaris yang menetap
sampai tua atau mencapai gradasi sangat berat sehingga perlu rawat inap di rumah sakit.Namun
ada yang sukar diobati, mungkin karena faktor genetika.Bila banyak sikatrik bisa dilakukan
dermabrasi oleh para ahli.
no comments yet.
IMPETIGO KONTANGIOSAPosted on April 13, 2009 by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.
IMPETIGO KONTAGIOSA
dr. Dian Ibnu Wahid Sp.PD (title in progres) =)
I. Definisi
Bentuk pioderma paling sederhana. Menyerang epidermis, dimana gambaran yang paling
dominan ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan sepeti madu yang berlapis-lapis.
II. Etiologi
Staphylococcus aureus dan atau Streptococcus beta hemolyticus grup A.
III. Epidemiologi
Lebih sering menyerang anak-anak. Apabila menyerang dewasa kemungkinan pada mereka yang
tinggal berkelompok, seperti pada asrama dan penjara. Antara pria dan wanita sama banyaknya.
IV. Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Penyakit
Musim panas atau cuaca panas dan lembab.
Kebersihan/ higene yang kurang.
Keadaan umum yang buruk seperti anemia dan malnutrisi.
V. Gejala Penyakit
Keluhan utamanya adalah gatal. Tidak diikuti dengan gejala konstitusi seperti demam, malaise
dan mual kecuali bila kelainan kulitnya berat. Lesi awal berupa macula eritematus berukuran 1-2
mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan
mengeluarkan sekret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk krusta
yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, dibawah krusta terdapat daerah erosif yang
mengeluarkan sekret, sehingga krusta kembali menebal. Dapat terjadi autoinokulasi yaitu
terbentuknya lesi satelit. Lesi dapat sembuh tanpa menimbulkan sikatrik atau atrofi.
VI. Pemeriksaan Kulit
Lokalisasi: Daerah yang terpapar terutama wajah (sekitar hidung dan mulut) oleh karena
dianggap sumber infeksi didaerah tersebut, tangan, leher dan ekstremitas. Apabila bayi
lesinya dapat dimana saja.
Efloresensi: Makula eritematus miliar sampai lentikuler, difus, anular, sirsinar. Vesikel
dan bula lentikuler difus. Pustula miliar sampai lentikuler. Krusta kuning kecoklatan,
berlapis-lapis dan mudah diangkat.
Gambar 1. Impetigo kontagiosa
VII. Pemeriksaan Penunjang
Pada darah tepi didapatkan lekositosis terutama infeksi yang disebabkan oleh Streptokok. Dari
pewarnaan Gram dari usapan cairan vesikula yang baru, didapatkan kokus-kokus Gram positif.
Biakan dari daerah yang mengeluarkan sekret atau dari daerah dibawah krusta menghasilkan
streptokok-stafilokok
VIII. Diagnosis Banding
Ektima
Varisela
IX. Perjalanan Penyakit
Jika tidak diobati, impetigo akan berlangsung terus dengan lesi-lesi akan muncul selama
beberapa minggu. Sesudah itu, impetigo cenderung sembuh sendiri, kecuali bila terdapat
kelainan kulit yang mendasarinya seperti eksema. Jarang sekali timbul komplikasi selulitis atau
bakterimia. Gejala sisa yang berat adalah nefritis.
X. Penatalaksanaan
Umum
-Memperbaiki keadaan higene penderita dan lingkungan.
-Menjauhkan anak-anak yang sehat dari anak-anak yang menderita impetigo
kontagiosa.
Khusus
-Pengobatan topikal
1.Kompres terbuka (akut, madidans dan krusta tebal-lengket)
Menggunakan Permanganas kalikus 1/5000, Rivanol 10/00, Yodium povidon
7,5% dilarutkan 10x.
2.Membersihkan lesi dengan menggunakan antiseptik dan kemudian krusta
dilepaskan perlahan. Krusta perlu dilepas agar obat topikalnya dapat efektif
bekerjannya.
3.Antibiotik (bila lesi sedikit)
Salep/krem asam fusidat 2% 2-3x/hari sampai 7 hari, Mopirosin 2%, Basitrasin
dan Neomisin
4.Drainase
Pada bula dan pustula dilakukan drainase dengan ditusuk jarum steril untuk
mencegah penyebaran lokal.
-Pengobatan sistemik (7-10 hari)
1.Penisilin G Procain injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta I.U. im, 1-2x/hari
Anak-anak: 25000-50000 I.U./kg/dosis, 1-2x/hari
2.Ampisilin
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x/hari a.c
Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, 4 x/hari a.c
3.Amoksisilin
Dosis: 250-500 mg/dosis, 3 x/hari a.c
Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, 3 x/hari a.c
4.Kloksasilin (untuk stafilokok yang kebal penisilin)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x/hari a.c
Anak-anak: 10-25 mg/kg/dosis, 4 x/hari a.c
5.Diklosasilin (untuk stafilokok yang kebal penisilin)
Dosis: 125-250 mg/dosis, 3-4 x/hari a.c
Anak-anak: 5-15 mg/kg/dosis, 3-4 x/hari a.c
6.Fenosimetil Penisilin (Penisilin V)
Dosis: 250-500mg/dosis, 4 x/hari a.c
Anak-anak: 7,5-12,5 mg/kg/dosis, 4 x/hari a.c
7.Eritromisin (untuk alergi penisilin)
Dosis: 250-500mg/dosis, 4 x/hari p.c
Anak-anak: 12,5-25 mg/kg/dosis, 4 x/hari p.c
XI. Prognosis
Ad vitam: Baik.
Ad fungsionam: Baik.
no comments yet.
VARISELAPosted on by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.
dr. Dian Ibnu Wahid, Sp.PD (Title in Progres)
FK - UNEJ 2002
I.Sinonim
Sinonim varisela : chiken pox infection, water pox infection, tear drop infection, cacar air.1,2,3
II.Definisi
Adalah penyakit infeksiakut primer oleh virus Varicela zooster yang menyerang kulit dan mukosa , berupagejala klinik konstitusi, kelainan kulit yang
polimorfik, terutama di bagian sentral tubuhdengan penyebaran lesi secara sentrifugal.1,2,3
III.Epidemiologi
Penyakit ini bersifat kosmopolitan. 1,2,3,4 Saat inisekitar 60 –90juta kasusVaricela ditemukan di duniatiap tahunnya. 2,3 Insidennyalebih banyak terjadi pada wilayah tropis dan semi tropis .4 Secarauniversal insiden terbanyak terjadi padausia3-6 tahun.2 Hanya 5 % kasus yang terjadi pada usia kurang dari 15 tahun, dan hanya 10 % kasus terjadi pada usia di atas 14 tahun 2,3. Tetapi di wilayah AS Variselabanyak ditemukan pada usia kurang dari 10 tahun.2 Sejak pelaksanaan program vaksinasi intensifdi dunia (1995 - sekarang )insidendan morbiditas karena varisela menurun secara signifikan.2 Masa penularannya lebih kurang tujuh hari sejak terjadi infeksi kulit.1 Penyakit ini tidak dipengaruhi ras dan jenis kelamin. 1,2,3,4
IV.Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus Varisela - Zosterdengan nama lain Human (alpha) herpes virus 3 sub famili alpha herpes viridae. Merupakan DNA double helix , genom virus mengkode lebih daripada 70 protein, termasuk protein yang berhubungan dengan antigen virus.2,3
V.Patofisiologi
Virus varisela zostermemasuki tubuh manusia melaluiinhalasi (aerogen ) yaitu udara yang berhubungan dengan pernapasan seperti batuk, bersin atau kontak langsung dengan kulit yang terinfeksi. Saat virus varisela-zoster masuk ke dalam mukosa dan pindah ke sekresi saluran pernapasan , ia akanberkolonisasi di traktus respiratorius bagian atas.3Virus awalnya bermultiplikasiawal setempat. Kemudian virus menyebar kekelenjar limfe regional di sekitar traktus respiratorius, pada 2-4 hari setelah paparanawal terjadi., lalu menyebarmelalui aliran darah dan limfe seluruhtubuh pada 4-6 hari sesudah paparanawal. (inilah yang disebut viremia primer )2,3,4.
Lalu Virus inimencapaisel retikuloendotelial hepar, limpa, dan organtarget lainnya. 2,3Seminggu kemudian (14 –16 hari sesudah paparanawal ), terjadilah viremia sekunder : Virus ini sudahbereplikasicukup banyak disel retikuloendotelial organ dalamdanpada kulit ; akan menimbulkan lesikulit yang khas.1,2,3,4 Sebenarnya pada saat virus bereplikasi, sudah dihambat oleh imunitas non spesifik. Tetapi pada kebanyakan individu replikasi virus ini lebih dominan dibandingkan imunitas tubuhnya, sehingga dalam waktu 2 minggu sesudah paparan awal sudah terjadi viremiayang lebih hebat (viremia sekunder), seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masuknya virus dan disertai masa inkubasi adalah selama 17-21 hari, lalu pada saat tersebut akan terjadi penyebaran secara subklinis. Lesi pada kulit akan timbul dan menyebar bila infeksi masuk pada viremia sekunder .1,2,3,4
Viremia sekunder ini juga dapat mencapai sistem respirasi kembali , sebelum menimbulkan lesi khas pada kulit.3Hal inilah yang menyebabkan varisela sangat menular sebelum lesi khas muncul
Kerusakan pada SSP dan hepar juga mungkin terjadi pada stadium ini. (encephalitis dan hepatitis ).3,4
V.Gejala Klinis
Secara keseluruhan masa inkubasi penyakit ini adalah 17-21 hari dengan rata-rata 10-14 hari.2,3,4
Gejala awal yang terjadi(Gejala prodromal) umumnya terjadi 1-3 hari, tetapi pada anak umumnyahanya 1-2 hari : demam dengan kenaikan suhu yang tidak terlalu tinggi , rasa tidak enak pada perut, batuk kering (sore throath), malaise, sakit kepala, anorexia. Gejala tampak lebih berat pada orang dewasa.2,3,4
Pada akhir masa prodromal mulai timbulgejala pada kulit berupa macula dan papula berukuran 2-4 mmyang disertai rasa gatal.3,5
Dengan cepat (beberapa jam kemudian ) lesi ini berkembang menjadi gejala kulit yangkhas yaitu vesikel jernih dengan dasar erimatousseperti tetesan embun (tear drops) berukuran milier-lentikuler yang pola penyebarannya secara sentrifugal. (Berawal di daerah sentral tubuhlalu menyebar ke wajah dan ekstremitas ) . Setelah 8-12 jam cairan di vesikel menjadi lebih keruh (pustula), kemudian menjadi krusta. Perubahan vesikel menjadi pustulalalu krusta berlangsung selama 2-12 hari dengan rata-rata 6 hari. Setelah itu krusta dapat lepas sendiri dan terkadang meninggalkan bekas (sikatrik) yang umumnya dapat hilang secara perlahan. Sementara proses ini berlangsung , timbul lagi vesikel -vesikel baru, selama 3-5 hari, sehingga memberikan gambaranpolimorfik dan erpsi bergelombang. 1,2,3,4,5
Pada anakdapat muncul lesi berjumlah 10-1500 buah dengan rata-rata (250-500 buah).3
Penderita sembuh sempurna rata-rata setelah 7-34 hari (rata-rata 16 hari ).3
Beberapa lesi dapat muncul di orofaring dan agak jarang menyerang selaput lendir mata.1,2,3
Pada ibu hamil yang terinfeksi varisela selama kehamilan dapat terjadi
1.Bila terjadi pada awal kehamilan ( Congenitalvaricella syndrom(kelainan congenital pada janin ).Janin yang terinfeksi pada minggu ke 6-12 kehamilan tampak mengalami kelainan paling berat pada perkembangan tungkai. Janin yang terinfeksi pada minggu ke 16-20 kehamilandapat mencakup kelainan mata dan otak. Infeksi varisela pada usia gestasi 20 minggu juga dapat menyebabkan terjadinya infantile zoster.3,5
2.Bila terjadi pada tri semester akhir kehamilan ( pada minggu ke 37-42 ), dapat menyebabkan congenital varicella atau neonatal varicella Cacar air pada neonatus ini ,terkadang dapat sangat berat dan menimbulkan kematian.3,5
VI.Diagnosis Banding
Variola
Herpes zoster
VII.Diagnosa
Ditegakkan berdasarkan
1.Anamnesa , adanya gejala klinik berupa demam, malaise (prodromal ) yang disertai ruam yang khas pada kulit, dan riwayat perjalanan penyakit
2. Pemeriksaaan fisik ditemukannya ruam yang khas tersebut pada kulit, dan lokalisasi yang khas diawali di bagian sentral tubuh (ruam papulovesikuler, polimorfik, penyebaran sentrifugal, lesi bergelombang ).
3.Diagnosa dapat ditunjang dengan pemeriksaan berupa :
1.Laboratorium : lekopeni pada 72 jam pertama dan selanjutnyalekositosis menunjukkan terjadi viremia sekunder. Lekositosis yang sangat berlebihan dapat merupakan pertanda adanya infeksi sekunder. Umumnya pada infeksi varisela ditemukan limfositosis relatif dan absolut.
2.Percobaan tzanck
3.Kulturvirus dari dasar vesikel,
4.Pemeriksaan dengan mikroskop electron
5.Tes serologic dan material biopsi
VIII.Penatalaksanaan
Dapat diberikan anti virus: Asiklovir 5 x 800mg/hariyang efektifselama 7 hari setelah terpajan .
Atau valacyclovir: 3x 1000 mg /hari selama tujuh hari
Atau Farmcyclovir : 3X 500 mg /hari selama tujuh hari
Anti histaminoral (dipenhidramin)
Dosis : 25-50 mg/ kg BB / 4 jam untuk dewasa
Anak-anak : 5 mg/ kg BB /dosis
Anti histamin topikal dalam bentuk bedak salicyl 0,5-1 % atau calamin cair.
Asetaminophen(anti piretik )
Dewasa : 500-650 mg/kali bila demam
Anak-anak : 10-15 mg/kg BB /kali bila demam
*kompres dingin atau boleh mandi.
Edukasi penderita
IX. Pencegahan
1. Vaksinasi
Vaksin varisela berisi virus varisela strain hidup yang dilemahkan. Vaksin ini aman dan bersifat immunogenik. Vaksin ini efektif bila diberikan pada saat atau setelah usia 1 tahun.Pemberian vaksin secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Pada anak
2. Varicella zoster imunoglobulin(VZIG )
Diberikan pada individu yang beresiko tinggi , segera setelah terpapar . Serum inidapat memberi efekperlindungan sekitar tiga minggu. Tetapi efek terbaik dalam melemahkan virus varisela serta mencegah terjadinya gejala klinik pada waktu 96 jam setelah paparan.
X. Komplikasi:
1.Infeksi sekunder dengan bakteriumumnya streptococcus dan stafilocccus
2.Pneumonia
3.Hepatitis
4.Glomerulonefritis
5.Varisela hemorhagic
6.Semua orang yang mengalami varisela memiliki resiko mengalami komplikasi dalam hidupnya berupa herpes zoster (shingles). Setelah infeksi varisela , beberapa virus varisela-zoster akan in aktif dan menetap pada ganglion dorsalis saraf sensoris. Beberap tahun kemudian dapat terjadi reaktifasi ke permukaan sebagai herpes zoster. Ketika terjadi reaktivasi virus ini akan mempengaruhi sel saraf dan kulit, sehinggatimbul rasa gatal dan nyeri sertaruam berupa papula dan vesikel erimatous yang mengikuti dermatom saraf yang terkena .
7.Komplikasi pada SSP ; Sindrom Reye, ensefalitis
XI. Prognosa
-Prognosabaik pada penderita yang non immunocompromized, dan memperhatikan hiegenis perorangan serta perawatan yang teliti.
-Pada penderita dengan gangguan sistem kekebalan tubuh memiliki resiko penyakit yang berat dan kematian.
-Pada cacar air neonatus yangjarak infeksi pada ibunya dengan persalinankurang dari 1 minggu , akan menimbulkan gejala yang sangat berat pada neonatusdan bisa menimbulkan kematian.
-Hampir 30 % varisella pada neonatus menimbulkan kematian.
XII. Referensi
1.Handoko , Ronny P. Penyakit virus . Dalam Ilmu Penyakit Kulit danKelaminEdisi ketiga . Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta ; 1999
2.Licehnstein, Richard Pediatrics chicken poxor Varicella . emedicine ( serial on line ) . June 13 , 2006(cited on October 14 , 2006). Available from : http: //www.emedicine.com/pediatrics varicella
3.Mehta , parang N, MD . Varicella. emedicine (serial on line ). July 26, 2006 (cited on October 14, 2006 ). Available from :
http : //www.emedicine.com/varicella
4.Anonim.Chicken pox . wikipedia (serial on line ). Februari 15 2005 (citedon October 14, 2006 ). Available from :
http : // www.wikipedia/ chicken pox.htm
5.AnonimVaricella Vaccin .CDC (serial on line ). September2006
(cited on October 14, 2006 ). Available from : http.www.cdc.gov.mmwr/preview/mmwrhtml/00040693.htm
no comments yet.
Newer »
Theme by WPMU Theme pack by WPMU-DEV.