timing of infant feeding in relation to childhood asthma and allergic diseases

47
Hubungan antara waktu pemberian makanan pada bayi dengan - kejadian asma serta penyakit alerdi di masa kanak kanak : Latar belakang Mulai muncul sejumlah bukti yang mempertanyakan rekomendasi terbaru mengenai waktu pemberian makanan pada bayi - . untuk pencegahan alergi di masa kanak kanak Bukti yang ada untuk . penyakit asma masih nampak inkonklusif : Tujuan Penulis berusaha meneliti hubungan antara durasi pemberian ASI dan waktu mulai diperkenalkannya makanan 5 . pendamping dengan terjadinya asma serta alergi pada usia tahun : Metode 3781 Dilakukan analisis data pada anak yang lahir secara . berurutan Paparan diet dibagi menjadi tiga dan dianalisis . sebagai variabel yang dipengaruhi oleh waktu Titik akhir berupa

Upload: pramita-sari

Post on 25-Dec-2015

233 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

infant feeding

TRANSCRIPT

Page 1: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

Hubungan antara waktu pemberian makanan pada bayi dengan kejadian asma

serta penyakit alerdi di masa kanak-kanak

Latar belakang: Mulai muncul sejumlah bukti yang mempertanyakan rekomendasi

terbaru mengenai waktu pemberian makanan pada bayi untuk pencegahan alergi di

masa kanak-kanak. Bukti yang ada untuk penyakit asma masih nampak inkonklusif.

Tujuan: Penulis berusaha meneliti hubungan antara durasi pemberian ASI dan waktu

mulai diperkenalkannya makanan pendamping dengan terjadinya asma serta alergi

pada usia 5 tahun.

Metode: Dilakukan analisis data pada 3781 anak yang lahir secara berurutan.

Paparan diet dibagi menjadi tiga dan dianalisis sebagai variabel yang dipengaruhi

oleh waktu. Titik akhir berupa asma, rhinitis alergi, dan eksema atopik dinilai

menggunakan kuesioner Penelitian Internasional untuk Asma dan Alergi pada Masa

Kanak-Kanak, sementara antibodi IgE dianalisis dari sampel serum yang diambil

pada usia 5 tahun. Cox proportional hazard dan regresi logistik digunakan untuk

analisis.

Hasil: Median durasi pemberian ASI eksklusif dan total masing-masing adalah

selama 1.4 bulan (jarak interquartil, 0.2-3.5 bulan) dan 7.0 bulan (jarak interquartil,

4.0-11.0 bulan). Pemberian ASI total selama 9.5 bulan atau kurang nampak

berhubungan dengan peningkatan risiko asma non-atopik. Pemberian gandum,

gandum hitam, oat, atau barley pada usia 5 sampai 5.5 bulan nampak berbanding

terbalik dengan kejadian asma dan rhinitis alergi, sementara diperkenalkannya jenis

serealia lain pada usia kurang dari 4.5 bulan nampak meningkatkan risiko eksema

atopik. Diperkenalkannya telur pada usia 11 bulan atau kurang nampak berbanding

terbalik dengan kejadian asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik, sementara

diperkenalkannya ikan pada usia 9 bulan atau kurang nampak berbanding terbalik

dengan kejadian rhinitis alergi dan sensitisasi atopik.

Kesimpulan: Perkenalan serealia gandum, gandum hitam, oats, dan barley; ikan;

serta telur (sesuai dengan waktu diperkenalkannya masing-masing makanan) nampak

Page 2: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

menurunkan risiko asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik pada masa kanak-

kanak. Durasi pemberian ASI total yang lebih lama, dan bukan pemberian ASI

eksklusif, nampak memiliki sifat protektif terhadap terjadinya asma non-atopik,

namun tidak pada asma atopik, yang menunjukkan potensi adanya efek yang berbeda-

beda dari pemberian ASI terhadap sejumlah fenotipe asma yang berbeda.

Kata kunci: Asma, rhinitis alergi, eksema atopik, sensitisasi atopik, ASI, makanan

pendamping, anak-anak

Untuk mencegah terjadinya alergi dan asma pada anak-anak, para ahli saat ini

merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi selama 4 sampai 6

bulan pertama setelah lahir, lalu kemudian, dapat mulai diperkenalkan makanan

pendamping bersama dengan ASI. Pada rekomendasi terdahulu, American Academy

of Pediatrics menyarakan bahwa meskipun semua makanan tambahan sebaiknya

tidak diperkenalkan sebelum usia 6 bulan, makanan dengan kemungkinan alergenik,

seperti produk susu, telur, kacang, dan ikan, masing-masing sebaiknya ditunda

sampai usia 1, 2, dan 3 tahun. Namun, meskipun sudah dilakukan perubahan pada

rekomendasi, bukti-bukti terbaru belum dapat mendukung kedua versi rekomendasi

ini. Secara biologis, sejumlah rekomendasi ini diberikan berdasarkan adanya

imaturitas sistem imunitas mukosa bayi. Akibatnya, paparan pada stimulasi dari

lingkungan selama periode ini, seperti diperkenalkannya makanan padat pada usia

dini, diperkirakan dapat menyebabkan sensitisasi yang diperantarai oleh IgE serta

alergi.

Dua penelitian terdahulu nampak mendukung pendapat ini, meskipun tidak

memiliki cukup bukti, dan sangat mempengaruhi sosialisasi dari rekomendasi.

Namun, mekanisme yang mendasari proses maturasi sistem imunitas mukosa masih

belum diketahui dengan jelas, sehingga diperkirakan bahwa hipotesis mengenai

Page 3: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

defisiensi imunitas pada neonatus sebagian besar nampak sangat dilebih-lebihkan.

Apakah diperkenalkannya makanan pendamping selama satu bulan pertama setelah

lahir dapat memicu kelainan pada sistem imunitas mukosa yang berhubungan dengan

terjadinya alergi pada bayi serta mekanisme yang terlibat dalam proses ini nampak

belum diketahui dengan jelas.

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari hubungan antara durasi

pemberian ASI dan usia diperkenalkannya bahan makanan pendamping serta

terjadinya asma dan alergi pada usia 5 tahun. Pada penelitian dengan jumlah subjek

yang lebih sedikit dari kohort ini, penulis telah melaporkan bahwa diperkenalkannya

oats dan ikan sejak dini maisng-masing memiliki hubungan yang berbanding terbalik

dengan kejadian asma dan rhinitis alergi, sementara pengenalan lambat dari kentang,

gandum hitam, gandum, telur, daging, dan ikan nampak memiliki hubungan yang

berbanding lurus dengan sensitisasi atopik. Saat ini penulis telah memiliki data untuk

keseluruhan kohort, dan pada penelitian ini penulis bertujuan untuk mempelajari

apakah hasil pengamatan kami sebelumnya dapat dibuktikan pada keseluruhan subjek

dari kohort. Serupa dengan analisis yang telah dilakukan sebelumnya, penulis turut

mempertimbangkan masalah hubungan sebab-akibat yang berlawanan dengan asumsi

pada penelitian ini. Penulis juga memperluas sudut pandang pada artikel ini dengan

turut mempertimbangkan diperkenalkannya makanan pendamping sebagai variabel

yang dipengaruhi oleh waktu, serta melakukan pertimbangan yang lebih spesifik

mengenai berbagai fenotipe asma yang berbeda.

METODE

Subjek dan desain penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada hasil dari penelitian Prediksi dan

Pencegahan Diabetes Tipe 1 (DIPP) di Finlandia, yang mulai dilakukan pada tahun

1994. Ini merupakan suatu penelitian kohort prospektif multidisipliner yang

Page 4: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

dilakukan pada masyarakat umum yang memeriksa berbagai faktor yang berpotensi

dapat memperkirakan dan mencegah terjadinya manifestasi diabetes tipe 1. Bayi yang

lahir dengan HLA yang menghasilkan kerentanan terhadap diabetes tipe 1 akan

direkruit dari 3 rumah sakit universitas di Finlandia (Turku, Oulu, dan Tampere) lalu

akan diperiksa dalam interval 3- samai 12-bulan untuk menilai adanya antibodi terkait

diabetes, pertumbuhan, dan paparan dari lingkungan. Prosedur penelitian sudah

disetujui oleh komite etik lokal, dan orang tua sudah menandatangani lembar

informed consent tertulis.

Di bulan September 1996 dan Oktober 1997, Penelitian Gizi DIPP mulai

dilakukan dalam kerangka kerja penelitian DIPP, masing-masing di Oulu (Finlandia

Utara) dan Tampere (Finlandia Selatan). Penelitian ini memeriksa hubungan antara

diet maternal selama kehamilan dan laktasi dengan diet anak selama masa infant

sampai terjadinya diabetes tipe 1, penyakit alergi, dan asma pada masa kanak-kanak.

Pada usia 5 tahun, 4075 anak-anak yang masih berpartisipasi untuk menjalani

pemeriksaan diet lanjutan (lahir antara 2 September 1996 sampai 5 September 2004)

kemudian diundang untuk berpartisipasi pada penelitian alergi. Diantara semua anak

ini, 3781 (93% dari semua yang diundang) kemudian ambil bagian dalam penelitian.

Penilaian diet

Diet dari anak dinilai menggunakan kuesioner diet sesuai umur pada usia 3, 6,

dan 12 bulan lalu dilakukan pemeriksaan lanjutan ‘‘usia saat diperkenalkannya

bentuk makanan baru’’ untuk mencatat usia dimana mulai diperkenalkannya makanan

pendamping. Kuesioner yang diberikan pada usia 3-, 6-, dan 12-bulan menilai diet

anak mulai saat lahir sampai usia 3 bulan serta masing-masing setelah bulan ke tiga

dan bulan ke enam. Kuesioner memberikan pertanyaan mengenai pola pemberian

ASI, penggunaan formula bayi dan susu sapi, penggunaan suplemen diet, dan jenis

makanan yang sudah diterima oleh anak sampai usia tersebut. Kuesioner

dikembalikan ke pusat penelitian pada masing-masing usia setelah selesai di isi.

Page 5: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

Kuesioner ‘‘usia saat mulai diperkenalkannya bentuk makanan baru’’ akan disimpan

dan diisi oleh keluarga sampai usia 2 tahun dan diperiksa oleh seorang perawat yang

sudah terlatih pada tiap kunjungan kontrol. Usia saat diperkenalkannya masing-

masing jenis bahan makanan akan dicatat pada formulir saat diperkenalkannya jenis

makanan baru. Orang tua diminta untuk mencatat bulan (misal, 4 bulan) dimana

makanan mulai diperkenalkan dengan tingkat akurasi sampai 0,5 bulan (misalnya, 4,5

bulan). Pada analisis ini, paparan yang diteliti adalah durasi pemberian ASI eksklusif

dan total serta usia saat mulai diperkenalkannya susu sapi; umbi-umbian (kentang,

wortel, dan lobak); buah-buahan dan buah beri; gandum, gandum hitam, oats, dan

barley; daging sapi; ikan; telur; dan jenis serealia lain (jagung, beras, dan milet soba),

yang merupakan jenis makanan yang paling sering diberikan dalam diet bayi di

Finlandia pada usia ini. Pemberian makanan di bangsal persalinan juga turut

dipertimbangkan saat menghitung durasi pemberian ASI eksklusif.

Penilaian titik akhir penelitian

Pada usia 5 tahun, keluarga dari anak yang berpartisipasi dalam penelitian

akan mengisi kueisoner yang dimodifikasi dari kuesioner Penelitian Internasional

untuk Asma dan Alergi pada Masa Kanak-Kanak (ISAAC) mengenai riwayat gejala

alergi dan asma pada anak-anak, dan dilakukan pengambilan sampel darah dari

masing-masing anak untuk menganalisis kadar IgE serum. Asma didefinisikan

sebagai penyakit asma menurut diagnosis dokter ditambah adanya gejala berupa

wheezing atau penggunaan obat asma selama 12 bulan terakhir. Usia anak saat

diagnosis asma ditentukan menggunakan pertanyaan berikut: ‘‘pada usia berapa anak

didiagnosis menderita penyakit asma?’’ Rhinitis alergi didefinisikan sebagai bersin,

hidupng tersumbat, atau rhinitis selain yang terjadi akibat infeksi saluran pernapasan

disertai dengan gejala gatal pada mata dan keluarnya air mata selama 12 bulan

terakhir. Eksema atopik didefinisikan sebagai eksema atopik menurut diagnosis

dokter. Konsentrasi IgE spesifik dianalisis menggunakan ImmunoCAP fluoroenzyme

Page 6: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

immunoassay (Phadia Diagnostics, Uppsala, Swedia) untuk sejumlah alergen dari

makanan dan alergen inhalasi berikut: telur, susu sapi, ikan, gandum, tungau debu

rumah, kucing, rumput timothy, dan birch. Atopi didefinisikan sebagai sensitisasi

(≥0.35 kU/L) terhadap alergen yang diperiksa.

Karakteristik sosiodemografik dan perinatal

Informasi mengenai jenis kelamin anak, usia ibu, tingkat pendidikan ibu, dan

jumlah saudara kandung dicatat menggunakan suatu kuesioner terstruktur yang diisi

oleh orang tua setelah persalinan. Informasi mengenai durasi kehamilan, jenis

persalinan, berat badan lahir dan panjang badan saat lahir, serta kebiasaan merokok

pada ibu selama kehamilan diperoleh dari Catatan Persalinan Medis Rumah Sakit

Universitas Oulu dan Tampere. Riwayat alergi pada orang tua dan eksema atopik

pada usia 6 bulan (‘‘Pada usia berapa anak mulai mengalami eksema atopik?’’) yang

diperoleh dari kuesioner ISAAC kemudian digunakan untuk mengukur titik akhir

penelitian.

Analisis Statistik

Uji Mann-Whitney U digunakan untuk memeriksa perbedaan median durasi

pemberian ASI dan usia saat mulai diperkenalkannya makanan pendamping

berdasarkan pada adanya eksema atopik pada usia 6 bulan dan riwayat alergi pada

orang tua. Penulis menggunakan analisis regresi logistik untuk mempelajari

hubungan antara paparan makanan dengan rhinitis alergi, eksema atopik, dan

sensitisasi atopik. Kasus eksema yang terjadi sebelum diperkenalkannya masing-

masing jenis makanan pendamping akan dieksklusi dari analisis supaya kami dapat

memperkirakan hubungan waktu antara paparan makanan dengan titik akhir berupa

kejadian eksema. Digunakan kerangka kerja persamaan perkiraan umum

menggunakan perkiraan varian berlapis untuk memperkirakan koefisien regresi

logistik yang mungkin menunjukkan kemungkinan adanya ketergantungan antar

saudara kandung. Penulis menggunakan regresi Cox proportional hazards untuk

Page 7: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

memperkirakan waktu sampai terjadinya titik akhir penelitian berupa asma karena

kami memiliki informasi mengenai waktu kejadian asma. Biasanya lebih sulit untuk

menilai waktu terjadinya titik akhir lain menggunakan kuesioner, sehingga pada

kasus ini kami menggunakan regresi logistik. Penulis juga melakukan stratifikais

asma berdasarkan sensitisasi atopik (yaitu asma atopik dan nonatopik). Proporsi

perancu diuji dengan menambahkan interaksi linear dari variabel paparan berdasarkan

waktu pada model statistik. Diperkenalkannya paparan makanan dianggap sebagai

kovariat yang dipengaruhi oleh waktu pada model Cox. Penulis menguji

kemungkinan adanya saling ketergantungan pada saudara kandung (452 pasangan

saudara kandung) dengan melakukan 2 rangkaian uji Cox: satu dimana semua anak-

anak turut dimasukkan dalam perhitungan dan satu lagi dimana anak-anak dengan 1

saudara kandung atau lebih akan dieksklusi. Hasil dari ke 2 rangkaian model statistik

ini nampak serupa, sehingga kami menggunakan model yang memasukkan semua

anak. Untuk menghindari pembagian kategori berdasarkan outcome, waktu

diperkenalkannya paparan makanan akan dibagi menjadi tiga, dan kategori terakhir

akan digunakan sebagai kategori rujukan.

Model dengan dan tanpa penyesuaian akan digunakan sesuai dengan data

yang ada. Pada model dengan penyesuaian, akan dimasukkan faktor perancu

potensial dengan dasar konseptual (jenis kelamin anak, jumlah saudara kandung,

asma pada orang tua, rhinitis pada orang tua, rumah sakit tempat anak dilahirkan, dan

kebiasaan merokok pada ibu selama kehamilan) serta berdasarkan pada kemaknaan

statistik (misal pada P < 0.20; musim dimana anak dilahirkan, lamanya masa

kehamilan, usia maternal, tingkat pendidikan ibu, adanya binatang peliharaan di

rumah pada usia 1 tahun, jenis persalinan, dan berat badan lahir).

Pendekatan regresi balik searah multipel digunakan untuk memilih jenis

makanan yang memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan titik akhir

penelitian. Pertama, semua makanan yang nampak bermakna (P < 0.05) pada model

tanpa penyesuaian akan diteliti secara bersamaan untuk menilai hubungannya dengan

Page 8: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

masing-masing titik akhir penelitian. Pada analisis regresi searah dengan jenis

makanan lain, penulis menggunakan variabel ‘‘semua jenis serealia,’’ yang meliputi

oat, gandum, gandum hitam, serta barley, dan bukan variabel sereal spesifik. Karena

adanya hubungan yang kuat antar jenis serealia spesifik, maka mereka semua diteliti

bersama-sama. Selain itu, selama tahun pertama penelitian, semua jenis serealia ini

ditanyakan secara bersamaan, yang berarti bahwa jumlah pengamatan nampak sedikit

lebih rendah untuk jenis serealia spesifik dibandingkan untuk ‘‘semua jenis sereal.’’

Variabel yang masih tersisa pada tahap terakhir model multipel searah akan

disesuaikan secara bersamaan untuk berbagai kovariat yang sudah disebutkan

sebelumnya. Dilakukan uji yang sesuai untuk menilai interaksi eksema pada usia 6

bulan dan riwayat alergi pada orang tua serta variabel diet terhadap risiko terjadinya

titik akhir penelitian guna mengevaluasi potensi adanya hubungan sebab akibat yang

berlawanan dengan asumsi. Bila interaksi nampak bermakna (P < 0.05), maka model

lalu akan distratifikasi sesuai waktunya.

Terakhir, penulis menilai interaksi antara durasi pemberian ASI total dan usia

saat mulai diperkenalkannya masing-masing bahan makanan pendamping untuk

mengevaluasi apakah ASI dapat memodifikasi hubungan antara bahan makanan

tambahan dengan titik akhir penelitian. Kemaknaan statistik ditentukan pada nilai P

kurang dari 0.05. Masalah multiplisitas turut dipertimbangkan dalam

mempertimbangkan hasil analisis. Digunakan program SAS versi 9.2 (SAS Institute,

Cary, NC) untuk analisis.

HASIL

Dari 3781 anak yang berpartisipasi dalam penelitian, data untuk masing-

masing titik akhir penelitian yang dapat dimasukkan dalam analisis dapat diperoleh

pada: asma, 3142 (83%) anak; rhinitis alergi, 3112 (82%) anak; eksema atopik, 3109

(82%) anak; dan sensitisasi atopik, 3675 (97%) anak. Diantara beberapa anak-anak

ini, asma ditemukan pada 6.2% (194/3142), asma atopik pada 3.5% (107/3037), asma

nonatopik pada 2.6% (79/3037), rhinitis alergi pada 14% (442/3112), dan eksema

Page 9: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

atopik pada 37% (1165/3109), serta 38% (1379/3675) mengalami sensitisasi pada

semua jenis alergen. Saat kami memeriksa adanya tumpang tindih pada titik akhir

penelitian, kami menemukan bahwa dari semua anak yang mengalami asma, 40%

juga mengalami rhinitis alergi, 53% mengalami eksema atopik, 61% mengalami

sensitisasi pada semua alergen, dan 25% mengalami baik rhinitis alergi maupun

eksema atopik dan mengalami sensitisasi pada semua jenis alergen (Gambar 1).

Median durasi pemberian ASI eksklusif adalah selama 1.4 bulan (jarak

interkuartil [IQR], 0.2-3.5 bulan) dan pemberian ASI total selama 7.0 bulan (IQR,

4.0-11.0 bulan; Tabel I). Susu sapi diperkenalkan pada median usia 1.8 bulan (IQR,

0.5-5.0 bulan); setelah itu, umbi-umbian merupakan jenis makanan pendamping

selanjutnya yang diberikan pada median usia 3.5 bulan (IQR, 3.0-4.0 bulan).

Makanan pendamping lain diperkenalkan dengan urutan berikut: buah-buahan dan

buah beri, oats, gandum, gandum hitam, barley, daging sapi, ikan, dan telur (Tabel I).

Anak-anak yang mengalami eksema atopik pada usia 6 bulan memiliki kemungkinan

yang lebih besar untuk memperoleh sereal, daging sapi, ikan, dan susu lebih lambat

dari mereka yang tidak mengalami eksema pada usia 6 bulan. Serupa dengan ini,

makanan pendamping umumnya juga diberikan lebih lambat pada anak-anak yang

orang tuanya memiliki riwayat alergi (Tabel I).

Anak laki-laki lebih mungkin mengalami asma, mengalami rhinitis alergi, dan

mengalami sensitisasi pada semua jenis allergen, dan anak-anak dari orang tua

dengan asma dan rhinitis alergi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

mengalami asma, rhinitis alergi, dan eksema atopik serta mengalami sensitisasi

terhadap semua jenis alergen (Tabel II). Anak-anak dengan 3 saudara kandung atau

lebih memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk mengalami asma, rhinitis

alergi, dan eksema atopik (Tabel II).

Hasil dari analisis tanpa penyesuaian untuk dipaparkan pada Gambar 2 dan

untuk rhinitis alergi, sensitisasi atopik, serta eksema atopik pada Gambar 3. Total

pemberian ASI selama 9.5 bulan atau kurang nampak memiliki hubungan berbanding

lurus dengan risiko asma, terutama asma nonatopik (Gambar 2). Diperkenalkannya

Page 10: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

susu sapi pada usia atau sebelum usia 4 bulan memiliki hubungan yang berbanding

lurus dengan eksema atopik (Gambar 3). Selain itu, diperkenalkannya umbi-umbian

pada usia kurang dari 3.2 bulan dan susu sapi pada usia 0.9 sampai 4.0 bulan nampak

berhubungan dengan sensitisasi atopik (Gambar 3). Diperkenalkannya serealia

gandum, gandum hitam, oat, dan barley pada usia kurang dari 5.0 dan/atau 5.0 sampai

5.5 bulan nampak berbanding terbalik dengan asma, terutama asma atopik (Gambar

2), rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik (Gambar 3). Diperkenalkannya sereal oat

spesifik (5.0 dan/atau 5.0-5.5 bulan), gandum (5.1 dan/atau 5.1-6.5 bulan), gandum

hitam (5.5 dan/atau 5.5-7.0 bulan), serta barley (5.5 dan/atau 5.5-7.5 bulan) memiliki

hubungan yang berbanding terbalik terutama dengan asma atopik, rhinitis alergi, dan

sensitisasi atopik (data tidak dipaparkan). Diperkenalkannya jenis serealia lain,

biasanya dalam bentuk jagung, beras, milet, dan gandum buckwheat, pada usia 4.0

bulan menunjukkan hubungan yang berbanding lurus dengan kejadian eksema atopik

(Gambar 3). Diperkenalkannya ikan (6.0 dan/atau 6.0-9.0 bulan) serta telur (8.0

dan/atau 8.0-11.0 bulan) nampak berbanding terbalik dengan inversely kejadian

asma, terutama asma atopik (Gambar 2), rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik

(Gambar 3). Hasil ini nampak tidak berubah setelah dilakukan penyesuaian untuk

sejumlah faktor perancu yang sudah disebutkan sebelumnya (data tidak dipaparkan).

Kami juga melakukan analisis dengan menganalisis variabel makanan dalam bentuk

kontinyu, dan hasil nampak serupa dengan yang diperoleh berdasarkan pembagian

data menjadi tiga kelompok (data tidak dipaparkan).

Saat makanan yang nampak bermakna pada analisis tanpa penyesuaian

kemudian disesuaikan untuk faktor perancu potensial, maka ASI total; serealia

gandum, gandum hitam, oat, dan barley; serta telur kemudian muncul sebagai jenis

makanan penting yang berhubungan dengan semua kejadian asma. Hanya telur dan

ASI total yang maisng-masing berhubungan dengan kejadian asma atopik dan non-

atopik (Tabel III). Serealia gandum, gandum hitam, oat, dan barley; ikan; dan telur

merupakan jenis makanan penting yang berhubungan dengan rhinitis alergi. Hanya

jenis serealia lain (jagung, beras, milet, dan gandum buckwheat) yang berhubungan

Page 11: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

dengan kejadian eksema atopik (Tabel III). Ikan dan telur merupakan jenis makannan

penting yang berhubungan dengan sensitisasi atopik (Tabel III). Saat jenis serealia

spesifik diperiksa bersamaan menggunakan model analisis searah, oats nampak

berhubungan dengan risiko asma atopik dan rhinitis alergi; selain itu, barley

berhubungan dengan semua risiko kejadian asma, sementara gandum hitam

merupakan serealia terpenting yang berhubungan dengan sensitisasi atopik (data tidak

dipaparkan). Tidak ditemukan adanya interaksi yang bermakna antara eksema atopik

pada usia 6 bulan dan riwayat alergi pada orang tua serta makanan pendamping

dengan titik akhir penelitian, yang mungkin menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti

adanya hubungan sebab akibat yang berkebalikan dengan perkiraan. Sehingga hasil

tidak distratifikasi lebih lanjut menurut kejadian eksema atopik pada usia 6 bulan atau

riwayat alergi pada orang tua. Tidak ditemukan adanya interaksi yang bermakna (P <

0.05) antara durasi pemberian ASI total dan semua jenis makanan pendamping.

PEMBAHASAN

Temuan dari kohort yang cukup besar di Finlandia ini menunjukkan bahwa

pengenalan dini dari serealia, ikan, dan telur pada masa infant (sesuai dengan waktu

pengenalan masing-masing makanan) dapat memberikan perlindungan terhadap

terjadinya asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik pada usia 5 tahun. Selain itu,

durasi pemberian ASI total yang lebih panjang nampak berhubungan dengan

perlindungan terhadap kejadian asma, terutama asma nonatopik, pada masa kanak-

kanak. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat yang

berlawanan dengan perkiraan pada penelitian ini.

Sejak diperbaruinya rekomendasi dari pada ahli, beberapa penelitian kohort

prospektif menunjukkan bahwa waktu diperkenalkannya makanan pendamping tidak

berhubungan dengan risiko asma atau alergi. Penelitian lain menunjukkan bahwa

pengenalan ikan, produk susu, dan produk makanan ‘‘lain’’ atau ‘‘semua’’ jenis

makanan yang lebih lambat (terutama pada usia >6 bulan) dapat meningkatkan risiko

Page 12: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

alergi. Pada penelitian kami sebelumnya, pengenalan serealia dan ikan yang lebih

lambat masing-masing berhubungan dengan peningkatan risiko asma dan rhinitis

alergi, sementara pengenalan telur, ikan, serealia dan kentang yang lebih lambat

nampak berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atopik. Temuan ini nampak sesuai

dengan mayoritas hasil penelitian ini, yang menunjukkan bahwa pengenalan sereal,

ikan dan telur yang lebih lambat (tanpa terpengaruh oleh waktu diperkenalkannya

masing-masing jenis makanan) dapat meningkatkan risiko asma, rhinitis alergi, serta

sensitisasi atopik pada usia 5 tahun. Selain satu penelitian terdahulu, hasil dari

beberapa penelitian lain nampak serupa dengan hasil pengamatan kami pada semua

anak, tanpa terpengaruh risiko alergi pada anak tersebut.

Bukti yang diperoleh dari penelitian ini serta dari penelitian kami sebelumnya

menggunakan kohort yang sama adalah bahwa durasi pemberian ASI total yang lebih

lama dapat memberikan perlindungan terhadap asma, terutama jenis nonatopik

namun tidak untuk asma atopik. Hasil pengamatan ini menunjukkan kemungkinan

adanya perbedaan efek ASI pada berbagai fenotipe asma yang berbeda. Asma

merupakan penyakit dengan fenotipe yang heterogen. Karena sulitnya membedakan

antar berbagai fenotipe asma, disarankan untuk melakukan stratifikasi asma menurut

status atopi, bila memungkinkan. Penelitian pada asma atopik dan nonatopik ini

merupakan tambahan untuk penelitian yang sudah kami lakukan sebelumnya.

Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pada anak dengan riwayat alergi

pada keluarga, pemberian ASI eksklusif selama sekurangnya 4 bulan dapat

memberikan perlindungan terhadap alergi, terutama dermatitis atopik, walaupun

sejumlah penelitian lain tidak melaporkan adanya hubungan. Untuk asma, bukti yang

ada masih sangat kontroversial. Pembahasan terbaru menyimpulkan bahwa bukti

bahwa ASI dapat berperan sebagai strategi preventif untuk terjadinya alergi dan asma

Page 13: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

pada masa kanak-kanak masih inkonklusif. Hasil penelitian terbaru kami nampak

menambahkan beberapa klarifikasi untuk kontroversi ini, yang menunjukkan bahwa

ASI total mungkin memiliki peranan yang lebih penting dari pemberian ASI eksklusif

untuk kejadian asma pada masa kanak-kanak, terutama asma nonatopik. Penelitian

terdahulu menemukan hasil yang serupa, dan melaporkan adanya potensi untuk

menurunkan risiko kejaidan wheezing rekuren dengan pemberian ASI total sampai

lebih dari 7 bulan. Karena penelitian kami adalah yang pertama kali dapat dengan

jelas menunjukkan adanya hubungan antara ASI total dengan risiko asma, kami

merasa bahwa masih diperlukan bukti tambahan untuk mendukung kesimpulan ini.

Populasi yang jelas dan sifat prospektif merupakan kelebihan dari penelitian

ini dan dianggap sebagai kondisi yang sesuai untuk meneliti peranan waktu

pemberian makanan pendamping pada masa infant terhadap terjadinya alergi dan

asma pada masa kanak-kanak. Anggota keluarga akan melakukan pencatatan

prospektif untuk pengenalan jenis makanan baru sejak anak dilahirkan sampai usia 2

tahun, dan formulir yang digunakan untuk mencatat informasi ini akan diperiksa oleh

perawat penelitian pada tiap kunjungan klinis. Proses ini dapat meminimalkan potensi

untuk terjadinya bias pengingat dan memastikan bahwa akurasi dari proses

pencatatan dapat tetap dipertahankan.

Titik akhir berupa asma, rhinitis, dan eksema atopik ditentukan berdasarkan

kuesioner ISAAC standar, yang sudah divalidasi untuk semua komponen asma.

Subjek diperoleh dari anak-anak yang awalnya membawa HLA yang menyebabkan

risiko diabetes tipe 1, yang dapat membatasi generalisabilitas dari temuan kami pada

populasi umum. Walaupun beberapa gen HLA spesifik nampak berhubungan dengan

risiko alergi dan asma, juga ditemukan adanya sejumlah bukti yang berlawanan.

Risiko absolut untuk diabetes tipe 1 pada kohort DIPP berada dalam kisaran 3%

sampai 4% pada usia 15 tahun, dan mencapai sekitar 0.7% pada populasi umum di

Finlandia. Populasi penelitian kami tidak dipilih berdasarkan riwayat alergi dalam

Page 14: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

keluarga, dan angka kejadian kumulatif untuk rhinitis alergi (14%) serta asma (6%)

pada populasi penelitian kami nampak setara dengan kejaidan pada populasi umum di

Finlandia sebesar 15% sampai 16% untuk rhinitis alergi serta 5% untuk asma. karena

penelitian ini dilakukan pada populasi yang diperoleh dari kohort yang sama dengan

penelitian kami terdahulu, angka kesalahan tipe 1 mungkin tidak berada pada tingkat

0.05. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan pada bagian statistik di atas, penulis

telah mempertimbangkan masalah multiplisitas dalam menginterpretasikan hasil

penelitian, dimana temuan dengan nilai P kurang dari 0.05 dianggap bermakna.

Untuk menghindari pembagian kategori berdasarkan outcome, kami

menggunakan tiga kategori ad hoc untuk mengklasifikasikan usia pada saat

diperkenalkannya makanan pendamping. Namun, ini menyebabkan adanya selisih

waktu yang sempit, misalnya, antara kategori pertama dan ketiga untuk beberapa

jenis makanan, yang kemungkinan dapat menyebabkan analisis menjadi kurang

sensitif untuk mendeteksi adanya hubungan antara diperkenalkannya makanan

dengan titik akhir penelitian. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa interval

penundaan waktu pengenalan makanan pendamping memiliki hubungan yang

berbanding lurus dengan titik akhir penelitian. Untuk sejumlah kecil hasil yang

diperoleh, ditemukan kecenderungan untuk adanya hubungan berbentuk U, meskipun

sebagian besar tidak bermakna secara statistik, yang menunjukkan bahwa ukuran

sampel yang lebih kecil untuk masing-maisng kategori mungkin dapat mempengaruhi

hasil yang diperoleh. Penelitian menunjukkan hasil dengan hubungan yang lebih

linear dari hubungan bentuk U. Nilai cut-off absolut pada usia 4 sampai 6 bulan yang

telah digunakan pada sejumlah penelitian terdahulu mungkin belum optimal.

Pengenalan makanan pendamping biasanya dilakukan secara berurutan. Akibatnya,

efek risiko alergi dari tiap jenis makanan juga dapat bersifat spesifik untuk waktu

diperkenalkannya makanan. Penggunaan ‘‘pengenalan semua jenis makanan’’ untuk

menunjukkan pengenalan makanan pendamping, seperti yang dilakukan pada

sejumlah penelitian terdahulu, juga mungkin tidak adekuat. Sebagaimana yang dapat

Page 15: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

dilihat dari penelitian ini, makanan pendamping spesifik tertentu mungkin memiliki

peranan penting, sementara jenis makanan lain tidak demikian; sehingga penggunaan

variabel gabungan absolut untuk mewakili semua makanan pendamping mungkin

akan menutupi efek dari variabel makanan spesifik dan dapat menyebabkan

terjadinya perbedaan hasil yang diperoleh antara penelitian ini dengan sejumlah

penelitian terdahulu.

Pengamatan kami pada penelitian ini nampak mendukung pendapat bahwa

ASI eksklusi yang diberikan sampai usia 4 – 6 bulan belum jelas dapat digunakan

sebagai strategi pencegahan kejadian alergi pada masa kanak-kanak dan asma.

Namun, pengenalan makanan pendamping lebih dini (sesuai dengan waktu

pengenalan yang tepat untuk masing-masing makanan), terutama makanan alergenik

(serealia, ikan, dan telur), sementara melanjutkan pemberian ASI, dapat memberikan

perlindungan terhadap penyakit asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik. Walaupun

pengenalan dini untuk jenis serealia lain (jagung, beras, milet, dan gandum

buckwheat) nampak berhubungan dengan peningkatan risiko eksema atopik, temuan

ini mungkin hanya sebuah kebetulan, mengingat bahwa kelompok serealia lain

merupakan satu-satunya jenis makanan penting yang diamati untuk kejadian eksema

atopik saat jenis makanan lain juga turut dipertimbangkan. Efek yang ditemukan juga

dapat menunjukkan karakteristik lain dari populasi penelitian. Pada populasi infant di

Finlandia, rata-rata asupan sereal ‘‘asing’’ ini nampak cukup rendah dibandingkan

dengan sereal domestik. Kita perlu mengidentifikasi pola perilaku yang lebih luas

yang mempengaruhi pengenalan sejumlah sereal ini. Secara keseluruhan, kita dapat

berspekulasi bahwa hasil yang kami peroleh tidak mendukung pendapat bahwa sistem

imunitas usus bayi masih imatur sehingga dapat memicu sensitisasi atopik saat

makanan padat sudah mulai diperkenalkan sejak awal masa infant. Namun, validitas

dari hipotesis ini masih belum diketahui secara jelas, dan bukti yang ada saat ini

hanya berasal dari model binatang coba.

Bukti yang ada saat ini hanya berasal dari penelitian epidemiologis

Page 16: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

observasional. Karena secara etik kita tidak mungkin melakukan randomisasi untuk

pemberian ASI, mungkin akan sulit untuk membuktikan hasil temuan ini pada uji

klinis acak. Uji klinis yang paling mendekati randomisais pemberian ASI adalah yang

dilakukan di Republik Belarus, dimana kelompok-kelompok rumah sakit bersalin

dimasukkan secara acak ke kelompok yang memperoleh promosi dan dukungan

untuk pemberian ASI (kelompok eksperimental) atau kelompok yang melanjutkan

praktek dan kebijakan pemberian ASI seperti biasa (kelompok kontrol). Walaupun uji

klinis tidak menunjukkan adanya manfaat dari promosi dan dukungan untuk

pemberian ASI terhadap risiko alergi dan asma, penelitian tersebut tidak memeriksa

peranan durasi pemberian ASI dan waktu pengenalan makanan pendamping sehingga

tidak sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Akibatnya, penelitian observasional

masih menjadi sumber bukti terbaik untuk menilai peranan durasi pemberian ASI dan

waktu pengenalan makanan pendamping terhadap kejadian asma dan alergi pada

anak-anak, meskipun memiliki bias asosiasi, yang semakin mempersulit penerapan

klinis dari sejumlah hasil penelitian ini. Mengingat bahwa pengenalan dini dari

makanan pendamping menunjukkan hubungan yang berbanding lurus dengan

penyakit kronik lain di masa kanak-kanak, terutama diabetes tipe 1, yang berbeda

dengan hasil pengamatan terbaru mengenai alergi dan asma, maka penerapan hasil

penelitian ini untuk menentukan kebijakan kesehatan masyarakat masih sulit

dilakukan. Kesulitan ini meunjukkan bahwa masih diperlukan bukti imunologis

tambahan untuk memastikan status sistem imunitas usus selama awal masa kehidupan

dalam kaitannya dengan waktu pengenalan makanan padat pada bayi dan terjadinya

penyakit alergi di masa kanak-kanak.

Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bahwa rekomendasi pemberian

ASI eksklusif selama 4 sampai 6 sebagai strategi preventif untuk terjadinya asma dan

alergi di masa kanak-kanak masih belum didukung oleh bukti terbaru. Data pada

penelitian kami menunjukkan bahwa pengenalan dini dari makanan pendamping,

terutama serealia, ikan, dan telur (sesuai waktu pengenalan dari masing-masing jenis

Page 17: Timing of Infant Feeding in Relation to Childhood Asthma and Allergic Diseases

makanan), dapat memberikan perlindungan terhadap kejadian asma maupun alergi.

Durasi pemberian ASI total nampak lebih bermanfaat untuk asma nonatopik

dibandingkan dengan pemberian ASI eksklusif. Temuan ini menunjukkan bahwa

pengenalan makanan pendamping sejak dini sembari melanjutkan pemberian ASI

dapat berperan lebih penting sebagai strategi preventif untuk terjadinya alergi dan

asma pada masa kanak-kanak.

Poin Penting

Durasi pemberian ASI total mungkin merupakan penentu yang lebih penting untuk

terjadinya asma pada masa kanak-kanak dibandingkan pemberian ASI eksklusif.

Pengenalan serealia gandum, gandum hitam, oats, dan barley pada usia 5.5 bulan

atau kurang; ikan pada usia 9 bulan atau kurang; dan telur pada usia 11 bulan atau

kurang dapat mengurangi risiko asma, rhinitis alergi, dan sensitisasi atopik pada

masa kanak-kanak.

Rekomendasi terbaru untuk ASI dan pengenalan makanan pendamping untuk

pencegahan asma dan alergi di masa kanak-kanak mungkin perlu dipertimbangkan

lebih jauh dengan memperhatikan berbagai bukti terbaru.