teori budaya organisasi
TRANSCRIPT
Teori Budaya Organisasi
Posted by admin
Pengertian Budaya Organisasi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan
budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun
bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan
bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi
satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan
bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya
dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli :
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya organisasi
adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntut
perilaku dari anggota organisasi itu
sendiri.
b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya organisasi
adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam
organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh
anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk
bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan
lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada
anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan
merasakan masalah yang dihadapi.
e. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan
akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem nilai organisasi
yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari
para anggota organisasi.
Yang diterapkan oleh seluruh karyawan, baik karyawan senior terutama untuk karyawan junior yang
baru memasuki sebuah perusahaan
Sumber-sumber Budaya Organisasi
Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya organisasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh
organisasi.
2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan
kebersihan.
3. Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal
maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan
mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.
Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen sebuah kelompok pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan
memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku karyawan.
Ciri-ciri Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi adalah:
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan
mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis
dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses
yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di
dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk
dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang
dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara
para anggota berperilaku (Robbins, 1996 : 289).
Tipologi Budaya
Menurut Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996 :290-291), ada empat tipe budaya
organisasi :
1. Akademi
Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan
kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai
membentuk karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan
suatu masalah.
2. Kelab
Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai
tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga
menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja
sama tim.
3. Tim Bisbol
Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada
hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan
cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga
menawarkan insentif finansial yang sangat
besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.
4. Benteng
Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak
perusahaan tidak dapat dengan rapi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena merek
memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan.
Pengertian Budaya OrganisasiMinggu, 19 September 2010 · 18:45 WIB
Budaya organisasi sangatlah penting bagi spesialis HR dalam memahami konsep budaya organisasi. Budaya organisasi
dapat mempengaruhi cara orang dalam berperilaku dan harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan
organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan
bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh organisasi.
Pengertian Budaya Organisasi
Dalam buku Handbook of Human Resource Management Practice oleh Michael Armstrong pada tahun 2009, budaya
organisasi atau budaya perusahaan adalah nilai, norma, keyakinan, sikap dan asumsi yang merupakan bentuk bagaimana
orang-orang dalam organisasi berperilaku dan melakukan sesuatu hal yang bisa dilakukan. Nilai adalah apa yang diyakini
bagi orang-orang dalam berperilaku dalam organisasi. Norma adalah aturan yang tidak tertulis dalam mengatur perilaku
seseorang.
Pengertian di atas menekankan bahwa budaya organisasi berkaitan dengan aspek subjektif dari seseorang dalam
memahami apa yang terjadi dalam organisasi. Hal ini dapat memberikan pengaruh dalam nilai-nilai dan norma-norma yang
meliputi semua kegiatan bisnis, yang mungkin terjadi tanpa disadari. Namun, kebudayaan dapat menjadi pengaruh yang
signifikan pada perilaku seseorang. Berikut adalah beberapa pengertian dari budaya organisasi:
•Budaya organisasi mengacu pada hubungan yang unik dari norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan cara berperilaku
yang menjadi ciri bagaimana kelompok dan individu dalam menyelesaikan sesuatu.
•Budaya merupakan sistem aturan informal yang menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku dalam sebagian besar
waktunya.
•Budaya Organisasi adalah sebuah pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh suatu kelompok
tertentu sebagai landasan dalam berperilaku dalam organisasi. Dimana akan diturunkan kepada anggota baru sebagai cara
bagaimana melihat, berpikir, dan merasa dalam organisasi.
•Budaya adalah keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang dipegang dan ada dalam sebuah organisasi.
Budaya itu sulit untuk didefinisikan karena memiliki struktur yang multidimensi dengan komponen yang berbeda pada setiap
tingkat. Budaya juga bersifat dinamis dan selalu berubah dan menjadi relatif stabil pada jangka waktu yang singkat. Perlu
waktu dalam merubah suatu budaya terutama dalam budaya organisasi.
Budaya merupakan alat perekat sosial dan menghasilkan kedekatan, sehingga dapat memperkecil diferensiasi dalam
sebuah organisasi. Budaya organisasi juga memberikan makna bersama sebagai dasar dalam berkomunikasi dan
memberikan rasa saling pengertian. Jika fungsi budaya ini tidak dilakukan dengan baik, maka budaya secara signifikan
dapat mengurangi efisiensi organisasi.
Home > Perbankan > Pengertian Budaya Organisasi Menurut Para Ahli >> Definisi dan Contohnya
Pengertian Budaya Organisasi Menurut Para Ahli >> Definisi dan ContohnyaPengertian Budaya Organisasi - Manusia adalah makhluk yang berbudaya, setiap aktifitasnya mencerminkan sistem kebudayaan yang berintegrasi dengan dirinya, baik cara berpikir, memandang sebuah permasalahan. Pengambilan keputusan dan lain sebagainya.
Budaya Organisasi Menurut Para Ahli- Kata budaya (Culture) sebagai suatu konsep berakar dari kajian atau disiplin ilmu Antropologi ; yang oleh Killman . et. Al (dalam Nimran, 2004 : 134) diartikan sebagai Falsafah, ideologi, nila-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama dan mengikat suatu masyarakat.
Kini konsep tersebut telah pula mendapat tempat dalam perkembangan ilmu perilaku organisasi, dan menjadi bahasan yang penting dalam literatur ilmiah dikedua bidang itu dengan memakai istilah budaya organisasi
Menurut Robbins (1999 : 282) semua organsasi mempuyai budaya yang tidak tertulis yang mendefinisikan standar-standar perilaku yang dapat diterima dengan baik maupun tidak untuk para karyawan. Dan proses akan berjalan beberapa bulan, kemudian setelah itu kebanyakan karyawan akan memahami budaya organiasi mereka seperti, bagaimana berpakaian untuk kerja dan lain sebagainya
Gibson (1997 : 372) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang menembus nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi. Kultur organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas tergantung dari sifat nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang dianut
Tingkatan Budaya Organisasi
Dalam mempelajari budaya organisasi ada beberapa tingkatan budaya dalam sebuah organisasi,, dari yang terlihat dalam perilaku (puncak) sampai pada yang tersembunyi. Schein (dalam Mohyi 1996: 85) mengklasifikasikan budaya organisasi dalam tiga kelas, antara lain :
1. Artefak Artefak merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku, dan fisik dalam manifestasi nyata dari budaya organisasi
2. Nilai-nilai yang mendukungNilai adalah dasar titik berangka evaluasi yag dipergunakan anggota organisasi untuk menilai organisasi, perbuatan, situasi dan hal-hal lain yag ada dalam organisasi
3. Asumsi dasarAdalah keyakinan yang dimiliki anggota organisasi tentang diri mereka sendiri, tentang orang lain dan hubungan mereka dengan orang lain serta hakekat organisasi mereka
Sementara Lundberg (dalam Mohyi, 1999:196)dalam studinya yang melanjutkan penelitian (pendapat) Schein dan menjadikan tingkatan budaya organisasi sebagai topik utama mengklasifikasikan budaya organisasi dalam empat kelas, yaitu
1) ArtefakArtefak merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku, dan fisik dalam manifestasi nyata dari budaya organisasi
2) PerspektifPerspektif adalah aturan-aturan dan norma yag dapat diaplikasikan dalam konteks tertentu, misalnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi, cara anggota organisasi mendefinisikan situasi-siatuasi yang muncul. Biasanya anggota menyadari perspektif ini.
3) Nilai
Nilai ini lebih abstrak dibanding perspektif, walaupun sering diungkap dalam filsafat organisasi dalam menjalankan misinya
4) AsumsiAsumsi ini seringkali tidak disadari lebih dalam dari artefak, perspektif dan nilai
Fungsi Budaya Organisasi
Fungsi budaya pada umumnya sukar dibedakan dengan fungsi budaya kelompok atau budaya organisasi, karena budaya merupakan gejala sosial. Menurut Ndraha (1997 : 21) ada beberapa fungsi budaya, yaitu :
1. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat2. Sebagai pengikat suatu masyarakat3. Sebagai sumber4. Sebagai kekuatan penggerak5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah6. Sebagai pola perilaku7. Sebagai warisan8. Sebagai pengganti formalisasi9. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation – state
Sedangkan menurut Robbins (1999:294) fungsi budaya didalam sebuah organisasi adalah :1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas2. Budaya berarti identitas bagi suatu anggota organisasi3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial
Membangun dan Membina Budaya Organisasi
Kebiasaan pada saat ini, tradisi, dan cara-cara umum untuk melaksanakan pekerjaan kebanyakan berasal dari apa yang telah dilaksanakan sebelumnya dan tingkat keberhasilan dari usaha-usaha yang telah dilakukan. Ini membawa kita kepada sumber utama dari budaya sebuah organisasi yaitu para pendirinya
Para pendiri organisasi secara tradisional mempunyai dampak yang penting dalam pembentukan budaya awal organisasi, karena para pendiri tersebut adalah orang-orang yang mempunyai ide awal, mereka juga biasanya mempunyai bias tentang bagaimana ide-ide tersebut harus dipenuhi. Menurut Robbins (1999: 296) Budaya organisasi merupakan hasil dari interaksi antara
1. Bias dan asumsi pendirinya2. Apa yang telah dipelajari oleh para anggota pertama organisasi, yang dipekerjakan oleh pendiri
Tahapan-tahapan pembangunan budaya organisasi dapat diidentifikasikan sebagai berikut : (Nimran , 2004: 137)1. seseorang (biasanya pendiri) datang dengan ide atau gagasan tentang sebuah usaha baru2. pendiri membawa orang-orang kunci yang merupakan para pemikir, dan menciptakan kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri3. kelompok inti memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan organisasi, mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha dan lain sebagainya4. orang-orang lain dibawa kedalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan pendiri dan kelompok inti, memulai sebuah sejarah bersama
Begitu juga Nimran (2004: 138) menulis bahwa pembinaan budaya organisasi dapat dilakukan dengan serangkaian langkah sosialisasi berikut :
1. seleksi pegawai yang obyektif2. penempatan orang dalam pekerjaannya yang sesuai dengan kemampuan dan bidangnya (the right man on the place)3. perolehan dan peningkatan kemahiran melalui pengalaman4. pengukuran prestasi dan pemberian imbalan yang sesuai5. penghayatan akan nilai-nilai kerja atau lainnya yang penting6. cerita-cerita dan faktor organisasi yang menumbuhkan semangat dan kebanggaan
7. pengakuan dan promosi bagi karyawan yang berprestasi
Hafidhuddin et. al (2003:60) menyebutkan bahwa, pencipta budaya adalah seorang pemimpin . Setiap pemimpin pasti memiliki visi dan misi tertentu yang kemudian disebarkan ke bawahannya lalu menjadi kebiasaan-kebiasaan dan pada akhirnya hal ini menjadi budaya, Rasulullah SAW memandang orang lain sebagai manusia yang seutuhnya artinya bahwa Rasulullah tidak membeda-bedakan derajat seseorang, meskipun itu bawahan, misalnya : Rasulullah menganggap pambantu rumah tangga beliau sebagai saudara, implikasinya apa yang dimakan oleh pembantu sama dengan apa yang dimakan oleh Rasulullah begitu pula yang dipakai. Jika setiap pemimpin perusahaan melakukan hal yang sama, maka hasilnya akan lebih baik, karena jika suasana kerja sudah terbentuk dengan suasana yang kondusif maka karyawan akan lebih menikmati pekerjannya, kemudian muncul kreatifitas-kreatifitasnya.
Sikap Rasulullah yang penyayang berdasarkan pada Al-Qur’an surat Ali-Imran :159
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dsari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mareka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabiila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Daftar Pustaka - Pengertian Budaya Organisasi Menurut Para Ahli >> Definisi dan Contohnya
Luthans Fred, (2006), Perilaku Organisasi, Andi Yogyakarta.Sutrisno Edy, (2010), Budaya Organisasi, Kencana Prenada Media Group Jakarta.Mangkunegara Anwar Prabu, (2008), Perilaku dan Budaya Organisasi, Refika Aditama Bandung
3Penerapan Budaya Organisasi …….Posted by: yuyuk in Categories: Organization Behavior.
Berbicara tentang budaya organisasi, pikiran kita langsung melayang pada nilai-nilai yang tertanam dan dianut oleh perusahaan. Pada kodisi saat ini, suatu perusahaan harus mempunyai nilai tambah yang dapat dijadikan sebagai salah satu keunggulan dalam menghadapi persaingan yang begitu kompetitif. Tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Di tempat saya mengajar sudah diterapkan ATTITUDE sebagai salah satu internalisasi tata nilai dan pembudayaan.
Attitude mempunyai makna tersendiri dari setiap hurufnya:A = Appreciate (berpikir positif)Contoh perilakunya adalah: saat bertemu berjabat tangan, mendengarkan dengan fokus dan penuh perhatian, selalu dalam keadaan bersyukur, bersikap rendah hati, ijin saat tidak bisa hadir dalam rapat atau pertemuan, dllT = Thought ( berpikir kreatif dan konstuktif)Contoh perilakunya adalah kreatif dalam menjalankan tugas, membiasakan berargumentasi logis dalam memberikan pendapat, selalu berpikir positif, berpikir visoner, senang membaca, dllT = Team work (bekerja sama dengan tim)Contoh perilakunya adalah menghargai pendapat anggota dalam kelompok, memahami peran masing-masing, mampu berkomunikasi secara terbuka, mampu bersinergi, berorientasi pada perbaikan kualitas berkelanjutan,dllI = Integrity ( Berintegritas tinggi)Contoh perilakunya adalah jujur, tanggung jawab, menjunjung tinggi nama baik almamater, disiplin dan bijaksana, suka membant, mempunyaimotivasi tinggi, tidak menghalalkan segala cara, dllT = Time Management (Berkemampuan mengatur waktu)Contoh perilakunya adalah tepat waktu datang diperkuliahan dan kegiatan lainya, memiliki self awareness, mengisi waktu dengan kegiatan yang berkualitas, terampil menentukan prioritas dan mengelola secara efektif, dllU = Usefullness ( Bermanfaat dan dapat diandalkan)Contoh perilakunya adalah melibatkan diri pada aktivitas yang membangun, mengerjakan tugas dengan sugguh-sungguh, menawarkan diri untuk membantu orang lain, partisipasi aktif dalam kegiatan baik, selalu berpikir win-win, dllD = Dedicative ( berdedikasi tinggi)Contoh perilakunya antara lain: cinta terhadap kualitas tinggi, menghasilkan karya untuk profesinya, memberikan yang terbaik, berpikir proaktif, mecintai profesi dan tugasnya sebgai dosen/mahasiswa/karyawanE = Endless learning (belajar sepanjang masa)Contoh perilakunya antara lain: rasa ingi tahu dan kemauan belajar yang tinggi, mencintai ilmu pengetahuan, senang pada perubahan, memberdayakan potensi, dllDiharapkan dengan adanya penerapan ATTITUDE ini akan membentuk budaya yang lebih baik dalam kampus sehingga akan mencetak mahasiswa yang lebih berkualitas dan mampu bersaing di dunia kerja nantinya…..Cayo kampus tercintaku…..Ayo terus maju……
Tetapi sebenarnya apa yang di maksud dengan budaya organisasi, fungsi budaya organisasi, karakteristik budaya organisasi, akan dibahas di bawah ini.A. Pengertian Budaya OrganisasiBudaya organisasi berhubungan dengan kehidupan karyawan dalam organisasi menjadi hal yang penting karena merupakan kebiasan-kebiasan yang terjadi dalam hirarki organisasi yang mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi. Pengertian budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem dari makna bersama (Robbins,1997). Selanjutnya menurut Djokosantoso (2003) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya manajemen atau dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan. Jadi
budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggotanya yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku anggota tersebut untuk mencapai tujuan organisasi.B. Karakteristik Budaya OrganisasiKarakteristik budaya organisasi menurut Robbins adalah sebagai berikut:
1) Inovasi dan Pengambilan Resiko (Inovation and risk taking)
Sejauhmana karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko2) Perhatian ke rincian atau detil (Attention to detail)Sejauhmana karyawan yang diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian ke rincian3) Orientasi hasil (Outcome orientation)Sejauhmana manajemen mefokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu4) Orientasi Orang (People orientation)Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang dalam organisasi tersebut5) Orientasi tim (Team orientation)Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim,bukannya individu-individu6) Keagresipan (Aggressiveness)Sejauhmana orang – orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai7) Kemantapan atau Stabilitas (Stability)Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhanC. Fungsi Budaya OrganisasiFungsi budaya organisasi dalam organiasi menurut Robbins adalah sebagai berikut :1) Mempunyai peran menetapkan tapal batasBudaya meniptakan pembedaan yang jelas antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain2) Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasinya3) Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luasdaripada kepentingan diri individual seseorang4) Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosialBudaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan meberikan standart – standart yang tepat untuk apa yang ahrus dikatakan dan dilakukan oleh karyawan5) Mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku para karyawannyaSemoga bermanfaat………………..
PENERAPAN BUDAYA ORGANISASI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya Organisasi merupakan bagian dari MSDM dan Teori Organisasi. MSDM BO dilihat diri aspek prilaku, sedangkan Teori organisasi dilihat dari aspek sekelompok individu yang berkerjasama untk mencapai tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan.
Dalam pekembangannya, pertama kali BO dikenal di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology dan juga seorang Ketua kelompok Studi Organisasi 1972-1981, serta Konsultan BO pada berbagai perusahaan di Amerika dan Eropa. Salah satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and Leadership.
Di Indonesia BO mulai dikenal pada tahun 80 - 90-an, saat banyak dibicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan Budaya Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru. Bersamaan dengan itu para akademisi mulai mengkajinya dan memasukkannya ke dalam kurikulum berbagai pendidikan formal dan infomal. Salah satu pakar yang cukup gigih mengembangkan BO adalah Prof Dr. Taliziduhu Ndraha, seorang pakar Ilmu Pemerintahan.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini ialah mengenai bagaimanakah penerapan budaya organisasi yang ada di Indonesia
1.3 Tujuan Dan Manfaat
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana gambaran budaya organisasi di lingkungan sekitar kita atau pada umumnya di Indonesia, menggambarkan nilai budaya organisasi yang dominant dan menjelaskan bagaimana memelihara budaya organisasi yang sehat.
Adapun yang menjadi manfaat dalam penulisan makalah ini dimaksudkan agar dapat menjadi bahan referensi bagi teman-teman mahasiswa sekalian dalam mencari informasi mengenai Budaya organisasi yang ada di Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.
Kroeber dan Kluchon tahun 1952 menemukan 164 definisi Budaya. Akan tetapi pengertian yang penulis kemukakan di sini hanya yang terkait dengan BO. Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Budaya Organisasi mengemukakan pendapat Edward Burnett dan Vijay Sathe, sebagai berikut :
• Edward Burnett
Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggota masyarakat.• Vijay SatheBudaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat.
• Edgar H. ScheinBudaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan terkait degan masalah-masalah tersebut.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa Pada hakikatnya, budaya organisasi memiliki nilai yang baik bagi kemajuan suatu organisasi. Budaya organisasi merupakan salah satu perangkat manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya organisasi bukan merupakan cara yang mudah untuk memperoleh keberhasilan, dibutuhkan strategi yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu andalan daya saing organisasi. Budaya organisasi merupakan sebuah konsep sebagai salah satu kunci keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.
2.2 Penerapan Budaya Organisasi
Dalam kerangka Penerapan Budaya Organisasi setelah memahami secara fundamental sebuah organisasi dan budayanya secara teoritis maka diperlukan yang namanya Langkah-Langkah Kegiatan Untuk Memperkuat Budaya Organisasi itu, yang antara lain ialah sebagai berikut:1. Memantapkan nilai-nilai dasar budaya organisasi2. Melakukan pembinaan terhadap anggota organisasi3. Memberikan contoh atau teladan4. Membuat acara-acara rutinitas5. Memberikan penilaian dan penghargaan6. Tanggap terhadap masalah eksternal dan internal7. Koordinasi dan kontrol
Untuk membantu implementasi suatu budaya organisasi itu perlu mengukur kekuatan Budaya Organisasi itu sehingga strategi yang dijalankan berjalan proposional. Unsur-unsur yang merupakan ciri khas budaya kuat:1. Kejelasan nilai-nilai dan keyakinan2. Penyebarluasan nilai-nilai dan keyakinan3. Intensitas pelaksanaan nilai-nilai inti
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Budaya Organisasi berkaitan erat dengan pemberdayaan karyawan (employee empowerment) di suatu perusahaan. Semakin kuat budaya organisasi, semakin besar dorongan par karyawan untuk maju bersama denga perusahaan, atau dengan kata lain budaya organisasi sangat berperan penting dalam menentukan kesuksesan sebuah organisasi atau perusahaan.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan mengenai budaya organisasi dalam kesempatan ini ialah:
1. Sebaiknya lebih menigkatkan lagi inovasi dalam penerapan budaya agar tercipta kegairahan kerja oleh anggota organisasi atau perusahaan.
2. Orientasi budaya organisasi hendaklah berlaku oleh semua elemen organisasi
DAFTAR PUSTAKA
Bahan-bahan Kursus Singkat Manajemen Eksecutive, Pusdiklat Jemen, Badiklat Dephan, Jakarta, 2001.
Eleri Sompson, “101 Ways Make a Professional Impact” (terjemahan) Penerbit Gramedia, Jakarta, 2002.
Gering Supriyadi dan Triguno, Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, LAN, Jakarta, 2001.
Keputusan Menteri Pertahanan RI Nomor : KEP/19/M/XII/2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertahanan.
Mokhammad Abdul Mukhyi, “Pengantar Manajemen Umum” Penerbit Guna Darmua, Jakarta, 2001.
Wan Usman, “Modul Perkuliahan S-2 KSKN, UI, “Manajemen /Strategik”, Jakarta, 2004.Posted by ankhgaraYANKESS at 11:41 PM
MENIMBANG URGENSI RUU BHP »
BUDAYA ORGANISASI DALAM PENINGKATAN PROFESIONALISME PENDIDIK
February 8, 2009 by denovoidea
Pendahuluan
Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory”
(1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari
budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya
organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam
penerapannya.
Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972) dapat
dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh
Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional
(structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan
Radclife-Brown yang kemudian dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan
budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes
knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”
atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 2001: 72 )
sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal
ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya
Manusia (MSDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture)
atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan
(corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning
culture) atau Kultur akademis (Academic culture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur
para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan
kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem
nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong
adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun
dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika
seseorang masuk organisasi tersebut.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal
yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman
untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).
Jadi terbentuknya Kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis
institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang
dosen itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tatanan yang sudah ada dalam etika pendidikan
ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang
akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam
hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun
dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesionalis biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkemeja
dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang
berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.
b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang
kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif
yang mencerminkan adanya prestasi pribadi. ( Soekanto, loc.cit, P. 174)
Pengertian budaya yang penulis teliti lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan sikap dosen dalam menyikapi
pekerjaannya (profesionality), rekan kerjanya, kepemimpinan dan peningkatan karakter internal (maturity character)
terhadap lembaganya baik dilihat dari sudut psikologis maupun sudut biologis seseorang. Dimana budaya akademis secara
aplikatif dapat dilihat ketika para anggota civitas akademika sudah mempraktikan seluruh nilai dan sistem yang berlaku di
perguruan tinggi dalam pribadinya secara konsisten.
Budaya dan kepribadian
Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola
prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada
sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang
terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik
dalam sehari-harinya.
Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan
individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan
budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan
seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi
yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan
bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya
sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak
tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik
melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan
citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat
penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak
sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya
pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak
didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi.
McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam
hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian,
karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“(McKenna, etal, Terjemahan Toto Budi Santoso, 2002: 19)
Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang
dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap
lingkungan dan prilaku manusia”(Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang
diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik
didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah
teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya.
Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that member of a
community share in common” (Sathe, 1985:18). Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan
karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh
Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :
“A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal
integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct
way to perceive, think and feel in relation to these problems” ( Schein, 1992:16).
Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah
organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa berupa prilaku langsung apabila menghadapi
permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga
terhadap profesi dirinya sebagai dosen, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola
komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung
terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju
mundurnya sebuah organisasi. Seorang profesional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya
dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
Organisasi dan budaya
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat
tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A
consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to
achieve a common goal or set of goal” (Robbins, 1990:4). Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan
organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and
structure” (Brown,etal,1980:6).
Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two
or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces” (Etzioni, 1961:14).
Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input)
dan keluaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga
terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap
Sebagai suatu output (keluaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system
budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun
lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian
penulis mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah budaya akademis.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu
organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain” (Umar Nimran, 1996: 11).
Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai
“Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi”. Sementara
Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung
dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini” (op.cit, Ndraha, P. 102). Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan
oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture” mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to
cope with problems of external adaptation and internal integration (Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima
anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan
integarasi dari dalam) (Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif”
mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :
“ …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and
internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as
the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems. (“…suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali
dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor
ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota
baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi
tersebut) (loc.cit, Schein, P.16)
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-
tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan
melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya (McKenna,etal, op.cit P.63).
Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh
anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan
internal.
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut
atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui
sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or
herself” yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta
merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi yang diajarkan dari generasi yang satu
kegenerasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai
asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.
Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda
internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik
masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan
keutuhan organisasi) ( Opcit Ndraha, P.76).
Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut :
1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan
teknologi.
3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing
Assumption” (loc.cit Vijay Sathe, p. 18), Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak
mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya
organisasi yang dapat dibagi menjadi :
a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi
tersebut.
b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seperti didunia pendidikan terdapat
istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.
c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas
suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut pendapat dari Dr.Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai
(Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi. (Silalahi, 2004:8) harus mencakup faktor-
faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja
Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan
pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43)
bisa dilaksanakan antara lain berupa :
a) Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul
b) Menentukan batas-batas antar kelompok.
c) Distribusi wewenang dan status.
d) Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.
e) Menentukan imbalan dan ganjaran
f) Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.
Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya
organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk
budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akademis (Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
1) Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
2) Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
3) Teknologi, produksi dan jasa
4) Industri dan kompetisinya/ persaingan antar perguruan tinggi.
5) Pelanggan/stakehoulder akademis
6) Harapan perusahaan/organisasi
7) Sistem informasi dan kontrol
8) Peraturan dan lingkungan perusahaan
9) Prosedur dan kebijakan
10) Sistem imbalan dan pengukuran
11) Organisasi dan sumber daya
12) Tujuan, nilai dan motto.
Budaya dengan profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan
budaya dengan keberhasilan suatu perguruan tinggi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami
disain organisasi tersebut, Harrison dalam McKenna (2002) membagi empat tipe budaya organisasi :
1. Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara
memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam
menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk
memajukan institusi organisasi. Kelajiman diinstitusi pendidikan yang masih meenganut manajemen keluarga, peranan
pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi akademis, terkadang melupakan nilai
profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya sebuah perguruan tinggi.
2. Budaya peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang
jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan
status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu
mengstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada
dosen terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan
suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen dalam merancang,
merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi
dari pihak pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah
personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang
dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja
seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan
akademis dan kegiatan penelitian.
3. Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya
integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu
budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya
pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang
dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu
sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus
(longlife education)
4. Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha
keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku
dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan
otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam
melaksanakan tugasnya.
Dari empat tipe budaya diatas cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang dosen
dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang dosen dalam perannya, dimana
Handi (1985) menyebutnya dengan istilah budaya pribadi (person-culture).
Istilah profesionalisme dalam dunia kependidikan bukanlah hal yang baru. Penulis beranggapan bahwa profesionalisme
itulah sebagian dari apilikasi budaya organisasi secara person culture dalam hal ini dapat dilihat dari karakter dosen dalam
mengaplikasikan budaya akademis yang sudah disampaikan oleh pihak institusi kampus.
Dalam rangka peningkatan kultur akademis dan profesionalisme kerja perlu adanya pengelolaan dosen (Sufyarma,
2004:183), antara lain :
a) Meningkatkan kualitas komitmen dosen terhadap pengembangan ilmu yang sejalan dengan tugas pendidikan dan
pengabdian pada masyarakat
b) Menumbuhkan budaya akademik yang kondusif untuk meningkatkan aktifitas intelektual.
c) Mengusahakan pendidikan lanjut dan program pengembangan lain yang sesuai dengan prioritas program studi.
d) Menata ulang penempatan dosen yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya agar profesionalisme dan efisiensi dapat
ditingkatkan.
e) Melakukan pemutakhiran pengetahuan dosen secara terus menerus dan berkesinambungan.
Sehingga perguruan tinggi harus dikelola dengan professional memiliki dua faktor sebagai bentuk penerapan budaya
akademis yang kuat yaitu :
1. Profesional personal.
Adapun profesional personal ini memiliki karakteristik antara lain :
a) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat atas kreatifitas.
b) Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisatif.
c) Ingin selalu mengerjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar yang ditugaskan
kepadanya.
d) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
e) Mendengarkan kebutuhan mahasiswa dan dapat bekerja denga baik dalam tim.
f) Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
g)Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.
2. Professional institusional.
Adapun karakteristik profesional institusional dapat dilihat dalam karakteristik sebagai berikut :
a) Perkuliahan berjalan lancar, dinamis dan dialogis.
b) Masa studi mahasiswa tidak lama dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan memperoleh indeks prestasi yang
tinggi.
c) Minat masyarakat yang memasuki perguruan tuinggi adalah besar, karena perguruan tinggi yang bersangkutan adalah
legitimate dan credible.
d) Memiliki staf pengajar yang telah lulus studi lanjut (S2 dan S3) dan
e) Aktif dalam Pertemuan ilmiah serta produktif dalam karya ilmiah.
f) Pengelolaan perguruan tinggi yang memiliki visi yang jauh kedepan, otonom, fleksible serta birokrasi yang singkat dan
jelas.
g) Program perguruan tinggi, baik akademik maupun administratif harus disusun secara sistematis, sistemik dan
berkelanjutan.
h) Kampus harus dibenahi secara bersih, hijau dan sejuk.
i). Alumni perguruan tinggi harus mampu bersaing secara kompetitif, baik secaranasional maupun global.
Sedangkan Mahfud MD (1998:4) antara lain menunjukan beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh
terhadap profesionalisme dosen sebagai berikut :
1) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.
2) Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif.
3) Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai peran diluar pekerjaannya.
4) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
5) Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim.
6) Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
7) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.
Selain itu kita lihat ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme
keguruan yaitu antara lain :
1) Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga
pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun
diluar kelas.
2) Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta
seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.
3) Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai
manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena
bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyarakat.
4) Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh
guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan
miniature demokrasi masyarakat.
5) Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara
serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilaitastor belajar.
Karakteristik budaya organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit tetapi penulis mengambil dari
beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi.
Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa
indikator antara lain :
a). Ketekunan (dilligency),
b). Ketulusan (sincerity),
c). Kesabaran (patience) dan
d). Kewirausahaan (entrepreneurship).
Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain
a). Aspek kualitatif (basic)
b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
c).. Aspek komponen (assumption dan beliefs),
d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
e). Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi
yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Selangkah lebih maju tinjauan dari Dr.Bennet Silalahi yang melihat budaya kerja dapat dilihat dari sudut teologi dan
deontology (Silalahi, 2004:25-32) seperti pandangan filsafat Konfutse, etika Kristen dan prinsip agama Islam. Kita tidak
memungkiri pengaruh tiga agama ini dalam percaturan peradaban dunia timur bahkan manajemen barat sudah mulai
memperhitungkannya sebagai manajemen alternatif yang didifusikan ke manajemen barat setelah melihat kekuatan
ekonomi Negara kuning seperti Cina, Jepang dan Korea sangat kuat. Perimbangan kekuatan ras kuning Asia yang diwakili
Jepang, Korea dan Cina tentu saja tidak bisa melupakan potensi kekuatan ekonomi negara-negara Islam yang dari jumlah
penduduknya cukup menjanjikan untuk menjadi pangsa pasar mereka.
Tinjauan ajaran Islam membagi budaya kerja kedalam beberapa indikator antara lain :
a) Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq : 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))
b) Dalam setiap pekerjaan harus unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9, Al-An’am : 165)
c) Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh : 13)
d) Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.
e) Kelemah lembutan.
f) Kebersihan
g) Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah
h) Menentang permusuhan.
Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria,
indikator) budaya organisasi yaitu :
1. Jaminan diri (Self assurance)
2. Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
3. Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
4. Kecerdasan emosi (Intelegence)
5. Inisatif (Initiative)
6. Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
7. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
8. Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
9. Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
10. Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
Penutup
Dari uraian diatas bahwa peningkatan kualitas kinerja seorang pendidik bisa dilakukan dengan memperhatikan kepuasan
kerja secara intensif baik kepuasan intrinsik maupun kepuasan ekstrinsik dan memperbaiki budaya organisasi yang hanya
berorientasi tugas semata dengan menerapkan budaya kerja yang berorientasi kinerja, persaingan, yang di sinergiskan
dengan upaya re-inveting organisasi dan pengembangan jenjang karier secara berkala atau memperbaiki budaya
organisasi yang berpola paternalistik dengan budaya organisasi berpola profesionalisme.
Sehingga para pendidik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan secara langsung kepada rekan kerja ataupun
kepada pihak pimpinan mengenai hal-hal yang menjadi hambatan psikologis dan komunikasi yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan baik instrinsik maupun ekstrinsik dan pihak pimpinan senantiasa memperhatikan dan memegang
teguh prinsip keadilan dan humanitas dalam pengembangan diri dimasa yang akan datang.
Agar membentuk kesadaran untuk tetap meningkatkan semangat dan budaya kerja yang inisiatif, kreatif dan penuh
inovasi dan pihak pimpinan akademisi atau institusi dapat mengembangkan budaya terbuka dan dorongan terhadap
seluruh aktifitas akademis yang didukung oleh adanya penghargaan, pengakuan dan bersifat reaktif dan pro-aktif terhadap
permasalahan akademis maupun non-akademis yang terjadi dikalangan pendidik yang sebenarnya bisa berakibat
menurunnya citra dan semangat kekeluargaan antara pendidik dengan pihak pimpinan akademisi..
Peningkatan kepuasan kerja berupa materi maupun non-materi untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, kemudian
tingkatkan budaya akademisi yang berbasis pada peningkatan penelitian, pengembangan jenjang pendidikan dosen yang
diseimbangkan dengan ketegasan dan control sehingga tercipta budaya akdemisi yang kondusif. Serta Tingkatkan
profesionalisme kerja dalam pemberian jenjang jabatan tanpa menghilangkan budaya kekeluargaan yang kuat dan didasari
adanya control dan penghargaan serta pengakuan yang proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) P. 72
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003), P. 174
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), P.148.
Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Terj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta :
Penerbit Andi, 2002) P. 19
Taliziduhu Ndraha, Budaya organisasi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) p.123.
Vijay Sathe, Culture and Related corporate Realities, (Homewood : Richard D. Irwin, Inc., 1985) p. 18
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif, (San Fransisco : Josseybass Publ, 1992) p.16.
Stephen P. Robbins,Organizational Theory: Structure Design and Aplication (New Jersey : Prentice Hall, Inc., 1990), P.4
Waren B.Brown dan Denis J. Moberg, Organization Theory and Mangement: A Macro Approach, (New York : John Wiley &
Sons,1980), P. 6.
Amitai Etzioni, Complex Organization : A Sociological Reader, (New York : Rine Hart & Winston, 1961) P.14.
Umar Nimran, Kebijakan Perusahaan, (Jakarta : Karunika UT, 1996), P. 11.
Eugene McKenna & Nic Beech, op.cit P.63..
Prof. Dr. Bennet Silalahi, Corporate Culture and Performance Appraisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), P. 8.
Kutipan Republika, 27 JUli 1994:8
Harisson R., Understanding your Organization’s Character, (Harvard Business Review, May-June1972 : 119-128). dikutif
langsung (atau tidak langsung) oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The essence of : Mannajemen Sumber Daya
Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 65
C. Handy, Understanding Organizations, (London : Penguin, 1985), dikutip langsung oleh Eugene McKenna dan Nic Beec,
The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 66
Sufyarma, Kapita selekta : Manajemen Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2004), P.183.
Mohammad Mahfud M.D., Workshop Nasional : Relevansi Peraturan Perundang-undangan dalam Menyongsong Perguruan
Tinggi di Indonesia pada abad ke 21, (Yogyakarta : Kerjasama UII dan Untar, 1998), P. 4.
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajaran, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2003), p.126-127.
Bennet Silalahi, Corporate Culture & Performance Apparaisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), p.25-32
Desmond graves, Corporate Culture : Diagnosis and Change Auditing and Changing the Culture of Organization, (London :
Frances Pinter Publishing, 1986) P.126.
BUDAYA ORGANISASI
Poor
Budaya organisasi adalah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implicit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok
tersebut rasakan, pikirkan , dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Budaya merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan
yang dimiliki oleh anggota organisasi. Nilai-nilai tersebut cenderung berlangsung dalam waktu lama dan lebih tahan terhadap perubahan.
Tujuan penerapan budaya organisasi adalah agar seluruh individu dalam perusahaan atau organisasi mematuhi dan berpedoman pada
system nilai keyakinan dan norma-norma yang berlaku dalam perusahaan atau organisasi tersebut.
Menurut Taliziduhu Ndraha (1997:65) mengemukakan bahwa: “budaya organisasi sebagai input terdiri dari pendiri organisasi, pemilik
organisasi, sumber daya manusia, pihak yang berkepentingan, dan masyarakat.
Ada tiga tingkatan dalam menganalisis budaya organisasi, yaitu: 1. Budaya organisasi yang tampak (observable culture).2. Nilai-nilai yang
dikontribusikan (shared values), dan 3. Asumsi-asumsi umum, seperti yang dikemukakan oleh John R.Schermerhorn, James G.Hunt, dan
Richard N.Osborn (1991: 341)
Menurut Edgar H.Schein, tingkat pertama dari analisis budaya organisasi adalah fakta-fakta seni, ciptaan-ciptaan, teknologi, seni dan
bentuk-bentuk perilaku yang tampak serta dapat didengar. Adapun tingkat analisis kedua adalah kesadaran terhadap nilai-nilai yang berlaku
dan tingkat analisis ketiganya adalah asumsi-asumsi dasar, hubungan dengan lingkungan, kenyataan dan kebenaran, aktivitas manusia
serta hubungan manusia.
BUDAYA ORGANISASI DAN UNSUR-UNSURNYA (At a Glance)
Pengertian Budaya Organisasi
Keith Davis dan John W.Newstrom (1989:60) mengemukakan bahwa: “ organizational culture is the set of assumptions, beliefs, values, and
norm that is shared among its member ”. Lebih lanjutJohn R Schermerhorn dan James G. Hunt (1991:340) mengemukakan bahwa “
organizational culture is the system of shared beliefs and values that develops within an organization and guides the behavior of its member
”. Sedangkan Edgar h.Schein (1992: 21) berpendapat bahwa: “ An organization’s culture is a pattern of basic assumptions invented,
discovered or developed by a given groups as it learns to cope with is problems of external adaptation and internal integration that has
worked well enough to be considered valid and to be taugh to new members as the coorect way to perceive, think and feel in relation to
these problems.
Menurut Vijay Sathe: “Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat.
Berdasarkan pendapat tadi dapat disimpulkan bahwa pengertian budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau system keyakinan,
nilai-nilai dan norma-norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Karakteristik dan Unsur-unsur Budaya Organisasi
Fred Luthans (1989:50) berpendapat bahwa: “organizational culture has a member of important characteristics. Some of the most readily
agreed upon are the following: observed behavioral regulities, norms, dominant, values, philosophy, and organizational climate”.
Stephen P.Robbins (1992:253) mengemukakan sebagai berikut: There appear to be ten characteristic that whwn mixed and mached,
expose the essence of an organizations culture: individual initiative, risk tolerance, direction, integration, management support, control,
identity, reward system, conflict tolerance and communication patterns”.
Berdasarkan pendapat Fred Luthans dan Stepen P. Robbins dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan budaya organisasi dapat dikaji dari
karakteristik budaya organisasi, yaitu: 1. Perilaku individu yang tampak.2. Norma-norma yang berlaku dalam organisasi.3. Nilai-nilai yang
dominan dalam kehidupan organisasi.4. Falsafah manajemen.5. Peraturan-peraturan yang berlaku. 6. Iklim organisasi. 7. Inisiatif individu
organisasi. 8. Toleransi terhadap resiko. 9. Pengarahan pimpinan/manajemen. 10. Integrasi kerja. 11. Dukungan manajemen. 12.
Pengawasan kerja. 13. Identitas individu organisasi. 14. Sistem penghargaan terhadap prestasi kerja. 15. Toleransi terhadap konflik, dan 16.
Pola komunikasi kerja.
Menurut Susanto, unsur-unsur budaya organisasi adalah: lingkungan usaha, nilai-nilai, kepahlawanan, upacara, dan jaringan cultural.
Menurut Daniel R.Denison, unsure-unsur budaya organisasi, adalah: asumsi dasar, seperangkat nilai dan keyakinan yang dianut, pemimpin,
pedoman mengatasi masalah, berbagai nilai pewarisan, acuan perilaku, citra dan brand yang khas, dan adaptasi.
Menurut Philiph Selnick, unsure-unsur budaya organisasi adalah: kumpulan orang, kerjasama, tujuan bersama, system koordinasi,
pembagian tugas dan tanggungjawab, dan sumber daya organisasi. Sedangkan menurut Edgar H.Schein, unsure-unsur budaya organisasi
adalah: Ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, modal, humum, adat-istiadat, perilaku/kebiasaan masyarakat, asumsi dasar, system nilai,
pembelajaran, dan masalah adaptasi eksternal dan internal.
Fungsi Budaya Organisasi
Sebuah budaya organisasi memenuhi beberapa fungsi, yaitu:
1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawan. Sebagai contoh adalah mempromosikan inovasi yang memburu
pengembangan produk baru. Identitas ini didukung dengan mengadakan penghargaan yang mendorong inovasi.
2. Memudahkan komitmen kolektif. Dimana para karyawan bangga menjadi bagian dari organisasi.
3. Mempromosikan stabilitas system social. Stabilitas system social mencerminkan taraf dimana lingkungan kerja dirasakan positif dan
mendukung, dan konflik serta perubahan diatur dengan efektif. Organisasi juga berusaha meningkatkan stabilitas melalui budaya
promosi dari dalam.
Menurut John R.Schemerhorn dan James G.Hunt (1991:344) bahwa: “The culture of an organization can help it deal with problems of both
external adaption and internal integration”.
Tipe Budaya Organisasi
Terdapat tiga tipe umum budaya organisasi, yaitu: konstruktif, pasif-defensif, dan agresif-defensif. Setiap tipe berhubungan dengan
seperangkat keyakinan normative yang berbeda.
Keyakinan normative mencerminkan pemikiran dan keyakinan individual mengenai bagaimana anggota dari sebuah kelompok atau
organisasi tertentu diharapkan menjalankan tugasnya dan berinteraksi dengan orang lain.
Pasif-defensif adalah keyakinan yang berciri memungkinkan karyawan berinteraksi dengan karyawan lainnya dengan cara yang tidak
mengancam keamanan kerjanya sendiri.
Budaya agresif-defensif mendorong karyawannya untuk mengerjakan tugasnya dengan keras untuk melindungi keamanan kerja dan status
mereka. Tipe budaya ini bercirikan keyakinan normative yang berhubungan dengan persetujuan, konvensional, ketergantungan dan
penghindaran.
Bagaimana Budaya Ditanamkan dalam Organisasi
Edgar Schein, sarjana perilaku organisasi yang terkenal mengatakan bahwa menanamkan sebuah budaya melibatkan proses belajar.
Anggota organisasi mengajarkan satu sama lainnya mengenai nilai-nilai, keyakinan, pengharapan, dan perilaku yang dipilih organisasi,
dengan menggunakan satu atau lebih mekanisme berikut:
1. Pernyataan filosofi formal, misi, visi, nilai, dan material organisasi yang digunakan untuk rekruitmen, seleksi, dan sosialisasi.
2. Desain secara ruangan fisik, lingkungan kerja, dan bangunan. Mempertimbangkan penggunaan alternative baru desain tempat
kerja yang disebut dengan ‘hoteling’.
3. Slogan, bahasa, akronim, dan perkataan.
4. Pembentukan peranan secara hati-hati.
5. Penghargaan eksplisit, symbol status, dan criteria promosi.
6. Cerita, mitos, legenda suatu peristiwa dan orang-orang penting.
7. Aktifitas, proses, atau hasil organisasi yang juga diperhatikan, diukur, dan dikendalikan pimpinan.
8. Reaksi pimpinan terhadap insiden yang kritis dan krisis organisasi.
9. Struktur organisasi dan aliran kerja.
10. Sistem danprosedur organisasi.
11. Tujuan organisasi dan criteria gabungan yang digunakan untuk rekruitmen, seleksi, pengembangan, promosi, pemberhentian, dan
pengunduran diri karyawan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau system keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma yang dikembangkan dalam
organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal.
2. Karakteristik budaya organisasi, yaitu: 1. Perilaku individu yang tampak.2. Norma-norma yang berlaku dalam organisasi.3. Nilai-
nilai yang dominan dalam kehidupan organisasi.4. Falsafah manajemen.5. Peraturan-peraturan yang berlaku. 6. Iklim organisasi. 7.
Inisiatif individu organisasi. 8. Toleransi terhadap resiko. 9. Pengarahan pimpinan/manajemen. 10. Integrasi kerja. 11. Dukungan
manajemen. 12. Pengawasan kerja. 13. Identitas individu organisasi. 14. Sistem penghargaan terhadap prestasi kerja. 15. Toleransi
terhadap konflik, dan 16. Pola komunikasi kerja.
3. Fungsi budaya organisasi, yaitu:
1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawan.
2. Memudahkan komitmen kolektif.
3. Mempromosikan stabilitas system social.
4.Terdapat tiga tipe umum budaya organisasi, yaitu: konstruktif, pasif-defensif, dan agresif-
defensif. Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normative yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Aa Anwar P M. Perilaku dan Budaya Organisasi. 2008. Bandung. PT Refika Aditama
Manahan M Tampubolon. Manajemen Operasional. 2004. Jakarta. Ghalia Indonesia
R Kreiner, A Kinick. Perilaku Organisasi. 2000. Jakarta. Penerbit Salemba Empat
Yayat M Herujito. Dasar-dasar manajemen. 2001. Jakarta. Grasindo
Ruh Spiritual at Work di Bank Syariah MandiriKasus Gayus Halomoan Tambunan, mantan pegawai pajak, contoh pegawai yang
salah dalam memahani nilai-nilai kerja, yang hanya diukur nilai kesuksesan dari materi
saja.
Maka sudah saatnya perusahaan merekrut orang-orang yang mempunyai semangat
kerja spiritual dalam perusahaan. Mengingat fungsinya bisa memberikan terapi bagi
para karyawan untuk optimis dan semangat dalam bekerja. Salah satunya dimulai dari
kepemimpinan yang cerdas, religius dan mampu menerapkan praktek kerja
berbasis spiritual at work. Jika demikian akan banyak ditemui “para sufi”di perusahaan-
perusahaan.
Iklim kerja yang nyaman merupakan harapan semua elemen organisasi tidak kecuali di
lingkungan perusahaan. Kondisi kerja yang nyaman dicirikan oleh hubungan sosial
antar mitra kerja yang baik seperti terjalinnya kerjasama, dan kecilnya konflik yang
terjadi.
Dalam konteks praktek kerja para karyawan memiliki kedisiplinan dan komitmen kerja
tinggi yang didukung dengan kepemimpinan bergaya membangun motivasi dan
kemitraan. Selain itu kenyamanan suasana kerja bisa terujud karena kentalnya suasana
spiritual.
“Di Bank Syariah Mandiri kami membangun konsep kerja dengan semangat spiritual at
work,” kata Yuslam Fauzi, Dirut Bank Syariah Mandiri (BSM), kepada Business Review
disela acara ndonesian Human Capital Study (IHCS) di Ballroom Grand Royal
Panghegar Hotel, Bandung, Kamis (11/10) malam.
Dikatakan saat ini perkembangan organisasi kerja perusahaan global sudah mengarah
pada prinsip spiritual at work. artinyaspiritual itu tidak harus identik dengan nilai-nilai
religius, tapi bersandar pada semangat nilai-nilai etos kerja yang dipraktekan menjadi
sebuah keyakinan menuju kesuksesan dalam bisnis perusahaan.
Di BSM sendiri spiritual at work menjadi lebih kuat karena adanya unsur-unsur dari
nilai-nilai agama sehingga menambah kuat dalam menjalankan semangat kerja.
Perubahan besar bisa dilakukan dari peran pemimpin: kemampuan kepemimpinan
seseorang dalam perusahaan, dengan menggunakan perangkat sistem, budaya kerja
sebagai alat pemaksa.
Pengertian alat pemaksa, sambung Yuslam, dalam membangun perubahan sistem
budaya kerja baru harus dipahami dulu oleh karyawan, baru dilakukan pada
implementasinya. Di BSM dalam rangka membangun kehidupan spiritual di lingkungan
kerja, manajemen puncak menjadikannya sebagai misi dan program perusahaan.
Banyak jalur untuk itu antara lain dalam bentuk bagaimana dibentuk: pelatihan tentang
pemaknaan dan penerapan kecerdasan spiritual (SQ) dalam hubungan sosial dan
dalam pekerjaan. Kemudian diskusi-diskusi kelompok juga bisa diadakan secara rutin
dan terprogram.
Menurut Yuslam perubahan besar yang penuh dengan gejolak dan tantangan
membutuhkan kemampuan untuk membuat strategi yang sesuai dengan tuntutan
perubahan tersebut, mulai dari perubahan sosial, ekonomi, budaya, sampai pada
perubahan teknologi. Kualitas kepemimpinan dalam perusahaan setidaknya
dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kematangan dari pemimpin itu sendiri, pemahaman
yang kuat dari seorang pemimpin terhadap bisnis perusahaan dan prosesnya, serta
kesadaran dan kemauan yang sangat tinggi dari pemangku kepentingan perusahaan
untuk mewujudkan kinerja yang positif.
Di BSM, sambung Yuslam ada korelasinya antara aspek spiritualitas
dengan performance perusahaan. Meskipun belum ada hasil penelitian secara ilmiah,
akan tetapi menurut pengamatan beliau, aspek spiritualitas yang dibangun Bank
Syariah Mandiri memiliki pengaruh positif terhadap kinerja Bank Syariah Mandiri 5
tahun terakhir.
Yuslam Fauzi menyitir dari Spiritual leadership and army transformation : Theory,
measurement, and establishing a baseline (Fry et al, 2005), merumuskan fungsi
kepemimpinan spiritual sebagai kemampuan memotivasi dan memberi inspirasi melalui
visi transenden dan budaya perusahaan yang berdasarkan nilai-nilai altruistik untuk
menghasilkan tenaga kerja yang bermotivasi tinggi, berkomitmen dan produktif.
Tujuan kepemimpinan spiritual adalah untuk menyentuh kebutuhan mendasar dari
pemimpin dan pengikut untuk kelangsungan hidup spiritual melalui panggilan (calling)
dan keanggotaan (membership). Sehingga hal tersebut dapat menciptakan visi dan
kongruensi nilai bagi seluruh individu, pemberdayaan tim, dan tingkat organisasi, yang
pada akhirnya untuk mendorong ke arah tingkat yang lebih tinggi dari komitmen
organisasi dan produktivitas.
Di ajang IHCS 2012, BSM memperoleh berbagai penghargaan diantaranya Best of
Employee Net Promoter Score for Financial Industry, Best of All Criteria dan Best of
CEO Commitment
Yuslam memberi tanggapan tentang acara IHCS 2012, sebagai bentuk apresiasi bagi
perusahaan untuk mengukur kemampuan dalam menerapkan dan
mengimplementasikan sumber daya manusia (SDM) sebagai bagian dari investasi
dalam menjalankan sistem kerja yang baik.
Dunamis dan Majalah Business Review, sangat berjasa sekali mengembangkan cara
the best pratice tentang human capital di perusahaan melalui berbagai public sharing
dengan perusahaan lain. Format penilaian IHSC cukup objektif karena, Dunamis
sebagai konsultan yang memang memiliki kompetensi yang baik dan objektif.
“Saya rasa ke depannya harus lebih baik lagi. dan bisa diikuti lebih banyak lagi
perusahaan dari berbagai sektor agar lebih kompetitif,” pungkasnya. (Business Review
Online)
Nurdin Hasibuan, Menetapkan Budaya Perusahaan pada pada Sikap �Akhlaqul Karimah�
Laporan: Haris Fadilah Berawal dari rasa ketidakadilan yang terjadi pada dunia perbankan, utamanya bank konvensional ketika menjabat sebagai Direktur Utama Bank Susila Bakti, yang membawanya untuk terjun lebih dalam pada dunia perbankan Syariah. Ternyata, justru sejak berdiri tahun 1999 sampai sekarang ia dipercaya untuk menjadi Top Manajemen pada Bank Syariah Mandiri. Siapa lagi kalau bukan Nurdin Hasibuan, Direktur Utama Bank Syariah Mandiri. Kedudukan yang sekarang diamanatkan kepadanya oleh Dewan Komisaris bukan diraih dengan mudah, tapi melalui proses yang cukup berat dan panjang.
Krisis moneter dan ekonomi sejak Juli 1997, yang disusul dengan krisis politik nasional telah membawa dampak besar dalam perekonomian nasional. Krisis tersebut mengakibatkan perbankan Indonesia yang didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami kesulitan yang sangat parah. Keadaan tersebut menyebabkan pemerintah Indonesia terpaksa mengambil tindakan untuk merestrukturisasi dan merekapitalisasi sebagian bank-bank yang adadi Indonesia. Lahirnya Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang 7 tahun 1992 tentang perbankan, pada bulan November 1998 telah memberi peluang sangat baik bagi tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Undang-Undang tersebut memungkinkan bank beroperasi sepenuhnya secara syariah atau dengan membuka cabang khusus syariah. "Saya selaku Pimpinan PT Bank Susila Bakti yang dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) PT Bank Dagang Negara dan PT Mahkota Prestasi, bersama teman-teman di jajaran direksi berupaya keluar dari krisis 1997-1999 melalui cara. Mulai dari langkah-langkah menuju merger sampai pada akhirnya memilih konversi menjadi bank Syariah dengan suntikan modal pemilik," kata Nurdin. Dengan terjadinya merger empat bank (Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bank Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (Persero) pada tanggal 31 Juli 1999, rencana perubahan PT Bank Susila Bakti menjadi bank Syariah dengan nama Bank Syariah Sakinah) diambil alih oleh PT Bank Mandiri (Persero). PT Bank Mandiri (Persero) selaku pemilik baru mendukung sepenuhnya dan melanjutkan rencana perubahan PT Bank Susila Bakti menjadi bank syariah, sejalan dengan keinginan PT Bank Mandiri (Persero) untuk membentuk unit syariah. Langkah awal yang dilakukan adalah dnegan merubah Anggaran Dasar tentang nama PT Bank Susila Bakti menjadi PT Bank Syariah Sakinah berdasarkan Akta Notaris: Ny Macharani MS., SH No 29 pada tanggal 19 Mei 1999, kemudian melalui Akta No 23 tanggal 8 September 1999 Notaris: Sutjipto SH nama Bank Syariah Sakinah diubah menjadi PT Bank Syariah Mandiri. PT Bank Syariah Mandiri hadir sebagai bank yang mengkobinasikan idealisme usaha dengan nilai-nilai rohani yang melandasi operasinya. Harmoni antara idealisme usaha dengan nilai-nilai rohani inilah, kata Nurdin yang merupakan keunggulan PT Bank Syariah Mandiri sebagai alternatif jasa perbankan di Indonesia. Sejak awal berdirinya PT Bank Syariah Mandiri bertekad memberikan kemaslahatan bagi masyarakat luas terutama usaha kecil dan menengah dan turut serta meningkatkan kesejahteraan bangsa di atas landasan ekonomi syariah. Tekad tersebut, kata Nurdin, terus ditegakkan di atas prinsip keadilan, kemitraan, keterbukaan dan universalitas. Yang dimaksud dengan universalitas adalah pelayanan BSM kepada seluruh golongan masyarakat, tanpa membedakan latar belakang suku, agama dan ras yang selaras dengan Islam adalah Pembawa Rahmat Kepada Seluruh Alam (Rahmatan Lil 'Alamiin).
Sikap 'Akhlaqul Karimah' Bank Syariah Mandiri (BSM) sebagai bank yang beroperasi atas dasar prinsip syariah Islam menetapkan budaya perusahaan yang mengacu kepada sikap Akhlaqul Karimah (budi pekerti mulia), yang terangkum dalam lima pilar yang disingkat SIFAT, Yaitu; � Siddiq (Integritas). Menjaga martabat dengan integritas, awali dengan niat dan hati yang tulus, berfikir jernih, bicara benar, sikap terpuji dan perilaku teladan. � Istiqomah (Konsisten). Konsisten adalah kunci menuju sukses. Pegang teguh komitmen, sikap optimis,
pantang menyerah, kesabaran, dan percaya diri. � Fathanah (Profesionalisme). Profesionalisme adalah gaya kerja kami. Semangat belajar berkelanjutan, cerdas, inovatif, terampil dan adil. � Amanah (Tanggung Jawab). Terpercaya klarena penuh tanggung jawab. Menjadi terpercaya, cepat tanggap, obyektif, akurat dan disiplin. � Tabligh (Kepemimpinan). Kepemimpinan berlandaskan kasih sayang. Selalu transparan, membimbing, visioner, komunikatif dan membudayakan. "Sikap Akhlaqul Karimah ini selalu saya tanamkan kepada setiap jajaran karyawan dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kepada para nasabah. Dalam menanamkan sikap ini selain melalui serangkaian training dan pelatihan. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah contoh dan suri teladan dari jajaran pimpinan termasuk diri saya sendiri," paparnya. Nurdin menambahkan, salah satu kunci penting untuk menjaga kualitas kinerja Bank Syariah Mandiri di masa mendatang, di tengah kompetisi perbankan yang semakin ketat, adalah dengan mengembangkan dan mendidik karyawan secara berkesinambungan. Dengan pengetahuan dan kemampuan yang bermutu, serta terus menerus ditingkatkan, maka Bank Syariah Mandiri akan mampu berkembang terus menjadi Bank Syariah yang terbaik, sesuai dengan visinya, yaitu menjadi Bank Syariah terpercaya pilihan mitra usaha.
Kenaikan laba Di bawah kepemimpinannya, Bank Syariah Mandiri telah menunjukkan jati dirinya dalam khasanah perbankan nasional. Dari modal awal Rp 450 miliar pada tahun 1999, dalam kurun waktu 5 tahun telah meningkat menjadi Rp 6,1 triliun rupiah pada tahun 2004 ini. Nurdin menjelaskan, Bank Syariah memang cukup gencar menyalurkan pembiayaan sepanjang tahun 2004. Bahkan per Agustus 2004, total pembiayaan mencapai Rp 9,54 triliun meningkat 72,5 persen dibandingkan akhir tahun 2003. Hal ini selain karena membaiknya kondisi sektor riil, dan tingginya laju kredit, juga tidak terlepas dari strategi bank syariah dalam memacu pembiayaan. Pada tahun 2003, Bank Syariah Mandiri banyak membangun cabang untuk meningkatkan ekspansi yang labanya baru dinikmati tahun 2004 ini. Cepatnya laju pembiayaan membuat rasio pembiayaan terhadap DPK (financing to deposits ratio/FDR) naik dari 96,6 persen pada bulan Desember 2003 menjadi 102 persen. "Itu membuktikan perbankan syariah optimal menggunakan dana masyarakat," ujarnya. Selain dari pembiayaan, laba juga berasal dari pendapatan berbasis tarif (fee based income). Kontribusi fee based income terhadap laba cukup signifikan. Itu karena bank syariah juga memacu bisnis tersebut. Bahkan terhadap cabang Bank Syariah Mandiri telah diinstruksikan agar satu dari kima debitur yang memiliki usaha yang berorientasi ekspor impor. Dengan begitu, selain hasil pembiayaan, Bank Syariah Mandiri juga akan memperoleh fee dari bank garansi, pertukaran valas, dan L/C. Saat ini Bank Syariah Mandiri (BSM) mempunyai 58 kantor cabang dan 30 cabang pembantu, serta 47 kantor kas di 20 provinsi seluruh Indonesia, telah menjadikan bank ini sebagai Bank Syariah terbesar di Indonesia.
Bergandengan tangan Mengingat perkembangan yang begitu pesat, dalam waktu dekat Bank Syariah Mandiri (BSM) bekerja sama dengan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Yayasan Damandiri) meluncurkan Kredit Pundi Syariah Mandiri. Menurut Nurdin, dengan adanya Kredit Pundi Syariah Mandiri akan dihasilkan sinergi positif dalam upaya kedua lembaga ini dalam mewujudkan misi yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Atas dasar itu, kerja sama ini harus diperdalam dan diperjelas dalam program-program lain yang terintegrasi dengan kebijakan pemerintah. Yayasan dan Bank Syariah Mandiri tidak punya program 100 hari kerja namun punya program mingguan. Bahkan baru dua minggu pertemuan telah ada kata sepakat untuk bersama-sama bergandengan tangan untuk memberdayakan masyarakat kecil dengan sistem pembiayaan syariah (bagi hasil). Sesungguhnya visi dan misi di antara kedua lembaga ini (BSM dan Yayasan Damandiri) terdapat kesamaan misi untuk memberdayakan masyarakat kecil dan prasejahtera serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui kegiatan produktif. Dalam pandangan kami, peluncuran kredit pundi syariah dan kerja sama antara BSM dan Yayasan Damandiri yang terjadi merupakan suatu kemestian, dijodohkan Tuhan karena memiliki misi dan cita-cita yang sama.
"Kami percaya, dengan mengintegrasikan program BSM, Yayasan Damandiri dan Pemerintah, maka kita akan mampu menggerakkan endogenous power masyarakat dan daerah untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan sosial ekonomi yang selama ini terbengkalai. Kita harus tinggalkan program tradisional yang bertumpu pada basis bantuan, sumbangan dan charity yang mengakibatkan ketergantungan dan melemahnya modal sosial masyarakat." Dalam menjalankan bisnis perbankan, Bank Syariah Mandiri tidak semata-mata mencari keuntungan (profit) tetapi juga berusaha meraih kebahagiaan baik dunia maupun akhirat. "Inilah salah satu faktor utama kenapa saya memilih untuk terjun secara utuh dalam pengembangan perbankan berbasis Syariah, karena selain keuntungan juga akan memperoleh pahala yang besar diakhirat nanti," harapnya. "Diusia yang boleh dikatakan senja ini apa lagi yang kita cari, selain melakukan berbagai upaya amaliah sebagai tabungan bila kelak dipanggil oleh Allah SWT. Karena apalagi yang kita harapkan dalam menjalani kehidupan ini selain memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan didunia dan akhirat." Di dalam Bank Syariah Mandiri, kata Nurdin, selain menjalankan produk perbankan konvensional, seperti tabungan, deposito dan produk lain yang dijalankan berdasarkan prinsip perbankan Syariah, kami juga menyelenggarakan Program BSM Simpati Umat dan Program BSM Mitra Umat. Program Simpati Umat ini dikhususkan bagi pemberian bantuan yang sifatnya emergency dan bersifat karitas. Alokasi dana untuk program ini sebesar 10 persen dari total zakat yang terkumpul. Sedangkan Program BSM Mitra Umat dengan fokus utama pendayagunaan. Kegiatan ini dialokasikan dana sebesar 75 persen dari total dana zakat yang terkumpul. Adapun ashnaf yang dapat masuk dalam proghram ini adalah fakir, miskin, Ghorimin, Fii Sabillah dan hamba Sahaya. Jumlah alokasi yang tinggi ini merupakan implementasi positioning LAZNAS BSM Umat untuk pemberdayaan ekonomi umat. Dua strategi yang digunakan dalam pemberdayaan ekonomi yaitu penyeluran bantuan modal usaha (Revolving Fund) dan Syirkah Mustahiqien melalui pendampingan secara intensif. RIS