telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem … · verifikasi b. aliran proses dan latar belakang...
TRANSCRIPT
Rencana Disertasi :
PEMODELAN KARDIORESPIRATOMETER BERBASIS VIBRASI DADA
TELAAH ALAT UKUR STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIORESPIRASI
KARYA ILMIAH 2
Oleh :
NURIDA FINAHARI NIM. 0730703012
PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN KEKHUSUSAN TEKNOLOGI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA PROGRAM PASCA SARJANA
M A L A N G 2 0 0 8
2
LEMBAR PENGESAHAN
TELAAH ALAT UKUR STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIORESPIRASI
KARYA ILMIAH 2
Oleh :
NURIDA FINAHARI NIM. 0730703012
Menyetujui, Pembimbing Akademik
Dr. dr. M. Rasjad Indra, MS NIP. 130 809 092
3
KERANGKA RENCANA DISERTASI Rencana Judul Disertasi : Pemodelan kardiorespiratometer berbasis vibrasi dada
Aktifitas
Pernafasan
Tekanan Rongga
Dada
Denyut Jantung
Regangan Elastis
Kulit Dada
Getaran Kulit
Dada
Superposisi
Getaran
a. Kerangka Konseptual
Listrik JantungDepolarisasi/
Repolarisasi
Detak Jantung/
Gerak Katup/
Aliran Darah Aorta
Ekshalasi/Inhalasi
Pernafasan
Regangan Elastis
Kulit Dada
Bunyi dan
Getaran
Superposisi/
Transmisibilitas
Getaran
Model MatematisSensor,
Pengukuran
Analisis Akurasi/
Kalibrasi
Data ECG dan
Spirometry
Analisis Sinkronisasi
(Statistik)
Transformasi Kuantitas
Verifikasi
b. Aliran Proses dan Latar Belakang Teori
Rencana Judul Karya Ilmiah :
1. Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi
2. Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi
3. Kajian model matematik sistem kardiorespirasi
4. Getaran kulit dada sebagai indikator fungsi sistem kardiorespirasi
5. Pengembangan teknik pengukuran sistem kardiorespirasi
6. Praproposal disertasi
4
ABSTRAK Nurida Finahari; Program Pascasarjana Universitas Brawijaya; Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi; Pembimbing Akademik : M. Rasjad Indra. Sinkronisasi sistem kardiorespirasi merupakan fenomena yang nyata. Berbagai penelitian membuktikan hal tersebut melalui beberapa cara, mulai dari analisis model matematis, eksperimentasi di bawah kondisi fisiologis normal, pembebanan dalam latihan terkendali maupun dalam kondisi patologis. Penelitian tentang sinkronisasi dengan metode eksperimen umumnya dilakukan dengan memanfaatkan data kombinasi elektrokardiografi dan spirometri yang dikuantifikasi ulang menjadi variabel baru. Untuk dapat mengembangkan teknik pengukuran yang lebih baik diperlukan pemahaman yang lebih dalam tentang desain, cara kerja dan metode analisis data elektrokardiografi (dan/atau echokardiogarfi) serta spirometri. Kata kunci: sinkronisasi, elektrokardiografi, spirometri, pengembangan
ABSTRACT
Nurida Finahari; Postgraduate program Brawijaya University; Review of structure and function of cardiorespiratory system devices; Supervisor : M. Rasjad Indra.
Cardiorespiratory system synchronization is a real phenomenon. There are several research that conducted to studied it in a lot of ways, such as mathematical modelling analysis, normal physiological experiments, under control load excercises or even under pathological conditions. These synchronization experimental studies used to be done by using combination data from electrocardiography and spirometry records that quantifies to develops new variables. To develop the better measurement techniques, it is needed to have deep understanding about design, procedures and analysis method of electrocardiography (and/or echocardiography) and spirometry records. Keyword: synchronization, electrocardiography, spirometry, development
5
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN 2
KERANGKA RENCANA DISERTASI 3
ABSTRAKS 4
DAFTAR ISI 5
DAFTAR GAMBAR 6
I. PENDAHULUAN 7
1.1. Latar Belakang 7
1.2. Permasalahan 8
II. TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1. Stetoskop 8
2.2. Echokardiografi 9
2.3. Elektrokardiografi 11
2.4. Spirometri 14
2.5. Analisis akurasi getaran sebagai sensor 16
III. PEMBAHASAN 18
IV. PENUTUP 21
4.1. Kesimpulan 21
4.2. Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Stetoskop 8
Gambar 2. Echokardiogram 10
Gambar 3. Kertas elektrokardiogram 11
Gambar 4. Sistem sumbu listrik ECG 12
Gambar 5. Elektrokardiogram normal 12
Gambar 6. Spirometer modern dan tampilan hasil pengukurannya 15
Gambar 7. Contoh keluaran data sensor getaran 16
Gambar 8. Hasil analisis akurasi 18
Gambar 9. Diagram skematik sistem pemrosesan sinyal sensor getaran 20
7
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keselarasan antara detak jantung dan laju respirasi (sinkronisasi kardiorespirasi)
merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi
kardiorespirasi (Toledo, et.al; 2002). Dari hasil simulasi matematis diketahui bahwa
peningkatan volume paru-paru akibat peningkatan tekanan alveolar, menyebabkan
perubahan tekanan intratorak. Perubahan ini berpengaruh pada perfusi paru-paru, aliran
vena dan keluaran jantung (Darowski; 2000). Sinkronisasi kardiorespirasi juga dapat
dilihat pada subyek yang mengalami pernafasan terkendali (paced breathing) yaitu
pernafasan yang disesuaikan dengan sinyal eksternal (Pomortsev, et.al; 1998). Efek
sinkronisasi tampak lebih kuat jika dilihat pada subyek sehat yang melakukan pernafasan
terkendali dibandingkan jika subyek bernafas secara spontan (Prokhorov, et.al; 2003).
Interaksi negatif sistem kardiorespirasi tampak pada penggunaan respirator untuk subyek
penderita hipertensi, coronary artery disease (CAD) dan kelainan sistem kardiovaskular
lainnya, karena memberikan beban tambahan pada jantung (Etemadinejad; 2005). Efek
negatif tersebut tidak dominan pada subyek sehat.
Penelitian-penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi pada umumnya masih
dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah dari alat ukur jantung
dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru. Data elektrokardiografi dan
aliran udara dari termistor nasal digabungkan dalam Ambulatory solid-state recorder
(Medikor, TOM-signaltechnik, Graz, Austria) untuk menghasilkan data fase relatif
gelombang R dan inspirasi onset yang mendahuluinya, yang dinyatakan sebagai variabel
koordinasi kardiorespirasi (Betterman, et.al; 2002). Kombinasi elektrokardiografi bipolar
dan metode pletismografi induktif digunakan untuk menggambarkan interaksi sistem
kardiorespirasi bayi pada berbagai kondisi tidur (Mrowka, et.al; 2003). Elektrokardiografi
dan spirometer juga digunakan untuk meneliti vasovagal syncope sebagai indikator
sinkronisasi (Lipzits, et.al; 1998).
Desain dan kinerja peralatan-peralatan tersebut di atas dipelajari dalam Fisika
Kedokteran. Peralatan-peralatan kedokteran secara global digunakan untuk mempelajari
struktur anatomi dan fungsi organ dalam tubuh manusia dengan tujuan yang beragam
(Hendee; 2004). Peralatan yang digunakan untuk mempelajari struktur anatomi tubuh
dibahas dalam teori pencitraan medis (medical imaging) sedangkan fungsi organ dibahas
dalam teknik pengukuran fisiologis (physiological measurement techniques). Cara kerja
peralatan-peralatan medis tersebut bisa invasif (dimasukkan dalam tubuh) atau non-
invasif. Artikel ini hanya membahas teknik pengukuran fisiologis yang umum digunakan
pada sistem kardiorespirasi .
8
1.2. Permasalahan
Permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah bagaimana pengetahuan
tentang desain dan cara kerja sistem kardiorespirasi dapat digunakan sebagai gambaran
arah pengembangan peralatan baru yang lebih akurat, efektif serta efisien untuk
menjelaskan mekanisme sinkronisasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STETOSKOP (Hendee; 2004)
Stetoskop adalah peralatan medis akustik (berbasis suara) yang digunakan dalam
auskultasi yaitu istilah teknik yang mengacu pada aktivitas mendengarkan suara di dalam
tubuh manusia. Auskultasi dilakukan untuk mengevaluasi sistem sirkulasi, respirasi dan
gastrointestinal. Meskipun demikian, stetoskop umumnya digunakan untuk mendengarkan
bunyi jantung dan pernafasan.
Stetoskop ditemukan di Perancis pada tahun 1816 oleh René-Théophile-
Hyacinthe Laennec, masih berupa tabung bambu sederhana. Stetoskop standar yang
digunakan dan menjadi dasar pengambangan stetoskop modern didesain oleh George
Camman pada tahun 1852. Stetoskop yang digunakan pada saat ini umumnya adalah
stetoskop akustik dan stetostop elektronik.
Gambar 1: Stetoskop (Hendee; 2004)
a. Stetoskop bambu sederhana b. Stetoskop akustik modern
Stetoskop akustik merupakan stetoskop yang paling umum dikenal. Stetoskop ini
bekerja mentransmisikan suara dari dada melalui tabung berlubang berisi udara ke telinga
pendengar. Bagian stetoskop yang ditempelkan di tubuh dikenal dengan nama chestpiece,
berfungsi sebagai sensor suara berupa diafragma yang terbuat dari piringan plastik atau
bell berbentuk mangkuk berlubang. Jika chestpiece ditempelkan di dada, diafragma
digetarkan oleh suara dari dalam dada sehingga terbentuk gelombang tekanan yang
ditransmisikan tabung. Jika chestpiece berbentuk bell maka getaran pada kulit langsung
9
membentuk gelombang tekanan yang merambat ke telinga. Dalam hal ini diafragma
mentransmisikan suara frekuensi tinggi sedangkan bell untuk suara berfrekuensi rendah.
Meskipun stetoskop akustik sudah menggunakan diafragma namun frekuensi suara yang
ditangkap telinga masih dalam level sangat rendah. Permasalahan ini diperbaiki dengan
metode invention of the stratified continuous (inner) lumen pada tahun 1999 dan
mekanisme kinetika akustik pada tahun 2002.
Stetoskop elektronik mempertinggi gelombang suara tubuh manusia secara
elektronis meskipun derajat penggandaannya masih terbatas. Stetoskop elektronik
memerlukan proses konversi gelombang tekanan suara menjadi sinyal listrik yang
kemudian diperbesar dan diproses untuk menghasilkan pendengaran yang optimal.
Metode penangkapan gelombang suara pada stetoskop elektronik bervariasi dari sekedar
menempatkan mikropon pada chestpiece hingga penggunaan kristal piezo-elektrik yang
ditempelkan pada diafragma. Kristal piezo-elektrik ini merubah tekanan udara
berdasarkan perubahan medan listrik yang diakibatkan getaran suara tubuh. Penggunaan
kristal piezo-elektrik memperbaiki kinerja chestpiece mikropon yang sangat dipengaruhi
suara pengganggu (ambient noise).
2.2. ECHOKARDIOGRAFI
Echokardiografi adalah teknik standar yang digunakan untuk menggambarkan
irisan jantung dalam gambar 2 dimensi (Poh, et.al; 2008). Alat ini dapat menggambarkan
ukuran, bentuk dan kapasitas pemompaan jantung, kerusakan katup jantung, lokasi dan
luas kerusakan pada jaringan atau mengidentifikasi abnormalitas aliran darah. Jika
dikombinasikan dengan teknik-teknik lain, misalnya doppler ultrasonik atau penguatan
kontras di intravena, echokardiografi dapat digunakan untuk memonitor struktur dan
fungsi katup jantung, komunikasi abnormal dari ruang-ruang jantung, kebocoran aliran
darah dan penghitungan kapasitas jantung.
Keutamaan terbesar dalam penggunaan echokardiografi adalah alat ini dapat
menampilkan gambar yang akurat untuk jaringan lunak dengan cara yang tidak invasif
(Goland, et.al; 2008). Pada proses identifikasi vegetasi (massa berisi campuran bakteri
dan bekuan darah) gambar echokardiografi memiliki akurasi yang sangat tinggi.
Kelemahan teknik echokardiografi transtorak adalah terjadinya penurunan akurasi hingga
20% jika digunakan pada orang dewasa akibat adanya obesitas, COPD (chronic
obstructive pulmonary disease), deformitas dinding dada atau akibat posisi pengukuran
yang sulit, misal pada pengambilan gambar belakang jantung. Adanya halangan tulang
dan gas menyulitkan pengambilan gambar. Kedalaman jelajah gelombang suara juga
terbatas. Di sisi lain akurasi gambar tergantung pada keahlian penggunaan peralatan.
Teknik-teknik alternatif echokardiografi dikembangkan untuk mengurangi kelemahan
10
tersebut, misalnya melalui pengembangan transesofageal-echokardiografi,
echokardiografi 3 dimensi atau doppler-echokardiografi.
(a)
(b)
Gambar 2: Echokardiogram (Ommen, et.al; 2000) (a) Gambar jantung normal yang menunjukkan kondisi 4 ruangan. Grafik di ujung kanan bawah
menunjukkan siklus jantung, tanda merah menunjukkan posisi pembentukan gambar. (b) Gambar jantung abnormal yang menunjukkan kelainan ventrikular septal. Grafik di ujung
kanan bawah menunjukkan siklus jantung, tanda merah menunjukkan posisi pembentukan gambar.
Echokardiografi bekerja dengan mengaplikasikan bunyi ultrasonik. Dalam hal ini
digunakan prinsip sonografi untuk organ jantung (Ommen, et.al; 2000). Alat ini bekerja
dalam 3 tahapan sebagai berikut:
a. Tahap pembentukan gelombang suara
Gelombang suara biasanya dihasilkan dengan menggunakan transduser piezoelektrik
yang dibungkus probe. Mesin ultrasonik membangkitkan sinyal elektrik pendek yang
kuat untuk menggetarkan transduser pada frekuensi yang diinginkan, antara 2 – 15
MHz. Gelombang suara tersebut difokuskan ke satu arah melalui pendesainan bentuk
transduser, penempatan lensa didepan transduser atau penggunaan serangkaian
sistem kontrol dari mesin pembangkit suara. Gelombang suara akhirnya berbentuk
kurva lengkung yang merambat pada tubuh hingga ke lapisan yang telah ditentukan
dan memantul ke segala arah pada saat densitas jaringan berubah. Pantulan
gelombang tersebut sebagian ditangkap kembali oleh transduser.
b. Penangkapan gema
Pantulan gelombang suara dari jaringan yang dideteksi menjalani proses yang sama
dengan proses (a) hanya pada arah yang berlawanan. Pada saat pantulan gelombang
mencapai mesin pembangkit suara, gelombang tersebut discan dan diubah menjadi
gambar baik yang berbentuk analog maupun digital.
11
c. Penganalisisan gema
Scanner gelombang suara melakukan 3 prosedur penganalisisan untuk tiap
gelombang gema, yaitu:
- menghitung waktu antara pentransmisian gelombang hingga gema diterima
- menentukan panjang focal untuk array fase. Panjang focal ini menentukan
ketajaman gambar yang dihasilkan.
- Menghitung kekuatan gema dari frekuensi gelombang pantulan. Pergeseran
peralatan selama proses ini berlangsung merubah frekuensi yang ditangkap.
Dari 3 hal tersebut, scanner suara akan menentukan posisi, intensitas dan derajat
saturasi pixel (untuk gambar digital) yang harus dinyalakan.
2.3. ELEKTROKARDIOGRAFI
Elektrokardiografi adalah peralatan yang mengukur aktivitas elektris jantung
melalui penempatan elektrode-elektrode pada titik-titik tubuh tertentu (Conrath, Opthof ;
2005). Hasil pencatatan digambarkan pada kertas elektrokardiogram yang umumnya
digerakkan dengan kecepatan 25 mm/detik. Kertas ini berkotak-kotak dengan ukuran 1
mm2. Setiap 1 kotak mewakili pencatatan 0,04 detik. Setiap 5 kotak kecil membentuk 1
blok besar yang mewakili pencatatan 0,2 detik. Dibutuhkan 5 blok untuk menyatakan
pencatatan 1detik. Data elektrokardiogram diperoleh dari hasil pengukuran potensial listrik
sesuai penempatan elektrode yang diinginkan. Sinyal listrik ini dideteksi menggunakan
amplifier instrumen biomedis. Kualitas diagnosis elektrokardiogram didasarkan pada
kondisi kalibrasi sinyal listrik 10 mm/mV, yaitu kondisi dimana 1 mm hasil pencatatan
mewakili 0,1 mV sinyal listrik tubuh. Sinyal standar 1 mV harus dapat menggerakkan
stylus elektrokardiogram secara vertikal sejauh 10 mm.
Gambar 3: Kertas elektrokardiogram (Conrath, Opthof; 2005)
12
Dalam elektrokardiografi dikenal istilah lead yaitu kombinasi posisi elektroda yang
membentuk garis imajiner pada tubuh dimana sinyal listrik dapat diukur (MacLeod,
Birchler; 2007). Terdapat 2 tipe lead yaitu unipolar dan bipolar. Tipe unipolar hanya punya
1 elektroda yang terletak pada pusat segitiga Einthoven (gambar 4a) berupa titik potensial
nol. Dalam hal ini arus listrik mengalir keluar pada 3 arah radial AVR, AVL dan AVF. Tipe
bipolar mendasarkan pengukuran arus listrik tubuh pada perbedaan potensial pada titik-
titik tertentu. Meskipun terdapat 12 lead acuan untuk ECG namun umumnya hanya 3 lead
yang pertama yang umum digunakan, yaitu:
1. Lead I untuk penempatan elektroda negatif di tangan kanan sedangkan elektroda
positif di tangan kiri.
2. Lead II untuk penempatan elektroda negatif di tangan kanan sedangkan elektroda
positif di kaki kiri.
3. Lead III untuk penempatan elektroda negatif di tangan kiri sedangkan elektroda positif
di kaki kiri.
Gambar 4 : Sistem sumbu listrik ECG (MacLeod, Birchler; 2007) (a) Segitiga Einthoven, (b) Sistem limb-lead ECG
Gambar umum elektrokardiogram selalu menampilkan pola gelombang khas yang
dinamakan gelombang PQRST [Mark; 1998]. Gelombang P adalah gelombang yang
dipicu oleh aktivitas depolarisasi atrium dimana sinyal listrik bergerak dari node SA
(sinoatrial) menuju node AV (atrioventrikular), menyebar ke atrium kiri dan kanan.
Gelombang ini berbentuk garis naik pada posisi lead II dan aVF. Bentuk dan panjang
gelombang P mengindikasikan kondisi atrial. Interval PR diukur dari awal gelombang P
hingga awal kompleks QRT. Panjang interval ini biasanya 120-200 ms atau 3-5 kotak
13
elektrokardiogram. Interval PR lebih besar dari 200 ms mengindikasikan heart block
derajat 1. Interval PR yang pendek mengindikasikan sindrom pre-eksitasi yang
mengakibatkan aktivasi ventrikel yang terlalu awal, seperti tampak pada sindrom Wolff -
Parkinson-White. Depresi garis PR mengindikasikan adanya luka pada atrium atau
perikarditis. Kompleks QRS dipicu oleh depolarisasi ventrikel. Karena ventrikel memiliki
otot yang lebih banyak dari atrium, gelombang QRS lebih besar dari gelombang P. Durasi
gelombang QRS normal biasanya antara 0,06-0,1 detik (sekitar 3 kotak) namun bisa lebih
lama kalau terjadi abnormalitas konduksi. Tidak semua kompleks QRS terdiri atas
gelombang Q, R dan S. Berbagai kombinasi bentuk gelombang pada interval ini
diinterpretasi dengan beberapa cara meskipun terdapat konvensi penamaan agar
diperoleh hasil pembacaan yang benar. Durasi, amplitudo dan bentuk kompleks QRS
digunakan untuk mendiagnosa aritmia jantung, abnormalitas konduksi, hipertropi
ventrikular, infark miokardial dan beberapa jenis penyakit lainnya. Gelombang Q normal
menyatakan depolarisasi septum interventrikular. Gelombang Q lebih besar dari 1/3 tinggi
gelombang R tetapi jika durasinya lebih besar dari 0,04 detik bisa mengindikasikan
adanya infark miokardial. Segmen ST merupakan garis hubung antara kompleks QRT
dengan gelombang T. Panjang segmen ST normal antara 0,08-0,12 detik dengan bentuk
konkav menghadap atas. Kesalahan pengukuran pada segmen ini adalah 15-20% untuk
kesalahan positif (false positive) dan 20-30% untuk kesalahan negatif (false negative).
Gelombang T menyatakan repolarisasi ventrikel. Interval dari awal kompleks QRS hingga
akhir gelombang T menyatakan periode refraktori absolut. Setengah gelombang T yang
terakhir menyatakan periode refraktori relatif. Pada umumnya gelombang T dinyatakan
sebagai gelombang positif. Gelombang T negatif mengindikasikan terjadinya iskemia
koronari, sindrom Wellen dan hipertropi ventrikular kiri. Bentuk gelombang T yang
berubah mengindikasikan hiperkalemia, hipokalemia atau infark miokardial. Jika
abnormalitas konduksi terjadi, bentuk gelombang T bisa menyerupai kompleks QRS
terbalik yang disebut appropriate T wave discordance. Interval QT diukur dari awal
kompleks QRS hingga akhirl gelombang T dengan durasi antara 0,3-0,44 detik (0,45
untuk wanita). Interval QT merupakan ukuran waktu ventrikel untuk menjalani depolarisasi
–repolarisasi lengkap. Interval ini digunakan untuk mengevaluasi laju detak jantung yang
dikenal dengan sebutan sindrom QT panjang/pendek. Evaluasi laju detak jantung
mengikuti faktor koreksi Bazette 'RR
QTQTc , dimana QTc adalah interval QT hasil
koreksi, RR’ menunjukkan waktu antara terjadinya kompleks QRT satu dengan
berikutnya. Namun demikian rumus ini tidak akurat, khususnya untuk kondisi detak
jantung yang terlalu cepat atau lambat.
14
Gambar 5: Elektrokardiogram normal (Mark; 1998)
Untuk menghasilkan data yang akurat, monitor elektrokardiografi modern
menyediakan 2 mode filter untuk pemrosesan sinyal yaitu mode monitor (untuk
pemantauan siklus jantung rutin) dan mode diagnosa yang digunakan untuk mendeteksi
kondisi-kondisi abnormal/patologis (Braunwald; 1997). Pada mode monitor, filter frekuensi
rendah disetel untuk nilai 0,5 atau 1 Hz sedangkan untuk frekuensi tinggi disetel pada nilai
40 Hz. Filter frekuensi rendah disebut high-pass filter karena hanya frekuensi di atas nilai
setting saja yang bisa lewat. Filter ini berfungsi menurunkan sinyal gangguan akibat
rambatan gelombang dalam tubuh. Sebaliknya filter frekuensi tinggi disebut low-pass filter
karena hanya frekuensi di bawah nilai setting saja yang bisa lewat. Dalam hal ini filter
berfungsi untuk mengurangi sinyal gangguan dari jaringan sumber tenaga (frekuensi
jaringan listrik, 50-60Hz). Pada mode diagnosa, filter frekuensi rendah disetel pada nilai
0,05 Hz yang memungkinkan pendeteksian segmen gelombang ST secara akurat. Filter
frekuensi tinggi disetel pada nilai 40, 100 atau 150 Hz. Jadi mode diagnosa
mengakomodasi sinyal frekuensi dalam rentang yang lebih lebar dari mode monitor.
2.4. SPIROMETRI
Spirometri adalah prosedur evaluasi fungsi pulmonari yang paling umum
khususnya untuk mengukur volume dan kecepatan udara inspirasi/ekspirasi (Quanjer;
2008) dengan menggunakan alat ukur spirometer. Spirometer banyak digunakan untuk
mengevaluasi kondisi-kondisi penyakit pernafasan seperti asma, fibrosis pulmonari dan
COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease).
Subyek yang menjalani spirometri diharuskan menarik nafas dalam-dalam
kemudian dihembuskan sekuat dan selama mungkin pada sensor yang diletakkan di
mulut. Dalam hal ini hidung ditutup agar tidak ada udara yang bocor sedangkan mulut
dilindungi filter untuk mencegah akses bakteri (ATS; 2008). Hasil pengukuran sensor
15
akan ditampilkan dalam bentuk grafik V-t (volume-time) dan v-V (flow-volume) yang
menyatakan laju aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Peralatan yang digunakan untuk
pengukuran volume umumnya didasarkan pada water bell dan Bellow wedge, sedangkan
untuk pengukuran laju aliran udara bisa menggunakan Fleisch-pneumotach, Lilly (screen)
pneumotach, turbine, Pitot tube, hot-wire anemometer atau ultrasound. Meskipun
demikian, akurasi spirometer ditentukan oleh kerjasama dan usaha subyek sehingga
membutuhkan ulangan untuk mendapatkan akurasi yang cukup. Karena membutuhkan
kerjasama dan pengertian subyek yang menjalani tes, alat ini tidak dapat digunakan untuk
balita atau orang yang kehilangan kesadaran. Pengembangan terbaru dari spirometer
dengan akurasi yang lebih tinggi adalah pletismograf yang berbentuk ruangan.
a. spirometer USB
b. body plethysmograph
Gambar 6: Spirometer modern dan tampilan hasil pengukurannya (Quanjer; 2008)
16
2.5. ANALISIS AKURASI GETARAN SEBAGAI SENSOR (Mack, et.al; 2003)
Penelitian tentang perilaku manusia pada saat tidur menjadi perhatian para
peneliti di Amerika Serikat sejak 1922. Hal tersebut didasari fakta bahwa sekitar 40%
orang dewasa di sana mengalami kelainan pola tidur sedangkan 70 juta di antara
menderita penyakit yang berkaitan dengan pola tidur. Pengetahuan tentang perilaku tidur
menjadi sangat penting sehingga dilakukan pemantauan terhadap aktivitas obyek pada
saat tidur. Pemantauan tersebut diharapkan dapat memberikan data kualitas tidur.
Tujuan utama penelitian tentang aktivitas tidur tersebut adalah untuk
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman masalah polisomnografi (PSG) yang
awalnya melibatkan setidaknya penggunaan 3 peralatan yang berbeda. Peralatan-
peralatan tersebut adalah elektroencepalograf (EEG) untuk mengukur aktivitas otak,
elektrooculograf (EOG), untuk mengukur aktifitas otot mata, dan elektromiograf (EMG)
untuk mengukur aktifitas otot tangan dan kaki. Penggunaan 3 peralatan tersebut sangat
mengganggu aktifitas tidur itu sendiri. Perbaikan metode pengukuran kualitas tidur
dilakukan melalui penggunaan aktigraf yang berbasis prinsip akselerometer. Meskipun
dapat digunakan untuk memantau aktivitas obyek selama 24 jam, akurasi aktigraf
tergantung pada konsistensi obyek dalam menuliskan jurnal aktivitasnya untuk
disesuaikan dengan pencatatan aktigraf. Hal tersebut menimbulkan masalah akurasi data.
Hal ini yang mendorong digunakannya sensor getaran sebagai alat pemantau aktifitas
dan mengukur kualitas tidur obyek.
Penggunaan sensor getaran sebagai alat ukur didasari pengetahuan bahwa
kualitas tidur dapat dipantau dari karakteristik fisiologis seperti suhu badan, posisi dan
gerakan pada saat tidur, detak jantung serta laju pernafasan. Karena sensor yang
direncanakan tidak bersifat intrusif maka dapat ditempatkan pada kursi diagnosa, tempat
tidur ICU dan keperluan pediatrik. Sensor ini dimaksudkan sebagai peralatan alternatif
yang lebih murah dibandingkan dengan peralatan yang telah ada.
Sensor getaran ini didesain sebagai sensor yang sensitif terhadap denyut
pembuluh darah dan gerakan badan akibat pernafasan untuk mendeteksi detak jantung
dan data pernafasan. Sensor tersusun dari transduser piezoelektrik supersensitif yang
memiliki karakteristik respon terhadap frekuensi rendah yang sangat bagus. Transduser
dihubungkan pada bladder berisi udara sebagai pembangkit sinyal. Teknik pemrosesan
sinyalnya meliputi filter frekuensi rendah, amplifier instrumen, filter band dan amplifier
non-inversi yang memisahkan kedua sinyal input. Di samping itu disediakan juga
beberapa jenis sensor yang terpisah untuk mengukur suhu badan, kelembaban udara dan
sensor karbondioksida.
17
Uji validitas akurasi data hasil pencatatan sensor getaran dilakukan dengan
menempatkan 2 buah sensor pada tempat tidur obyek, masing-masing untuk mengukur
detak jantung dan gerak pernafasan. Sebagai kalibrator digunakan pulse-oximeter yang
memiliki akurasi ±1% untuk membandingkan data pencatatan detak jantung. Laju
pernafasan dikalibrasi dengan cara mengambil sampel data selama 1 menit dimana
obyek diminta menghitung jumlah pengambilan nafas. Hasil pencatatan sensor
dibandingkan dengan hasil hitungan obyek. Obyek penelitian diambil 22 orang,
pengukuran dilakukan dalam 2 posisi, telentang dan tertelungkup. Hasil pencatatan filter 2
band untuk detak jantung dan gerak pernafasan, tampak pada gambar 7. Analisis akurasi
sensor ditunjukkan pada gambar 8.
Gambar 7: Contoh keluaran data sensor getaran (Mack, et.al; 2003)
Hasil pencatatan filter 2 band, grafik atas menunjukkan data detak jantung, grafik bawah menunjukkan data laju pernafasan
a. Hasil pengukuran detak jantung dengan menggunakan pulse-oximeter dan sensor getaran
untuk posisi tertelungkup
18
b. Hasil pengukuran detak jantung dengan menggunakan pulse-oximeter dan sensor getaran
untuk posisi telentang
Gambar 8: Hasil analisis akurasi (Mack, et.al; 2003)
Hasil analisis akurasi untuk data detak jantung menunjukkan bahwa semua data
terletak dalam rentang akurasi 5% kesalahan dari hasil pencatatan pulse-oximeter,
bahkan 68% data terletak dalam rentang kesalahan 2%. Detak jantung yang terukur
meliputi variasi yang cukup luas yaitu antara 49-84. Meskipun data hasil pencatatan laju
pernafasan tidak ditunjukkan, namun analisis akurasi menunjukkan hasil yang sama
antara hasil pencatatan sensor dan perhitungan obyek. Diakui bahwa jika dilakukan
pengukuran yang lebih teliti akan didapatkan variabilitas namun variabilitas data yang
akan muncul hanya dalam skala kecil saja. Disimpulkan bahwa penggunaan sensor
getaran sebagai alat ukur karakteristik fisiologis jantung dan aktifitas pernafasan dapat
memberikan akurasi yang tinggi.
III. PEMBAHASAN
Untuk mengukur suara di dalam tubuh stetoskop merupakan alat bantu yang
memadai untuk menghasilkan data kualitatif tanpa ada kuantitas. Data kuantitas suara
tubuh sebagai alat diagnosa umumnya diperoleh dari pemanfaatan echokardiograf. Meski
demikian, echokardiograf memiliki kelemahan-kelemahan sehingga membutuhkan
penanganan tenaga ahli untuk mengoperasikannya. Salah satu kelemahan echokar-
diografi adalah sensitifitasnya yang tinggi terhadap perubahan posisi pengukuran. Hal ini
akan sangat menyulitkan jika organ-organ yang menjadi target terletak pada posisi yang
‘sulit’, misalnya dikelilingi tulang, terlalu berdekatan dengan organ lain atau tertutupi oleh
organ lain. Analisis terhadap data gambar yang dihasilkan echokardiografi juga
19
memerlukan penanganan khusus berkaitan dengan pola gelap terang yang dihubungkan
dengan kondisi fisioanatomi organ yang didiagnosa.
Metode pengukuran dengan menggunakan elektrokardiografi bisa dikatakan
sebagai alternatif pengukuran fisioanatomi tubuh manusia yang bersifat khas. Selain
dapat menampilkan data kualitatif dan kuantitatif, pola gambar yang dihasilkan
elektrokardiografi memberikan kemudahan dalam melakukan analisisnya. Meskipun
demikian, karena memanfaatkan sifat kelistrikan sel tubuh, transmisi sinyal data
elektrokardiografi juga dipengaruhi sinyal-sinyal elektris tubuh dari organ-organ di
sekitarnya akibat timbulnya gelombang elektromagnetis dari aktivitas fisiologisnya. Sinyal-
sinyal pengganggu tersebut seringkali menimbulkan pola data elektrokardiogram yang
salah dimana gambaran patologis muncul dari elektrokardiogram jantung yang sehat atau
sebaliknya pola normal muncul dari elektrokardiogram jantung yang sakit. Hal tersebut
yang menjadi dasar bahwa data elektrokardiografi selalu dikombinasikan dengan data
dari alat ukur lain untuk menghasilkan analisis yang valid. Di sisi lain diperlukan mode
operasi yang berbeda untuk penggunaan normal dan patologis dimana mode monitor
elektrokardiograf patologis memberikan rentang frekuensi yang lebar. Hal tersebut dapat
meningkatkan resiko tertangkapnya sinyal-sinyal pengganggu sehingga pola data yang
tertangkap dapat menjadi bias.
Hal yang sama terjadi pada pemakaian spirometri untuk menganalisis kondisi
pernafasan. Meskipun telah dikembangkan dengan menggunakan komponen-komponen
modern yang menawarkan akurasi tinggi, akurasi data spirometri tetap tergantung pada
tingkat pengendalian diri pasien dalam melakukan proses pernafasan. Pola pernafasan
konvensional yang dilakukan pasien sangat variatif dari satu siklus ke siklus berikutnya.
Hal ini menyebabkan variabilitas yang tinggi pada data hasil pengukuran. Proses
pengulangan pengambilan data yang dilakukan meskipun dapat memperkecil kesalahan
tetapi juga bisa menyebabkan munculnya rasa tidak nyaman pada pasien.
Dari paparan di atas, diketahui bahwa alat-alat ukur yang digunakan pada
prosedur evaluasi sistem kardiorespirasi pada umumnya memanfaatkan rambatan
gelombang, baik yang ditimbulkan jantung dan paru-paru pada saat menjalani siklusnya
maupun dari gelombang yang dibangkitkan peralatan itu sendiri. Hal tersebut didasari
fakta bahwa jantung dan paru-paru merupakan organ tubuh manusia yang bertindak
sebagai osilator. Aktivitas kedua sistem osilator biologis tersebut menimbulkan suara
(sound) dan getaran (vibration) yang khas sehingga kinerja fungsionalnya dapat dideteksi
berdasarkan suara maupun getaran yang ditimbulkannya. Di sisi lain, organ-organ sistem
kardiorespirasi merupakan jaringan lunak yang responsif terhadap gelombang sonar
sehingga efek pantulannya dapat dijadikan parameter pengukuran. Meskipun demikian
akurasi dan kepresisian hasil pengukuran peralatan tersebut masih memerlukan
20
pengembangan lebih lanjut mengacu pada adanya sinyal-sinyal pengganggu yang
muncul, baik yang bersumber dari lingkungan organ yang dideteksi maupun dari kinerja
peralatan itu sendiri.
Sebagai tolak ukur pengembangan peralatan, proses interaksi antara kedua
osilator biologis tersebut mungkin bisa didekati dari karakteristik gelombang
interferensinya. Gelombang interferensi adalah gelombang hasil perpaduan 2 atau lebih
gelombang tunggal yang berbeda karakteristiknya. Perpaduan tersebut dapat bersifat
penguatan ataupun perlemahan. Mengingat interaksi fisik yang terjadi pada sistem
kardiorespirasi cenderung lemah maka diperlukan sensor ataupun amplifier sinyal yang
berkemampuan tinggi.
Pemanfaatan sensor getaran untuk mengukur kinerja sistem kardiorespirasi telah
dilakukan dengan akurasi hasil pencatatan yang tinggi khususnya untuk pengukuran laju
pernafasan (Mack, et.al; 2003). Mengingat peralatan tersebut berfungsi pada rentang
variasi detak jantung yang lebar (49-84 BPM), potensi munculnya variabilitas hasil
pengukuran cukup tinggi sehingga kepresisian peralatan masih perlu dibuktikan. Hal
tersebut menunjukkan adanya peluang untuk proses pengembangan. Penggunaan 2
buah sensor juga mengakibatkan meningkatnya peluang kemunculan sinyal pengganggu
akibat aliran pemrosesan sinyal yang panjang. Jika dikaitkan dengan tujuan awal desain
khususnya dalam mereduksi biaya, penggunaan 2 buah sensor berakibat pada
penggandaan penggunaan peralatan bantu sebagaimana tampak pada diagram skematik
sistem pemrosesan sinyal pada gambar 9. Maka masih diperlukan rekayasa
pengembangan peralatan yang lebih sederhana (1 sensor) yang dapat mengukur
karakteristik fisiologis kardiorespirasi secara akurat dan presisi.
Sensor
getaran 1
Filter low
pass
Amplifier
instrumen
Sensor
getaran 2
Filter low
pass
Amplifier
instrumen
Filter
band
Amplifier
band
Filter non-
inversi
Analis
Data
Gambar 9: Diagram skematik sistem pemrosesan sinyal sensor getaran
21
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari telaah teoritis di atas adalah :
1. Cara kerja alat ukur sistem kardiorespirasi umumnya didasarkan pada rambatan
gelombang, baik yang bersumber dari dalam tubuh maupun yang dibangkitkan oleh
peralatannya sendiri.
2. Masih terdapat banyak keterbatasan hasil pengukuran sehingga diperlukan proses
perbaikan dan pengembangan.
3. Getaran yang dihasilkan jantung dan paru-paru dapat dijadikan alternatif variabel ukur
baru untuk mengevaluasi kinerja sistem kardiorespirasi.
4. Penggunaan sensor getaran masih membutuhkan pengembangan kapasitas dan
kualitas data hasil pengukuran, disamping penyederhanaan sistem pemrosesan
sinyalnya.
4.2. Saran
Untuk dapat menentukan spesifikasi peralatan perbaikan maupun pengembangan
sistem kardiorespirasi, analisis berdasarkan pemodelan matematis perlu dilakukan untuk
menentukan variabel-variabel yang berpengaruh. Visualisasi model menggunakan
program-program analisis 2D maupun 3D berbasis komputer juga dimungkinkan sebelum
mendesain dan membangun model-model fisiknya. Model matematis maupun grafis
terkomputerisasi dapat mengurangi konsekuensi-konsekuensi negatif proses desain yang
tidak diinginkan.
22
DAFTAR PUSTAKA ATS (American Thoracic Society); 2008; Pulmonary Function Test; 61 Broadway · New
York, NY 10006-2755 · Voice: 212-315-8600 · Fax: 212-315-6498 Bettermann H, Cysarz D, van Leeuwen P; 2002; Comparison of two different approaches
in the detection of intermittent cardiorespiratory coordination during night sleep; BioMed Central Physiology 2 (18) ; 1-17.
Braunwald E; 1997; Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, Fifth Edition,
p. 108, Philadelphia, W.B. Saunders Co Conrath C, Opthof T; 2005; The patient U wave; Cardiovasc Res 67 (2): 184-6
Darowski, M; 2000; Heart and lung support interaction — modeling and simulation
(abstract); Frontiers of Medical & Biological Engineering, 10 (3): 157-165(9)
Etemadinejad S.; 2005; A study on the respirator effects on cardiovascular system;
Journal of Mazandaran University of Medical Sciences; 15 (45); 31-34
Goland S, Czer LS, Luthringer D, Siegel RJ; 2008; A case of arrhythmogenic right
ventricular cardiomyopathy; Can J Cardiol 24 (1): 61-2.
Hendee, W.R; 2004; Accreditation, Certification and Maintenance of Certification in
Medical Physics: The Need for Convergence; NCCAAPM meeting, Nov 19th.
Lipsitz, LA, Hayano J, Sakata S, Okada A, Morin RJ; 1998; Complex Demodulation of Cardiorespiratory Dynamics Preceding Vasovagal Syncope; Circulation; 98:977-
983 Mack DC, Kell SW, Alwan M, Turner B, Felder RA; 2003; Non-invasive analysis of
physiological signals (naps): a vibration sensor that passively detects heart and respiration rates as part of a sensor suite for medical monitoring; Summer Bioengineering Conference, June 25-29, Sonesta Beach Resort in Key Biscayne, Florida
MacLeod R; Birchler B; 2007; Computer Based Learning Unit; University of Leeds; Sydney
Mark JB; 1998; Atlas of Cardiovascular Monitoring; New York: Churchill Livingstone. Mrowka R, Cimponeriu L, Patzak A, Rosenblum MG.; 2003; Directionality of coupling of
physiological subsystems: age-related changes of cardiorespiratory interaction during different sleep stages in babies; Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 285: R1395–R1401
Ommen SR, Nishimura RA, Appleton CP, Miller FA, Oh JK, Redfield MM, Tajik AJ; 2000;
Clinical utility of Doppler echocardiography and tissue Doppler imaging in the estimation of left ventricular filling pressures: A comparative simultaneous Doppler-catheterization study; Circulation 102 (15): 1788-94
23
Poh KK, Levine RA, Solis J, Shen L, Flaherty M, Kang YJ, Guerrero JL, Hung J; 2008; Assessing aortic valve area in aortic stenosis by continuity equation: a novel approach using real-time three-dimensional echocardiography; European Heart Journal.
Pomortsev AV, Zubakhin AA, Abdushkevitch VG, Sedunova LF; 1998; Proc. XVII
Congress of Physiologists of Russia; ed GA Kuraev (Rostov: Rostov State University) p. 316.
Prokhorov MD, Ponomarenko VI, Gridnev VI, Bodrov MB, Bespyatov AB; 2003; Synchronization between main rhythmic processes in the human cardiovascular system; Phys. Rev. E 68 041913–22
Quanjer PH.; 2008; Become an expert in spirometry; Leiden University, Nederlands
(http://www.spirxpert.com/)
Toledo E, Akselrod S, Pinhas I, Aravot D; 2002; Does synchronization refect a true
interaction in the cardiorespiratory system? Med Eng Phys, 24:45-52