tanaman secang

17
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.) Tanaman secang tersebar hampir di seluruh Indonesia (Gambar 1) dan memiliki nama daerah yang berbeda-beda yaitu Seupeueng (Aceh), Sepang (Gayo dan Sasak), Sopang (Batak), Lacang (Minangkabau), Secang (Sunda, Jawa Tengah, Madura), Cang (Bali), Supa (Bima), Sepel (Timor), Hape (Sawu), Kayu Sema (Manado), Dolo (Bare), Sappang (Makassar) dan Sepang (Bugis), Sepen (Halmahera Selatan), Savala (Halmahera Utara), Sungiang (Ternate) dan Roro (Tidore) (Anonim, 2011b). Gambar 1 Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.) Menurut Tjitrosoepomo (2004), taksonomi tanaman secang adalah sebagai berikut: Divisi : Spermathophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Sub class : Dialypetalae Ordo : Rosales Family : Caesalpinaceae Genus : Caesalpinia Species : Caesalpinia sappan Linn.

Upload: imeldamiyukirenyut

Post on 25-Nov-2015

493 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • 5

    TINJAUAN PUSTAKA

    Botani Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)

    Tanaman secang tersebar hampir di seluruh Indonesia (Gambar 1) dan

    memiliki nama daerah yang berbeda-beda yaitu Seupeueng (Aceh), Sepang

    (Gayo dan Sasak), Sopang (Batak), Lacang (Minangkabau), Secang (Sunda, Jawa

    Tengah, Madura), Cang (Bali), Supa (Bima), Sepel (Timor), Hape (Sawu),

    Kayu Sema (Manado), Dolo (Bare), Sappang (Makassar) dan Sepang (Bugis),

    Sepen (Halmahera Selatan), Savala (Halmahera Utara), Sungiang (Ternate) dan

    Roro (Tidore) (Anonim, 2011b).

    Gambar 1 Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)

    Menurut Tjitrosoepomo (2004), taksonomi tanaman secang adalah

    sebagai berikut:

    Divisi : Spermathophyta

    Sub divisi : Angiospermae

    Class : Dicotyledoneae

    Sub class : Dialypetalae

    Ordo : Rosales

    Family : Caesalpinaceae

    Genus : Caesalpinia

    Species : Caesalpinia sappan Linn.

  • 6

    Tumbuhan ini berupa pohon kecil dengan tinggi 5-10 m. Permukaan batang

    kasar, berduri tersebar. Daun majemuk menyirip, setiap sirip mempunyai 10-20

    pasang anak daun yang berhadapan mempunyai daun penumpu. Perbungaan

    tersusun tandan, bunga berwarna kuning terang. Buah polong warna hitam, berisi

    3-4 biji. Banyak tumbuh di pekarangan daerah Jawa, juga dijumpai di pegunungan

    berbatu pada daerah yang tidak terlalu dingin di Sulawesi Selatan. Di habitat

    alaminya, sebagian besar pohon kayu secang tumbuh pada tempat-tempat yang

    berbukit dengan tipe tanah seperti liat dan berbatu-batu, pada daerah dengan

    ketinggian tempat rendah dan sedang. Pohon ini tidak toleran pada tanah-tanah

    yang terlalu basah (Anonim, 2011a).

    Pohon secang tumbuh pada lokasi-lokasi yang memiliki kisaran curah hujan

    tahunan 700-4300 mm, rata-rata suhu udara tahunan adalah 24-27,5C, dan

    dengan kisaran pH tanah adalah 5-7,5. Tumbuhan ini banyak dijumpai pada

    dataran rendah hingga ketinggian 1700 m dpl. Kayu secang dapat diperbanyak

    menggunakan biji. Biasanya tumbuhan ini ditanam di bawah naungan di sekitar

    tepi hutan. Hingga akhir abad ke 19, kayu secang telah dimanfaatkan sebagai

    sumber pewarna merah utama. Namun saat ini, pemanfaatannya sebagai bahan

    pewarna hanya berlangsung untuk skala kecil. Biji tumbuhan ini berfungsi sebagai

    bahan sedatif, kayu dan batangnya dapat mengobati tuberkolosis, diare, dan

    disentri, sedangkan daun-daunnya dapat dimanfaatkan untuk mempercepat

    pematangan buah pepaya dan mangga. Tumbuhan ini memiliki daya adaptasi

    terhadap lingkungan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman

    penghijauan. Sedangkan di Sulawesi Selatan kayu secang (Gambar 2) dibuat

    minuman seperti teh yang berkhasiat menguatkan lambung (Anonim, 2011a).

    Gambar 2 Kayu Secang

  • 7

    Kandungan Kimia Kayu Secang

    Penyebaran metabolit sekunder pada tanaman sangat beragam baik dalam

    berbagai spesies maupun organ, maka pengumpulan bahan simplisia yang tidak

    teratur akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi kesehatan.

    Simplisia yang berasal dari bahan liar akan mempunyai variasi yang sangat tinggi

    dalam hal kandungan zat berkhasiatnya (Jokopriyambodo, 2003). Beberapa hasil

    penelitian mengenai komponen bioaktif tanaman rempah dan obat, termasuk

    secang dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1 Hasil-hasil penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif

    tanaman rempah dan obat Jenis Tanaman Bentuk Produk Komponen Aktif Manfaat Kesehatan Jahe -

    -

    Ekstrak jahe

    Ekstrak jahe

    Gingerol, shogaol, gingeron

    Gingerol, shogaol

    -

    -

    Antioksidan

    Anti-inflmasi, rematik,

    artristis kronis

    Antibakteri

    Kekebalan tubuh

    Kunyit/Temulawak - Kurkumin

    Komp. Fenolik

    Antihepatoksik,

    antikolesterol,

    Antikanker, antimutagenik

    Lidah Buaya -

    -

    Gel lidah buaya

    Gel lidah buaya

    Aloin, aleat, emodin

    Aloin

    -

    Vitamin, mineral, asam

    amino

    Antibiotik, penghilang

    rasa sakit

    Obat pencahar

    Diabetes

    Obat luka

    Mengkudu Jus buah

    Jus buah

    -

    Damnacantahl

    -

    Xeronin dan proxeronin

    Antikanker

    Imunomodulator,

    antikanker

    Aktivasi enzim,

    membentuk protein

    Kayu Secang -

    Ekstrak secang

    Ekstrak

    kloroform

    Brazilin

    Brazilin

    -

    Antioksidan,

    Antibakteri

    Antidiare

    Pala -

    -

    Ekstrak

    kloroform

    Miristicin

    Eugenol

    -

    Hepatoprotektor

    Antioksidan, aktivasi

    enzim

    Antidiare (Shigela,

    E. coli)

    * Sumber : Priatni dan Tatik (2007)

    Kayu secang apabila diseduh dengan air panas menghasilkan warna merah

    yang dinamakan sappanin. Batang dan daun secang mengandung alkohol, tannin,

    saponin, fotosterol, asam tanat, gelatin, resin, resorsin, brazilin, brazilien, minyak

    atsiri dan pigmen. Secara empiris kayu secang dapat digunakan untuk mengobati

  • 8

    tuberkulosis, desentri, analgetik, penyakit kulit, desinfektan, tonikum dan rematik.

    Pada umumnya penggunaan kayu secang sebagai obat dengan cara menyeduh,

    sehingga kemungkinan bahan aktifnya dapat larut dalam air (Sundari et al. 1995).

    Hasil penelitian Safitri (2000) dalam Priatni dan Tatik (2007) diketahui

    bahwa bagian kayu secang memiliki daya peredaman radikal bebas superoksida

    dan aktivitas antioksidan sebesar 100%. Studi juga mengungkapkan terdapat lima

    senyawa aktif yaitu saponin, fitosterol, brazilin, tannin, flavonoid dan diantaranya

    tidak hanya mampu meredam radikal superoksida, tetapi juga memberikan efek

    peredaman yang sangat berarti terhadap radikal hidroksil yang lebih reaktif dan

    berbahaya. Zat antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan ini bersifat labil bila

    serbuk kayu secang diseduh dengan air panas, hasil seduhannya lama kelamaan

    berubah warnanya menjadi semakin merah tua (Haryono, 1985).

    Brazilin

    Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung

    dalam kayu secang yang dikenal sebagai senyawa golongan brazilin. Brazilin

    merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur

    kimianya. Berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin diharapkan mempunyai

    efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia. Selanjutnya

    Lim et al. (1997) membuktikan bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu

    secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial. Penelitian lain

    mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-inflamasi

    (Sukria, 1993 dalam Sundari et al. 1998).

    Senyawa brazilin hanya terdapat pada tanaman brazilwood atau

    Caesalpinia sp. Brazilin mempunyai aktivitas farmakologis seperti proteksi hati,

    antikonvulsan, antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, antivirus,

    ancomplementary, penghambat xantin oksidase, penghambat aldose reduktase,

    proteksi otak (Zhao et al. 2008 dalam Hangoluan, 2011), dan yang terakhir diteliti

    adalah sebagai anti jerawat. Senyawa ini merupakan komponen utama dan

    merupakan senyawa penciri dari kayu secang (Batubara et al. 2010).

    Brazilin (C16H14O5) merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika

    teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah

    kecoklatan dan dapat larut dalam air, dengan struktur kimia seperti yang tampak

  • 9

    pada Gambar 3. Brazilin memiliki warna kuning sulfur jika dalam bentuk murni,

    dapat dikristalkan, larut air, jernih mendekati tidak berwarna dan berasa manis.

    Asam tidak berpengaruh terhadap larutan brazilin, tetapi alkali dapat membuatnya

    berwarna merah. Eter dan alkohol menimbulkan warna kuning pucat terhadap

    larutan brazilin. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar

    matahari. Terjadinya warna merah ini disebabkan oleh terbentuknya brazilein

    (C6H12O5) (Kim et al. 1997 dalam Holinesti, 2007).

    Gambar 3 Struktur kimia (a) brazilin dan (b) brazilein

    (Sumber :http://edhisambada.wordpress.com)

    Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid.

    Pengujian terhadap ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa

    flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida

    pekat dan ternyata memberikan hasil positif dengan munculnya warna kuning

    kemerahan yang berarti ekstrak tersebut mengandung senyawa golongan

    flavonoid (Suhartati, 1983).

    Kayu secang telah digunakan sebagai komponen dalam ramuan untuk

    pencegahan dan perawatan komplikasi diabetes dalam obat tradisional Korea

    dan Cina. Kandungan brazilin dalam kayu secang diketahui merupakan salah

    satu inhibitor dari aldose reduktase. Aldosa reduktase merupakan enzim

    pertama dalam jalur Polyol yang mereduksi D-glukosa menjadi D-Sorbitol

    dengan konversi NADPH dan NADP+ (Gambar 4). Jalur Polyol ini diduga

    memiliki peran penting dalam perkembangan komplikasi degeneratif dari diabetes

    (De La Fuente et al. 2003 dalam Wicaksono et al. 2008).

    a b

  • 10

    Glukosa Sorbitol Fruktosa

    Gambar 4 Jalur Polyol

    Telah dilaporkan juga bahwa Caesalpin P, sappanchalcone,

    3-deoxysappanone, brazilin dan protosappanin yang merupakan konstituen

    dari kayu secang, dapat berfungsi sebagai inhibitor aldose reduktase.

    Senyawa-senyawa yang disebutkan di atas juga dilaporkan mampu memperbaiki

    fungsi dari sel beta dari pulau-pulau Langerhans di pankreas yang berfungsi

    dalam produksi insulin (Li WL et al. 2004 dalam Wicaksono et al. 2008).

    Selain itu, brazilin yang memberikan warna merah ketika teroksidasi

    (membentuk brazilein), merupakan salah satu komponen penting dari kayu

    secang yang berguna untuk memperlancar peredaran darah, dan telah terbukti

    secara in vitro dapat menginduksi vasorelaksasi (Hu DM et al. 2003 dalam

    Wicaksono et al. 2008).

    Brazilin memiliki banyak aktivitas, sehingga dapat dijadikan standar dalam

    kontrol kualitas kayu secang. Untuk memenuhi kontrol kualitas kayu secang

    berdasarkan senyawa penciri, digunakan brazilin (Hangoluan, 2011).

    Pembuatan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)

    Simplisia sebagai bahan baku obat tradisional sangat berperan dalam

    kaitannya dengan mutu suatu produk. Rendahnya kualitas simplisia tanaman

    obat lebih banyak disebabkan pada saat penanganan pasca panen, proses

    pengeringan bahan dan kondisi penyimpanan. Simplisia tanaman obat yang telah

    terkontaminasi bakteri dan kapang dapat terbawa sampai pada produk olahannya

    yang kemungkinan dapat menyebabkan rusaknya komponen kimia yang

    berkhasiat dan dapat juga menghasilkan toksin yang sangat membahayakan

    kesehatan (Chosdu et al. dalam Katno, 1999).

    Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut:

    pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, sortasi kering,

    pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. Kadar senyawa aktif dalam

    Aldose reduktase Sorbitol dehidrogenase

    NADPH NADP+ NAD+ NADH

  • 11

    suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada: bagian tanaman yang

    digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, dan

    lingkungan tempat tumbuh (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

    Panen

    Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya

    tanaman obat. Waktu, cara pemanenan dan penanganan bahan setelah panen

    merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil

    tanaman. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang

    berbeda. Begitu juga tanaman yang mengalami stres lingkungan akan memiliki

    waktu panen yang berbeda meskipun jenis tanamannya sama. Pemanenan kayu

    dilakukan setelah pada kayu terbentuk senyawa metabolit sekunder secara

    maksimal. Umur panen tanaman berbeda-beda tergantung jenis tanaman

    dan kecepatan pembentukan metabolit sekundernya. Tanaman secang baru

    dapat dipanen setelah berumur 4 sampai 5 tahun, karena apabila dipanen terlalu

    muda kandungan zat aktifnya seperti tanin dan sappan masih relatif sedikit

    (Sembiring, 2007).

    Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif

    di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Senyawa aktif terbentuk secara

    maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen

    yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari.

    Contoh, simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen pada pagi

    hari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu

    dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia

    terhadap panas sinar matahari. Panen dapat dilakukan dengan tangan,

    menggunakan alat atau menggunakan mesin. Alat atau mesin yang digunakan

    untuk memetik perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya

    tidak digunakan bila akan merusak senyawa aktif simplisia seperti fenol,

    glikosida, dan sebagainya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

    Cara pengambilan bagian tanaman untuk pembuatan simplisia dapat dilihat

    pada Tabel 2.

  • 12

    Tabel 2 Bagian tanaman, cara pengumpulan, kadar air simplisia No Bagian Tanaman Cara Pengumpulan Kadar Air Simplisia

    1.

    2.

    3.

    4.

    5.

    6.

    7.

    8.

    9.

    10.

    11.

    12.

    Kulit batang

    Batang

    Kayu

    Daun

    Bunga

    Pucuk

    Akar

    Rimpang

    Buah

    Biji

    Kulit buah

    Bulbus

    Dari batang utama dan cabang,

    dikelupas dengan ukuran panjang

    dan lebar tertentu; untuk kulit

    batang mengandung minyak atsiri

    atau golongan senyawa fenol digunakan alat pengelupas bukan

    logam.

    Dari cabang, dipotong-potong

    dengan panjang tertentu dan

    diameter cabang tertentu.

    Dari batang atau cabang, dipotong

    kecil atau diserut (disugu) setelah

    dikelupas kulitnya.

    Tua atau muda (daerah pucuk),

    dipetik dengan tangan satu persatu.

    Kuncup atau bunga mekar atau

    mahkota bunga, atau daun bunga, dipetik dengan tangan.

    Pucuk berbunga; dipetik dengan

    tangan (mengandung daun muda

    dan bunga).

    Dari bawah permukaan tanah,

    dipotong-potong dengan ukuran

    tertentu.

    Dicabut, dibersihkan dari akar;

    dipotong melintang dengan

    ketebalan tertentu

    Masak, hampir masak; dipetik dengan tangan.

    Buah dipetik; dikupas kulit buahnya

    dengan mengupas menggunakan

    tangan, pisau, atau menggilas, biji

    dikumpulkan dan dicuci.

    Seperti biji, kulit buah dikumpulkan

    dan dicuci.

    Tanaman dicabut, bulbus dipisah

    dari daun dan akar dengan

    memotongnya, dicuci.

    10 %

    10 %

    10 %

    5 %

    5 %

    8 %

    10 %

    8 %

    8 %

    10 %

    8 %

    8 %

    * Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985.

    Pada waktu panen, peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan

    bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Bahan yang rusak atau busuk harus

    segera dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keranjang, kantong,

    karung dan lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk

    dan tidak rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan

    tidak terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebabkan terjadinya proses

    fermentasi/busuk. Bahan juga harus dijaga dari gangguan hama (hama gudang,

    tikus dan binatang peliharaan) (Sembiring, 2007).

  • 13

    Pasca Panen

    Beberapa proses pasca panen yang dilakukan dalam pembuatan

    simplisia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985) adalah

    sebagai berikut:

    1. Penyortiran Basah

    Penyortiran basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau

    bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang

    terbuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil,

    rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus

    dibuang. Bahan nabati yang baik memiliki kandungan bahan organik asing tidak

    lebih dari 2%.

    2. Pencucian

    Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang

    melekat pada bahan simplisia menggunakan air bersih. Bahan simplisia yang

    mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian agar

    dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pada simplisia batang dapat pula

    dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal

    karena sebagian besar jumlah mikroba. Bahan yang telah dikupas tersebut tidak

    memerlukan pencucian jika cara pengupasannya dilakukan tepat dan bersih.

    3. Perajangan

    Beberapa jenis simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan

    bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan

    dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi

    dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari untuk mengurangi pewarnaan akibat

    reaksi antara bahan dan logam pisau. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau,

    dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan

    dengan ukuran yang dikehendaki seperti pada Gambar 5.

  • 14

    Gambar 5 Berbagai bentuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum)

    (Sumber: Materia Medika Indonesia, 1977)

    Setelah dicuci, dibersihkan, dan dijemur, simplisia lalu dipotong-potong

    kecil ukuran 0,25-0,06 cm yang setara dengan ayakan 4/18 (tergantung jenis

    simplisia). Semakin tipis perajangan maka semakin cepat proses pengeringan

    kecuali tanaman yang mengandung minyak menguap, perajangan tidak boleh

    terlalu tipis karena menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat aktif.

    Sebaliknya bila perajangan terlalu tebal pengeringannya lama dan mudah

    berjamur (Ritrum Center, 2011).

    4. Pengeringan

    Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan

    dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat

    terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah

    rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan

    reaksi-reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu

    pengeringan perlu diperhatikan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara

    40-600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang

    mengandung kadar air 10%. Di samping menggunakan sinar matahari langsung,

    penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu

    40-500C. Kelebihan dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu

    sekitar 8 jam, dibandingkan dengan sinar matahari yang membutuhkan waktu

    lebih dari 1 minggu (Sembiring, 2007).

  • 15

    5. Penyortiran Kering

    Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan

    simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti

    bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang

    masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum

    simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan. Seperti halnya pada sortasi awal,

    sortasi di sini dapat dilakukan dengan atau secara mekanik. Setelah penyortiran,

    simplisia ditimbang untuk mengetahui rendemen hasil dari proses pasca panen

    yang dilakukan (Sembiring, 2007).

    6. Pengemasan

    Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia

    yang dapat mengakibatkan pemunduran mutu, sehingga simplisia bersangkutan

    tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan atau yang ditentukan. Oleh karena itu

    pada penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat

    mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan dan

    pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu,

    serta cara pengawetannya. Untuk dapat disimpan dalam waktu lama, simplisia

    harus dikeringkan dahulu sampai kering, sehingga kandungan airnya tidak lagi

    dapat menyebabkan kerusakan yang merugikan.

    7. Penyimpanan

    Cara menyimpan simplisia dalam wadah yang kurang sesuai memungkinkan

    simplisia rusak karena dimakan kutu atau ngengat. Biasanya jenis serangga

    tertentu merusak jenis simplisia tertentu pula. Penyimpanan simplisia dapat

    dilakukan di ruang biasa (suhu kamar) ataupun di ruang ber AC. Ruang tempat

    penyimpanan harus bersih, udaranya cukup kering dan berventilasi. Ventilasi

    harus cukup baik karena hama menyukai udara yang lembab dan panas. Jadi

    sebelum disimpan pokok utama yang harus diperhatikan adalah cara penanganan

    yang tepat dan higienis.

    Teori Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)

    Penanganan pasca panen merupakan suatu langkah yang sangat penting

    guna mendapatkan simplisia yang baik. Salah satu langkah pasca panen yang

    perlu diperhatikan pula ialah cara pengeringan. Pengeringan suatu hasil panen

  • 16

    merupakan suatu langkah untuk mendapatkan bahan simplisia yang

    penggunaannya masih ditangguhkan. Pengeringan dapat dilakukan secara alamiah

    (sinar matahari dan diangin-anginkan pada ruangan terbuka) dan buatan

    (dengan oven) (Sutjipto, 1995).

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah

    suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas

    permukaan bahan. Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan

    menggunakan alat dari plastik. Selama proses pengeringan bahan simplisia,

    faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering

    yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Suhu pengeringan

    tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia

    dapat dikeringkan pada suhu 30oC sampai 90

    oC, tetapi suhu yang terbaik adalah

    tidak melebihi 60oC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

    Ada beberapa sifat kayu yang diduga mempunyai hubungan erat dengan

    sifat pengeringannya. Pengeringan kayu terutama dipengaruhi oleh kerapatan,

    ukuran dan frekuensi jari-jari kayu. Ada kecenderungan yang kuat bahwa kayu

    yang berat atau berkerapatan tinggi akan mengering lebih lambat dan sehubungan

    dengan cacat-cacat pengeringan lebih problematis dibanding dengan kayu

    yang ringan. Karena itu pada pengeringan kayu yang berat digunakan bagan

    pengeringan yang lunak (suhu dan gradient pengeringan yang rendah)

    (Budiarso, 1997).

    Hasil penelitian Sukaton (1999) pada pengukuran kadar air awal dari

    beberapa jenis kayu menunjukkan bahwa kayu-kayu memiliki kadar air awal yang

    bervariasi atau tidak seragam. Ketidakseragaman kadar air awal merupakan hal

    yang wajar dan tidak dapat dihindarkan karena pengambilan sampel dilakukan

    secara acak dari tumpukan kayu yang mungkin berasal dari pohon atau bagian

    batang yang berlainan. Selain disebabkan oleh asal potongan kayu yang berbeda,

    variasi kadar air awal kayu juga dapat disebabkan oleh perbedaan waktu tunggu

    yaitu selang waktu antara proses penggergajian dan pelaksanaan pengeringan.

    Kayu-kayu yang lebih dahulu digergaji mempunyai kadar air yang lebih rendah

    dibandingkan kayu yang baru saja digergaji, karena kayu yang lebih dahulu

    digergaji dan ditumpuk selama masa tunggu lebih banyak mengalami penurunan

  • 17

    kadar air. Kayu yang terletak di pinggir tumpukan mempunyai kadar air yang

    lebih rendah daripada kayu yang terletak di tengah tumpukan karena kayu-kayu

    yang terletak di pinggir tumpukan relatif lebih mudah mengering akibat

    berhubungan langsung dengan udara luar.

    Gradient pengeringan (GP) adalah bilangan yang menyatakan tingkat

    kekerasan dari suatu proses pengeringan dan merupakan perbandingan antara

    kadar air kayu saat itu terhadap kadar air keseimbangan yang telah ditentukan

    pada saat yang sama. Makin besar nilai GP makin keras proses pengeringan.

    Setiap potong kayu baik dari jenis yang berbeda maupun dari jenis yang sama

    mempunyai penurunan kadar air yang berbeda, artinya mempunyai kecepatan

    pengeringan atau kemampuan yang berbeda untuk menyesuaikan dengan kadar air

    keseimbangan yang diatur pada setiap tahapan proses pengeringan buatan. Ada

    beberapa faktor menurut Sukaton (1999) yang menyebabkan hal tersebut terjadi

    yaitu: (1) kayu berasal dari jenis kayu yang berbeda atau dari jenis yang sama dan

    berasal dari pohon atau bagian batang yang berbeda, mempunyai perbedaan dalam

    banyak hal seperti kerapatan, kandungan komponen kimia (misalnya kandungan

    zat ekstraktif) dan struktur anatomi kayunya dan (2) kayu yang dikeringkan

    kemungkinan mempunyai pola penggergajian yang berbeda.

    Perbedaan nilai rataan kadar air akhir dan gradient kadar air juga tampak

    pada jenis kayu yang sama dengan tebal berbeda. Hal ini karena pada kondisi

    yang sama, air pada kayu yang tebal memerlukan waktu yang lebih lama untuk

    bergerak dari dalam ke permukaan kayu daripada kayu yang lebih tipis. Sehingga

    kayu yang tipis akan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi iklim (kadar air

    keseimbangan), sementara pada saat yang sama kayu yang tebal kadar air

    rataannya masih jauh di atas kadar keseimbangan (Sukaton, 1999).

    Pengeringan dengan sinar matahari merupakan suatu cara pengeringan yang

    sangat ekonomis, namun untuk bahan-bahan yang mengandung minyak atsiri bila

    dikeringkan dengan sinar matahari dapat rusak dan bahan-bahan tersebut biasanya

    dikeringkan dengan diangin-anginkan. Pengeringan suatu bahan dengan jalan

    diangin-anginkan juga mengandung resiko karena ada bahan-bahan tertentu bila

    dikeringkan dengan diangin-anginkan akan mudah rusak sebelum kering (busuk

    atau berjamur) (Sutjipto, 1995).

  • 18

    Pemutuan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)

    Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau

    pembeliannya dari pengumpul/pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus

    berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum. Agar selalu diperoleh

    simplisia dengan mutu yang baik, sebaiknya disediakan contoh untuk tiap-tiap

    simplisia dengan mutu yang pasti dan memenuhi persyaratan yang dapat

    digunakan sebagai simplisia pembanding. Contoh simplisia pembanding tersebut

    disimpan secara khusus agar mutunya terjaga, dan tiap jangka waktu tertentu

    diperiksa kembali mutunya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

    Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh simplisia

    yang murni; bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah yang sangat kecil

    dalam simplisia atau yang ditambahkan/dicampurkan, pada umumnya

    tidak merugikan. Simplisia nabati harus bebas dari serangga, fragmen hewan

    atau kotoran hewan; tidak boleh menyimpang bau dan warnanya; tidak boleh

    mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan tanda-tanda

    pengotor lain; dan tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau

    berbahaya (Materia Medika Indonesia, 1977).

    Persyaratan mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang telah

    tercantum di buku Materia Medika Indonesia Jilid I terbitan Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia terdapat pada Tabel 3.

    Tabel 3 Standar mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum)

    Parameter Standar

    Kadar air

    Kadar abu

    Kadar abu yang tidak larut dalam asam

    Kadar sari yang larut dalam air

    Kadar sari yang larut dalam etanol

    Bahan organik asing

    10-12%

    < 2 %

    < 0,5 %

    > 2 %

    > 1 %

    < 2 %

    * Sumber : Materia Medika Indonesia Jilid I, 1977.

    Semua paparan yang tertera dalam persyaratan simplisia, kecuali tentang isi

    dan penggunaan, merupakan syarat baku bagi simplisia yang bersangkutan. Suatu

    simplisia tidak dapat dinyatakan bermutu Materia Medika Indonesia jika tidak

  • 19

    memenuhi syarat baku tersebut. Syarat baku yang tertera dalam Materia Medika

    Indonesia berlaku untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan

    pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan untuk keperluan

    lain yang dijual dengan nama yang sama (Materia Medika Indonesia, 1977).

    Response Surface Methods

    Optimasi bertujuan meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya

    operasional dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Jika usaha yang

    diperlukan atau hasil yang diharapkan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari

    sebuah keputusan, maka optimasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian

    kondisi maksimum atau minimum dari fungsi tersebut. Optimasi pada salah satu

    atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk. Hasil

    evaluasi sensori sering digunakan dalam menentukan apakah produk optimum

    yang telah dikembangkan adalah benar (Maarif et al. 1989).

    Design Expert 8.0

    merupakan piranti lunak yang menyediakan rancangan

    percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi rancangan produk

    dan proses. Menurut Anonim (2006), program komputer ini memberikan beberapa

    rancangan statistik yang digunakan di dalam proses optimasi seperti:

    a. Factorial design, digunakan untuk mengidentifikasi faktor vital yang

    mempengaruhi proses dan pembuatan produk di dalam percobaan sehingga

    dapat memberikan peningkatan.

    b. Response surface methods, digunakan untuk menentukan proses yang paling

    optimal sehingga diperoleh hasil yang paling optimum.

    c. Mixture design techniques, digunakan untuk menentukan formula yang optimal

    di dalam formulasi produk.

    d. Combined designs (combine process variables, mixture components, and

    categorical factors) digunakan untuk penentuan optimasi proses dan formulasi

    di dalam pembuatan produk.

    Dalam penentuan model, modifikasi terhadap model dapat memberikan

    hasil yang lebih baik. Modifikasi model dilakukan dengan cara menghilangkan

    komponen atau hubungan antara komponen yang tidak diinginkan (reduksi

    model). Komponen yang dihilangkan adalah komponen yang dianggap tidak

    signifikan secara statistik terhadap respon. Untuk menentukan signifikansi model,

  • 20

    ditentuan nilai out yang menjadi pembatas. Jika komponen dianggap tidak

    signifikan berdasarkan nilai out yang telah ditentukan, maka komponen tersebut

    akan dihilangkan dari model.

    Reduksi model dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tiga tipe reduksi

    model yang paling mendasar yaitu:

    a. Step-wise regression: kombinasi dari forward dan backward regressions.

    Komponen ditambahkan, dihilangkan, atau diganti dalam setiap langkah

    reduksi model.

    b. Backward elimination: komponen dihilangkan dalam setiap langkah

    reduksi model.

    c. Forward selection: komponen ditambahkan dalam setiap langkah

    reduksi model.

    Metode backward elimination dianggap sebagai pilihan yang terbaik dalam

    melakukan reduksi model algortima karena semua komponen dalam model akan

    diberikan kesempatan untuk diikutkan di dalam model. Metode step-wise dan

    forward selection dilakukan dengan menggunakan model inti minimal sehingga

    beberapa komponen tidak pernah diikutkan dalam model.

    Secang Celup

    Secara prinsip, proses produksi secang celup sama dengan proses produksi

    teh celup sesuai dengan jenis teh yang diperlukan. Perbedaan hanya terletak

    pada bentuk atau ukuran teh yang digunakan, dimana pembuatan teh celup

    sebenarnya dilakukan dengan menggunakan proses pengepakan dari proses

    produksi teh dasar. Dalam proses produksi teh celup, teh yang digunakan adalah

    teh yang telah dipotong-potong dengan ukuran kecil dan halus yang berbeda

    dengan apa yang disebut dengan Tea Dust. Tea Dust adalah teh yang berkualitas

    rendah karena merupakan sisa-sisa dari teh remukan, sedangkan teh celup adalah

    teh yang secara sengaja dipotong-potong hingga ukurannya halus. Proses

    pengolahan teh celup secara umum sama dengan pengolahan daun teh pada

    umumnya yaitu pelayuan, penggulungan, fermentasi dan pengeringan

    (Kotscheven. 1975 dalam Sudarmadji, 1997)

  • 21

    Teh celup ini biasanya dibuat dari pencampuan antara dua komponen yaitu

    komponen pengisi dan komponen utama. Komponen utama merupakan teh

    bermutu baik dari jenis peco fanning (daun pucuk ditambah 2 daun di bawahnya)

    atau orange peco (daun pucuk ditambah satu daun di bawahnya). Mutu bahan

    utama ini menentukan kekuatan seduhan yaitu warna coklat cerah khas teh,

    sedangkan komponen pengisi berasal dari teh bermutu rendah seperti dust

    (teh hitam yang dihasilkan dari daun teh yang tua dan mengandung hancuran

    tangkai daun) yang berfungsi menentukan rasa dan warna seduhan teh. Setelah

    melalui proses pencampuan bahan-bahan tersebut di atas, teh yang dihasilkan

    kemudian dikemas. Pengemasan teh celup dilakukan dengan menggunakan bahan

    pengemas primer dari kertas chronton, yang diberi benang dan dibungkus lagi

    dengan kemasan sekunder dari bahan karton atau aluminium foil. Di perusahaan

    besar, proses pengemasan ini dilakukan secara otomatis dengan menggunakan

    mesin pengemas teh celup (Husman. 1995 dalam Slamet, 1997).