tafsir media sosial: bingkai q.s. an-nisa’ ayat 3 dalam
TRANSCRIPT
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
88
TAFSIR MEDIA SOSIAL: Bingkai Q.S. An-Nisa’ Ayat 3 dalam Meme Poligami
Eri Nur Shofi’i Dosen, Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali
Abstrak Pernikahan merupakan suatu jalan yang dianjurkan dalam Islam. Hal itu dilakukan demi
keberlangsungan hidup berketurunan serta demi terciptanya kasih sayang diantara insan manusia.
Salah satu bentuk kehidupan berumahtangga dalam Islam adalah menikah dengan lebih dari satu
istri, yang akrab disebut poligami. Dalam perjalanannya, persoalan poligami senantiasa menjadi isu
yang hangat diperbincangkan, ia menuai dukungan pada satu sisi, karena terlegitimasi oleh al-
Qur’an, dan pada sisi yang lain ia dikecam, karena dianggap merugikan kaum perempuan. Beberapa
waktu terakhir ini, isu poligami kian mencuat dengan munculnya meme-meme di media sosial yang
seolah mendukung praktek poligami. Tulisan ini berusaha menganalisis diskursus poligami melalui
meme poligami dalam media sosial.
Kata kunci: pernikahan, poligami, media sosial, tafsir
A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan tuntunan naluriah manusia untuk berketurunan serta
menumbuhkan kasih sayang. Islam menganjurkan agar orang menempuh perkawinan dan tidak
memperbolehkan membujang dengan sengaja1. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak lepas
dari berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Ibnu Khaldun pernah mengatakan bahwa
manusia pasti dilahirkan di tengah-tengah masyarakat dan tidak mungkin hidup kecuali bersama
masyarakat itu2. Hal wajar apabila manusia saling berpasang-pasangan untuk membangun
keluarga serta menumbuhkan rasa tentram dan kasih sayang satu sama lain.
Salah satu bentuk pernikahan dalam Islam adalah poligami. Poligami merupakan salah
satu persoalan dalam perkawinan yang kompleks dan kontroversial dan masih menjadi
pembicaraan yang hangat di kalangan masyarakat. Dalam satu sisi, poligami ditolak dengan
berbagai argumentasi yang mengedepankan normatifitas dan bahkan berkaitan dengan
ketidakadilan gender. Meski adanya pembolehan poligami, harus disertai persyaratan untuk
mampu berbuat adil terhadap istri-istri yang dinikahi. Sedangkan berbuat adil merupakan suatu
hal yang tidak mudah dilakukan bagi manusia.
1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2011), 11. 2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 1.
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
89
Poligami bukan hanya permasalahan dalam umat Islam, melainkan juga non-Muslim.
Beberapa laki-laki yang berpoligami, biasanya mereka secara hukum memiliki satu istri. Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan mereka memiliki hubungan di luar nikah atau menyimpan
satu atau lebih di berbagai tempat3. Adanya persoalan poligami dalam beberapa tahun terakhir
ini semakin memperkeruh keadaan dengan munculnya meme di media sosial yang seolah
mendukung adanya poligami.
Fenomena meme termasuk dalam fenomena yang membeludak di kalangan pengguna
media sosial di Indonesia4. Fenomena ini seringkali menggambarkan suatu kejadian yang
sedang heboh di dunia nyata maupun dunia maya5. Seperti saat munculnya beberapa meme
bergambar berkonten poligami di media sosial, seperti facebook, instagram, twitter, dan website
membuat masyarakat Indonesia semakin kreatif dalam meyampaikan informasi ataupun pesan
melalui gambar. Bahkan meme bergambar tersebut direduksi dan dikirim ulang dalam media
sosial masing-masing.
Adanya meme poligami memberi pengaruh cukup signifikan pada masyarakat. Mereka
para kaum laki-laki merasa diberi ruang untuk melakukan poligami. Di sisi lain, para kaum
perempuan merasa terintimidasi dengan hal tersebut karena merasa adanya ketidakadilan
gender. Fenomena meme poligami di media sosial rasanya sangat menarik untuk dikaji dengan
paradigma konstruktivisme, yaitu meletakkan posisi meme poligami sebagai sesuatu yang sudah
diatur oleh si pembuat meme melalui kata-kata dan memiliki tujuan khusus. Oleh karena itu,
penulis mencoba untuk menganalisis diskursus poligami menggunakan meme poligami dalam
media sosial.
B. Poligami, Agama, dan Meme di Media Sosial
Poligami masih menjadi topik hangat untuk diperbincangkan dalam dunia keilmuan dan
media sosial. Terbukti dengan adanya beberapa kabar yang sempat viral di media massa, seperti
poligami yang dilakukan oleh tokoh agama Aa Gym dan Ustadz Arifin Ilham. Munculnya kabar
tersebut banyak menimbulkan perdebatan dan spekulasi-spekulasi yang pro maupun kontra
terhadap perilaku tokoh agama tersebut.
3 Nina Nurmila, Women, Islam, dan Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia, (London:
Routledge, 2009), 4. 4 Aditya Nugraha dkk, Fenomena Meme di Media Sosial: Studi Etnografi Virtual Posting Meme Pada
Pengguna Sosial Instagram”, Jurnal Sosioteknologi, vol. 14, no. 3, Desember 2015, 238. 5 Iqbal Hafizhul L, “Fenomena Meme “Dosen Gaib” di Media Sosial”, dalam http://fisipersui.org/fenomena-
meme-dosen-gaib-di-media-sosial/, diakses pada 26 Desember 2017.
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
90
Poligami berasal dari bahasa Yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gamein
atau gamos yang berarti perkawinan, berarti suatu perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam
jumlah yang tidak terbatas6. Dalam Bahasa Arab, poligami diistilahkan dengan ta’addud al-
zaujat yang berarti beristri lebih dari seorang perempuan7. Adapun dalam Kamus Besar bahasa
Indonesia, poligami diartikan dengan ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki
beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan8. Namun pengertian yang dipahami oleh
kebanyakan orang mengarah pada poligini, yakni ikatan perkawinan yang membolehkan
seorang laki-laki memiliki beberapa perempuan sebagai istrinya di waktu yang bersamaan. Hal
ini berlaku pada laki-laki, sedang bagi perempuan diistilahkan dengan polyandri.
Dasar dari poligami adalah ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis nabi. Islam membolehkan
poligami bertujuan untuk memenuhi sebuah tanggung jawab terhadap janda yang ditinggal mati
suaminya dan banyaknya anak yatim akibat perang demi membela Islam yang dibawa oleh
Nabi. QS. an-Nisa: 3 sering dijadikan dasar utama diperintahkannya manusia dalam
berpoligami. Ayat ini sering ditafsirkan dengan batas berpoligami yang memperbolehkan
menikahi perempuan sampai empat orang. Bahkan ada yang menafsirkan dengan boleh
menikahi sampai sembilan orang. Meskipun demikian, poligami memiliki batasan untuk
menikahi empat orang istri. Hal ini didukung dengan adanya sejarah Nabi atas kasus Gailan ibn
Salamah al-Tsaqafi yang berkeinginan menikahi perempuan lebih dari empat orang. Oleh
karena itu, apabila ada seorang suami yang berkeinginan untuk menambah istri lagi, maka salah
satu dari keempat istrinya harus diceraikan sehingga jumlahnya masih tetap empat9.
Diskursus mengenai poligami semakin gencar ketika adanya beberapa public figure yang
juga merangkap tokoh agama mempraktikkan poligami dalam kehidupan, salah satunya Aa
Gym. Tindakan Aa Gym memicu adanya pro dan kontra dari kalangan muslim. Kelompok pro
beranggapan bahwa mereka yakin adanya poligami merupakan doktrinasi wahyu dan bukti
sejarah praktik nabi sendiri saat menyebarkan Islam. Akan tetapi, kelompok kontra
berpandangan lain bahwa poligami merupakan bentuk pelecehan dan diskriminasi terhadap
perempuan10. Pandangan ini sama dengan ungkapan Dono Baswardono, seorang pakar
6 Labib MZ, Pembelaan Umat Muhammad, (Surabaya: Bintang Pelajar, 1986), 15 7 Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani, 1996), 67 8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008),
1089. 9 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4, cet. 1, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2001),
1186. 10 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, cet. II, (Jakarta: Gramedia, 2007), 16
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
91
komunikasi politik dan psikolog yang mengatakan bahwa poligami sana halnya sebagai bentuk
perampasan hak-hak atas perempuan dan anak-anak11.
Poligami yang dilakukan Aa Gym membuka akses bagi banyak orang untuk melakukan
hal serupa. Selain itu, banyak media sosial yang mengeksposnya. Hal wajar, apabila
bermunculan meme12 maupun gambar yang berkonten poligami sebagai ungkapan pro maupun
kontra. Munculnya meme dengan konten poligami sama dengan lainnya yang dtujukan untuk
merespon suatu isu yang sedang menjadi perbincangan dalam diskursus sosial13.
Meme dalam media sosial merupakan salah satu bentuk pendekatan untuk
mengembangkan konsep dan metode baru dalam studi kritis agama14. Selain itu, media ini juga
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan materi dakwah agar lebih menarik dan diminati.
Berkomunikasi dengan media sosial memang menjadi trend dimana mengingat zaman sekarang
semua orang, baik kalangan muda maupun tua sebagai pengguna media sosial setiap harinya.
Media sendiri berperan untuk mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami,
bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Salah satu fungsi dari
media adalah menjaga nilai-nilai kelompok dan mengontrol bagaimana nilai itu dijalankan15.
Media memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu dengan membangun citra publik yang secara
konstan menghadirkan dan menayangkan objek yang menunjukkan apa yang hendaknya
dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat16
Berbagai konten dimasukkan dalam instagram, twitter maupun web, salah satunya
poligami. Konten ini sensitif mengingat banyak pro dan kontra di dalam permasalahan poligami.
Namun, adanya public figure yang menyuarakan poligami,maka bermunculan meme yang
berkonten demikian. Penulis menemukan beberapa konten tersebut, antara lain:
11 Dono Baswardono, Poligami itu Selingkuh, cet. II, (Yogyakarta: Galang Press, 2007), 90. 12 Meme merupakan sebuah unit berbentuk budaya ide, simbol, atau praktek-praktek yang dapat ditularkan
dari satu fikiran ke fikiran orang lain melalui tulisan, gambar, ucapan, gerak tubuh, ritual, atau fenomena lainnya
yang merujuk pada transmisi budaya dalam gen. Lihat Richard Dawnskins, The Sefish Gene, (New York: Oxford
University Press, 2006), 215-220. 13 Rendi Pahrun Wadipalapa, “Meme Culture & Komedi-Satire Politik: Kontestasi Pemilihan Presiden daam
Media Baru”, Jurnal Ilmu Komunikasi, vol. 12, no. 1, Juni 2010), 1-18 14 Birgit Meyer, “Picturing the Invisible Visual Culture and the Study of Religion”, dalam Method and Theory
in the Study of Religion 27, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2015), 335 15 Erianto, Analisis Framing (Konstruksi, Ideologi dan Politik Media), (Yogyakarta: LkiS, 2012), 144. 16 W. J. Saverin & W. J. Tankard, Teori Komunikasi (Sejarak, Metode, dan Terapan di dalam Media
Massa), (Jakarta: Kencana, 2011), 261.
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
92
Gambar pertama (1) dan kedua (2) menunjukkan foto Ustad Fadil yang dikelilingi ketiga
istrinya. Keduanya memuat pesan bahwa berpoligami itu lebih baik dengan deskripsi dan narasi
yang berbeda. Gambar pertama memuat keterangan: “Tiga Istri yang akur lebih baik daripada
satu istri ribut terus”, sedangkan gambar kedua memuat narasi, “ saya tetap istiqomah, istri tiga
kompak serumah”.
Gambar ketiga (3) memperlihatkan tentang tingkat kesempurnaan keluarga. Gambar
ketiga memberi keterangan bahwa tingkat sempurna diisi oleh suami beristri empat, tingkat
terbaik diisi dengan suami beristri tiga, tingkat lebih baik diisi suami beristri dua, tingkat
alhamdulillah diisi dengan sepasang suami istri, dan tingkat ada masalah diisi dengan laki-laki
sendirian.
Gambar 1: tiga istri akur lebih baik daripada
satu istri ribut terus (@isteri_cintaallah, 2018)
Gambar 2: saya tetap istikomah, istri tiga
kompak serumah (@robby_ram_dhani, 2018)
Gambar 3: Sempurna, Terbaik, Lebih Baik, Alhamdulillah
(Biasalah), Ada Masalah. (@kabarsunnah, 2018)
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
93
Gambar keempat (4) dan gambar kelima (5) menujukkan perempuan yang dipoligami.
Perbedaan keduanya adalah gambar keempat mendiskripsikan keinginan para perempuan yang
meminta istri untuk menjadi teman poligami. Sedangkan gambar kelima mendiskripsikan
kerelaan istri untuk berbagi pada istri yang lain. Gambar keempat memuat: seorang perempuan
yang membawa kertas bertuliskan, “untuk para istri kasihanilah kami, jumlah kita semakin
banyak. Jumlah laki-laki semakin sedikit. Jadikanlah kami adik madu kalian”. Adapun gambar
kelima memuat: dua orang perempuan yang satu mencium kening yang lain dengan percakapan,
“maduku...malam ini giliranmu. uruslah suami kita dengan baik”, “terima kasih kakak”.
Gambar 4: untuk para istri kasihanilah kami,
jumlah kita semakin banyak. Jumlah laki-laki
semakin sedikit. Jadikanlah kami adik madu
kalian (jengyuni.com, 2018)
Gambar 5: maduku...malam ini giliranmu.
uruslah suami kita dengan baik”, “terima kasih
kakak” (@faktamenikah, 2018)
Gambar 6: Relakan aku menikah lagi (@penebar_cahaya_sunnah, 2018)
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
94
Gambar keenam (6) menunjukkan bentuk izin untuk berpoligami. Gambar ini memuat
keterangan: “Relakan Aku Menikah Lagi” asy-Syaikh Hammad al- Anshary Rahimahullah
berkata: Sesungguhnya pria yang menikahi 4 wanita akan awet muda, berbeda dengan pria yang
hanya beristri 1, 2, atau 3. (Tarjamah asy- Syaikh Hammad al-Anshary, hlm. 571)
Gambar ketujuh (7) dan gambar kedelapan (8) menunjukkan sebuah ilustrasi
berpoligami. Gambar ketujuh memuat keterangan: “Surga yang dirindukan”, sedangkan gambar
kedelapan memuat, “Semakin banyak yang bantu mengayuh, perjalanan hidup akan semakin
lancar”.
Gambar 7: Surga yang dirindukan
(@ummukhairu, 2019)
Gambar 8: semakin banyak yang bantu
mengayuh perjalanan hidup akan semakin lancar
(@abanghandsome1453, 2019)
Gambar 9: sukses suami itu dimulai dari doanya istri. Semakin banyak istri
semakin banyak yang doakan! (memebomb.net, 2017)
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
95
Gambar kesembilan (9) menunjukkan alasan berpoligami. Gambar ini memuat
keterangan: “sukses suami dimulai dari doa nya istri. semakin banyak istri semakin banyak yang
doakan!”.
Beberapa meme di atas hanya sebagian dari meme yang memuat tema dan konten yang
sama dengan yang bertebaran di media sosial. Namun, meme yang telah disebutkan tidak
lebih dari sekedar replikasi dan imitasi dari satu meme menjadi beberapa meme. Dikatakan
replikasi karena pada kenyataannya konten yang ada nyaris seragam dan muatan yang
dikandung juga sama, yakni mendukung poligami. Di sisi lain, meme tersebut juga menyedot
perhatian khalayak dengan adanya pemahaman yang dikreasikan untuk lebih dipahami lebih
mudah. Dengan demikian, meme di media sosial juga berkontribusi dalam penyebaran paham
poligami di masyarakat meskipun perdebatan mengenai poligami masih kontroversial, termasuk
di Indonesia yang notabene-nya berpenduduk Muslim.
C. Meme Poligami; Diskursus Makna Ayat Matsna wa Tsulatsa wa Ruba’ dalam QS. an-
Nisa’: 3
Pembahasan poligami memang selalu menjadi hal yang kontroversial. Di sisi lain, QS.
an-Nisa‟: 3 dan QS. an-Nisa: 129 yang menjadi tendensi diperbolehkannya poligami. Hal wajar
apabila banyak pula perdebatan yang timbul setelah atar tersebut dipahami oleh berbagai
kalangan. Menurut Gadamer, penafsiran berawal dari sebuah prasangka (prapemahaman). Hal
ini disebabkan keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik tertentu yang terbentuk pada diri
seorang penafsir17. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa perbedaan penafsiran juga
berlaku pada QS. an-Nisa: 3 dan QS. an-Nisa: 129.
لوإن أ تم خف ا تمٱ نكحا ٱفل ن طابلكمم اءٱما ثلن وثل مث ن
عالا لنأ د
لكأ ذ ي منكم
أ ماملكت و
حدةأ فو دلا ع ل
أ تم خف فإن ع ٣ورب
Artinya: ”dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”18
17 Martinho G. da Silv Gusmao, Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang
Mengagungkan Tradisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 102. 18 QS. an-Nisa: 3. 19
QS. an-Nisa: 129.
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
96
ولن بي دلا ع نأ يعا ت اءٱت لن ك تميلا فل تم حرص فتذروهال مي لٱولا
ة ٱك فإنل معل ا ت و لحا كنغفارارحيماللٱوإنتص Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.19
Ayat QS. an-Nisa: 3 memang membolehkan poligami dengan syarat bisa berlaku adil.
Adapun al-Qur’an secara eksplisit menggarisbawahi bahwa prinsip adil sulit dicapai. Sebesar
apapun usaha manusia untuk berbuat adil, tidak akan mencapai keadilan yang sesungguhnya.
Asghar menyatakan bahwa kedua ayat tersebut sebagai bukti bahwa al-Qur‟an berat dalam
menerima poligami. Titik penting ayat tersebut bukan berada pada perilaku poligami,
melainkan bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim ketika menikahinya. As-Sarakhsi
menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan adil. Adapun al-Kasani berpendapat wajib
berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sedangkan as-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan yang
disangkutkan dengan urusan fisik20.
Penafsiran lain datang dari Quraisy Syihab menyatakan bahwa QS. an- Nisa’: 3 tidak
mewajibkan poligami atau menganjurkannya. Ayat tersebut hanya berbicara tentang bolehnya
berpoligami yang notabene-nya sebagai pintu darurat yang dilakukan apabila sangat dibutuhkan
dan dengan syarat yang tidak ringan. Secara tidak langsung, berpoligami harus dalam kondisi
tertentu yang sangat penting dan harus memenuhi syarat, yakni adil. Adapun syarat keadilan ini
dipertegas dengan adanya QS. an-Nisa: 129, yakni keadilan dalam bidang material21.
Perdebatan poligami memunculkan dua kelompok, pro dan kontra atas poligami.
Kelompok pro poligami menjadikan ittiba’ bi as-sunnati Rasulillah sebagai dasar berpoligami.
Anggapan mereka bahwa poligami dapat dijadikan sebagai tolak ukur keimanan seorang laki-
laki. Mereka beranggapan bahwa beberapa dalil menunjukkan kesunnahan berpoligami, seperti
riwayat yang mengatakan bahwa Nabi mempunyai istri sebanyak 9 atau semuanya sebanyak 11
20 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), 161. 21 Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan,
2007), 75.
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
97
orang bahkan lebih. Alasan lain yakni poligami sangat bermanfaat mengimbangi ledakan jumlah
penduduk yang didominasi oleh kaum perempuan yang dikhawatirkan jika lebih banyak maka
bisa mengganggu suami orang bahkan menjual diri. Poligami dalam konteks tersebut sangat
diperlukan dan berguna untuk menekan serta mengurangi problema sosial yang diakibatkan oleh
lonjakan kaum perempuan. Alasan lain pro poligami karena banyak istri akan memperbanyak
keturunan yang diyakini akan bisa membanggakan Nabi.
Menurut al-Maraghi, alasan diperbolehkannya poligami adalah pertama, karena istri
mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan. Kedua, apabila
suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara istri tidak mampu meladeni sesuai
kebutuhan. Ketiga, jika suami memiliki harta yang banyak untuk mmebiayai segala kepentingan
keluarga. Keempat, jika jumlah perempuan melebihi laki-laki yang bisa jadi dikarenakan perang
atau banyaknya janda dan anak yatim. Adapun poligami yang dilakukan
Nabi berhikmah untuk syiar Islam22. Sayyid Qutub memandang poligami sebagai suatu
perbuatan rukhshah yang hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat dan dengan syarat adil23.
Poligami juga mengalami pertentangan bagi sebagian yang lain. Bagi mereka yang kontra,
beranggapan bahwa dari segi ushul-fiqh, jenis hukum poligami belum bisa dipastikan.
Kesepakatan para ahli fiqh menyatakan bahwa hukum menikah itu mubah, berarti sama halnya
dengan poligami. Alasan lain berpoligami karena kemaslahatan. Namun hal ini ditentang
kelompok kontra karena sangat lemah jika digunakan sebagai landasan hukum dibolehkannya
poligami. Hukum poligami yang awalnya difatwakan halal atau bahkan sunnah, mngalami
pergeseran menjadi haram setelah adanya metode istihsan lantaran ditemukannya argumen yang
lebih kuat daripada yang menghalalkan.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa poligami tidak diperbolehkan karena hanya
mungkin dilakukan dalam kondisi tertentu, misal ketidak mampuan istri untuk mengandung24.
Islam membolehkan poligami tapi dituntut untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya. Hal ini
disetujui juga oleh Muhammad Rasyid Ridha. Asghar Ali Engineer mengutip Fazlur Rahman
yang mengatakan bahwa al- Qur‟an tidak pernah memberikan izin umum untuk berpoligami25.
22 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1969), 181-182. 23 Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, (ttp: Dar Ihya al-Tsurats al-Arabiy, 1967), 236 24 Alasan Abduh tidak memperbolehkan poligami karena Abduh menyaksikan bagaimana proses poligami
secara luas disalah-gunakan. Abduh mencatat bahwa poligami menyebabkan permusuhan dan pertikaian antar istri,
pemuasan sepihak oleh laki-laki dan anak-anak menjadi korban. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,
(Beirut: Dar al-Fikr, tth), 347 25 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA dan CUSO, 1994), 124.
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
98
Islam memandang poligami lebih banyak membawa madharat daripada manfaatnya,
karena watak manusia yang cemburu, isi hati, dan suka mengeluh yang bisa berakibat fatal
apabila melakukan poligami. Oleh karena itu poligami dapat memicu sumber konflik kehidupan
keluarga. Menurut Ibn al-Atsir dalam kitabnya mengatakan bahwa poligami yang dilakukan
Nabi adalah upaya transformasi sosial26. Dalam arti poligami yang dilakukan Nabi merupakan
strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-17
M. Pada saat itu, nilai sosial perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki
dapat beristri sebanyak yang mereka suka.
D. Meme Poligami: Diskursus Poligami dan Aktualisasi dalam Masyarakat
Uraian sebelumnya jelas membeberkan bahwa pembahasan mengenai poligami menjadi
diskusi yang hangat di kalangan para tokoh sebelum adanya meme di media sosial. Dengan kata
lain, poligami merupakan isu lama yang kembali menghangat pada beberapa public figure yang
secara sengaja menginformasikan mengenai poligami tersebut. Di sisi lain, isu poligami
semakin mencuat dengan munculnya meme dengan konten poligami yang seolah mendorong
para lelaki untuk mempraktikkan poligami itu sendiri. Bahkan ada beberapa mencantumkan
perkataan Syaikh yang mengatakan manfaat dari poligami dan mengklaim bahwa poligami
merupakan syariat Islam. Namun tidak jarang juga menyertakan meme yang kontra dengan
poligami sebagai bentuk protes atas tindakan tersebut dengan menyebutkan tendensi terkait
ketidaksetujuan atas poligami. Akan tetapi, populasi meme terkait poligami lebih banyak
digemari daripada meme yang menolak poligami sebagai bentuk persetujuan adanya poligami.
Dengan demikian adanya perdebatan antara kebolehan poligami dan penolakannya bagi
sebagian kalangan. Posisi meme tersebut sebagai upaya untuk menarik pandangan masyarakat
mengenai poligami. Adapun implikasinya, fenomena ini berupaya adanya aktualisasi poligami
pada masyarakat dengan memunculkan meme yang pro akan poligami tersebut. Dalam arti,
adanya meme memunculkan respon positif dan semakin memantik keinginan para laki-laki
untuk berpoligami sesuai dengan konteks yang terjadi. Selain itu, fenomena ini juga lebih
menguatkan bahwa eksistensi meme sama sekali tidak mencerminkan realitas tertentu. Wildan
menegaskan bahwa dialektika kebahasaan meme pada dasarnya merupakan bentuk imitasi dari
kejadian nyata di lingkungan sosial masyarakat27. Selain itu, meme juga merupakan artefak
26 Al-Mubarak ibn al-Atsir, Jami’al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, (ttp: Maktabah al-Halwani, 1972), 108-179. 27 M. Wildan, “Dialektika Kebahasaan Meme pada Media Sosial: Tinjauan Sosiolinguistik”, Proceeding:
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
99
digital yang bisa menunjukkan konteks dan situasi sosial, politik, serta sikap masyarakat pada
situasi tertentu28.
Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks meme poligami terdapat beberapa realitas
sosial yang bisa dilihat secara nyata, mulai dari adanya pro dan kontra, konflik hingga
keberagaman pendapat terlebih di Indonesia. Keberagaman paham dan pendapat di Indonesia
tidak jauh dari kaum tekstualis yang memahami bahwa teks-teks keagamaan masih memiliki
ruang penerimaan di tengah masyarakat. Beriringan dengan kondisi yang memungkinkan untuk
menyampaikan sebuah batasan tertentu. Hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
informasi seputar literatur keagamaan yang dapat diakses dengan mudah di manapun dan kapan
pun. Banyaknya situs web yang bisa dibaca dan dianggap relevan sesuai dengan pemahamannya
mengenai diperbolehkannya poligami. Hal ini tentu menambah kuatnya pemahaman poligami
yang tidak hanya sekedar meme, melainkan dikupas secara detail tendensi yang dibutuhkan
dalam berpoligami.
E. Kesimpulan
Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan adanya meme
poligami yang bertebaran di media sosial adalah: pertama, penggunaan media sebagai bentuk
dukungan atas tindakan poligami yang dilakukan beberapa public figure. Dukungan tersebut
diapresiasikan dengan cara menciptakan meme yang berkonten poligami. Kedua, sebagai bentuk
sarana untuk memberi kepahaman dengan menyalurkan ide secara unik dan menarik sehingga
khalayak dapat memahami dengan sederhana mudah. Ketiga, menarik khalayak dengan
menyuguhkan kata-kata yang mendorong dan menguatkan diperbolehkannya poligami.
Daftar Pustaka
Allifinsyah, Sandy. “Kaum Muda, Meme, dan Demokrasi Digital di Indonesia”. Jurnal Ilmu
Komunikasi, vol. 13. no. 2. Desember 2016.
Atsir (al), al-Mubarak ibn. Jami’al-Ushul fi Ahadits al-Rasul. ttp: Maktabah al-Halwani, 1972.
Baswardono, Dono. Poligami itu Selingkuh. cet. II. Yogyakarta: Galang Press, 2007.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2011.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. vol. 4. cet. 1. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,
2001.
Dawnskins, Richard. The Sefish Gene. New York: Oxford University Press, 2006.
IICLLTLC-2, 2016, 42.
28 Sandy Allifinsyah, “Kaum Muda, Meme, dan Demokrasi Digital di Indonesia”, Jurnal Ilmu Komunikasi,
vol. 13, no. 2, Desember 2016, 163
HUJJAH: Vol. 4 no. 2 (2020) p.issn: 2580-7811
Jurnal Ilmiah Komunikasi dan Penyiaran Islam Desember-Mei e.issn: 2775-1775
Tafsir Media Sosial: . . . .
Eri Nur Shofi’i
100
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2008.
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: LSPPA dan CUSO, 1994).
Erianto. Analisis Framing (Konstruksi, Ideologi dan Politik Media). Yogyakarta: LkiS, 2012.
Gusmao, Martinho G. da Silv. Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat hermeneutik Modern
yang Mengagungkan Tradisi. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Hafizhul L, Iqbal. “Fenomena Meme “Dosen Gaib” di Media Sosial”. Dalam
http://fisipersui.org/fenomena-meme-dosen-gaib-di-media-sosial/. diakses pada 26 Maret
2019.
Labib MZ. Pembelaan Umat Muhammad. Surabaya: Bintang Pelajar, 1986.
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. cet. 1. Jakarta: Gema Insani, 1996.
Maraghi (al), Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1969.
Meyer, Birgit. “Picturing the Invisible Visual Culture and the Study of Religion”. dalam Method
and Theory in the Study of Religion 27. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2015.
Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. cet. II. Jakarta: Gramedia, 2007.
Nugraha, Aditya dkk. Fenomena Meme di Media Sosial: Studi Etnografi Virtual Posting Meme
Pada Pengguna Sosial Instagram”. Jurnal Sosioteknologi. vol. 14. no. 3. Desember 2015.
Nurmila, Nina. Women, Islam, dan Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia.
London: Routledge, 2009.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/ 1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana,
2004.
Qutub, Sayyid. Fi Zhilal al-Qur’an. ttp: Dar Ihya al-Tsurats al-Arabiy, 1967.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Saverin, W. J. & W. J. Tankard. Teori Komunikasi (Sejarak, Metode dan Terapan di dalam
Media Massa). Jakarta: Kencana, 2011.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Syihab, Quraisy. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung:
Mizan, 2007.
Wadipalapa, Rendi Pahrun. “Meme Culture & Komedi-Satire Politik: Kontestasi Pemilihan
Presiden dan Media Baru”. Jurnal Ilmu Komunikasi. vol. 12. no. 1. Juni 2010.
Wildan, M. “Dialektika Kebahasaan Meme pada Media Sosial Tinjauan Sosiolinguistik”.
Proceeding II CLLTLC-2, 2016.