surimi_theo rony _13.70.0195_a5
DESCRIPTION
laporan resmi praktikun teknologi hasil laut, sub bab surimi.TRANSCRIPT
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Theo Rony Yuliarto
13.70.0195
Kelompok A5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan patin, garam,
gula pasir, polifosfat, es batu, pisau, kain saring, penggilingan daging, freezer, es batu 2
plastik, kain saring ukuran 30x30 (2 lembar), dan kertas milimeter blok.
1.2. Metode
1
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya
Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram.
Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap rendah.
Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kertas saring.
Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5% (kelompok A3, A4, dan A5)
2
Dilakukan uji pengukuran WHC pada surimi, dimana surimi beku dipipihkan menggunakan alat penekan (presser)
Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).
Dimasukkan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama semalam.
Surimi di-thawing lalu diukur hardness menggunakan texture analyzer
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pengujian WHC dan sensorik pada surimi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengujian WHC dan Sensorik pada Surimi
Kel PerlakuanHardness (gf)
WHC(mg H2O)
SensorisKekenyalan Aroma
A12.5% sukrosa, 2.5% garam, dan 0.1% polifosfat
-337468,35 +++ +++
A22.5% sukrosa, 2.5% garam, dan 0.3% polifosfat
361,64207510,55 ++ ++
A35% sukrosa, 2.5% garam, dan 0.3% polifosfat
271,72246118,14 ++ ++
A45% sukrosa, 2.5% garam, dan 0.5% polifosfat
105,85237573,84 ++ ++
A55% sukrosa, 2.5% garam, dan 0.5% polifosfat
143,7920928,27 ++ ++
Keterangan:Kekenyalan: Aroma:+ : tidak kenyal + : tidak amis++ : kenyal ++ : amis+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis
Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa rata-rata nilai WHC dari sukrosa 2,5% mengalami
kenaikkan pada sukrosa 5% untuk kelompok A2, sedangkan untuk kelompok A1
mengalami penurunan; untuk rata-rata nilai WHC dari polifosfat 0,1% memiliki nilai
paling besar, selanjutnya diikuti dengan polifosfat 0,5% dan polifosfat 0,3% yang paling
rendah; untuk kekenyalan rata-rata memiliki sifat sensorik yang sama pada setiap
perlakuan penambahan polifosfat dan sukrosa, kecuali pada kelompok A1 di mana
tingkat kekenyalannya sangat kenyal; sedangkan aroma yang sangat amis dimiliki
polifosfat 0,1% dan untuk aroma pada polifosfat 0,3% dan 0,5% memiliki aroma amis
yang sama.
4
3. PEMBAHASAN
Menurut Peranginangin et al., (1999) surimi adalah daging hancur yang lumat serta
telah dibersihkan dari bagian-bagian yang tidak digunakan (ekor, tulang, kepala, isi
perut, sirip, dan sisik) dan dicuci berulang kali, sehingga sebagian besar komponen
seperti bau, darah, pigmen dan lemak telah hilang. Jika surimi butuh penyimpanan maka
akan disimpan dalam bentuk beku dengan menambahkan bahan antidenaturasi protein,
yaitu krioprotektan. Menurut Panpipat, W., et al. (2010) banyak ikan dapat digunakan
dalam proses pembuatan surimi tetapi karakterisrik reologi dari gel surimi dipengaruhi
oleh sifat protein miofibrilar, dimana dipengaruhi oleh spesies dan kesegaran ikan,
begitu pula pada parameter proses pembuatan, terutama konsentrasi protein, pH,
kekuatan ionic, dan suhu. Menurut Suzuki (1981) surimi dibagi menjadi dua dilihat dari
kandungan garamnya, yaitu mu-en surimi dimana surimi tanpa menggunakan garam dan
ka-en surimi dimana surimi dengan penambahan garam, selain itu dikenal na-na surimi,
yaitu surimi mentah yang tidak melalui proses pembekuan. Dalam praktikum kali ini
menggunakan surimi jenis ka-en, karena dalam proses pembuatan menggunakan garam
untuk semua kelompok.
Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini, yaitu ikan patin dicuci bersih dengan air
mengalir dan ditimbang beratnya. Lalu daging ikan difillet dengan cara membuang
bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulit. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Peranginangin et al., (1999) yaitu dalam pembuatan surimi menggunakan daging ikan
yang telah hancur dan telah dipisahkan bagian–bagian yang tidak diperlukan dan hanya
diambil daging ikan putihnya.
Kemudian bagian daging putihnya diambil sebanyak 100 gram. Lalu daging ikan
digiling sampai halus, ketika penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga
suhu tetap rendah. Daging ikan dicuci menggunakan air sebanyak tiga kali lalu disaring
menggunakan kain saring. Dilakukannya penggilingan ditujukan agar ikan menjadi
hancur, hal ini merupakan proses pengecilan ukuran. Menurut Arpah (1993)
menyatakan bahwa proses pengecilan ukuran dilakukan untuk memperluas kontak
antara sampel dengan bahan pereaksi yang akan digunakan, sehingga lebih efektif.
5
6
Penggunaan es batu bertujuan untuk tetap menjaga kesegaran ikan dengan
menggunakan suhu rendah. Berdasarkan Atlas (1984) penggunaan suhu rendah akan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang menekan aktivitas enzimatik untuk
melakukan metabolisme yang dibutuhkan untuk reproduksi mikroorganisme.
Selanjutnya ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring menggunakan kain
saring. Dalam proses pembuatan surimi dilakukan proses pencucian yang memiliki
fungsi menurut Nopianti, R., et al. (2011) untuk menghilangkan lemak ikan, bahan
pengotor (seperti darah, pigmen, dan lainnya), protein larut air, sehingga akan
meningkatkan konsentrasi protein miofibrilar dan akan berunjuk pada kemampuan
pembentukan gel dari surimi. Penyaringan menurut Suyitno (1989) perlu dilakukan
untuk dapat memisahkan bahan padatan dengan cairan. Dengan demikian daging ikan
murni akan didapat untuk proses tahap selanjutnya.
Lalu ditambahkan sukrosa, garam, polifosfat. Penambahan sukrosa yang ditambahkan
yaitu sebanyak 5% (kelompok A3, A4, dan A5) dan 2,5% (kelompok A1 dan A2).
Menurut Nopianti, R., et al. (2011) sukrosa termasuk krioprotektan, di mana
krioprotektan penting dalam stabilitas surimi dan berfungsi untuk mereduksi hilangnya
sifat fungsional dari protein myofibril selama penyimpanan beku serta meningkatkan
kemampuan pembentukkan gel. Hal ini didukung oleh teori Alonso, I. S., et al. (2006)
bahwa proses pembekuan surimi serat partikel yang melindungi surimi akan hilang dan
mempengaruhi kekuatan gel dan tingkat kekerasannya. Pada umumnya protein
myofibril pada bahan surimi akan kehilangan sifatnya akibat dibekukan dan akan
mempengaruhi perubahan tekstur, kehilangan gel, dan kemampuan mengikat air dari
ikan. Krioprotektan melindungi protein myofibril selama pembekuan karena
menghambat denaturasi protein myofibril. Kemudian ditambahkan garam sebanyak
2,5%. Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (1990) bahwa ditambahkannya garam dalam
proses pembuatan surimi bertujuan untuk memudahkan penghilangan air dari daging
ikan yang telah dilumatkan, dan juga untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan
sehingga penting dalam pembentukkan gel, selain itu untuk bumbu, penyedap rasa dan
penambah aroma.
7
Selanjutnya ditambahkan pula polifosfat sebanyak 0,5% (untuk kelompok A3, A4 dan
A5), 2,5% (untuk kelompok A1 dan A2). Menurut Nopianti, R., et al. (2011) polifosfat
bagian dari fosfat, dimana fosfat dalam penggunan pada proses pembuatan surimi dapat
digunakan untuk mereduksi viskositas, meningkatkan retensi kelembaban,
meningkatkan kemampuan dari protein untuk menyerap kembali cairan ketika surimi
dithawing atau ditempering. Setelah itu dimasukkan dalam wadah dan difreezing
selama 1 malam. Dalam hal ini dilakukan penyimpanan pada suhu freezing di mana
suhunya lebih rendah daripada refrigerator berguna untuk menjaga kesegaran surimi dan
digunakan pembekuan cepat agar tidak terbentuk kistal es yang akan merusak tekstur
surimi. Hal ini sesuai dengan teori Santana, p., et al. ( 2012) bahwa kesegaran surimi
akan mempengaruhi kualitas surimi, oleh karena itu dibutuhkan penyimpanan di suhu
freezer. Pembekuan juga sering digunakan untuk mengawetkan ikan selama waktu
periode yang dibutuhkan pengolahan surimi kembali dalam industri. Keesokannya
surimi dithawing dengan dimasukkan ke dalam refrigerator dan dengan air mengalir.
Menurut Jeremiah (1996) thawing akan mengembalikan bahan baku ataupun produk
menjadi keadaan yang semula sebelum dilakukan pembekuan, sehingga daging beku
akan menjadi empuk kembali.
Hasil pengamatan surimi dapat dilihat bahwa rata-rata nilai WHC dari sukrosa 2,5%
untuk kelompok A1 mengalami penurunan, sedangkan untuk kelompok A2 mengalami
kenaikkan pada sukrosa 5%; untuk rata-rata nilai WHC dari polifosfat 0,1% memiliki
nilai paling besar, selanjutnya diikuti dengan polifosfat 0,3% pada kelompok A3 dan
polifosfat 0,5% yang paling rendah. Untuk kekenyalan rata-rata memiliki sifat sensorik
yang sama pada setiap perlakuan penambahan polifosfat dan sukrosa, kecuali untuk
kelompok A1 tingkat kekenyalannya yang paling tinggi, yaitu sangat kenyal. Untuk
aroma rata-rata perbandingan sukrosa 2,5% ke 5% aroma amisnya tetap, sedangkan
aroma yang sangat amis dimiliki polifosfat 0,1% dan untuk aroma pada polifosfat 0,3%
dan 0,5% memiliki aroma amis yang sama.
Dapat dilihat dalam pengamatan WHC rata-rata dari penambahan polifosfat 0,1% ke
0,3% mengalami penurunan pada kelompok A1 dan mengalami kenaikan kembali pada
saat kelompok A3, lalu mengalami penurunan kembali pada saat penambahan polifosat
8
0,5%. Hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa semakin banyak polifosfat yang
ditambahkan maka semakin tinggi WHC-nya. Hal ini berpandangan pada teori menurut
Nopianti, R., et al. (2011) bahwa polifosfat bagian dari fosfat, dimana fosfat dalam
penggunan pada proses pembuatan surimi untuk menyerap kembali cairan ketika surimi
dithawing. Hal ini menunjukkan peningkatan kekuatan pembentukkan gel dan kekuatan
gel, karena meningkatkan water holding capacity (WHC). Hal tersebut dapat terjadi
karena terdapat kesalahan dalam pencetakan adonan surimi diatas millimeter block.
Pada hasil pengamatan kekenyalandapat dilihat bahwa menunjukkan dalam penggunaan
sukrosa 2,5% kekenyalan ada yang menunjukkan sangat kenyal seperti pada kelompok
A1, namun tingkat kekenyalannya sama dari kelompok A2 sampai A5 yaitu kenyal
perlakuan sukrosa 5%. Hal ini tidak sesuai dengan teori Nopianti, R., et al. (2011) yang
bahwa krioprotektan berfungsi untuk mereduksi hilangnya sifat fungsional dari protein
myofibril selama penyimpanan beku, sehingga meningkatkan kemampuan
pembentukkan gel. Hal ini terjadi dikarenakan krioprotektan melindungi protein
myofibril selama pembekuan sehingga menghambat denaturasi protein myofibril. Hal
ini terjadi disebabkan oleh kesalahan dalam pengujian sensorik panelis, di mana panelis
sulit membedakan kekenyalan dengan tekstur yang lunak. Maka dapat disimpulkan
bahwa semakin banyak sukrosa sebagai krioprotektan ditambahkan maka semakin
tinggi tingkat kekenyalan surimi yang terbentuk. Perbedaan hasil pengamatan dengan
teori yang ada terjadi disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi derajat
denaturasi protein lainnya seperti pendapat Nopianti, R., et al. (2013), yaitu perlakuan
pendahuluan sebelum dibekukan, derajat proses autolitik sebelum dibekukan, kecepatan
pembekuan, suhu pembekuan, temperatur penyimpanan, dan waktu, serta proses
thawing dan kondisi thawing.
Dalam pengamatan sensorik pada aroma menunjukkan aroma yang amis pada semua
kelompok, kecuali pada kelompok A1 yang menunjukkan aroma yang sangat amis.
Tingkat aroma amis surimi seharusnya berkurang dibandingkan dengan bahan baku ikan
patin awal. Hal tersebut terjadi karena dalam proses pembuatan surimi melalui proses
pencucian, seperti teori menurut Nopianti, R., et al. (2011) bahwa pencucian dilakukan
untuk menghilangkan bahan pengotor salah satunya yaitu darah yang akan
9
menyebabkan bau amis. Hal lain juga karena adanya penambahan garam yang akan
menghilangkan bau amis. Dimana menurut Ditjen Perikanan Tangkap (1990) garam
dalam proses pembuatan surimi sebagai bumbu, penyedap rasa dan penambah aroma.
Hasil yang berbeda pada kelompok A1 yang menghasilkan bau yang sangat amis,
dikarenakan oleh proses pencucian yang kurang bersih, sehingga bahan pengotor yang
menyebabkan bau amis masih tertinggal. Hal lain yang mendasari terjadi bau yang
sangat amis disebabkan pengambilan daging ikan patin dalam pembuatan surimi
menggunakan bagian daging merahnya yang dekat dengan bagian pencernaan tubuh
ikan, juga menurut Winarno (1993) bahwa daging ikan tongkol terdiri dari daging putih
dan daging merah. Untuk hasil pengamatan hardness, hasil tertinggi diperoleh
kelompok A2 dengan sukrosa 2,5% sebesar 361,64 gf, sedangkan untuk hasil hardness
terendah pada kelompok A4 dengan sukrosa 5% sebesar 105,85 gf. Pada kelompok A1
nilai hardnessnya tidak terdeteksi, hal ini dapat terjadi karena surimi yang dihasilkan
terlalu lunak. Terlalu lunaknya surimi yang diuji menggunakan texture analyzer dapat
disebabkan oleh kesalahan dalam jumlah kadar penambahan sukrosa, garam, dan juga
polifosfat. Kesalahan dalam penambahan kadar tersebut dapat menimbulkan perbedaan
tingkat hardness pada surimi yang dihasilkan.
Menurut Haryati (2001), terdapat beberapa hal yang dapat menentukan kualitas surimi,
yaitu daya ikat air (water holding capacity), emulsifikasi dan pembentukan gel.
Pembentukan gel sangat mempengaruhi kualitas dari surimi, maka untuk meningkatkan
kualitas surimi dapat ditambahkan agen pereduksi (Benjakul et al, 2005). Kemampuan
pembentukan gel dan tekstur pada produk ikan giling juga pada umumnya akan
menurun pada proses pembekuan. Hal ini dapat dicegah dengan menambahkan agen
pereduksi pada produk ikan giling tersebut yang akan meningkatkan kekuatan gel. Agen
pereduksi, seperti sistein sangat efektif untuk memulihkan protein yang sudah
terdenaturasi yang disebabkan oleh proses pembekuan.
Menurut Dey & Dora (2011), chitosan dapat digunakan untuk menggantikan sukrosa
maupun sorbitol sebagai bahan krioprotektan tanpa memberikan efek merugikan lain,
selain itu dapat meningkatkan kekuatan gel pada surimi. Menurut Hajidoun & Jafarpour
(2013), chitosan merupakan biopolimer yang dihasilkan melalui proses deasetilasi kitin.
10
Konsentrasi penambahan chitosan ini berpengaruh terhadap karakteristik surimi yang
dihasilkan.
Jurnal yang berjudul “Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical
Properties of Duck Feet Colllagen and Its Application in Surimi” membahas mengenai
hasil penelitian yang menunjukkan kolagen pada kaki bebek dengan menggunakan
larutan 1-butanol (BDFC) memiliki kandungan lemak terendah daripada dua perlakuan
yang lainnya yang menggunakan metanol (MDFC) dan etanol (EDFC). Kolagen kaki
bebek dengan kandungan lemak terendah (BDFC) menunjukkan peningkatan yang baik
dalam hal meminimalisasi terjadinya cooking lost ketika ada penambahan tingkat
kekerasan pada surimi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa metode BDFC dapat
bekerja lebih baik daripada MDFC dan EDFC dengan protein myofibrillar. Kualitas
hasil olahan surimi akan berubah dari kualitas rendah menuju kualitas tinggi dengan
adanya penambahan kolagen kaki bebek.
Jurnal yang berjudul “Effect of Different Dryoprotectants on Functional Properties of
Threadfin Bream Surimi Powder” membahasa tentang hasil sebuah penelitian mengenai
efek dari lima dryoprotectant yang berbeda-beda (sukrosa, sorbitol, polidekstrosa,
palatinosa, dan trehalosa untuk melindungi protein bubuk surimi pada saat proses
pengeringan. Threadfin bream pada serbuk surimi diberi perlakuan lima dryoprotectant
yang berbeda dan tanpa diberi dryoprotectant dengan menggunakan metode proses
pengeringan (oven) pada suhu 60˚C-65˚C. Serbuk surimi mengandung 74,8-75,34%
protein yang lebih rendah dari perlakuan kontrol (88,6%). Pada kenyataannya,
kandungan karbohidrat pada serbuk surimi sekitar 13,06%-14,83% yang lebih tinggi
daripada perlakuan kontrol yaitu sekitar 0,01%. Serbuk surimi memiliki kemampuan
emulsifikasi yang baik, pemberi efek pembusaan, dan laruta protein dalam 3%
kandungan NaCl jika dibandingkan dengan kontrol. Namun demikian, tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kapasitas penampung air dalam sampel dan perlakuan
kontrol. Jadi, hasil penelitian menujukkan bahwa penambahan trehalosa menghasilkan
efek dryoprotective yang paling baik, kemudian diikuti palatinosa, sukrosa,
polidekstrosa, dan sorbitol.
11
Jurnal yang berjudul “Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel
Properties of Surimi from Sardine (Sardinella albella)” membahas mengenai proteolisis
dari sarden surimi mengakibatkan protease teraktivasi dan menghambat penambahan
BGPI atau BBPI atau MBPI pada tingkat penambahan sebesar 1,5%. Namun demikian,
penambahan BGPI atau BBPI atau MBPI menyebabkan penurunan kecerahan. Maka
dari itu, BGPI atau BBPI atau MBPI pada tingkat yang normal dapat menjadi alternatif
mutu makanan serta sebagai penghambat protease untuk meningkatkan kandungan gel
pada surimi.
Jurnal yang berjudul “Recovery and characterization of proteins precipitated from
surimi wash-water” membahas tentang pada saat kondisi esktraksi, terhadap perubahan
pH dan penambahan konsentrasi pelarut organik, dapat meningkatkan presipitasi protein
dari air pencucian surimi. Dapat diharapkan karakter protein diperbarui, kecuali yang
terbuang, akan digunakan pada saat penstabilan emulsi ikan, pembuihan, dan produksi
edible film yang dapat digunakan untuk keperluan industri.
Jurnal yang berjudul “Surimi-like Material from Poultry Meat and its Potential as a
Surimi Replacer” membahas mengenai pengembangan tekonologi surimi pada proses
daging ternak dapat memicu peningkatan nilai serta kegunaannya. Teknologi surimi
adalah metode yang efektif untuk membuang lemak, jaringan yang terkoneksi, pigmen,
komponen flavor, dan protein terlarut. Peningkatan kualitas hasil olahan surimi dapat
diadaptasi dari proses inovasi pada proses pengolahan surimi ikan. Penelitian
menunjukkan cryoprotectans memiliki efek yang tampakpada pengawetan miofibrillar
protein. Sebagai protein dari daging hewan berkualitas, seperti lemak yang rendah dan
asam lemak jenuh kandungannya terdapat pada daging merah, terdapat potensi atau
kemungkinan daging hasil ternak dapat menjadi pengganti surimi. Namun demikian,
hasil penelitian tentang surimi berbahan dasar bukan dari ayam, masih belum jelas
mengenai pengganti surimi.
4. KESIMPULAN
Protein miofibrilar adalah bagian yang terpenting dalam pembuatan surimi
karena sangat berperan dalam pembentukan gel.
Pembuatan surimi menggunakan daging ikan yang telah hancur dan telah
dipisahkan bagian–bagian yang tidak diperlukan.
Penggunaan suhu rendah untuk mempertahankan kesegaran ikan.
Proses pencucian dilakukan dengan suhu rendah untuk menghilangkan lemak
ikan dan bahan pengotor lainnya.
Polifosfat bagian dari fosfat yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan
pembentukkan gel dan kekuatan gel.
Semakin banyak polifosfat maka kemampuan mengikat air akan semakin tinggi.
Semakin banyak sukrosa maka kekenyalan akan semakin meningkat.
Sifat kenyal dari surimi ini dipengaruhi oleh pembentukkan gel suri.
Penggunaan ikan tongkol dalam pembuatan surmi lebih baik menggunakan
daging putihnya.
Semarang, 19 September 2015
Praktikan, Asisten dosen,
- Yusdhika Bayu S.
Theo Rony Yuliarto
13.70.0195
12
5. DAFTAR PUSTAKA
[Ditjen Perikanan] Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.
Alonso, I. S., et al. 2006. Effect of Wheat Fibre in Frozen Stored Fish Muscular Gels. J. Food Sci Technol., 223: 571-576.
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Atlas, R.M. (1984). Microbiology : Fundamentals And Application. Collier MacMillan Publishing Company. New York.
Bourtoom, T., et al. 2009. Recovery and characterization of proteins precipitated from surimi wash-water. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Huda, N., et al. 2012. Effects of Different Dryoprotectants on Functional Properties of Threadfin Bream Surimi Powder. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Ismail, Ishamri, et al. 2011. Surimi-like Material from Poultry Meat and its Potential as a Surimi Replacer. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Jeremiah, L.E. 1996. Freezing Effects on Food Quality. Marcel Dekker, Inc. New York.
Kudre, Tanaji, Soottawat Benjakul. 2013. Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel Properties of Surimi from Sardine (Sardinella albella). Diakses pada tanggal 19 September 2015.
Nopianti, R., et al. 2011. Loss of the function properties of Protein during Frozen Storage and the Improvement of Gel-Foaming Properties of Surimi. J. Food Sci Technol., 6 (1): 19-30.
Nopianti, R., et al. 2013. Effect of polydextrose on Physicochemical Properties of Threadfin Bream (Nemipterus spp) Surimi during Frozen Storage. J. Food Sci Technol., 50(4): 739–746.
Panpipat, W., et al. 2010. Gel Properties of Croaker–Mackerel Surimi Blend. J. Food Chem., 122: 1122–1128.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.
13
14
Santana, p., et al. 2012. Technology for Production of Surimi Powder and Potential of Applications. J. Food Technol., 19(4): 1313-1323.
Suyitno.(1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publishers Ltd.
Winarno FG. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yiin, Tan Ai, et al. 2014. Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical Properties of Duck Feet Colagen and Its Application in Surimi. Diakses pada tanggal 19 September 2015.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan WHC
Rumus Perhitungan WHC (mg H2O)
Luas atas = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)
Luas bawah = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)
Luas Area Basah = LA - LB
mg H2O =
Kelompok A1
a = 60 mm h1 atas = 185 mm h1 bawah = 35 mm
ho = 99 mm h2 atas = 200 mm h2 bawah = 16 mm
hn = 120 mm h3 atas = 182 mm h3 bawah = 24 mm
Luas atas = x 60 (99 + 4(185) + 2(200) + 4(182) + 120)
= 20 (99 + 740 + 400 + 728 + 120)
= 41.740 mm2
Luas bawah = x 60 (99 + 4(35) + 2(16) + 4(24) + 120)
= 20 (99 + 140 + 32 + 96 +120)
= 9.740 mm2
Luas Area Basah = 41.740 – 9,740
= 32.000 mm2
15
16
Kelompok A2
a = 40 mm h1 atas = 172 mm h1 bawah = 19 mm
ho = 79 mm h2 atas = 176 mm h2 bawah = 8 mm
hn = 107 mm h3 atas = 148 mm h3 bawah = 16 mm
Luas atas = x 40 (79 + 4(172) + 2(176) + 4(148) + 107)
= (79 + 688 + 352 + 592 + 107)
= 24.240 mm2
Luas bawah = x 40 (79 + 4(19) + 2(8) + 4(16) + 107)
= (79 + 76 + 16 + 64 +107)
= 4.560 mm2
Luas Area Basah = 24.240 – 4.560
= 19.680 mm2
mg H2O = = 207.510,55 mg
Kelompok A3
a = 45 mm h1 atas = 173 mm h1 bawah = 24 mm ho = 87 mm h2 atas = 192 mm h2 bawah = 10 mmhn = 60 mm h3 atas = 172 mm h3 bawah = 23 mm
Luas atas = x 45 (87 + 4(173) + 2(192) + 4(172) + 60)
= 15 (87 + 692 + 384 + 688 + 60)
17
= 28.665 mm2
Luas bawah = x 45 (87 + 4(24) + 2(10) + 4(23) + 60)
= 15 (87 + 96 + 20 + 92 +60)
= 5.325 mm2
Luas Area Basah = 28.665 – 5.325
= 23.340 mm2
mg H2O = = 246.118,14 mg
Kelompok A4
a = 45 mm h1 atas = 161 mm h1 bawah = 14 mm
ho = 75 mm h2 atas = 178 mm h2 bawah = 7 mm
hn = 90 mm h3 atas = 153 mm h3 bawah = 10 mm
Luas atas = x 45 (75 + 4(161) + 2(178) + 4(153) + 90)
= 15 (75 + 644 + 356 + 612 + 90)
= 26.655 mm2
Luas bawah = x 45 (75 + 4(14) + 2(7) + 4(10) + 90)
= 15 (75 + 56 + 14 + 40 + 90)
= 4.125 mm2
Luas Area Basah = 26.655 – 4.125
= 22.530 mm2
mg H2O = = 237.573,84 mg
17
Kelompok A5
a = 40 mm h1 atas = 154 mm h1 bawah = 33 mm
ho = 75 mm h2 atas = 196 mm h2 bawah = 3 mm
hn = 99 mm h3 atas = 169 mm h3 bawah = 13 mm
Luas atas = x 40 (75 + 4(154) + 2(196) + 4(169) + 99)
= (75 + 616 + 392 + 676 + 99)
= 24.773,33 mm2
Luas bawah = x 40 (75 + 4(33) + 2(3) + 4(13) + 99)
= (75 + 132 + 6 + 52 + 99)
= 4.853,33 mm2
Luas Area Basah = 24.773,33 – 4.853,33
= 19.920 mm2
mg H2O = = 210.042,19 mg
6.2. Diagram Alir
6.3. Laporan Sementara