studi parameter fisika perairan bagi peruntukan …
TRANSCRIPT
i
STUDI PARAMETER FISIKA PERAIRAN
BAGI PERUNTUKAN BUDIDAYA IKAN
(Kasus Waduk Bilibili, Kabupaten Gowa)
SKRIPSI
AKBAR SYAIFULLAH
105940045910
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
ii
STUDI PARAMETER FISIKA PERAIRAN BAGI PERUNTUKAN
BUDIDAYA IKAN
(Kasus Waduk Bilibili Zona III, Kabupaten Gowa)
AKBAR SYAIFULLAH
1059400 459 10
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi
Budidaya Perairan
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2014
iii
iv
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini :
NAMA : AKBAR SYAIFULLAH
NIM :105 9400 459 10
Program Studi : Budidaya Perairan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, September 2014
AKBAR SYAIFULLAH
vi
ABSTRAK
AKBAR SYAIFULLAH. 1059400 459 10. Studi Paramter Fisika Perairan
bagi peruntukan Budidaya Ikan (Studi Kasus Waduk Bilibili, Kabupaten Gowa).
Dibimbing oleh ABDUL HARIS sebagai pembimbing utama dan MURNI
ssebagai anggota.
Lokasi penelitian terletak di wilayah perairan tergenang (Waduk Bilibili)
Desa Bilibili Kecamatan Bontorannu Kabupaten Gowa Pada bulan Mei – Juni
2014. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling)
dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat yang potensial
untuk dilakukan kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter fisika air untuk budidaya
keramba jaring apung di Waduk Bilibili. Pengukuran parameter fisika yang
dilakukan di waduk Bilibili diantaranya adalah suhu, kecerahan, kekeruhan,
kedalaman dan kecepatan arus.
Hasil peneletian menunjukkan parameter fisika perairan yaitu suhu berkisar
antara 29 - 310C yang menunjukkan kisaran suhu pada waduk Bilibili masih
sangat layak bagi peruntukan budidaya ikan, kecerahan yaitu antara 29,1% -
39,7% merupakan kondisi kecerahan yang baik bagi kultivan budidaya seperti
ikan dan udang, kekeruhan yang mempunya nilai di atas batas optimum yaitu
34,3NTU - 58,5NTU sehingga kurang layak bagi peruntukan budidaya ikan,
kedalaman pada stasiun II masih layak bagi peruntukan budidaya dan kecepatan
arus pada stasiun III juga masih layak bagi peruntukan budidaya.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan inayah - Nyalah,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi salah satu
syarat akademik. Taklupa pula salam dan salawat kepada Nabi besar Rassulullah
Muhammad SAW, Nabi yang telah membawa umatnya dari alam yang penuh
kebodohan menuju alam yang cerdas dan berfikir seperti sekarang ini. Penulis
bersyukur dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak dapat terselesaikan
tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Orang Tua yang senantiasa mendukung dan mendoakan kelancaran pembuatan
proposal penelitian ini, baik itu dukungan dalam bentuk semangat maupun
dalam bentuk materi.
2. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, yang telah banyak memberikan
bantuan langsung maupun tidak langsung selama penulis melakukan penelitian
dari awal hingga selesainya skripsi ini.
3. Dekan Fakultas Pertanian, beserta seluruh staf dosen dan pegawai, yang telah
banyak memberikan bantuan langsung maupun tidak langsung selama penulis
melakukan penelitian dari awal hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Murni, S.Pi.,M.Si. selaku ketua Program Studi Budidaya Perairan sekaligus
sebagai pembimbing dua pada pembuatan skripsi ini.
viii
5. Bapak Dr. Abdul Haris, S.Pi.,M.Si. selaku pembimbing utama pada pembuatan
skripsi ini.
6. Serta teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian pembuatan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna maka
penulis membutuhkan kritik dan sarannya agar dapat menjadi acuan dalam
perbaikan skripsi ini.
Makassar, September 2014
Akbar Syaifullah
ix
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
PENGESAHAN KOMISI PENGUJI iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keramba Jaring Apung 4
2.2 Ekosistem Waduk 5
2.3 Struktur Fisik Waduk 5
2.4 Parameter Fisika Perairan 7
2.3.1 Suhu 8
2.3.2 Kecerahan 10
2.3.3 Kekeruhan 11
2.3.4 Kedalaman 12
2.3.5 Kecepatan Arus 13
x
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat 15
3.2 Alat dan Bahan 16
3.3 Prosedur Penelitian 16
3.3.1 Persiapan 16
3.3.2 Penentuan Stasiun 16
3.3.3 Pengukuran 17
3.4 Peubah yang Diamti 20
3.5 Analisis Data 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum 21
4.2 Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air 21
4.2.1 Suhu air 21
4.2.2 Kecerahan 25
4.2.3 Kekeruhan 28
4.2.4 Kedalaman 31
4.2.5 Kecepatan Arus 34
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 37
5.2 Saran 37
DAFTAR PUSTAKA 38
LAMPIRAN 41
xi
Daftar Tabel
No. Halaman
1. Kisaran Parameter Suhu Air Optimum 10
2. Kisaran Parameter Kecerahan Air Optimum 11
3. Kisaran Parameter Kekeruhan Optimum 12
4. Kisaran Parameter Kedalaman Optimum 13
5. Klasifikasi Kecepatan Arus di Perairan 14
6. Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian 16
7. Pengukuran Parameter Fisika 17
8. Nilai rata-rata hasil pengukuran suhu air stasiun I, II dan III 22
9. Nilai rata-rata hasil pengukuran kecerahan air stasiun I, II dan III 25
10. Nilai rata-rata hasil pengukuran kekeruhan air pada stasiun I, II dan III 28
11. Nilai rata-rata hasil pengukuran kedalaman pada stasiun I, II dan III 31
12. Nilai rata-rata hasil pengukuran kecepatan arus pada stasiun I, II dan III 34
xii
Daftar Gambar
No. Halaman
1. Peta Peta Sulawesi Selatan 15
2. Stasiun Pengambilan Sampel Air 17
3. Nilai rata-rata Suhu setiap stasiun 22
4. Nilai rata-rata Kecerahan setiap stasiun 26
5. Nilai rata-rata Kekeruhan setiap stasiun 29
6. Nilai rata-rata Kedalaman setiap stasiun 32
7. Nilai rata-rata Kecepatan Arus setiap stasiun 35
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Waduk merupakan salah satu contoh perairan tawar buatan yang dibuat
dengan cara membendung sungai tertentu dengan berbagai tujuan yaitu sebagai
pencegah banjir, pembangkit tenaga listrik, pensuplai air bagi kebutuhan irigasi
pertanian, untuk kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya
karamba, dan bahkan untuk kegiatan pariwisata. (Nastiti 2001). Waduk juga
mempunyai fungsi ekonomi yang sangat tinggi. Salah satu fungsi waduk yaitu
perikanan, baik budidaya maupun perairan tangkap. Jika dikelola dengan benar,
waduk dapat mendatangkan keuntungan yang cukup besar. Apalagi perikanan air
tawar di Indonesia dicirikan oleh kekayaan spesies dan tingkat endemisme yang
tinggi (Wulandari 2006).
Waduk Bili-Bili yang merupakan salah satu waduk terbesar di Propinsi
Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang. Memiliki luas
tangkapan air sebesar 384,4 km2 (38.440 Ha) dengan luas genangan 18,5 km2 dan
kedalaman efektif 36,6 m (JRBDP, 2004). Potensi perikanan di waduk Bilibili
cukup besar, dimana memiliki sumberdaya alam yang sangat mendukung untuk
pengembangan ikan budidaya. Namun diantara potensi yang terdapat di waduk
Bilibili masih banyak kendala bagi masyarakat pembudidaya untuk bisa
memanfaatkan potensi perairan tersebut, kendala yang bisa kita lihat diantaranya
yaitu adanya kegiatan penambangan pasir dan batuan juga dampak dari longsoran
dinding kaldera pada tahun 2004 di DAS Jeneberang yang mengakibatkan
2
meningkatnya sedimen dari tahun ketahun dan terjadi pendangkalan di dasar
waduk Bilibili (LPM UNHAS, 2004).
Melimpahnya sampah di dalam air disebabkan oleh kegiatan masyarakat
yang tinggal disekitar lingkungan waduk Bilibili. Jika hal ini terus berulang maka
akan berdampak terhadap kualitas air termasuk kualitas fisika air yang meliputi
suhu, kedalaman, kecerahan, kekeruhan dan kecepatan arus. sehingga
menimbulkan permasalahan yang menyebabkan phytoplankton kurang mampu
berfotosintesis akibat dari tingginya kekeruhan yang terjadi, sehingga ikan yang
dibudidaya tidak mendapat cukup energi, kemudian akibat dari tingginya sedimen
yang masuk ke waduk Bilibili mengakibatkan kurangya kecerahan/intensitas
cahaya yang masuk pada perairan waduk dan menyebabkan suhu menjadi tidak
optimal, sehingga mempengaruhi kegiatan fisiologi biota air dan menyebabkan
produktifitas pembudidaya ikan tidak maksimal.
Permasalahan seperti ini dapat diatasi dengan memperhatikan kondisi dari
kualitas perairan. Seperti mengatur suhu yang cocok bagi pertumbuhan ikan
budidaya dan memilih lokasi yang strategis dimana pada lokasi itu cukup banyak
cayaha yang masuk keperairan agar pyhtoplankton dapat berfotosintesis dangan
baik dan energi yang dibutuhkan oleh ikan budidaya juga cukup baik. Karena
untuk tumbuh optimal, biota budidaya membutuhkan lingkungan hidup yang
optimal pula. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran kualitas air khususnya
parameter fisika air agar dapat diketahui sejauh mana daya dukung kualitas air
untuk kegiatan budidaya ikan dan juga untuk peruntukan keramba jaring apung
saat ini di waduk Bilibili.
3
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur parameter fisika perairan bagi
peruntukan budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) di
Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Sedangkan kegunaan dari penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang data kualitas fisika air pada
perairan waduk Bilibili dan sebagai referensi bagi masyarakat pembudidaya ikan
serta dapat menjadi rujukan bagi peneliti berikutnya.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keramba Jaring Apung
Keramba jaring apung merupakan salah satu jenis usaha keramba yang
banyak diusahakan oleh pembudidaya ikan maupun udang. Jika ditijau dari segi
ketersediaan sumberdaya perairan, profitabilitas usaha dan pasar, terutama pasar
ekspor, usaha keramba jaring apung mempunyai prospek untuk dikembangkan
dan merupakan lapangan pekerjaan yang penting bagi masyarakat di sekitarnya.
Ada indikasi bahwa keramba jaring apung bersifat terintegrasi mulai dari
penyediaan benih, usaha pembesaran ikan hingga pemasaran mempunyai
profitabilitas yang lebih tinggi (Manurung, 1997)
Keramba jaring apung merupakan bentuk atau sistem kurungan yang banyak
sekali dipakai, bentuk serta ukurannya bervariasi sesuai dengan tujuan
penggunaannya, (beveridge 1987, Christensen, 1989) dikarenakan sistem keramba
ini memiliki nilai yang ekonomis (murah) dan merupakan cara yang sangat baik
untuk menyimpan berbagai organisme air, maka banyak kegunaannya yaitu :
a. Sebagai sarana penyimpanan sementara
b. Sebagai tempat pemeliharan dan pembesaran ikan konsumsi
c. Tempat penyimpanan dan transportasi ikan umpan
d. Wadah organisme air untuk memonitor kualitas lingkungan
e. Sarana pemeliharaan untuk tujuan “Re-stocking” (Ahmad et.al, 1991)
Budidaya ikan dengan sistem KJA di waduk, termasuk salah satu sistem
produksi perikanan budidaya perairan tawar yang terus berkembang karena
terdapat sejumlah kemudahan dibandingkan dengan sistem budidaya lainnya.
5
Menurut (Beveridge, 2004) keuntungan budidaya ikan dalam KJA yaitu
konstruksinya yang sederhana dan mudah dibuat, mudah dikelola, ikan yang
ditebar mudah dipantau, proses pemanenan tidak sulit dan dapat dengan mudah
menambah jumlah unit keramba pada saat ingin mengembangkannya.
2.2 Ekosistem Waduk
Waduk merupakan salah satu perairan umum yang merupakan perairan
buatan, dibuat dengan cara membendung badan sungai tertentu (Wiadnya, 1994).
Ekosistem perairan waduk terdiri dari komponen biotik seperti ikan, plankton,
macrophyta, benthos dan sebagainya yang berhubungan timbal balik dengan
komponen abiotik seperti tanah, air dan sebagainya. Berdasarkan sifat fisik, kimia
dan biologinya waduk dibagi menjadi tiga zona yaitu zonamengalir (riverin),
transisi dan tergenang (lakustrin) (Thornton et al., 1981 dalam Thornton et
al.,1990).
2.3 Struktur Fisik Waduk
Karakter fisik suatu waduk umumnya dinyatakan oleh panjang, kedalaman,
luas permukaan dan volume dari waduk (perdana, 2006). Waduk dirincikan
dengan arus yang sangat lambat (0,001-0,01 m/detik) atau tidak ada arus sama
sekali. Arus air waduk dapat bergerak keberbagai arah. Perairan danau atau waduk
biasanya memiliki stratifikasi kualitas air secara vertikal. Strativikasi ini terjadi
akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu pada kolom air yang
terjadi secara vertikal. Strativikasi ini tergantung pada kedalaman dan musim
(Efendi, 2003).
6
Zonase perairan tergenang dibagi menjadi dua, yaitu zonase bentos dan
zonase kolom air. Zonase bentos disebut juga zonase dasar, terdiri atas supra-
litoral, litoral, sub-litoran, dan profundal. Zonase kolom air atau open water zone
terdiri atas zonase limnetik, tropogenik, kompensasi, dan tropolitik (Efendi, 2003)
Berdasarkan kedalamannya, waduk dibedakan menjadi waduk dangkal
dengan kedalaman kurang dari 7 meter, waduk sedang dan waduk dalam.
Sedangkan berdasarkan waktu detensi hidrolisnya waduk dibedakan menjadi
waduk dengan waktu detensi hidrolis singkat yaitu kurang dari 1 tahun dan waduk
dengan waktu detensi hidrolis panjang yaitu lebih dari 1 tahun (Perdana, 2006)
Unsur-unsur struktur waduk yang melibatkan pergerakan air dan distribusi
panas sering kali digunakan untuk mendeskripsikan kondisi-kondisi offshore
waduk. Apabila ditinjau dari struktur dalam cekungan waduk, ada dua zona
kedalaman yang umum disebutkan, yaitu zona litoral dan pelagik. Zona litoral
membentang dari tepian tepat di atas pengaruh gelombang sampai kedalaman
dimana cahaya nyaris tidak cukup bagi tumbuhan berakar. Pada waduk yang
dalam, area di luar pengaruh tepian atau dasar disebut sebagai zona limnetik atau
pelagik. Organisme yang menghuni zona tersebut harus beradaptasi untuk
berenang, suspensi atau mengambang. Massa airnya memiliki suhu struktur
vertikal khas yang tidak bergantung pada bentuk basin (cekungan) waduk
(Wulandari, 2006)
Bagian waduk yang jauh dari tepian secara garis besar dibagi menjadi dua
berdasarkan tingkat cahaya. Bagian yang memperoleh cukup cahaya dan biasanya
airnya tercampur dengan baik disebut zona fotik atau eufotik. Zona tersebut
7
membentang dari permukaan waduk sampai kedalaman cahaya kira-kira 1% dari
yang terdapat di permukaan. Sementara zona afotik membentang di bawah litorsal
dan fotik sampai ke dasar waduk. Cahaya di zona tersebut terlalu sedikit bagi
fotosintesis. Akan tetapi, respirasi terjadi pada semua kedalaman, sehingga zona
afotik merupakan daerah konsumsi oksigen (Wulandari, 2006)
Pada daerah-daerah bersuhu sedang, dapat diutumakan tiga zona vertikal
waduk ketika terjadi stratifikasi termal. Air bagian atas yang lebih hangat dan
bersirkulasi disebut epilimnion, bagian tengah dimana terjadi laju perubahan suhu
paling besar seturut kedalaman (termoklin) adalah metalimnion; dan bagian dalam
yang dingin dan sedikit sirkulasinya disebut hipolimnion (Wulandari, 2006).
Sifat waduk tergantung dari perbedaan fluktuasi aliran masuk dan aliran
keluar, dimana rasio antara volume waduk terhadap alirannya akan memberikan
waktu detensi hidraulik, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan
waduk atau waduk tersebut apabila input ke waduk atau waduk dihentikan.
Apabila aliran keluar berlangsung lambat maka waktu detensi makin besar
sehingga percampuran banyak terjadi di dalam waduk, maka waduk cenderung
bersifat homogen. Sebaliknya, jika waktu detensinya singkat maka percampuran
yang terjadi sedikit sehingga sifat waduk cenderung heterogen (Perdana, 2006).
2.4 Parameter Fisika Perairan
Adapun parameter fisika yang diukur dalam penelitian pada waduk Bilibili
ini diantaranya: 1). Suhu, 2) kecerahan, 3) kekeruhan, 4) kedalaman, 5) kecepatan
arus.
8
Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik,
dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melaluivisual,
penciuman, peraba dan perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan
air dapat diketahui secara visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya
perubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air,
selanjutnya rasa tawar, asin dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah
(inderaperasa). Hasil indikasi dari panca indera ini hanya dapat dijadikan indikasi
awal karena bersifat subyektif, bila diperlukan untuk menentukan kondisi tertentu,
misal kualitas air tersebut telah menurun atau tidak harus dilakukan analisis
pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis yang telah ditentukan.
2.3.1 Suhu
Suhu air mempunyai pengaruh yang nyata terhadap proses pertukaran atau
metabolisme makhluk hidup. Selain mempengaruhi proses pertukaran zat, suhu
juga berpengaruh terhadap kadar oksigen yang terlarut dalam air, juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan nafsu makan ikan. Dalam berbagai hal
suhu berfungsi sebagai syarat rangsangan alam yang menentukan beberapa proses
seperti migrasi, bertelur, metabolisme, dan lain sebagainya. Diperairan lokasi
budidaya ikan sistem karamba mempunyai kisaran suhu antara 27 - 30°C. Ikan
dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 - 32°C, tetapi dengan perubahan
suhu yang mendadak dapat membuat ikan stress.
Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan
awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh
9
terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Peningkatan suhu udara
disekitar perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi
dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan
kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2,CH4 dan sebagainya
(Effendi 2003).
Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat
organisme akuatik, karena itu setiap organisme akuatik mempunyai batas kisaran
maksimum dan minimum (Efendi, 2003). Ikan merupakan hewan poikiloterm,
dimana suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan (Brotowidjoyo
et al,1995), oleh sebab itu semua proses fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu
lingkungan (Hoar et al, 1979). Suhu perairan berpengaruh terhadap respon
tingkah laku ikan (Bal and Rao, 1984), proses metabolisme, reproduksi (Hutabarat
dan Evans, 1985 ;Efendi, 2003), ekskresi amonia (Wheathon et al, 1994) dan
resistensi terhadap penyakit (Nabib dan Pasaribu, 1989).
Boyd dan Lichtkoppler (1982) menyatakan bahwa suhu yang optimal bagi
pertumbuhan ikan tropis berkisar antara 25°C - 32ºC. Semakin tinggi suhu
semakin cepat perairan mengalami kejenuhan akan oksigen yang mendorong
terjadinya difusi oksigen dari air ke udara, sehingga konsentrasi oksigen terlarut
dalam perairan semakin menurun. Sejalan dengan itu, konsumsi oksigen pada ikan
menurun dan berakibat menurunnya metabolisme dan kebutuhan energi.
Peningkatan suhu perairan sebesar 10ºC, menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.
10
Perubahan suhu juga berakibat pada peningkatan dekomposisi bahan-bahan
organik oleh mikroba (Effendi, 2003).
Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air,
memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan
menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan (Brown dan
Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar
antara 350C–40
0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme yang dapat
menyebabkan kematian.
Tabel 1. Kisaran Parameter Suhu Air Optimum dari Berbagai Rujukan
Parameter
Kualitas Air
Kisaran Optimum Referensi
Suhu 23ºC - 32ºC Barus, 2002
25ºC - 32ºC Boyd dan Lichtkoppler 1982
28ºC - 32ºC PP. NO 82 Tahun 2001
28ºC - 32ºC Kepmen LH, 2004
28ºC - 32ºC Pergub DI Yogyakarta, 2010
2.3.2 Kecerahan
Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air dan
dinyatakan dengan persen (%), dari beberapa panjang gelombang di daerah
spektrum yang terlibat cahaya yang melalui lapisan sekitar satu meter, jatuh agak
lurus pada permukaan air. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai
ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan suatu perairan. Dengan mengetahui
nilai kecerahan suatu perairan, berarti dapat mengetahui pula sampai dimana
masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam perairan. Semua plankton
jadi berbahaya kalau nilai kecerahan suatu perairan kurang dari 25 cm kedalaman
piringan secchi. Kecerahan yang baik bagi usaha budidaya ikan dan biota lainnya
11
berkisar 30 – 40 cm. Bila kecerahan sudah mencapai kedalaman kurang dari 25
cm, berarti akan terjadi penurunan oksigen terlarut secara dratis (Kordi dan
Tancung, 2005).
Semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin
tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi semakin rendah, karena
meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Kedalaman suatu perairan akan
membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).
Tabel 2. Kisaran Parameter Kecerahan Air Optimum dari Berbagai
Rujukan
Parameter
Kualitas Air
Kisaran Optimum Referensi
Kecerahan 20-40 cm Chakroff,1976
30-65 cm Boyd dan Lichkoppler 1979
30-65 cm Suwondo, 2005
2.3.3 Kekeruhan
Kekeruhan diartikan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang
disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya
disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur,
bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan
perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya
cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air.
Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti waduk lebih banyak
disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus.
Kekeruhan digunakan untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air yang
12
disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari yang masuk ke badan perairan, sehingga dapat
menghalangi proses fotosintesis dan produksi primer perairan. Kekeruhan
biasanya terdiri dari partikel anorganik yang berasal dari erosi dari DAS dan
esuspensi sedimen di dasar waduk. Kekeruhan memiliki korelasi positif dengan
padatan tersuspensi, yaitu semakin tinggi nilai kekeruhan maka semakin tinggi
pula nilai padatan tersuspensi (Marganof,2007).
Tabel 3. Kisaran Parameter Kekeruhan Optimum dari Berbagai Rujukan
Parameter
Kualitas Air
Kisaran Optimum Referensi
Kekeruhan 5 - 6 NTU Kepmen LH 2004
20 mg/ L Walhi, 2006
2.3.4 Kedalaman
Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses
respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi
pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh intensitas
cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi
sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi
secara harian dan musiman (Effendi, 2003 dalam Irawan et al., 2009).
Cahaya matahari dibutuhkan oleh tumbuhan air (fitoplankton) untuk proses
assimilasi. besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman
air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis (Nybakken,
1988 dalam Siagian, 2009).
13
Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap kualitas air pada lokasi
tersebut. Lokasi yang dangkal akan lebih mudah terjadinya pengadukan dasar
akibat dari pengaruh gelombang yang pada akhirnya kedalaman perairan lebih
dari 3 m dari pengaruh gelombang yang pada akhirnya kedalaman perairan lebih
dari dasar jaring (Setiawan, 2010 dalam Siagian, 2009). Kandungan bahan organik
menggambarkan tipe dan substrat dan kandungan nutrisi di dalam perairan. Tipe
substrat berbeda-beda seperti pasir Lumpur dan tanah liat (Sembiring, 2008).
Adapun kisaran kedalaman bagi perairan di kemukakan (Deptan 1992 ; DKP
2002) seperti yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kisaran kedalaman bagi perairan
Parameter
kualitas air
Kisaran yang baik Kisaran yang buruk
Kedalaman 5-25 meter <5, >25 meter
Sumber Deptan (1992 ; DKP 2002)
2.3.5 Kecepatan Arus
Menurut Barus (2001) dalam Irawan et al., (2009), Arus air adalah faktor
yang mempunyai peranan yang sangat penting baik pada periran lotik maupun
pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas
terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan
bervariasi secara vertikal. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat tusbulen
yaitu arus air yang bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke
seluruh bagian dari perairan.
Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota
perairan. Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan jazad hidup akibat pengikisan
14
atau teraduknya substrat dasar berlumpur yang berakibat pada kekeruhan
sehinggan terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang lain, manfaat dari arus adalah
menyuplai makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan penghilangan
CO2 maupun sisa-sisa produk biota laut (Beverige, 1987 ; Romimohtarto, 2003).
Kenyataan yang tidak dapat ditoleransi terhadap kuat maupun lemahnya arus akan
menghambat kegiatan budidaya laut (Ghufron dan Kordi, 2005). Arus juga sangat
penting dalam sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan padatan tersuspensi
(Dahuri, 2003), serta dapat berdampak pada keberadaan organisme penempel
(Akbar et al.,2001).
Mayunar et al.,(1995) menyebutkan organisme penempel akan lebih banyak
menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cm/dt sehingga akan
mengurangi sirkulasi air dan oksigen. Namun demikian, (Ahmad et al., 1991)
mengemukakan kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya dalam KJA
berkisar 5 – 15 cm/dt.
(Siregar, 2004) mengklasifikasikan kecepatan arus sebagai berikut seperti
disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi Kecepatan Arus di Perairan
No Kecepatan arus Kategori
1 ˂ 10 cm/det Sangat lambat
2 10-24 cm/det Lambat
3 25-50 cm/det Sedang
4 51-100 cm/det Kuat
5 ˃ 100 cm/ det Sangat kuat
15
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai bulan Juni 2014 di
Waduk Bilibili Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi
Selatan.
Gambar 1. Peta Sulawesi Selatan
SULAWESI
Waduk Bilibili
16
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini seperti
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian
No. Nama Alat / bahan Kegunaan
1
2
3
4
5
6
DO meter
Secchi Disk
Turbidity meter
Tiang Berkala
Current Meter
Stopwatch
Mengukur Suhu
Mengukur Kecerahan
Mengukur Kekeruhan
Mengukur Kedalaman
Mengukur Kecepatan Arus
Mengukur Waktu Tempuh
Current Meter
3.3 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini meliputi: (1) Persiapan, (2) Penentuan stasiun
pengamatan, (3) Pengukuran.
3.3.1 Persiapan
Tahap ini meliputi pengumpulan informasi mengenai kondisi umum lokasi
penelitian, studi literatur dan penentuan metode penelitian yang akan dilakukan.
3.3.2 Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun pengamatan dalam penelitian ini terdiri atas tiga stasiun
pengamatan yaitu Waduk Bilibili yang mewakili: 1) perairan dekat dengan
pemukiman dan kawasan perikanan, 2) perairan dekat usaha
budidaya/penangkapan ikan, 3) perairan dekat pemukiman dan aktifitas pertanian.
Penentuan titik pengukuran parameter kualitas air pada setiap stasiun disajikan
dalam gambar berikut:
17
Skema penentuan stasiun pengamatan:
Gambar 2. Stasiun Pengambilan Sampel Air
Ket:
St.1 = Daerah dekat pemukiman dan kawasan perikanan
St.2 = Daerah dekat penagkapan ikan
St.3 = Daerah dekat pemukiman dan aktifitas pertanian
3.3.3 Pengukuran
Adapun variabel yang diukur dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengukuran Parameter Fisika
Variabel Satuan
Suhu 0 C
Kedalaman Cm
Kekeruhan NTU(Nephelometric
Turbidity United )
Kecerahan %
Kecepatan Arus Cm/dtk
18
Pengukuran parameter kualitas air untuk suhu, kedalaman, kekeruhan,
kecerahan dan kecepatan arus dilakukan secara langsung (in situ). Pengukuran
setiap parameter dilakukan sekali dalam seminggu, waktu pengukuran untuk suhu
yaitu dilakukan pada pagi hari pukul 06.00-07.00 dan sore hari pukul 17.00.
kemudian untuk kedalaman, kecerahan, kekeruhan dan kecepatan arus dilakukan
secara bergantian mulai jam 07.00-13.00 lama penelitian delapan minggu. Adapun
cara pengukuran setiap parameter di atas yaitu:
a. Suhu :
DO meter dicelupkankan ke dalam perairan, ditunggu beberapa menit,
diangkat dan dicatat suhunya, pengukuran ini diulang sebanyak tiga kali dan
dihitung suhu rata-rata agar data yang di peroleh lebih akurat.
b. Kedalaman :
1. Bandul dicelupkan ke dalam perairan hingga ke dasar lalu diamati dan
dicatat tinggi permukaan air pada tali (….. cm).
2. Pengukuran diulang sebanyak tiga kali dan dihitung rata-rata
kedalamannya.
c. Kekeruhan :
Sediakan alat yang digunakan, yakni botol air mineral. Kemudian isi
botol dengan air sampel secukupnya lalu bawa air tersebut ke laboratorium
untuk diukur kekeruhannya. Lalu air sampel tersebut dipindahkan kedalam
gelas piala dan bandingkan dengan standar air yang menjadi patokan
(standar). Masukkan air yang menjadi patokan (standar) kedalam turbidimeter
sehingga jarum turbidimeter menunjukkan angka standarnya. Setelah itu,
19
keluarkan gelas piala yang berisi air standar tadi lalu masukkan air sampel
kedalam gelas piala lainnya dan kocok. Setelah itu masukkan air sampel
tersebut kedalam turbidimeter dan atur sehingga turbidimeter menunjukkan
angka konstan. Catat hasil yang ditunjukkan oleh jarum turbidimeter.
d. Kecerahan :
1. Secchi disc diturunkan ke dalam perairan hingga batas tidak terlihat dan
dicatat tinggi permukaan air pada tambang secchi disc (A cm).
2. Kemudian secchi disc diangkat perlahan hingga kelihatan dan dicatat
kembali tinggi permukaan air pada tambang secchi disc (B cm).
3. Pengukuran diulang sebanyak tiga kali dan dihitung rata-rata
kecerahannya.
e. Kecepata Arus :
1. Setiap 100 meter perairan tersebut diberi tanda dengan ranting kayu
searah aliran air.
2. Bola pingpong yang telah diikat dengan tali rafia diletakkan diatas
permukaan air berbarengan dengan dijalankannya stop watch.
3. Kecepatan gerakan bola tiap 100 meter dicatat.
4. Percobaan diulangi hingga beberapa kali dan dirata-rata.
20
3.4 Peubah yang Diamati
Adapun peubah kualitas fisika yang diamati yaitu meliputi:
a. Suhu diukur dengan menggunakan alat yaitu DO meter
b. Kecerahan diukur dengan menggunakan alat yaitu Secchi Disk, adapun rumus
yang digunakan:
Ket : A = Jarak tidak tampak (cm)
B = Jarak tampak (cm)
c. Kekeruhan diukur dengan menggunakan alat Turbidity Meter
d. Kedalaman diukur dengan menggunakan alat yaitu tiang berkala / bandul
logam yang diikat tali (diberi tanda seperti meteran) di salah satu ujungnya.
e. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan alat Current Meter, adapun
rumus yang digunakan:
3.5 Analisis data
Data pengukuran yang diperoleh di lapangan akan disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik. Kemudian data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif
yaitu membandingkan sumber rujukan parameter fisika yang optimum dengan
hasil penelitian yang didapatkan. Jadi metode ini menyajikan, menganilis data dan
menginterpretasikan data, untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian.
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
Bendungan Bilibili merupakan bendungan terbesar di Sulawesi Selatan yang
terletak di Kabupaten Gowa, sekitar 30 kilometer ke arah timur Kota Makassar
Bendungan ini diresmikan pada tahun 1989. Secara geografis, daerah tangkapan
waduk Bilibili yang berada di wilayah sub DAS Jeneberang terletak antara
5o11’8”-5
o20’54” LS dan 119
o34’30”-119
o56’54” BT. Bendungan Bilibili terletak
pada ketinggian 75-5000 meter di atas permukaan laut.
Waduk Bilibili memiliki luas tangkapan air sebesar 384,4 km2 (38.440 Ha)
dengan luas genangan 18,5 km2 dan kedalaman efektif 36,6 m (JRBDP, 2004).
Adapun volume tampung total waduk Bilibili yang dapat dibendung adalah
sebesar 375.000.000 m3 dengan volume tampung efektif sebesar 346.000.000 m
3
dan volume tampungan mati sebesar 29.000.000 m3.
4.2 Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air
Parameter fisika air yang diukur pada penelitian ini meliputi : (1) suhu, (2)
kecerahan, (3) kekeruhan, (4) kedalaman, (5) kecepatan arus
4.2.1 Suhu air
Hasil pengukuran suhu air pada tiga stasiun pengamatan dengan lama waktu
penelitian empat minggu yang berlokasi dibagian hulu Waduk Bilibilli (Zona III)
Kabupaten Gowa dapat dilihat pada Lampiran 1. Sedangkan nilai rata-rata suhu
air selama empat minggu pengukuran disajikan pada Tabel 8.
22
Tabel 8. Nilai rata-rata hasil pengukuran suhu air setiap stasiun.
Minggu Stasiun
I II III
1 30,90C 30,8
0C 31,2
0C
2 30,70C 30,7
0C 30,8
0C
3 30,20C 30,2
0C 30,1
0C
4 29,40C 29,3
0C 29,3
0C
Rata-rata 30,30C 30,3
0C 30,4
0C
Sumber : Hasil Pengukuran 2014
Berdasarkan Tabel 8, hasil pengukuran rata-rata suhu air ke tiga stasiun
diperoleh suhu tertinggi berada di stasiun III yang merupakan daerah dekat
dengan aktifitas pertanian yaitu berkisar antara 29,30C-31,2
0C, kemudian diikuti
oleh stasiun II yang merupakan daerah yang mewakili aktifitas penagkapan ikan
yaitu berkisar antara 29,30C-30,8
0C, dan suhu terendah berada pada stasiun I yang
merupakan perairan yang dekat dengan aktifitas pemukiman yaitu berkisar antara
29,40C-30,9
0C. Perbedaan nilai rata-rata suhu air ke tiga stasiun tidak begitu
signifikan. Untuk Lebih jelasnya dapat dilihat pada garik rata-rata suhu air setiap
stasiun yang disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Nilai rata-rata Suhu setiap stasiun
30.2
30.25
30.3
30.35
30.4
1 2 3
rata-rata 30.3 30.255 30.3575
SUH
U (
0 C)
23
Fluktuasi suhu air selama empat minggu penelitian pada tiga stasiun
pengamatan dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan suhu pada tiap stasiunnya
sehingga diperoleh nilai suhu air tertinggi yaitu pada stasiun III yang merupakan
perairan dekat dengan aktifitas pertanian dengan nilai 30,30C, Tingginya suhu
pada stasiun initerjadi karena diketahui kondisi kedalaman perairan pada stasiun
ini tergolong dangkal karena kedalamannya berkisar antara 2,4 m – 4,5 m. Sama
halnya pada stasiun I yang merupakan perairan dekat dengan aktifitas pemukiman
dengan nilai 30,30C dan mempunyai kedalaman berkisar antara 2,9 m – 5,4 m. Hal
ini sesuai dengan pendapat Anonimous, (2001) menyatakan bahwa air yang
dangkal dan memiliki daya tembus cahaya matahari yang tinggi dapat
meningkatkan suhu perairan.
Sedangkan suhu terendah berada pada stasiun II yang merupakan daerah
penangkapan ikan dengan nilai suhu 30,30C. Hal ini disebabkan karena kedalaman
pada stasiun tersebut berkisar 6 m – 7 m karena semakin dalam suatu perairan
suhu akan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Barus, (2004) yang
menyatakan bahwa semakin dalam suatu perairan suhu akan semakin rendah atau
dingin hal ini di akibatkan karena kurangnya intensitas cahaya matahari yang
masuk kedalam perairan.
Selain kedalaman faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya suhu
perairan adalah kondisi cuaca, kecerahan, DO dan luas permukaan yang langsung
mendapat sinar matahari sehingga akan berpengaruh terhadap intensitas cahaya
yang masuk ke perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd, (1991) yang
menyatakan bahwa variasi suhu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu antara lain
24
tingkat intensitas cahaya yang tiba di permukaan perairan, keadaan cuaca,
kecepatan arus, substrat dasar, suhu yang berasal dari anak sungai dan proses
pengadukan.
Sastrawijaya, (2000) menyatakan, suhu berkaitan erat dengan kadar oksigen
terlarut pada perairan. Semakin rendah kadar oksigen maka suhu air akan semakin
tinggi begitupun sebaliknya semakin tinggi kadar oksigen dalam perairan maka
suhu air semakin rendah. Peningkatan suhu juga menyebabkan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen. Namun pada stasiun I, II dan III setelah dilihat
kadar oksigen terlarutnya perbedaan dari masing-masing stasiun tidak begitu
mencolok yaitu berkisar antara 7 hingga 8 mg/lsehingga tidak akan
mempengaruhi organisme air seperti yang dijelaskan oleh Brotowidjoyo et
al.(1995) yang menyatakan bahwa variasi oksigen terlarut dalam air biasanya
sangat kecil sehingga tidak menggangu kehidupan ikan. Lanjut Mayunar et al.
1995 dan Akbar, (2001) bahwa kandungan oksigen terlarut untuk menunjang
usaha budidaya adalah 5 –8 mg/l.
Berdasarkan rata-rata suhu air pada stasiun I, II dan III dapat disimpulkan
bahwa nilai suhu air ketiga stasiun tersebut tergolong baik untuk dilakukan
kegiatan budidaya Apabila merujuk pada Widigdo, (2007) yang mengatakan
bahwa suhu antara 260C hingga 31
0C, umumnya dianggap baik karena dapat
menghasilkan pertumbuhan ikan dan udang yang maksimal. Lanjut Kordi,(2010),
yang menyatakan bahwa suhu yang cocok untuk kegiatan budidaya biota air yaitu
antara 23 hingga 320C.
25
4.2.2 Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan air pada tiga stasiun pengamatan dengan waktu
pengamatan empat minggu yang berlokasi di hulu Waduk Bilibili Kabupaten
Gowa dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan nilai rata-rata kecerahan selama
empat minggu disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai rata-rata hasil pengukuran kecerahan air setiap stasiun.
Minggu Stasiun
I II III
1 46,2% 57,0% 46,5%
2 37,0% 25,2% 15,0%
3 33,2% 36,8% 25,7%
4 43,0% 40,7% 36,7%
Rata-rata 38,8% 39,7% 29,1%
Sumber : Hasil Pengukuran 2014
Berdasarkan Tabel 9, hasil pengukuran rata-rata kecerahan ke tiga stasiun
diperoleh kecerahan tertinggi berada di stasiun II yang merupakan daerah
penagkapan ikan berkisar antara 25,2%-57%. Kemudian diikuti oleh stasiun I
yang merupakan perairan yang dekat dengan aktifitas pemukiman yaitu berkisar
antara 33,2%-37% dan suhu terendah berada pada stasiun III yang merupakan
perairan dekat dengan aktifitas pertanian berkisar antara 15%-46,5%. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada garfik rata-rata kecerahan setiap stasiun yang disajikan
pada Gambar 4.
26
Gambar 4. Nilai rata-rata Kecerahansetiap stasiun
Fluktuasi kecerahan perairan selama empat minggu penelitian pada tiga
stasiun pengamatan dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan nilai kecerahan pada
tiap stasiunnya sehingga diperoleh nilai kecerahan tertinggi yaitu pada stasiun II
yang merupakan daerah penagkapan ikan dengan nilai 39,7 % kemudian
kecerahan air pada stasiun I yang merupakan perairan yang dekat dengan aktifitas
pemukiman dengan nilai 38,8 %. Tingginya kecerahan pada stasiun II dan stasiun
I dikarenakan oleh waktu pengukuran yang dilakukan pada siang hari dan pada
saat cuaca sedang cerah dan juga disebabkan karena pengulanagan diambil pada
titik yang berbeda. Jadi salah satu faktor utama yang menyebabkan tinggi
rendahnya nilai kecerahan yaitu diantaranya waktu pengukuran dan kondisi cuaca.
Hal ini sesuai dengan pendapat effendi, (2000) yang menyatakan bahwa faktor
yang menyebabkan kecerahan tinggi dan rendah adalah keadaan cuaca dan waktu
pengukuran, dimana jika cuaca cerah intensitas cahaya matahari yang sampai
kedalam perairan lebih besar dibandingkan jika cuaca mendung atau berawan.
Selain itu faktor yang mempengaruhi tingginya kecerahan yaitu kurangnya
0
10
20
30
40
1 2 3
rata-rata 38.77333333 39.66333333 29.05333333
KEC
ERA
HA
N (
%)
27
muatan atau padatan tersuspensi yang dapat mengakibatkan kekeruhan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Effendi, (2003) yang menyatakan bahwa kecerahan air
tergantung pada warna dan kekeruhan air.
Sedangkan kecerahan terendah berada pada stasiun III yang merupakan
perairan dekat dengan aktifitas pertanian dengan nilai kecerahan yaitu 29,1%. Hal
ini disebabkan pada stasiun tersebut tingkat kekeruhannya sangat tinggi yang
diakibatkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus
yang terbawa oleh aliran sungai dari hulu yang menyebabkan kurangnya intensitas
cahaya matahari yang masuk ke perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sastrawijaya, (2000) yang menyatakan bahwa kecerahan merupakan parameter
yang berhubungan dengan bahan-bahan atau muatan tersuspensi.
Tingkat kecerahan perairan sangat berpengaruh terhadap proses fotosintesis
tanaman di perairan dan faktor fisiologi air lainnya sehingga apabila kecerahan air
kurang dari kisaran optimum maka akan menghambat proses fotosintesis yang
berpengaruh pada pertumbuhan ikan dan udang. Hal ini sesuai dengan pendapat
samawi, (2000) yang menyatakan bahwa perairan dengan kecerahan yang rendah
akan mengurangi penetrasi cahaya matahari kedalam kolom air, sehingga
membatasi proses fhotosintesis yang dapat mempengaruhi produktifitas perairan
yang akan semakin berkurang seiring dengan rendahnya kecerahan yang
disebabkan oleh partikel tersuspensi. Selanjutnya Effendi, (2003) yang
menyatakan bahwa berkurangnya kecerahan air akan mengurangi fotosintesis
tumbuhan air, selain itu dapat pula mengurangi fisiologi air dalam hal ini suatu
perairan berupa bahan tersuspensi yang dapat mengurangi kecerahan air.
28
Berdasarkan rata-rata kecerahan air pada stasiun I, II dan III dapat
disimpulkan bahwa nilai ke tiga stasiun tersebut merupakan kondisi kecerahan
yang baik bagi organisme budidaya seperti ikan dan udang karena masih
memungkinkan cahaya matahari dapat menembus sampai pada lapisan di bawah
permukaan perairan, apabila merujuk pada Adiwijaya, (2003) yang menyatakan
bahwa batas toleransi kecerahan organisme budidaya berkisar antara 25 % - 60 %
dan optimum pada kisaran 30 % - 40 %. Lanjut Buwono, (1993) menyatakan
bahwa kecerahan yang berkisar antara 30 % - 40 % membuat organisme budidaya
merasa aman dan plankton-plankton nabati akan mendukung dan membantu
menyerap senyawa berbahaya dalam air.
4.2.3 Kekeruhan
Hasil pengukuran pada tiga stasiun pengamatan dengan lama waktu
penelitian empat minggu yang berlokasi dibagian hulu Waduk Bilibili Kabupaten
Gowa dapat dilihat pada Lampiran 3. Sedangkan nilai rata-rata kekeruhan selama
empat minggu pengukuran disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai rata-rata hasil pengukuran kekeruhan air pada setiap stasiun.
Minggu Stasiun
I II III
1 20,9 NTU 21,0 NTU 21,9 NTU
2 37,5 NTU 56,3 NTU 96,7 NTU
3 25,7 NTU 25,8 NTU 46,3 NTU
4 53,3 NTU 49,3 NTU 69,3 NTU
rata-rata 34,3 NTU 38,1 NTU 58,5 NTU
Sumber : Hasil Pengukuran 2014
29
Berdasarkan Tabel 10, hasil pengukuran rata-rata kekeruhan air pada tiga
stasiun pengamatan diperoleh kekeruhan tertinggi berada di stasiun III yang
merupakan daerah dekat dengan aktifitas pertanian yaitu berkisar antara 21,9 NTU
- 96,7 NTU, kemudian diikuti oleh stasiun II yang merupakan daerah yang
mewakili aktifitas penagkapan ikan yaitu berkisar antara21,0 NTU - 56,3 NTU,
dan kekeruhan terendah berada pada stasiun I yang merupakan perairan yang
dekat dengan aktifitas pemukiman yaitu berkisar antara 20,9 NTU – 53,3 NTU.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada garafik rata-rata kekeruhan air setiap
stasiun yang disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Nilai rata-rata Kekeruhansetiap stasiun
Fluktuasi kekeruhan perairan selama empat minggu penelitian pada tiga
stasiun pengamatan dapat dilihat bahwa kekeruhan tertinggi berada pada stasiun
III yang merupakan perairan dekat dengan aktifitas pertanian dengan nilai 58,5
NTU, tingginya kekeruhan pada stasiun ini diduga karena berada di hulu waduk
yang merupakan tempat masuknya air sungai sehingga banyak bahan-bahan yang
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3
rata-rata 34.33 38.1225 58.545
KEK
ERU
HA
N (
NTU
)
30
tersuspensi berupa koloid dan partikel-partikel halus yang terbawa oleh aliran
sungai. Hal ini sesuai dengan pendapat Hefni Effendi, (2003) yang menyatakan
bahwa kekeruhan pada perairan tergenang lentik lebih banyak disebabkan oleh
bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus dan kekeruhan
pada sungai lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang
berukuran lebih besar, yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh
aliran air. Selain itu tingginya kekeruhan pada stasiun III di akibatkan oleh kondisi
dasar perairannya yang dangkal dan berlumpur sehingga menyebabkan
tersuspensinya endapan material organik maupun anorganik. Hal ini sesuai
dengan Nuitjen, (2007) yang menyatakan bahwa penyebab kekeruhan ini antara
lain meliputi tanah liat dan endapan lumpur.
Sama halnya pada stasiun II yang merupakan daerah penangkapan ikan yang
masih dipengaruhi oleh arus dari sungai dan juga akibat dari aktifitas para nelayan
yang menagkap ikan sehingga terjadi pengadukan partikel tersuspensi
kepermukaan oleh kapal-kapal dan juga jaring nelayan sehingga banyaknya
partikel-partikel tersuspensi baik itu berupa lumpur dan pasir maupun bahan
anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain yang
terbawah oleh aliran sungai. Hal ini sesuai dengan pendapat APHA, (1976); Davis
dan Cornwell, (1991) yang menyatakan bahwa tingginya kekeruhan disebabkan
oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya
lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa
plankton dan mikroorganisme lain. Lanjut Marganof, (2007) yang menyatakan
bahwa kekeruhan memiliki korelasi positif dengan padatan tersuspensi, yaitu
31
semakin tinggi nilai kekeruhan maka semakin tinggi pula nilai padatan
tersuspensi.
Sedangkan kekeruhan terendah berada pada stasiun I yang merupakan
perairan dekat aktifitas pemukiman dengan nilai kekeruhan yaitu 34,3 NTU. Hal
ini disebabkan pada stasiun ini tidak dipengaruhi oleh arus dari sungai sehingga
tergolong perairan tenang sehingga tidak mudah terjadi pengangkatan partikel
suspensi dari dasar perairan.
Hasil parameter kekeruhan nilai pada tiga stasiun tersebut menunjukkan
bahwa kekeruhan pada semua stasiun penelitian melebihi batas nilai maksimum
yaitu stasiun I dengan nilai 34,3 NTU, stasiun II dengan nilai 38,1 NTU dan
stasiun III dengan nilai 58,5 NTU. Merujuk pada Kepmen LH, (2004) bahwa
tingkat kekeruhan yang optimal bagi kehidupan organisme di perairan yaitu
berkisar antara 5 – 6 NTU. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme
aquatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya masuk ke dalam air. Pendapat
ini sejalan dengan Effendi, (2003) yang menyatakan bahwa kekeruhan yang tinggi
sangat berbahaya bagi ikan dan udang karena partikel halus yang tersuspensi
mudah menempel pada insang, sehingga dapat menyebabkan terganggunya
pernafasan, kemudian insang mengalami kerusakan, tidak jarang pula sangat
mudah terinfeksi protozoa epibiont dan bakteri.
4.2.4 Kedalaman
Hasil pengukuran kedalam pada tuga stasiun pengamatan dengan lama
waktu pengamatan empat minggu yang berlokasi dibagian hulu waduk Bilibili
32
Kabupaten Gowa dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan nilai rata-rata
kedalaman selama empat minggu disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai rata-rata hasil pengukuran kedalaman pada setiap stasiun.
Minggu Stasiun
I II III
1 2,9 m 6,3 m 3,5 m
2 5,4 m 7,0 m 4,5 m
3 4,5 m 6,2 m 2,7 m
4 4,1 m 6,0 m 2,4 m
rata-rata 4,2 m 6,4 m 3,3 m
Sumber : Hasil Pengukuran 2014
Berdasarkan tabel 11. Hasil pengukuran rata-rata kedalaman air ke tiga
stasiun diperoleh nilai kedalaman tertinggi berada pada stasiun II yang merupakan
daerah penagkapan ikan berkisar antara 6 m – 7 m. Kemudian diikuti oleh Stasiun
I yang merupakan perairan dekat dengan aktifitas pemukiman berkisar antara 2,9
m – 5,4 m. Sedangkan kedalaman terendah berada pada stasiun III yang
merupakan perairan dekat dengan aktifitas pertanian berkisar antara 2,4 m – 4,5
m. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik rata-rata kedalaman air setiap
stasiun yang disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Nilai rata-rata Kedalaman setiap stasiun
0
1
2
3
4
5
6
7
1 2 3
rata-rata 4.225 6.375 3.275
KED
ALA
MA
N (
m)
33
Fluktuasi kedalaman perairan selama empat minggu penelitian pada tiga
stasiun pengamatan dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan nilai kedalaman pada
tiap stasiunnya sehingga diperoleh Nilai kedalaman tertinggi yaitu pada stasiun II
mewakili daerah peangkapan ikan dengan nilai 6,4 m, hal ini dikarenakan bentuk
relief dasar perairan berbentuk cekung sehingga mempengaruhi kedalaman. Hal
ini sesuai dengan pendapat Wibisono, (2005) yang menyatakan bahwa relief dasar
perairan mempengaruhi kedalaman suatu perairan. Lanjut Ariana dalam jailani,
(2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kedalaman adalah
batimetri dimana batimetri merupakan ukuran tinggi rendahnya dasar perairan.
Selain itu faktor cuaca/musim juga dapat mempengaruhi kedalaman perairan
karena dapat menambah debit air jika curah hujan tinggi sehingga kedalaman
menigkat.
kedalaman terendah berada pada stasiun III mewakili daerah dekat dengan
aktifitas pertanian dengan nilai 3,3 m. rendahnya kedalaman dikarenakan pada
stasiun ini merupakan tempat masuknya air sungai sehingga banyak material
partikel dan kandungan yang dibawa oleh aliran sungai maka semakin
mempercepat proses pendangkalan di perairan.
Dari hasil parameter kedalaman pada tiga stasiun tersebut menunjukkan
bahwa hanya stasiun II yaitu derah mewakili penangkapan ikan yang baik bagi
kehidupan organisme perairan karena rata-rata nilai kedalamannya yaitu 6,4 m.
Hal ini sesuai dengan Deptan (1992) ; DKP (2002) menyatakan bahwa
kedalaman yang dianjurkan untuk kehidupan organisme adalah berkisar 5-25
meter.sehingga menjaga terakumulasinya sisa pakan pada dasar perairan, dan
34
diharapkan ada perbedaan jarak antara dasar perairan dengan dasar jaring.
Akumulasi yang terjadi berupa proses dekomposisi dari sisa pakan yang
menghasilkan senyawa organik. Sementara untuk daerah stasiun I dan stasiun III
kurang mendukung untuk kehidupan organisme perairan karena kisaran rata-rata
kedalamannya dibawah kisaran optimum yang di anjurkan.
4.2.5 Kecepatan Arus
Hasil pengukuran kecepatan arus pada tiga stasiun pengamatan dengan lama
waktu pengamatan empat minggu yang berlokasi dibagian Waduk Bilibili
Kabupaten Gowa dapat dilihat pada Lampiran 5. Sedangkan nilai rata-rata
kecepatan arus selama empat minggu disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai rata-rata hasil pengukuran kecepatan arus pada setiap
stasiun.
minggu stasiun
I II III
1 1,9 cm/dtk 3,6 cm/dtk 6,4 cm/dtk
2 4,6 cm/dtk 5,1 cm/dtk 5,1 cm/dtk
3 6,1 cm/dtk 5,3 cm/dtk 4,7 cm/dtk
4 5,2 cm/dtk 5,8 cm/dtk 5,2 cm/dtk
rata-rata 4,4 cm/dtk 4,9 cm/dtk 5,4 cm/dtk
Sumber : Hasil Pengukuran 2014
Berdasarkan tabel 12, hasil pengukuran rata-rata kecepatan arus dari ketiga
stasiun diperoleh kecepatan arus tertinggi berada pada stasiun III yang merupakan
perairan dekat dengan aktifitas pertanian kecepatan arusnya berkisar antara 4,7
cm/dtk – 6,4 cm/dtk. Kemudian diikuti oleh stasiun II yang merupakan daerah
penangkapan ikan kecepatan arusnya berkisar antara 3,6 cm/dtk – 5,4cm/dtk dan
terendah berada pada stasiun Iyang merupakan perairan dekat dengan aktifitas
35
pemukiman berkisar antara 1,9 cm/dtk – 6,1cm/dtk. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada grafik rata-rata kecepatan arus setiap stasiun yang disajikan pada
Gambar 7.
Gambar 7. Nilai rata-rata Kecepatan Arus setiap stasiun
Fluktuasi kecepatan arus pada tiga stasiun pengamatan dapat dilihat bahwa
terjadi perbedaan nilai kecepatan arus pada tiap stasiunnya sehingga diperoleh
nilai kecepatan arus tertinggi yaitu pada stasiun III yang merupakan perairan dekat
dengan aktifitas pertanian dengan nilai 5,4 cm/dtk. Hal ini terjadi karena stasiun
ini merupakan tempat masuknya air sungai sehingga arus pada stastiun ini juga
menjadi cepat selain itu faktor angin juga sangat berpengaruh. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lilian, (2012) yang menyatakan bahwa arus dapat disebabkan
desiran air, tiupan angin atau dapat pula dikarenakan oleh pasang surut. Lanjut
Barus, (2001) yang menyatakan bahwa pada ekosistem lentik arus dipengaruhi
oleh kekuatan angin, semakin kuat tiupan angin akan menyebabkan arus semakin
kuat dan semakin dalam mempengaruhi lapisan air. Kemudian diikuti kecepatan
arus pada stasiun II yang merupakan daerah penagkapan ikan dengan nilai
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3
rata-rata 4.445 4.8575 5.35
KEC
EPA
TAN
AR
US
(Cm
/dtk
)
36
4,9cm/dtk. Hal ini terjadi dikarenakan kondisi perairan disatasiun ini tergolong
dalam sehingga arusnya melamban.
Sedangkan kecepatan arus terendah berada pada stasiun I yang merupakan
perairan dekat dengan aktifitas pemukiman dengan kecepatan arus yaitu 4,4
cm/dtk. Nilai kecepatan arus pada kisaran tersebut menunjukkan bahwa kecepatan
arus pada semua stasiun penelitian tergolong perairan yang kecepatan arusnya
sangat lambat karena berada di bawah nilai 10 cm/dtk. Sesuai dengan pendapat
siregar, (2004) bahwa kecepatan arus di bawah 10 cm/dtk dikategorikan sebagai
kecepatan arus yang sangat lambat sehingga dapat mempengaruhi distribusi zat
makanan bagi organisme perairan.
Namun setelah dilakukan pengamatan lebih lanjut, arus yang sangat lemah
ini disebabkan karena saluran utama yang ada pada waduk tersebut pada saat
pengukuran dalam kondisi tidak mengalir karena volume air kurang yang
disebabkan oleh musim kemarau sehingga kondisi perairan sedang surut. Namun
demikian, Ahmad et al. (1991) mengemukakan kecepatan arus yang masih baik
untuk budidaya dalam KJA berkisar 5 – 15 cm/dtk. Merujuk dari pendapat Ahmad
et al(1991) bahwa stasiun III masih baik untuk dilakukan budidaya dalam KJA.
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dan telah diuraikan
pada bagian sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Suhu dan Kecerahan perairan yang berada di bagian hulu waduk Bilibili
masih layak untuk kegiatan budidaya ikan karena nilai suhu dan
kecerahan perairan pada kawasan tersebut masih dalam batas yang
optimum.
2. Kekeruhan pada hulu Waduk Bilibili (Zona 3) memiliki nilai di atas batas
optimum sehingga kurang layak bagi peruntukan budidaya ikan.
3. Kedalaman pada stasiun II masih layak bagi peruntukan budidaya karena
masih dalam batas optimum sedangkan pada stasiun I dan III kelayakan
budidaya berada di bawah kisaran minimum.
4. kecepatan arus pada stasiun III masih layak bagi peruntukan budidaya
ikan karena masih dalam batas yang optimum sedangkan stasiun I dan II
kelayakan budidaya berada di bawah kisaran minimum.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan pada musim hujan untuk
mengetahui kelayakan perairan berdasarkan parameter fisika untuk kegiatan
budidaya ikan pada musim hujan serta sebagai pelengkap data parameter fisika
perairan Waduk Bilibili setiap musimnya yaitu musim hujan dan musim kemarau.
38
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T., P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto, B. Slamet, Mayunar,
R. Purba, S. Diana, S. Redjeki, A.S. Pranowo, S. Murtiningsih. 1991.
Operasional pembesaran kerapu dalam keramba jaring apung. Dalam
Mansur, A. (Ed.). Prosiding temu karya ilmiah potensi sumberdaya
kekerangan di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Watampone, (7): 8 – 10.
Akbar, S dan Sudaryanto. (2001). Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek.
Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Bal, D.V and K. V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc Graw-Hill Publishing
Company Limited, New Dehli.
Barus, 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatra
Utara. Medan
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnology Study Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU Press. Medan.
Beveridge, M. 1987. Cage Aquaculture. Fishing News Books Ltd, Farnhan
Surrey.
Boyd, C. E. 1991. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Departemen
of Fish and Allied Aquaculture. Agricultur Experiment Station Auburn
University. Alabama
Boyd, CE, F. Lichkopper, 1982. Water Quality management For Pond Fish
culture. Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam New York.
Brotowijoyo, M.D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro.1995. Pengantar lingkungan
perairan dan budidaya air. Penerbit Liberty, yogyakarta
Brown, E. E and J. B. Gratzek. 1980. Fish Farming Handbook. AVI Publishing
Company INC, New York.
Chakroff, M. 1976. Freshwater Fish Pond Culture and Management.
PublisherPeace Corp Program Training, London. 169 p
Davis, M.L. and Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental
Engineering. Second edition. Mc-Graw-Hall, Inc., New York. 822 p
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Bogor. Bogor 285 hal.
39
Effendy, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan.259 hal. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ghufron M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Hoar, W. S., D. J. Randall and J. R. Brett. 1979. Fish Fisiology : Bioenergenetic
and Growth. Academic Press, Florida.
Jailani. 2012. Kedalaman dan Zonasi Lingkungan Laut.
(http://abdulkadirjailani.blog.com/2012/10/08/kedalaman-dan-zonasi-
lingkungan-laut.html/ . Diakses Pada 4 September 2014)
JRBDP. 2004. Country Report-Indonesia. Jeneberang River Basin Development
Project. Indonesia.
KLH, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun2004
Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta, hal. 32.
Kordi, M. G dan Tancung A. B., 2005.Pengelolaan Kualitas air. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta. 208 hal.
Lilian Anna. 2012. Kecepatan Arus.
(http://abdulkadirjailani.blogspot.com/2012/01/keceptan-arus.html .
Diakses Pada 4 September 2014)
LPM UNHAS. 2004. Laporan Akhir ANDAL Pekerjaan Pengendalian Sedimen
akibat Longsor Dinding Kaldera Gunung Bawakaraeng. Lembaga
Pengabdian pada Masyarakat Universitas Hasanuddin.Makassar.
Manurung, V.T. 1997. Status dan Prospek Budidaya Ikan dengan Keramba Jaring
Apung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Vol.XVI. No I.
Marganof, 2007, Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau
Sumatra Barat, Laporan hasil penelitian Sekolah Pasca Sarjana IPB
Bogor, http://www.damandiri.or.id/ile/marganoipb.
Mayunar, R. Purba, P.T. Imanto. 1995. Pemilihan lokasi budidaya ikan laut.
Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung
bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian: 179
– 189.
Nabib, R dan F. H. Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Nastiti, 2001.Daya Dukung Perairan Waduk Jatiluhur untuk Budidaya Ikan Dalam
Karamba Jaring Apung.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.Volume 7.
Hal 15-19.
40
Nuitjen H., 2007. Air dan Sifat dari Air. Pontianak : PDAM Pontianak-Oasen 604
DA.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekolgis. Penerbit
PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. Terj. dariMarine
biology: An ecological approach, oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G.
Bengen, M. Hutomo & S.Sukardjo. PT Gramedia, Jakarta: xv + 459 hlm.
Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Sembiring.2008. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan serta Kaitannya dengan
faktor Fisik Kimia. Diambil dariwww.repository.usu.ac.id pada 28
November 2010.
Setiawan. 2010. Pemetaan laju Perubahan Arus Lahan Huatn Mongrove di
sebagian Taman nasional Bali Barat. Diambil
dariwww.firmman08.wordpress.com pada 28 November 2010.
Siregar, Azrul. 2004. Materi Kuliah Limnologi. Jurusan Perikanan dan Kelautan
Universitas jenderal Soedirman. Purwokerto.
Walhi. 2006. Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan
Emas Freeport-Rio Tinto di Papua. WALHI. Jakarta Indonesia.
Weathon, F. W., J. N. Hochheimer., G. E. Kaiser., M. J. Krones., G. S. Libey and
C. C. Easter. 1994. Nitrification Filter Principles. M. B. Timmons and T.
M. Losardo (ed). Aquaculture Water Reuse Systems: Engineering Design
and Management. Elsevier Science, Amsterdam.
Welch, P. 1952. Limnology. New York, Mc Graw-Hill Book,Co. Inc
Wiadnya, D.G.R. 1994. Bahan Referansi Kuliah Analisis Laboratorium Tanah dan
Air. Fakultas Pasca Sarjana Jurusan PTA Universitas Brawijaya. Malang.
Wibisono, M. S.2005. Pengantar Ilmu Perikanan. PT. Grasindo : Jakarta.
Widigdo B. 2000. Diperlukan Pembakuan Kriteria Ekobiologis untuk Menentukan
Potensi Alami Kawasan Pesisir untuk Budidaya Udang. Prosiding
Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor 21
– 26 Februari 2000. PKSPL IPB, Bogor.
41
42
Lampiran I. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air Di Waduk Bilibili Pada
Minggu Ke-1.
Tabel 1.Hasil Pengukuran Parameter Suhu Air.
Ulangan Stasiun
I II III
1 30,3 31 31,7
2 31,1 30,1 31,8
3 30,5 30 31,9
Rata-Rata 30,63333 30,36667 31,8
Tabel 2.Hasil Pengukuran Parameter KecerahanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 30 33,5 31
2 31 35,5 29,5
3 21 40,5 28
Rata-Rata 27,33333 36,5 29,5
Tabel 3.Hasil Pengukuran Parameter KekeruhanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 34,03 27,9 36,09
2 27,52 29,62 34,21
3 28,33 28,26 34,2
Rata-Rata 29,96 28,59333 34,83333
43
Lampiran II. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air Di Waduk Bilibili
Pada Minggu Ke-2.
Tabel 4.Hasil Pengukuran Parameter Suhu Air.
Ulangan Stasiun
I II III
1 31,3 30,8 31,2
2 31,2 30,6 31,2
3 30,2 30,9 31,3
Rata-Rata 30,9 30,76667 31,23333
Tabel 5.Hasil Pengukuran Parameter KecerahanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 44,5 57 46,5
2 47 56,5 44,5
3 47 57,5 48,5
Rata-Rata 46,16667 57 46,5
Tabel 6.Hasil Pengukuran Parameter KekeruhanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 20,76 21,19 22,74
2 21,41 21,33 21,02
3 20,57 20,59 21,95
Rata-Rata 20,91333 21,03667 21,90333
Tabel 7.Hasil Pengukuran Parameter KedalamanPerairan.
Stasiun
I II III
290 630 350
Tabel 8.Hasil Pengukuran Parameter Kecepatan ArusPerairan.
Stasiun
I II III
1,9 3,62 6,43
44
Lampiran III. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air Di Waduk Bilibili
Pada Minggu Ke-3
Tabel 9.Hasil Pengukuran Parameter Suhu Air.
Ulangan Stasiun
I II III
1 30,8 30,9 30,9
2 30,7 30,7 30,9
3 30,6 30,6 30,6
Rata-Rata 30,7 30,73333 30,8
Tabel 10.Hasil Pengukuran Parameter KecerahanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 35 27,5 15
2 36 24 15
3 40 24 15
Rata-Rata 37 25,16667 15
Tabel 11.Hasil Pengukuran Parameter KekeruhanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 40,18 60 102
2 37,74 56 98
3 34,66 53 90
Rata-Rata 37,52667 56,33333 96,66667
Tabel 12.Hasil Pengukuran Parameter KedalamanPerairan.
Stasiun
I II III
540 700 450
Tabel 13.Hasil Pengukuran Parameter Kecepatan ArusPerairan.
Stasiun
I II III
4,59 5,13 5,15
45
Lampiran IV. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air Di Waduk Bilibili
Pada Minggu Ke-4.
Tabel 14.Hasil Pengukuran Parameter Suhu Air.
Ulangan Stasiun
I II III
1 30,2 30,2 30,1
2 30,2 30,2 30,1
3 30,2 30,2 30,1
Rata-Rata 30,2 30,2 30,1
Tabel 15.Hasil Pengukuran Parameter KecerahanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 30,5 39 23,5
2 33,5 35 28,5
3 35,5 36,5 25
Rata-Rata 33,16667 36,83333 25,66667
Tabel 16.Hasil Pengukuran Parameter KekeruhanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 25,57 26,77 42,4
2 25,84 25,32 52
3 25,27 25,42 44,47
Rata-Rata 25,56 25,83667 46,29
Tabel 17.Hasil Pengukuran Parameter KedalamanPerairan.
Stasiun
I II III
450 620 270
Tabel 18.Hasil Pengukuran Parameter Kecepatan ArusPerairan.
Stasiun
I II III
6,09 5,31 4,67
46
Lampiran V. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air Di Waduk Bilibili
Pada Minggu Ke-5
Tabel 19.Hasil Pengukuran Parameter Suhu Air.
Ulangan Stasiun
I II III
1 29,4 29,3 29,2
2 29,4 29,3 29,3
3 29,4 29,4 29,4
Rata-Rata 29,4 29,33333 29,3
Tabel 20.Hasil Pengukuran Parameter KecerahanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 46 40 37
2 42 40 35
3 41 42 38
Rata-Rata 43 40,66667 36,66667
Tabel 21.Hasil Pengukuran Parameter KekeruhanPerairan.
Ulangan Stasiun
I II III
1 53 46,06 85
2 54 45,85 64
3 53 56 59
Rata-Rata 53,33333 49,30333 69,33333
Tabel 22.Hasil Pengukuran Parameter KedalamanPerairan.
Stasiun
I II III
410 600 240
Tabel 23.Hasil Pengukuran Parameter Kecepatan ArusPerairan.
Stasiun
I II III
5,2 5,37 5,15
47
Lampiran VI. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Air Selama 5 Minggu
Penelitian Pada 3 Stasiun Pengamatan.
Tabel 24. Hasil Pengukuran Parameter Suhu Air Di Waduk Bilibili Zona 3
Selama 5 Minggu Penelitian Pada 3 Stasiun Pengamatan.
Minggu Stasiun
I II III
1 30,63 30,36 31,8
2 30,9 30,76 31,23
3 30,7 30,73 30,8
4 30,2 30,2 30,1
5 29,4 29,33 29,3
Rata-rata 30,366 30,276 30,646
Tabel 25.Hasil Pengukuran Parameter Keceerahan Air Di Waduk Bilibili Zona 3
Selama 5 Minggu Penelitian Pada 3 Stasiun Pengamatan.
Minggu Stasiun
I II III
1 27,33 36,5 29,5
2 46,16 57 46,5
3 37 25,16 15
4 33,16 36,83 25,66
5 43 40,66 36,66
Rata-rata 35,9125 38,8725 29,165
Tabel 26.Hasil Pengukuran Parameter Kekeruhan Air Di Waduk Bilibili Zona 3
Selama 5 Minggu Penelitian Pada 3 Stasiun Pengamatan.
Minggu Stasiun
I II III
1 29,96 28,59 34,83
2 20,91 21,03 21,9
3 37,52 56,33 96,66
4 25,56 25,83 46,29
5 53,33 49,3 69,33
Rata-rata 33,456 36,216 53,802
48
Tabel 27. Hasil Pengukuran Parameter Kedalaman Air Di Waduk Bilibili Zona 3
Selama 5 Minggu Penelitian Pada 3 Stasiun Pengamatan.
Minggu Stasiun
I II III
1
2 290 630 350
3 540 700 450
4 450 620 270
5 410 600 240
Rata-rata 422,5 637,5 327,5
Tabel 28. Hasil Pengukuran Parameter Kecepatan Arus Air Di Waduk Bilibili
Zona 3 Selama 5 Minggu Penelitian Pada 3 Stasiun Pengamatan.
Minggu Stasiun
I II III
1
2 1,9 3,62 6,43
3 4,59 5,13 5,15
4 6,09 5,31 4,67
5 5,2 5,37 5,15
Rata-rata 4,445 4,8575 5,35
49
Lampiran VII. Foto Alat-Alat Yang Di Gunakan Selama Penelitian
Gambar 1. DO Meter Untuk Mengukur Suhu
Gambar 2. Secchi Disk Untuk Mengukur Kecerahan
50
Gambar 3. Turbidity Meter Untuk Mengukur Kekeruhan
Gambar 4. Tali Yang Diberi Pemberat Untuk Mengukur Kedalaman
51
Gambar 5. Current Meter Untuk Mengukur Kecepatan Arus
Gambar 6. Stopwatch Untuk Mengukur Waktu Tempuh Current Meter
52
RIWAYAT HIDUP
Akbar Syaifullah merupakan anak pertama dari empat
bersaudara pasangan Ibunda Hj. Balak Daeng dg
Rampu ayahanda H. Daeng Siruttung, Lahir di Ujung
Pandang 08 Mei 1992. Pendidikan formal yang dilalui
penulis mulai di SDN NO.1 Centre Pattallassang,
lulus pada tahun 2004, dilanjutkan di SMP Negeri 2
Takalar lulus pada tahun 2007, kemudian penulis
Melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I Takalar lulus tahun 2010. Pada tahun
yang sama, penulis lulus seleksi masuk program studi Budidaya Perairan Fakultas
Pertanian Universitas Muhamm adiyah Makassar. Selama mengikuti perkuliahan,
penulis pernah magang di Balai Benih Ikan Air Tawar (BBI) Kab. Maros. Penulis
juga pernah mengikuti kuliah kerja profesi (KKP) di Kecamatan Tanete Rilau
Kabupaten Pangkep. Atas berkat rahmat Allah Swt, disertai perjuangan keras dan
dorongan semangat dari orang tua dan adik-adikku tercinta, penulis akhirnya
dapat menyelesaikan Studi pada tahun 2014 dengan judul skripsi “Studi Parameter
Fisika Perairan Bagi Perentukukan Budidaya Ikan (Studi Kasus Waduk Bilibili
Zona III Bagian Hulu, Kabupaten Gowa)”.