studi analisis terhadap pasal 155 khi tentang...
TRANSCRIPT
STUDI ANALISIS TERHADAP PASAL 155 KHI TENTANG
KETENTUAN IDDAH BAGI JANDA YANG PUTUS
PERKAWINAN KARENA KHULU'
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: ROSIKA WAHYU ALAMINTAHA
NIM: 032111117
AHWAL AL-SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
DR. Ali Imron, M. Ag. Jl. Kyai Gilang Kauman No. 12 Mangkang Kulon Rt. 02/IV Tugu Semarang
NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi
an. Sdr. Rosika Wahyu Alamintaha
Kepada Yth, Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirim naskah skripsi Saudara :
Nama : Rosika Wahyu Alamintaha
NIM : 032111117
Judul : STUDI ANALISIS TERHADAP PASAL 155
KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG
KETENTUAN IDDAH BAGI JANDA YANG PUTUS
PERKAWINAN KARENA KHULU’
Dengan ini saya mohon kiranya naskah skripsi tersebut dapat segera
diujikan.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 3 Juni 2010 Pembimbing
DR. Ali Imron, M. Ag. NIP. 19730730 200312 1 003
iii
iv
M O T T O
وا في المجالس فافسحوا حذين آمنوا إذا قيل لكم تفسها الي يا أذين آمنوا منكم يفسح اهللا لكم وإذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع اهللا ال
﴾١١: اادلة ﴿ذين أوتوا العلم درجات وال Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan
kepadamu:"Berlapang-lapanglah dalam majlis", lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:"Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. al-Mujadalah:11)
v
PERSEMBAHAN
Dengan segenap usaha dan doa serta nafas kehidupan dari-Nya kulalui
dimensi ruang dan waktu untuk menyelesaikan karya ilmiah ini, kupersembahkan
tulisan ini untuk mereka yang selalu ada untukku dalam suka maupun duka, baik
yang selalu hadir menemaniku atau mereka yang menyertakanku dalam selaksa
doanya. Kupersembahkan tulisan ini khususnya untuk :
o Bapak Suminto dan Ibu Indiyah selaku orang tuaku yang paling aku
cintai, yang telah mengasuh, membimbing, memberikan seluruh kasih
sayang tak bertepi untuk ananda, dan sekaligus sebagai teman
mencurahkan seluruh permasalahan yang ananda hadapi. Salam
sembah dan sayang yang tak terhingga sebagai wujud kasih dan
pengabdian ananda.
o Kakakku Nika Wahyu Indriyanto dan adik-adikku tersayang (Nuria
Wahyu Dinisari, Afif Wahyu Nur Putra, Aditya Utama dan Aditya
Rustama), yang selalu memberikan support dalam setiap langkahku,
serta seluruh keluargaku tercinta, semoga kan kita temukan istana
kebahagiaan di dunia serta di akhirat, semoga kita semua selalu berada
dalam perlindungan Allah SWT.
o Sahabat serta partner-ku semua (Jimat, Jumron, Akbar, Eka, Finta,
Naelis, Ali, Maskur, Kodir el-surento) dan yang tak dapat kusebutkan
satu persatu yang selalu bersama dalam menggapai cita.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan
bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi
satupun pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Bila di
kemudian hari terbukti penulis melakukan plegiasi, maka penulis
bersedia dikenai sanksi menurut peraturan yang berlaku.
Semarang, Juni 2010 Yang membuat deklarasi,
NIM. 032111117
vii
ABSTRAK
Rosika Wahyu Alamintaha (032111117). Studi Analisis Terhadap Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam Tentang Ketentuan Iddah Bagi Janda Yang Putus Perkawinan Karena Khulu’. Skripsi, Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo 2010.
Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa waktu iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah talak. Ini menunjukkan bahwa bagi janda yang masih mengalami haid iddahnya selama tiga quru’. Yang menjadi perumusan masalah, bagaimana ketentuan Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu’?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research) dengan data primer, yaitu Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam, sedangkan data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi atau studi dokumenter. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode deskriptif analisis yakni menggambarkan dan menganalisis ketentuan masa iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu’ dalam Pasal 155 KHI.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam, waktu iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu’ disamakan dengan iddah talak, yaitu bagi janda yang masih kedatangan haid iddahnya selama tiga quru’. Terdapat perbedaan pendapat mengenai makna quru’, sebagian fuqaha berpendapat bahwa quru’ adalah masa haid, sebagian berpendapat bahwa quru’ adalah masa suci, inilah yang dipakai KHI dalam menetapkan ketentuan masa iddah. Meski demikian perbedaannya tidak terlalu signifikan karena jika dikonversikan dalam hitungan hari sebenarnya hampir sama yaitu tiga bulan, menurut Amir Syarifuddin bila dibandingkan antara iddah dengan tiga kali suci dengan tiga kali haid, maka iddah dengan tiga kali haid lebih lama enam hari dibandingkan dengan tiga kali suci.
Menurut sebagian fuqaha waktu iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu’ adalah selama satu kali haid. Alasannya adalah kasus Tsabit bin Qais. Pendapat ini dipegang oleh Utsman, Ibnu Abbas, dan pendapat lebih sahih dari Imam Ahmad dan pendapat Ishak bin Rahawaihi, juga pendapat Ibnu Taimiyyah. Ibnu Al-Qayyim menyatakan bahwa inilah pendapat amiril mukminin Utsman bin Affan, Abdullah bin Umar, Rubayyi' binti Mu'awidz dan pamannya.
Pasal 155 KHI menyamakan iddah-nya khulu’ dengan iddah talak karena kondisi sosiologi dan kultur bangsa Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i. Imam Syafi’i pada awalnya (qaul qadim) menyamakan khulu’ dengan fasakh namun dalam qaul jadid beliau menyamakan khulu’ dengan talak. Sedangkan Imam Malik berasalan dalam hadits Nabi dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al-Nasa’i bahwa dalam hadits tersebut menggunakan istilah ةیقطلا تقھلوط yang dalam perintah tersebut secara jelas menyebutkan istilah talak.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan
karya skripsi yang berjudul “STUDI ANALISIS TERHADAP PASAL 155 KHI
TENTANG KETENTUAN IDDAH BAGI JANDA YANG PUTUS
PERKAWINAN KARENA KHULU’”
Shalawat serta salam senantiasa penulis haturkan kepangkuan beliau
Rasulullah SAW, yang membukakan jalan kebenaran bagi umat manusia, juga
kepada keluarga beliau, para sahabat dan para pengikutnya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Rektor IAIN Walisongo Semarang, Prof. DR. H. Abdul Djamil,
MA., beserta stafnya.
2. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Kajur dan Sekjur Ahwal al-Syahsiyah Bapak Achmad Arief Budiman, M.
Ag. dan Ibu Anthin Lathifah, M. Ag.
4. Bapak DR. Ali Imron M. Ag. selaku Dosen Pembimbing yang dengan
kesabarannya telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Pimpinan Perpustakaan Institut dan Fakultas Syari’ah yang telah
memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis
mampu menyelesaikan penulisan skripsi.
ix
7. Ayah dan Ibu yang senantiasa berdoa serta memberikan apa yang terbaik
yang dimilikinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kakak dan adik-adikku tercinta yang selalu memberikan semangat dalam
setiap langkahku.
9. Alm. nenekku yang tercinta, mohon maaf jika cucu ternyata tidak bisa
memberikan kesempatan kepadamu untuk menyaksikan cucu menjadi
Sarjana sebelum engkau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
10. Kakak-kakak, rekan-rekan dan adik-adikku keluarga besar Racana
Walisongo yang telah memberikan semangat baru kepada penulis untuk
kembali bangkit dan berusaha menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan Jimat, Jumron, Ali, Maskur, Kodir, Akbar,
Komeng, Yusuf, Sugeng, Eka, Finta, Naelis, Uun, dan keluarga besar
Kwartir dan DKR Ngaliyan, thanks for your supports.
12. Sahabat-sahabat di posko 58 Sidomukti om Hilmi, Syaekhuna, Agus, Lek
Kron, Badrun, Ana, dan Ina. Good luck.
13. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu baik moral
maupun materi dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan semuanya.
Tanpa bantuan dari semuanya, mustahil skripsi ini dapat selesai seperti
yang diharapkan. Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam karya ini masih jauh
dari kesempurnaan dan kekurangan. Untuk itu saran dan kritik konstruktif dari
pembaca dan semua pihak senantiasa kami harapkan demi perbaikan keilmuan
penulis di masa mendatang.
Semoga kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan akan mendapat
balasan yang lebih dari Allah SWT. Amin.
Semarang, Juni 2010
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
DEKLARASI ............................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
D. Telaah Pustaka.. ................................................................... 6
E. Metode Penelitian ................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 13
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KHULU’ DAN IDDAH
A. Khulu’. ................................................................................ 15
1. Pengertian khulu’ .. ......................................................... 15
2. Dasar hukum khulu’ ....................................................... 16
3. Syarat dan rukun khulu’.. ................................................ 18
B. Iddah.. ................................................................................. 25
1. Pengertian iddah............................................................. 25
2. Dasar hukum iddah ........................................................ 27
3. Syarat wajib iddah .......................................................... 30
4. Ketentuan masa iddah .................................................... 32
xi
BAB III: MASA IDDAH BAGI JANDA YANG PUTUS
PERKAWINAN KARENA KHULU' MENURUT PASAL
155 KHI
A. Sekilas tentang Kompilasi Hukum Islam .............................. 44
1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam ................................. 44
2. Latar belakang penyusunan Kompilasi Hukum Islam ....... 47
B. Ketentuan iddah dalam pasal 155 KHI.. ............................... 56
BAB IV: ANALISIS TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM
PASAL 155 TENTANG KETENTUAN IDDAH BAGI
JANDA YANG PUTUS PERKAWINAN KARENA
KHULU'
A. Analisis tentang Ketentuan Iddah dalam Pasal 155
Kompilasi Hukum Islam ...................................................... 60
B. Analisis terhadap pasal 155 Kompilasi Hukum Islam ........... 67
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 80
B. Saran-saran .......................................................................... 81
C. Penutup................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu di dunia diciptakan berpasang-pasangan, demikian juga
dengan manusia diciptakan berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan,
terdapat beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah
mereka mempunyai rasa ketertarikan antara satu dengan yang lain, namun
hikmah yang paling utama adalah untuk kelangsungan hidup manusia di
dunia.
ؤذرا ياجوام أزعاألن نما واجوأز فسكمأن نم ل لكمعجيهف ١١:اشورى﴿ ... كم﴾ Artinya : “Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-
pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu”1
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi tentu berbeda dengan
binatang atau makhluk yang lain, dalam Islam untuk menjalin hubungan
antara laki-laki dan perempuan terdapat aturan yang harus dilaksanakan,
dalam Kompilasi Hukum Islam perkawinan yang sah menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2
Dalam menjalani bahtera rumah tangga tentu ada saat-saat merasakan
kebahagiaan, namun demikian adakalanya terdapat permasalahan rumah
1Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : cv Pustaka Agung
Harapan, 2006, hlm. 694. 2Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm. 14.
2
tangga yang cukup kompleks yang dapat memicu terjadinya pertengkaran
yang tidak jarang kemudian mengakibatkan perceraian.
Putusnya perkawinan tidak hanya disebabkan karena perceraian saja,
dalam Undang-undang Perkawinan terdapat 3 (tiga) hal yang dapat
menjadikan putusnya perkawinan yaitu kematian, perceraian dan atas
keputusan Pengadilan.3 Lebih lanjut lagi dalam pasal 114 KHI Putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
gugatan perceraian.4 Dalam istilah fiqh terdapat beberapa hal yang
menyebabkan putusnya perkawinan, Fuad Said mengemukakan bahwa
perceraian dapat terjadi dengan cara : talak, khulu', fasakh, li'an dan ila'.5
Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat terjadinya perceraian
adalah adanya masa iddah. Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang
dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haid atau hari-hari
suci pada wanita. Sedangkan secara istilah, iddah mengandung arti masa
menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya
perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan
tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.6
Para ulama mendefinisikan iddah sebagai nama waktu untuk menanti
kesucian seorang isteri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang
3UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38. 4Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, op. cit., hlm. 53. 5Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 2. 6Abdul Aziz Dahlan, et. al, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 637.
3
sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.7 Menurut Imam Taqi al-
Din, iddah yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan agar
diketahui kandungannya berisi atau tidak.8 Dalam redaksi yang berbeda,
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa iddah dalam istilah agama menjadi nama
bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh nikah
setelah wafat suaminya, atau setelah pisah dari suaminya.9 Sejalan dengan itu,
menurut Sayuti Thalib, pengertian kata iddah dapat dilihat dari dua sudut
pandang :
Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang
telah ada, suami dapat rujuk kepada isterinya. Dengan demikian kata iddah
dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang
waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu dimana pihak suami dapat rujuk
kepada isterinya. Kedua, dilihat dari segi isteri, maka masa iddah itu berarti
sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu dimana isteri belum dapat
melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain.10
Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apa pun, cerai
hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, wajib
menjalani masa iddah itu. Demikian pula bagi janda yang putus perkawinan
karena khulu' maka wajib menjalani masa iddah.
7Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Dar
al-Fikr, 1972, hlm. 395. 8Imam Taqi al-Din, Kifâyah al-Akhyâr, Juz II, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1973, hlm.
124 9Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 341. 10Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku bagi Umat Islam, Jakarta: UI
Press, 1986, hlm. 122.
4
Khulu' adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan
diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan
sebagai imbalan hak talak yang diberikan kepada laki-laki. Dimaksudkan
untuk mencegah kesewenang-wenangan suami dengan hak talaknya, dan
menyadarkan suami bahwa istri pun mempunyai hak sama untuk mengakhiri
perkawinan.
Bahkan, khulu' dapat dimintakan istri kepada suaminya akibat telah
hilangnya perasaan cinta dari istri kepada suaminya walaupun suami tidak
melakukan suatu perbuatan yang menyakiti istrinya. Hak yang sama juga
dapat dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang tidak
mempunyai lagi perasaan cinta kepada istrinya, dengan menjatuhkan talak.
Intisari dari terjadinya suatu ikatan perkawinan adalah kerelaan serta kecintaan
kedua belah pihak untuk melaksanakan hidup bersama. Oleh karena itu
seandainya kecintaan itu tidak didapati lagi dalam perkawinan, maka kerelaan
pun akan hilang. Akibatnya persekutuan itu tidak akan lagi dapat diharapkan
kemaslahatannya. Apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan mereka yang
terlibat dalam persekutuan itu tidak dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan
Allah dan mereka akan terseret untuk memasuki wilayah-wilayah yang
diharamkan Allah.11
Khulu' dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari
suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan demikian,
khulu' menurut istilah syara' adalah perceraian yang diminta oleh istri dari
11Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 172
5
suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri
memisahkan dirinya dari suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya.
Bagi seorang janda yang putus perkawinan karena khulu' maka ia
harus menjalani masa iddah. Masalah yang muncul adalah berapa lama
seorang janda yang putus perkawinan karena khulu' harus menjalani masa
iddah. Menurut Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) waktu iddah bagi
janda yang putus perkawinan karena khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah
talak. Dari bunyi Pasal tersebut menunjukkan bahwa bagi janda yang masih
kedatangan haid masa iddahnya adalah tiga kali haid.
Masa iddah dalam Pasal 155 KHI tersebut berbeda dengan pendapat
sebagian ulama yang menyatakan bahwa iddah wanita yang bercerai dengan
suaminya dengan cara khulu' adalah satu kali haid. Dasar hukumnya adalah
hadits riwayat al-Nasa’i dalam kasusnya Tsabit bin Qais yang isinya Nabi saw
memerintahkan istri Tsabit bin Qais yang mengajukan khulu’ untuk iddah satu
kali haid. Beriddah satu kali haid tersebut pendapat yang dipegang oleh
Utsman, Ibnu Abbas, dan pendapat lebih sahih dari Imam Ahmad dan
pendapat Ishak bin Rahawaihi.12
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis merasa perlu mengkaji
lebih lanjut tentang alasan KHI dalam menetapkan ketentuan iddah dalam
pasal 155 tersebut yang menyamakan antara iddah-nya janda yang putus
perkawinan karena khulu’ dengan iddah-nya janda yang putus perkawinan
12Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 328.
6
karena talak dengan judul : Studi Analisis terhadap Pasal 155 KHI tentang
Ketentuan Iddah bagi Janda yang Putus Perkawinan Karena Khulu'
B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, yang menjadi
perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana ketentuan iddah dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam?
2. Apa yang menjadi alasan dalam menyamakan iddah khulu’ dengan iddah
talak pada Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui ketentuan iddah dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum
Islam
2. Untuk mengetahui alasan dalam menyamakan iddah khulu’ dengan iddah
talak pada Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam
D. Telaah Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, ada beberapa penelitian yang materi
bahasannya hampir sama dengan penelitian ini, namun fokus penelitiannya
belum menyentuh pada persoalan Pasal 155 KHI tentang ketentuan iddah bagi
janda yang putus perkawinan karena khulu'. Penelitian tersebut di antaranya :
1. Skripsi yang disusun Ali Zubaidi (NIM: 2101297) dengan judul "Studi
Analisis Pendapat al-Syafi'i tentang Hak-hak Isteri yang Sedang Iddah".
Pada intinya penyusun skripsi ini mengungkapkan bahwa tentang hak-hak
7
isteri yang sedang iddah terjadi perbedaan pendapat. Pendapat pertama
menyatakan bahwa isteri tersebut tidak memperoleh tempat tinggal
maupun nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad, Dawud, Abu
Tsaur, Ishaq. Pendapat kedua menetapkan bahwa isteri berhak mendapat
tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh fuqaha Kufah.
Pendapat ketiga hanya menetapkan bahwa tempat tinggal untuk isteri
tersebut tanpa nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Syafi'i. Silang
pendapat ini disebabkan adanya perbedaan riwayat tentang hadits Fatimah
binti Qais dan adanya pertentangan antara hadits tersebut dengan lahir ayat
al-Qur'an.
2. Skripsi yang disusun Muhammad Arifin Subki (NIM: 2198146) dengan
judul: "Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Khulu' yang
Dijatuhkan dengan Imbalan Barang yang Haram". Dalam kesimpulan
skripsi ini dijelaskan bahwa fuqaha berselisih pendapat tentang khulu'
yang dijatuhkan dengan imbalan barang yang haram, seperti khamr atau
babi, apakah istri harus mengganti atau tidak, setelah mereka sependapat
bahwa talak dapat terjadi.
3. Skripsi yang disusun Ahmad Mutohar (NIM: 2101104) dengan judul:
"Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kedudukan Khulu' sebagai
Talak dan Fasakh". Pada intinya penyusun skripsi ini mengungkapkan
bahwa Imam Abu Hanifah menyamakan khulu' dengan talak dan fasakh
secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu'
8
adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad dan Dawud,
dan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas r.a.
Beberapa buku yang membahas persoalan khulu', di antaranya :
Abdurrrahmân al-Jazirî, dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz.
4 menguraikan pendapat empat mazhab tentang persoalan khulu' dan akibat
hukumnya. Fuad Said dalam bukunya, Perceraian Menurut Hukum Islam
mengemukakan bahwa rukun khulu' itu ada empat yaitu 1. istri (yang
membayar iwad); 2. iwad; 3. shighat; 4. suami.13 Pendapat yang sama
dikemukakan Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia bahwa rukun khulu' ada empat (pertama, suami yang menceraikan
istrinya dengan tebusan; kedua, istri yang meminta cerai dari suaminya dengan
uang tebusan; ketiga, uang tebusan atau iwad; keempat, alasan untuk
terjadinya khulu'.14
Adapun tentang syarat khulu', maka menurut Ibnu Rusyd dalam
kitabnya Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II mengenai
syarat-syarat diperbolehkannya khulu', ada yang berkaitan dengan kadar harta
yang boleh dipakai khulu' dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan)
di mana khulu' boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan
wanita yang melakukan khulu', atau wali-wali wanita yang tidak boleh
bertindak sendiri.15
13Fuad Said, op.cit,, hlm. 102 14Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 234. 15Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 51
9
Imam Malik dalam Kitabnya al-Muwatta' menyatakan bahwa suami
isteri yang bercerai karena khulu' maka masa iddahnya adalah tiga priode
menstruasi.16 Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh al-Sunnah menguraikan
pendapat para ulama tentang masa iddah bagi janda yang putus perkawinan
karena khulu'.
Dalam kitab Fiqh al-Sunnah tersebut dijelaskan bahwa jumhur ulama
berpendapat, iddah wanita yang bercerai dengan suaminya dengan cara khulu'
adalah tiga kali haid. Akan tetapi sebagian ulama menyatakan iddahnya satu
kali haid. Alasannya kasus Tsabit bin Qis. Beriddah satu kali haid adalah
pendapat Utsman, Ibnu Abbas, pendapat lebih sahih dari Imam Ahmad dan
pendapat Ishak bin Rahawaihi, dan ini juga pendapat Ibnu Taimiyyah. Ibnu al-
Qayyim menyatakan bahwa inilah pendapat amiril mukminin Utsman bin
Affan, Abdullah bin Umar, Rubaiyi' binti Mu'awidz dan pamannya.17
Adapun beberapa buku atau kitab yang membicarakan masalah iddah
di antaranya :
1. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, dalam bukunya menyatakan
Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang melakukan
perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang ditentukan oleh syari'at.
Masa yang ditentukan oleh syari'at ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada suami dan istri untuk berpikir, apakah perkawinan
tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara ruju' (kembali), jika
16Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, Muwatta' Malik,
Mesir: Tijariyah Kubra, tth., hlm. 345. 17Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 328.
10
perceraian itu terjadi pada talak raj'i (talak satu dan dua), atau perceraian
itu lebih baik bagi keduanya. Namun persoalannya berapa lama seorang
wanita menjalani masa iddah. Persoalan ini akan berlanjut pada masalah
arti quru' yang menjadi perbedaan pendapat.18
2. Imam Taqi al-Din dalam kitabnya menjelaskan bahwa perempuan yang
beriddah ada dua macam yaitu 1). Perempuan yang ditinggalkan mati
suaminya. 2). Perempuan yang tak ditinggalkan mati suaminya.
Adapun yang ditinggalkan mati suaminya, kalau perempuan
tersebut hamil, maka iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan. Dan
kalau tidak hamil, maka iddahnya empat bulan sepuluh hari.19
3. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya menyatakan bahwa iddah adalah
masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya
untuk memungkinkan melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain.
Ditinjau dari sebab terjadinya perceraian, iddah dapat dibagi dua, yaitu
iddah kematian dan iddah talak. Ditinjau dari perhitungan masanya, iddah
dibagi tiga yaitu iddah dengan perhitungan bulan, iddah dengan
perhitungan suci dari mens dan iddah dengan melahirkan kandungan.20
Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu
penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengungkapkan persoalan
18Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Jakarta: kencana, 2006, hlm. 240-241. 19Imam Taqi al-Din, loc.cit. 20Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999, hlm. 94-
95.
11
Pasal 155 KHI tentang waktu iddah bagi janda yang putus perkawinan karena
khulu'.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang
langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan
dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Dalam versi lain dirumuskan,
metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data,
sedangkan instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan
data itu,21 maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:22
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library
research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan library
research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau
penelitian murni.23 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji
dokumen atau sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain.
21Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. 22Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau metodologi research adalah ilmu yang
memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24.
23Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9.
12
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer, yaitu Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam.
b. Data Sekunder, yaitu literatur pendukung lainnya yang relevan dengan
judul di atas, di antaranya: karya Abd Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-
Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah; karya Imam Malik, kitab al-
muwatta’; karya Imam Syafi’i, al-Umm; karya al-Naisaburi Sahih
Muslim; karya Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al
Muqtasid; karya Imam Taqi al-Din, Kifâyah al-Akhyâr; karya sayyid
sabiq, Fiqh al-Sunnah; karya Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam
di Indonesia; karya Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi atau studi
dokumenter24 yaitu dengan meneliti sejumlah buku di perpustakaan, jurnal
ilmiah dan hasil penelitian yang relevan dengan tema skripsi ini.
Kemudian memilah-milahnya dengan memprioritaskan sumber bacaan
yang memiliki kualitas, baik dari aspek isinya maupun kualitas penulisnya.
Untuk itu digunakan data kepustakaan yang berhubungan dengan
persoalan Pasal 155 KHI tentang waktu iddah bagi janda yang putus
perkawinan karena khulu'.
24Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi. yaitu mencari data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 206.
13
4. Teknik Analisis Data
Data-data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yakni menggambarkan dan
menganalisis Pasal 155 KHI tentang waktu iddah bagi janda yang putus
perkawinan karena khulu'.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-
masing membahas permasalahan yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari
keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta
padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah
yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul,
dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas
sudah dapat ditangkap mengenai substansi skripsi. Selanjutnya untuk lebih
memperjelas maka dikemukakan pula tujuan penelitian baik ditinjau secara
teoritis maupun praktis. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh
signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan
penjiplakan maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang
dituangkan dalam tinjauan pustaka. Demikian pula metode penulisan diungkap
apa adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi jenis penelitian,
pendekatan, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data.
Pengembangannya kemudian tampak dalam sistematika penulisan. Dengan
14
demikian, dalam bab pertama ini tampak penggambaran isi skripsi secara
keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi
pedoman untuk bab kedua, ketiga, bab keempat, dan bab kelima.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang khulu' dan iddah yang
meliputi tentang khulu' (pengertian khulu', dasar hukum khulu', syarat dan
rukun khulu'), tentang iddah (pengertian iddah, dasar hukum iddah, syarat
wajib iddah, ketentuan iddah).
Bab ketiga berisi ketentuan iddah bagi janda yang putus perkawinan
karena khulu' Pasal 155 KHI yang meliputi sekilas tentang Kompilasi Hukum
Islam (pengertian kompilasi hukum Islam, latar belakang penyusunan
kompilasi hukum Islam), ketentuan iddah dalam pasal 155 kompilasi hukum
Islam.
Bab keempat berisi analisis terhadap kompilasi hukum Islam Pasal 155
tentang ketentuan iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu' yang
meliputi analisis tentang ketentuan iddah dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum
Islam, analisis terhadap Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam dalam tinjauan
perspektif fikih.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
penutup.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KHULU' DAN IDDAH
A. Khulu'
1. Pengertian Khulu'
Khulu' berasal dari kata khala'as tsauba (خلع الثوب) yang berarti
menanggalkan pakaian. Khulu' adalah mashdar dari khala'a seperti
khatha'a, yang artinya menanggalkan :
1 خلع الرجل ثوبه خلعا أزاله عن بدانه ونزعه عنه
Artinya : Laki-laki menanggalkan pakaiannya, atau dia melepaskan pakaiannya dari badannya.
2 امرأته وخالعت املرأة زوجهاخمالعة إذا افتدت منه الرجلخلع
Artinya : Seorang laki-laki meng-khulu' istrinya, berarti dia menanggalkan istrinya itu sebagai pakaiannya apabila istri membayar tebusan.
Abdurrahman Al-Jaziri memberikan definisi Khulu' menurut
masing-masing madzhab :3
a. Golongan Hanafi mengatakan :
اخللع ازالة ملك النكاح املتوقفة على قبول املرأة بلفظ اخللع اوما ىف معناة
Artinya : Khulu' ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri dengan lafaz khulu' atau yang semakna dengan itu."
1Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz. 4, Beirut : Dâr
al-Fikr, 1972, hlm. 299. 2Ibid.,hlm. 299-230 3Ibid., hlm. 300
16
b. Golongan Malikiyah mengatakan :
اخللع شرعا هوالطالق بعوض
Artinya : Khulu' menurut syara' adalah talak dengan tebus.
c. Golongan Asy-Syafi'iyah mengatakan :
الدال على الفراق بني الزوجني بعوض فظلالشرعاهو اخللع متوفرة فيه الشروط
Artinya : Khulu' menurut syara' adalah lafaz yang menunjukkan perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu.
d. Golongan Hanabilah mengatakan:
امرأتـه الزوج امرأته بعوض يأخذه الزوج مـن فراقهو اخللع صوصة اوغريهابألفاظ خم
Artinya : Khulu adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil oleh suami dan istrinya atau dari lainnya dengan lafaz tertentu.
Khulu' dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari
suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan
demikian, khulu' menurut istilah syara' adalah perceraian yang diminta
oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya.
Artinya istri memisahkan dirinya dari suaminya dengan memberikan ganti
rugi kepadanya.
2. Dasar Hukum Khulu'
Khulu’ disyariatkan dalam hukum Islam, adapun yang menjadi
dasar hukum khulu’ adalah Firman Allah surat al-Baqarah :
17
وال يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا إال أن يخافا أال يقيمـا يمـا يقيما حدود الله فال جنـاح عليهمـا ف حدود الله فإن خفتم أال
به تد٢٢٩: البقرة﴿افت﴾ Artinya : “tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya." (Q.S.Al-Baqarah: 229).4
Adapun yang menjadi dasar hukum khulu’ selain Firman Allah di
atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. :
ـنع ـدالا خثندح ياب الثقفهالودبا عثنديل حمج نب رها أزثندحعليه تت النبي صلى اللهأعكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس
وسلم فقالت يا رسول الله ثابت بن قيس ما أعتب عليه في خلق ولـا عليـه رسول الله صلى الله دين ولكني أكره الكفر في الإسلام فقال
درأت لمسقالو معن قالت هيقتدح هليع لى الله ينص ول اللهسر ـهليع )نسائرواه ال(وسلم اقبل الحديقة وطلقها تطليقة
Artinya : Telah mengabarkan kepada kami dari Azhar bin Jamil dari Abdul Wahhab al Tsaqafi dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas sesungguhnya istri Tsabit bin Qais Syammas datang kepada Rasulullah SAW. sambil berkata, "Wahai Rasulullah! aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW., "Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit suaminya?)" Jawabnya, "Mau" Maka Rasulullah SAW. bersabda,
4Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya :
DEPAG RI, 1978, hlm. 55.
18
"Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali talak." (H.R. An-Nasai).5
Firman Allah dan hadits di atas menjadi dalil disyari'atkannya
khulu' dan sahnya khulu' yang diajukan oleh istri.
3. Syarat dan Rukun Khulu'
Menurut Fuad Said rukun khulu' itu ada empat yaitu 1. istri (yang
membayar iwad); 2. iwad; 3. shighat; 4. suami.6 Pendapat lain
dikemukakan Amir Syarifuddin bahwa rukun khulu' ada empat (pertama,
suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan; kedua, istri yang
meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan; ketiga, uang tebusan
atau iwad; keempat, alasan untuk terjadinya khulu'.7 Adapun tentang syarat
khulu', maka menurut Ibnu Rusyd mengenai syarat-syarat
diperbolehkannya khulu', ada yang berkaitan dengan kadar harta yang
boleh dipakai khulu' dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan) di
mana khulu' boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan
wanita yang melakukan khulu', atau wali-wali wanita yang tidak boleh
bertindak sendiri.
a. Harta/barang yang dipakai untuk khulu'
Dalam hal ini, syarat khulu' bisa dilihat dari segi :
5Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,
hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
6Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 102
7Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2006, hlm. 234.
19
1) Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu'
Imam Malik, Syafi'i dan segolongan fuqaha berpendapat
bahwa seorang istri boleh melakukan khulu' dengan memberikan
harta yang lebih banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari
suami jika kedurhakaan itu datang dari pihaknya, atau bisa juga
memberikan yang sebanding dengan mahar atau lebih sedikit.
Segolongan fuqaha lain berpendapat bahwa suami tidak boleh
mengambil lebih banyak dari mahar yang diberikan kepada
istrinya.
Bagi fuqaha yang mempersamakan kadar harta dalam
khulu' dengan semua pertukaran dalam mu'amalat, maka mereka
berpendapat bahwa kadar harta itu didasarkan atas kerelaan.
Sedangkan fuqaha yang memegang hadis secara dhahir, maka
mereka tidak membolehkan pengambilan harta yang lebih banyak
daripada mahar. Mereka seolah-olah menganggap bahwa perbuatan
tersebut termasuk pengambilan harta tanpa hak.8
2) Sifat harta pengganti
Imam Syafi'i dan Abu Hanifah mensyaratkan bahwa harta
tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya. Sedangkan
Imam Malik membolehkan harta yang tidak diketahui kadar dan
wujudnya, serta harta yang belum ada. Perbedaan pendapat tersebut
disebabkan oleh adanya kemiripan harta pengganti khulu' dengan
8Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut : Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 51
20
harta pengganti dalam hal jual beli, barang-barang hibah, atau
wasiat.
Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam
khulu' dengan jual beli, mereka mensyaratkan padanya syarat-
syarat yang terdapat dalam jual beli dan harta pengganti dalam jual
beli. Sedang bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti
dalam khulu' dengan hibah, mereka tidak menetapkan syarat-syarat
tersebut. Tentang khulu' yang dijatuhkan dengan barang-barang,
seperti minuman keras, fuqaha berselisih pendapat : apakah istri
harus mengganti atau tidak, setelah mereka sepakat bahwa talak itu
dapat terjadi. Imam Malik mengatakan bahwa istri tidak wajib
menggantinya. Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah.
Sedang Imam Syafi'i berpendapat bahwa istri wajib mengeluarkan
mahar misil.9
3) Keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan
khulu'
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu' boleh diadakan
berdasarkan kerelaan suami istri, selama hal itu tidak
mengakibatkan kerugian pada pihak istri. Dasarnya adalah Firman
Allah SWT :
و ةشبفاح نيأتإال أن ي نوهمتيا آتض معوا بببذهتل نلوهضعال ت ةنيب۱٩: النساء﴿م﴾
9Ibid., hlm. 51.
21
Artinya : “dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (Q.S. An-Nisa:19).10
Selain ayat di atas yang menjadi dasar hukum yang lain
adalah surat al-Baqarah ayat 229 sebagaimana disebutkan di atas.
Abu Qilabah dan Hasan Al-Basri berpendapat bahwa suami
tidak boleh menjatuhkan khulu' atas istrinya, kecuali jika ia melihat
istrinya berbuat zina, karena mereka mengartikan bahwa "keji"
dalam ayat di atas dengan perbuatan zina. Daud berpendapat bahwa
suami tidak boleh menjatuhkan khulu' kecuali bila ada
kekhawatiran bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, berdasarkan ayat tersebut secara
zahir. Adapun An-Nu'man mengatakan bahwa khulu' dapat
dijatuhkan meskipun merugikan.
Berdasarkan aturan fiqih, khulu’ diberikan kepada istri
sebagai imbangan talak yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu,
talak diberikan kepada suami jika ia membenci istri, maka khulu'
diberikan kepada istri jika ia membenci suami. Dengan demikian
terdapat keseimbangan antara keduanya.11
b. Istri yang Boleh Mengadakan Khulu'
Di kalangan jumhur fuqaha telah disepakati bahwa istri yang
mampu boleh mengadakan khulu' untuk dirinya, sedangkan perempuan
10Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 55. 11Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung : CV Pustaka Setia,
1999, hlm. 91.
22
hamba tidak boleh mengadakan khulu' untuk dirinya, kecuali dengan
seizin tuannya. Demikian juga istri yang bodoh (safihah) adalah
bersama walinya, sebagaimana pendapat fuqaha yang menetapkan
adanya kemampuan atasnya.
Imam Malik berpendapat bahwa seorang ayah boleh
mengadakan khulu' untuk anaknya (perempuan) yang masih kecil
sebagaimana ia boleh menikahkannya. Demikian pula untuk anak
lelakinya yang masih kecil, karena menurut Imam Malik seorang ayah
dapat menceraikan atas namanya. Kemudian timbul perbedaan
pendapat berkenaan dengan anak lelaki yang masih kecil (di bawah
umur). Imam Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ayah tidak
boleh mengadakan khulu' atas namanya, karena itu seorang ayah tidak
boleh menjatuhkan talak atas namanya juga.
Selanjutnya, Imam Malik berpendapat bahwa, istri yang sedang
sakit keras boleh mengadakan khulu'. jika harta tebusannya sebesar
warisan dari suaminya. Tetapi Ibnu Nafi' mengatakan bahwa istri yang
sakit tersebut dapat mengadakan khulu' dengan sepertiga dari jumlah
harta seluruhnya.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa apabila istri mengadakan
khulu' sebesar mahar misilnya, maka hal itu diperbolehkan, dan harta
tersebut diambil dari sebagian dari harta pokok. Apabila lebih dari
mahar misil, maka tambahan tersebut harus dari sepertiga dari harta
pokok.
23
Adapun istri yang terlantar (Al-Muhmalah), yakni yang tidak
memiliki wasi dan ayah, maka Ibnu Qasim berpendapat bahwa ia boleh
mengadakan khulu' atas dirinya sebesar mahar misil. Jumhur ulama
mengatakan bahwa istri yang dapat menguasai dirinya boleh
mengadakan khulu'. Sebaliknya Al-Hasan dan Ibnu Sirin berpendapat
bahwa ia tidak boleh mengadakan khulu' kecuali dengan ijin penguasa.
Mengenai rukun khulu', selain dua hal tersebut di atas (adanya harta
yang digunakan. dan istri yang mengadakan khulu') juga harus ada
ucapan khulu'.12
Fuqaha berpendapat bahwa dalam khulu' harus diucapkan kata
" khulu' " خلع atau lafal yang terambil dari khulu'. Atau bisa juga kata
lain yang seperti dengannya. seperti: "mubara'ah" (مبارأة) = melepas
diri dan fidyah (فدیة) = tebusan.13
Jika tidak menggunakan kata khulu' atau yang searti
dengannya, misalnya suami berkata, "Engkau tertalak" sebagai imbalan
dari barang-barang seharga sekian, lalu istri mau menerimanya. Maka
perbuatan ini termasuk talak dengan imbalan harta. bukan termasuk
khulu'.
Ibnu Qayim menyangkal pendapat tersebut, katanya,
"Barangsiapa yang hendak memikirkan hakikat dan tujuan dari akad
atau perjanjian bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja.
12Ibid., hlm. 91. 13Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970., hlm. 320.
24
tentu akan menganggap khulu' sebagai fasakh. bila diucapkan dengan
kata apapun, sekalipun dengan kata "talak". Pendapat ini juga
merupakan salah satu pendapat murid-murid Imam Ahmad. Juga
pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata, "Barang siapa hanya melihat
dan berpegang kepada lafal-lafal itu, dan memperhatikannya pula
bagaimana adanya dalam hukum akad, tentu ia akan menentukan lafal
"talak" untuk "talak" saja.
Selanjutnya Ibnu Qayim melemahkan pendapat ini. katanya,
"Orang yang membaca fiqh dan ushul fiqh akan dapat menyaksikan
bahwa dalam akad yang diperhatikan adalah hakikat dan maksud
akadnya, bukan formalitas dan sekadar kata-kata yang diucapkannya."
Alasannya ialah bahwa Nabi SAW. pernah menyuruh Tsabit Ibnu Qais
agar menalak istrinya secara khulu'. dengan sekali talak. Selain itu
Nabi SAW. menyuruh istri Tsabit untuk beriddah sekali haid. Hal ini
jelas menunjukkan fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan
ucapan talak.14
Di samping itu, Allah SWT juga menghubungkannya dengan
hukum fidyah, karena memang ada fidyahnya. Telah diketahui bahwa
fidyah tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kala khusus, dan
Allah pun tidak menetapkan lafal yang khusus untuk itu. Talak dengan
tebusan sifatnya terbatas dan tidak tergolong ke dalam hukum talak
14Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 93.
25
yang umum sebagaimana ia tidak tergolong kepada hukum talak yang
dibolehkan rujuk kembali, dan beriddah dengan tiga kali suci seperti
ketentuan sunnah yang sah.
B. Iddah
1. Pengertian Iddah
Dalam Kamus Arab Indonesia, iddah berasal dari عدا -یعد –عد
(membilang, menghitung).15 Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir,
iddah berarti sejumlah (العدة).16 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
iddah berarti waktu menanti (lamanya 100 hari) bagi perempuan yang
ditalak atau kematian suaminya (selama waktu itu ia tidak boleh kawin
lagi) sampai iddahnya telah habis.17 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, iddah adalah masa tunggu (boleh belum menikah) bagi wanita
yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati:
wanita yang ditalak oleh suaminya harus menjalani selama tiga kali suci
dari menstruasi.18 Sedangkan dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia,
iddah berarti waktu yang lamanya 100 hari sesudah perempuan bercerai
dengan suaminya atau ditinggalkan suaminya sesudah meninggalnya.
15Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 256. 16Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997, hlm. 903 17W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka,
Cet. 5, 1976, hlm. 368. 18Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm. 416.
26
Dalam waktu itu perempuan tidak boleh kawin, hal ini untuk mendapat
kejelasan siapa bapak dari anak itu.19
Dalam Fath al-Mu’în disebutkan :
اهلا على عدد اقراء واشـهر غالبـا هي مأخوذة من العدد الشتم العدةمدة تتربص فيها املرأة ملعرفة براءة رمحها من احلمـل او : وهي شرعا
ماال يعقل معناه عبادة كان اوغريها اولتفجعهـا :للتعبد وهو اصطالحا 20 على زوج مات
Artinya: "Kata دة دد diambil dari الع karena hal itu ,(bilangan) العmencakup bilangan beberapa quru' dan beberapa bulan, pada umumnya." "Iddah menurut syara' ialah masa menunggu buat wanita (tercerai), untuk bisa diketahui rahimnya bebas kandungan atau untuk ta'abbud; Ta'abbud yaitu sesuatu yang tidak bisa diterima/dipikirkan oleh akal mengenai ma'nanya baik berupa ibadah atau bukan ibadah, atau bela sungkawanya atas kematian suami "
Dalam kitab Kifâyah Al Akhyâr dirumuskan:
21 معدوده تتربص فيهااملرأة ليعرف براءة رمحهاي العدة ه
Artinya : "Iddah yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan agar diketahui kandungannya berisi atau tidak."
Sayyid Sabiq memberi rumusan :
Iddah menurut istilah adalah :
ي اسم للمدة اليت تنتظرفيهااملرأة ومتتنع عن التزويج بعد وفـاة ه العدة 22زوجها
19Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta : Grafika, tth, hlm.
366. 20Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Kairo : Maktabah Dar al-
Turas, 1980, hlm. 116. 21Imam Taqi al-Din, Kifâyah Al Akhyâr, Juz II, Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1973,
hlm. 124
27
Artinya: "Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh nikah setelah wafat suaminya, atau setelah pisah dari suaminya."
Dari beberapa rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa iddah
adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk
tidak melakukan akad nikah dengan laki-laki lain dalam masa tersebut
sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan
suaminya itu, dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat
hubungan dengan suaminya itu.
2. Dasar Hukum Iddah
Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat pernyataan
perceraian adalah adanya masa iddah.23 Perempuan yang bercerai dari
suaminya dalam bentuk apa pun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau
tidak, masih berhaid atau tidak, wajib menjalani masa iddah itu.
Kewajiban menjalani masa iddah dapat dilihat dari beberapa ayat Al-
Qur'an, di antaranya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
كتأن ي نل لهحال يء ووثالثة قر بأنفسهن نصبرتي طلقاتالمـا وم نم هنامحي أرف الله لق٢٢٨: البقرة﴿خ﴾
Artinya : "Perempuan-perempuan yang ditalaq oleh suaminya hendaklah
menunggu masa selama tiga kali quru’. Tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya” (QS. al-Baqarah: 228).24
22Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 341. 23Hammudah Abd. Al'ati, The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, "
Keluarga Muslim", Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984, hlm. 310. 24Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 55.
28
Di antara hadis Nabi yang menyuruh menjalani masa iddah
tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayat Ibnu
Majah dengan sanad yang kuat yang bunyinya:
حدثنا علي بن حممد حدثنا وكيع عن سفيان عن منصور عن إبـراهيم النيب صلى اهللا عليه وسلم بريـرة أن عن األسود عن عائشة قالت أمر
25)رواه اىب داود( د بثالث حيضعتت
Artinya : “Telah mengabarkan kepada kami dari Ali bin Muhammad dari Waki' dari Sufyan dari Mansur dari Ibrahim dari Aswad dari A'isyah berkata: Nabi Saw menyuruh Barirah untuk beriddah selama tiga kali haid.” (HR. Abu Daud).
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkanya iddah itu adalah
sebagaimana dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan
sebelumnya, yaitu :
Pertama : untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut
dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh
ulama. Pendapat ulama waktu itu didasarkan kepada dua alur pikir :
a. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit
orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam
perut perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak
siapa sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk
menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau
diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih
dari peninggalan mantan suaminya.
25Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, hadis No. 2800 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
29
b. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru
berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya
atau tidak kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa
itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.
Alur pikir pertama tersebut di atas tampaknya waktu ini tidak
relevan lagi karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin
hanya dari satu bibit dan berbaurnya beberapa bibit dalam rahim tidak
akan mempengaruhi bibit yang sudah memproses menjadi janin itu.
Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan lagi karena waktu ini sudah
ada alat yang canggih untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim
perempuan dari mantan suaminya. Meskipun demikian, iddah tetap
diwajibkan dengan alasan dibawah ini.26
Kedua : untuk ta’abbud, artinya semata untuk memenuhi kehendak
dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh
dalam hal ini, umpamanya perempuan yang cerai karena kematian suami
dan belum digauli oleh suaminya itu, masih tetap wajib menjalani masa
iddah, meskipun dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak
meninggalkan bibit dalam rahim isterinya itu.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah
agar suami yang telah menceraikan isterinya itu berpikir kembali dan
menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu.
26Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2000, hlm. 201.
30
Dengan adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa
harus mengadakan akad baru.27
3. Syarat Wajib Iddah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa iddah adalah
masa di mana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu.28
Yang dimaksud dengan syarat wajib di sini adalah syarat-syarat yang
menentukan adanya hukum wajib; bentuk syaratnya adalah alternatif;
dalam arti apabila tidak terdapat salah satu syarat-syarat yang ditentukan,
maka tidak ada hukum wajib, sebaliknya apabila salah satu di antara syarat
yang ditentukan telah terpenuhi, maka hukumnya adalah wajib. Syarat
wajib iddah ada dua, yaitu :
a. Matinya suami. Apabila isteri bercerai dengan suaminya karena
suaminya meninggal dunia, maka perempuan itu wajib menjalani
masa iddah, baik dia telah bergaul dengan suaminya itu atau belum.
Dalam hal ini tidak ada beda pendapat di kalangan ulama.29 Yang
menjadi dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 234 :
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا فإذا بلغن أجلهن فال جناح عليكم فيما فعلن في
بريلون خمعا تبم اللهو وفرعبالم ٢٣٤: بقرةال﴿أنفسهن﴾
27Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 304 28Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar,
"Fiqih Wanita", Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 448. 29Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 306.
31
Artinya : “Orang-orang yang meninggal di antaramu dan meninggalkan isteri hendaknya dia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Apabila telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia berbuat terhadap dirinya dengan cara yang baik. Allah Maha Tahu terhadap apa yang mereka lakukan.” (QS. al-Baqarah (2): 234).30
Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan keharusan isteri
yang ditinggal mati suami wajib menjalani masa iddah selama empat
bulan sepuluh hari. Meskipun dia belum digauli, tidak berlaku baginya
ketentuan tidak ber-iddah sebagaimana yang disebut dalam surat al-
Ahzab ayat 49. Ketentuan ini merupakan kesepakatan ulama.
b. Isteri sudah bergaul dengan suaminya. Apabila suami belum bergaul
dengan isterinya, maka isteri tersebut tidak memenuhi syarat untuk
dikenai kewajiban ber-iddah. Ketentuan ini berdasarkan kepada surat
al-Ahzab ayat 49:
مؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن يا أيها الذين آمنوا إذا نكحتم ال ﴾٤٩: األحزاب﴿تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk beriddah terhadapmu.” (QS. al-Ahzab (33): 49).
Dalam memahami kata "bergaul" atau al-massu ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa bergaul itu maksudnya
adalah hubungan kelamin. Apabila terjadi hubungan kelamin, maka
wajib iddah. Sedangkan perbuatan lain di luar itu seperti khalwah
30Depag RI, op.cit., hlm. 17.
32
tidak mewajibkan iddah. Sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad
dan al-Syafi'i, ulama ahlu ra'yi (Hanafiyah), berpendapat bahwa
apabila telah terjadi khalwah meskipun tidak sampai hubungan
kelamin, telah wajib iddah. Alasan yang dikemukakan golongan ini
adalah apa yang diriwayatkan dari Khalifah yang Berempat bahwa
bila sudah ditutup gorden atau telah ditutup pintu (maksudnya adalah
khalwah) telah wajib mahar dan telah wajib iddah.31
4. Ketentuan Masa Iddah
Masa iddah tidaklah selalu sama pada setiap wanita. Al-Qur'an
memberikan petunjuk dalam berbagai ungkapan yang menegaskan bahwa
masa iddah ditetapkan berdasarkan keadaan wanita sewaktu dicerai atau
ditinggal mati oleh suaminya dan juga berdasarkan atas proses perceraian,
apakah cerai mati atau cerai hidup. Uraian berikut dikemukakan
berdasarkan atas perbedaan ini.
a. Pembedaan Ditinjau dari Keadaan Wanita
Ada beberapa keadaan wanita sewaktu ia dicerai oleh
suaminya yang menjadi patokan dalam penentuan masa iddah.
1) Qabl al-mass dan ba'd al mass
Sudut tinjauan pertama yang dapat dilihat dalam al-Qur'an
adalah apakah wanita itu sudah digauli (ba'd al-mass) atau belum
(qabl al-mass):
31Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 307.
33
يا أيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل دع نم هنليع ا لكمفم نوهسما أن تهوندتعت ة
﴾٤٩:األحزاب﴿Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” (Q.S.Al-Ahzab: 49).32
Ungkapan al-mass (an tamassu) dalam ayat ini dipahami
oleh para ulama dengan makna al-duhhul.33 Tampaknya para
ulama sepakat menyatakan bahwa ungkapan qabla an
tamassuhunna berarti qabla al-dukhul; sehingga ayat ini dipahami
sebagai petunjuk bahwa wanita ghair al-madkhul biha tidak perlu
menghitung masa iddah. Dengan demikian, wanita tersebut
dibolehkan melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain
selepas dari perceraian itu. Ini berarti bahwa persoalan iddah
dengan segala bentuk dan macamnya hanya dihubungkan dengan
wanita al-madkhul biha.34
Namun, persoalan dukhul tampaknya tidak mudah untuk
dijadikan patokan. Dari beberapa pembicaraan para ulama
berkenaan iddah, setidaknya ada dua istilah yang sering
digunakan, yaitu khalwat dan fi hukmi al dukhul. Khalwat yang
32Depag RI, op.cit., hlm. 675. 33Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 66. 34Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 278.
34
belum tentu terjadi di dalamnya dukhul, menurut jumhur ulama,
sudah mengharuskan adanya iddah. Oleh karena itu, menarik
untuk dipertanyakan, apakah ungkapan qabla an tamassuhunna
memang hanya berarti dukhul dalam arti sebenarnya, yaitu
hubungan biologis antara dua insan berlainan jenis. Setidaknya,
hal ini merupakan suatu persoalan yang perlu dipertimbangkan
sebab apabila iddah juga berkaitan dengan masalah psikologis, di
samping rahim, maka sepantasnyalah seorang wanita yang sudah
menjalin hubungan batin dan kasih sayang dengan seorang pria
tidak merasa langsung bebas dari suami yang karena sesuatu hal
mungkin belum sempat "menggaulinya". Dalam hal ini, bisa saja
terjadi bahwa seorang wanita dinikahi oleh seorang pria dan di
antara mereka telah tertanam hubungan kasih sayang yang
mengikat batin mereka dalam suatu ikatan serta mereka telah
hidup serumah, tetapi ada suatu halangan yang membuat mereka
belum sempat mengadakan hubungan biologis (dukhul), seperti
penyakit dan lain-lain. Kemudian, keadaan pula menghendaki
mereka untuk bercerai. Tentu saja, ikatan psikologis di antara
mereka tidaklah mungkin hilang begitu saja. Berdasarkan analisa
ini, agaknya kata al-mass dalam ayat di atas juga meliputi makna
lain, di samping dukhul haqiqi.
Sehubungan dengan hal ini pula, agaknya Ali Hasballah
menyatakan bahwa salah satu di antara sebab yang mewajibkan
35
iddah adalah masa yang ditempuh seorang isteri karena cerai, baik
setelah hubungan seksual dengan suaminya secara sungguhan atau
secara hukum (dinyatakan telah berhubungan seksual dengan
suaminya) dalam suatu ikatan pernikahan yang sah.35
Yang jelas, menggunakan kata al-mass dalam arti dukhul
bukanlah penggunaan makna hakiki. Di samping itu, sewaktu ayat
ini dihadapkan dengan surat al-Baqarah ayat 234, para ulama
mendahulukan ayat terakhir ini. Oleh karena itu, seorang wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya, baik ia al-madkhul biha
maupun ghair al-madkkul biha, harus beriddah seperti yang
dimaksud surat al-Baqarah ayat 234 tersebut. Pandangan ini dianut
dan dikemukakan dengan tegas, antara lain, oleh Sayyid Sabiq
dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah dan Ali Hasballah dalam kitabnya
al-Furqat bayan al-Zawjain. Bahkan secara lebih tegas dan
dengan argumentasi yang lengkap, Ali Hasballah mengemukakan
bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya, baik al-madkhul biha
maupun ghair al-madkhul biha, harus menghitung iddahnya
selama 4 bulan 10 hari. Sehubungan dengan itu, ia menolak
riwayat yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas yang menyatakan
bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum digauli
(ghair al-madkhul biha) tidak perlu beriddah. Alasan yang
dikemukakannya untuk itu ialah keumuman maksud firman Allah
35Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (ed) Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (I), Jakarta: LSIK, 2002, hlm. 189..
36
pada surat al-Baqarah ayat 234. Di samping itu, surat al-Ahzab
ayat 49 dipandangnya sebagai ayat yang khusus untuk wanita yang
dithalaq (al-muthallaqat). Sedangkan wanita yang ditinggal mati
suaminya tidak termasuk al-muthallaqat.36 Sementara itu, Sayyid
Sabiq menegaskan sebagai alasannya dengan pernyataan bahwa
iddah diwajibkan atas isteri dalam rangka mematuhi suami yang
meninggal, dan memperhatikan haknya, sekalipun dia belum
melakukan senggama terhadap isterinya itu.37 Dengan demikian,
iddah bagi wanita yang ditinggal mati suami ditetapkan sebagai
masa berkabung atas kematian suaminya itu.
Memahami ungkapan qabla an tamassuhunna dengan arti
al-dukhul tidak menimbulkan kesulitan dalam penerapannya sebab
lebih mudah membedakannya, seperti halnya dalam kasus
kematian yang sangat jelas batasannya. Jika ungkapan itu
dipahami dengan arti lain, maka batasannya tidak begitu jelas,
seperti halnya khalwat.38
2) Hamil atau tidak
Sisi kedua dari keadaan wanita sewaktu dicerai suaminya
yang menjadi patokan penetapan iddah adalah apakah ia hamil
atau tidak. Dalam hal ini, al-Qur'an mengemukakan dengan tegas
bahwa jika perceraian terjadi sewaktu wanita berada dalam
36Ibid., hlm. 189. 37Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 278. 38Karsayuda, Perkawinan Beda Agama : Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum
Islam, Yogyakarta : Total Media, 2006, hlm. 156.
37
keadaan hamil, maka iddahnya berlangsung selama ia hamil, yaitu
sampai ia melahirkan kandungannya itu. Ketentuan ini
diungkapkan al-Qur'an :
﴾٤:قالطال﴿ن يضعن حملهن وأولات الأحمال أجلهن أ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Al-Thalaq : 4).39
Ketetapan iddah bagi wanita dalam keadaan ini begitu
tegas dan jelas. Ketegasan dan kejelasannya terletak pada
kelahiran kandungan yang dikandungnya. Ketentuan ini tidak
memandang jumlah hari. Mungkin saja iddah wanita seperti ini
berlangsung selama 9 bulan atau lebih. Akan tetapi, juga mungkin
hanya sesaat karena begitu ia dicerai oleh suaminya lantas ia pun
melahirkan kandungannya.
3) Dalam masa-masa haid atau tidak
Seperti dikemukakan di atas, bahwa bagi wanita yang tidak
hamil sewaktu dicerai oleh suaminya berlaku dua ketentuan.
Keduanya didasarkan pada kondisi wanita tersebut sewaktu
dicerai, apakah ia berada dalam masa-masa haid atau tidak.
Al-Qur'an menyatakan bahwa wanita yang dicerai
suaminya, sedangkan ia masih berada dalam masa-masa haid
sehingga ia dapat menjadikan masa-masa haid sebagai patokan
39Depag RI, op.cit., hlm. 946.
38
waktu, iddahnya adalah tiga quru' sebagaimana Firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228. Seorang wanita, biasanya sejak usia baligh (sekitar 15
tahun) sampai masa menopause (sekitar 50 tahun), senantiasa
mengalami pendarahan yang disebut haid atau menstruasi. Haid
ini terjadi pada umumnya sekali sebulan kecuali dalam masa-masa
hamil. Selama masa kehamilan, wanita tidak mengalami haid.
Meskipun al-Qur'an menyatakan dengan tegas masa iddah
wanita dalam keadaan ini, namun tidak berarti bahwa tidak ada
perbedaan pendapat yang timbul dalam masalah ini. Ketegasan al-
Qur'an terbatas pada penetapan tiga quru'. Akan tetapi, kata quru'
merupakan lafaz musytarak yang mengundang perbedaan di
kalangan ulama. Dengan demikian, walaupun lafadz tiga
(tsalatsat) qath'i al-dilalat, tetapi lafadz quru' dipandang sebagai
zhanni al-dilalat sehingga tetap ada perbedaan pendapat dalam
memahaminya.40 .
Sebagian ulama memahami quru' dalam arti masa suci. Di
antara mereka adalah Malik, Syafi'i, jumhur penduduk Madinah,
Abu Tsaur dan Jama'ah. Di kalangan sahabat pendapat ini dianut
oleh Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit dan Aisyah. Sebagian ulama
lainnya berpendapat bahwa quru' berarti masa-masa haid.
Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, al-Tsauri, al-Auza'i,
40Slamet Abidin dan Aminuddin, op cit., hlm. 129.
39
Ibn Abi Laila dan lainnya. Dan kalangan sahabat, pendapat ini
dianut oleh Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Ibn Mas'ud dan
Abu Musa al-Asy'ari. Di samping itu ada pula yang memahami
quru' dalam pengertian perpindahan dari masa suci kepada masa
haid. Menurut Ali Hasballah, pendapat ini juga dianut oleh Syafi'i,
Malik dan Zhahiriah.41
Sebagai konsekuensi dari perbedaan pendapat ini adalah
perbedaan panjangnya masa iddah. Para ulama tampaknya sepakat
menyatakan bahwa thalaq yang sah (disebut thalaq sunni) adalah
thalaq yang dijatuhkan sewaktu wanita berada dalam keadaan suci
dan belum digauli sepanjang masa suci itu. Mereka yang
berpendapat bahwa quru,' adalah haid menetapkan berakhirnya
iddah dengan datangnya masa suci setelah haid ketiga. Ini berarti
bahwa masa iddah berlangsung selama dua masa suci dan tiga
masa haid ditambah masa suci antara terjadinya thalaq dengan
masuknya masa haid pertama. Ini berarti bahwa di awal masa haid
ketiga wanita tersebut sudah terlepas dari masa iddahnya. Dengan
demikian, masa iddah dalam pendapat pertama lebih panjang
selama hari-hari haid yang ketiga. Sedangkan masa iddah menurut
pendapat yang mengatakan bahwa quru' adalah perpindahan dari
41Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 67 – 70.
40
masa suci ke masa haid sama panjangnya dengan pendapat
pertama yang mengatakan bahwa quru' berarti masa suci.42
b. Pembedaan Ditinjau dari Proses Perceraian
Perbedaan proses perceraian yang dimaksud adalah perceraian
karena thalaq dan perceraian karena meninggal. Dengan kata lain,
dapat disebut cerai hidup atau cerai mati. Perbedaan ini termasuk
salah satu faktor yang membedakan panjangnya masa iddah.
Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 234, seperti telah dikutip di
atas, masa iddah wanita yang kematian suami adalah empat bulan
sepuluh hari yang dibulatkan menjadi 130 hari. Sementara itu, iddah
wanita yang dicerai melalui proses thalaq (cerai hidup), pada dasarnya
lebih pendek dari itu, yaitu tiga quru' bagi mereka yang berada dalam
masa-masa haid atau tiga bulan bagi mereka yang belum baligh dan
yang sudah menopause.
Al-Qur'an tidak menyebutkan alasan yang menyebabkan
"panjangnya" masa iddah wanita yang kematian suami ini. Akan
tetapi, para ulama memahaminya sebagai masa duka bagi wanita yang
ditinggal mati oleh-suaminya. Seandainya dikaitkan dengan kondisi
rahim tentu iddahnya akan sama dengan wanita yang dicerai dalam
kondisi yang masih memungkinkan hamil, yaitu tiga quru'. Demikian
pula iddah dalam keadaan ini bukanlah masa untuk berfikir untuk
kemungkinan rujuk kembali karena salah satu pasangannya (suami)
42Ibnu Rusyd., op.cit., hlm. 68.
41
sudah meninggal dan tidak mungkin diharapkan rujuk kembali kepada
isterinya.
Jika demikian halnya, maka tampaknya tidak juga
berhubungan dengan masalah etika. Setidaknya, seorang wanita harus
ikut merasakan duka dengan kematian suaminya. Dalam hubungan ini,
para ulama menetapkan kewajiban hidad (menghindarkan diri dari
perhiasan) atas wanita. Perceraian yang terjadi karena kematian suami
adalah musibah bagi wanita yang menjadi isterinya. Perceraian seperti
itu merupakan perceraian yang tidak terelakkan.43
Meskipun wanita yang dicerai mati tidak mungkin rujuk lagi
dengan suaminya, namun al-Qur'an melarang pria lain untuk
menyatakan pinangannya terhadap wanita itu secara terang-terangan.
Bahkan dianjurkan untuk menyembunyikan hasrat meminang itu.
Kalaupun hasrat itu susah dibendung, maka ia hanya boleh dilahirkan
dalam bentuk sindiran. Ketentuan ini sepertinya tidak terlepas dari
upaya menjaga perasaan wanita yang sedang dalam duka.44
Apabila dikhawatirkan bahwa wanita tersebut kehilangan
jaminan nafkah, maka al-Qur'an sebagaimana dalam surat al-Baqarah
ayat 240, menganjurkan agar wanita tersebut diberi biaya hidup
selama satu tahun melalui jalur wasiat. Hal ini mempertegas bahwa
wanita yang sedang menjalani iddahnya tidak boleh diganggu gugat.
43M.Karsayuda, op.cit., hlm. 187. 44Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, op.cit., hlm. 450.
42
Ketentuan iddah dalam kasus cerai mati cukup jelas dan tegas
serta mudah dilaksanakan. Akan tetapi, persoalan timbul apabila
wanita bersangkutan berada dalam keadaan hamil. Persoalannya,
bagaimanakah menentukan iddah wanita tersebut? Apakah yang
dilaksanakan iddah wafat atau iddah hamil? Mungkinkah seorang
wanita yang melahirkan anaknya sesaat setelah suaminya meninggal
dunia tidak menghadapi iddah?.
Dalam hal ini, ada pendapat yang mengatakan bahwa patokan
iddah adalah kelahiran anaknya, meskipun kelahiran itu terjadi sesaat
setelah kematian suaminya. Ini berarti bahwa wanita itu hampir-
hampir tidak menjalani iddah. Pendapat ini dikatakan sebagai
pendapat jumhur sahabat. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Umar
mengatakan bahwa iddah wanita semacam itu ialah dengan
melahirkan bayinya. Walaupun mayat suaminya masih terbaring di
rumah duka. Pendapat inilah yang dilaksanakan di Mesir dan Sudan.45
Di samping itu, sebagian ulama berpendapat bahwa iddah
wanita hamil yang ditinggal mati suami adalah tenggang waktu
terlama di antara dua alternatif, empat bulan sepuluh hari (karena
kematian) atau kelahiran bayinya (karena iddah hamil). Ini berarti
bahwa iddah wanita seperti itu paling kurang empat bulan sepuluh
hari. Hal itu juga berarti bahwa akibat kematian tidak mungkin luput
karena kelahiran. Sebaliknya, apabila kelahiran yang menjadi patokan
45Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (ed) Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (I), Jakarta: LSIK, 2002, hlm. 197 – 198.
43
karena waktunya lebih lama, maka masa-masa duka selama empat
bulan sepuluh hari sudah tercakup di dalamnya.
Pendapat pertama, di samping beralasan dengan riwayat
tentang Umar, tampaknya juga mendahulukan ulat al-ahmal daripada
ayat al-mutawaffa. Oleh karena itu, apabila keduanya bertemu maka
mereka berpegang pada ayat pertama. Hal ini, agaknya, juga erat
kaitannya dengan pandangan mereka tentang fungsi iddah. Bagi
mereka tampaknya iddah hanya berfungsi sebagai pembersih rahim.
Sementara pendapat kedua melihat bahwa fungsi iddah, di samping
pembersih rahim, juga ada segi-segi lainnya.
44
BAB III
MASA IDDAH BAGI JANDA YANG PUTUS PERKAWINAN KARENA
KHULU' MENURUT PASAL 155 KHI
A. Sekilas tentang Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Kata "kompilasi" berasal dari bahasa Latin compilare yang
mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan
peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-dimana. Dalam
bahasa Inggris ditulis "compilation" (himpunan undang-undang),1 dan
dalam bahasa Belanda ditulis "compilatie" (kumpulan dari lain-lain
karangan).2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kompilasi berarti
kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan
dan sebagainya).3 Koesno memberi pengertian kompilasi dalam dua
bentuk. Pertama sebagai hasil usaha mengumpulkan berbagai pendapat
dalam satu bidang tertentu. Kedua, kompilasi diartikan dalam wujudnya
sebagai suatu benda seperti berupa suatu buku yang berisi kumpulan
pendapat-pendapat yang ada mengenai suatu bidang persoalan tertentu.4
1John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia
Dictionary, Jakarta : PT. Gramedia, 2000, hlm. 132. 2S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1992, hlm. 123. 3Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm. 584. 4M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama : Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, Yogyakarta : Total Media, 2006, hlm. 94.
45
Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai "fiqih
dalam bahasa undang-undang atau dalam bahasa rumpun Melayu disebut
Peng-kanun-an hukum syara’".5 Wahyu Widiana menyatakan bahwa
"Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang
ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dan 3 kelompok
materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan
termasuk Wasiat dan Hibah (44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal),
ditambah satu pasal Ketentuan Penutup yang berlaku untuk ketiga
kelompok hukum tersebut."6 Rumusan yang sama dikemukakan
Muhammad Daud Ali, Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan atau
himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis. Isi
dari Kompilasi hukum Islam terdiri dari tiga buku, masing-masing buku
dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, dengan sistematika sebagai
berikut :
Buku I Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal
Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (dari
pasal 171 sampai dengan Pasal 214)
Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari 5 Bab dengan 14 Pasal
(dari Pasal 215 sampai dengan Pasal 228).7
5Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan
Prospeknya, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hlm. 49. 6M. Karsayuda, op.cit., hlm. 95. 7Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 267.
46
Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan
Agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama.
Keluarnya surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama No. B /1/735
tanggal 18 Pebruari 1958 tentang pelaksanaan peraturan permerintah
Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukan Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyah di luar pulau Jawa dan Madura
menunjukkan salah satu bukti tentang hal tersebut.8 Dari sudut lingkup
makna the ideal law, kehadiran Kompilasi Hukum Islam merupakan
rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat mengungkapkan ragam
makna kehidupan masyarakat Indonesia.9
Kalau dilihat dari proses pembentukannya yang menghimpun
bahan-bahan hukum dari berbagai kitab Fiqih yang mu'tamad (dapat
dipertanggungjawabkan dan diakui ulama) yang biasa digunakan sebagai
rujukan para hakim dalam memutus perkara - maka Kompilasi Hukum
Islam dapat diartikan sebagai rangkuman berbagai hal mengenai hukum
Islam. Kompilasi Hukum Islam diolah, dikembangkan serta disusun secara
sistematis dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal-pasal
yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan.10
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan sebagai
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dikatakan tertulis sebab sebagian
materi Kompilasi Hukum Islam merupakan kutipan dari atau menunjuk
8Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Surabaya : Arkola, 1997, hlm. 10. 9Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, hlm. 61. 10M. Karsayuda, op.cit., hlm. 95.
47
materi perundangan yang berlaku, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, UU Nomor 22 Tahun 1946 jo UU 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah bagi Umat Islam, PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Aturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan sebagainya.
Dikatakan sebagai hukum tidak tertulis sebab sebagian materi Kompilasi
Hukum Islam merupakan rumusan yang diambil dari materi fiqh atau
ijtihad para ulama dan kesepakatan para peserta lokakarya. Kondisi
Kompilasi Hukum Islam yang bukan peraturan perundang-undangan itu
yang menjadikan Kompilasi Hukum Islam disikapi beragam oleh
Pengadilan Agama (PA) maupun Pengadilan Tinggi Agama (PTA).11
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kompilasi Hukum
Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara
sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk sedapat
mungkin diterapkan seluruh instansi Departemen Agama dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi
Hukum Islam. Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam
digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya.
2. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Upaya mempositifkan hukum Islam melalui Kompilasi Hukum
Islam ini mempunyai beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai.
11Ibid., hlm. 95.
48
a. Melengkapi Pilar Peradilan Agama.
Bustanul Arifin berulangkali menyatakan bahwa ada tiga pilar
sokoguru Kekuasaan Kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan
yang diamanatkan Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 10 UU No. 4 Tahun
2004. Salah satu pilar tidak terpenuhi, menyebabkan penyelenggaraan
fungsi peradilan tidak benar jalannya.
1) Pilar pertama, adanya badan peradilan yang terorganisir
berdasarkan kekuatan undang-undang.
Peradilan Agama secara legalistik berdasarkan Pasal 10 UU
No. 4 Tahun 2004, telah diakui secara resmi sebagai salah satu
pelaksana "judicial power" dalam Negara Hukum RI. Lebih lanjut,
kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisasinya telah
diatur dan dijabarkan dalam UU No. 3 Tahun 2006.
Dilihat dari segi kelembagaan lahirnya Undang-undang No.
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan beberapa peraturan
perundang-undangan lain yang mendasarinya, seperti Undang-
undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, telah
memperkokoh eksistensi kelembagaan Peradilan Agama. Sebagai
salah satu badan peradilan yang bertugas melaksanakan kekuasaan
kehakiman, keberadaan Peradilan Agama diakui dan dikehendaki
49
oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (2) Undang-
undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan
amandemen UUD 1945 dan adanya Undang-undang No. 3 Tahun
2006 tersebut, maka kedudukan, susunan dan kekuasaan Peradilan
Agama makin kuat dan menjadi jelas. Dengan demikian,
Pengadilan Agama, resmi mempunyai kedudukan sebagai
Pengadilan Negara yang berpuncak kepada MA sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi. Peradilan Agama bukan peradilan swasta, tetapi
berkedudukan sebagai Peradilan Negara bagi golongan penduduk
yang beragama Islam.
Organisasi Peradilan Agama juga telah diatur dalam Bab II
(Pasal 16 - Pasal 48) UU No. 3 Tahun 2006. Bab ini mengatur
susunan dan organisasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
tuntutan masa kini dan masa mendatang. Diatur pula syarat-syarat
yang harus dimiliki aparat pelaksana, dan jenjang karirnya. Dengan
dilengkapinya susunan organisasi menjadikan Peradilan Agama
menjadi badan peradilan yang sempurna dan mandiri, sebagaimana
dimiliki Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Begitu
pula mengenai kewenangan yurisdiksi telah digariskan dalam
penjelasan Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004, yang kemudian secara
"enumeratif" dijabarkan pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006.
Dengan penjelasan di atas, secara konstitusional dan teoritis
pilar pertama telah terpenuhi. Peradilan Agama sebagai salah satu
50
badan lingkungan peradilan yang melaksanakan amanat Kekuasaan
yang ditentukan Pasal 24 UUD 1945. Secara organisatoris
kedudukan dan kewenangan telah mantap meskipun masih perlu
pembinaan dan pengembangan.
2) Pilar kedua, adanya organ pelaksana.
Pilar kedua, adanya organ atau pejabat pelaksana yang
berfungsi melaksanakan jalan peradilan. Hal ini sudah sejak lama
dimiliki oleh lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan pasang
surut yang dialaminya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Di masa lalu barangkali belum sempurna, tingkat kualitas,
integritas dan profesionalismenya belum memenuhi standar.
Namun dalam perjalanannya, sesuai dengan tekad Departemen
Agama dan Mahkamah Agung maka pembinaan dan pengawasan
untuk meningkatkan integritas profesionalisme aparat Peradilan
Agama terus berlangsung.
Sekalipun di sana sini masih banyak terdapat kekurangan
serta pendistribusian personil yang masih belum merata sesuai
dengan kebutuhan volume beban tugas, namun pada setiap
Pengadilan Agama yang telah ada di seluruh Indonesia, telah ada
organ pelaksanaannya. Dengan demikian sudah terpenuhi pilar
kedua.12 Dengan amandemen terhadap Pasal 11 UU No. 14 Tahun
1970 oleh Pasal 13 UU No. 4 Tahun 2004, maka kekuasaan
12M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Yayasan al-Hikmah, 1993/1994, hlm 150-151.
51
Departemen Agama untuk melakukan pembinaan organisasi,
administrasi dan finansial telah berakhir.13
Ketentuan di atas direalisasikan dengan penyerahan aset
Peradilan Agama oleh Menteri Agama kepada Ketua Mahkamah
Agung pada tanggal 30 Juni 2004. Dengan demikian maka sejak
tanggal 1 Juli 2004 pembinaan organisasi, administrasi dan
keuangan yang menjadi wewenang Departemen Agama berakhir.
Sejak 1 Juli 2004 seluruh persoalan Peradilan Agama berada di
bawah Mahkamah Agung RL 1 Juli 2004 awal bagi Peradilan
Agama satu atap dengan Mahkamah Agung.
3) Pilar ketiga adalah adanya sarana hukum positif yang pasti dan
berlaku secara unifikasi.
Sepanjang mengenai landasan, kedudukan, kewenangan
telah ada kodifikasi dan aturan hukumnya, dengan lahirnya UU No.
3 Tahun 2006, sudah mantap kedudukan dan kewenangannya.
Begitu juga mengenai hukum acaranya sudah positif dan unifikatif.
Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 ditentukan bahwa hukum acara
yang diterapkan, disamakan dengan yang berlaku di peradilan
umum. HIR untuk pulau Jawa dan Madura, RBG untuk luar Jawa
dan Madura, ditambah dengan yang diatur oleh PP No. 9 Tahun
1975, plus dengan yang diatur sendiri dalam UU No. 3 Tahun 2006
13Pasal 13 ayat (1) : Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
52
- sebagai aturan hukum acara khusus yang berkenaan dengan
pemeriksaan perkara cerai talak dan gugat cerai.
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP No. 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, sebenarnya merupakan hukum materiil
Peradilan Agama bidang hukum perkawinan. Namun hanya
mengandung hal-hal pokok saja, sedangkan ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan yang terjabar dan diatur khusus bagi umat
Islam belum ada. Itsbat nikah dan kawin hamil umpamanya,
sebagai realitas sosial dan kebutuhan hukum masyarakat, belum
diatur. Masalah masa iddah belum rinci, kedudukan dan porsi
mengenai harta bersama belum pasti, dan masih banyak hal-hal
yang dituntut syari'at Islam, namun belum jelas pengaturannya.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik juga memuat hukum materiil Peradilan
Agama. Namun sebagaimana juga ketentuan mengenai
perkawinan, ketentuan mengenai perwakafan secara lebih lengkap
belum terpenuhi oleh PP ini, seperti fungsi, unsur-unsur dan syarat-
syarat wakaf, belum diatur.
Padahal persoalan ini sangat penting bagi Hakim Peradilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa wakaf. Apalagi mengenai
hibah dan warisan, sampai saat ini hukumnya secara positif dan
unifikatif belum diatur.
53
Kenyataan ini mendorong para Hakim Peradilan Agama
untuk merujuk doktrin yang ada pada kitab-kitab fiqih dan
pendapat para imam mazhab, yang mempunyai ciri sarat dengan
perbedaan pendapat. Akibatnya putusan dua hakim terhadap kasus
yang sama bisa berbeda, karena merujuk pendapat fuqaha yang
berbeda, kendati dirujuk dari kitab fiqih yang sama. Jalan satu-
satunya untuk mengatasi hal ini adalah melengkapinya dengan
prasarana hukum positif yang bersifat unifikatif. Untuk itu perlu
jalan pintas yang efektif, tetapi memenuhi persyaratan legalistik
yang formil, meski tidak sempurna dalam bentuk undang-undang,
jalan pintas yang sederhana berupa Kompilasi.14
Begitu pula mengenai hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Agama telah diatur secara tegas dalam Pasal 54
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang menyebutkan: "Hukum
Acara yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini".
Persoalan yang masih dihadapi oleh Pengadilan Agama
adalah mengenai hukum materiil yang dipergunakan untuk
memutus perkara yang diajukan kepadanya, yang ternyata masih
berserakan pada berbagai kitab fiqih. Padahal adanya hukum yang
14M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 149-152.
54
baik dan memadai merupakan salah satu syarat terwujudkan
peradilan yang baik. Sebagai kitab fiqih yang bercirikan adanya
perbedaan pendapat, berakibat pada beragamnya putusan
Pengadilan Agama terhadap persoalan yang sama. Menanggapi
kenyataan ini Daud Ali menyatakan, oleh karena "diffirent judge,
different sentence" (lain hakim, lain pula pendapat dan
putusannya), tidak jarang dua kasus yang sama ternyata putusannya
jauh berbeda. Keadaan ini dengan sendirinya menimbulkan
ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya akan menimbulkan
sikap sinis dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pengadilan
Agama.15
b. Menyamakan Persepsi Penerapan Hukum
Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam, nilai-nilai tata hukum
Islam di bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam rumusan
dan ketentuannya menjadi sama dalam penerapannya oleh hakim di
seluruh nusantara. Kompilasi Hukum Islam sebagai bagian dari tata
hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan diterapkan serta dipaksakan
nilai-nilainya bagi masyarakat Indonesia melalui kewenangan yang
dimiliki Peradilan Agama. Posisi dan peran kitab-kitab fiqih (kitab
kuning) dalam penegakan hukum oleh dunia peradilan lambat laun
akan ditinggalkan. Peranannya hanya sebagai bahan orientasi dan
kajian doktrin. Semua hakim yang bertugas di lingkungan Peradilan
15Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta :
Yayasan, 1993, hlm. 82.
55
Agama, diarahkan ke dalam persepsi penegakan hukum yang sama.
Pegangan dan rujukan hukum yang mesti mereka pedomani sama di
seluruh Indonesia, yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya
kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.
Persamaan persepsi di atas diharapkan terwujud dalam
penegakan hukum, kebenaran dan keadilan. Namun demikian tidak
dimaksudkan sama sekali untuk memasung kebebasan dan
kemandirian para Hakim dalam menyelenggarakan fungsi peradilan.
Maksud pembinaan dan pengembangan persamaan persepsi di dunia
peradilan, bukan bertujuan memandulkan kreatifitas dan daya nalar.
Apalagi untuk maksud menutup pintu bagi para Hakim dalam
melakukan terobosan dan pembaharuan hukum ke arah yang lebih
aktual sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Akan tetapi dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam, tidak
dibenarkan lagi adanya putusan Hakim yang disparitas. Dengan
mempedomani Kompilasi Hukum Islam, para Hakim diharapkan bisa
memberikan kepastian hukum yang seragam tanpa mengurangi
munculnya putusan Hakim yang variabel karena kasuistis. Hal ini
masih dimungkinkan sepanjang secara proporsional dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum.
Bagi pencari keadilan dalam setiap kesempatan yang diberikan
kepadanya oleh peraturan perundang-undangan, dapat melakukan
pembelaan dan segala upaya untuk mempertahankan hak dan
56
kepentingannya dalam suatu proses peradilan, tidak boleh menyimpang
dari kaidah Kompilasi Hukum Islam. Mereka sudah tidak layak lagi
menggunakan dalil ikhtilaf. Tidak bisa lagi mengagungkan dan
memaksakan kehendaknya, agar Hakim mengadili perkaranya
berdasarkan mazhab tertentu. Dalam proses persidangan para pihak
tidak layak lagi mempertentangkan pendapat-pendapat yang terdapat
dalam kitab fiqih tertentu.
Begitu pula dengan penasihat hukum. Mereka hanya
diperkenankan mengajukan tafsir dengan bertitik tolak dari rumusan
Kompilasi Hukum Islam. Semua pihak yang terlibat dalam proses di
Peradilan Agama, sama-sama mencari sumber dari muara yang sama
yaitu Kompilasi Hukum Islam.16
B. Ketentuan Iddah dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam
Bagi seorang janda yang putus perkawinan karena khulu' maka ia
harus menjalani masa iddah. Masalah yang muncul adalah berapa lama
seorang janda yang putus perkawinan karena khulu' harus menjalani masa
iddah. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) iddah dikenal dengan istilah
waktu tunggu, ketentuan iddah atau waktu tunggu dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) secara umum tercantum dalam pasal 153 yaitu :
(1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
16M. Karsayuda, op.cit., hlm. 103.
57
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan selama 130 hari (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali suci.
(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.17
Menurut Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) waktu iddah bagi
janda yang putus perkawinan karena khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah
talak. Berdasarkan pasal 155 tersebut, ketentuan waktu iddah bagi janda yang
putus perkawinannya karena khulu’ maka merujuk pada pasal 153 ayat (2)
huruf b, yaitu bagi janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci atau
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan selama 90 (sembilan puluh) hari.
Penentuan masa iddah yang dikonversikan dalam bilangan hari yaitu
menjadi 90 (sembilan puluh hari) tersebut dengan melihat siklus haid/
menstruasi sebagai berikut :
17Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm. 67-68.
58
Senin 7 14 21 28
Selasa 1 8 15 22 29
Rabu 2 9 16 23 30
Kamis 3 10 17 24 31
Jum’at 4 11 18 25
Sabtu 5 12 19 26
Minggu 6 13 20 27
Dari siklus di atas yang dimaksud masa suci adalah masa selain masa
haid tanpa memperhatikan perempuan tersebut sedang dalam masa subur atau
tidak, semisal pada tanggalan di atas adalah bulan Juli, maka masa sucinya
adalah dari tanggal 17 bulan lalu atau bulan Juni sampai tanggal 11 bulan Juli.
dan tanggal 17 bulan Juli yaitu tepat 1 hari setelah selesai masa haid sampai
tanggal 11 bulan Agustus.
Ketentuan pasal 153 ayat (2) huruf b tersebut sebenarnya mengatur
tentang ketentuan masa iddah bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian atau talak, alasan penetapan pasal dan ayat ini untuk dijadikan
dasar ketentuan masa iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu’
karena tidak terdapat pasal maupun ayat yang secara spesifik membahas
tentang ketentuan masa iddah bagi janda yang putus perkawinan karena
khulu’, di samping itu alasan yang paling mendasar adalah yang paling
mendasar adalah dengan memperhatikan bunyi pasal 155 tentang ketentuan
masa iddah bagi janda yang putus perkawinan karena khulu’ diberlakukan
ketentuan iddah talak.
Keterangan :
Tanggal 1 – 11 : masa tidak subur
Tanggal 12 – 16 : masa haid
Tanggal 17 – 19 : masa tidak subur
Tanggal 20 – 28 : masa subur
Tanggal 29 – 30 : masa tidak subur
59
Kedudukan khulu’ disamakan dengan talak ba’in sughro, oleh karena
itu tidak dapat diadakan rujuk, jika ingin melanjutkan hubungan suami istri
maka harus dilaksanakan akad nikah yang baru meskipun masih dalam masa
iddah. Sebagaimana yang tercantum dalam KHI pasal 119 ayat (2) huruf b
yang memposisikan khulu’ sebagai salah satu talak ba’in sughro. Lebih lanjut
lagi dijelaskan pada pasal 161 KHI ”perceraian dengan jalan khulu’
mengurangi jumlah talak dan tak dapat rujuk”, dengan bunyi pasal 161
tersebut mengindikasikan bahwa jika istri telah mengajukan khulu’ kemudian
diadakan akad nikah baru, maka setelah diadakan akad nikah baru tersebut
suami hanya mempunyai hak talak sebanyak 2 (dua) kali, karena hak talak
yang pertama telah jatuh / hilang saat istri mengajukan khulu’.
Jika khulu’ sudah dikabulkan oleh Pengadilan Agama maka tidak ada
upaya hukum untuknya, karena khulu’ merupakan keputusan final dan tidak
ada upaya banding ataupun kasasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam KHI
pasal 148 ayat (4) yang berisi tentang ketentuan / cara-cara mengajukan
gugatan cerai dengan jalan khulu’ : setelah kedua belah pihak sepakat tentang
besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan
tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang
Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya
banding ataupun kasasi.
60
BAB IV
ANALISIS TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 155
TENTANG KETENTUAN IDDAH BAGI JANDA YANG PUTUS
PERKAWINAN KARENA KHULU'
A. Analisis tentang Ketentuan iddah dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum
Islam
Menurut Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) waktu iddah bagi
janda yang putus perkawinan karena khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah
talak.
Dari bunyi Pasal tersebut menunjukkan bahwa bagi janda yang masih
kedatangan haid masa iddahnya adalah selama tiga quru'. Dalam pasal
tersebut yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah apakah yang
dimaksud dengan kata "quru'".
Adapun yang menjadi dasar hukum iddah secara umum adalah firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
لق روء وال يحل لهن أن يكتمن ما خوالمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة ق هنامحي أر٢٢٨: البقرة﴿اهللا ف﴾
Artinya : “Perempuan-perempuan yang ditalaq oleh suaminya hendaklah
menunggu masa selama tiga kali quru’. Tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya.” (QS. al-Baqarah: 228).1
1Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 55.
61
Mengenai arti quru' dalam ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat
di kalangan para ulama fikih. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa quru' itu
artinya suci, yaitu masa di antara dua haid. Fuqaha lain berpendapat bahwa
quru' itu ialah haid itu sendiri. Fuqaha yang berpendapat bahwa quru' adalah
suci berasal dari kalangan fuqaha Amsar, seperti: Imam Malik, Imam al-
Syafi'i, dan kebanyakan fuqaha Madinah, juga Abu Saur, sedangkan dari
kalangan sahabat antara lain: Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah r.a.
Adapun fuqaha yang berpendapat bahwa quru' adalah haid, terdiri dari Imam
Abu Hanifah, al-Tsauri, Al-Auza'i, Ibnu Abi Laila. Dari kalangan sahabat
antara lain: Ali r.a., Umar bin Khathab r.a., Ibnu Mas'ud r.a.,dan Abu Musa
Al-Asy'ari r.a.2
Al-Asram menceritakan dari Imam Ahmad bahwa para sahabat
Rasulullah SAW yang terkemuka mengatakan bahwa quru' adalah haid. Hal
itu diperkuat oleh Ibnu Qayyim yang mengatakan kata quru' hanya digunakan
oleh agama dengan arti haid. Tidak satu ayat pun menggunakan kata quru'
dengan arti suci dari haid. Oleh karena itu untuk memahami kata quru' dalam
ayat di atas lebih baik menurut arti yang populer dari titah agama. Rasulullah
telah bersabda kepada seorang perempuan yang berhaid, "Tinggalkanlah
shalatmu selama quru'mu (haidmu)."3
Perbedaan antara kedua pendapat tersebut adalah: bagi fuqaha yang
berpendapat bahwa quru' adalah masa suci, maka apabila isteri yang boleh
dirujuk telah memasuki haid yang ketiga, suami tidak boleh merujuk isteri
2Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 67.
3Ibid
62
tersebut dan ia pun menjadi halal bagi lelaki yang lain. Sebaliknya, bagi
fuqaha yang berpendapat bahwa quru' adalah masa haid, maka isteri baru
menjadi halal untuk dinikahi laki-laki lain sesudah lewat masa haid yang
ketiga. Silang pendapat ini disebabkan adanya keserupaan arti pada kata quru'.
Sebab, dalam bahasa Arab kata ini mempunyai dua arti (musytarak) yang
sama kuatnya, yaitu haid dan suci.4
Jika dalam al-Qur'an terdapat satu kata yang mempunyai beberapa arti,
maka semua arti tersebut boleh digunakan, selama tidak ada keterangan yang
menentukan untuk menggunakan salah satu arti saja. Jika sudah jelas kata
quru' dipakai dengan arti haid, maka sudah jelas bahwa itu memang arti yang
sesungguhnya.
Dengan demikian, maka arti kata quru' adalah haid. Hal ini juga
ditunjukkan oleh susunan kalimat surat al-Baqarah ayat 228 tersebut.
Begitulah pendapat kebanyakan ahli tafsir. Terwujudnya janin dalam rahim
hanya terjadi selama perempuan masih mengalami haid. Juga dalam Firman
Allah SWT:
نيض محالم نم نسئي ياللائن وإن كمائثال س نهتدفع متبتارر ثة أشهن يضعن حملهن ائي لم يحضن وأولات الأحمال أجلهن أوالل ﴾٤:الطالق﴿
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu, maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
4Ibid.
63
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. al-Thalaq: 4).5
Dalam ayat tersebut ditetapkan satu bulan untuk satu kali haid, dan
hukumnya dikaitkan dengan perempuan yang sudah tidak mengalami haid,
bukan suci dari haid atau haid.
Ibnu Qayyim juga berkata: Allah SWT berfirman:
فطل هنتدعل ن١: الطالق﴿قوه﴾ Artinya : “maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Q.S. al-Thalak: l).6
Maksud ayat di atas adalah talak boleh dilakukan pada saat mereka
menjelang masa iddahnya bukan tepat pada waktu iddahnya. Jika iddah
perempuan yang ditalak jatuh sesudah perceraian, maka yang dimaksud
sesudah itu adalah masa haid. Karena perempuan dalam masa suci tidak lagi
menjalani masa suci, ia menjalani masa haid setelah sebelumnya dia berada
dalam masa suci.
Mengenai hal ini terdapat riwayat yang berbeda-beda dari Imam
Ahmad bin Hanbal. Diriwayatkan bahwa ia mengatakan, "Quru' adalah masa
suci, sesuai dengan pendapat Zaid bin Tsabit r.a., Ibnu Umar r.a., dan Aisyah
r.a., sedangkan pendapat dari Ibnu Mas'ud r.a. dan Ali r.a. bahwa quru' adalah
haid."7
Jika kata "qur'un" dimaksudkan untuk pengertian suci, tentu iddah
menurut golongan pertama dapat terjadi selama dua setengah qur'un, karena
5Ibid., hlm. 946. 6Ibid., hlm. 945. 7Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 68.
64
mereka berpendapat bahwa isteri dapat beriddah dengan masa suci ketika ia
dijatuhi talak, meskipun sebagian besar masa tersebut telah lewat. Jika
demikian halnya, maka sebenarnya tiga kali masa suci tersebut tidak dapat
disebut tiga, karena bilangan yang disebut tidak dilampuai secara mutlak.
Padahal sebutan tiga itu jelas dipakai untuk kelengkapan masing-masing
qur'un. Dengan demikian hal itu tidak akan sesuai kecuali jika kata quru' itu
berarti haid. Karena telah terjadi ijma' bahwa apabila isteri diceraikan pada
waktu haid, maka waktu haid ini tidak dihitung dalam bilangan iddahnya.
Masing-masing golongan mempunyai alasan yang sama kuatnya dari
segi kata qur'un. Akan tetapi pendapat yang diterima oleh para cendikiawan
adalah bahwa ayat tersebut memuat ketentuan yang mujmal (tidak gamblang)
mengenai persoalan tersebut. Oleh karena itu harus dicari dalil untuk
persoalan ini dari segi yang lain.
Alasan terkuat yang dijadikan pegangan oleh fuqaha yang berpendapat
bahwa quru' itu berarti suci adalah hadits Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda:
ى بيحا يثندع حافن نس عن أنب كاللى مع أتقال قر ييممى التيحي ندهي عف ضائح يهو هأترام طلق هأن رمن عن ابلى الله عص ول اللهسر
الله عليه وسلم عن عليه وسلم فسأل عمر بن الخطاب رسول الله صلىفقال له كلى الله ذلص ول اللهسا ركهرتيل ا ثمهاجعرفلي هرم لمسو هليع
حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء طلق قبل
65
رواه ( يمس فتلك العدة التي أمر الله عز وجل أن يطلق لها النساء أن 8) مسلم
Artinya : "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Yahya al-Tamimiy
berkata saya telah mendengar dari Malik bin Anas dari Nafi' dari Ibnu Umar; sesungguhnya dia menceraikan isterinya ketika sedang dalam keadaan haid. Hal itu terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Ketika hal itu ditanyakan oleh Umar bin Khaththab kepada Rasulullah saw. beliau bersabda kepada Umar: "Suruh dia untuk meruju'nya kembali. Kemudian biarkanlah ia sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Kemudian setelah itu dia bisa menahannya kalau mau, dan kalau mau dia juga bisa menceraikannya sebelum menyentuhnya. Itulah masa iddah yang diperintahkan oleh Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung bagi wanita yang diceraikan. (HR. Muslim)."
Mereka berpendapat bahwa ijma’ fuqaha adalah tentang terjadinya
talak suami pada masa suci yang tidak ada pergaulan padanya, demikian juga
perkataan Nabi saw Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk
menceraikan isteri dan merupakan dalil yang jelas bahwa iddah adalah suci,
agar talak dapat bersambung dengan iddah. Tetapi kata-kata Nabi saw tersebut
dapat pula diartikan bahwa masa tersebut adalah masa menghadapi iddah,
agar quru' tidak terbagi-bagi dengan adanya talak di masa haid.
Alasan paling kuat bagi fuqaha golongan kedua adalah bahwa iddah
itu diadakan untuk mengetahui kosongnya rahim (tidak hamilnya) wanita
yang ditalak. Sedangkan kosongnya rahim hanya dapat diketahui dengan haid,
bukan dengan masa suci. Oleh karena itu iddah wanita yang sudah menopause
8Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,
Juz. 2, Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm. 179.
66
adalah dengan ukuran hari (yakni tiga bulan). Jadi haid merupakan sebab
adanya iddah dengan qur'un. Oleh karena itu qur'un harus diartikan haid.
Selanjutnya fuqaha yang mengatakan bahwa qur'un adalah masa suci
mengemukakan alasan bahwa yang menjadi pedoman bagi kosongnya rahim
seorang wanita adalah masa perpindahan dari suci kepada haid. Oleh karena
itu tidak ada artinya untuk berpegang pada haid yang terakhir. Jika demikian
halnya maka bilangan tiga yang disyaratkan harus lengkap adalah masa-masa
suci diantara dua haid.
Kedua golongan ini mempunyai alasan-alasan yang panjang.
Demikianlah pendapat para ulama seperti disebutkan di atas.
Melihat perbedaan pendapat di atas, Amir Nuruddin dan Azhari
Tarigan menyatakan: bagi ulama Malikiyah makna tsalatsata quru' adalah tiga
kali haid, sedangkan Imam al-Syafi'i memahaminya tiga kali suci, karena
Imam al-Syafi'i mengartikan quru' itu artinya suci sebagaimana ia ungkapkan
dalam kitabnya: al-Umm :
يتربصن بانفسهن ثالثة واملطلقات": الشافعي قال اهللا تبارك وتعاىل أخربناقال واألقراء عندنا واهللا تعاىل أعلم األطهاروقد قال غريكم احليض؟ " قروء
قيل له داللتان أوهلماالكتاب الذي دلت عليه السنة واالخراللسان فإن قال إذا طلقتم النساء فطلقوهن "وماالكتاب؟ قيل قال اهللا تبارك وتعاىل
9" لعدن
Artinya: "Syafi'i memberitakan pada kami: Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
9al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. V, Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 224
67
(menunggu) tiga kali quru' (QS. al-Baqarah: 228). Syafi'i berkata: aqra' (mufrad dari quru') menurut kami wallahu Ta'ala a'lam adalah suci. Jika ada orang yang berkata: " apakah yang menunjukkan bahwa quru' itu suci? Sedangkan orang selainmu berpendapat haid?" maka dikatakan kepadanya: "itu ada dua dalil, salah satu dari keduanya adalah kitab yang ditunjukkan atasnya oleh sunnah sedangkan yang lain adalah lisan (bahasa)". Jika ada yang berkata: " apakah yang dari kitab itu?" di jawab: firman Allah tabaraka wa ta'ala: apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka agar mereka dapat (menghadapi iddahnya yang wajar)" (QS. at-Thalaq: 1)
Meskipun demikian jika dikonversi ke dalam hitungan hari sebenarnya
hampir sama yaitu lebih kurang tiga bulan.10 Sedangkan menurut Amir
Syarifuddin, bila dibandingkan antara masa iddah menurut pendapat yang
mengatakan tiga suci dengan tiga haid, maka masa iddah bagi yang
mengatakan tiga haid lebih lama enam hari dibandingkan dengan yang
mengatakan tiga kali suci.11
B. Analisis terhadap Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam
Menurut Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) waktu iddah bagi
janda yang putus perkawinan karena khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah
talak.
Sebagian ulama terutama golongan Hanabilah mengatakan bahwa
iddahnya khulu’ adalah satu kali haid, alasannya kasus Tsabit bin Qais, di
mana Nabi saw bersabda:
10Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Jakarta: kencana, 2006, hlm. 243. 11Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 317.
68
خبرنا أبو علي محمد بن يحيى المروزي قال أخبرني شاذان بن عثمان يحي نع كاربالم نب يلا عثندا أبي قال حثندان قال حدبو عن أبي أخى ب
كثري قال أخبرني محمد بن عبد الرحمن أن الربيع بنت معوذ بن عفراء يها وهدي رفكس هأترام براس ضمن شس بقي نب أن ثابت هتربأخ
الله صلى اللهأبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول جميلة بنت عبد الله بنعليه وسلم إلى ثابت فقال له خذ رسول الله صلى الله عليه وسلم فأرسل
هرفأم معا قال نبيلهل سخو كليا عي لهالذسلى اللها رص ول الله هليع 12)النسائ(وسلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Ali Muhammad bin Yahya al-Marwazi dari Syadzan bin Usman Saudara Abdan dari Bapakku dari Ali bin al-Mubarak dari Yahya bin Abu Kasir dai Muhammad bin Abdurrahman dari ar-Rubai' binti Mu'auwidz bin Afra' bahwa Tsabit bin Qais bin Syammas memukul isterinya, Jamilah binti Abdullah bin Ubaiy sehingga tangannya patah kemudian saudaranya Jamilah datang kepada Rasulullah Saw untuk mengadu maka Rasulullah mengutus seseorang kepada Tsabit lalu beliau bersabda kepadanya: "Ambillah sekedar apa yang telah engkau berikan kepadanya dan biarkanlah dia." Tsabit menjawab: "Ya, baiklah." Maka Rasulullah SAW pun menyuruh Jamilah supaya beriddah satu kali haid dan kembali kepada keluarganya." (HR. al-Nasa'i).
Dari hadits di atas menejelaskan bahwa iddahnya perempuan yang
mengajukan khulu’ adalah satu kali haid. Pendapat satu kali haid itu diikuti
oleh Utsman bin Affan dari Ibnu Abbas, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishak
bin Rahawaih, guru Imam Bukhari.
12Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,
hadis No. 2152 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
69
Sebagian yang lain berpendapat bahwa iddah perempuan yang
mengajukan khulu’ adalah tiga kali haid, alasannya adalah hadits yang riwayat
Ibnu Abbas r.a. :
ياب الثقفهالودبا عثنديل حمج نب رها أزثندح ـنع ـدالا خثندحعليه أتت النبي صلى اللهعكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس
وسلم فقالت يا رسول الله ثابت بن قيس ما أعتب عليه في خلق ولـا هي أكرنلكين ولام فقال دي الإسف لى الله الكفرص ول اللهسر ـهليع
عليـه رسول الله صلى الله وسلم أتردين عليه حديقته قالت نعم قال )نسائرواه ال(وسلم اقبل الحديقة وطلقها تطليقة
Artinya : Telah mengabarkan kepada kami dari Azhar bin Jamil dari Abdul Wahhab al Tsaqafi dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas sesungguhnya istri Tsabit bin Qais Syammas datang kepada Rasulullah SAW. sambil berkata, "Wahai Rasulullah! aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW., "Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit suaminya?)" Jawabnya, "Mau" Maka Rasulullah SAW. bersabda, "Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali talak." (H.R. al-Nasai).13
Hadits tersebut memang tidak menjelaskan ketentuan iddah secara
jelas, namun di dalamnya secara jelas terdapat ungkapan perintah Nabi saw
kepada Tsabit bin Qais untuk men-talak istrinya dengan satu kali talak.
Mengenai kedudukan khulu’ sendiri terdapat perbedaan pendapat,
apakah sama dengan fasakh ataukah talak, masing-masing mempunyai akibat
hukum yang berbeda, termasuk dalam hal menentukan masa iddah-nya.
13Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,
hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
70
Imam Abu Hanifah menyamakan khulu' dengan talak dan fasakh
secara bersamaan. Menurut Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas
ra. Khulu’ adalah fasakh, sedangkan Imam Syafi'i pada awalnya (qaul qadim)
berpendapat bahwa khulu' adalah fasakh, namun dalam qaul jadid beliau
berpendapat bahwa khulu’ adalah talak. Sedangkan Imam Malik berpendapat
bahwa khulu' adalah talak.
Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu' tidak menggunakan kata-
kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu'
tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya.
Fuqaha yang menganggap khulu' sebagai talak mengemukakan alasan bahwa
fasakh tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak
yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari
kehendaknya. Sedang khulu' ini berpangkal pada kehendak, oleh karenanya
khulu' bukanlah fasakh. Fuqaha yang tidak menganggap khulu' sebagai talak
mengemukakan alasan bahwa dalam al-Qur'an, mula-mula Allah SWT
menyebutkan tentang talak:
انترم ٢٢٩: البقرة﴿ الطالق﴾
Artinya : "Talak yang dapat dirujuki itu dua kali" (QS. al-Baqarah: 229).14 Kemudian Allah menyebutkan tentang tebusan (khulu'), dalam surat
al-Baqarah Allah berfirman:
﴾٢٣٠:البقرة﴿ غيره تنكح زوجا تحل له من بعد حتى فإن طلقها فال
14Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 55.
71
Artinya: "Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain." (QS. al-Baqarah: 230).15
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri
tidak halal lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang
lain itu menjadi talak yang keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu
dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan dengan fasakh dalam
jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri. Fuqaha yang menentang
pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan tebusan
sebagai suatu tindakan yang disamakan dengan talak, bukan tindakan yang
berbeda dengan talak. Jadi silang pendapat ini terjadi disebabkan apakah
adanya imbalan untuk memutus ikatan perkawinan ini dapat dianggap keluar
dari jenis pemutusan perkawinan karena talak, dan menjadi jenis pemutusan
perkawinan karena fasakh atau tidak.16
Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta' menyatakan sebagai berikut:
يه اءتاء جفرن عب ذوعم تبن عيبع أن رافن نك عالم نى عيحثني يدحا فجهوز نم تلعتا اخهأن هتربفأخ رمن عب الله دبا إلى عهمعو انمي ز
نب الله دبقال عو هركني فان فلمع نان بثمع كلغ ذلفان فبن عان بثمععمر عدتها عدة المطلقة حدثني عن مالك أنه بلغه أن سعيد بن المسيب
وابن شهاب كانوا يقولون عدة المختلعة مثل عدة وسليمان بن يسار 17المطلقة ثلاثة قروء
15 Ibid., 16Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 52. 17Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, al-Muwatta'
Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth, hlm. 345.
72
Artinya : Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik, dari Nafi' bahwa Rubayyi' bint Mu'awwidh ibn 'Afra' datang dengan paman dari rumpun bapaknya kepada 'Abdullah ibn 'Umar dan memberitahunya bahwa ia telah bercerai dari suaminya dengan membayar pengganti kepadanya pada masa 'Utsman ibn 'Affan, dan 'Utsman ibn 'Affan mendengar tentang itu dan tidak menyalahkannya. 'Abdullah ibn 'Umar berkata: "Masa iddahnya adalah iddah seorang wanita yang bercerai." Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Sa'id ibn al-Musayyab, Sulayman ibn Yasar dan Ibn Shihab kesemuanya berkata bahwa seorang wanita yang diceraikan suaminya demi pengganti memiliki masa iddahya seperti seorang wanita yang bercerai tiga periode menstruasi.
Dari keterangan di atas menurut perspektif Imam Malik bahwa khulu'
itu mempunyai kedudukan sebagai talak, sehingga khulu' mempunyai sifat
mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami dan suami dapat merujuk
kembali istrinya selama dalam masa iddah.
Pendapat Imam Malik yang menempatkan khulu' sebagai talak tersebut
mempunyai akibat hukum yang berbeda dengan ulama lain yang
mendudukkan khulu' sebagai fasakh. Jika berpijak pada pendapat yang
mendudukkan khulu' sebagai fasakh maka itu berarti boleh melakukan khulu'
berapa kali pun tanpa memerlukan muhallil.18
Istilah muhallil adalah berkaitan dengan istilah pernikahan muhallil,
yang dimaksud dengan nikah muhallil adalah nikah untuk menghalalkan
mantan istri yang telah ditalak tiga kali. Menurut Ibnu Rusyd, nikah muhallil
adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah
ditalak tiga kali.19 Sayyid Sabiq mendefinisikan kawin tahlil adalah seorang
laki-laki menikahi seorang perempuan yang sudah bertalak tiga sesudah habis
18Ibid 19Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44.
73
masa iddahnya dan dia telah dukhul kepadanya kemudian ia mentalak wanita
itu dengan maksud agar dia dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang
pertama.20
Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya
adalah haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti perbuatan yang
menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan nikah menjadi
boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain
melakukan nikah itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal
melakukan nikah disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai
muhallallah.21
Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan untuk
menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali
kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya
sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak
boleh kawin lagi dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah
menikah dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis masa iddahnya.
Kembali pada persoalan khulu' bahwa sebagaimana dikatakan di atas
bahwa pendapat yang mengatakan khulu' itu fasakh maka itu berarti boleh
melakukan khulu' berapa kali pun tanpa memerlukan muhallil. Sedangkan
menurut pendapat Imam Malik yang menempatkan khulu' sebagai talak maka
khulu' tidak boleh lebih dari tiga kali. Bila istri yang telah melakukan khulu'
sebanyak tiga kali, ia baru dapat kembali kepada istrinya itu setelah adanya
20Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 134. 21Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006,
hlm.. 103.
74
muhallil sebagaimana yang berlaku dalam talak. Dengan demikian pendapat
Imam Malik ini mengandung konsekuensi yaitu khulu' itu mengurangi jumlah
bilangan talak. Maksudnya jika khulu' disamakan dengan talak, maka khulu'
terbatas hanya sampai tiga kali, namun jika khulu' sebagai fasakh maka berapa
kali pun khulu' tidak jatuh sebagai talak.22
Bila terjadi fasakh baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum
perkawinan atau terdapatnya halangan yang tidak memungkinkan melanjutkan
perkawinan, terjadilah akibat hukumnya. Khusus akibat hukum yang
ditimbulkan oleh putus perkawinan secara fasakh itu adalah suami tidak boleh
rujuk kepada mantan istrinya selama istri itu menjalani masa iddah, oleh
karena perceraian dalam bentuk fasakh itu berstatus bain sughra. Bila mantan
suami dan mantan istri berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya,
mereka harus melakukan akad nikah baru, baik masih dalam menjalani masa
iddah dari suami itu atau setelah selesainya masa iddah.23
Akibat yang lain dari fasakh itu ialah tidak mengurangi bilangan talak.
Hal itu berarti hak suami untuk men-talak istrinya maksimal tiga kali, tidak
berkurang dengan fasakh itu. Dalam bahasa sederhana fasakh boleh terjadi
berkali-kali tanpa adanya batasan.
Khulu' adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk
melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada
kemaslahatan sebagai imbalan hak talak yang diberikan kepada laki-laki.
Dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak talaknya,
22Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 52. 23Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 103.
75
dan menyadarkan suami bahwa istri pun mempunyai hak sama untuk
mengakhiri perkawinan. Artinya dalam situasi tertentu, istri yang sangat
tersiksa akibat ulah suami atau keadaan suami mempunyai hak menuntut cerai
dengan imbalan sesuatu.24
Alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk bercerai yang dikemukakan
undang-undang, pada akhirnya bermuara pada ketidaksenangan salah satu
pihak karena keadaan atau perlakuan pihak lain. Alasan-alasan yang
dikemukakan undang-undang tersebut bukanlah alasan yang otomatis dapat
menceraikan mereka, tetapi merupakan option bagi yang bersangkutan untuk
memakainya atau tidak. Kalau yang bersangkutan menerima keadaan atau
perlakuan seperti itu dari pasangannya, perkawinan dapat berjalan terus
walaupun keadaannya semrawut, kadang-kadang aman, kadang-kadang
gawat.25
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi
Muhammad SAW. pernah meluluskan permintaan khulu' dari istri Tsabit bin
Qais, hanya karena wanita tersebut tidak menyukai penampilan suaminya.
Padahal Tsabit bin Qais, secara moral maupun agama sama sekali tidak
bercacat. Sepintas permintaan si wanita tersebut seperti mengada-ada, namun
kalau kita kembalikan kepada inti suatu perkawinan, yaitu keridhaan dan
kecintaan, itu adalah sesuatu yang prinsip. Jadi ketiadaaan kecintaan dan
keridhaan kedua pihak atau salah satunya dapat menyebabkan terputusnya
24Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 172. 25Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm.
104
76
perkawinan, sebab mempertahankan perkawinan pada kondisi yang seperti itu
hanya akan membuat mereka melanggar batas-batas Allah.
Namun demikian, seperti halnya penjatuhan talak, permintaan khulu'
pun hanya dapat diajukan dalam keadaan yang luar biasa. Namun, apabila
khulu' diadakan karena alasan yang lemah atau mengada-ada, si wanita
diancam oleh Nabi SAW dengan sabdanya : "... Wanita manapun yang
meminta cerai dari suaminya tanpa alasan (yang dapat diterima) diharamkan
baginya wewangian surga."26
Khulu' juga dinamai dengan talak tebus, karena si istri menebus
dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa-apa yang pernah
diterimanya dari suaminya. Tindakan istri seperti ini dibenarkan oleh al-
Qur’an, seperti tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 229.
Talak tebus ini boleh dilakukan dalam segala keadaan, di waktu suci
maupun di waktu haid sebab talak ini diajukan atas kemauan si istri dan dia
sendiri yang menanggung segala akibatnya. la akan menanggung resiko
materiil berupa pengeluaran harta serta resiko immateriil yang mengakibatkan
panjangnya masa iddah. Talak tebus ini biasanya tidak terjadi, kecuali bila
karena perasaan istri sudah tidak tertahankan lagi sehingga semua resiko
kerugian sudah tidak dihiraukan lagi.
Akibat hukum dari talak tebus ini adalah ba'in shughra sehingga suami
tidak dapat merujuk istrinya meski dalam masa iddah. Hal ini karena suami
tidak mempunyai hak lagi pada istrinya karena kehendak perceraian datang
26Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 173.
77
dari pihak istri. Hak-hak itu hilang karena suami telah menerima imbalan tadi.
Kalau hak rujuk itu tidak hilang, apa artinya pengorbanan materiil dari pihak
istri. Kalau ada keinginan untuk bersatu lagi dari pihak suami, maka harus
melalui perkawinan/akad nikah baru. Itu pun harus ditentukan oleh kerelaan
mantan istri sebab ia mempunyai hak pilih mutlak yang tidak dapat dipaksa,
seperti keadaan suami yang mempunyai rujuk pada kasus talak raj'i.27
Mengenai besarnya jumlah tebusan, para ulama berbeda pendapat.
Sebagian mengatakan bahwa kadar tebusan istri tersebut harus lebih banyak
daripada mahar (Imam Syafi'i dan Imam Malik), sebagian lain berpendapat
sejumlah harta yang pernah diterima istri, dan sebagian lagi mengatakan tidak
boleh lebih dari mahar. Kalau mahamya sangat tinggi atau mahal, sedangkan
pembayaran iwadh harus lebih banyak daripada mahar, hal itu akan sangat
memberatkan pihak istri dan kehendaknya untuk lepas dari beban penderitaan
akibat ketidaksenangan kepada suami akan sulit terlaksana. Sebaliknya bila
nilai maharnya sangat rendah dan bentuk maharnya bukan materil, maka pihak
suami tentu tidak mau menerima iwadh tersebut. Jalan tengah mengatasi
masalah iwadh ini menurut penulis adalah permufakatan kedua belah pihak
untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan kedua pihak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah khulu' memang tidak
dijelaskan secara detil. Oleh karena itu, pasal yang membahas masalah ini
juga sangat terbatas. Di dalam KHI tidak dijelaskan suatu proses bagaimana
khulu' terjadi secara khusus serta penyelesaian khulu', hal ini karena khulu'
27Ibid., hlm. 174.
78
dipandang sebagai talak. Dalam KHI alasan untuk melakukan khulu' juga
disandarkan pada alasan dalam menjatuhkan talak. Pasal yang langsung
berkaitan dengan khulu', yaitu pasal 124 dan pasal 161, serta pasal 119 ayat
(2) b, yang menyebutkan khulu' sebagai bagian dari talak ba'in shughra.
Adapun alasan yang dapat mendasari terjadinya khulu' adalah sama dengan
alasan talak, yaitu mengikuti pasal 116 dari huruf a sampai huruf h.28 Adapun
berapa besarnya iwadh, adalah berdasarkan kesepakatan atau permufakatan
kedua belah pihak sebagaimana dalam pasal 148 ayat (4). Namun untuk
menyelesaikan kasus khulu', KHI memberikan prosedur khusus melalui pasal
148 yang lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 148
(1) Seorang istri yang mengajukan gugatan dengan jalan khulu', menyampaikan permohonannya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
(2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk di dengar keterangannya masing masing.
(3) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khulu' dan memberikan nasihat-nasihatnya;
(4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat(5).
(6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.
Kembali pada Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menyatakan bahwa waktu iddah bagi janda yang putus perkawinan karena
khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah talak.
28Lihat Kompilasi Hukum Islam
79
Ibnu Qayyim berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah
wanita yang mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada
maksud syara. Karena Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk
memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga si suami dapat merujuknya
selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk,
maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara'atur rahm)
dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja".29 Dalam hal ini
Ibnu Qayyim menyamakan khulu’ dengan fasakh oleh karenanya iddahnya
adalah satu kali haid.
Sedangkan menurut Imam Malik dalam Kitabnya al-Muwatta'
menyatakan bahwa suami isteri yang bercerai karena khulu' maka masa
iddahnya adalah tiga priode menstruasi30 sebagaimana yang telah penulis
sebutkan di awal. Dalam Kompilasi Hukum Islam waktu tunggu atau iddah
khulu' disandarkan pada iddah karena talak, seperti kita lihat pada pasal 155
karena KHI memandang khulu' sebagai bagian dari perceraian atau talak.
Hal tersebut karena melihat hadits dari Ibnu Abbas riwayat al-Nasa’i
yang telah penulis sebutkan di awal, dalam hadits tersebut menyebutkan
secara jelas tentang perintah Nabi saw kepada Tsabit bin Qais dengan istilah
ةیقطلا تقھلوط sudah jelas bahwa dalam perintah tersebut menyebutkan dengan
istilah satu kali talak. Dari istilah tersebut maka khulu’ disamakan dengan
talak begitu juga dengan akibat hukum yang ditimbulkan termasuk dalam hal
ini tentang mengurangi bilangan talak maupun dalam hal ketentuan iddah.
29 http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html 30Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, Muwatta' Malik,
Mesir: Tijariyah Kubra, tth., hlm. 345.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis membahas dalam kajian analisis sebagaimana yang
diuraikan dari bab pertama hingga bab ke-empat, yang dilandasi dengan
berbagai argumen dan dalil yang berkaitan dengannya, maka agar lebih
memfokuskan pada pokok permasalahan yang dibahas, berikut ini penulis
memberikan kesimpulan atas permasalahan yang ada, yaitu sebagai berikut :
1. Menurut Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah waktu iddah
bagi janda yang putus perkawinan karena khulu', fasakh dan li'an berlaku
iddah talak. Dari bunyi Pasal tersebut menunjukkan bahwa bagi janda
yang masih mengalami haid adalah selama tiga kali haid.
2. Sebagian ulama menyatakan bahwa iddah wanita yang bercerai dengan
suaminya dengan cara khulu' adalah satu kali haid. Alasannya kasus Tsabit
bin Qais. Ber'iddah satu kali haid adalah pendapat yang dipegang Utsman,
Ibnu Abbas, pendapat lebih sahih dari Imam Ahmad dan pendapat Ishak
bin Rahawaihi, dan ini juga pendapat Ibnu Taimiyyah. Ibnu al-Qayyim
menyatakan bahwa inilah pendapat amiril mukminin Utsman bin Affan,
Abdullah bin Umar, Rubaiyi' binti Mu'awidz dan pamannya.
3. KHI menyamakan iddah khulu’ dengan iddah talak karena dalam hadits
dari Ibnu Abbas riwayat al-Nasa’i yang didalamnya Nabi saw
memerintahkan kepada Tsabit bin Qais dengan istilah ةیقطلا تقھلوط secara
81
jelas, dengan demikian khulu’ adalah satu kali talak sehingga mengurangi
bilangan talak, demikian pula mengenai waktu iddahnya sam dengan
iddah talak.
B. Saran-Saran
Kompilasi Hukum Islam merupakan respon pemerintah terhadap
timbulnya berbagai keresahan di masyarakat akibat beragamnya keputusan
Pengadilan Agama untuk suatu kasus yang sama. Kemudian KHI dikukuhkan
sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim di
lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Namun seiring dengan
berjalannya waktu dan dengan perkembangan budaya dalam masyarakat,
dengan sejumlah penelitian baik dalam bentuk tesis maupun disertasi ataupun
dalam bentuk kajian ilmiah lainnya menyimpulkan bahwa KHI dalam dirinya
mengandung sejumlah persoalan. Berdasarkan hasil survey di empat wilayah:
Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat
ditemukan kenyataan bahwa mayoritas responden yang terdiri atas hakim
agama, kepala KUA, tokoh-tokoh agama menghendaki perubahan
KHI. (http://eello25.multiply.com/journal/item/42)
Adapun berkenaan dengan tulisan ini, apabila nanti pemerintah
mengadakan perubahan terhadap Kompilasi Hukum Islam, bagi pembentuk
undang-undang yang hendak merevisi Kompilasi Hukum Islam, maka ada
baiknya dalam penjelasan umum diberi keterangan tentang pengertian iddah
talak, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
82
C. Penutup
Alhamdulilahirabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan banyak kenikmatan, hidayah serta inayah-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini.
Semoga shalawat dan salamnya tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak
yang telah membantu atas terselesainya skripsi ini. Dengan diiringi kesadaran
yang sedalam-dalamnya bahwa meskipun telah menempuh usaha secara
maksimal, namun kadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
tulisan ini. Kesempurnaan hanyalah milik Allah, kekurangan pastilah milik
kita, dan hanya kepada Allah-lah penulis mohon petunjuk dan pertolongan.
Amin…!!! Alhamdulillahirabbil ‘alamin...!!!
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Al'ati, Hammudah, The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, "Keluarga Muslim", Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984.
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994.
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
Asbahi, Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir, Muwatta' Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999.
Dahlan, Abdul Aziz, et. al, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : cv Pustaka Agung Harapan, 2006.
--------------------------------, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993.
--------------------------------, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia Dictionary, Jakarta : PT. Gramedia, 2000, hlm. 132.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981.
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Harahap, M. Yahya, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Yayasan al-Hikmah, 1993/1994.
http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html
Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama : Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Total Media, 2006.
Malîbary, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Mu’în, Kairo : Maktabah Dar al-Turas, 1980.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997.
Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahîh Muslim, Juz. 2, Mesir: Tijariah Kubra, tth.
Nasa’i, Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-, hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: kencana, 2006.
Rusyd, Ibnu, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989.
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992, hlm. 123.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970.
Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya : Arkola, 1997, hlm. 10.
Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.
Sijistani, Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi, hadis No. 2800 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
Syafi’î, al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz. V, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2006.
Taqi al-Din, Imam, Kifâyah al-Akhyâr, Juz II, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1973.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku bagi Umat Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Yayasan, 1993.
UU Nomor 1 Tahun 1974.
Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, "Fiqih Wanita", Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1998.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, Cet. 5, 1976.
Yanggo, Chuzaimah T. dan Hafiz Anshary, (ed) Problematika Hukum Islam Kontemporer, (I), Jakarta: LSIK, 2002.
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.
Zain, Sutan Muhammad, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta : Grafika, tth.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rosika Wahyu Alamintaha
TTL : Sragen, 16 Maret 1985
Alamat : Banaran RT. 10 RW. 05 Kalijambe Sragen
Agama : Islam
Nama Bapak : Suminto
Nama Ibu : Indiyah
Jenjang Pendidikan
Formal :
1. SD Negeri Jetis Karangpung 01 lulus tahun 1997
2. SMP N 01 Kalijambe Sragen lulus tahun 2000
3. MAN Gondangrejo Karanganyar lulus tahun 2003
4. IAIN Walisongo Semarang lulus tahun 2010
Non-formal :
1. Kursus Teknisi Komputer ALFABANK tahun 2009
Pengalaman Organisasi
1. Wakil Sekretaris Racana Walisongo tahun 2005
2. Wakil Ketua Racana Walisongo tahun 2006
3. Sekretaris Racana Walisongo tahun 2007
4. Bidang Litbang IPNU PPRT periode 2004-2006
5. Anggota Dojo Miftahul Jannah Kempo IAIN Walisongo tahun 2006-2008
6. Staff Sanggar Kwartir Ranting Gerakan Pramuka Kecamatan Ngaliyan
periode 2005-2008