studi analisis pendapat ibnu mundzir tentang...
TRANSCRIPT
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU MUNDZIR
TENTANG NIKAH TANPA SAKSI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (SI)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: FATKHUDIN
2102179
JURUSAN AHWAL AL-SYAHSIYAH
FAKULTAS SYAR'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
NAMA : FATKHUDIN
NIM : 2102179
Jurusan : AHWAL AL-SYAHSIYAH
Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU MUNDZIR
TENTANG NIKAH TANPA SAKSI
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dinyatakan lulus pada tanggal :
14 Januari 2008 dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir Program Sarjana Strata Satu
(S.1) guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Syari’ah.
Semarang 11 Pebruari 2008 Ketua Sidang Sekretaris Sidang H.Khoirul Anwar M.Ag H. Ahmad Izzuddin, M.Ag NIP. 150 276 114 NIP. 150 290 930 Penguji I, Penguji II,
Drs. H. Slamet Hambali Drs. H. Eman Sulaeman, MH. NIP. 150 198 821 NIP. 150 254 348 Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. H. Ahmad Ghozali H. Ahmad Izzuddin,M.Ag. NIP. 150 247 012 NIP. 150 290 930
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Fatkhudin
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang di-Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara:
Nama : Fatkhudin NIM : 2102179 Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU MUNDZIR
TETANG NIKAH TANPA SAKSI
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 16 Desember2007
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Ahmad Ghozali Ahmad Izzuddin,M.Ag NIP. 150 247 012 NIP. 150 290 930
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
MOTTO
مودة بينكم وجعل إليها لتسكنوا أزواجا أنفسكم من لكم خلق أن آياته ومن
يتفكرون لقوم لآيات ذلك في إن ورحمة
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.” (QS Ar Rum: 21)1
1 Depag RI, Alqur’an Dan Terjemahannya, t.t.,hlm. 644
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا هللا مسبPuji syukur penulis panjatkan kepada Allah Azza wa jalla atas limpahan
rahmat, Taufik, hidayah serta inayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang merupakan tugas dan syarat yang wajib dipenuhi guna
memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Syari’h IAIN Walisongo Semarang.
Untaian Shalawat dan salam senantiasa tersemai kepada revolusioner
sejati Nabi Muhammad saw, yang telah membawa risalah Islam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman, sehingga dapat
menjadi bekal hidup kita, baik di dunia maupun di akhirat.
Adalah suatu kebanggaan tersendiri, jika suatu tugas dapat terselesaikan
dengan sebaik-baiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi ini merupakan tugas
yang tidak ringan. Penulis sadar banyak hambatan yang menghadang dalam
proses penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis itu
sendiri. Kalaupun akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan, tentunya karena
beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuannya, khususnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Abdul Jamil, MA., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Drs. H. Muhyidin, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
iv
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
3. Drs. H. Ahmad Ghozali dan Ahmad Izuddin, M.Ag, selaku pembimbing yang
telah meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan arahan, saran, dan
bimbingan serta motivasi kepada penulis.
4. Dosen pengajar beserta staff karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang.
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan dukungan moral dan
material serta mendoakan dan mengharapkan kiprah penulis. Kakak-kakakku
tercinta, terimakasih atas motivasinya.
Penulis menyadari demi perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi
ini, penulis dengan rendah hati membuka serta menerima saran dan kritik yang
konstruktif dari berbagai pihak.
Sebelum penulis tutup, penulis hanya dapat mendo’akan mudah-mudahan
segala upaya, dan bantuan dari berbagi pihak dijadikan sebagai amal sholeh
mutaqobbalan dan mendapat balasan serta ridho dari Allah SWT. Dan akhirnya
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING............................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN MOTO ........................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI.............................................................................. vi
HALAMAN ABSTRAK.................................................................................. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR................................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI .............................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan...................................................................... 4
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 4
E. Metode Penelitian ................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM SAKSI PERNIKAHAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Saksi......................................... 13
B. Syarat-syarat Saksi ................................................................... 15
C. Hikmah Menyaksikan Akad Nikah.......................................... 23
D. Pendapat Ulama Tentang Nikah Tanpa Saksi.......................... 24
BAB III PENDAPAT IBNU MUNDZIR TENTANG NIKAH TANPA SAKSI A. Sekilas Biografi Ibnu Mundzir................................................. 28
B. Buku Karya Ilmiah Ibnu Mundzir............................................ 32
C. Pendapat Ibnu Mundzir Tentang Nikah Tanpa Saksi .............. 33
D. Metode Istinbath Hukum Ibnu Mundzir Tentang Nikah
Tanpa Saksi .............................................................................. 36
x
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU MUNDZIR TENTANG NIKAH
TANPA SAKSI A. Analisis Pendapat Ibnu Mundzir Tentang
Nikah Tanpa Saksi ................................................................... 43
B. Analisis Istinbat Hukum Ibnu Mundzir Tentang Nikah Tanpa
Saksi ......................................................................................... 48
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 55
B. Saran-saran............................................................................... 56
C. Penutup..................................................................................... 57
xi
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Fatkhudin
NIM : 2102179
Tempat/ Tanggal Lahir : Brebes, 10 Mei 1980
Alamat Asal : Cikandang Kec. Kersana Kab. Brebes
Jenjang Pendidikan :
1. SDN 03 Cikandang lulus tahun 1991
2. MSMH Kaliwungu
3. MSMH Kaliwungu
4. IAIN Walisongo Semarang
Fakultas syari’ah Jurusan AS angkatan tahun 2002
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis mengatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian pula skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan
Semarang, 27 Juli 2007
Deklarator,
Fatkudin
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PERSEMBAHAN
Kedua orang tuaku yang telah mendidik dari kecil hingga dewasa, do’a dan restu semoga menyertai kehidupanku dan semoga beliau berdua senantiasa dalam lindungan allah. Kakak-kakak semuanya yang selalau meberi motifasi atas saran dan sumbangsih, sehingga penulis dapat menggarap sekripsi ini. Kawan-kawanku senasib seperjuangan, TIM KKN Selopajang Timur, (boby, guponk, beni, imron, samsul, titin, erna, mamah, mut).
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG JL.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp./fax. (024) 7601291 Semarang 50185
ABSTRAK
Pernikahan dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat
pernikahan. Di antara rukun pernikahan adalah menghadirkan dua orang saksi.
Dalam masalah saksi jumhur ulama berpendapat saksi sebagai syarat sah
pernikahan. Mereka bersandar kepada hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas. Sementara ada yang berpendapat saksi bukan merupakan syarat sah
pernikahan, maka nikah tanpa saksi hukumnya sah. Pendapat ini dikemukakan
oleh Ibnu Mundzir yang tertuang dalam karyanya al-Isyraf ala’ Madzahib ahli
al-Ilmi menurutnya tidak ada ketetapan dari nabi tentang adanya dua orang
saksi dalam pernikahan. Selain itu nabi juga pernah melakukan nikah tanpa
saksi dan juga Ibnu Umar, Ibnu Zubair, dan Hasan ibn Ali melakukan hal
yang sama seperti nabi.berdasarkan keterangan tersebut penulis mencoba
menganalisis pendapat dan istinbathnya tentang nikah tanpa saksi.
Adapun dalam pengumpulan data pada penulisan skripsi ini penulis
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan
obnyek yang penulis peneiti dalam masalah ini adalah karya Ibnu Mundzir
yaitu kitab al Isyraf ala’ Madzahib ahli al Ilmi sebagai sumber primernya.
Hasil analisis penulis bahwa nikah tanpa saksi masih menjadi perdebatan
di kalangan ulama. Dalam hal ini Ibnu Mundzir lebih melihat pada sosok nabi
yang pernah melakukannya sehingga ia berpendapat nikah tanpa saksi
hukumnya sah. Menurut penulis saksi sangat penting adanya dalam
pernikahan sebagai alat bukti jika suatu saat terjadi kemungkinan-
kemungkinan di luar pernikahan seperti pengingkaran yang dilakukan suami
istri terhadap nasab anak hasil pernikahannya.oleh karenanya saksi sangat
penting adanya dalam pernikahan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sudah menjadi sunatulloh
manusia diciptakan dalam keadaan berpasang-pasangan yang terdiri dari laki-
laki dan perempuan. keduanya diciptakan dalam dua jenis yang berbeda
sebagai sarana menuju proses reproduksi dan sebagai metode untuk
regenerasi. Mereka diciptakan dari diri yang satu namun saling membutuhkan
satu sama lain. laki-laki membutuhkan seorang perempuan begitu juga
sebaliknya. Keduanya tidak bisa dipisahkan dari arena kehidupan yang sarat
dengan kebutuhan lahir dan batin.
Manusia secara fitrah atau nature diciptakan Tuhan dalam dirinya,
mempunyai kebutuhan-kebutuhan jasmani, di antaranya kebutuhan seksual
yang akan dipenuhi dengan baik dan teratur dalam hidup berkeluarga1. Untuk
memenuhi kebutuan tersebut manusia harus melalui proses pernikahan sebagai
solusi dalam menyalurkan hasrat seksual kepada lawan jenisnya. Dengan kata
lain pernikahan merupakan jalan satu-satunya yang dianggap sah oleh agama
yang harus dilewati oleh setiap laki-laki dan perempuan agar dapat
berhubungan secara intim, phisik dan psikis dalam merasakan ketentraman
dan kesenangan hidup2.
1 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998, hlm.
432. 2 Hasniah Hasan, Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera, Surabaya: CV. Amin
Surabaya, 1987, hlm. 10.
1
2
Pernikahan menentukan boleh tidaknya mereka saling melengkapi,
saling memakai, dan saling mengasihi untuk merasakan kesenangan dan
keindahan hidup. Dalam masalah pernikahan Islam memberi aturan yang jelas
yang harus dipenuhi, termasuk di dalamnya masalah saksi. salah satu hal yang
menjadikan sahnya perkawinan adalah terpenuhinya syarat-syarat sahnya
perkawinan, yaitu syarat-syarat yang menentukan sahnya perkawinan. Jika
syarat-syarat tersebut terpenuhi, perkawinan itu sah menurut syara’ dan
mempunyai akibat hukum yang berupa adanya hak dan kewajiban3.
Rukun dan syarat-syarat perkawinan wajib dipenuhi, apabila tidak
dipenuhi maka pernikahan tidak sah. Disebutkan dalam kitab al-fiqh ala
madzahib al-Arba’ah bahwa “Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi
rukunnya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil sama yaitu tidak sah”4.
Adapun syarat sahnya akad nikah harus dihadiri oleh empar orang,
yaitu wali, mempelai laki-laki dan dua orang saksi yang adil5. Saksi dalam
akad nikah menjadi rukunnya, apabila dalam akad nikah tidak dihadiri oleh
para saksi maka pernikahannya tidak sah (batal). Dalam masalah saksi Quraish
Shihab memberikan komentar bahwa menurutnya tidak menemukan hal
tentang persaksian dalam pernikahan yang disinggung secara tegas oleh al-
Qur’an, tetapi sekian banyak hadist menyinggungnya6. Dalam masalah saksi
3 M. Suraji Dahlan, Fenomena Nikah Sirri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1996, hlm. 22. 4 Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-fiqh ala’ al-Madzhahib al-Arba’ah, Juz IV, Maktabah
al-Tijariyah Kubro, hlm. 118. 5 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz II,
Semarang: Toha Putra, hlm. 51 6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 203.
3
jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan tidak sah jika ketika ijab qabul
tidak ada saksi yang menyaksikan sekalipun diumumkan kepada orang ramai
dengan cara yang lain, perkawinannya tetap tidak sah. Ini menunjukan bahwa
saksi dalam pernikahan sangat menentukan sah dan tidaknya suatu
pernikahan. Tetapi pendapat jumhur ulama belum final, masih ada sebagian
ulama yang berpendapat nikah tanpa saksi hukumnya sah. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Ibnu mundzir. Pendapatnya tertuang dalam
kitabnya: al-Isyraf ala’ Madzahib Ahli al- Ilmi :
وليس يثيت عن النبي صلى اهللا عليه وسلم شئ فى : بكر وبال اق 7 ت الشاهدين فى النكاح ابثا
Artinya: “Tidak ada suatu ketetapan dari nabi tentang adanya dua orang saksi dalam pernikahan”.
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik ingin
menelaah pemikiran Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi. Sejauhmana
pemikiran Ibnu Mundzir dalam memandang saksi dalam pernikahan. Maka
dengan ini penulis beri judul “STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU
MUNDZIR TENTANG NIKAH TANPA SAKSI”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, ada beberapa hal
yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini, yaitu:
7 Ibnu Mundzir, Al-Isyraf ala’ Madzhahib Ahli al-Ilmi, juz III, Maktabah Dar al-Fatah,
hlm. 30.
4
1. Bagaimana pendapat dan istinbath hukum Ibnu Mundzir tentang nikah
tanpa saksi ?
2. Analisis pendapat dan istinbath hukum Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa
saksi ?
C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI
Suatu langkah atau perbuatan akan mengarah jika dalam perbuatan
tersebut mempunyai tujuan. Demikian juga halnya dalam penyusunan skripsi
ini, ada dua tujuan yaitu:
1. Tujuan Formal
Yaitu untuk memenuhi persyaratan program akademik dalam rangka
menempuh studi akhir kesarjanaan.
2. Tujuan Teoritis, ada dua yaitu:
a. Untuk mengetahui pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi?
b. Untuk mengetahui istimbath hukum yang digunakan Ibnu Mundzir
tentang nikah tanpa saksi.
D. TELAAH PUSTAKA
Dalam sebuah penelitian diperlukan pencarian teori-teori, konsep-
konsep, generalisasi-generalisasi yang dapat dijadikan landasan teori bagi
penelitian yang akan dilakukan. Hal ini dilakukan agar penelitian mempunyai
dasar yang kuat. Maka untuk mendapatkan informasi hal yang disebut di atas,
5
penulis melakukan penelaahan kepustakaan yaitu dengan membaca buku-buku
yang ada kaitannya dengan judul yang penulis bahas.
Ada dua sumber bacaan yaitu acuan umum dan acuan khusus. Sumber
acuan umum, yaitu kepustakaan yang berwujud buku-buku teks, ensiklopedia,
monograp, dan sejenisnya. Sedangkan acuan khusus yaitu kepustakaan yang
berwujud jurnal, buletin penelitian, tesis, disertasi dan sumber bacaan lain
yang memuat laporan hasil penelitian8. Dalam penelitian ini penulis juga
menggunakan kedua sumber tersebut yang dijadikan sebagai landasan teori
dalam meneliti permasalahan yang sedang diteliti.
Dikemukakan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid bahwa kalangan
ulama berbeda pendapat menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam
Abu hanifah, Syafi’i dan Imam Malik sepakat bahwa saksi sebagai bagian dari
syarat sahnya pernikahan hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian
tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang dituntut sebelum
pasangan suami istri bercampur (dukhul) atau syarat sahnya pernikahan yang
dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan? betapapun perbedaan
itu namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan
berdasarkan perintah nabi untuk mengumumkan berita pernikahan. Bagaimana
kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu Imam Syafi’i
dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja. Sedangkan Imam Malik menilai
bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan. Perbedaan ini lahir
dari analisis mereka tentang fungsi para saksi apakah fungsi mereka
8 Sumandi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1983, hlm. 66.
6
keagamaan atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya
perselisihan pendapat.9.
Dalam kitab al-Muhadzab karya al-Syaerozi menerangkan tentang hal-
hal yang berkaitan dengan saksi dalam pernikahan menurutnya tidak sah nikah
kecuali dengan dua orang saksi, sementara Abu Tsaur sah pernikahan dengan
tanpa saksi karena nikah adalah akad maka sah tanpa saksi seperti jual beli.
pendapat ini dianggap salah oleh Syaeroji karena ada hadist dari Aisyah
bahwa nabi bersabda “setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat
orang yaitu calon suami (pelamar), wali dan dua orang saksi merupakan
zina”, berbeda dengan jual beli karena tujuan dari jual beli adalah harta,
sedangkan tujuan nikah adalah bersenang-senang (istimta’) dan menghasilkan
keturunan (anak), maka kedua hal tersebut dibangun atas prinsip hati-hati
(ihtiyat), dengan demikian tidak sah nikah kecuali dengan dua orang saksi10.
Dan juga dalam fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan hal
serupa yaitu tidak sah nikah kecuali dengan dua orang saksi, kata tidak di sini
maksudnya tidak sah yang berarti menunjukkan bahwa mempersaksikan
terjadinya ijab kabul merupakan syarat dalam perkawinan sebab dengan tidak
adanya saksi dalam ijab kabul dinyatakan tidak sah maka hal itu berarti
menjadi syaratnya11.
Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Aisyah bahwa nabi bersabda “
Wajib dalam pernikahan empat orang yaitu suami, wali dan dua orang saksi
yang adil. Karena akad nikah berbeda dengan akad-akad yang lain dalam
9 Ibnu Rusdy, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Beirut: Dar al-Qolam, hlm. 20. 10 Al-Syaerozi, Al-Muhazzab, juz II, Semarang: Toha Putra, t. th., hlm. 260. 11 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II, Dar al-Fikri, hlm. 49.
7
melampauinya dari dua orang yang berakad sampai pihak ketiga yaitu anak
yang harus dijaga nasabnya dan wajib adanya saksi dalam pernikahan karena
dapat menjaga nasab anak yang belum lahir supaya suami istri tidak
mengingkari nasabnya.12
Untuk menghindari kesamaan tema dengan berbagai penelitian yang
sudah dilakukan, maka penulis menyajikan beberapa karya skripsi yang
relevan dengan judul yang penulis teliti, antara lain : Mulikhatus Sururiyah,
alumnus fakultas Syari’ah tahun 1998 dalam skripsinya yang berjudul “Studi
Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Penyelesaian Perkara Gugatan
Dengan Seorang Saksi Ditambah Sumpah Penggugat” disini dijelaskan
tentang kekuatan hukum dari suatu penyelesaian perkara gugatan dengan
seorang saksi ditambah sumpah penggugat.
Rihlatul khoiriyah,alumnus fakultas Syariah tahun 2000,dalam
skripsinya yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang
Kesaksian Orang Buta” menjelaskan tentang kekuatan hukum dari kesaksian
orang buta menurut Imam Syafi’i.
Slamet, alumnus Fakultas Syari’ah tahun 1997 dalam skripsinya yang
berjudul “Studi Komparatif Terhadap Persepsi Ulama Sunni Dan Syi’ah
Imamiyah Tentang Eksistensi Saksi Dalam Talak” menjelaskan terjadinya
perbedaan pendapat antara ulama Sunni dengan Syi’ah, di mana ulama Sunni
menganggap saksi dalam talak hanyalah sunnah, sedangkan ulama Syi’ah
menganggap bahwa keberadaan saksi dalam talak hukumnya wajib.
12 Al-Mawardi, al-Hawi Kabir, Juz 9, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t., hlm.58.
8
Evi Yusrini dengan skripsi berjudul “Studi Analisis Pemikiran Imam
Malik Tentang Kesaksian Wanita” dalam skripsi ini menjelaskan pemikiran
imam Malik tentang kesaskisan wanita ada yang membolehkan dan ada yang
tidak. Adapun alasan yang membolehkan karena tidak ada nash yang secara
jelas menolak kelayakan wanita untuk menjadi saksi. Sedangkan alasan yang
tidak memperbolehkan, karena pada umumnya wanita pada waktu itu tidak
membiasakan diri untuk mengamati kasus-kasus.
Mustain 2001 dengan judul, “Studi Analisis Pendapat Ibnu Hazm
Tentang Kebolehan Saksi non Muslim Mengenai Wasiat dalam Perjalanan”.
Dalam skripsi ini bahwa kesaksian orang kafir tidak boleh diterima sama
sekali, baik terhadap orang Islam selain mengenai wasiat dalam perjalanan.
Dari beberapa buku atau kitab serta skripsi yang penulis sebutkan
menunjukan bahwa fokus pembahasan dalam skripsi yang penulis susun ini
merupakan karya yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga masih
penting mengangkat tema ini ke dalam karya ilmiah.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam skripsi ini penulis berusaha mengupas secara konseptual
terhadap pendapat Ibnu Mundzir tentang hukum nikah tanpa saksi. Oleh
karena itu, penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan kajian
pustaka, yaitu cara menuliskan, mereduksi dan menyajikan data-data13.
13 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rake Sarasin, 1993, hlm. 21.
9
Adapun sumber data dalam penelitian ini berasal dari sumber primernya
dan juga sumber sekunder yaitu beberapa kitab atau buku atau sumber-
sumber yang lain sebagai penunjang yang membahas masalah yang ada
kaitannya dengan penelitian ini.
2. Sumber Data
Oleh karena penelitian ini adalah penelitian pustaka maka sumber
data dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah sumber utama atau pokok yang menjadi
bahan penelitian atau kajian dalam penelitian ini. Selanjutnya data ini
disebut data langsung atau data asli14. Dalam hal ini penulis mengambil
pemikiran Ibnu Mundzir yang tertuang dalam karyanya yaitu kitab al-
Isyraf ala’ Madzahib Ahli al - Ilmi sebagai sumber primernya.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber yang menjadi bahan penunjang dan
pelengkap atau kajian dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya data ini
disebut data tidak langsung atau data tidak asli15. Maksudnya adalah
buku-buku tentang pendapat para ulama yang melengkapi dalam
pembahasan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dilakukan dengan
metode kepustakaan ( library research ) yaitu penelitian yang
14 Saefuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, cet. I, hlm. 91.
15 Ibid.
10
dilakukan dengan membaca sumber-sumber tertulis seperti buku-buku
dan kitab-kitab yang berkaitan dengan masalah yang dikemukakan16.
Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data dan
informasi dari buku-buku atupun dokumen-dokumen yang menjelaskan
pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi.
3. Analisis Data
Sebagai tindak lanjut dari pengumpulan data maka metode analisis
data menjadi signifikan untuk menuju sempurnanya penelitian ini. Dalam
analisis data penulis menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode Deskriptif Analisis
Metode deskriptif analisis yaitu prosedur atau cara
memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek
yang diselidiki sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang
aktual.17 Metode ini penulis gunakan pada bab III, di sini penulis akan
menggambarkan pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi.
Pada bab IV, penulis akan menganalisis pendapat Ibnu Mundzir
tentang nikah tanpa saksi dan Istimbath hukumnya.
b. Metode Content Analysis
Metode content analysis yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan
suatu komunikasi18 atau kajian isi19, dalam hal ini dengan menganalisa
16 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1991, cet. V, hlm. 30. 17 Hadari Nawawi, Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1995, hlm. 67 18 Noeng Muhajir, Op. cit., hlm. 68.
11
pendapat dan istimbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Mundzir
kaitannya dengan nikah tanpa saksi.
Pendekatan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan
sosiologis yang didasarkan pada postulat bahwa setiap produk
pemikiran memiliki konteks sosial. Dengan demikian untuk
memahami dan menjelaskan pemikiran fuqaha digunakan pendekatan
sosiologis yaitu untuk memahami sistem sosial dan entitas kehidupan
ketika ulama itu memproduk pemikirannya20.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi
skripsi ini dalam lima bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I Bab pertama adalah pendahuluan, berisi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode
penulisan skripsi, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II Bab kedua Tinjauan Umum tentang saksi pernikahan, berisi:
pengertian dan dasar hukum saksi, syarat-syarat saksi, hikmah
menyaksikan akad nikah, pendapat para ulama tentang nikah tanpa
saksi.
BAB III Bab ketiga adalah pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi
berisi: sekilas biografi Ibnu Mundzir, buku karya ilmiah Ibnu
19 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian kualitatif, bandung: Remaja Rosdakarya, 2001,
cet. XIV, hlm. 163. 20 Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar penelitian Hukum Islam dan pranata sosial, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 305.
12
Mundzir, pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi,
istimbath hukum pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi,
BAB IV Bab keempat adalah analisis, berisi tentang analisis pendapat Ibnu
Mundzir tentang nikah tanpa saksi dan analisis istimbath hukum
pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah tanpa saksi.
BAB V Bab kelima merupakan akhir dari seluruh uraian skripsi, yang
memuat kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II
TINJAUAN UMUM SAKSI PERNIKAHAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Saksi
Kata saksi adalah terjemahan dari bahasa arab شاهد yang berbentuk
isim fa’il. Kata tersebut berasal dari masdar شهادة/ شهود akar katanya adalah
yang menurut bahasa artinya menghadiri, menyaksikan شهود- يشهد-شهد
(dengan mata kepala), memberikan kesaksian di depan hakim, mengakui,
bersumpah, mengetahui, mendatangkan dan menjadikan sebagai saksi1. Ada
juga yang mengartiakan kata syahadah dengan khabar/berita, kemudian
syahadah secara bahasa artinya memberitahu, sedangkan menurut istilah
fuqaha adalah memberikan khabar/informasi yang berhubungan dengan suatu
peristiwa atau kejadian.2
Kata شهد adalah علم (mengetahui) sehingga maksud dari kata syahid
adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya sebab dia
menyaksikan apa yang tidak diketahui orang lain. Pengetahuan itu diperoleh
melalui penglihatan atau pendengaran atau ketenaran dalam kasus yang pada
umumnya sulit untuk diketahui kecuali melaluinya, ketenaran adalah
kemasyhuran yang membuahkan dugaan atau pengetahuan.3
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kata saksi berarti orang yang
melihat atau mengetahui, yakni orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa
1 A.W.Munawir, Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002, hlm. 746-747. 2 Imam al-Kasani,Badaa’iu al-Shanai,juz III,Beirut: Darul Kutub al Ilmiah,t.t.,hlm.390. 3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, JIlid 14, dialih bahasa Moh.Thalib, Bandung: PT. Al-
Ma’arif, Offset, 1997, hlm.55.
untuk mengetahuinya supaya bilamana perlu peristiwa tadi sungguh-sungguh
terjadi atau orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian dan orang tersebut
memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau
terdakwa.4 Di sini penempatannya saksi sebagai alat bukti, yang
pengertiannya adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang,
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan
yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa
atau keadaan tersebut.5
Dari definisi yang telah dikemukakan dapat diambil kesimpulan bahwa
saksi adalah orang yang melihat atau menyaksikan secara langsung dengan
dirinya sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Dalam suatu pernikahan berarti
saksi melihat atau menyaksikan secara langsung bahwa telah terjadi akad
nikah di suatu tempat.
Adapun dasar hukum saksi dalam pernikahan terdiri dari Qur’an dan
hadist.
☺
⌧
4 W.J.S.Poerwardamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai pustaka, 1995. 5 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yoyakarta: Pustaka
Pelajar,1996, hlm.165.
☯ ⌧
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.6
☺
☺ ⌦
☺ ☺
Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan7.
البغايا الالتى ينكحن : عن ابن عباس ان رسو ل اهللا صلى هللا عليه وسلم قال
)رواه الترمذى( انفسهن بغير بينة
Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A berkata, Rosulullah bersabda pelacur yaitu orang-orang yang mengawinkan dirinya dengan tanpa saksi. (HR. Attirmidzi) 8
Dari beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist yang penulis paparkan
menunjukan tentang adanya saksi dalam pernikahan. Hal ini tentu berbeda
6Depag RI,al-Quran Dan terjemahannya,hlm.945. 7 Ibid 8 Abi Isya Muhammad, Kitab Jami’ As-Sahih, Juz 3, Bairut: Darul Kutub Al-
Ilmiah,t.t.,hlm.411.
dengan pandangan Ibnu Mundzir yang tidak mewajibkan adanya saksi dalam
pernikahan.
B. Syarat-syarat Saksi
Syarat menurut terminologi para fuqoha seperti diformulasikan
Muhammad al-Khudari Bek, ialah sesuatu yang ketidakadaannya
mengharuskan tidak adanya hukum itu sendiri. Menurutnya hikmah dari
ketiadaan syarat itu berakibat pula memindahkan hikmah hukum atau sebab
hukum.9 Kedudukan syarat sangat penting adanya saksi dalam pernikahan.,
namun syarat tentunya berbeda dengan rukun. Kalau syarat berada di luarnya
sedangkan rukun berada di dalam suatu akad.
Masing-masing ulama fiqih menetapkan syarat-syarat menjadi saksi
pernikahan amat beragam. Imam Taqiyyudin menetapkan syarat saksi ada
enam syarat,
1. Islam
2. Baligh
3. Sehat akalnya
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil10
Dalam Risalatul Nikah Alhamdani menyebutkan syarat saksi,
1. Laki-laki
2. Baligh
9 Muhammad Al-Khudari Bek, Op.Cit., hlm.59. 10 M.Rifa’I dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang:Toha
Putra,t.t.,hlm.279.
3. Waras akalnya
4. Adil
5. Dapat mendengar dan melihat
6. Bebas,tidak dipaksa
7. Tidak sedang mengerjakan ihram hajji
8. Memahami bahasa yang digunakan untuk ijab dan qabul11
Imam al-Jaziri dalam kitabnya, Fiqih Madzahib al-Arba’ah
menyebutkan lima syarat untuk menjadi saksi,
1. Berakal, orang gila tidak boleh jadi saksi
2. Baligh, anak kecil tidak boleh jadi saksi
3. Merdeka, hamba sahaya tidak boleh jadi saksi
4. Islam
5. Saksi mendengar ucapan dua orang yang berakad secara
bersamaan, maka tidak sah kesaksian orang tidur yang
tidak mendengar ucapan ijab qabul dua orang yang
berakad12
Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada
pada seseorang yang menjadi saksi ialah:
a. Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi
b. Baligh, tidak sah saksi anak-anak
c. Merdeka, bukan hamba sahaya
d. Islam
11 Alhamdani,Risalatun Nikah,Pekalongan:Raja murah,1980,hlm.23. 12 Abdur Rahman, al Jaziri, Kitab fiqih Ala’ Madzahib al Arba’ah, Juz 4, Darul fikr, t.t.,
hlm. 17-18.
e. Keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari kedua belah
pihak
Imam Hambali mengatakan syarat-syarat saksi adalah:
a. Dua orang aki-laki yang baligh
b. Keduanya beragama islam, dapat berbicara dan mendengar
c. Keduanya tidak berasal dari satu keturunan kedua mempelai
Imam Syafi’i mengemukakan bahwa syarat-syarat saksi adalah:
a. Dua orang saksi
b. Berakal
c. Baligh
d. Islam
e. Mendengar
f. Adil13
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan harus memenuhi
persyaratan. Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi
saksi adalah: berakal sehat, dewasa, mendengarkan ucapan kedua belah pihak
yang berakad dan memahami bahwa ucapan-ucapannya itu maksudnya
maksudnya adalah ijab kabul pernikahan. Bila para saksi itu buta maka
hendaknya mereka bisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul bahwa
suara tersebut adalah suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang
berakad.
13 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat,Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.101.
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi, karena kehadiran saksi itu di
samping menyaksikan akad nikah, juga menyaksikan pemberitahuan bahwa
akad nikah itu telah berlangsung. Bila suatu saat salah seorang suami istri
inkar maka saksi itu yang akan memberi kesaksian di pengadilan. Hal seperti
ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang waras atau sehat akalnya.14 Berikut
ini penjelasnnya.
a. Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumayyiz
(menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima pemberitahuan dan
menghormati acara pernikahan itu belum pantas. Berbeda dengan orang yang
sudah dewasa, dia dapat dan harus bertanggung jawab atas kesaksiannya itu.
Kedua syarat tersebut di atasi disepakati oleh fuqoha dan kedua syarat itu
dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi telah mukallaf.15
b. Mendengar dan memahami ucapan ijab dan qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab dan qabul antara
wali dan calon pengantin laki-laki. Bagaimana mungkin orang dijadikan saksi
padahal dia tidak mengerti apa yang disaksikannya. Persyaratan ini di
kemukakan oleh sebagian besar fukaha.16
c. Laki-laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah.demikian
pendapat jumhur ulama selain Hanafiyyah. Dua orang saksi harus laki-laki
14 M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab Fiqh, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000,
hlm.149-150. 15 Ibid 16 Ibid
dan tidak sah akad nikah bila yang menjadi saksi wanita semua, atau seorang
laki-laki dan dua orang wanita.Golongan Syafi’i dan Hambali mensyaratkan
saksi harus laki-laki. Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua
perempuan tidak sah, sebagaimana riwayat Abu Ubaid dari Zuhri, katanya:
Telah berlaku contoh dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh perempuan
menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan talak. Akad nikah bukanlah satu
perjanjian kebendaan, bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan dan biasanya
yang menghadiri adalah laki-laki. Karena itu tidak sah akad nikah dengan
saksi dua orang perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat
diterima kesaksiannya dua orang perempuan. Tetapi golongan Hanafi tidak
mengharuskan syarat ini.
Mereka berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau
seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.17 Sebagaimana allah
berfirman
☺
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai18,(Al-Baqarah:282)
17 Sayyid Sabiq,fiqih Sunnah Terjemah ,Bandung: al-ma’arif, Jilid 6,1 980, hlm. 91. 18 Depag RI,Al-Qu’ran Dan Terjemahannya,hlm.70.
Akad nikah sama dengan jual beli, yaitu karena merupakan perjanjian
timbal balik ini dianggap sah dengan saksi dua orang perempuan disamping
seorang laki-laki.19
d. Jumlah saksi
Saksi sekurang-kurangnya dua orang sebagaimana telah disebutkan
pada hadist yang diriwayatkan oleh Dara al- Quthny dan Ibnu Hibban.
Hanafiyyah membenarkan dalam kasus seperti: seseorang menyuruh orang
lain untuk menikahkan anaknya yang masih kecil (belum dewasa). Pada saat
itu ada seorang laki-laki yang hadir bersama bapak anak wanita itu sebagai
saksi. Pernikahan seperti ini dipandang sah , karena bapaknya ikut serta
menyaksikan akad nikah itu. Berbeda sekiranya bapaknya tidak ikut
menyaksikan, seperti tidak ada di tempat, nikah iu tidak sah karena saksi
hanya seorang saja.20
e. Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat
lahiriahnya saja. Demikian pendapat jumhur ulama. Syafi’iyyah, mereka
menegaskan bahwa pernikahan dianggap tidak sah bila saksinya fasiq.
Berbeda dengan Hanafiyyah, adil tidak menjadi persyaratan yang mutlak dan
orang fasiq pun dapat menjadi saksi karena tujuan saksi itu hadir untuk
mengetahui bahwa pernikahan itu telah berlangsung. Menurutnya saksi itu
19 Ibid 20 Ali Hasan, Opcit, hlm.151.
cukup orang yang telah baligh, berakal, mendengar ucapan ijab dan qabul,
merdeka, dan islam.21
f. Islam
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi
dalam perkawinan bila mana pasangan terdiri dari laki-laki muslim dan
perempuan muslim, apakah saksinya harus beragama islam? juga mereka
berpendapat jika yang laki-lakinya beragama islam apakah yang menjadi saksi
boleh orang yang bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’i dan Muhammad bin
al-Hasan perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya bukan orang islam
karena yang kawin adalah orang islam sedang kesaksian bukan orang islam
terhadap orang islam tidak dapat ditertima. Tetapi Abu Hanifah dan Abi
Yusuf berpendapat bila perkawinan itu antara laki-laki muslim dan
perempuan Ahli al-Kitab maka kesaksian dua orang Ahli al-Kitab boleh
diterima.dan pendapat ini diikuti oleh Undang-Undang mesir.22
g. Melihat dan mendengar
Saksi harus orang yang melihat dan tidak bisa diterima orang yang
buta. Demikian pendapat yang kuat menurut Syafi’iyyah. Sedangkan jumhur
ulama dapat menerima kesaksian orang yang buta asalkan ia dapat mendengar
dengan baik ijab dan qabul itu dan dapat membedakan suara wali dengan
calon pengantin laki-laki itu. Saksi harus mendengar ucapan dua orang yang
berakad semuanya, sehingga apabila yang mendengar salah satunya saja yang
lain tidak, ataupun mendengar ucapan dengan kedua orang yang berakad dan
21 Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2002, hlm. 35. 22 Sayyid Sabiq, Op.Cit. hlm. 92.
ucapannya lain maka tidak sah nikah, karena saksi yang dikehendaki adalah
hadirnya saksi yang manjadi rukun akad nikah dan rukun akad yaitu ijab qabul
maka apabila saksi tidak bisa mendengar ucapan ijab dan qabul maka tidak
jelas saksi menjadi rukun, maka tidak ditemukan sarat rukun.23
Akad nikah tidak sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi
yang muslim keduanya, mukallaf, merdeka, laki-laki dan adil.dan juga
disyaratkan lagi saksi harus dapat diterima kesaksiannya untuk setiap orang
untuk kedua mempelai. Dan kedua saksi harus dapat mendengar dan melihat
serta mengetahui ucapan ijab kabul kedua orang yang berakad.24
C. Hikmah Menyaksikan Akad nikah
Pernikahan yang dilakukan secara sembunyi (tanpa saksi) akan
mengundang prasangka buruk. Di antaranya adalah timbul fitnah dan tuhmah.
Dalam bahasa sehari-hari timbul bermacam-macam gosip yang merugikan
pasangan pengantin (terutama) dan semua keluarganya.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram.
Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena
tidak ada keraguan, sedangkan perbuatan haram biasnya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
Logikanya memang demikian sebab suatu pernikahan yang dilandasi
oleh cinta kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak (calon besan), tidak
23 Al Kasani, Op.Cit., hlm.401. 24 Imam Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar ,Semarang: Toha Putra,t.t.,hlm.51.
perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah maka kesan
yang ada nikah itu dalam keadaan terpaksa atau ada sebab- sebab lain yang
dipandang oleh orang lain negatif. Karena itu disunahkan mengadakan resepsi
perkawinan (walimatu’ ursy).25
Akad nikah merupakan tali hubungan kekeluargaan yang semestinya
menjadi perhatian sepenuhnya dari Agama. Untuk menjaga kesucian akad
tersebut wajarlah disyaratkan adanya saksi ketika berlangsung akad nikah itu.
Dengan demikian terhindarlah kemungkinan adanya tuduhan-tuduhan berlaku
seorang terhadap orang yang sudah menjadi suami istri, atau adanya
keingkaran tentang terjadinya suatu akad nikah yang mana akan merugikan
terhadap diri anak yang dilahirkan dari akad nikah tersebut atau menyulitkan
dalam soal kewarisan.26
Pada bagian keempat dalam kompilasi hukum islam khususnya
mengenai saksi dapat kita lihat pada pasal-pasal berikut.
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang
laki-laki muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna
rungu
Pasal 26
25 Ali Hasan, Op.Cit. hlm.153. 26 Ibrahim Hosen, Loc. Cit,hlm.180.
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.27
D. Pendapat Ulama Tentang Nikah Tanpa Saksi
Nikah tanpa saksi masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
fiqih. Perbedaan tersebut terletak pada sudut pandang masing-masing ulama
yang memperselisihkan apakah saksi sebagai syarat sah akad nikah atau syarat
penyempurnaan saja ketika bersetubuh (dukhul). Selain itu dasar hukum yang
digunakan masing-masing ulama juga berbeda-beda.
Jumhur ulama berpendapat saksi sebagai syarat sah akad nikah, artinya
akad nikah harus dihadiri oleh para saksi, apabila tidak, maka pernikahannya
tidak sah. Inilah pendapat Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah
Menurut Ulama Malikiyyah, saksi merupakan syarat sempurnanya
pernikahan, bukan syarat sah pernikahan, maka akad nikah menurut mereka
sah tanpa saksi, tetapi tidak sempurna kecuali dengan saksi. Mereka
mengatakan bahwa saksi hukumnya sunnah ketika akad nikah karena untuk
meredam perselisihan. Pendapat ini juga dipilih oleh Abdullah ibn Umar,
Urwah ibn Zubair, Abdullah ibn Zubair, Hasan ibn Ali dan dari kelompok
Ahli hadits (muhadditsin) seperti Abdurrahman ibn Mahdi dan Yazid bin
Harun.28 Mereka beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebutkan soal
mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana termaktub
27 Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI). 28 Imam ‘Alauddin Abi Bakar ibn Mas’ud al Kasani, Badaaiu’ Al Shonaai’i, Juz III,
Beirut Libanon: Darul Kutub al-Ilmiah, t.t. hlm. 391-392
dalam Al-Quran bukan merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib
dipenuhi. Allah tidak menyebutkan di dalam Al-Quran tentang adanya syarat
mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu, tentu lebih baik jika
masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah
diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan.
Mempersaksikan ini boleh dilakukan setelah ijab kabul untuk menghindari
perselisihan antara kedua mempelai. Jika waktu ijab kabul tidak dihadiri oleh
para saksi tetapi sebelum mereka bercampur kemudian mempersaksikan maka
pernikahannya tidak batal, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan
maka nikahnya batal.29
Kalangan ulama Syi’ah seperti Abdurrahman bin Mahdi, Zaid bin
Harun dan Ibnu Zubair berpendapat bahwa saksi bukan merupakan syarat sah
suatu pernikahan. Begitu juga Abdullah bin Idris, Ubaidullah bin Hasan dan
Abu Tsaur berpendapat sama. Karena menurut mereka hadist-hadist tentang
saksi itu tidak ada yang kuat atau shahih hal serupa juga dikemukakan oleh
Madzhab Ja’fariyah dan Dhahiriyah. Ada juga pendapat ulama yang
berpendapat nikah tanpa saksi boleh kemudian diumumkan. Pendapat ini
dianut oleh Al- Zuhri, Imam Malik dan penduduk Madinah.
Perselisihan mereka terletak pada apakah memberitahukan akad atau
menyaksikan akad nikah merupakan syarat sah akad nikah atau tidak.
Mengenai masalah ini terdapat dua kelompok yang berselisih pendapat.
Pertama memandang bahwa menyaksikan (saksi) merupakan syarat sah akad
29 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999,
hlm. 100
nikah. Demikian menurut Jumhur Sahabat dan Jumhur ulama. Kedua
memandang bahwa saksi dalam akad nikah tidak menjadi syarat sah akad
nikah. Demikian menurut Abu Tsaur, Imam Ahmad menurut satu riwayat,
Adzzahiriyah, Imamiyah, Ibnu Abi Laila, Usman Al-Batty, (dari kalangan
Hanafi); dari kalangan Sahabat: Ibnu Umar, Hasan ibn Ali dan Ibnu Zubair;
dan dari kalangan Tabi’in: Salim dan Zuhri. Dalil-dalil yang dipegang oleh
golongan kedua ini adalah firman Allah.
ا
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi(QS.An Nisa:3)30
☺
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian (QS An Nur:32)31
Dalam ayat ini juga tidak menyebutkan adanya saksi dalam akad
nikah. Jadi jelaslah mensyaratkan saksi untuk sahnya akad nikah menambah-
nambah sesuatu yang tidak ada dalam Al-Quran32
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa saksi
dalam akad nikah masih diperselisihkan. Ada yang berpendapat saksi itu wajib
dalam akad nikah, ada juga yang berpendapat saksi itu tidak.
30 Depag RI,Al-Quran Dan Terjemahannya,hlm.115. 31 Ibid 32 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan, Jakarta: Balai Penerbitan Dan Perpustakaan Islam
Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia
BAB III
PENDAPAT IBNU MUNDZIR TENTANG NIKAH TANPA SAKSI
A. Sekilas Biografi Ibnu Mundzir
Ibnu Mundzir nama lengkapnya Muhammad bin Ibrahim bin Mudzir,
sedangkan kunyahnya Abu Bakar. Ia lahir di Madinah tepatnya di Naisabur
bertepatan dengan wafatnya Imam Ahmad bin Hambal 241 H. Dan wafat di
Makkah tahun 309 H/221 M., ada yang mengatakan tahun 310 H dan 316 H.
Ia seorang yang dikenal soleh dan zahid. Ia termasuk tokoh terkemuka aliran
fiqih Syafi’i, seorang al-hafizd (banyak hafal hadits), kritis dan teliti terhadap
persoalan-persoalan fiqih, dan lebih dari itu ia adalah seorang mujtahid yang
tidak selalu terikat dengan prinsip-prinsip hukum imamnya. Meskipun telah
mencapai kedudukan sebagai mujtahid mutlak (pemikir fiqih bebas). Al-
Zahabi berpendapat bahwa Ibnu Mundzir adalah seorang mujtahid bebas yang
tidak terikat kepada pendapat siapapun.1
Sejarah perkembangan hidup Ibnu Mundzir dalam memahami kitab-
kitab terjemahan dan kitab-kitab fiqih ia menulis dan membacanya sendiri. Ini
menunjukkan sosok Ibnu Mundzir yang mempunyai kecerdasan intelektual,
kepribadian yang baik dan pemahaman fiqih yang mendalam. Semua itu
merupakan proses dari hasil belajar, pendidikan orang tua dan berkembangnya
ilmu agama yang luhur.
1 Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta:
LKPSM, Cet.II, 2001, hlm.120.
Pada masa kebudayaan Islam mengalami kejayaan dan pada masa-
masa itu juga merupakan masa paling indah ketika pusat kebudayaan masih
dan cabang-cabangnya meluas. Pada masa itu juga banyak melahirkan para
muhaqiq (ahli taqiq), intelektual (bari’in) dan cendekiawan (nablaa’) dari
kelompok ulama yang menguasai cabang dari beberapa cabang pengetahuan
ilmu keagamaan, dan bahasa Arab. Dan pada waktu itu Ibnu Mundzir tumbuh
dan berkembang di Nisapur ibu kota Kharsan.
Ia mendengar di Naisabur tepatnya di tengah-tengah tempat tinggalnya
yaitu sekelompok guru-guru tafsir, hadits dan fiqih, hal ini membangkitkan
semangat Ibnu Mundzir untuk mengembara di suatu daerah dalam rangka
mencari ilmu. Ia menjadi seorang yang cerdas dengan bertemu para rawi
hadits, muthalaah dan mendengarkan, belajar dan berdiskusi sehingga ia
menemui karirnya sebagai seorang guru besar di Makkah dan menetap di sana.
Ibnu Mundzir adalah seorang yang tidak patah semangat dan tidak kenal lelah
dalam mencari ilmu dan tidak mudah putus asa, sampai ia mencapai
kemuliaan, menjadi orang yang terkenal dan mempunyai tempat yang luhur
sehingga Imam Addahabi dengan menyifatinya dengan ahli fiqih bebas (al
fiqih al auhad) sedangkan imam Taju Al-Addin Assubuki menyifatinya
dengan mujtahid mutlak.
Adapun ilmu-ilmu yang dipelajari Ibnu Mundzir meliputi tafsir hadits
dan fiqih. Ia mempelajari ilmu dari banyak guru. Di antara guru-guru Ibnu
Mundzir adalah sebagai berikut:
1. Hasan Bin Muhammad Al Za’farani
Nama aslinya Abu Ali Al Hasan Bin Muhammad Bin Sabah Al-Bagdadi,
ia merupakan rawi hadits madzhab Syafi’i.
2. Muhammad Abdullah Bin Abdul Al Hakam
Nama aslinya Abu Abdilah Al Misri Al Maliki, ia seorang pengikut Imam
Syafi’i.
3. Al Rabi’ Bin Sulaiman Al Maradi.
Nama aslinya Abu Muhammad Rabi’ Bin Sulaiman Al Maradi, Al Misri,
pengikut madzhab Syafi’i, dan meriwayatkan kitab-kitabnya.
4. Muhammad Bin Abdul Wahab Al Abidi.
Nama aslinya Abu Ahmad Muhammad Bin Abdul Wahab Al Adibi.
5. Muhammad Bin Ismail Al Saigh.
Nama aslinya Abu Ja’far Muhammad Bin Ismail Al Saigh. Seorang ahli
hadits kota Makkah di zamannya.
6. Ishak Bin Ibrahim Addahari.
Nama aslinya Abu Ya’qub Ishak Bin Ibrahim Bin Ibad Addahari. Ia
seorang ahli hadits, dan meriwayatkan kitab-kitab Imam Abdul Razaaq Al
Sina’i.
7. Ali Bin Abdul Aziz Al Baghawi.
Al hafiz (banyak hafalan hadits), menempat di Mekkah Mukaramah.
8. Tamim Bin Muhammad Al Thusi.
Nama aslinya Abu Abdur Rahman Al Thusi. Ia peneliti kitab musnad.
Di samping mempunyai banyak guru Ibnu Mundzir juga mempunyai
banyak murid yang terkenal di antaranya:
1. Abdul Marwan Abdul Muluk Bin As Bin Muhammad Bin Bakar Al
Sa’adi. Ia dari golongan ulama Andalusia pindah ke Mekkah.
2. Abu Umar Ahmad Bin Abadah Bin Alkadah Al Ruaini. Ia hidup di
Kordova dan pindah ke Makkah.
3. Fadlullah Bin Said Al Baluti Al Andalusi.
4. Muhammad Bin Abdullah Bin Yahya Al Laits. Nama aslinya Abu
Abdillah Bin Abdullah Bin Yahya Al Laits ia seorang hakim di Kordova.
5. Abu Umar Ahmad Bin Said Bin Hazm Al Sadafi Al Qurtubi.
6. Ibnu Hiban Al Basati. Nama aslinya Abu Hatim Muhammad Bin Hiban Al
Tamimi Al Basati ia seorang guru besar, al hafiz pemilik kitab sahih.
7. Abu Hakam Munzir Bin Said Al Baluthi. Ia seorang hakim terkenal di
Kordova.
8. Abu Bakar Muhammad Bin Ibrahim Bin Ali Al Muqri Al Asbahani.
9. Abu Muhammad Abdullah Bin Abi Zaid Abdur Rahman Al Nadir Al
Qairawani. Ia seorang ahli fiqih madzhab Maliki, pengarang kitab fiqih
madzhab Maliki dan salah satu rawi hadits kitab Al Isyaf Ibnu Muudzir.
10. Hasan Bin Ali Bin Sya’ban Al Misri.
11. Hasain Bin Ali Bin Sya’ban.
B. Buku Karya Ilmiah Ibnu Mundzir
Ibnu Mundzir menulis banyak buku, satu indikasi keluasan, kedalaman
dan ketajaman pikirannya. Karya-karya Ibnu Mundzir sebagai berikut:
1. Kitab al-Iqna yang dinamai dengan al iqna fil al furu’.
2. Ikhtilaf al ulama. Yaitu kitab yang di dalamnya menyebutkan pendapat
para fuqaha’ yang berselisih disertai dengan sebab perselisihannya dengan
Ibnu Mundzir menyebutkan dalil dan mentarjihnya dari beberapa pendapat
di sertai dengan sebab-sebab.
3. Ijma’ al ummat. Yaitu kitab yang memuat penyebutan beberapa hukum
fiqih yang disepakati oleh ahli al Ilmi. Kitab ini kecil dan isinya ringkas.
Imam Nawawi juga berpegang pada kitab ini dan kitab al Isyraf dalam
menukil madzhab ulama dalam kitabnya yaitu Al Majmu’.
4. Al Mabsut. Yaitu kitab besar dalam bidang fiqih sebagai mana yang telah
disifati oleh Addahabi, Imam Dawud, Ibnu Khalkan dan Imam Suyuti.
5. Al Ausat. Yaitu kitab yang luas, membahas fiqih secara umum disertai
dengan menyebutkan beberapa dalil. Kitab ini diringkas dari kitab
Assunan, al Ijma’ dan al Ikhtilaf.
6. Al Isyraf Ala’ Mazdahib Ahli Al Ilmi. Kitab ini banyak memberikan faidah
dan hakikat kitab ini ringkasan dari kitab al Ausat. Dalam kitab ini banyak
menyebutkan sanad hadits, sanad Atsar sahabat dan juga banyak
menyebutkan dalil imam madzhab serta hujjahnya sampai mengkaji
dalilnya.
C. Pendapat Ibnu Mundzir Tentang Menikah Tanpa Saksi
Saksi dalam pernikahan masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama fiqih. Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting adanya dalam
pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum
pernikahannya menjadi tidak sah walaupun di umumkan kepada khalayak
ramai dengan cara lain, karena saksi merupakan syarat sah pernikahan.
Dalam hal ini, Imam Hanafi, Syafii dan Ahmad Bin Hambal
berpandangan sama saksi merupakan syarat sah pernikahan. Sedangkan imam
Malik sendiri berpendapat saksi bukan merupakan syarat sah akad nikah tapi
cukup di umumkan. Begitu juga Malikiyyah saksi itu hanya sunnah saja ketika
akad.
Nikah tanpa saksi menjadi perhatian khusus Ibnu Mundzir untuk dikaji
dan ditemukan jawabannya. Sebagai seorang mujtahid ia mengeluarkan
ketetapan hukum yang berbeda dengan jumhur ulama dalam masalah nikah
tanpa saksi disebabkan oleh cara pandang dan metode yang digunakan dalam
memahami sebuah persoalan dan dasar hukum yang digunakan.
Ibnu Mundzir menolak pendapat jumhur ulama yang mengatakan saksi
sebagai syarat sah pernikahan. Menurutnya tidak ada ketetapan dari Nabi
tentang adanya dua orang saksi. Dengan demikian nikah tanpa saksi
hukumnya sah atau boleh.
Penjelasannya terutama dalam karyanya Al Isyraf Ala’ Madhahib Ahli
Al Ilmi.
ثبت عن النبى صلى اهللا عليه وسلم شئ فى اثبات وليس ي: قال ابو بكر 2.الشاهدين فى النكاح
Abu bakar (Ibnu Mundzir) berkata: tidak ada ketetapan dari Nabi tentang adanya dua orang saksi dalam pernikahan.
Ibnu Mundzir menjelaskan lagi lewat ungkapan Yazid Bin Harun yang
mencela kaum rasionalis (ashab al ra’yu) dengan mengatakan Allah perintah
menyaksikan pada jual beli sesuai dalam firman-Nya.
.واشهدوا اذا تبايعتم Artinya: Dan persaksikanlah dalam jual beli.
3
Pengertiannya Allah perintah menikah tapi tidak perintah
menyaksikannya sementara kaum rasionalis (mazhab al ra’yi) menduga
bahwa jual beli itu boleh walaupun tidak di saksikan, dan menghukumi batal
pernikahan yang Allah tidak perintah menyaksikannya.
Kandungan ayat tersebut secara jelas saksi hanya pada jual beli bukan
pada pernikahan. Ini juga mendasari pendapat Ibnu Mundzir tentang nikah
tanpa saksi. Ibnu Mundzir lebih melihat pada dhahirnya ayat.
Pada penjelasan yang lain Ibnu Mundzir mengemukakan pendapatnya:
فان اعترض معترض فاعتل بخبرابن عباس فبأزاء ابن عباس : قال ابوبكر من اصحاب رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم الدين اجازوا بغير شهود ابن
والحسن بن على مع ان الخبر الثابت عن رسول اهللا صلى عمر وابن الزبير 4.اهللا عليه وسلم يدل على صحة النكاح الدى لم يخضر شهود
2 Ibnu Mundzir, Al Isyraf Ala’ Madzahib Ahli Al Ilmi, Juz 3, Beirut : Dar Al Fatah, t.t., hlm.29.
3 Depag RI Jakarta, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang : Al Waah, hlm.71. 4 Ibnu Mundzir, Op.Cit.
Abu Bakar (Ibnu Mundzir) berkata: apabila ada hadits yang bertentangan maka dianggap cacat dengan hadits Ibnu Abbas, maka dihadapkan pada hadits Ibnu Abbas dari sahabat Nabi yang membolehkan orang-orang nikah tanpa saksi seperti Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan Hasan Bin Ali serta hadits Nabi yang menunjukkan sahnya nikah tanpa dihadiri oleh para saksi.
Dalam hal yang sama, Ibnu Mundzir menyebutkan hadits sebagai dasar
hukum yaitu hadits Annas Bin Malik.
ثبت عن انس بن مالك انه قال آنت ردين ابى طلحة فاسترى رسول اهللا صلى أرؤس فقال الناس ماندرى اتزوجها ام جعلها ام اهللا عليه وسلم جاريةبسبعة
5 )رواه مسلم. (ولد فلما اراد ان يرآب حجبها فعرفوا انه تزوجها
قال ابو بكر فاستدل من حضرالنبى صلى اهللا عليه وسلم على تزويجها 6.بالحجاب
Ditetapkan dari Annas Bin Malik bahwa sesungguhnya Nabi bersabda saya berada di belakang Abi Talhah kemudian Nabi membeli jariyah dengan tujuh orang saksi kemudian para sahabat berkata, kami tidak tahu apakah Nabi mengawininya atau menjadikannya sebagai ummu walad. Kemudian pada saat Nabi hendak menunggang unta Nabi menutupinya, kemudian para sahabat tahu bahwa Nabi mengawininya.
Hadits tersebut menurut Ibnu Mundzir, menunjukkan keberadaan Nabi
pada pernikahan dengan ditutupi. Dalam artian tidak disaksikan. Hadits ini
yang dijadikan dasar atas pendapatnya oleh Ibnu Mundzir ditemukan juga
pendapat Ibnu Mundzir dalam kitab yang lain bahwa Nabi memerdekakan
Syafiyyah Binti Huyay kemudian mengawininya dengan tanpa saksi.
Jadi dapat dipahami Ibnu Mundzir tetap pada pendiriannya bahwa
nikah tanpa saksi hukumnya sah.
5 Imam Muslim, Shahih Musmil,Juz 2, Beirut :Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t., hlm.14. 6 Ibnu Mundzir, Op.Cit.
Karena tidak ada ketetapan dari Nabi dan juga Nabi sendiri pernah
melakukan nikah tanpa serta para sahabat sepeti Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan
Hasan Bin Ali pernah melakukan hal yang sama seperti Nabi.
D. Metode Istimbath Hukum Ibnu Mundzir tentang Nikah Tanpa Saksi
Setiap ketetapan hukum mempunyai sumber pengambilan, dalam ilmu
ushul fiqh dikenal dengan istilah istinbat hukum. Setiap istinbat (pengambilan
hukum) dalam syariat Islam harus berpijak atas al-Qur’an al karim dan
sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada dua macam yaitu: nash dan
ghairu nash (bukan nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam kategori
seperti qiyas dan istihsan, pada hakikatnya digali, bersumber dan berpedoman
pada nash.7
Dalil nash terdiri dari nash al-Qur'an dan as-Sunnah. Al-Qur'an dan as-
Sunnah menjadi pegangan pokok para mujtahid dalam mengistinbathkan
hukum sebelum beralih pada sumber hukum yang lain, termasuk Ibnu
Mundzir sendiri dengan melihat pada dhahirnya dalil dan dalalah sunnah yang
shahih.8 Hal ini menunjukkan kehati-hatian para mujtahid dalam menggali
hukum Islam dari sumber pokoknya yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Al-Qur'an
dan as-Sunnah menempati posisi sentral secara sumber Islam, sehingga
kebanyakan mujtahid dalam menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melihat
pada al-Qur'an dan sunnah Nabi. Sebagai bukti Al-Qur'an dan hadits harus
7 Muhammad Abu Zahiah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 1994, hlm.116. 8 Ibnu Mundzir, Op.Cit., hlm.12
dijadikan pegangan oleh para mujtahid dan umat Islam pada umumnya dengah
hadits Nabi.
و حدثني عن انه بلغه مالك ترآت فيكم امر ين لن تضلوا ما تمسكتم بهما آتا )رواه ما لك. (ب اهللا و سنة نبيه
Artinya: Dan Telah ceritakan kepada kami bahwa Imam Malik menyampaikan hadits telah aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua perkara di mana kamu tidak akan tersesat selagi berpegang kepada kitab Allah dan sunahku. (HR Malik)9
Jadi pada pokoknya sumber hukum Islam yang utama itu ada 2:
1. Al-Qur'an
2. As-Sunnah
Ibnu Mundzir sebagai seorang mujtahid istinbath hukumnya juga
merujuk pada al-Qur'an yaitu:
Dan juga hadits Nabi
للسامع يصيغته من غير توفق على آل لفظ اوآالم ظهر المعنى المراد به .قرينة خارجية اوتأمل سراء أآان مسوقا للمعنى المراد منه امال
Setiap lafal atau pembicaraan yang jelas makna yang dikehendakinya bagi orang yang mendengar dengan bentuknya tanpa mengandung karinah (tanda) yang dikeluarkan atau angan-angan baik mengandung makna yang dikehendaki atau tidak.10
Berarti di sini Ibnu Mundzir dengan melihat makna yang dikehendaki
oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, selanjutnya dengan melihat pada dalalah baik
dari al-Qur'an ataupun Sunnah.
9 Imam Malik, Al Muwatha’, Beirut Libanon, Dar al Fikr, 1989, hlm. 602 10 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqih Islam, Juz I, Beirut : Darul Fikr, t.t, hlm.317
Pengertian dalalah ialah petunjuk kepada apa yang dimaksud. Dalam
hal ini yang dikehendaki oleh Ibnu Mundzir adalah dalalah sunnah yang
shahih. Karena yang menggunakan dasar hukum dalam mengistinbathkan
hukum dengan menggunakan sunnah yang shahih. Dalalah ini dibagi kepada
dalalah wad’iyah dan dalalah aqliyah. Kemudian dalalah wad’iyah dibagi
menjadi dalalah lafdiyah, yaitu petunjuk yang ditanggapi dari perkataan. Dan
dalalah ghoira lafdiyah, yaitu petunjuk yang ditinggalkan (diperoleh) bukan
dari perkataan.
Dalam Islam dikenal sumber pokok hukum Islam yaitu al-Qur’an dan
sunnah. Sebalum sumber-sumber hukum yang lain. Dalam hal ini al-Qur’an
menempati posisi teratas sebagai sumber hukum. Ini dipertegas dengan hadits
Nabi. Adapun pengertian al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan
melalui perantara malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah SAW. dengan
menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan
hujjah (penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul dan agar dan
dijadikan undang-undang bagi seluruh umat manusia.11
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam dijadikan hujjah oleh
para mujtahid dan hukumnya merupakan undang-undang yang wajib dipatuhi.
Karena al-Qur’an diturunkan dari Allah secara qathi’ yang kebenarannya tidak
diragukan lagi. Al-Qur’an sudah diyakini oleh umat Islam sebagai kalam
Allah sehingga mereka mengkaji dalil dari al-Qur’an sebagai dasar istinbath.
11 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996, hlm.39.
Sumber hukum selanjutnya setelah al-Qur’an yaitu as Sunnah
pengertiannya menurut ahli ushul ialah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW yang berhubungan dengan hukum syara’ baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir. Berdasarkan pemahaman seperti ini,
mereka mendefinisikan sunnah sebagai berikut:
آل ماصدر عن النبى صلى اهللا عليه وسلم غير القران الكريممن قول اوفعل 12.اوتقرير ممايصلح ان يكون دليال لحكم شرعى
Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw selain al-Qur’an al-Karim baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara’.
Sunnah cakupannya lebih luas dibanding hadits sebab sunnah
mencakup perkataan, perbuatan dan penetapan (taqrir) rasul yang bisa
dijadikan dalil hukum syara’ bila pada ulama hadits mencari penyelesaian
masalah itu kepada al-Quran dan sunnah Nabi. Begitu juga yang dilakukan
Ibnu Mundzir dalam membahas masalah dengan melihat dhahirnya dalil dan
dilalahnya sunnah yang shahih.
Para ulama sepakat bahwa apa saja yang datang dari Nabi baik ucapan,
perbuatan atau taqrir membentuk suatu hukum atau tuntutan yang
disampaikan kepada kita dengan sanad shahih dan mendatangkan qathi’ dan
zanni. Karenanya dengan kebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi umat Islam
dan sebagai sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para mujtahid
dijadikan rujukan istinbath hukum. Bila para ulama hadits dihadapkan kepada
12 Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadqin, Beirut : Dal Al Fikr, 1997, Cet.ke-6, hlm.19.
suatu masalah, pertama sekali para ulama ahlul hadits mencari penyelesaian
masalah itu kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Apabila para ulama hadits,
mendapatkan hadits yang berbeda-beda, maka mereka mengambil hadits
sebagai sumber hukum / hadits yang diriwayatkan oleh para perawi hadits
yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama tersebut tidak
menemukan haditsnya selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani
pendapat para sahabat Nabi. Andai kata tidak juga diperoleh pendapat para
sahabat mengenai masalah yang sedang dihadapi para ulama hadits tersebut,
maka selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan
suatu hukum.13
Sebagai pegangan dalam alur pemikiran Ibnu Mundzir dengan melihat
ia sebagai seorang alhafidz (banyak hafal hadits) maka istinbath hukum Ibnu
Mundzir dengan menggunakan hadits. Ibnu Mundzir sebagai pemikir yang
bebas artinya tidak terikat dengan pendapat imamnya. Ia melakukan ijtihad
dalam menyelesaikan persoalan. Ini dipahami dari metode istinbath hukum
Ibnu Mundzir. Metode yang digunakan Ibnu Mundzir dalam mengkaji
beberapa dalil menggunakan dalil khusus dalam masalah ilmu, ia mencari
kebenaran dan menguraikan disertai dengan dhahirnya dalil dan dilalah
sunnah yang shahih. Kemudian Ibnu Mundzir mentahqiq dan meneliti dalil
menyebutkan pendapat mazhab fiqih baru kemudian mengemukakan
13 Kazar Bakri, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996,
hlm.100.
pendapatnya.14 Hal ini menunjuk pada sosok Ibnu Mundzir sebagai seorang
mujtahid, maka ijtihad termasuk istinbath hukum Ibnu Mundzir .
Adapun pengertian ijtihad oleh sebagian ulama ushul menetapkan
bahwa ijtihad ialah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan
hukum syara’ dari kitabullah dan hadits Rasulullah.15 Ijtihad merupakan dasar
dan sarana pengembangan hukum Islam dan merupakan kewajiban bagi umat
Islam yang memenuhi syarat ijtihad.
Dilihat dari jumlah pelakunya, ijtihad dapat dibagi dua yaitu:
1. Ijtihad individual (ijtihad fardi)
2. Ijtihad kolektif (ijtihad jama’i)16
Yang dimaksud dengan ijtihad individual adalah ijtihad yang
dilakukan oleh seorang mujtahid saja. Sedangkan ijtihad kolektif adalah
ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang suatu persoalan
hukum tertentu.17 Dalam hal ini, Ibnu Mundzir termasuk kategori ijtihad
individual karena melakukannya sendiri (mujtahid mutlak).
Tidak semua orang dapat berijtihad yang dapat menjadi mujtahid
kecuali orang yang memenuhi syarat ijtihad. Adapun syarat-syarat ijtihad
sebagai berikut:
1. Menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami al-Qur'an dan kitab-kitab
hadits yang tertulis dalam bahasa Arab.
14 Ibnu Mundzir, Op.Cit., hlm.12 15 Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997, hlm.501. 16 M. Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.117. 17 Ibid
2. Mengetahui isi dan sistem hukum al-Qur'an serta ilmu-ilmu untuk
memahami al-Qur'an.
3. Mengetahui hadits-hadits hukum dan ilmu-ilmu hadits yang berkenaan
dengan pembentukan hukum.
4. Menguasai sumber-sumber hukum Islam dan metodenya.
5. Mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fiqih
6. Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hukum Islam
7. Jujur dan ikhlas
Metode untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di antara metode ijtihad adalah
ijma’ dan qiyas. Ijma adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli
mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa.18 Sedangkan qiyas
adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di
dalam al-Qur'an dan as-sunnah atau al-hadits dengan hal lain yang hukumnya
disebut dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi karena persamaan illatnya.19
Jadi dapat disimpulkan istinbath hukum Ibnu Mundzir sama seperti
Imam Syafi’i, karena ia merupakan pemuka aliran Syafi’iyah dengan
menggunakan al-Qur'an, sunnah, ijma dan qiyas. Karena Ibnu Mundzir juga
berpegang pada kitab Imam Syafi’i yaitu al umm dan al risalah.
18 Ibid 19 Ibid
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IBNU MUNDZIR
TENTANG NIKAH TANPA SAKSI
A. Analisis Pendapat Ibnu Mundzir Tentang Nikah Tanpa Saksi
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan dalam bab III, bahwa Ibnu
Mundzir berpendapat nikah tanpa saksi sah atau boleh, dengan alasan tidak
ada ketetapan dari Nabi tentang dua orang saksi dalam pernikahan. Karena
Nabi juga pernah nikah dengan Syafiyyah binti Huyay dengan tanpa saksi.
Ibnu Mundzir Menolak pendapat Jumhur ulama yang menyatakan saksi
sebagai syarat sah pernikahan. Artinya nikah harus dihadiri oleh dua orang
saksi. Jika pernikahan tidak dihadiri oleh dua orang saksi maka pernikahan
tidak sah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama. Menurut Ibnu Mundzir
pendapat mereka dianggap cacat, karena para sahabat seperti Ibnu Umar, Ibnu
Zubair, dan Hasan bin Ali, pernah melakuan nikah tanpa saksi.
Menurut analisa penulis, Ibnu Mundzir lebih melihat pada sosok Nabi
yang pernah melakukan nikah tanpa saksi, begitu juga para sahabat seperti
Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan Hasan ibn Ali melakukan hal yang sama seperti
Nabi yaitu nikah tanpa saksi. Perihal tersebut dipahami oleh Ibnu Mundzir
sebagai ketetapan dari Nabi, konsekuwensinya nikah tanpa saksi boleh karena
Nabi sendiri melakukannya. Di samping itu, pemahaman Ibnu Mundzir
cenderung tekstualis. Jadi dalam hal ini, Ibnu Mundzir memahami apa adanya
sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi.
Dalam masalah ini penulis tidak sepakat dengan pendapat Ibnu
Mundzir, di sini penulis lebih melihat pada sisi maslahat ditetapkannya saksi
sebagai syarat sah akad nikah. Penulis lebih condong kepada pendapat yang
mewajibkan adanya saksi dalam pernikahan untuk menjaga keabsahan
keturunan seseorang dan agar tidak timbul penyimpangan. Saksi dapat juga
merahasiakan terjadinya akad atau menyiarkannya apabila kedua orang yang
mengadakan akad berpesan demikian, merahasiakan atau menyiarkan berita
tentang terjadinya akad nikah mempengaruhi sahnya akad nikah. Pada
prinsipnya saksi sebagai sesuatu yang penting dalam pandangan Syara’. Saksi
memberi kejelasan tentang adanya hak dan kewajiban seperti memberi nafkah,
menetapkan nasab, dan menghindari kesamaran (syubhat), mencegah
terjadinya prasangka buruk orang lain dan memberi kejelasan yang
membedakan antara pernikahan yang sah dan zina.
Pernikahan adalah ikatan lahir dan antara laki-laki dan perempuan.
Sebab itu harus dihadiri oleh para saksi. Hikmahnya adalah untuk
kemaslahatan kedua belah pihak. Apabila ada tuduhan dan kecurigaan orang
lain terhadap pergaulan keduanya, maka dengan mudah keduanya dapat
mendatangkan saksi tentang pernikahannya itu. Pernikahan melibatkan dua
orang yang berakad serta menginginkan mempunyai keturunan (anak) sebagai
tujuan dari pernikahan. Yang menjadi masalah di sini adalah anak, maka
untuk mengetahui nasab anak apakah hasil pernikahan yang sah atau tidak?
Apabila perempuan melahirkan anak, maka anak itu tetap menjadi anak
suaminya dan suaminya tidak dapat menolak dengan mengatakan bahwa anak
itu bukan anaknya. Kecuali jika anak itu lahir sesudah dua atau tiga bulan dari
pernikahannya maka ketika itu nyatalah anak itu bukanlah anaknya. Suami
tidak mudah memungkiri istrinya sebagaimana isteri tidak dapat memungkiri
suaminya. Karena dihadapkan keduanya ada dua orang saksi Dengan
demikian terpeliharalah keturunan anak yang sah dalam masyarakat. Fugsi
saksi memberi informasi serta melindungi nasab anak dari hasil pernikahan.
Karena itu di luar orang yang berakad ada orang yang harus dilindungi
nasabnya... Saksi ikut memberi kepastian hukum sebagai orang yang
mengetahui jika suatu saat nanti terjadi kemungkinan-kemungkinan di luar
pernikahan seperti mempermasalahkan nasab anak, wali, dan sebagainya. Bila
terjadi hal demikian dapat mendatangkan saksi sebagai bukti keabsahan
pernikahan suami dan istri.
Jadi Ibnu Mundzir tidak mempertimbangkan kemaslahatan sebagai
tujuan ditetapkannya hukum. Padahal tujuan ditetapkannya hukum itu sendiri
untuk kemaslahatan umat manusia. Adapun apa yang pernah dilakukan Nabi
berkaitan dengan nikah tanpa saksi itu merupakan sifat khususiyah bagi Nabi
dan tidak bisa disamakan dengan orang lain.1 Bahkan ada pernikahan nabi
tanpa wali, tanpa saksi yaitu pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsin,
Nabi dinikahkan langsung oleh allah berdasarkan wahyu, dalam al-Qur’an
disebutkan,
1 Ibnu Qudamah,Almughni,juz 7,Beirut:Darul Fikr,t.t.,hlm.7.
☺
Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia.(al-ahzab:37).2
Apabila ketentuan tersebut diterapkan dalam konteks sekarang tentu
tidak relevan untuk diterapkan. Melihat situasi dan kondisi pada saat ini yang
sarat dengan perkembangan dan perubahan segalanya perlu kejelasan dan juga
penyelesaian secara lembaga. Hal ini dapat dilihat dalam kompilasi hukum
Islam menjelaskan bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad
nikah dilangsungkan. Ketentuan ini memberi porsi lebih pada seorang saksi
dalam akad nikah yaitu bukan sekedar menyaksikan tetapi terlibat secara
administratif sebagai bukti telah berlangsungnya akad nikah yang kemudian
masuk dalam catatan sipil.
Pada masa modern sekarang ini pernikahan itu tidak cukup dengan dua
orang saksi saja melainkan pula disertai dengan keterangan dari penghulu
(Kadhi nikah). Meskipun surat keterangan itu tidak menjadi syarat rukun
pernikahan tapi faedahnya besar sekali karena surat keterangan itu cukuplah
sebagai saksi untuk pernikahan itu dan tidak perlu mengemukakan dua orang
saksi, yang kadang-kadang sulit mengemukakannya karena berjauhan tempat
2 Depag RI, Alqur’an Dan Terjemahannya, t.t., hlm. 673
atau berhalangan. Inilah hikmahnya, maka diadakan pendaftaran nikah, bukan
untuk menjadi syarat, melainkan semata-mata untuk maslahat. Dalil seperti ini
dinamakan “Mashalih Mursalah” menurut Imam Malik.3
Kehadiran saksi pada saat akad nikah sangat penting artinya, karena
menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut
kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami
mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak
menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah
menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek).
Dalam Islam itu sendiri dikenal prinsip dasar hukum islam di
antaranya memelihara kehormatan atau keturunan (hizfun al nasl). Disisi lain
sangat penting adanya untuk menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan,
keluarga dan masyarakat pada umumnya dari hal-hal yang tidak terduga
datangnya dan juga melindungi dari tuduhan-tuduhan berzina.
Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan
yang ditetapkan melalui Undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang
tidak tercatat selama ada dua orang saksi tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan
seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang
disaksikannya, maka pernikahan tetap dinilai sah menurut Imam Syafi’i dan
Imam Abu Hanifah.
Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan, penulis tidak
sepakat dengan pendapat Ibnu Mundzir, karena pernikahan akan terus terjadi
3Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT.Hidakarya Agung,1983,hlm.20-21.
dari masa ke masa yang tentunya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang
menghendaki adanya perubahan-perubahan yang lebih mengedepankan
kepentingan umum dan menghindari tindakan penyelewengan atau
pengingkaran dari pernikahan. Maka untuk mengantisipasi hal itu saksi
memang diperlukan adanya. Dalam setiap perkara muamalah termasuk di
dalamnya pernikahan diperlukan, karena dapat memperjelas masalah yang
terjadi dan terhindar dari kemungkinan terjadinya perselisihan maupun
keraguan.
Terlepas dari pro dan kontra penulis lebih melihat pada sisi maslahat
dihadirkannya dua orang saksi dalam pernikahan. Walaupun ada ayat Al-
Qur’an yang menjelaskan nikah tanpa wali dan tanpa saksi yang terjadi pada
diri Nabi tapi dalil ini tidak dipakai oleh fuqoha begitu juga dalil dalil yang
digunakan Ibnu Mundzir. Jadi dalil-dalil tersebut hanya sebatas pada dijadikan
sebagai wacana tidak masuk dalam wilayah penggunaannya karena hal seperti
itu dipahami oleh sebagian fuqoha hanya khusus untuk nabi.
B. Analisis Istinbath Hukum Ibnu Mundzir tentang Nikah Tanpa Saksi
Ibnu Mundzir sebagai pengikut madzhab Syafi’i, ia tetap melakukan
ijtihad sendiri tanpa terikat dengan pendapat Imam yang diikutinya. Ini dapat
dilihat dari pendapatnya yang berbeda, Imam Syafi’i berpendapat saksi
sebagai syarat sah akad nikah, maka nikah tanpa saksi hukumnya tidak sah.
Sedangkan pendapat Ibnu Mundzir saksi bukan merupakan syarat sah
pernikahan, maka nikah tanpa saksi hukumnya sah. Selain instinbath hukum
yang digunakan Ibnu Mundzir juga berbeda dengan Imam Syafi’i, walaupun
sama-sama mengambil dari sumber yang sama yaitu hadits, tapi hadits yang
digunakan keduanya juga berbeda. Hal demikian tidak lepas dari cara pandang
seorang tokoh dalam memahami sebuah persoalan serta faktor sosiologis pada
waktu itu yang juga ikut mempengaruhi pemikirannya sehingga menghasilkan
ketetapan hukum yang berbeda.
Ibnu Mundzir dikenal sebagai ahli hadist (muhaddisin) dan ia hidup di
Madinah di mana tempat itu menjadi pusat perhatian dunia Islam sebagai kota
tempatnya ahli hadist. Di Madinah sebagai Ibu Kota Islam, beredar hadist
Nabi yang jauh lebih banyak/lengkap dibanding dengan daerah manapun.
Semua persoalan hukum dan budaya sudah terjawab oleh wahyu (al-Qur’an
dan hadist). Di sana tidak banyak varian mata pencaharian penduduk yang
terdapat di daerah irak. Ulamanyapun sudah mapan dengan tradisi
menyelesaikan masalah hukum dengan teks al-Qur’an tidak memerlukan
memeras otak. Sehingga pada masa itu Hijaz dikenal dengan sebagai pusat
hadist.4
Dalam masyarakat Islam terdapat kelompok orang yang metode
pemahamannya terhadap ajaran wahyu amat terikat oleh informasi dari nabi.
Dengan kata lain ajaran Islam itu diperoleh dari al-Qur’an dan petunjuk nabi
saja, bukan yang lain. Disamping disebut as-Sunnah petunjuk nabi juga
disebut hadist. Begitu juga Ibnu Mundzir yang lahir di Madinah sehingga
pemikirannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan di sekitarnya. Seting sosial
4 M. Zuhri,Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah,Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,1997,hlm.67.
pada waktu ia hidup di Madinah ikut mempengaruhi pemikirannya, baik sosial
ekonomi, politik budaya dan hukum dalam menentukan sebuah hukum.
Dalam menistinbatkan hukum ia selalu berpegang kepada al-Qur’an
dan hadist nabi, ini sesuai dengan ulama hadist pada umumnya yang lebih
mengutamakan hadist dalam menyelesaikan masalah hukum. Maka di sini
penulis mengaplikasikan pendekatan sosiologi untuk mengetahui seting sosial
di tempat Ibnu Mundzir hidup dan berkembang dengan menetapkan hukum
nikah tanpa saksi yang menurutnya sah.
Istimbath hukum yang digunakan Ibnu Mundzir dalam maslah nikah
tanpa saksi adalah Al-Qur'an dan hadits. Dalam pendapatnya ia
mengemukakan ayat Al-Qur'an sebagai instinbatnya yaitu:
واشهدوا اذا تبا يعتمArtinya: “Dan persaksikanlah kamu sekalian ketika jual beli5”
Ayat ini dilihat dari segi dilalahnya menunjukkan pada saksi dalam
jual beli bukan pada pernikahan. Karena dalam Al-Qur'an tidak ada ayat yang
menjelaskan saksi dalam pernikahan. Maka benar adanya kalau Ibnu Mundzir
berpendapat nikah tanpa saksi hukumnya sah. Ini juga sesuai dengan metode
istimbath hukum yang digunakannya dengan melihat dhahirnya ayat dan juga
dalalahnya.
Adapun istinbath hukum yang digunakan Ibnu Mundzir dalam masalah
nikah tanpa saksi ia juga mengambil dari hadits Nabi yang disandarkan
kepada Anas Bin Malik.
5 Depag RI Jakarta, Al-Qur'an n Terjemahnya, Semarang: Al Waah, hlm 71
عن انس بن مالك انه قال آنت ردين ابى طلحة فاشترى رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم جارية بسبعة أرؤس فقال الناس ماندرى اتزوجها ام جعلها ام ولد
6 )رواه مسلم( فلما اراد ان يرآب حجبها فعرفوا انه تزوجها
Dari Anas Bin Malik bahwa Nabi bersabda, saya berada di belakang Abi Talhah kemudian Nabi membeli jariyyah dengan tujuh orang saksi kemudian para sahabat berkata kami tidak tahu apakah Nabi mengawininya atau menjadikannya sebagai Ummu Walad maka ketika hendak menunggang unta Nabi menutupinya maka para sahabat tahu bahwa Nabi mengawininya.
Hadits tersebut dijadikan istinbath hukum oleh Ibnu Mundzir.
Menurutnya hadits tersebut menunjukkan pada kebenaran Nabi pada
pernikahan dengan tanpa saksi. Dalam kitab Syarah Shahih Muslim dijelaskan
bahwa hadits ini menunjukkan bahwa Nabi tidak menyuruh para orang-orang
untuk menyaksikan atas pernikahannya. Maka hadits itu dijadikan hujjah oleh
Imam Malik dan sekelompok ulama dari kalangan sahabat dan tabiin bahwa
sah akad nikah dengan tanpa saksi kemudian mengumumkan.7
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqih
sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujah dalam menggali hukum. Perlu
diketahui bahwa martabat hadits shahih ini tergantung kepada kedhabitan dan
keadilan para perawinya. Semakin dhabit dan adil si perawi, makin tinggi pula
tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkan.
Kekuatan sunnah sebagai dalil hukum dapat dilihat dari dua segi,
pertama dari segi kebenaran materinya (sanadnya) dan kedua dari segi
kekuatan penunjukannya (dilalahnya).8
6 Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz 2, Beirut: Dara l Kutub, Al Ilmiah, t.t., hlm. 14 7 Ibid 8 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa
Raya, 1993, hlm 44
Dalam masalah hadist yang digunakan Ibnu Mundzir penulis melihat
ada pertentangan antara hadist yang digunakan Ibnu Mundzir dalam masalah
nikah tanpa saksi dan Jumhur ulama. Maka sesuai kaidah hukum yang telah
dirumuskan oleh ulama ahli ushul mengatakan ketika terjadi dua dalil hadist
yang bertentangan maka harus ada tarjih untuk mengetahui apakah dalil itu
layak untuk digunakan atau tidak dan salah satunya harus diunggulkan atau
dimenangkan semua itu bergantung pada metode tarjih.
Tarjih pengertiannya ialah
امتياز احد الدليلين المتماثلين بوصف يجعله اولى باالعتبار من االخراظهار
Artinya: Menampakan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama
dengan sesuatu yang menjadikan lebih utama dari yang lain.9
Hadist yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama yang mewajibkan
adanya saksi dalam pernikahan,
عا ئسة رضي اهللا عنها قالت قال رسول اهللا صلي اهللا عليه وسلم ال نكاح عن
10) رواه البيهقي (إال بولي وسهدي عد ل Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda tidak ada
pernikahan kecuali dengan dua orang saksi yang adil. (HR. Al- Baihaqi )
ان رسول اهللا عليه وسلم قال البغايا الالتى ينكحن انفسهن بغير ابن عباسعن 11)رواه الترمدى(بينة
9 Muin Umar dkk, Ushul Fiqh, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,1986,hlm.183. 10 Imam Baihaqi, As-Sunnah Kubra, Juz 7, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah,t.t.,hlm.202. 11 Abi Isya Muhammad, Kitab Jami’ Sahih,juz III, Bairut:Darul Kutub Al-Ilmiah,t.t.,hlm.411.
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata,Rasulullah SAW bersabda pelacur yaitu orang-orang yang mengawinkan dirinya sendiri dengan tanpa saksi. (HR. Al-Tirmidzi)
Kedua hadist tersebut sekalipun martabatnya lemah tapi satu sama lain
saling menguatkan, ini yang menjadi pegangan jumhur ulama. Hadist ini
diriwayatkan oleh banyak rawi hadist diantaranya, Ali, Umar, Ibnu Abbas,
Utrah, Ibnu Musayab, Au’zai, Syafi’I, Abi Hanifah, dan Imam Ahmad ibn
Hambal.
عن انس بن مالك انه قال آنت ردين ابى طلحة فاسترى رسول اهللا صلى اهللا
عليه وسلم جاريةبسبعة أرؤس فقال الناس ماندرى اتزوجها ام جعلها ام ولد
)رواه مسلم. (راد ان يرآب حجبها فعرفوا انه تزوجهافلما ا
Dari Annas Bin Malik bahwa sesungguhnya Nabi bersabda saya
berada di belakang Abi Talhah kemudian Nabi membeli jariyah dengan tujuh
orang saksi kemudian para sahabat berkata, kami tidak tahu apakah Nabi
mengawininya atau menjadikannya sebagai ummu walad. Kemudian pada
saat Nabi hendak menunggang unta Nabi menutupinya, kemudian para
sahabat tahu bahwa Nabi mengawininya
Sementara hadist yang digunakan Ibnu Mundzir dilihat dari segi
sanadnya hanya ada lima orang yaitu, Abu Baker ibn Abi Syaibah, Affan,
Muhammad ibn Salamah, Tsabit dan Anas ibn malik. Kemudian dilihat dari
matannya juga tidak begitu jelas dalalahnya dan pada kenyataannya jumhur
ulama banyak yang menggunakan hadist dari Ibnu Abbas tentang adanya saksi
dalam akad nikah.maka menurut penulis yang harus dijadikan pertimbangan
adalah tarjih dengan melihat,
a. Jumlah perawi yang banyak jumlahnya dimenangkan dari yang
sedikit b. Yang ada muakadnya didahulukan dari yang tidak c. Kalau keduanya hakiki maka yang lebih mashur yang dipakai d. Mantuk didahulukan atas mafhum e. Hukum yang berilah dimenangkan dari yang tidak f. Yang cocok dengan dalil-dalil lain dimenangkan dari yang
tidak12 Jadi penulis lebih condong kepada hadist yang digunakan Jumhur
ulama karena mengandung beberapa unsur tarjih yang sudah penulis sebutkan.
Pegangannya adalah hadis tersebut banyak yang meriwayatkan disamping itu
hadist tersebut mashur dikalangan ulama fiqh dan banyak yang menggunakan
hadist ini dan juga sesuai dengan maqosidu syari’ah yaitu saksi untuk
kemaslahatan umat manusia.
12 Muin Umar, Op.Cit,hlm.185-187.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan nikah tanpa saksi dengan tokoh Imam Ibnu Mundzir telah
penulis paparkan, fokus permasalahan yaitu pendapat dan istinbat hukum Ibnu
Mundzir dalam masalah nikah tanpa saksi kemudian memberikan analisis.
Sebagai tindak lanjut, penulis memberi kesimpulan sebagai berikut ini:
1. Nikah tanpa saksi masih menjadi polemik di kalangan ulama fiqih
Pendapat Ibnu Mundzir yang mengatakan sah nikah tanpa saksi
merupakan bagian dari masalah furuiyyah yang perlu pengkajian yang
sangat teliti dan mendalam. Oleh karenanya dalam pemikiran Ibnu
Mundzir perlu pengkajian ulang terhadap pemikirannya yang dianggap
kontroversial dengan jumhur ulama.. Hal ini menyangkut aplikasi
pemikirannya dalam konteks masa kini apakah masih relevan untuk
diterapkan atau tidak. Alasan tidak ada ketetapan dari nabi tentang dua
orang saksi dalam pernikahan adalah sebagai sifat khususiyah bagi nabi di
mana orang lain tidak bisa melakukannya. Jadi pendapatnya tidak relevan
untuk diterapkan pada konteks sekarang. Pendapatnya tidak
mempertimbangkan maslahat saksi dalam pernikahan, yaitu untuk
kemaslahatan kedua pihak (suami istri) dan keluarga serta masyarakat
secara luas.
2. Istinbat hukum yang digunakan oleh Ibnu Mundzir dalam masalah nikah
tanpa saksi adalah hadist riwayat Imam Muslim dan memahaminya
dengan melihat dhahirnya dalil dan dalalah sunah yang sahih. Di sini Ibnu
Mundzir terkesan tektualis dalam memahami dan menetapkan hukum
dengan melihat sisi dhahirnya saja dan tidak melihat hadist lain sebagai
pertimbangan. Melihat hadist yang digunakan hujjah oleh Ibnu Mundzir
ketika dihadapkan pada hadist lain yang mengaharuskan adanya dua orang
saksi maka terjadi pertentangan dua dalil yang berbeda, yaitu antara dalil
yang digunakan Ibnu Mundzir dengan Jumhur Ulama dengan demikian
tarjih sebagai upaya menemukan ketetapan dalil mana yang harus di
diunggulkan dan dipakai, lebih lanjut dalil jumhur ulama yang harus
dipakai karena lebih kuat dan banyak hadist yang lain sebagai penguat
tentang adanya dua orang saksi dalam pernikahan.
B. Saran-saran
Masalah nikah tanpa saksi, masuk dalam kategori ikhtilaf ulama,
artinya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Ada yang berpendapat saksi sebagai syarat sah pernikahan ada juga
yang menganggap tidak perlu adanya saksi dalam pernikahan. Sebagai
endingnya saran penulis:
1. Nikah tanpa saksi bagian dari masalah furu’iyyah yang harus dicari
jawabannya, maka diperlukan ketelitian dalam memahami pendapat dan
istinbath hukum yang digunakan dan sisi lain yang tidak boleh dilupakan
adalah dengan melihat konteksnya Nikah tanpa saksi walaupun jarang
dilakukan atau sama sekali tidak di kalangan kita tetapi jadikanlah itu
sebagai pengetahuan. Semakin kaya pengetahuan maka akan membuka
jalan pikiran kita untuk bisa memahami perbedaan dan pada akhirnya
menjadikan sebagai rahmat. Perbedaan kondisi sosio kultural di mana para
Imam Mujtahid hidup merupakan salah satu faktor yang menghasilkan
produk hukum yang berbeda di antara para imam yang hidup pada masa
lampau sampai sekarang.
2. Mengambil pendapat Jumhur ulama sebagai bentuk kuatnya dalil dengan
lebih mempertimbangkan pada kemaslahatan.
C. Penutup
Rasa syukur, dengan ucapan hamdalah mengakhiri dari sebuah proses
penggarapan skripsi. Dan kata itu yang pantas untuk penulis ucapkan sebagai
wujud rasa syukur kepada Allah yang selalu memberi kenikmatan dan
pertolongan serta bimbingan kepada seluruh manusia.
Dalam menggarap skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan,
kesalahan dan jauh dari sempurna, maka dengan lapang dada penulis siap
memberikan koreksi, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak.
Sebagai kata akhir, penulis memanjatkan do’a semoga dengan
selesainya skripsi ini dapat membawa manfaat bagi penulis dan pembaca pada
umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah serta
pertolongan dan bimbingan ke jalan yang lurus amin ya robbal alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,
1998.
Hasan, Hasniah, Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera, Surabaya: CV. Amin
Surabaya, 1987.
Dahan, M. Suraji, Fenomena Nikah Sirri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1996.
Al-Jaziry, Abdurrahman, Kitab al-fiqh ala’ al-Madzhahib al-Arba’ah, Juz IV,
Maktabah al-Tijariyah Kubro.
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad, Kifayatul Akhyar, Juz II,
Semarang: Toha Putra.
Shihab, M. Quraish Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Mundzir, Ibnu, Al-Isyraf ala’ Madzhahib Ahli al-Ilmi, juz III, Maktabah Dar
al-Fatah
Suryabrata, Sumandi, Metode Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1983
Rusdy, Ibnu,, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Beirut: Dar al-Qolam
Al-Syaerozi,, Al-Muhazzab, juz II, Semarang: Toha Putra
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Juz II, Dar al-Fikri
Al-Mawardi, al-Hawi Kabir, Juz 9, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rake Sarasin, 1993
Azwar, Saefuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial,Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1991
Hadari Nawawi, Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian kualitatif, bandung: Remaja Rosdakarya,
2001
Bisri, Cik Hasan Pilar-pilar penelitian Hukum Islam dan pranata sosial, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Munawir, A.Warso., Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002
Al-Kasani, Imam,Badaa’iu al-Shanai,juz III,Beirut: Darul Kutub al Ilmiah, tth.
Poerwardamita W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia,Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai
pustaka, 1995.
Arto, Mukti Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yoyakarta:
Pustaka Pelajar,1996
Depag RI, al-Quran Dan terjemahannya
Muhammad, Abi Isya, Kitab Jami’ As-Sahih, Juz 3, Bairut: Darul Kutub Al-
Ilmiah, tth.
M.Rifa’I dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang:Toha Putra
Alhamdani, Risalatun Nikah,Pekalongan:Raja murah,1980
Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat,Bandung: Pustaka Setia, 1999
Hasan, M. Ali, Perbandingan Madzhab Fiqh, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2000
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2002
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Imam ‘Alauddin Abi Bakar ibn Mas’ud al Kasani, Badaaiu’ Al Shonaai’i, Juz III,
Beirut Libanon: Darul Kutub al-Ilmiah, tth.
Hosen, Ibrahim Fiqih Perbandingan, Jakarta: Balai Penerbitan Dan Perpustakaan
Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia
Al Maraghi, Abdullah Mustofa Pakar-pakar Fiqih Sepanjang Sejarah,
Yogyakarta: LKPSM
Depag RI Jakarta, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang : Al Waah
Muslim, Imam Shahih Musmil,Juz 2, Beirut :Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, tth.
Abu Zarah, Muhammad, Ushul Fiqih, Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 1994
Malik, Imam Al Muwatha’, Beirut Libanon, Dar al Fikr, 1989
Zuhaili, Wahbah Ushul Fiqih Islam, Juz I, Beirut : Darul Fikr
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Al-Sunnah Qabla Al-Tadqin, Beirut : Dal Al Fikr,
1997
Bakri, Kazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Al-Shiddieqi, Hasbi Ash Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997
Ali, M. Daud Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Ibnu, Qudamah,Almughni,juz 7,Beirut:Darul Fikr, tth.
Yunus, Mahmud Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT.Hidakarya
Agung,1983
Zuhri M.,Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah,Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada,1997
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang:
Angkasa Raya, 1993
Muin Umar dkk, Ushul Fiqh, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,1986
Al-Baihaqi, Imam As-Sunnah Kubra, Juz 7, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah,tth.
Muhammad, Abi Isya, Kitab Jami’ Sahih,juz III, Bairut:Darul Kutub Al-Ilmiah,
tth.