studi analisis pendapat ibnu abidin tentang...
TRANSCRIPT
STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG
KEWAJIBAN IDDAH AKIBAT PERCAMPURAN SYUBHAT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Disusun Oleh:
IMROATUS SHOLIKHAH
032111073
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdri. Imroatus Sholikhah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudari:
Nama : Imroatus Sholikhah
Nomor Induk : 2103073
Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG
KEWAJIBAN IDDAH AKIBAT PERCAMPURAN SYUBHAT
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasahkan.
Demikian harap menjadikan maklum
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Semarang, 09 Januari 2008
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Miftah. AF., M.Ag. Anthin Lathifah, M.Ag NIP. 150 218 256 NIP. 150 318 016
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Telp/ Fax. (024) 601291
PENGESAHAN
Skripsi saudara : Imroatus Sholikhah
NIM : 2103073
Fakultas : Syari’ah
Jurusan : AS
Judul Skripsi :STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN
TENTANG KEWAJIBAN IDDAH AKIBAT
PERCAMPURAN SYUBHAT
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:
23 Januari 2008
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun
akademik 2007/2008
Semarang, 23 Januari 2008
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Drs. H. Hasyim Syarbani, MM. Drs. Miftah AF. M.Ag. NIP. 150 207 762 NIP. 150 218 256 Penguji I Penguji II
H. Abdul Ghofur, M.Ag. Drs. Fatah Idris, M.Ag. NIP. 150 279 723 NIP. 150 216 494
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Miftah AF. M.Ag. Anthin Lathifah, M.Ag. NIP. 150 218 256 NIP. 150 318 016
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain
atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak
berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 09 Januari 2008
Deklarator
Imroatus Sholikhah
v
ABSTRAK
Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan agar saling mengenal antara satu dan lainnya, dari saling mengenal itulah dapat terjadi adanya pernikahan. Dalam suatu pernikahan tidak selamanya tanpa ada permasalahan sehingga tidak sedikit pula yang akhirnya terjadi perceraian.
Dalam perceraian ada beberapa yang harus dijalani oleh wanita (istri),
salah satunya adalah iddah. Iddah adalah masa tunggu bagi seorang wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya baik cerai mati ataupun cerai hidup.
Iddah tidak hanya diwajibkan kepada seorang wanita yang ditalak tapi
juga wanita yang diwath’i syubhat. Wath’i syubhat ialah percampuran tidak halal yang pelakunya dimaafkan karena ada kesyubhatan dan pelakunya tidak dikenai sanksi atau had.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1. pendapat Ibnu Abidin tentang
iddah akibat percampuran syubhat 2. Metode istinbat yang digunakan Ibnu Abidin. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data yaitu studi kepustakaan atau library research. Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik, yaitu menggunakan analisis deskriptif, tidak dalam bentuk angka tapi dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif.
Dalam penelitian ini Ibnu Abidin mengatakan bahwa seorang wanita yang
diwathi syubhat wajib untuk menjalani iddah. Adapun iddah-nya adalah 3 kali haid sama halnya orang yang nikahnya fasid. Metode istinbath yang digunakan Ibnu Abidin adalah qiyas yaitu iddah akibat wath’i syubhat itu diqiyaskan dengan iddah wanita yang ditalak.
Dengan demikian iddah bagi wanita yang wath’i syubhat hukumnya
adalah wajib sebagaimana halnya dengan iddah-nya wanita yang ditalak. Adapun iddah-nya adalah tiga kali haid.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, hanya kepada-Nya
seluruh alam ini bersujud, juga karena izin-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN
TENTANG KEWAJIBAN IDDAH AKIBAT PERCAMPURAN SYUBHAT.
Untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada nabi akhir zaman, nabi
Muhammad SAW pembawa risalah Allah, yang mengorbankan seluruh hidupnya
semata-mata untuk berjuang dijalan-Nya, juga kepada keluarganya, sahabat-
sahabatnya dan umatnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak sekali kekurangan
dan kelemahan baik dalam bidang metodologi maupun substansi kajiannya,
namun akhirnya dapat terselesaikan dengan bantuan dan masukan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan yang baik ini, merupakan suatu
keharusan penulis untuk mengucapkan terima kasih yang paling dalam kepada:
1. Yang terhormat, Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, yang memberikan izin kepada penulis
untuk mengkaji masalah dalam bentuk skripsi ini.
2. Bapak Ahmad Arif Budiman, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal Al-
Syahsiyah dan Ibu Anthin Lathifah, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Al-
Ahwal Al-Syahsiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. Miftah. AF., M.Ag. selaku pembimbing I dan Ibu Anthin
Lathifah, M.Ag., selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberi bimbingan dan pengarahan
penyusunan skripsi ini.
4. Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
yang dengan tulus ikhlas tanpa pamrih memberikan bekal keilmuan kepada
penulis selama masa kuliah serta anggota civitas akademika Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
vii
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah membimbing dan memberikan
dorongan moral, spiritual dan material kepada penulis dengan penuh
keikhlasan serta kasih sayangnya yang tak terhingga.
6. Adik-adikku tersayang yang telah memberikan motivasi hingga skripsi ini
dapat terselesaikan
7. Rekan-rekan dan karibku semua yang ikut berperan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Tidak ada kata yang pantas untuk diucapkan selain jazakumullah khairan
katsira kehadirat ilahi, semoga semua amal baik mereka memperoleh balasan
yang berlipat ganda dari Allah SWT, dan semoga membawa keberkahan di dunia
dan akhirat.
Penulis menyadari sepenuh hati, bahwa dalam penulisan serta penyusunan
skripsi ini masih banyak kekurangan dan kealpaan, sehingga hasilnya jauh dari
sempurna. Mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis.
Akhirnya penulis senantiasa mengharap kritik konstruktif dan saran
inovatif demi kesempurnaan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini memberikan
manfaat yang besar dan mempunyai arti penting dalam proses perkembangan
pemikiran hukum Islam. Amin …….
Semarang, 09 Januari 2008
Penulis
viii
MOTTO
)32: االسراء( وال تقربوا الزنى إنه آان فاحشة وساء سبيال
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”
(QS. Al Isra’: 32)
ix
PERSEMBAHAN
Atas nama cinta dan kasih sayang-Mu kupersembahkan karya ini teruntuk:
Bapak dan Ibu tercinta. Ali Mukti/ Siti Zuhriyah yang telah memberikan cinta dan
kasih sayang dan pengorbanannya demi kelangsungan hidup penulis sebagai wasilah
untuk pengabdianku, doaku semoga diberi umur panjang dan sayangilah mereka
sebagaimana mereka telah menyayangiku sejak kecil.
Adik-adikku tersayang, Khairuz Zaman dan Khoerul Huda. Terima kasih atas do’a
dan motivasinya.
Keluarga besarku yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Buat Tiwi, makasih ya…atas semangatnya selama ini
Buat Anis and Bita …..makasih ya telah membantu ngetik dan gosip-gosipnya.
Teman-teman I.24, Ninik, Rida, Nurul, Mba’ Eni, tetap ramai and kompak aja ya…
Sobat sobatku semua paket AS A 2003
Dan semua pihak yang telah ikut membantu penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………………
Halaman Persetujuan Pembimbing …………………………………………………
Halaman Pengesahan ……………………………………………………………….
Halaman Deklarasi ………………………………………………………………….
Abstrak ……………………………………………………………………………..
Kata Pengantar ……………………………………………………………………...
Halaman Motto ……………………………………………………………………..
Halaman Persembahan ……………………………………………………………..
Daftar isi …………………………………………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
ix
x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………….
B. Perumusan Masalah ….…………………………………………
C. Tujuan Penelitian …………….………………………………….
D. Telaah Pustaka …………………………………………………..
E. Metode Penelitian ……………………………………………….
F. Sistematika Penulisan Skripsi …………………………………..
1
5
5
6
7
10
BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG IDDAH DAN
PERCAMPURAN SYUBHAT
A. Gambaran Umum Tentang Iddah
1. Pengertian Iddah……………………………………………..
2. Dasar Hukum Kewajiban Iddah …………………………….
3. Macam-Macam Iddah ……………………………………….
B. Gambaran Umum Tentang Percampuran Syubhat
1. Pengertian Syubhat…………………………………………..
2. Sebab-Sebab Terjadinya Percampuran Syubhat …………….
3. Pendapat Para Ulama Tentang Percampuran Syubhat ………
12
14
20
24
25
25
BAB III : PENDAPAT IMAM IBNU ABIDIN TENTANG IDDAH AKIBAT
PERCAMPURAN SYUBHAT
xi
A. Biografi Ibnu Abidin
1. Silsilah Keilmuan Ibnu Abidin ……………………………..
2. Karya Ibnu Abidin …………………………………………..
B. Pendapat Ibnu Abidin Tentang Iddah Akibat Percampuran
Syubhat ………………………………………………………….
C. Metode Istimbath Ibnu Abidin Tentang Iddah Akibat
Percampuran Syubhat …………………………………………..
D. Aplikasi Metode Ibnu Abidin Tentang Iddah Akibat
Percampuran Syubhat …………………………………………..
27
30
31
33
37
BAB IV ANALISIS
A. Analisis Tentang Pendapat Ibnu Abidin Tentang Iddah Akibat
Percampuran Syubhat …………………...………………………
B. Analisis Istimbath Hukum Tentang Kewajiban Iddah Akibat
Percampuran Syubhat ………………...…………………………
40
45
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………...
B. Saran-Saran ……………………………………………………...
C. Penutup …………………………………………………………..
54
55
56
Daftar Pustaka
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara fitrah Allah telah meletakkan rasa cinta diantara laki-laki dan
perempuan sejak manusia itu diciptakan. Dan Allah telah menciptakan
manusia itu berpasang-pasangan supaya saling mengenal satu sama lain.
Dengan adanya rasa saling mengenal maka akan timbul suatu ikatan antara
laki-laki dan perempuan yang mana ikatan tersebut disebut pernikahan, seperti
dalam Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Ar Rum ayat 21:
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم
)٢١: الروم( مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah menciptakan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepada-Nya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.1
Islam memerintahkan kepada para laki-laki dan perempuan untuk
segera menikah. Dalam hal ini Rasulullah mengatakan bahwa tidak menikah
itu berarti berpaling dari sunnahnya. Islam pun menekankan pada setiap orang
tua untuk menikahkan anak laki-laki dan perempuan.
Pernikahan adalah babak baru dalam rumah tangga untuk mengarungi
kehidupan yang baru pula. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara
1 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989,
hlm. 644.
2
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Dalam melaksanakan pernikahan diibaratkan membangun sebuah bangunan,
sehingga harus dipersiapkan segala sesuatunya karena dengan hal tersebut lah
suatu pernikahan akan langgeng dan bahagia.
Namun dalam kenyataannya untuk membina suatu perkawinan yang
bahagia tidaklah mudah, bahkan kehidupan perkawinan sering kandas
ditengah jalan. Bukannya kebahagiaan atau ketenangan yang didapati di dalam
rumah tangga, tetapi yang sering terjadi adalah pertengkaran bukan kecocokan
yang terjadi antara suami dan istri melainkan semakin menimbulkan
perbedaan satu sama lain.
Tidak sedikit pasangan muda atau setelah memiliki anak kemudian
berpisah karena tidak menemukan kecocokan dengan pasangannya sehingga
akhirnya rumah tangga menjadi berantakan dan bercerai. Sebenarnya tidak
perlu terjadi perceraian bila berbagai problem rumah tangga dan keluarga bisa
diatasi bersama dengan penuh bijaksana seperti masalah ekonomi, krisis cinta
atau perselingkuhan.
Dalam al-Qur’an perceraian tidak dianjurkan, tetapi diperlakukan
sebagai realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an
memperbolehkan praktik perceraian dan aturan-aturan yang rinci dan spesifik
tentang perceraian bila pasangan suami istri sudah tidak serasi lagi.3
2 Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta:
Gema Insani, 2002, cet. I, hlm. 3. 3 Lynn Wilcox, Women and The Holy Qur’an, terj. DICTIA “Wanita dan al-Qur’an dalam
Perspektif Sufi”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, cet. I, hlm. 132.
3
Mengenai perceraian, pria mempunyai hak dan wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik. Tetapi pria
mempunyai satu kelemahan dibanding wanita. Dan wanita memiliki hak dan
apapun yang terjadi harus dipenuhi dengan adil.
Jika suatu pernikahan putus, maka sebagai akibat hukum yang wajib
diperhatikan oleh yang bersangkutan ialah masa iddah dan ruju’.4 Bagi
seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu
tunggu atau masa iddah kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya
sebelum berhubungan (qabla dukhul). Baik karena kematian, perceraian atau
atas keputusan pengadilan.5
Wanita-wanita yang diceraikan karena ba’da dukhul harus menunggu
selama tiga masa suci dari menstruasi (quru’) untuk menentukan ihwal apakah
mereka hamil atau tidak serta tidak boleh menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahim nya.
Iddah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Mereka tidak pernah
meninggalkan kebiasaan iddah. Ketika Islam datang, iddah terus dijalankan
dan diakui karena dalam iddah tersebut mengandung kebaikan. Para ulama
sepakat bahwa iddah hukumnya wajib. Sesuai dengan firman Allah SWT
dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 228:
)٢٢٨:البقره.......(والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء
4 IAIN Jakarta, Ilmu Fiqh, Departemen Agama, Jakarta, 1985, cet. ke-2, hlm. 274. 5 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, cet.
ke-6, hlm. 310.
4
Artinya: “Dan perempuan yang tertalak hendaklah ia menahan diri dari tiga kali quru’…..”6
Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya bagi
perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin. Setelah kematian
suaminya, atau setelah pisah dari suaminya. Secara bahasa iddah adalah
bilangan atau hitungan, karena masa iddah itu harus dihitung dengan masa
bersih wanita dari haid atau dihitung dengan jumlah bulan. Sedang menurut
istilah iddah ialah waktu tunggu seorang janda, ia tidak boleh kawin, untuk
mengetahui keadaannya mengandung atau tidak, juga sebagai ta’abud kepada
Allah.7 Selain ta’abud kepada Allah, iddah juga mempunyai tujuan syari’ah
diantaranya adalah untuk menjaga keturunan, dari percampuran dengan benih
lain (lima’rifati bara’atu rahim), littahayiah (mempersiapkan diri) dan
memberi kesempatan terjadi proses ruju’.8
Iddah diwajibkan karena cerai oleh suami yang masih hidup yang
pernah menggaulinya pada dubur atau qubulnya. Baik dengan cara talaq atau
memfasakh nikah oleh suami yang berada di tempat atau tengah tiada dalam
waktu yang cukup lama, tapi jika suami belum pernah menggaulinya maka
tidak wajib iddah meski pernah berkhalwah. Apabila istri pernah dicampuri
maka istri wajib iddah sekalipun diyakini tidak terjadi kehamilan, misalnya
istri masih kecil, suami masih kecil. Seperti halnya orang laki-laki yang salah
menggauli seorang perempuan yang diyakini sebagai istrinya, kemudian
6 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 55. 7 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah), Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988, cet. I, hlm. 369. 8 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam
Islam, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 176.
5
ternyata bukan, maka wanita yang dicampuri tersebut wajib menjalani iddah,
hal ini disebut salah persangkaan. Salah persangkaan inilah yang disebut
dengan wathi syubhat. Percampuran syubhat ialah percampuran tidak halal
yang pelakunya dimaafkan karena adanya kesyubhatan dan tidak dijatuhi
hukuman, baik wanita tersebut termasuk wanita mukhrim, semisal saudara
perempuan istri, wanita yang sudah bersuami maupun wanita lain yang belum
kawin, karena persetubuhan secara syubhat sama hukumnya dengan
persetubuhan dalam perkawinan yang sah soal nasabnya.
Dari uraian tersebut diatas, penulis berkeinginan membahas tentang
kewajiban iddah akibat percampuran syubhat dalam skripsi dengan judul
“Sudi Analisis Pendapat Imam Ibnu Abidin Tentang Kewajiban Iddah Akibat
Percampuran Syubhat”.
B. Rumusan Masalah
Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah yang menjadi
motivasi dalam penulisan skripsi ini, maka timbul beberapa permasalahan
yang memerlukan pemecahan dan penyelesaian yaitu:
1. Bagaimana Pendapat Ibnu Abidin Tentang Kewajiban Iddah Akibat
Percampuran Syubhat?
2. Bagaimana Dasar Istinbath Ibnu Abidin Dalam Merumuskan
Pendapatnya Tentang Kewajiban Iddah Akibat Percampuran Syubhat?
6
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai,
yaitu:
a. Untuk dapat mengetahui pendapat Imam Ibnu Abidin tentang
kewajiban iddah akibat percampuran syubhat.
b. Untuk mengetahui dasar istinbath Ibnu Abidin dalam merumuskan
pendapatnya tentang kewajiban iddah akibat percampuran syubhat.
D. Telaah Pustaka
Telaah atau kajian pustaka secara garis besar, merupakan proses yang
dilalui untuk mendapatkan teori. Telaah pustaka dilakukan untuk mendapatkan
gambaran tentang hubungan pembahasan dengan penelitian yang sudah
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga dengan upaya ini tidak
terjadi pengulangan yang tidak perlu.
Penelitian mengenai iddah sebenarnya sudah banyak dibahas. Dari
penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan hasil penelitian dan buku
tersebut sebagai berikut:
Hj. Istibsyaroh dalam bukunya yang berjudul: Hak-Hak Perempuan:
Relasi Gender Menurut Tafsir al-Sya’rawi, menjelaskan tentang pengertian
iddah, serta tafsir ayat-ayat al-Qur'an tentang iddah.9 Iddah adalah rentang
waktu yang harus dijalani seseorang perempuan yang dicerai hidup atau mati,
sebelum ia boleh menikah kembali.
9 Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan: Relasi Gender Menurut Tafsir al-Sya’rawi, Jakarta:
Teraju, 2004, cet. I, hlm. 130-136.
7
M. Abdul Ghofar dalam bukunya yang berjudul: Fiqih Wanita,
menjelaskan tentang definisi iddah, hukum iddah adalah wajib sesuai dengan
QS. Al-Baqarah: 234 dan Al-Ahzab: 49, macam-macam iddah dan hikmah
disyaratkannya iddah adalah memberikan kesempatan pada suami untuk rujuk
serta untuk libaroati rahim..10
Muhammad Amin as-Syamir Ibni Abidin, dalam kitabnya: Radd al-
Muhtar, menerangkan tentang pengertian iddah, hikmah adanya iddah, iddah
wath’i syubhat dan iddah nikah fasyid.11
Irni Nafiati, lulus tahun 2003 S.1 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dalam skripsi yang berjudul: Sudi Analisis Pendapat Imam Malik
Tentang Sanksi Bagi Perempuan Yang Menikah Pada Masa Iddah, yang
menerangkan tentang perempuan yang menikah pada masa iddah dan sudah
dukhul adalah pernikahannya fasakh dan mereka harus dipisahkan.
Dari uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kajian tentang
iddah masih bersifat umum. Disamping itu juga, dapat diketahui bahwa iddah
yang penulis teliti berbeda dengan yang mengkaji masalah iddah akibat
percampuran syubhat menurut pendapat Imam Ibnu Abidin. Dari penelaahan
di atas, maka jelas pokok permasalahan yang akan penulis kaji dalam
penulisan skripsi ini berbeda dengan penulisan atau penelitian sebelumnya.
10 M. Abdul Ghofar, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, cet. ke-2, hlm. 448-
449. 11 Muhammad Amin as-Syamir Ibni Abidin, Radd al-Muhtar, Beirut: Daar al-Kutub al-
Alamiah, t.th.
8
E. Metode Penelitian
Yang dimaksud dengan metode penelitian adalah suatu cara yang
ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam
suatu penelitian.12
Supaya dapat memperoleh hasil yang valid dan dapat dipertanggung
jawabkan maka penulis menggunakan beberapa metode:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan berupa penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.13
Karena penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan maka,
penulis membaca buku-buku dan menganalisisnya guna memperoleh
data-data yang diperlukan berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam
skripsi ini.
2. Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah subyek dari
mana dapat diperoleh.14
Maka data-data yang digunakan terdiri dari:
12 Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode penelitian Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 20-32. 13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Cet.ke-20, 2004, hlm.6. 14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1998, hlm. 114
9
a. Sumber Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari sumber
asli yang memuat suatu informasi.15
Dalam hal ini penulis menggunakan kitab Hasyiyah Radd al-
Muhtar karya Muhammad Amin as-Syamir Ibni Abidin sebagai
data primer.
b. Sumber Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari
sumber yang bukan asli atau bersifat komplemen yaitu:
1. Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq
2. Kitab al-Mabsuth karya Imam As-Syarkhasi
3. Fath al-Qadir karya Imam Kamaludin
4. Fath al-Wahab karya Syaikh Abi Yahya Zakaria al-Anshari
3. Metode Pengumpulan Data
Dari penelaahan literatur tersebut akan diperoleh data-data yang
melatarbelakangi tentang konsep kewajiban iddah akibat percampuran
syubhat dengan masalah yang dibahas dan tahap selanjutnya dianalisis
secara kualitatif berupa penjelasan-penjelasan, bukan berupa angka-angka
statistik dan bukan angka yang lain.16 Dengan menggunakan nalar fakir
induktif serta ditulis dengan menggunakan penulisan deskriptif analisis
yaitu menuturkan, menggambarkan dan mengklarifikasi secara obyektif
dan menginterpretasikan serta menganalisis data tersebut.17
15 Tatang M. Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995, hlm. 135. 16 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
2004, hlm. 106 17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003, hlm. 37.
10
Dalam rangka pengumpulan data ini penulis mengadakan riset
kepustakaan (library research), yakni penulis membaca buku-buku dan
menganalisisnya guna memperoleh data-data yang diperlukan yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Metode Analisis Data
Penelitian yang dilakukan penulis lebih pada penelitian yang
bersifat “deskriptif kualitatif” yang berusaha menggambarkan
permasalahan yang ada diatas.18
Sedangkan langkah-langkah yang digunakan penulis adalah
dengan menganalisa, mendeskripsikan dan menilai data yang terkait
dengan permasalahan di atas yang berkaitan dengan pendapat Ibnu
Abidin.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan pembahasan dan mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu: Latar
Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Memuat gambaran umum tentang iddah dan percampuran
syubhat.
18 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002, hlm. 68.
11
Gambaran umum tentang iddah meliputi: Pengertian Iddah,
Macam-Macam Iddah, Dasar Hukum Kewajiban Iddah.
Adapun gambaran umum tentang percampuran syubhat
meliputi: Pengertian Syubhat, dan Sebab-Sebab terjadinya
Percampuran Syubhat dan Pendapat Para Ulama Tentang
Percampuran Syubhat.
BAB III : Mengenai pendapat Imam Ibnu Abidin tentang iddah akibat
percampuran syubhat meliputi: Biografi yang terdiri dari:
Silsilah Keilmuan, Karya Ibnu Abidin, Pendapat Ibnu Abidin
Tentang Iddah Akibat Percampuran Syubhat, Metode Istinbath
Ibnu Abidin serta aplikasi metode istimbath Ibnu Abidin
terhadap pendapatnya tentang wath’i syubhat.
BAB IV :
Analisis tentang pendapat Ibnu Abidin tentang iddah akibat
percampuran syubhat dan analisis istinbath hukum tentang
kewajiban iddah akibat percampuran syubhat.
BAB V :
Yaitu penutup yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran-Saran dan
Kata Penutup.
12
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG IDDAH
DAN PERCAMPURAN SYUBHAT
A. Gambaran Umum Tentang Iddah
1. Pengertian Iddah
Menurut bahasa Arab kata iddah adalah masdar dari kata kerja adda
ya’udu ‘iddatan ( artinya menghitung.1 Jadi kata iddah artinya ( يعد عدةعد
adalah hitungan, perhitungan, sesuatu yang harus diperhatikan. Sedangkan
pengertian iddah menurut Al-Jaziri adalah:
بمعنى لعد فهي مصدرسماعى. من العدد ذة مأخواللغة فى العدة .احصى
“Iddah menurut bahasa adalah diambil dari kata al-adad yaitu masdar dari adda, ma’nanya ahsha (menghitung)”.2
Iddah menurut istilah adalah:
زوجها ة المرأة ونمتنع عن التزويج بعد وفافيهاتنظر اسم للمدة 3.ااوفراقه له
“Iddah ialah bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh nikah, setelah kematian suaminya atau setelah pisah dengan suaminya”.
Sedangkan menurut Ash-Sho’nani iddah adalah:
وفراقه ها زوجوفاة بعد عن التزويجالمرأة بهاتتربص اسم للمدة 4.اواالشهر اوالقرأ دةال الوبا اما لها
1 Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Al-Munawir, tth. 2 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqih Empat Mazhab, Juz IV, Beirut: Libanon, Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1410, hlm. 451 3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz II, tth., Dar al-Fiqr, 1992, hlm. 277
13
“Iddah adalah nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan, setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu. Baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/ haid, atau beberapa bulan tertentu.
Sedangkan pengertian iddah menurut Abu Zahrah adalah:
النكاحمن اثار ء النقضا اجل ضرب “Iddah adalah masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh perkawinan” 5
Pengertian iddah menurut Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab r.a
adalah:
لموت الزوج اوطالقه ومن شرعا ة دد محبص المرأة هي ترالعدة .آل فسخ اوتفريق
“Iddah adalah penantian seorang wanita dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh syara’ karena kematian suaminya, perceraian, segala macam fasikh (rusaknya akad nikah) atau pemisahan.6
Sedangkan menurut Ensiklopedi Hukum Islam iddah adalah masa
menunggu bagi wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah terjadinya
perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan
tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.7
Pengertian iddah menurut kamus hukum adalah waktu menunggu
atau menanti bagi wanita yang dicerai atau ditalak oleh suaminya dimana
4 Dirjen Binbaga Depag RI, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984/ 1985, hlm. 277 5 Ibid. 6 Muhammad Rawuas, Mausu’ah Fiqhi Umar Ibnil Khattab RA., Terj. M. Abdul Mujieb
AS (et.al), Ensiklopedi Fiqih umar bin Khattab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999, hlm. 160
7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, cet. I, 1999, hlm. 637
14
masa waktunya berbeda-beda tergantung kepada keadaan istri pada waktu
penjatuhan talak/ cerai.8
Pengertian iddah secara istilah menurut Abu Hanifah adalah”
9زوال النكاح بعد تلزم المرأة معلومة تربص مدةا العدةانه“Iddah adalah waktu tunggu seorang wanita setelah terjadi putusnya pernikahan”
Menurut Imam Syafi’i iddah adalah:
اوللتعبد, رحمها برأة رفةلمع المرأة ربص فبها تتمدة العدة 10. زوج لىاولتفجهاع
“Iddah adalah lamanya waktu tunggu seseorang wanita untuk mengetahui bersihnya rahim atau ta’babud”.
2. Dasar Hukum Iddah
Islam diturunkan di bumi memiliki Al-Qur’an sebagai kitab suci dan
pedoman hidup manusia, karena di dalam Al-Qur’an berbagai macam ajaran
dan hukum yang berdasarkan wahyu. Hukum dalam Al-Qur’an memiliki
tujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Dasar hukum iddah secara umum diterangkan dalam QS. Al-
Baqarah ayat 240:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول غير إخراج فإن خرجن فال جناح عليكم في ما فعلن في
)٢٤٠: البقرة (أنفسهن من معروف والله عزيز حكيم Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya,
8 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 175 9 Abdurrahman al-Jaziri, Op.Cit, hlm. 51 10 Ibid, hlm. 454
15
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 240).11
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup bagi manusia.
Salah satu hukum yang terkandung didalamnya adalah aturan-aturan hukum
tentang iddah. Adapun dalil dari nash Al-Qur’an yang menerangkan
kewajiban iddah dan perinciannya adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228:
ت يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء وال يحل لهن أن يكتمن ما قاطلموال )٢٢٨: البقره(خلق الله في أرحامهن إن آن يؤمن بالله واليوم الآخر
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir” (QS. al-Baqarah; 228).12 Yang dimaksud dengan wanita-wanita yang ditalak adalah wanita-
wanita yang telah pernah campur dengan suaminya, sedang maksud quru’
disini adalah haid atau suci.13
Selain ayat 228 juga diterangkan dalam ayat 234 yaitu:
هر أشذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعةوال. وعشرا فإذا بلغن أجلهن فال جناح عليكم فيما فعلن في أنفسهن
)٢٣٤: البقره( Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Toha Putra,
1998, hlm. 59 12 Ibid, hlm. 55 13 Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender menurut Tafsir al-Sya’rawi, Jakarta:
Teraju, 2004, cet. I, hlm. 131
16
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka” (QS. al-Baqarah: 234)14
Ayat ini menjelaskan bahwa iddah istri yang ditinggal mati
suaminya harus menunggu empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari)
selama ia tidak hamil.
Dalam surat At-Thalaq ayat 4, juga dijelaskan tentang kewajiban
iddah bagi istri, yaitu:
لائي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثالثة أشهر والواللائي لم يحضن وأوالت الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ومن
)٤: الطالق(يتق الله يجعل له من أمره Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid di antara istri-
istrimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa Iddahnya), maka Iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang sudah haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Al-Thalaq: 4)15
Maksud dari kata “ Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(menopause) yang dicerai oleh suaminya maka Iddahnya adalah tiga bulan
(3 bulan) dan wanita-wanita yang tidak haid karena belum dewasa masa
iddah-nya juga tiga bulan.
Sedangkan kalimat ........ وأوالت الأحمال أجلهن......
Menjelaskan bahwa iddah bagi perempuan yang hamil adalah sampai
melahirkan.16
14 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 57 15 Ibid, hlm. 946 16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol.
14, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 299.
17
Adapun hujjahnya menurut sunnah adalah:
ثم ان شاء. ثم تطهر. ثم تحيض تطهر ثم ليترآهاحتى جعها مره فليراامراهللا التى لك العدةفتطللق قبل ان يمس وان شاء. امسك بعد
17)تفق عليهم( النساءعزوجل ان يطلق لها Artinya: “Perintahkanlah ia untuk menunjuk istrinya kemudian menahannya
sehingga suci haid, suci lagi. Maka jika ia ingin tahanlah sesudah itu dan jika sudah ceraikanlah sebelum ia menyentuhnya. Demikianlah iddah yang diperintahkan oleh Allah yaitu perempuan harus dicerai pada iddahnya”
Selain itu juga ada riwayat lain yang menjelaskan tentang iddah,
yaitu:
انه آان : بن سعيد عن سعيد بن مسيب حدثن عن مالك عن يحيى )رواه المالك (.يقول الطالق للرجال والعدة للنساء
Artinya: “Yahya menyampaikan kepada-Ku (Hadits dari Malik dari Yahya
bin said bin Musayab) berkata: Menceraikan adalah hak laki-laki dan wanita berhak atas iddah” (HR. Malik).18 Dasar hukum iddah dalam KHI pun dijelaskan, yaitu dijelaskan pada
Pasal 153 ayat (1), (2), (3), (4), (5):
a. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al-
dukhul waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
17 Imam Abi Al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiah,
1992, hlm. 1093 18 Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwaththa’, Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1990, hlm. 437
18
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
d. Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla
al-dukhul
d. Bagi perkawinan yang putus akibat perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang
mempunyai kekuatan hukum tetapi sedangkan bagi perkawinan yang
putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.
e. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui maka iddah-nya tiga kali
suci. 19
Selain dalam Kompilasi Hukum Islam, iddah juga diatur dalam
Undang-Undang Perkwinan. No 1 tahun 1974 Pasal 29 ayat (1), (2), dan (3),
yang berbunyi;
19 Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Yogyakarta: UII Press, 1993, hlm. 210
19
(1). Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) Undang-Undang ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
(2). Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin.
(3). Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putus pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.20
Seorang istri jika telah putus hubungan dengan suaminya maka ia
harus ber-iddah, sedang iddah ada bermacam-macam. Iddah antara yang
haid dan telah putus haid waktunya pun berbeda-beda.
Untuk iddah bagi istri yang belum dukhul (belum disetubuhi) bagi
istri yang ditalak sedangkan ia belum pernah disetubuhi maka ia tidak
mempunyai iddah. Tetapi jika ia ditinggal mati suaminya ia wajib iddah
20 Undang-Undang Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, hlm.45-46
20
seperti iddah-nya orang yang pernah disetubuhi meskipun belum pernah
disetubuhi (qabla dukhul).21
3. Macam-Macam Iddah dan Lama Waktu Iddah
Secara garis besar ‘iddah dibagi menjadi dua;
a. Iddah karena meninggalnya suami.22
Dalam hal ini posisi iddahnya, ada dua kemungkinan, yaitu wanita
yang dalam keadaan hamil dan tidak hamil.
1. Apabila wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil.
Perempuan yang hamil masa iddah-nya habis sampai ia
melahirkan anaknya, baik bayi yang dilahirkan itu hidup atau mati,
sudah berbentuk anak adam ataupun masih dalam bentuk daging yang
menggumpal. Iddah bagi perempuan hamil ini berlaku bagi wanita
yang ditalak atau ditinggal mati suaminya. Sama halnya jika ia hamil
dan anaknya kembar, maka iddah-nya akan selesai jika anak kembar
tersebut lahir semua.
Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah dalam surat At-
Thalaq ayat 4:
)٤: الطالق(... حملهننوأوالت الأحمال أجلهن أن يضع .....
Artinya: “…..Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya….” (QS. At-Thalaq: 4)23
21 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 5, Bandung: al-Ma’arif, tth., hlm. 152 22 Said Thalib Al-Hamdani penerjemah Agus Salim, Risalatun Nikah, Jakarta; Pustaka
Amani, 1989, hlm.251 23 Ibid, hlm. 946
21
Jadi seorang perempuan yang dicerai oleh suaminya ataupun
ditinggal mati oleh suaminya maka jika ia hamil maka ia harus
menjalankan iddah, dan iddah-nya habis sampai ia melahirkan.
2. Apabila wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan sudah
atau belum bercampur dengan suaminya.
Bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya ia harus
menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari).
Iddah pada saat ditinggal mati suami juga merupakan bentuk rasa
belasungkawa dan tanda kesetiaan istri kepada sang suami yang
dicintai serta menormalisir kegoncangan jiwa istri saat ditinggalkan.
Pada saat suami meninggal istri tidak hanya diperintahkan untuk iddah
namun juga diperintahkan untuk ber-ihdad, yaitu dengan mencegah
diri dari berpakaian menyala, ber make-up, sesuai dengan suasana
berkabung dan tanda kesetiaan istri terhadap suami.24
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 234:
ذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعةوال )٢٣٤: البقره.....(هر وعشرأش
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan istri-istri, hendaklah perempuan itu beriddah empat bulan sepuluh hari………” (QS. al-Baqarah: 234)25
24 Dirjen Binbaga Depag RI, Op.Cit, hlm. 57 25 Op.Cit, hlm. 234
22
b. Iddah karena perceraian/ talaq
Iddah ini memiliki beberapa kemungkinan yaitu : 26
1. Wanita yang ditalaq suaminya dalam keadaan hamil maka iddahnya
ialah sampai melahirkan.
2. Wanita yang ditalaq suaminya karena masih mempunyai haid, maka
iddahnya ialah tiga kali suci.
Dengan tegas, Al-Qur’an menyatakan bahwa perempuan
yang di cerai suaminya dalam keadaan haid, ia dapat menjadikan
masa-masa haid sebagai patokan waktu. Sedangkan iddah-nya
adalah tiga quru’. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah ayat 228:
)٢٢٨: لبقرها(...والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء
Artinya: “Wanita-wanita hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….”27
Dalam hal ini, yang diperhitungkan batas waktunya dengan
tiga (3) quru’ (haid atau suci) hanyalah akibat dari perceraian
(talaq).28 Kata quru dalam kalimat di atas mempunyai dua arti, yaitu
suci dan haid. Masa suci yang dimaksud adalah antara dua masa
darah kotor, masa berakhirnya iddah dengan habisnya masa suci
yang ketiga.
26 Sayyid Sabiq alih bahasa Moh. Tholib, Fikih Sunnah, Jilid 8, Bandung: al- Ma’arif,
hlm.147. 27 Ibid, hlm. 55 28 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet. I, hlm. 370
23
Masa haid adalah apabila berakhir masa haid yang ketiga
habislah masa iddah-nya.29
3. Wanita yang ditalaq suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula haid
baik masih kecil atau sudah lanjut usia, maka iddahnya adalah tiga
bulan. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Thalaq: 4
لائي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن وال )٤: الطالق... (ثالثة أشهر واللائي لم يحضن
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid di
antara istri-istrimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa Iddahnya), maka Iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid…” (QS. At-Thalaq: 4).30
4. Wanita yang di cerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada iddah
baginya. Sebagaimana Firman Allah:
Hal ini diterangkan dalam firman Allah Surat al-Ahzab ayat 49:
طلقتموهن من قبل أن م حتم المؤمنات ثكيها الذين آمنوا إذانياأ )٤٩: االحزاب(...... من عدة تعتدونهاتمسوهن فما لكم عليهن
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya…” (QS.: al-Ahzab: 49)31
29 Ibid. 30 Drs. Hady Mufaat, Fikih Munakahat (Hukum Perkawinan Islam dan Beberapa
Permasalahannya), DUTA GRAFIKA, 1992, hlm. 229. 31 Departemen Agama RI, Loc.Cit, hlm. 675
24
B. Gambaran Umum Tentang Percampuran Syubhat (Wath’i Syubhat)
1. Pengertian Percampuran Syubhat (Wath’i Syubhat)
Wat’i berasal dari bahasa Arab الوطء masdar dari kata وطئ juga
bisa bermakna الجماع dimana kata tersebut mempunyai makna bersetubuh
atau bercampur.32
Sedang pengertian syubhat menurut Ensiklopedi Hukum Islam
adalah suatu sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak atau masih
mengandung kemungkinan benar atau salah.33
Menurut kamus istilah agama, pengertian syubhat ialah samar-
samar, yaitu perkara-perkara yang kurang atau tidak jelas hukumnya apakah
halal atau haram.34
Percampuran syubhat adalah percampuran tidak halal yang
pelakunya dimaafkan (karena ada kesyubhatan) dan tidak dijatuhi hukuman
baik wanita termasuk muhrim, semisal saudara perempuan istri.35
Atau dengan kata lain percampuran syubhat adalah mencampuri
seorang wanita yang sebenarnya tidak berhak dicampuri karena
ketidaktahuan pelakunya bahwa pasangannya itu tidak berhak untuk
dicampuri.
Yang dimaksud syubhat dalam wath’i syubhat ialah terjadinya
percampuran diluar pernikahan yang sah, disebabkan oleh sesuatu hal yang
dimaafkan oleh syar’i yang melepaskan nya dari hukuman had.
32 Ahmad Warsan Munawir, Op.Cit, hlm. 1672) 33 Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit, 34 M. Shodiq, Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bonaciptama, 1990, hlm. 327 35 M. Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzhabil Khamsah, terj. Masykur A.B. (et.al),
Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera, Cet. 5, 200, hlm. 473
25
2. Sebab terjadinya percampuran syubhat (wath’i syubhat).
Sebab- sebab yang dapat menyebabkan percampuran syubhat
(wath’i syubhat) salah satunya yaitu lampu mati dimana seorang suami
mengalami salah sangka dikarenakan ketidaktahuan nya terhadap wanita
lain yang bukan istrinya d suami tersebut baru mengetahui setelah terjadi
percampuran. Jadi salah persangkaan itulah yang menyebabkan terjadinya
wath’i syubhat Dimana suami menganggap yang dicampuri adalah istrinya.
Hal ini juga bisa dimungkinkan karena wanita tersebut mewakilkan
perkawinannya kepada wanita lain dan si laki- laki pun juga melakukan hal
yang sama. Sehingga setelah terjadinya akad keduanya melakukan
persetubuhan, karena menganggap bahwa perwakilan semata dapat
menghalalkan percampuran36.Atau salah persangkaan terjadi karena adanya
kemiripan antara istrinya dengan wanita yang dicampurinya tersebut. Dalam
masalah salah persangkaan ini berbeda dengan masalah zina.Wath’i syubhat
(percampuran syubhat) pelakunya dimaafkan dengan alasan salah
persangkaan. Namun dalam masalah zina, pelakunya mendapatkan
hukuman (had).
3. Pendapat para ulama’ tentang wath’i syubhat.
Para ulama’ berbeda-beda pandangan dalam memberikan keterangan
tentang wath’i syubhat (percampuran syubhat). Wath’i syubhat adalah suatu
perbuatan yang mana akibat dari perbuatannya tersebut si pelaku tidak
mendapat hukuman sebab adanya kesyubhatan itu sendiri.
36 Ibid, hlm. 367
26
Wath’i syubhat menurut As Syafi’i terbagi menjadi:
a. Syubhat fa’il بهة الفاعلش( )
Yaitu, persetubuhan yang terjadi antara seorang laki- laki dan
perempuan yang dianggap istrinya atau budaknya namun ternyata
bukan.
b. Syubhat Al Malik )شبهة الملك(
Yaitu persetubuhan yang terjadi antara seorang budak dengan
majikannya. Yang mana budak tersebut telah dibeli oleh majikan
tersebut namun keduanya.
c. Syubhat Thoriq )شبهة طريق(
Yaitu ketika seorang perempuan menikah yang menikah tanpa
adanya saksi dan wali, namun setelah terjadinya akad keduanya
melakukan persetubuhan karena menganggap nikahnya sah.
Sedangkan menurut Hanbali wath’i syubhat adalah persetubuhan
seorang budak dengan majikannya namun antara keduanya tidak jelas. Atau
persetubuhan yang terjadi dalam pernikahan yang nikahnya fasid.37
37 Abdur Rahman Al- Jaziri , Op,Cit. hlm. 112-115
27
BAB III
PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG KEWAJIBAN IDDAH
AKIBAT PERCAMPURAN SYUBHAT
A. Biografi Ibnu Abidin1
1. Silsilah keilmuan
Ibnu Abidin, nama lengkapnya adalah Muhammad Amin bin Umar
Ibn Abdul Aziz Abidin Dimasiqy. Ia dilahirkan pada tahun 1148 H dan wafat
pada tahun 1252 H. Ia merupakan ahli fiqih di Syam, pemuka golongan
Hanafiyah di masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh fiqih masa keenam
(668 H-akhir abad ke-13 H) yaitu masa pemerintahan Abdul Hamid I
(Dinasti Usmaniyah).
Muhammad Amin yang terkenal dengan nama Ibnu Abidin dalam
menulis kitab Radd al-Muhtar Syarah Tanwir al-Absar dalam keadaan
pergolakan politik yang tidak menentu, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri yang pada waktu itu terjadi peperangan antara Dinasti Usmaniyah dan
Bangsa Tartar.
Sejak kecil beliau sudah mengalami pendidikan agama secara
langsung dari ayahnya yang selanjutnya guru beliau, yaitu Umar bin Abdul
Aziz. Beliau menghapal Al-Qur'an pada usia yang masih sangat muda.
Ayahnya adalah seorang pedagang, sehingga Ibnu Abidin sering diajak
ayahnya untuk berdagang sekaligus dilatih berdagang oleh ayahnya.
1 Muhammad Samir bi Ibn Abidin, Radd al-Muhtar, Juz 1, Beirut: Dar al-Kitab al-
Alamiah, 1994, hlm. 53
28
Pada suatu hari, ketika beliau berdagang membaca Al-Qur'an
ditempat ayahnya berdagang, tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki dari
kalangan orang shaleh dan ia (orang shaleh itu) mengomentari bacaan Al-
Qur'an Ibnu Abidin dengan dua komentar, yang akhirnya menghantarkan
Ibnu Abidin menjadi ulama terkenal. Dua komentar tersebut adalah:
1. Dia (Ibnu Abidin) tidak tartil dalam membaca Al-Qur'an dan tidak
menggunakan tajwid sesuai dengan hukum-hukumnya.
2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan Al-
Qur'an karena kesibukannya dalam berdagang, jika tidak mendengar
bacaan Al-Qur'an tersebut maka mereka berdosa, begitu juga dengan
Ibnu Abidin berdosa karena membuat mereka berdosa tidak
mendengarkan bacaan Al-Qur'an
Maka bangkit lah Ibnu Abidin seketika dan langsung bertanya kepada
orang shaleh tadi tentang qiraah yang paling tersohor di zamannya. Maka
orang tadi menunjukkan seorang ahli qira’at saat itu, yaitu Syeikh al-
Hamawi, maka pergilah Ibnu Abidin kepadanya dan meminta agar diajari
ilmu tajwid dan hukum-hukum qiraati.
Sejak saat itu Ibnu Abidin tidak pernah meluangkan waktu kecuali
untuk belajar. Maka Imam al-Hamawi memerintahkan untuk menghapal al-
jauziyah dan Syapifibiyah kemudian ia belajar nahwu dan shorof dan tidak
ketinggalan fiqih. Saat itu ia pertama kali belajar fiqih adalah fiqih yang
bermazhab Syafi’i. Bermula dari seorang guru al-Hamawi itulah beliau
menjadi ulama yang sangat terkenal. Setelah ia menguasai dengan matang
29
ilmu tajwaid dan hukum qiraati serta ilmu fiqih terutama dari mazhab Syafi’i
pada Imam al-Hamawi, seorang ahli qiraati pada saat itu Ibnu Abidin tidak
berhenti sampai disitu saja, akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu dengan
belajar hadits, tafsir dan mantiq (logika) kepada seorang guru, yaitu Syaikh
Muhammad al-Salimi al-Mirri al-Aqd. Al-Alimi adalah seorang penghafal
hadits, dia menyarankan kepada Ibnu Abidin belajar fiqih Abu Hanifah. Ibnu
Abidin mengikuti nasehat itu dan mempelajari kitab-kitab fiqih dan ushul
fiqh mazhab Hanafi, ia terus menggali berbagai ilmu sampai menjadi tokoh
aliran saat itu. Tidak hanya sampai disitu, kemudian ia pergi ke Mesir dan
belajar pada Syaikh Al-Amr al-Mughni sebagaimana ia belajar kepada
Syeikh ahli hadits dari Syam, yaitu Syeikh Muhammad al-Kasbari, ia tak
henti-hentinya meraih keluasan dalam mengembangkan ilmu dengan
mengkaji dan mengarang sampai pada suatu ketika ia ditunjukkan kepada
suatu daerah, yaitu Bannan. Didaerah Bannan ini ia mendapatkan pelajaran
dari para tokoh ulama seperti Syeikh Abdul Mughni al-Madani, Ahmad
Affandi al-Istambuli dan lain-lain.
Dasar yang melatarbelakangi kemasyhuran Ibnu Abidin adalah
pendidikan yang keras dan disiplin dari orang tuanya, apalagi didukung oleh
sikap dan kemauannya yang sangat keras untuk menuntut ilmu agama pada
mereka dan didiskusikan dia lakukan dengan para ulama terkenal pada saat
itu, hal itulah yang akhirnya menjadikannya seorang tokoh ulama yang
sangat terkenal di masanya.
30
Beliau juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya, iffah
(wirai), alim dan taqwa dalam beribadah. Karena kedalaman ilmunya
terutama dalam bidang ilmu fiqih. Dan di dalam ilmu fiqih ini, ternyata ia
lebih cocok dengan fiqih mazhab Hanafi sehingga ia menjadi ulama
Hanafiyah yang sangat disegani.
Karena ketinggian ilmunya beliau banyak membuahkan karya-karya
ilmiah. Karangan-karangannya yang banyak dikoleksi oleh pustaka-pustaka
Islam di dunia. Karangannya dapat diterima diberbagai peradaban, karena
karangan-karangannya mempunyai keistimewaan dalam pembahasannya
secara mendalam. Keilmuan yang mendalam dan menampakkan kefasihan
bahasanya.
2. Karya-Karya Ibnu Abidin
Diantara karya-karya yang sampai kepada kita antara lain:
1. Kitab Fiqih
- Radd al-Muhtar Syarah addur al-Muhtar, kitab tersebut adalah
kitab yang terkenal. Kitab ini membahas tentang masalah-masalah
fiqih yang selanjutnya terkenal dengan nama Hasiyah Ibnu Abidin
- Raf Andar, dari karangan yang ditulis dari al-Halbi atas Syarah
Addur Muhtar
- Al-uqhud syarah tanfih al-Fatawa al-Hamidiyah Aduriyah
- Nasmat al-Ahzar syarah al-Manar
- Ar-Rahiq al-Mahtum, kitab ini menerangkan tentang faraid.
31
2. Kitab Tafsir
- Kitab Hawasyi ala al-Baidawi yang dalam hal ini terdapat hal-hal
yang tidak dijelaskan oleh para penafsir.
3. Kitab Hadits
Dalam karya ilmiahnya tentang hadits, beliau menulis kitab Uqud al-
Awali yang berisi sanad-sanad hadits yang bernilai tinggi.
Setelah kehidupannya yang membawa berbagai aktivitas luhur,
pengabdian yang mulia dan perjuangan yang sangat berarti bagi umat Islam
pada umumnya dan khususnya mazhab Hanafi beliau wafat di Damaskus
1252 H dengan meninggalkan warisan yang sangat berharga. Beliau
dimakamkan di pekuburan “Bab al-Saqir” Damaskus.2
B. Pendapat Ibnu Abidin Tentang Kewajiban Iddah Akibat Percampuran
Syubhat
Sebagaimana diterangkan dalam bab II bahwa perempuan yang di-
wath’i syubhat wajib untuk menjalani iddah. Karena iddah sendiri
mempunyai tujuan untuk mengetahui bersihnya rahim dan ta’abud. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ibnu Abidin tentang iddah wath’i syubhat:
3 .ث حيض ثال منهما اونكاح فاسد بشهة موطؤة وآذا..... “Dan seperti halnya wath’i syubhat (percampuran syubhat) atau nikah fasid mempunyai kewajiban untuk menjalankan iddah. Iddahnya adalah 3 (tiga) kali haid”
2 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar, Beirut Libanon Dar al-Fiqr, tth., hlm. 1-5 3 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar Juz V, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 1994, hlm. 183
32
Ini diambil dari suatu riwayat Abu Hanifah tentang wath’i syubhat
diceritakan dalam kitab al-Mabsuth bahwa ada seorang lelaki menikahkan
kedua anaknya pada dua orang perempuan. Kemudian kedua (2) perempuan
tersebut salah disetubuhi diantara kedua lelaki tersebut.4
Ulama sepakat bahwa laki-laki tersebut harus menjauhi istrinya
karena perempuan (istri) tersebut harus menjalani iddah agar ia bisa kembali
pada suaminya masing-masing.
حكا ية ا بى حنيفة في ا لمو طوءة بشبهةحكي في المبسو ط ان رجال زوج ابنيه بنتين فادخل النساء لطيفة
زوجة آل اخ على اخيه فاجاب العلماء بان آل واحد يجتنب التي لى جها واجاب ابو حنيفة رحمه اهللا تعا لتعود الى زواصابها وتعتد
زوجته ويعقد على بانه اذارضي آل واحد بموطءته يطلق آل واحد 5 نه صاحب العدةموطءته ويدخل عليها للحال ال
Abu Hanifah berkata: “Bahwa tiap-tiap dari lelaki tersebut jika sudah
rela terhadap perempuan (istri) yang salah disetubuhi, maka kedua
perempuan tersebut menjadi sah bagi suaminya, karena laki-laki tersebut
mempunyai hak untuk memberi masa tunggu bagi istrinya masing-masing.
Dari riwayat di atas, dapat dipahami bahwa percampuran syubhat
(wath’i syubhat) wajib untuk iddah agar si istri dapat kembali pada suaminya
dalam keadaan bersih.
Adapun masa iddah bagi perempuan yang di-wath’i secara syubhat,
kewajiban iddah-nya sama dengan perempuan yang nikahnya fasid, yaitu 3
(tiga) kali haid.
4 Ibid, hlm. 184 5 ibid
33
C. Metode Istimbath Hukum Ibnu Abidin
Dari keterangan di atas dapat dipahami, meski Ibnu Abidin tidak
menyebutkan secara jelas tentang metode istimbath hukum yang beliau
gunakan tetapi dalam menggali hukum atau beristimbath hukum terhadap
sesuatu yang tidak dijumpai nash hukumnya dalam Al-Qur'an maupun As-
Sunnah, Ibnu Abidin mengedepankan penyelesaian berdasarkan pemikiran
logika atau ra’yu. Namun dalam permasalahan ini beliau menggunakan
metode qiyas.
Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash
hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang
ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya
Seperti halnya ulama-ulama yang bermazhab Hanafiyah yang
dijadikan pedoman oleh pendiri mazhabnya adalah perkataan Imam Abu
Hanifah yang berbunyi:
معامالت بالثقة وفرارمن القبح والنظرفى اخذ حنيفة آالم ابىه امورهم بمضىله فاذالم بمض الناس ومااستقاموعليه وصلح علي
يتعامل السلمون به وآان يوصل الحديث المعروف له رجع الىمامادم القياس سانعاثم يرجع الذى اجمع عليه ثم يقيس عليه
6 . ستحسان ايهماآان اوثق رجع اليهالىاال
“Perkataan Imam Hanafi ialah mengambil yang kepercayaan dan lari dari keburukan, memperhatikan muamalah manusia dan apa yang telah mendatangkan maslahah bagi urusan-urusan mereka, ia menjalankan urusan-urusan atas qiyas, apabila qiyas tidak baik dilakukan ia melakukan dengan istihsan, selama dapat dilakukan iapun kembali pada ‘urf masyarakat muslim dan mengamalkan hadits yang telah terkenal dab disepakati (di ijma’) ulama. Kemudian ia mengqiyaskan sesuatu pada
6 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar Juz I, Op.Cit, hlm. 34.
34
hadits itu selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan, mana diantara keduanya yang lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”.
Sebagai murid dan juga pengikut Mazhab Hanafi Ibnu Abidin dalam
beristimbath tidak melenceng jauh dari yang dianut. Beliau dalam
mengambil istimbath hukum selalu berdasar pada apa yang menjadi dasar
metode istimbath Imam Abu Hanifah.
Dalam masalah istimbath hukum, Imam Hanafi pada dasarnya sama
dengan ulama-ulama yang lain. Dasar hukum istimbath Imam Hanafi yaitu:
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah kalam Allah semuanya. Semua ulama
menggunakan Al-Qur'an sebagai pegangan utama untuk mengambil
suatu hukum dan disitu pula keutuhan Al-Qur'an dalam kebenaran
yang benar-benar terpelihara. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
7إنا نحن نزلنا الذآر وإنا له لحافظون
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur'an dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9)
2. As Sunnah
As Sunnah merupakan dasar hukum yang kedua. As Sunnah
perlu dipergunakan karena segala perbuatan Nabi sesuai dengan Al-
7 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1998, hlm. 391
35
Qur'an dan jikalau tidak ada ayat Al-Qur'an maka sunahnya menjadi
penjelas Al-Qur'an, karena memang tidak didapat dalam Al-Qur'an8
Mengikuti sunnah Nabi adalah wajib, sesuai dengan firman
Allah:
قل أطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن الله ال يحب الكافرين
9 .)٣٢: ال عمران(
Artinya: “Katakanlah: Taatilah Allah dan rasulnya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali Imran: 32)
3. Aqwalus Sahabat (Fatwa-Fatwa Sahabat)
Imam Hanafi dalam memberikan hukum berdasarkan Al-
Qur'an dan Al-Hadits jika di dalam keduanya tidak ada, beliau
memberikan hukum didasarkan pada pendapat para sahabat. Karena
itu, ulama-ulama Hanafiah berpendapat: fatwa sahabat adalah
hujjah.10
4. Ijma’
Ijma menurut istilah diartikan sebagai kesepakatan seluruh
para mujtahid dikalangan umat Islam pada suatu masa setelah
Rasulullah SAW wafat atas hukum syara' mengenai suatu kejadian.11
8 Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqih Responsibilitas Tanggungjawab Muslim Dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani, 2000, Cet. ke-2, hlm. 52 9 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit, hlm. 80 10 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997, Cet. I, hlm. 198 11 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 56
36
5. Qiyas
Qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa
yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan illat hukumnya dari
kedua peristiwa itu.12
6. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik.
Istihsan menurut istilah adalah berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khofi
(samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnay
(pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan
memenangkan perpalingan ini.13
7. Urf (Adat Kebiasaan)
Adalah apa yang menjadi kebiasaan masayarakat dan
dijadikan jalannya terus menerus baik berupa perkataan maupun
perbuatan.14
Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Imam Hanafi
dengan ulama-ulama lainnya terletak pada kegemaran menyelami
suatu hukum. Mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang
merupakan tujuan utama disyariatkan nya suatu hukum.
12 Muhtar Yahya dan Fatchur Rohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Bandung: Al-Ma’arif, Cet. 1, hlm. 66 13 Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit, hlm. 110 14 Ibid, hlm. 123
37
Kaidah umum yang menjadi dasar pemikiran fiqhiyah Imam
Hanafi berdasarkan pernyataannya, yaitu:
فيه هلم اجداانىاخذت بكتاب اهللا اذا بكتاب اهللا اذا وجدته فم فاذالم اجد. اخذت بسنة رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم واالثار
اهللا عليه وسلم اخذت ى في آتاب اهللا والسنة رسول اهللا صلال اخرج من قولهم وادع من شئت بقول اصحابه من شئت
الشعب والحسن وابن ابراهيم االمرالى انتهىا قول غيرهم فاذ 15اجتهدوا آما ان اجتهدى بن المسيب علوسعيد نيسير
“Saya berpegang kepada kitab Allah (Al-Qur'an) apabila menemukannya. Jika saya tidak menemukannya saya berpegang kepada Sunnah dan Atsar. Jika saya tidak temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana saja yang sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada yang lainnya maka jika persoalan sampai pada Ibrahim al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Said Ibn al-Musayab, maka saya harus berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad”.
D. Aplikasi Metode Istinbath Ibnu Abidin Terhadap Pendapatnya Tentang
Wath’i Syubhat
Metode istinbath Ibnu Abidin yang digunakan dalam masalah
kewajiban iddah akibat percampuran syubhat adalah metode qiyas. Adapun
hukum iddah sebab wath’i syubhat jika dikorelasikan dengan rukun-rukun
qiyas maka perinciannya adalah sebagai berikut;
1. Asal
Ibnu Abidin mengambil dalil dalam Al-Qur’an, yaitu bahwa iddah
merupakan masa tunggu yang harus dijalani oleh wanita yang berpisah
15 Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, Cet. 1, hlm.
48
38
dengan suaminya, baik cerai mati atau talaq. Ibnu Abidin mempersamakan
iddah sebab wath’i syubhat dengan orang yang di-talaq (wanita
muthalaqah). Seperti diterangkan dalam surat Al-Baqarah; 228
قات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء وال يحل لهن أن يكتمن طلموال : البقره(ما خلق الله في أرحامهن إن آن يؤمن بالله واليوم الآخر
٢٢٨(
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir” (QS. al-Baqarah; 228).
2. Far’un
Far’un (cabang) disini adalah bagaimana iddah sebab wath’i
syubhat.
3. Illat
Sebab diwajibkan nya iddah seperti yang diambil dari mafhum
mukhalafah Al-Qur’an surat al-Baqarah 228 bahwa iddah wajib bagi
wanita yang di-talaq. Selain dalam al baqarah juga diterangkan dalam
surat al-Ahzab ayat 49.Dalam surat ini urgensi iddah tak lain adalah untuk
mengetahui kondisi rahim sebab telah terjadi percampuran. Sedangkan
surat al-Baqarah menyebutkan batas waktu pelaksanaan iddah yaitu,
selama tiga quru’ bagi perempuan yang masih haid.
Dan percampuran syubhat ini tidak disebut dalam al Qur’an, karena
dalam al-Qur’an hanya menyebutkan perpisahan karena talaq (yang jelas
karena adanya pernikahan), meninggal dunia.
39
4. Hukum
Hukum asal yang disebut dalam al Qur’an bahwa orang yang
berpisah dengan suaminya karena talaq harus menjalani iddah’ dengan
ketentuan telah di-dukhul (disetubuhi). Seperti yang telah disebut dalam
surat al-Ahzab ayat 49:
يا أيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن وهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها فمتعوهن وسرحوهن تمس
)٤٩: األحزاب (سراحا جميلاArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS. Al-Ahzab: 49).16
Dan batasan waktu iddah adalah tiga kali quru’ diterangkan dalam
surat al-Baqarah ayat 228.
16 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Op.Cit, hlm. 675
40
BAB IV
ANALISIS
A. Analisis Pendapat Ibnu Abidin Tentang Kewajiban Iddah Akibat
Percampuran Syubhat (wath’i syubhat)
Sebagaimana telah penulis uraikan dalam bab III, menurut Ibnu
Abidin bahwa iddah perempuan yang di-wath’i secara syubhat hukumnya
adalah wajib karena dengan iddah seorang perempuan tersebut yang telah di-
wath’i syubhat dapat kembali pada suaminya dalam keadaan yang bersih,
karena pada dasarnya iddah mempunyai tujuan, yaitu:)
1. Libara’ati rahim
2. Lita’abud
3. Menjaga nasab
Dengan menjalankan dari tujuan iddah tersebut seorang perempuan
bebas (bersih) dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari wath’i syubhat serta
untuk menjaga kelanggengan hubungan antara suami istri.1
Dalam Radd al-Muhtar diterangkan:
2 . ثالث حيض منهما اونكاح فاسد هة بشبوآذاموطؤة.....“……Dan seperti halnya wath’i syubhat (percampuran syubhat) atau nikah fasid keduanya wajib untuk menjalani iddah. Iddahnya adalah tiga kali haid”
1 Imam Kamaludin, Fath al-Qadir, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth., hlm.
115. 2 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994,
hlm. 183
41
Dari keterangan di atas jelas bahwa bagi perempuan yang di-wath’i
syubhat (dicampuri dengan syubhat) tanpa adanya akad ia tetap berkewajiban
untuk menjalankan iddah. Menurut Ibnu Abidin iddah-nya perempuan yang
di-wath’i syubhat adalah sama dengan iddah sebab nikah fasid. Iddah-nya
yaitu 3 (tiga) kali haid, apabila perempuan tersebut tidak haid dan tidak hamil
maka iddah-nya adalah 3 (tiga) bulan.
Mengenai kewajiban iddah ini adalah ada perbedaan dari beberapa
golongan Hanabilah mengatakan yang menyebabkan adanya iddah adalah
karena adanya suatu persetubuhan (percampuran) apapun itu bentuknya.3
Menurut Abi Yahya Zakariya al-Anshori yang merupakan ulama dari
golongan Syafi’iah berpendapat bahwa iddah wajib bagi perempuan yang
dicampuri secara syubhat (wath’i syubhat) atau bagi perempuan yang pisah
karena cerai baik talak ataupun fasakh maupun fasakh karena li’an.4
Sedangkan menurut ulama Imamiyah berpendapat iddah bagi wanita
yang dicampuri karena syubhat sama dengan iddah wanita yang ditalak.
Pendapat Ibnu Abidin ada sedikit perbedaan dengan pendapat dari
golongan ulama Hanabilah mengatakan iddah itu wajib karena adanya suatu
persetubuhan (percampuran), sedangkan Ibnu Abidin berpendapat bahwa
iddah akibat percampuran syubhat wajib karena menurut beliau sama dengan
wanita muthalaqah. Dari kedua pendapat tersebut jelas ada perbedaan
mengenai wajibnya iddah sebab wath’i syubhat.
3 M. Jawab Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera, 2006, hlm. 473 4 Abi Yahya Zakariya, Fath al-Wahab; Syarah Minhaj at-thulab, Juz 1, Jeddah: Al-
Haramain, tth., hlm. 103
42
Menurut ulama Hanabilah mengatakan iddah wajib karena adanya
suatu persetubuhan. Jika dicermati akibat wath’i syubhat seorang perempuan
wajib iddah meskipun percampuran tersebut tanpa adanya akad.
Berdasarkan dari pendapat di atas, persetubuhan secara syubhat dalam
hal ini yang disebabkan karena salah persangkaan. Maka iddah yang
mempunyai tujuan untuk mengetahui bersihnya rahim, sebagai ibadah dan
menjaga nasab hukumnya adalah wajib. Dalam iddah wath’i syubhat berbeda
dengan iddah karena zina. Dilihat dari cara percampuran nya kalau wath’i
syubhat, terjadinya percampuran nya karena salah persangkaan dimana
antara laki-laki dan perempuan tersebut adalah pasangan yang sah.
Sedangkan kalau zina kadang sebelumnya sudah ada kesepakatan atau suka
sama suka namun mereka sadar kalau laki-laki dan perempuan tersebut tidak
ada yang menghalalkan persetubuhan tersebut. Bagaimana juga wanita yang
di-wath’i syubhat tersebut sudah pernah di-dukhul, ini berarti rahim
perempuan tersebut sudah pernah diisi oleh laki-laki yang pernah
mencampurinya. Dengan demikian iddah yang bertujuan untuk mengetahui
kondisi rahim sangat diperlukan apakah nantinya rahim tersebut berubah atau
tidak.
Tapi yang difatwakan oleh Ibnu Abidin alasan diwajibkan nya iddah
bagi wanita yang di-wath’i syubhat sama dengan iddah-nya wanita yang
nikah fasid, sebenarnya dalam hal ini ada yang perlu dipertanyakan.
Pertama, dalam nikah fasid jelas telah terjadi akad tapi dalam pernikahan ini
ada syarat nya saja yang berkurang atau tidak lengkap.
43
Kedua, percampuran syubhat (wath’i syubhat), wanita yang di- wath’i
syubhat sebelumnya belum pernah terjadi akad. Terjadinya percampuran
karena salah persangkaan. Sehingga menurut penulis hal ini jelas berbeda
dengan nikah fasid. Wath’i syubhat justru hampir sama dengan zina, hanya
saja wath’i syubhat pelakunya dimaafkan karena alasan salah persangkaan.
Dalam hal wath’i syubhat yang terjadi akibat salah persangkaan
dalam mencampuri pasangannya dimana sebelumnya tidak ada akad apapun,
jika si perempuan harus iddah sebagai kewajiban agar bisa kembali kepada
suaminya jika dikondisikan dengan zaman sekarang sepertinya kurang tepat.
Mengapa? Dimasa sekarang teknologi semakin canggih sehingga bila iddah
hanya bertujuan untuk mengetahui kondisi rahim tidak harus menunggu
selama tiga kali haid. Dan tiga bulan jika tidak haid dan tidak hamil karena
hanya dengan menunggu beberapa jam saja kondisi rahim dapat
teridentifikasi apakah hamil atau tidak. Tapi jika dilihat tujuan iddah selain
libara atu rahim atau lita’abbudi (beribadah kepada Allah) dan menjaga
nasab serta kehormatan terhadap suami, maka hukumnya adalah wajib.
Namun dalam hal seperti ini fuqaha sering menggunakan dalil
teologis lita’abbudi (sebagai amal ibadah).5 Apabila menemui permasalahan
yang secara rasional dapat dipatahkan argumentasinya. Para fuqaha beralasan
bahwa iddah merupakan perintah Allah yang didasarkan pada Al-Qur'an dan
hadits, sehingga perintah-perintah tersebut harus dijalankan bagi orang yang
mampu atau terkena beban untuk menjalankannya (mukallaf), yaitu
5 Ali Ahmad al-Jurjawl, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, tth., hlm.
55
44
perempuan yang bercerai dengan suaminya, bentuk dan perbuatan seperti
inilah yang disebut dengan ibadah.
Dalam Al-Qur'an dan hadits mengenai kewajiban iddah akibat wath’i
syubhat tidak diterangkan secara detail dalam Al-Qur'an. Dijelaskan bahwa
iddah adalah wajib, yaitu dalam firman Allah:
6 ....قات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروءلطمالو
Artinya: “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menuggu) tiga kali quru’.....” (QS. Al-Baqarah: 228)
Jika dilihat dari aspek masalahnya penulis setuju dengan pendapat
Ibnu Abidin. Pemberlakuan iddah bagi wanita yang di-wath’i syubhat untuk
mengetahui kondisi rahim (libara ati rahim) agar bisa kembali pada
suaminya serta menjaga kehormatan suaminya adalah wajib.
Pada dasarnya diwajibkan nya iddah pada perempuan didalamnya
terkandung hikmah bagi yang menjalankannya. Adapun hikmah iddah7
antara lain yaitu:
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan sehingga
tidak bercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain.
2. Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali
kepada kehidupan semula jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpun
orang-orang yang arif, mengkaji masalahnya dan memberikan tempo
berpikir panjang. Jika tidak diberikan kesempatan demikian, maka tak
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1998, hlm. 55
7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terj., Bandung: Al-Ma’arif, 1978, hlm. 151
45
ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun dan
sebentar lagi dirusak.
4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri
sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
Karena itulah penulis setuju dengan pendapat Ibnu Abidin, bahwa
iddah bagi wanita yang wath’i syubhat adalah wajib jika dimaksudkan untuk
mengetahui kondisi rahim wanita tersebut. Hal ini ditujukan untuk
menghindari percampuran hubungan nasab. Karena bagaimanapun juga
sebuah perkawinan terbangun atas keadaan saling jujur.
Dalam kasus wanita yang di-wath’i syubhat seorang wanita harus
menjalani iddah dimana dengan iddah-nya tersebut bisa kembali pada
suaminya sebagaimana membangun kembali suatu pernikahan yang suci.
Meskipun kasus seperti ini kewajiban iddah-nya tidak dijelaskan secara
detail dalam Al-Qur'an dan hadits.
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang Kewajiban
Iddah Akibat Percampuran Syubhat (wath’i syubhat)
Ibnu Abidin sebagai salah satu ulama penganut Mazhab Hanafiah
dalam menentukan suatu hukum terhadap suatu permasalahan secara tidak
langsung beliau mengikuti pendiri mazhabnya, yaitu Imam Abu Hanifah
yang mana Abu Hanifah dikenal dengan ahlu ra’yu.
Untuk memahami pendapat Ibnu Abidin tentang kewajiban iddah
akibat percampuran syubhat (wath’i syubhat) tanpa mengetahui metode
istinbath sangat tidak mungkin karena bagaimanapun suatu pemikiran atau
46
pendapat muncul sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi dan lingkungan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa dasar atau metode istinbath hukum
yang digunakan Ibnu Abidin sama dalam menentukan hukum pada umumnya
menggunakan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Al-Qur'an
2. As-Sunnah
3. Fatwa-Fatwa Sahabat (Aqwalus Shahabi)
4. Ijma’
5. Qiyas
6. Istihsan
7. ‘Urf 8
Ibnu Abidin sepakat bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits merupakan
syari’at yang diturunkan oleh Allah di bumi ini, dan Allah memberi hukum
(syari).9
Abu Hanifah dalam menggunakan As-Sunnah jika yang
meriwayatkan adalah orang kepercayaan dan meletakkan hadits-hadits ahad
sesudah Al-Qur'an, apabila hadits-hadits ahad berlawanan dengan kaidah
umum yang telah di-ijmai ulama maka beliau menolaknya.10
Ulama Hanafiah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat
Islam untuk mengikutinya. Jika ada suatu permasalahan beberapa pendapat
sahabat, maka beliau mengambil salah satunya. Jika tidak ada pendapat
8 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar Juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 1994, hlm. 34-35 9 Al-Qur’an surat 6: 47 10 Hasbi As Shiddiqiy, Op.Cit, hlm. 149
47
sahabat pada suatu masalah tersebut, beliau berijtihad.11 Tidak mengikuti
para pendapat tabi’in. Dalam hal ini para ulama Hanafiyah berbeda-beda
pendapat, ada yang mengatakan bahwa Abu Hanifah mendahulukan fatwa
sahabi atas qiyas dan ada yang menyatakan Abu Hanifah mendahulukan
qiyas atas fatwa shabi. Namun Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa
beliau mendahulukan fatwa sahabi atas qiyas.
Menurut ulama Hanafiyah Abu Hanifah menetapkan bahwa ijma
adalah hujjah. Ulama Hanafiyah menerima ijma qauli dan ijma sukuti. Abu
Hanifah mengambil hukum yang sudah di ijma oleh semua mustahidin,
beliau tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama Kuffah
sehingga ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma adalah salah satu dari
hujjah agama dan tidak membeda-bedakan antara macam-macam ijma.
Hujjah ijma dalam golongan ini merupakan hujjah qath’iyyah.12
Jika semua metode di atas ditempuh, belum juga menemukan suatu
ketetapan hukum maka Abu Hanifah menggunakan qiyas.
Qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menyamakan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah
ada nashnya karena adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa
tersebut.13
Definisi qiyas menurut al-Qadhi Abu Bakar adalah:
11 Ibid. 12 Ibid, hlm. 152 13 Muhtar yahya dan Fathur Rohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
Bandung: Alo-Ma’arif, 1993, hlm. 66
48
اثبات حكم لهمااونفيه عنهمابامرجامع معلوم فى لوم علىعحمل م 14.ونفيهماعنهم اوصفةابينهمامن اثياث حكم
“Membawa suatu yang maklum (sebagai hukum cabang), kepada suatu yang maklum (hukum asal) untuk menetapkan hukum keduanya atau meniadakan hukum keduanya dengan perkara yang mengumpulkan antara keduanya berupa penetapan hukum suatu sifat tidak adanya penetapan hukum atau sifat tersebut”
Metodologi qiyas Imam Hanifah tidak berbeda dengan Imam Malik,
hanya saja konsep istihsannya berlainan. Abu Hanifah melakukan istihsan
dengan mengalihkan furu’ pada asal yang lainnya. Illat-nya lemah tapi hasil
hukumnya lebih baik. Abu Hanifah mengistimbatkan dari hadits yang ada
dan dari nash Al-Qur'an, berbagai macam illat hukum kemudian menta’rif-
kan cabang-cabang hukum bagi masalah-masalah yang tidak diperoleh nash.
Dalam menggunakan qiyas ada beberapa rukun yang harus dipenuhi,
yaitu:15
1. Asal (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang
dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal juga disebut dengan maqis
‘alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan) atau mahmul ‘alaih
(tempat membandingkan) atau musyabbah bih.
2. Faru’ (cabang) yaitu peristiwa yang ada nashnya dan peristiwa itulah
yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia
juga disebut maqis (yang diqiyaskan) dan musyabbah (yang
diserupakan)
14 Fahrudin al-Razi, Al-Mahsul fi al-‘Ilma al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub, Juz II, hlm. 443 15 Muhtar yahya dan Fathur Rohman, Op.Cit, hlm. 78-79
49
3. Hukum yang sudah ada di dalam asal, yaitu hukum syara' yang
ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum
itu kepada cabangnya.
4. Illat, adalah suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang asal, yang
karena adanya sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu
hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka
disamakan hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang asal.
Kedua rukun, yaitu asal dan cabang (faru’) adalah dua hal peristiwa
yang sudah ditunjuk, dan karenanya hendak dicari hukumnya. Keduanya
tidak memerlukan syarat-syarat selain yang asal sudah mempunyai hukum
baik yang ditetapkan oleh nash, maupun oleh ijma’ dan tidak ada penghalang
untuk menyamakan hukum keduanya.
Sedangkan rukun qiyas yang ketiga, yakni asal, disyaratkan harus
memenuhi beberapa syarat, sebab tidak semua hukum syara' yang telah
ditetapkan oleh nash terhadap suatu peristiwa dapat dipergunakan untuk
menetapkan hukum lewat qiyas kepada peristiwa yang lain.
Syarat-syara' asal yaitu:
a. Berupa hukum syara' amali (pekerjaan para mukalaf) yang ditetapkan
oleh nash. Hukum syara' amali yang ditetapkan dengan qiyas, maka
illat cabang itu sama dan hukum yang diberikan oleh qiyas adalah
hukum peristiwa yang mempunyai nash dan jika illat-nya tidak sama,
maka tidak salah menyamakan hukumnya.
50
b. Hukum asal illat-nya dapat dijangkau oleh akal. Jika akal tidak dapat
menjangkau materinya maka tidak dapat menjangkau cabang kepada
asal dengan perantaraan qiyas. Karena asas qiyas adalah menemukan
illat hukum asal dan mendapatkan perwujudan illat pada cabang.
c. Hukum asalnya tidak dikhususkan untuk sesuatu. Dengan demikian
halnya maka tidak dapat dipergunakan untuk yang lain dengan jalan
mengqiyaskan hukum asal itu dikhususkan untuk sesuatu bila berada
dalam dua keadaan, yaitu:
1. Bila illat hukumnya tidak terdapat pada selain yang asal
2. Bila ada dalil yang mengkhususkan hukum asal
Rukun qiyas yang keempat adalah illat. Rukun ini merupakan rukun
yang terpenting dari rukun-rukun qiyas. Sebab illat qiyas merupakan asasnya
dan pembatasan nya merupakan pembahasan yang terpenting dalam
pembahasan qiyas.
Illat menurut ulama fiqih adalah suatu sifat yang berfungsi sebagai
pengenal bagi suatu hukum. Sebagai pengenal suatu hukum, apabila terdapat
pada suatu kasus, maka hukum pun ada. Syarat-syarat illat ada 4 yaitu:16
a. Illat merupakan sifat yang jelas yaitu bersifat material yang bisa
dijangkau oleh panca indera yang lahir
b. Illat harus bersifat sudah pasti (mudzabit) yaitu tertentu dan terbatas,
dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan membatasi atau
karena terdapat perbedaan
16 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 102
51
c. Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum. Artinya
illat itu menurut dugaan keras adalah cocok dengan hikmah
hukumnya.
d. Illat bukan hanya terdapat pada asalnya saja, yaitu bahwa illat harus
berupa sifat yang dapat diwujudkan pada beberapa individu dan bisa
dihadapi pada selain asal.
Metode istinbath hukum setelah qiyas yang digunakan Abu Hanifah
adalah istihsan. adapun yang dimaksud dengan istihsan menurut bahasa
adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh
istihsan adalah berpalingnya seseorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang
nyata kepada tuntutan qiyas yang samar atau dari hukum yang umum kepada
hukum pengecualian ada dalil yang menyebabkan ia mencela akalnya dan
memenangkan perpalingan ini.17 Dan juga istihsan adalah bentuk ijtihad bi
al-ra’yi yang lebih maju, yang muncul tidak lain adalah disebabkan desakan
perkembangan sosial.18
Dari definisi di atas, istihsan terbagi menjadi dua macam, yaitu:
pentarjihan qiyas yang tersembunyi atas qiyas yang nyata karena adanya
suatu dalil dan pengecualian kasuistik dari suatu hukum umum dengan
adanya suatu dalil.19
Metode terakhir yang digunakan oleh abu hanifah adalah urf’. Abu
Hanifah menggunakan qiyas atau istihsan jika tidak ada nash. Apabila tidak
17 Ibid, hlm. 110 18 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Al- Ahkam Semarang, Fakultas
Syari’ah, 1991, hlm. 4 19 Ibid.
52
dapat dijalankan qiyas atau istihsan dan Abu Hanifah memperhatikan urf’
manusia. Beliau menggunakan urf’ jika tidak ada nash.
Mengenai pendapat Ibnu Abidin dalam masalah Iddah wath’i syubhat
menurut beliau hukumnya adalah wajib karena jelas mempunyai tujuan untuk
mengetahui kondisi rahim dan menjaga rahim. Dari pendapat tersebut
metode istinbath beliau tidak jelas apa yang digunakan. Memang benar
bahwa iddah itu wajib karena adanya dukhul para imam mujtahid dari
golongan Syafi’iyah, Hanabilah dan Malikiyah bersepakat terhadap hal ini.
Karena perintahnya dalam nash jelas adanya. Tapi dalam peristiwa wanita
yang di-wath’i syubhat maka perintah nash tidak ada yang mewajibkan
iddah.
Menurut analisis penulis, cara istinbath hukum yang diambil Ibnu
Abidin dalam masalah ini adalah qiyas, yaitu sebuah metode istinbath
dengan jalan menyamakan suatu kejadian lain yang ada nashnya pada nash
hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara kedua
kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya20 dimana iddah-nya
wanita yang di wath’i syubhat.
Dalam hal iddah wath’i syubhat ini Ibnu Abidin mengqiyaskan
dengan iddah nikah fasid seperti yang diterangkan dalam kitabnya yaitu pada
kalimat طؤءة بشبهة او نكاح فاسد مووآذا dari kalimat tersebut dapat dipahami
bahwa kalimat wath’i syubhat diqiyaskan dengan nikah fasid. Sehingga jelas
20 Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.
53
hukum asalnya disini adalah nikah fasid dan far’unnya adalah wath’i
syubhat.
Sama halnya iddah wanita yang nikah fasid. Nikah fasid sendiri harus
cerai dan yang menceraikan adalah pengadilan sehingga disini jelas dalam
Al-Qur'an diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 228:
21 ....قات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروءلطمالوArtinya: Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri
(menuggu) tiga kali quru’..... (QS. Al-Baqarah: 228)
Seorang perempuan yang ditalak mempunyai kewajiban untuk iddah.
Ayat di atas jelas menerangkan kewajiban untuk iddah. Iddahnya adalah tiga
kali quru’.
Jadi, menurut hemat penulis iddah akibat wath’i syubhat hukumnya
adalah wajib karena dengan iddah seorang perempuan dapat diketahui
kondisi rahimnya, meskipun untuk saat ini untuk mengetahui kondisi rahim
bisa diketahui dengan waktu yang sangat singkat tanpa harus menunggu 3
kali quru’ sehingga penghormatan suami dan lita’abuddi nya terlaksana.
Iddah wanita yang di wath’i syubhat ini diqiyaskan dengan nikah fasid (nikah
yang rusak). Namun dalam hal ini ada kritik jika nikah fasid ada akad tetapi
jika wath’i syubhat tidak ada akad. Dengan diwajibkannya iddah ini dalam
pernikahan antara suami dan istri yang telah melakukan wath’i syubhat dapat
terbangun kembali tanpa ada cacat.
21 Depag RI., Loc.Cit, hlm. 55
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mengkaji dan meneliti tentang iddah akibat wath’i
syubhat (percampuran syubhat) yang telah dipaparkan dari bab I sampai bab
IV serta menganalisa maka disimpulkan bahwa:
1. Menurut pendapat Ibnu Abidin bahwa akibat percampuran syubhat
(wath’i syubhat) hukumnya adalah wajib. Dimana dalam hal iddah ini
Ibnu Abidin menyamakan dengan iddah-nya wanita yang ditalak.
Dalam kitabnya beliau berkata:
. وآذاموطؤةبشهةاوتكاح فاسدةمنهماثالث حيض.....
“……Wath’i syubhat (percampuran syubhat) atau nikah fasid keduanya wajib untuk menjalani iddah. Iddah-nya adalah tiga kali haid”
Maka jelas dari keterangan tersebut seorang wanita yang wath’i syubhat
diwajibkan untuk iddah dengan tujuan libara’atu rahim sehingga
dengan mengetahui kondisi rahim apakah bersih atau ada isinya seorang
wanita dapat kembali pada suami dalam keadaan yang bersih. Jika
dimungkinkan hamil maka nasabnya akan jelas tidak tercampur dengan
benih orang lain. Dengan diwajibkan iddah ini selain untuk mengetahui
kondisi rahim juga sebagai bentuk ibadah seseorang terhadap
penciptanya, sehingga perempuan tersebut bisa bebas dari akibat-akibat
yang ditimbulkan dari wath’i syubhat.
55
2. Istimbath hukum Ibnu Abidin yang digunakan dalam masalah iddah
akibat wath’i syubhat menggunakan qiyas, karena permasalahan ini
tidak diterangkan secara jelas dalam Al-Qur'an dan Hadits, sedangkan
iddah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang wanita.
Juga sebagai bentuk ta’abud kepada Allah.
Adapun rukun dan syaratnya qiyas adalah sebagai berikut; a) asal, b).
far’un, c). illat, d). hukum. Iddah akibat wath’i syubhat ini diqiyaskan
dengan iddah sebab nikah fasid.
B. Saran
Bagaimanapun dan apapun pendapat dari seorang ulama fiqih atau
seorang mujtahid layak menjadi pertimbangan dan perlu menjadi
perbendaharaan dalam hasanah hukum Islam sehingga kita tidak terjebak
pada sikap ta’asub (fanatik) pada satu mazhab.
Oleh sebab itu rasionalitas hukum Islam sangat diperlukan sebagai
fiqih alternatif dan hasanah fiqih yang sudah ada, karena pada dasarnya fiqih
bersifat relatif dab cenderung mengalami perubahan sesuai dengan keadaan
zaman dan budaya syara’ atau syari’at yang bersifat universal dan abadi.
Rasionalisasi hukum Islam berarti mempunyai makna ganda. Di satu
sisi menolak interpretasi Islam yang tidak relevan lagi dengan perkembangan
zaman, sedangkan disisi lain harus dilakukan sebagai upaya penafsiran Islam
yang baru.
Adapun upaya rasionalisasi hukum haruslah diikuti dengan
pengkajian kembali tradisi Islam, satu-satunya jalan yang mungkin untuk
56
kembali terhadap asal-usul dan keseluruhan tradisi Islam, dengan cara
dimana Al-Qur'an dan sunnah Rasul dipelajari, ditangani dan ditafsirkan.
C. Penutup
Alhamdulillah, berkat rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, akhirnya
penyusun dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penyusun berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi diri pribadi
penyusun khususnya, dan para pembaca pada umumnya.
Penyusun sadar sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata semoga Allah SWT senantiasa memberikan jalan yang
lurus sebagai petunjuk agar kita semua selalu dalam ridha-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Ibnu, Radd al-Muhtar, Juz V, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 1994.
Al-Hamdani, Said Thalib, penerjemah Agus Salim, Risalatun Nikah, Jakarta; Pustaka Amani, 1989.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab Fiqih Empat Mazhab, Juz IV, Beirut: Libanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1410.
Al-Jurjawl, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
al-Razi, Fahrudin, Al-Mahsul fi al-‘Ilma al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub, Juz II.
Amin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998.
As Shiddiqiy, Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab, Jilid 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
_______, Tengku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, Cet. I.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, cet. I, 1999.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah), PT. Bulan Bintang, Jakarta, cet. I, 1988.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet. I.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Toha Putra, 1998.
Dirjen Binbaga Depag RI, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984/ 1985.
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Al- Ahkam Semarang, Fakultas Syari’ah, 1991.
Ghofar, M. Abdul, Fiqih Wanita, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, cet. ke-2, 2006.
Hasyim, Syafiq, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, Mizan, Bandung , 2001.
Humaedillah, Memed, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Gema Insani, Jakarta, 2002, cet. I.
IAIN Jakarta, Ilmu Fiqh, Departemen Agama, Jakarta, cet. ke-2, 1985.
Ibn Abidin, Muhammad Samir, Radd al-Muhtar, Juz 1, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiah, 1994.
Ibn Anas, Imam Malik, Al-Muwaththa’, Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1990.
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender menurut Tafsir al-Sya’rawi, Jakarta: Teraju, 2004, cet. I.
Kamaludin, Imam, Fath al-Qadir, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Fiqih Responsibilitas Tanggungjawab Muslim Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000, Cet. ke-2.
Mantra, Ida Bagoes, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Mufaat, Hady, Fikih Munakahat (Hukum Perkawinan Islam dan Beberapa Permasalahannya), DUTA GRAFIKA, 1992.
Mughniyah, M. Jawad, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzhabil Khamsah, terj. Masykur A.B. (et.al), Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera, Cet. 5, 2000.
Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2002.
Muhtar Yahya dan Fathur Rohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung: Alo-Ma’arif, 1993.
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Al-Munawir, tth.
Muslim, Imam Abi Al-Husain, Shahih Muslim, Juz II, Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiah, 1992.
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993.
Rawuas, Muhammad, Mausu’ah Fiqhi Umar Ibnil Khattab RA., Terj. M. Abdul Mujieb AS (et.al), Ensiklopedi Fiqih umar bin Khattab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. ke-6, 2003
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, Cet. 1.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Terj., Bandung: Al-Ma’arif, 1978.
_______, Fiqih Sunnah, Juz II, tth., Dar al-Fiqr, 1992.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shodiq, M., Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bonaciptama, 1990.
Subagyo, Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Undang-Undang Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005.
Wilcox, Lynn, Women and The Holy Qur’an, terj. DICTIA “Wanita dan al-Qur’an dalam Perspektif Sufi”, Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, cet. I.
Zakariya, Abi Yahya, Fath al-Wahab; Syarah Minhaj at-thulab, Juz 1, Jeddah: Al-Haramain, tth.
Zed, Mustika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.