spermatogenesis fisrep

38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem reproduksi tidak bertujuan untuk survival individu, tetapi diperlukan untuk survival species dan berdampak pada kehidupan seseorang. Hanya melalui sistem reproduksi, blueprint genetik kompleks setiap spesies dapat bertahan di dunia ini. Kemampuan reproduksi tergantung pada hubungan antara hypothalamus, hipofisis bagian anterior, organ reproduksi, dan sel target hormon. Sistem reproduksi meliputi kelenjar (gonad) dan saluran reproduksi. Organ reproduksi primer atau gonad terdiri dari sepasang testes pada pria dan sepasang ovarium pada wanita. Gonad yang matur berfungsi menghasilkan gamet (gametogenesis) dan menghasilkan hormon seks, khususnya testosteron pada pria dan estrogen serta progesteron pada wanita. Karakteristik seksual sekunder tidak secara langsung tampak dalam sistem reproduksi, tetapi merupakan karakteristik eksternal yang membedakan pria dan wanita, seperti konfigurasi tubuh dan distribusi rambut. Sebagai contoh, pada manusia, pria memiliki bahu yang lebih lebar daripada wanita, sedangkan wanita memiliki pinggul yang besar dan pria memiliki jenggot, sedangkan wanita tidak. Testosteron pada pria dan estrogen pada wanita bertanggung jawab untuk perkembangan karakteristik ini. Pada pria, terbentuknya sel sperma disebut dengan spermatogenesis. Proses spermatogenesis dipengaruhi pada

Upload: auwardani

Post on 06-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

biologi

TRANSCRIPT

Page 1: Spermatogenesis Fisrep

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem reproduksi tidak bertujuan untuk survival individu, tetapi diperlukan untuk

survival species dan berdampak pada kehidupan seseorang. Hanya melalui sistem

reproduksi, blueprint genetik kompleks setiap spesies dapat bertahan di dunia ini.

Kemampuan reproduksi tergantung pada hubungan antara hypothalamus, hipofisis bagian

anterior, organ reproduksi, dan sel target hormon. Sistem reproduksi meliputi kelenjar

(gonad) dan saluran reproduksi. Organ reproduksi primer atau gonad terdiri dari sepasang

testes pada pria dan sepasang ovarium pada wanita. Gonad yang matur berfungsi

menghasilkan gamet (gametogenesis) dan menghasilkan hormon seks, khususnya

testosteron pada pria dan estrogen serta progesteron pada wanita.

Karakteristik seksual sekunder tidak secara langsung tampak dalam sistem reproduksi,

tetapi merupakan karakteristik eksternal yang membedakan pria dan wanita, seperti

konfigurasi tubuh dan distribusi rambut. Sebagai contoh, pada manusia, pria memiliki

bahu yang lebih lebar daripada wanita, sedangkan wanita memiliki pinggul yang besar dan

pria memiliki jenggot, sedangkan wanita tidak. Testosteron pada pria dan estrogen pada

wanita bertanggung jawab untuk perkembangan karakteristik ini.

Pada pria, terbentuknya sel sperma disebut dengan spermatogenesis. Proses

spermatogenesis dipengaruhi pada kerja Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan

Luteinizing Hormone (LH) yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri.

Luteinizing Hormone (LH) bekerja pada sel-sel interstisial atau sel Leydig, yang

merangsang pembentukan testosteron yang diperlukan untuk perkembangan normal sel

dari keturunan spermatogenik. Follicle Stimulating Hormone (FSH) diketahui bekerja

pada sel Sertoli yang merangsang spermatogenesis dan memudahkan sintesis dan sekresi

protein pengikat androgen (Junqueira, 2007).

B. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan mengenai bagian-bagian dari sistem reproduksi pria, yaitu testis.

2. Menjelaskan mengenai proses spermatogenesis

3. Menjelaskan mengenai hasil spermatogenesis pada kondisi konstan dan tingkat

karakteristik untuk setiap spesies.

4. Menjelaskan mengenai putaran spermatogenesis diawali waktu interval yang konstan

dan karakteristik untuk masing-masing spesies.

Page 2: Spermatogenesis Fisrep

5. Menjelaskan mengenai spermatogenesis pada wilayah berdampingan sepanjang

tubulus seminiferus tampak sebagai fase yang dipercepat atau diperlambat.

C. Manfaat Penulisan

1. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai sistem reproduksi dan kaitannya

dengan pengaturan hormon dalam proses spermatogenesis.

2. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai tahapan dalam spermatogenesis.

Page 3: Spermatogenesis Fisrep

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Testis Terbagi Menjadi Dua Bagian

Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dan sedikit gepeng. Testis terletak

dalam skrotum dan dikelilingi oleh simpai tebal jaringan ikat kolagen, yaitu tunika

albuginea. Tunika albuginea menebal pada permukaan posterior testis dan membentuk

mediastinum testis, yaitu tempat penjuluran yang membagi kelenjar menjadi sekitar 250

kompartemen piramid yang disebut lobulus testis. Setiap lobulus dihuni oleh 1-4 tubulus

seminiferus. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut

tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum saat testis masih berada dalam

rongga abdomen. Sedangkan permukaan posterior menjadi tempat masuknya pembuluh

darah, pembuluh limfe, dan saraf. Skrotum memiliki peran penting dalam memelihara

testis pada suhu di bawah suhu intra abdomen, yaitu sekitar 4°C-7°C (Manika, 1991).

Testis merupakan organ yang berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa dan

menghasilkan hormon (testosteron). Sekitar 80%, testis terdiri dari tubulus seminiferus

yang berkelak-kelok, yang di dalamnya berlangsung spermatogenesis. Tubulus yang

berkelak-kelok dalam lobulus semua duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk

ke dalam epididimis (Heffner, 2008). Tubulus seminiferus merupakan tempat terjadinya

spermatogenesis. Tubulus seminiferus di kelilingi oleh membran basal. Di dekat membran

basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa. Epitel yang mengandung

spermatozoa yang sedang berkembang disepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau

epitel germinal. Pada potongan melintang testis, spermatosit dalam tubulus berada dalam

berbagai tahap pematangan. Di antara spermatosit terdapat sel Sertoli. Sel ini berperan

secara metabolik dan struktural untuk menjaga spermatozoa yang sedang berkembang. Sel

Sertoli memfagosit sitoplasma spermatid yang telah dikeluarkan. Sel ini juga berfungsi

pada proses aromatisasi prekursor androgen menjadi estrogen, suatu produk yang

menghasilkan pengaturan umpan balik lokal pada sel Leydig yang memproduksi

androgen. Selain itu sel Sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi

androgen sendiri terjadi di dalam kantong dari sel khusus (sel Leydig) yang terdapat di

daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferus (Heffner, 2008).

Page 4: Spermatogenesis Fisrep

Gambar 1. Bagian-bagian yang terdapat pada testis (Sumber: Johnson, 2007)

B. Spermatogenesis Mempunyai Tiga Tahapan

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Proses ini dimulai

dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada saat terjadinya perkembangan sel

kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan menghasilkan generasi sel-sel yang baru.

Sel-sel yang baru dibentuk dapat mengikuti satu dari dua jalur. Sel-sel ini dapat terus

membelah sebagai sel induk, yang disebut spermatogonium tipe A, atau dapat

berdeferensiasi selama siklus mitosis yang progresif menjadi spermatogonium B.

Spermatogonium B merupakan sel progenitor yang akan berdeferensiasi menjadi

spermatosit primer. Segera setelah terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari

pembelahan meiosis pertama.

Spermatosit primer merupakan sel terbesar dalam garis keturunan spermatogenik ini

dan ditandai dengan adanya kromosom dalam berbagai tahap proses penggelungan di

dalam intinya (Fawcett, 2002). Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran

lebih kecil yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit diamati dalam

sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan berada dalam tahap interfase

Page 5: Spermatogenesis Fisrep

yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan meiosis kedua. Pembelahan

spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Karena tidak ada fase-S (sintesis DNA)

yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua pada spermatosit, jumlah DNA

per sel berkurang setengah selama pembelahan kedua ini,

yang menghasilkan sel haploid (n). Oleh karena itu, proses meiosis menghasilkan sel

dengan jumlah kromosom haploid. Dengan adanya pembuahan, sel memperoleh kembali

jumlah diploid yang normal (Junqueira, 2007).

Gambar 2. Tahapan pembentukan spermatogenesis (Sumber: Janqueira, 2007)

Perkembangan sel spermatogenik merupakan suatu kejadian yang sangat kompleks

dari berbagai tipe sel spermatogenik yang disebut spermatogenesis. Sebagian besar sel-sel

yang menyusun epitel seminiferus adalah sel spermatogenik dengan berbagai tahap

perkembangan tertentu (Naz, 2006). Telah dijelaskan pada tahap-tahap perkembangan

spermatogenenesis, bahwa perkembangan spermatogonium menjadi spermatozoa

memerlukan beberapa perkembangan tertentu.

Proses perkembangan tersebut dibagi menjadi tiga tahap:

a. Spermatositogenesis: Diferensiasi spermatogonia menjadi spermatosit primer.

b. Meiosis: perkembangan sel, dimana spermatosit primer memiliki kromosom diploid

membentuk spermatid haploid.

c. Spermiogenesis: Transformasi spermatid menjadi spermatozoa (sperma).

Page 6: Spermatogenesis Fisrep

Proliferasi Mitosis Meningkatkan Jumlah Sel

Spermatogonia yang terletak di lapisan paling luar tubulus secara terus menerus membelah

dengan cara mitosis dimana sel baru yang terbentuk identik dengan sel induk. Peristiwa ini

disebut proliferasi mitotik. Proliferasi ini menghasilkan pasokan kontinyu sel-sel

germinativum baru. Menurut gambaran inti selnya, pada manusia dikenal tiga jenis

spermatogonia:

a. Spermatogonia gelap tipe A, dengan inti sel lonjong berwarna gelap. Sel-sel tersebut

membelah diri secara berkala untuk mempertahankan jumlah spermatogonia dan juga

untuk membentuk spermatogonia pucat tipe A yang memiliki inti lonjong pucat.

b. Spermatogonia pucat tipe A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi spermatogia

B (menjadi spermatogonia pucat tipe A yang lain).

c. Spermatogonia tipe B mempunyai inti bulat yang mengandung kromatin padat dengan

membran inti. Bila spermatogonia tipe B membelah diri dengan cara mitosis, sel-sel

tersebut menghasilkan sel-sel anak yang seluruhnya berdiferensiasi menjadi

spermatosit primer (Leeson, 1996). Setelah pembelahan mitosis spermatogonia, salah

satu sel anak tetap berada diluar tubulus sebagai spermatogonium yang tidak

berdiferensiasi untuk mempertahankan lapisan sel germinativum. Sementara itu, sel-

sel anak lainnya berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer masuk

ke fase istirahat selama kromosom mengalami duplikasi dan untai-untai ganda tetap

bersatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis pertama (Sherwood, 2001).

Meiosis membagi jumlah kromosom dan menghasilkan keragaman genetic

Fase proliferasi spermatogenesis berlangsung di kompartemen intratubular basal dari

testis. Setiap beristirahat spermatosit primer preleptotene sehingga terbentuk duplikat konten

DNA dan kemudian mendorong jalan ke adluminal intratubular kompartemen oleh transiently

mengganggu persimpangan zonular antara sel Sertoli yang berdekatan. Pelanggaran singkat

dari penghalang darah-testis, yang dapat diatur oleh sel germinal sendiri, tampaknya

melibatkan aksi sitokin TNFa dan TGFβ3 (lihat Tabel 3.6). Spermatosit kemudian masuk

pada tahap meiosis pertama profase yang sangat berkepanjangan (Gambar 4.4;. untuk rincian

meiosis lihat Gambar. 1.1). Selama profase, pasangan helai kromatid pada kromosom

homolog berpasangan datang bersama-sama untuk membentuk kontak synaptonemal di

pakiten, selama kromatid istirahat segmen pertukaran materi genetik dan kemudian

Page 7: Spermatogenesis Fisrep

bergabung kembali, sehingga terjadi pengacakan informasi genetik, sebelum menarik terpisah

(Gambar 1.1 & 4.4).

Spermatosit primer pada langkah yang berbeda dalam urutan ini dapat teridentifikasi

dengan morfologi karakteristik inti, mereka, mencerminkan keadaan kromatin (Gambar.

4.4). Selama profase meiosis berkepanjangan ini, dan khususnya selama pakiten, spermatosit

sangat sensitive kerusakan dan mengalami degenerasi luas dapat terjadi pada tahap ini. Divisi

meiosis pertama berakhir dengan pemisahan kromosom homolog dengan ujung-ujung sel

pada poros meiosis, setelah itu sitokinesis hasil, dari setiap spermatosit primer, spermatosit

sekunder dua mengandung satu set kromosom. Setiap kromosom terdiri dari dua kromatid

bergabung pada sentromer. Kromatid kemudian terpisah, pindah ke ujung-ujung dari spindle

meiosis kedua, dan spermatosit sekunder singkat membagi untuk menghasilkan haploid

spermatid bulat awal (Gambar. 4.4). Dengan demikian, dari maksimal 64 spermatosit primer

yang masuk tahap meiosis (pada tikus), 256 spermatid awal dapat terjadi. Sekali lagi, jumlah

sebenarnya jauh lebih sedikit dari ini, seperti, selain kerugian di awal mitosis tahap,

kompleksitas hasil proses meiosis di kerugian lebih lanjut dari sel. Belum lagi, seluruh cluster

spermatid terkait syncytially melalui jembatan sitoplasma tipis. Dengan pembentukan

spermatid bulat awal, penting peristiwa pengurangan kromosom spermatogenesis adalah

selesai.

Gambar 3. Pembagian Kromososm Dalam Tahap Miosis

Cytodifferentiation paket kromosom untuk pengiriman

Perubahan yang paling terlihat dan besar selama spermatogenesis terjadi selama renovasi

sitoplasma luar biasa pada spermatid yang disebut spermiogenesis (Gambar. 4.5). Selama

proses ini, spermatid berubah bentuk dari bulat untuk elongating spermatid. Sebuah ekor

Page 8: Spermatogenesis Fisrep

yang dihasilkan untuk propulsi maju, bentuk midpiece, mengandung mitokondria (generator

energi untuk sel); ekuatorial dan postacrosomal cap bentuk wilayah, dan penting bagi

sperma-oosit fusion; perkembangan akrosom (modifikasi struktur lisosomal ) dan fungsi

seperti 'enzymatic knife' ketika penetrasi terhadap oosit; nukleus berisi kompak dikemas

kromosom haploid; dan residul body bertindak sebagai tong sampah untuk sisa berlebih di

sitoplasma, dan difagosit oleh sel Sertoli setelah spermatozoa yang lain berangkat. Sentriol

spermatid adalah kepentingan tertentu. Mereka mengurangi ke struktur inti pusat yang

menghubungkan midpiece dengan kepala sperma. Semua atau sebagian dari materi

pericentriolar mereka yang biasanya nukleasi mikrotubulus, hilang. Sebaliknya terjadi di

oosit (Bab 5), di mana pericentriolar bahan dipertahankan tapi sentriol hilang. Timbal balik

ini Pola penurunan berarti pada saat pembuahan melengkapi sentriolar gamet (Bab 9).

Spermiogenesis selesai dengan pembentukan sepenuhnya spermatozoon matang (Gambar.

4.6). Dengan penampilan spermatozoa, jembatan sitoplasma tipis yang membuat syncytium

pecah, dan sel-sel yang dilepaskan ke lumen tubulus dalam proses yang disebut spermiation.

Mereka dicuci sepanjang tubulus seminiferus di testis yang cairan disekresi oleh sel Sertoli.

Gambar 4. Spermiogenesis di Tikus .

Aktivitas genetik selama spermatogenesis adalah kekhususan

Spermatogenesis adalah kompleks dan proses khusus dan, tidak mengherankan,

membutuhkan sejumlah besar gen untuk berhasil menyelesaikan. Proses produksi mRNA dan

terjemahan terus sepanjang spermatogonium mitosis dan meiosis (kecuali pada kromosom

seks, yang berhenti transkripsi dari meiosis dan seterusnya); memang, setelah penyelesaian

meiosis ada transkripsi besar gelombang. Transkripsi autosomal berakhir dalam transisi dari

putaran ke spermatid memanjang. Ledakan transkripsi segera setelah selesai meiosis ditandai

oleh dua fitur yang tidak diamati dalam sel somatik: penggunaan mesin transkripsi khusus

Page 9: Spermatogenesis Fisrep

dan ekspresi dari sejumlah besar gen spermatogenik-spesifik (Box 4.2). Karena terjadinya

ledakan selama postmeiotic ini terjadi dari haploid genom, hal ini menimbulkan

kemungkinan bahwa spermatozoa mungkin berbeda antar satu sama fenotip dengan yang

lain, cara yang mencerminkan komposisi genetik haploid mereka yang unik. kejadianini

mungkin terajadi, kemudian untuk memisahkan spermatid dan spermatozoa ke dalam

subpopulasi berdasarkan susuanan alel genetik mereka yang khas. Pemisahan tersebut

mungkin terjadi dalam saluran kelamin betina, sehingga mengerahkan 'seleksi yang alami'

pada populasi spermatozoa secara genetic melalui ekspresi haploid, fenotip heterogen.

Seleksi juga mungkin dibuat di laboratorium, dengan pengayaan spermatozoal untuk

karakteristik tertentu yang diinginkan. Sebagai contoh, pemisahan sifat X dan Y spermatozoa

mungkin memungkinkan prefertilization seks 'pilihan'. Namun, bukti keberhasilan

spermatozoal haploid Temukan telah sulit didapat. Ini tidak sepenuhnya mengejutkan karena

spermatid ada di massa syncytial sitoplasma, memberikan kesempatan bagi mRNA dan

protein untuk berdifusi ke semua spermatid terlepas dari genotipe mereka. Selain itu,

inaktivasi premiotic dari X dan Y kromosom (lihat di atas) membuat pilihan untuk jenis

kelamin mendekati sangat tidak mungkin. Baru-baru ini, pemisahan X dan Y-bearing

spermatozoa telah diakui tidak menjadi dasar dari ekspresi diferensial dari kromosom seks,

tetapi sebagai hasil dari isi total DNA yang berbeda. Dengan demikian, persentase Perbedaan

kandungan DNA dari X dan Y-bearing spermatozoa manusia 2.9% (babi 3%; sapi jantan

3,8%; kuda 4,1%; biri-biri jantan 4,2%). Pemisahan spermatozoa subur oleh aliran cytometry

dapat mencapai tingkat pengayaan lebih dari 75% pada hewan ternak besar. Namun, prospek

untuk 100% pemisahan spermatozoa sukses pada manusia yang digunakan untuk terapi oleh

pendekatan ini tampak kurang.

1. Kromatin Spermatozoa Termodifikasi selama Spermatogenesis

Penghentian aktivitas transkripsi selama spermiogenesis terjadi karena pengemasan

ulang besar-besaran dari DNA spermatogenik, sehingga kromatin menjadi sangat kental

(sekitar 5% dari volume nukleus sel somatik). Bentuk DNA ini digambarkan sebagai

heterochromatic (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Kondensasi atau pengentalan dicapai dengan penggantian histon yang menjadi ciri

kromatin sel somatik oleh protamines. Dengan cara ini, spermatozoa mengembangkan

kromatin di mana ekspresi genetik sama sekali tidak ada. Sebagaimana disebutkan di atas,

kromosom seks melalui proses ini lebih awal dari autosom dan berakhir di kompartemen

nuklear khusus yaitu vesikel seks yang tidak memiliki RNA polimerase II. Pengemasan ulang

Page 10: Spermatogenesis Fisrep

dan pengistirahatan kromatin ini digunakan untuk mempersiapkan genom laki-laki untuk

kehidupan di zigot (Johnson dan Everitt’s, 2007).

2. Spermatogenesis Sangat Terorganisir Baik Temporal dan Spasial

Setiap spermatozoon dewasa adalah satu saudara dalam keluarga besar yang berasal

dari salah satu parental spermatogonium tipe A. Keluarga ini besar karena jumlah mitosis

premeiotik, serta spermatozoa tidak 'kembar identik' karena formasi chiasmata meiosis

masing-masing memiliki genetik yang unik walaupun memiliki parental leluhur yang umum.

Dalam setiap tubulus testis, ratusan keluarga berkembang berdampingan, dan ada 30 atau

lebih tubulus dalam setiap testis tikus (Johnson dan Everitt’s, 2007).

C. Hasil Spermatogenesis pada Kondisi Konstan dan Tingkat Karakteristik untuk

Setiap Spesies

Salah satu cara untuk mengukur panjang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan

bagian dari proses spermatogenik adalah dengan 'menandai' atau melabel sel pada beberapa

bagian berbeda selama proses tersebut, dan kemudian untuk mengukur tingkat kemajuan dari

sel-sel berlabel itu. Sebagai contoh, jika timidin radioaktif dipasok ke spermatosit primer

yang istirahat karena terlibat dalam putaran final sintesis DNA sebelum mereka masuk ke

proses meiosis, inti sel akan diberi label dan kemajuan mereka selama meiosis, dengan

demikian spermiogenesis dan spermiasi dapat diikuti. Dengan cara ini, jumlah waktu yang

diperlukan untuk setiap langkah spermatogenik dapat diukur. Pada Gambar 7. waktu yang

diperlukan untuk setiap langkah spermatogenik pada tikus dapat dilihat, panjang masing-

masing menjadi ukuran waktu relatif. Waktu mutlak untuk seluruh proses, masuk ke mitosis

awal untuk melepaskan spermatozoa, dicatat untuk beberapa spesies pada Tabel 1 (kolom 1).

Ini adalah proses panjang yang memakan waktu beberapa minggu (Johnson dan Everitt’s,

2007).

Ada perbedaan antara spesies dalam total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan

spermatogenesis. Namun, sangat terlihat bahwa dalam suatu spesies laju perkembangan sel

selama spermatogenesis sangat konstan. Dengan demikian, spermatogonia tipe A dalam

setiap testis dari spesies tertentu tampaknya terjadi dengan spermatogenesis pada tingkat

yang sama, dan memakan total waktu yang sama untuk menyelesaikan spermatogenesis.

Hormon, atau agen eksternal lainnya, tampaknya tidak untuk mempercepat atau

memperlambat proses spermatogenik. Kekonstanan yang luar biasa ini menunjukkan

organisasi intrinsik tingkat tinggi (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Page 11: Spermatogenesis Fisrep

D. Putaran Spermatogenesis Diawali Waktu Interval yang Konstan dan Karakteristik

untuk Masing-Masing Spesies

Sejauh ini telah diketahui proses spermatogenesis dari sudut pandang spermatogonium

tunggal tipe A menghasilkan keturunan keluarga spermatozoa yang konstan dan memiliki

tingkat karakteristik. Setelah proses ini telah dimulai pada titik tertentu dalam tubulus

manapun, stem sel spermatogonium baru pada titik yang sama tidak memulai generasi klon

mereka sendiri sampai beberapa hari berlalu. Hebatnya, telah ditemukan bahwa interval ini

terjadi antara entri berturut dalam spermatogenesis juga konstan dan juga memiliki

karakteristik untuk setiap spesies (Tabel 1, kolom 2). Inisiasi siklik spermatogenesis ini

disebut siklus spermatogenik (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Tabel 1. Waktu mutlak untuk spermatogenesis dan durasi siklus yang terjadi di

epitelium seminiferus dalam hari pada masing-masing spesies.

Spesies Waktu untuk

menyelesaikan

spermatogenesis (hari)

Durasi siklus epithelium

seminiferus (hari)

Manusia 64 16

Sapi Jantan 54 13,5

Biri-biri Jantan 49 12,25

Babi Hutan 34 8,5

Tikus 48 12

Pada tikus, siklus spermatogenik yaitu sekitar 12 hari. Periode ini adalah

seperempat dari 48-49 hari yang diperlukan untuk produksi spermatozoal matang hingga

selesai, sehingga empat proses spermatogenik berturut harus terjadi pada waktu yang

sama (Gambar. 5). Sel terdepan di keluarga spermatogenik yang dimulai lebih awal,

bergerak progresif oleh putaran berikutnya mengembangkan sel spermatogenik dari

pinggiran menuju lumen tubulus. Dengan demikian, sebuah irisan melintang tubulus

akan memperlihatkan sel spermatogenik pada empat tahap khas dalam perkembangan

menuju spermatozoa, masing-masing jenis sel mewakili tahap terpisah pada siklus

berturut-turut (Gambar. 7) (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Page 12: Spermatogenesis Fisrep

Karena siklus spermatogenik dan proses spermatogenik memakan waktu konstan,

maka sel-sel dalam siklus berturut-turut akan selalu berkembang secara parallel (Johnson

dan Everitt’s, 2007).

Gambar 5. Panel atas menggambarkan bagian dari satu spermatogonium tikus melalui proses

spermatogenik. Panjang blok menggambarkan setiap tahap selular sebanding dengan jumlah waktu

yang dihabiskan di tahap itu. Ketika tipe sel baru muncul dengan pembelahan, bar putih vertikal

memisahkan blok yang berdekatan (M, mitosis). Selama profase meiosis dan spermiogenesis, sel-sel

mengubah morfologi oleh diferensiasi progresif, tidak melompat quantal. Perubahan kontinum ini

ditunjukkan dengan penggunaan garis putih vertikal patah-patah untuk menggambarkan blok

spermatogonium. A, In dan B; R, L, Z, P dan Di, beristirahat (resting), leptotene, zygotene, pakiten

dan spermatosit primer diplotene; II, spermatosit sekunder. Setiap panel yang lebih bawah

menunjukkan sejarah spermatozoa lainnya, yang dimulai pengembangan oleh generasi siklik dari

jenis baru spermatogonium A dari populasi sel induk atau stem sel di kemudian interval waktu.

Interval antara masing-masing peristiwa ini adalah sekitar 12 hari. Perhatikan bahwa empat peristiwa

tersebut terjadi sebelum spermatozoon atas (dan saudara kandung dalam keluarga) menyelesaikan

perkembangan dan telah dirilis. Sel-sel bergerak maju selama spermatogenesis, mereka bergerak

secara progresif dari tubulus basal ke pusat luminal. Dengan demikian, beberapa sel yang berbeda

jenis akan hadir dalam satu penampang dari tubulus pada saat yang sama, meskipun di berbagai titik

pada sumbu radial melalui tubulus (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Oleh karena itu, set asosiasi sel dalam setiap penampang radial pada segmen tubulus

terjadi pada waktu yang berbeda dan akan selalu menjadi ciri khas (Gambar 5 dan 6). Sebagai

contoh, interval siklus adalah 12 hari dan juga membutuhkan 12 hari untuk enam divisi

Page 13: Spermatogenesis Fisrep

mitosis, masuk ke meiosis akan selalu terjadi seperti siklus baru dimulai oleh divisi pertama

dari jenis spermatogonium A (Gambar. 6, kolom 8). Demikian pula, dibutuhkan 24 hari

(yaitu dua siklus) untuk spermatosit premeiotik menyelesaikan meiosis dan fase awal

spermatid modeling. Jadi tidak hanya akan bertepatan masuk ke mitosis dan meiosis, tapi

juga awal elongasi spermatid (Gambar. 6, kolom 8). Peristiwa ini juga akan bertepatan

dengan pengeluaran spermatozoa saat spermiasi, karena dibutuhkan lebih dari 12 hari untuk

penyelesaian elongasi spermatid (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Siklus Epitelium Seminiferus

Bayangkan semua sel induk atau stem sel spermatogonium seluruh testis memasuki

aktivitas mitosis pada waktu yang sama. Sebagai waktu untuk menyelesaikan

spermatogenesis adalah konstan, akan ada rilis simultan dari semua spermatozoa yang

dihasilkan. Selain itu, siklus spermatogenik konstan untuk semua sel induk atau stem sel,

denyutan periodik dari rilis atau pengeluaran spermatozoa akan terjadi (setiap 12 hari pada

tikus, misalnya). Ini bisa mengakibatkan pola episodik kesuburan pria. Masalah ini bisa

diatasi jika stem sel spermatogonium di seluruh testis memulai aktivitas mitosis tidak

serentak tapi secara acak. Kemudian, waktu relatif mereka masuk ke spermatogenesis akan

mengejutkan, sehingga menghilangkan rilis denyutan spermatozoa dan memperhalusnya

menjadi aliran berkelanjutan. Nyatanya, fungsi testis adalah produksi spermatozoal terus

menerus (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Suatu tahap yang berurutan satu sama lain di wilayah tertentu dari epitel seminiferus

dalam waktu tertentu disebut siklus epitelium seminiferus. Satu sistem yang digunakan untuk

mempelajari tahap-tahap siklus epitel seminiferus yaitu berdasarkan bentuknya dan lokasi inti

spermatid dan spermatosit, dan adanya pembelahan meiosis. Sistem ini, yang ditunjuk

sebagai metode morfologi tubular oleh Berndtson, membagi siklus menjadi delapan tahap

untuk mamalia. Metode lain identifikasi berdasarkan morfologi spermatid, khususnya formasi

dari sistem akrosom. Metode morfologi tubular dapat memfasilitasi perbandingan antara

spesies, namun perbandingan ini lebih sulit di metode sistem akrosom, yang merupakan

spesies spesifik. Metode mengamati pembentukan akrosom memungkinkan untuk memantau

semua tahapan diferensiasi dari spermatid, sehingga memungkinkan generasi yang berbeda

untuk dibedakan (Morais, dkk., 2012).

Page 14: Spermatogenesis Fisrep

Gambar 6. Bagian ditunjukkan pada Gambar. 7 dirangkum di sini. Dibaca dari kiri ke kanan. Sebuah

bar putih vertikal antara dua sel di urutan menunjukkan pembelahan sel; jika perubahan

tidak quantal tetapi terjadi oleh diferensiasi progresif. RPS, resting primer spermatosit

atau spermatosit promer istirahat (Johnson dan Everitt’s, 2007).

Gambar 7. Penampang melintang tubulus seminiferus tikus. (a-d) Empat tubulus yang berdekatan

dari testis dewasa yang sama. Perhatikan bahwa, dalam setiap tubulus, set asosiasi sel di

sepanjang sumbu radial adalah sama. Namun, setiap tubulus memiliki seperangkat

berbeda dari asosiasi sel dari tetangganya. Dengan demikian, tubulus (a) adalah pada

tahap 8/1 pada Gambar 7 dan 8, tubulus (b) adalah pada tahap 2, tubulus (c) adalah pada

tahap 5, dan tubulus (d) di tahap 7. Tubulus (e) adalah dari testis tikus dewasa 4 minggu

setelah hipofisektomi. Dapat dilihat bahwa spermatogenesis gagal selama fase meiosis

awal, ditandai dengan tidak ada sel-sel yang lebih matang dari spermatosit primer.

Perhatikan juga kurangnya lumen tubular, menunjukkan penghentian sekresi fluida.

Page 15: Spermatogenesis Fisrep

Panel (f) menunjukkan pewarnaan dari wilayah intertubular dari testis dewasa utuh untuk

sel Leydig. Busa kemerahan sitoplasma menunjukkan steroidogenesis (Johnson dan

Everitt’s, 2007).

Pemeriksaan cross-section atau penampang melintang testis kebanyakan mamalia

menunjukkan bahwa dalam tubulus satu set asosiasi sel yang sama diamati (Gambar. 7a-d).

Ini berarti bahwa semua sel induk atau stem sel di bagian dari tubulus harus disinkronkan

dalam waktu mutlak. Seolah-olah seperti pesan melingkar di sekitar segmen tubulus

mengaktifkan populasi sel induk atau stem sel di segmen yang memulai produksi

spermatogonium tipe A bersama-sama. Koordinasi spasial siklus spermatogenik yang

berdekatan ini menimbulkan “siklus epitel seminiferus”, karena seluruh epitel penampang

mengalami perubahan siklik dalam pola sel asosiasi (Gambar. 6) (Johnson dan Everitt’s,

2007).

Penelitian Morais, dkk. (2012) tentang siklus epithelium kelelawar Molossus molossus

yaitu menggunakan metode morfologi tubular dan memperlihatkan siklus epitel seminiferus

di M. molossus dibagi menjadi delapan tahap, dan direpresentasikan dalam angka Romawi.

Namun, untuk karakterisasi akurat tahap ini, metode ini dikaitkan dengan perkembangan

akrosom, yaitu digunakan untuk menggambarkan langkah-langkah yang berbeda dalam

morfologi akrosom, seluruh perkembangannya, diwakili dalam angka Arab. Dengan

demikian, melalui delapan tahap dijelaskan menggunakan tubular, 10 langkah yang diamati

pada spermatid pada pengembangan M. molossus (Gambar 9), yang disebut langkah akrosom

(Morais, dkk., 2012).

Ciri masing-masing tahap tersebut adalah sebagai berikut (Morais, dkk., 2012):

Tahap I

Spermatogonium tipe A dan spermatosit primer dari pohon generasi ditemukan pada tahap

ini, dalam fase pra-leptotene ke leptotene atau sudah zygotene, berada dekat dengan propria

tunika, dan ada pula yang pakiten, di lokasi menengah dalam epitel. Spermatid yang diamati

pada tahap ini berkumpul dan terletak di dua lapisan sel dekat lumen. Sel-sel ini

mengungkapkan pembentukan akrosom dalam stadium lanjut perkembangan (akrosom

langkah 5), dengan pembentukan topi akrosom sekitar 180° dari permukaan nuklear (Gambar

9-E; Gambar 10-E), mengarahkan ke arah dasar dari tubulus seminiferus (Morais, dkk.,

2012).

Tahap II

Page 16: Spermatogenesis Fisrep

Pada tahap ini, spermatosit primer zygotene dekat basal lamina dan spermatosit primer

pakiten di wilayah antara epitel yang diamati. Aspek yang paling luar biasa adalah awal dari

pemanjangan inti spermatid bulat (Gambar 8-II), yang menunjukkan akrosom menempati

area seluas hingga 270° dari permukaan nuklear, karakteristik langkah akrosom 6 (Gambar

9-F). Di awal perpanjangan, inti spermatid memulai kontak dengan membran plasma, dan

sitoplasma juga muncul memanjang, meluas ke arah lumen dan bagian sekitar flagela

(Gambar 10-F) (Morais, dkk., 2012).

Tahap III

Dua generasi spermatosit primer yang ada di tahap ini yaitu menjadi spermatosit zygotene

dan diplotene. Inti spermatid terus memanjang dan tangkai terbentuk, masuk sangat dalam di

epitel seminiferus (Gambar 8-III). Spermatid yang diamati dalam tahap ini melanjutkan

proses perpanjangan dan terjadi kondensasi kromosom, menjadi lebih memanjang daripada

langkah sebelumnya, dan berada dekat 270° dari permukaan nuklear, fitur akrosom langkah 7

(Gambar 9-G; Gambar 10-G) (Morais, dkk., 2012).

Tahap IV

Pada tahap ini karakteristik transisi dari spermatosit primer yaitu diplotene hingga

spermatosit sekunder, dan spermatid berbentuk bulat (Gambar 8-IV). Seperti pada tahap

sebelumnya, tangkai spermatid yang diamati lebih memanjang dengan cakupan hampir

lengkap dari permukaan nuklear akrosom, karakteristik akrosom langkah 8 (Gambar 9-H;

Gambar 10-H) (Morais, dkk., 2012).

Tahap V

Pada tahap ini, hanya ada satu generasi utama spermatosit yaitu dalam transisi dari

zygotene ke pakiten. Spermatid memiliki karakteristik akrosom langkah 1, menunjukkan

tidak ada akrosom pada permukaan, karena proacrosomal vesikel sedang terbentuk di

sitoplasma, dan belum melakukan kontak dengan inti spermatid (Gambar 9-A; Gambar 10-A;

Gambar 10-K) (Morais, dkk., 2012).

Generasi akhir spermatid yang ada pada tahap ini ditemukan dalam tangkai kompak lebih

dalam tertanam dalam epitel seminiferus. Di sel-sel ini, akrosom yang mencakup hampir

seluruh permukaan nuklear. Akrosom langkah 9 (Gambar 9-I; Gambar 10-I) (Morais, dkk.,

2012).

Tahap VI

Pada tahap ini spermatogonia menengah, berasal dari spermatogonium A, lebih kecil dan

inti gelap dibandingkan dengan spermatogonium A. Generasi spermatosit primer yang ada

pada tahap ini adalah pakiten, dan tangkai spermatid menjadi lebih dangkal di epitel

Page 17: Spermatogenesis Fisrep

dibandingkan dengan tahap sebelumnya (Gambar 8-VI). Putaran spermatid memiliki fitur

karakteristik dari langkah akrosom 2, dengan vesikel akrosom dan butiran kontak dengan inti,

dan perataan sedikit di permukaan nuclear memanjang sampai sekitar 90° dari permukaan

nuklear (Gambar 9-B; Gambar 10-B). Spermatid memanjang, akrosom langkah 10, masih

dalam proses peregangan dan kondensasi, formasi hampir lengkap. Pada fase ini akrosom

menunjukkan bentuk bulat (Gambar 9-J; Gambar 10-J) (Morais, dkk., 2012).

Tahap VII

Tipe A dan tipe B spermatogonium ditemukan pada tahap VII, inti memiliki bulat telur

atau bentuk bulat, spermatosit primer pakiten, dan spermatid memanjang (Gambar 8-VII).

Generasi putaran spermatid memiliki pendudukan akrosom dari 95° sampai 120° dari

permukaan nuklear, dan akrosom langkah 3 (Gambar 9-C; Gambar 10-C); dan generasi

memanjang spermatid akrosom langkah 10 (Gambar 9-J; Gambar 10-J), karena tingkat

perkembangan mereka, dengan tangkai lebih terpisah dan lebih dekat ke lumen tubular

(Morais, dkk., 2012).

Tahap VIII

Spermatogonium yang diamati berada di wilayah basal dari epitel seminiferus, dan

generasi baru spermatosit primer yang diamati pada pra-leptotene. Spermatosit primer

pakiten dan putaran spermatid ada di wilayah tengah epitel, dan sebagian fitur karakteristik

dari tahap ini adalah spermatid memanjang dekat lumen tubular yang siap mengalami

spermiasi, dengan ekor sangat jelas, dan juga terdapat badan residual bernoda di luminal yang

perbatasan epitel seminiferus (Gambar 8-VIII). Putaran spermatid tahap VIII berada pada

sudut akrosom dari permukaan nuklear antara 120° dan 175°, mewakili akrosom langkah 4

(Gambar 9-D; Gambar 10-D), sementara spermatid memanjang mewakili akrosom langkah

10 (Gambar 8-J; Gambar 10-J) (Morais, dkk., 2012).

Page 18: Spermatogenesis Fisrep

Gambar 8. Delapan tahapan siklus epithelium seminiferus pada kelelawar M. molossus (Morais, dkk.,

2012).

Gambar 9. Langkah berbeda pembentukan akrosom di permukaan nuklear dari spermatid kelelawar

(Morais, dkk., 2012).

Page 19: Spermatogenesis Fisrep

Gambar 10. Ultrastruktur langkah pembentukan akrosom (Morais, dkk., 2012).

E. Spermatogenesis pada Wilayah Berdampingan Sepanjang Tubulus Seminiferus

Tampak sebagai Fase yang Dipercepat atau Diperlambat

Produksi spermatozoa merupakan proses yang kompleks dan sangat teratur. Meskipun

begitu mekanisme pengaturan dan koordinasinya masih belum dapat dimengerti dengan baik.

Saat ini dapat dipaparkan bahwa proses spermatogenesis terjadi pada wilayah berdampingan

sepanjang tubulus seminiferus. Selain itu sel Sertoli juga diduga berperan dalam mengatur

proses spermatogenesis sehingga terjadi secara temporal dan spasial (Johnson & Everitt,

2007).

Gambar 11. Irisan Tubulus Seminiferus Testis Tikus (Johnson & Everitt, 2007)

Page 20: Spermatogenesis Fisrep

Gambar 11 menunjukkan bahwa apabila tubulus seminiferus seseorang dipotong secara

longitudinal maka akan terlihat potongan membujur dari saluran tersebut dan dapat terlihat

bahwa terdapat sekumpulan sel di dalamnya yang dapat dibeda-bedakan yang membentuk

suatu pola. Segmen tubulus yang berdampingan masing-masing mengandung populasi dari

sel stem spermatogenik yang tersinkronisasi dan tampak memasuki proses spermatogenik

sedikit berbeda dari fase segmen di sebelahnya. Tampak pada gambar 11 bahwa segmen 7

berada di tengah, dan pada kedua arah di sampingnya terdapat fase progressive yang lebih

awal dari segmen tersebut. Hal ini diperkirakan segmen central ini diaktifkan pertama kali

dan secara hipotesis activator messages disebarkan sepanjang tubulus pada kedua arah dari

segmen tersebut, sehingga memulai mitosis secara progressive dan berlangsunglah siklus

spermatogenik. Hasil yang tampak pada testis individu dewasa seperti pada gambar 11

tersebut biasa disebut spermatogenic wave. Gelombang ini tampak pada waktu yang sama

pada tempat dari tubulus seminiferus yang berbeda, sedangkan siklus terjadi pada tempat

yang sama pada waktu yang berbeda.

Sel Sertoli Diperkirakan Mengatur Spermatogenesis secara Temporal dan Spasial

Hasil observasi terhadap proses spermatogenesis secara tidak langsung menyangkut

tentang tingkat pengaturan temporal dan spasial diantara sel spermatogenik. Sel Sertoli

merupakan satu-satunya pengatur yang memungkinkan proses ini terjadi. Sitoplasma dari sel

ini berhubungan dengan sel lainnya via kontak gap-junction secara ekstensif. Hal ini menjadi

factor yang efektif untuk menyediakan hubungan sitoplasma sepanjang dan mengitari

tubulus. Hal ini yang memungkinkan komunikasi dan sinkronisasi terjadi (Johnson & Everitt,

2007).

Setiap sel Sertoli membentang pada tubulus dari membrane basal peritubular hingga

lumen, sehingga menyediakan komunikasi secara radial. Hal ini yang menjadikan seluruh sel

spermatogenik dapat berada pada tingkat perkembangan yang sama. Hubungan sel Sertoli ini

semakin menarik karena sel ini berhubungan langsung dengan seluruh tahapan sel

spermatogenik. Hubungannya terdiri dari tiga jenis, antara lain:

1. Komunikasi dan pertukaran materi antara pachytene spermatosit dan sel Sertoli terjadi

melalui via kompleks gap-junction

2. Kebanyakan spermatosit dan spermatid membentuk ectoplasmic specialization dengan

sel Sertoli. Hal ini kemungkinan juga diperkirakan berkaitan dengan penanaman (anchoring)

dan pelepasan sel spermatogenik dan mungkin juga pemodelan ulang selama spermiogenesis.

Hubungan jenis ini tidak tampak saat spermiasi

Page 21: Spermatogenesis Fisrep

3. Spermatid dan sel Sertoli membentuk hubungan yang ketat dan disebut tubulobalbular

kompleks. Melalui hubungan tersebut sel Sertoli diperkirakan membuang materi selama

proses kondensasi sitoplasma berlangsung. Pada akhirnya sel Sertoli tersebut juga

menunjukkan perubahan karakteristik dan biokimianya sesuai dengan siklus dari epitel

tubulus seminiferus, misalnya volume sel, kandungan lipid, morfologi inti, jumlah dan

distribusi secondary lisosom, sintesis dan jumlah testicular protein (ABP, SGP1, SGP2,

transferring, dan activator plasminogen). Menariknya produksi protein meningkat ketika

spermiasi dan ketika preleptotene spermatosit memasuki kompartmen adluminal yang

mengisyaratkan fungsi potensialnya sebagai proteolitik.

Siklus sel Sertoli dimulai ketika pubertas sehingga spermatogenesis mengikuti proses

tersebut. Kegagalan fungsi kedewasaan sel Sertoli atau tidak mampu berproliferasi

menyebabkan tidak terjadinya spermatogenesis yang disebut aspermatogenesis). Namun

demikian peran sel Sertoli secara lebih lanjut pada pengaturan siklus spermatogenesis masih

membutuhkan banyak bukti penunjang.

Aktivitas Testicular Endocrine dan Pengaturan Spermatogenesis

Aktivitas endokrin sangat berperan dalam proses spermatogenesis. Hal ini dikarenakan

sekresi hormon endokrin utama yakni testosterone oleh sel elydig bergantung pada sekresi

LH oleh pituitary. Sebagian testosterone memasuki tubulus seminiferus yang bekerja pada sel

Sertoli bersama dengan FSH, dengan tujuan membantu mempertahankan produk seluler dari

testis (spermatozoa). Tanpa testosterone spermatogenesis tidak pernah terjadi. FSH dan

testosterone menentukan tempat berlangsungnya spermatogenesis tetapi tidak meregulasi

tingkat perkembangan tiga sel sepanjang garis spermatogenik, frekuensi stem sel yang

menjadi spermatogonia A, atau koordinasi spasial antara sel spermatogenik yang

bersebelahan. Proses ini nampaknya diatur secara internal oleh sel Sertoli (Johnson & Everitt,

2007).

Page 22: Spermatogenesis Fisrep

Gambar 12. Skema Jalur Steroidogenesis pada Manusia (Johnson & Everitt, 2007).

a. Testis Menghasilkan Hormon

Hormon paling penting yang dihasilkan oleh testis adalah androgen yang memainkan

peran kunci dan esensial selama perkembangan dan fungsi reproduksi seksual pada individu

laki-laki dewasa. Testis juga menghasilkan estrogen, inhibin, aktivin, MIH, Insl3, dan

oksitosin.

b. Steroid pada Testis

Testosteron merupakan testicular androgen yang disintesis dari asetat dan kolesterol oleh

sel Leydig pada jaringan interstisial. Enzim 3β-hidroxysteroid dehydrogenase berperan dalam

konversi itu dan terletak pada sel Leydig. Perubahan morfologi pada reticulum endoplasma

halus sel Leydig berhubungan dengan testosterone yang dihasilkan. Pada manusia 4-10 ng

testosterone dihasilkan setiap harinya dan dikeluarkan melalui tiga jalur yakni darah, limfa,

dan eksokrin. Testosterone bersifat larut dalam lemak sehingga dapat secara bebas memasuki

beragam jaringan pada testis dan lumen tubulus dan berikatan dengan ABP yang disekresikan

oleh sel Sertoli.

Androgen juga bekerja pada testis dengan tiga target sel yang masing-masing

mempunyai androgen reseptor antara lain secara autocrinology pada sel Leydig sebagai

negative feedback loop, pada sel Myoid untuk menjaga integritas fungsi tubulus, dan

Page 23: Spermatogenesis Fisrep

memasuki sel Sertoli untuk diubah dalam bentuk dihydrotestosteron (DHT) oleh 5α-

reductase. Berikutnya DHT dan testosterone berikatan dengan sel Sertoli itu sendiri.

Testosteron dapat diubah menjadi estrogen pada gambar 12, meskipun bukti mutakhir

mengindikasikan bahwa jalur ini terjadi pada saat tahapan fetal manusia. Ketika testis

matang, estrogen testicular diubah langsung oleh aktivitas sel Leydig. Fungsi utama estrogen

tidak pada testis, melainkan pada epididimis.

c. Sitokin dan Peptida pada Testis

Inhibin B dan aktivin A merupakan produk dari sel Sertoli. Produk tersebut meninggalkan

testis via aliran darah, aliran limfatik, dan melalui cairan tubulus seminiferus. Produk tersebut

memiliki peran parakrin dan autokrin pada testis, yakni inhibin pada sel Leydig dan aktivin

pada sel Sertoli dan sel spermatogenik. Produksi MIH pada testis dewasa rendah, peran

utamanya yakni pada fase embrionik, fetal, dan neonatal.

Insl3 merupakan produk sel Leydig yang paling banyak, tetapi peran dan fungsinya pada

kedewasaan masih belum jelas. Sel Leydig juga menghasilkan oksitosin yang berfungsi untuk

stimulasi motilitas tubulus seminiferus via kerja sel Myoid peritubular (Johnson & Everitt,

2007).

d. Spermatogenesis Bergantung pada Dukungan Endokrin

Pada saat pubertas, level androgen naik dan spermatogenesis dimulai. Tingkah laku dan

morfologi jantan pada spesies tertentu yang produksi androgen dan spermanya tidak

sepanjang tahun menunjukkan adanya suatu variasi musiman yang menggambarkan

perubahan produksi androgen dan pole endokrinnya. Hubungan sebab akibat antara

keberadaan androgen dan proses spermatogenesis meyakinkan bahwa sperma matang selalu

dikrimkan menuju lingkungan ekstragonad yang telah disesuaikan untuk efisiensi pengiriman

menuju saluran genitalia betina.

e. Luteinizing Hormon Bekerja pada Sel Leydig

Hipophysectomy menyebabkan testis mengecil, produksi semen menurun, dan tahap

spermatogenesis berhenti pada tahap yang masih awal sehingga produksi testosterone

menurun dan genitalia jantan yang bergantung pada testosterone menjadi hipotrofi. LH tidak

bekerja sendiri pada sel Leydig. Hormon lain yang bekerja adalah prolaktin dan enhibin yang

berkaitan dengan reseptor dan memfasilitasi aksi stimulasi dari LH. LH menstimulasi sel

elydig untuk menghasilkan testosterone yang melalui tubulus lalu berikatan dengan androgen

reseptor pada sel Sertoli yang selanjutnya mendukung proses spermatogenesis. Pada kasus

hipophysectomy untuk restorasi secara penuh dan menjaga berlangsungnya proses

Page 24: Spermatogenesis Fisrep

spermatogenesis stimulasi LH ataupun testosterone saja tidak cukup, melainkan juga

memerlukan FSH.

f. Follicle-Stimulating Hormon Bekerja pada Sel Sertoli

FSH berikatan dengan reseptornya pada sel Sertoli pada bagian permukaan basolateral sel

tersebut. Respetor FSH memiliki level yang berbeda bergantung pada siklus tubulus

seminiferus. Androgen juga berperan pada stimulasi reseptor FSH. FSH dan testosterone

berosilasi untuk bekerja secara sinergis pada sel Sertoli untuk melangsungkan proses

spermatogenesis hingga tuntas.

g. Aksi Parakrin oleh Sitokin secara Lokal dengan FSH dan Androgen

FSH dan androgen berinteraksi untuk menstimulasi dan mengatur fungsi sel Sertoli dan

juga protein dan sitokin yang dihasilkan. Sitokin yang dihasilkan selanjutnya juga akan

mempengaruhi spermatogenesis. Ada banyak jenis FHS-inducible protein seperti ABP,

transferring, GDNF, SCF, aromatase, dan CREMτ. Interaksi kompleks antara FSH, androgen,

dan sitokin masih belum jelas baik secara langsung maupun tidak langsung oleh FSH dan

peran hormon ini (Johnson & Everitt, 2007).

Page 25: Spermatogenesis Fisrep

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab ini, terdapat dua produk utama dari testis dan hubungannya. Produk utama

sekresi endokrin dari testosteron yang dihasilkan oleh sel-sel Leydig bergantung pada

sekresi LH. Beberapa dari testosteron tersebut kemudian masuk ke dalam tubulus

seminiferus dan berinteraksi dengan sel-sel Sertoli bersamaan dengan FSH, dan bertujuan

untuk mempertahankan kerja dari testis dalam menghasilkan spermatozoa. Tanpa adanya

testosteron, maka proses spermatogenesis akan terhenti. Baik FSH dan testosteron sangat

dibutuhkan dalam proses spermatogenesis. Proses tersebut akan diregulasi secara internal

oleh sel-sel Sertoli.

B. Saran

Sebaiknya dalam pembuatan makalah disertakan rujukan dari berbagai macam

sumber literatur sehingga kelengkapan data dan informasi dapat disajikan dengan baik.

Page 26: Spermatogenesis Fisrep

DAFTAR RUJUKAN

Fawcett, Don W. 2002. Buku Ajar Histologi. Jakarta: EGC 423-501.Heffner L. J. dan Danny J. Schust. 2008. At A Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua.

Jakarta: Erlangga. Hal 24, 25, 26, 37.Janqueira, L. C., Jose Carneiro, Robert O. K. 2007. Histologi Dasar edisi ke-8. Jakarta: EGC.

Hal 419-432Johnson, M. and Everitt, B. 2010. Essential Repoduction. ed3. Oxford Blackwell.Manika W., Tomaszewska, I Ketut Sutama, I Gede Putu, dan Thamrin D Chaniago. 1991.

Reproduksi, Tingkah Laku Dan Reproduksi Ternak Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Morais, D. B.; Paula, T. A. R.; Freitas, K. M. dan Matta, S. L. P. 2012. Cycle of the Seminiferous Epithelium of the Bat Molossus molossus, Characterized by Tubular Morphology and Acrosomal Development. Asian Pasific Journal of Reproduction, 1 (4): 303-307.

Naz R. K. and Rajendran Sellamuthu. 2006. Receptor In Spermatozoa: Are They Real?. Journal of Andrology Vol. 7 No. 25.

Sherwood L. 2001. Fisiologis manusia: dari sel ke sistem ed. 2. Jakarta : EGC. Hal. 691-705