revisi tugas mandiri mega cakupan tb
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Pada tahun 2009 diperkirakan kasus meninggal tuberkulosis HIV negatif mencapai 1,3 juta
kasus, dan kasus meninggal dengan HIV positif mencapai 380.000 kasus. (1)
Gambar 1. Angka Insidens TB di Dunia (WHO, 2009)
Di Indonesia, penyakit TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Di
Indonesia pada tahun 2009 telah terjadi 61.000 kematian akibat TB atau 27 per 100.000
penduduk. Sedangkan kasus baru dengan BTA positif sebanyak 169.213 orang. Sedangkan
kasus TB relaps sebanyak 3.710 orang. Dari golongan penyakit infeksi, TB merupakan
penyebab kematian nomor 1. Diperkirakan setiap tahun terjadi 528,063 kasus baru TB dengan
kematian karena TB sekitar 140.000 secara kasar. Menurut WHO tahun 2009 diperkirakan
setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA positif.(2)
1
Dalam melaksanakan Pembangunan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten
mempunyai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di tingkat kecamatan yang dinamakan Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dalam rangka mencapai kecamatan sehat menuju
terwujudnya Indonesia sehat 2010 pemerintah telah menyelenggarakan berbagai upaya
kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu, salah satunya memanfaatkan Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di berbagai daerah sebagai pusat pelayanan kesehatan
terdepan dan sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggung jawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat diwilayah
kerjanya.(2)
Target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang memiliki target 80% untuk pencapaian
cakupan penemuan suspek TB, sedangkan pencapaian cakupan suspek TB di puskesmas
mungkid masih 8,18%, masih jauh dari target.
Jumlah pasien dengan BTA (+) yang terdata di Puskesmas Mungkid selama tahun
2012 berjumlah 4 orang. Desa-desa yang terdapat pasien dengan BTA (+) adalah desa
Rambeanak, Ambartawang dan Pabelan. Dua dari empat pasien dengan BTA (+) terdapat di
Rambeanak.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mencari tahu faktor – faktor
yang melatarbelakangi cakupan suspek TB di Puskesmas Mungkid periode Januari –
Desember 2012.Maka dari itu penulis memilih judul laporan “Rencana Peningkatan Cakupan
Suspek TB Paru Puskesmas Mungkid Periode Januari-Desember 2012”.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB
paru pada Puskesmas Mungkidperiode Januari – Desember 2012?
2. Apa saja alternatif pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab masalah
yang ditemukan?
3. Bagaimana prioritas pemecahan masalah sesuai dengan penyebab masalah
yang ada?
4. Apa saja kegiatan yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut?
\
2
1.3 Batasan Judul
Penulis memilih judul “Rencana Peningkatan Cakupan Suspek TB Paru
PuskesmasMungkid Kabupaten Magelang Periode Januari -Desember 2012”. Penulisan tugas
mandiri ini dilakukan untuk menganalisis faktor – faktor yang menyebabkan rendahnya
cakupan suspek TB paru, menentukan alternatif pemecahan masalah dan merencanakan
kegiatan yang akan dilakukan. Cakupan penemuan suspek TB paru yang dianalisis selama
satu tahun, yaitu bulan Januari-Desember 2012, dimana pencapaian cakupan suspek TB paru
yang diraih Puskesmas Mungkid masih di bawah target pencapaian yang ditetapkan Dinas
Kesehatan Kabupaten Magelang.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui, mengidentifikasi, menganalisis faktor – faktor yangmenyebabkan
rendahnya cakupan suspek TB paru, menentukan dan merumuskan alternatif
pemecahan masalah dan prioritas pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab
masalah, bagaimana prioritas pemecahan masalah serta kegiatan yang dapat dilakukan
untuk pemecahan masalah tersebut di Puskesmas Mungkid.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menganalisis faktor – faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan
suspek TB paru dari faktor input,proses maupun lingkungan di Puskesmas
Mungkid, Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang.
2. Mampu memberikan alternatif pemecahan masalah yang menyebabkan
rendahnya cakupan suspek TB paru di Puskesmas Mungkid Kabupaten
Magelang.
3. Mampu menentukan prioritas pemecahan masalah yang menyebabkan
rendahnya cakupan suspek TB paru di Puskesmas Mungkid Kabupaten
Magelang.
4. Mampu menyusun rencana kegiatan (POA) pemecahan masalah terpilih.
1.5 Manfaat Kegiatan
1.5.1 Manfaat bagi Penulis
1. Melatih kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat.
3
2. Melatih kemampuan analisis dan pemecahan masalah terhadap penyebab
masalah
1.5.2 Manfaat bagi Puskesmas
1. Membantu puskesmas Mungkid dalammengidentifikasi penyebab rendahnya
penemuan cakupan suspek TB paru.
2. Membantu puskesmas dalam memberikan alternatif penyelesaian terhadap
masalah rendahnya cakupan suspek TB paru.
1.5.3 Manfaat bagi Masyarakat
1. Pengetahuan tentang TB paru bagi masyarakat bertambah.
2. Masyarakat bisa berobat sedini mungkin apabila mengalami gejala penyakit
TB paru.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
complex.(1)
II.2. Tuberkulosis di Indonesia
Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah mendekati target
MilleniumDevelopment Goals (MDGs). Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia
mencapai 253 per 100.000 penduduk, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222
per 100.000 penduduk.(3)
Sementara itu, angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38
per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar 92 per 100.000 penduduk. Hal itu
disebabkan implementasi strategi DOTS di Indonesia telah dilakukan secara meluas dengan
hasil cukup baik.Pada tahun 2009 angka cakupan penemuan kasus mencapai 71 % dan angka
keberhasilan pengobatan mencapai 90 %. Keberhasilan ini perlu ditingkatkan agar dapat
menurunkan prevalensi, insiden dan kematian akibat TB.(3)
Walaupun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam Penanggulangan TB di
Indonesia, tapi tantangan masalah TB ke depan masih besar. Terutama dengan adanya
tantangan baru berupa perkembangan HIV dan MDR (Multi Drugs Resistancy) TB. Menkes
menyadari TB tidak bisa diberantas oleh Pemerintah atau jajaran kesehatan saja, tetapi harus
melibatkan dan bermitra dengan banyak sektor.(2)
Tahun 1995 Indonesia menerapkan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse
(DOTS) sebagai strategi penanggulangan TB yang direkomenasikan WHO. Strategi ini
diterapkan sebagai Program TB Nasional di berbagai negara termasuk Indonesia.(3)
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara
pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang
mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada
tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan
dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+.
Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case
5
Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun
terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target
global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang
utama.
Gambar 2. Pencapaian Program Pengendalian TB Nasional 1995 - 2009
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam
penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan
disparitas antar wilayah. Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan
85% kesembuhan.Tabel 1. Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009
II.3. Penularan TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis).Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.
Cara penularan :
6
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin,pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikandahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jamdalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalamu dara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko penularan :
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien. TBparu dengan BTA negatif.
Risiko penularan setiap tahunnyaditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection ( ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama
satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negative menjadi
positif.
Risiko menjadi sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun.
Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
7
buruk).
HIV merupakan factor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
Orang dengan BTA (+) dapat menginfeksi hingga 10-15 orang lain melalui kontak
dekat selama setahun. Tanpa pengobatan yang tepat, i dua pertiga orang dengan sakit TB akan
meninggal dunia.(6)
II.4. Strategi Nasional Program Pengendalian TB
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi, terdiri
dari 4 strategi umum dan didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh strategi ini
berkesinambungan dengan strategi nasional sebelumnya, dengan rumusan strategi yang
mempertajam respons terhadap tantangan pada saat ini. Strategi nasional program
pengendalian TB nasional sebagai berikut(5):
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin
kepatuhan terhadap International Standards for TB Care.
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB.
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
Strategi 1 sampai dengan strategi 4 merupakan strategi umum, dimana strategi ini
harus didukung oleh strategi fungsional yang terdapat pada strategi 5 sampai dengan strategi 7
untuk memperkuat fungsi-fungsi manajerial dalam program pengendalian TB.(5)
Salah satu program yang akan dikembangkan untuk memperluas dan meningkatkan
pelayanan DOTS yang bermutu, yaitu:Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui
Pemeriksaan Bakteriologis yang Terjamin Mutunya. (5)
Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi pemeriksaan laboratorium untuk TB
berkembang dengan pesat, deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan sputum
mikroskopis tetap merupakan kunci utama dalam penemuan kasus TB. Validasi berbagai
metode diagnosis baru juga akan dilaksanakan seiring dengan perkembangan pengetahuan
dan teknologi laboratorium untuk TB serta perluasan kegiatan DST di tingkat provinsi.(5)
8
Selain strategi untuk meningkatkan ketersediaan, akses dan akurasi dalam
pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis TB secara tepat, diperlukan pula
strategi untuk mengurangi keterlambatan diagnosis, baik yang disebabkan oleh faktor
pelayanan kesehatan maupun faktor pasien. Intervensi yang dilakukan mencakup(5):
1. Meningkatkan intensitas penemuan aktif dengan cara skrining pada
kelompok rentan tertentu (a.l. HIV, anak kurang gizi, rutan/lapas,
daerah kumuh, diabetes dan perokok)
2. Memprioritaskan pemeriksaan kontak
3. Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan penyedia pelayanan
terhadap simtom TB dan pelaksanaan ISTC
4. Meningkatkan kepatuhan terhadap alur standar diagnosis
5. Melaksanakan upaya meningkatkan kesehatan paru secara
komprehensif.
II.5. Pelaksana Pengendalian TB di Indonesia
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara administrative
berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan, yaitu Bina Upaya
Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2PL).
Pembinaan Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan merupakan tulang
punggung layanan TB dengan arahan dari subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah
sakit berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan. Pelayanan TB juga diselenggarakan di
praktik swasta, rutan/lapas, militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak
berada di dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama antar Ditjen
dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat diperlukan dalam menerapkan program
pengendalian TB yang terpadu.(5)
Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang punggung dalam
program pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota memiliki sejumlah FPK primer berbentuk
Puskesmas, terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS) dan
Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Pada saat ini Indonesia memiliki 1.649 PRM, 4.140 PS
dan 1.632 PPM. Selain Puskesmas, terdapat pula fasilitas pelayanan rumah sakit, rutan/lapas,
balai pengobatan dan fasilitas lainnya yang telah menerapkan strategi DOTS. Tenaga yang
telah dilatih strategi DOTS berjumlah 5.735 dokter Puskesmas, 7.019 petugas TB dan 4.065
petugas laboratorium. Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan program kesehatan, termasuk perencanaan, pembiayaan dan
9
pemantauan pelayanannya. Di seksi P2M Wakil supervisor (wasor) TB bertanggung jawab
atas pemantauan program, register dan ketersediaan obat.(5)
Di tingkat Provinsi, telah dibentuk tim inti DOTS yang terdiri dari Provincial Project
Officer (PPO) serta staf Dinas Kesehatan, khususnya di provinsi dengan beban TB yang
tinggi. Di beberapa provinsi dengan wilayah geografis yang luas dan jumlah FPK yang besar,
telah mulai dikembangkan sistem klaster kabupaten/kota yang bertujuan utama untuk
meningkatkan mutu implementasi strategi DOTS di rumah sakit. Rutan, lapas serta tempat
kerja telah terlibat pula dalam program pengendalian TB melalui jejaring dengan
Kabupaten/kota dan Puskesmas.Tabel 2. Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) yang Telah Menerapkan Strategi DOTS
II. 6. Penemuan Kasus Tuberkulosis
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, kegiatan penemuan pasien terdiri dari
penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.Penemuan
pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan
dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan
dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan
kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.(2)
Strategi penemuan pasien TB adalah(2) :
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
10
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif
dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama,
harus diperiksa dahaknya.
Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap :
a. Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien
dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),
b. Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga
pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh,
serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA
positif,
c. Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan
untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pegobatan
pencegahan.
d. Kontak dengan pasien TB resisten obat,
e. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang
sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktismenuju kesehatan paru (PAL =
practical approach to lung health), manajemen terpadu balita sakit (MTBS),
manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan
kasus TB di layanan kesehatan, mengurangi terjadinya “misopportunity” kasus TB
dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas
dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,
asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.(2)
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
11
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).(2)
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
sarana pelayanan kesehatan.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di sarana pelayanan kesehatan pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Peran biakan dan identifikasi Mycobacterium tuberculosis (Mt) pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT
yang digunakan.(2)
II.7. Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dewas
12
II.8. Faktor Budaya, dan lingkungan dalam Penemuan Suspek TB.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa gejala penyakit tuberkulosis karena penyakit
kutukan, termakan racun atau kena guna-guna oleh perbuatan orang lain sehingga penderita
berusaha untuk menyembunyikan penyakitnya karena takut dikucilkan dan disingkirkan dari
pergaulan masyarakat, sehingga penderita tidak mau mencari pengobatan ke pelayanan
kesehatan. Anggapan seperti ini menyebabkan masyarakat berobat ke dukun kampung.
Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku
menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya
13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar
tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang
dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51%
keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis.
Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan
dan persepsi masyarakat mengenai TB, mengurangi mitos-mitos TB melalui kampanye pada
kelompok tertentu dan membuat materi penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberkulosis dapat dilakukan
dengan penyuluhan perorangan dan kelompok. Penyuluhan perorangan kepada penderita
tuberkulosis yang dilakukan dengan baik dan berkesinambungan dapat meningkatkan
pemahaman penderita terhadap penyakit yang dideritanya sehingga dapat menghindari penderita
dari kemungkinan drop out dalam minum obat dan dapat mencegah terjadinya penularan
penyakit kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya. Penyuluhan juga dilakukan kepada
keluarga penderita dan pengawas minum obat (PMO) yang berguna untuk meningkatkan
pengetahuan mereka terhadap penyakit tuberkulosis yang menyebabkan keluarga dan PMO dapat
memberikan dorongan kepada penderita untuk melakukan pengobatan sampai selesai.
Penyuluhan kelompok mengenai peyakit tuberkulosis dapat dilakukan puskesmas dengan
cara memadukan dengan kegiatan-kegiatan masyarakat seperti mejelis taklim, wirid-wirid
pengajian, kegiatan PKK dan kegiatan di kecamatan sehingga kesulitan puskesmas dalam
mengumpulkan masyarakat dapat teratasi.
Dalam melakukan penyuluhan mengenai penyakit tuberkulosis, pengelola program TB
puskesmas dapat melakukan kerjasama lintas program dengan petugas Promosi Kesehatan
13
(Promkes) puskesmas sehingga penyuluhan yang dilakukan dapat terintegrasi dengan kegiatan
Promkes yang menyebabkan penyuluhan mengenai penyakit tuberkulosis dapat berjalan secara
terus menerus dan berkesinambungan.
Disamping itu untuk melakukan penyuluhan perorangan kepada penderita tuberkulosis
dan keluarganya, pengelola program TB puskesmas dapat juga melakukan kerjasama lintas
program dengan petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) dimana petugas
Perkesmas sering mengunjungi pasien tuberculosis ke rumahnya sehingga petugas Perkesmas
dapat dimintai untuk memberikan penyuluhan mengenai penyakit tuberkulosis dan pentingnya
penderita memakan OAT sampai selesai dan sembuh.
Survei pada tahun 2004 tersebut juga mengungkapkan pola pencarian pelayanan
kesehatan. Apabila terdapat anggota keluarga yang mempunyai gejala TB, 66% akan memilih
berkunjung ke Puskesmas, 49% ke dokter praktik swasta, 42% ke rumah sakit pemerintah, 14%
ke rumah sakit swasta dan sebesar 11% ke bidan atau perawat praktik swasta. Namun pada
responden yang pernah menjalani pengobatan TB, tiga FPK utama yang digunakan adalah rumah
sakit, Puskesmas dan praktik dokter swasta. Analisis lebih lanjut di tingkat regional
menunjukkan bahwa Puskesmas merupakan FPK utama di KTI, sedangkan untuk wilayah lain
rumah sakit merupakan fasilitas yang utama.
Keterlambatan dalam mengakses fasilitas DOTS untuk diagnosis dan pengobatan TB
merupakan tantangan utama di Indonesia dengan wilayah geografis yang sangat luas. Untuk
meningkatkan penemuan penderita tuberkulosis, dinas kesehatan kabupaten dan puskesmas dapat
melakukan modifikasi metode penemuan suspek tuberkulosis dengan memperhatikan budaya
daerah setempat.
II.9. Pencatatan dan Pelaporan
Salah satu komponen penting dari surveilans yaitu pencatatan dan pelaporan
dengan maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisisdiinterpretasi,disajikan
dandisebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan padakegiatan surveilans
harusvalid (akurat, lengkap dan tepat waktu)sehinggamemudahkan dalam pengolahan dan
analisis. Data program Tuberkulosis dapat diperolehdari pencatatan di semua unit pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistemyang baku.(2)
\
14
1. Pencatatan di Unit Pelayanan Kesehatan(2)
UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam
melaksanakan pencatatan menggunakan formulir :
Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS
Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak, bagian atas.
Kartu pengobatan TB
Kartu identitas pasien
Register TB UPK
Formulir rujukan/ pindah pasien
Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan.
2. Pencatatan di Laboratorium(2)
Laboratorium yang melaksanakan perwarnaan dan pembacaan sediaan dahak di PRM, PPM,
RS, BP-4, BLK dan laboratorium lainnya yang melaksanakan pemeriksaan dahak, menggunakan
formulir pencatatan sebagai berikut:
Register laboratorium TB
Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak bagian bawah
(mengisi hasil pemeriksaan).
3. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/ Kota(2)
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai
berikut :
Register TB Kabupaten
Laporan Triwulan Penemuan Pasien Baru dan Kambuh
Laporan Triwulan Hasil Pengobatan
Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif
Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang
Analisis Hasil Uji silang Kabupaten
Laporan Penerimaan dan Permintaan OAT
Laporan Pengembangan Ketenagaan (Staf) Program TB
Laporan Pengembangan Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB
15
4. Pencatatan dan Pelaporan di Propinsi.(2)
Propinsi menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai berikut :
Rekapitulasi Penemuan Pasien Baru dan Kambuh per kabupaten/ kota.
Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/ kota.
Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/ kota
Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi) per kabupaten/ kota
Rekapitulasi Penerimaan dan Pemakaian OTA) per kabupaten/ kota
Rekapitulasi Pengembangan Ketenagaan (Staf) Program TB
Rekapitulasi Pengembangan Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB
Jenis formulir yang digunakan :
1. TB 01 = Pengobatan penderita
2. TB 02 =.Identitas penderita
3. TB 04 = Register laboratorium puskesmas
4. TB 05 = Permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
5. TB 06 = Penderita tersuspek TB
6. TB 09 = Rujukan/Pindahan penderita
7. TB 10 = Hasil akhir pengobata penderita TB pindahan
Disamping formulir tersebut diatas terdapat juga formulir rekapansebagai berikut :
1. Rekapitulasi TB 02 tanggal perjanjian (mengambil obat,konsultasi dokter, periksa
ulangdahak)
2. Rekapitulasi TB 05 puskesmas (tanggal pemeriksaan,specimen dahak, hasil, tingkat
positif).
II.10. Strategi Kemitraan untuk Penjaringan TB Paru
Kemitraan dengan praktisi swasta dalam program penanggulangan tuberkulosis jika
terlaksana dengan baik akan mampu meningkatkan penemuan penderita tuberculosis serta dapat
melaksanakan pengobatan berdasarkan strategi DOTS. Dokter praktik swasta memiliki potensi
untuk dilibatkan dalam penemuan dan pengobatan penderita TB paru berdasarkan strategi
DOTS.
16
Dokter praktik swasta berperan dalam penemuan kasus TB dan mengirim pasien
tersangka TB untuk melakukan pemeriksaan BTA sputum ke puskesmas, melakukan pengobatan
sampai tuntas dengan strategi DOTS, menunjuk PMO, membuat catatan dan pelaporan yang
nantinya akan dijemput oleh petugas puskesmas. Penderita tersangka TB yang telah melakukan
pemeriksaan BTA sputum di puskesmas hasil kiriman dokter praktik swasta, dikembalikan lagi
ke dokter praktik swasta. Supaya dokter praktik swasta tertarik dengan program ini, maka pihak
puskesmas dapat memberikan OAT secara cuma-cuma kepada dokter praktik swasta dan
mempersilahkan dokter praktik swasta mengambil biaya konsultasinya.
Bidan dan perawat praktik swasta dalam kemitraan program penanggulangan TB
berperan dalam menemukan penderita tersangka tuberkulosis dan mengirimnya ke puskesmas
untuk melakukan pemeriksaan BTA sputum. Peran dari Dinkes dan Puskesmas adalah dengan
menyediakan sarana yang dibutuhkan praktisi swasta dalam program penanggulangan
tuberkulosis seperti pot sputum, OAT dan formulir pencatatan dan pelaporan.
Kemitraan yang terjalin perlu dilakukan pemantauan secara berkala, apakah masing-
masing pihak telah menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Dalam melakukan pemantauan,
sebaiknya dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten dan organisasi profesi kesehatan seperti
IDI, IBI dan PPNI. Dinas kesehatan kabupaten juga membuat kesepakatan dengan masing-
masing organisasi profesi kesehatan tersebut.
II. 10. Urutan Siklus Pemecahan Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara keadaan spesifik yang diharapkan, yang ingin
dicapai, yang menimbulkan rasa tidak puas, dan keinginan untuk memecahkannya.Dengan
demikian didapatkan ciri-ciri masalah(7) :
Menyatakan hubungan dua atau lebih variable
Dapat diukur
Dapat diatasi (Hartoyo,2007)
Urutan dalam siklus pemecahan masalah antara lain:
1. Identifikasi / inventarisasi masalah
Menetapkan keadaan spesifik yang diharapkan, yang ingin dicapai, menetapkan indikator
tertentu sebagai dasar pengukuran kinerja, misalnya SPM.Kemudian mempelajari
keadaan yang terjadi dengan menghitung atau mengukur hasil pencapaian.Yang terakhir
17
membandingkan antara keadaan nyata yang terjadi, dengan keadaan tertentu yang
diinginkan atau indikator tertentu yang sudah ditetapkan.
2. Penentuan prioritas masalah
Penyusunan peringkat masalah lebih baik dilakukan oleh banyak orang daripada satu
orang saja. Beberapa metode yang dapat digunakan antara lain: Hanlon, Delbeq, CARL,
Pareto, dll.
3. Penentuan penyebab masalah
Penentuan penyebab masalah digali berdasarkan data atau kepustakaan dengan curah
pendapat.Penentuan penyebab masalah hendaknya jangan menyimpang dari masalah
tersebut.
4. Memilih penyebab yang paling mungkin
Penyebab masalah yang paling mungkin harus dipilih dari sebab-sebab yang didukung
oleh data atau konfirmasi.
5. Menentukan alternatif pemecahan masalah
Seringkali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mudah dari penyebab yang
sudah diidentifikasi. Jika penyebab sudah jelas maka dapat langsung pada alternatif
pemecahan masalah.
6. Penetapan pemecahan masalah terpilih
Setelah alternatif pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan pemilihan pemecahan
terpilih.Apabila diketemukan beberapa alternatif maka digunakan Hanlon kualitatif untuk
menentukan/memilih pemecahan terbaik.
7. Penyusunan rencana penerapan
Rencana penerapan pemecahan masalah dibuat dalam bentuk POA (Plan of Action atau
Rencana Kegiatan)
8. Monitoring dan evaluasi
Ada dua segi pemantauan yaitu apakah kegiatan penerapan pemecahan masalah yang
sedang dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan menyangkut masalah itu sendiri,
apakah permasalahan sudah dapat dipecahkan.
18
Gambar 4. Diagram Analisis Masalah
II.11. Analisis Penyebab Masalah
Dalam menganalisis masalah digunakan metode pendekatan sistem untuk mencari
kemungkinan penyebab dan menyusun pendekatan-pendekatan masalah, dari pendekatan
sistern ini dapat ditelusuri hal-hal yang mungkin menyebabkan munculnya permasalahan
rendahnya Cakupan Suspek TB paru di wilayah Puskesmas Mungkid. Kecamatan Mungkid,
Kabupaten Magelang. Adapun sistern yang diutarakan disini adalah sistern terbuka pelayanan
kesehatan yang dijabarkan sebagai berikut(7) :
Gambar 5. Analisis Pemecahan Masalah Dengan Pendekatan Sistem
19
Masalah yang timbul terdapat pada output dimana hasil kegiatan tidak sesuai
standar minimal. Hal yang penting pada upaya pemecahan masalah adalah kegiatan dalam
rangka pemecahan masalah harus sesuai dengan penyebab masalah tersebut, berdasarkan
pendekatan sistern masalah dapat terjadi pada input, lingkungan maupun proses.(7)
II.12. Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah dengan Kriteria Matriks MIVC
Setelah prioritas masalah didapatkan, langkah selnjutnya adalah penentuan prioritas
pemecahan masalah dengan kriteria matriks dengan umus seperti di bawah ini (7):
Keterangan:
Magnitude (m)
Artinya besarnya penyebab masalah yang dapat diselesaikan, semakin besar atau banyak
penyebab masalah dapat diselesaikan maka akan semakin efektif.
Importancy (i)
Artinya pentingnya penyelesaian masalah, semakin penting cara penyelesaian dalam
mengatasi penyebab masalah maka akan semakin efektif.
Vunerability (v)
Artinya sensitifitas cara penyelesaian masalah, semakin sensitive maka akan semakin
efektif.
Skor untuk (magnitude, importancy dan vunerability):
1. Sangat kurang efektif
2. Kurang efektif
3. Cukup efektif
4. Efektif
5. Sangat efektif
Cost (c)
Artinya biaya.
Skor untuk (cost):
1. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan semakin kecil.
2. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan kurang besar
3. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan cukup besar
20
M x I x V
C
4. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan besar
Bila biaya atau sumber daya yang digunakan semakin atau sangat besar.
II.14. Pembuatan Plan of Action dan Gantt Chart
Setelah melakukan penentuan pemecahan masalah maka selanjutnya dilakukan
pembuatan plan of action serta Gantt Chart, hal ini bertujuan untuk menentukan
perncanaan kegiatan.(7)
II.15. Pengetahuan
II.15.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang
lain, media massa maupun lingkungan.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya
diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan
merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang.
Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan tahu. Pekerjaan
tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai (Drs. Sidi
Gazalba).
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan
adalah kepercayaan yang benar (knowledgement is justified true beliefed).
Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan
merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Dalam kamus filsafat, dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses
kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam
peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memilliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya
21
sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketehui pada
dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru dalam
diri orang tersebut menjadi proses berurutan :
1. Awarenes, dimana orang tersebut menyadari pengetahuan terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek).
2. Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus.
3. Evaluation, merupakan suatu keadaan mempertimbangkan terhadap baik
buruknya stimulus tersebut bagi dirinya.
4. Trial, dimana orang telah mulai mecoba perilaku baru.
5. Adaptation, dimana orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan
kesadaran dan sikap.
II.15.2. Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang mempunyai
enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003):
1. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan,
menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
2. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna hukum-
hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.
4. Analisis (Analysis)
22
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu
komponenkomponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya
satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti
kata kerja mengelompokkan, menggambarkan, memisahkan.
5. Sintesis (Sinthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan
yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek
tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2003).
II.15.3. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalamam
pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-
tingkatan diatas (Notoadmojo, 2003)
a. Tingkat pengetahuan baik bila skor > 75%-100%
b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60%-75%
c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60%
II.16. Perilaku
II.16.1. Definisi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
luar. Menurut Robert kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu
organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari.
Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi
organisme terhadap lingkungannya. Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan
23
bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar).
Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau
faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku
dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan
yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional,
jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan
faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
II.16.1. Determinan Perilaku
Green (1980), mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan.
Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes) (Notoatmodjo,
1993: 102-103). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yakni :
1. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem
nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Ikhwal
ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku kesehatan, misalnya pemeriksaan
kehamilan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat
periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Di samping itu, kadang-kadang
kepercayaan, tradisi, sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk
periksa hamil, misalnya orang hamil tidak boleh disuntik (periksa hamil termasuk memperoleh
suntikan anti tetanus), karena suntik bisa menyebabkan anak cacat. Karena faktor ini terutama
yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.
2. Faktor-faktor sarana dan prasarana (enabling factors)
24
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja,
ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan
kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa,
Dokter atau Bidan Praktek Swasta, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya
perilaku pemeriksaan kehamilan tersebut di atas, ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya
karena ia tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus
dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil; misalnya Puskesmas, Polindes, Bidan
Praktek, ataupun Rumah Sakit. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung terwujudnya perilaku
kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung
3. Faktor-faktor sikap (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh
agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini
Undang-Undang, peraturan-peraturan bayik dari Pusat maupun Pemerintah Daerah yang terkait
dengan kesehatan.Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku sehat, masyarakat
kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja,
malainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para
petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Di samping itu Undang-Undang, peraturan-
peraturan, dan sebagainya diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti
contoh perilaku periksa hamil tersebut di atas; di samping pengetahuan dan kesadaran
pentingnya periksa hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas periksa hamil, juga diperlukan
perilaku contoh dari tokoh masyarakat setempat. Demikian juga diperlukan peraturan atau
perundanganundangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan periksa hamil. Disimpulkan
bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan,
sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di
samping itu, ketersediaan fasilitas, dan sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap
kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. (7)
11.17 Rumah Sehat
Kriteria rumah sehat pada masingmasing parameternya adalah sebagai berikut.
25
1.Komponen rumah meliputi:
a.Langitlangit
b.Dinding
c. Jendela kamar tidur
d.Jendela ruang keluarga
e. Ventilasi
f. Sarana pembuangan asap dapur
g. Pencahayaan
2.Sarana sanitasi meliputi:
a.Sarana air bersih
b.Sarana pembuangan kotoran
c. Sarana pembuangan limbah
d. Sarana pembuangan sampah
3.Kolompok perilaku meliputi;
a.Membuka jendela kamar tidur
b.Membuka jendelaruang keluarga
c.Membersihkan rumah dan halaman
d. Membuang tinja ke WC
e.Membuang sampah pada tempat sampah
b. Kondisi rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia
1.Kelembaban
Kelembaban adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang
biasanya dinyatakan dalam persen.
Faktorfaktor kelembaban udara meliputi:
a. Keadaan bangunan
1. Dinding
Air hujan masuk dan meresap melalui poripori dinding sehingga akan
mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan.
2. Iklim dan Cuaca
Kelembaban udara secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.
26
Syaratsyarat kelembaban yang memenuhi standar kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Lantai dan dinding harus kering
b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban adalah Higrometer,
digantung pada papan yang terbuat dari kayu kemudian dapat dilihat berapa
angka kelembaban yang tertera pada alat tersebut kemudian melakukan
pencataan hasil. Keterkaitan antara kelembaban dan penyakit pneumoni adalah
saling berpengaruh terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban ini sangat erat
kaitannya dengan pertumbuhan etiologi pneumonia yang berupa virus, bakteri
dan jamur. Faktor etiologi tersebut dapat tumbuh dengan baik jika kondisi
optimal. Penghuni ruangan biasanya akan mudah menderita sakit infeksi
saluran nafas karena situasi tersebut.
2.Pencahayaan
Pencahayaan adalah proses masuknya cahaya kedalam ruangan
untuk keperluan aktifitas.
Pencahayaan dibagi menjadi dua kelompok:
a. Pencahayaan alami
Cahaya alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari kedalam
ruangan melalui jendela, celahcelah dan bagianbagian bangunan yang terbuka.
Cahaya matahari berguna selain untuk penerangan dapat juga untuk mengurangi
kelembaban ruangan,mengusir nyamuk dan membunuh kuman penyebab
penyakit.
Pencahayaan alam maupun buatan baik langsung maupun tidak langsung
dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60lux dan sebaiknya
tidak menyilaukan.
Menurut WHO standa rminimal cahaya alam yang memenuhi syarat
kesehatan untuk berbagai keperluan salah satunya adalah kamar keluarga dan
kamar tidur adalah 60lux .Untuk memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi
hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ke timur, luas
jendela minimal 1020% dari luas lantai.Jarak masuk cahaya juga diusahakan
27
dengan memakai genteng kaca.
b.Pencahayaan buatan.
Pencahayaan buatan yang baik dan memenuhi standar dapat
Dipengaruhi oleh:
1.Cara memasang sumber cahaya pada dinding atau langitlangit
2.Kontruksi sumber cahaya dengan ornament yang dipergunakan
3.Luas dan bentuk ruangan
4.Penyebaran sinar dari sumber cahaya
Alat yang dipakai untuk mengukur pencahayaan adalah lux meter.Cara
penggunaannya adalah alat langsung diletakkan pada ruangan yang akan
diperiksa, lihat dan dicatat hasilnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah
Indonesia melalui Departemen Pekerjaan Umum (DPU) telah menetapkan bahwa
untuk kesehatan ruangan, sinar matahari pagi harus masuk kedalam ruangan
minimal 1 jam sehari atau bila penerangan matahari tidak langsung minimal 8
jam.
3. Ventilasi
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor
secara alamiah atau mekanis harus cukup. Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan
No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan
perumahan,luaspenghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari
luas lantai.
Berdasarkan peraturan bangunan nasional, lubang hawa suatu bangunan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Luas jendela / lubang hawa sekurang -kurangnya 10% dari luas lantai ruangan.
b. Jendela atau lubang hawa harus meluas kearah atas sampai setinggi minimal
1,95 m dari permukaan lantai.
c.Adanya lubang hawa yang berlokasi dibawah langit-langit sekurang-kurangnya
0,35% luas lantai yang bersangkutan.
Ventilasi rumah berfungsi :
a. Untuk menjaga aliran udara di dalam rumah tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga.
28
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang
berarti kadar karbondioksida yang bersifat racun akan meningkat. Tidak
cukupnya ventilasi juga akan menyebabkan kelembaban udara di dalam rumah
akan naik karena terjadinya penguapan cairan.
b. Kelembaban ini merupakan media paling baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
c. Membersihkan udara ruangan dari bakteri bakteri patogen, karena terjadi aliran
udara yang terus menerus.
4. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian adalah banyaknya penghuni yang tinggal didalam rumah
dibandingkan dengan luas ruangan. Berdasarkan keputusan menteriKesehatan RI
No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas ruang
tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam
satu ruangan tidur kecuali anak umur dibawah 5tahun.
Salah satu cara mencegah penularan penyakit infeksi saluran pernafasan
terutama pneumonia maka jarak tempat tidur satu dengan tempat tidur lain minimal 90
cm. Dalam hubungan dengan penyakit pneumonia Balita maka kepadatan hunian akan
menyebabkan infeksi silang dengan penderita pneumonia di suatu ruangan dan
penularan penyakit melalui udara atau droplet akan cepat terjadi.Pada saat batuk, agent
penyebab penyakit keluar dalam bentuk droplet. Dan akan dibawa udara yang
selanjutnya masuk ke host barumelalui saluran pernafasan.
Kepadatan hunian rumah perlu diperhatikan karena:
a. Semua orang memerlukan tempat untuk melakukan aktiftasnya didalam rumah.
b. Keadaan rumah yang penuh sesak oleh penghuni akan mengurangi kenyamanan
dalam melakukan aktifitas.
c. Rumah yang padat penghuni akan lebih memungkinkan cepat terjadinya
penularan oleh virus dan kontak perorangan.
d. Rumah padat penghuni akan mempengaruhi psikologis penghuninya sehingga
produktifitas kerja akan menurun.
Tingkat kepadatan memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia khususnya Balita. Hal ini
terjadi karena tingkat kepadatan hunian rumah dapat mempengaruhi kualitas udara dalam
29
ruangan dan dapat mempermudah penularan penyakit untuk tingkat hunian rumah yang padat,
berarti banyak penghuninya sehingga menghasilkan banyak karbondioksida sebagai hasil
proses pernafasan.Karbondioksida tersebut mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan
karena semakin banyak jumlah orang yang menghuni ruangan, maka semakin banyak jumlah
udara segar yang dibutuhkan untuk pernafasan, sedangkan jumlah karbondioksida yang
dihasilkan jauh lebih besar.
30
BAB III
ANALISIS MASALAH
III. 1. Analisis Masalah
Cakupan suspek TB paru di Puskesmas Mungkid memiliki skor pencapaian 8,18%, jauh
dibawah target yang ditetapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang yaitu sebesar 80%.
Kegiatan
PokokIndikator Kerja
Target
DinKes
Kab.
Magelang
2012
Cakupan Pencapaian
Hasil
kegiata
n
% <100% >100%
P2 TB
Paru
Cakupan suspek TB
paru80% 44 6,55% 8,18%
Tabel 3. Pencapaian cakupan suspek TB paru Puskesmas Mungkid tahun 2012
Hasil Cakupan Penemuan suspek TB paru di Puskesmas Mungkid Kabupaten Magelang
Besar sasaran = 10.7 x jumlah penduduk Kecamatan Mungkid
Suspek TB paru 1000
= 10.7 x 63.193
1000
= 672
31
Dalam perhitungan hasil pencapaian cakupan suspek TB paru, maka perlu ditentukan
terlebih dahulu persentase cakupannya dengan rumus:
Cakupan% = Hasil Kegiatan x 100 %
Sasaran Berjalan
= Hasil Kegiatan ( Januari – Desember 2012 ) x 100 %
Sasaran
= 44 x 100 %
672
= 6,55%
Hasil kegiatan : Jumlah suspek TB paru
Sasaran : Jumlah perkiraan suspek TB paru (10,7/1000 x jumlah penduduk)
Kemudian setelah didapatkan cakupan (%) dihitung persentase pencapaian indikator kinerja
tersebut dengan menggunakan rumus:
Pencapaian = Cakupan (%) x 100%
Target
= 6,55 x 100%
80%
= 8,18%
Dari hasil perhitungan pencapaian program P2 TB Paru cakupan suspek TB paru periode
Januari – Desember 2012 didapatkan hasil sebesar 8,18 %. Hasil tersebut belum memenuhi
target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang sebesar 80%. Kurangnya pencapaian tersebut
merupakan suatu masalah yang harus dicari penyebab dan upaya penyelesaiannya.
32
Jumlah BTA (+) di setiap Desa di wilayah kerja Puskesmas Mungkid Periode Januari-
Desember 2012 :
Tabel 4. Jumlah BTA (+) di Desa Wilayah Kerja Puskesmas Mungkid
No. Desa Jumlah pasien dengan BTA (+)
Cakupan Pencapaian
1. Mungkid 0 0% 0%2. Pagersari 0 0% 0%
3. Bojong 0 0% 0%
4. Gondang 0 0% 0%
5. Senden 0 0% 0%
6. Treko 0 0% 0%
7. Blondo 0 0% 0%
8. Bumirejo 0 0% 0%
9. Ambartawang 1 25% 36%
10. Paremono 0 0% 0%
11. Pabelan 1 13% 18%
12. Ngrajek 0 0% 0%
13. Rambeanak 2 29% 41%
14. Progowati 0 0% 0%
Jumlah 4 6,55% 8,18%
Dari data diatas terlihat bahwa pasien dengan BTA (+) terdapat di tiga desa, yaitu
Rambeanak, Pabelan dan Ambartawang. Pasien dengan BTA (+) terbanyak terdapat di
Rambeanak yaitu sebanyak 2 pasien.
33
Jumlah suspek TB di setiap Desa di wilayah kerja Puskesmas Mungkid Periode Januari-
Desember 2012 :
Tabel 5. Jumlah Suspek TB di Desa Wilayah Kerja Puskesmas Mungkid
No. Desa Jumlah Suspek TB
1. Mungkid 42. Pagersari 5
3. Bojong 6
4. Gondang 0
5. Senden 0
6. Treko 0
7. Blondo 2
8. Bumirejo 1
9. Ambartawang 3
10. Paremono 5
11. Pabelan 3
12. Ngrajek 1
13. Rambeanak 11
14. Progowati 3
Jumlah 44
Dari tabel jumlah suspek TB didapatkan 44 suspek TB yang terdapat di Kecamatan
Mungkid. Jumlah suspek terbanyak terdapat di Desa Rambeanak yaitu sebanyak 11 suspek.
III. 2. Kerangka Pemecahan Masalah
Urutan dalam siklus pemecahan masalah antara lain :
a. Identifikasi/ inventarisasi masalah
Menetapkan keadaan spesifik yang diharapkan, yang ingin dicapai, menetapkan indikator
tertentu sebagai dasar pengukuran kinerja, misalnya SPM.Kemudian mempelajari
34
keadaan yang terjadi dengan menghitung atau mengukur hasil pencapaian.Kemudian
membandingkan antara keadaan nyata yang terjadi, dengan keadaan tertentu yang
diinginkan atau indikator tertentu yang sudah ditetapkan.
c. Penentuan penyebab masalah
Penentuan penyebab masalah dilihat berdasarkan data atau kepustakaan dengan curah
pendapat.Penentuan penyebab masalah hendaknya jangan menyimpang dari masalah
tersebut.
d. Memilih penyebab yang paling mungkin
Penyebab masalah yang paling mungkin harus dipilih berdasarkan sebab-sebab yang
didukung oleh data atau konfirmasi.
e. Menentukan alternatif pemecahan masalah
Seringkali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mudah dari penyebab yang sudah
diidentifikasi.Jika penyebab sudah jelas maka dapat langsung pada alternatif pemecahan
masalah.
f. Penetapan pemecahan masalah terpilih
Setelah alternatif pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan pemilihan pemecahan
masalah terpilih.Apabila ditemukan beberapa alternatif maka digunakan Hanlon kualitatif
untuk menentukan atau memilih pemecahan terbaik.
g. Penyusunan rencana penerapan
Rencana penerapan pemecahan masalah dibuat dalam bentuk POA (Plan of Action atau
rencana kegiatan)
h. Monitoring dan evaluasi
Ada dua segi pemantauan yaitu apakah kegiatan penerapan masalah yang sedang
dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan menyangkut masalah itu sendiri, apakah
permasalahan sudah dapat dipecahkan.
35
BAB IV
KERANGKA TEORI DAN PENELITIAN
IV.1. Kerangka Teori
Gambar 6. Kerangka Teori
36
INPUT
Man : dokter, perawat, petugas
laborat, koordinatorn
P2M TB
Money:Dana Puskesmas
Method:Penemuan kasus TB dengan cara pasif dengan
promosi aktif, dan pemeriksaan
kontak pasien BTA(+)
Material : puskesmas, pustu, PKD,
posyandu lansia
Machine:Laboratorium
SOP
PROSES
P1 : Perencanaan pemeriksaan
kontak, penyuluhanP2: kunjungan
kontakP3: Pengawasan,
pengendalian, penilaian
OUTPUT
Hasil Kegiatan
LINGKUNGAN
Pasien TB dengan BTA positif
Pengetahuan masyarakat tentang gejala TB
Penularan Penyakit TB
Lingkungan tempat tinggal
OUTCOME
Cakupan Suspek TB
Paru
IV.2. Kerangka Penelitian
Gambar 7. Kerangka Penelitian
37
Koordinasi lintas program di
puskesmas.
Pengetahuan masyarakat tentang
penyakit TB Paru.
Kerjasama antara puskesmas dengan
unit pelayanan kesehatan swasta
serta mengenai pendataan suspek TB
paru.
Kepatuhan penggunaan SOP TB
Paru.
Cakupan Suspek TB Paru
BAB V
METODE PENELITIAN
V.1. Jenis data yang diambil
Dalam melakukan penelitian tugas mandiri mengenai cakupan suspek TB, jenis data yang
diambil adalah data primer yang didapatkan dengan cara pengamatan langsung, wawancara dan
pengisian kuisioner dan data sekunder diperoleh dari laporan koordinator P2M TB Paru
Puskesmas Mungkid.
Wawancara dilakukan dengan koordinator P2M TB Paru Puskesmas Mungkid,
koordinator laboratorium, dan Bidan Desa Rambeanak. Pengisian kuisioner dilakukan di Desa
Rambeanak, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, sebanyak 20 responden yang terdiri
dari pasien BTA (+) dan orang-orang serumah yang kemungkinan kontak lama dengan pasien
BTA (+).
Pengumpulan data – data tersebut dilakukan tanggal 24-26 Maret 2013. Data yang
diperoleh dianalisis melalui pendekatan sistem, baik input, proses, dengan tujuan mengetahui
permasalahan secara menyeluruh. Data kemudian diolah untuk mengidentifikasi permasalahan.
Lalu dilakukan analisis masalah dengan mencari kemungkinan penyebab melalui pendekatan
sistem dengan diagram fishbone. Kemudian dilakukan konfirmasi penyebab yang paling
mungkin ke koordinator P2M TB Paru. Kemudian menentukan prioritas alternatif pemecahan
masalah secara sistematis yang paling mungkin dilaksanakan dengan menggunakan kriteria
matriks. Setelah itu, dibuat plan of action berdasarkan prioritas pemecahan masalah.
V. 2 .Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengkajian yang dilakukan meliputi :
a. Lingkup lokasi : Wilayah kerja Puskesmas Mungkid, Kabupaten Magelang
b. Lingkup waktu : Januari 2012 sampai Desember 2012
c. Lingkup sasaran : Cakupan suspek TB (10,7/1000 x jumlah penduduk)
d. Lingkup metode : Pengamatan, wawancara, kuesioner.
38
V. 3. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dimana
penelitian dilakukan dengan tujuan utama untuk memberikan gambaran menegenai suatu
keadaan secara objektif.
Rancangan penelitian yang digunakan berupa survey dengan tujuan untuk membuat
penlaian terhadap suatu kondisi dan penyelenggaraan suatu program dan hasilnya digunakan
untuk menyusun perencanaan perbaikan program tersebut.
V. 4. Definisi Operasional
a. TB paru: penyakit paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
b. Suspek TB paru adalah ditemukan gejala klinis TB, berupa batuk terus menerus dan
berdahak selama 3 minggu atau lebih dengan gejala tambahan berupa dahak yang
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
menurun berat badan menurun, malaise, keringat malam walaupun tanpa kegiatan dan
dilanjutkan pemeriksaan BTA sputum SPS dengan hasil negatif.
c. SOP adalah standar operasional prosedur adalah prosedur yang telah ditetapkan dan
harus dijalankan oleh petugas kesehatan
d. Sasaran adalah perkiraan suspek TB paru yaitu 10,7/1000x jumlah penduduk.
e. Cakupan adala jumlah suspek TB paru dibandingkan dengan sasaran bulan berjalan
dikalikan 100 persen.
f. Pencapaian adalah cakupan dibandingkan dengan target dinkes dikalikan 100 persen.
g. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi
melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Menurut Notoadmojo (2003) kedalaman pengetahuan yang ingin kita
ketahui atau kita ukur dapat dikategorikan sebagai berikut
- Tingkat pengetahuan baik bila skor 75-100 %
- Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60-75 %
- Tingkat pengetahuan kurang bila skor <60 %
39
h. Kepatuhan petugas kesehatan terhadap SOP: merupakan kepatuhan terhadap daftar
yang berisikan prosedur yang harus dilakukan dalam penanganan TB, dinilai dengan
checklist. Cara penilaian:
Tingkat Kepatuhan = Ʃ Ya x100%
Ʃ Ya + Ʃ Tidak
Tingkat kepatuhan yang baik adalah >80%.
V.4. Faktor – faktor Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi dalam laporan ini adalah petugas BP, petugas laboratorium,
pasien yang didiagnosa BTA (+), warga yang tinggal di sekitar dan kemungkinan kontak
dengan pasien BTA (+), namun belum dilakukan pemeriksaan sputum, tersangka yang
namanya tercatat sesuai data di P2M TB, di Desa Rambeanak Kecamatan Mungkid,
Kabupaten Magelang.
Kriteria eksklusi dalam laporan ini adalah warga yang sudah didiagnosis TB paru
kemudian sembuh, warga yang sudah mendapatkan pengobatan TB dan BTA (-),
penduduk yang tidak bisa baca tulis, penduduk yang tidak bersedia di wawancara dan ada
di tempat saat dikunjungi.
40
BAB VI
HASIL PENELITIAN
VI.1. Data geografi
Puskesmas Mungkid terletak di Kecamatan Mungkid, kabupaten Magelang.
1. Letak Geografis
Puskesmas Mungkid terletak pada 110⁰15’9” BT dan 7⁰33’13” LS
2. Batas Wilayah
Wilayah kerja unit pelayanan terpadu Puskesmas Mungkid kecamatan Mungkid
kabupaten Magelang memiliki batas wilayah sebagai berikut :
a. Utara : Kecamatan Mertoyudan
b. Timur : Kecamatan Sawangan
c. Selatan: Kecamatan Muntilan
d. Barat : Kecamatan Borobudur
3. Luas Wilayah
Puskesmas Mungkid memiliki luas wilayah kerja yaitu sebesar 34,86 km2.
4. Jumlah desa
Jumlah desa yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Mungkid berjumlah 14 desa
dengan nama - nama desa sebagai berikut :
- Desa Mungkid
- Desa Pagersari
- Desa Bojong
- Desa Gondang
- Desa Senden
- Desa Treko
- Desa Blondo
- Desa Bumirejo
- Desa Ambartawang
- Desa Paremono
41
- Desa Pabelan
- Desa Ngrajek
- Desa Rambeanak
- Desa Progowati
5. Peta Wilayah
Gambar 8. Peta wilayah kerja Puskesmas Mungkid
VI.2. Data demografi
1. Luas wilayah : 34,86 Km2
2. Jumlah keluarga sebanyak 17.027 kepala keluarga
3. Jumlah penduduk per jenis kelamin
a. Jumlah penduduk laki – laki : 34.185 jiwa
b. Jumlah penduduk perempuan : 34.497 jiwa
42
Total : 68.662 jiwa
4. Kepadatan penduduk :1970 jiwa/ Km2
5. Tingkat pendidikan penduduk
Tabel 4.Tingkat Pendidikan Penduduk Mungkid (usia 10 tahun ke atas) (2011)
NO TINGKAT
PENDIDIKAN
JUMLAH PERSENTASE
(%)
1 Tamat Universitas 3066 5,79%
2 Tamat D3/akademi 1277 2,41%
3 Tamat SMA 9138 17,27%
4 Tamat SMP 12611 23,84%
5 Tamat SD 24553 46,42%
6 Belum Tamat SD 1500 2,83%
7 Belum pernah sekolah 745 1,40%
JUMLAH 52890 100%
6. Banyaknya pemeluk agama di wilayah kerja Puskesmas MungkidTabel 5. Jumlah pemeluk Agama di Kecamatan Mungkid
AGAMA JUMLAHPERSENTASE
(%)
ISLAM 61246 96,83%
KRISTEN 463 0,73%
KATOLIK 1537 2,43%
HINDU 3 0,004%
BUDHA 0 0%
JUMLAH 63249 100%
43
7. Mata Pencaharian
NO MATA PENCAHARIAN JUMLAHPERSENTASE
(%)
1 BURUH TANI 10.136 16,41%
2 TANI 38.487 62,34%
3 BURUH 7.536 12,20%
4 PNS/ABRI 2.868 4,64%
5 PENSIUNAN 645 1,04%
6 PEDAGANG 2.064 3,34%
JUMLAH 61736 100%
VI.3. Hasil Wawancara dengan Koordinator Program P2M TB Paru
Berikut di bawah ini adalah hasil wawancara dengan koordinator P2M TB paru di
Puskesmas Mungkid.
Tabel 6. Wawancara dengan koordinator P2M TB Paru di Puskesmas Mungkid
No. Pertanyaan Jawaban
1. Bagaimana target penemuan
pasien suspek TB di
Puskesmas Mungkid?
Target penemuan
suspek TB tergantung jumlah penduduk, sama
dengan target tahunan dinkes yaitu 10,7/1000
dikali jumlah penduduk, yaitu 672. Maka target
perbulan di Puskesmas Mungkid adalah 56
pasien.
2. Bagaimana penjaringan
suspek TB paru dilakukan?
Pasien yang datang dengan gejala-gejala TB
paru dianamnesis di BP umum, kemudian
diberikan pot dahak kemudian diperiksa
dahaknya. Untuk yang di Pustu/PKD atau
datang ke bidan pasien dirujuk ke puskesmas
dan diberi pot dahak untuk diperiksa di
puskesmas.
44
Kami juga melakukan pelatihan/refreshing
kader dengan harapan kader dengan aktif
menyarankan warga di wilayahnya yang
memiliki gejala-gejala TB untuk diperiksa di
puskesmas.
3. Bagaimana pendataan pasien
suspek TB dilakukan?
Pasien suspek TB yang datang ke puskesmas di
data di buku TB 06.
5. Bagaimana dengan pendataan
suspek yang berobat ke
tempat lain seperti rumah
sakit, dokter swasta, atau
BKPM?
Rumah sakit biasanya melaporkan apabila ada
suspek atau pasien yang sudah terdiagnosis TB,
namun untuk dokter swasta, dan BKPM kami
sendiri yang harus aktif mencari data. Sebelum
2012 BKPM masih melaporkan namun
sekarang kami yang harus aktif mendatangi
BKPM.
7. Adakah dana khusus untuk
penyuluhan atau khusus untuk
program peningkatan cakupan
penemuan suspek TB?
Ada.
8. Adakah kendala dalam
penjaringan pasien dengan
suspek TB?
Kendalanya adalah pengetahuan warga yang
kurang sehingga pasien dengan gejala TB tidak
berobat ke puskesmas. Untuk kendala dari
ekonomi relatif tidak ada karena sekarang
sudah banyak pasien dengan jamkesmas dan
berobat serta pemeriksaan TB gratis. Namun
seringkali pasien apabila berobat ke puskesmas
daerah tempat tinggal mereka, mereka merasa
malu dan takut karena menganggap TB adalah
penyakit yang memalukan. Karena alasan itu
kebanyakan pasien yang memiliki gejala TB
berobat ke BKPM.
Dari sisi masyarakat, pengetahuan tentang TB
45
dan keinginan berobatnya masih rendah,
terutama pada pasien suspek TB paru yang di
anjurkan ke puskesmas dari PKD, bidan atau
pustu seringkali mereka tidak ke puskesmas.
9. Adakah kunjungan rumah
untuk pasien yang menderita
TB?
Ada, bisa oleh kami, atau memberdayakan
petugas kesehatan lain. Yang dilakukan di sana
adalah penyuluhan pribadi dan pada keluarga,
tentang penyakit TB, cara meminum obat,
bahayanya dan lain sebagainya.
10. Bagaimana cara pelaporan
data cakupan suspek TB
paru?
Laporan P2M TB ke dinkes 3 bulan sekali
kemudian untuk evaluasi 3 bulan-1 tahun
sekali, bisa dengan pengumpulan seluruh P2M
TB atau kunjungan dari dinkes ke puskesmas.
11. Jika pasien tidak datang ke
puskesmas setela diberi pot
dahak, adakah yang
menjemput?
Pot dahak bisa dijemput oleh saya sendiri, atau
minta tolong kepada bidan desa atau kader di
wilayah pasien tersebut.
12 Adakah kader khusus TB? Tidak ada.
13 Adakah jadwal penyuluhan
TB untuk warga?
Penyuluhan TB ada, tapi tidak terjadwal teratur.
14 Adakah pelatihan untuk kader
tentang penyakit TB paru?
Ada, tapi jadwalnya tidak tentu, bisa beberapa
bulan atau beberapa tahun sekali. Terakhir
bulan Februari kemarin.
15 Apakah formulir-formulir
sesuai pedoman
penanggulangan TB nasional
sudah diisi dengan baik?
Ya, sudah.
46
VI.4. Hasil Wawancara dengan Koordinator Laboratorium
Tabel 7. Hasil Wawancara dengan Koordinator Laboratorium
No. Pertanyaan Jawaban
1. Apa yang dilakukan terhadap
pasien suspek TB yang
dikirim dari BP puskesmas?
Pasien diperiksa dahak SPS. Pasien yang
dikirim langsung diminta mengeluarkan dahak
ke pot dahak kemudian diperiksa. Pasien yang
pulang kemudian diberi pot dahak untuk
mengeluarkan dahak pada pagi hari lalu dibawa
ke laboratorium.
2. Adakah perlengkapan di
laboratorium untuk
melakukan pemeriksaan
BTA?
Ya, ada.
3. Apakah bahan-bahan untuk
pemeriksaan BTA selalu
tersedia dari dinas kesehatan
kabupaten?
Iya, selalu tersedia, setiap kali bahan – bahan
tinggal sedikit, kami minta ke kabupaten dan
dengan segera disediakan.
5. Apakah semua alat untuk
pemeriksaan BTA dalam
kondisi baik?
Ya.
8. Bagaimana jika pasien sulit
mengeluarkan dahak?
Pasien diajarkan terlebih dahulu cara – cara
mengeluarkan dahak yang efektif, atau
biasanya pasien sudah diberikan obat
ekspekstoran (GG) oleh dr di BP umum.
9. Apakah ada form
laboratorium khusus seperti
yang ditetapkan depkes untuk
pemeriksaan BTA?
Iya tersedia.
10. Apakah penulisan identitas
pada preparat sudah sesuai
seperti yang ditetapkan oleh
Iya sudah sesuai.
47
depkes?
11. Dalam bentuk apa
pengawasan dari dinkes
terhadap pemeriksaan BTA
yang ibu lakukan?
Setiap 3 bulan sekali, semua preparat yang
telah diperiksa di puskesmas Mungkid,
dikumpulkan lalu dibawa ke dinkes Kabupaten
Magelang, untuk crosscheck.
12. Tindak lanjut dari
pemeriksaan itu apa?
Jika pemeriksaan yang keliru atau salah, maka
kami mengontak pasien yang berkaitan,
sehingga segera mendapatkan pengobatan. Jika
ternyata BTA pasien + maka yang bertanggung
jawab dengan program TB di puskesmas
Mungkid melakukan kunjungan rumah
13. Apakah dilakukan pendataan
identitas pasien suspek TB
dengan lengkap?
Iya, dilakukan dengan lengkap. Ditulis dalam
buku register lab TB.
VI.5. Hasil Pengamatan Kepatuhan Petugas
Dari hasil pengamatan kepatuhan petugas tanggal 26 Maret 2013 di Balai Pengobatan
Umum Puskesmas Mungkid terhadap petugas yang melakukan pemeriksaan terhadap 1 pasien
suspek TB:
No Check Point Ya Tidak
1 Apakah petugas menanyakan:a. Identitasb. Keluhan Utama:
- Batuk >3 mingguc. Keluhan Lain :
- Keringat malam- Sesak nafas- Nyeri dada- Sering merasa lelah- Berat badan menurun- Batuk berdarah
Riwayat penyakit dahuluRiwayat pengobatan
√
√
√√
√√√√
√√
48
2 Apakah petugas mengukur :- Suhu tubuh- Berat badan √
√
3 Apakah petugas meminta pasien memeriksakan dahak ke laboratorium
√
4 Apakah petugas memberi pot dahak dan menjelaskan cara mengeluarkan dahak yang benar
√
5 Apakah petugas mengisi formulir TB 05 untuk permohonan pasien periksa dahak ke laboratorium
√
7 Apakah petugas memasukkan data ke status masing-masing pasien
√
Tabel 8. Checklist hasil pengamatan
Tingkat Kepatuhan = Ʃ Ya x 100% = 12 x 100% = 80%
Ʃ Ya + Ʃ Tidak 12 + 3
Tingkat kepatuhan petugas kesehatan dalam pelaksanaan SOP TB sebesar 80%,
menandakan bahwa kepatuhan petugas baik.
VI.6. Hasil Pengisian Kuesioner
Berikut di bawah ini merupakan kuisioner yang dibagikan kepada 20 responden warga
yang dicurigai dengan suspek TB paru dan warga dengan BTA (+) di Desa Rambeanak
Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang.
a. Pertanyaan tentang pengetahuanTabel 9. Rekapitulasi Hasil Kuesioner Pengetahuan Penyakit TB
No Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 201 Apakah anda
mengetahui tentang penyakit flek paru/TBC?
Y Y Y Y Y Y Y T T Y Y Y T T T Y Y T T T
2 Apakah anda mengetahui gejala – gejala
Y T Y Y T Y T Y Y Y Y T T T T Y T Y T T
49
flek paru/TBC?
3 Apakah flek paru dapat disembuhkan?
Y Y Y T Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y T Y Y
4 Apakah flek paru/TBC menular?
Y T Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y T Y Y Y T
5 Apa yang menyebabkan flek paru/TBC?Virus BakteriJamur
6 Bagaimana cara penularannya?Makanan Dahak, udara Kulit
7 Berapa lama pengobatan flek paru/TBC hingga sembuh?2 bulan 4 bulan 6 bulan
8 Apakah anda tahu obat-obatan flek paru/TBC gratis dari pemerintah?
T T T T T T Y T T T T T Y Y Y T T T Y Y
9 Apakah anda pernah mendapat penyuluhan tentang TB paru dari tenaga kesehatan?
T T Y T T T Y T T T Y T T T T T T Y T T
Skoring 6 4 4 3 5 4 7 4 5 6 6 4 4 5 5 4 6 5 4 4Kriteria S K K K S K B K S S S K K S S K S S K K
Keterangan :
50
Benar : 1 Y: Ya : Pilihan jawaban responden
Salah : 0 T: Tidak
Skoring :
7-9 : Baik
5-6 : Sedang
<5 : Kurang
Kriteria Jml Responden Persen (%)
Baik 1 5%
Cukup 9 45%
Kurang 10 50%
Dari sembilan soal yang diberikan dapat disimpulkan bahwa pengetahuan mengenai
penyakit TBC cukup rendah, karena hasilnya didapatkan dari 20 responden bahwa hanya satu
responden berpengetahuan baik, dan 50% responden berpengetahuan kurang. Kebanyakan
responden tidak bisa menjawab dengan benar apa yang menyebabkan tuberkulosis dan banyak
yang tidak mengetahui bahwa pengobatan tuberkulosis gratis dari pemerintah.
b. Pertanyaan tentang perilaku
Tabel 10. Rekapitulasi Hasil Kuesioner Perilaku Responden1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
011
12
13
14
15
16
17
18
19
20
%
1 Jika anda sakit
kemanakah anda
biasa berobat?
Nakes 100%
Dukun
Tidakberobat
2 Apakah anda
pernah/sedang
mengalami
gejala seperti
batuk berdahak
lebih dari dua
minggu, batuk
berdarah, badan
Y Y T Y Y Y Y Y Y T Y Y Y Y T T Y T Y Y 75%
51
lemah, berat
badan menurun,
nafsu makan
menurun,
berkeringat di
malam hari?
3 Jika mengalami
gejala seperti
diatas apa yang
akan anda
lakukan?
Berobat ke
nakes
95%
Beli obat di
warung
5%
Biarkan saja
4 Apakah orang
yang dekat
dengan anda
(keluarga) atau
tetangga pernah
mengalamigejel
a seperti diatas?
Y Y Y Y Y Y Y Y Y T Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y 5%
5 Apakah terdapat
kendala berobat
ke bidan desa/
puskesmas?
Y Y Y Y Y Y T Y Y T Y Y Y Y Y Y Y T Y Y 90%
6 Apakah anda
biasa makan
dengan gizi
seimbang?
Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y 100%
Skor 6 6 5 6 6 6 5 6 6 3 6 6 6 6 4 5 6 3 6 6
B B B B B B B B B K B B B B B B B K B B
Keterangan :
Benar : 1 Y: Ya
Salah : 0 T: Tidak
52
Skoring :
4-6 : Baik
<4 : Kurang
Kriteria Jml Responden Persen (%)
Baik 18 90
Kurang 2 10
Dari enam soal yang diberikan dapat disimpulkan bahwa perilaku respondenbaik. Soal -
soal tersebut diberikan pemilihan mengenai pemahaman apabila responden sakit/mengetahui
tentang TB apa yang akan dilakukan. Dari 20 responden yang ikut menjawab hanya dua
responden yang berperilaku kurang baik. Lima diantara 20 responden pernah mengalami
gejalaTB paru, satu diantaranya langsung memeriksakan diri ke BKPM, sisanya tidak
mengetahui bahwa yang dialaminya adalah gejala TB paru.
c. Pertanyaan tentang lingkunganTabel 11. Rekapitulasi Hasil Kuesioner Lingkungan Responden
1 2 3 4 5 61 Apakah
rumah anda
mempunyai
langit-
langit?
T T Y Y Y T
2 Apakah rumah anda mempunyai pencahayaan yang cukup?
Y Y Y Y Y Y
3 Apakah lantai di rumah anda kedap air?
T T Y Y Y Y
4 Apakah rumah anda mempunyai jendela kamar tidur?
T Y Y Y Y Y
5 Apakah Y Y Y Y Y Y
53
rumah anda mempunyai ventilasi?
6 Apakah di rumah anda terdapat sarana pembuangan sampah?
Y Y Y Y Y Y
7 Bagaimana kebersihan lingkungan sekitar anda?
Y Y Y Y Y Y
8 Apakah di sekeliling anda ada yang batuk-batuk lama?
T Y T Y T T
Skor 5 6 5 8 7 6Kriteria K K K B K K
Keterangan :
Benar : 1 Y: Ya
Salah : 0 T: Tidak
Skoring :
7-8 : Baik
<7 : Kurang
Kriteria Jml Rumah Persen (%)
Baik 1 16,3%
Kurang 5 83,7%
Dari hasil kuesioner mengenai lingkungan didapatkan hanya 16% yang cukup
memenuhi kriteria rumah sehat.
54
BAB VII
PEMBAHASAN
VII. 1. Analisis Penyebab Masalah
Berdasarkan pendekatan sistem, dapat ditelaah penyebab-penyebab dari kurangnya balita
dengan pneumonia yang ditemukan atau ditangani sesuai standar. Masalah tersebut dapat
disebabkan oleh input, lingkungan dan proses. Input terdiri dari 5 komponen, yaitu: Man,
Money, Method, Material, dan Machine. Sedangkan pada proses terdiri dari P1 (perencanaan),
P2 (pergerakkan dan pelaksanaan), dan P3 (pengawasan, pengendalian, dan penilaian).
Tabel 12.Analisis kemungkinan penyebab masalah
INPUT KELEBIHAN KEKURANGAN
Man Adanya tenaga kesehatan seperti dokter dan
perawat di puskesmas yang bisa mengenali
gejala TB paru di puskesmas.
Adanya petugas laboratorium untuk
memeriksa sediaan dahak.
Adanya P2M TB sebagai koordinator
program.
Adanya bidan di PKD dan kader yang
membantu menjaring pasien di posyandu
lansia
Tingkat kepatuhan terhadap SOP baik.
Kurangnya pemberdayaan
kader dalam menjaring pasien
dengan gejala TB
Money Tersedianya dana dari Dinas Kesehatan
untuk TB Paru, mulai dari penemuan kasus,
pemeriksaan sputum BTA, dan pengobatan..
Tidak ada masalah
Method Adanya penjaringan suspek TB dengan cara Kurangnya jumlah penyuluhan
untuk promosi aktif penjaringan
55
pasif di BP umum setiap hari kerja.
Adanya kunjungan ke rumah bagi pasien
yang menderita TB, termasuk penyuluhan ke
keluarga 1 rumah pasien TB agar
memeriksakan diri ke puskesmas.
Adanya penyuluhan tentang TB paru ke
masyarakat.
suspek TB paru, dan jadwal
penyuluhan tidak teratur dan
merata.
Material Tersedianya balai pengobatan puskesmas
sebagai tempat untuk memeriksa pasien
suspek TB.
Tersedianya Pustu, PKD dan Posyandu lansia
yang dapat merujuk suspek TB ke
puskesmas.
Tersedianya laboratorium sebagai sarana
untuk pemeriksaan dahak pasien suspek TB
paru
Tidak ada masalah
Machine Tersedianya alat untuk melakukan
pemeriksaan fisik (stetoskop)
Adanya SOP penanggulangan TB di
puskesmas.
Tersedianya alat – alat laboratorium untuk
melakukan pemeriksaan sampel dahak
Tersedianya blanko pengisian pelaporan TB
sesuai program penanggulangan TB nasional.
Tersedianya buku register pemeriksaan BTA.
SOP hanya tersedia di BP
puskesmas, du pustu maupun
PKD tidak ada.
Kurangnya media informasi
seperti poster atau leaflet
untuk sosialisasi TB paru di
tempat umum.
Lingkungan Terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan
dari wilayah tempat tinggal masyarakat.
Masyarakat jika sakit memilih berobat ke
tenaga kesehatan terdekat.
Pengetahuan masyarakat yang
kurang terhadap TBC.
56
PROSES KELEBIHAN KEKURANGANP1 Terdapatnya target penjaringan jumlah
pasien suspek TB di Puskesmas
Kurangnya koordinasi lintas
program
Kurang penyuluhan yang
terjadwal tentang TB kepada
masyarakat
P2 Petugas kesehatan (bidan, dokter dan
perawat) di BP umum melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik kepada pasien
tersangka TB dan melakukan rujukan ke
laboratorium untuk melakukan pemeriksaan
dahak.
Petugas kesehatan di pustu maupun PKD
merujuk ke puskesmas untuk diperiksa dahak
apabila pasien memiliki gejala TB.
Jumlah penyuluhan TB paru
masih kurang.
P3 Adanya laporan bulanan dan tahunan P2M
TB.
Laporan program P2M TB paru dilaporkan
ke dinas kesehatan kabupaten tiap 3 bulan
sekali, disertai dengan data pencapaian
program.
Evaluasi program 3 bulan – 1 tahun sekali
Kurangnya koordinasi untuk
pendataan pasien BTA (+) yang
berobat ke poliklinik swasta,
rumah sakit, BKPM.
Dari analisis penyebab masalah di atas maka didapatkan beberapa penyebab
masalah yaitu:
57
1. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB paru.
2. Kurangnya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru
yangmemeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta,
poliklinik), rumah sakit dan BKPM di area wilayah kerja Puskesmas Mungkid
3. Kurangnya koordinasi lintas program, dengan promkes atau kesling untuk mengadakan
penyuluhan TB
4. SOP hanya terdapat di puskesmas sedangkan di PKD, pustu dan posyandu lansia belum
ada.
58
59
Kurangnya jumlah penyuluhan untuk promosi aktif penjaringan suspek TB paru.
MAN
MACHINE
METHODKurangnya pemberdayaan kader dalam menjaring
pasien dengan gejala-gejala TB
SOP tidak terpasang di pustu, PKD Kurangnya media informasi seperti poster atau leaflet untuk sosialisasi TB paru di tempat umum.
INPUT
MONEY
MATERIAL
LINGKUNGAN
Pengetahuan masyarakat yang
kurang terhadap TBC
PROSES
P2
P1
P3
Kurangnya koordinasi lintas programKurangnya adanya penyuluhan yang terjadwal tentang TB kepada masyarakatKurangnya peran aktif kader untuk membantu petugas kesehatan dalam penemuan aktif suspek TB.
Jumlah penyuluhan TB paru masih kurang.
Kurangnya koordinasi untuk pendataan pasien suspek TB dan BTA (+) yang berobat ke poliklinik swasta, rumah sakit, BKPM.
Cakupan Suspek TB Paru rendah
Gambar 9. Diagram fishbone
VII.3 ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH Tabel 13. Alternatif Pemecahan Masalah
Penyebab Masalah Alternatif Pemecahan Masalah
Kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang TB paru.
Penyuluhan terhadap penduduk yang terjadwal
dengan rutin dan merata untuk meningkatkan
pengetahuan penduduk tentang TB paru.
Kurangnya pencatatan dan pendataan
terhadap pasien suspek TB paru
yangmemeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan swasta (bidan, dokter praktek
swasta, poliklinik), rumah sakit dan
BKPM di area wilayah kerja Puskesmas
Mungkid.
Koordinasi di tingkat Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang untuk melaporkan
penderita dengan BTA (+) dari unit pelayanan
kesehatan swasta, rumah sakit dan BKPM
Kurangnya koordinasi lintas program,
dengan promkes atau kesling untuk
mengadakan penyuluhan TB
Rapat koordinasi untuk menambah kerjasama
agar penyuluhan dapat terjadwal, inspeksi
lingkungan dan kunjungan ke rumah pasien
dengan BTA (+) dan memeriksa orang yang
terkena kontak lama.
SOP hanya terdapat di puskesmas
sedangkan di PKD, pustu dan posyandu
lansia belum ada.
Pemasangan bagan SOP di posyandu lansia,
PKD, pustu.pembuatan poster& penyebaran
leaflet tentang TB.
60
VII. 4. PENGGABUNGAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Tabel 14. Penggabungan Alternatif Pemecahan Masalah
Penyebab Masalah Alternatif Pemecahan Masalah
Kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang TB paru.
Kurangnya pencatatan dan pendataan
terhadap pasien suspek TB paru
yangmemeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan swasta (bidan, dokter praktek
swasta, poliklinik), rumah sakit dan
BKPM di area wilayah kerja Puskesmas
Mungkid
Kurangnya koordinasi lintas program,
dengan promkes atau kesling untuk
mengadakan penyuluhan TB
SOP hanya terdapat di puskesmas
sedangkan di PKD, pustu dan posyandu
lansia belum ada.
Penyuluhan terhadap penduduk yang
terjadwal dengan rutin dan merata untuk
meningkatkan pengetahuan penduduk
tentang TB paru.
Koordinasi di tingkat Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang untuk melaporkan
penderita dengan BTA (+) dari unit
pelayanan kesehatan swasta, rumah sakit
dan BKPM
Rapat koordinasi untuk menambah
kerjasama agar penyuluhan dapat
terjadwal, inspeksi lingkungan dan
kunjungan ke rumah pasien dengan BTA
(+) dan memeriksa orang yang terkena
kontak lama.
Pemasangan bagan SOP di posyandu
lansia, PKD, pustu.pembuatan poster&
penyebaran leaflet tentang TB.
61
VII.5 Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah dengan Kriteria Matriks MIVCTabel 15. Matrix MIVC
Alternatif Pemecahan
Masalah
Magnitude
(M)
Importancy
(I)
Vulnerabil
ity (V)
Cost
(C)
Jumlah Priorita
s
Penyuluhan terhadap
penduduk yang terjadwal
dengan rutin dan merata untuk
meningkatkan pengetahuan
penduduk tentang TB paru
5 5 5 2 62,5 II
Koordinasi di tingkat Dinas
Kesehatan Kabupaten
Magelang untuk melaporkan
penderita dengan BTA (+) dari
unit pelayanan kesehatan
swasta, rumah sakit dan
BKPM.
3 3 4 1 36 III
Pemasangan bagan SOP di
posyandu lansia, PKD,
pustu.pembuatan poster&
penyebaran leaflet tentang TB
4 3 4 2 24 IV
Rapat koordinasi untuk
menambah kerjasama agar
penyuluhan dapat terjadwal,
5 4 4 1 80 I
62
inspeksi lingkungan dan
kunjungan ke rumah pasien
dengan BTA (+) dan
memeriksa orang yang terkena
kontak lama.
Berdasarkan matriks MIVC maka didapatkan prioritas alternatif pemecahan masalah sebagai
berikut:
1. Rapat koordinasi untuk menambah kerjasama agar penyuluhan dapat terjadwal,inspeksi
lingkungan dan kunjungan ke rumah pasien dengan BTA (+) dan memeriksa orang yang
terkena kontak lama.
2. Penyuluhan terhadap penduduk yang terjadwal dengan rutin dan merata untuk
meningkatkan pengetahuan penduduk tentang TB paru
3. Koordinasi di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang untuk melaporkan suspek
TB dan penderita dengan BTA (+) dari unit pelayanan kesehatan swasta (dokter swasta,
poliklinik), rumah sakit swasta dan negeri dan BKPM.
4. Pemasangan bagan SOP di posyandu lansia, PKD, pustu sertapembuatan poster &
penyebaran leaflet tentang TB.
63
VII.6 Plan Of Action
No Kegiatan Tujuan Sasaran Lokasi Pelaksana Waktu Dana Metode Tolak ukur
1 Rapat Koordinasi
Koordinasi lintas program yang lebih baik
Mengupayakan kerjasama dengan pelayanan kesehatan swasta dalam pencatatan dan pelaporan pasien suspek TB. .Penambahan Jadwal penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB paru
Tenaga kesehatan, (dokter, perawat), petugas lab, bagian kesling, bagian promkes.
Puskesmas Mungkid
P2M TB paru, bagian Promosi Kesehatan dan Kesehatan lingkungan Puskesmas Mungkid
1 tahun 2 kali mulai bulanApril 2013
DanaPuskesmas Mungkid
Rapat Proses:
Terselenggaranya rapat yang membahas program untuk meningkatkan cakupan suspek TB paru
Hasil:
Meningkatnya koordinasi lintas program
Meningkatnya kerjasama antara P2M TB paru
Jadwal kegiatan penyuluhan selesai dibuat.
2 Penyuluhan tentang
Meningkatnya pengetahuan
Masyarakat di area
Balai Bagian 6 bulan Dana Ceramah Proses:
64
TB Paru masyarakat tentang TB Paru
wilayah kerja Puskesmas Mungkid
desa,posyandulansia, rumah warga yang dapat digunakan untukacara.
P2M TB Paru dan Bagian Promkes
sekali dimulai bulan April2013
Operasional Puskesmas Mungkid
dan penyuluhan
Terselenggaranya penyuluhan tentang TB Paru
Hasil: Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang TB Paru
65
3. Koordinasi di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang untuk melaporkan suspek TB dan BTA (+) dari unit pelayanan kesehatan selain puskesmas.
Pendataan pasien dengan BTA (+) yang berobat ke unit pelayanan kesehatan selain puskesmas.
Unit pelayanan kesehatanswasta yang berada di wilayah kerja puskesmas Mungkid.
Puksesmas/unit pelayanan kesehatan swasta.
Bagian P2M TB Paru
6 bulan sekali dimulai bulan Juni 2013
Dana dinkes.
Pencatatan dan pelaporan pasien dengan suspek TB
Proses: Terselenggaranya kerjasama yang baik antara puskesmas dan unitpelayanan kesehatan swasta dalam pencatatan suspekTB paru.
Hasil: Terdatanya seluruh pasiensuspekTB yang berada di wilayah kerja puskesmas Mungkid.
4. Pemasangan
bagan SOP di
posyandu
lansia, PKD,
pustu
sertapembuat
an poster &
penyebaran
Meningkatkan pengetahuan serta kesadaran mengenai SOP TB
Pustu, PKD Pustu, PKD
Bagian P2M TB
1x pemasangan
Dana Operasional Puskesmas Mungkid
Pemasangan bagan SOP
Proses:
Terpasangnya bagan SOP
Hasil:
Peningkatan pemahaman tentang TB
66
leaflet
tentang TB.
Tabel 16. Plan of Action
67
BAB VIII
GANTT CHART
Tabel 17.Gantt Chart
No Kegiatan April Mei Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des Jan Feb Maret Apr
1 Rapat Koordinasi
2 Penyuluhan tentang TB Paru
3 Kerjasama dengan institusi swasta
4 Pemasangan SOP
68
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
IX.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi program Puskesmas Mungkid pada bulan Januari –
Desember 2012, didapatkan skor pencapaian program cakupan suspek TB paru yaitu 8,18%,
jauh di bawah target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang yaitu 80%. Kemudian
selanjutnya dilakukan analisis kemungkinan penyebab masalah yang melatarbelakangi
rendahnya cakupan suspek TB paru. Setelah dilakukan konfirmasi dengan Koordinator
P2MTB paru, ditemukan tujuh masalah yang paling mungkin, yaitu kurangnya pemberdayaan
kader dalam menjaring pasien dengan gejala-gejala TB, tidak ada kader khusus TB
kurangnya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yangmemeriksakan diri
ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) dan BKPM di area
wilayah kerja Puskesmas Mungkid, kurangnya jumlah penyuluhan untuk promosi aktif
penjaringan suspek TB paru.Pengetahuan masyarakat yang kurang terhadap TBC, kurangnya
koordinasi lintas program dengan promkes atau kesling untuk mengadakan penyuluhan TB
dan tersangka TB ada yang tidak kembali untuk mengumpulkan sampel dahak.
Alternatif pemecahan masalah yang paling bermanfaat adalah Penyuluhan terhadap
penduduk yang terjadwal untuk meningkatkan pengetahuan penduduk tentang TB paru,
refreshing pelatihan kader secara teratur dan sosialisasi tentang perlunya menjaring pasien
suspek TB, kerjasama dengan pelayanan kesehatan swasta dalam pencatatan dan pelaporan
pasien suspek TB, dengan mengisi blanko sesuai pedoman penanggulangan TB nasional rapat
koordinasi untuk menambah kerjasama agar penyuluhan dapat terjadwal, inspeksi lingkungan
dan kunjungan ke rumah pasien dengan BTA (+) dan memeriksa orang yang terkena kontak
lama.
IX.2 Saran
1. Terhadap Puskesmas Mungkid :
a. Penyuluhan terhadap penduduk yang terjadwal untuk meningkatkan pengetahuan
penduduk tentang TB paru.
69
b. Kerjasama dengan pelayanan kesehatan swasta dalam pencatatan dan pelaporan
pasien suspek TB, dengan mengisi blanko sesuai pedoman penanggulangan TB
nasional.
c. Rapat koordinasi untuk menambah kerjasama agar penyuluhan dapat terjadwal,
inspeksi lingkungan dan kunjungan ke rumah pasien dengan BTA (+) dan memeriksa
orang yang terkena kontak lama.
.2. Untuk masyarakat:
a. Masyarakat diharapkan untuk lebih memahami dan mawas diri terhadap gejala –
gejala TB paru dan faktor risikonya
b. Pasien suspek TB paru diharapkan menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan
dahak di Puskesmas setempat
c. Pasien dengan TB paru diharapkan untuk kontrol rutin dan berobat secara teratur ke
puskesmas.
70
BAB X
PENUTUP
Demikianlah laporan hasil survey kesehatan dan rencana peningkatan cakupan suspek
TB paru di Puskesmas Mungkid, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
yang telah terlaksana dengan baik, berkat kerjasama antara warga desa, perangkat desa,
tenaga kesehatan dan instansi yang terkait. Dengan kerjasama yang baik tersebut akan
didapatkan alternatif pemecahan masalah dari faktor-faktor penyebab rendahnya cakupan
suspek TB paru di Puskesmas Mungkid. Besar harapan penulis dengan adanya kegiatan ini
dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang terkait dalam meningkatkan cakupan
suspek TB paru.
Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat yang berarti dalam upaya peningkatan
kesehatan warga Dusun Kalangan, Desa Ambartawang, Kecamatan Mungkid, Kabupaten
Magelang.
71
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. 2011.
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia: 2006.
3. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014. Diperoleh
dari:http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_TB.pdfDiundu
h tanggal 26 Maret 2013
4. Pengendalian TB di Indonesia Sudah Mendekati Target MDG’s. Diperoleh
dari : http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/857-
pengendalian-tb-di-indonesia-mendekati-target-mdg.html. Diunduh tanggal 26
Maret 2013
5. Millenium Development Goals. Diperoleh dari:
http://www.unicef.org/mdg/childmortality.html. Diunduh tanggal 25 Maret
2012.
6. World Health Organization. Tuberculosis. Diperoleh dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/. Diunduh tanggal 27
Maret 2013.
7. Hartoyo. Handout : Manajemen Pelayanan/Manajemen Program di
Puskesmas. Magelang; 2012.
72
LAMPIRAN
73
74