review kontroversi kaum paderi
DESCRIPTION
ReviewTRANSCRIPT
![Page 1: Review Kontroversi Kaum Paderi](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022080912/55cfe3fe5503467d968b725b/html5/thumbnails/1.jpg)
KONTROVERSI KAUM PADERI
REVIEW
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filologi Semester II
Dosen Pengampu : Drs. Mustari, M. Hum
Disusun oleh :
Maulana Arif Hidayat (11140002)
ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
![Page 2: Review Kontroversi Kaum Paderi](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022080912/55cfe3fe5503467d968b725b/html5/thumbnails/2.jpg)
Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku Nan Renceh
Penulis : Suryadi
Judul : Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku Nan Renceh
Review :
A. Pendahuluan
Tak dapat dipungkiri bahwa perwatakan dari Tuanku Nan Renceh yang akan dibahas dalam
review ini berwatak radikal dan militan. Perlu diketahui lebih dalam lagi tentang histori seorang
tokoh ternama yang berasal dari Minangkabau ini. Berbagai peneliti telah mencari tentang data
pribadi Tuanku Nan Renceh ini demi keperluan hausnya rasa keingintahuan mereka terhadap data
pribadinya yang valid untuk di publikasikan di depan publik.
B. Isi review
Masyarakat Minangkabau masa lampau pernah merasakan pengalaman pahit akibat
radikalisme agama di awal abad ke-19. Pada masa itu moral masyarakat Minang sudah pada tahap
lampu merah. Kemudian golongan ulama melancarkan gerakan kembali ke syariat dengan
membasmi bid’ah dan khurafat. Mereka melakukannya dengan pendekatan persuasif melalui
dakwah dan pengajian. Namun, kemudian muncullah seorang ulama yang radikal dan militan di
antara mereka. Beliau bernama Tuanku Nan Renceh, Ia bersama pengikutnya memilih jalan
kekerasan yang berakibat terjadi pertumpahan darah antara sesama orang Minangkabau yang tak
terhindarkan dan sehingga menorehkan lembaran hitam dalam sejarah Minangkabau. Apabila
mengingat nama Tuanku Nan Renceh maka akan teringat pada Perang Paderi. Dialah panglima
Paderi yang militan dan ditakuti selama perang berlangsung. Tidak banyak data historis tentang
beliau, hanya terdapat catatan-catatan fragmentris tentang data sosok Tuanku Nan Renceh
berdasarkan berbagai catatan yang berasal dari sumber asing (Belanda) maupun dari sumber
pribumi.
Tuanku Nan Renceh berasal dari Kamang Ilia, Luhak Agam dan dilahirkan pada tahun 1870-an.
Satu sumber pribumi yaitu Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir yang
merupakan salah seorang ulama Paderi, menyatakan pada masa remaja Tuanku Nan Renceh
di Darek (pedalaman Minangkabau) belajar agama kepada seorang ulama berpengaruh pada saat itu
yang bernama Tuanku Nan Tuo. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang sebaya dengan Tuanku nan
Renceh antara lain Fakih Saghir. Tahun-tahun terakhir abad ke-18 Tuanku Nan Renceh sudah aktif
![Page 3: Review Kontroversi Kaum Paderi](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022080912/55cfe3fe5503467d968b725b/html5/thumbnails/3.jpg)
berdakwah bersama sahabatnya Fakih Saghir. Mereka aktif di dalam masjid Kota Hambalau di nagari
Canduang Kota Lawas” (Kratz & Amir: 23). Mereka telah berdakwah selama empat tahun lamanya
sebelum kemudian Haji Miskin (salah seorang pencetus Gerakan Paderi) pulang dari Mekah pada
tahun 1803. Berarti paling tidak Tuanku Nan Renceh yang sewaktu itu masih seorang ulama muda
sudah aktif berdakwah sejak tahun 1799 beberapa tahun sebelum gerakan Paderi resmi dimulai oleh
Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang. Tampaknya bintang Tuanku Nan Renceh cepat
bersinar, dan semua itu karena sikapnya yang terkenal sangat radikal dan militan. Ia segera
melibatkan diri sepenuh hati dan jiwa ke dalam Gerakan Paderi. Ini mungkin karena berita tentang
Negeri Mekah yang didengarnya dari tiga haji yang baru pulang dari sana. Tak ada bukti bahwa
Tuanku Nan Renceh pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Tapi sudah biasa terjadi dalam soal
Islam bahwa pendengar jadi lebih fanatik daripada yang mengalami sendiri pergi ke Mekah.
Di awal tahun 1820-an Tuanku Nan Renceh sudah menjadi salah seorang komandan perang
Kaum Paderi yang menguasai lima nagari, yaitu Kamang, Bukik, Salo, Magek, dan Kota Baru. Ia dan
pasukannya sangat ditakuti: bila mereka menyerang suatu nagari dapat dipastikan bahwa nagari itu
menderita. Pasukan Tuanku Nan Renceh dijuluki dengan istilah “kerbau yang tiga kandang” (Kratz &
Amir: 37), sebab perbuatan mereka dianggap sudah sama dengan perilaku binatang. Fakih Saghir
menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh memiliki perawakan kecil tubuhnya (Kratz & Amir: 24),
yang bersesuaian dengan namanya yaitu renceh berarti kecil, lincah, dan bersemangat. Perwatakan
rambut dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu jadi pakaian, sorban dan jubah
panjang hingga bawah lutut berwarna putih, membawa Al-Quran yang ditaruh dalam kantong merah
yang digatungkan di leher adalah perwatakan dari ulama / panglima Paderi.
Tak ada riwayat apapun tentang keluarga Tuanku Nan Renceh, bahkan nama kecilnya juga
tidak diketahui. Hanya ada sedikit kisah tragis bahwa beliau memulai jihadnya dengan cara sadis
dengan cara menyuruh membunuh bibinya sendiri. Menurut Mangaraja Onggang Parlindungan, Ibu
Tuanku Nan Renceh yang bergelar orang kaya yang tidak mau mengikuti perintahnya berhenti
makan sirih, ketika wafat mayat ibu nya tidak dikuburkan tetapi dibuang ke hutan karena dianggap
kafir. Menurut beliau memakan sirih dianggap kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Dengan
begitu, Tuanku Nan Renceh cepat mendapat pengikut dari mereka yang berjiwa militan.
Naskah SKSJ mencatat bahwa akhirnya Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo yang
tetap memegang sikap moderat dalam memperjuangan cita-cita Gerakan Paderi. Tuanku Nan Tuo
mengecam cara-cara di luar peri kemanusiaan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh dan
pengikutnya terhadap penduduk nagari-nagari yang mereka taklukkan. Tuanku Nan Renceh
menghina Tuanku Nan Tuo dengan sebutan sebagai rahib tua dan Fakih Saghir teman
seperguruannya digelarinya “Raja Kafir dan Raja Yazid” (Kratz & Amir: 41).
![Page 4: Review Kontroversi Kaum Paderi](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022080912/55cfe3fe5503467d968b725b/html5/thumbnails/4.jpg)
Perpecahan di kalangan pemimpin Paderi tak terelakkan. Tuanku Nan Renceh membentuk
kelompok sendiri yang terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan” yang militan di berbagai
daerah seperti di Kubu Sanang, Ladang Lawas, Padang Luar, Galuang, Kota Hambalau, Lubuk Aur,
dan Bansa (Kratz & Amir: 39). Mereka memisahkan diri dari Tuanku Nan Tuo dan mencari patron
(imam besar) yang baru, yaitu Tuanku di Mansiang. Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya pun
beberapa kali berusaha membunuh Tuanku Nan Tuo. Ia menganggap mantan gurunya itu
menghalang-halangi tujuannya dan terus-menerus mengeritik jalan radikal yang ditempuhnya
bersama pengikutnya. Namun, seperti diceritakan Fakih Saghir dalam SKSJ, upaya pembunuhan itu
gagal.
Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya yang militan menjadi lebih terkenal, meredupkan pamor
kelompok moderat Tuanku Nan Tuo dan pengikutnya. Mereka mewajibkan kaum lelaki memelihara
jenggot dan apabila dicukur maka didenda 2 suku [1 suku = 0,5 Gulden), memotong gigi didenda
seekor kerbau, lutut terbuka didenda 2 suku, wanita yang tidak pakai burka didenda 3 suku,
memukul anak didenda 2 suku, menjual/mengkonsumsi tembakau didenda 5 suku, memanjangkan
kuku maka jari akan dipotong, merentekan uang didenda 5 shilling, meninggalkan shalat pertama
kali didenda 5 suku dan apabila mengulanginya akan dihukum mati.
Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya menjadi momok besar bagi masyarakat Minang waktu
itu, khususnya Kaum Adat. Semakin meluasnya pengaruh faksi radikal Kaum Paderi yang dibidani
oleh Tuanku Nan Renceh telah mendorong Kaum Adat minta bantuan kepada Belanda. Pada 21
Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah Darek kepada Kompeni dalam perjanjian yang
ditandatangani di Padang sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan
kaum Paderi. Ikut mengundang pula sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di
Koto Tangah, dekat Batu Sangkar pada 1815.
Tidak ditemukan sebuah data sejarah yang menunjukkan bahwa Tuanku Nan Renceh pernah
berhadapan langsung dengan Belanda di medan pertempuran. Dalam penyerangan ke Kamang pada
1822 Belanda hanya berhadapan dengan pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Gapuak.
Catatan-catatan fragmentaris dalam dokumentasi Belanda terhadap Tuanku Nan Renceh lebih
didasarkan atas cerita-cerita orang Minang sendiri, bukan dari pertemuan langsung dengan panglima
Paderi itu. Harap dicatat bahwa apa yang terjadi di pedalaman Minangkabau tetap masih gelap bagi
orang Eropa sampai akhirnya Thomas Stamford Raffles berkunjung ke Pagaruyung pada 16-30 Juli
1818. Sebelumnya, orang Inggris dan Belanda di pantai memang mendengar ada perseteruan antar
sesama orang Minang di pedalaman, tapi mereka hanya dapat kabar berita dari para pedagang yang
pergi ke pantai tanpa menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka apa sesungguhnya yang
![Page 5: Review Kontroversi Kaum Paderi](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022080912/55cfe3fe5503467d968b725b/html5/thumbnails/5.jpg)
terjadi di pedalaman. Mungkin karena itu pula sampai akhir hayatnya, sosok Tuanku Nan Renceh
tetap lebih banyak mengandung misteri, sebab tak banyak sumber Belanda yang mencatatnya.
Vigelius dan E. Francis mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh wafat tahun 1832 di Medjang,
sebuah desa dalam wilayah Laras Bukit, Luhak Agam. Menurut Naskah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku
Nan Renceh wafat karena sakit. Pada tahun wafatnya Tuanku Nan Renceh, pusat Gerakan Paderi
sudah pindah ke Bonjol dengan pemimpin utamanya yaitu Tuanku Imam Bonjol, salah seorang
panglima Paderi yang dibesarkan oleh Tuanku Nan Renceh.
Tuanku Nan Renceh adalah sosok kontroversial, seorang penganjur agama Islam tapi dalam
melakukan misinya sudah melewati dogma-dogma Islam sendiri. Tangannya terlalu banyak berlumur
darah sudara-saudaranya sendiri sesama orang Minang. Masih untung kekeliruan ini akhirnya
disadari oleh Tuanku Imam Bonjol, ulama Paderi penerus Tuanku Nan Renceh. Jika Tuanku Nan
Renceh dan pengikutnya tidak bersikap radikal, mungkin jalan sejarah Minangkabau (Perang Paderi)
akan jadi lain.
Masa lalu tak akan kembali. Tapi “jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata almarhum
Presiden Sukarno. Untuk konteks kekinian masyarakat kita, kisah Tuanku Nan Renceh patut menjadi
cermin sejarah bagi generasi Minangkabau dan generasi Indonesia pada umumnya, baik kini maupun
masa depan, terutama bagi mereka yang tangannya menggenggam kekuasaan, yang tak sadar apa
akibatnya jika dengan sikap radikal dan taklid menjadikan agama sebagai komoditas politik.
C. Kesimpulan
Penulis ingin menyampaikan beberapa point penting kepada pembaca, dan saya dapat
mengambil beberapa point penting dari tulisan ini yang diantaranya yaitu :
Sikap seorang Tuanku Nan Renceh yaitu seorang yang radikal dan militan semasa
hidupnya, tanpa tolerir kepada siapa saja yang telah dianggapnya menyimpang dari
ajaran agam Islam maka akan dimusuhi bahkan dibunuh. Dengan sikap keras nya ini maka
kaum Paderi memiliki banyak musuh dari kaum Islam moderat, terutama kaum pengikut
Tuanku Nan Tuo.
Menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan memang dirasa suatu saat penting
untuk dilakukan, namun apabila selalu menggunakan cara kekerasan dalam berbagai
permasalahan maka bukan jalan keluarlah yang didapat, akan tetapi kerugian-kerugian
yang akan diperoleh. Dengan jalan bermusyawarah jauh lebih baik hasilnya.
Pada zaman modern ini menerapkan sistem radikalisme dan militan dirasa kurang cocok
dengan kondisi masyarakat kekinian yang lebih mengedepankan sistem musyawarah.
Hanya ada segelintir kelompok radikal dan militan yang masih menggunakan cara
berjuang seperti Tuanku Nan Renceh.