review artikel modern analgesia labor fixed
DESCRIPTION
berisi tentang berbagai tulisan tentang analgesi persalinan modernTRANSCRIPT
REVIEW ARTIKELUPDATE NEURAXIAL ANALGESIA MODERN PADA PERSALINAN
Oleh: C. Loubert, A. Hinova, dan R. Fernando
RingkasanBanyak cara dan alternative terapi telah digunakan untuk menghilangkan nyeri pada proses
persalinan. Pada beberapa tahun terakhir, beberapa pengembangan telah mencapai/membuktikan
manfaat dan keamanan tindakan neuraxial analgetik dan juga meningkatkan kepuasan ibu pada
proses persalinan. Analgesia pada persalinan adalah bidang dari Anestesi Obstetri yang berkembang
dengan cepat, review ini adalah update, dari pandangan klinis, terhadap perkembangan selama 5-7
tahun terakhir. Kami mendiskusikan manfaat dan perdebatan/perbedaan yang berhubungan dengan
kombinasi spinal-epidural analgesia, pasien yang mengontrol epidural analgesia (PCEA), dan
penggabungan/penggunaan system computer pada modalitas analgesia. Kami juga membahas
literature terbaru terkait kondisi klinis di masa depan dan perspektif penelitian termasuk USG
sebagai panduan untuk meletakkan/memasang neuroaxial blok, epidural sebagai adjuvant, dan
farmakogenetik. Kami akhirnya melihat hasil akhir dengan memperhatikan pada epidural analgetik
dan pemberian ASI.
Banyak strategi dan alternative pengobatan yang sudah digunakan untuk
mengurangi nyeri pada ‘rasa paling nyeri yang pernah dirasakan wanita’, nyeri saat
melahirkan. Didalamnya termasuk pendekatan non-farmakologi seperti
menggunakan hypnosis, akupungtur, hidroterapi, dan TENS, juga pemberian NO
dengan sevoflurane dosis rendah dan opioid perenteral. Walaupun beberapa terapi
terbukti mampu menghilangkan nyeri berdasarkan persepsi/sudut pandang ibu,
namun ada bukti bahwa local neuraxial anesthesia dan opioid adalah pengurang
nyeri yang lebih baik dan lebih dapat dipertanggungjawabkan daripada metode
yang telah disebutkan di atas.
Walaupun termasuk tindakan invasive, pemberian analgetik neuraxial pada proses
persalinan dipertimbangkan sebagai tindakan yang aman. Lebih dari 10 tahun
terakhir ini, beberapa pengembangan telah mencapai/membuktikan manfaat dan
keamanan tindakan neuraxial analgetik dan juga meningkatkan kepuasan ibu pada
proses persalinan. Perkembangan tersebut termasuk pengenalan kombinasi spinal-
epidural analgesia (CSE), ‘mobile epidural’, patient controlled epidural analgesia
(PCEA), injeksi epidural yang dibantu computer, dan USG sebagai panduan tindakan
neuraxial. Kemajuan-kemajuan tersebut telah diperkenalkan ke praktik sehari-hari
saat penelitian sedang berlangsung yang distimulasi oleh ketertarikan pandangan
klinis ke depan. Ulasan ini berfokus pada kemajuan terkini dalam penggunaan
neuraxial analgesic dalam persalinan dan pada tulisan/karya ilmiah yang
berhubungan dalam 5 tahun terakhir. Kami menggunakan metode medline-based
research untuk semua tulisan/karya yang dipublikasikan sejak januari 2005,
dengan memasukkan keyword sebagai berikut: labour analgesia; epidural; spinal;
combined spinal-epidural; pregnancy; obstetric; neo-stigmine; clonidine;
pharmacogenetics; dan breastfeeding. Kami memfokuskan penelitian kami pada on
prospective, RCT, juga meta analisis dan kemudian melengkapi penelitian kami
dengan uji coba retrospective observasional dan laporan kasus yang
berkaitan/berhubungan. Untuk kejelasan diskusi dan ketika beberapa
pertimbangan dibutuhkan, kami juga memasukkan tulisan/karya dari beberapa
tahun ini.
Memulai neuraxial analgesia
Penggunaan usg pada tekhnik neuraxial
Penggunaan USG menjadi popular sebagai panduan untuk melakukan neuraxial
blok. USG bisa membantu untuk menentukan midline, menunjukan lokasi epidural
space, mengukur jarak kulit dan epidural space dan memperkirakan seberapa dalam
jarum dimasukkan. Diperkirakan, penggunaan usg sebelum melakukan puncture
lumbal dapat membantu klinisi menilai anatomi lumbal pasien, yang mana bisa
memfasilitasi peletakan/memasukkan jarum epidural tidak hanya pada pasien
sehat, namun juga pada ibu hamil yang gemuk dan pada pasien dengan scoliosis.
Selain itu, juga telah terlihat/Nampak bahwa usg bisa digunakan sebagai alat
pembelajaran, mempertajam pembelajaran penyuntikan jarum epidural dengan
meningkatkan tingkat keberhasilan dan mengurangi percobaan yang gagal pada
pemberian pereda nyeri persalinan. Pada akhirnya, teknologi USG membuka pintu
untuk dapat melakukan penelitian baru seperti pemahaman tentang fisiologi dan
farmakologi neuraxial blok dan pengembangan ‘difficult spine score’ seperti
perkambangan scoring penilaian penyulit manajemen jalan nafas terdahulu.
Penjelasan masalah teknik dan ulasan dari pertimbangan yang berkaitan dengan
usg sebagai panduan lumbar epidural anestesi di luar lingkup artikel ini dan kami
mengundang/mengajak pembaca untuk berkonsultasi pada review artikel karya
carvalho.
Kombinasi spinal-epidural analgesia
Kombinasi spinal-epidural analgesia (CSE) telah menjadi alternative yang
sangat popular selain pemberian dosis rendah epidural analgesia pada persalinan.
Seperti sebutannya, teknik CSE terdiri dari injeksi pada spinal dengan obat anestesi
local atau opioid larut lemak (biasanya fentanyl atau sufentanyl), dilanjutkan
dengan memasukkan cateter kedalam ruang epidural, untuk maintenens anti nyeri.
Dengan cara ini kita dapat memanfaatkan onset cepat spinal anestesi untuk
mengurangi nyeri, anestesi saraf akar sacral/ekstremitas bawah yang dapat
dipercaya/meyakinkan/pasti, efek analgesia kualitas baik khusunya pada proses
persalinan kala dua, kepuasan ibu, dan rendahnya kadar obat di aliran darah ibu
dan anak. CSE juga memungkinkan dokter anestesi dapat memberikan titrasi
analgesic melalui cateter epidural indwelling. Beberapa percobaan dan ulasan
metaanalisis mengulas lebih dari 2500 wanita dalam 19 RCT secara konstan
memperlihatkan onset cepat analgetik (kurang lebih 10 menit) dengan CSE
dibandingkan dengan tehnik epidural dosis rendah yang standard, sementara kedua
teknik tersebut mempunyai efek analgesic yang bagus dan kepuasan proses
persalinan bagi ibu. Karena di dalam CSE terdapat tindakan injeksi opioid ruang
subarachnoid, CSE dikaitkan dengan peningkatan kejadian gatal yang tinggi
disbanding epidural analgesia.
Karena semakin meluas dan berkembangnya nya penggunaan teknik ini dan
beberapa investigasi umum, dosis obat regimen intrathecal belum dipertimbangkan
untuk digunakan. Terlebih lagi, penelitian tersebut telah mencari tau potensial CSE
terkait efek samping seperti DJJ yang abnormal, nyeri kepala post dural injeksi, dan
blok ekstremitas bawah, yang terdapat dalam artikel ini.
Dosis obat anestesi local untuk CSE
Bertujuan untuk menentukan regimen intrathecal yg optimal, yang
menunjukkan efek anti nyeri pada persalinan yang paling efektif namun juga
meminimalkan efek samping, beberapa kombinasi obat analgesic spinal golongan
opioid yang larut lemak telah diteliti. Beberapa metode sudah dilakukan, dan
akhirnya telah ditemukan dosis median/rata-rata (MLAD) untuk neuraxial analgesic
dan anestesi. MLAD tersebut, yang mana adalah perkiraan dosis efektif (ED50) obat,
adalah alat/sarana penelitian, dari beberapa potensi obat analgesic berbeda yang
dapat diperoleh. Stock dkk. menentukan MLAD bupivacaine untuk injeksi
intratechal tanpa fentanyl atau dengan fentanyl berkisar antara 5-25g.
Penambahan fentanyl menghasilkan penurunan MLAD bupivacaine itu sendiri, dan
memperpanjang efek analgesic namun meningkatkan kejadian pruritus/gatal.
Camorcia dkk melaporkan potensi analgetik bupivacaine lebih besar daripada
levobupivacaine dan ropivacaine. Sia dkk menemukan perbandingan potensi rasio
propivacaine : bupivacaine intrathecal seperti yang ditemukan oleh Camorica dkk,
akan tetapi dosis median efektif yang ditentuukan Sia dkk untuk levobupivacaine
dan ropivacaine lebih kecil daripada dosis yang ditendtukan oleh Camorica dkk.
Pengamatan ini, juga besarnya ED50 pada table 1, bisa dijelaskan dengan berbagai
factor seperti perbedaan desain penelitian dalam menentukan berhasilnya
pemberian analgetik dan populasi yang diteliti. Menariknya, Parpaglioni dkk
mengamati bahwa MLAD levobupivacaine menurun sejalan dengan meningkatnya
volume injeksi intrathecal dan menunjukkan bahwa peningkatan 1 ml obat anastesi
local hamper melipatgandakan respon. Pasien yang mendapatkan volume suntikan
yang lebih tinggi menunjukkan berkurangnya kejadian hipotensi dan blok motoric.
Hasil tersebut berkebalikan disbanding spinal anestesi pada secsio cesaria, yang
mana tergantung sepenuhnya pada dosis obat anestesi yang diberikan daripada
volume obat yang diinjeksikan di ruang sub arachnoid.
Walaupun sebuah alat/sarana yang bermanfaat, informasi yang ditunjukkan
oleh penelitian MLAD tidak sesuai dengan kondisi klinis yang sebenarnya. Regimen
terkini untuk bolus spinal pada CSE persalinan, yang dilaporkan dalam 6 kali
percobaan oleh Simmons dkk dan digunakan dalam percobaan lainnya,
mengandung bupivacaine 2.5mg dengan fentanyl 25g. Dosis efektif pada 95%
populasi (ED95) lebih berharga/bermakna pada rata-rata dosis klinis dan bisa
diperkirakan dari berbagai macam variasi, walau dengan beberapa derajat
kesalahan. Sia dkk menentukan ED95 untuk levobupivacaine dan ropivacaine tanpa
penambahan opioid dan menunjukkan bahwa dengan dosis 2,5-3mg kedua obat
tersebut terbukti memberi efek analgetik pada semua pasien. Whitty dkk
menunjukkan bahwa ED95bupivacaine intratechal ditambah fentanyl 15g adalah
1,66mg (95% Cl 1,50-482,5mg). Rentang di atas 95% Cl diakui oleh penulis sebagai
anomaly statistic tapi disimpulkan bahwa angka keberhasilan blok sensory
mencapai 100% pada pasien yang mendapat dosis 1,75mg. Van de Velde dkk
menunjukkan respon dosis penuh untuk bupivacaine racemic dan S-enantiomer
dari levobupivacaine dan ropivacaine, semua dengan tambahan 1,5g sufentanil.
Penulis menunjukkan bahwa bupivacaine lebih kuat dari pada ropivacaine dan
levobupivacaine namun nilai ED95 nya lebih tinggi dari yang ditunjukkan Sia dkk dan
Whitty dkk. Akhirnya Parpaglioni dkk menunjukkan bahwa ketika persalinan
diinduksi, ED95 untuk bupivacaine lebih tinggi daripada ketika persalinan normal.
Kecuali penelitian yang dilakukan oleh Van de Velde dkk, temuan oleh peneliti lain
ditampilkan pada table 2 dan dari Lim dkk menduga bahwa dosis 2,5mg secara
intrathecal, semua obat anestesi local digunakan untuk CSE pada persalinan, dengan
atau tanpa opioid larut lemak, harus menunjukkan efek anti nyeri yang kuat.
Teknik ‘Dural puncture epidural’
Pada percobaan awal/invitro dan pada pasien non obstetric manyarankan
bahwa ada kemungkinan perpindahan zat yang disuntikkan secara epidural masuk
ke CSS melalui lubang dural yang tercipta saat dilakukan CSE dengan
pengembangan pada kualitas epidural analgesia. Manfaat dari teknik ‘dural
puncture epidural’ – yang mana lubang pada dural dibuat dengan jarum spinal tapi
cairan anestesi disuntikkan hanya pada ruang epidural dan bukan pada CSF – telah
dicari tahu selama persalinan. Thomas dkk secara acak mengalokasikan 251 ibu
hamil yang akan melahirkan, yang membutuhkan neuraxial analgetik selama
persalinan, untuk mendapatkan teknik epidural yang biasa atau dural puncture
epidural dengan menggunakan jarum spinal ukuran 27-G. Setelah mendapatkan
epidural bolus 10ml lidocaine 2%, semua pasien diberi PCEA. Beratnya blok
sensoris, kejadian blok unilateral, jumlah PCEA yang ditambahkan, sama semua
pada kedua group. Dalam penelitian lain yang mirip, Capiello dkk secara acak
mengalokasikan 80 pasien yang akan partus ke dalam 2 kelompok: teknik epidural
yg biasa vs teknik dural puncture epidural dengan menggunakan jarum 25-G.
Setelah bolus 12ml bupivagaine dimasukkan ke epidural, PCEA dimasukkan. Hasil
pengamatan menemukan bahwa dural puncture, tanpa memasukkan obat ke
arachnoid, menghasilkan visual analogue pain score < 10/100 pada 20 menit
setelah injeksi cairan epidural, menurunkan kejadian blok unilateral, dan
meningkatkan kejadian sensoris blok hingga S1. Walaupun hasil tersebut
menunjukkan/mengarah kepada perpindahan/pergeseran lokasi anestesi melalui
lobang dural saat puncture menggunakan jarum spinal ukuran 25-G tapi tidak pada
27-G, tidak bisa ditarik kesimpulan karena variable obat anestesi local yang
digunakan, konsentrasi obat, dan ukuran/volume yg diboluskan. Penelitian lanjutan
sangat diharapkan untuk mencari tahu mandaat dan keamanan dural puncture
tanpa obat injeksi spinal.
Blok motorik dan hipotensi pada ibu hamil
Karena peneliti tidak menjadikan efek samping neuraxial analgesia sebagai
tujuan akhir penelitian, penilitian ini bisa jadi lemah untuk mendeteksi kejadian
hipotensi dan blok motoric secara statistic. Keberagaman dalam CSE dan regimen
analgesia epidural, dan keterbatasan pengetahuan bisa memunculkan hasil yang
bermasalah. Misalnya, Nakamura dkk telah mengamati bahwa pasien yang
mendapatkan pengalaman CSE secara signifikan lebih besar mengalami blockade
motoric daripada yang mendapatkan epidural analgesia, sedangkan Van de Velde
dkk melaporkan hasil yang berlawanan. Lim dkk menunjukkan bahwa intrathecal
bupivacaine 2,5mg menyebabkan lebih banyak/besar blockade motoric daripada
ropivacaine dan levobupivacaine dengan dosis yang sama (jumlah pasien yang tidak
bisa mengangkat tungkai tapi bisa menggerakkan lutut dan ankle adalah 5/20 untuk
bupivacaine dan 2/20 untuk ropivacaine dan levobupivacaine). Pada dosis yang
kuat untuk blockade sensoris, Camorcia dkk mengamati bahwa kejadian blockade
motoric lebih banyak pada bupivacaine dan levobupivacaine daripada ropivacaine.
Bagaimanapun juga, dalam kajian MLAD ini, tidak ada pasien yang mendapatkan
dosis kurang dari 2,25, 3,25, dan 3,75 mg. Pada dosis 1,75mg bupivacaine atau
kurang ditambah fentanyl 15g, tidak ada pasien yang ditemukan mengalami
blockade motoric oleh Whitty dkk. Hasil tersebut manyarankan bahwa ketika obat
diberikan sevara intrathecal, bupivacaine lebih bisa mengakibatkan blockade
motoric daripada levobupivacaine dan ropivacaine; tapi pada dosis klinis untuk
persalinan, kejadian motor blok sangat jarang dan seharusnya tidak perlu
dirisaukan oleh anestesiologis.
Pengamatan yang sama berkaitan dengan kejadian blockade motoric bisa
terjadi kepada hipotensi ibu hamil. Ketika beberapa penelitian menunjukkan lebih
banyak kejadian hipotensi dengan Analgetik CSE, penelitian yang lain gagal
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Ini penting, dalam semua ulasan
penelitian, setiap kejadian hipotensi dengan mudah diterapi dengan bolus cairan
intravena atau dengan agen vasopressor dosis rendah dan tidak menyebabkan
kecacatan ibu dan bayi.
Simmons dkk mengevaluasi tujuan akhir penelitian dalam meta-analisis yg
sekarang ini dan menyimpulkan keseluruhan, efek samping relative yang muncul
tidak berkaitan dengan teknik anestesi yang dilakukan. Maka dari itu, keputusan
anestesiologis untuk menggunakan teknik apapun seharusnya tidk cuma-cuma
mempertimbangkan efek samping yang muncul saja.
Nyeri Kepala Post-dural puncture
Kemungkinan lubang dural yang muncul karena CSE bisa mengakibatkan
nyeri kepala dibandingkan teknik epidural yang biasa telah diteliti/dicari tahu
dalam beberapa penelitian retrospective dan prospective. Semua penelitian
melaporkan kejadian yang mirip nyeri kepala (sekitar 1%), tanpa memperhatikan
bagaimana prosedur neuraxial analgesia dilakukan, temuan tersebut oleh Simmons
dkk. Karena penelitian tentang efek samping ini jarang, penelitian tersebut bisa jadi
kurang kuat untuk mendeteksi perbedaan antara 2 teknik anestesi tersebut secara
statistic. Bahkan, Norris dkk mengindikasikan bahwa: ‘sebuah penelitian dengan
kesempatan 80% mendeteksi kejadian nyeri kepala dari 1,6% sampai 2,1% akan
membutuhkan lebih dari 10.000 pasien per grup’. Karena rendahnya kejadian nyeri
kepala post dural puncture, kami menyarankan kepada klinisi untuk tidak
mempertimbangkan efek smaping ini dalam mengambil keputusan menggunakan
teknik CSE.
Abnormalitas denyut jantung janin
Beberapa penelitian telah menggambarkan/menjelaskan kejadian
abnormalitas DJJ setelah injeksi spinal cairan analgetik. Akhir-akhir ini, Abarao dkk
menghitung kejadian hipertonus uterus dan abnormalitas DJJ pada populasi ibu
inpartu, secara acak mendapatkan baik CSE analgesia maupun analgesia epidural
selama persalinan. Peneliti menunjukkan bahwa penggunaan analgesia CSE
merupakan salah satu penyebab hipertonus uterus (CSE: epidural OR 3.53; (95% Cl
1.21-10,36)) dan bahwa satu-satunya penyebab Abnormalitas DJJ adalah
peningkatan tonus uterus lebih dari 10mmHg atau lebih (OR 18.62; 95% Cl 4.46-
77.72). Penulis juga menunjukkan bahwa penuruan score visual analogue pain tidak
berkaitan dengan kejadian abnormalitas DJJ dan hipertonus uterus. DJJ dan
perubahan tonus uterus diamati hanya setiap 15 menit setelah pemberian analgesic
dan score visual analogue pain lebih rendah pada pasien yang mendapat CSE (tidak
mengejutkan, karena onset analgetik lebih lambat dengan epidural). Untuk itu, para
ahli menyarankan bahwa temuan pada penelitian ini bisa dianggap sebagai
perbedaan dalam intensitas analgetik daripada kepada perbedaan teknik. Lebih dari
itu, Para penulis itu menitik beratkan pada kemiripan DJJ dan perubahan tonus
uterus bisa terjadi 15 menit setelah penelitian dalam group epidural.
Dalam ulasan 24 penelitian meta-analisis (3513 wanita) yang secara acak
mengalokasikan perbandingan antara opioid intrathecal dengan beberapa regimen
analgetik kecuali spinal opioid dalam persalinan, Mardisorof dkk menemukan
bahwa Odds ratio untuk bradikardi janin secara signifikan meningkat pada pasien
yang mendapatkan opioid subarachnoid (OR 1.81 (95% Cl 1.04-3.14)) dan untuk itu
setiap 28 perempuan yang mendapatkan opioid intratechal, satu janin akan
menunjukkan kejadian bradikardi dalam 1 jam setelah pemberian obat tsb.
Penjelasan patofisiologi untuk kejadian ini dianggap berasal dari blok spinal yang
diinduksi onset cepat dari analgetik, yang mana menghasilkan penurunan tiba-tiba
adrenaline dalam plasma dan -Endorphin tapi tidak untuk noradrenaline dan
oksitosin. Temuan laboratorium/in vitro menunjukkan bahwa ketidak seimbangan
dalam catecholamine plasma akan mengakibatkan hipertonus uterus dan
menurunkan aliran darah. Penjelasan ini, bagaimanapun juga, telah dipertnyakan
oleh Van de Velde dkk yang telah menunjukkan secara acak bahwa analgetik pada
persalinan onsetnya cepat dan kemiripan besarnya/tingkatan pada pasien yang
menerima spinal bupivacaine 2.5mg dengan sufentanil 1.5g dan adrenaline 2.5g,
dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima sulfentanil 7.5g. Penulis
mengamati kejadian pola DJJ yang tidak menyenangkan/menentramkan pada 24%
kelompok yang hanya mendapatkan sufentanyl dan 12% pada kelompok
bupivacaine/sufentanil/adrenaline group, perbedaannya tidak dijelaskan karena
hipotensi ibu. Mereka juga menunjukkan sebuah kejadian hiperaktifitas uterus 12%
vs 2% masing-masing antara grup sufentanyl dan grup
bupivacaine/sufentanyl/adrenaline. Hasil tersebut mengacu/memberi kesan bahwa
factor lain (berbeda dari penurunan tiba-tiba tingkat nyeri, ketidak seimbangan
cathecolamine dalam plasma dan berikut hiperaktivitas uterus) yang berhubungan
dengan opioid intrathecal mempunyai peran dalam munculnya abnormalitas DJJ.
Hubungan klinis abnormalitas DJJ tersebut masih kontroversial. Mardirosoff dkk
tidak bisa menunjukkan efek klinis pemberian intrathecal opioid pada apgar score
setelah 5 menit atau pada pertolongan persalinan, dan angka seksio cesaria yang
mana Van de Velde dkk telah melaporkan bahwa tidak ada pola DJJ yang tidak
menyenangkan dalam penelitiannya. Namun, Clarke dkk dan Cortes dkk, keduanya
melaporkan 2 wanita membutuhkan seksio cesaria emergency karena bradikardia
janin yang menetap, yang mana dikaitkan dengan hipertonus uterus tapi tidak
dengan hipotensi ibu. Semua pasien yang telah digambarkan/dijelaskan pada
penelitian tersebut telah mendapatkan fentanyl intrathecal untuk penghilang nyeri
selama persalinan. Salah satu dari dua perempuan tersebut dilaporkan oleh Clarke
dkk bahwa apgar score 1 menit setelah lahir adalah 3, namun 5 menit setelahnya
naik menjadi 7 atau lebih.
Dalam suratnya kepada editor, Van de Velde menyatakan bahwa hubungan
antara opioid subarachnoid dan transient bradikardia pada janin merupakan
masalah yang sebenarnya dan menyangsikan/menanyakan apakah kita harus
menghindari penggunaan opioid spinal dalam kasus fetal distress atau saat
hipertonus uterus muncul sebelum pemberian analgesic pada persalinan. Kami juga
setuju bahwa indikasi penggunaan opioid spinal untuk analgesic persalinan dalam
kasus ini (atau mungkin untuk semua wanita) harus ditinjau ulang sebagai: (i)
bupivacaine spinal 2.5mg saja berefek analgesia selama persalinan pada 5-30 menit
setelah pemberian; (ii) pada dosis ini, bupivacaine spinal tidak menyebabkan efek
blockade motoric, hipotensi ibu, dan bradikardi janin; dan (iii) memulai infus
epidural yang mengandung opioid dalam 30 menit setelah injeksi spinal,
dibandingkan 60 menit atau lebih, telah terlihat/Nampak menurunkan kejadian
bebas nyeri dan aman. Kesimpulan yang dapat diambil, bisa jadi CSE dengan injeksi
subarachnoid menggunakan anestesi local tanpa opioid diikuti dengan inisiasi
epidural analgetik yang segera bisa memunculkan kepuasan bebas nyeri dan
meminimalisir efek opioid yang dapat mengakibatkan bradikardi pada janin.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mencari tahu pertanyaan ini.
Kesimpulannya, tidak ada bukti kuat untuk mendukung penggunaan salah
satu teknik dengan mengenyampingkan teknik yang lain dalam pemberian analgesic
neuraxial pada persalinan. Sejak CSE menunjukkan onset analgesic yang lebih cepat
dan mungkin lebih dapat diandalkan untuk meng-anestesi saraf sacral root, CSE
digunakan pada tahap/kala kedua persalinan akan menghasilkan efek anestesi yang
lebih baik. Namun, klinisi harus menyeimbangkan manfaat tersebut dengan
peningkatan resiko abnormalitas DJJ yang dikaitkan dengan penggunaan opioid.
Seperti yang ditulis oleh Preston, keputusan untuk memberikan neuraxial analgetik
dengan CSE maupun epidural harus berdasarkan kepada kebutuhan ibu,
keselamatan ibu dan anak, dan keahlian unit yang terlibat.
Continuous spinal analgesia
Continous spinal analgesia adalah pemasangan cateter melalui dura kedalam
ruang intrathecal dan memasukkan secara perlahan maupun langsung agen anestesi
local maupun opioid secara langsung kedalam CSF. Sebelas laporan kasus(pasien
non-obstetric) terjadinya cauda equine syndrome setelah pemasangan continuous
spinal analgesia memaksa/mengharuskan US Food and drug Administration (FDA)
meminta perusahaan menarik cateter spinal yang lebih kecil dari 24-G dari pasar
Amerika utara. Tidak pernah dinyatakan, apakah komplikasi tersebut muncul
disebabkan karena microcateter/terlalu kecilnya cateter atau karena akibat dari
masuknya obat dengan konsentrasi tinggi seperti hyperbaric lidocaine ke dalam
intrathecal yang diberikan kepada hamper semua pasien tersebut. Ulasan yang luar
biasa oleh Moore merangkum sejarah, aplikasi klinis, focus kepada neurotoksisitas
dan pertimbangan lain yang berkaitan dengan penggunaan continuous spinal
anaesthesia.
Pada 1996, FDA memberi kuasa untuk melakukan investigasi pemakaian
spinal microcateter ukuran 28-G untuk menilai keamanan dan kemanjuran pada
wanita inpartu. Di beberapa center, dengan RCT, prospective, 325 wanita hamil dan
inpartu mendapatkan continuous intrathecal infusion sufentanil dengan bolus
bupivacaine intermiten melalui microcateter ukuran 28-G. Kelompok tsb
dibandingkan dengan 100 ibu inpartu yang mendapatkan analgesia selama
persalinan menggunakan bupivacaine dan sufentanil dengan cara epidural. Arkoosh
dkk menunjukkan bahwa pengurang nyeri lebih baik dan terbukti ibu lebih puas
dengan pengalaman melahirkannya ketika diberikan secara continuous daripada
dengan cara epidural biasa. Tidak terdapat laporan munculnya komplikasi pada
saraf saja sebagai akibat penguunaan microcateterc. Namun, peneliti melaporkan
angka kegagalan yang tinggi pada kelompok cateter, sebagian besar disebebkan
karena keluarnya/lepasnya kateter. Penulis juga menemukan lebih banyak kejadian
postpuncture headache pada kelompok continuous spinal analgesia. Penulis
menyimpulkan bahwa: ‘Penelitian yang lebih besar akan mengembangkan
pemahaman kita tentang tingginya kejadian postdural headache, regimen obat
analgesic yang optimal, dan para pasien yang akan mendapatkan manfaat dari
teknik ini’. Tidak nampak rencana FDA untuk memperbolehkan penjualan
microcateter dalam waktu dekat ini.
Continous spinal analgesia dengan menggunakan cateter macro (22- atau 24-
G cateter spinal di atas jarum 27- atau 29-G) lebih sering digunakan di Negara lain.
Di United Kingdom/Inggris, continuous spinal analgesia kadang-kadang digunakan
selama persalinan untuk kasus-kasus tertentu, yang mana klinisi akan mennusuk
dura dengan jarum epidural dan memasukkan cateter epidural standard ke dalam
ruang intrathecal.
Memaintenens/mempertahankan Neuraxial analgesia
Pasien controlled/mengendalikan epidural analgesia
Lebih dari 20 tahun yang lalu, Gambling dkk memperkenalkan PCEA untuk
persalinan kedalam praktik anestesi obstetric. Dibandingkan continuous epidural
infusion, PCEA terbukti meningkatkan kepuasan ibu , mengurangi beban kerja
dokter dengan cara mengurangi nyeri yang membutuhkan intervensi dokter
anestesi, mengurangi konsumsi obat anestesi local, dan menurunkan kejadian blok
motoric. Hasil tersebut bisa dijelaskan dengan percobann pada cadaver,Yang
menunjukan bahwa injeksi dengan tekanan tinggi yang dihasilkan dari bolus dalam
cairan dengan sebaran yang sama di ruang epidural. PCEA secara teori juga
memperbolehkan pasien mengatur perangkat analgetiknya sesuai dengan derajat
nyerinya, yang akan berbeda dari satu pasien dengan yang lainnya. Walaupun
keuntungan dari PCEA dipahami dengan baik, regimen optimal dari PCEA, rentang
dosis,dan tata caranya tidak dapat ditentukan. Kami merekomendasikan
pengulangan sistematik secara sempurna penelitian dari Halpern dan Carvalho
mengenai persoalan ini. Dalam bab ini kita akan mengulas tentang perkembangan
saat ini dengan memperhatikan latar belakang tambahan infus dari PCEA, batasan
penggunaan, dan volume dosis bolus, PCEA terintegrasi komputer, intermiten
mandatory bolus, intermiten epidural bolus dengan PCEA yang terprogram. Kami
akan fokus mengenai literatur terkini dan perspektif masa depan.
Background infusion
Background infusion versus demand-onlyPCEA
Latar belakang penambahan infus lokal anestesi dengan PCEA untuk tenaga kerja
pertama kali diteliti pada tahun 1992 oleh Paech.[61](tabel 3).Dalam studi secara
acak, pengarang tidak dapat menerangkan tentang latar belakang disetujuinya
penambahan 4 ml.h-1 untuk keuntungan demand-only PCEA dalam menghilangkan
nyeri, bolus tambahan, kepuasan ibu hamil. Beberapa uji coba diteliti dengan latar
belakang rata rata infus berbeda (2-10 ml.h-1), lokal anastesi, dan konsentrasi obat
yang manjur untuk PCEA dengan hasil yang masih diperdebatkan.[62-72].
Bosellidkk.mengamati latar belakang penambahan infus tidak mengurangi visual
analoge pain score maupun permintaan kepada perawat untuk bolus
tambahan,tetapi rata rata infus yang lebih tinggi ( 6-9 ml.h-1), akan meningkatkan
konsumsi ropivacaine [62]. Hasil yang sama dilaporkan oleh Thénoz dkk.yang
mempelajari tentang penggunaan levobuvicaine 0,0625 % dengan sufentanil 0,5
µg.ml-1 dengan desain uji coba sebanding [72]. Bremerich dkk, dengan
nyata,memperagakan kombinasi PCEA dengan 4 ml.h-1 background infusion
menghasilkan visual analog pain score> 4/10 dan dalam bolus yang diminta dan
diberikan lebih kecil [68]. Kondisi penurunan terobosan mengenai nyeri
memerlukan input medis, berkaitan dengan background infusion, telah dikonfirmasi
tiga studi saat ini [63,71, 72]. Dalam semua studi,background infusion mendorong
pengurangan dokter menggunakan top-ups untuk mengatasi nyeri.
Kecepatan background infus dan kemanjuran (Efficacy)
Dari tujuh studi meneliti ‘low-rate’ background infusion (≤ 4 ml.h-1) [61,62,67-
70,72],dua, [67,68] melaporkan pengurangan kejadian ‘anaesthetis’ intervensi
untuk menghilangkan nyeri. Secara nyata, dari tujuh studi meneliti ‘high-rate’
background infusion( ≥5 ml.h-1) [62-66,70,72],empat [63-65,70] melaporkan
kejadian menurun dengan keluaran yang sama. Ini menggambarkan bahwa lebih
menguntungkan menggunakan ‘high –rate’ dari pada ‘low-rate’ background
infusion.meta analisis dari studi ini diperlukan untuk menyimpulkan keuntungan
peningkatan rata-rata background infusion dalam aturan skor nyeri, penghilangan
nyeri, kepuasan ibu melahirkan, dan intervensi dokter.
Kecepatan background infusdan konsumsi lokal anastesi
Tampak ada hubungan antara rata-rata infus dan konsumsi lokal anastesi. Namun
demikian dari tujuh studi yang meneliti background infusion 4 ml.h-1 atau lebih
rendah [61, 62, 67-70, 72],tidak melaporkan peningkatan konsumsi lokal anastesi.
Secara nyata, tujuh studi dengan pasien memperoleh background infusion 5-10
ml.h-1 [62-66,70,72],lima[62-64, 66, 72]menunjukan secara signifikan lokal anestesi
konsumsi lebih besar dibandingkan yang tidak mendapatkan background infusion
atau background infusion 3 ml.h-1. Terlebih srivastata dkk,menemukan tidak ada
trend kepuasan signifikan dalam konsumsi lokal anastesi dalam PCEA+background
infusion ( 10 ml.h-1) grup [65]. Relevansi klinik dalam konsumsi lokal anastesi
volume yang berbeda tampak minimal, sama dengan perbedaan konsumsi lokal
anastesi yang di sampaikan pada uji coba relatif kecil (ropivacaine 4.3 mg [63],
rapovacaine 4 mg [62] dan levobupivacaine 4.4 mg[72] dan yang lebih penting tidak
ada hasil yang memiliki pengaruh terhadap blok motor anggota gerak bawah,
toksisitas lokal anastesi atau perbedaan dari kejadian yang merugikan.
Kesimpulan,meskipun masih dalam evidence yang diperdebatkan untuk
mendukung penggunaan sistematik dari background infusion dengan PCEA, kami
setuju dengan Halpern dan Carvalho bahwa background infusion di tambahkan
pada PCEA dapat memperbaiki analgesia pasien [60],sama seperti dari beberapa
studi menggambarkan tingkatan manfaat mangurangi nyeri dan lebih sedikit
intervensi dokter dengan penambahan background infus. Data menyatakan bahwa
terdapat beberapa manfaat dalam penggunaan infus tetes cepat (>5ml/h)
berkenaan dengan keefisienan PCEA. Namun, meningkatkan kecepatan background
infus bisa menyebabkan peningkatan obat anestesi local. Untuk mendapatkan
keseimbangan antara beberapa intervensi dokter dan penurunan penggunaan
anestesi local, Smiley dan Stephenson telah menyarankan cara yang terdiri dari
pemberian sepertiga dari kebutuhan anestesi local perjam yang dibutuhkan sebagai
background infus.
Perkembangan Terkini
Sebuah pendekatan alternative untuk menentukan kecepatan background
infusion telah diusulkan oleh kelompok dari Singapore. Penelitian tersebut saat ini
mengambangkan PCEA yang terintergrasi dengan computer (CI-PCEA). Cara
pemberian obat ini memungkinkan pompa PCEA terhubung dengan computer untuk
mentitrasi kecepatan background infusion berdasarkan permintaan/kebutuhan
PCEA. Membandingkan CI-PCEA dengan PCEA tanpa background infusion, Lim dkk.
mengamati konsumsi anestesi local yang mirip, nilai nyeri analog visual dan nyeri
yang muncul menerobos (breakthrough pain), (secara statistic tidak signifikan
menunjukkan pada CI-PCEA grup nyeri yang muncul menrobos ini lebih sedikit).
Tetapi angka kepuasan pada ibu lebih tinggi di grup CI-PCEA (74). SIA dkk.
ditemukan bahwa pada CI-PCEA dibandingkan dengan continuous epidural infusion
mengurangi terjadinya nyeri yang mucul menerobos tanpa meningkatkan konsumsi
anestesi local (75). Akhirnya, Sng dkk. membandingkan CI-PCEA dengan PCEA
ditambah background infusion juga menunjukkan angka kepuasan ibu yang lebih
tinggi pada grup CI-PCEA padahal konsumsi anestesi local, skor nyeri visual analog,
dan angka insidensi muculnya nyeri yang menerobos mirip pada kedua grup (76).
Menariknya, pada studi lanjutan, angka infusan pada CI-PCEA grup lebih tinggi
selama stage 2 pada persalinan, dibandingkan dengan grup PCEA yang ditambah
dasar infusan. Fakta ini bisa mndukung penemuan sebelumnya dari Capogna dkk.
yang menunjukkan kenaikan kebutuhan anestesi local epidural selama persalinan
berlangsung (77). Hal ini serupa dengan studi ini yang menunjukkan dasar infusan
yang diatur memperlihatkan kenaikan kepuasan ibu terhadap nyeri dan dapat
mengurangi insidensi muculnya nyeri yang menerobos tanpa menambah konsumsi
anestesi local.
PCEA Lockout interval dan volume bolus
Mirip dengan penggunaan infusan dasar,PCEA Lockout Interval yang optimal
dan volume bolus masih diperdebatkan (tabel 4). Enam studi telah mengamati
volume bolus pada skala 2-20 ml dengan Lockout Interval dari 5 sampai 30 menit
(78-83). Terdapat variasi yang besar antara percobaan-percobaan berdasarkan tipe
dan konsentrasi dari larutan anastesi sama halnya pada penggunaan infusan dasar.
Pada regimen yang diamati kebanyakan study meninjau pada artikel ini melaporkan
tidak ada perbedaan hasil pada angka nyeri visual analog, kepuasan ibu, motor
block dan intervensi peneliti untuk anti nyeri darurat. Stratman dkk. Menunjukkan
Lockout Interval yang lebih pendek dihasilkan pada bolus yang diantarkan lebih
baik/rasio pemberian bolus (index dari efisiensi PCEA) tapi tidak ada peningkatan
pada hasil yang lainnya. Peneliti menyatakan bahwa mereka menggunakan 5 menit
Lockout Interval pada lebih dari 15.000 pasien mereka praktek merekan dan tidak
ada efek samping yang muncul. Bernard dkk. Secara acak memilih 220 peserta
untuk menerima PCEA dengan volume rendah/interval yang pendek (4 ml, 8 menit)
atau volume tinggi/interval panjang (12 ml, 25 menit) (79). Pada dilatasi servix 6
cm,angka nyeri visual analog lebih rendah dan angka kepuasan ibu lebih tinggi pada
grup volume tinggi/ interval panjang akan tetapi lebih banyak membutuhkan
konsumsi anastesi lokal. Sidik Sayid et.al. Melaporkan signifikansi yang tidak
statistic pada kebutuhan intervensi anti nyeri darurat pada pasien PCEA yang diatur
pada 9 ml bolus dengan lockout interval 18 menit dibandingkan dengan volume
yang lebih kecil dengan lockout interval yang lebih pendek (82).
Kesimpulannya,tidak ada bukti yang kuat yang menunjukkan kelebihan regimen
satu dibanding yang lain walaupun cenderung volume tinggi/lockout interval
panjang lebih bagus sebagai anti nyeri pada persalinan. ini menunjukkan bahwa
semua kombinasi aman tetapi masih membutuhkan studi yang lebih besar untuk
mengevaluasi resiko dari efek samping seperti motor block,keracunan local
anastesi,perpanjangan waktu persalinan dan insidensi kelahiran instrumental.
Continuous Epidural Infusion VS Automated Mandatory Bolus
Penemuan pada studi -studi sebelumnya pada populasi non obstetric menunjukkan
bahwa dosis local anastesi yang diberikan perjam sebagai bolus intermitten regular
seperti pada sebuah infus menghasilkan analgesi yang superior, level block sensori
yang lebih tinggi dan intervensi yang lebih sedikit untuk nyeri yang muncul
menerobos (84,85) (table 5). Beberapa studi analgesi persalinan telah memastikan
hasil tersebut (86-91).Chua dkk. membandingkan epidural regular dengan bolus
otomatis 5ml setiap jam dengan infus epidural kontinyu dari 5 ml.h-1 pada setelah
CSE untuk analgesi persalinan (86). Peneliti menemukan bahwa rata-rata
ketinggian blok sensori lebih tinggi dan skor nyeri analog visual lebih rendah pada
automated mandatory bolus grup (87). Fettes dkk. menemukan insidensi yang lebih
tinggi dari blok sensori unilateral pada pasien yang mendapat continuous epidural
infusion dibandingkan pada subjek yang mendapat automated mandatory bolus
regular (87). Peneliti juga memperlihatkan pengurangan kebutuhan penggunaan
untuk mengatasi nyeri yang muncul menerobos (breakthrough pain) dan efek
sparing anestesi lokal pada automated mandatory bolus grup, hasil hasil ini
dikonfirmasi pada banyak penelitian lainnya (88-91).
Untuk mengamati apakah kombinasi dari PCEA dengan latar belakang automated
mandatory boluses akan menghasilkan efek sparing anestesi local dan
meningkatkan analgesi maternal dan kepuasan ibu pada perbandingan PCEA
ditambah background infusion, Wong dkk secara acak mengalokasikan 158 pasien
inpartu untuk mendapatkan PCEA (bolus 5ml; lockout 10menit; maximum perjam
15ml) melalui pompa infus dengan kombinasi baik bolus yang diotomatisasi (6ml
tiap 30 menit) maupun background infusion (12cc/jam) diberikan melalui pompa
infus kedua yang terhubung melalui cateter epidural yang sama. Peneliti
mengkonfirmasi hipotesis mereka dengan menunjukkan sparing effect anestesi
local dan penurunan kejadian manual rescue boluses dalam kelompok automated
mandatory boluses. Satu kekurangan dari penguunaan 2 pompa yang terpisah
dalam percobaan ini adalah kemungkinan mandatory bolus dan self-bolus bisa
masuk/tersuntik secara bersamaan yang mengakibatkan sejumlah besar obat
anestesi local masuk kedalam ruang epidural.
Ongoing developments
Untuk mengatasi keterbatasan ini, Tim dari Singapura merancang sistem
pemberian obat dimana Suatu program komputer memungkinkan pompa infus
biasa dapat bekerja seperti pompa PCEA yang mampu memberikan bolus sesuai
perintah secara otomatis. Para peneliti juga mengembangkam algoritma yang
mengintegrasikan automated mandatory boluses dengan self boluses sehingga
automated mandatory boluses mungkin hanya diberikan setelah penghentian PCEA
dengan selang waktu yang ditentukan sebelumnya. Para penulis menunjukkan
bahwa program bolus epidural intermiten dengan regimen PCEA terdapat
keunggulan dibandingkan PCEA dengan regimen infus dalam hal efek hemat
anestetik lokal,kepuasan ibu, dan durasi analgesia setelah komponen spinal CSE
pada labouring parturients. Namun demikian tidak dapat memperlihatkan suatu
perbedaan in the insidence of breakthrough pain between groups.
Singkatnya, bila dibandingkan dengan infus epidural kontiniu atau PCEA
dengan dasar regimen infus, regular epidural automated mandatory boluses and
PCEA dengan automated mandatory boluses tampaknya mengurangi pemakaian
anestesik lokal. Sementara itu mengurangi insiden nyeri yang membutuhkan
intervensi dokter. Beberapa alasan dapat menjelaskan penemuan ini. Pertama,
seperti yang disebutkan sebelunya, pengiriman dengan tekanan tinggi untuk
menyuntikkan bolus dapat mengakibatkan penyebaran solusio lebih seragam
dalam ruang epidural. Kedua, dengan penggunaan kateter epidural lubang multipel
, larutan disuntikkan sebagai bolus keluar dari kateter melalui semua lubang dan
menghasilkan penyebaran yang lebih luas, yang berbeda dengan cara infusion, yang
hanya keluar melalui lubang proksimal. Ketiga, banyak para peneliti mempelajari
Automated mandatory boluses menginduksi persalinan tanpa nyeri dengan CSE
(27-G pencil-point spinal needle). Telah dikemukakan bahwa high driving pressure
terkait dengan pemberian bolus dapat menyebabkan masuknya anestesi lokal
secara langsung ke dalam ruang intratekal melalui lubang dural. Namun demikian,
thomas et al. Menjelaskan bahwa punksi dura dengan jarum 27-G tidak
memperbaiki kualitas persalinan tanpa nyeri. Tidak jelas bahwa adanya aliran
anestesi lokal yang signifikan ke ruang intratekal dengan bolus berulang pada
pasien-pasien i ni, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki
keunggulan pungsi dura yang disegaja.
Pada saat ini, beberapa keterbatasan menghambat penggunaan rutin PCEA
beserta automated mandatory boluses regimen di ruang bersalin . Pertama, tidak
adanya Studi membandingkan PCEA beserta automated mandatory boluses regimen
dengan regular epidural automated mandatory boluses alone. Kedua, pengaturan
dua pompa yang digunakan oleh Wong et al. secara klinis rumit, dapat
meningkatkan risiko kesalahan teknis dan kesalahan pemberian obat serta mahal
karena dua pompa akan diperlukan [91]. Ketiga, meskipun pompa infus yang
dilengkapi dengan perangkat lunak yang memungkinkan pemberian solusio
epidural dalam multiple infusion kini dipasarkan di Inggris, Belum tersedianya
program yang mampu memberikan anestesi lokal pada suatu PCEA ditambah
automatedmandatory boluses.
Adjuvants
Kelopmpok studi COMET telah menerangkan bhawa penggunaan bupivacain
dosis rendah berdasarkan neuraxial analgesia untuk nyeri persalinan menurunkan
tingkat penggunaan instrumen partus pervaginam. Seperti epidural ‘mobile’ dapat
memberikan analgesia yang adekuat pada persalinan tersedia regimen obat
termasuk adjuvant yang akan menurunkan transmisi nyeri in an additive or
sinergistic fashion. Opioid lipofilik seperti fentanil dan sufentanil telah
membuktikan keampuhan dan keamanannya pada jutaan wanita hamil. Namun
demikian adanya efek samping yang tidak diinginkan seperti mual,muntah, pruritus,
dan sedasi membuat perkumpulan medis mencari alternatif adjuvant yang dapat
menghasilkan hemat dosis anestetik lokal tanpa adanya efek samping yang tidak
diinginkan. Pemberian clonidin dan neostigmin secara epidural merupakan agen
yang menjanjikan dan bebrapa editorial baru-baru ini telah memberikan
pengetahuan dan perspektif masa depan berkaitan dengan pemakaian obat ini
sebagai analgesia dalam persalinan.
Dari Literatur 5 tahun terakhir sebagian telah menjelaskan mengenai dosis,
cara pemberian dan profil keamanan neostigmin dan clonidine untuk analgesia
persalinan. Dua temuan dari studi ini bahwa (i) kombinasi neostigmin dan
clonidine dapat menghasilkan superior analgesia persalinan dan menurunkan efek
samping jika dibandingkan dengan pemberian tunggal obat-obat ini dan (ii)
pemberian klonidine epidural secara infusion dapat mengurangi efek samping nya
bertolakbelakang dengan pemberian secara bolus.
Roelants et al membandingkan dosis tunggal klonidin epidural(150µg)
dengan dosis tunggal neostigmin dan dengan 3 kombinasi klonidin(75µg) dan
neostigmin(250,500,dan750µg). Penulis mendapatkan bahwa hanya kombinasi
klonidin 75µg dengan 500 atau 750µg neostigmin yang memberikan VAS yang
lebih rendah dari baseline dan efek nya signifikan lebih lama dibanding tiga grup
lainnya. Selain itu,kombinasi dua obat ini tidak menghasilkanl yang merugikan ibu
seperti hipotensi, mual atau sedasi, atau efek lain yang merugikan neonatal. Van de
Velde et al. Menerangkan bahwa kombinasi clonidine 75 µg dan neostigmin 500 µg
diberikan epidural sebagai bagian dari teknik CSE menggunakan ropivacaine dan
sufentanil tidak menimbulkan efek samping maternal . Selanjutnya, p ara peneliti
dapat membuktikan kombinasi ini yang memperpanjang efek inisial analgesi
komponen spinal CSE dan memberikan efek hemat anestesi lokal.
Dewandre et al. menetapkan bahwa clonidine epidural 75 µg memiliki efek
hemat anestesi lokal yang sama dengan sufentanil 5 µg bila diberikan sebagai bagian
dari ropiva-caine berbasis analgesia epidural [98]. Namun, kelompok yang sama
menunjukkan bahwa clonidine diberikan secara bolus lebih banyak mengakibatkan
hipotensi maternal yang memerlukan efedrin dan cairan lebih banyak
dibandingkan dengan dosis equipotent sufentanil . Para penulis menyimpulkan
bahwa berdasarkan hasil ini, dosis clonidine ini tidak dapat direkomendasikan untul
analgesia epidural persalinan. Dua kelompok telah mempelajari pemberian kontinu
clonidine epidural untuk analgesia pada persalinan. Apakah blok epidural dimulai
dengan bolus clonidin dosis rendah diikuti oleh pemberian kontinu [100], atau
hanya diawali sebagai infus [101], adjuvant ini memberikan efek tingkat nyeri yang
lebih rendah dan efek hemat anestesi lokal . Meskipun tingkat sedasi pasien tidak
terpengaruh oleh penambahan clonidine, ini menyebabkan penurunan TD ibu
secara statistik tetapi secara klinis tidak signifikan menurunkan TD ibu. Berkenaan
dengan neostigmin, data dari Rosset al. menunjukkan bahwa pemberian epidural
adjuvant ini juga menghasilkan efek hemat bupivacaine,bahkan pada dosis ( Inisial
bolus of 60µg diikuti dengan dosis poten maximal 120µg) dengan signifikan lebih
rendah dari yang di deskripsikan Roelans.
Apakah kita sudah siap menggunakan clonidine dan neostigmin secara rutin
sebagai bagian dari regimen analgesia epidural pada persalianan? Bukti saat ini
menerangkan bahwa agen-agen ini dapat ditambahkan sebagai pilihan untuk
analgesia regional obstetri, tersedianya anestesi obstetri sebagai alternatif untuk
opioid epidural jika diperlukan. Banyak pertanyaan Namun, tetap tidak terjawab.
Misalnya, tidak jelas apakah clonidine atau neostigmin harusdiberikan sebagai bolus
awal atau sebagai infus, apakah harus dikombinasikan atau diberikan secara
terpisah, dan berapa dosis optimal. masalah keamanan juga diangkat oleh
beberapa penulis95]. Dalam literur ilmiah secara keseluruhan, kurang dari ser ibu
wanita melahirkan telah terekspos neostigmin atau clonidine epidural dalam
persalinan. Malahan hanya sedikit yang menerima adjuvants ini sebagai infus dan
tidak ada percobaan, untuk pengetahuan kita, telah menyelidiki kombinasi infus
clonidine dan neostigmin. Meskipun tidak ada laporan efek samping yang berat
terhadap ibu ataupun janin pada pemberian epidural agen ini, kami tidak dapat
menarik kesimpulan yang sama seperti pada opioid yang berkenaan dengan
keamanan dan efek samping obat ini dalam hal analgesia epidural dalam persalinan.
Hingga pertanyan-pertanyaan dan isu ini terjawab oleh uji yang lebih besar pada
saat mendatang, kami tidak merekomendasikan penggunaanya secara rutin untuk
analgesia epidural pada persalinan.
FARMAKOGENETIK
Klinisi terus dikonfrontir dengan banyaknya variabilitas pada sensitivitas
pasien terhadap stimulus nyeri dan respon mereka terhadap respon analgesi.
Nosisepsi merupakan fenomena kompleks,dan tidak diragukan lagi terpengaruh
dari banyaknya tipe fisik, psikologis, kultur dan factor lingkungan. Banyak review
yang diterbitkan pada tahun tahun belakangan ini menekankan pada implikasi
genetic polymorphism pada persepsi nyeri dan respon terhadap obat terapi (103,
104). Relevansi farmakogenetic pada analgesi persalinan telah dieksplor pada dua
studi belakangan ini, yang memeriksa efek dari single nucleotide polymorphism
(SNP) 304A>G yang terletak di opioid mu reseptor gen (OPRM1), terhadap respon
fentanyl intratekal pada ibu dalam persalinan (105.106). SNP ini, dimana adenine
digantikan oleh guanine pada posisi nucleotide 118 pada gen OPRM1, telah
meningkatkan ketertarikan bahwa ini bisa saja mempengaruhi, respon farmakologi
dan fisiologi terhadap opioid. Deskripsi yang detail pada patofisiologi dan implikasi
klinis dari mutasi ini dan yang lainnya ditunjukkan pada sebuah review yang
istimewa dari Landau dan Kraft (107).
Pada penelitian random terkontrol (RCT), Landau dkk, membandingkan
ED50 dari fentanyl intratekal sebagai bagian dari CSE untuk analgesi persalinan
diantara 2 grup dari 224 nullipara tanpa komplikasi kehamilan (105). Grup A tetdiri
dari pasien wild type homozigot (304A) dan grup G berisi heterozigot dan
homozigot yang membawa mutan 304G allele. ED50 untuk fentanyl di grup A
ditentukan oleh naik turun alokasi sequential metode, sebesar 26,8 mug (95% CI
22,7-30,9), dibandingkan dengan 17,7 mug (95% CI 13,4-21,9) pada grup G. lebih
jauh, pasien di grup G (ED50 yang lebih sedikit) membutuhkan analgesi
supplemental pada saat dilatasi serviks yang lebih besar pada grup A. penemuan ini
menunjukkan hasil yang berlawanan karena peningkatan dilatasi servik telah
menunjukkan hubungan korelasi dengan kebutuhan analgesi epidural yang lebih
besar. Hasil ini menunjukkan bahwa mutasi 304A>G pada gen OMPR1 tidak hanya
berefek pada potensi dari fentanyl intratekal untul analgesi persalinan, tapi juga
memodulasi toleransi nyeri. Pada populasi yang seimbang, Wong dkk. mengamati
efek dari mutasi yang sama pada durasi dari analgesi 25mug fentanyl intratekal
untuk persalinan (106). Tidak ada perbedaan pada hasil penelitian yang diukur
kecuali insidensi pruritus pada grup G.
Berdasar pada dua percobaan ini 304A>G SNP mungkin berpengaruh pada
farmakodinamik dari fentanyl intratekal. Akan tetapi, signifikansi klinis dari mutasi
single ini dalam respon rata-rata terhadap spinal fentanyl untuk nyeri pada
persalinan dengan induksi kemungkinan minimal. Beberapa SNPs yang lain telah
dan akan diidentifikasi ,yang berpotensi bisa mempengaruhi farmakokinetik dan
farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan secara neuraksial (anastesi local,
opioid, dan adjuvant yang lain). Lebih banyak lagi penelitian klinis random yang
prospektif yang akan dibutuhkan untuk menjelaskan kepentingan mereka. nyeri
persalinan merupakan fenomena yang komplek dan multifactor dan kita masih jauh
dari mengaplikasikan secara klinis dari studi-studi ini tapi kami percaya bahwa
pengetahuan yang semakin berkembang dan pemahaman tentang farmakokinetik
yang semkin berkembang akan membantu anastesi obsetri dimasa depan untuk
menyesuaikan terapi analgesi terhadap kebutuhan pasien.
Breastfeeding (Menyusui)
Manfaat pemberian ASI pada neonatus dan infanttelah dibuktikan secara
ilmiah. Pemberian nutrisi ASI yang cukup pada bayi yang baru lahir dapat
melindungi bayi tersebut dari infeksi, meningkatkan perkembangan kognitif dari
bayi dan menigkatkan ikatan antara ibu-anak. Keberhasilan dari pemberian ASI
tergantung dari banyak faktor dan menjadi perhatian adalah pemberian analgesik
neuraxial bisa menghambat pemberian inisial ASI pada bayi yang menjadi
perdebatan beberapa tahun terakhir. Bukti kuat pada persalinan yang
menggunakan analgesi epidural, terutama pada neuraxial opioid, memiliki efek yang
pengurangi jumlah produksi ASI pada masa initiasi. Sebagian besar dari penelitian
ilmiah pada subjek ini menggunakan metode retrospektif, observasional pemilihan
acak secara alami. Beberapa penulis telah menyoroti kekurangan dari retrospektif,
randomised controlled trials dalam menilai pengaruh dari pemberian epidural
ipioid pada ASI. Walaupun peninjauan dari pemberian analgesi neuraxial pada
persalinan berpengaruh pada proses menyusui dalam cakupan yang luas pada
artikel ini, kita pertimbangkan itu penting untuk didiskusikan pada 2 artikel yaitu
prospektif dan randomised controlled trials menyelidiki efek dari neuraxial fentanyl
yang diberikan selama proses persalianan terhadap ASI.
Beilin et al. Memilih secara acak pada 177 multipara tanpa komplikasi
penyulit dibagi menjadi 3 grup dalam proses persalianan : 1. Persalinan yang
menggunakan epidural analgesi tanpa fentanyl, 2. Menggunakan fentanyl dengan
dosis sedang (≤150 µg) dan 3.menggunakan fentanyl (≥150 µg). Peneliti menilai
outcome dari ASI dan Neonatus. Dari laporan yang didapat dari kelompok ibu-ibu
dan konsultan breastfeeding, sama-sama melaporkan kesulitan menyusui dalam 24
jam setelah postpartus.Bagaimanapun, pada 6 minggu setelah postpartum, subjek
penelitian memberitahukan bahwa pada subjek ibu yang diberikan dosis fentanyl
yang besar mengalami kesulitan dalam menyusui. Penemuan ini dikorelasikan
antara pemberian konsentrasi umbilical cord fentanyl dengan dosis tinggi dengan
laporan para ibu yang mengalami kesulitan pemberian ASI dalam 24 jam setelah
persalinan. Itu perlu dicatat, tingkat kegagalan dari pemberian ASI lebih rendah dan
lebih dari 10% dari yang berpartisipasi tidak dapat diikuti selama 6 minggu. Tingkat
kegagalan ini menyatakan adanya suatu bias yang diwaspadai dalam menjelaskan
hasil dari penelitian. Tentu saja, semua pasien yang telah menjawab dari
questionaire, kemungkinan memiliki perbedaan statistik yang tidak bisa dijelaskan
antar tiap grup.
Baru-baru ini, Wilson et al. Mempublikasikan penelitian pada 1054 nullipara
tanpa komplikasi persalinan di lakukan pemilihan secara acak dan dikelompokkan
atas pemberian bupivicaine dosis tinggi pada proses persalinan (kontrol),
bupivicaine dosis rendah dengan fentanyl dan CSE dengan fentanyl atau tanpa
analgesi neuraxial pada persalinan (dari 351 pasien, 151 mendapatkan 151
pethidine secara parenteral dan 200 pasien mendapatkan jenis analgesi lain).
Diantara kebanyakan outcome dari obstetri dan anestesi, peneliti mengumpulkan
data pemberian ASI dalam 2-48 jam dan 12 bulan postpartum. Hasilnya, jumlah dari
pemberian ASI inisiasi lebih rendah pada ibu yang mendapatkan analgesi pethidine
pada saat persalinan. Tidak ada perbedaan pada tingkatan pemberian ASI inisial
diantara grup epidural secara keseluruhan dan yang tidak menggunakan teknik
neuroaxial/ tanpa pethidine. Selain itu, tidak ada hubungan antara jumlah dosis
yang diberikan pada fentanyl neuraxial dan tingkatan pemberian ASI
inisiasi.Analgesi epidural pada persalinan dan fentanyl neuraxial tidak
mempengaruhi lama dari breastfeeding.
Berdasarkan randomised controlled trial memberikan bukti yang kuat
bahwa analgesi epidural pada persalinan dan fentanyl neuraxial tidak
mempengaruhi breasfeeding secara signifikan. Tentunya tidak ada penelitian yang
bisa menyatakan epidural fentanyl menghalangi inisiasi pemberian ASI. Walaupun
demikian, Beilin et al. Mengungkapkan dosis komulatif dari fentanyl ≥ 150 µg
berpengaruh berkurangnya pemberian ASI dalam 6 minggu, secara keseluruhan
pada penelitian inimemiliki tingkatan kesuksesan yang tinggi pada pemberian
breastfeeding. Selain itu, sebuah penelitian yang tidak dikemukakan oleh Wilson et
al, menyimpulkan lokal anestesi dengan dosis rendah/ analgesi epidural fentanyl
pada persalinan tidak memperngaruhi breastfeeding secara klinis dan seharusnya
masih bisa diberikan pada ibu yang ingin menyusui anaknya.
Conclusion
Salah satu kemajuan di anestesi modern yaitu terintegrasi dengan program
komputer dan USG pada anestesi obstetri. Alat-alat ini tentu akan membantu dokter
anestesi obstetri meningkatkan kualitas dan keselamatan praktek mereka dengan
mengurangi risiko komplikasi dari penempatan analgesia neuraksial dan pemberian
obat. Misalnya, pompa infus akan dilengkapi dengan perbaikan perangkat lunak ,
yang akan lebih halus, kompleks dan pengiroman retroaktif solusio analgesik
epidural untuk memenuhi kebutuhan ibu saat proses persalinan. USG pemandu
jarum dan kateter epidural bisa menjadi standar perawatan hanya untuk kateter
vena sentral di Inggris. Sejalan dengan perbaikan teknologi ini,studi terbaru
mengevaluasi obat analgesik epidural menunjukkan bahwa obat-obat baru atau
dapat kita katakan obat-obat lama yang digubnakan dalam konteks baru klinis
mungkin dimasukan ke pada regimen analgesia epidural di masa mendatang.
Sebelum inovasi ini dapat diterima secara luas di kalangan anestesi obstetri,
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai dan memastikan keamanannya.
Namun demikian, inovasi ini memberikan kemungkinan dan peluang untuk
meningkatkan analgesia pada persalinan dan kepuasan ibu saat melahirkan tanpa
terkecuali.