rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis ... · network-based supply chain system for raw...
TRANSCRIPT
REKAYASA SISTEM RANTAI PASOKAN BAHAN BAKU BERBASIS JARINGAN PADA AGROINDUSTRI FARMASI
NUNUK ADIARNI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Sistem Rantai Pasokan Berbasis Jaringan pada Bahan Baku Agroindustri Farmasi adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2007
Nunuk Adiarni P 256 00010
ABSTRACT
NUNUK ADIARNI. Network-based supply chain system for raw materials of Pharmaceutical Agroindustry. Under the direction of IRAWADI JAMARAN, ANAS M FAUZI, MARIMIN, MACHFUD and RIZAL SJARIEF. The pharmaceutical agroindustry required a variety of medicinal plants for traditional or herbal products. However, the raw materials’ quality product still not satisfied the industry standard requirement due to weaknesses in processing raw materials and communication between farmers and industry. The objective of this research was to develop the network-based supply chain system for raw materials of pharmaceutical agroindustry that may increase farmer’s income and sustainably. Under such a system, the farmers as members of the network are expected to gain more benefits than the traditional supply chain.
The network-based supply chain system was structured by connecting farmers, group of farmers and central management of the network. Results of the network structuring by using Interpretative Structural Modelling indicated that the structure and system of the network were considered to be critical elements to integrate the processing chain.
The result of customers’ preference analysis using Quality Function Deployment (QFD) indicated water content and cleanliness of the material as priority aspects and the dominant process that produced such quality should be controlled by members’ of the network.
Conflict analysis within the network organization using Analytical Hierarchy Process (AHP) illustrated that the management of farming business was very potential to trigger conflicts and required continuous solution on guidance and socialization. Verification of the network proved that farmers would gain increase of income 23.5 % compared with traditional supply chain and members would still received Rp 93,000,-/farmer/year as an additional incentive after 10 % of the margin of the network was reserved. Feasibility analysis showed NPV Rp 2,229,719,300,-, IRR 22.75 %, payback period (month) 7.52. The network should be operated at 1,581 ton/year and distributed to: Zingiber officinale 46 %, Curcuma xanthorriza 11 %, Curcuma domesticae 15 % and 27 % others herb-medicinal plant of Zingiberaceae familia. Such result would be achieved with the assumption that there would be supported by 620 farmers based on 0.2 ha/farmer. The Analytical Network Process (ANP) in benefit cost opportunity risk (BCOR) approach was used for validation with respect to the purpose and the result was valid in optimistic condition. Considering the farmers’ weaknesses, the implementation would be proposed under four stages strategy initiated by industry and supported by government. The condition required were the commitment of industry to absorb the supply of herbal plants, presence of the facilitators to facilitate exchange between members and commitment of the members. Key words : supply chain network, pharmaceutical agroindustry, quality function
deployment, analytical hierarchy process, benefit cost opportunity result.
NUNUK ADIARNI. Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi. Dibawah bimbingan : IRAWADI JAMARAN, ANAS M FAUZI, MARIMIN, MACHFUD dan RIZAL SJARIEF.
RINGKASAN
Agroindustri farmasi membutuhkan bahan baku tanaman obat dengan
jaminan kebenaran jenis, kestabilan dan keseragaman kualitas agar produk yang dihasilkan sesuai klaim khasiat. Keseragaman kualitas dimaksud dapat terwujud, dengan memperhatikan pemilihan bibit, proses penanganan pada saat panen, pascapanen sampai produk jadi.
Rantai pasokan tanaman obat menghadapi permasalahan dimana para aktor bekerja secara sendiri-sendiri dan petani tampak sebagai pihak yang kurang cepat mendapatkan informasi inovasi produk yang dilakukan industri. Keterbatasan petani dalam memenuhi kebutuhan pasokan dan kualitas mendorong agroindustri farmasi membeli dari pedagang pengumpul.
Konsep jaringan merupakan pendekatan manajemen rantai pasokan yang menekankan hubungan anggota secara erat dimana masing-masing berkontribusi sesuai peran yang disepakati dalam integrasi proses secara kesatuan. Masing-masing anggota jaringan bagaikan node yang walaupun terdiri dari individu maupun lembaga yang bebas tetapi dapat menjalin hubungan secara terstruktur.
Tujuan penelitian adalah menghasilkan sistem pasokan bahan baku agroindustri farmasi berbasis jaringan yang mampu meningkatkan pendapatan bagi petani anggota dan hubungan yang berkelanjutan.
Pasokan bahan baku agroindustri farmasi menghadapi kompleksitas permasalahan dengan kerumitan hubungan antar elemen dan perubahan dinamis permintaan dan penawaran bahan baku. Sistem rantai pasokan akan direkayasa agar terdapat integrasi strategis antara petani dan industri dimana petani berlokasi tersebar, berkontribusi sesuai perannya atas dasar saling ketergantungan.
Kerangka pemikiran pembangunan jaringan, diawali dengan mempelajari secara seksama kebutuhan agroindustri farmasi dan kondisi rantai pasokan saat ini. Pendekatan kesisteman dilakukan melalui analisis usaha tani, matriks persyaratan mutu dan analisis elemen jaringan. Keluaran analisis usaha tani adalah kondisi situasional rantai pasokan, atribut mutu dan proses terkait sebagai hasil dari analisis matriks persyaratan mutu serta elemen kunci sebagai hasil analisis elemen jaringan. Setelah struktur jaringan terbentuk kemudian dianalisis konflik dan perhitungan manfaat. Struktur jaringan yang telah dihasilkan kemudian divalidasi menggunakan pendapat pakar dan analisis Analytical Network Process melalui pendekatan benefit, cost, opportunity dan risk (BCOR).
Kebaruan dari disertasi ini adalah hubungan pemasok-pemasok pada rantai pasokan bahan baku agroindustri farmasi yang bergabung melalui jaringan dengan memanfaatkan kelompok sebagai bagian dari tata kelola. Penekanan hubungan yang erat dan saling berbagi kekuatan berlangsung dengan mengoperasikan fungsi yang terdistribusikan pada pusat manajemen jaringan dan anggota.
Penjabaran elemen kunci menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM) menghasilkan sub-elemen struktur dan sistem organisasi dari elemen tujuan. Namun, sub-elemen permodalan dan perkembangan agroindustri farmasi menjadi
kendala keberhasilan jaringan. Matriks perbandingan aspek proses dan harapan pelanggan menggunakan Quality Function Deployment-QFD menghasilkan proses pengeringan sangat berpengaruh pada atribut mutu kadar air, terutama untuk produk tanaman obat kering. Konfigurasi jaringan terdiri dari petani, kelompok tani, dan pusat manajemen, yang membagi fungsi sesuai kemampuan masing-masing. Pengaturan dimaksud memperjelas pengintegrasian proses sehingga menempatkan tanggungjawab produksi dan pascapanen berada pada anggota. Dengan demikian upaya menjamin mutu telah dimulai sejak dini dan kendali proses yang berpengaruh terhadap mutu sebagaimana hasil Quality Function Deployment - QFD kemudian menjadi tanggungjawab petani. Pusat manajemen lebih memfokuskan penanganan pemasaran, distribusi dan pelayanan pelanggan.
Validasi terhadap jaringan dilakukan terhadap elemen tujuan jaringan, keterlibatan petani dan perilaku. Validasi tujuan dengan menggunakan metode Benefit Cost Opportunity Risk dari Analitycal Network Process, dinyatakan valid pada kondisi optimistik. Sedangkan validasi menggunakan pendapat pakar dinyatakan valid dengan skala tinggi. Dalam hal validasi keterlibatan petani untuk mematuhi aturan dihasilkan valid pada skala tinggi berdasarkan pendekatan pendapat pakar, tetapi konsistensi perilaku petani dinyatakan berskala sedang.
Hasil verifikasi menunjukkan petani mampu memperoleh peningkatan pendapatan 23,5 % apabila diusahakan secara campuran irisan kering dan segar. Melalui pengelolaan fungsi pemasaran dan pengaturan masukan-keluaran bahan baku, keuntungan jaringan pada tahun kelima akan mencapai 18 % per tahun. Bilamana keuntungan ditahan sebesar 10%, dan sisanya didistribusikan kepada petani maka masing-masing masih akan memperoleh tambahan sebesar Rp 93.000,- per orang per tahun, dan bilamana bahan baku hasil reject dikonversikan menjadi produk serbuk maka masih diperoleh pendapatan tambahan bagi setiap petani sebesar Rp 156.000,- .
Kondisi tersebut tercapai ketika jaringan beroperasi pada kapasitas penjualan 1.581 ton per tahun melibatkan 620 petani bilamana rata-rata petani memiliki lahan 2000 m2 dengan komposisi lahan untuk tanaman jahe 46 %, temulawak 11 %, kunyit 15 % dan sisanya berasal tanaman obat lainnya.
Konflik diantara anggota jaringan mungkin terjadi mengingat perubahan dari petani yang semula mengusahakan tanaman obat secara mandiri menjadi satu kumpulan dalam jaringan. Tiga faktor pemicu konflik berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process berasal dari sumber daya manusia, pengelolaan organisasi dan usaha tani. Alternatif pemecahan konflik dilakukan melalui penyuluhan dan sosialisasi untuk mengatasi pemicu utama yakni pengelolaan usaha tani.
Keberhasilan pengoperasian jaringan memerlukan persyaratan berupa dukungan industri untuk menyerap hasil tanaman obat, peran pemerintah untuk fasilitasi pinjaman modal dan perilaku anggota menjaga komitmen serta integritas.
Pengimplementasian jaringan ini dilakukan melalui empat tahapan strategis dengan pemrakarsa yang dipandang tepat berasal dari industri untuk menyelesaikan tahap pertama yakni peletakkan dasar organisasi.
Kata kunci : tanaman obat, jaringan, agroindustri farmasi, kelembagaan, ISM, QFD, AHP.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
Judul Disertasi : Rekayasa Sistem Rantai Pasokan Bahan Baku Berbasis Jaringan pada Agroindustri Farmasi
Nama Mahasiswa : Nunuk Adiarni Nomor Pokok : P 256 00010
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua
Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc Anggota Anggota Dr. Ir. Machfud, MS Prof. Dr. Ir. Rizal Sjarief, DESS Anggota Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 31 Januari 2007 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pontianak 6 Mei 1958, anak kedua dari pasangan Soenarjo dan
Waloejamin. Penulis menempuh pendidikan dasar di beberapa sekolah yakni sekolah
dasar katolik susteran Pontianak, SD Strada Tangerang, dan SD Xaverius IV Palembang.
Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Katolik Xaverius Palembang dan
melanjutkan di SMA Katolik Pendowo Magelang. Pendidikan sarjana ditempuh di
jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Gadjahmada lulus tahun 1981. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi manajemen
program magister manajemen di sekolah Tinggi Manajemen PPM.
Penulis mengawali bekerja sebagai pengajar dan konsultan manajemen di
Lembaga PPM pada tahun 1984. Pada tahun 1990, penulis bekerja di PT Berca
Indonesia sebagai Training & Development Manager, HRD Manager PT Daya Tata
Matra dari tahun 1996 sampai dengan 2002 dan sejak tahun 2003 sebagai Staff Direksi
bidang HRD di PT Agung Automall main dealer Toyota. Selain itu juga sebagai
pengurus Yayasan Lembaga Uji Kompetensi Tenaga Kerja Indonesia, dan sejak 2005
pengajar di jurusan agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis mendapatkan beasiswa dari AOTS Jepang untuk belajar program for
Quality Management di Tokyo, program for Indonesia Enterpreneur di Osaka, dan Small
Medium Enterprises di Manila. Memproleh sertifikat Lead Assessor ISO 9001 dari BSI
di London tahun 1993. Bersuamikan Ir Bambang Nuryanto, ibu dari Astari Nuryandani,
Anindito Nur Rahmandana dan Inggita Arundina.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan sehingga
disertasi ini berhasil diselesaikan. Pencarian fakta di lapangan, kajian konsep dan
teori, merupakan pembelajaran atas keilmuan yang multi disiplin yang memberikan
wawasan luar biasa.
Terimakasih dan penghargaan setingginya penulis haturkan kepada komisi
pembimbing yaitu Dr. Ir Irawadi Jamaran selaku ketua pembimbing, Dr. Ir. Anas M.
Fauzi, M.Eng, Prof. Dr. Ir Marimin, M.Sc, Dr. Ir. Machfud, MS dan Prof. Dr. Ir
Rizal Sjarief, DESS sebagai anggota, atas motivasi yang tiada henti, dan pengarahan
yang mempertajam pemahaman kaidah ilmiah serta tanggung jawab sebagai ilmuwan.
Kepada Lala M Kolopaking, Ph.D sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup,
Dr. Ir. Nadirman Haska, APU dan Dr.Dedi Mulyadi, M.Si sebagai penguji luar komisi
pada ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaan untuk menguji,
dan memberikan masukan.
Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri
farmasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ranah keilmuan
manajemen rantai pasokan yang menempatkan petani sebagai tokoh penting dalam
pengembangan agroindustri farmasi. Pemikiran strategis dalam rangka pemberdayaan
dan peningkatan kesejahteraan petani perlu dikedepankan, sehingga rencana besar
membangun agroindustri farmasi unggul dan memiliki kemampuan bersaing dapat
tercapai.
Disertasi ini diawali dengan latar belakang permasalahan pasokan, tujuan dan
ruang lingkup. Guna menarik kajian ilmiah yang relevan, hasil penelitian dari peneliti
sebelumnya disajikan pada tinjauan pustaka dalam lingkup rantai pasokan, aliansi
strategis, analisis konflik dan kelembagaan. Alat bantu pengolahan data yang
dihimpun dari responden petani, pengumpul dan para pihak di industri menggunakan
Quality Function Deployment, Intrepretative Structural Modelling, Analytical
Hierarchy Process, Analytical Network Process - yang ditinjau dari aspek benefit,
cost, opportunity, risk (BCOR) dan analisis kelayakan.
Keberhasilan menyelesaikan disertasi ini tidak lepas dari jasa baik pimpinan PT
Agung Automall main dealer Toyota, Pimpinan Yayasan Lembaga Uji Kompetensi
Mandiri yang memberikan kelonggaran waktu, bahkan bantuan materiil sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga tuntas.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada :
1. Para responden pakar yang telah menyediakan waktu untuk menjelaskan
mengenai Agroindustri farmasi, mengisi kuisioner dan berdiskusi.
2. Responden perusahaan agroindustri farmasi : PT Air Mancur, PT Phapros Tbk,
dan PT Indofarma Tbk serta agroindustri farmasi menengah – kecil di Nguter
Sukoharjo yang mengizinkan melakukan observasi dan wawancara dengan
para pihak.
3. Para responden petani, pengumpul di beberapa desa.
Penyelesaian disertasi ini merupakan wujud tanggung jawab kepada Ir.
Bambang Nuryanto suami penulis yang turut bersusah payah membantu saat
proses perkuliahan hingga penelitian. Anak-anakku, Astari Nuryandani, Anindito
Nur Rahmandana dan Inggita Arundina yang memudahkan berbagai aktivitas
yang penulis lakukan.
Terima kasih disampaikan kepada keluarga di Surakarta yang memperlancar
pelaksanaan penelitian dan para pihak yang telah memberikan motivasi tanpa
henti.
Bogor, Maret 2007
Nunuk Adiarni
RIWAYAT HIDUP
Penulis, lahir di Pontianak 6 Mei 1958, anak kedua dari keluarga Soenarjo dan
Waloejamin. Kehidupan yang berpindah-pindah di masa kecil memberikan kekayaan
wawasan atas budaya masyarakat. Penulis menempuh pendidikan dasar di sekolah
katolik ’susteran’ Pontianak, SD Strada Tangerang dan SD Xaverius IV Palembang.
Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Katolik Xaverius II Palembang dan
SMA ditempuh di SMA Katolik Pendowo Magelang.
Tahun 1977, penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjahmada dan mengambil jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, lulus
tahun 1981. Tahun 1993 penulis melanjutkan studi manajemen program magister
manajemen di Sekolah Tinggi manajemen PPM.
Penulis mengawali bekerja tahun 1984 sebagai pengajar dan konsultan
manajemen PPM. Kemudian tahun 1990 menjabat sebagai Training & Development
Manager di PT Berca Indonesia, HRD Manager di PT Daya Tata Matra dari tahun
1996 sampai dengan 2002. Sejak tahun 2003, penulis bekerja di main dealer Toyota
PT Agung Automall. Selain itu sebagai pengurus Yayasan Lembaga Uji Kompetensi
menangani uji kompetensi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan
tahun 2005, sebagai pengajar pada jurusan agribisnis - Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Penulis mendapatkan beasiswa dari AOTS Jepang untuk belajar program for
Quality Management di Tokyo, program for Indonesia Entrepreneur di Osaka, dan
Small Medium Entreprises di Manila. Memperoleh sertifikat Lead Assessor ISO 9000
dari BSI di London tahun 1993. Bersuamikan Ir. Bambang Nuryanto, Ibu dari Astari
Nuryandani, Anindito Nur Rahmandana dan Inggita Arundina.
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. x DAFTAR ISTILAH .................................................................................................. xi I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan ...................................................................................................... 5
1.3. Ruang Lingkup ......................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agroindustri Farmasi ............................................................................... 6
2.2. Rantai Pasokan .........................................................................................21
2.3. Konflik .....................................................................................................30
2.4. Kelembagaan ............................................................................................32
2.5. Resiko Petani ............................................................................................35
2.6. Penelitian Terdahulu ................................................................................37
III. LANDASAN TEORITIS
3.1. Quality Function Deployment (QFD) .....................................................39
3.2. Intrepretative Structural Modelling (ISM ) ..............................................44
3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) ......................................................46
3.4. Analytical Network Process (ANP) .........................................................50
3.5. Penilaian Investasi ....................................................................................52
IV. METODOLOGI
4.1. Kerangka Pemikiran .................................................................................55
4.2. Pendekatan Sistem ...................................................................................60
4.3. Tata Laksana Penelitian ...........................................................................61
V. Analisis Situasi Tanaman Obat
5.1. Bahan Baku Tanaman Obat .....................................................................67
5.2. Kondisi Usaha Tani...................................................................................69
5.3. Pergerakkan Harga Tanaman Obat ..........................................................75
5.4. Permasalahan Petani Tanaman Obat ........................................................78
v
5.5. Pedagang Pengumpul ...............................................................................79
5.6. Agroindustri Farmasi ................................................................................84
5.7. Identifikasi Resiko ....................................................................................87
VI. REKAYASA SISTEM RANTAI PASOKAN
6.1. Aliran Bahan Baku ...................................................................................94
6.2. Analisis Kualitas dan Elemen Kunci Jaringan .........................................95
6.3. Struktur Rantai Pasokan Berbasis jaringan ..............................................117
VII. RANCANGAN IMPLEMENTASI
7.1. Tahapan Strategis Pembangunan Jaringan ...............................................133
7.2. Kepemilikan Jaringan ..............................................................................143
7.3. Persyaratan Impelementasi ......................................................................144
7.4. Kekuatan dan Keterbatasan jaringan ........................................................147
VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM
8.1. Validasi ....................................................................................................150
8.2. Verifikasi ..................................................................................................153
8.3. Manfaat untuk Petani ...............................................................................166
8.4. Manfaat untuk Masyarakat ......................................................................168
8.5. Manfaat untuk Industri .............................................................................168
8.6. Analisis Konflik .......................................................................................169
8.7. Analisis Manfaat menggunakan BCOR ...................................................174
8.8. Implikasi Kebijakan .................................................................................175
IX. KESIMPULAN dan SARAN
9.1. Kesimpulan ..............................................................................................177
9.2. Saran .........................................................................................................178
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................179
LAMPIRAN ..............................................................................................................188
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 - Data IOT dan IKOT 2002 ................................................................................ 9
2 - Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan di 8 IOT....................13
3 - Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002 ..............................14
4 - Produksi tanaman obat tahun 2000 – 2002 ......................................................14
5 - Transisi dari hubungan vertikal hingga jaringan ............................................27
6 - Tinjauan teori jaringan menurut peneliti terdahulu ..........................................29
7 - Skala banding berpasangan pada AHP ............................................................48
8 - Analisis kebutuhan para aktor pada rantai pasokan ........................................61
9 - Biaya dan hasil produksi per hektar ................................................................78
10 - Permasalahan petani ........................................................................................79
11 - Aspek pengadaan bahan baku industri ...........................................................86
12 - Kandungan tanaman obat pada jamu ...........................................................87 13 - Proses, resiko dan tanggungan biaya pada rantai pasokan .............................91
14 - Bentuk pengendalian vertikal .........................................................................92
15 - Aliran bahan baku pada rantai pasokan ...........................................................94
16 - Elemen tujuan....................................................................................................99
17 - Hasil reachability matrix final elemen tujuan .................................................100
18 - Hasil reachability matrix final elemen kendala ...............................................106
19 - Hasil reachability matrix final elemen aktivitas ..............................................110
20 - Hasil reachability matriks final perubahan yang dimungkinkan ..........................................................................................114
vii
21 - Analisis faktor penghambat dan pendorong keterlibatan petani ......................128
22 - Fungsi pusat manajemen jaringan ...................................................................129
23 - Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi ..................................152
24 - Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya ........................................154
25 - Asumsi analisis usaha tani ..............................................................................155
26 - Skenario asumsi analisis usaha jaringan ......................................................160
27 - Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas ....................................................................................161
28 - Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar ............164
29 - Analisis konsistensi AHP ................................................................................173
30 - Hasil analisis BCOR..........................................................................................175
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 - Skema aliran pasokan bahan baku ..............................................................12
2 - Skema bahan baku menjadi irisan kering .. ................................................17
3 - Kerangka manajemen rantai pasokan ........................................................26
4 - Rumah mutu .. ............................................................................................42
5 - Struktur hirarki AHP .. ...............................................................................49
6 - Ketergantungan antar elemen dalam ANP .. ..............................................51
7 - Kerangka pemikiran penelitian ...................................................................56
8 – Tahapan penelitian .....................................................................................59
9 - Peta lokasi penelitian .. ................................................................................62
10 - Alur proses penanganan bahan baku .. .......................................................69
11 - Kondisi harga temulawak di lapangan ......................................................76
12 - Kondisi harga jahe di lapangan .................................................................77
13 - Aktor pada rantai pasokan tanaman obat ..................................................82
14 - Hasil final matriks rumah kualitas – QFD ................................................98
15 - Struktur hirarki dari elemen tujuan ............................................................101
16 - Matriks DP-D elemen tujuan .. ..................................................................101
17 - Struktur hirarki kendala.. ............................................................................107
18 - Matriks DP-D elemen kendala .. ...............................................................107
19 - Struktur hirarki aktivitas jaringan .. ...........................................................111
ix
20 - Matriks DP-D untuk elemen aktivitas .. ....................................................112
21 - Struktur hirarki elemen perubahan .. ..........................................................115
22 - Matriks DP-D perubahan yang diinginkan ................................................116
23 – Struktur jaringan .. ......................................................................................118
24 – Mekanisme pengendalian ..........................................................................125
25 - Empat tahapan strategis pembangunan jaringan .. ......................................132
26 - Penerimaan petani anggota jaringan .. ........................................................134
27 - Skema pengambilan keputusan jaringan ....................................................140
28 - Kegiatan operasi pusat manajemen jaringan .............................................142
29 - Biaya usaha tani tanaman obat ....................................................................156
30 - Harga tanaman obat dijual ke jaringan .....................................................157
31 - Keuntungan jaringan selama 5 tahun .........................................................163
32 - Struktur hirarki analisis konflik .................................................................170
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Asumsi biaya jaringan ............................................................................... 188
2. Proporsi bahan baku dari target nasional ................................................... 189
3. Penetapan komposisi penjualan tanaman obat ........................................... 190
4. Target penyaluran ....................................................................................... 191
5. Harga bahan baku segar .............................................................................. 192
6. Biaya pembelian bahan baku jaringan ....................................................... 193
7. Pembiayaan teknis jaringan ....................................................................... 194
8. Biaya sewa dan investasi ............................................................................ 195
9. Perkiraan arus kas jaringan ........................................................................ 196
10. Target penyaluran bahan baku perhitungan BEP ....................................... 197
11. Harga Jual Bahan Baku ............................................................................. 198
12. Pembiayaan teknis jaringan posisi BEP .................................................... 199
13. Penjualan tanaman obat posisi BEP .......................................................... 200
14. Perkiraan arus kas posisi BEP ................................................................... 201
15. Manfaat Jaringan bagi masyarakat ........................................................... 202
16. Manfaat Jaringan bagi masyarakat kondisi BEP ...................................... 203
17. Permasalahan petani .................................................................................. 204
18. Pengendalian vertikal industri terhadap pemasok ..................................... 205
19. Pengendalian vertikal pedagang terhadap pemasok .................................. 206
DAFTAR ISTILAH
Agroindustri
Didefinisikan sebagai industri yang mengolah hasil pertanian menjadi barang lain bernilai tambah lebih tinggi melalui kemampuan teknologi yang melibatkan aspek fisik, kimia maupun biologi. Boleh dikatakan agroindustri sebagai revolusi nilai tambah yang menyempurnakan keberhasilan di bidang pertanian. Kegiatan agroindustri dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu daur singkat dan daur panjang. Konsep agroindustri mensimbiosakan dua bidang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan proses produksi dan manajemen.
Agroindustri farmasi Industri yang menggunakan bahan baku tanaman obat bagi keperluan produk untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan. Departemen Kesehatan menyebutkan sebagai Industri Obat Tradisional.
Analytical Hierarhcy Process Proses hierarki analitik diajukan oleh Profesor Thomas
L.Saaty yang merupakan model pengambilan keputusan yang mampu memecahkan persoalan kompleks secara kuantitatif. Tujuannya adalah memodelkan problem yang tidak berstruktur. Tiga unsur dalam AHP adalah menggambarkan dan menguraikan secara hierarkis yaitu memecah persoalan menjadi unsur terpisah-pisah. Kemudian pembedaan prioritas dan sintesis dan dilanjutkan dengan konsistensi logis untuk menjamin bahwa semua elemen telah dikelompokkan dan diperingkatkan secara konsisten sesuai kriteria yang logis.
Analytical Network Process Merupakan metode pemecahan masalah tidak berstruktur dan
membutuhkan ketergantungan hubungan antar elemennya. Konsep ini dikembangkan dari teori AHP dimana tidak membutuhkan level khusus sebagaimana dalam hierarki. Dengan konsep hubungan yang saling mempengaruhi antar elemen digunakan sebagai sarana memprediksi dengan memasukkan interaksi dan kekuatan relatif untuk pemecahan masalah. Hubungan ketergantungan antar elemen ditandai dengan anak panah bolak-balik. Hubungan saling ketergantungan pada level yang sama ditunjukkan dengan sebuah loop. Bentuk interaksi ketergantungan antar elemen pada masing-masing level ini diturunkan menjadi supermatrik.
BCOR
Pengambilan keputusan dipertimbangkan dari sisi menguntungkan dan merugikan. Pertimbangan menguntungkan ini disebut sebagai manfaat (benefit – B), pertimbangan merugikan ditinjau dari sisi biaya (cost – C). Saaty, melengkapi pendekatan pengambilan keputusan menggunakan ANP, dengan memperhatikan peluang (opportunity – O) dan hal-hal yang menuju akibat negatif sebagai resiko (risk – R). Sintesa dari manfaat, biaya, kesempatan dan resiko menjadi kesimpulan akhir pengambilan keputusan (BCOR).
Fitofarmaka Produk yang harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat harus dibuktikan secara uji klinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
Herbal terstandardisir Produk yang berasal dari bahan atau ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral, yang harus memenuhi kriteria aman, klaim khasiat yang dibuktikan secara ilmiah/ praklinik, telah dilakukan standarisasi bahan baku yang digunakan dalam produk jadi danmemenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Intrepretative Structural Modelling Adalah proses pengkajian kelompok guna memotret perihal
komples suatu sistem. Secara metodologi dan teknik, ISM dibagi dua bagian yakni penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip dasar adalah identifikasi struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat tinggi dan untuk pengambilan keputusan lebih baik.
Jamu Bentuk sediaan masih sederhana, berwujud serbuk seduhan, dan bahan rajangan dengan sejumlah kegunaan yang sepenuhnya menggunakan istilah- istilah tradisional. Produk jamu berasal dari resep tradisional dan tidak mengikuti standar ilmiah, sehingga terfragmentasi sangat lebar dengan kandungan tanaman obat dan klaim yang bervariasi. Klaim kegunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan pengalaman empiris.
Quality Function Deployment QFD dikembangkan di Jepang oleh Mitsubishi’s Kobe Shipyard dan diadopsi oleh Toyota tahun 1978. Merupakan format terstruktur yang menerjemahkan persyaratan nilai pelanggan ke dalam karakteristik produk dan jasa spesifik dan
pada akhirnya ke dalam proses dan sistem yang memberikan produk dan jasa benilai tersebut. Dengan kata lain tujuan QFD adalah menerjemahkan kebutuhan pelanggan ke dalam persyaratan teknis dan menset prioritas. Terlebih dulu, pada rumah mutu QFD diterjemahkan kebutuhan pelanggan yang diletakkan pada lajur kiri kolom, kemudian menerjemahkan serangkaian proses yang dibutuhkan, selanjutnya dilakukan hubungan berpasangan antara fitur persyaratan mutu dan proses untuk dilihat mana proses yang berpengaruh kuat atas fitur dimaksud.
Rantai pasokan Merupakan pergerakan fisik bahan baku atau produk, aliran informasi, pergerakan uang, penciptaan dan penjabaran modal intelektual. Rantai pasokan tidak sama dengan istilah logistik karena di dalamnya akan termasuk fungsi pembelian, produksi, pemasaran, keuangan, perekayasaan dan aktivitas pengendalian.
Rantai pasokan berbasis jaringan Menunjukkan alur berstruktur dari obyek yang dipertukarkan sebagai ganti aliran bebas dengan dasar ketergantungan yang diakui dan wujud keikatan bersama. Analogi dari basis jaringan sebagaimana sel dalam organisme hidup yang dapat beraktivitas sendiri untuk memenuhi kebutuhan tetapi dengan bertindak dalam kesatuan dapat menghasilkan fungsi yang lebih kompleks. Membangun kekuatan jaringan strategik memerlukan berbagi teknologi, manfaat, pengembangan dan kepemilikan di dalam jaringan. Uraian terperinci terdapat pada tinjauan pustaka.
Simplisia Bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain. Simplisia dapat berasal dari nabati, hewani, pelikan atau mineral.
Simplisia nabati Simplisia tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Obat tradisional dengan tujuan penggunaan untuk promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif telah dikenal oleh masyarakat Indonesia secara
turun temurun. Obat tradisional atau dikenal sebagai jamu merupakan
ramuan yang dapat dibuat sendiri, diolah oleh penjual jamu gendong atau
berasal dari produk industri.
Berdasarkan cara pembuatan, klaim penggunaan, tingkat pembuktian
khasiat, produk agroindustri farmasi dikelompokkan menjadi : a) jamu, yakni
ramuan tradisional yang secara empiris dibuktikan khasiatnya, b) herbal
terstandar yakni obat tradisional yang telah melalui uji pra klinik, dan c)
fitorfarmaka yakni obat tradisional yang telah melalui uji klinik sehingga
dapat digunakan pada pelayanan kesehatan formal. Walaupun saat ini
dikenal pengobatan kesehatan formal, namun terdapat kecenderungan
masyarakat mencari alternatif pengobatan kembali pada alam (back to
nature) karena persepsi manfaat berdasarkan pengalaman empirik.
Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan – BPOM (2003),
terdapat peningkatan jumlah industri obat tradisional (IOT) pada tahun 2000
dari 96 menjadi 118, dan industri kecil obat tradisional (IKOT) dari 856
meningkat hampir 10 % menjadi 917 pada tahun 2002. Penyerapan bahan
baku atau simplisia untuk memenuhi kebutuhan IOT/ IKOT dan industri
farmasi sebesar 63 %, keperluan ekspor sebesar 14 % dan konsumsi
rumah tangga 23 %.
Laju pertumbuhan Industri Obat Tradisional berdasarkan data litbang
Deptan 2006 sebesar 6,40 %. Pasar obat farmasi di Indonesia mencapai nilai
Rp 17 triliun dan obat herbal Rp 2 triliun pada tahun 2003. Pasar obat herbal
mengalami peningkatan menjadi Rp 2.9 triliun pada tahun 2005, naik 11 %
dibandingkan tahun lalu (BPPT, 2006).
Total pasar produk herbal Indonesia relatif sangat kecil apabila
dibandingkan dengan pasar dunia. Pasar herbal dunia pada tahun 1999
mencapai US $ 19.4 miliar dimana pasar Eropa mencapai US $ 6.7 miliar,
2
diikuti Asia US $ 5.1 miliar, Amerika Utara US $ 4.0 miliar, Jepang US $
2.2 miliar dan negara lain US $ 1.4 miliar (Laird dan Pierce, di dalam WWF
2006). Pengembangan agroindustri farmasi lebih maju telah dilakukan oleh
China dengan mengintegrasikan kebun, pabrik dan lembaga layanan
kesehatan formal (Pramono, 2001).
Agroindustri farmasi membutuhkan beraneka jenis bahan baku
tanaman obat untuk memenuhi kebutuhan produk obat tradisional yang telah
dikenal lama oleh masyarakat, maupun guna keperluan bahan baku produk
hasil inovasi yang dilakukan industri.
Kebutuhan bahan dasar obat tradisional seperti jahe, kunyit, dan
temulawak meningkat 5 % pada tahun 2001, di mana kunyit naik mencapai
12 % dan permintaan jahe diperkirakan tumbuh mencapai rata-rata 11 % per
tahun. Pada saat kebutuhan jahe dan kunyit meningkat, produksi jahe terlihat
menurun sebesar 7 % dan kunyit mencapai 11 %, sedangkan temulawak
mengalami kenaikan produksi mencapai 15 % pada tahun 2002.
Pada kenyataannya, tidak semua tanaman obat telah dibudidayakan.
Bahan baku hasil budidaya diperoleh dari petani yang mengikuti program
pembinaan industri, petani yang secara mandiri atau berasal dari kebun milik
industri. Menurut Darusman (2004), diperlukan pedoman teknis dalam
produksi bahan baku jamu, herbal terstandarisir maupun fitofarmaka yang
mencakup teknik budidaya, pengumpulan dan produksi bahan baku, proses
pasca panen dan proses pengendalian kualitas bahan baku.
Usaha pemerintah dalam mengembangkan obat tradisional menjadi
fitofarmaka mendorong kebutuhan bahan baku yang memenuhi persyaratan
Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika
Indonesia dan persyaratan lain yang berlaku (Depkes, 1985). Menurut
Chanisah (1996), masih terdapat permasalahan pada rantai pasokan,
mengingat para aktor masih bekerja secara sendiri-sendiri dan lemahnya
standarisasi hasil dari masing-masing proses. Kondisi dimaksud terjadi
karena komunikasi di antara petani dan industri belum terjalin akibat
ketidaksamaan tujuan dan belum terbangun saling percaya (Sudarsono,
3
2004). Akibatnya, petani kurang cepat mendapatkan informasi inovasi
produk dan kebutuhan jenis dan tanaman obat yang dibutuhkan oleh industri.
Manajemen rantai pasokan menurut Kotler (2000), adalah representasi
dari sistem pengiriman bahan baku dimana di satu pihak terdapat kebutuhan
pasokan dan di lain pihak terdapat permintaan yang mendorong terjadinya
pertukaran dalam bentuk aliran pergerakkan fisik bahan atau produk,
informasi, uang, penciptaan dan penjabaran modal intelektual (Ayers, 2002).
Manajemen rantai pasokan telah menjadi area penelitian yang tidak
saja difokuskan pada logistik dan proses operasi, namun diteliti dari berbagai
perspektif seperti: manajemen strategik, kelembagaan, hubungan antar
organisasi, manajemen pengetahuan , biaya transaksi dan jaringan.
Konsep rantai pasokan mengintegrasikan proses bisnis dari pemasok
hingga pemakai akhir sehingga memberikan produk, jasa dan informasi guna
menambah nilai (Tracey et al., 2004; Maku et al, 2005), di mana pendekatan
lintas fungsi dan organisasi menjadi penting. Selain dipandang memiliki
kepentingan jangka panjang, dipergunakan sebagai strategi untuk menjalin
kerjasama dan menurunkan kehilangan peluang bisnis (Dobler dan Burt,
1996). Manajer yang berada pada rantai pasokan bekerja bersama agar
keseluruhan bagian menjadi lebih kompetitif dengan syarat memandang
seluruh rantai sebagai satuan proses dengan tujuan mengurangi
ketidakefisienan dan terjadinya pengulangan proses sehingga secara
keseluruhan menjadi lebih fleksibel serta responsif terhadap kebutuhan
pelanggan (Vokurka et al. 2002).
Kerangka kerja dalam memformulasikan strategi rantai pasokan
tergantung pada strategi sumber, aliran permintaan, layanan pelanggan dan
integrasi pasokan (Evans dan Danks, 1998). Terdapat tiga dimensi strategis
yang berkaitan dengan struktur fisik rantai pasokan yakni mensintesa dimensi
struktural, sinergi interaksi manusia dan hubungan di dalam rantai pasokan
dan sinkronisasi kendali operasional proses (Giannakis dan Croom, 2004).
Ketidaksinkronan pada rantai pasokan terjadi ketika pihak yang
memiliki kekuatan pengatur pasokan cenderung mendominasi, dengan
keuntungan yang diperoleh pihak yang mendominasi atas tanggungan biaya
4
pihak lain. Kondisi dimaksud menurut Sumardjo (2002), mempunyai ciri
tidak terdapat hubungan fungsional dan disebut sebagai sistem dispersial
serta hanya mementingkan diri sendiri sehingga petani berada pada posisi
tidak menguntungkan.
Kedudukan petani dengan keterbatasan dan kemampuannya, kurang
berposisi sejajar dengan pihak pada rantai di atasnya. Sifat hubungan jangka
pendek berdasarkan mekanisme pasar kurang mengarah pada hubungan
jangka panjang yang saling membutuhkan. Manajemen rantai pasokan
berbasis jaringan akan meninjau keterhubungan antar individu bahkan antar
organisasi sehingga domain manajemen rantai pasokan tidak sekedar unit
analisis, tetapi bagaimana interaksi dan interdependensi dari fungsi-fungsi,
kelompok bahkan organisasi (Giannakis, 2004). Dengan kata lain menurut
Barba et al. dalam Gattorna (1998), anggota jaringan bertanggung jawab
untuk masing-masing aktivitas transaksi dengan pelanggan.
Kerjasama antara agroindustri farmasi dan petani telah dilakukan di
daerah penelitian dengan fasilitasi pemerintah daerah, atau lembaga
penelitian. Tanaman obat yang dibutuhkan industri dibudidayakan oleh
petani kemudian dibina oleh agroindustri farmasi. Pembinaan petani oleh
pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait sangat tergantung pada
keberlanjutan proyek dan dana yang tersedia.
Hasil kerjasama petani dan agroindustri farmasi berupa hasil panen
petani dibeli oleh industri sebagai bagian dari kontrak pembelian, atau
industri hanya memberikan penyuluhan budidaya dan standar pengolahan
bahan baku tanpa kewajiban membeli hasil panen petani. Pembelian melalui
pedagang pengumpul pada kenyataannya masih tetap dominan dengan alasan
lebih praktis dan tidak terlibat pada permasalahan budidaya yang
mengharuskan menyediakan tenaga petugas tersendiri untuk melakukan
penyuluhan.
Mengingat unsur strategis kontinuitas pasokan dalam menjamin
kelangsungan usaha agroindustri farmasi, maka merekayasa sistem rantai
pasokan bahan baku berbasis jaringan menjadi penting untuk meningkatkan
keterhubungan pemasok dengan industri yang memberikan nilai tambah.
5
Kajian sistem rantai pasokan saat ini ditelaah dan direkayasa agar
dapat mengakomodasikan kebutuhan pihak industri berupa kualitas,
kuantitas, dan kontinuitas pasokan bahan baku sekaligus memenuhi harapan
petani dalam hal harga yang lebih baik, kecepatan penyaluran dan kepastian
penerimaan uang. Penelitian mendalam mengenai organisasi jaringan
dipergunakan untuk menerjemahkan seluruh elemen dan disain struktural
dengan memperhatikan kemungkinan kendala implementasi dan konflik
internal jaringan.
1.2. Tujuan
Penelitian bertujuan untuk menghasilkan sistem pasokan bahan baku
agroindustri farmasi berbasis jaringan yang mampu meningkatkan
pendapatan bagi petani anggota dan hubungan yang berkelanjutan.
1.3. Ruang Lingkup
Penelitian menitikberatkan pada rantai pasokan petani hingga industri
dengan fokus tanaman obat familia Zingiberaceae yakni umbi Curcuma
xanthorizza (temulawak), Curcuma domestica (kunyit), Zingiberis officinale
(jahe) sebagai bahan baku yang banyak digunakan agroindustri farmasi yang
menghasilkan jamu. Untuk merancang sistem, dilakukan identifikasi tata niaga
dan pola pengadaan dan permintaan tanaman obat, menjabarkan harapan
pelanggan dan matriks hubungan kriteria mutu dengan aspek teknis
operasional menggunakan Quality Function Deployment.
Analisis elemen kritis dalam menstrukturkan jaringan menggunakan
Intrepretative Structural Modelling dengan meninjau tujuan, kendala utama,
aktivitas yang dibutuhkan dan perubahan diharapkan. Untuk mengkaji manfaat
yang diperoleh anggota jaringan dilakukan analisis finansial.
Guna mempertahankan jaringan agar dapat bertahan lama, dikaji
kemungkinan konflik yang mengganggu dengan menggunakan Analytical
Hierarchy Process sehingga dapat disiapkan solusi yang tepat. Dalam
mengkaji pada kondisi apa tujuan jaringan tercapai, didekati dengan analisis
Benefit Cost Opportunity Risk – BCOR.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agroindustri Farmasi
Industri obat tradisional (IOT) sebagaimana dinyatakan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 246 / Menkes / Per / V / 1990
adalah industri yang memproduksi obat tradisional dengan total aset di atas
Rp 600.000.000,- dan disebut Industri kecil obat tradisional (IKOT) bilamana
total aset lebih rendah. Industri obat tradisional menghasilkan produk dengan
menggunakan bahan atau ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan
galenik yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman empiris. Bentuk sediaan berwujud serbuk seduhan, dan bahan
rajangan dengan sejumlah kegunaan yang sepenuhnya menggunakan istilah-
istilah tradisional sehingga produk yang beredar memiliki kandungan
tanaman obat dan klaim yang bervariasi.
Menurut pendapat Sinambela sebagai responden ahli, sesungguhnya
tidak tepat menyebutkan kata obat pada produk tradisional walaupun
masyarakat menyatakan demikian. Menurut kalangan berpendidikan atau
masyarakat kesehatan, bilamana dinyatakan sebagai obat berarti menuntut
pembuktian secara ilmiah. Kalau khasiat produk tidak terbuktikan, maka
tidak dapat dikatagorikan sebagai obat tetapi suplemen makanan herbal atau
herbal food supplement. Merujuk pada definisi obat tradisional, beberapa
industri obat tradisional sudah tidak tepat menyandang penamaan dimaksud
karena telah menghasilkan produk herbal terstandardisir dan fitofarmaka.
Beberapa industri obat tradisional yang dikenal masyarakat antara lain
Sidomuncul, Nyonya Meneer, Air Mancur, Jamu Jago, Jamu Iboe yang
memberi kontribusi signifikan terhadap total produk obat tradisional. Selain
produk yang dihasilkan oleh industri dengan merek yang telah dikenal,
produk jamu juga berasal dari industri kecil dengan jumlah terbesar berlokasi
di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti terdapat pada Tabel 1.
Strategi pemasaran dan pengembangan produk yang dilakukan oleh
agroindustri farmasi telah menghasilkan inovasi produk dengan bentuk dan
tujuan khasiat lebih bervariasi. Tampilan obat tradisional menjadi lebih
7
praktis untuk dikonsumsi berupa kaplet, pil maupun kapsul. Perubahan
bentuk produk agar dapat diterima konsumen yang kurang menyukai rasa
pahit bilamana mengkonsumsi produk dalam bentuk bubuk.
Katagori produk obat tradisional menurut definisi dari Nyonya
Meneer adalah : jamu wanita, jamu laki-laki, jamu untuk tujuan kecantikan,
kesejahteraan keluarga, kesehatan dan penyembuhan. Menurut responden
ahli Widyastuti dari Balai Penelitian Tanaman Obat, produk untuk
meningkatkan kesehatan atau kesegaran merupakan produk yang umum
dihasilkan industri penghasil obat tradisional.
Agroindustri farmasi kecil lebih cenderung menggunakan merek lokal
atau bahkan tanpa merek. Pemrosesan produk masih menggunakan peralatan
pengolahan sederhana, yang bersifat padat karyan dan melibatkan keluarga.
Produk obat tradisional dijual dengan harga relatif murah berkisar Rp 1.000,-
per sachet dengan berat 7 gram, pada saat penelitian ini dilakukan.
Dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia sebagai salah
satu pesaing obat tradisional di wilayah Asia Tenggara, produk tanaman obat
di negara tersebut diposisikan sebagai produk herbal terstandardisir. Sejak
tahun 1998, Malaysia memfokuskan pada penanganan produk herbal dan
melalui National Herbal Product Blueprint mencanangkan tekad menjadi
pemain dunia (Tahir, 2004). Negara China yang dikenal sebagai pemasok
produk herbal terkemuka, melakukan pendekatan strategis dan mengaitkan
secara konsisten berbagai sektor untuk program pengembangan bahan baku
guna memperkuat posisi industri produk herbal.
Arah kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan obat
tradisional menjadi fitofarmaka ditujukan agar terdapat rasionalisasi dan
peningkatan pemanfaatan di dalam pelayanan kesehatan formal.
Pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka sebagaimana dinyatakan
oleh Peraturan Menteri Kesehatan 760/MENKES/PER/IX/1992, harus
melalui uji toksisitas, uji farmakologik eksperimental, uji klinik dan terbukti
memiliki efek kuratif. Pendekatan menuju produk fitofarmaka dilakukan
melalui pengembangan formula obat tradisional dan penyusunan formula
obat baru berlandaskan ilmiah. Kebijakan tersebut perlu mendapatkan
8
dukungan pasokan dan komunikasi dengan konsumen dari kalangan layanan
kesehatan formal mengingat persepsi terhadap fitofarmaka masih disamakan
dengan jamu.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kebenaran jenis bahan baku
masih diragukan dan kualitas pasokan bahan baku masih belum stabil. Atas
kondisi tersebut, tujuan menghasilkan produk fitofarmaka masih menghadapi
kendala. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan, baru terdapat
empat obat tradisional yang dinyatakan sebagai fitofarmaka sampai tahun
2003. Produk dimaksud, berasal dari perusahaan farmasi milik negara dan
satu perusahaan swasta. Darusman (2004) menyatakan bahwa produksi
tanaman obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan farmakope
Indonesia, ekstrak farmakope Indonesia, materia medika Indonesia, dan
ketentuan persyaratan lain yang berlaku.
Istilah agroindustri tanaman obat sering digunakan dalam forum ilmiah
sampai dengan tahun 2000 untuk menjelaskan industri pengolah tanaman
obat, walaupun istilah agromedisin juga dipakai untuk penggambaran yang
sama. Selanjutnya, sejak tahun 2001 istilah biofarmaka sering digunakan.
Biofarmaka adalah tumbuhan, hewan, maupun mikroba yang memiliki
potensi sebagai obat, nutriceuticals, makanan kesehatan untuk manusia,
hewan, maupun tanaman (Darusman, 2004). Penulis memakai istilah
agroindustri farmasi yakni industri yang menggunakan bahan baku tanaman
obat bagi keperluan produk untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan.
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan, industri yang
menghasilkan obat tradisional terkonsentrasi di Jawa dengan jumlah paling
banyak berada di Jawa Tengah. Jumlah industri obat tradisional tumbuh
mencapai 20 % pada tahun 2001 dibanding tahun 2000, dan selanjutnya
meningkat mencapai 4 % pada tahun 2002. Menurut Sinambela,
penggambaran peningkatan jumlah industri tidak secara otomotis
meningkatkan jumlah produksi produk yang dihasilkan.
9
Tabel 1 Data industri obat tradisional (IOT) dan industri kecil obat tradisional (IKOT) 2002
2000 2001 2002 No Provinsi
IOT IKOT IOT IKOT IOT IKOT 1 DI Aceh - 25 - 25 - 25 2 Sumatera Utara 3 49 3 50 3 50 3 Suamtera Barat - 4 - 4 - 4 4 Riau - 8 - 8 - 8 5 Jambi - 11 - 11 1 11 6 Sumatera Selatan - 6 1 6 1 7 7 Bengkulu - - - - - - 8 Lampung - 4 - 4 - 4 9 DKI Jakarta 23 128 23 134 24 134
10 Jawa Barat 46 94 55 108 34 98 11 Banten - - - - 22 16 12 Jawa Tengah 15 200 17 207 17 207 13 Yogyakarta - 20 - 21 22 14 Jawa Timur 8 176 14 186 - 190 15 Bali - 8 - 8 16 8 16 NTB - 12 - 14 - 14 17 NTT - - - - - - 18 Kalbar - 9 - 10 - 2 19 Kalteng - 2 - 2 - 2 20 Kalsel - 33 - 36 - 36 21 Kaltim - 10 - 11 - 11 22 Sulawesi Utara - 7 - 7 - 7 23 Sulawesi Tengah - 1 - 1 - 1 24 Sulawesi Tenggara - 2 - 2 - 2 25 Sulawesi Selatan - 26 - 26 - 26 26 Maluku - 17 - 17 - 17 27 Papua - 3 - 3 - 3 28 Indonesia 94 856 113 903 118 917
2.1.1. Bahan Baku Agroindustri Farmasi.
Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber kekayaan hayati
dengan 9.606 spesies tanaman obat, baru sekitar 4 % dimanfaatkan secara
komersiil (Sastroamidjojo, 1997). Bahan baku obat tradisional berasal dari
panen hasil hutan dan pembudidayaan. Tumbuhan liar kurang baik dijadikan
sumber bahan baku dibandingkan dengan tanaman budidaya, disebabkan
keragaman umur tanaman, homogenitas spesies kurang terjamin dan
lingkungan tempat tumbuh yang berlainan. Kondisi tersebut berakibat pada
Sumber : Badan pengawas obat dan makanan (2003)
10
keseragaman kandungan metabolit sekunder. Gangguan kelestarian sumber
plasma nutfah dapat dikurangi dengan pelaksanaan pembudidayaan tanaman
obat. Walaupun demikian, pemanenan hasil hutan masih saja berlangsung
sehingga dikhawatirkan dengan berjalannya waktu akan mengalami
kepunahan.
Tanaman obat memiliki sifat khusus dengan kandungan metabolit
sekunder yang berkhasiat obat baik diperoleh dari akar hingga daun.
Metabolit sekunder sebagaimana dinyatakan Jamaran (1995), memiliki
karakteristik biosintesis adaptif, spesifik dan variatif. Tanaman obat dalam
satu familia mensintesis metabolit sekunder yang menyerupai ditinjau dari
struktur kimia inti namun berbeda dengan familia lain. Respon terhadap
rangsangan yang tidak selalu sama antara spesies satu dengan yang lain,
berakibat kandungan senyawa metabolit sekunder bervariasi baik kadar
maupun komposisinya ketika metabolit sekunder menyerupai dari beberapa
spesies dari salah satu keluarga disintesis.
Agroindustri farmasi memerlukan jaminan kebenaran jenis tanaman
obat, kestabilan dan keseragaman kualitas. Keseragaman kualitas dipengaruhi
oleh keterkaitan proses satu dengan lainnya dimulai saat pemilihan bibit,
proses penanganan saat panen, pascapanen hingga produk jadi (Sudarsono,
2004). Keseragaman kadar senyawa aktif dipengaruhi oleh faktor genetik,
lingkungan tumbuh, perlakuan selama masa tumbuh, saat panen dan
pascapanen. Adapun penentuan masa panen tergantung pada waktu dan
bagian tanaman yang dibutuhkan. Waktu panen tersebut, terkait dengan
pembentukan senyawa aktif pada bagian tanaman yang dipanen, sehingga
waktu yang tepat adalah saat bagian tanaman mengandung senyawa aktif
dalam jumlah terbesar (Sudiatso, 2002).
Bilamana mengharapkan penelusuran historikal hasil panen dan
terstandarisasi maka budidaya merupakan cara yang tepat karena melalui
praktek pertanian yang baik (good agricultural practices) dengan perpaduan
teknologi agronomik. Praktek budidaya demikian, mencakup penggunaan
bibit terpilih, pengolahan tanah, pengaturan tanaman, pemupukan,
perlindungan dan penentuan masa panen.
11
Terdapat dua cara pembudidayaan tanaman obat yakni menggunakan
cara monokultur dan polikultur. Pendekatan monokultur dilakukan dengan
menanam jenis tanaman obat tertentu pada satu hamparan lahan. Pendekatan
polikultur dilakukan secara tumpang sari dengan alasan mengurangi resiko
kegagalan panen akibat hama dan penyakit, mengurangi kerugian saat harga
tanaman obat rendah dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan.
Tanaman keluarga Zingiberaceae sebagai contoh, lazim
ditumpangsarikan dengan jagung (Zea mays), kacang tanah (Arachis
hipogea) dan ketela pohon (Manihot utilisima). Pemilihan jenis tanaman
tumpangsari tergantung pada iklim, selera dan harga pasar, dimana petani
akan memperoleh manfaat ganda (Paimin dan Murhananto, 1999). Sampai
saat ini, aspek kelayakan usaha tani untuk beberapa tanaman obat telah
berhasil dikaji seperti jahe gajah, temulawak, kunyit, lengkuas, adas, cabai
jawa, katuk, dan kapulaga.
Tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sebagai berikut :
(1) Tumbuhan obat tradisional
Merupakan spesies yang diketahui atau dikenal masyarakat
memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional. Contoh : temulawak, jahe, kencur, kumis kucing.
(2) Tumbuhan obat modern
Merupakan spesies yang secara ilmiah telah dibuktikan
mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan
penggunaannya dapat dipertangungjawabkan secara medis.
(3) Tumbuhan obat potensial
Merupakan spesies yang diduga mengandung atau memiliki
senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum
dibuktikan penggunaanya secara ilmiah sebagai bahan obat
(Zuhud, 2001).
Ditinjau dari aliran pasokan, tanaman obat dapat langsung dipasok ke
industri atau terlebih dahulu diolah menjadi bahan setengah jadi, minyak
atsiri atau bentuk lain oleh industri antara (Suharti, 2000). Tanaman obat juga
12
dipasok kepada pedagang yang mengolah serbuk untuk dijual kepada
pedagang jamu gendong di berbagai kota di Indonesia. Pedagang demikian,
sering disebut sebagai pedagang racikan. Kata racikan adalah istilah yang
ditujukan terhadap pedagang jamu yang membuat jamu berdasarkan resep
yang dipahami turun temurun untuk kegunaan sediaan dasar. Pedagang
pengumpul kabupaten dapat pula berlaku sebagai pedagang racikan. Petani
dalam kelompok, yang berkemampuan memasok dalam jumlah dan
kontinuitas sebagaimana dikehendaki industri dapat menjual langsung kepada
industri.
Skema aliran pasokan bahan baku dapat digambarkan sebagai berikut :
Data Direktorat Jenderal Bina Produksi dan Hortikultura (2004)
menunjukkan empat jenis tanaman obat yang banyak dibutuhkan yakni :
lempuyang (Zingiberis aromatica rhizoma), jahe (Zingiberis rhizoma),
temulawak (Curcuma xanthoriza rhizoma) dan kunyit (Curcuma domestica
rhizoma). Industri yang memanfaatkan temulawak sebagai bahan baku
ramuan obat sejumlah 916 produk dengan klaim penggunaan untuk menjaga
stamina dan pemeliharaan kesehatan. Jahe dimanfaatkan pada 753 produk
dan kunyit 664 jenis produk. Ditinjau dari kategori produk yang banyak
Gambar 1. Skema aliran pasokan bahan baku
Petani tanaman obat
Pedagang pengumpul desa
Pedagang kecamatan/kabupaten
Eksportir Pedagang Racikan
Agroindustri farmasi
Kerjasama/ contract farming
Konsumen
Jamu gendong
13
diproduksi, tercatat sejumlah 66 produk untuk peningkatan stamina dan 964
produk untuk pemeliharaan kesehatan (Badan POM, 2003).
Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan baku dapat berasal dari
daun, akar, kulit batang, buah, semua bagian, batang/ kayu, biji, bunga,
getah, pucuk daun/ tunas, rimpang, umbi, cabang/ ranting, dan air batang.
Menurut Zuhud et al. (2001), daun merupakan bagian tanaman yang paling
banyak digunakan sebagai bahan baku. Data pada Tabel 2, menyajikan dua
puluh nama bahan baku yang digunakan di delapan Agroindustri farmasi /
industri obat tradisional (IOT) pada tahun 2002. Dari data tersebut
menunjukkan temulawak sebagai tanaman obat paling banyak dimanfaatkan
sebagai bahan baku produk.
Tabel 2 Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan di delapan IOT
No Nama Bahan baku Nama Indonesia Total pemakaian (kg/tahun)
1 Curcuma Rhizoma Temulawak 324.832 2 Zingiberis aromatica rhizoma Lempuyang wangi 202.445 3 Languatis rhizoma Lengkuas 190.904 4 Zingiberis rhizoma Jahe 157.599 5 Foeniculli fructus Adas 156.419 6 Alyziae cortex Pulosari 94.932 7 Kaemferiae rhizoma Kencur 87.959 8 Curcuma domestica rhizoma Kunyit 83.371 9 Retrofrati fructus Cabe Jawa 59.213 10 Imperatae radix Alang – alang 57.333 11 Eugenia aromaticae folium Cengkeh 56.468 12 Zingiberis zerumbeti rhizoma Lempuyang 55.986 13 Zingiberis purpurei rhizoma Bengle 46.467 14 Boesenbergiae rhizoma Temu Kunci 43.687 15 Orthosiphonis folium Kumis Kucing 40.647 16 Centellae herba Pegagan 40.467 17 Piperis nigri fructus Merica 39.200 18 Myristicae fructus Pala 34.802 19 Parkiae semen Kedawung 34.604 20 Physalis peruvianum folium Alba 34.467
Sumber : Badan Pengawas Obat dan Makanan 2003
14
Dari penelitian pendahuluan, diperoleh fakta bahwa sebagian atau
seluruh tanaman obat obyek penelitian jahe, kunyit, temulawak dipergunakan
di kelompok produk : jamu sehat perempuan, sehat laki-laki, pegal linu dan
masuk angin. Kebutuhan pasokan jahe, temulawak meningkat 8 % dan kunyit
hampir 10 % pada tahun 2002 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.
Permintaan jahe dari industri menduduki peringkat pertama. Saat kebutuhan
tanaman obat jahe, kunyit, dan temulawak meningkat, produksi komoditas
jahe menurun sebesar 7 %, kunyit 11 % sedangkan temulawak mengalami
kenaikan produksi sebesar 15 % pada tahun 2002.
Tabel 3 Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002
No Komoditas 2000 2001 2002*) 1 Jahe 106.194 111.670 121.204 2 Lengkuas 26.566 27.934 30.195. 3 Kunyit 22.572 23.740 25.999 4 Kencur 12.215 12.848 14.116 5 Temulawak 6.813 7.170 8.104 6 Lempuyang 4.309 4.531 4.917 7 Temuireng 2.889 3.040 3.386 8 Kejibeling 582 612 683
9 Dringo 348 366 400 10 Kapulaga 681 718 860
*) olahan. Ukuran dalam ton/ tahun
Tabel 4 Produksi tanaman obat tahun 2000 - 2002
No Komoditas 2000 2001 2002 1 Jahe 115.092 128.437 118.496 2 Lengkuas 27.512 26.154 27.934 3 Kunyit 24.813 27.195 23.993 4 Kencur 9.490 11.112 12.848 5 Temulawak 5.674 6.089 7.174 6 Lempuyang 4.485 4.794 4.531 7 Temu ireng 2.853 1.663 3.040 8 Keji beling 470 678 611 9 Dringo 140 115 366 10 Kapulaga 2.490 1.929 3.539
Jumlah 193.018 208.167 202.533 Sumber : Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Ditjen Bina Produksi Holtikultura 2004 (Ukuran dalam ton/tahun)
15
2.1.2. Penanganan Bahan Baku.
Kadar senyawa aktif simplisia berbeda-beda tergantung dari bagian
tanaman yang digunakan, umur, saat waktu panen dan lingkungan tumbuh.
Tanaman obat yang banyak mengandung minyak atsiri, akan lebih baik
dipanen pada pagi hari. Bahan baku yang dipanen harus bebas dari tanaman
lain yang mengandung komponen bioaktif.
Menurut Sandra (2001), kurangnya keahlian pada tingkat hulu
mendorong terjadinya kesalahan penanganan lepas panen. Akibatnya, bahan
baku mudah ditumbuhi jamur penghasil aflatoksin, kontaminasi nabati,
mikroorganisme dan mineral tanah yang disebabkan oleh proses pencucian
yang kurang bersih.
Penanganan pascapanen terdiri dari pembersihan tanah, kotoran, batu
atau benda asing lainnya, pencucian, dan pengemasan bilamana tidak terjadi
pemrosesan perubahan bentuk. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang
mengalir seperti menggunakan air dari mata air. Penggunaan air sumur harus
dilakukan secara tepat agar tidak menambah jumlah mikroba. Penggunaan
air yang kotor akan berakibat pada pertambahan jumlah mikroba pada
permukaan dan air yang menempel pada permukaan mempercepat
pertumbuhan mikroba.
Tanaman obat jenis akar dan umbi perlu mengalami perubahan bentuk
berupa irisan tipis apabila akan diproses menjadi simplisia kering dengan
tujuan mempermudah proses pengeringan. Proses dilakukan melalui
perajangan berupa penipisan dengan tebal 5 – 7 mm menggunakan pisau atau
mesin perajang. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan semakin dapat
membantu mempercepat penguapan air sehingga waktu pengeringan menjadi
lebih singkat. Namun, perajangan yang sangat tipis dapat menyebabkan
berkurangnya zat berkhasiat mudah menguap sehingga mempengaruhi bau
dan rasa yang diinginkan. Proses perajangan tanaman obat temulawak,
kencur, jahe, dan temu giring, perlu dijaga agar tidak banyak kehilangan
kandungan minyak atsiri.
Pengeringan sampai mencapai kadar air 10–12 % sebagaimana
permintaan industri atau pedagang pengumpul dilakukan agar bahan baku
16
lebih tahan lama dan tidak cepat rusak. Kadar air tanaman obat hasil panen
berkisar 60 – 80 %, sedangkan bahan kering yang diperoleh rata – rata
berkisar 50 – 60 % dari bahan asalnya (Paimin dan Murhananto, 1999).
Lama pengeringan menggunakan sinar matahari berkisar 5 – 8 hari,
sedangkan bilamana menggunakan alat bantu pengeringan membutuhkan 3 –
4 hari.
Cara pengeringan dengan bantuan sinar matahari, lebih biasa
digunakan. Bahan baku yang telah diiris tipis dihamparkan pada lantai
pengeringan menggunakan alas plastik, tikar, tampah atau lantai pengeringan
saja. Proses pengeringan dengan cara ini memang sederhana tetapi sangat
mengandalkan kondisi cuaca dan intensitas matahari. Bahan baku harus
sering dilakukan pembalikan dan relatif rawan kontaminasi akibat
pengeringan tidak sempurna.
Bahan baku yang tidak melalui proses pengeringan, hanya dilakukan
pencucian kemudian diseleksi dan dikemas dengan menggunakan karung
plastik. Biasanya pedagang pengumpul akan mengambil bahan baku pada
gudang petani terkecuali bilamana dipersyaratkan bahan baku dikirim ke
gudang pengumpul pada lokasi yang ditetapkan.
Tanaman obat hasil panen rentan terhadap kehilangan kadar air. Laju
kehilangan kadar air bahan baku segar tergantung pada cara penanganan
bahan baku, penggunaan kemasan dan cara mengemas, lama pengiriman,
penyusunan bahan baku dalam kendaraan pengangkut dan selama proses
penyimpanan. Penanganan bahan baku segar perlu dilakukan secara cepat
agar terhindar dari penyusutan volume dan kehilangan kesegarannya.
Tanaman obat irisan kering dapat disimpan lebih lama dengan
pengaturan suhu, kelembaban dan cara penyimpanan yang tepat agar tidak
terkontaminasi oleh kutu, rayap, dan jamur. Bahan baku tanaman obat irisan
kering dapat diproses lebih lanjut menjadi serbuk. Petani jarang melakukan
pengolahan menjadi serbuk disebabkan alat kerja yang tidak memadai dan
keinginan petani segera menjual hasil guna untuk mendapatkan uang tunai.
Skema pada gambar 2, memaparkan proses yang dilalui untuk
menghasilkan bahan baku kering.
17
Sarana dan cara pengolahan yang kurang memadai menjadi penyebab
kontaminasi dan rendahnya kualitas bahan baku. Selain itu, kualitas bahan
baku dari masing – masing sentra pasokan bervariasi karena perbedaan
agroklimat, dan penanganan pascapanen. Perbedaan kualitas tersebut
menimbulkan permasalahan bagi industri penghasil produk fitofarmaka,
karena harus melakukan pengaturan standarisasi dosis dan formulasi.
Bahan baku tanaman obat rentan terhadap cahaya dan oksigen udara
karena dapat terjadi kerusakan atau perubahan kualitas. Senyawa tertentu
dalam bahan baku dapat mengalami perubahan kimiawi karena proses
oksidasi, reaksi kimia intern oleh enzim, dehidrasi dan pengaruh penyerapan
air.
2.1.3. Pengadaan Bahan Baku
Pembelian bahan baku tanaman obat jenis rimpang dengan masa
tanam selama 9 – 10 bulan biasanya berlangsung sekitar bulan Juli –
September atau sebelum masuk musim penghujan. Setelah dilakukan proses
seleksi, pembersihan, bahan baku disimpan sambil menunggu datangnya
pedagang pengumpul. Kemampuan membeli dan kapasitas gudang menjadi
penentu jumlah pembelian untuk memenuhi kebutuhan produksi pabrik satu
periode panen atau memenuhi pesanan pedagang pengumpul bagi keperluan
ekspor atau kebutuhan rumah tangga.
Perdagangan tanaman obat umumnya dengan rantai pasokan bertingkat.
Pedagang pengumpul desa membeli bahan baku dari petani dan setelah
Pembersihan dari kotoran
Pencucian bahan baku
Penirisan
Perajangan menjadi irisan
Pengeringan
Gambar 2. Skema proses bahan baku menjadi irisan kering
Irisan kering
18
diproses sederhana dijual kepada pedagang pada tingkat berikutnya dengan
harga sesuai kualitas bahan baku yang dihasilkan. Industri bebas membeli
bahan baku dari berbagai pihak baik.
Keterbatasan petani dalam melakukan transaksi, kemampuan pasokan
dan lokasi yang jauh dari pabrik atau gudang industri, mendorong industri
memanfaatkan peran pedagang pengumpul. Mekanisme pembelian
berdasarkan pola dagang atau kontrak terbatas yang kurang terkoordinasi
dimana pihak pembeli menjalin hubungan cukup lama dengan pemasok
tetapi penentuan harga tetap ditentukan berdasarkan situasi penawaran dan
permintaan. (Chanisah, 1996; Sudarsono, 2004).
Menurut Sajogyo (1999), kehadiran pedagang pengumpul di desa telah
diterima. Pedagang dimaksud dianggap pihak yang memiliki hubungan luas
dan mampu menembus batas desa. Keberadaan pedagang pengumpul ini
memberikan manfaat mengingat pengetahuan petani mengenai pasar terbatas.
Petani kemudian memanfaatkan jasa pedagang pengumpul sebagai pemasar
dan melaksanakan kegiatan pemasaran bahan baku kepada pihak pembeli
lainnya. Pedagang pengumpul tingkat pertama yang berasal dari desa yang
sama sangat mengenal situasi pasokan dan bahkan petani.
Dalam hal pembinaan kepada petani, agroindustri farmasi besar telah
melakukan namun dalam lingkup terbatas. Industri lebih menitikberatkan
pada aktivitas dan pemecahan masalah pemrosesan serta upaya memenuhi
persyaratan efikasi dan keamanan produk. Pengadaan bahan baku yang
dikelola sendiri oleh agroindustri farmasi tidak menjadi alternatif karena akan
menuntut biaya investasi, operasional dan penyediaan sumber daya manusia.
Sebagaimana penelitian Rademakers dan Valkengoed (1995), agroindustri
farmasi tidak terlalu melakukan pengintegrasian ke hulu dalam hal
pengadaan bahan baku. Kalaupun terjadi kekurangan pasokan lebih
berkecenderungan melakukan impor.
Bahan baku yang dipasok harus memenuhi standar dan lolos inspeksi
mutu pada saat penerimaan melalui pemeriksaan visual dan laboratorium.
Pemeriksaan mutu bahan baku akan mencakup tingkat kekeringan, bentuk
fisik, penampilan, warna, kebersihan, kemurnian bahan, dan kadar zat
19
berkhasiat. Bahan baku yang diterima dari petani maupun pedagang
pengumpul, akan dilakukan pembersihan ulang, pemilahan, pencucian hingga
pengeringan sebelum diubah bentuk menjadi partikel kecil sesuai dengan
kebutuhan formulasi.
2.1.4. Komoditas Penelitian
Penelitian dibatasi pada tiga komoditas keluarga Zingiberaceae yakni :
temulawak, kunyit, dan jahe sebagai komoditas yang banyak digunakan oleh
agroindustri farmasi.
a. Temulawak ( Curcuma xanthorrhiza )
Rimpang tanaman temulawak berukuran besar,
bercabang-cabang dan berwarna cokelat
kemerahan atau kuning tua. Tumbuh pada ketinggian
750 dpl. Minyak esensial temulawak gandung p-toluil-metil karbinol,
kurkuimin, desmetoksi kurkumin, bidesmetil kurkumin, felandren,
sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, arutmeron,
ksantorizol, dan germakron.
Temulawak mempunyai dua komponen utama yaitu minyak atsiri
dan kurkuminoid (Oei et al. diacu dalam Yuliani. 2003). Kurkuminoid
merupakan substansi yang paling menonjol ditemukan pada temulawak.
Temulawak dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol,
menghilangkan rasa nyeri, mencegah penyakit hati, pengobatan radang
lambung, pelepasan gas dalam perut dan pengobatan pada orang yang
kurang nafsu makan.
Kualitas rimpang temulawak sangat dipengaruhi oleh tempat tumbuh
tanaman tersebut. Temulawak yang tumbuh di dataran rendah akan
mengandung pati lebih tinggi, dan lebih mengandung minyak atsiri
bilamana ditanam pada dataran tinggi. Tanaman temulawak lebih baik
ditanam dengan menggunakan pohon naungan. Ketidakseragaman
budidaya temulawak dari berbagai daerah mengakibatkan kandungan
senyawa esensial temulawak yang dipasok bervariasi.
20
b. Kunyit ( Curcuma domestica Val )
Kunyit atau kunir tumbuh dengan baik di
daerah dengan curah hujan sekitar
2.000 – 4.000 mm setiap tahun dan di area yang
sedikit terlindung. Rimpang kunyit tumbuh dari umbi utama yang
berbentuk bulat panjang, pendek, tebal, lurus, dan melengkung. Bercabang
dan berkembang secara terus menerus. Tanaman kunyit dapat hidup di
tempat terbuka atau sedikit ternaungi dan orang membudidayakannya
sepanjang tahun. (Winarto, 2003).
Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri 3 – 5 % terdiri dari
turmeron, simen, artumeron, kurkumin, pati, dan damar. Kunyit digunakan
untuk menurunkan tekanan darah, stimulan, penyakit pencernaan,
penambah tenaga, dan infeksi kulit. Selain berguna bagi pengobatan,
kunyit banyak dimanfaatkan oleh industri kosmetik dan pewarna serta
rumah tangga.
Kualitas kunyit menjadi kurang baik bilamana ditanam di tempat
yang kurang ternaungi. Walaupun dapat dipanen terus menerus, tetapi
panen kunyit yang paling baik berada pada umur 12 bulan dan ditanam
pada awal musim penghujan. Rimpang kunyit dalam bentuk kering dicapai
sekitar 7 hari dengan pengeringan matahari, dan mengalami penyusutan
16 % untuk mencapai kadar air 8 – 13,7 %.
c. Jahe ( Zingiber officinale Rose )
Tanaman jahe tumbuh berumpun, dengan
rimpang bercabang tidak teratur, umumnya
ke arah vertikal. Berdasarkan ukuran, bentuk
dan warnanya, rimpang jahe dibedakan dalam tiga jenis yakni : jahe gajah
dengan rimpang lebih besar dan ruas rimpang yang lebih mengembung,
jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe putih kecil dan jahe merah ini
cocok untuk ramuan obat karena kandungan minyak atsiri yang lebih
tinggi dibanding jahe gajah dan rasanya lebih pedas.
21
Jahe dapat dibudidayakan dan terbaik pada ketinggian sekitar 200 –
600 m dpl. Iklim ideal untuk jahe adalah panas sampai sedang, dengan
sinar matahari yang cukup dan ternaungi. Rimpang jahe mengandung
minyak atsiri 2 – 3 % terdiri dari zingiberin, kamfena, limonen, borneol,
sineol, linalool, geraniol, kavikol, zingiberen dan zingiberol serta gingerol
dan shogaol. Jahe berasal dari China Selatan, dan sekarang banyak
dibudidayakan di semua daerah Asia baik tropik maupun subtropik.
India menghasilkan 50 % dari jahe dunia ( www-ang.kfunigraz.ac.at/-
katzer/engl/zing_off.html - 22 September 2003 )
Rimpang jahe digunakan oleh agroindustri farmasi untuk
memperlancar keluarnya keringat, menghalau masuk angin, penambah
nafsu makan, dan menghambat pertumbuhan bakteri. Jahe juga digunakan
bagi industri kosmetik dan minuman. Jahe dapat ditanam secara polikultur
maupun monokultur. Kandungan minyak atsiri dalam rimpang jahe
ditentukan oleh umur panen dan jenisnya. Kebutuhan pasokan bagi
industri yang menghasilkan produk untuk kesehatan lebih diinginkan hasil
panen jahe tua karena memiliki kandungan minyak atsiri optimum (Paimin
dan Murhananto,1999).
2.2. Rantai Pasokan
Logistik dan manajemen rantai pasokan (supply chain management)
acapkali membingungkan dan saling dipertukarkan (Tracey et al., 2004).
Konsep rantai pasokan menekankan pada upaya mencari optimasi dan
integrasi rantai nilai dengan menciptakan kompetensi unik di mana di
dalamnya termasuk logistik. Menurut the Council of Logistics Management
(CLM), logistik merupakan bagian dari proses rantai pasokan dimana
perencanaan, implementasi dan pengendalian aliran dari barang, jasa dan
informasi yang berkaitan dimulai dari hulu hingga saat dikonsumsi konsumen
dengan memenuhi persyaratan.
Riset rantai pasokan berkembang diluar domain logistik atau proses
operasi ditinjau dari perspektif manajemen strategik, organisasi,
kelembagaan, biaya transaksi, kesisteman, hubungan antar organisasi (inter-
22
organizational), aliansi, manajemen pengetahuan, dan jaringan. Sebagai
terobosan strategik, manajemen rantai pasokan terwujud karena operasi
pabrikasi dan pemasaran yang mengintegrasikan proses bisnis yang kompleks
untuk menuju konsumen (Levi et al., 2000, Gowen dan Talion di dalam
Maku et al., 2005).
Rantai pasokan menciptakan nilai dan penjabaran modal intelektual
dari pemasok-pemasok yang berhubungan guna memenuhi persyaratan
pengguna (Ayers, 2000). Dalam hal ini terjadi pengelolaan hubungan
upstream dan downstream antara pemasok dan pelanggan dengan sasaran
menghilangkan inefisiensi dan pengulangan proses pada rantai. Menurut
Evans dan Danks (1998), terdapat empat aliran strategis pada rantai pasokan
yakni : permintaan, penawaran, informasi dan uang yang perlu dipahami
proses dan pergerakkannya.
Prinsipnya adalah bagaimana bekerja kooperatif dengan organisasi lain
dan bukan mengalahkan. Hasil yang dicapai pada akhirnya menjadi lebih
fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Sebagai contoh,
bilamana tujuannya untuk mengurangi sediaan penyangga (buffer stock) satu
entitas yang termasuk dalam rantai, maka diperlukan penyebaran informasi
mengenai jumlah permintaan dan pengaturan tingkat sediaan (Christopher,
1998). Dengan demikian, manajemen rantai pasokan dipandang strategis
meningkatkan pelayanan pelanggan, mengurangi biaya transaksi,
mempertahankan pelanggan, meningkatkan daya saing, meningkatkan
profitabilitas, menciptakan nilai, meningkatkan mutu dan ketersediaan
produk (Evans dan Dank, 1998; Beech 1998; Stock dan Lambert, 2001).
Tinjauan terhahadap aktivitas proses rantai pasokan mensyaratkan
koordinasi dan integrasi dalam satu kesatuan dan setiap manajer yang
terdapat pada rantai bekerja bersama agar keseluruhan proses pada rantai
menjadi kompetitif (Vokurka et al., 2002). Integrasi proses dimulai dari
perusahaan yang mendorong aktivitas dari tingkat strategik hingga
operasional.
Pembangunan kemampuan rantai pasokan memerlukan perhatian
terhadap pengembangan dan peningkatan kemampuan operasi yang bermutu,
23
ketergantungan proses yang disesuaikan dengan perubahan yang cepat.
Perubahan ini harus disadari oleh setiap tingkat dari rantai pasokan.
Penanggung jawab dari setiap tingkatan harus mampu bergerak fleksibel,
menyajikan kualitas tinggi dengan tenggang waktu singkat untuk sejumlah
variasi produk yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan.
Stock dan Lambert (2001) menawarkan delapan proses bisnis penting
di dalam rantai pasokan yakni :
(1) manajemen hubungan pelanggan,
(2) manajemen pelayanan pelanggan,
(3) manajemen permintaan,
(4) pemenuhan pesanan,
(5) manajemen aliran pembuatan,
(6) pembelian,
(7) pengembangan produk dan komersialisasi, dan
(8) perolehan.
Dari pengembangan kerangka konseptual rantai pasokan, Giannakis
(2004) menyatakan perlunya sintesa, sinergi, dan sinkronisasi. Yang pertama
adalah bagaimana mensintesakan aspek struktur fisik rantai pasokan. Struktur
fisik dimaksud berkaitan dengan pengambilan keputusan strategik,
konfigurasi pasokan, bentuk saluran dan pengelolaan organisasi.
Pensinergian dilakukan dengan menelaah sifat dan pengaruh interaksi
diantara aktor yang berbeda dan sinkronisasi seluruh keputusan operasional
dikaitkan kendali produksi dan pengiriman barang.
Rantai pasokan tidak semata terletak pada fungsi tunggal sebagai unit
analisis namun melibatkan interaksi dan interdependensi fungsi, kelompok
dan organisasi. Untuk itu diperlukan formulasi strategi yang tepat mencakup
arus permintaan, sumber, jenis layanan kepada pengguna dan bentuk integrasi
pasokan yang diinginkan, (Evans dan Danks, 1998).
Kesulitan memanajemeni rantai pasokan menurut Maku et al. (2005)
berasal dari kompleksitas yang mempengaruhi struktur dan variabilitas yang
aliran pasokan. Levi et al. (2000), Frankel dan Whipple, di dalam Stanek,
(2004); Anslinger dan Jenk (2004), meninjau manajemen rantai pasokan dari
24
sudut aliansi yang berarti menyatukan keunggulan kompetensi anggota guna
mencapai tujuan strategik bersama. Melalui aliansi akan menghapuskan
hambatan antar orang, antar unit organisasi dan hambatan organisasi itu
sendiri yang berarti kemitraan jangka panjang dimana resiko dan manfaat
jangka panjang dinikmati bagi pihak yang beraliansi.
Menurut Giles dan Hancy di dalam Gattorna (1998), penyatuan
kompetensi inti dipandang sebagai upaya untuk mengatasi persaingan yang
tidak perlu. Masing-masing pihak, harus memahami apa yang menjadi
kekuatan dan kelemahan mitra kerjanya dan bagaimana semua faktor dapat
sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai dari aliansi strategik (Stanek,
2004). Informasi harus terbuka dan mengalir setelah informasi yang
diproteksi dijabarkan secara jelas. Melalui pertemuan, fungsi masing-masing
pihak dapat dipastikan.
Peneliti terdahulu meninjau sejumlah perilaku yang diperlukan guna
menjamin implementasi rantai pasokan yakni: hubungan berdasarkan
kepercayaan, kemampuan mengevaluasi peluang untuk menciptakan nilai,
hubungan yang dekat, situasi saling memberikan manfaat, menciptakan
pertumbuhan, menyatukan keahlian yang melengkapi, peran aktif, kerjasama,
harmonisasi, solidaritas, integrasi peran, berbagi pengetahuan dan
keuntungan (Barba et al.,1998; Daboub 2002; Vokurka et al., 2002).
Persyaratan dimaksud sebagaimana prinsip dasar dalam membangun
supplier-supplier relationship yang diajukan oleh Choi et al. (2002) yang
menuntut kerjasama secara erat, pertukaran ide dimana masing-masing
berkontribusi dalam sumberdaya, pengetahuan teknologi dan kapasitas
produksi.
Jaringan menurut Bowersox (1992) adalah alur berstruktur dari obyek
yang dipertukarkan sebagai ganti aliran bebas atas saling ketergantungan
yang diakui bersama dan keikatan. Konsep jaringan, akan menerobos batas
dan menciptakan komunikasi antara orang yang terfokus pada aktivitas, dan
pengetahuan yang sama (Hastings, 1996). Terdiri dari individu, kelompok
yang menggunakan bauran talenta dan sumberdaya untuk ber ko-operasi
sehingga mencapai efisiensi dan mencapai pasar.
25
Analogi jaringan, seperti sel dalam organisme hidup yang dapat
beraktivitas sendiri memenuhi kebutuhannya tetapi dengan bertindak dalam
kesatuan sehingga menghasilkan fungsi yang lebih kompleks. Bilamana
tujuan utama manajemen rantai pasokan lebih ditujukan pada pencapaian
penciptaan nilai dan keunggulan bersaing industri, maka keberadaan jaringan
lebih memudahkan pertukaran informasi, dan efektivitas pembelian dari sisi
industri dan sebaliknya pemasok dapat memahami tuntutan pelanggan.
Orang berkontribusi sesuai dengan kemampuan, dimana masing-
masing memiliki kekuatan yang unik, baik pemasaran, distribusi, produksi,
atau pengembangan. Uraian tugas tidak digariskan, tetapi anggota
berkontribusi, berkomitmen diantara mereka dengan umpan balik dan
menjalankan disiplin. Organisasi jaringan terdiri dari divisi yang berdiri
secara otonomik sebagaimana perilaku perusahaan yang terpisah tanpa tugas
dan peran yang terdefinisikan dengan baik (Halal dalam Daboub, 2002).
Membangun kekuatan jaringan strategik memerlukan berbagi
teknologi, manfaat, pengembangan, ketrampilan, biaya, akses pasar dan
kepemilikan. Koordinasi, pengendalian strategik, pengintegrasian proses,
dan aliansi dengan kemampuan sinergetik menjadi penting dalam
membangun rantai pasokan berbasis jaringan (Stock dan Lambert, 2001).
Evans dan Danks dalam Gattorna (1998) memandang perlu keterkaitan
informasi, finansial, operasional, dan pengambilan keputusan dari anggota.
Struktur menjadi lebih fleksibel untuk berhubungan dengan kelompok-
kelompok dalam bidang yang berbeda. Sehingga, akan terjadi perubahan dari
saluran menjadi multisaluran (Barba et al.1998).
Tiga prinsip penting dalam struktur jaringan yang perlu diperhatikan
menurut Stock dan Lambert (2001) adalah : keanggotaan dari rantai pasokan,
dimensi struktural dalam jaringan dan perbedaan tipe proses yang terkait
dengan rantai pasokan. Kerangka rantai pasokan sendiri mengandung tiga
unsur sebagaimana digambarkan pada gambar 3.
26
Pemilihan anggota menjadi penting ketika membuat struktur jaringan.
Dalam menarik anggota, perlu membedakan anggota utama yakni yang
memberikan sumber daya, pengetahuan, fasilitas atau aset dari rantai
pasokan, dan anggota pendukung. Menetapkan berapa jumlah optimal, lokasi,
dan peran masing-masing pihak merupakan elemen kritis dari keseluruhan
strategi. Para aktor tersebut menurut Callon di dalam Murdoch (2000)
penting dikoordinasikan guna mengembangkan, menghasilkan dan
mendistribusikan produk yang memenuhi persyaratan pelanggan.
Faktor yang diperhatikan ketika menyeleksi anggota yang layak
adalah : kemampuan finansial, kecakapan, kemampuan mengaitkan proses,
dan tumbuh bersama organisasi usaha serta kompetensi dalam rantai pasokan
(Stock dan Lambert, 2001). Aspek yang paling sulit dalam
mengorganisasikan anggota adalah bagaimana modal dan investasi dapat
distrukturkan.
Menurut Hastings (1995), yang penting adalah memiliki jaringan itu
sendiri kemudian menghadirkan dan mengaktifkan anggota dalam
memobilisasi jaringan. Organisasi jaringan memerlukan lingkungan
organisasi pembelajar dengan sumber daya manusia yang berdaya, berkreasi
mencari jawaban dan berinovasi. Untuk itu diperlukan pengembangan
kepercayaan dan komitmen, solidaritas dan upaya harmonisasi konflik, serta
pengendalian kekuasaan (Achrol diacu dalam Daboub, 2002).
Proses bisnis Rantai pasokan
Proses yang dikaitkan dengan
anggota
Komponen Manajemen rantai
pasokan
Struktur Jaringan
Rantai pasokan
Tingkat integrasi dan pengelolaan dari setiap proses
Anggota rantai yang terkait
Gambar 3. Kerangka manajemen rantai pasokan (Stock dan Lambert, 2001)
27
Struktur horizontal dan vertikal merupakan bentuk hubungan di dalam
jaringan. Struktur vertikal menjadi alat mengorganisasikan transaksi barang
ataupun jasa yang diharapkan dapat meminimalkan biaya transaksi dan
mengurangi ketidakpastian. Menurut Mc Fetridge (2000), bilamana tidak ada
transaksi vertikal dapat disatukan atau diinternalisasikan, maka tidak akan
bermanfaat.
Struktur hubungan horizontal, terjalin antara pemasok dengan pemasok
memberikan alternatif yang mendorong kontribusi sumber daya, teknologi
dan sumber daya manusia dalam pertukaran yang lebih kooperatif. Hubungan
kooperatif ini akan lebih baik dibandingkan hubungan kompetitif yang
mendorong terjadinya negosiasi ketat dan tekanan harga, akibat ketakutan
akan adanya resiko yang dilakukan oleh pihak lebih kuat (Choi et al., 2002).
Giles dan Hancy dalam Gattorna (1998) menguraikan bahwa terdapat
pengembangan tipe organisasi dari struktur vertikal ke organisasi jaringan.
Transisi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5. Transisi dari hubungan vertikal hingga jaringan
Tipe organisasi
Produksi tersentralisasi
Proses desentralisasi
Sistem jaringan
Gaya kepemimpinan dan sistem kendali
Komando dan hirarki kendali
Efisiensi dan kendali ekonomik
Koordinasi dan kendali strategik
Integrasi Integrasi vertikal Deintegrated Integrasi sistem
Hubungan pasokan
Pemasok Outsourcing Aliansi
Ukuran Ukuran luas Ukuran diciutkan Globalisasi Diferensiasi spesialisasi
Organisasi fungsional
Organisasi proses Organisasi lintas fungsi
Fokus pada efektivitas kerja kelompok
Skala ekonomi Kompetensi inti Kemampuan sinergik
Sumber : Robert Porter – Lynch dan Ian Somerville di dalam Giles dan Hancy (1998)
28
Menggunakan kerangka manajemen rantai pasokan yang diajukan
Stock dan Lambert (2001); Daboub (2002), anggota jaringan bertanggung
jawab pada bagian proses yang disepakati sanggup dilaksanakan. Peran
anggota didefinisikan secara seksama .
Teori organisasi jaringan berkembang dari aliansis strategik yang
semula atas dasar pemasok yang diinginkan (preferred vendors) dalam
upaya mencapai profitabilitas diperluas menjadi pemahaman konsep
organisasi tanpa batas, melibatkan orang, kelompok dan organsisasi. Evolusi
struktur organisasi demikian mendorong fleksibilitas yang menghasilkan
organisasi lebih ramping.
Diperlukan transisi yang dicerminkan pada turunan program-program
yang akan diikuti anggota. Dalam kondisi seperti ini akan terjadi transformasi
dari kepemilikan pengetahuan menjadi distribusi pengetahuan. Anggota
didorong saling bertukar pengetahuan dan lembaga tempat anggota bernaung
perlu memberikan ruang pertukaran tersebut dan melaksanakan pemantauan.
Peneliti terdahulu mengajukan contoh jaringan yang dibangun oleh
perusahaan Toyota dalam menjalin hubungan dengan banyak organisasi
tersebar sehingga persediaan bahan baku dan respon dapat ditelusuri dalam
waktu 24 jam dengan tingkat kesesuaian tinggi. Demikian pula General
Motor yang melakukan keterhubungan dalam sistem informasi manajemen.
Menurut Beech (1998), kerangka strategi jaringan bersifat holistik yang
mensinkronisasikan sejumlah entitas untuk bekerja bersama mengunakan
basis teknologi informatika. Unsur pengurangan biaya dilakukan dengan
mengalihkan bidang-bidang pekerjaan tidak utama kepada pihak yang berada
pada jaringan dan perusahaan inti lebih memfokuskan pada bidang yang
menjadi keunggulan strategik. Kondisi ini berakibat informasi terfragmentasi
dan tergantung pada pihak lainnya (Hall di dalam Daboub, 2002). Kegagalan
pengaturan jaringan, terjadi ketika terdapat oportunistik, konflik tujuan,
keengganan berkontribusi secara seimbang dan batasan resiko yang lebar.
Simpulan dari pembangunan jaringan pada rantai pasokan menurut
peneliti terdahulu melibatkan struktur, perilaku, pengaturan, dan sebagaimana
terlihat pada Tabel 6 berikut ini.
29
Tabel 6 Tinjauan teori jaringan menurut peneliti terdahulu
Faktor Uraian
1 Terdapat anggota dengan kedudukan independen, namun dengan peran terdefinisikan.
2 Tanggung jawab anggota mengarah pada rantai nilai, pada transaksi yang disanggupi
3 Organisasi datar, dan ramping.
4 Informasi terdistribusikan
5 Pengintegrasian proses dan tingkat integrasi dari proses bisnis
6 Sinkronisasi aset
7 Penatalaksanaan dan koordinasi
Struktur
8 Pengukuran atas dasar prestasi
Perilaku Terdapat 13 sub-elemen perilaku yang diperlukan saat membangun jaringan menurut peneliti sebelumnya yakni: hubungan berdasarkan kepercayaan, kemampuan mengevaluasi peluang untuk menciptakan nilai, hubungan yang dekat, situasi saling memberikan manfaat, menciptakan pertumbuhan, menyatukan keahlian yang melengkapi, peran aktif, kerjasama, harmonisasi, solidaritas, integrasi peran, berbagi pengetahuan dan keuntungan
1 Sinergi dan sinkronisasi menurut Ginneakis dan Croom (2004)
2 Inventory deployment menurut Evan dan Danks (1998)
Pengaturan
3 Tanggung jawab pada bagian yang disepakati, menurut Barba et al. (1998)
Pemrakarsa Peneliti terdahulu tidak secara tajam menggariskan siapa yang menjadi pemrakarsa, tetapi tersirat lebih ditujukan pada perusahaan inti untuk mendapatkan keunggulan strategik.
Williamson diacu pada Dorward (2001), menyatakan terdapat tiga
dimensi dalam pengaturan kontrak yakni :
1. unsur ketidakpastian karena kurangnya informasi,
2. rasionalitas, dan oportunisme dari pihak yang menjalin transaksi,
3. spesifikasi aset dan frekuensi dalam menjalin kesepakatan
kontraktual antar pihak.
30
Pengaturan kontrak acapkali gagal memberikan penekanan pada hubungan
yang lebih mendalam. Kelemahan utama adalah terlalu terfokus pada upaya
meminimalisasikan biaya sehingga mengabaikan aspek penciptaan nilai.
Pengaturan yang diperlukan pada pendekatan biaya transaksi adalah sejauh
mana aset dapat diturunkan oleh pengguna tanpa merusak nilai – nilai
produktif (Williamson 1998 di dalam Tsang, 2000).
Biaya transaksi dipengaruhi oleh kondisi pasar yang tidak menentu,
perilaku oportunistik, resiko, pengaruh harga beli dikaitkan dengan kondisi
pasar dan perilaku penjual. Sistem kontrak mengandung bahaya, ketika dari
salah satu pihak yang lebih memiliki informasi bersikap oportunis dan
menolak untuk menginvestasikan pada sumber – sumber yang diperlukan
karena takut salah satu pihak akan mengingkari hubungan
2.3. Konflik
Sistem rantai pasokan berbasis jaringan memerlukan komitmen para
pihak atas dasar manfaat bersama. Anggota rantai pasokan harus dapat
mewujudkan aktivitas operasional dalam rangkaian proses dan berarti
memberikan sumber daya, pengetahuan atau aset yang dimiliki. Dalam
konteks peralihan antara pola tidak berstruktur menjadi kehidupan dalam
rangkaian kerja tertata, dimungkinkan terjadinya konflik karena perubahan
kebiasaan, cara pengambilan keputusan dan perbedaan kepentingan.
Konflik merupakan ketidaksepakatan yang terjadi pada kondisi dua
atau lebih orang berbeda dalam hal keinginan, idea, keyakinan dan nilai-
nilai. Saaty (1996) menyebutkan konflik dimulai dengan premis selalu
terdapat pemenang dan yang kalah dalam situasi orang saling bertentangan.
Konflik dapat menghasilkan dampak positif atau negatif terhadap kinerja,
tergantung bagaimana konflik ditangani dan lebih mudah diselesaikan
bilamana dikenali sejak dini.
Menurut Ohbuchi dan Suzuki (2003), konflik dipandang mengganggu
organisasi karena menimbulkan permusuhan dan ketidakpercayaan di antara
anggota dan akhirnya mengintervensi fungsi organisasi bahkan akan
memecahbelah organisasi. Terdapat konflik substantif yang berhubungan
31
dengan perbedaan idea dan pekerjaan atau bidang minat dari berbagai pihak
(Blackard dan Gibson, 2002).
Tipe konflik seperti ini menyangkut interpretasi strategi, kebijakan,
sudut pandang dan pertanyaan atas apa yang akan dilakukan. Adapun tipe
lainnya adalah konflik personal atau emosional menurut Wood et al. (1998),
terjadi ketika hubungan antar personal mengalami friksi, kondisi frustasi dan
benturan kepribadian.
Selain konflik personal terdapat juga konflik relasional (Ohbuchi dan
Suzuki, 2003) yang merupakan ketidaksepakatan atas kepemimpinan, alokasi
kerja, dan perbedaan kepribadian. Adapun konflik tugas dapat terjadi karena
ketidaksetujuan atas isi dan prosedur kerja. Terlepas dari tipe konflik, akan
terdapat konsekuensi ketidaksepakatan dan perselisihan sehingga
mengakibatkan kontraproduktif berupa kinerja rendah dan ketidakpuasan
kelompok. Dengan demikian lebih baik ditemukenali kemungkinan konflik
pada implementasi rantai pasokan sehingga dapat dirancang langkah
pencegahan yang tepat.
Menurut Saaty (1998) untuk mengubah ketidaksepakatan menjadi
kesepakatan dapat dilakukan melalui :
a. bekerja bersama,
b. bekerja terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai
kompromi,
c. bekerja terpisah dan menggunakan intimidasi atau kekuatan untuk
memperlemah pihak beroposisi.
Ohbuchi dan Suzuki menyebutkan sebagai kolaborasi dalam upaya
menyelesaikan konflik agar sasaran semua pihak yang terlibat dapat
diakomodasikan. Konfrontasi atau istilah competitor berdasarkan Wood et
al., adalah pendekatan yang sama dengan pemecahan berdasarkan bekerja
terpisah. Namun semua metode pemecahan konflik tidak hanya perlu
mengidentifikasi semua konteks bahasan secara detil dan menghubungkannya
tetapi hendaknya membahas untung rugi. Karenanya, analisis konflik
dilakukan dengan cara yang rasional dan pertimbangan akurat sehingga
memenuhi dan memuaskan nilai-nilai orang dan tujuan.
32
Penelitian terdahulu mengenai negosiasi dan pemecahan konflik
menggunakan AHP dilakukan oleh Tabtabai dan Thomas (2004), yang
diterapkan pada manajemen proyek. Hasil penelitian menyatakan bahwa
proses pemecahan konflik harus dapat memuaskan berbagai pihak yang
terlibat sehingga memberikan jaminan hasil lebih stabil, di mana perlu
diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak menjadi apa yang
hilang dan diperoleh di pihak lain. Terlebih dahulu digambarkan konteks
konflik, kemudian disusun hirarki untuk mengevaluasi biaya dan manfaat.
Keberadaan organisasi yang melibatkan berbagai pihak tidak saja dapat
menimbulkan konflik antar personal maupun antar kelompok, tetapi juga
memungkinkan terjadinya persaingan antar organisasi terlebih bilamana
beroperasi pada pasar yang sama. Hal ini oleh Wood et al. (1998) disebut
sebagai interorganisational conflict. Pengumpul tanaman obat yang telah
beroperasi secara bertahun-tahun akan berhadapan dengan jaringan yang
beranggotakan petani sehingga dianggap mengganggu kenyamanan
beroperasi. Saaty (1989), mengajukan perlunya dibuat pemodelan konflik
dalam rangka pemecahan dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan pihak-
pihak yang berkonflik, dan sasaran atau kebutuhan dari masing-masing pihak.
2.4. Kelembagaan
Kelembagaan menurut Arifin (2004), memberikan naungan dan
hambatan bagi individu atau anggota masyarakat, baik secara tertulis formal
maupun berdasarkan kebiasaan atau tidak tertulis seperti aturan adat dan
norma yang dianut. Kelembagaan akan mencakup konvensi dan aturan main,
sehingga mengandung kegiatan kolektif dalam suatu kontrak atau jurisdiksi,
pembebasan atau liberalisasi, dan perluasan kegiatan individu.
Menurut Haeruman (2001), kelembagaan masyarakat pedesaan
mencakup dua pola hubungan yakni lembaga adat dengan ikatan sosial antar
anggota masyarakat yang kuat. Hubungan dimaksud kemudian bergeser
sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi di mana semula berdasarkan
aspek sosial beralih pada pertimbangan imbalan ekonomi.
33
Pembahasan tentang kelembagaan menjadi penting ketika menetapkan
bentuk dan instrumen yang dapat mengatur tata nilai dan aturan main. Ketika
membahas sekumpulan orang untuk pencapaian tujuan yang tunggal, maka
perlu dilakukan pengorganisasian sejumlah aktivitas, aset/ fasilitas, peran dan
sub-sub tujuan. Tujuan lembaga adalah agar memberikan perlindungan
kepada anggota secara taat azas dan mampu menciptakan manfaat bagi para
anggota. Gibson et al. di dalam Nasution (2002) menyebutkan lima kriteria
guna menilai keefektifan lembaga yaitu :
1) kemampuan organisasi menghasilkan jumlah dan kualitas keluaran yang
dibutuhkan lingkungan,
2) efisiensi yang merupakan rasio keuntungan dengan biaya atau waktu
yang digunakan,
3) kepuasan, yakni ukuran yang menunjukkan tingkat organisasi
memenuhi kebutuhan karyawan,
4) adaptasi terhadap perubahan dan
5) pengembangan yang mengukur kemampuan organisasi meningkatkan
kapasitas menghadapi tuntutan lingkungan.
Berdasarkan kajian sosiologi pedesaan, pola umum kelembagaan
yang berlaku di pedesaan bertumpu pada spesialisasi fungsi dan
pembagian pekerjaan. Korten di dalam Pratikno menjelaskan bahwa
membangun kelembagaan perlu menekankan pentingnya energi sosial yang
merupakan produk pembelajaran sosial
(www.fppm.org/makalah%20pratikno.htm). Pendekatan birokratis yang
terlalu berlebihan harus diarahkan untuk memobilisasi energi sosial yang
biasa dihasilkan dari aktivitas masyarakat yang mandiri. Struktur organisasi
tradisional terbentuk dengan gaya yang dipakai adalah hirarkis dengan garis
komando dan kontrol yang tinggi guna beradaptasi dengan perubahan (Giles
dan Hancy dalam Gattorna, 1998). Dalam struktur jaringan, bentuk
organisasi yang baru lebih condong pada kerja kelompok untuk mengatur
hubungan eksternal yang lebih kompleks.
34
Hubungan kemitraan usaha antara pengusaha kecil dan besar dapat
berbentuk :
(a) kontak bisnis dengan interaksi pasif antar organisasi tanpa perjanjian
formal yang mengikat
(b) kontrak bisnis dicirikan oleh adanya hubungan bisnis
(c) kerjasama bisnis aktif sampai pada penanganan manajemen dan
membentuk usaha patungan
(d) keterkaitan bisnis dengan kondisi antar pihak bersepakat untuk
melakukan subkontrak perekayasaan.
Pengembangan kelembagaan agribisnis menurut Sumardjo (2002), perlu
menempatkan kedudukan petani tidak hanya sebagai sub-ordinasi struktur
pembangunan pertanian, tetapi diperlukan pengembangan pemberdayaan
petani melalui peningkatan kualitas dengan pendekatan konvergen antar
berbagai pihak yang menjadi pelaku dalam sistem agribisnis.
Kegiatan kelembagaan bergantung pada fasilitator yang berfungsi
untuk memediasi seluruh jalur komunikasi dan distribusi informasi.
Fasilitator diharapkan memiliki kompetensi yang diperlukan dalam
melaksanakan peran motivator dan organisator. Kata kompetensi dianggap
paling tepat untuk menggambarkan kemampuan yang multi dimensi
mencakup pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Menurut Spencer & Spencer
(1993 ) terdapat tiga kelompok kompetensi yakni :
1. Kompetensi generik merupakan serangkaian sifat – sifat generik yang
sebaiknya dimiliki seorang fasilitator yaitu :
a. elemen entrepreneurship yang merupakan keinginan untuk bekerja
dengan baik. Dengan demikian seseorang yang tepat menjadi
fasilitator adalah orang yang senantiasa termotivasi menghasilkan
karya yang lebih dari biasa, berkeinginan terus berkreasi sehingga
memiliki daya dorong anggota lain.
b. elemen pengaruh strategik (strategic influence) yakni kemampuan
untuk meyakinkan, mempengaruhi dan memberikan gambaran
prospektif pada pihak lain dalam hal ini anggota sehingga
diharapkan petani bersedia mendukung agenda kerja jaringan.
35
c. elemen kerjasama yang menunjukkan keinginan untuk bekerja
secara kooperatif dengan pihak lain. Dalam pengertian ini,
fasilitator adalah seseorang yang akan berusaha menggalang
dinamika kelompok, dan memotivasi anggota berkontribusi
sekaligus menghidupkan komunikasi dua arah.
2. Kompetensi manajerial, merupakan serangkaian kemampuan bidang
manajerial yang sebaiknya dimiliki oleh fasilitator agar kelompok
efektif. Terdapat dua elemen manajerial yakni : a) pengembangan pihak
lain (developing others) dan b) penggorganisasian (organizing).
3. Kompetensi teknikal, merupakan kemampuan berkaitan dengan bidang
pokok usaha. Seorang fasilitator setidaknya memahami budidaya yang
memberikan produktivitas hasil terbaik dan pemrosesan pascapanen
yang berkualitas.
Bauran kelompok kompetensi ini akan membuat suasana kehidupan
berorganisasi lebih produktif dan mendorong anggota aktif untuk
menghidupkan kelembagaan jaringan.
2.5. Resiko Petani
Resiko yang dihadapi petani cenderung berhubungan dengan
variabilitas tingkat pendapatan bersih, yang terkait dengan harga perolehan,
produksi, dan kuantitas. Studi Patrick, (1985) dalam Blank et al. (1997)
menunjukkan dua klasifikasi sumber resiko yakni resiko produksi dan pasar.
Resiko produksi dipengaruhi hama, banjir, ketersediaan tenaga, dan
kekeringan. Sedangkan resiko pasar timbul karena faktor fisik, tenaga kerja,
dan harga yang akan sangat mempengaruhi keputusan petani.
Langkah penting dalam mengurangi tingkat kerugian adalah
menetapkan resiko yang harus ditanggung, dengan mendekomposisi variabel
pada pendapatan. Apakah seluruh resiko, produksi maupun pasar, harus
ditanggung sekaligus oleh petani atau produser ataukah terdapat penyebaran
resiko. Menurut Sporleder dalam Royer (1995), penting untuk memahami
alternatif pertukaran dalam saluran pemasaran di mana resiko dapat
didistribusikan di antara perusahaan yang berada pada saluran. Dalam bentuk
36
integrasi, resiko dapat dialihkan dari produser kepada pemain tengah. Resiko
pada tingkat petani akan berkaitan dengan harga, mutu, jumlah dan waktu
distribusi. Resiko tersebut dapat dialihkan kepada pemain tengah dalam
pengaturan kontrak dan pengendalian manajerial.
Petani tanaman obat tidak lepas dari kemungkinan menanggung resiko
berkurangnya penghasilan. Resiko tersebut berupa resiko produksi yang
diakibatkan oleh hama dan penyakit sehingga rimpang menjadi busuk
dengan tanda – tanda agak gelap. Penyakit busuk rimpang terjadi pada
tanaman jahe akibat Fusorium oxysporium sp zingiberi, penyakit bercak
daun dan hama (Paimin dan Murhananto,1999). Tanaman kunyit sering
diserang busuk akar yang disebabkan jamur Sclerotium rolfsii, Botryotrichum
sp, dan Fusarium sp.
Penyakit busuk akar dimaksud biasanya disebabkan karena drainase
yang kurang baik atau rimpang terluka oleh alat pertanian saat penyiangan.
Fusarium sp menyebabkan bagian pusat akar rimpang busuk basah dan
keropos. Sclerotium rolfsii dapat mengakibatkan rimpang menjadi keriput
dan Botryotrichum sp mengakibatkan rimpang menjadi layu (Winarto, 2003).
Kerusakan dan kemunduran mutu saat penyimpanan adalah bentuk
resiko lain yang dihadapi petani. Menurut Sudiatso (2002), kerusakan atau
kemunduran mutu tersebut diakibatkan oleh cahaya, oksidasi, reaksi kimiawi
internal, dehidrasi, absorpsi air, pengotoran dari sumber debu, pasir, kotoran
serangga, bahan asing, dan fragmen wadah, serangga dan kapang. Dengan
demikian, gudang harus mempunyai ventilasi udara yang baik, bebas
kebocoran, terpisah dari penyimpanan bahan yang tidak sejenis,
berpenerangan cukup dan mencegah masuknya sinar matahari yang berlebih
serta bebas dari sampah atau limbah yang menjadi sarang serangga dan hama.
Dari sisi proses pengemasan, petani masih dimungkinkan menghadapi
resiko terjadinya perubahan mutu tanaman obat. Menurut Widyastuti (2004),
pengemasan tergantung pada jenis dan tujuan pengemasan. Bahan pengemas
harus bersifat netral dan tidak menimbulkan reaksi dengan tanaman obat
yang dapat menimbulkan perubahan warna, rasa, dan bau. Dari sudut resiko
ekonomi, petani menghadapi kelemahan akibat masing-masing aktor masih
37
bekerja sendiri-sendiri disamping kelemahan informasi pasar sehingga
kurang dapat memenuhi keinginan pasar.
2.6. Penelitian Terdahulu
Maulana (2005) menyoroti menurunnya motivasi petani nanas di
Subang karena kondisi ketidaksetaraan dengan industri pengolah sehingga
diperlukan integrasi melalui penyetaraan hasil nenas dengan kapasitas olah
industri. Syaratnya adalah dengan membuat model kemitraan setara di mana
industri menyediakan fasilitas pengolahan. Walaupun tetap menggunakan
basis pembentukan koperasi petani untuk berhubungan dengan industri
pengolahan nanas, Maulana lebih memfokuskan pada implementasi
kesetaraan. Guna mencapai manfaat ekonomi dan sosial yang lebih baik,
hubungan kerja yang memberikan manfaat antara industri dan pemasok perlu
dijalin atas dasar saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan.
Dalam hal menjalin aliansi strategis rantai pasokan petani sayuran,
Suryati (2002) menyebutkan kendala yang layak diperhatikan yakni konsepsi,
perilaku, manajerial dan lingkungan yang menempatkan elemen kunci pada
perbedaan misi, minat, dan tujuan. Membangun aliansi strategis dipandang
sangat menguntungkan untuk jangka panjang.
Keberhasilan kerjasama akan bertumpu pada kepemimpinan,
pembagian resiko, dan keuntungan serta kekuatan manajemen. Organisasi
saat ini dirancang lebih menjadi ramping, datar, dan lebih fokus pada
kontribusi rantai nilai. Daboub (2002) mengajukan contoh General Electric
yang oleh Jack Welch dijadikan organisasi tanpa batas (bounderless
organization). Apa yang dibangun di GE adalah jaringan pasar yang dinamis
dari berbagai organisasi. Halal di dalam Daboub menyatakan bahwa iklim
yang dibangun bertumpu pada kepercayaan dibanding wewenang.
Dalam hal pembentukan jaringan antar perusahaan, maka sebaiknya
tergambar dibenak bahwa terlebih dulu terdapat pembentukan hubungan
yang dikembangkan oleh individu-individu. Fasilitator sangat perlu memiliki
kemampuan untuk memastikan bahwa semua stakeholder mengungkapkan
pendapat, dan tidak terdapat dominasi pada pertemuan dan diskusi yang
38
berlangsung dengan struktur yang sesuai. Peran fasilitator diperlukan dalam
mewujudkan keberhasilan strategi kemitraan sebagaimana penelitian oleh
Lembaga Alam Tropika Indonesia - Latin (1999) di kabupaten Jember.
.
III. LANDASAN TEORITIS
3.1. Quality Function Deployment (QFD)
QFD dikembangkan pertama kali oleh Mitsubishi’s Kobe Shipyard
sebagai cara menjabarkan harapan konsumen, selanjutnya secara sistematis
diterjemahkan ke dalam proses internal (Zairi, 1994). Konsep yang
mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen pada pengembangan
produk, melahirkan disiplin untuk menjamin persyaratan mutu (Ansari dan
Modarress, 1994).
QFD memungkinkan integrasi perekayasaan guna menjamin efektivitas
biaya pada setiap bagian proses guna menghasilkan produk bermutu.
Pelaksanaan QFD melalui penjabaran sejumlah persyaratan mutu dengan
informasi berasal dari konsumen. Persyaratan dimaksud kemudian
ditempatkan pada bagian horizontal yang disebut tabel konsumen dari rumah
mutu. Bagian vertikal dari matriks rumah mutu, berisi informasi teknis
berdasarkan masukan konsumen yang disebut tabel teknis (Marimin, 2004).
Dengan hubungan matriks antara elemen persyaratan mutu dengan
spesifikasi teknikal dan membandingkan antara masing-masing elemen
spesifikasi teknik maka dapat dikaji secara terstruktur dan konsisten proses
yang relevan dalam mewujudkan mutu sebagaimana diharapkan konsumen.
Tujuan penjabaran harapan konsumen terhadap tanaman obat
dimaksudkan untuk memperoleh kriteria mutu agar dapat diterjemahkan
kedalam pengelolaan dan pengendalian proses. Pengumpulan data
dilaksanakan melalui wawancara petani, pengumpul dan wakil industri yang
telah memahami persyaratan mutu, dan proses mewujudkkan mutu serta
keterkaitan antar proses. Responden menilai aspek mana yang memberikan
pengaruh kuat hingga lemah dalam mewujudkan atribut mutu kemudian
menghubungkan antara aspek proses dan atribut mutu dengan nilai yang
sudah ditetapkan.
40
Terlebih dahulu ditanyakan kepada responden persyaratan konsumen
dengan menggunakan pembobotan. Bobot merupakan nilai preferensi
dengan sifat :
0 ≤ We ≤ 1
dimana We = bobot ke e dan e = 1,2,……k
�=
k
eW e
1 = 1
Pemberian bobot dilakukan secara langsung pada setiap kriteria, yang
dilakukan oleh orang yang mengerti, dan berpengalaman. Penentuan bobot
dilakukan dengan melakukan perubahan urutan menjadi nilai dimana urutan
pertama dengan tingkat yang tertinggi dan urutan kedua dengan tingkat di
bawahnya demikian seterusnya (Maarif, 2003). Bilamana terdapat beberapa
kriteria keputusan maka urutan 1 mempunyai nilai = k – 1 dan seterusnya.
Formula penentuan bobot adalah sebagai berikut :
�=
n
j 1
λej
untuk e = 1,2,…k
�=
k
e 1
λej �=
n
j 1
eej
λej = nilai tujuan ke λ oleh pakar ke j. Jumlah pakar = n eej = nilai ke e oleh pakar ke j
Bobot kriteria ke 1 = (nilai urutan 1* jumlah pakar yang memberikan
nilai pada urutan 1) + ( nilai urutan 2 * jumlah pakar yang memberikan nilai
pada urutan 2 ) + (nilai urutan ke n* jumlah pakar yang memberikan nilai
dari urutan n ) dibagi dengan (nilai urutan 1 * jumlah pakar yang
memberikan nilai dari urutan 1 tersebut dan seterusnya) dijumlahkan sampai
urutan ke n untuk seluruh kriteria.
Rumah mutu sebagaimana pada gambar 4, terdiri dari lajur tabel
konsumen yang memberikan penilaian atas atribut produk berdasarkan
We =
41
persyaratan konsumen. Kolom horisontal terdiri dari daftar proses yang
relevan atau aspek teknikal yang berkaitan dengan persyaratan konsumen.
Kombinasi atau matriks hubungan antara teknikal dan persyaratan
konsumen akan menggunakan simbol-simbol seperti :
= hubungan kuat
= hubungan sedang
�� = hubungan sangat lemah
Matrik korelasi pada atap digunakan untuk mengidentifikasikan persyaratan
teknikal mana yang saling mendukung satu sama lain di dalam desain
produk. Pemberian simbol pada matrik korelasi terdiri dari :
++ = hubungan proses berkorelasi sangat erat
+ = hubungan proses berkorelasi erat
Pada lajur paling kanan dignakan untuk mengukur kinerja teknik
lyakni dengan membandingkan antara target dan realisasi. Hasil akhir matriks
adalah nilai target untuk setiap persyaratan teknikal, dengan demikian
pengambil keputusan dari internal organisasi dapat terfokus dan menerapkan
langkah implementasi yang tepat dalam mewujudkan atribut produk
sebagaimana dikehendaki melalui peryaratan konsumen.
42
MATRIKS KORELASI
DESAIN ATRIBUT (HOW)
HUBUNGAN HARAPAN KONSUMENDAN
DESAIN ATRIBUT
(HUBUNGAN MATRIKS)
BENCHMARK
UKURAN KINERJA/ TECHNICAL IMPORTANCE RATING
HARAPAN
KONSUMEN
BOBOT
PENILAIAN
KOMPETITIF
KONSUMEN
Berdasarkan hasil preferensi konsumen, terdapat tiga elemen mutu
sebagai persyaratan bahan baku yakni :
(1) mutu bahan baku,
(2) kemampuan pasokan dan
(3) kemampuan teknis pengelolaan
Sub-elemen mutu bahan terbagi atas :
(K1) kadar air,
(K2) kebersihan dari cemaran kotoran, tanah, ranting,
(K3) kandungan metabolit sekunder.
Pengertian elemen kemampuan pasokan menunjukkan sejauh mana pemasok
sanggup memenuhi jadwal dan jumlah pasokan. Pedagang pengumpul dan
industri cenderung menanyakan elemen tersebut sebagai dasar perencanaan
pengadaan bahan baku dan produksi.
Gambar 4. Rumah mutu (Bounds, 1994); Marimin, 2004).
43
Kemampuan pasokan terurai dalam sub elemen :
(L1) kontinuitas pasokan, dan
(L2) jumlah pasokan.
Elemen pengelolaan menunjukkan kondisi operasional usaha pengadaan
bahan baku pemasok sebagai cermin profesionalitas. Walaupun kemampuan
pengelolaan jarang dipergunakan sebagai penentu seleksi pemasok bahan
baku, tetapi pemasok yang berkemampuan mengelola sesuai harapan industri
memiliki nilai tambah dan berpeluang lebih diperhatikan. Dalam menjalin
kemitraan jangka panjang, pihak pembeli dimungkinkan melakukan tinjauan
pengecekan hingga ke lokasi pengolahan bahan baku sehingga calon pembeli
dapat melihat sejauh mana kesiapan pemasok.
Kemampuan teknis terdiri atas sub-elemen :
(T1) ketersediaan alat dan
(T2) kemampuan sumber daya manusia.
Aplikasi diawali dengan meminta pendapat responden mengenai urutan
kepentingan atau prioritas dari pertanyaan yang telah disajikan dan pendapat
responden kemudian diolah sehingga menghasilkan bobot sub elemen.
Berdasarkan masukan dari wawancara responden ahli diperoleh
masukan karakteristik proses ditinjau dari sepuluh aspek teknikal atau
operasi (AO) sebagai berikut :
AO1. pembersihan AO6. penyimpanan
AO2. pencucian AO7. pengemasan
AO3. pengirisan AO8. pengelolaan lahan
AO4. pengeringan AO9. pengelolaan dana
AO5. pemilahan AO10.pengelolaan operasional
Responden diminta memberikan pendapat atas perbandingan
berpasangan antara harapan terhadap pasokan tanaman obat dan aspek teknis
operasi dengan memberikan nilai 10 mewakili hubungan kuat. Nilai tersebut
memberikan pengertian aspek teknis sangat berpengaruh mewujudkan
harapan konsumen, nilai 5 mewakili hubungan sedang, 3 mewakili hubungan
lemah, 1 mewakili hubungan sangat lemah dan 0 tidak ada hubungan sama
44
sekali. Responden ahli berasal dari pihak industri yang mengerti mengenai
persyaratan tanaman obat, pengumpul dan petani yang masing-masing
diajukan pertanyaan yang sama.
Dari aplikasi QFD tersebut, menjadi masukan merancang desain fungsi
dari lembaga jaringan yang dapat menjadi perhatian dan pembelajaran bagi
anggota sehingga produk yang dihasilkan memenuhi peryaratan konsumen.
3.2. Interpretative Structural Modeling (ISM)
Kompleksitas rantai pasokan bahan baku agroindustri farmasi dengan
kerumitan interaksi antar elemen dan dinamika masing-masing aktor
dipandang strategis didekati dengan pendekatan kesisteman. Pertanyaan dan
pemikiran kritis digali guna memahami harapan berbagai pihak dan konflik
kepentingan yang timbul. Teknik ISM digunakan sebagai proses pengkajian
kelompok di mana model struktural dihasilkan untuk memotret sistem yang
kompleks melalui pola yang dirancang secara seksama dengan grafis dan
kalimat (Eriyatno,1999).
Struktur diperlukan untuk menjelaskan pemahaman pokok kajian dari
sistem yang berjenjang. Penentuan tingkat jenjang didasarkan atas lima
kriteria, yakni (1) kekuatan pengikat, (2) frekuensi relatif terhadap
guncangan, (3) konteks, (4) liputan tingkat dan (5) hubungan fungsional.
Kemudian program yang telah disusun secara berjenjang itu, dibagi menjadi
elemen-elemen. Menurut Saxena (1992), dalam Eriyatno (1999), program
dapat dibagi menjadi sembilan elemen yakni :
a) Sektor masyarakat yang terpenuhi
b) Kebutuhan program
c) Kendala
d) Perubahan yang dimungkinkan
e) Tujuan program
f) Tolok ukur penilaian tujuan
g) Aktivitas yang akan dilaksanakan
h) Ukuran aktivitas
i) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
45
Elemen-elemen tersebut dijabarkan dalam sub-elemen yang berasal dari
masukan pakar. Selanjutnya ditetapkan hubungan kontekstual antar sub
elemen tersebut, kemudian disusun SSIM atau Structural Self Interaction
Matrix.
Penyusunan SSIM menggunakan simbol V,A, X dan O yaitu :
V adalah eij = 1 dan eji = 0
A adalah eij = 0 dan eji = 1
X adalah eij = 1 dan eji = 1
O adalah eij = 0 dan eji = 0
Simbol 1 mengandung pengertian terdapat hubungan kontekstual antar
elemen i dan j yang diperbandingkan, sedangkan simbol 0 tidak terdapat
hubungan kontestual di antara elemen i dan j. Hubungan kontekstual dapat
berupa :
(a) pembandingan komperatif,
(b) pernyataan,
(c) pengaruh,
(d) keruangan,
(e) waktu.
Perhitungan aturan Transivity dilakukan untuk mengoreksi SSIM
sampai matriks menjadi tepat dan tertutup, bilamana :
A mempengaruhi B
B mempengaruhi C
Sehingga seharusnya A mempengaruhi C
Tabel Reachability Matrix dibuat untuk menggambarkan ada tidaknya
hubungan satu arah antar sub-elemen yang satu dengan lainnya, setelah
dilakukan pengecekan menggunakan Transivity. Hasil revisi SSIM dan
matriks yang memenuhi aturan Transivity ini diolah untuk menetapkan
pilihan jenjang. Hasil pengolahan diklasifikasikan dalam empat sektor :
46
Sektor 1 Weak Driver – Weak Dependent Variable ( Autonomous ).
Variabel sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau
mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut
bisa saja kuat.
Sektor 2 Weak Driver –Strongly Dependent Variable (Dependent).
Umumnya variabel bersifat tidak bebas.
Sektor 3 Strong Driver – Strongly Dependent Variable (Linkage).
Variabel sektor ini harus dikaji secara hati–hati, sebab hubungan
antar variabel tidak stabil. Setiap tindakan pada variabel tersebut
akan memberikan dampak terhadap lainnya.
Sektor 4 Strong Driver – Weak Dependent Variable ( Independent ).
Merupakan variabel bebas, sebagai sisa dari sistem.
Pengolahan pendapat responden dilakukan menggunakan alat bantu
program ISM terbagai atas daftar pakar, analisis pakar, survei, hasil survei,
dan resume survei dengan penjelasan sebagai berikut :
1) menu daftar pakar, berisi identifikasi responden yang akan
memberikan pendapat,
2) menu analisis pakar, untuk menjabarkan sub elemen dari setiap
elemen yang akan dikaji,
3) menu survei, menampung pendapat pakar
4) hasil survei, menampilkan struktur hirarki pendapat dan dependence
– driver power.
Analisis elemen ISM meliputi : tujuan, perubahan yang diinginkan,
kendala program, dan aktivitas program.
3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Kehidupan yang semakin kompleks dengan berbagai interaksi dan
saling ketergantungan di antara berbagai faktor memerlukan pendekatan yang
dapat mewakili situasi tersebut. Cara memandang masalah dalam suatu
kerangka teroganisir tetapi kompleks, memungkinkan adanya interaksi dan
saling ketergantungan antar faktor.
47
AHP yang dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan metode untuk
memecahkan situasi kompleks dan tidak berstruktur tersebut ke dalam
komponen-komponen yang tersusun secara hirarki, baik struktural maupun
fungsional.
AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, untuk
aneka ragam persoalan tak berstuktur, memadukan ancangan deduktif dan
ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
Proses sistemik AHP memungkinkan pengambil keputusan mempelajari
interaksi dari komponen-komponen yang telah disusun dalam hirarki secara
simultan. Keharusan untuk memberikan nilai numerik pada setiap variabel
masalah akan membantu pengambil keputusan mempertahankan pola pikir
yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan.
Sistem yang kompleks dapat mudah dipahami bilamana dipecah
menjadi berbagai elemen dan elemen tersebut disusun secara hirakis. Hirarki
melibatkan pengindentifikasian elemen suatu persoalan, pengelompokan
elemen-elemen ke dalam kumpulan yang homogen dan menata kumpulan
pada tingkat yang berbeda.
Terdapat dua macam hirarki, struktural dan fungsional. Pada hirarki
struktural, sistem yang kompleks disusun ke dalam komponen pokoknya
dengan urutan menurun menurut sifat struktural. Sedangkan hirarki
fungsional menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen – elemen
pokok menurut hubungan esensial.
Penyusunan secara hirarkis AHP mencerminkan pemilahan elemen
sistem dalam beberapa tingkat yang berlainan dan pengelompokan unsur
serupa pada setiap tingkat. Setiap perangkat elemen dalam hirarki fungsional
menduduki satu tingkat hirarki. Tingkat puncak yang disebut fokus, hanya
terdiri atas satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Pada
tingkat berikutnya masing – masing dapat memiliki beberapa elemen,
meskipun jumlahnya biasanya kecil antara lima dan sembilan.
Elemen-elemen dari suatu tingkat akan dibandingkan satu dengan
lainnya terhadap kriteria yang berada di tingkat atas, sehingga elemen-
elemen pada setiap tingkat harus dari derajat besaran yang sama. Selain
48
identifikasi faktor penting dalam struktur hirarki, juga diperlukan cara untuk
memutuskan apakah faktor mempunyai pengaruh yang sama terhadap hasil
atau apakah sebagian boleh diabaikan. Unit dasar analisis adalah
perbandingan berpasangan dengan hubungan aji =1/aij. Bilamana matriks
menunjukkan aij = 5 berarti aktivitas i penting dan sangat penting
dibandingkan dengan aktivitas j.
Ancangan dalam menyusun hirarki tergantung pada jenis keputusan
yang perlu diambil. Jika persoalannya memilih alternatif, dapat dimulai dari
tingkat dasar dengan menderetkan semua alternatif. Tingkat berikutnya harus
terdiri atas kriteria untuk mempertimbangkan alternatif tersebut dan tingkat
puncak terdiri atas satu elemen saja yakni fokus tujuan menyeluruh. Selain
itu, AHP juga memberi peluang menguji konsistensi penilai. Bilamana terjadi
penyimpangan terlalu jauh, maka penilaian perlu diperbaiki atau hirarki
distruktur ulang (Marimin, 2004). Skala banding berpasangan menurut Saaty
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 7. Skala Banding Berpasangan pada AHP
Intensitas Definisi Keterangan
1 Kedua elemen sama penting Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat tersebut
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit mendukung satu elemen atas lainnya
5 Elemen yang satu penting atau sangat penting dibanding elemen lain
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas elemen lainnya.
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung, dan terlihat dominan pada praktek.
9 Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang satu atas lainnya memiliki tingkat penegasan atau yang mungkin menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua pertimbangan yang berdekatan.
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan.
Kebalikan : Jika aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
49
AHP juga dapat dipergunakan bagi penyelesaian masalah konflik.
Menurut Saaty (1993), terlebih dahulu dilakukan identifikasi dari pihak –
pihak yang berkonflik, sasaran dan keingingan masing-masing pihak, solusi
yang diharapkan, asumsi cara yang diinginkan oleh masing-masing pihak
terutma dalam pandangannya terhadap pentingnya sasaran dan hasil. Namun,
pemecahan masalah konflik dan pencarian informasi dari berbagai pihak
yang terlibat resiko memungkinkan terjadinya bias dalam memahami situasi.
Tabtabai dan Thomas (2004), menyatakan perlunya terlebih dahulu
memformulasikan masalah keputusan pada struktur hirarki. Setelah hirarki
dibangun, maka mulai memprioritaskan prosedur untuk menetapkan
kepentingan relatif dari elemen dalam masing-masing tingkat hirarki. Contoh
tingkat hirarki AHP dapat dilihat sebagaimana gambar 5.
Tingkat IFOKUS FOKUS
Tingkat 2SKENARIO
SKENARIO 1 SKENARIO 2 SKENARIO 3
Tingkat 3FAKTOR
FAKTOR 1 FAKTOR 2 FAKTOR 3 FAKTOR 4 FAKTOR 5
Tingkat 4ALTERNATIF ALTERNATIF 1 ALTERNATIF 2 ALTERNATIF 3 ALTERNATIF 4
Elemen setiap tingkat diatur dalam kelompok yang homogen dan
dibandingkan dengan perhatian terhadap kepentingan dalam membuat
keputusan yang penuh pertimbangan. Perbandingan dari dua elemen mana
yang lebih penting dengan memperhatikan (with respect to) kriteria pada
Gambar 5. Struktur hirarki AHP.
50
tingkat yang lebih atas menggunakan skala 1 – 9. Pengalihan bentuk verbal
diterjemahkan dalam angka absolut 1, 3, 5, 7 dan 9 dengan 2, 4, 6 dan 8
sebagai nilai tengah/ antara di antara dua pertimbangan yang berdekatan.
Perbandingan rating untuk masing-masing tingkat dimulai dari atas hirarki ke
bawah. Ketika membandingkan elemen A dengan B, apabila A lebih penting
maka angkat tertinggi diterakan, kemudian B menjadi angka sebaliknya.
Menurut Saaty, menjadi penting untuk mengetahui konsistensi
penetapan keputusan para pengambil keputusan. Mencapai tingkat konsistensi
sempurna memang sulit, tetapi sebaliknya konsistensi yang rendah juga akan
merefleksikan pertimbangan yang tidak fokus. Konsistensi ini menjadi
penting guna memperoleh hasil yang sahih pada dunia nyata. Rasio
konsistensi menjadi parameter yang digunakan untuk memeriksa
perbandingan berpasangan telah dilakukan konsekuen. Rasio konsistensi (CR)
diperoleh dengan pembagian indeks konsistensi dibagi indeks random atau
CR = CI/ RI. Nilai CR seharusnya tidak lebih dari 0,10.
3.4. Analytical Network Process (ANP)
Analytical Network Process (ANP) merupakan generasi lanjutan
pendekatan AHP yang dikembangkan oleh Saaty. ANP menjawab kondisi
bahwa nilai dan pendapat antar individu sangat bervariasi dan dibutuhkan
suatu pengetahuan baru untuk membantu mencapai objektivitas dan
universalitas. Menurut Saaty, banyak keputusan tidak dapat distrukturkan
secara hirarki karena melibatkan interaksi dan ketergantungan mulai dari
elemen yang tinggi hingga elemen paling rendah. ANP ini dimaksudkan
untuk membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dalam bidang
ekonomi, sosial maupun manajemen.
Perbedaan dengan AHP bahwa struktur ANP terdiri atas
ketergantungan antar elemen di dalam komponen (inner dependence) dan
dari ketergantungan antar elemen dari komponen di luar (outer dependence)
dan terdapat hirarki kontrol. Hirarki kontrol pada pendekatan ANP sangat
penting. Hirarki ini lebih berupa jaringan.
51
Kriteria pada hirarki kontrol digunakan untuk membandingkan
komponen-komponen yang biasanya merupakan kriteria utama. Sedangkan
sub-kriteria digunakan untuk membandingkan elemen komponen. Dengan
demikian kriteria untuk komponen lebih luas dibanding sub-kriteria untuk
elemen komponen. Dengan kata lain, kriteria digunakan untuk
membandingkan komponen sistem.
Jaringan dalam ANP memungkinkan menampilkan beberapa elemen
secara terfokus pada awal proses dan akhir seperti pada AHP. Gambaran
bagaimana ketergantungan antar elemen pada ANP dapat dilihat pada gambar
6 berikut ini.
ANP merupakan struktur non linear terdiri dari sumber, siklus dan
looping yang memiliki prioritas, tidak hanya pada elemen tetapi juga pada
komponen atau klaster. ANP merupakan teori nilai matematik yang
didasarkan pada skala rasio secara berpasangan. Masing-masing skala rasio
menunjukkan perbandingan berpasangan antar elemen di dalam suatu
komponen, dan dengan elemen di luar komponen. Elemen yang tidak
memberikan pengaruh pada elemen lain memberikan nilai nol.
Hasil perbandingan diwujudkan dalam bentuk matriks vertikal dan
horizontal, bersifat stokhastik yang disebut supermatriks. Guna meninjau
Gambar 6. Ketergantungan antar elemen dalam ANP (Saaty, 1996).
Komponen sumber
Komponen sumber (lingkar umpan
balik)
Komponen antara
Komponen tersembunyi
52
semua faktor dan kriteria yang digunakan dan keterkaitannya satu sama lain
diperlukan pendekatan holistik.
Pendekatan ANP akan mengukur pengaruh dominan elemen yang harus
memenuhi standar atau kriteria. Bentuk pertanyaan yang diajukan kepada
pakar dalam perbandingan berpasangan adalah : ” mana yang lebih
berpengaruh antara komponen atau elemen, berdasarkan kriteria kontrol
dibandingkan dengan kandungan komponen atau elemen yang lain ? ”
Hasil analisis supermatrik ANP menghasilkan nilai BCOR (benefit,
cost, opportunity dan risk) dimana pengambilan keputusan merupakan proses
berdasarkan pertimbangan yang menguntungkan dan merugikan.
Pertimbangan yang menguntungkan disebut sebagai manfaat dan
pertimbangan yang merugikan disebut sebagai biaya. Selain itu juga
dipertimbangkan adanya kemungkinan positif di masa datang yang disebut
peluang dan kemungkinan negatif disebut resiko.
3.5. Penilaian Investasi
Pengambilan keputusan untuk program sistem pasokan bahan baku
berbasis jaringan, harus didasarkan pada pertimbangan kelayakan finansial
sehingga program layak atau tidak untuk dilaksanakan. Beberapa parameter
yang digunakan adalah :
a. Payback Period (PBP)
b. Net Present Value (NPV)
c. Benefit-Cost Ratio (B/C)
d. Internal Rate of Return (IRR)
a. Metode Payback Period
Payback period merupakan periode yang diperlukan untuk menutup
kembali pengeluaran suatu investasi dengan mengunakan aliran kas masuk
neto yang diperoleh. Terlebih dahulu dijabarkan seluruh biaya dan
kemungkinan penyusutan bahan baku yang berkorelasi pada biaya.
Kemudian arus kas masuk dijabarkan berdasarkan perkiraan penjualan
bahan baku yang telah diolah lebih lanjut. Arus kas masuk netto
53
diperhitungkan setelah pengeluaran pajak dan penyusutan. Formula
mencari payback periode adalah :
Rumus ini dipergunakan bilamana aliran kas masuk tetap setiap
tahun. Bilamana aliran kas masuk tidak sama, maka sisa investasi yang
belum kembali diperhitungan dengan aliran kas masuk netto pada tahun
berikutnya sehingga PBP terdiri atas tahun di mana aliran kas netto yang
telah berhasil ditutup ditambah total bulan sisa nilai investasi, dapat
ditutup secara proporsional.
b. Metode Net Present Value ( NPV)
Metode PBP memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan
nilai waktu uang, padahal uang memiliki nilai yang berbeda apabila
waktu memperolehnya berbeda. Hal ini dikarenakan faktor diskonto
berupa bunga dan biaya modal yang lain. Metode NPV akan
mengakomodasikan kedua hal tersebut. Metode NPV mencari selisih nilai
sekarang dari aliran kas netto dengan nilai sekarang dari suatu investasi.
( ) 010
Ii
NPVn
tt
tA −+
=�=
At = Aliran kas netto pada periode ke t
Io = Nilai Investasi
r = Discount rate
t = Jangka waktu proyek investasi / umur proyek investasi
Nilai Investasi ________________ x 1 tahun Aliran kas masuk
=PBP
54
c. Metode Benefit – Cost Ratio (B/C)
Metode Benefit Cost Ratio atau Profitability Index merupakan
metode yang memiliki hasil keputusan sama dengan metode NPV.
Apabila suatu proyek investasi diterima, maka akan diterima pula jika
dihitung dengan menggunakan formula. Suatu usulan proyek investasi
akan diterima atau layak apabila > 1. Formula yang dipergunakan dalam
menghitung B/C adalah :
d. Metode Internal Rate of Return ( IRR )
Metode Internal Rate of Return merupakan metode penilaian
investasi untuk mencari tingkat bunga (discount rate) yang menyamakan
nilai sekarang dari aliran kas neto ( Present Value of Proceeds ) dan
investasi (Initial Outlays). Pada saat IRR tercapai, maka NPV sama
dengan nol.
Pengambilan keputusan menggunakan metode IRR akan sejalan
dengan perhitungan menggunakan metode NPV walaupun kadang –
kadang terjadi pertentangan antara kedua metode tersebut. IRR dapat
dihitung dengan rumus
( )rkrbTPVrbTPVrk
NPVrkrkIRR −�
�
���
�
−+=
IRR = Internal Rate of Return
rk = tingkat bunga yang rendah
rb = tingkat bunga yang tinggi
PV rk = present value dari arus kas netto pada tingkat bunga kecil
PV rb = present value dari arus kas netto pada tingkat bunga besar
Total PV dari arus kas bersih _____________________ Investasi
=B / C
IV. METODOLOGI
4.1. Kerangka Pemikiran
Manajemen rantai pasokan berkembang menjadi langkah strategis yang
menyinergikan pemasaran, pabrikasi, dan pengadaan dalam suatu hubungan
yang kompleks dalam rangkaian proses bisnis secara satu kesatuan.
Pengertian, filosofi, dan alur berstruktur rantai pasokan telah diajukan oleh
peneliti terdahulu dan menegaskan perbedaan manajemen rantai pasokan
dengan manajemen logistik (Christopher, 1998; Bowersox, 1992; Ayers,
2000; Levi 2002; Vokurka, 2002; Giannakis, 2004; Tracey, 2005; Gowen di
dalam Maku, 2005).
Membangun rantai pasokan berbasis jaringan melibatkan anggota, dan
formulasi kerangka kerja (Evans dan Danks, 1998; Stock dan Lambert, 2001;
Halal dalam Daboub, 2002). Fungsi jaringan menurut peneliti terdahulu
adalah mendistribusikan manfaat dan resiko berdasarkan tujuan melalui
mekanisme umpan balik, insentif, dan sanksi yang dijabarkan serta dikelola
(Barba et al. 1998; Levi, 2000; Goold dan Quinn, di dalam Stanek, 2004).
Membangun jaringan memerlukan persyaratan perilaku berupa hubungan
berbasis kepercayaan, penyatuan keahlian saling melengkapi, peran aktif,
harmonisasi, solidaritas dan pengendalian kekuasaan (Achrol di dalam
Daboub, 2000; Barba et al. 1998; Choi et al. 2002).
Pasokan bahan baku agroindustri farmasi menghadapi kompleksitas
permasalahan dengan kerumitan hubungan antar elemen dan perubahan
dinamis permintaan dan penawaran bahan baku. Permasalahan yang dihadapi
petani umumnya terletak pada akses pasar, kemampuan dan kualitas
pasokan, permodalan, kemampuan pengelolaan bahan baku sehingga
standarisasi hasil dari masing-masing aktor lemah karena tidak menyatunya
rantai proses.
Sistem rantai pasokan direkayasa agar terdapat integrasi strategis antara
petani dan industri dimana petani berlokasi tersebar, berkontribusi sesuai
perannya atas dasar saling tergantung sehingga tercapai kesejahteraan petani
dan mendorong pengusahaan tanaman obat secara berkelanjutan.
56
Kerangka pemikiran pembangunan jaringan dapat dilihat pada Gambar
7 dan tahapan penelitian sebagaimana pada Gambar 8 berikut ini.
AGROINDUSTRI FARMASI
KONDISI SISTEM RANTAI PASOKAN SAAT INI DAN KEBUTUHAN1. Usaha tani
2. Pola pembelian3. Rantai pasokan
4. Persyaratan mutu
PETANI TANAMAN OBAT
PENDEKATAN SISTEM
ANALISIS USAHATANI
ANALISIS MATRIKSPERSYARATAN MUTU
ANALISIS ELEMENJARINGAN
PEREKAYASAAN SISTEM RANTAI PASOKANBASIS JARINGAN
STRUKTUR JARINGAN ANALISIS KONFLIKPERHITUNGAN
MANFAAT
PERSYARATAN IMPLEMENTASIFAKTORPENGHAMBAT
FAKTORPENDUKUNG
SISTEM RANTAI PASOKANBASIS JARINGAN
KONDISI SITUASIONALUSAHA TANI
ATRIBUT UTAMA DANPROSES TERKAIT ELEMEN KUNCI
Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian.
57
Penelitian mengkaji sistem rantai pasokan saat ini mencakup
pengadaan bahan baku oleh agroindustri farmasi, hubungan petani dengan
rantai di atasnya dan keunikan rantai pasokan tanaman obat. Aspek hubungan
vertikal sistem pasokan yang dikaji adalah : cara memilih dan menilai
pemasok, penetapan mutu, harga dan nilai-nilai kerjasama. Selanjutnya
dilakukan analisis usaha tani, persyaratan mutu dan elemen kritis
membangun jaringan.
Nilai keilmuan dari penelitian adalah bagaimana jaringan dalam ranah
manajemen rantai pasokan diimplementasikan pada agroindustri farmasi dan
memberikan manfaat bagi petani tanaman obat. Validasi terhadap
pembangunan jaringan dilakukan dengan melalui pengujian antar variabel
dirujuk pada teori yang mendukung dan berdasarkan pendapat pakar untuk
kesesuaian realitas di lapangan. Uji konsistensi dari pendapat pakar atas
perbandingan berpasangan dilakukan walaupun pada kenyataanya sulit
mendapatkan konsistensi sempurna tetapi analisis berpasangan atas elemen
telah memperoleh kepastian.
58
Analisis usaha tani danrantai pasokan
bahan baku
Peryaratan mutu pembeli,tingkat rantai pasokan,ketentuan pembelian
Biaya usaha tani tanamanobat, R/L menjual padapembeli non jaringan
Komponen biaya -biaya usaha tani
Persyaratanpasokan bahan
baku dan ciri rantaipasokan
Metode :wawancara
pelaku,perhtiungan rugi
laba
Analisis usaha tani dan rantai pasokan bahan baku petani (1)
Kriteria mutu bahanbaku
Aspek pengolahanbahan baku
Analisis persyaratan mutubahan baku dan aspek
teknis pengolahan
Bobot kriteria mutu, targetnilai proses yang terkait
mutu
Metode : QualityFunction
Deploypment,Pembobatan MPE
Analisis persyaratan mutu bahan baku (2)
A B
C
A
59
Elemen - elemensistem
pembentukankelembagaan
Analisis Elemen Strukturisasi Jaringan (3)
Analisis ElemenKelembagaan rantai
pasokan berbasis jaringanMetode : ISM
Elemen Kunci yangdiperhatikan saat
membangun lembagaD
Rekayasa Sistem RantaiPasokan bahan baku
Lembaga jaringan :struktur, fungsi,
mekanisme operasional
Metode :Penstrukturan(Giannakis &
Croom, 2004-Stock& Lambert,,2001 -
Giles & Hancy,1998)
Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku (4)
A CB D
AHPAnalisis dan solusi konflik
Mekanisme penanganankonflik
R/L,Analisis
kelayakan,
Perhitungan manfaat yangditerima anggota hasil
rekayasa
Nilai manfaat yang diterimapetani
Gambar 8. Tahapan penelitian
A
60
Untuk merancang sistem, terlebih dahulu dilakukan analisis kebutuhan
para aktor sehingga diperoleh gambaran harapan dan faktor berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan industri berkaitan dengan perencanaan
pengadaan bahan baku, perilaku masing – masing aktor dan pola
pengelolaan. Harapan konsumen industri didekati dengan menggunakan alat
bantu Quality Function Deployment sehingga diperoleh ketegasan atas
preferensi utama dari kualitas dan dihubungkan dengan proses internal, akan
diperoleh prioritas proses yang sangat berpengaruh.
4.2. Pendekatan Sistem
Sistem rantai pasokan merupakan permasalahan yang tidak berdiri
sendiri. Sub-sistem satu dan lainnya akan saling berkaitan mulai dari saat
pembudidayaan sampai produk diterima oleh industri. Banyaknya pelaku
yang terlibat dalam proses bisnis menjadikan sistem bersifat dinamis,
kompleks dan rawan pada konflik kepentingan. Menurut Eriyatno (1999),
metodologi sistem bertujuan untuk mendapatkan gugus alternatif sistem yang
layak, mencakup kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi.
Perancangan sistem, diawali dengan memahami para aktor yang
terlibat pada sistem rantai pasokan dan kebutuhan masing-masing. Aktor
utama pada sistem rantai pasokan bahan baku meliputi petani, pedagang
pengumpul dengan satu atau lebih tingkatan, hingga industri. Kebutuhan
aktor dimaksud dapat serupa, namun dapat terjadi bertentangan sehingga
berpotensi terjadinya konflik kepentingan.
Tabel 8 berikut ini memberikan gambaran mengenai kebutuhan yang
menjadi fokus oleh pelaku utama.
61
Tabel 8 Analisis kebutuhan para aktor pada rantai pasokan
No Kebutuhan Petani Pedagang pengumpul
Pedagang besar
Industri
1 Harga Jual x x x x
2 Kesesuaian pasokan x x x x
3 Biaya budidaya x
4 Mutu x x x x
5 Informasi persyaratan
x x x
6 Pembinaan berkelanjutan
x
7 Teknologi x
8 Ketersediaan SDM x x
9 Ketepatan waktu pasokan
x x x
10 Modal kerja x x x x
11 Peningkatan keuntungan
x x x x
Potensi konflik x = Yang berkepentingan atas kebutuhan dimaksud
4.3. Tata Laksana Penelitian
Penelitian rekayasa sistem pasokan tanaman obat difokuskan pada
tanaman obat yang dipasok ke agorindustri farmasi penghasil obat
tradisional. Penelitian melalui empat tahapan yakni (1) analisis usaha tani
dan rantai pasokan bahan baku petani, (2) analisis persyaratan mutu bahan
baku, (3) analisis elemen kelembagaan, (4) rekayasa sistem rantai pasokan
bahan baku. Adapun kerangka berpikir penelitian sebagaimana terlihat pada
Gambar 7.
a. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder. Data primer
mencakup luas lahan petani, biaya – biaya, kapasitas produksi, perlakuan
budidaya dan pemrosesan, tingkat penolakan kualitas, pola perdagangan
tanaman obat. Responden ditetapkan dengan batasan :
1. Petani dan pengumpul yang telah menekuni bidang tanaman obat
secara terus menerus selama lima tahun.
2. Pengumpulan data dilakukan di daerah Karanganyar, Sukoharjo,
Wonogiri, dan sekitar Slahung.
62
3. Industri penghasil jamu dan obat herbal yang dipilih secara sengaja
yakni : PT Air Mancur, PT Phapros tbk, dan PT Indofarma tbk.
Gambar 9 Peta lokasi penelitian.
Pengumpulan data dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu :
(1) penelitian pendahuluan melalui wawancara dengan pejabat BPTO
Tawangmangu dan petani pada bulan Februari 2003
(2) penelitian utama melalui wawancara petani, pengumpul dan
agroindustri farmasi penghasil obat tradisional, industri farmasi
yang menghasilkan fitofarmaka dan obat herbal, serta agroindustri
kecil obat tradisional yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai
dengan Oktober 2003
(3) pencarian data sekunder di Badan Pengawasan Obat dan Makanan
subdit Obat Asli Indonesia, Badan Pusat Statistik pada bulan
November, Desember 2003
(4) pengecekan silang melalui wawancara pengumpul di Caruban dan
Slahung, pada bulan Juli 2004
(5) melakukan wawancara pakar
Lokasi : Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri
63
Wawancara dengan kelompok petani menggunakan struktur
pertanyaan terarah untuk memperdalam obyek telaah. Kuesioner
ditujukan bagi responden yang mampu menjawab pertanyaan tanpa
memerlukan bantuan. Kuesioner berisi sekumpulan pertanyaan untuk
menggali informasi sehingga diperoleh gambaran mengenai : peran
aktor, kemampuan pasokan, persyaratan kualitas, dan faktor yang
mempengaruhi, resiko produksi dan pengolahan, faktor yang
mempengaruhi harga, nilai berpengaruh pada hubungan pemasok dan
pembeli.
Wawancara konfirmasi dilakukan pada kelompok petani dan
pengumpul di daerah berbeda. Pendekatan pengamatan diperlukan untuk
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai :
a) penanganan pascapanen hingga penyimpanan pada tingkat petani.
b) penerimaan dan perlakuan bahan baku pada tingkat pedagang
pengumpul
c) penerimaan dan perlakuan bahan baku pada tingkat industri
d) kondisi fasilitas di areal petani dan pengumpul
Seluruh informasi dipergunakan untuk mengkaji faktor
berpengaruh terhadap pengadaan dan distribusi bahan baku, kelemahan
dan kekuatan rantai pasokan yang berlangsung saat ini serta peluang
mengembangkan sistem rantai pasokan baru.
Responden ahli yang menjadi nara sumber adalah : peneliti
tanaman obat sekaligus Kepala BPTO Tawangmangu, ketua koperasi
karyawan BPTO, manajer-manajer terkait dari agroindustri farmasi
terpilih, pembina petani, dan ketua Koperasi Jamu (KOJAI) Nguter –
Sukoharjo.
b. Teknik pengolahan dan analisis data
1. Pengolahan data harapan konsumen menggunakan Quality Function
Deployment, dengan memberikan bobot kepentingan atas harapan
konsumen dimaksud.
64
2. Penjabaran harapan konsumen menggunakan QFD melalui tahapan
berikut :
a. Mengajukan pertanyaan pendahuluan kepada kelompok pakar,
sehingga dihasilkan sekumpulan persyaratan tanaman obat
kemudian disarikan menjadi kriteria-kriteria kualitas.
b. Elemen yang dihasilkan tersebut disusun dalam bentuk kuesioner
dan diajukan kepada responden terpilih terdiri atas petani, dan
pedagang pengumpul. Responden diminta mengurutkan dari
prioritas pertama hingga ke n dari kriteria konsumen dimaksud.
c. Melakukan pembobotan atas kriteria konsumen.
d. Menguraikan aspek pemrosesan dalam menghasilkan bahan baku
sebagaimana diharapkan konsumen. Penguraian proses dilakukan
melalui wawancara pakar industri dan diikuti dengan observasi.
e. Melakukan penilaian berpasangan atas kriteria konsumen dengan
proses. Tahap ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai
pengaruh hubungan kuat, sedang atau tidak sama sekali dari
proses. Tinjauan matriks antara kriteria konsumen dan proses
dilakukan melalui wawancara pakar.
f. Tahap akhir adalah melakukan proses trade off antar aktivitas
proses untuk melihat apakah terdapat pengaruh positif kuat (+
+), pengaruh negatif (-), sehingga dapat disimpulkan korelasi
proses satu dengan proses lainnya.
3. Teknik ISM dipergunakan dalam mengkaji hubungan sub-elemen dari
elemen-elemen yang perlu diperhatikan saat membangun jaringan.
Kaitan kontekstual antara elemen dan sub-elemen dan bagaimana
kuat-lemahnya pengaruh satu elemen terhadap lainnya dianalisis.
Analisis memanfaatkan kelompok pakar untuk mendeskripsikan
berbagai elemen dan keterkaitan kontekstualnya.
4. Pendekatan supermatrik ANP digunakan untuk mengkaji hubungan
yang kompleks dari elemen–elemen yang saling berpengaruh.
Pendekatan ini memberi ruang interaksi dan umpan balik di dalam
65
dan di antara kelompok elemen. Hasil analisis supermatrik berupa
nilai BCOR, ditinjau dari kriteria optimistis, pesimistis, dan normal.
5. Perhitungan kelayakan jaringan dilakukan dengan terlebih dulu
menetapkan asumsi : target penjualan, nilai investasi dan prosentase
kerusakan bahan baku. Sedangkan analisis manfaat akan mengkaji
nilai insentif yang masih mampu didistribusikan kepada anggota.
6. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai tambah dari perubahan
produk tanaman obat irisan kering dan segar dari jahe dan kunyit
sebagai studi kasus dengan menghitung selisih nilai produk setelah
mendapatkan pemrosesan tertentu dengan nilai yang dikorbankan
untuk permrosesan.
7. Tinjauan konflik internal jaringan dimaksudkan untuk menduga
kemungkinan ketidakselarasan di dalam organisasi. Proses
pengolahan pertanyaan dilakukan melalui AHP. Responden diminta
membandingkan secara berpasangan antar kriteria. Bila ternyata
pendapat mereka tidak konsisten, maka dilakukan pengulangan,
sehingga diperoleh kesimpulan akhir.
c. Tahap pengembangan sistem, validasi dan verifikasinya
Pengembangan sistem jaringan dilakukan dengan mengkaji
kembali seluruh teori jaringan dari peneliti terdahulu berdasarkan studi
pustaka, wawancara dari sejumlah nara sumber dan melakukan cek
silang dengan sistem rantai pasokan yang telah berjalan selama ini.
Jaringan kemudian dikembangkan dengan melibatkan penstrukturan,
mekanisme, persyaratan dan pembagian fungsi.
Validasi model konseptual dimaksudkan untuk menetapkan bahwa
teori dan asumsi-asumsi yang mendasari tepat dan model telah
merepresentasikan masalah. Baik struktur model, logika dan matematika
serta hubungan sebab telah tepat terhadap tujuan dari model yang
dikehendaki.
Dalam hal ini, pengembang model atau peneliti mengkaji secara
seksama dan mengevaluasi bagaimana model bekerja. Validasi tidak
66
dapat dilaksanakan oleh peneliti semata tetapi memerlukan komunikasi
dengan pengguna (Sargent, 2000; Carson, 2002; Martis, 2006).
Validasi terhadap jaringan yang telah dibangun dilakukan sejak
awal dengan memeriksa logika berpikir, asumsi-asumsi yang digunakan
dan teori jaringan yang mendukung. Perubahan pendapatan petani dan
jaringan dianalisis dengan mengambil tanaman obat terpilih sebagaimana
disebutkan pada ruang lingkup.
Verifikasi dilakukan untuk melihat apakah model telah menjawab
tujuan dan seberapa tinggi pencapaiannya. Verifikasi manfaat jaringan
dilakukan dengan menggunakan data yang diperoleh di lapangan dan
dengan memasukkan beberapa asumsi-asumsi.
V. ANALISIS SITUASI USAHA TANAMAN OBAT
5.1. Bahan Baku Tanaman Obat
Agroindustri farmasi terutama yang menghasilkan produk fitofarmaka
membutuhkan bahan baku sesuai standar formulasi agar memberikan efek
khasiat. Proses seleksi bahan baku agroindustri farmasi penghasil produk
fitofarmaka dilakukan melalui tahapan :
1. menetapkan kandungan zat aktif berkhasiat positif dari tanaman obat
obyek.
2. memetakan sumber pasok bahan baku yang memiliki kandungan khasiat
aktif optimal.
3. mengecek fluktuasi kandungan berkhasiat di setiap musim dengan
memperhitungkan kemampuan mereproduksi zat aktif gabungan.
4. membuat penanda berupa isolate yang mengandung kandungan utama.
Pemeriksaan kesesuaian dan kemurnian, tingkat kekeringan, kadar
cemaran kutu dan zat asing serta tingkat kebaruan bahan baku merupakan
pemeriksaan awal, sebelum dilakukan analisis kandungan senyawa metabolit
sekunder. Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder yang dilakukan secara
rutin, menghasilkan data kondisi bahan baku dari berbagai daerah sumber
pasok. Melalui data dimaksud diperoleh perbandingan kinerja bahan baku
antara daerah satu dan lainnya.
Perbedaan kandungan metabolit sekunder khususnya agroindustri
farmasi penghasil fitofarmaka, akan memerlukan perhitungan reprodusibilitas
zat aktif gabungan. Kondisi ini memerlukan tindakan koreksi pada proses
ekstraksi, yang berdampak pada biaya produksi. Kandungan senyawa
metabolit sekunder yang tidak sesuai dengan penanda, mendorong industri
melakukan peninjauan kembali pemesanan dari pemasok dan mengambil
keputusan atas penetapan asal daerah sumber pasokan.
Selain persyaratan dasar, kadangkala industri juga menetapkan kriteria
tambahan pasokan bahan baku seperti : standar usia tanam, waktu panen dan
ketinggian daerah tanam. Alasannya adalah, metabolit sekunder akan berbeda
menurut cara bagaimana tanaman obat ditanam dan cara pemanenan. Namun,
68
ketika bahan baku sulit diperoleh maka persyaratan yang ditetapkan akan
sedikit diperlonggar. Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder dilakukan
di laboratorium pengawasan kualitas untuk setiap kedatangan bahan baku,
dirujuk pada sampel yang telah dikirimkan sebelumnya. Cara pengambilan
sampel disesuaikan dengan ketentuan Material Medika Indonesia. Hasil
pemeriksaan tersebut kemudian dipakai sebagai penilaian kinerja pemasok.
Bahan baku tanaman obat yang diterima melalui tahapan persiapan
sebelum dipergunakan sebagai bahan baku ramuan. Salah satu bentuk standar
proses yang dilakukan di Air Mancur antara lain :
1. Sortasi untuk memisahkan bahan dari cemaran pasir dan kotoran lain
dengan cara hembusan dan pengayakan.
2. Penggorengan tanpa minyak agar dihasilkan aroma yang diinginkan atau
mempermudah bahan baku dikupas dari kulitnya.
3. Vaporasi dilakukan, khusus terhadap bahan yang mempunyai angka
cemaran kuman tinggi. Vaporasi, biasanya dilakukan untuk bahan baku
jenis daun-daunan.
4. Pengeringan bahan baku dilakukan dengan cara dijemur di bawah sinar
matahari langsung atau pengeringan menggunakan oven. Bahan baku
kemudian dikemas setelah diangin-anginkan terlebih dulu.
5. Pengecilan dimensi untuk mempermudah proses standarisasi, mengingat
bahan baku yang berasal dari daerah berbeda mempunyai kadar zat
berkhasiat yang berbeda pula.
6. Bahan baku yang tidak langsung mengalami pemrosesan, akan disimpan
dalam kemasan yang terbuat dari plastik polipropilena, tidak beracun,
tidak bereaksi dengan isi, dan melindungi bahan baku dari cemaran
mikroba.
69
Sebagai contoh, alur perlakuan bahan baku pada agroindustri jamu PT.Air
Mancur dapat dilihat pada halaman berikut ini :
Pemasok Bahanbaku
Sortasi
Qualityspecification
Gudangsimpan
Penggorengan Pencucian Penguapan
Pengeringan/hembus
Standarisasi
Pengecilan dimensi
Qualityspecification
Bahan baku ruah
Formulasi Produkantara
5.2. Kondisi Usaha Tani
a. Sumber pasokan
Petani di daerah obyek penelitian lebih mendahulukan mengelola
tanaman pangan dibanding tanaman obat karena tanaman obat diposisikan
Gambar 10. Alur proses penanganan bahan baku
70
sebagai penambah penghasilan. Areal yang digunakan untuk budidaya
tanaman obat berada di pekarangan, lahan kering atau lahan yang tidak
cocok untuk tanaman pangan. Luas lahan tanaman obat yang diusahakan
oleh petani relatif sempit berkisar 0,03 ha hingga 3 ha per petani.
Petani biasanya tidak menanam untuk satu jenis tanaman obat atau
monokultur, tetapi campuran atau polikultur dari beberapa tanaman obat
seperti temulawak, kunyit, lempuyang wangi, lempuyang pahit, jahe dan
sebagainya, dengan sifat penanaman berupa tanaman sela atau berada di
bawah naungan tanaman tertentu.
Tanaman obat di daerah Malang misalnya, ditanam pada ketinggian
1500 dpl dibudidayakan secara tumpangsari dengan tanaman apel sebagai
naungan. Sedangkan tanaman obat di Kediri pada ketinggian sekitar 800 dpl
ditanam dengan naungan tanaman kopi. Tanaman obat di daerah Pacitan
dilakukan tumpangsari dengan ketela dan jagung.
Data dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri (2004), menunjukkan
tanaman obat familia Zingiberacea terutama jahe dan lengkuas, terdapat di
seluruh kecamatan meliputi areal menghasilkan seluas 360 hektar, dengan
produksi sebesar 1.839 ton. Jumlah produksi tersebut, melibatkan 3.082
kepala keluarga (kk) petani atau rata-rata setiap kk petani menangani 0,117
hektar atau 1.170 m2.
Kecamatan Pracimantoro yang berbatasan dengan kabupaten
Wonosari, merupakan wilayah yang paling sedikit membudidayakan
tanaman obat dengan luas 7,97 hektar, melibatkan 55 kk petani. Kecamatan
Karangtengah menghasilkan tanaman obat terbesar dibanding kecamatan
lain di kabupaten Wonogiri dengan luas lahan 47 hektar. Pasokan tanaman
obat jahe, dan kunyit paling banyak berasal dari kecamatan ini. Produksi
tanaman obat sejumlah tersebut, melibatkan 222 kk petani.
Berdasarkan data tahun 2002, kabupaten Karanganyar memiliki 504
hektar lahan tanaman obat dengan produksi sebesar 2.342,5 ton tersebar di
13 kecamatan dari total 17 kecamatan (Dinas Pertanian Karanganganyar,
2002). Kecamatan Ngargoyoso yang berada di lereng Gunung Lawu
merupakan daerah penghasil utama jahe dengan produksi sebesar 652,5
71
ton, berasal dari lahan seluas 130,5 hektar, melibatkan sekitar 1.680 kk
petani bilamana rata-rata petani memiliki lahan seluas 0,3 hektar.
Sedangkan kunyit dan kencur lebih banyak terdapat di kecamatan Jumapolo
dengan luas lahan masing-masing 20 dan 35 hektar dengan hasil produksi
175 ton kunyit dan 60 ton kencur. Dari kedua kabupaten tersebut, jahe
merupakan tanaman obat paling banyak ditanam dibanding lainnya.
Kabupaten Boyolali yang berbatasan dengan Surakarta, sangat dikenal
sebagai penghasil kencur yang berkualitas, terutama dipasok dari
kecamatan Nogosari dan Simo. Boyolali juga menghasilkan jahe yang baik,
berada di kecamatan Ampel seluas 280 hektar dengan produksi pada tahun
1999 sebesar 1.540 ton.
Sumber pasokan tanaman obat tersebar di beberapa kabupaten
seperti : Karanganyar, Wonogiri, Boyolali termasuk Malang, Madiun dan
Pacitan menjadi sumber pasokan penting untuk agroindustri farmasi besar
yang berada di sekitar Solo dan Semarang serta industri skala menengah
kecil yang berada di kabupaten Sukoharjo hingga Cilacap.
Teknik budidaya tanaman obat yang digunakan petani umumnya
berdasarkan informasi secara turun temurun dan hasil olah pengalaman
petani sendiri. Beberapa petani menjadi anggota kelompok petani
memperoleh masukan dari pertemuan kelompok atau dari petani yang lebih
diandalkan. Kehadiran petani yang memiliki pengetahuan lebih, bertindak
sebagai pembina untuk rekan petani lainnya dan keberadaan merekan
sangat membantu.
b. Penanganan pascapanen
Penanganan pascapanen tanaman obat tidak memerlukan peralatan
yang mahal. Kegiatan pembersihan, dan bilamana dilanjutkan dengan
pengeringan atau penggerusan menjadi serbuk dilakukan secara padat karya
dan cenderung melibatkan anggota keluarga. Proses perajangan umum
dikerjakan oleh buruh perempuan, sedangkan tenaga kerja laki-laki lebih
menangani kegiatan pengeringan. Proses pengeringan memerlukan tenaga
fisik lebih besar, mengingat bahan baku yang dihamparkan pada lantai
72
pengeringan harus dibalik beberapa kali, kemudian dilakukan penataan
gudang.
Tanaman obat bentuk segar lebih dipilih sebagai produk yang dijual
petani dengan alasan lebih mudah penanganan, tidak memerlukan waktu
dan tenaga serta langsung dijual guna memperoleh uang tunai. Tanaman
obat segar tersebut, biasanya dijual dengan kondisi tanpa sortasi sehingga
berakibat bervariasinya ukuran dan kondisi bahan baku. Bilamana petani
menilai bahwa harga pembelian bahan baku tidak menarik maka tanaman
obat tetap dibiarkan tidak dipanen.
Penanganan bahan baku segar harus dilaksanakan segera untuk
mencegah kerusakan. Petani biasa menyimpan bahan baku di dalam rumah
tempat tinggal atau pada bangunan sederhana di pekarangan yang
diperuntukkan sebagai gudang. Cara menyimpan bahan baku dengan
ditumpuk di atas tanah atau di atas para-para dalam kemasan karung bekas
berisi bahan baku irisan kering.
Cara perhitungan biaya pada tingkat petani terbatas pada komponen
biaya yang langsung dikeluarkan seperti biaya bibit, sewa lahan bilamana
lahan tidak dimiliki sendiri, biaya pemeliharaan tanaman dan biaya buruh.
Apabila tenaga keluarga dipakai atau dilibatkan maka tidak dikatagorikan
sebagai penyumbang biaya. Kegiatan yang dilakukan saat panen terdiri
dari :
1. melakukan pencabutan/ pembongkaran tanaman yang telah memenuhi
umur panen dengan bantuan garpu.
2. membersihkan rimpang dari tanah, diikuti pemotongan sulur/ akar
tanaman.
3. membersihkan tanah dengan pencucian menggunakan air bertekanan
sehingga tanah-tanah yang melekat akan jatuh dan kulit tidak cacad atau
tergores. Namun, biasanya petani hanya melakukan pencucian
sekedarnya.
4. mengemas dalam karung seberat 50 sampai 60 kilogram bilamana dijual
dalam bentuk segar menggunakan karung bekas.
73
c. Kehidupan petani tanaman obat
Berdasarkan hasil pengamatan, petani terlibat di dalam kelompok
sebagai sarana berbagi pengalaman serta membahas berbagi masalah usaha
tani secara umum. Pelaksanaan pertemuan kelompok tidak diatur secara
kaku dan dapat dilaksanakan dimana saja. Pengurus desa ada yang terlibat
aktif untuk mengembangkan pengetahuan petani, tetapi lebih sering petani
berusaha sendiri memperoleh masukan dari petani lainnya anggota
kelompok. Walaupun terdapat tenaga penyuluh dari kantor dinas kabupaten,
cakupan penyuluhan belum menjangkau petani yang letaknya lebih di
pelosok.
Menurut petani, program penyuluhan jarang diperoleh sehingga
petani cenderung menyelesaikan permasalahan sendiri. Bentuk kerjasama
melibatkan petani ditemui di daerah observasi antara lain:
1. Kerjasama industri dan lembaga penelitian untuk mengembangkan
tanaman tertentu dan mendorong petani membudidayakan dan
mengelola pascapanen secara tepat. Contoh : kerjasama antara Balai
Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu dengan agroindustri farmasi
tertentu yang melakukan pembinaan dengan petani-petani setempat.
Selanjutnya hasil produksi petani tersebut dipasok ke agroindustri
farmasi dimaksud, dengan terlebih dahulu menyepakati teknis
pemasokan dan harga pembelian.
2. Kerjasama antara agroindustri farmasi dan pemerintah daerah dalam
program pembinaan petani pada desa-desa yang ditetapkan. Contoh :
pemerintah daerah kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Air
Mancur.
3. Kerjasama langsung antara industri dengan kelompok tani yang menjadi
pembinaan dari petani andalan seperti dijumpai di Wonogiri kemudian
memasok bahan baku ke agroindustri farmasi yang membina.
Dari pertanyaan yang diajukan melalui kuisioner kepada 30 responden
petani mengenai , “ pernahkah mendapatkan penyuluhan dan dari instansi
mana “, diperoleh hasil 60 % responden tidak pernah mendapatkan
74
bantuan penyuluhan dari instansi manapun dan sisanya menjawab
kadangkala penyuluhan diperoleh.
Pihak yang memberikan penyuluhan berasal petugas kecamatan, atau
dinas perkebunan kabupaten. Dari tiga perusahaan yang menjadi responden,
memang telah melakukan penyuluhan pada kelompok petani sebagai bagian
dari kegiatan pengembangan lingkungan tetapi masih bersifat insidental.
Sejumlah 76 % responden petani mengatakan tidak terdapat hubungan
dengan agroindustri farmasi besar maupun menengah-kecil.
Pada kenyataannya, petani cenderung mengandalkan sesama petani
yang lebih memiliki akses dan selanjutnya bertindak sebagai pedagang
pengumpul desa dalam pola dagang atau istilah di desa disebut jual putus.
Prinsip jual beli sederhana dengan aturan yang mudah, lebih dimengerti
oleh petani dimana antara petani dan pembeli lebih berpegang pada unsur
kepercayaan dengan ketentuan formal yang longgar.
Untuk mengetahui faktor penentu dalam menetapkan keputusan
menjual diajukan pertanyaan apa alasan keputusan menjual kepada pihak
pembeli tertentu atau menjual bebas. Hasilnya adalah 74 % menyatakan
harga merupakan alasan utama keputusan menjual pada pembeli tertentu
atau bebas. Faktor lain yang menjadi pertimbangan selain harga adalah: (1)
kontinuitas pembelian (2) standar penolakan kualitas, (3) bantuan
pembinaan pascapanen, (4) bantuan peningkatan kesejahteraan dan (5)
informasi.
Selain pedagang pengumpul desa, pejabat desa atau perwakilan
kelompok petani yang aktif dapat bertindak sebagai mediator dalam
pemasaran hasil panen petani. Petani yang memiliki akses pemasaran ke
agroindustri farmasi akan diminta membantu menjual bahan baku milik
petani lainnya.
Pedagang pengumpul membeli bahan baku dengan kondisi harga beli
lokasi petani sehingga petani tidak harus mengupayakan alat transportasi.
Alternatif lain adalah menjual tanaman obat melalui pasar yang hanya
dibuka pada “hari pasaran”. Pasaran adalah hari dalam penanggalan Jawa
saat pembeli dan penjual bertransaksi. Petani yang menjual hasil di hari
75
pasaran memiliki pilihan pembeli walaupun perbedaan antara satu pembeli
dan pembeli lain tidak terlalu mencolok. Pola penjualan ini ditemui di
daerah Slahung dan Caruban. Petani tanaman obat datang dari berbagai desa
dan menawarkan hasil panennya pada pedagang penerima di pasar
dimaksud dan kemudian transaksi harga berlangsung hingga tercapai
kesepakatan.
Harga menjadi kriteria penting dalam keputusan menjual bahan
baku dibandingkan alasan kedekatan hubungan dengan pembeli. Harga
masih merupakan harapan tertinggi dibandingkan dengan jumlah, kepastian
waktu, frekuensi pembelian, bantuan modal, bibit dan pupuk terhadap
pertanyaan apa harapan petani terhadap pembeli. Tidak jarang petani
dikecewakan oleh perilaku pedagang yang tidak memenuhi janji
pembelian atau menunda pembelian dalam waktu yang tidak jelas.
Merujuk pada hubungan pembeli-pemasok menurut Choi et al.
(2002), hubungan petani tanaman obat dengan pedagang pengumpul
merupakan permodelan hubungan diadik (dyadic buyer-supplier model)
dengan mengandalkan logika resiko ekonomi yang kemudian diatur melalui
kontrak. Ketika pembeli menerapkan tipe kompetitif maka berpeluang
mengatur dan mengkoordinasikan informasi dan pengaturan pertukaran
material. Kepemilikan kendali terhadap aliran informasi tersebut dapat
diarahkan untuk memperoleh manfaat bagi kepentingan pihak pembeli.
Kondisi ini disebut sebagai sifat oportunisme sebagaimana dinyatakan
oleh Williamson di dalam Ghoshal dan Moran (1995) Ketakutan atas resiko
ekonomi, mendorong diterapkannya mekanisme bertahan dalam wujud
negosiasi yang sangat tegas dan kontrak terbatas.
5.3. Pergerakan Harga Tanaman Obat
Rata-rata tanaman obat keluarga Zingiberaceae dipanen pada bulan Mei
sampai dengan Agustus. Pada bulan-bulan ini, bahan baku tersedia dalam
jumlah besar dan menurun memasuki musim penghujan. Pedagang tanaman
obat harus jeli mengamati perubahan harga. Ketidaktepatan menghitung harga
76
saat membeli dari petani dan pada saat kapan dan harga berapa bahan baku
dijual kembali akan berakibat kerugian karena kesalahan penetapan harga jual.
Harga pembelian bahan baku yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul
berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pergerakan harga tersebut dipengaruhi oleh
kegagalan panen di beberapa daerah sumber pasokan, peningkatan produksi
produk dari industri yang membutuhkan pasok tanaman obat tertentu,
peningkatan ekspor atau terdapat pedagang besar yang sengaja menahan
bahan baku di gudang dengan tujuan mencari harga tinggi.
Harga temulawak berada pada kisaran Rp 400,- - Rp 700,- dan relatif
stabil selama dua tahun dibandingkan dengan harga jahe segar berkisar Rp
1.500,- hingga Rp 2.500,- per kilogram pada lokasi gudang petani. Alasan
yang dikemukakan pedagang terhadap perbedaan harga mencolok antara
temulawak dan jahe karena temulawak mudah diperoleh dan penggunaan lebih
terbatas dibandingkan jahe sehingga mengurangi tarik-menarik antara
kebutuhan agroindustri farmasi dengan industri lainnya yang menggunakan
jahe. Jahe dan kunyit selain dimanfaatkan oleh agroindustri farmasi juga
dibutuhkan industri minuman, kosmetik dan keperluan rumahtangga.
-100200300400500600700
Janua
ri
Februa
riM
aret
April
Mei
Juni Ju
li
Agustu
s
Septem
ber
Oktobe
r
Novem
ber
Desembe
r
Gambar 11. Kondisi harga temulawak di lapangan
77
-1.0002.0003.0004.0005.0006.000
Janua
ri
Februa
riM
aret
April
Mei
Juni Ju
li
Agustu
s
Septem
ber
Oktobe
r
Novem
ber
Desembe
r
harg
a / k
ilogr
am (R
p)
Gambar 12. Kondisi harga Jahe di Lapangan
Penyimpanan bahan baku segar memiliki resiko penyusutan berat dan
kerusakan, sehingga petani cenderung menjual secepatnya. Petani memilih
menunda panen atau disimpan sementara pada tempat penyimpanan yang
lembab ketika kondisi harga kurang menarik. Mengubah bentuk tanaman
obat segar menjadi irisan kering pada musim penghujan, cenderung
merugikan karena akan dihasilkan kualitas bahan baku yang kurang baik.
Bahan baku yang dikeringkan pada musim penghujan membutuhkan
jumlah bahan baku lebih banyak dibandingkan saat pengeringan di musim
kemarau. Petani biasa menggunakan istilah satu banding lima yakni lima
kilogram tanaman obat segar untuk menjadikan satu kilogram irisan kering,
dan meningkat menjadi satu berbanding tujuh pada musim penghujan.
Biaya produksi atau biaya budidaya untuk tiga jenis bahan baku
temulawak, jahe dan kunyit dengan menghitung unsur biaya sewa lahan
untuk lahan yang tidak dimiliki sendiri, biaya pupuk, kemasan, buruh tani,
pestisida, bibit diperoleh gambaran sebagai berikut :
78
Tabel 9 Biaya dan hasil produksi / hektar
Komoditas Biaya produksi Hasil produksi/ha
Temulawak Rp 8.250.000,- 12 ton
Jahe Rp 12.000.000,- 15 ton
Kunyit Rp 9.000.000,- 7 ton
Data observasi lapangan bulan Juli 2003
5.4. Permasalahan Petani Tanaman Obat
Terdapat dua permasalahan dihadapi petani yakni akses pasar
menempati urutan pertama diikuti modal kerja. Permasalahan akses pasar
adalah upaya untuk mendapatkan pembeli dengan harga yang lebih baik.
Akses pasar dihadapi oleh petani yang berada jauh di pelosok atau daerah
yang baru berusaha tanaman obat. Daerah yang terjangkau oleh pedagang
pengumpul, membuka peluang disalurkannya tanaman obat hasil panen.
Petani yang lebih dekat kota kecamatan atau kabupaten, lebih leluasa
memperoleh informasi dan mudah membandingkan harga satu tempat
dengan lainnya.
Petani jarang hingga hampir tidak pernah berhubungan dengan lembaga
pembiayaan untuk meminta kredit pinjaman. Kalaupun kendala modal kerja
terjadi, petani lebih sering menyesuaikan dengan kondisi keuangan yang
dimiliki atau melakukan pinjaman secara perseorangan. Keterbatasan ini
berakibat pengelolaan budidaya dilakukan seadanya. Permasalahan petani
tanaman obat sebagaimana terlihat pada tabel 10, terdapat tujuh masalah
dengan tiga masalah dinilai sangat tinggi yakni : akses pasar, modal kerja dan
negosiasi.
79
Tabel 10 Permasalahan Petani
Aspek Uraian permasalahan
Nilai
Akses pasar Ketidakmampuan mencari alternatif pasar industri.
ST
Modal kerja Petani kurang dapat mengakses lembaga keuangan karena persyaratan, kurangpengetahuan, selain lembaga keuangan belum tertarik mendanai produk pertanian.
ST
Teknik pengolahan Kelemahan dalam teknik pengolahan pascapanen.
T
Teknik budidaya Kurang pengetahuan dalam budidaya dan langkah pemeliharaan selama masa tanam
T
Negosiasi Kurang kuat dalam posisi tawar terhadap pihak pembeli.
ST
Fasilitator penyuluh Kurangnya penyuluhan dari fasilitator R
Buruh pengolah Kendala tenaga buruh tani R
ST = Sangat tinggi, T = Tinggi, R = Rendah
5.5. Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul tanaman obat terdiri dari : (1) petani yang
bertindak sebagai pengumpul, dan (2) pedagang bukan petani, yang semata
berdagang tanaman obat. Pedagang pengumpul desa adalah orang yang
melakukan pengumpulan tanaman obat langsung dari petani. Kemampuan
pengumpulan rata-rata kurang dari lima ton per bulan. Pedagang pengumpul
desa aktif mencari pasokan hingga sumber-sumber yang jauh di pelosok
dengan mendatangi rumah-rumah petani atau petani mengirimkan bahan
baku ke gudang yang ditunjuk.
Petani yang menanam jahe di sekitar lereng gunung misalnya sangat
memerlukan kehadiran pedagang pengumpul mengingat lokasi yang sulit
dicapai. Pedagang pengumpul desa yang berasal dari komunitas sama dengan
petani tanaman obat lebih memahami persoalan di lapangan atau kebutuhan
petani sehingga pola hubungan cenderung informal.
80
Pedagang menengah yang berdomisili di kota kecamatan atau
kabupaten memperoleh pasokan baik dari pengumpul desa dan petani.
Kemampuan membeli tanaman obat berkisar 25 hingga 50 ton per bulan.
Sedangkan pedagang menengah-besar mampu membeli di atas 50 ton per
bulan. Pedagang menengah-besar mampu menyediakan gudang penyimpanan
dan fasilitas pendukung lainnya seperti areal penjemuran maupun truk
pengangkut. Besar kecilnya pedagang pengumpul juga tergantung pada
kesanggupan mengumpulkan jumlah maupun jenis komoditasnya.
Berdasarkan wawancara nara sumber, pasar tanaman obat mengenal
spesialisasi pengumpulan seperti spesialis tanaman obat dasar, daun-daunan,
batang atau tanaman obat yang spesifik sesuai kebutuhan. Tanaman obat
keluarga Zingiberaceae disebut sebagai bahan baku dasar yang relatif dapat
dilakukan oleh setiap pedagang pengumpul.
Pedagang pengumpul biasa mengenakan pemotongan berat tanaman
obat yang dipasok petani sebesar 5 % hingga 10 %, yang dianggap sebagai
faktor cemaran. Bilamana diketemukan cemaran seperti ranting, tanah dan
faktor pemberat lain dilakukan pengecekan total atas seluruh kemasan.
Standar pemeriksaan kualitas tanaman obat yang dipasok petani ditinjau dari
kenampakan visual, faktor kebersihan, ukuran, dan kebenaran jenis.
Pembelian tanaman obat dari petani umumnya dibayar secara tunai.
Pendekatan ini disukai oleh petani karena tidak terdapat penundaan dan
sederhana.
Pedagang pengumpul dengan kemampuan lebih tinggi akan mengolah
kembali bahan baku sehingga memiliki nilai tambah. Pada musim penghujan
dimana bahan baku sulit diperoleh, harga akan meningkat dan kadang disertai
kelangkaan. Sebagai contoh, harga pembelian jahe segar pada bulan
Desember 2004, berkisar Rp 3.500,- per kilogran harga irisan kering Rp
25.000,- per kilogram. Penetapan harga jual di tingkat pedagang pengumpul
umumnya naik 15 % hingga 20 % dibanding harga pembelian dari petani.
Kerjasama pedagang dan petani tidak menggunakan ikatan kontrak
formal. Pedagang dan petani bebas menjalin dan memutuskan hubungan.
Hubungan yang terjalin antar dua pihak terbentuk atas nilai-nilai :
81
1. kemampuan memberi harga yang baik
2. saling percaya / hubungan
3. kemudahan
4. kedekatan jarak / hidup di desa yang sama
5. rekomendasi petani sebelumnya
Pedagang pengumpul yang ditemui di daerah penelitian tidak terbiasa
bergabung pada suatu organisasi satu profesi dengan alasan tidak perlu,
membuang waktu, tidak bermanfaat, dan karena persaingan. Kondisi ini oleh
Choi et al. (2002) dikatakan sebagai model pemasok-pemasok yang
kompetitif. Pengertiannya adalah pemasok diibaratkan memasang dinding
pembatas dengan interaksi yang minimum atau tidak terdapat hubungan sama
sekali.
Pembeli secara independen berinteraksi dengan masing-masing
pedagang pengumpul. Aktivitas mencari pasokan tanaman obat biasa
menggunakan petani yang telah terlebih dahulu menjalin hubungan usaha dan
kemudian secara berantai menginformasikan pada petani lain akan adanya
pengumpul yang membutuhkan tanaman obat atau mendatangi petani di pusat
sumber pasokan.
Pedagang tingkat kabupaten umumnya didatangi oleh pengumpul desa
dibanding melakukan pencarian ke sumber pasok, terkecuali apabila terdapat
kesulitan bahan baku. Hubungan usaha dengan pengumpul memberikan
manfaat bagi petani, dari segi informasi walau sifatnya terbatas pada
kebutuhan tanaman obat dan tidak mendalam seperti bagaimana
meningkatkan kualitas dan bentuk pembinaan lainnya.
Pengumpul desa mengumpulkan tanaman obat dari berbagai desa
sumber pasok sejumlah yang dibutuhkan kemudian dilakukan proses sortasi
sederhana, dan disalurkan kepada pedagang pengumpul berikutnya. Pedagang
pengumpul dimaksud akan melakukan proses lanjutan berupa pembersihan,
pencucian, pengeringan, dan pemisahan kelas/grade atau diubah bentuk
menjadi irisan kering, bubuk atau sediaan galenik.
Jenis komoditas yang diperdagangkan tidak terbatas tergantung dari
permintaan, tetapi umumnya berupa tanaman obat dasar seperti kunyit,
82
temulawak, jahe, lempuyang, kencur dan kelompok temu-temuan. Ditinjau
produk yang dihasilkan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Petani menghasilkan bahan baku basah/segardalam kondisi bersih tanah.
2. Pengumpul desa menghasilkan bahan baku basah/segartersortasi dan
bersih lanjut.
3. Pedagang pengumpul kabupaten menghasilkan bahan baku
basah/segartersortasi menurut ukuran, bersih, terkemas rapih dan bahan
baku irisan kering cerah dan terkemas.
Peran petani, pedagang, industri dan proses yang ditangani dapat dilihat
pada Gambar 13.
Gambar 13 Aktor pada rantai pasokan tanaman obat.
Petani berperan sebagai produsen yang menghasilkan tanaman obat
segar dengan kondisi tanaman obat bersih dari tanah. Pedagang pengumpul
Harga Jual produk ++
Petani Proses : budidaya,
panen, pascapanen
Rimpang segar. Bersih tanah tidak merata.
Proses : pengumpulan,
pemisahan,
Rimpang basah/segarbersih atau kering
Pedagang pengumpul
desa
Uang, info
Harga Jual produk
Pedagang pengumpul kabuputen
Proses : olah lanjut – kering/ bubuk, grading, kemasan, label
Harga Jual produk+
Uang, info
Rimpang basah/segar bersih/ kering iris/ bubuk.
Industri
Uang Info
83
berperan sebagai perantara yang berfungsi menerjemahkan informasi
umumnya berupa jenis, jumlah dan waktu tanaman obat yang harus dipasok.
Pembeli berusaha mencari maksimasi utilitas dalam situasi pasar tidak
menentu dan berusaha melakukan perhitungan bersifat protektif dalam rangka
mengurangi resiko kerugian transaksi. Terdapat dimensi kritis yang
mempengaruhi biaya transaksi yakni ketidakpastian kuantitas, kualitas,
harga, frekuensi transaksi dan penggunaan aset. Tingkat kehilangan saat
bertransaksi menjadi tinggi bilamana penyediaan aset tidak dipertimbangkan
secara seksama. Kehilangan dimaksud terjadi ketika fasilitas yang disediakan
tidak dimanfaatkan, pemborosan tenaga kerja akibat bahan baku tidak
mengalir sebagaimana waktu ditetapkan. Kondisi ini membentuk perilaku
tertentu, seperti penetapan pemotongan kualitas 5 – 10 %, sebagaimana
pada tanaman obat.
Terdapat keterkaitan antara harga beli komoditas pada kondisi pasar
dan perilaku pembeli tertentu, sehingga terjadi pemberlakuan kesepakatan
kontrak yang berbeda antara pembeli dan penjual. Penetapan harga pada
kondisi pasokan tanaman obat melimpah, mendorong harga beli turun.
Sedangkan pemeriksaan kualitas lebih ketat terhadap pemasok tertentu
dibanding lainnya sebagaimana teori biaya transaksi yang diaplikasikan untuk
menghindari akikbat kerugian.
Hubungan penjual dan pembeli akan mempengaruhi negosiasi
keduabelah pihak pada saat transaksi. Peraturan lebih tegas ditetapkan oleh
agroindustri farmasi yang melakukan ttransaksi dengan pedagang dimana
waktu pengiriman, jumlah, jenis tanaman obat, harga, kemasan dan jenis
angkutan ditetapkan secara jelas. Ketidakpatuhan atas aturan yang ditetapkan
oleh satu pihak berakibat kerugian pihak lainnya.
Secara umum, aktivitas perdagangan tanaman obat dapat
dikelompokkan tiga bagian yakni : mencari dan mengumpulkan aneka
tanaman obat, proses pengolahan lanjutan dan pemasaran/pendistribusian.
Berdasarkan masukan responden, terdapat beberapa jenis jalur
pendistribusian tanaman obat yakni :
84
1. pasokan didistribusikan ke pasar induk, misal pasar induk Jakarta dan
Surabaya.
2. pendistribusian kepada pedagang antar pulau.
3. distribusi pasokan bagi pemenuhan ekspor.
4. distribusi pasokan untuk keperluan pedagang antara yang memiliki
pesanan pabrik.
5. pasokan langsung menuju pabrik.
6. distribusi sedia galenik atas dasar pesanan.
Pertimbangan pedagang dalam menentukan harga jual kepada pembeli
berikutnya akan ditinjau dari pegerakkan harga tanaman obat. Resiko yang
ditanggung pedagang yang menempati urutan pertama adalah harga diikuti
kerusakan dalam penyimpanan. Apabila pedagang pengumpul berkeinginan
menarik petani sebagai sumber pemasok berjangka panjang maka nilai utama
adalah :
1. kemampuan pasokan,
2. kestabilan kualitas,
3. pemenuhan jadwal kirim.
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, kaum perempuan lebih
mengambil peran sebagai negosiator dalam melakukan transaksi,
pengecekan kualitas dan menentukan keputusan membeli atau menjual.
Adapun tenaga lelaki berperan besar dalam hal pencarian sumber pasokan,
pengelolaan bahan baku dan pendistribusian ke lokasi penyimpanan pembeli.
5.6. Agroindustri farmasi
Agroindustri farmasi penghasil fitofarmaka mempersyaratkan
kandungan zat aktif standar sesuai dengan persyaratan dosis. Karenanya,
industri melakukan pemetaan kandungan zat khasiat aktif optimal dari daerah
sumber pasokan. Namun rendahnya kemampuan pasokan bahan baku petani
dan kestabilan kualitas menambah kesulitan pemrosesan di tingkat pabrikan.
Industri lebih memilih membeli dari pedagang dengan alasan keamanan,
kepercayaan, bahan baku sudah terklasifikasi, dan dikemas.
85
Industri menetapkan jumlah pesanan bahan baku untuk setiap satuan
pengiriman dimana jumlah tersebut kurang memungkinkan dipenuhi oleh
petani. Petani mampu memasok bahan baku ke industri apabila bergabung
dalam satu kelompok. Pemasok baru yang belum tercatat di dalam daftar
rekanan pemasok harus memasukkan sampel terlebih dulu dan apabila
diterima baru kemudian diterbitkan surat pemesanan.
Beberapa responden pengumpul menyatakan tidak mudah untuk
diterima sebagai rekanan karena harus memenuhi persyaratan yang ketat
mencakup kemampuan pasok, kontinuitas pasokan, kestabilan kualitas dan
kualitas serta kemampuan pengelolaan.
Prosedur pembelian oleh agroindustri farmasi dimulai dari tahapan :
(1) penerimaan sampel,
(2) penetapan pesanan pembelian disertai ketetapan jadwal pengiriman,
(3) penyerahan barang,
(4) pemeriksaan kualitas,
(5) pembayaran.
Prosedur pembelian demikian dipandang oleh petani terlalu birokratis
dan menyita waktu. Cara pembayaran yang dilakukan industri kurang
fleksibel dibandingkan pedagang pengumpul dimana pembayaran ditetapkan
tiga minggu hingga dua bulan kemudian. Berbeda dengan pembelian bahan
baku oleh pedagang pengumpul yang dilakukan secara tunai. Bahkan
terhadap petani yang sudah sangat dikenal, pedagang pengumpul dapat saja
bertindak meminjamkan dana bilamana terdapat kebutuhan mendesak yang
dianggap sebagai pembayaran dimuka.
Hubungan industri dengan pemasok memiliki pola : a) industri –
pedagang pengumpul, b) industri – kelompok petani, dan c) industri -
lembaga perantara Berdasarkan informasi responden pola hubungan industri
dan pedagang pengumpul paling banyak ditemui. Pembelian langsung kepada
petani terutama dilakukan melalui kelompok petani terutama hasil pembinaan
atau melalui lembaga perantara yang menjalin hubungan dengan petani.
Lembaga dimaksud seperti balai penelitian sebagaimana dilakukan kerjasama
oleh BPTO Tawangmangu.
86
Terdapat tujuh aspek yang menjadi pertimbangan agroindustri farmasi
dalam pengadaan bahan baku dan hubungan dengan pemasok berdasarkan
hasil wawancara responden sebagaimana dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Aspek pengadaan bahan baku industri
No Aspek Deskripsi
1 Harga Ditetapkan berdasar harga yang berlaku di pasar. Industri akan membandingkan posisi pasokan dan permintaan untuk perkiraan tahun mendatang
2 Sediaan (stock) Diputuskan berdasarkan rencana pemasaran, rencana produksi tahun mendatang, posisi stock tersedia, dan ketersediaan pasokan
3 Seleksi pemasok Ditinjau dari hasil sampel yang dikirimkan, kemampuan pasokan, kesediaan memenuhi persyaratan dan dalam bentuk terbatas dilakukan tinjauan lokasi permrosesan.
4 Pembelian Pembelian terbatas dalam jangka pendek, setelah persyaratan dipenuhi. Hubungan lebih lama didasarkan pada kinerja pemasok.
5 Pembayaran Ditentukan dari keseluruhan hasil pemeriksaan kualitas pasokan baik pemerian maupun uji laboratorium, dan bilamana administrasi telah selesai.
6 Pengiriman dan penerimaan
Terhadap pemasok baru, melalui pengiriman sampel dan pasokan dalam skala percobaan dengan pemeriksaan lengkap.
7 Kerjasama Dijalin sebagai bagian dari hubungan pemasok, khususnya terhadap pemasok yang telah berhubungan lama. Pembinaan ditujukan pada penanganan pascapanen.
Masyarakat peminum jamu berdasarkan wawancara responden ahli dari
industri, umumnya berasal dari segmen bawah yang peka terhadap harga.
Harga jamu di beberapa gerai penjualan berdasarkan pengumpulan data bulan
Desember 2004, berkisar antara Rp 700 – Rp 1.000,- per sachet ukuran 7
gram dengan kandungan lima hingga delapan jenis tanaman obat.
87
Tidak terdapat standarisasi penggunaan tanaman obat antar industri
untuk tujuan yang sama. Sebagai contoh, jamu sehat lelaki akan
mengandung tanaman obat yang berbeda antar satu industri dengan industri
lainnya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Kandungan tanaman obat pada jamu
No Keterangan Jenis
Jamu
Curcuma.
xanthoriza
Curcuma
domestica
Zingiber
officinale
Zingiber
aromatica
Zingiber
purpurei
Languatis
rizhoma
Kampferia
rizhoma
Temulawak Kunyit Jahe Lempuyang Bengle Lengkuas Kencur
1 Jerawat Nirmalasari
(AM) x x x
2 Encok (AM) x x x
3 Benkwat (AM) x x
4 Kuat Majun (AM) x x x x
5 Sehat lelaki (AM) x x x x
6 Jaket Jampur sari
(AM) x x x x x x x
7 Sesak Napas (AM) x x
8 Sanggageni (AM) x x
9 Sehat P erempuan
(AM) x x x x
10 Tujuh Angin (AM) x x
11 RaLinu (AM) x x x
12 Seger (AM) x x x x
13 Pegal Linu (SM) x x x x
14 Sehat wanita (SM) x x
15 Galian Sehat (NM) x
AM = Air Mancur SM = Sidomuncul
NM = Nyonya
Meneer
5.7. Identifikasi Resiko
Berdasarkan analisis resiko, petani menghadapi kemungkinan kerugian
atau kehilangan/ losses disebabkan gagal panen, panen yang tidak optimal
maupun kehilangan karena penangangan pascapanen yang kurang baik,
resiko kerusakan saat pengiriman dan kerugian harga. Kondisi harga yang
ditetapkan pengumpul cenderung diterima mengingat kemampuan
pemenuhan kualitas bahan baku pasokan, terkecuali bilamana tanaman obat
tertentu sedang sulit diperoleh. Contohnya, tanaman harga selama tiga kali
88
masa pengamatan sejak tahun 2003 berada pada harga yang lebih tinggi
dibanding tanaman obat satu keluarga Zingiberaceae, karena kekurangan
pasokan. Apabila kondisi dimaksud terjadi, maka posisi tawar petani menjadi
lebih kuat sehingga petani leluasa memilih pembeli yang dapat memberikan
harga lebih baik.
Gejolak harga dapat mengakibatkan pedagang pengumpul menderita
kerugian. Kondisi ini terjadi ketika harga jual bahan baku tiba-tiba menurun
sehingga harga pembelian dari petani beberapa waktu sebelumnya menjadi
lebih tinggi. Seorang pedagang pengumpul maupun industri harus memiliki
ketajaman pengamatan terhadap harga, kemampuan menganalisis pasokan
dari berbagai daerah dan perkiraan tanaman obat yang masih tersimpan di
beberapa pedagang besar atau di gudang industri, perkiraan produksi
industri, baru kemudian mengambil keputusan secara tepat apakah sudah
saatnya menjual bahan baku yang dimiliki atau tersimpan di gudang.
Pedagang pengumpul juga menghadapi resiko kerugian akibat pasokan
tercemar benda asing hasil dari perilaku petani yang kurang jujur maupun
cara penanganan pascapanen yang kurang baik. Campuran tanah, ranting,
daun dan kotoran lain, bila tidak diperhatikan secara seksama pada saat
penerimaan bahan baku dari petani akan merugikan pengumpul. Tidak saja
mengurangi berat bersih dari tanaman obat yang diterima, tetapi juga
memerlukan tambahan aktivitas melakukan pembersihan dengan
mengerahkan tenaga buruh.
Pemberat bahan baku merupakan cara tidak etis yang dilakukan petani
agar memperoleh pendapatan tinggi. Namun, perilaku tersebut mendorong
pedagang pengumpul melakukan tindakan pencegahan dengan
memberlakukan potongan berat 5 – 10 % yang dinyatakan sebagai faktor
cemaran dan mencatat petani yang terbukti telah melakukan pelanggaran
dengan kemudian hari tidak lagi bersedia menerima pasokan dari petani
dimaksud.
Resiko lain yang dihadapi pedagang adalah penyusutan berat bahan
baku segar bilamana tidak segera dijual adalah kerusakan penyimpanan
seperti patah, kulit keriput, busuk, dan perubahan warna kenampakan visual.
89
Pihak yang memiliki kendali lebih kuat dapat mengalihkan resiko kepada
pihak lain, berbeda dengan petani yang sulit untuk melakukan hal serupa
kepada pihak manapun. Bilamana pembeli menemukan kondisi bahan baku
tidak memenuhi persyaratan, pembeli dapat melakukan tindakan untuk
mengurangi resiko dengan cara :
1. penurunan/pemotongan harga beli bahan baku
2. pengenaan potongan kualitas lebih besar dari 5 %
3. pengurangan frekuensi pasokan,
4. pengawasan lebih ketat dan inspeksi 100 %
5. penangguhan pengiriman
6. penghentian pembelian
Pemasok yang diketemukan masih mempunyai perilaku kurang etis
dengan memberikan tanaman obat yang tidak sesuai persyaratan standar
kualitas. Pengenaan potongan kualitas adalah sebagai bentuk pinalti atas
kontaminan yang sengaja disisipkan atau karena faktor penanganan
pascapanen yang kurang baik. Pihak pembeli dapat bertindak selaku
pengendali bagi pihak lainnya dengan standar perlakuan yang ditetapkan
bagi kepentingan operasional.
Luas cakupan pengendalian akan berbeda satu sama lain tergantung
pada upaya mengamankan standar dan kelancaran aliran pasokan. Pengertian
pengendalian adalah kekuatan untuk mengatur atau menetapkan ketentuan
yang harus dipatuhi oleh pihak pemasok. Konsekwensi pemasok yang
kurang mampu memenuhi persyaratan industri akan berakibat tidak dipilih
sebagai pemasok.
Kedudukan pemasok lebih mudah dihilangkan dan dapat digantikan
dengan pemasok lainnya. Sebagai contoh, industri dapat mewajibkan
pemasok memenuhi ketentuan antrian pengiriman. Terhadap pemasok yang
tidak memenuhi ketentuan akan berakibat terkena penjadwalan ulang yang
sudah tentu akan berdampak pada penambahan biaya operasional yang
dipergunakan untuk sewa kendaraan atau membayar supir dan buruh. Lama
proses penyelesaian setiap satuan pengiriman tergantung jumlah kemasan
90
yang diangkut dan kecepatan penimbangan. Pemasok dalam urutan berikut
harus menunggu proses pemeriksaan pemasok sebelumnya.
Dibandingkan dengan industri, pengendalian di tingkat pedagang
pengumpul relatif lebih fleksibel dan lebih leluasa melakukan negosiasi.
Pedagang pengumpul lebih melihat siapa petani pemasok berdasarkan kinerja
lalu. Bilamana catatan pengiriman di masa lalu tidak pernah menghasilkan
cacad yang tinggi, maka kemasan relatif tidak dibongkar seluruhnya tetapi
cukup secara sampel acak.
Resiko industri dapat diakibatkan oleh pihak pada rantai pasok
sebelumnya dan kelemahan internal dari industri sendiri. Bilamana kondisi ini
terjadi, maka tanggungan resiko industri mencakup bidang operasional,
pemasaran, dan keputusan manajemen. Variasi kualitas bahan baku sebagai
contoh, merupakan bentuk resiko disebabkan pihak pada rantai sebelumnya.
Apabila kondisi ini ditemui, pihak industri akan menetapkan keputusan
operasional seperti pemeriksaan ulang, penataan kembali proses persiapan
bahan baku dan perubahan perhitungan produksi.
Produk obat tradisional umumnya mengandung lima jenis tanaman
obat. Kontinuitas pasokan dari seluruh jenis tanaman sangat menentukan
kelancaran produksi. Kelangkaan pada salah satu jenis tanaman obat, akan
beresiko gangguan produksi produk tersebut walaupun tanaman obat lainnya
telah tersedia.
Sebagian resiko industri dapat dialihkan pada rantai pasokan
sebelumnya, tetapi kesalahan akibat kebijakan dan keputusan manajemen
lebih ditanggung oleh pihak industri. Kesalahan mengantisipasi pergerakan
pasar dan berakibat pada ketidaktepatan keputusan manajemen atas
perencanaan pengadaan bahan baku dan pengaturan aliran pasokan, akan
menjadi tanggungan industri. Pembelian bahan baku dalam jumlah besar saat
panen raya, berakibat diperlukannya pengaturan penyimpanan secara baik dan
kebutuhan kapasitas gudang.
Penyimpanan dalam jangka lama memerlukan pencahayaan,
kelembaban, kebersihan, penyusunan agar terhindar dari kerusakan bahan
baku berupa kontaminasi, perubahan kenampakan dan kandungan senyawa
91
aktif. Bentuk pengendalian pemasok yang dilakukan industri dan pedagang
diklasifikasikan : pengendalian atas produk, pasokan, harga dan perlakuan.
Yang dimaksudkan dengan pengendalian produk adalah ketentuan bentuk
pasokan dalam jenis segar, atau kering dengan persyaratan bentuk, ukuran,
kadar air, kenampakan visual dan berat per rimpang.
Tabel 13 berikut ini memperlihatkan ruang lingkup proses yang
dilakukan pada masing-masing mata rantai, resiko dan komponen biaya yang
ditanggung oleh masing-masing pihak.
Tabel 13 Proses – Resiko – tanggungan biaya pada rantai pasokan
AKTOR Keterangan Petani Pedagang pengumpul
Agroindustri
farmasi Proses Budidaya
Pascapanen Penyediaan bahan baku basah/segar
Sortasi basah/segar Perajangan Pengeringan menjadi bentuk kering tipis Penggerusan menjadi bubuk Pengemasan Peracikan menjadi sediaan galenik
Pengolahan produk jadi, diawali dengan persiapan bahan baku Penelitian Pemasaran
Resiko Rusak panen Rusak pascapanen Rusak seleksi rimpang segar/basah/segar Kerusakan saat pengiriman Resiko harga
Kontaminan Kerusakan saat penyimpanan Kerusakan saat pengiriman Kerugian saat menunggu antrian pemeriksaan pabrik Fluktuasi harga
Keragaman kualitas bahan baku Pemrosesan ulang Penambahan sumber daya dan modal kerja
Biaya Budidaya Proses panen Pascapanen Pengangkutan
Sortasi Perajangan dan pengeringan Penyimpanan Pengiriman
Proses ulang Kualitas rendah Variasi proses Pemeriksaan
92
Pengendalian pasokan adalah ketentuan frekuensi pengiriman per satuan
waktu, waktu atau jadwal pengiriman yang terdiri hari dan jam pengiriman,
jumlah pengiriman dan dalam kasus tertentu menetapkan jenis angkutan
berupa angkutan truk ukuran tonase tertentu. Pengendalian harga juga
dilakukan pembeli berupa penetapan harga pembelian per kilogram,
pengurangan harga bilamana kualitas tidak memenuhi syarat dan cara
pembayaran. Untuk memperoleh tingkat kualitas pasokan, pembeli industri
akan menetapkan pemeriksaan kualitas, pemrosesan administrasi dan
pengaturan tertentu.
Tabel 14 Bentuk pengendalian vertikal
Intensitas Katagori Bentuk pengendalian Industri Pedagang
Jenis produk T T Kemasan S R
Produk
Standar Produk T S Frekuensi Pasokan T S Waktu pengiriman T S Jumlah per pengiriman T R
Pasokan
Jenis angkutan R R Penetapan harga T S Bentuk pinalti S R
Harga
Cara pembayaran T R Pemeriksaan kualitas S S Prosedur pemrosesan R R
Perlakuan
Petugas pengiriman S R T= tinggi; S = Sedang; R = Rendah
VI. REKAYASA SISTEM RANTAI PASOKAN
Tujuan manajemen rantai pasokan dalam penciptaan nilai, profitabilitas, dan
keunggulan bersaing dari perspektif pembeli, didekati melalui konsep jaringan yang
memfokuskan pada keterhubungan pemasok-pemasok secara kooperatif. Pemasok
satu dan lainnya yang bergabung dalam satu jaringan saling bertukar informasi,
sehingga lebih memahami kebutuhan pembeli dan pencapaian tujuan dibandingkan
apabila dilakukan sendiri.
Kkarakteristik jaringan yang menekankan pada hubungan antar pihak menurut
Choi et al. (2002); Barba et al. (1998) mempersyaratkan perilaku: kemauan bekerja
bersama secara erat, berbagi keahlian, pengetahuan teknologi, aset maupun sumber
daya yang akhirnya memberikan kepuasan bagi pelanggan yang menjadi tujuan
pasokan.
Teori jaringan yang telah dibangun oleh peneliti terdahulu, direkayasa pada
sistem pasokan bahan baku agroindustri farmasi dimana rantai pasokan distruktur
ulang sehingga memungkinkan terjalin keterhubungan horisontal antar pemasok
dan selanjutnya secara vertikal menjalin hubungan dengan pembeli industri.
Jaringan diharapkan menyatukan sumber daya yang terpisah-pisah, keragaman
kemampuan petani, menjadi kegiatan yang mencakup aspek pemasaran, produksi,
pembiayaan, legalitas sehingga mampu menjawab tantangan usaha. Mengingat
terdapatnya orang-orang, fasilitas, aliran fisik dan informasi maka diperlukan
pengorganisasian aktivitas, sehingga jaringan juga ditinjau dari aspek organisasi.
Hakekat berjejaring bukan dilandasi oleh semangat siapa memanfaatkan
siapa, tetapi memadukan berbagai kekuatan yang dimiliki masing-masing anggota
untuk menutup setiap kelemahan yang dimiliki. Kondisi masyarakat jaringan akan
membentuk komposisi yang semula ruang hubungan manusia direstruktur menjadi
jaringan socio technological akibat peningkatan pemahaman kehidupan ekonomi
modern dan sosial (Murdoch, 2000).
94
6.1. Aliran Bahan Baku
Bahan baku mengalir dari petani melalui satu hingga tiga pedagang
pengumpul pada rantai pasokan sebelum sampai ke industri (lihat tabel 15).
Walaupun terdapat spesialisasi pengumpulan bahan baku tanaman obat, tetapi
rata-rata pengumpul memperdagangkan aneka tanaman obat jenis rimpang,
akar, daun, maupun buah. Daerah pengumpulan tergantung kemampuan
masing-masing pengumpul dalam menjangkau desa sumber pasokan hingga
lokasi terpencil.
Dengan kehadiran jaringan, bahan baku mengalir dari petani ke industri
sesuai dengan pengaturan dari pusat lembaga guna memenuhi kebutuhan
industri. Kendala kemampuan petani yang terbatas untuk mencukupi
permintaan industri dipecahkan dengan menghimpun sejumlah petani yang
berdekatan yang berhimpun dalam satu kelompok.
Tabel 15 Aliran bahan baku pada rantai pasokan
Aktor Kondisi saat ini Keterangan Rekayasa sistem
Petani Bahan segar, dengan harga lokasi petani, bahan belum terklasifikasi
Pengumpul desa (P1)
Bahan segar bersih kotoran – tanah.
Pedagang (P2) h Bahan segar terklasifikasi/kering
Pedagang (P3) h Jenis bahan (segar,kering,serbuk), grading, kualitas lebih tinggi.
Industri -Eksportir
1.Produk jamu/fitofarmaka
2.Bahan kering/serbuk terkemas
H bahan segar
h
� h = perbedaan harga
95
6.2. Analisis Kualitas dan Elemen Kunci Jaringan
6.2.1. Hasil analisis harapan konsumen
Harapan konsumen tanaman obat terlebih dahulu dipelajari agar
bahan baku diproses sesuai yang dikehendaki. Pendekatan quality
function deployment, diawali dengan memperoleh informasi
persyaratan kualitas tanaman obat melalui wawancara responden. Dari
hasil wawancara, diperoleh tujuh atribut kualitas yakni : pemenuhan
persyaratan kadar air dan kebersihan bahan baku, kontinuitas, jumlah
pasokan, kandungan metabolit sekunder bahan baku. Adapun
ketersediaan alat pemrosesan, dan kemampuan sumber daya manusia
yang dimiliki pemasok merupakan persyaratan pelengkap yang
apabila dipenuhi akan memberikan nilai lebih baik dibanding pemasok
lain dan keyakinan kepada pembeli.
Hasil pengolahan menggunakan teknik QFD sebagaimana
gambar 14 menunjukkan kadar air memiliki bobot paling tinggi,
diikuti dengan persyaratan kebersihan dari cemaran. Kondisi
dimaksud menunjukkan kadar air merupakan persyaratan bahan baku
yang sangat diminta konsumen. Kadar air simplisia kering umumnya
ditetapkan 10 %. Bilamana kadar air bahan baku lebih tinggi akan
mempercepat kerusakan bahan baku selama penyimpanan karena
rawan ditumbuhi mikroba. Agroindustri farmasi biasanya membeli
bahan baku dalam jumlah besar kemudian disimpan untuk masa enam
bulan atau lebih sampai saat pengolahan.
Atribut kualitas yang diperoleh, kemudian dianalisis
berpasangan dengan aspek proses pengolahan. Hasil olahan
keterkaitan antara kriteria kualitas dan aspek proses menunjukkan
nilai tingkat kepentingan (TK) proses pengeringan tertinggi 102
diikuti pemilahan 98. Nilai relatif karateristik proses yang merupakan
pembagian antara tingkat kepentingan proses dibagi jumlah total nilai
kepentingan masing-masing, diperoleh hasil 0,15 untuk aspek
pengeringan. Hasil QFD memberikan kesimpulan bahwa pengeringan
96
dan pemilahan bahan baku harus dikendalikan agar kualitas bahan
baku terwujud.
Hasil perhitungan rasio target pencapaian kualitas dan kenyataan
menunjukkan kandungan nilai rasio persyaratan kualitas metabolit
sekunder 1,33, kontinuitas pasokan 1,33 dan kebersihan/kemurnian
1,25. Hasil tersebut menunjukkan kinerja pasokan bahan baku saat
ini masih belum memenuhi harapan.
Analisis perbandingan berpasangan antar proses satu dan
lainnya dimaksudkan untuk mengkaji keeratan korelasi satu proses
dan lainnya. Dengan pengertian terdapat keluaran dari satu proses
yang akan langsung berakibat pada proses berikut.
Hasil perbandingan antar proses perajangan dan pengeringan
berkorelasi sangat erat (++). Kondisi ini menyimpulkan proses
perajangan mempengaruhi pengeringan sehingga perlu dikendalikan.
Setiap keluaran proses perajangan yang tidak memenuhi kriteria
proses pengeringan berkibat pengeringan tidak berjalan sempurna.
Sebagai contoh : perajangan yang terlalu tebal berakibat pengeringan
berlangsung lebih lama. Perajangan yang terlalu tipis mendorong
tingkat kehilangan lebih tinggi karena lebih mudah hancur.
Ketepatan perajangan membantu lama proses pengeringan
secara alamiah. Ketebalan pengirisan dan luas penampang irisan
menjadi penting. Irisan dengan ketebalan yang tepat, rata dan lebar
membantu sinar matahari atau panas pengering buatan mengenai
seluruh bidang secara merata. Mengingat umumnya industri membeli
dalam bentuk irisan kering, maka proses perajangan yang tepat perlu
diturunkan kepada anggota jaringan sehingga keluaran dari masing-
masing proses memiliki kualitas hasil yang sama. Proses perajangan
dilakukan oleh buruh perajang secara manual atau menggunakan alat
bantu.
97
Proses yang menunjukkan berkorelasi erat ditandai dengan kode
+ yakni :
- pembersihan dan pencucian,
- pemeriksaan dan pengemasan,
- pemilahan dan pemerikaan
- pengelolaan lahan dan dana.
Proses pembersihan berkorelasi erat dengan pencucian dengan
penjelasan bahwa bahan baku lepas panen harus dipisahkan dari tanah,
sulur, daun, dan akar kemudian dicuci menggunakan air bertekanan
atau dalam bak pencucian. Pembersihan dimulai saat tanaman obat
selesai dipanen dan dibersihkan oleh petani.
Petani adalah pihak pertama yang mengolah tanaman obat segar.
Bahan baku yang tidak bersih akan mempercepat tumbuhnya mikroba
yang mengganggu proses berikutnya. Bahan baku yang mengandung
kontaminan selain berakibat dikenakan peningkatan potongan pinalti,
juga menurunkan kepercayaan pembeli. Proses pemeriksaan
berhubungan dengan pengemasan untuk mencegah bahan baku tidak
sesuai standar, tidak lolos kepada pembeli.
Melalui hubungan berpasangan antar dua proses, membantu
anggota memahami pentingnya pengendalian yang menjamin setiap
keluaran proses sesuai dengan persyaratan proses berikutnya. Melalui
pendekatan QFD, tergambar secara jelas korelasi harapan pelanggan
dan proses sehingga jaringan perlu memperhatikan dalam
menjabarkan pada langkah-langkah operasional.
98
6.2.2. Analisis elemen kunci pembentukan jaringan
Guna menstrukturikan jaringan, elemen–elemen kunci dikaji
menggunakan Intrepretative Structural Modeling - ISM yang mencakup
tujuan sistem rantai pasokan, kendala, dan aktivitas dalam pembentukan
sistem, serta perubahan yang diharapkan. Dari setiap elemen dibagi
menjadi sejumlah sub-elemen dalam jumlah memadai yang
menggambarkan situasi. Penelaahan setiap sub-elemen akan
memberikan pengertian mendalam pembentukan jaringan guna
mencapai pemecahan terbaik.
Gambar 14 Hasil final matriks rumah mutu – QFD.
99
1. Tujuan Pembentukan Jaringan
Struktur berjenjang dari elemen tujuan terbagi menjadi
sejumlah sub-elemen yang dikaji hubungan kontekstual.
Penjenjangan struktur diperlukan untuk lebih menjelaskan hal yang
dikaji (Eriyatno, 1999). Sub-elemen tujuan yang terletak pada hirarki
lebih tinggi beroperasi dengan jangka waktu yang lebih lambat dan
mencakup tujuan pada tingkat yang lebih rendah. Terdapat tujuh sub-
elemen tujuan jaringan berdasarkan masukan petani sebagaimana
diuraikan pada Tabel 16.
Harapan utama petani adalah perbaikan pendapatan sehingga
memberikan peluang terwujudnya kesejahteraan. Untuk mencapai
tujuan kesejahteraan dimaksud, terdapat sub-sub elemen tujuan
lainnya yang harus diperhatikan.
Tabel 16 Elemen tujuan
Kode Sub-elemen Deskripsi
E1 Kesejahteraan petani Kemampuan jaringan untuk memberikan manfaat bagi petani secara finansial.
E2 Kelangsungan hubungan anggota
Lama periode bertahan petani sebagai anggota dan aktif memberikan kontribusi. Dengan kata lain, petani merasakan manfaat bergabung.
E3 Kelangsungan hubungan pembeli
Lama waktu pembeli memanfaatkan produk jaringan dalam memenuhi kebutuhan pasokan tanaman obat
E4 Perluasan pasar Merupakan kemampuan pertambahan jumlah pembeli yang tersebar di beberapa tempat.
E5 Operasionalisasi fungsi jaringan
Sejauh mana jaringan mampu melaksanakan fungsinya seperti pengadaan/pengumpulan, pembinaan, pemasaran, dan pengelolaan.
E6 Tercapainya kualitas pengelolaan
Adalah kesanggupan organisasi dalam mengelola kepercayaan anggota, dan manajemen anggota.
E7 Terwujudnya sistem organisasi
Adalah kesanggupan membuat prosedur dan tata cara pengorganisasian yang efektif .
100
Berdasarkan hasil olahan hubungan kontekstual tersusun
Structural Self Interaction Matrix (SSIM) menggunakan simbol V, A, X
dan O dan pada tabel reachability matrix simbol dimaksud diganti
menjadi bilangan 1 dan 0 dimana simbol 1 terdapat hubungan
kontekstual dan simbol 0 tidak terdapat hubungan kontekstual. Hasil
SSIM final yang memenuhi syarat transivity rule dengan pengecekan
aturan lingkaran sebab akibat dari hubungan kontekstual yang telah
dikoreksi diwujudkan dalam bentuk matriks tertutup, sebagaimana
Tabel 17.
Tabel 17. Hasil reachability matrix final elemen tujuan
E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 DEP DRP
E1 1 0 0 0 0 0 0 7 1
E2 1 1 0 1 1 1 0 6 5
E3 1 1 1 1 1 1 0 2 6
E4 1 1 0 1 1 1 0 6 5
E5 1 1 0 1 1 1 0 6 5
E6 1 1 0 1 1 1 0 6 5
E7 1 1 1 1 1 1 1 1 7 DRP Driver Power * Elemen Kunci DEP Dependence
Hasil pengolahan reachibility matriks yang telah memenuhi aturan
transivity tersebut tersusun struktur berjenjang dari elemen tujuan
sebagaimana dinyatakan pada Gambar 15 dimana E7 struktur dan sistem
organisasi jaringan berada pada tingkat paling bawah hirarki dan
dinyatakan sebagai sub-elemen kunci.
E5 = Operasionalisasi Fungsi Jaringan E6 = Kualitas pengelolaan E4 = Perluasan pasar anggota E3 = Kelangsungan hubungan pembeli E7 = Struktur dan Sistem E2 = Kelangsungan hubungan
anggota E1 = Kesejahteraan petani
101
E1 KESEJAHTERAAN PETANI
E2
KELANGSUNGANHUBUNGANANGGOTA
E4
PENCAPAIANPERLUASAN
PASAR
E5
FUNGSIJARINGAN
E6
KUALITASPENGELOLAAN
ANGGOTA
E3
KELANGSUNGANHUBUNGAN PEMBELI
E7
STRUKTUR & SISTEMORGANISASI
E1
E3
E7
E2, E4, E5, E6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
sektor I sektor II
sektor IIIsektor IVDependence
Driver
power
Sub-elemen struktur jaringan menetapkan siapa yang menjadi
anggota, garis komunikasi, prosedur dan pengorganisasian yang
memungkinkan anggota berinteraksi dalam berbagi pengetahuan,
keterampilan, informasi akses pasar atas prinsip kepercayaan.
Gambar 15 Struktur hirarki dari elemen tujuan.
Gambar 16 Matriks DP-D elemen tujuan.
102
Sub-elemen sistem organisasi jaringan mengatur keterhubungan
proses dan tingkatannya, pembagian tanggungjawab proses kepada
anggota sesuai keahlian dan pengetahuan teknologi yang dimiliki.
Penetapan sistem berimplikasi pada pengaturan aliran bahan baku,
informasi, uang, pengetahuan. Dengan kata lain, sinkronisasi proses
mendorong mengalirnya fisik material, informasi dan sumber daya
lainnya guna memenuhi preferensi konsumen. Hak kepemilikan anggota,
konvensi atau aturan yang jelas mengajarkan anggota cara beroganisasi,
berbagi manfaat bersama, sehingga anggota aman bergabung di dalam
jaringan.
Sub-elemen kunci struktur dan sistem pada disertasi ini berbeda
dengan apa yang dinyatakan oleh Barba et al. (1998) yang menekankan
kepemimpinan sebagai elemen kunci. Transparansi dan kejelasan menjadi
penting dalam membangun kepercayaan untuk mencegah kondisi
oportunistik salah satu pihak. Akibatnya, terjadi perubahan kepemilikan
informasi menjadi pembagian informasi.
Merujuk pada uraian Evans dan Danks (1998), faktor yang
mempengaruhi manajemen rantai pasokan adalah : strategi sumber,
pengelolaan permintaan dan penawaran serta integrasi pasokan yang akan
membentuk struktur dan variabilitas yang berciri sesuai dengan aliran
bahan baku. Mekanisme pengelolaan bahan baku dilakukan dengan
menganalisis informasi permintaan dan kemudian diturunkan kepada
anggota melalui kelompoknya.
Permintaan bahan baku dari agroindustri farmasi kemungkinan
mempunyai persyaratan spesifik seperti menyebutkan asal daerah sumber
bahan baku yang diinginkan. Dengan demikian akan terdapat variasi
aliran permintaan dan pasokan. Pengaturan operasional pembagian
permintaan untuk setiap anggota diselesaikan dengan fasilitasi fasilitator
agar pemenuhan permintaan cepat dan sesuai.
Struktur jaringan diatur fleksibel yang memungkinkan anggota
berkreasi menjawab dinamika di lapangan dan tidak mengalami hambatan
birokrasi. Fleksibilitas dicapai ketika pasokan dapat mengalir dari lokasi
103
sumber langsung menuju gudang tujuan berdasarkan pertimbangan biaya
dan efektivitas atau mungkin melalui pemrosesan terlebih dulu di luar
lokasi sumber.
Hasil ISM menyatakan bahwa posisi sub-elemen kesejahteraan
anggota yang berada pada hirarki level pertama dinilai mudah
mengalami goncangan bilamana elemen pada hirarki sebelumnya kurang
diperhatikan. Sub-elemen pada level kedua dari elemen tujuan adalah
kelangsungan hubungan (E2), perluasan pasar (E4), operasionalisasi
fungsi jaringan (E5), dan kualitas pengelolaan anggota (E6).
Seluruh sub-elemen tujuan tersebut dinilai sama penting ditandai
dengan tanda panah bolak balik yang menunjukkan keempat elemen pada
level dua mempunyai tingkatan yang sama dan saling berpengaruh.
Pengelolaan fungsi jaringan sebagaimana tertera pada hirarki kedua,
dapat meningkatkan kesanggupan memenuhi harapan pelanggan
sebagaimana telah diuraikan pada analisis QFD.
Ditinjau dari matriks driver power-dependence pada Gambar 16,
struktur dan sistem jaringan (E7) berada pada sektor independent,
sehingga dinilai sebagai sub-elemen pendorong yang kuat sedangkan sub-
elemen kesejahteraan petani (E1) merupakan sub-elemen dependen yang
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan lainnya. Sub-elemen (E2,E4,E5,E6)
berada pada sektor linkage yang memberi pemaknaan sebagai peubah
pengait sistem. Setiap tindakan pada sub-elemen tersebut akan
menghasilkan keberhasilan atau kegagalan jaringan. Gangguan terhadap
hubungan anggota akan mempengaruhi pencapaian pengumpulan bahan
baku. Demikian pula bilamana pengelolaan anggota tidak terlaksana
dengan baik, akan mengganggu kelangsungan fungsi jaringan yang
mewakili kepentingan anggota.
2. Kendala Sistem
Rekayasa sistem pasokan berbasis jaringan membutuhkan
pengorganisasian untuk mengatur permintaan, penawaran pasokan,
informasi, dan uang. Mengubah perilaku petani dari semula terbiasa pada
104
mekanisme pedagang pengumpul yang lebih lentur, ke arah tuntutan
jaringan pada pemberdayaan diri dan pemenuhan persyaratan yang ketat
dalam empat bidang tersebut di atas memungkinkan timbulnya kendala.
Analisis kendala sistem penting untuk mengkaji kemungkinan
terjadi dan sub-elemen apa yang memberikan pengaruh. Terdapat tujuh
penjabaran sub-elemen kendala dalam membangun jaringan dengan
deskripsi sebagai berikut :
a. Fasilitas jaringan
Fasilitas yang terkait pada budidaya, pengolahan pascapanen,
penyimpanan maupun distribusi diperlukan untuk menghasilkan
bahan baku berkualitas sesuai harapan konsumen. Pengadaan
fasilitas menjadi faktor yang mempengaruhi keunggulan bersaing
jaringan. Pembeli akan menilai sejauh mana kredibilitas pemasok
memenuhi persyaratan. Selain itu ketersediaan fasilitas ini penting
dalam mendukung proses untuk menghasilkan bahan baku
berkualitas maupun bagi keperluan penyimpanan.
b. Meyakinkan anggota
Alasan memasukkan sub-elemen ini sebagai salah satu
kendala, mengingat petani terbiasa berhubungan dengan
pengumpul sehingga kemungkinan terpola suatu pandangan
tersendiri. Suatu pendekatan baru dan belum dikenal akan
memunculkan pertanyaan, fase membandingkan apa yang yang
ditawarkan oleh jaringan dengan pedagang pengumpul. Anggota
akan menimbang sejauh mana manfaat diperoleh, dan keyakinan
berjalannya sistem. Penjelasan mengenai pengertian, manfaat dan
fungsi jaringan secara distinktif memperjelas apa yang menjadi
tujuan, mekanisme dan manfaat yang diperoleh sehingga muncul
dorongan untuk bergabung.
c. Permodalan
Kendala permodalan umum dihadapi petani dan kelembagaan
desa. Kurangnya perhatian dan peraturan birokrasi lembaga
pembiayaan dari aspek kondisi, kolateral, penilaian kapasitas calon
105
pencari kredit menahan turunnya aliran kredit pinjaman atau
menyurutkan calon nasabah untuk mengajukan kredit.
Ketidakmampuan menyediakan modal kerja maupun investasi akan
menghambat aktivitas jaringan dalam membeli dan menyalurkan
bahan baku. Di sisi lain, jaringan memerlukan tahapan sosialisasi
ke sentra – sentra pasokan untuk menyakinkan petani, dan
menyiapkan fasilitas dimana seluruh aspek tersebut memerlukan
dana investasi. Dengan demikian sub-elemen permodalan menjadi
penting untuk dikaji.
d. Meyakinkan pihak pembeli
Sebagai pemasok baru yang belum tercatat terdaftar sebagai
pemasok industri memerlukan usaha untuk menjelaskan
kemampuan agar terbangun. Kegagalan pendekatan dan
mempromosikan kemampuan jaringan kepada calon pembeli
berakibat bahan baku yang telah dihimpun dari anggota menemui
kesulitan penyaluran yang pada akhirnya merusak kepercayaan
anggota.
e. Persaingan dengan pihak non jaringan
Sub-elemen persaingan dengan pihak non jaringan
dimasukkan sebagai kendala dengan pertimbangan kemungkinan
munculnya persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh pihak yang
menganggap keberadaaan jaringan sebagai ancaman. Apabila
kondisi tersebut terjadi, berpeluang membatasi gerak jaringan
menarik petani sebagai anggota, dan membatasi gerak operasi.
f. Perkembangan agroindustri farmasi
Sub-elemen ini berhubungan sebab akibat antara permintaan
bahan baku dengan pertumbuhan industri. Agroindustri farmasi
yang tumbuh diharapkan dapat menjamin kelangsungan permintaan
pasokan bahan baku dari petani. Sebaliknya pertumbuhan industri
yang terus menurun akan memberikan efek ikutan kepada petani.
106
g. Komitmen anggota
Komitmen anggota merupakan kesepakatan untuk memenuhi
kewajiban selaku anggota. Kebiasaan hidup mandiri dan bebas
mengambil keputusan, kemudian terlibat dalam pola teratur
merupakan perubahan bagi petani. Perubahan ini memerlukan
adaptasi untuk memahami peran dan bagaimana berperilaku.
Komitmen terhadap persyaratan bahan baku yang dipasok dan
pertukaran informasi merupakan tuntutan baru bagi petani.
Keutuhan jaringan yang ditopang oleh anggota yang aktif turut
membangun jaringan yang kuat.
Hasil reachibility matrix final untuk elemen kendala pembentukan
sistem rantai pasokan berbasis jaringan dapat dilihat pada Tabel 18 berikut
ini, dan struktur hirarki elemen kendala tersaji pada Gambar 17.
Tabel 18 Hasil reachability matrix final elemen kendala
E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 DEP DRP
E1 1 1 0 1 0 0 1 4 4
E2 0 1 0 1 0 0 1 6 3
E3 1 1 1 1 1 1 1 1 7
E4 0 0 0 1 0 0 0 7 1
E5 1 1 0 1 1 0 1 3 5
E6 1 1 0 1 1 1 1 2 6
E7 0 1 0 1 0 0 1 6 3
DEP Driver Power
DRP Dependence
E 7 = Komitmen anggota E 6 = Pertumbuhan agroindustri farmasi E 5 = Persaingan dengan pedagang E 4 = Meyakinkan pihak pembeli E 3 = Permodalan awal E 2 = Meyakinkan anggota E 1 = Fasilitas jaringan
107
E4
MEYAKINKAN PIHAKPEMBELI
E7 KOMITMEN ANGGOTAE
2MEYAKINKAN
ANGGOTA
E1 FASILITAS JARINGAN
E5
PERSAINGAN DENGANPEDAGANG
E6
PERTUMBUHANAGROINDUSTRI
FARMASI
E3 PERMODALAN
Gambar 17 Struktur hirarki kendala.
E1
E2, E7
E3
E4
E5
E6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
sektor IIsektor I
sektor IV sektor III
Dependence
Drver
Power
Gambar 18 Matriks DP-D elemen kendala.
Struktur hirarki sub-elemen kendala sistem sebagaimana gambar 17
menunjukkan permodalan menjadi sub-elemen kunci yang perlu ditangani.
Fasilitas untuk mendukung kegiatan operasional perlu disediakan baik
dengan alternatif sewa maupun beli. Keberadaan fasilitas jaringan
berhubungan dengan alat bantu proses yakni : alat rajang, lantai
pengeringan, oven pengeringan, kendaraan angkutan, ruang penyimpanan
108
dan sebagainya. Ketika modal tidak tersedia berakibat gangguan
operasional jaringan secara keseluruhan.
Penjabaran elemen kendala, menghasilkan sub-elemen meyakinkan
industri (E4 berada pada sektor dependen yang akan dipengaruhi oleh sub-
elemen lain seperti permodalan (E3), persaingan dengan pihak pedagang
(E5) dan perkembangan agroindustri farmasi (E6). Ketiga sub-elemen
dimaksud sebagaimana terlihat pada gambar 18, berada pada sektor 4–
independent yang merupakan peubah bebas yang berpengaruh besar
terhadap keberhasilan pembentukan jaringan.
Persaingan dengan pedagang misalnya, ketika memberikan efek
mengganggu maka akan mengurangi efektivitas sosialisasi untuk menarik
petani menjadi anggota. Komitmen anggota (E7) berada pada sektor
dependen, yang berarti peubah tidak bebas di mana kendala tersebut akan
tergantung dari sub-elemen yang lain.
3. Aktivitas Perekayasaan Sistem
Diperlukan beberapa aktivitas untuk membangun jaringan. Elemen
aktivitas ini dianalisis secara seksama dengan mempertimbangkan elemen
kendala yang telah dibahas sebelumnya. Terdapat enam sub-elemen
aktivitas yakni :
a. Sosialisasi program
Pengertian sub-elemen sosialisasi program adalah kegiatan
untuk menginformasikan keberadaan organisasi, keunggulan, dan
manfaat kepada calon anggota maupun pembeli. Aktivitas ini penting
untuk mengenalkan sistem baru yang lebih baik dibandingkan dengan
sistem rantai pasokan konvensional.
Keunggulan sistem yang menghubungkan para anggota atas
dasar kepercayaan dan pengintegrasian proses, perlu dijelaskan
terlebih dahulu. Sosialisasi program kepada petani juga termasuk
manfaat finansial terlibat di jaringan. Kesalahan pendekatan akan
menghasilkan persepsi negatif terhadap keberadaan jaringan. Dengan
demikian, sub-elemen sosialisasi penting dianalisis.
109
b. Penyiapan sumber daya manusia
Sistem berfungsi bilamana anggota saling berinteraksi dan
melakukan pertukaran informasi dan material. Kemampuan
memadukan unsur teknologi dan bisnis ini memerlukan penyiapan
sumber daya manusia dari sisi pengelola maupun anggota. Pengaturan
orang, aliran bahan baku, pemahaman kondisi pasar dan pemasaran
maupun kegiatan sosialisasi memerlukan tokoh yang memiliki
wawasan terhadap usaha tanaman obat, kehidupan petani selain
sebagai pribadi yang dapat dipercaya. Sub-elemen sumber daya
manusia ini menjadi sub-elemen yang layak diperhatikan.
c. Pencarian akses pasar industri
Sub-elemen pencarian pasar industr imencakup aktivitas
memetakan prospek pembeli, identifikasi kebutuhan, pola pembelian,
kapasitas pasokan, sumber-sumber pasokan yang sudah terdaftar dan
bahan baku substitusi sehingga menjadi masukan potensi pasar bagi
jaringan. Sebagai pendatang baru, jaringan perlu berupaya
mengenalkan keberadaan jaringan mengingat industri telah memiliki
pemasok.
d. Penyiapan fasilitas
Sub-elemen penyiapan fasilitas mencakup pengadaan, dan
penataan fasilitas dalam rangka mendukung operasional. Fasilitas
yang dimaksud tidak saja bagi kegiatan pengolahan tetapi juga
penyimpanan. Penyiapan fisik fasilitas dimaksud mencakup keputusan
fasilitas yang dibutuhkan, berapa banyak, kapasitas dan penentuan
lokasi keberadaan, pengadaan dan penataan yang memerlukan waktu.
Sehingga sub-elemen aktivitas ini penting dikaji.
e. Penyiapan organisasi
Mengingat terdapat kumpulan orang, maka diperlukan penataan,
pengelolaan, penciptaan sistem kerja, legalitas, dan cara yang
memungkinkan dilaksanakannya pengorganisasian aktivitas secara
tertib. Penyiapan organisasi ini menjawab sub-elemen kunci pada
tujuan yakni struktur dan sistem organisasi yang harus ditetapkan
110
terlebih dulu. Sebagaimana organisasi lainnya, diharapkan dapat
terwujud tertib administrasi dan tertib kerja dari seluruh pendukung
organisasi.
f. Survei lokasi pasokan
Merupakan aktivitas pemetaan dan pencarian desa sumber
pasokan yang berpotensi terdapat petani untuk menjadi anggota.
Dengan diketahuinya peta sumber, maka kegiatan sosialisasi lebih
mudah dilakukan. Peta sumber dimaksud sekaligus mendata kekuatan
di masing-masing daerah dan kekuatan petani mencakup jumlah,
kemampuan, dan produktivitas lahan.
Hasil analisis reachability matrix final menggunakan metode ISM
atas enam aktivitas dapat dilihat pada Tabel 19 dan susunan sub elemen
aktivitas program berdasarkan hasil hirarki sebagaimana pada Gambar 19.
Tabel 19 Hasil reachability matrix final elemen aktivitas
E1 E2 E3 E4 E5 E6 DEP DRP
E1 1 0 0 0 0 0 6 1
E2 1 1 1 1 1 0 2 5
E3 1 0 1 1 1 0 5 4
E4 1 0 1 1 1 0 5 4
E5 1 0 1 1 1 0 5 4
E6 1 1 1 1 1 1 1 6 DRP Driver Power DEP Dependence
Survei lokasi pasokan (E6) merupakan sub-elemen penting dalam
menjamin keberhasilan membangun jaringan. Aktivitas survei pasokan
akan memberikan informasi potensi daerah sumber pasokan dan petani
yang akan menjadi calon anggota. Penyiapan sumber daya manusia (E2)
E 6 = Survei lokasi pasokan E 5 = Penyiapan organisasi E 4 = Penyiapan fasilitas pendukung E 3 = Pencarian akses pasar E 2 = Penyiapan sumber daya manusia E 1 = Sosialisasi kegiatan jaringan
111
dimaksudkan sebagai aktivitas yang dapat memberikan pengetahuan
kepada pengelola maupun anggota jaringan agar dapat menjalankan fungsi
operasional. Jaringan dapat menjalin kerjasama dengan lembaga
pemerintah untuk perluasan wawasan.
Pelatihan diperlukan sebagai bagian pemberdayaan anggota
mencakup tata nilai organisasi, tata cara pemasokan, pemahaman mengenai
tanaman obat, proses produksi yang baik (good manufacturing practice),
dan fungsi organisasi dalam jangka panjang.
Aktivitas pencarian akses industri (E3) dan penyiapan fasilitas
pendukung (E4) merupakan sub-elemen yang saling mempengaruhi.
Fasilitas pendukung operasional dimaksud antara lain penyiapan area
pemrosesan dan penyimpanan. Keputusan fasilitas gudang akan tergantung
pada jumlah pasokan untuk memenuhi kebutuhan industri secara efektif
dan efisien. Efisien dinilai dari segi biaya operasional yang dikeluarkan dan
efektif dalam hal pengelolaan dan pengaturan.
E1 SOSIALISASI KEGIATAN
E4
PENYIAPANFASILITAS
PENDUKUNG
E3
PENCARIAN PASARINDUSTRI
E2 PENYIAPAN SDM
E6 SURVEI LOKASI
PENYIAPANORGANISASI
E5
Gambar 19. Struktur hirarki aktivitas jaringan
112
E1
E2
E3, E4, E5
E6
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5 6 7
sektor I sektor II
sektor IIIsektor IVDependence
Driver
Power
Berdasarkan matrik driver power-dependence pada Gambar 20, sub-
elemen pencarian akses pasar industri (E3), penyiapan fasilitas gudang
(E4), dan penyiapan organisasi (E5), terletak pada sektor linkage yang
memberi pemaknaan peubah pengait sistem. Setiap tindakan pada sub-
elemen tersebut akan berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan
jaringan.
Sub-elemen survei lokasi pasokan (E6) dan penyiapan SDM (E2)
merupakan variabel yang terletak pada sektor independent, yang
merupakan variabel penggerak yang berpengaruh terhadap sub-elemen
sosialisasi. Keberhasilan aktivitas survei lokasi dalam membangun jaringan
akan menghasilkan data daerah yang berpeluang sebagai sumber anggota.
Keberhasilan menarik calon anggota, tergantung dari kemampuan
petugas (E2) yang mensosialisasikan kegiatan. Aktivitas sosialisasi
program (E1), dikategorikan peubah tidak bebas yang berarti aktivitas
tersebut tergantung pada tindakan aktivitas sub-elemen lainnya. Dengan
demikian, menjadi penting dilakukan sosialisasi pada petani calon anggota
pada lokasi sumber yang telah diidentifikasi saat dilakukan survei lokasi.
Gambar 20 Matriks DP-D untuk Elemen Aktivitas.
113
4. Perubahan yang diharapkan
Kehadiran jaringan diharapkan memberikan perubahan yang dapat
dinikmati oleh masyarakat di sekitar keberadaan anggota jaringan. Namun,
untuk mencapai perubahan dimaksud terdapat sub-sub elemen terkait yang
layak diperhatikan dan dianalisis keterkaitan satu sama lain antara lain:
a. Sinergi dengan industri
Sub-elemen ini menjamin keberlanjutan hubungan jaringan dan
pembeli industri. Interaksi antara jaringan dan pembeli industri
menjamin kontinuitas aliran pasokan yang pada akhirnya memberikan
manfaat kedua belah pihak. Anggota termotivasi untuk terus
menciptakan produk bernilai, dan industri terdorong berbagi informasi
dalam upaya peningkatan kemampuan untuk menghasilkan bahan
baku terstandarisir.
b. Pengelolaan usaha tani
Jaringan dapat memberikan stimuli agar petani dalam
pengelolaan usaha tani secara, sehingga. menurunkan deviasi
ketidaksesuaian kualitas dan kesalahan penanganan. Hasil analisis
permasalahan menunjukkan bahwa petani relatif berkembang sendiri
dengan cara yang dikenal secara turun menurun dan pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan pengalaman. Perubahan pengelolaan
usaha tani yang dibantu oleh jaringan diharapkan mencapai manfaat
yang lebih besar.
c. Perilaku berorganisasi
Sub-elemen ini mencakup cara berpikir, bertindak, dan
bekerjasama di dalam jaringan. Terdapat dinamika kelompok ketika
sekumpulan individu berkumpul. Masing-masing akan membawa
kebiasaan berbudidaya, pengolahan atau mengelola suatu organisasi.
Diharapkan melalui pembelajaran dapat memperkecil deviasi karena
kekurangpengetahuan atau cara-cara bertindak yang kurang
beradaptasi dengan lingkungan usaha secara luas.
Keterlambatan dalam menyelesaikan nilai-nilai anutan akan
membuka ruang konflik diantara anggota. Melalui jaringan, anggota
114
difasilitasi berlatih memberikan komitmen, menyalurkan pendapat,
pengajuan pemikiran dalam rangka kemajuan jaringan.
d. Kemajuan desa setempat
Keberadaan jaringan dengan anggota lebih sejahtera, dapat
memberikan efek positif bagi desa di mana anggota berada. Anggota
jaringan diharapkan memberikan manfaat positif terhadap
kesejahteraan masyarakat di desa, dengan imbas ekonomi pada sektor
lainnya yang berkaitan seperti : usaha – usaha pendukung, maupun
yang relatif jauh dalam memenuhi keinginan perbaikan keluarga
petani.
e. Manfaat bagi masyarakat
Perubahan yang diajukan oleh jaringan berupa perbaikan
kesejahteraan masyarakat sekitar akibat keberadaan jaringan.
Masyarakat adalah para individu di luar petani yang memperoleh
pendapatan dari tumbuhnya jaringan. Mereka dapat buruh yang
menjual tenaga lepas, perajang atau penyokong kegiatan lainnya.
Matriks reachability final hasil analisis ISM elemen perubahan yang
dimungkinkan dapat dilihat pada Tabel 20. Sinergi jaringan dengan industri
dimungkinkan terjadi dengan tumbuhnya kepercayaan dari pembeli.
Pembelajaran internal anggota akan mendorong terwujudnya komitmen
dalam memenuhi jaminan kualitas.
Tabel 20 Hasil reachability matrix final perubahan yang dimungkinkan
E1 E2 E3 E4 E5 DEP DRP
E1 1 0 0 1 1 1 3
E2 0 1 0 1 1 2 3
E3 0 1 1 1 1 1 4
E4 0 0 0 1 0 5 1
E5 0 0 0 1 1 4 2 DEP Driver Power DRP Dependence
E 5 = Manfaat pada masyarakat E 4 = Kemajuan desa E 3 = Perilaku organisasi E 2 = Pengelolaan usaha tani E 1 = Sinergi dengan industri
115
E4
KEMAJUAN DESASETEMPAT
E5
MANFAAT BAGIMASYARAKAT
E2 PENGELOLAAN USAHA E
1SINERGI DENGAN
INDUSTRI
E3
PERILAKUBERORGANISASI
Gambar 21. Struktur hirarki elemen perubahan
Sub-elemen perilaku berorganisasi merupakan elemen kritis perubahan
untuk mencapai kemajuan desa. Giannakis dan Croom (2004) menyebutkan
sebagai pengaruh interaksi antar pihak pada dimensi sinergi. Di dalam
dimensi sinergi tersebut dipersyaratkan perilaku : rasa saling percaya,
kesediaan membagi informasi dan bertindak proaktif yang diwujudkan oleh
anggota jaringan. Dengan demikian, tidak lagi siapa mengatur atau
mendominasi siapa tetapi bagaimana memahami apa yang dikontribusikan
dan pada tingkatan apa dari proses bisnis.
Ketika persoalan internal organisasi dapat diatasi, maka selanjutnya
berkonsentrasi pada pencapaian perubahan sinergi dengan industri (E1),
karena keterlibatan industri dapat memberikan stimuli tidak saja pada
pengetahuan usaha tani tanaman obat, tetapi yang lebih penting
memberikan peluang menjadi pemasok tanaman obat untuk kebutuhan
agroindustri farmasi.
Selain petani anggota, masyarakat memperoleh manfaat (E5) sebagai
bagian dari bergeraknya kegiatan ekonomi usaha tanaman obat, dalam hal
penyediaan tenaga kerja dalam berbagai aktivitas proses, alat transportasi,
dan seluruh komponen pendukung lainnya. Dengan keberadaan jaringan,
116
pengelolaan usaha tani tanaman obat (E2) diharapkan menjadi usaha yang
produktif akibat arus pembelian bahan baku.
E1 E2
E3
E4
E5
0
1
2
3
4
5
0 1 2 3 4 5 6
sektor I sektor II
sektor IV sektor III
Dependence
Driver
Power
Gambar 22 Matriks DP-D perubahan yang diinginkan.
Sub-elemen sinergi dengan industri (E1), pengelolaan usaha tani (E2)
dan perilaku organisasi (E3) berada pada sektor independen yang merupakan
peubah bebas yang memiliki sedikit ketergantungan pada sistem tetapi
mempunyai penggerak yang besar. Kegagalan menjalin hubungan dengan
industri (E1), akan menghambat perubahan yang diinginkan.
Posisi sinergi dengan industri adalah peubah bebas dan bilamana
disatukan dengan perubahan perilaku organisasi serta pengelolaan usaha tani
menjadi faktor penggerak kemajuan desa. Dengan demikian kemajuan desa
(E4) dan manfaat bagi masyarakat (E5) dapat menjadi akibat dari
keberhasilan tindakan atau pencapaian perubahan.
Dari seluruh hasil sintesa ISM memberikan kesimpulan bahwa
mekanisme pengorganisasian yang menatakelola jalannya aktivitas jaringan
dan bagaimana anggota berinteraksi perlu dipersiapkan terlebih dulu.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ginneakis dan Croom (2004), diperlukan
sinkronisasi operasional mengingat terdapat peran dari sejumlah anggota.
117
Tata kelola di dalam jaringan yang diawali dengan struktur dan sistem
jaringan mempertajam pengertian saling berbagi, kepercayaan dan
kontribusi yang diajukan oleh peneliti sebelumnya. Pengaturan struktur dan
sistem organisasi jaringan mendorong terbentuknya pemahaman atas apa
yang perlu diintegrasikan sebagaimana diajukan oleh Stock dan Lambert
(2001).
Sub-elemen ini menjadi pendorong paling tinggi agar tujuan
kesejahteraan anggota tercapai. Namun, kendala utama dalam mewujudkan
jaringan terletak pada permodalan. Dengan demikian, dana pengadaan
fasilitas dan modal kerja perlu dicarikan jalan keluar. Aktivitas survei lokasi
pasokan menjadi sub-elemen penggerak aktivitas lainnya, dimana survei
menjadi titik kritis untuk keberhasilan sosialisasi kegiatan jaringan
mengingat lokasi calon anggota berada pada desa-desa yang tersebar.
6.3. Struktur Rantai Pasokan berbasis Jaringan
Jaringan direkayasa dengan mengacu pada Giannakis dan Croom
(2004), Choi et al. (2002), Barba et al. (1998), Giles dan Hancy (1998)
dengan ciri keterhubungan antar individu dengan individu menembus batas
organisasi. Desain menggunakan tiga dimensi strategis yakni struktural,
sinergi interaksi manusia dan hubungan di dalam rantai pasokan.
Penstrukturan jaringan terlebih dahulu menetapkan siapa yang menjadi
anggota utama.
Kebaruan jaringan terletak pada pengaturan berjejaring dimana pada
penelitian sebelumnya lebih ditekankan pada unsur perilaku. Jaringan yang
diajukan memadukan perilaku dan operasionalisasi sehingga abstraksi
ditegaskan melalui pembagian fungsi. Anggota yang menyebar dengan
tingkat kerumitan pengelolaan, dipecahkan dengan memasukkan unsur
kelompok mewujudkan ciri jaringan salin berbagi.
Hakekat berjejaring yang menekankan pada hubungan, diwujudkan
dengan terjalinnya koneksi antar petani secara horisontal menembus batas
lokasi, kemampuan, usia dan perbedaan kapasitas.
118
Atas dasar analisis sub-elemen dan kondisi faktual, maka jaringan
didesain mencakup :
1. para aktor dan lembaga yang terlibat
2. garis hubungan
3. penjabaran fungsi
4. aliran fisik dan informasi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 23
Aliran bahan baku
Lang
sung
guda
ng in
dust
ri
Info
rmas
ipe
nelit
ian
Lang
sung
guda
ng in
dust
ri
Kelompokpetani
Personnel
PETANI
Personnel
PETANI
PETANI
Kelompokpetani
Kelompokpetani
Fasilitator
Pusat ManajemenJaringan
FUNGSI
Perencanaan,pengendalian,
koordinasi jaringan
Sosialisasi danpembinaan
Pemasaran danhubungan eksternal
Pengelolaan keuangandan distribusi dana
Penyimpanan/pergudangan
Aliranbahanbaku
Aliraninformasi
Aliran bahan bakuPETANI
Kelompokpetani
Fasilitator
Pemerintah daerah
Lembaga Pembiayaan
Lembaga Penelitian/Perguruan tinggi
Lembaga usahaPendukung
industriKe
rja s
ama
usah
a
Alirankredit
Aliraninformasi
Aliraninformasi
Bergabungdlm kelp
Garis komunikasiantar kelompok
Bergabungdlm kelp
Bergabungdlm kelp
Bergabungdlm kelp
Mel
alui
gud
ang
jarin
gan
Mel
alui
guda
ngja
ringa
n
Aliran kerjasama
Aliran manfaat
Aliranmanfaat
Aliranmanfaatfungsi
jaringan
AliranKeputusanoperasional
AliranKeputusanoperasional
AliranKeputusanoperasional
Alira
n ke
putu
san
stra
tegi
sAl
iran
kepu
tusa
nst
rate
gis
pedagangAlirandana
Gambar 23 Struktur Jaringan.
119
Struktur jaringan terdiri dari petani, kelompok, dan pusat manajemen.
Ketika menstrukturkan jaringan, penetapan siapa yang menjadi anggota
menjadi penting. Melalui jaringan, anggota diberi ruang untuk menyatukan
dan menghubungkan proses rantai pasokan. Pasokan bahan baku yang
semula mengalir melalui beberapa tingkat pedagang pengumpul direstruktur
menjadi satu tingkat melalui pusat manajemen jaringan sebagai operator
yang mengatur proses permintaan dan penawaran bahan baku. Hubungan
secara horizontal antara petani dan secara vertikal berhubungan dengan
industri merupakan model jaringan baru untuk pemberdayaan dan kemajuan
petani.
Jaringan memberikan ruang pada peningkatan kualitas hubungan
yang mendorong perubahan kemampuan anggota. Perbedaan jaringan
dibandingkan dengan sistem pasokan yang telah berlangsung saat ini adalah
pedagang pengumpul yang walaupun memiliki banyak pemasok, terdapat
pengaturan yang bersifat mekanisme defensif dari pembeli. Model hubungan
tersebut disebut sebagai hubungan pembeli-pemasok diadik.
Ketika hubungan diantara pemasok berlangsung sangat terbatas dan
memiliki jarak, maka merupakan hubungan antar pemasok yang
berkompetisi dan bukan sebagaimana dikehendaki pada jaringan. Model
hubungan tersebut, pada kenyataannya tidak membuka peluang perilaku
bertukar pengetahuan atau proses lintas fungsi diantara pemasok yang
menjadi landasan jaringan sebagaimana dinyatakan oleh Giles dan Hancy
(1998).
Teori jaringan pada rantai pasokan agroindustri farmasi dengan
kompleksitas tanaman obat dan keragaman petani mengubah rantai pasokan
yang bekerja sendiri-sendiri diintegrasikan dalam satu kesatuan. Jaringan
dimiliki dan dikelola oleh petani. Masing-masing petani mengidentifikasi
kemampuan yang dikuasai. Keluaran dari petani, dapat menjadi masukan
proses yang diselenggarakan oleh petani lainnya. Secara bertahap
kemampuan proses petani berpindah pada tingkat yang lebih maju.
Anggota jaringan ketika beraktivitas dalam kesatuan, menghasilkan
fungsi lebih menyeluruh. Jaringan tidak sekedar penyatuan lahan
120
sebagaimana corporate farming namun sebagai entitas yang luas, berdaya
dan berada pada kekuatan seimbang dalam interaksi dengan pembeli
industri. Persyaratan agar jaringan berfungsi dengan baik adalah bilamana
struktur dan sistem, nilai-nilai anutan menjadi perilaku, pengintegrasian
proses, pengendalian strategik, sebagaimana diuraikan di atas dapat
terwujud.
Jaringan mengambil ruang gerak yang relatif sama dengan kegiatan
pedagang pengumpul yang telah beroperasi selama ini sehingga terdapat
kemungkinan ancaman menggagalkan operasi jaringan. Kondisi ini perlu
ditangkal melalui penguatan keanggotan, memberikan manfaat kuantitatif
yang lebih baik dan pemberdayaan terus menerus.
Pedagang pengumpul dapat memperoleh peran lain dari keberadaan
jaringan melalui aktivitas pendukung maupun proses lanjutan berasal dari
distribusi pekerjaan jaringan. Keberadaan pedagang pengumpul besar dapat
disetarakan dengan industri sehingga kedudukannya akan berlaku sebagai
perusahaan pembeli.
Penjelasan mengenai penstrukturan adalah sebagai berikut :
a. Anggota jaringan
Adalah petani yang memiliki usaha tanaman obat. Petani dengan
ciri tersebut terlibat sebagai anggota utama dan memberikan sumber
daya, pengetahuan, dan hasil panen tanaman obat. Walaupun terdapat
variasi kepemilikan luas lahan, jaringan didesain tanpa pengklasifikasian
anggota berdasarkan luas lahan. Sejauh petani bersedia mematuhi
ketentuan dan perilaku yang ditetapkan bekerjasama, petani diterima
sebagai anggota. Petani tidak direkrut untuk tugas tertentu tetapi
berkontribusi sesuai dengan kemampuan.
Petani anggota berhimpun dan menjadikan jaringan sebagai
organisasi yang berkekuatan dan sebagai sarana pemberdayaan, sehingga
pada akhirnya jaringan menjadi organisasi petani yang kuat. Fungsi
produksi dan pengolahan hasil panen menjadi tanggungjawab petani.
Petani yang belum memiliki kemampuan pemrosesan bahan baku
sebagaimana dipersyaratkan dapat diambil alih petani lain atau oleh pusat
121
manajemen. Pada saatnya dengan teknis pengolahan petani yang
bertambah baik akibat pembelajaran, aktivitas variasi pengolahan bahan
baku segar dapat diserahkan kepada sehingga memberikan penghasilan
lebih baik kepada anggota.
Menggunakan gambaran sumber bahan baku tanaman obat di
Jawa Tengah, petani berlokasi mulai dari kecamatan Karangpandan,
Ngargoyoso yang terletak di lereng gunung Lawu dan kecamatan
Karanganyar serta Nguter yang relatif dekat dengan pusat agroindustri.
Lokasi petani yang jauh dari pusat industri lebih mengalami kendala
akses dan transportasi dalam menyalurkan bahan baku, sehingga sangat
mengandalkan pengumpul. Petani yang tersebar di 842 desa di empat
kabupaten penghasil tanaman obat yakni Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri
dan Karanganyar berpotensi menjadi anggota utama bilamana jaringan
diimplementasikan di daerah tersebut.
Total petani yang dibutuhkan oleh jaringan sebesar jumlah target
pasokan yang mampu dipasok jaringan kepada industri. Menggunakan
perhitungan rata-rata luas petani sekitar 2000 m2 dengan break even
point pada kondisi 332 ton, diperkirakan akan membutuhkan 110 petani
(lihat bab VIII).
b. Kelompok petani
Ketika petani telah bergabung, dimungkinkan terdapat sejumlah
lokasi dan variasi kemampuan yang perlu dikoordinasikan. Dalam
kondisi ini pasokan dan informasi akan mengalir dalam sebaran yang
lebar dengan kerumitan pengelolaan. Karenanya, dipandang perlu dibuat
mekanisme yang memudahkan interaksi dan penyampaian pesan.
Mempelajari kebiasaan petani di desa cenderung terlibat di dalam
kelompok secara informal (Sajogyo,1999), maka pendekatan tersebut
dipandang baik untuk dipergunakan. Manfaat secara positif adalah
terbangun kerjasama dan satu sama lain dapat berbagi pengetahuan dan
informasi.
Anggota diarahkan berhimpun di dalam kelompok sehingga
mempermudah pengimplementasian proses dan pertukaran informasi
122
serta pengetahuan. Hal ini untuk menjawab perlunya penatakelolaan
sebagaimana hasil sintesa ISM, dimana kondisi tersebut kurang dibahas
oleh peneliti terdahulu yang lebih memfokuskan pada perilaku hubungan.
Melalui kelompok, diberikan ruang untuk mengubah kepemilikan
pengetahuan menjadi distribusi pengetahuan. Alasan lain memanfaatkan
kelompok petani adalah dalam hal pengelolaan sejumlah besar petani
dengan melibatkan interaksi dan pertukaran informasi.
Hubungan antar anggota dan antar kelompok secara horisontal
dibangun dengan fasilitasi fasilitator. Interaksi inter dan intra kelompok
memungkinkan mengalirnya informasi kondisi pasokan bahan baku,
status anggota, dan pertukaran informasi usaha tanaman obat. Wujud
sinergi ini sebagaimana dinyatakan oleh Giannakis dan Croom (2004)
dilakukan dalam bentuk mengalirnya informasi: 1) usaha, 2)
pengetahuan, 3) kondisi pasar dan harga, 4) keuangan, 5) kondisi
organisasi dari pusat manajemen jaringan.
Berapa sebaiknya jumlah petani yang menjadi anggota kelompok
tergantung dari jumlah yang masih memungkinkan pertemuan
diselenggarakan secara efektif. Memakai kondisi di pedesaan, bisa
terdapat satu desa berhimpun banyak petani tetapi berlokasi saling
berjauhan dibatasi oleh lahan yang luas atau sebaliknya pada jarak yang
saling berdekatan. Petani dari desa yang sama atau berbeda bilamana
dipandang masih dalam jarak jangkauan dapat bergabung dikarenakan
konsep jaringan tidak membedakan batas lokasi.
c. Pusat manajemen jaringan
Struktur jaringan, menetapkan garis hubungan dimana informasi,
bahan baku, manfaat dan keputusan mengalir. Aliran informasi ini
berlangsung dari kelompok ke kelompok dan dari kelompok ke pusat
manajemen jaringan secara bolak-balik. Aliran bahan baku dari anggota
menuju lokasi pengiriman berdasarkan perintah kirim.
Keberadaan pusat manajemen diperlukan guna pengelolaan empat
bagian besar aliran dimaksud disamping anggota, proses, aset dan
sumberdaya. Mengingat perilaku pembeli senantiasa menekankan pada
123
ketepatan waktu, jumlah dan kualitas maka kendali operasional mengarah
pada ketercapaian keluaran dari daerah otonomi masing-masing anggota
dan mengendalikan sesuai tanggungjawab bersangkutan.
Manajemen rantai pasokan melibatkan dua bagian besar menurut Maku
et al. (2005) yakni demand dan supply process dengan tujuan kepuasan
pembeli. Fungsi jaringan berkaitan distribusi, pemasaran, manajemen
permintaan dan hubungan pelanggan (Customer Relation Management)
sebagaimana dinyatakan oleh Stock dan Lambert (2001), disolusikan dengan
menghadirkan pusat manajemen jaringan. Fungsi produksi dan pengolahan
hasil panen menjadi tanggungjawab petani.
1. Mekanisme Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk menilai kinerja organisasi secara
keseluruhan yang terbagi atas : keanggotaan, pasokan, proses, usaha dan
keuangan. Penjelasan mekanisme pengendalian sebagaimana gambar 24
sebagai berikut :
• Kendali keanggotaan dimaksudkan untuk memantau masukan,
kontribusi dan perilaku anggota. Anggota yang aktif berarti akan
memasok bahan baku sebagaimana diminta. Pusat manajemen
mengendalikan penerimaan, pengolahan permintaan dan kemudian
diturunkan melalui kelompok dengan fasilitasi fasilitator. Anggota
akan memberikan informasi kesanggupan pasokan melalui
kelompoknya.
• Kendali pasokan dimaksudkan untuk memantau sejauh mana anggota
menjamin bahan baku pasokan dapat dipenuhi baik jumlah, jenis,
kualitas, waktu dan harga. Apabila tidak terpenuhi, akan dilakukan
penelusuran terhadap kontribusi anggota.
• Kendali proses akan mengecek pencapaian mutu dari setiap bagian
proses. Pusat manajemen akan mendata kinerja anggota ditinjau dari
total penolakan, atau ketidaksesuaian hasil. Standar kualitas dan
tingkat penolakan telah terlebih dulu diserahkan kepada kelompok
untuk disebarkan kepada anggota.
124
• Kendali usaha mencakup sejauh mana permintaan dapat dipenuhi
sesuai dengan jumlah, jenis, kualitas dan waktu. Ketidaksanggupan
penyaluran akan ditelusur kembali kearah persiapan pasokan. Kendali
usaha juga akan memantau kemajuan perluasan pasar. Dalam hal ini
dimonitor sejauh mana terdapat tambahan pembeli baru dan apakah
mampu dipenuhi. Apabila ternyata tidak bisa, maka dilakukan
penundaan untuk persiapan kemampuan internal. Pusat manajemen
jaringan menerima permintaan pasokan dari industri sebagai hasil
kegiatan pemasaran dan memperhitungkan kesanggupan waktu kirim
berdasarkan waktu proses dan distribusi. Kendali terhadap
penyimpanan bahan baku dipecah menjadi tanggung jawab jaringan
dan anggota melalui kelompok masing-masing. Informasi terhadap
data stok mengalir dari kelompok ke jaringan sebagai dasar
pengambilan keputusan penawaran kepada industri.
• Kendali keuangan melibatkan kemampuan pengelola mengatur
keuangan sehingga organisasi sehat dan mampu meraih keuntungan
yang masih dapat dibagikan kepada anggota. Kendali keuangan akan
memantau pendapatan dan rugi laba operasi. Bilamana tidak tercapai
ditelusur lagi ke arah persiapan pasokan.
Sub-elemen perilaku berorganisasi yang menjadi elemen kritis,
membuka pemahaman diperlukan seseorang untuk memediasikan arus
informasi dan berbagai bentuk pengambilan keputusan. Unsur bekerja
sangat erat atas dasar kepercayaan yang ditemui di semua rujukan
jaringan, dipertegas melalui struktur dan sistem jaringan yang jelas.
Tanggungjawab menjamin ketercapaian kualitas produk dan proses yang
diintegrasikan sebagaimana hasil QFD, perlu dimengerti oleh anggota
jaringan.
Gambar 24. Mekanisme Pengendalian
PASOKAN USAHA KEUANGANANGGOTA
MASUKAN BAHANBAKU PASOKAN
Jml,jenis,kualitas,
waktuharga
PROSES
Biaya,kecepatan,
kualitas
HASIL
Kualitas,Jenis,
Kemasan,Harga
PEMENUHANTARGET
PENYALURAN
Jml,jenis,kualitas,
waktu
PERLUASAN PASAR
Mampu ?
Tunda
KEANGGOTAAN
Jml, lokasi,lahan,
kemampuan
KONTRIBUSI
Aktif ?
PEMBINAAN
ya
ya
ya
ya
PENCAPAIAN SASARAN
PendapatanR/L
Tidak
Tidak
ya
Tidak
ya
ya
yaSurvei
Tidak
Tidak
KINERJAJARINGAN
Tidak
Kembali kepasokan
125
126
2. Fasilitator
Fasilitator diperlukan dan berperan di dalam lintas informasi dan
kegiatan teknis maupun kendali proses. Siapa yang paling tepat sebagai
fasilitator, adalah tokoh yang telah dikenal petani agar mengurangi
resistensi dan menjadi pendorong. Keberadaan fasilitator menjadi penting
mengingat kelangsungan hubungan dengan anggota petani harus
dipertahankan.
Fasilitator melaksanakan aktivitas:
(1) memfasilitasi berbagai kepentingan petani,
(2) mendata kemampuan petani,
(3) menyalurkan informasi,
(4) mengelola konflik,
(5) memberikan motivasi,
(6) mengorganisasikan proses
(7) mengorganisasikan aktivitas petani dan
(8) memfasilitasi pembahasan persoalan di lapangan.
Fasilitator adalah seseorang yang mampu mewujudkan kepercayaan
anggota terhadap jaringan dan membangun dinamika kelompok agar
diperoleh pengambilan keputusan bersama. Tugas fasilitator
menerjemahkan informasi sesuai dengan tingkat pemahaman petani dan
sebaliknya menyampaikan ke pusat manajemen mengenai kondisi di
lapangan. Fasilitator juga menginformasikan kepada pusat manajemen
jaringan pencapaian hasil kelompoknya dan sejauh mana proses pertukaran
dan pengintegrasian proses berlangsung.
3. Pengelola Pusat Manajemen
Penyelenggara aktivitas di pusat manajemen adalah manajer yang
memahami perdagangan tanaman obat dan direkrut untuk menjalankan
fungsi pusat manajemen jaringan dimaksud. Manajer bertanggung jawab
terhadap hubungan eksternal yakni industri sebagai pelanggan utama dan
lembaga terkait seperti lembaga pemerintah yang membidangi tanaman
obat di tingkat kabupaten. Jaringan akan menjadi mata rantai pasokan
127
dengan berbagai industri tidak saja dengan industri yang menghasilkan obat
tradisional atau herbal terstandardisir, tetapi juga industri berorientasi
ekspor, dan industri kosmetik atas dasar sinergi.
Manajer selaku pengelola menjalin hubungan dengan lembaga
pembiayaan sebagaimana dimaksudkan pada Gambar 23, agar
memperoleh akses pinjaman modal baik bagi anggota maupun lembaga
jaringan. Kendala utama membangun jaringan adalah permodalan yang
dipergunakan untuk mengadakan fasilitas, sebagaimana hasil ISM. Sumber
dana tersebut dapat digali dari lembaga di luar jaringan. Kemudahan
memperoleh pinjaman diharapkan difasilitasi oleh pemerintah dan/atau
industri.
Hubungan dengan lembaga penelitian dijalin baik yang dimiliki oleh
perguruan tinggi maupun pemerintah sehingga dapat diperoleh bimbingan
teknis guna kepentingan anggota, dan bantuan penyuluhan hasil penelitian
mengalir dengan koordinasi pusat manajemen jaringan.
Jaringan mengambil ruang gerak yang relatif sama dengan kegiatan
pedagang pengumpul yang telah beroperasi selama ini sehingga terdapat
kemungkinan ancaman menggagalkan operasi jaringan. Bentuk persaingan
usaha di satu sisi dapat diterima dengan wajar, dengan mendorong langkah
positif dalam upaya bersaing secara konstruktif. Apabila terdapat tindakan
persaingan tidak sehat, anggota perlu menangkal melalui penguatan
keanggotan, memberikan manfaat kuantitatif yang lebih baik dan
pemberdayaan terus menerus.
Sesungguhnya pedagang pengumpul dapat memperoleh peran lain
dari keberadaan jaringan melalui aktivitas pendukung maupun proses
lanjutan berasal dari distribusi pekerjaan jaringan. Keberadaan pedagang
pengumpul besar dapat disetarakan dengan industri sehingga
kedudukannya akan berlaku sebagai perusahaan pembeli. Penjabaran
kemungkinan faktor penghambat internal dan eksternal diperlukan untuk
memperdalam sejauh mana konsep jaringan dapat diimplementasi.
128
Tabel 21 Analisis faktor penghambat dan pendorong keterlibatan petani
Faktor Penghambat Faktor Pendorong
INTERNAL PETANI
1. Respon petani kurang, akibat pandangan negatif proyek penyuluhan sebelumnya yang tidak konsisten.
2. Enggan melepaskan ikatan dengan pedagang karena
a. Jasa pedagang di masa lalu.
b. Telah mengenal pedagang.
3. Keterikatan pinjaman pada pihak pedagang. 6. Tidak terbiasa dengan pola
berstruktur.
7. Ketidakcocokan nilai jaringan dengan nilai yang dikenal saat ini.
1. Keinginan mendapatkan alternatif akses pasar.
2. Harga beli lebih baik atau keuntungan menarik.
3. Mendapatkan pembinaan dan kemudahan penyaluran.
4. Ingin mempunyai alternatif lain selain pedagang pengumpul.
5. Kekecewaan berhubungan dengan pedagang pengumpul.
6. Mendapatkan bantuan mediasi modal.
EKSTERNAL PETANI
2. Desakan pedagang pengumpul untuk tidak beralih. Desakan dimaksud dapat berupa :
a. tindakan membujuk b. penggunaan ikatan
hubungan masa lalu c. ancaman/ tindakan
kontra produktif 3. Perubahan taktik perdagangan dari
pedagang pengumpul dalam meraih simpati.
1. Terdapat tokoh yang menjadi fasilitator/ pengurus.
2. Anggota petani lain telah menjadi anggota.
3. Melihat manfaat yang diperoleh akan memberikan dorongan keinginan untuk bergabung.
4. Tawaran manfaat bilamana bergabung.
5. Peluang mendapatkan pembiayaan.
129
Penjabaran lebih rinci terhadap fungsi – fungsi pusat manajemen jaringan
dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini.
Tabel 22 Fungsi pusat manajemen Jaringan
Ke arah anggota (internal) Ke arah luar anggota (eksternal)
Informasi dan layanan
1. Persyaratan bahan baku 2. Sistem dan prosedur organisasi,
kebijakan, norma-norma, perkembangan organisasi, dan laporan keuangan
3. Penilaian kinerja. 4. Pergerakan harga, data
persaingan 5. Data produksi 6. Informasi peminjaman dana
Pemasaran
1. Analisis perkembangan permintaan konsumen
2. Memberikan sampel, melaksanakan kegiatan penjualan
3. Mencari akses pasar/ memperluas pasar
4. Menetapkan strategi bersaing dan mencari cara memenangkan persaingan.
Pengolahan
1. Melanjutkan pemrosesan bahan baku pada tingkat lebih lanjut seperti : menjadi simplisia kering, bubuk, sediaan galenik atau hasil penyulingan.
2. Mengemas hasil pasokan petani menjadi lebih baik lagi dalam tampilan, pelabelan.
Pengiriman
1. Pengadaan alat transportasi, buruh angkut.
2. Pengawasan selama pengiriman.
3. Penyertaan dalam pemeriksaan di pabrik penerima.
4. Pengapalan (bila diperlukan)
Pembelian
1. Mencari sumber pasok. 2. Menetapkan rencana pengadaan
bahan baku. 3. Membeli dengan harga yang tepat. 4. Mengumpulkan bahan baku.
Pembinaan
Mencari masukan dari pembeli dalam berntuk kesediaan bimbingan guna meningkatkan produktivitas, peningkatan kualitas.
Pembinaan dan layanan
1. Budidaya, pasca panen, pengelolaan usaha.
2. Kualitas berorganisasi. 3. Penyelesaian permasalahan.
Pelayanan pembeli 1. Menangani keluhan. 2. Mempertahankan pembeli
melalui kunjungan. 3. Melakukan kontak untuk
menggali kebutuhan
130
Baik Hall dan Valenzuela and Villacorta di dalam Daboub (2002)
menyoroti pentingnya membangun nilai-nilai yang mendorong terbangunnya
jaringan diantara para pihak. Tiga nilai penting yang diajukan pada disertasi ini
agar jaringan utuh adalah :
a. komitmen,
b. integritas dan
c. kerjasama.
Merujuk pada pengalaman membina petani tanaman obat oleh Koperasi
BPTO, komitmen sangat penting karena akan terwujud dalam tindakan
mematuhi kesanggupan / janji pasokan dalam jumlah, jenis, kualitas dan seluruh
ketentuan yang berlaku. Nilai integritas merupakan wujud kepatuhan untuk
menyatukan langkah operasi individual dengan organisasi. Nilai kerjasama
menunjukkan kesediaan berbagi dengan anggota lainnya.
Penerapan nilai dimaksud menjadi pedoman perilaku yang memerlukan
sosialisasi terus menerus. Responden pakar yang berpengalaman membina
petani menyatakan bahwa pelanggaran komitmen kadangkala masih ditemui
bahkan ketika kesepakatan telah dibuat. Apabila diketahui terdapat anggota
yang tidak menjalankan aturan secara konsisten, maka pembuat kesalahan perlu
dibina hingga bentuk teguran atau pinalti. Memperhatikan penerapan sanksi
pada petani anggota pendukung Koperasi Karyawan BPTO (Kobapto) di
Tawangmangu, sanksi akan dijatuhkan bilamana petani tidak mematuhi tata
cara berbudidaya yang digariskan, atau secara diam-diam menjual pada pihak
lain.
Ketidakpatuhan juga dapat berupa tidak mematuhi cara berproduksi yang
baik, tidak menjalankan standar pascapanen, mengalihkan pasokan kepada
pihak lain baik terbuka maupun terutup, dan tidak terlibat aktif dalam kegiatan
organisasi. Bentuk sanksi tergantung dari derajat kesalahan yang menentukan
kriteria ketidakpatuhan dan sanksi ditetapkan atas keputusan kelompok. Bentuk
sanksi dapat berupa : teguran administratif, pengurangan jumlah pasokan,
penghentian penerimaan pasokan sementara waktu atau penghentian sebagai
anggota.
VII. RANCANGAN IMPLEMENTASI
Implementasi jaringan dirancang melalui empat tahapan strategis. Jaringan
yang didesain dimiliki oleh petani perlu dibantu perwujudannya, mengingat
berbagai keterbatasan petani. Terdapat tiga alternatif pemrakarsa yang
dimungkinkan untuk mewujudkan jaringan yakni: pemerintah, lembaga
pemberdayaan masyarakat, dan agroindustri farmasi. Secara detil keunggulan dan
kelemahan masing-masing alternatif pemrakarsa sebagai berikut :
1. Pemrakarsa berasal dari pemerintah
Pemrakarsa dari pemerintah memiliki nilai positif yakni sebagai bentuk
kepedulian terhadap kesejahteraan petani tanaman obat dan menjadikan
agroindustri farmasi sebagai industri strategis yang layak dikembangkan.
Kelemahan dari pemrakarsa pemerintah terletak dari aspek pengambilan
keputusan dan pengalokasian dana mengingat harus melalui persetujuan
anggaran oleh dewan legislatif yang memerlukan tahapan pembahasan.
Birokrasi dan keterbatasan dana berakibat pada kontinuitas dan luas
cakupan areal pembinaan petani tanaman obat. Selain itu, kemungkinan
terdapat persinggungan teknis operasional mengingat penanganan
agroindustri farmasi menginduk kepada departemen pertanian dan kesehatan
sehingga dikhawatirkan terjadi penundaan pengambilan keputusan.
2. Pemrakarsa berasal dari lembaga pemberdayaan/swadaya masyarakat
Lembaga pemberdayaan masyarakat yang profesional sudah terbiasa
melakukan pendampingan kepada kelompok marginal sehingga memiliki
keunggulan lebih mengenal karakter masyarakat desa dan pendekatan yang
sebaiknya dilakukan. Kelemahan yang dimiliki lembaga swadaya masyarakat
adalah masih jangkauan pembinaan dan. akses industri sehingga
dikhawatirkan mengalami kesulitan di dalam penyaluran hasil produksi.
3. Pemrakarsa dari agroindustri farmasi
Pemrakarsa yang berasal dari agroindustri farmasi memiliki keunggulan
memahami karakter pemasok dan permasalahan pasokan. Kebutuhan industri
relatif dapat diterjemahkan secara tepat kepada petani. Namun, pemrakarsa
industri memiliki kelemahan karena harus berkonsentrasi memenuhi
ketentuan pemerintah untuk menghasilkan produk yang bermutu dan cara
132
pembuatan obat yang baik, selain beranggapan bahwa memberdayakan petani
dan penyelesaian di tingkat hulu merupakan tanggungjawab pemerintah.
Setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan masing – masing, kombinasi
antara pemrakarsa industri dengan pemerintah menjadi pendekatan harmonis
untuk membangun sistem rantai pasokan basis jaringan. Industri akan mencari
tokoh-tokoh di desa yang memiliki kesamaan pandangan untuk memajukan usaha
tani tanaman obat tetapi memiliki keterbatasan dalam cakupan pembinaan. Industri
akan menjelaskan perlunya mempererat hubungan secara lebih berstruktur dan
mendorong para tokoh yang telah mempunyai hubungan dengan petani untuk
mewujudkan jaringan.
Mengacu pada temuan selama penelitian, memang terdapat tokoh yang peduli
terhadap kemajuan usaha tanaman obat petani. Tokoh dimaksud, atas usaha sendiri
melakukan pembinaan dalam skala terbatas. Dengan bertemunya pihak dengan visi
sama menjadi kekuatan luar biasa untuk pembangunan jaringan. Pemerintah sesuai
dengan perannya mengeluarkan kebijakan dalam hal memajukan petani. Adapun
empat tahapan strategis pembangunan jaringan dapat dilihat pada Gambar 25
berikut ini.
INDUSTRI JARINGAN DIMILIKIPETANI
TAHAP IPELETAKKAN DASAR ORGANISASI
JARINGAN
TAHAP IIOPERASIONALISASI
TAHAP IIIPEMBINAAN
TAHAP IVPENGELOLAAN MANDIRI
PEMERINTAH
Gambar 25 Empat tahapan strategis pembangunan jaringan.
133
7.1. Tahapan Strategis Pembangunan Jaringan
1. Tahap Pertama : Penetapan dasar organisasi jaringan
Tahap pertama menyelesaikan lima bagian pekerjaan penyiapan
jaringan yakni: penataan organisasi, keanggotaan, penataan proses,
penyiapan fasilitas dan petugas pelaksana. Tujuannya adalah :
a. Menghasilkan cetak biru pengorganisasian jaringan dengan menetapkan
kewenangan pusat manajemen, kelompok petani, petani anggota dan
fasilitator. Mengelompokkan fungsi dan menempatkan pada pelaksana
fungsi. Menetapkan garis komunikasi dan bagaimana pemrosesan dan
aliran informasi. Pengaturan lingkup keputusan dan bagaimana
disebarkan ke setiap anggota untuk mencegah timbulnya konflik
internal.
b. Menyelesaikan pendeskripsian hak dan kewajiban anggota, ruang
lingkup tanggung jawab anggota dan mekanisme koordinasi anggota
dan kelompok.
c. Menghasilkan keterhubungan proses, dan data kemampuan proses yang
sanggup dilakukan oleh anggota, siapa yang akan mengerjakan bagian
proses yang mana dan keterhubungan proses satu sama lain. Seluruh
prosedur diuraikan dengan jelas, demikian pula penetapan titik kendali
dari setiap proses dan menjadi manual organisasi jaringan.
d. Mempersiapkan fasilitas mencakup lokasi kantor untuk pusat
manajemen, gudang penyimpanan, lantai pengeringan dan alat bantu
kerja lainnya.
e. Mempersiapkan petugas pengelola di pusat manajemen jaringan
sehingga kegiatan dalam lingkup fungsi hubungan eksternal mulai
dilakukan.
Peletakkan dasar organisasi pada tahap pertama ini dengan
memperhatikan hasil sintesa ISM terhadap sub-elemen struktur dan sistem
organisasi pada elemen tujuan. Kejelasan pengorganisasian akan
membantu calon anggota membandingkan dan mempelajari apa manfaat
yang akan diperoleh bilamana menjadi anggota jaringan. Penjabaran
134
konsep pada tahap pertama memerlukan kegiatan berpikir secara
konseptual sehingga peran pemrakarsa menjadi tinggi.
Aktivitas kunci yang dihasilkan dari sintesa ISM yakni survei lokasi,
telah mulai dilaksanakan pada tahap pertama sehingga petani anggota dari
beberapa daerah sumber pasokan yang telah tergerak bergabung dapat
ditempatkan pada kelompoknya. Bersamaan dengan pertambahan jumlah
petani bergabung dengan jaringan, fasilitator akan terus mensosialisasikan
manfaat berjejaring. Mekanisme penerimaan anggota diatur sebagaimana
Gambar 26 berikut ini.
Mulai
Analisis kesediaan petani bergabungtinjauan status saat ini (kontrak)
Analisis potensi petani andalan, untukfasiltator
Potensi lahan,tanaman obat,kondisi ikatan
dengan pihaklain
Menolak ?
Analisis kesediaan memenuhi normaorganisasi
tinjauan sikap dan perilaku
Rujukan norma:integritas, komitmen,
kerjasama
Bersedia ?
tidak
tidak
ya
ya
Kompetensisesuai ?
Kriteria fasilitator
Pengembangan/pendampingan
Sesuai ? Petani, fasilitator terdaftar
Selesaitidak
ya
Kepemimpinan,penerimaan lingkungan,
pengetahuan
Tetap mekanismedagang/ tidak terikat
tidak
ya
Gambar 26 Penerimaan petani anggota jaringan.
135
Siapa sebaiknya menjadi fasilitator diperoleh berdasarkan
informasi dari petugas pemrakarsa industri atau mitra kerja di desa.
Fasilitator dimaksud dapat berasal dari petani, tokoh non petani yang
memiliki kemampuan mengkoordinasikan kegiatan dan memahami
tanaman obat. Apabila setelah dilakukan survei, ternyata tidak terdapat
orang yang tepat sebagai fasilitator, maka industri dapat menempatkan
petugasnya sementara waktu sambil melakukan pembinaan atau meminta
bantuan pemerintah untuk menempatkan petugas berkemampuan guna
memfasilitiasi kegiatan kelompok.
2. Tahap Kedua : Operasionalisasi kegiatan
Setelah tahap penyusunan organisasi jaringan selesai, maka tahap
kedua adalah melaksanakan pengoperasian kegiatan dengan sasaran
terselenggaranya proses produksi, pemasaran dan pengendalian keuangan
secara tertib dan terkendali. Kinerja pengelolaan operasi dinyatakan
dengan tingkat penolakan bahan baku rendah, perolehan harga premium,
kesesuaian jumlah produksi dengan serapan pasar guna mencegah bahan
baku tertahan di gudang.
Perincian ruang lingkup kegiatan pada tahap kedua sebagai berikut :
a. Mencari anggota sehingga mencapai jumlah petani sesuai target.
b. Melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada industri dengan
sasaran pengenalan dan perluasan pembeli.
c. Mengoperasikan transaksi dengan pembeli dan penyaluran bahan
baku dalam waktu, jumlah dan tingkat mutu yang sesuai lebih giat
dilaksanakan dengan bantuan dari pemrakarsa. Keberhasilan pada
tahap ini ditunjukkan dengan kesediaan industri membeli bahan
baku yang dipasok.
d. Melaksanakan pembelajaran anggota dan petugas pusat manajemen
jaringan dalam mengelola organisasi jaringan. Pembelajaran
mencakup perencanaan pengadaan dan pemasaran berdasarkan
analisis permintaan dan penawaran, pengambilan keputusan,
pengelolaan persediaan, manajemen transportasi dan pembukuan.
136
e. Mengalihkan pengetahuan dari petugas pemrakarsa yang memiliki
kemampuan pengelolaan kepada fasilitator dan pengelola pusat
manajemen jaringan, sehingga secara bertahap peran industri
dikurangi.
f. Mencari akses modal mengingat faktor tersebut menjadi kendala
pada pembangunan jaringan sebagaimana hasil sintesa ISM.
Terdapat alternatif sumber modal yakni pinjaman bank, pinjaman
industri berupa uang muka pembelian bahan baku dan iuran anggota
yang jumlahnya ditetapkan oleh organisasi. Jaringan dapat
mengusahakan pencarian pinjaman kepada lembaga pembiayaan
untuk kepentingan anggota. Apabila petani kurang memiliki
kemampuan melakukan pembayaran iuran anggota secara sekaligus,
maka diatur penempatan uang muka dalam prosentase yang
disepakati dari total dana penempatan yang ditetapkan. Sisa
kewajiban diangsur dari hasil penjualan bahan baku. Pemerintah
dapat mengambil peran memfasilitasi kemudahan pinjaman dari
pihak pemberi pinjaman.
Bilamana dua tahapan strategis telah dikuasai maka peran
pemrakarsa dapat berangsur berkurang dan dialihkan pada pengelolaan
terkendali yang dilakukan oleh anggota dan pengurus.
Guna melaksanakan aktivitas operasional pusat manajemen
jaringan, pekerjaan dikelompokkan menjadi dua bagian yakni
operasional dan keuangan - administrasi umum. Bagian operasional
mencakup kegiatan pokok :
1. pengadaan bahan baku,
2. pembinaan anggota dan
3. pemasaran.
Kegiatan pengadaan bahan baku mencakup : perencanaan dan
pendataan produksi, penyiapan pasokan, pengendalian mutu dan
penyimpanan. Pengaturan arus masuk dan keluar bahan baku dikelola
berdasarkan perhitungan saat panen, persediaan bahan baku di gudang
dan perkiraan permintaan.
137
Pembinaan anggota merupakan aktivitas yang dilakukan oleh
fasilitator untuk meningkatkan kemampuan anggota dari segi : budidaya,
pascapanen dan berorganisasi. Petani diajak untuk berusaha secara
profesional dengan mengedepankan komitmen.
Kegiatan pemasaran merupakan serangkaian aktivitas perencanaan
target pasar, membina hubungan untuk mempertahankan pembeli,
melakukan aktivitas pemasaran, dan menyalurkan bahan baku.. Perluasan
pasar akan menjadi perhatian guna memperbesar kemungkinan
menyalurkan pasokan anggota.
Desain organisasi yang bertumpu pada peran aktif anggota akan
meminimalisir penggunaan pegawai tetap di pusat manajemen sehingga
menekan pengeluaran biaya tetap. Bagian keuangan dan administrasi
umum mencakup kegiatan pendukung yakni :
(1) akunting dan keuangan
(2) administrasi dan pengelolaan orang
Kelompok keuangan dan administrasi umum akan mengelola aktivitas
uang masuk dan keluar, pencatatan keuangan, pengadaan fasilitas
organisasi, hubungan dengan lembaga pembiayaan, legalitas dan izin-
izin, serta pengelolaan tenaga kerja.
Pengelola pusat manajemen jaringan adalah manajer yang dibantu
oleh petugas pelaksana yang menangani operasional dan pengendalian
keuangan. Petugas pelaksana operasional bertanggung jawab memantau
pergerakan harga tanaman obat dari berbagai sumber pasokan dan harga
jual yang ditetapkan oleh pengumpul dari berbagai daerah, berkunjung
kepada kelompok petani dan aktivitas berkaitan pemrosesan permintaan
dan pasokan. Petugas pelaksana keuangan bertanggungjawab dalam
pengendalian arus kas, pengelolaan fasilitas/ aset lembaga, pembayaran
berbagai pihak, pembagian sisa hasil usaha, hubungan dengan lembaga
pembiayaan, pengolalaan pelaksana dan buruh kerja.
Manajer, bertanggung jawab atas pencapaian kinerja jaringan
ditinjau dari keterlibatan anggota, perolehan pendapatan organisasi, dan
penjualan / penyaluran bahan baku kepada pihak industri. Manajer
138
memastikan bahwa perencanaan dan pengendalian staf di bawahnya
berjalan dengan baik. Melalui kemampuan berkomunikasi, terdapat
kemungkinan diperoleh dana bantuan ataupun pembinaan bekerjasama
dengan agroindustri farmasi, departemen teknis atau pemerintah daerah
setempat. Setiap individu dapat menjadi manajer dengan syarat
memenuhi kelayakan kompentensi generik, teknikal dan manajerial.
Manajer digaji dengan standar upah minimum regional ditambah
dengan tunjangan jabatan. Tenaga pelaksana diperhitungkan
mendapatkan upah setara dengan upah minimum regional. Bilamana
kegiatan jaringan berkembang, dimungkinkan derajad bagian operasional
yang dipimpin oleh seorang kepala bagian operasional dan tidak sekedar
seorang staf dengan cakupan tanggungjawab yang lebih luas dalam
pensupervisian.
Mekanisme pengkoordinasian kegiatan dilakukan melalui pertemuan
reguler pusat manajemen dengan fasilitator sehingga senantiasa dapat
disampaikan kondisi pasar tanaman obat. Pada tahap ini, pemrakarsa
memperkenalkan cara menilai kinerja jaringan secara kuantitatif yang
mencakup kinerja : pemasaran, keuangan, operasional / proses internal,
dan pembelajaran.
3. Tahap ketiga : Pembinaan Jaringan
Sasaran pada tahap ini adalah memperbaiki fungsi jaringan yang
dinilai belum efektif, tercapai pengelolaan operasional berupa kapasitas
produksi dan mutu produk, kinerja hubungan antar anggota dan
perubahan perilaku anggota. Anggota didorong untuk menganalisis rantai
proses yang belum menunjukkan kinerja sebagaimana diharapkan,
menilai kembali anggota yang belum terlibat aktif, dan koordinasi yang
masih belum berjalan sebagaimana diharapkan. Permasalahan di
lapangan dianalisis di dalam kelompok untuk dicari solusinya. Berapa
lama tahapan ketiga ini berlangsung, tergantung dari kemajuan
pembentukan kelompok dan kemandirian pengelola.
139
Bilamana target pada tahap ketiga tercapai, menjadi tanda bahwa
perangkat organisasi siap memasuki tahap keempat yakni pengelolaan
mandiri dimana keterlibatan industri diganti dengan partisipasi anggota
dan pengelola pusat manajemen. Kehadiran industri hanya dilakukan
dimana diperlukan dan bertindak sebagai konsultan organisasi.
Dalam kegiatan jaringan yang melibatkan banyak individu,
diperlukan pengambilan keputusan yang tepat dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan. Lingkungan bisnis yang berubah cepat sering
memerlukan keputusan lebih cepat, yang dapat berakibat pada mutu
pengambilan keputusan (Turban, Aronson dan Peng Lian, 2005).
Pengambilan keputusan semakin kompleks bilamana melibatkan
beberapa orang di dalam kelompok.
Area pengambilan keputusan dibagi menjadi dua yakni keputusan
strategis dan teknis sebagai berikut :
a. Keputusan teknis operasional adalah keputusan yang diambil oleh
kelompok mencakup cara bagaimana anggota berkontribusi dan
bagaimana pelaksanaan teknis diselenggarakan mencakup:
budidaya dan usaha tani, pengelolaan aktivitas, mekanisme
pemecahan masalah anggota dan berpendapat. Dengan bantuan
fasilitator, keputusan teknis dikelola sejalan dengan keputusan
yang ditetapkan oleh pusat manajemen jaringan.
b. Keputusan strategis berada pada pusat manajemen jaringan
mencakup : pemasaran, pengembangan usaha, keorganisasian, dan
pemberdayaan anggota dengan cakupan yang lebih luas untuk
kepentingan seluruh anggota. Keputusan strategis akan menjadi
anutan dari seluruh anggota. Bagan di bawah ini akan
menunjukkan bagaimana dua keputusan ditetapkan oleh lembaga
jaringan.
140
Analisispersaingan
- pergerakkan harga- pendekatan
pesaing- jumlah pesaing
Analisis Kebutuhan- pergerakkan permintaan
- pergerakkan hargaindustri
- perkembangan pasaragroinidustri
LingkunganIndustri dan Jauh
- peraturan- inflasi
- suku bunga
Analisis pengadaannasional
- pasokan desa - nasional- produksi petani non
anggota- prediksi stock
Analisis faktorpendukung
- ketersediaan gudang- kemungkinan dana
pinjaman- penyediaan buruh
KEPUTUSANSTRATEGIS
Mulai
Data lengkap
tidak
ya
(1). Total ped pengumpul, Jml serapan tan obat, harga
beli.(2). Total permintaan industri.(3). Harga beli AIF (Ai
Mancur, Sidomuncul, Nyonya
Meneer Jago)(4). Suku bunga kredit. Tkt
inflasi(5), Sewa,lokasi, luas
gudang, biaya buruh.
Kebijakanpembelian,tingkat kualitas
dan harga
Harga sesuaiJumlah stock gudangJumlah penyaluran
Rujukan
Lokasi gudang,FIFO
ya
- Keputusan harga- Kebijakan produk (jenis,
tingkat mutu, pasokan)- Jumlah pembelian
Kapasitas ?Sewa < /= batas ?
Penetapan lokasipenyimpanan
KEPUTUSANOPERASIONAL
tidak
Selesai
yatidak
Gambar 27. Skema pengambilan keputusan jaringan
141
4. Tahap keempat : Pengelolaan Mandiri
Tanggung jawab pengelolaan jaringan pada tahap ini telah
diserahterimakan kepada petani. Dengan demikian rekayasa rantai
pasokan berbasis jaringan yang dimiliki sepenuhnya oleh anggota
terwujud. Indikator jaringan siap berada pada tahap pengelolaan
mandiri ditunjukkan dengan:
1. kemampuan pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh petani,
fasilitator dan pengurus,
2. proses bisnis berjalan,
3. pengelolaan administrasi terpenuhi,
4. cara petani beraktivitas telah tepat.
Kondisi dimana kegiatan rutin berjalan sesuai proses bisnis dengan
tingkat kesalahan rendah menunjukkan proses pembelajaran telah
berjalan baik. Aktivitas kerja jaringan yang berada dalam tanggung
jawab masing-masing bagian mengikuti proses bisnis sebagaimana
diterakan pada gambar 28. Masing – masing penanggung jawab bagian
melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengendalian kegiatan
dalam proses bisnis.
142
Kegiatanpemasaran
Industri
Pelaksanaoperasional
Manajer
Perkiraan
kebutuhan bahan
baku
Perencanaan
pengadaan b.baku
Pem
belian
Pengolahan
Penyimpanan
Penyaluran
Evaluasi pencapaian
Pengadaan fasilitaspergudangan,transportasi
Penyediaan buruhoperasional
Keuangan/ danaoperasi
Kegiatan pendukung
Kegiatan operasi
Staf akunting danadministrasi umum
Pem
binaan petani
Pusatpenyimpanan
data
KegiatanSosialisasi
Petanianggota
Lembagateknis
Gambar 28 Kegiatan operasi pusat manajemen jaringan.
Keberhasilan jaringan diukur dari :
a. keuntungan, arus kas,
b. pertumbuhan permintaan,
c. tingkat penolakan produk,
d. umur keanggotaan dan
e. tingkat kepuasan pelanggan.
Tolok ukur tersebut merefleksikan kemampuan operasional jaringan
memuaskan pembeli industri, maupun memenuhi komitmen organisasi
memberikan nilai lebih bagi anggota dalam wujud kepuasan, pembinaan
dan kemajuan. Efektivitas pengelolaan diwujudkan dari seberapa cepat
permintaan pasok bahan baku dapat dipenuhi kepada pembeli. Dalam
pemenuhan permintaan pasokan, tenggang waktu (lead time)
143
diperhitungkan secara seksama dengan menganalisis waktu pengalihan
permintaan kepada masing-masing anggota, melakukan pengumpulan bahan
baku dan memproses sesuai persyaratan yang diminta.
7.2. Kepemilikan Jaringan
Pada tahap awal pembangunan, jaringan tidak dipusingkan dengan
pemilihan hukum usaha. Terdapat tiga jenis badan hukum usaha yang dikenal
di Indonesia yakni : 1) usaha swasta, 2) badan usaha pemerintah dan 3)
koperasi (Hendrajogi, 1998). Esensi berjejaring lebih mengedepankan
bagaimana hubungan pemasok-pemasok. Jaringan diharapkan segera
beroperasi tanpa terkendala oleh persyaratan legalitas.
Jaringan menempatkan anggota sebagai pemilik, dimana salah satu
alternatif memperoleh modal adalah dari anggota. Setoran modal diatur agar
tidak terjebak pada pemusatan modal sehingga dikhawatirkan mempengaruhi
keputusan. Dengan demikian, modal saham anggota tidak dipindahtangankan
dengan tujuan mendorong anggota petani bersungguh-sungguh berhimpun di
dalam jaringan. Atas dasar ini pula diharapkan jaringan menjadi kuat.
Setoran modal anggota merupakan tanda keikutsertaan sebagai
anggota. Modal tersebut tidak dihitung untuk mendapatkan manfaat atau nilai
deviden. Pengaturan-pengaturan dalam hal permodalan dan pengelolaannya
diperlukan sehingga memberikan kepastian. Modal saham diatur tidak dapat
ditarik untuk satu masa, yang lama masa tersebut ditetapkan dalam rapat
pengurus terutama bagi anggota yang bermaksud mengundurkan diri.
Jaringan berazaskan manfaat pada anggota dimana masing-masing
bertanggungjawab atas bagian yang disanggupi, berpartisipasi dan
menyumbangkan kemampuan untuk keberhasilan organisasi. Pengelola pusat
manajemen akan menetapkan kebijakan dasar, visi dan misi organisasi dan
pengendalian operasional secara menyeluruh.
Tenaga pengelola di pusat manajemen ditetapkan oleh anggota.
Pengelola berasal dari petani, kemungkinan sulit diperoleh pada tahap
pertama dan kedua langkah strategis. Alternatif pertama untuk mengatasi
kendala tenaga pengelola dilakukan dengan menarik tenaga profesional yang
144
dapat mengelola jaringan. Alternatif kedua, memperoleh tenaga pengelola
yang berasal dari pemrakarsa industri. Kelanjutan dari pemakaian tenaga
profesional sebagai pengelola pusat manajemen dapat diputuskan oleh
anggota.
Pengambilan keputusan strategis dan penetapan rencana tahunan akan
menemui kesulitan apabila melibatkan seluruh anggota mengingat domisili
anggota yang berjauhan. Pemecahannya dilakukan dengan mewakilkan suara
anggota kepada anggota lain atau fasilitator.
Kebijakan sisa hasil usaha akan ditetapkan berdasarkan masukan
anggota. Distribusi sisa hasil usaha akan terdiri dari keuntungan jaringan
setelah disisihkan dana cadangan untuk menghadapi paceklik atau resiko
penurunan penjualan, sejumlah prosentase tertentu untuk tujuan
pengembangan. Apabila jaringan menderita kerugian, maka ditetapkan
alokasi tanggungan anggota. Bilamana terjadi pembubaran, maka modal
saham yang telah disetorkan sejauh masih dimiliki sisa, dikembalikan kepada
anggota secara proporsional.
Biaya operasional bagi fasilitator disiapkan berasal dari biaya
pengelolaan yang dicadangkan untuk setiap kilogram bahan baku sebesar
Rp 20,- Adapun alokasi insentif bagi pengelola jaringan disisihkan berasal
dari biaya transaksi sebesar Rp 15,- per kilogram.
7.3. Persyaratan Implementasi
Jaringan memerlukan persyaratan-persyaratan agar dapat
diimplementasikan. Keberhasilan penerapan sistem dipengaruhi oleh faktor
lingkungan usaha dan kemungkinan penghambat internal. Sesungguhnya,
apapun bentuk usaha memerlukan komitmen pemerintah dalam memberikan
kemudahan dan keamanan berusaha, prasarana, sarana, dan paket kebijakan
yang mendorong kemajuan usaha, dan pemihakan kepada kalangan petani.
Lingkungan industri merupakan faktor yang sangat dekat dengan
kelangsungan hidup petani tanaman obat. Ekspansi industri akan memberikan
dampak pada peningkatan volume produksi yang pada akhirnya mendorong
permintaan bahan baku. Sebaliknya kesulitan pemasaran dan hambatan
145
perluasan usaha industri memberikan dampak negatif kepada petani. Untuk
dapat menyejahterakan petani jaringan terlebih dahulu berhasil secara usaha.
Persyaratan yang diharapkan terpenuhi dalam membangun rantai pasokan
berbasis jaringan adalah :
1. Respon industri
Keberhasilan mewujudkan jaringan dan pengoperasiannya,
memerlukan respons industri, dalam bentuk kesediaan menjalin kemitraan
dengan jaringan. Dampak dari kesediaan bermitra akan menghasilkan
keputusan pembelian bahan baku dengan harga terbaik disesuaikan
dengan tingkat mutu bahan baku. Harapan kepada industri agar jaringan
dapat diimplementasikan adalah :
a. memiliki visi membangun usaha agroindustri farmasi yang kuat, dan
menempatkan petani sebagai aktor penting di dalam manajemen
sumber bahan baku.
b. komitmen memberikan informasi kebutuhan bahan baku.
c. tidak memutuskan kontrak secara sepihak dan bersedia memberikan
pembinaan.
d. melakukan pembayaran tunai terhadap pembelian bahan baku bahkan
bilamana dimungkinkan membayar uang muka pembelian bahan baku
yang dapat dipergunakan sebagai modal kerja jaringan minimal pada
tahap pertama dan kedua dari empat tahapan strategis.
e. melakukan transaksi secara wajar dan tidak melakukan penekanan
yang bersifat oportunistik.
Harga sebagai instrumen penentu transaksi dicapai bilamana
keduabelah pihak saling terbuka dan mencapai titik temu untuk
kepentingan bersama. Dalam hal penetapan harga beli, kedua belah pihak
sebaiknya mencapai kesepakatan harga pembelian bahan baku untuk
jangka tertentu. Mengingat harga tanaman obat cenderung berfluktuasi
maka pada saat harga bergerak naik di luar kesanggupan pembeli, industri
dan jaringan dapat melakukan kesepakatan perubahan harga baru yang
tidak merugikan industri. Sebaliknya, bilamana harga bergerak turun,
maka dapat disepakati pada tingkat harga sebagaimana ditetapkan
146
sebelumnya atau terdapat keputusan lain yang saling tidak merugikan.
Peluang penyesuaian harga meningkat atau menurun dapat dibicarakan
pada saat pertemuan penetapan harga beli yang pada prinsipnya adalah
keterbukaan kedua belah pihak dan mempunyai komitmen penyelesaian
terbaik sehingga tumbuh secara sehat.
2. Dukungan pemerintah
Keterbatasan kemampuan petani membangun jaringan,
membutuhkan kehadiran pemrakarsa industri dengan dukungan
pemerintah. Pemerintah membantu jaringan dalam :
1. penyuluhan atau pembinaan kepada petani tanaman obat melalui dinas
terkait.
2. mendorong lembaga pembiayaan memberikan kredit bagi kepentingan
usaha tani tanaman obat
3. perbaikan infrastruktur, dan menjamin kemudahan sarana produksi .
4. bekerjasama dengan balai penelitian melakukan penyuluhan budidaya.
5. konsistensi peraturan yang melindungi konsumen terhadap
agroindustri farmasi ilegal yang tidak dijamin keamanan produknya
sehingga merusak citra produk secara keseluruhan.
6. mengalokasikan lahan bagi pengembangan tanaman obat dengan
memberikan peluang petani mengolahnya.
7. memasukkan pengembangan usaha tanaman obat sebagai kebijakan
strategis yang layak mendapatkan dukungan dari DPRD terutama di
kabupaten-kabupaten sumber pasokan..
3. Respon petani anggota
Keberhasilan jaringan bertitiktolak pada partisipasi anggota. Tokoh
panutan akan mendorong petani menjadi anggota dan memberikan
komitmen memasok tanaman obat. Lahan petani yang terbatas dengan
luas rata – rata 0.3 hektar per petani, bilamana disatukan dalam kelompok
dapat diubah menjadi lahan satu hamparan lebih luas sehingga terjadi
147
efektivitas kegiatan melalui berbagi informasi dan perencanaan budidaya
terpadu.
Diasumsikan petani memiliki komitmen mengikuti cara berbudidaya
yang tepat dan terdorong meningkatkan pengelolaan usaha tani. Untuk
mencapai hal dimaksud dipersyaratkan kesediaan petani :
1. mematuhi prosedur organisasi jaringan dan tata laksana teknis
operasional yang ditetapkan
2. aktif dalam kegiatan bagi kepentingan kelompok
3. berkomitmen mengembangkan diri
4. berkontribusi membentuk hubungan kerja antar anggota dan dengan
pusat manajemen jaringan, mencegah kemungkinan persaingan usaha
tidak sehat dari pihak ekseternal dan
5. bersedia menyerahkan bahan baku dengan waktu pembayaran
menunggu dari penerimaan pembayaran dari industri.
4. Lembaga Pembiayaan
Lembaga pembiayaan yang berasal dari institusi perbankan,
lembaga pembiayaan mikro maupun non perbankan seperti perusahaan
milik negara pembina unit usaha kecil menengah, bersedia memberikan
pinjaman modal kerja bagi keperluan petani anggota atau jaringan.
Melalui intervensi pemerintah diharapkan lembaga pembiayaan bersedia
memberikan kredit dengan surat kontrak pembelian dari industri. Kredit
bank ditujukan untuk modal investasi dan modal kerja.
7.4. Kekuatan dan Keterbatasan Jaringan
Rekayasa sistem rantai pasokan berbasis jaringan memperkaya studi
tentang manajemen rantai pasokan, dengan mengkonkritkan tinjauan
hubungan di dalam jaringan melalui tatakelola berdasarkan kekuatan
pembagian proses dan pembelajaran. Berhimpunnya petani dengan
berorientasi kepada kebutuhan pembeli mendorong perhatian seksama akan
mutu proses sebagaimana telah dihasilkan dari penerjemahan Quality
148
Function Deployment. Kemampuan untuk menghasilkan lebih baik, akan
berimplikasi pada harga beli yang lebih tinggi.
Kekuatan jaringan bertumpu pada kontribusi aktif dan bukan
berdasarkan hubungan atas-bawah yang kaku. Kumpulan petani ini akan
menghubungkan beragam kemampuan pembudidayaan tanaman obat,
menyatukan proses dan menembus batas desa sehingga jenis tanaman obat
yang berhasil dikumpulkan akan beragam. Melalui jaringan yang dimiliki
petani, akan menjadi sarana pemberdayaan petani untuk memiliki kekuatan
yang mampu berinteraksi dan melakukan negosiasi dengan lembaga-
lembaga usaha lainnya. Namun, selain kekuatan sistem sebagaimana
diuraikan diatas, jaringan memiliki keterbatasan yakni :
1. Jaringan bekerja dengan jumlah petani dengan kesanggupan memasok
sampai batas BEP (lihat bab VIII). Pasokan disalurkan kepada pembeli
tanpa jeda waktu atau masa tunggu. Kondisi ini penting karena
berakibat perubahan mutu atau terjadi penyusutan berat.
2. Semua batasan atau asumsi bekerja dengan tepat. Kegagalan perkiraan
kerusakan panen, resiko rusak pengolahan maupun penyimpanan
menjadi peluang ketidaksanggupan memenuhi komitmen pasokan dan
pada akhirnya mengurangi kepercayaan. Dengan demikian, setiap kali
perubahan dua asumsi tersebut akan berpengaruh pada perhitungan
pendapatan jaringan secara keseluruhan.
3. Jaringan mengandalkan kehadiran fasilitator dan telah diasumsikan
terdapat figur dimaksud, dan bilamana belum ada diatur dengan
kehadiran fasilitator dari pemrakarsa sambil secara bertahap dilakukan
pembinaan menjadi fasilitator.
4. Jaringan bertumpu kepada industri sebagai pemrakarsa sekaligus
pembeli.
5. Jaringan bekerja dengan asumsi, petani memegang nilai integritas,
kebersamaan dan komitmen sudah menyatu pada diri petani selaku
anggota. Sistem tidak memasukkan resiko pembelotan petani atau
tindakan tidak terpuji dengan melanggar komitmen. Jaringan tidak
149
memasukkan perhitungan resiko terjadi pengalihan lahan untuk
dipergunakan menanam tanaman lain selain tanaman obat.
6. Seluruh perhitungan semata dengan menggunakan pengalihan tanaman
obat segar menjadi bahan baku irisan kering dan belum dengan variasi
jenis lainnya.
VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM
8.1. Validasi
Validasi bertujuan menelaah logika berpikir dalam membuat
perekayasaan sistem sehingga menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan
dengan memeriksa kembali teori, asumsi dan pendekatan yang mendukung
atau dipergunakan. Suatu model dinyatakan valid untuk satu set kondisi
tertentu dengan mencapai ketelitian sebagaimana dikehendaki oleh tujuan
dari model. Validitas model konseptual adalah menetapkan bahwa teori dan
asumsi yang melandasi model konseptual tersebut tepat dan model telah
merepresentasikan dari entitas permasalahan yang diarahkan untuk mencapai
tujuan (Sargent, 2000).
Validasi, adakalanya tidak dilakukan untuk keseluruhan model sistem
mengingat permasalahan yang kompleks. Pengumpulan data yang relevan
untuk membangun rekayasa sistem diperlukan sebagaimana dinyatakan
Campbell di dalam Bungin (2005). Beberapa teknik validasi diajukan oleh
Martis (2006) antara lain membandingkan dengan model lainnya,
memprediksi perilaku sistem, data eksperimental dibandingkan dengan data
historis, mengajukan pertanyaan kepada pihak yang memiliki pengetahuan
untuk menilai apakah perilaku model sistem dapat dipertanggungjawabkan
dan pendekatan scoring.
Langkah validasi pada penelitian ini dilakukan menggunakan
kelompok pakar yang memiliki pengalaman dalam dunia usaha tanaman
obat. Hal ini sesuai dengan apa yang diajukan oleh Martis yakni
menggunakan individu yang berpengetahuan. Langkah-langkah yang
dilakukan adalah :
1. merancang sejumlah elemen yang merefleksikan kriteria yang akan
divalidasikan.
2. mendeskripsikan metode validasi melalui rujukan teori dan
penggunaan kelompok pakar.
3. memilih kelompok pakar terdiri dari praktisi, peneliti, pembina petani,
dan ketua koperasi yang berhubungan dengan petnai tanaman obat.
151
4. mengajukan pertanyaan dengan satuan skala 5 dari sangat tidak
mungkin (skala 1) atau sangat rendah hingga sangat mungkin atau
sangat tinggi (skala 5).
Kuisioner berisi sejumlah faktor faktor yang berpengaruh terhadap sistem
rantai pasokan berbasis jaringan, diajukan kepada responden pakar. Faktor
akan berhubungan dengan penilaian :
1. tujuan jaringan mensejahterakan anggota
2. keterlibatan petani di dalam jaringan
3. perilaku petani
Selain menggunakan kelompok pakar, validasi atas tujuan jaringan didekati
dengan penggunaan analisis benefit, cost, opportunity, risk. Berdasarkan
hasil perhitungan, sistem rantai pasokan berbasis jaringan dinyatakan valid
dapat mencapai tujuan kesejahteraan petani pada kondisi optimistik. Validasi
terhadap elemen tujuan berdasarkan agregasi pendapat pakar menggunakan
skala sangat rendah sampai sangat tinggi, diperoleh nilai tinggi. Fungsi
jaringan yang melibatkan aktivitas petani untuk mengintegrasikan proses
dinyatakan valid sebagaimana dirujuk pada Vokurka et al., (2002).
Integrasi proses telah ditelaah menggunakan metode QFD dengan
hasil terbukti terjadi korelasi antara mutu dan proses. Agregasi pendapat
responden terhadap kepatuhan pada tata cara budidaya dan pascapanen
dihasilkan nilai tinggi. Namun, hasil agregasi terhadap perilaku petani untuk
tidak mengalihkan pasokan pada pihak lain dinyatakan sedang.
Menurut responden Sinambela, dalam hal penggunaan tenaga
fasilitator dinyatakan valid, mengingat petani tidak berkemampuan
melakukan pemberdayaan diri mereka dan kurang mampu melakukan
penetrasi pasar. Fasilitator harus seseorang yang dikenal dan memiliki daya
tahan untuk melakukan pendekatan dan pensosialisasian. Figur fasilitator
yang dinilai tepat oleh responden adalah aparat di desa. Esensi dari mengapa
aparat desa dipergunakan, karena lebih mengenal masyarakat di desanya.
Dengan demikian alasan mengenal masyarakat, merupakan kriteria atas
siapa yang paling tepat sebagai fasilitator yang sudah diuraikan pada bab
sebelumnya.
152
Responden Widyastuti, membenarkan hubungan antara petani dan
industri tepat dilakukan karena kebenaran bahan baku yang menjadi
permasalahan industri harus dimengerti oleh petani dan kondisi tersebut
harus tercermin pada pemrosesan bahan baku awal. Dalam hal permasalahan
mutu dinyatakan valid sebagaimana terdapat di lapangan dan jaringan
mempunyai peran untuk mewujudkan ke dalam proses yang bermutu.
Mengingat petani sering mengubah cara pengelolaan usaha tani, maka
sistem pengawasan dan penyuluhan menjadi tepat diterapkan.
Sub-elemen konflik telah divalidasi dengan mencari logika pendukung
atas elemen pemicu konflik berdasarkan pendapat responden pakar Harsono
ketua Koperasi BPTO, dimana sub-elemen konflik dan solusi telah tepat.
Dengan demikian, ketika sistem diimplementasikan di lapangan akan
mengurangi gap konflik karena telah disiapkan langkah-langkah pencegahan.
Hasil agregasi pendapat responden atas sub-elemen validasi memberikan
hasil sebagai berikut :
Tabel 23 Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi
No Elemen Kriteria Agregasi pendapat pakar
Kemampuan jaringan mensejahterakan petani
T 1 Tujuan jaringan
Kemampuan jaringan mencerdesakan petani
T
Petani memenuhi tata cara budidaya
ST
Petani mematuhi tata cara pascapanen
ST
2 Keterlibatan petani pada jaringan
Petani memenuhi jadwal
T
Komitmen T Integritas S Sinkronisasi keputusan dan integrasi proses
T
3 Perubahan perilaku petani
Kompetisi Tidak Sehat S ST = sangat tinggi T = tinggi S = sedang
153
Validitas penggunaan AHP sebagai alat pengambil keputusan telah
dikonfirmasikan dengan responden dan diperoleh konsistensi sebagaimana
dijelaskan pada hasil analisis konflik. Konsistensi sangat penting dalam
pengambilan keputusan dimana apabila konsistensi sangat rendah seperti
pertimbangan menjadi acak, tetapi sebaliknya tidak ada konsistensi
sempurna juga sulit dicapai.
8.2. Verifikasi
Verifikasi dilakukan dengan menghitung penerimaan petani anggota
bilamana menyalurkan bahan baku melalui lembaga jaringan. Asumsi yang
digunakan sebagaimana tabel 24 dan 25. Data yang dipergunakan diperoleh
dari daerah sumber pasokan Karanganyar dan Wonogiri. Selanjutnya,
dilakukan verifikasi dengan menghitung kemampuan jaringan memasarkan
produk menggunakan ketetapan meraih pangsa pasar tanaman obat untuk
agroindustri farmasi penghasil obat tradisional rata-rata 8 % dan mampu
menjual ke industri tanpa mengalami masa tunggu, yakni bahan baku setelah
diproses langsung diserahkan kepada pihak pembeli.
1. Komponen Biaya Usaha Tani
Dalam penelusuran di lapangan, lahan tidak pernah dinilai sebagai
biaya, mengingat perhitungan petani sangat sederhana. Biaya-biaya yang
diperhitungkan adalah :
a. Biaya budidaya tani
Biaya penggunaan bibit, buruh saat penanaman, pemeliharaan, pupuk
kandang dan buatan, serta obat-obatan.
b. Biaya pemanenan dan pengolahan pascapanen
Terdiri dari biaya tenaga buruh yang digunakan dalam masa panen dan
pembersihan hasil panen, biaya kemasan karung plastik baru, walaupun
petani biasa menggunakan karung bekas dan biaya buruh kuli
mengangkat dan menurunkan kemasan seberat rata-rata 50 kg per karung
yang ditanggung petani bilamana bahan baku dikirimkan ke gudang
pembeli di tempat tujuan atau saat melakukan pemuatan ke truk.
154
c. Biaya pemasaran
Merupakan sejumlah nilai yang dikeluarkan untuk bertransaksi dengan
pembeli, dapat berwujud biaya transportasi untuk bertemu dengan
pembeli di desa atau kota kecamatan, atau biaya perjalanan untuk
mencari pembeli.
d. Biaya pengelolaan
Merupakan sejumlah nilai sebagai biaya ganti waktu, perhatian dalam
pengelolaan seluruh kegiatan usaha tani. Biaya pengelolaan biasanya
tidak diperhitungkan oleh petani.
Tabel 24 Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya per hektar
Uraian
Satuan Jahe Temulawak Lempuyang wangi
Lempuyang pahit
Kunyit Kencur
Bibit kg 2.500 1.875 2.000 2 000 1.700 2.000
Harga bibit Rp/kg 1.000 250 400 400 400 400
Pengolahan tanah orang 25 25 25 25 25 25
Penanaman orang 40 30 30 30 30 30
Pemeliharaan orang 40 30 30 30 30 30
Pupuk kandang kwintal 25 10 15 15 15 15
Panen orang 40 30 30 30 30 30
Biaya pembersihan Rp/kg 15 15 15 15 15 15
Obat-obatan Kg 20 20 20 20 20 20
155
Tabel 25 Asumsi analisis usaha tani
Uraian Satuan Nilai Tingkat kerusakan dan penolakan
Rata-rata kerusakan panen % 5 Penolakan oleh pembeli % 5
Produksi rata-rata Jahe kg/ha/thn 15.000 Temulawak kg/ha/thn 15.000 Lempuyang wangi kg/ha/thn 10.000 Lempuyang pahit kg/ha/thn 10.000 Kunyit kg/ha/thn 10.000 Kencur kg/ha/thn 10.000
Rasio panen terhadap bibit Jahe 6 Temulawak 8 Lempuyang wangi 8 Lempuyang pahit 8 Kunyit 6 Kencur
Per kg panen
6
Pembiayaan Sewa lahan Rp/ha/th 2.500.000,- Kapasitas karung Kg/unit 50 Biaya karung kemasan Rp/ unit 1.000,- Biaya buruh ( naik dan turun ) Rp/kg 50- Biaya pengelolaan Rp/kg 20,- Biaya truk angkutan Rp/kg 75,- Biaya pemasaran/transaksi Rp/kg 20,- Suku bunga % 14 Biaya investasi dalam 5 tahun Rp 5.000.000,-
2. Perhitungan Biaya Usaha Tani
Hasil perhitungan usaha tani per hektar dengan alat bantu
program TO Net untuk masing-masing tanaman obat jahe, kunyit,
temulawak, dan campuran beberapa tanaman obat dapat dilihat pada
Gambar 28. Untuk mendistribusikan nilai perolehan tanaman obat maka
terlebih dahulu dibuat proporsi penggunaan lahan menggunakan
perbandingan berpasangan dengan kriteria kesesuaian lahan, kemudahan
bertanam, kebutuhan komoditas, dan dampak finansial sehingga
diperoleh proporsi lahan untuk penanaman : jahe 45 % dari seluruh
lahan, temulawak sebesar 10,5 %, kunyit 14,3 % dan tanaman lainnya
sebesar 30,2 %.
156
Berdasarkan hasil perhitungan, biaya usaha tani tanaman
temulawak paling rendah dibandingkan tanaman obat lainnya. Menurut
pendapat responden petani di lapangan, penanganan tanaman temulawak
relatif tidak terlalu rumit dan membutuhkan penanganan seksama
dibandingkan dengan jahe. Petani lebih menyebutkan sebagai tanaman
yang mudah dikelola dan tidak memerlukan upaya pemeliharaan
tanaman yang rumit. Bahkan petani cenderung membiarkan tanaman
temulawak dengan alasan temulawak tidak memiliki harga jual tinggi,
walaupun kenyataannya digunakan di banyak industri obat tradisional.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Jahe Kunyit Temulawak Campuran
Bia
ya u
saha
tani
(Rp.
juta
/hek
tar) 11.38
17.2
9.17
11.85
Gambar 29 Biaya usaha tani tanaman obat.
Untuk menghitung biaya usaha tani, diperoleh dari penambahan
biaya budidaya dengan biaya kemasan, pemasaran, pengelolaan, tenaga
buruh angkut dan biaya transportasi. Walaupun pada kenyataan di
lapangan petani sering menggunakan karung bekas sebagai kemasan,
tetapi pada perhitungan ini kemasan diasumsikan baru. Biaya
transportasi berupa kendaraan angkutan untuk mengangkut hasil panen
tanaman obat ke gudang yang dimiliki jaringan dengan jarak dari desa
sampai ke kota kabupaten.
157
Perhitungan pendapatan petani, mempergunakan harga tanaman
obat sebagaimana tertera pada Gambar 30. Berdasarkan penelusuran di
lapangan, harga tanaman obat temulawak dibandingkan dengan
tanaman satu keluarga lainnya terendah, sedangkan harga jual jahe
segar petani berada pada tingkat paling tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain.
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pergerakan Harga setiap bulan
Harg
a TO
(Rp/
kg)
Jahe Temulawak Kunyit
Gambar 30 Harga tanaman obat dijual ke Jaringan.
Hasil perhitungan keuntungan usaha tani petani jahe monokultur,
lebih baik dibandingkan tanaman obat kunyit dan temulawak. Hasil
perhitungan keuntungan menanam tanaman campuran tampak
mendekati pencapaian keuntungan tanaman jahe. Selain itu, penananam
polikultur akan mengurangi resiko kerugian ketika salah satu tanaman
kurang memperoleh respons pasar atau terjadi kegagalan panen, petani
masih memperoleh pendapatan dari tanaman lainnya.
Hasil perhitungan keuntungan jahe untuk lahan seluas 1 hektar
sebesar 62 % dibandingkan usaha tani secara polikultur sebesar 56,35
% dan keuntungan menanam kunyit sebesar keuntungan 10 %. Namun,
bilamana lahan hanya ditanami temulawak akan mengalami kerugian
sebesar (32,50 %). Pada kenyataannya, tidak ada lahan yang hanya
ditanami tanaman temulawak. Hasil perhitungan keuntungan petani
158
tanaman obat pada prosentase tersebut, dikarenakan rendahnya biaya
budidaya dan biaya operasional.
Temulawak baru memperoleh keuntungan sebesar 6 % bilamana
biaya-biaya seperti sewa lahan, investasi pembelian alat, biaya transaksi
dan pengelolaan tidak diperhitungkan. Kondisi demikian menunjukkan
bahwa petani sesungguhnya tidak menikmati jerih payah bertanam
temulawak, terkecuali secara polikultur sehingga terjadi subsidi silang
antar tanaman obat. Walaupun menurut petani sudah memperoleh
keuntungan, sesungguhnya dengan tidak memasukkan biaya-biaya yang
seharusnya diperhitungkan. Kebutuhan temulawak sebagai tanaman obat
penting banyak digunakan oleh agroindustri farmasi besar maupun
menengah dan termasuk lima besar kebutuhan tanaman obat yang
diperlukan oleh industri, ternyata masih belum dapat memberikan nilai
manfaat bagi petani.
Dibandingkan dengan menjual kepada pengumpul, petani
jaringan memperoleh hasil lebih baik sampai dengan 23,5 %. Kondisi ini
terjadi karena aliran bahan baku melalui rantai lebih pendek dengan
kualitas penanganan pascapanen lebih baik hasil sosialisasi dan
pembelajaran.
Hasil verifikasi menunjukkan petani belum dapat menopang
kebutuhan rumahtangga bilamana mengandalkan hasil penjualan
tanaman obat. Perhitungan nilai sekarang (net present value) untuk
tanaman obat campuran sebesar Rp 12.418.046,- untuk satu kali panen
yang menyita waktu selama 9 bulan dengan luas hamparan satu hektar.
Lahan yang dimiliki petani rata-rata sangat sempit.
Data statistik kabupaten Wonogiri menunjukkan rata-rata lahan
yang ditanami tanaman jahe berkisar 0,195 hektar atau sekitar 2000 m2
per petani. Sedangkan hasil penelusuran luas lahan yang dimiliki petani
responden bergerak antara : 500 m2 - 3000 m2. Walaupun terdapat
kepemilikan di atas satu hektar namun jumlah petani yang memiliki
tidak terlalu banyak. Bilamana digunakan asumsi rata-rata lahan yang
dimiliki petani seluas 2000 m2, maka nilai sekarang atas penjualan
159
kemudian sebesar Rp 2.483.609- atau setara Rp 207.000,- per bulan.
Kalau petani tidak menyertakan tanaman lainnya dan hanya
mengandalkan tanaman obat maka penghasilan keluarga masih di
bawah nilai upah minimum propinsi Jawa Tengah 2005 sebesar Rp
390.000,-. Pendapatan petani per bulan untuk 1 hektar baru terlihat
signifikan sebesar Rp 1.035.000,-
Dari pandangan petani, hasil penjualan tanaman obat hanya
sebagai tambahan penghasilan keluarga dan belum sebagai mata
pencaharian utama. Petani tetap masih memfokuskan pada tanaman
pangan padi. Pandangan yang dianut adalah padi merupakan lumbung
keluarga dan sisa panen kemudian baru dijual. Penggunaan tenaga kerja
yang berasal dari keluarga lazim terlibat dalam kegiatan usaha tani
desa. Penggunaan tenaga tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya
karena dianggap sudah seharusnya membantu usaha keluarga.
Menurut Gittinger (1986), sesungguhnya terjadi kehilangan biaya
peluang atau (opportunity loss). Seharusnya petani berpeluang
memperoleh tambahan pendapatan bilamana waktu yang dihabiskan
untuk melaksanakan kegiatan tanaman obat dialihkan pada kegiatan
lain. Dengan kata lain, terdapat kondisi waktu kerja yang harus
dikorbankan. Pernyataan petani responden bahwa masih menikmati
keuntungan sebesar 10 – 15 % menjadi benar bilamana beberapa
komponen biaya tidak dimasukkan. Sehingga, bilamana penghasilan
dari tanaman obat akan dikonversikan kepada nilai keekonomian maka
perlu menghitung peralihan biaya oportunitas.
3. Analisis Keuangan Jaringan
Skenario perhitungan menggunakan penyaluran bahan baku
dalam bentuk kombinasi bahan baku segar (simplisia segar) dan irisan
kering (simplisia kering). Jaringan dirancang mampu memenuhi
kebutuhan industri dalam berbagai bentuk tanaman obat. Agroindustri
farmasi penghasil obat tradisional umumnya telah menetapkan standar
penerimaan bahan baku yang ketat sehingga berpeluang menghasilkan
160
penolakan. Dengan kemampuan pengelolaan bahan baku, jaringan
diasumsikan mampu mengendalikan tingkat penolakan akibat mutu
tidak sesuai standar sebesar 3 %. Penolakan atas mutu pasokan
diasumsikan dengan kondisi rimpang patah atau tampilan kurang
memenuhi syarat. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan
adalah :
Tabel 26 Skenario asumsi analisis usaha Jaringan
No Keterangan Satuan Angka 1 Penolakan bahan baku oleh pembeli % 3 2 Tingkat kerusakan pengolahan ditetapkan % 1 3 Pasokan ke pasar industri, mengambil pangsa
pasar (rata-rata) % 7
4 Biaya transaksi perkilogram Rp 15,- 5 Biaya pengelolaan perkilogram Rp 20,- 6 Biaya pembersihan dan pengemasan perkilogram Rp 100,- 7 Biaya perajangan perkilogram Rp 125,- 8 Biaya transportasi perkilogram Rp 150,- 9 Biaya kunjungan ke petani perbulan Rp 400.000,- 10 Biaya kuli angkut perkilogram Rp 25,- 11 Biaya kunjungan pemasaran ke prospek/ industri Rp 300.000,- 12 Biaya tetap perbulan Rp 6.700.000,- 13 Modal sendiri % 50 14 Bunga % 14
Perhitungan diawali dengan menetapkan prioritas penjualan
tanaman obat jaringan menggunakan teknik MPE. Adapun kriteria
yang dipergunakan untuk mengatur penjualan komoditas adalah : (1)
kemudahan pembudidayaan, (2) perkiraan keuntungan yang diperoleh
dan (3) jumlah permintaan. Dari hasil perhitungan dihasilkan sebagai
berikut : jahe (2.109), campuran (1.498), temulawak (993) dan kunyit
(649). Dengan demikian komposisi penjualan tanaman obat jaringan
diatur sebagaimana hasil olahan MPE.
Hasil analisis dengan skenario pada Tabel 27, menggunakan
kombinasi penjualan bahan baku segar dan irisan kering. Investasi awal
jaringan untuk mengelola usaha membutuhkan Rp 100.000.000- dengan
penjelasan rinci terdapat pada Lampiran 8. Adapun biaya kantor
161
ditetapkan sebesar Rp 6.700.000,- yang dipergunakan untuk membiayai
gaji manajer, tenaga pelaksana, tenaga lepas dan biaya umum dengan
perincian sebagaimana dilihat pada lampiran. Penetapan gaji tenaga
pelaksana dimaksud menggunakan standar upah minimum regional
daerah setempat.
Modal investasi tersebut, diharapkan dapat diperoleh dari kredit
mikro yang diberikan kepada petani dengan bunga maksimum 14 %.
Jaringan dapat menjadi penanggung dan pemrakarsa industri membantu
meyakinkan lembaga pemberi pinjaman dengan jaminan surat
pemesanan.
Tabel 27 Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas
Kriteria Keuangan
Nilai pada kondisi Normal
Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga tetap
Nilai pada biaya operasi tetap, harga jual turun 10%
Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga jual turun 10%
NPV (Rp) 2.229.719.300 2.077.995.786
1.698.091.832 1.506.023.615
IRR (%)
22,75 21.04 17,85 15,83
Payback period (bl)
7,.52 8,67 11,53 13,41
B/C Ratio
20,39 19.07 15,77 14,10
Analisis kelayakan pada skenario jaringan menjual tanaman obat
campuran menghasilkan IRR sebagaimana terlihat pada Tabel 27.
Apabila dilanjutkan dengan analisis sensitivitas, maka ketika harga
diturunkan 10 % berakibat lebih buruk dibandingkan dengan biaya
operasi naik 10 %, terlihat dari IRR menurun dan pay back period lebih
lama. Dengan demikian, harga jual menjadi faktor sangat berpengaruh
terhadap kinerja jaringan dibandingkan dengan kenaikan biaya-biaya
pascapanen.
Hasil analisis keuntungan bilamana jaringan memperdagangkan
tanaman obat dengan kombinasi segar dan irisan kering dibandingkan
menjual tanaman obat segar adalah 15,88 % dan 13,21 %. Rata-rata
162
biaya bahan baku sebesar 70,2 % dari penjualan dan biaya pegawai –
umum dan variabel sebesar 10, 2 % dari penjualan.
Kondisi ini terjadi karena harga jual tanaman obat kering rata-rata
tujuh kali dibanding harga tanaman segar terkecuali temulawak yang
berkisar tiga kali. Dengan kata lain harga temulawak sebesar Rp 550,-
per kilogram segar akan menjadi sekitar Rp 1.650,- perkilogram bahan
baku temulawak kering. Analisis jaringan menunjukkan lebih
menguntungkan menjual bahan baku irisan kering. Selain memperoleh
keuntungan lebih baik, juga lebih tahan disimpan dan memudahkan
dalam transportasi.
Jaringan baru dapat beroperasi pada titik impas jaringan sebesar
332 ton dengan komposisi tanaman obat dan harga sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, dengan hasil perhitungan arus kas sebagaimana
dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Perhitungan BEP dimaksud
dilakukan tidak dengan metode konvensional tetapi berdasarkan
pencapaian NPV nol dengan memasukkan faktor diskonto melalui
beberapa kali putaran perhitungan dengan program Generalized
Reduced Gradient. Biaya tetap pada posisi BEP sebesar Rp
705.836.908,- dan biaya variabel sebesar Rp 4.409.219.558,-.
Menggunakan skenario perencanaan usaha jaringan selama 5
tahun masih memungkinkan untuk mendistribusikan pembagian
keuntungan jaringan kepada anggota. Besarnya prosentase keuntungan
yang akan didistribusikan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama.
Besarnya keuntungan jaringan menggunakan semua skenario yang telah
ditetapkan dapat dilihat pada Gambar 31 berikut.
163
5
1416
1718
02
468
10
121416
1820
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5
Keu
ntun
gan
jari
ngan
(%)
Gambar 31 Keuntungan jaringan selama 5 tahun
Analisis nilai tambah dilakukan untuk meninjau berapa
pertambahan nilai setiap perubahan proses. Menurut Gittinger (1986),
nilai tambah diukur dengan perbedaan antara nilai output dan nilai
seluruh input karena pengolahan lebih lanjut. Secara detil, perhitungan
nilai tambah memerlukan data :
a. Output atau total produksi
b. Input bahan baku
c. Faktor konversi output terhadap input
d. Harga output
e. Harga input bahan baku
f. Sumbangan input lainnya
Nilai tambah adalah : nilai output (faktor konversi x harga output)
dikurangi harga input dan nilai sumbangan input lainnya. Sebagai contoh
perhitungan nilai tambah digunakan komoditas tanaman obat jahe.
Walaupun jaringan memperdagangkan bentuk irisan kering dan segar
dalam proporsi yang sama setiap tahun yakni 6 bulan memasok irisan
kering dan sisanya bentuk segar, namun di dalam perhitungan nilai
tambah difokuskan pada irisan kering dengan nilai output dihitung
berdasarkan harga output irisan kering. Adapun total produksi output
tetap menggunakan total produksi jaringan. Dengan cara yang sama
164
perhitungan nilai tambah dapat digunakan terhadap tanaman obat
lainnya.
Nilai sumbangan input yang berasal dari tenaga kerja pusat
manajemen jaringan, dialokasikan untuk seluruh tanaman obat, sehingga
untuk perhitungan jahe ditetapkan secara proporsional. Hasil
perbandingan nilai tambah dua komoditas dalam komposisi segar dan
campuran irisan kering dapat di lihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan
segar
Data nilai output jahe kering berasal dari pengolahan jahe kering.
Nilai tambah yang diperoleh per kilogram bahan baku sebesar Rp
3.952,- artinya untuk pengolahan rata-rata satu kilogram jahe segar
menjadi kering secara campuran menghasilkan nilai tambah sebesar Rp
3.952,- . Nilai tambah tersebut berasal dari data tahun pertama jaringan
beroperasi. Sedangkan nilai tambah bilamana jahe seluruhnya dijual
masih dalam jenis segar terkemas sebesar Rp 115,- Namun, ketika
kunyit dijual dalam jenis segar terkemas tidak memperoleh nilai tambah
sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih baik tanaman obat
165
diproses menjadi bentuk irisan kering. Jaringan harus sanggup
memberikan pembinaan kepada anggota sehingga integrasi proses dapat
mengarahkan pada pencapaian mutu bahan baku kering lebih baik.
Mengingat temulawak dibutuhkan oleh agroindustri farmasi,
namun harga temulawak tidak terlalu menarik bagi petani, berikut
dilakukan perhitungan harga termulawak yang memungkinkan petani
masih memperoleh keuntungan lebih baik. Pendekatan yang dilakukan
adalah penelusuran produk agroindustri farmasi menggunakan bahan
baku tanaman obat yang diteliti. Produk yang dipergunakan sebagai
basis perhitungan ditetapkan secara sengaja yakni produk jamu keluaran
PT Air Mancur. Asumsi yang digunakan adalah :
a. Harga eceran produk jamu pegel linu persachet @ 7 gram dari
toko pengecer dengan harga jual tingkat konsumen Rp 900,- /
sachet.
b. Komposisi biaya bahan baku pabrik ditetapkan dengan skenario
65 %, biaya pemrosesan 20 % dan biaya umum 15 %.
c. Menghitung harga bahan baku plafon pabrik dengan harga untuk
tanaman obat penelitian digunakan harga yang berlaku di pasar.
d. Skenario skala produksi 6 juta sachet dengan komposisi
temulawak, kunyit, lempuyang, laos, temu kunci, lada dan
tambahan 2 jenis tanaman obat lainnya.
e. Tanaman obat yang tidak menjadi bahan penelitian ditetapkan
harga sebagaimana dengan harga beli pabrik.
Terlebih dahulu menentukan nilai harga produk pabrik yang
diperoleh dengan menghapuskan keuntungan pengecer sebesar 20 %.
Rata-rata harga 1 sachet produk sebagaimana butir a di atas sehingga
harga beli pengecer sebesar Rp 720,-. Setelah menghilangkan
keuntungan industri sebesar 20 %, maka diperoleh harga pabrik. Dari
harga pabrik sebesar Rp 580, per sachet kemudian diperoleh plafon
harga bahan baku persatuan sachet dengan ketentuan 65 % dialokasikan
untuk bahan baku serbuk.
166
Dengan perhitungan konversi bahan baku serbuk menjadi bahan
baku kering, dapat diketahui total kebutuhan bahan baku irisan kering
untuk menjadi enam juta sachet. Dari total kebutuhan bahan baku
tersebut diperoleh plafon pembelian bahan baku yang ditetapkan pabrik
sebesar Rp 2.475.000.000,-. Apabila digunakan nilai pembelian
tanaman obat dengan harga yang berlaku di pasar sebesar Rp 1.600,- per
kilogram temulawak kering, diperoleh realisasi pembelian sebesar Rp
2.264.636.000,-. Dengan demikian, dari alokasi pembelian bahan baku
berdasarkan perhitungan proporsi biaya bahan baku dibandingkan
dengan realisasi pembelian, masih terdapat kelebihan anggaran
pembelian bahan baku. Dari simulasi perhitungan tersebut, industri
sesungguhnya memperoleh keuntungan sebesar 24,08 %.
Apabila diskenariokan prosentase keuntungan antara jaringan
dan industri diperoleh sama sebesar 22 %, maka harga beli temulawak
berdasarkan simulasi dapat menjadi Rp 3.450,- per kilogram irisan
kering. Sedangkan harga tanaman obat lainnya yang relatif baik dan
menghasilkan keuntungan bagi petani, tetap berada pada harga
sebagaimana ditetapkan industri.
Harga produk akhir obat tradisional yang dijual dengan harga
marginal sesungguhnya tidak memberikan manfaat berarti bagi petani.
Berdasarkan survei, harga produk jadi agroindustri farmasi akan
mengambil harga premium bilamana dijual dalam bentuk herbal
terstandaridisi atau produk ekstraksi. Penghargaan kepada petani apabila
pembelian bahan baku berkualitas lebih baik diberikan harga lebih
tinggi, sehingga akan memberikan dorongan kepada petani untuk tetap
berbudidaya tanaman tersebut .
8.3. Manfaat untuk Petani
Dengan bergabung melalui jaringan, petani memperoleh manfaat
berupa keuntungan yang lebih baik dan manfaat non finansial dalam hal
kontinuitas permintaan, pembinaan dan integrasi proses berkelanjutan serta
akses pasar. Menggunakan kapasitas lahan 1 hektar dengan komposisi 45 %
167
jahe, 11 % temulawak, 14 % Kunyit dan sisanya tanaman lain satu keluarga,
petani diperhitungkan memperoleh net present value sebesar Rp
70.605.849,-. Hasil tersebut berbeda sebesar Rp 28.372.361,- dibandingkan
bilamana petani menjual di luar jaringan.
Bilamana batas bawah keuntungan ditetapkan sebesar 10 % dengan
asumsi sedikit diatas bunga deposito bank setahun, maka insentif dapat
dibagikan kepada anggota bilamana keuntungan jaringan dicapai lebih besar
dari batas tersebut. Berdasarkan perhitungan, anggota jaringan dapat
memperoleh rata-rata Rp 93.000,- per anggota/ per tahun. Selain itu petani
masih memperoleh tambahan penghasilan yang berasal dari penjualan
tanaman obat reject yang diolah lebih lanjut sehingga menjadi bahan baku
bubuk/serbuk.
Perhitungan konversi tanaman obat segar menjadi serbuk adalah setiap
sepuluh kilogram simplisia segar akan menjadi satu kilogram serbuk dengan
harga jual rata-rata sebesar dua puluh lima kali dari harga simplisia segar.
Bilamana hasil penjualan bahan baku reject yang telah diolah menjadi
serbuk didistribusikan semua kepada anggota maka rata-rata anggota akan
mendapatkan sebesar Rp 156.000,- per tahun.
Jaringan akan melibatkan 620 petani dengan asumsi rata-rata lahan
petani seluas 2000 m2. Atas dasar tersebut diperlukan sejumlah 5 petani
untuk setiap satu hektar. Kebutuhan fasilitator sangat tergantung dari jumlah
petani dan jangkauan jarak satu desa dengan yang lainnya agar kegiatan
fasilitasi efektif. Bilamana menggunakan asumsi bahwa masih
dimungkinkan terdapat satu hamparan seluas 3 hektar di satu desa atau
berdekatan maka diperkirakan terdapat 15 petani untuk digabungkan di
dalam satu kelompok. Sehingga menggunakan skenario tersebut,
diperkirakan dibutuhkan 41 orang fasilitator.
Guna mendukung kegiatan usaha jaringan skenario kebutuhan lahan
adalah seluas 124 hektar yang layak ditanami tanaman obat. Namun, seluruh
perhitungan ini berlaku bilamana penyerapan atau pembelian bahan baku
oleh industri bersifat langsung tanpa masa tunggu, sehingga tidak diperlukan
perhitungan penurunan nilai uang.
168
8.4. Manfaat untuk Masyarakat
Kehadiran lembaga jaringan memberikan manfaat tambahan dengan
turut bergeraknya ekonomi di lingkungan sekitar usaha tanaman obat
dengan keterlibatan masyarakat menjadi tenaga lepas untuk proses
perajangan, tenaga panen, tenaga yang memproses pascapanen maupun
tenaga kuli angkut. Bahkan usaha pendukung turut berkembang sejalan
dengan majunya lembaga jaringan misalnya usaha persewaan angkutan,
penyedia bibit atau sarana produksi pertanian.
Kondisi ini tidak saja memberikan dampak berupa peluang kerja
tetapi juga tambahan penghasilan keluarga. Pemrosesan yang umumnya
dilakukan oleh kaum perempuan adalah proses perajangan. Sedangkan
proses pengeringan yang masih mengandalkan sinar matahari masih
memerlukan tenaga laki-laki untuk melakukan pembalikan bahan baku.
Tenaga perajang akan mendapatkan upah atas dasar prestasi kerja atau
jumlah hasil perajangan yang mampu dihasilkan. Pendapatan setiap
perajang akan dipengaruhi oleh kemampuan olah dan biaya perkilogram.
Biaya proses perajangan sekaligus mengeringkan rata-rata Rp 125,-
.per kilogram. Buruh perajang akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi
tergantung jumlah hasil yang mampu diselesaikan. Rata-rata kemampuan
perajangan secara manual sebesar 50 kilogram per satuan orang. Tetapi
apabila digunakan alat perajang akan menghasilkan keluaran yang lebih
tinggi. Biasanya proses perajangan menggunakan alat dikerjakan oleh
buruh perajang yang diberikan upah harian. Hasil perajangan menggunakan
alat dinilai responden kurang baik, karena ketebalan irisan kurang seragam.
Hasil verfikasi manfaat yang diperoleh oleh perajang sebesar Rp 162.500,-
per bulan melibatkan 138 orang.
8.5 Manfaat untuk Industri
Bilamana industri berhubungan dengan jaringan akan mendapatkan
manfaat finansial berupa penghematan transaksi sebesar Rp 4.125.000,-
untuk setiap 15 ton yang berasal dari biaya transportasi dari gudang
jaringan ke gudang industri. Selain itu pengurangan biaya yang berasal dari
169
biaya buruh angkut dan pengolahan pembersihan. Industri juga
memperoleh manfaat berupa mutu lebih baik dengan jaminan jaringan dan
kepastian pasokan. Dengan demikian, secara keseluruhan akan mengurangi
biaya pengolahan pemrosesan awal sebelum produksi dan mengurangi
beban kendali proses/supervisi serta pengambilan sampling saat inspeksi
penerimaan bahan baku.
8.6. Analisis Konflik
Konflik kemungkinan terjadi mengingat terdapatnya perubahan atas
pola usaha tani dan cara pengaturan kehidupan petani yang semula sendiri
dengan cara-cara yang dianggap petani paling tepat kemudian dikelola
dengan tata cara budidaya dan pengolahan yang tertata. Akibat konflik dapat
bersifat ketidaknyamanan, keengganan hingga penarikan diri yang
melemahkan posisi lembaga jaringan dan pada akhirnya berpengaruh negatif
terhadap kinerja tim dan kepuasan. Dalam hal mengubah ketidaksepakatan
menjadi kesepakatan dapat dilakukan melalui bekerja bersama, bekerja
terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai kompromi dan bekerja
terpisah dan menggunakan intimidasi dan kekuatan untuk memperlemah
pihak beroposisi ( Saaty, 1998).
Pemecahan masalah konflik pada disertasi ini didekati dengan
menggunakan AHP dimana proses penyelesaian harus memuaskan para
pihak. Perlu diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak
menjadi apa yang hilang dan didapatkan oleh pihak lain. Dalam hal ini
digambarkan fokus konflik disusun secara hirarki untuk mengevaluasi biaya
dan manfaat. Untuk penelusuran analisis konflik dipergunakan pendekatan
Analytical Hierarchy Process dengan hasil struktur sebagai berikut :
Meminimumkan konflik di dalam Jaringan
SDM 0,1286
Pengelolaan Organisasi 0,2199
Pengelolaan Usaha Tani 0,6514
Pemenuhan Norma Organisasi
0,0277
Perilaku Anggota 0,0462
Kepemimpinan Fasilitator
0,0547
Distribusi Pasokan 0,0614
Pengelolaan Keuangan
0,0859
Standard Proses Operasi 0,0726
Budidaya
0,2606
Pemanenan
0,1706
Pascapanen
0,2702
Penetapan Pinalti dan Pengendalian
0,1182
Penyuluhan dan Sosialisasi
0,5386
Pembinaan
0,3432
FOKUS
FAKTOR
ALTERNATIF
SUB-FAKTOR
Gambar 32. Struktur hirarki analisis konflik.
170
171
Pemicu konflik terbagi atas faktor manusia, pengelolaan organisasi
dan pengelolaan usaha tani. Penjabaran sub faktor dan penjelasannya
sebagai berikut :
1. Pemenuhan norma jaringan.
Jaringan akan menetapkan cara bagaimana berorganisasi dan
bertindak sehingga memberikan arahan untuk menjadi kelompok yang
kohesif. Nilai budaya organisasi yang dianut dan diterapkan akan menata
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kondisi tersebut kemungkinan
tidak sejalan dengan nilai anutan dari petani selama ini. Norma organisasi
mencakup sikap dan pandangan-pandangan dalam kehidupan
berorganisasi.
2. Perilaku anggota
Sehubungan dengan pemenuhan norma organisasi, diperlukan
perilaku positif untuk menjadikan organisasi jaringan profesional dan
diakui oleh pihak konsumen. Penyimpangan perilaku akan
menghasilkan situasi di mana anggota tidak bersedia belajar berbagi
pengetahuan/ informasi dan melanggar komitmen yang disepakati atau
bahkan mementingkan diri sendiri. Ketika terdapat larangan menjual
hasil panen kepada pihak lain dilanggar oleh sejumlah anggota, maka
anggota lain terdorong meniru tindakan negatif tersebut bilamana tidak
dikenakan sanksi. Perilaku memproses hasil panen secara serampangan
dan sengaja menyisipkan kontaminan merupakan bentuk perilaku
negatif.
3. Kepemimpinan fasilitator
Kemungkinan konflik terjadi ketika anggota meragukan
kemampuan fasilitator mengatasi perbedaan pendapat, menyatukan
langkah dan mengarahkan pada keutuhan kelompok dalam rangka
mencapai sasaran usaha. Konflik kepentingan dan ketidakpercayaan bisa
saja terjadi ketika fasilitator tidak mampu menunjukkan kredibilitasnya.
Keberpihakan pada seseorang atau sekelompok orang dan
ketidakmampuan mengambil keputusan membuka ruang penolakan atas
keberadaan fasilitator.
172
4. Distribusi pasokan
Konflik ini terjadi bilamana keputusan atau kebijakan ditetapkan
tanpa memperhatikan kepentingan bersama dan terdapat diskriminasi
dalam pendistribusian pasokan. Pengaturan pembagian jumlah yang
akan dipasok petani, jadwal penerimaan bilamana tidak dijelaskan
secara transparan akan menimbulkan pandangan negatif dan
kesalahpahaman. Ketika ketersediaan bahan baku berlimpah, perlu
pengaturan pendistribusian sehingga adil dan dalam hal ini informasi
sangat penting disampaikan agar tidak berkembang menjadi kabar berita
negatif.
5. Pengelolaan keuangan
Faktor keuangan merupakan pemicu konflik yang rawan memecah
keutuhan anggota dan merusak kepercayaan. Ketidakjelasan pencatatan,
pertanggungjawaban, dan ukuran – ukuran keuangan bilamana tidak
disampaikan akan membuka peluang kecurigaan. Informasi pergerakkan
harga harus disampaikan sehingga tidak terdapat kecenderungan
mengabaikan aturan jaringan.
6. Standar prosedur operasi
Konflik pada standar prosedur operasi terjadi bilamana tidak
terdapat pengaturan dan kejelasan di setiap proses bisnis seperti :
prosedur pengadaan bahan baku, pemeriksaan penerimaan bahan baku,
pemrosesan, penyimpanan, dan penjualan. Prosedur operasi akan
mencakup persyaratan-persyaratan, tata aturan yang harus dianut
bersama.
7. Budidaya
Perbedaan cara budidaya antara yang dikenal secara turun temurun
dan menurut ilmu pengetahuan dapat membuka ruang konflik. Petani di
daerah terpencil yang jauh dari akses informasi, dimungkinkan masih
memegang tata cara sebagai dikenal saat ini walaupun cara tersebut
sesungguhnya kurang tepat. Kultur yang menghormati apa yang
diajarkan oleh pendahulunya dianggap sebagai sesuatu yang benar,
disementara pihak harus dilakukan perubahan.
173
8. Pemanenan.
Konflik terjadi karena perbedaan dalam melaksanakan pemanenan
mencakup jadwal panen (bulan dan waktu, cara panen). Keinginan
segera memanen hasil dengan pertimbangan memperoleh uang tunai,
akan mendorong ketidakpatuhan atas aturan dan bilamana terjadi tidak
saja berakibat pada pemenuhan persyaratan mutu tetapi juga harga
terbaik tidak tercapai dan perencanaan pasokan menjadi terganggu.
9. Pascapanen.
Ketidaksesuaian mungkin terjadi dikarenakan petani
menggunakan cara sendiri pada masa pascapanen yang tidak sesuai
dengan standar prosedur yang diatur jaringan.
Berdasarkan olahan AHP, hasil menunjukkan pengelolaan usaha tani
(0,65) berada pada bobot tertinggi diikuti dengan pengelolaan organisasi
(0,22). Resolusi konflik yang diharapkan dapat meredakan sehingga tercapai
kondisi yang lebih baik adalah aktivitas penyuluhan (0,54) dan pembinaan
anggota berorganisasi (0,34). Dalam perhitungan tersebut telah dilakukan
analisis konsistensi perbandingan elemen yang berpengaruh sebagai berikut :
Tabel 29. Analisis konsistensi AHP
No Perbandingan elemen terhadap
Consistency Index Consistency ratio
1 Analisis konflik 0.0001 0,0001 2 Pemenuhan norma 0,0254 0,0438 3 Perilaku anggota 0,0016 0,0027 4 Kepemimpinan
fasilitator 0,0009 0,0016
5 Distribusi pasokan 0,0001 0,0001 6 Pengelolaan keuangan 0,0001 0,0002 7 Standar proses 0,0001 0,0001 8 Budidaya 0,0004 0,0007 9 Pemanenan 0,0100 0,0172 10 Pasca panen 0,0117 0,0201
174
8.7. Analisis Manfaat Menggunakan BOCR
Tujuan pembentukan rekayasa sistem rantai pasokan berbasis jaringan
yang mengarah pada kesejahteraan petani, dilengkapi dengan pertimbangan
atas tinjauan manfaat (Benefit) dan pertimbangan biaya (Cost), maupun
peluang (Opportunity) dan resiko (Risk) di kemudian hari. Pendekatan
BOCR, akan menyempurnakan analisis dengan mempertimbangkan faktor
kualitatif dan melengkapi perhitungan kuantitatif. Metode ANP
mensyaratkan konsistensi untuk penilaian kriteria. Hasil penilaian pendapat
dikelompokkan menjadi normal, pesimistis dan optimistis. Penilaian normal
dengan masih mempertahankan faktor peluang dan resiko memiliki formula
:
( )( )RC
OBHasil
××= (1)
B = benefit O = opportunity
C = cost R = risk
Rumus penilaian optimistis dengan mengabaikan resiko dalam
pengambilan keputusan sebagaimana disajikan dalam persamaan pada butir
2. Adapun rumus penilaian pesimistis tanpa mempertimbangkan peluang
dapat dilihat pada butir 3.
( )( )C
OBHasil
×= (2)
( )( )RC
BHasil
×= (3)
Hasil verfikasi BOCR sebagaimana tabel 30 menyimpulkan bahwa
dalam kondisi optimistis tanpa memperhitungkan faktor resiko tujuan
kesejahteraan petani memiliki bobot paling tinggi 0,58 dimungkinkan
terwujud dibandingkan dengan kelangsungan hubungan anggota yang
memiliki bobot 0,28. Dengan demikian, peluang alternatif tujuan
kesejahteraan menjadi keputusan terbaik setelah ditelaah dari pertimbangan
manfaat, biaya, dan peluang.
175
Tabel 30 Hasil analisis BCOR
8.8. Implikasi Kebijakan
Sistem rantai pasokan berbasis jaringan ini bilamana diterapkan
sebagaimana diuraikan pada persyaratan dan rancangan implementasi,
memerlukan peran serta pemerintah untuk berkontribusi dalam kesuksesan
penerapan. Pemerintah berkewenangan menerbitkan kebijakan. Kebijakan
yang diharapkan adalah pengaturan lahan peruntukan bagi pengembangan
tanaman obat, kredit mikro melalui lembaga keuangan mikro, penyediaan bibit
tanaman obat dan sarana produksi.
Melalui fasilitasi pemerintah, hubungan antara petani, asosiasi industri
jamu dan asosiasi pedagang tanaman obat dijalin dengan tujuan memetakan
kebutuhan tanaman obat nasional dan daerah. Selanjutnya, pemerintah pusat
mendorong pemerintah daerah memperluas lahan untuk budidaya tanaman
obat sesuai dengan kondisi agroklimat.
176
Guna mencegah mengalirnya tanaman obat segar bernilai tambah rendah
ke luar negeri, maka ekspor tanaman obat yang dibutuhkan oleh agroindustri
farmasi dalam negeri dapat dikenakan biaya pajak ekspor lebih tinggi.
Berdasarkan wawancara responden, salah satu sebab terjadinya kekurangan
pasokan jahe karena tanaman obat tersebut diekspor ke luar negeri. Lebih
lanjut menurut responden, ekstraksi dari tanaman obat yang dibeli dengan
harga rendah, kemudian kembali ke Indonesia dengan harga berlipat.
Perlindungan konsumen dan agroindustri farmasi menengah-kecil perlu
dilakukan dengan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap produk herbal
impor dengan : 1) pengawasan registrasi produk, 2) pengawasan kepada
importir, 3) menetapkan pajak barang impor, 4) konsistensi pengawasan di
lapangan.
Komitmen pemerintah ditunjukkan dengan keterlibatan pejabat teknis di
dinas terkait pemerintah daerah setempat yang berpihak kepada petani melalui
tindakan penyuluhan dan program pembinaan usaha tani. Adapun kebijakan
makro mengatur bagaimana ketersediaan sarana produksi yang diperlukan bagi
petani seperti pupuk, infrastruktur dan penataan menyeluruh agroindustri
farmasi.
Penataan agroindustri farmasi dimulai dengan melakukan pengawasan
produsen sehingga tingkat penggunaan bahan kimia yang disisipkan di dalam
obat tradisional nihil, pengawasan terhadap registrasi produk tradisional,
herbal dan fitofarmaka setelah dilakukan pengujian, pengawasan proses dan
kepatuhan cara – cara pemasaran obat tradisional yang beretika.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian sebagai berikut :
1. Pendekatan jaringan pada sistem rantai pasokan bahan baku agroindustri
farmasi, menghasilkan struktur dan sistem organisasi sebagai elemen kunci
untuk penatakelolaan jaringan sehingga perlu diselesaikan terlebih dahulu
pada tahapan pertama pengimplementasian. Konfigurasi jaringan terdiri dari
petani, kelompok, dan pusat manajemen yang membagi fungsi sesuai
kemampuan masing-masing. Pengaturan dimaksud memperjelas
pengintegrasian proses sehingga menempatkan tanggungjawab produksi dan
pascapanen berada pada anggota, dan pusat manajemen fokus pada
penanganan pemasaran, distribusi dan pelayanan pelanggan dengan para
pihak eksternal.
2. Konsep jaringan yang menekankan pada hubungan erat dan saling berbagi
kekuatan berlangsung bilamana fungsi jaringan yang memberikan jaminan
mutu produk sebagaimana harapan konsumen berjalan, dan ketika anggota
konsisten menjaga komitmen, dan integritas.
3. Jaringan berpotensi mengalami perpecahan dipicu konflik keberbedaan pada
pengelolaan usaha tani sebagaimana hasil strukturisasi AHP dan sedini
mungkin dicegah melalui penyuluhan dan sosialisasi berkesinambungan.
4. Validasi konsep jaringan yang direkayasa, dinyatakan valid menggunakan
metode ANP-BCOR pada kondisi optimistik. Kepuasan internal dengan
pencapaian tujuan mensejahterakan anggota, dinyatakan valid berdasarkan
pendapat pakar dengan skala tinggi. Dalam hal keterlibatan petani untuk
mematuhi aturan dinyatakan valid pada skala tinggi menurut pendapat pakar,
tetapi konsistensi perilaku petani dinyatakan berskala sedang.
5. Hasil verifikasi menunjukkan jaringan layak dengan NPV Rp
2.229.719.300,-, IRR 22,75 %, payback periode (bulan) 7,52. Perhitungan
dimaksud dengan komposisi jahe 46 %, temulawak 11 %, kunyit 15 % dan
sisanya berasal tanaman obat lainnya. Kelayakan jaringan dicapai tanpa
terdapat masa tunggu antara penyelesaian proses dan penjualan, dengan
prosentase kegagalan yang ditetapkan, beroperasi pada kapasitas penjualan
178
1.581 ton/tahun melibatkan 620 petani bilamana rata-rata petani memiliki
lahan 2000 m2. Dalam kondisi tersebut, jaringan mampu memberikan
peningkatan pendapatan petani sebesar 23,5 %. Jaringan masih dapat
membagi insentif sebesar Rp 93.000,- per anggota/ per tahun dan
tambahan penjualan produk reject yang diolah menjadi serbuk sebesar Rp
156.000,- per tahun. Jaringan beroperasi dengan BEP 332 ton. Berdasarkan
analisis nilai tambah, tanaman obat lebih baik dijual dalam bentuk irisan
kering.
6. Jaringan membutuhkan persyaratan implementasi yakni respon industri dan
petani dalam wujud kesediaan membeli bahan baku dan komitmen petani.
Pemrakarsa yang tepat dalam mewujudkan jaringan adalah industri yang
didukung pemerintah.
9.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian konsep jaringan pada agroindustri farmasi,
diajukan beberapa saran yakni :
1. Model jaringan yang diajukan, memerlukan dukungan pemerintah secara
konsisten untuk sinkronisasi manajemen bahan baku dan agroindustri
farmasi melalui : pemberdayaan petani, penyediaan lahan-lahan
pembudidayaan, fasilitasi lembaga pembiayaan, pendisiplinan pelaporan
produksi dari pelaku industri.
2. Gabungan pengusaha jamu yang menghimpun industri obat tradisional,
memiliki komitmen memajukan petani tanaman obat melalui : pembinaan
petani, memperluas penerimaan pasokan, mengatur strategi pemasaran dan
inovasi produk yang menghasilkan produk premium sehingga dapat
dikembalikan dalam bentuk insentif harga.
3. Pada tahap awal, agroindustri farmasi bersama pemerintah bersungguh-
sungguh memfasilitasi pembangunan jaringan agar terwujud dan petani
pada akhirnya mampu mengelola secara mandiri.
179
4. Perluasan penggunaan konsep jaringan pada dasarnya dapat dipergunakan
pada komoditas lain di luar Zingiberaceae, dan melibatkan anggota atau
lembaga lain (linkage firm) di luar petani tetapi diperlukan penelitian
mendalam terhadap pengintegrasian proses dan bentuk berbagi (sharing)
dari kekuatan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari A dan Modarres B. 1994. Quality function deployment. International Journal of Purchasing and Materials Management; “ Fall Ed “.p 28-35.
Anslinger P dan Jenk J. 2004. Creating successful alliances. The Journal of Business
Strategy. 25:2. 18 – 22. Ayers JB. 2002. Supply Chain Management. London. St Lucie Press.
Arifin B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta. Penerbit Kompas. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Data Industri Obat Tradisional (IOT) dan
Industri Obat Tradisional Kecil (IKOT). Jakarta. BPOM. Badan Pengembangan Ekspor Nasional.2005. Pasar Jamu Nasional bisa capai Rp 3 Trilyun. http://www.nafed.go.id/indo/berita/index/php?artc=2566 (4 April 2006). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.2005. Pasar Obat Herbal Meningkat Pesat.
http://www.bppt.go.id/index.2.php?option.com_content & do_pdf =1&id =1556. (8 April 2006
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.1995. Strategi Pengembangan Agribisnis
dan Agroindustri Tanaman Obat secara Terpadu. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28-29 Nopember.BPPT. hlm 8-13.
Barba R, Roussel P, Bendix B. Gattorna. Editor. 1998. Strategic Value Networks.
England. Gower. Beech J. Gattorna. Editor.1998. The Supply-demand nexus from integration to
synchronization. England. Gower Blackard K dan Gibson JW. 2002. Capitalizing on Conflict – Strategies and Practices
for Turning Conflict to Synergy in Organizations. California. Davies-Black Publishing.
Blank SC, Carter CA, McDonald J.1997. Is The market failing agricultural producers
who wish to Manage Risk. Western Economic Association International; 15-July. Bound G, York L, Adam M, Ranney G, 1994. Beyond Total Quality Management –
Toward The Emerging Paradigm. Singapore: McGraw-Hill.
180
Bowersox DJ dan Cooper MB. 1992. Strategic Marketing – Channel Management. “ Edisi Internasional”. Singapore. McGraw-Hill.
Bungin B, 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta. RajaGrafindo Persada. Carson JS.II. 2002. Model Verification and Validation. Proceedings of the 2002 Winter
Simulation Conference. USA Chanisah S. 1996. Status, perkembangan dan kendala pemasaran hasil tanaman obat
Indonesia. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor: 28–29 Nopember. BPPT. hlm 56 – 77.
Choi TY, Wu Z, Ellram L, Koka BR. 2002. Supplier – Supplier relationships and
Their implications for buyer – supplier relationships; IEEE Transactions on Engineering Management; 49 (2). May.
Choi TY, Rungtusanatham M. 1999. Comparison of quality management practices:
Across The Supply Chain and Industries. The Journal of Supply Chain Management; 35 (1): 20 – 27.
Christopher M. 1998. Logistic and Supply Chain Management. “Ed ke-2”. London :
Financial Times Professional Limited.
Daboub AJ. 2002. Strategic alliances, network organizations, and ethical responsibility; Sam Advanced Management. Autumn.2002. 40-63.
Darusman LK (2004). Standard dan mutu Produk Biofarmaka. Prosiding ilmiah
Indonesian Biopharmaca Exhibition Congress 14-18 Juli 2004. Yogyakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta.
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Direktorat Jenderal Pengawasan Obat &
Makanan, Departemen Kesehatan RI, 1995. Kodifikasi Peraturan Perundangan Obat Tradisional. Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Direktorat Tanaman Sayuran dan
Biofarmaka. 2004. Informasi Pengembangan Agribisnis Tanaman Biofarmaka. Jakarta.
Dobler DW, Burt D, 1996. Purchasing and Supply Management. “Ed ke-6”. USA:
The McGraw Hill Companies Inc.
181
Dorward A. 2001. The Effects of transaction costs, power and risk on contractual arrangements : a Comceptual Framework for Quantitative Analysis. Journal of Agricultural Economics; 52(2). 59-73.
Endardjo S. 1995. Pengembangan Obat Fitofarmaka menunjang Agroindustri Tanaman
Obat. Di dalam : BPPT. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28–29 Nopember. BPPT. hlm 105 –112.
Eksiklopedi Tokoh Indonesia. 2005. Generasi ketiga Nyonya Meneer. http://
www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/c/charles-saerang/index.shtml (8 April 2006).
Eriyatno.1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor
: IPB Press. Evans R dan Danks A. Gattorna. Editor. 1998. Strategic Supply Chain. England.
Gower. Fetridge DG, 1999. The Economics of vertical integration. Canadian Journal
Agricultural Economy; 42: 525-531. Ghoshal S dan Moran P.1995. Bad for Practice: A Critique of The Transaction Cost
Theory. Academy of Management Journal. Giannakis M dan Croom SR. 2004. Toward the development of a supply chain
management paradigm: a conceptual framework. Journal of Supply Chain Management; Spring 2004. 40,2.
Giles dan Hancy. Gattorna. Editor. 1998. Alternative organization optins. Moving from
lines of hierarchy to networks of alliances. England. Gower. Haeruman H Js. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta.
Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan BIC Indonesia. Hastings G. 1996. The New Organization. Growing the culture of organizational
networking. England McGraw-Hill. Hill CC, Li H, Davies B. 2003. The paradox of Co-operation and competition in
strategic alliances: Towards a Multi Paradigm Approach. Management Research News; 26:1. 1-20.
Hutapea JR.2000. Obat Tradisional Indonesia menghadapi Era Globalisasi. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia. 6: 36-38
182
Jamaran I. 1995. Peranan Iptek dalam Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Di
dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Bogor. 28 – 29 Nopember. BPPT. hlm 1 - 7 .
Indrawanto C dan Wahyudi A.1995. Profil Tataniaga Beberapa Tanaman Obat Hasil
dari Usaha tani di Indonesia. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28-29 Nopember.BPPT. hlm 168-170.
Karmawati E, Effendi DS, Wahid P. 1995. Potensi, Peluang dan Kendala
Pengembangan Agroindustri Tananam Obat. Di dalam : Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28-29 Nopember. BPPT. hlm 23-28.
Kotler P.2000. Marketing Management. International Edition. USA. Prentice Hall. Lembaga Alam Tropika Indonesia-LATIN. 1994. Pelestarian Pemanfaatan
Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. LATIN. Bogor. Lembaga Alam Tropika Indonesian – LATIN. 1999. Strategi Kemitraan. Dalam
mengelola sumber daya alam di Kabupaten Jember. Bogor. Pustaka Latin.
Levi DS, Kaminsky P, Levi ES. 2000. Designing and Managing the Supply Chain. USA. Irwing McGraw-Hill.
Nasution. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri.
IPB Press. Bogor. Maarif M dan Tanjung H. 2003. Teknik-teknik kuantitatif untuk Manajemen. Jakarta.
Grasindo. Maku TC, Collins, TR, Beruvides MG. 2005. The Impact of human interaction on
supply chain management practices. Performance Improvement; Silver Spring: 2005. Vol 44. Iss 7. 26-34.
Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta. Grasindo.
Martha Tilaar Innovation Center. 2002. Tanaman Obat Rimpang. Jakarta. Penebar
Swadaya.
183
Martin S dan McLeay F. 1998. The Diversity of Farmers’Risk Management Strategies in a Deregulated New Zealand Environment. Journal of Agricultural Economics; Spring 1998. Vol 49:2. 218-233.
Martis SM. Validation of Simulation Based Models : A Theoritical Outlook. The
Electronic Journal of BusinessResearc Methods. Vol 4. Issue 1, pp 39 – 46. Maulana A. 2005. Model Pengembangan Agroindustri Nenas Dengan Pendekatan
Kemitraan Setara Petani – Pengusaha Industri Pengolahan. (Disertasi). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Peranian Bogor.
McFetridge DG. 2000. The Economics of Vertical Integration. Canadian Journal
Agricultural Economic; 42: 525-531. Murdoch J. 2000. Networks – a new paradigm of rural development. Journal of Rural
Studies; 16(2000) 407-419. Nasution M. 2002. Pengembangan kelembagaan KOPERASI pedesaan untuk
Agroindustri. Bogor. IPB-Press Newbery DMG dan Stiglitz JE, 1985. The Theory of Comodity Price Stabilization.
New York. Clarendon Press – Oxford. Ohbuchi K dan Suzuki M. 2003. Three Dimension of Conflict Issues and Their Effect
on Resolution Strategies in Organizational Settings. International Journal of Conflict Management; Bowling Green. 2003. Vol 14. Iss.1.
Paimin FB dan Murhananto,1999. Budidaya, Pengolahan, Perdagangan JAHE.Jakarta:
Penebar Swadaya. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Tanaman Obat. http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4obat. (8 April 2006). Pramono E.2001. Pengembangan Agromedisin Indonesia : Pemanfaatan Sumberdaya
Alam Indonesia menjadi Komoditas Farmasi Unggulan. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Kerjasama Departemen Pertanian dan Institut Pertanian Bogor. Jakarta. November. 2001.
Pratikno.2001. Kelembagaan Politik Desa. Forum FPPM ke - 4 ”
Demokratisasi Masyarakat Desa”. Tenggarong 19-22 Juni 2001. www.fppm.org/makalah%20pratikno.htm (10 April 2006).
184
Pyzdek T, 2001. The Six Sigma Handbook. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Rademakers MFL dan Valkengoed JR. 1995. Inter-firm Linkages in the Modern Jamu
Industry; Netherlands. Tilburg University. Riordan MH. 1998. Anticompetitive vertical integration by a dominant firm. The
American Economic Review; 88: 5. Royer JS. 1995. Potential For Cooperative Involvement in Vertical Coordination and
Value Added Activities. John Wiley & Sons, Inc. 11 (5) : 473-481. Saaty Tl.1993. Pengambilan Keputusan bagi para Pemimpin. Jakarta. Pustaka
Binaman Pressindo. Saaty TL, 1996. Decision Making with Dependence and Feedback. The Analytical
Network Process. USA. RWS Publications. Saaty TL, 1998. An Alternative Approach to Conflict Resolution in terms of Games of
Strategy. [email protected]. Sandra AA, Munif G, Nuri A, Latifah KD. 2001. Dukungan Teknologi Pengembangan
Obat Asli Indonesia dari segi budidaya, pelestarian dan pasca panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Departemen Pertanian – IPB.
Sajogyo, Sajogyo P. 1999. Sosiologi Pedesaan.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Sargent RG. 2000. Verification, Validation, and Accreditation of Simulation Models.
Proceedings of the 2000 Winter Simulation Conference. USA. Sastroamidjojo AS, 1997. Obat Asli Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat.
Sidik. 1995. Status dan Perkembangan IPTEK Pengembangan Agroindustri Tanaman
Obat. Di dalam : BPPT. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat; Bogor. 28–29 Nopember. BPPT.hlm 42 – 51.
Silver EA, Peterson R, 1985. Decision Systems for Inventory Management and
Production Planning. “Ed ke-2”. Canada. John Wiley & Sons. Soediro I, 2000. Tinjauan Aspek Keamanan Obat Tradisional. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia; 6:33-35.
185
Spencer LM, Spencer SM.1993. Competence at Work-Models for superior performance. Boston-USA. John Wiley & Sons.Inc
Sporleder TL.1999. Assessing vertical strategic alliances by agribusiness. Canadian
Journal of Agricultural Economic; 42 : 533 – 540. Stanek MB. 2004. Measuring alliance value and risk. Management Decision; 42:
2.182-204.
Stock JR dan Lambert DM, 2001. Strategic Logistic Management. Singapore. “Edisi
ke-4”. McGraw-Hill Irwin. p 54-94. Subagyo P. 2000. Manajemen Operasi. Yogyakarta : “ Edisi ke – 1 “. BPFE.
Sudarsono. 2004. Kesamaan Persepsi Stakeholders Biofarmaka sebagai modal dasar
Pengembangan di masa depan. Prosiding Indonesian Biopharmaca Exhibition Congress, 14-18 Juli 2004, Yogyakarta.
Sudiarto, Hubir, Rahardjo M, Rosita SMD, Nurhayati H. 2001. Dukungan Teknologi
Budidaya untuk Pengembangan Industri Obat Tradisional. Di dalam : Lokakarya Pengembangan Agribisnis Berbasis Biofarmaka. 13–15 November 2001 di Jakarta. hlm 1 – 21.
Sudiatso S. 2002. Budidaya dan Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Obat. Langkah
Awal Standarisasi Bahan Baku Obat Tradisional Obat Asli Indonesia. Prosiding Seminar Sehari Standarisasi bahan baku langkah awal menjamin khasiat dan keamanan obat asli Indonesia. Jakarta. Puslitbang Farmasi dan obat Tradisional Badan Litbang Kesehatan bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. 2002.
Suharti NS. 2000. Pengadaan dan pengolahan bahan baku obat tradisional di PT Air
Mancur Solo. Warta Tumbuhan Obat Indonesia; 6:27-29. Sumardjo, Sulaksana J, Darmono WA. 2002. Kemitraan Agribisnis. Jakarta. Penebar
Swadaya. Suryati A. 2002. Model Aliansi Strategis Agroindustri Sayuran Bernilai Ekonomi
Tinggi. (Disertasi). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sutrisno, Syukur, Budiyanto. 1999. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta. Yayasan Mitra Pembangunan desa-kota dan Business Innovation Center of Indonesia.
186
Tabtabai HM dan Thomas VP. 2004. an Negotiation and Resolution of Conflict using
AHP : an Application to project Management. Engineering Construction and Architecture Management; 11,2 : 90-100.
Tahir NM. 2004. Public-Private Sector Partnership in Developing Herbal Industry in
Malaysia. Prosiding : Indonesia Biopharma Exhibition Congress 2004. Yogyakarta 15 Juli 2004.
Tracey M, FIte RW, Sutoon MJ. 2004. An Explanatory model and measurement
instrument : A Guide to Supply Chain Management Research and Applications. American Journal of Business; Fall 2004;19,2.
Tsang EWK. 2000. Transaction cost an resource – based explanation of joint venture :
a comparison and synthesis. Organization Studies.; 21(1):215-242. Turban E, Aronson JE, dan Peng Liang T. 2005. Sistem Pendukung Keputusan dan
Sistem Cerdas. Ed ke- 7. Prabantini D, penerjemah. Yogyakarta : Penerbit Andi;2005. Terjemahan dari : Decision Support Systems and Intelligent Systems.
Ouden Md, Dijkhuizen AA, Huime RBM, Zuubier PJP. 1996. Vertical cooperation in
agricultural production marketing chain, with special reference to product differentiation in Pork;. 12(3). 277-290.
Vokurka RJ, Zank GM, Lund III CM. 2002. Improving competitiveness through
supply chain management: A cumulative improvement approach. Competitiveness Review. Indiana. Vol.12.Iss.1.
Widyastuti YS. 2002. Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersial. Jakarta.
Penebar Swadaya. Winarto. 2003. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Wood, Wallace Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn. 1998. Organisational
Behaviour. An Asia – Pacific Perpective. Singapore. John Wiley & Sons. Yuliani S. 2003. Prospek Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Obat Fitofarmaka.
Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat http://pustakabogor.net/publ/jp3/jp203-41.htm. (22 September 2003).
Zairi M. 1994. Measuring performance for business result. Chapman & Hall. 43-56.
187
Zuhud EAM., Azis S, Ghulamahdi M, Andarwulan N, Darusman LK. 2001. Dukungan Teknologi Pengembangan Obat Asli Indonesia dari segi Budidaya, Pelestarian dan Pasca Panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Jakarta. Departemen Pertanian dan IPB.
http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/komoditas/b4obat - (8 April 2006). http://(www.bppt.go.id/index 2.php ? option. Com_content & do_pdf = 1 % id = 1556
(8 April 2006), http://www-ang.kfunigraz.ac/at/-katzer/engl/zing_off.html (22 September 2003).
Ginger (Zingiber officinale Rosc). http://www.wwf.org.uk/filelibrary/pdf/tradeplants.pdf - 16 April 2006. Trade in
Medicinal and aromatic plants http://www.druid.dk/conferences/winter 1997/conf papers/Gelsing pdf - 08 Juni 2006.
Promoting Inter-Firm Networks in Industrial policy by Gelsing L dan Nielsen K.
188
Lampiran 1 Asumsi Biaya Jaringan
No. Uraian Satuan Nilai1 Biaya - Biaya Langsung
Biaya kuli naik turun (2x25) Rp./kg 50,00Reject Penjualan % 3,00Biaya transportasi Rp./kg 150,00Biaya pembersihan dan kemas Rp./kg 100,00Biaya transaksi Rp./kg 15,00Biaya pengelolaan Rp./kg 20,00Reject pembelian % 3,00Resiko Kerusakan % 1,00
2 Khusus Jual KeringRendemen Pengeringan % 20,00Biaya perajangan Rp./kg 125,00
3 Biaya Umum dan PegawaiListrik, telepon Rp./bulan 400Umum dan ATK Rp./bulan 15Pemeliharaan Rp./bulan 100Biaya pegawai tetap Rp./bulan 4.950.000Upah Harian Rp./bulan 1.000.000Dana taktis Rp./bulan 100.000
4 Biaya KunjunganKunjungan Sumber Rp./bulan 400.000Kunjungan Pembeli Rp./bulan 300.000
5 Perbedaan Harga beli-jual % 30,006 Pendanaan
Modal Sendiri % 50,00Bunga %/bulan 1,16Jangka Waktu Pelunasan Bulan 60Tenggang Bulan 0
7 Harga Bahan Baku8 Penjualan Kembali Reject
Harga Reject Penjualan % harga jual 50,00Angka cemaran % 2,00Biaya Tenaga Proses Serbuk Rp./kg 20,00Rasio Harga Jual Serbuk x harga basah 25,00Rasio Basah - Serbuk basah/serbuk 10,00
189
Lampiran 2 Proporsi Bahan Baku dari Target Nasional
Th. Tanaman Obat Nasional Bagian Jaringan Penjualan Jaringan
1 Temulawak 3.000,00 0,04 528Jahe 5.000,00Lempuyang 200Kunyit 3.000,00Kencur 2.000,00
2 Temulawak 3.210,00 0,06 847,44Jahe 5.350,00Lempuyang 214Kunyit 3.210,00Kencur 2.140,00
3 Temulawak 3.434,70 0,1 1.511,27Jahe 5.724,50Lempuyang 228,98Kunyit 3.434,70Kencur 2.289,80
4 Temulawak 3.675,13 0,15 2.425,59Jahe 6.125,22Lempuyang 245,01Kunyit 3.675,13Kencur 2.450,09
5 Temulawak 3.932,39 0,15 2.595,38Jahe 6.553,98Lempuyang 262,16Kunyit 3.932,39Kencur 2.621,59
75.909,75Total 7.907,67
190
Lampiran 3 Penetapan Kompisisi Penjualan Tanaman Obat
Kode Deskripsi Komposisi
T1 Jahe 46,17
T2 Temulawak 10,84
T3 Kunyit 15,03
T4 Lempuyang Wangi 10,13
T5 Lempuyang pahit 9,82
T6 Kencur 8
Penetapan komposisi diperlukan untuk mengatur berapa proporsi tanaman obatyang akan diperdagangkan
191
Lampiran 4 Target Penyaluran Tanaman Obat Jaringan
Tahun Target (Ton) Kuartal I Kuartal II Kuartal III
1 528 20 60 20
2 564,96 20 60 20
3 906,76 20 60 20
4 1.617,06 20 60 20
5 1.730,25 20 60 20
192
Lampiran 5 Harga Bahan Baku Segar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jahe 6.500 5.500 4.950 3.850 2.750 1.500 1.500 2.750 6.500 4.400 5.500
Temulawak 800 700 650 650 600 600 500 500 550 700 800
Kunyit 2.750 2.200 1.650 1.650 1.100 900 900 1.100 1.650 2.200 2.750
Lempuyang Wangi 4.400 3.725 3.350 2.600 1.860 745 745 1.860 4.400 2.980 3.725
Lempuyang Pahit 3.850 3.260 2.935 2.280 1.630 650 650 1.630 3.850 2.600 3.260
Kencur 3.850 3.260 2.935 2.280 1.630 650 650 1.630 3.850 2.600 3.260
Tanaman ObatBulan
192
12
6.500
800
3.300
4.400
3.850
3.850
Lampiran 7 Pembiayaan Teknis Jaringan ( Komposisi Menjual Bahan baku segar dan kering )
Uraian1 2 3 4 5
1. Biaya - Biaya Langsung 151.904.266 243.806.350 434.787.990 697.834.726 746.683.154
Biaya Kuli naik turun 25.605.440 41.096.724 73.289.164 117.629.116 125.863.156
Biaya kuli transportasi 12.802.720 20.548.364 36.644.584 58.814.560 62.931.576
Biaya pembersihan dan kemasan 51.210.880 82.193.460 146.578.340 235.258.236 251.726.304
Biaya transaksi 7.681.636 12.329.020 21.986.756 35.288.736 37.758.944
Biaya pengelolaan 10.242.176 16.438.696 29.315.664 47.051.644 50.345.260
Perajangan dan Pengeringan 44.361.422 71.200.084 126.973.486 203.792.442 218.057.914
2. Biaya Umum dan Pegawai 80.400.000 80.400.000 80.400.000 80.400.000 88.440.000
Listrik, telepon per bulan 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000
Umum dan ATK 1.800.000 1.800.000 1.800.000 1.800.000 1.800.000
Pemeliharaan 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000
Biaya pegawai tetap 59.400.000 59.400.000 59.400.000 59.400.000 59.400.000
Perkiraan harian 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000
Dana taktis 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000
3. Biaya Kunjungan 8.400.000 8.400.000 8.400.000 8.400.000 8.400.000
Kunjungan Sumber 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000
Kunjungan User 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000
Tahun
Total 240.704.266 332.606.350 523.587.990 786.634.726 843.523.154
Lampiran 8 Biaya Sewa dan Investasi
No. Uraian Satuan Nilai
1 Sewa 15.000.000Ruang kantor 100 m2 Rp./tahun 5.000.000Gudang 1000 m2 Rp./tahun 7.500.000Areal penjemuran 500 m2 Rp./tahun 2.500.000
2 Investasi 100.000.000Peralatan kantor - furniture Rp. 5.000.000Peralatan elektronik -:: Fax Rp. 1.500.000:: Komputer Rp. 5.000.000:: Mesin ketik Rp. 1.000.000Motor operasional Rp. 14.000.000Izin dan legalitas Rp. 3.500.000Mobil angkutan Rp. 70.000.000
Total 115.000.000
Lampiran 9 Perkiraan Arus Kas ( tanaman obat segar dan kering)
No Uraian
0 1 2 3 4 5
1 Inflow 1.726.831.269 2.771.564.186 4.942.622.798 7.932.909.590 9.337.034.588
2 Outflow 100.000.000 1.545.112.978 2.395.311.300 4.162.107.736 6.595.587.887 7.670.293.799
Sewa Lahan 15.000.000 15.000.000 15.000.000 15.000.000 15.000.000
Investasi 100.000.000 0 0 0 0 0
Pembelian Bahan Baku 1.253.382.218 2.011.678.458 3.587.493.254 5.757.926.670 6.777.079.692
Pembiayaan Teknis 240.704.266 332.606.350 523.587.990 786.634.726 843.523.154
Penyusutan 20.000.004 20.000.004 20.000.004 20.000.004 20.000.004
Angsuran Pinjaman 16.026.492 16.026.492 16.026.492 16.026.492 14.690.951
3 Laba Sebelum Pajak -100.000.000 181.718.291 376.252.886 780.515.064 1.337.321.704 1.666.740.792
4 Pajak 0 0 0 0 0
5 Laba Bersih -100.000.000 181.718.291 376.252.886 780.515.064 1.337.321.704 1.666.740.792
Laba 81.718.291 376.252.886 780.515.064 1.337.321.704 1.666.740.792Pendapatan 1.726.831.269 2.771.564.186 4.942.622.798 7.932.909.590 9.337.034.588Keuntungan 0,05 0,14 0,16 0,17 0,18
Tahun
Lampiran 10 Target Penyaluran perhitungan BEP
Tahun Target (Ton) Kuartal I Kuartal II Kuartal III
1 331,77 20 60 20
2 331,77 20 60 20
3 331,77 20 60 20
4 331,77 20 60 20
5 331,77 20 60 20
Lampiran 11 Harga Jual Tanaman Obat ( bahan baku segar dan irisan kering )
1 2 3 4 5 6
Jahe 8.450 7.150 39.600 30.800 22.000 12.000
Temulawak 1.040 910 3.250 3.250 3.000 3.000
Kunyit 3.575 2.860 12.375 12.375 8.250 6.750
Lempuyang Wangi 5.720 4.843 18.425 14.300 10.230 4.098
Lempuyang Pahit 5.005 4.238 16.143 12.540 8.965 3.575
Kencur 5.005 4.238 16.143 12.540 8.965 3.575
Penjualan irisan kering
Harga diskenariokan tetap, terkecuali di tahun ke-5
Tanaman Obat Bulan
Lampiran 11 Harga Jual Tanaman Obat ( bahan baku segar dan irisan kering )
7 8 9 10 11 12
12.000 22.000 8.450 5.720 7.150 8.450
2.500 2.500 715 910 1.040 1.040
6.750 8.250 2.145 2.860 3.575 4.290
4.098 10.230 5.720 3.874 4.843 5.720
3.575 8.965 5.005 3.380 4.238 5.005
3.575 8.965 5.005 3.380 4.238 5.005
Bulan
Lampiran 12 Pembiayaan Teknis Jaringan Posisi BEP
1 2 3 4 5
1. Biaya - Biaya Langsung 95.450.305 95.450.305 95.450.305 95.450.305 95.450.305 Biaya Kuli naik turun 16.089.390 16.089.390 16.089.390 16.089.390 16.089.390 Biaya kuli transportasi 8.044.695 8.044.695 8.044.695 8.044.695 8.044.695 Biaya pembersihan dan kemas 32.178.780 32.178.780 32.178.780 32.178.780 32.178.780 Biaya transaksi 4.826.817 4.826.817 4.826.817 4.826.817 4.826.817 Biaya pengelolaan 6.435.756 6.435.756 6.435.756 6.435.756 6.435.756 Perajangan dan Pengeringan 27.874.868 27.874.868 27.874.868 27.874.868 27.874.8682. Biaya Umum dan Pegawai 80.400.000 80.400.000 80.400.000 80.400.000 88.440.000 Listrik, telepon per bulan 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 Umum dan ATK 1.800.000 1.800.000 1.800.000 1.800.000 1.800.000 Pemeliharaan 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 Biaya pegawai tetap 59.400.000 59.400.000 59.400.000 59.400.000 59.400.000 Perkiraan harian 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 Dana taktis 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.0003. Biaya Kunjungan 8.400.000 8.400.000 8.400.000 8.400.000 8.400.000 Kunjungan Sumber 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 4.800.000 Kunjungan User 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000Total 184.250.305 184.250.305 184.250.305 184.250.305 192.290.305
Diskenariokan terdapat kenaikan 10 % biaya umum pada tahun ke-5
Uraian Tahun
Lampiran 13 Penjualan Tanaman Obat posisi BEP ( untuk jenis segar dan campuran )
1 2 3 4 5
Jahe 737.330.938 737.330.938 737.330.938 737.330.938 811.064.032
Temulawak 23.407.067 23.407.067 23.407.067 23.407.067 25.747.774
Kunyit 101.170.824 101.170.824 101.170.824 101.170.824 111.287.907
Lempuyang Wangi 87.878.242 87.878.242 87.878.242 87.878.242 96.666.066
Lempuyang Pahit 74.549.154 74.549.154 74.549.154 74.549.154 82.004.069
Kencur 60.732.508 60.732.508 60.732.508 60.732.508 66.805.759
Total 1.085.068.734 1.085.068.734 1.085.068.734 1.085.068.734 1.193.575.608
Tanaman Obat Tahun
Lampiran 14 Perkiraan Arus Kas kondisi BEP ( bahan baku segar dan kering )
0 1 2 3 4 5
1 Inflow 1.085.068.734 1.085.068.734 1.085.068.734 1.085.068.734 1.193.575.608
2 Outflow 100.000.000 1.022.849.896 1.022.849.896 1.022.849.896 1.022.849.896 3.154.011.457
Sewa Lahan 15.000.000 15.000.000 15.000.000 15.000.000 45.000.000
Investasi 100.000.000 0 0 0 0 0
Pembelian Bahan Baku 787.573.101 787.573.101 787.573.101 787.573.101 866.330.411
Pembiayaan Teknis 184.250.305 184.250.305 184.250.305 184.250.305 192.290.305
Penyusutan 20.000.000 20.000.000 20.000.000 20.000.000 20.000.000
Angsuran Pinjaman 16.026.490 16.026.490 16.026.490 16.026.490 14.690.949
3 Laba Sebelum Pajak -100.000.000 62.218.838 62.218.838 62.218.838 62.218.838 85.263.942
Total Variabel Cost 4.493.874.341
Total Fixed Cost 705.836.908
No Uraian
Tahun
Lampiran 15 Manfaat Jaringan bagi masyarakat
No Uraian Satuan Nilai
1Jumlah Hari kerja Hari/bulan 26Kapasitas Perajangan kg/orang/hari 50Rata-Rata Perajangan ton/bulan 178,96Produktifitas Perajangan ton/orang/bulan 1,3Jumlah Tenaga Perajang orang 138Pendapatan Tenaga Perajang Rp./orang/bulan 162.500Total Biaya Perajangan Rp./bulan 22.425.000
2Produktifitas ton/ha/tahun 12,78Luas lahan petani ha/orang 0,2Rata-Rata Produksi Aktual Ton/tahun 1.581,38Kebutuhan Lahan Ha 124Jumlah Petani Terlibat orang 620
Luas Lahan dan Keterlibatan Petani
Perajangan
Lampiran 16 Manfaat Jaringan bagi masyarakat kondisi BEP
No. Uraian Satuan Nilai
1 Tenaga Perajangan
Jumlah Hari kerja Hari/bulan 26
Kapasitas Perajangan kg/orang/hari 50
Rata-Rata Perajangan ton/bulan 37,54
Produktifitas Perajangan ton/orang/bulan 1,3
Jumlah Tenaga Perajang orang 29
Pendapatan Tenaga Perajang Rp./orang/bulan 162,500Total Biaya Perajangan Rp./bulan 4.712.500
2 Luas Lahan dan Keterlibatan Petani
Produktifitas ton/ha/tahun 12,7755
Luas lahan petani ha/orang 0,2
Rata-Rata Produksi Aktual Ton/tahun 331,74
Kebutuhan Lahan Ha 26,00Jumlah Petani Terlibat orang 130
Lampiran 17 Permasalahan Petani
Matriks Pendapat
1 2 3 4 5
AKSES PASAR ST ST ST ST ST ST
PERMODALAN ST ST ST ST ST ST
TEKNIK PENGOLAHAN T T ST ST T T
TEKNIK BUDIDAYA ST ST T T T T
NEGOSIASI R R ST ST ST ST
FASILITATOR SR R R R R R
TENAGA KERJA SR ST SR SR SR R
Skala PenilaianSANGAT RENDAHRENDAHSEDANGTINGGISANGAT TINGGI ST
RESPONDENAspek MasalahHASIL AGREGASI
SRRST
Lampiran 18 Pengendalian Vertikal Industri terhadap Pemasok
Matriks Pendapat
1 2 3 4 5PRODUK Jenis Produk S S T T T T
Kemasan T T S S S SStandar produk T T ST ST T T
PASOKAN Frekuensi pasokan S T T S T TWaktu Pasokan S S T T T TJumlah per pengiriman R R T T T TJenis Angkutan SR SR SR R R R
HARGA dan Harga S S S T T TPEMBAYARAN Bentuk Pinalti R R S S S S
Cara Pembayaran S S T T S T
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Mutu S S S T T SProsedur Pemrosesa S S R R R RPetugas Pengiriman R R S S S S
RESPONDENELEMEN PENGENDALIAN SUB-ELEMENHASIL AGREGASI
Lampiran 19 Pengendalian Vertikal Pedagang terhadap Pemasok
Matriks Pendapat
1 2 3 4 5PRODUK Jenis Produk S S T T T T
Kemasan R R R S S RStandar produk T T S S S S
PASOKAN Frekuensi pasokan S T T S S SWaktu Pengiriman S S T T S SJumlah per pengiriman R R R SR R RJenis Angkutan SR SR R R R R
HARGA dan Harga S S T T T TPEMBAYARAN Bentuk Pinalti R R R S S R
Cara Pembayaran R R SR SR R R
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Mutu S S S T T SProsedur Pemrosesan S S R R R RPetugas Pengiriman R R R S S R
RESPONDENELEMEN PENGENDALIAN SUB-ELEMENHASIL AGREGASI