referat trauma ms

53
Trauma Medulla Spinalis Jesly Charlies - 406138116 BAB 1 PENDAHULUAN Trauma medulla spinalis yang merupakan komplikasi dari trauma pada tulang belakang, merupakan kejadian yang tidak jarang kita jumpai di poliklinik maupun di bangsal neurologi. Trauma medulla spinalis ini merupakan 75% dari penyebab paraplegia yang kita jumpai di bagian neurologi. Penyebab trauma antara lain dapat berupa: kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera olahraga, terjun ke dalam air yang dangkal, luka tembak dan sebagainya. Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medulla spinalis dalam setahun di Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Di Indonesia, insidens trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dengan sekitar 8.000-10.000 kasus per tahun. Trauma pada tulang belakang ini dapat menimbulkan fraktur atau dislokasi. Tetapi sewaktu-waktu tidak tampak ada kelainan tulang belakang yang jelas, namun penderita menunjukkan kelainan neurologi yang nyata. Penanganan akut pada penderita cedera medulla spinalis dimulai pada saat dicurigai terjadi cedera dan difokuskan pada tujuan primer pengobatan yaitu, memaksimalkan pulihnya fungsi neurologik, memulihkan alignment normal, menjaga sel yang masih hidup Kepaniteraan Klinik Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014 1

Upload: thomas-smith

Post on 16-Nov-2015

35 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

saraf

TRANSCRIPT

Trauma Medulla Spinalis Jesly Charlies - 406138116

Trauma Medulla Spinalis Jesly Charlies - 406138116Trauma Medulla Spinalis Jesly Charlies - 406138116

BAB 1PENDAHULUAN

Trauma medulla spinalis yang merupakan komplikasi dari trauma pada tulang belakang, merupakan kejadian yang tidak jarang kita jumpai di poliklinik maupun di bangsal neurologi. Trauma medulla spinalis ini merupakan 75% dari penyebab paraplegia yang kita jumpai di bagian neurologi. Penyebab trauma antara lain dapat berupa: kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera olahraga, terjun ke dalam air yang dangkal, luka tembak dan sebagainya.Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medulla spinalis dalam setahun di Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Di Indonesia, insidens trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dengan sekitar 8.000-10.000 kasus per tahun. Trauma pada tulang belakang ini dapat menimbulkan fraktur atau dislokasi. Tetapi sewaktu-waktu tidak tampak ada kelainan tulang belakang yang jelas, namun penderita menunjukkan kelainan neurologi yang nyata.Penanganan akut pada penderita cedera medulla spinalis dimulai pada saat dicurigai terjadi cedera dan difokuskan pada tujuan primer pengobatan yaitu, memaksimalkan pulihnya fungsi neurologik, memulihkan alignment normal, menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari kerusakan lanjut, menstimulasi pertumbuhan akson dan koneksitasnya, serta mencegah terjadinya komplikasi sekunder.Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian, ini disebabkan vertebra servikalis memiliki resiko utama yang paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6 dan kemudian T12, L1 dan T10.

BAB 2ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1ANATOMI DAN FISOLOGI COLUMNA VERTEBRALISColumna vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medulla spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang lubang paha dan tungkai bawah. Masing masing tulang dipisahkan oleh discus intervertebralis.Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:a. Vertebra CervicalisVertebra cervicalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebra cervicalis kedua (axis) memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Vertebra cervicalis ketujuh disebut dominan karena mempunyai prosesus spinosus paling panjang.b. Vertebra ThoracalisUkurannya semakin besar mulai dari atas ke bawah. Corpus vertebra thoracalis berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.c. Vertebra LumbalisCorpus setiap vertebra lumbalis bersifat massif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas ke arah fleksi.d. Os SacrumTerdiri dari 5 sacrum yang membentuk sacrum atau tulang kengkang dimana kelima vertebra ini rudimenter yang bergabung membentuk tulang bayi.e. Os CoccygisTerdiri dari 4 tulang yang juga disebut tulang ekor pada manusia, mengalami rudimenter.

Lengkung kolumna vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior yaitu: lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan, daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan, dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap posterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut primer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkok ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder: lengkung servikal berkembang ketika anak-anak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.Fungsi dari kolumna vertebralis yaitu sebagai penunjang badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga ke depan perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk otot dan membentuk tapal batas posterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga. (Eveltan. C. Pearah, 1997 dalam Ilham, 2008)

Gambar 1. Anatomi Columna Vertebralis

2.2ANATOMI DAN FISIOLOGI MEDULLA SPINALISBentuk medulla spinalis adalah sederhana, karena masih tetap mempunyai bentuk tabung neural. Bentuk asli tabung neural adalah bundar pada potongan melintangnya. Hanya bagian lumbal medulla spinalis masih tetap berbentuk demikian. Bagian servikal dan torakal lebih berbentuk lonjong pada potongan melintang. Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula pada medulla oblongata, menjulur kearah kaudal melalui foramen magnum dan berakhir diantara vertebra lumbalis pertama dan kedua. Disini medulla spinalis meruncing sebagai konus medullaris, dan kemudian sebuah sambungan tipis dari piameter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Panjang medulla spinalis orang dewasa ialah 40-45 cm, yang pada bagian depannya dibelah oleh fisura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah fisura sempit.Segmentasi medulla spinalis adalah bagian servikal mempunyai 8 segmen, bagian torakal mempunyai 12 segmen, bagian lumbal mempunyai 5 segmen, dan bagian sacral mempunyai 8 segmen. Segmentasi ini tidak bersifat jelas dan tegas, tetapi bagian-bagian medulla spinalis diantara tempat pemunculan radiks dorsalis atau ventralis nervi spinalis dianggap sebagai satu segmen.Setiap nervus spinal keluar melalui foramen intervertebrale. Saraf spinal servikal pertama keluar melalui celah antara atlas dan os oksipitale. Dengan demikian saraf spinal servikal yang keluar melalui foramen intervertebrale antara corpus vertebrae torakalis ke-1 dan corpus vertebrae servikalis ke-7 ialah saraf spinal servikal ke-8.Pada fasies dorsalis medulla spinalis tampak sulcus medianus posterior yang dapat dianggap sebagai garis tengah medulla spinalis. Pada kedua sampingnya dan sepanjang bagian torakal bawah sampai medulla oblongata tampak peninggian yang dikenal sebagai funikulus dorsalis atau funikulus posterior. Peninggian itu terdiri dari funikulus grasilis (medial) dan funikulus kuneatus (lateral) yang melanjutkan dari medulla oblongata sebagai tuberkulum grasili dan kuneati.Pada medulla spinalis terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi medulla spinalis adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut: 1.Organ sensorik: menerima impuls, misalnya kulit 2.Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls impuls tersebut menuju sel sel dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada kornu posterior medulla spinalis.3.Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medulla spinalis.4.Sel saraf motorik: dalam kornu anterior medulla spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik.5.Organ motorik: yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik. 6.Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Gambar 2. Anatomi Medulla Spinalis

Gambar 3. Segmen Medulla Spinalis

BAB 3TINJAUAN PUSTAKA

3.1DEFINISITrauma medulla spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.

3.2EPIDEMIOLOGIDiperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medulla spinalis dalam setahun di Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Di Indonesia, insidens trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dengan sekitar 8.000-10.000 kasus per tahun.

3.3ETIOLOGITrauma medulla spinalis dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, luka tembak, luka bacok, kecelakaan pada olahraga kontak fisik dan menyelam, kecelakaan industri, ledakan bom dan sebagainya.

3.4KLASIFIKASIA.Klasifikasi cedera spinal menurut Holdsworth adalah:1.Cedera fleksiCedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior dan selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian corpus vertebra dan mengakibatkan wedge fracture (Teardrop Fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil.2.Cedera fleksi-rotasiCedera fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga processus articularis, dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan slice fracture corpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.3.Cedera ekstensiPada cedera ini biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.4.Cedera kompresi vertikalCedera ini mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.5.Cedera robek langsungCedera ini biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung sehingga salah satu vertebra bergeser. Selain itu juga dapat mengakibatkan fraktur prosessus artikularis dan ruptur ligament.

B.Klasifikasi menurut ASIA (American Spinal Association Injury)Klasifikasi ini tingkat keparahan trauma medulla spinalis ditegakkan pada saat 72 jam sampai 7 hari setelah trauma.1. Berdasarkan impairment scale :GradeTipeGangguan Medulla Spinalis

AKomplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5

BInkomplitFungsi sensorik masih baik, tapi motorik terganggu sampai segmen S4-S5

CInkomplitFungsi motorik terganggu di bawah level, tapi otot-otot motorik utama masih punya kekuatan 3

ENormalFungsi motorik dan sensorik normal

2. Berdasarkan tipe dan lokasi trauma Complete spinal cord injury (Grade A) Unilevel Multilevel Incomplete spinal cord injury (Grade B,C,D) Cervico medullary syndrome Central cord syndrome Anterior cord syndrome Posterior cord syndrome Brown sequard syndrome (Hemicord syndrome) Conus medullary syndrome Complete cauda equina injury (Grade A) Incomplete cauda equaina injury (Grade B, C, D)

C.Klasifikasi kemerosotan neurologis sehubungan dengan tingkat lesi spinal cord.Tingkat lesi kemerosotan neurologisC1 ke C2Quadriplegia; tidak ada fungsi pernafasan karena hambatan pernafasan jika tidak diobati (Respiratory Arrest).C3 ke C4Quadriplegia; kehilangan saraf yang mempersarafi saraf diafragma (Phrenic Nerve), tidak ada pernafasan.C4 ke C5Quadriplegia; tidak ada kekuatan motor lengan.C5 ke C6Quadriplegia; fungsi motor lengan yang menyilang.C6 ke C7Quadriplegia; tidak ada fungsi trisep kecuali bisep.C7 ke C8Quadriplegia; tidak ada fungsi intrinsik otot tangan kecuali trisep.T1 ke T2 & L1 Ke L2Paraplegia; fungsi lengan ada beberapa kehilangan intercostal, kehilangan fungsi kandung kemih, usus besar / bowel, fungsi sex.L2 dan bawahnyaKerusakan Cauda equina; kombinasi hilangnya sensori, motorik, bowel, kandung kemih, fungsi sex, derajat cedera tergantung pada akar saraf mana yang terkena.SakralKehilangan fungsi bowel, kandung kemih dan sexual.

D.Klasifikasi berdasarkan morfologiCedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera penetrans. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan tidak stabil. Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu sederhana dan ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat.Karena itu terutama pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderita dengan deficit neurologist, harus dianggap mempunyai cedera tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu penderita ini harus tetap diimobolisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah saraf/ orthopedi. Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari mekanisme cedera: (1)pembebanan aksial (axial loading), (2)fleksi, (3)ekstensi, (4)rotasi, (5)lateral bending, dan (6)distraksi. Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutan anatomis, dari cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang. Dislokasi atlanto oksipita (atlanto occipital dislokatiaon) Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak. Kerusakan neurologist yang berat ditemukan pada level saraf karanial bawah. Kadang kadang penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat kejadian. Fraktur atlas (C-1)Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar. Fraktur C-1 yang paling umum terdiri dari burst fraktur (fraktur Jefferson). Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatu dengan puncak kepala terlebih dahulu. Fraktur jefferson berupa kerusakan pada cincin anterior maupun posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2 dan dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus ditangani secara awal dengan koral servikal. Rotary subluxation dari C-1Cedera ini banyak ditemukan pada anak anak. Dapat terjadi spontan setelah terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau penderita dengan rematoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. Pada cedera ini jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan imobilisasi. Dan segera rujuk. Fraktur aksis(C-2) Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang istimewa karena itu mudah mengalami cedera. 1. Fraktur odontoid Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid, suatu tonjolan tulang berbentuk pasak. Fraktur ini dapat diidentifikasi dengan foto rontgen servikal lateral atau buka mulut.2. Fraktur dari elemen posterior dari C-2 Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars interartikularis 20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan oleh trauma tipe ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi eksternal. Fraktur dislocation (C-3 sampai C-7) Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan letaknya berada diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang tulang servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi tulang servikal terbesar.

Fraktur vertebra torakalis (T-1 sampai T-10)Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori : (1) cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera burst, (3) fraktur Chance, (4) fraktur dislokasi.Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi pada bagian anterior. Tipe kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst disebabkan oleh kompresi vertical aksial. Fraktur dislokasi relative jarang pada daerah T-1 sampai T-10. Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1), fraktur lumbalFraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang servikal, tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali atau terlambat mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi mobil yang memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resiko mengalami cedera tipe ini. Medulla spinalis berakhir pada level ini, radiks saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah torakolumbal.

3.5PATOGENESISTrauma pada permukaan medulla spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian bagian saraf oleh fragmen fragmen tulang, ataupun rusaknya ligament ligament pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.Efek trauma terhadap tulang belakang bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1.Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat tempat antara bagian yang sangat mobile dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12.Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis.Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.Whiplash adalah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea. Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis. Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whiplash radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whiplash, radiks columna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.Medulla spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:1) Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi discus intervertebralis dan hematom.Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh corpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.2) Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini biasanya pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap peregangan akan menurun dengan bertambahnya usia.3) Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena.4) Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior.

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash/trauma indirek.

3.6MANIFESTASI LESI TRAUMATIKKomosio Medulla SpinalisKomosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam / hari tanpa meninggalkan gejala sisa.Kerusakan yang medasari komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan patologik daripada fisiologik.

Kontusio Medulla SpinalisBerbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio medulla spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan neuron, reaksi peradangan. Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi Wallerian dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron.

Laserasio Medulla SpinalisPada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.

PerdarahanAkibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat dari sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut: terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.

Kompresi Medulla SpinalisKompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epidural dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi.Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis.Di bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis otot dan gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktur-dislokasi L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong. Di samping itu dijumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine serta pada pria terdapat impotensi.Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantung pada serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya control dari vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.

Hemiseksi Medulla Spinalis (Brown Sequard syndrome)Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat gangguan neuron sensorik protopatik.

Sindrom Medulla Spinalis bagian Central (Central Cord Syndrome)Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi, sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medulla spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan medulla spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medulla spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edemaGambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral.

Sindrom Medulla Spinalis bagian Anterior (Anterior Cord Syndrome)Sindrom ini mempunyai gambaran khas berupa: Paralisis lengkap dibawah tingkat lesi karena terputusnya traktus kortikospinalis. Anestesi & kehilangan perasa suhu pada & dibawah tingkat lesi karena terputusnya traktus spinotalamikus. Proprioseptik & perasa getar tetap utuh karena utuhnya kolumna dorsalis.

Sindrom Medulla Spinalis bagian Posterior (Posterior Cord Syndrome)Sindrom Medulla Spinalis bagian posterior terjadi karena terganggunya suplai a. spinalis posterior yang menyebabkan kerusakan pada kolumna dorsalis. Sindrom ini paling jarang terjadi dibandingkan lesi medulla spinalis lainnya.Ciri khas sindrom medulla spinalis bagian posterior adalah kehilangan perasa posisi (proprioseptik) yang menyebabkan gangguan gaya berjalan, kehilangan perasa raba & getar, tetapi motorik, perasa nyeri & suhu tetap utuh.

Conus medullaris syndromeConus medullaris merupakan terminal dari medulla spinalis, sekitar vertebra L1- L2. Strukturnya mengandung medulla spinalis bagian distal, radiks spinalis, kombinasi UMN & LMN. Tanda dan gejala yang muncul biasanya mendadak dan bilateral. Tanda dan gejala sensoriknya berupa hipestesi perianal yang simetris dan bilateral, ada disosiasi sensorik. Sedangkan untuk kekuatan motorik simetris, hiperrefleksi pada anggota gerak bawah/ disfungsi sfingter dimana terjadi retensi urin, sfingter ani atoni menyebabkan overflow inkontinensia urin et alvi pada awal perjalanan penyakit. Sering juga dijumpai impotensi.Pada pemeriksaan reflex fisiologis, biasanya didapatkan reflex patella normal sedangkan reflex Achilles menurun.

Cauda equina syndromeSindrom cauda equine menunjukkan kelainan tipe LMN. Tanda dan gejala yang muncul biasanya berangsur dan unilateral. Tanda dan gejala sensoriknya berupa saddle hipestesi yang asimetris dan bilateral, tidak ada disosiasi sensorik, anestesi pada dermatom spesifik, hipestesi dan parestesi ekstremitas bawah, mungkin juga hipestesi di daerah pubis, termasuk glans penis atau klitoris. Sedangkan untuk kekuatan motorik terlihat paraplegi arefleksi asimetris, jarang terjadi fasikulasi, dan sering atrofi. Pada sindom cauda equine ini jarang didapatkan impotensi, tetapi didapatkan retensi urin pada akhir perjalanan penyakit.Pada pemeriksaan reflex fisiologis, biasanya didapatkan reflex patella dan reflex Achilles menurun.

Transeksi Medulla SpinalisBila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu:1. Semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang fungsinya secara mendadak dan menetap2. Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang3. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik otot tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6 minggu)Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebih lama.

McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.1.Hilangnya fasilitas traktus desendens2.Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada otot ekstensor, dan3.Degenerasi aksonal interneuronKarena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia dan aktivitas otot yang meningkat.

Syok spinal atau arefleksiaSesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari saraf pusat yang lebih tinggi) tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar (overflow incontinence).Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus paralitik. Refleks genitalia (ereksi penis, otot bulbokavernosus, kontraksi otot dartos) menghilang.

Aktifitas otot yang meningkatSetelah beberapa minggu respon otot terhadap rangsang mulai timbul, mula mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel muncul. Beberapa bulan kemudian reflex menghindar tadi akan bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan pengosongan kandung kemih secara otomatis.

3.7GEJALA KLINISGejala-gejala trauma medulla spinalis bergantung pada komplit atau tidak komplitnya lesi dan juga dari tingginya lesi tersebut. Lesi yang mengenai separuh segmen kiri atau segmen kanan medulla spinalis akan menimbulkan Sindrom Brown Sequard. Hematomieli menimbulkan gejala-gejala sebagai siringomieli, sedang lesi yang komplit akan menimbulkan paralisis dan anestesi total di bawah tempat lesi.Bila lesi komplit itu berada di daerah torakalis, maka akan mendapatkan paraplegi dengan gangguan sensibilitas di bawah lesi. Sedang bila lesi komplit itu berada di daerah servikal maka akan menimbulkan tetraplegi di bawah lesi. Disamping itu akan ada pula gangguan vegetatif. Lesi di daerah servikal bagian atas yaitu dari C1-C4 merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena timbulnya paralisis pada nervus frenikus.Ini akan menyebabkan lumpuhnya otot-otot diafragma sehingga menimbulkan kematian dengan cepat. Lesi di daerah servikal C8-T1 dapat disertai adanya gejala-gejala Sindrom Horner. Lesi di daerah konus medullaris, disamping konus, sering kali pula kauda equina ikut terkena sehingga disamping gejala-gejala paraplegi/paraparesis, gangguan sensibilitas dan vegetatif, akan ada juga tanda lasegue yang positif. Lesi dapat juga hanya mengenai kauda equina sehingga menimbulkan gangguan gejala-gejala motorik dan sensorik yang bersifat perifer dengan tanda lasegue yang positif.

3.8DIAGNOSISPenegakan diagnosis berdasarkan : Anamnesis riwayat trauma Berdasarkan gejala dan tanda klinis (ASIA scale) Gambaran klinis tergantung letak dan luas lesi

3.9PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostic yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat cedera/trauma. RadiologikFoto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2. Pungsi LumbalBerguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut. MielografiMielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.

3.10PENATALAKSANAANTerapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.Ketentuan pemberian kortikosteroid : Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca trauma berikan : methylprednisolon 30 mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan methylprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus terus-menerus methylprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/KgBB/jam. Bila 3-8 jam, sama seperti yang diatas hanya infus methylprednisolon dilanjutkan untuk 47 jam. Bila > 8 jam tidak dianjurkan pemberian methylprednisolon.Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai status fungsional pada penderita cedera medulla spinalis.

I.Manajemen Pre-HospitalPerlu diperhatiakan tatalaksana disaat pre-hospital yaitu : Stabilisasi manual Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebra brace.II.Manajemen Di Unit Gawat DaruratTindakan darurat mengacu pada:1. A (Airway)Menjaga jalan nafas tetap lapang2. B (Breathing)Mengatasi gangguan pernafasan, kalau perlu lakukan intubasi endotrakeal (pada cedera medulla spinalis, cervikalis atas) dan pemasangan alat bantu nafas.3. C (Circulation)Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, harus dibedakan antara:a) Syok hipovolemik. Tindakan : berikan cairanj kristaloid, kalo perlu dengan koloid.b) Syok neurogenik. Pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi (awasi edema paru) maka harus diberikan obat vasopressor : Dopamin untuk menjaga MAP > 70 Bila perlu adrenalin 0,2 mg s.k Boleh diulangi 1 jam kemudian4. Selanjutnya : Pasang foley kateter untuk moniter hasil urin dan cegah retensi urin. Pasang pipa naso gastrik dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan kepentingan nutrisi enteral.5. Pemeriksaan umum dan neurologis khusus.Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis : Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan di samping kanan kiri leher ditaruh bantal pasir. Torakal : lakukan fiksasi (brace) Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal

Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi :1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya.4.fragmen yang menekan lengkung saraf.5.adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.6.Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.

3.11KOMPLIKASI Neurogenik shock Hipoksia Instabilitas spinal Ileus paralitik Infeksi saluran kemih Kontraktur Dekubitus Konstipasi

3.12PROGNOSISPasien dengan cedera medulla spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu: pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal.Penelitian Muslumanoglu dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis inkomplet akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional yang bermakna dalam 12 bulan pertama.Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17 penderita medula spinalis tanpa kelainan radiologik (5 menderita Central Cord Syndrome). Sebagian besar menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, mengindikasikan adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara konservatif, dengan hasil: 1 orang meninggal dunia, 15 orang mengalami perbaikan, dan 1 orang tetap tetraplegia. Pemulihan fungsi kandung kemih baru akan tampak pada 6 bulan pertama pasca trauma pada cedera medula spinalis traumatika.Curt dkk mengevaluasi pemulihan fungsi kandung kemih 70 penderita cedera medula spinalis; hasilnya menunjukkan bahwa pemulihan fungsi kandung kemih terjadi pada 27% pasien pada 6 bulan pertama. Skor awal ASIA berkorelasi dengan pemulihan fungsi kandung kemih.

BAB 4KESIMPULAN

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah karena kecelakaan lalu lintas, dll. Trauma medulla spinalis sendiri diklasifikasikan menjadi trauma medulla spinalis komplit dan trauma medulla spinalis inkomplit.Sedangkan gejala yang paling sering pada trauma medulla spinalis adalah nyeri akut pada belakang leher, paraplegia, paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih), penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan fungsi pernapasan, gagal nafas.Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Terapi operatif kurang dianjurkan kecuali jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi.Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik daripada trauma medulla spinalis komplit.

BAB 5DAFTAR PUSTAKA

1.York JE. Approach to The Patient with Acute Nervous System Trauma, Best Practice of Medicine, September 20002.Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 20023.Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 19814. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC; 1997.5. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.6.Alpert MJ. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal 2001; 27.Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-78.Braken MB. Steroid For Acute Spinal Cord Injury (Cochrane Review): Cochrane Library, Issue 3, 20029. http://www.nutritionalsupplementproduct.com/1381/spinal-cord-injury/ 10. http://www.maitriseorthop.com/corpusmaitri/orthopaedic/102_duquennoy/pec_trauma_med_us.shtml 11. http://www.physicaltherapy.med.ubc.ca/ Kepaniteraan Klinik Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Periode 28 April 2014 31 Mei 201436