referat parotitis epidemika kel 4 tropmed isi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Parotitis epidemika ialah penyakit virus akut yang biasanya menyerang
kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Gejala khasnya yaitu terjadi
pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis (Behrman, et al., 2000).
Parotitis epidemika (gondongan) adalah suatu infeksi virus menular
yang menyebabkan pembengkakan unilateral (satu sisi) atau bilateral (kedua
sisi) pada kelenjar liur disertai nyeri. Pada saluran kelenjar ludah terjadi
kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan
saluran (Pudjiadi dan Hadinegoro, 2009).
B. EPIDEMIOLOGI
Sebelum ditemukan vaksin parotitis pada tahun 1967, parotitis
epidemika merupakan penyakit yang sangat sering ditemukan pada anak.
Insidens pada umur < 15 tahun adalah 85% dengan puncak insidens
kelompok umur 5-9 tahun. Setelah ditemukan vaksin parotitis, kejadian
parotitis epidemika menjadi sangat jarang. Di negara barat seperti Amerika
dan Inggris, rata-rata didapat kurang dari 1.000 kasus per tahun. Demikian
pula insidens parotitis bergeser pada anak besar dan dewasa muda serta
menyebabkan kejadian luar biasa ditempat kuliah atau tempat kerja. Di
Indonesia, tidak didapatkan adanya data mengenai insidens terjadinya
parotitis epidemika (Pudjiadi dan Hadinegoro, 2009).
Jika dibandingkan dengan campak atau cacar air, gondongan tidak
terlalu menular. Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat
timbul secara endemik atau epidemik. Parotitis Epidemika merupakan
penyakit infeksi pada anak yang mana pada kasusnya terjadi sekitar 30 – 40%
yang kasusnya merupakan penyakit asimptomatik. Epidemi terjadi pada
semua musim tetapi sedikit lebih sering pada musim dingin akhir dan musim
semi. Sumber infeksi mungkin sukar dilacak karena 30-40% infeksi adalah
subklinis. Kebanyakan penyakit ini menyerang anak-anak yang berumur 2-15
tahun, namun pada orang dewasa justru lebih berat. Jarang ditemukan pada
anak yang berumur kurang dari 2 tahun (Maharani dan Soenartyo, 2009).
Jika seseorang pernah menderita gondongan, maka dia akan memiliki
kekebalan seumur hidupnya. Yang terkena biasanya adalah kelenjar parotis,
yaitu kelenjar ludah yang terletak diantara telinga dan rahang. Pada orang
dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis (buah zakar), sistem saraf pusat,
pankreas, prostat, payudara dan organ lainnya. Adapun mereka yang beresiko
besar untuk menderita atau tertular penyakit ini adalah mereka yang
menggunakan atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan
hormon kelenjar tiroid dan mereka yang kekurangan zat Iodium dalam tubuh
(Maharani dan Soenartyo, 2009).
C. ETIOLOGI
Parotitis epidemika biasanya disebabkan oleh anggota dari grup
paramyxovirus, yang juga termasuk di dalamnya virus parainfluenza,
measles, dan virus Newcastle disease (Behrman, et al., 2000).
Virus tersering yang menyebabkan parotitis epidemika adalah virus
mumps. Virus mumps merupakan virus ribonucleic acid (RNA) rantai
tunggal yang termasuk dalam genus paramyxovirus, dan merupakan salah
satu virus parainfluenza dengan manusia sebagai satu-satunya inang (host).
Ukuran dari partikel paramyxovirus sebesar 90 – 300 mµ. Virus mumps
mudah menular melalui droplet, kontak langsung, air liur, dan urin. Infeksi
parotitis epidemika ditandai dengan gejala prodromal berupa demam, nyeri
kepala, nafsu makan menurun selama 3-4 hari, yang diikuti peradangan
kelenjar parotis (parotitis) dalam waktu 48 jam dan dapat berlangsung selama
7-10 hari. Penularan terjadi 24 jam sebelum sampai 3 hari setelah terlihatnya
pembengkakan kelenjar parotis. Satu minggu setelah terjadi pembengkakan
kelenjar parotis pasien dianggap sudah tidak menular (Pudjiadi dan
Hadinegoro, 2009).
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari parotitis epidemika berupa (Maharani dan Soenartyo, 2009) :
1. Parotitis Kambuhan
Sudah pernah terinfeksi sebelumnya kemudian kambuh. Anak-anak
mudah terkena parotitis kambuhan yang timbul pada usia antara 1 bulan
hingga akhir masa kanak-kanak. Kambuhan berarti sebelumnya anak telah
terinfeksi virus kemudian kambuh lagi (Maharani dan Soenartyo, 2009).
2. Parotitis Akut
Parotitis akut ditandai dengan rasa sakit yang mendadak, kemerahan
dan pembengkakan pada daerah parotis. Dapat timbul sebagai akibat
pasca-bedah yang dilakukan pada penderita terbelakang mental dan
penderita usia lanjut, khususnya apabila penggunaan anestesi umum lama
dan adanya gangguan dehidrasi (Maharani dan Soenartyo, 2009).
E. TANDA DAN GEJALA
Masa inkubasi berkisar dari 14-24 hari dengan puncak pada hari ke-17
dan 18. Pada anak, manifestasi prodormal jarang terjadi tetapi mungkin
tampak bersama dengan demam, nyeri otot (terutama pada leher), nyeri
kepala, dan malaise. Awalnya ditandai dengan nyeri dan pembengkakan
parotis yang khas, mula-mula mengisi rongga antara tepi posterior mandibula
dan mastoid kemudian meluas dalam deretan yang melengkung ke bawah dan
ke depan, di atas dibatasi oleh zigoma. Edema kulit dan jaringan lunak
biasanya meluas lebih lanjut dan mengaburkan batas pembengkakan kelenjar,
sehingga pembengkakan lebih mudah disadari dengan pandangan daripada
dengan palpasi (Behrman, et al., 2000).
Pembengkakan terjadi dengan cepat dalam waktu beberapa jam dengan
puncak pada 1-3 hari. Pembengkakan jaringan mendorong lobus telinga ke
atas dan ke luar, dan sudut mandibula tidak lagi dapat dilihat. Pembengkakan
perlahan-lahan menghilang dalam 3-7 hari. Satu kelenjar parotis biasanya
membengkak sehari atau dua hari sebelum yang lain, tetapi lazim
pembengkakan terbatas pada satu kelenjar. Daerah pembengkakan terasa
lunak dan nyeri. Edema faring dan palatum mole homolateral menyertai
pembengkakan parotis dan memindahkan tonsil ke medial. Pembengkakan
parotis biasanya disertai dengan demam sedang hingga 40°C (Behrman, et
al., 2000).
F. PATOGENESIS
Virus mumps masuk tubuh melalui hidung atau mulut yang berasal dari
percikan ludah, kontak langsung dengan penderita parotitis lain, muntahan,
dan urin. Infeksi akut oleh virus mumps pada kelenjar parotis dibuktikan
dengan adanya kenaikan titer IgM dan IgG secara bermakna dari serum akut
dan serum konvalesens. Masa inkubasi 15 sampai 21 hari kemudian virus
bereplikasi di dalam traktus respiratorius atas. Semakin banyak penumpukan
virus di dalam tubuh sehingga terjadi proliferasi di parotis / epitel traktus
respiratorius kemudian terjadi viremia (ikutnya virus ke dalam aliran darah)
dan selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar / saraf yang kemudian
akan menginfeksi glandula parotis. Keadaan ini disebut parotitis (Maharani
dan Soenartyo, 2009).
Bila testis terkena infeksi maka terdapat perdarahan kecil dan nekrosis
sel epitel tubuli seminiferus. Pada pankreas kadang-kadang terdapat
degenerasi dan nekrosis jaringan (Yvonne, 2000).
G. PATOFISIOLOGI
Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agen penyebab
parotitis melalui kontak langsung dengan penderita, droplet, urin dan
muntahan penderita. Dari berbagai cara tadi virus masuk melalui saluran
pernapasan baik hidung maupun mulut. Virus mengalami masa inkubasi 12
sampai 25 hari kemudian virus bereplikasi dan mengalami masa viremia awal
selama 3-5 hari. Setelah replikasi awal, virus bereplikasi di kelenjar parotis,
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi (Ray, 2008).
Reaksi inflamasi merangsang keluarnya bradikinin yang akan
merangsang saraf sensorik dan mengakibatkan nyeri. Selain bradikinin, reaksi
inflamasi tadi merangsang pengeluaran histamin yang berakibat pada
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi edema pada pipi.
Edema pada pipi dapat menekan saraf aurikula temporal sehingga terjadi
nyeri pada telinga. Selain itu reaksi imun yang terjadi saat masa viremia awal
mengakibatkan keluarnya IL-1, kemudian IL-1 menghasilkan pirogen
endogen yang akan diteruskan menuju hipotalamus sebagai pusat regulasi
suhu tubuh untuk merangsang prostaglandin dan akan menimbulkan demam
(Ray, 2008).
H. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis dari parotitis epidemika yaitu (Behrman, et al., 2000) :
1. Anamnesis
a. Gejala yang pertama terlihat adalah nyeri ketika mengunyah atau
menelan, terutama jika menelan cairan asam misalnya jeruk.
b. Demam, biasanya suhu mencapai 38,9-40o Celcius
c. Pembengkakan kelenjar terjadi setelah demam
d. Nafsu makan berkurang
e. Menggigil
f. Sakit kepala
2. Pemeriksaan Fisik
a. Suhu meningkat mencapai 38,9-40o Celcius
b. Pembengkakan di daerah temporomandibuler (antara telinga dan
rahang)
c. Nyeri tekan pada kelenjar yang membengkak
3. Pemeriksaan Penunjang
Dalam prakteknya pemeriksaan penunjang tidak banyak dilakukan,
sebab dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah terdiagnosis. Namun
jika gejala tidak jelas diagnosis didasarkan pada :
a. Pemeriksaan laboratorium menunjukan jumlah leukosit normal
b. virus Neutralization antibodies (NT)
c. Kenaikan titer yang bermakna dari Complement Fixing antibody (CF)
d. Uji serologi untuk membuktikan spesifik mumps antibodi (Behrman, et
al., 2000).
I. PENATALAKSANAAN
Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh / hilang
sendiri) yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi
spesifik bagi infeksi virus mumps oleh karena itu pengobatan parotitis
seluruhnya simptomatis dan suportif (Soedarmo, et al., 2008).
1. Penderita rawat jalan
Penderita baru dapat dirawat jalan bila tidak ada komplikasi,
keadaan umum cukup baik.
a. Istirahat yang cukup
b. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup
c. Medikamentosa (simtomatik) :
1) Antalgin (Metampiron) adalah derivat metansulfonat dan
amidopirina yang bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu
mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri dan mempengaruhi pusat
pengatur suhu tubuh. Tiga efek utama adalah sebagai analgesik,
antipiretik dan anti-inflamasi. Antalgin mudah larut dalam air dan
mudah diabsorpsi ke dalam jaringan tubuh.
Dosis antalgin yang digunakan :
a) Dewasa : 500-1000 mg diberikan 3-4 kali sehari (maksimum 3
gram sehari).
b) Anak-anak : 250-500 mg diberikan 3-4 kali sehari (maksimum 1
gram untuk < 6 tahun dan 2 gram untuk 6 - 12 tahun).
2) Parasetamol : 7,5 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
2. Penderita rawat inap
3. Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala
hebat, gejala saraf perlu rawat inap di ruang isolasi.
a. Diet lunak, cair dan TKTP
b. Analgetik-antipiretik
4. Penanganan komplikasi tergantung jenis komplikasinya (Soedarmo, et al.,
2008).
J. KOMPLIKASI
Komplikasi dari infeksi mumps lazimnya adalah keterlibatan sistem
saraf pusat (meningitis), tetapi tidak sering. Meningitis terjadi pada 15% dari
pasien yang terinfeksi mumps, tetapi tanpa adanya kerusakan permanen.
Hingga 50% dari laki-laki yang sudah mengalami pubertas terkena orchitis
(pembengkakan testis) sebagai komplikasi mumps. Kira-kira setengah dari
pasien orchitis memiliki resiko terjadinya atropi testis, tetapi jarang hingga
menimbulkan kemandulan (Wielders, et al., 2011).
Oophoritis (pembengkakan ovarium) dan mastitis dapat terjadi pada
wanita yang telah mengalami pubertas. Peningkatan jumlah kejadian abortus
spontan telah ditemukan pada wanita hamil trimester 1 kehamilannya yang
sedang mengalami infeksi mumps, namun belum ditemukan adanya bukti
bahwa mumps dapat menyebabkan cacat bawaan. Deafness (tuli) pada satu
telinga atau kedua telinga dapat terjadi pada 1/20.000 kasus yang telah
dilaporkan (Wielders, et al., 2011).
K. PROGNOSIS
Prognosis dari parotitis epidemika umumnya baik, tetapi pada kondisi
tertentu dapat terjadi komplikasi (Turek, 2004).
L. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap parotitis epidemika dapat dilakukan secara
imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Cara ini merupakan pendekatan terbaik
untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat gondong (Staf
Pengajar IKA FKUI, 2007).
1. Pasif : antibodi yang didapatkan dari ibu melalui plasenta dapat
melindungi bayi dari parotitis epidemika. Maka dari itu, jarang ditemukan
gondong pada bayi kurang dari 6 bulan. Selain itu, Gamma globulin
parotitis hiperimun tidak efektif dalam mencegah parotitis atau
mengurangi komplikasi (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).
2. Aktif : dilakukan dengan memberikan vaksinasi dengan virus parotitis
hidup yang dilemahkan (Mumpsvax-merck, sharp and dohme). Vaksin ini
tidak menyebabkan panas atau reaksi lain serta tidak mengekskresi virus
dan tidak menular terhadap kelompok yang rentan. Jarang ditemukan
parotis yang dapat berkembang selama 7-10 hari sesudah vaksinasi (Staf
Pengajar IKA FKUI, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
A. TERAPI BARU
B. KEKURANGAN DAN KELEBIHAN TERAPI BARU
BAB IV
KESIMPULAN
1. Parotitis epidemika adalah infeksi virus akut yang biasanya menyerang
kelenjar ludah terutama kelenjar parotis dan ditandai dengan adanya kelainan
berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran.
2. Virus yang sering menyebabkan parotitis adalah virus mumps, yang merupakan
bagian dari genus paramyxovirus, dan selain itu dapat pula disebabkan oleh
virus parainfluenza, measles, dan virus Newcastle disease.
3. Manifestasi klinis parotitis antara lain demam, nyeri otot (terutama pada leher),
nyeri kepala, malaise, pembengkakan parotis, edema faring dan palatum mole
homolateral.
4. Virus mumps masuk tubuh melalui hidung atau mulut yang berasal dari
percikan ludah, kontak langsung dengan penderita parotitis lain, muntahan, dan
urin. Kemudian mengalami masa inkubasi, replikasi dan viremia, yang mana
merangsang mediator inflamasi sehingga muncul nyeri, edema dan demam.
5. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus mumps oleh karena itu pengobatan
parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif, berupa istirahat cukup, diet
nutrisi, serta pemberian analgetik-antipiretik.
6. Komplikasi yang mungkin terjadi berupa meningitis, orkitis, oophoritis,
mastitis, abortus spontan, cacat bawaan dan tuli. Prognosis umumnya baik.
Pencegahan parotitis yaitu pemberian imunisasi baik secara aktif atau pasif.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. Jakarta : EGC.
Maharani, Laillyza A., Hadi Soenartyo. 2009. Mumps Unilateral Pada Pasien
Remaja. Oral Medicine Dental Journal. Vol. 1 (2) : 1-5.
Pudjiadi, Marissa Tania S., Sri Rejeki S. Hadinegoro. 2009. Orkitis pada Infeksi
Parotitis Epidemika : laporan kasus. Sari Pediatri. Vol. 11 (1) : 47-51.
Ray, C. G. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Jakarta : EGC.
Soedarmo, S. S. P., Garna H., Hadinegoro S. R. S., Satari H. I. 2008. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatrik Tropis. Jakarta : IDAI.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Buku Kuliah : Ilmu Kesehatan
Anak 2. Jakarta : FKUI.
Turek, P. J. 2004. Smith’s General Urology. Singapore : Lange Mc. Graw Hill.
Wielders, C. C., R S van Binnendijk, B E Snijders, G A Tipples, et al. 2011.
Surveillance and outbreak reports : mumps epidemic in orthodox religious
low-vaccination communities in the netherlands and canada, 2007 to 2009.
Eurosurveillance. Vol. 16 (41) : 1-9.
Yvonne, M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC.