referat afp

46
BAB I PENDAHULUAN Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau Lumpuh Layu Akut adalah suatu kondisi abnormal ditandai dengan kelumpuhan yang bersifat flaccid/layu, terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari yang bukan disebabkan oleh trauma. Lumpuh layuh akut disebabkan oleh gangguan lower motor neuron atau unit motorik, yaitu badan sel di kornu anterior medula spinalis, saraf tepi sambungan saraf otot, atau otot. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti polimieltis, Sindrom Guillain Bairre (SGB), Mielitis Transversa, keracunan dan neuropati metabolik. 1,2 Satu dari 200 kasus infeksi menyebabkan kelumpuhan yang irreversibel, biasanya di ekstremitas bawah. Hal ini disebabkan oleh virus yang memasuki aliran darah dan menyerang sistem saraf pusat. Virus menghancurkan sel-sel saraf yang mengaktifkan otot sehingga otot yang terkena tidak lagi fungsional dan anggota tubuh menjadi layu, kondisi ini yang dikenal sebagai AFP. AFP merupakan suatu keadaan yang emergensi, karena keterlambatan dalam penanganan akan menyebabkan kematian atau

Upload: sena-ajah

Post on 08-Nov-2015

63 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

referat afp

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau Lumpuh Layu Akut adalah suatu kondisi abnormal ditandai dengan kelumpuhan yang bersifat flaccid/layu, terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari yang bukan disebabkan oleh trauma. Lumpuh layuh akut disebabkan oleh gangguanlower motor neuronatau unit motorik, yaitu badan sel di kornu anterior medula spinalis, saraf tepi sambungan saraf otot, atau otot. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti polimieltis, Sindrom Guillain Bairre (SGB), Mielitis Transversa, keracunan dan neuropati metabolik.1,2Satu dari 200 kasus infeksi menyebabkan kelumpuhan yang irreversibel, biasanya di ekstremitas bawah. Hal ini disebabkan oleh virus yang memasuki aliran darah dan menyerang sistem saraf pusat. Virus menghancurkan sel-sel saraf yang mengaktifkan otot sehingga otot yang terkena tidak lagi fungsional dan anggota tubuh menjadi layu, kondisi ini yang dikenal sebagai AFP. AFP merupakan suatu keadaan yang emergensi, karena keterlambatan dalam penanganan akan menyebabkan kematian atau disabilitas, terutama pada anak-anak dan penanganannya berbeda tergantung penyebabnya. Insiden AFP yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, yaitu pada tahun 2010 ditemukan sekitar 1206 kasus AFP dan paling banyak ditemukan di daerah Jawa Barat sekitar 214 kasus. (KMK) Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sulawesi Selatan dari tahun 2001-2005 ditemukan 204 kasus AFP dengan perbandingan anak laki-laki dan prerempuan 1,68:1. Kasus AFP di kota Padang menunjukkan grafik yang turun naik beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010 ditemukan 1 kasus polio 5 kasus AFP, tahun 2011 11 kasus AFP (non polio), tahun 2012 6 kasus AFP, tahun 2013 7 kasus AFP. BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. AFP1.1 DefinisiAcute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara akut yang mengenai final common path, motor end plate, dan otot yaitu pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior. kelumpuhan yang bersifat layuh (flaccid), terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari yang bukan disebabkan oleh trauma.2 Istilah flaccid menggambarkan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN), mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti gangguan pada susunan saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hiperrefleks, klonus, atau respon ekstensor pada plantar. Lumpuh layuh akut disebabkan oleh gangguan lower motor neuron atau unit motorik, yaitu badan sel di kornu anterior medula spinalis, saraf tepi sambungan saraf otot, atau otot.4 AFP ini ditandai dengan adanya kelumpuhan motorik dengan cepat (< 4 hari ) disertai dengan tonus yang menghilang.1

1.2 Klasifikasi AFP 1

1. Kelainan pada otot (acute myopathies) Periodic paralisisis Inflamatory miophaty (polymyositis dermatomyositis) Miopati karena steroid atau kelainan tiroid Rabdomiolisis (karena obat, kecelakaan)2. Neuromuscular junction Miastenia gravis Botulism Tick paralysis Lambert Eaton Myastenic Syndrome (LEMS)3. Neuropati Akut Paraneoplastik dan paraproteinemia Vaskulitis (lupus, poliasteritis) Neuropati motorik multifocal4. Poliradikulopati akut Guillain Barre Syndrome Lime disease Sindroma Cauda Equina 5. Penyakit Motor Neuron Poliomyelitis Amyotrophic Lateral Sklerosis (ALS)6. Medula Spinalis Inflamasi (mielitis transversa) Mielopati (spondilosis, hematom, infark)7. Otak Lesi di pons Lesi di multifokal

1.3 Gejala Klinis Beberapa gejala yang ditemukan : 3 Kuadriparesis flaksid simetris (melibatkan fungsi respirasi dengan / tanpa mengenai medula oblongata) disertai arefleksia, dapat terjadi kehilangan fungsi sensorik minimal seperti pada neuropati atau poliradikulopati akut (misalnya, sindrom Guillain-Barre) Kelemahan otot-otot proksimal yang simetris tanpa gejala atau tanda kerusakan sensorik serta adanya refleks seperti pada neuropati akut Kelemahan otot akibat kelelahan (diplopia, ptosis dan disfungsi medula oblongata seperti pada miastenia gravis dan kerusakan neuromuskular lainnya) Paraparesis flaksid dengan gangguan di tingkat sensorik (lebih sering melibatkan tungkai bawah dan disfungsi kandung kemih) seperti pada sindrom kauda ekuina, lesi medula spinalis setinggi vertebra torakal (misalnya mielitis transversa, atau infark medula spinalis) Kerusakan yang menganai medula oblongata seperti pada botulisme, miastenia gravis, penyakit motorneuron (misalnya ALS atau penyakit Kennedy) atau adanya lesi di pons. Oftalmoplegia disertai kelemahan motorik, seperti pada varian Miller-Fischer dari sindrom Guillain_barre (arefleksia), botulisme dan paralisis tik, miastenia gravis. Disfungsi otonom (seperti pada sindrom Guillain_barre), sindrom paraneoplastik, keracunan organofosfat (rangsang kolinergik muskarinik yang berlebihan) dan botulisme.Beberapa hal yang perlu diperhatikan : usia, riwayat penyakit seperti ada atau tidaknya febris saat terjadinya paralisis, progresifitas, keterlibatan saraf otak, sensorik dan motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.

Tabel 1. Klasifikasi AFP dan perbedaannya1

Poliomyelitis (Tipe Spinal, dan Bulbar) dengan atau tanpa ensefalitisGuillain Barre Syndrome (GBS)Myasthenia GravisPeriodik ParalysisMyelitis Transversa

EtiologiVirus Polio I, II, III virus lain EV 71, virus West NileProses autoimun, mycoplasma, dan infesi virus (EBV, CMV), Campilobacter jejuni, Hepatitis BProses autoimun, kelainan pada neuromuscular junction (Acetylcholin Receptors)Hipokalemia, HiperkalemiaBiasanya tidak diketahui. Virus : Herpes, EBV, Varicella, Hep A

Riwayat PenyakitGejala didahului infeksi pernapasan atau gastrointestinal kemudian terjadi kelumpuhan motorik, dapat disertai paralysis bulbarGejala infeksi respiratory dan gastrointestinal tidak spesifik, 5-14 hari sebelum kelumpuhan.Kelemahan yang berfluktuasi, pagi bangun tidur lebih baik dibandingkan siang-sore hari.Kelemahan umum yang terjadi setelah makan banyak karbohidrat, obat-obat tertentu, kurang tidur, menstruasi, diare.Progresifitas dari onset paralysis menjadi paraplegia sangat cepat tanpa disertai dengan riwayat infeksi bakteri.

GejalaParalysis disertai febris, kekakuan otot leher dan batang tubuh. Paralysis asymetris atau segmental (cervical). Dapat disertai gejala bulbar sebelum kelumpuhan, ansietas, delirium.Paralysis simetris ekstremitas inferior, secara asenden dengan cepat ke ekstremitas superior, batang tubuh dan saraf otak. Dapat disertai parestesi, hipoestesi. Febris (-). Miller Fisher : ataksia, oftalmoplegia.Tipe okular : kelopak mata sulit untuk dibuka. Tipe general : tipe okuler disertai kelemahan motorik, gejala bulbar (disfagia), gangguan otot pernafasan.Kelemahan motorik simetris, dapat disertai dengan parestesiPanas badan (+) pada 58% kasus. Nyeri pada punggung (30-50% kasus). Gangguan sensorik dibawah lesi, gangguan vegetadine.

Pem. NeurologiParalysis flaksid, asimetris, tergantung dari medulla spinalis yang terkena. Setinggi lumbal : ekstremitas inferior, apesbdomen inferior, cervikal : bahu, lengan, leher, diafragma; Bulbar : kesulitan menelanSensorik : Tidak terganggu, Refleks fisiologis menurunParalysis flaksid, simetris. Dapat disertai dengan paralysis N IX, X, III, IV, VI dan ataksia.Sensorik : glove & stocking. Refleks fisiologis menurunParalysis ekstremitas simetris, ptosis, paresis N IX, X, VII. Sensorik tidak terganggu.Refleks fisiologis normalParalysis ekstremitas simetris. Sensorik dapat terganggu. Refleks fisiologis normal.Paraplegia atau tetraplegia (tergantung MS yang terkena). Refleks fisiologis menurun atau arefleks, kemudian meningkat. Sensorik : dibawah lesi hypestesia.

Pem. PenunjangKultur dari feses, apus tenggorokan, LCSNCS dan EMG gambaran polineuropati Prostigmin test EMG single fiber, stimulasi repetitive, serologi auto antibody AChB Lab : Hipokalemia, hiperkalemia, normokalemiaLP : sel N atau sedikit menigkat , protein meningkat, glukosa normal

1.4 Diagnosis Pendekatan Klinis Anak dengan AFP1Onset baruKesulitan berjalan

Gangguan SSPGejala SSP (+)

Kelemahan angota gerak bawahGangguan MuskuloskeletalKelemahan motorik atau gejala SSP (-)

Intak TidakPertanyaan KlinisIntakSarung tangan dan stockingTerganggu DermatomalIntak Dermatomal

Sphincter?Gangguan Sensoris?

Refleks?Absen, menurun atau normal

Menurun/normalAbsen

Wajib Pemeriksaan AFP Kreatine kinase Elektrolit serum Myoglobulin urin

Optional MRI pleksus lumbosakral

Wajib Pemeriksaan AFP Pemeriksaan konduksi saraf

Wajib Penanganan AFP LCS : sel, protein Pemeriksaan konduksi saraf Kapasitas vital Opsional (setelah MRI): Pemeriksaan T3 LCS : sel, protein, glukosa, kulturm PCR TB, antien kriptokokus, band oligonal LED, C3, C4, factor antinuklear Mielitis Transversa Akut Tumor ekstraspinal/medulla spinalis AVM Stroke medulla spinalis Abses Ekstradural TB spinal Araknoidtis spinalBilateral SGB Neuropati toksikUnilateral Infeksi enteroviral Trauma lokalOTOTMEDULA SPINALIS

SARAF TEPILokasi Klinis

Investigasi Pasca myositis viral Paralisis berkala Myositis toksikDiagnosis Banding

1.4.1 Pemeriksaan Fisik 3 Menilai distribusi dan derajat kelemahan Skor kelemahan otot (0-5) Periksa otot0otot ekstraokular (ptosis), otot-otot fasial, leher, lengan dan tungkai Gambarkan pola kelemahan yang terjadi (paraparesis,multifokal) Gangguan sensorik Terhadap modalitas tertentu (getaran / propioseptif, nyeri / protopatik) Refleks-refleks Adakah penurunan atau peningkatan refleks Gambaran umum Tes fungsi otonom (refleks pupil, keringat yang abnormal, respons pupil, ileus) Kulit : ruam pada penyakit lyme (eritema kronis migrans), garis-garis kuku pada keracunan arsen (Mees Line), foto-sensitif dan tik Nyeri tekan spinal (pada abses epidural atau hematom, tumor spinalis) Nyeri saat tungkai diangkat (radikulopati)

1.4.2 Pemeriksaan Penunjang 1 Neuroimaging (kepala / medula spinalis) Pungsi lumbal untuk meilai CSS Pemeriksaan darah (kalium, magnesium, fosfat, B12, CK, TSH, ANA, ANCA) Elektroforesis protein serum Pemeriksaan kultur dari feses, apus tenggorok, LCS Tes elektrofisiologis (kecepatan hantarsaraf dan EMG) Tes tensilon / tes prostigmin (sesuai indikasi)1.5 PenatalaksanaanUrutan prioritas dalam penatalaksanaan acute flaccid paralysis adalah ABC (Airway Breathing Circulation). 1,31. Pastikan saluran napas terjaga dan ventilasi cukup, bebaskan jalan nafas dan berikan O2 bila terjadi penurunan kesadaran atau disfagia.2. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi secara berkala terutama pada kasus bradi atau takiaritmia atau adanya disfungsi otonom.3. Tatalaksana khusus sesuai penyakit yang didiagnosis

2. POLIMIELITIS2.1 DefinisiPoliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis). (6)

2.2 EtiologiVirus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap formaldehid dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air sangat bergantung pada kelembaban suhu dan mikroba lainnya. Virus ini dapat bertahan pada air limbah dan air permukaan bahkan hingga berkilo-kilo meter dari sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita infeksius (4)Penularan virus terjadi melalui beberapa cara : 1. Secara langsung dari orang ke orang 2. Melalui percikan ludah penderita 3. Melalui tinja penderita Virus masuk melalui mulut dan hidung, berkembang biak di dalam tenggorokan saluran cerna, lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Risiko terjadinya polio : 1. Belum mendapatkan imunisasi 2. Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio 3. Kehamilan 4. Usia sangat lanjut atau sangat muda 5. Luka di mulut/ hidung/tenggorokan (5)

2.3 PatofisiologiVirus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembangbiak dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotelial. Dalam keadaan ini timbul perkembeangan virus, tubuh bereaksi dengan membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat anti tubuh mencukupi dan cepat maka virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk beberapa minggu lamanya. (7)Berlainan dengan virus-virus lain yang menyerang susunan saraf, maka neuropatologi poliomeilitis biasanya patognomik. Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah tertentu susunan saraf. Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang biasanya terkena pada poliomeilitis : 1. Medulla spinalis terutama kornu anterior 2. Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta formasio retikularis yang mengandung pusat vital 3. Serebelum terutama inti-inti pada vermis 4. Midbrain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-kadang nukleus rubra. 5. Talamus dan hipotalamus 6. Korteks serebri, hanya daerah motorik (7) Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing dan Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak mengakibatkan imunitas silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis virus ia akan mendapat kekebalan yang menetap terhadap virus tersebut. (3)

2.4 Manifestasi klinis Manifestasi klinis penyakit polio dibagi atas beberapa jenis yaitu asimtomatik, abortif, nonparalitik dan paralitik. (2,3) Sebagian besar pasien infeksi polio adalah asimtomatik atau terjadi dalam bentuk panyakit yang ringan dan sepintas. (3)Poliomielitis abortif, sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih gejala-gejala berikut : malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi, dan nyeri perut. Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan nyeri perut lokal serta kekakuan jarang. Demam jarang melebihi 39,5 C dan faring biasanya menunjukkan sedikit perubahan walaupun sering ada keluhan nyeri tenggorok. (3)Poliomielitis nonparalitik, gejala-gejalanya adalah seperti poliomielitis abortif kecuali pada nyeri kepala, mual, dan muntah lebih parah dan ada nyeri dan kekakuan otot leher posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang cepat menghilang sering dijumpai dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga anak mengalami jeda bebas gejala antara fase pertama (sakit minor) dan fase kedua (sakit sistem saraf sentral atau sakit mayor). (3) Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk-spina dan perubahan pada refleks superfisial dan dalam. Pada penderita yang kooperatif tanda-tanda kaku kuduk-spina mulai dicari dengan tes aktif. Jika diagnosis masih tidak pasti, upaya yang harus dilakukan untuk memperoleh kernig dan Brudzinki. (3)Poliomeilitis Paralitik, manifestasinya adalah manifestasi poliomeilitis nonparalitik yang disebutkan satu per satu ditambah dengan satu atau lebih kelompok otot, skelet atau cranial. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan jeda tanpa gejala beberapa hari dan kemudian pada puncak berulang dengan paralisis paralysis flaksid merupakan ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas. Terjadinya atrofi muskuler disebabkan oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak digunakan. Nyeri, spastisitas, kaku kuduk dan kekakuan spinal, serta hipertoni pada awal penyakit mungkin karena lesi batang otak, ganglia spinalis, dan kolumna posterior (3) Pada pemeriksaan fisis distribusi paralysis khas kadang-kadang tidak. Untuk mendeteksi kelemahan otot ringan, sering perlu memakai tahanan halus dalam melawan kelompok otot yamh sedang diuji. Pada bentuk spinal ada kelemahan beberapa otot leher, perut, batang tubuh, diafragma, thoraks, atau tungkai. (3)

2.5 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap contoh tinja untuk mencari poliovirus dan pemeriksaan terhadap darah untuk menentukan titer antibodi. Pembiakan virus diambil dari lendir tenggorokan, tinja atau cairan serebrospinal. Pemeriksan rutin terhadap cairan serebrospinal memberikan hasil yang normal atau tekanan, protein serta sel darah putihnya agak meningkat. (5)

2.6 Pengobatan Belum ada pengobatan kausal pada penyakit polio, namun poliomielitis dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi polio dengan virus yang dinonaktifkan (salk) mulai digunakan pada tahun 1955, dan vaksinasi dengan virus hidup yang dijinakkan (sabin) mulai banyak dipakai sejak tahun 1962. vaksin oral trivalent diperkenalkan pada tahun 1963 dan banyak digunakan sampai saat ini.(2) Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layuh otot; gejala ini disebut sindrom post-polio. (6)

2.7 Komplikasi Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap. Kelumpuhan terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau beberapa otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak yang berfungsi mengatur pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-30 tahun setelah terserang polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis, yang terdiri dari kelemahan otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan kelumpuhan. (5)

3. GuillainBarr syndrome3.1 DefinisiGuillainBarr syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanyaparalisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimundimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.2Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, GuillainBarrStrohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry GuillainBarrSyndrome.2

3.2 EtiologiEtiologi GuillainBarr syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pastipenyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri ataupun beberapa keadaan seperti dibawah ini: Infeksi virus: Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV). Infeksi bakteri sepertiCampilobacter jejuni ataupun Mycoplasma pneumoniae. Pascah pembedahan dan vaksinasi. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1 sampai 4 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.GuillainBarr syndromesering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensikasus GuillainBarr syndrome yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasanatas atau infeksi gastrointestinal.2Telah diketahui bahwa infeksi Salmonela typhosa dapat menyebabkan GuillainBarr syndrome. Kemungkinan timbulnya GuillainBarr syndrome padademam tifoid perlu lebih diketahui dan diperhatikan pengaruhnya terhadap penyakit neurologis ini, khususnya diIndonesia, karena demam tifoid masih merupakan penyakitmenular yang besar.3

Tabel 2: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab SGB4

3.3 PatogenesisMekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yangmempresipitasi terjadinya demielinisasi akut padaGuillainBarr syndrome masih belum diketahuidengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadipada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yangmenimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.Proses demyelinisasi saraf tepi pada GuillainBarr syndrome dipengaruhi oleh respon imunitasseluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yangpaling sering adalah infeksi virus.2

Teori ImunFaktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) dan respon seluler (aktivasi makrofag) berperan pada patogenesis GuillainBarr syndromedalam konteks sistem imun. Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid, termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain serta seluruh komponen membran akson Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler endoneural dan demielinasi multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf distal (poliradikuloneuropati).2

Peran Imunitas SelulerDalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan pentingdisamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bonemarrow) stem cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalamjaringan limfoid danperedaran.Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harusdikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen atau terangsang oleh virus, alergen atau bahan imunogen lain akanmemproses antigen tersebut (dalam hal ini makrofag yang berperan adalah penyaji antigen (antigen presenting cell = APC)).Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itulimposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansiinterlekuin (IL2), interferon gamma serta TNF alfa.Kelarutan E selectin dan molekul adesi (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasisel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untukmengaktifkan sel limfosit T dan makrofag. Makrofag akanmensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disampingmenghasilkan TNF dan komplemen.2

Gambar 1: Patogenesis GBS3.4 Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakansaraf tepi. Dengan mikroskop cahaya tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahanpertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudiantimbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihatbeberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, danselubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam,sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.2Perubahan pertama yang terjadi adalahinfiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo danepineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannyaberat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakanmyelin disebabkanmakrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin darisel schwan dan akson.2

Gambar 2:Sistemimunopathologi saraf pada GBS4

3.5 Epidemiologi Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian serupa tahunnya, yaitu antara 1-3/100.000 populasi pertahun dan perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an ditemukan. Sampai dengan70% dari kasus GuillainBarr syndromedisebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati(AIDP) adalahbentuk paling umumdinegara-negara barat dan berkontribusi85%sampai 90%kasus.Kondisi ini terjadi pada semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah,masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun, dengankemungkinan dominasi laki-laki.GuillainBarr syndromeadalahpenyebabpalingumumdariacute flaccidparalysispada anak - anak.AcuteMotorAxonalNeuropathy(AMAN) sering didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda. Haliniterjadilebihseringselama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan GuillainBarr syndrome.

3.6 Klasifikasi 1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi. 2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibodi gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralisis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsi menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.3. Miller Fisher SyndromeVariasi dari GBS yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, ophtalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.5. Acute pandysautonomiaTanpa sensorik dan motorik merupakan tipe GBS yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimpatis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvasi dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

Gambar 3: Skema klasifikasi GBS

3.7 Gejala Klinis 1. KelemahanGambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah (tungkai bagian bawah) biasanya terkena terlebih dahulu sebelum tungkai atas. Otot- otot distal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih proksimal. Otot-otot tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.2. Keterlibatan saraf kranialKeterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhannya termasuk wajah yang drop (bisa menampakkan Bells palsy), diplopia, disartria, disfagia, ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari GBS bersifat unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.3. Perubahan SensorisGejala sensorik biasanya ringan. Keluhan dapat berupa parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, menuju ke atas. Keluhan yang klasik adalah parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking sensation, simetris serta batasnya tidak jelas. Selain itu juga bisa terjadi kehilangan rasa getar, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal.4. NyeriTerjadi pada 89 % pasien. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan GBS adalah mialgia, nyeri viseral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnyaulkus dekubitus).5. Perubahan otonomDalam GBS dapat terjadi keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Perubahan otonom dapat mencakup takikardia, bradikardia, Facial flushing, hipertensi paroksimal ataupun hipotensi ortostatik. Retensi urin juga bisa terjadi karena gangguan sfingter urin.6. PernapasanEmpat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernapasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.

Fase-fase Perjalanan Klinis GBS 1. Fase Prodromal Fase sebelum gejala klinis muncul.2. Fase Laten a. Waktu antara timbul infeksi atau waktu antara prodromal yang mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinisb. Lamanya antara 1 28 hari, rata-rata 9 hari 3. Fase Progresif a. Fase defisit neurologis (+) b. Beberapa hari sampai4 minggu, jarang > 8 mingguc. Dimulai dari onset (mulai terjadi kelumpuhan yang bertambah berat sampai maksimal d. Perburukan > 8 minggu disebutchronic inflammatory-demyelinating polyradiculoneuropathy (CIDP) 4. Fase Plateau a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap. b. Fase ini pendek dengan waktu 2 hari sampai 3 minggu 5. Fase Penyembuhan a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik b. Berlangsung beberapa bulan

Gambar 2: Fase Perjalanan Klinis GBS 3.8 Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan LCSDari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation)2. Pemeriksaan EMG (Elektromiografi)a. Gambaran poliradikuloneuropati b. Pemeriksaan elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.5c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.33. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.3.9 Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:11. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: Terjadinya kelemahan yang progresif Hiporefleksia2.Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS:a. Ciri-ciri klinis: Progresifitas gejala berupa kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu Relatif simetris Gejala gangguan sensibilitas ringan Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan. Pemulihan dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. Disfungsi otonom seperti takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor. Tidak ada demam saat onset gejala neurologisb. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal (CSS) yang kuat menyokong diagnosis: Protein CSSMeningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadipeningkatan pada LP serial Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 Varian Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.2

Tabel 3: Gejala klinis SGB3.10 Diagnosis Banding1. PoliomielitisPada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.42. Myositis AkutPada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.3. Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan tidak bersifat ascending)4. CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy) didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan.

3.11 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.4

3.12 Penatalaksanaan Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:1. Sistem pernapasanGagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB. Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila vital capacity turun dibawah 50%.52. FisioterapiFisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah fase penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.3. ImunoterapiTujuan pengobatan GBS ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.a. Plasma exchange therapy (PE)Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu napas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/ kgBB dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.b. Imunoglobulin IVIntravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g/ kgBB/hari selama 5 hari.c. KortikosteroidKebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.3.13 PROGNOSIS Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita GBS dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun. Selain itu juga dikenal sistem skoring yang menilai disabilitas GBS untuk menentukan prognosis.6