referat afp

39
REFERAT NEUROLOGI “LUMPUH LAYU AKUT” Oleh: Ihda Silvia NIM: 108103000055 Pembimbing: Dr. Alinda Rubiati, SpA MODUL KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN 1

Upload: muhamad-widianto

Post on 02-Dec-2015

268 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat AFP

REFERAT NEUROLOGI

“LUMPUH LAYU AKUT”

Oleh:

Ihda Silvia

NIM: 108103000055

Pembimbing:

Dr. Alinda Rubiati, SpA

MODUL KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M

1

Page 2: Referat AFP

LUMPUH LAYU AKUT

1. Definisi

Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara

akut mengenai ‘final common path’, ‘motor end plate’ dan otot yaitu pada otot,

saraf, neuromuscular junction, medulla spinalis dan kornu anterior. Istilah

flaccid menunjukkan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN).

Mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada

gangguan susuna saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hiperreflek,

klonus atau respon ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan

adanya karakteristik gejala klinis kelemahan yang timbul dengan cepat

termasuk kelemahan otot-otot pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih

cepat dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.

Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis

secara fokal yang onsetnya akut tanpa penyebab lain yang nyata seperti trauma.

Yang ditandai dengan flaccid dan mengenai anak kelompok < 15 tahun

termasuk didalamnya Poliomielitis dan Sindrom Guillain-Barre. AFP

disebabkan oleh beberapa agen termasuk enterovirus, echovirus, atau

adenovirus.

Pendekatan Klinis Pasien AFP

Setiap pasien AFP adalah keadaan darurat klinis yang membutuhkan

penanganan segera. Dalam setiap kasus, penjelasan rinci tentang gejala klinis

harus diperoleh. Gejala tersebut termasuk kelupuhan, gangguan gaya berjalan,

kelemahan atau gangguan koordinasi dari satu atau beberapa anggota gerak tubuh.

Berbagai macam lesi yang dapat timbul pada susunan lower motor neuron, berarti

lesi tersebut merusak motor neuron, akson, motor end plate dan otot skeletal

sehingga tidak terdapat gerakan atau rangsang motorik yang disampaikan ke

2

Page 3: Referat AFP

motor neuron. Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower motor neuron

yaitu:

1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek tendon hilang

dan reflek patologik tidak muncul.

2. Tonus otot hilang

3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik hilang

dan terjadi atrofi otot.

Tanda-tanda AFP harus dievaluasi klinis secara lengkap dengan pemeriksanan

neurologis lengkap, termasuk penilaian kekuatan dan tonus otot, refleks tendon,

fungsi saraf kranial dan fungsi sensoris. Perlu diperhatikan adanya tanda-tanda

meningismus, gangguan saraf pusat (ataxia) atau sistem saraf otonom (fungsi usus

dan kandung kemih, sfingter dan fungsi berkemih neurogenik). Pemeriksaan

laboratorium diperlukan untuk melihat laju sedimen sel darah merah. Pemeriksaan

elektrofisiologi diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan prognosis dari

penyakit motorneuron.

Pemeriksaan fungsi lumbal dan cairan serebrospinal diindikasikan untuk

menyingkirkan adanya infeksi bakteri pada sistem saraf, infeksi bakteri

ditunjukkan dengan adanya netrofil, tingkat glukosa yang rendah dan kandungan

protein yang tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi adanya

mikroorganisme spesifik. Pencitraan tulang belakang seperti radiografi, CT-Scan

atau magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menyingkirkan

adanya kompresi tulang belakang, mielopati, atau neoplasma poliradikulopati

spondilosis. Pemeriksaan elektrocardiogram dapat mengidentifikasi adanya

gangguan metabolisme elektrolit seperti kelumpuhan periodik yang diakibatkan

oleh keadaan hipovolemi.

Diagnosis Banding AFP

3

Page 4: Referat AFP

1. Poliomielitis

Sinonim : Acute anterior poliomeilytis, infantile paralysis, penyakit Heine

dan meidin. Poliomielitis (paralysis infantile, penyakit Heine Medin) pada masa

lampau, selama bertahun-tahun, merupakan salah satu penyakit infeksi yang

sangat ditakuti karena dapat mengakibatkan kelumpuhan menetap. Penyakit ini

telah dikenal sejak zaman purbakala, namun baru pada tahun 1840 dengan tegas

didefenisikan sebagai satu entitas klinis oleh seorang ahli ortopedi berkebangsaan

Jerman.

Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang

disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan

poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus

ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan

melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).

Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap

formaldehid dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada

keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air

4

Page 5: Referat AFP

sangat bergantung pada kelembaban suhu dan mikroba lainnya. Virus ini dapat

bertahan pada air limbah dan air permukaan bahkan hingga berkilo-kilo meter dari

sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan

oleh virus polio dari penderita infeksius

Penularan virus terjadi melalui beberapa cara :

1. Secara langsung dari orang ke orang

2. Melalui percikan ludah penderita

3. Melalui tinja penderita

Virus masuk melalui mulut dan hidung, berkembang biak di dalam

tenggorokan saluran cerna, lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh

darah dan pembuluh getah bening. Resiko terjadinya polio :

1. Belum mendapatkan imunisasi

2. Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio

3. Kehamilan

4. Usia sangat lanjut atau sangat muda

5. Luka di mulut/ hidung/tenggorokan

Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan

berkembangbiak dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan

sistem retikuloendotelial. Dalam keadaan ini timbul perkembeangan virus, tubuh

bereaksi dengan membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat anti tubuh

mencukupi dan cepat maka virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala

klinis yang ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap

virus tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti

maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam

feses untuk beberapa minggu lamanya. (7)Berlainan dengan virus-virus lain yang

menyerang susunan saraf, maka neuropatologi poliomeilitis biasanya patognomik.

Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah tertentu susunan saraf. Tidak semua

neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat

5

Page 6: Referat AFP

terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala.

Daerah yang biasanya terkena pada poliomeilitis :

1. Medulla spinalis terutama kornu anterior

2. Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta

formasio retikularis yang mengandung pusat vital

3. Serebelum terutama inti-inti pada vermis

4. Midbrain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-

kadang nukleus rubra.

5. Talamus dan hipotalamus

6. Korteks serebri, hanya daerah motorik

Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan

medulla spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe

Brunhilde, Lansing dan Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-

masing tidak mengakibatkan imunitas silang. Bila seorang mengalami infeksi

dengan satu jenis virus ia akan mendapat kekebalan yang menetap terhadap virus

tersebut.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis penyakit polio dibagi atas beberapa jenis yaitu

asimtomatik, abortif, nonparalitik dan paralitik. Sebagian besar pasien infeksi

polio adalah asimtomatik atau terjadi dalam bentuk panyakit yang ringan dan

sepintas.

Poliomielitis abortif, sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih

gejala-gejala berikut : malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri

tenggorokan, konstipasi, dan nyeri perut. Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan

nyeri perut lokal serta kekakuan jarang. Demam jarang melebihi 39,5 C dan faring

biasanya menunjukkan sedikit perubahan walaupun sering ada keluhan nyeri

tenggorok.

Poliomielitis nonparalitik, gejala-gejalanya adalah seperti poliomielitis

abortif kecuali pada nyeri kepala, mual, dan muntah lebih parah dan ada nyeri dan

kekakuan otot leher posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang

6

Page 7: Referat AFP

cepat menghilang sering dijumpai dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga

anak mengalami jeda bebas gejala antara fase pertama (sakit minor) dan fase

kedua (sakit sistem saraf sentral atau sakit mayor).

Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk-spina dan

perubahan pada refleks superfisial dan dalam. Pada penderita yang kooperatif

tanda-tanda kaku kuduk-spina mulai dicari dengan tes aktif. Jika diagnosis masih

tidak pasti, upaya yang harus dilakukan untuk memperoleh kernig dan Brudzinki.

Poliomeilitis Paralitik, manifestasinya adalah manifestasi poliomeilitis

nonparalitik yang disebutkan satu per satu ditambah dengan satu atau lebih

kelompok otot, skelet atau cranial. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan jeda

tanpa gejala beberapa hari dan kemudian pada puncak berulang dengan paralisis

paralysis flaksid merupakan ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas.

Terjadinya atrofi muskuler disebabkan oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak

digunakan. Nyeri, spastisitas, kaku kuduk dan kekakuan spinal, serta hipertoni

pada awal penyakit mungkin karena lesi batang otak, ganglia spinalis, dan

kolumna posterior

Pada pemeriksaan fisis distribusi paralysis khas kadang-kadang tidak.

Untuk mendeteksi kelemahan otot ringan, sering perlu memakai tahanan halus

dalam melawan kelompok otot yamh sedang diuji. Pada bentuk spinal ada

kelemahan beberapa otot leher, perut, batang tubuh, diafragma, thoraks, atau

tungkai.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk

memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap contoh tinja untuk

mencari poliovirus dan pemeriksaan terhadap darah untuk menentukan titer

antibodi. Pembiakan virus diambil dari lendir tenggorokan, tinja atau cairan

serebrospinal. Pemeriksan rutin terhadap cairan serebrospinal memberikan hasil

yang normal atau tekanan, protein serta sel darah putihnya agak meningkat.

Pengobatan

7

Page 8: Referat AFP

Pengobatan belum ada pengobatan kausal pada penyakit polio, namun

poliomielitis dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi polio dengan virus yang

dinonaktifkan (salk) mulai digunakan pada tahun 1955, dan vaksinasi dengan

virus hidup yang dijinakkan (sabin) mulai banyak dipakai sejak tahun 1962.

vaksin oral trivalent diperkenalkan pada tahun 1963 dan banyak digunakan

sampai saat ini.

Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala

ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang

memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak

menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat

membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya

jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak

mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layuh otot;

gejala ini disebut sindrom post-polio.

Komplikasi

Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap.

Kelumpuhan terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi

kelemahan satu atau beberapa otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak

yang berfungsi mengatur pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan

atau kelumpuhan pada otot dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-

30 tahun setelah terserang polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis,

yang terdiri dari kelemahan otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan

kelumpuhan.

Sindroma Guillain-Barre (SGB)

Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang

cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan

penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada

beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya

mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk

penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective

8

Page 9: Referat AFP

Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending

paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Definisi

Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat

ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi

akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai

adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses

autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Epidemiologi

Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.

Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan

musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao

Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap

bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara

bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi

sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per

100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic

melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi

puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai

usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan

paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari

pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit

hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian

Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,

III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir

sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-

laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan

April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

9

Page 10: Referat AFP

Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit

yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara

lain:

Infeksi

Vaksinasi

Pembedahan

Kehamilan atau dalam masa nifas

Penyakit sistematik:

o Keganasan

o systemic lupus erythematosus

o Tiroiditis

o penyakit Addison

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus

SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4

minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas

atau infeksi gastrointestinal.

10

Page 11: Referat AFP

Patogenesa

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui

dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang

terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa

imunopatogenesa merupakan mekanisme yang

menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated

immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada

pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas

seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,

yang paling sering adalah infeksi virus.

Peran imunitas seluler

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting

disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang

(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan

kedalam jaringan limfoid danperedaran. Sebelum respon imunitas seluler ini

terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui

makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh

virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh

penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan

dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif

karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma

interferon serta alfa TNF.

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel

endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan

sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan

11

Page 12: Referat AFP

protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan

komplemen.

Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf

tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan

pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian

timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat

beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,

poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan

selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh

enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Perubahan pertama yang terjadi

adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada

endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila

peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan

myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan

selubung myelin dari sel schwan dan akson.

Klasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

3. Acute motor axonal neuropathy

4. Acute motor sensory axonal neuropathy

5. Fisher’s syndrome

6. Acute pandysautonomia

Gejala klinis dan kriteria diagnosa

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya

suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan

didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai

disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

12

Page 13: Referat AFP

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of

Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

Terjadinya kelemahan yang progresif

Hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a. Ciri-ciri klinis:

Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,maksimal

dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3

minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

Relatif simetris

Gejala gangguan sensibilitas ringan

Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf

otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot

menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau

saraf otak lain

Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat

memanjang sampai beberapa bulan.

Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi

dangejala vasomotor.

Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan

pada LP serial

Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

Varian:

o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu

gejala

o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya

kecepatan hantar kurang 60% dari normal

13

Page 14: Referat AFP

Diagnosa Banding

Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria

diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus

dibedakan dengan keadaan lain, seperti:

Mielitis akuta

Poliomyelitis anterior akuta

Porphyria intermitten akuta

Polineuropati post difteri

Terapi

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum

bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,

perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala

sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi

khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan\

melalui sistem imunitas (imunoterapi).

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak

mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan

hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu

nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan

dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.

Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu

pertama).

Pengobatan imunosupresan:

1. Imunoglobulin IV

14

Page 15: Referat AFP

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

2. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

6 merkaptopurin (6-MP)

Azathioprine

cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

Prognosa

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian

kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi

penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara

lian:

pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

progresifitas penyakit lambat dan pendek

pada penderita berusia 30-60 tahun

MIASTENIA GRAVIS

Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang

mengganggu sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis,

sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang

mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan

rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan

maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot

terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.

Penyebab

15

Page 16: Referat AFP

Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor

acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan

kelenjar thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan

menjalani operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan

penyakit autoimun ini akan sembuh.

Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi

antibodi. Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan

menghilang seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar

thymus terus tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan

menyebabkan tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel

tertentu pada sistem kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing.

Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.

Anatomi dan Fisiologi Neuro Muscular Junction

Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang

biasa disebutbouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki

membran yang disebut juga membran pre-synaptic, struktu ini bersama dengan

membran post-synpatic (pada sel otot) dan celah synaptic (celah antara 2

membran)membentukNeuro Muscular Junction. Membran Pre-Synaptic

mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika

terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi.

Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini

akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran.

Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking

ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan

ke dalam celah synaptic.

ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin

(AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada

lekukan-lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit

protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-

subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.

16

Page 17: Referat AFP

Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang

Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+.

Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-

synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka

akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan

dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel

eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.

ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim

Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada

celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin

kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk

ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya

potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.

Patofisiologi Myasthenia Gravis

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline

Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap

dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju

membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada

jumlah normal akan

Mengakibatkan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan

oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.

Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-

immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat

memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun

2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis.

Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG)

dari pasien penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala

Myasthenic pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis

memainkan peranan penting dalam etiology penyakit ini.

Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi

kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui.

17

Page 18: Referat AFP

Sampai saat ini, Myasthenia Gravisdianggap sebagai penyakit yang disebabkan

oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun,

penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus,

memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis.Hal ini

ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami

hiperplasiathymic dan thymoma.

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas

dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada

membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.

Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps

menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah

motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin

yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate

menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat

berlangsung lama.

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara

radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara

histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan.

Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih

tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo

potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus Pembuktian

etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus

mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus

yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan

pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat

germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya5.

Tanda Dan Gejala

Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk

ketika digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah

sebagai berikut : Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa

disebut Ptosis. Kondisi ini terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali

18

Page 19: Referat AFP

menjadi gejala awal dari Myasthenia Gravis, walaupun hal ini masih belum

diketahui penyebabnya. Kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular, fascial dan

otot-otot bulbar dalam rentang minggu sampai bulan. Pada kasus tertentu

kelemahan EOM bisa tetap bertahan selama bertahun-tahun Sebagian besar

mengalami kelemahan. Perbaikan secara spontan sangat jarang terjadi, sedangkan

perbaikan total hampir tidak pernah ditemukan.

Gejala-gejala miastenia gravis pada pasein usia produktif antara lain

Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)

Penglihatan ganda

Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak

disertai gejala stroke lainnya)

Gangguan menelan

Gangguan bicara

Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis),

yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir

Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, tetapi bisa

muncul kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia gravis ini bisa

disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami.

Bisa terjadi kesulitan dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan

dan tungkai.

Kesulitan dalam menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.

Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami kesulitan

dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan.

Sekitar 10% penderita mengalami kelemahan otot yang diperlukan untuk

pernafasan (krisis miastenik).

19

Page 20: Referat AFP

Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory

Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :

Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih

normal

Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat

kelemahannya

Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot

oropharyngeal

Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga

mempengaruhi ekstrimitas

Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan

pada otot okuler

Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot

oropharyngeal

Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga

mempengaruhi ekstrimitas

Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot

okuler

Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot

oropharyngeal

Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal,

Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas

Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-

operative)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang

mengalami kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau

20

Page 21: Referat AFP

kelemahan yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika

otot yang terkena diistirahatkan.

Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk

melakukan pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan

untuk pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka

untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia

gravis.

Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan

elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi

terhadap asetilkolin.

Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma),

yang mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya. CT

scan dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.

Pengobatan

Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi yang

menyerang acetylcholine

Cuci darah atau hemodialisis, dengan menyaring antibodi dan membuatnya

tidak aktif lagi

Pada penderita thymoma, maka tumor pada kelenjar thymus harus dioperasi

Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan

pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan untuk

pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka untuk

sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia

gravis.

Botulisme

Definisi

Botulisme merupakan intoksikasi, seperti halnya dengan tetanus. Toksin

botulisme diproduksi oleh Closytrodium botulinum. Botulisme adalah penyakit

langka tapi sangat serius. Merupakan penyakit paralisis gawat yang disebabkan

21

Page 22: Referat AFP

oleh racun (toksin) yang menyerang saraf yang diproduksi bakteri Clostridium

Botulinum. Clostridium botulinum berkembang biak melalui pembentukan spora

dan produksi toksin. Toksin tersebut dapat dihancurkan oleh suhu yang tinggi,

karena itu botulisme sangat jarang sekali dijumpai di lingkungan atau masyarakat

yang mempunyai kebiasaan memasak atau merebus sampai matang. (5)

Ada 3 jenis utama botulisme

1. Foodborne Botulisme

Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin botulisme.

2. Wound Botulisme

Disebabkan toksin dari luka yang terinfeksi oleh Clostridum Botulinum.

3. Infant Botulisme

Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum, yang kemudian

berkembang dalam usus dan melepaskan toksin.

Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan keadaan darurat. Foodborne

botulisme mungkin merupakan jenis botulisme yang paling berbahaya karena

banyak orang dapat tertular dengan mengkonsumsi makanan yang tercemar.

Insiden

Di USA dilaporkan sekitar 110 kasus terjadi tiap tahunnya. Dan sekitar 25% nya

foodborne botulisme, 72% infant botulisme dan sisanya adalah wound botulisme.

Foodborne botulisme biasanya karena mengkonsumsi makanan kaleng. Wound

botulisme meningkat karena penggunaan heroin terutama di california.

Etiologi

Etiologi dari botulisme adalah Clostridium botulinum. Clostridium botulinum

merupakan kuman anaerob, gram positif, mempunyai spora yang tahan panas,

dapat membentuk gas, serta menimbulkan rasa dan bau pada makanan yang

terkontaminasi.

Patofisiologi

Clostridium Botulinum berbiak melalui pembentukan spora dan produksi

toksin. Racun botulisme diserap di dalam lambung, duodenum dan bagian

22

Page 23: Referat AFP

pertama jejunum. Setelah diedarkan oleh aliran darah sistemik, maka racun

tersebut melakukan blokade terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa

mengganggu saraf adrenegik. Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang.

Efek ini berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek asetil kolin

terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek racun botulisme menyerupai

khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari kelumpuhan flacid yang

menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt cahaya), lidah

kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan okular

ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi

keluhan penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung

sangat terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.

Diagnosa

Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan

pemeriksaan klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak

cukup untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan

diagnosa banding, seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis

memberikan gambaran yang serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari

botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan

bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena

kelemahan otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong

untuk menegakkan diagnosa botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro

spinalis, nerve conduction test seperti electromyography atau EMG, dan tensilon

test untuk myastenia gravis.

Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di

serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita

dengan foodborne atau infant botulisme.

Komplikasi

Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas. Dalam 50 tahun

terakhir, banyak pasien dengan botulisme yang meninggal menurun dari 50%

23

Page 24: Referat AFP

menjadi 8%. Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat bantu

pernafasan sebagai bentuk pengobatan dan perawatan yang intensif selama

beberapa bulan. Pasien yang selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah

dan nafas yang pendek selama beberapa tahun dan terapi jangka panjang

dibutuhkan untuk proses pemulihan

Diagnosa Banding

1. Sindroma Guillain-Barre

Sebelum kelumpuhan timbul terdapat anamnesa yang khas yaitu infeksi

traktus respiratorius bagian atas. Di antara masa infeksi tersebut sampai timbulnya

kelumpuhan terdapat masa bebas gejala penyakit yang berkisar antara beberapa

hari sampai 3-4 minggu.Kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak, pada

umumnya bermula di bagian distal tungkai kemudian menjalar ke proksimal ke

lengan, leher bahkan wajah serta otot penelan. Pada tahap permulaan gangguan

miksi dan defekasi dapat menjadi ciri penyakit tersebut. Kelumpuhan ini bersifat

flacid dan bilateral simetris. Bila radiks dorsalis terserang terdapat parestesia pada

daerah lesi, sering pada tangan dan kaki (gloves and stocking).

Pemeriksaan cairan serebrospinalis terdapat kadar protein yang tinggi

yaitu 1000mg/100ml (normal 15-45mg/ml) sedangkan jumlah sel (limfosit dan sel

mononuclear) biasanya dalam keadaan normal 0-3/mm³ dan tidak melebihi

5/mm³. Keadaan ini dikenal dengan sebutan dissociation cytoalbuminigue yang

merupakan ciri khas sindroma ini. Terjadi asidosis respiratorik bila otot-otot

pernafasan terkena. Merupakan keadaan gawat darurat yang dapat menimbulkan

koma bahkan membawa kematian.

2. Miastenia gravis

Kelainan mulai dari otot-otot kelopak mata, otot pengunyah parese palatum

mole/arkus faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah (tahap awal). Pada tahap

lanjut otot-otot leher dapat erkena sehingga kepala harus ditegakkan dengan

tangan. Kemudian menyusul otot anggota gerak dan interkostal. Gejala yang khas

yaitu pada pagi hari pasien merasa tidak terdapat gangguan, makin siang kelainan

24

Page 25: Referat AFP

mulai dari kelopak mata yang setengah menutup (ptosis) dan badan terasa lemah.

Bicara mulai parau, kesukaran menelan, merupakan keluhan bila sudah lama.

Penatalaksanaan

Para penderita botulisme dapat mengalami kesulitan bernafas (pada

stadium lanjut) karena itu membutuhkan alat bantuan nafas atau ventilator selama

berminggu-minggu (biasanya 4 minggu) atau sampai efek toksin habis, ditambah

perawatan dan pengobatan yang intensif. Setelah beberapa minggu, paralisis

secara bertahap muncul dan semakin jelas. Jika diagnosa bisa ditegakkan secara

awal, foodborne dan wound botulisme dapat diobati dengan anti toksin yang dapat

memblok aksi toksin dalam peredaran darah. Hal ini dapat membantu agar

keadaan pasien tidak memburuk, tapi proses pemulihan masih membutuhkan

waktu selama berminggu-minggu. Mungkin diperlukan enema atau memancing

agar penderita muntah untuk mengeluarkan makanan yang mengandung toksin

yang masih ada di dalam usus. Luka harus segera diobati, biasanya dengan

operasi, untuk menyingkirkan sumber produksi dari toksin botulisme.

Penggunaan anti toksin tidak untuk mengobati infant botulisme perlu

dipikirkan lagi, sedangkan antibiotika tidak dibutuhkan, kecuali pada wound

botulisme.

Prognosa

Sementara, prognosis dari botulisme bervariasi, tergantung dari jenis botulisme

yang menginfeksi dan kecepatan diagnosis dan pemberian obat. Makin awal

diagnosis dapat ditegakkan atau makin cepat penderita berobat, makin baik

prognosisnya

Daftar Pustaka

1. Soetomenggolo Taslim S. Ismael Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak.

Cetakan ke-2. Jakarta, 1999: 190-241.

2. DSS Harsono.2007. Kapita selekta neurologi. Jakarta : Gajah Mada

University Press; 2007. p. 119-26; 137-43

25

Page 26: Referat AFP

3. The commission on Classification and Terminology of the International

League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and

electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia,

1981; 22: 489-501.

4. Behrman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of paediatrics,

17th edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40.

5. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.

Agustus 2007. Hal: 299-302.

26