psychological capital dan workplace well-being...
TRANSCRIPT
i
PSYCHOLOGICAL CAPITAL
DAN WORKPLACE WELL-BEING
SEBAGAI PREDIKTOR TERHADAP
EMPLOYEE ENGAGEMENT
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh
gelar Magister dalam bidang Psikologi Sains (M.Si)
Disusun oleh :
ELISA KURNIADEWI
NIM: 2110070000004
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433H/2012M
ii
iii
iv
v
Motto
“Dan bersegerahlah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu
dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa
yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun
sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang
berbuat kebaikan”
(Ali Imron; 133-134)
Dengan penuh cinta
karya tulis ini penulis persembahkan kepada
para pemerhati kinerja PNS Indonesia
vi
ABSTRAK
(A) Magister Psikologi
(B) Oktober, 2012
(C) Elisa Kurniadewi
(D) Psychological Capital dan Workplace Well-being sebagai prediktor terhadap
Employee Engagement
(E) xix + 95 halaman + Lampiran
(F) Untuk menciptakan kesuksesan organisasi, maka organisasi sebaiknya
memaksimalkan potensi dari sumber daya manusia yang dimiliki. Termasuk
memperhatikan faktor yang dapat menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel psychological capital dan
variabel Workplace well-being dapat menjadi prediktor employee engagement
(keterikatan kerja karyawan). Responden dalam penelitian ini berjumlah 202 yang
berasal dari dua lembaga dalam kementerian X. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis model struktural dengan bantuan Lisrel 8.70.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Psychological capital tidak signifikan dalam
mempengaruhi keterikatan kerja karyawan (2) Workplace well-being terbukti
secara signifikan memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan
dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52.(3) Psychological
capital dan Workplace well-being tidak memiliki peran yang sama dalam
memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan. Psychological
capital tidak secara signifikan menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan
(karena tidak memenuhi persyaratan signifikansi terhadap keterikatan kerja
dengan nilai standaradized sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang lebih rendah
dari nilai persyaratan 1.96). Sedangkan workplace well -being secara positif
dan signifikan (dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52) dapat
menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan.
Dengan demikian, workplace well-being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang
terdiri dari: penggunaan waktu sebaik- baiknya, kondisi kerja, supervisi,
kesempatan promosi dan gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari:
tanggung jawab dalam pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja,
penggunaan kemampuan dan pengetahuan untuk bekerja serta perasaan
berprestasi dalam bekerja – terbukti lebih berperan dalam
memprediksi keterikatan kerja karyawan.
(G) 57 Daftar Pustaka meliputi: buku, jurnal,tesis dan disertasi (1990-2012)
Kata kunci : Employee Engagament (keterikatan kerja karyawan), psychological
capital dan workplace well-being
vii
ABSTRACT
(A) Master of Psychology
(B) Oktober, 2012
(C) Elisa Kurniadewi
(D) Psychological Capital and Workplace Well-being as predictor for Employee
Engagement
(E) xiv + 95 page + attachement
(F) To achieve the successes of an organization is by maximizing the potential of its human
resources, also by considering factors that may be predictors for employee engagement.
The study has been conducted to determine whether psychological variables and variable
capital Workplace well-being can be predictors of employee engagement. There were
202 respondents involved in this study which comes from two institutions in the ministry
X. Data were analyzed by using analysis of the structural model using LISREL 8.70.
The results showed: (1) Psychological capital is not significantly influencing the
employee engagement (2) However, workplace well-being is significantly influencing
the employee engagement with standaradized value of 0.62 and t-value of 4.52. (3)
Psychological capital and the Workplace well-being do not have the same role in
influencing the employee engagement. Psychological capital is not significantly becomes
a predictor for employee engagement (because it does not meet the minimum
requirements as significance predictor of the work engagement with standaradized value
of 0:23, with a value of 1.77-t lower than the 1.96 value terms). While workplace well-
being is positively and significantly (because the standaradized value of 0.62 and t-value
of 4.52) becomes a predictor for employee engagement. Hence, workplace well-being
with (1) the extrinsic dimension consists of: using time as well as possible, working
conditions, supervision, promotion and salaries, as well as, (2) intrinsic
dimension consisting of: job responsibility, the meaning of employment, self
employment, the use of skills and knowledge to work as well as a feeling of achievement
were proved to be instrumental in predicting employee engagement.
(G) 57 Bibliography includes: books, journals, theses and dissertations (1990-2012)
Keywords: Employee Engagament, psychological capital and workplace well-being
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji ditujukan hanya pada Allah SWT yang
telah memberi kesempatan, kesehatan dan akal fikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Jurusan Psikologi Industri dan Organisasi Magister Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terimakasih selanjutnya penulis tujukan untuk orang tua Penulis;
Bapak Maqbul Achsan dan Ibu Sumartini atas kasih sayang, doa dan dukungannya.
Selama penelitian dan penulisan tesis, maupun selama studi, penulis mendapatkan
dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. JP. Soebandono, Msi, Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu, tenaga dan fikiran, selalu memberikan dorongan dan teladan untuk
memberikan dan mengerjakan yang terbaik sebagai tugas kehidupan.
2. Bapak Jahja Umar Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang semangatnya membangun peradaban Psikologi patut diteladani.
3. Bapak Prof. Dr Asip F. Hadipranata, Dosen yang pemahaman mendalamnya tentang
manusia dapat menjadi semangat dan teladan bagi setiap mahasiswanya.
4. Bapak Dr Wazar Pulungan, M.Psi, Dosen penguji di jurusan PIO.
5. Kepala Inspektorat Jenderal dan Kepala Pusdiklat Kementerian X beserta staf atas
kesempatan yang diberikan. Khusus untuk para Auditor, Widyaiswara, Staf Pelaksana
dan Pejabat Struktural yang telah mengisi kuesioner dan melakukan diskusi,
terimakasih atas pengertian dan kerjasama yang baik.
6. Seluruh Dosen, Staf TU dan Mahasiswa S1 & S2 di Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas diskusi dan kerja sama yang baik.
7. Dekan dan jajarannya beserta seluruh Dosen, Staf TU dan Mahasiswa di Fakultas
ix
Psikologi UIN Bandung atas kepercayaan yang diberikan.
8. Muhammad Yudhi Firmansyah; atas hari yang penuh oase cinta juga romantisme
gelombang badai. Ayo bawa tim kecil kita menjadi tim cahaya! Rana Abiya Rayyan
dan Manggala Tadzkira Lubna; Mutiara yang Allah amanahkan. Semoga Allah selalu
membimbing bunda agar bisa mendampingi dan membantu kalian tumbuh menjadi
anak-anak yang salih, amin.
9. Mas dan Mbakku: Mas Muhammad Suryawan, Mas Muhammad Ferdiansyah, Mbak
Diar, Mbak Syifa. Adikku: Atika Nurmaghfiroh & Andri, Ilham Fathurahman &
Dewi. Juga untuk Krucil: Balqis, Alfath dan 3 jagoan kembar, Najma & Astrela serta
Fafa, Rara & Mumtaz. Semoga persaudaraan kita sampai juga nanti di jannahNya,
amin.
10. Teman-teman: Puti, Adio dan Yulistin yang banyak membantu proses pemahaman
penulis mengenai pengolahan SEM. Juga untuk Nissa, Ika, Via, Rizka, Rini, Susi,
Mas Alfi, Mbak Mita, Mbak Ida, Mbak Riza, Kak Husna, Mbak Ade, Pak Marjuki,
Bu Nur, Siska dan teman-teman magister angkatan 2010 dan 2011 yang tidak penulis
sebutkan satu per satu. Tak lupa juga untuk adikku Asan dan Rifqi : ayo kamu bisa
menjadi yg lebih baik! Juga Sina, asistenku yang sedang belajar arti kesabaran.
Semoga Allah mudahkan cita-cita kalian.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian, dengan kebaikan yang lebih
baik dan lebih banyak lagi. Jazakumullahu khairan katsiron
Jakarta, Oktober 2012
Elisa Kurniadewi
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Pernyataan
Halaman Persetujuan
Halaman Pengesahan
Motto
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.3 Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keterikatan Kerja Karyawan
2.1.1. Konsep Keterikatan Kerja Karyawan
2.1.2. Dimensi Keterikatan Kerja Karyawan
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Keterikatan Kerja
2.2 Psychological Capital
2.2.1. Definisi Psychological Capital
2.2.2. Karakteristik Psychological Capital
2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Capital
i
ii
iii iv v vi
viii xi
xiii
xx
1-14
1
12
13 13
13
14
15-43
15
15
19
20
23
23
25
29
xi
2.3 Workplace Well-Being
2.2.1. Teori Workplace Well-Being
2.1.2. Dimensi Workplace Well-Being
2.1.3. Faktor-faktor yang Workplace Well-Being
2.4 Psychological Capital dan Workplace Well-Being sebagai prediktor
terhadap Keterikatan Kerja Karyawan
2.5 Kerangka Berfikir
2.6 Hipotesis Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Model Penelitian
3.2 Subjek Penelitian
3.3 Pengembangan Alat Ukur
3.3.1 Keterikatan Kerja Karyawan
3.3.2 Psychological Capital
3.3.3 Workplace well-being
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Tahap Persiapan Penelitian
3.4.2 Tahap Pelaksanaan
3.4.3 Metode Analisa Data
3.4.4 Tahap Pengolahan Data
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Analisis Struktural Equation Modeling (SEM)
4.2 Analisis Model Pengukuran
4.2.1 Variabel Keterikatan Kerja Karyawan
4.2.1.1 Dimensi Kognitif
4.2.1.2 Dimensi Emosional
4.2.1.3 Dimensi Fisik
4.2.2 Variabel Psychological Capital
4.2.2.1 Dimensi Harapan
4.2.2.2 Dimensi Efikasi diri
4.2.2.3 Dimensi Resiliensi
4.2.2.4 Dimensi Optimisme
4.2.3 Variabel Workplace well-being
4.2.3.1.Dimensi Ekstrinsik
4.2.3.2 Dimensi Instrinsik
4.3 Analisis Struktural Model Penelitian
BAB V DISKKUSI, SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Diskusi
5.1.1 Keterikatan Kerja Karyawan
5.1.2 Psychological Capital
5.1.3 Workplace Well-Being
5.1.4 Diskusi Psychological Capital dan Workplace Well-Being
sebagai predictor terhadap Keterikatan Kerja Karyawan
5.2 Simpulan
5.3 Saran
Daftar Pustaka
30
30
35
36
38
41
43
44-57
44
45
46
47
49
50
52
52
52
53
55
58-79
58
58
59
61
61
62
63
65
66
67
67
68
70
71
72
80-91
80
80
82
84
86
88
90
92-95
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel Alat Ukur Keterikatan Kerja Karyawan 47
Tabel 3.2 Tabel Alat Ukur Psychological Capital 49
Tabel 3.3 Tabel Alat Ukur Workplace Well-being 51
Tabel 4.1 Tabel GOFI Variabel Laten Keterikatan Kerja Karyawan 59
Tabel 4.2 Tabel Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Laten 60
Keterikatan kerja karyawan
Tabel 4.3 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Kognitif 61
Tabel 4.4 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Emosi 62
Tabel 4.5 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Fisik 63
Tabel 4.6 Tabel GOFI Variabel Laten Psychological Capital 64
Tabel 4.7 Tabel Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Laten 65
Psychologicala capital
Tabel 4.8 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Harapan 65
Tabel 4.9 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Efikasi diri 66
Tabel 4.10 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Resiliensi 67
Tabel 4.11 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Optimisme 68
Tabel 4.12 Tabel GOFI Variabel Laten Workplace Well-Being 69
Tabel 4.13 Tabel Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Laten 70
Workplace well-being
Tabel 4.14 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Ekstrinsik 70
Tabel 4.15 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Intrinsik 71
Tabel 4.16 Tabel GOFI Model Struktural Keterikatan Kerja Karyawan 76
Tabel 4.17 Tabel Uji Signifikansi Model Struktural Penelitian 77
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Teori Employee Mental Health 31
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir 43
Gambar 4.1 analisis structural model penelitian 72
Gambar 4.2 diagram lintas model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan 74
(Standar Solusi)
Gambar 4.2 diagram lintas model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan 75
(nilai-t)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Surat Keterangan Penelitian 97-99
1. Surat Permohonan Ijin Penelitian 97
2. Surat Keterangan Penelitian 98
Lampiran B. Hasil Pengolahan Data 100-123
Lampiran Diagram Lintas Pengukuran Struktural Employee Engagement 101
(standar solusi)
Lampiran Diagram Lintas Pengukuran Struktural Employee Engagement 103
(nilai t)
Lampiran Hasil analisis Lintas Pengukuran Struktural 104
Lampiran Analisis Model Pengukuran 2nd
order Keterikatan Kerja Karyawan 112
Lampiran diagram Uji CFA Variabel Laten Dimensi Kognitif 113
Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Emosi 114
Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Fisik 115
Lampiran Analisis Model Pengukuran 2nd
order 116
Psychological Capital
Lampiran. Uji CFA Variabel Laten Dimensi Harapan 117
Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Efikasi Diri 118
Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Resiliensi 119
Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Optimisme 120
Lampiran Analisis Model Pengukuran 2nd
order 121
Workplace-Well-Being
Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Ekstrinsik 122
Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Intrinsik 123
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tesis ini membahas tentang psychological capital dan workplace well-being sebagai
prediktor terhadap employee engagement (keterikatan kerja karyawan) pada pegawai
negeri sipil (PNS) di Kementerian X. Bab ini membahas tentang latar belakang
penulisan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam periode globalisasi – sebagaimana dikemukakan oleh McShane dan Glinow
(2010) - penuh dengan berbagai tantangan dan persaingan, dunia menuntut adanya
profesionalisme di segala aspek kehidupan, baik individu maupun organisasi. Sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas memiliki peran yang sangat penting dalam
sebuah kegiatan organisasi. SDM menjadi hal yang sama sekali tidak bisa diabaikan
keberadaannya, karena sebagai individu manusia merupakan sumber daya yang dapat
menggerakkan tanggung jawab bagi sumber daya lainnya dalam organisasi maupun
institusi. Selanjutnya ditegaskan bahwa satu kunci keberhasilan kinerja organisasi
sebagai sebuah kesatuan yang kolektif adalah adanya sumber daya manusia.
Keberadaan SDM menurut Fitz-Enz (1990) merupakan penentu bagi maju mundurnya
sebuah organisasi .
Para akademisi dan praktisi kini makin banyak yang melakukan studi mengenai
hal-hal yang dapat mendukung performa organisasi termasuk upaya menemukan
sumber daya manusia yang berkualitas. Kajian yang membahas bagaimana cara
mengembangkan fungsi optimal sumber daya manusia adalah kajian psikologi positif
2
yang dikemukakan oleh Seligman dan Csikszentmihalyi (2000). Arah psikologi positif
dalam dunia organisasi dalam hal ini menekankan pada dua aspek yaitu variabel
organisasi dan perilaku bekerja. salah satu konstruk dalam perilaku bekerja adalah
keterikatan karyawan (Wefald, 2008).
Pentingnya sumber daya manusia bagi sebuah organisasi juga didukung oleh
Rudiyanto (bpp.depdagri.go.id. diunduh 20 Juni 2012) yang menyatakan bahwa
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2010-2014)
mengamanatkan pembangunan nasional ditekankan pada pembangunan sumber daya
manusia, iptek dan daya saing nasional. Dukungan yang sangat besar dari sumber daya
manusia diharapkan dapat mewujudkan tata pemerintah yang baik dan bersih (good
governance and clean government). Senada dengan hal ini Goodstein (dalam Fench,
Bell, Zawacki, 2000) menyatakan bahwa untuk menciptakan kesuksesan organisasi,
maka organisasi sebaiknya memaksimalkan potensi dari sumber daya manusia yang
dimiliki.
Penulis melihat banyak permasalahan dalam memaksimalkan potensi sumber
daya manusia, dan salah satu permasalahannya adalah berkaitan dengan keterikatan
kerja karyawan. Terkait dengan hal tersebut, Soebandono (2011) meneliti mengenai
keterikatan kerja. Penelitian tersebut diinspirasi dari keterikatan individu pada apa yang
dikerjakannya, seperti anggota militer, guru, pelatih olahraga dan abdi dalem keraton.
Meskipun dianggap kurang memiliki pendapatan yang cukup, banyak individu tetap
setia mengerjakan tugas dan profesinya dengan penuh tanggung jawab. Mereka tetap
memperlihatkan keterikatan kerja, bangga menjalankan peran dalam pekerjaan dan mau
3
menerima segala konsekuensi yang diberikan. Menurut penulis apa yang dipaparkan
Soebandono (2011) nyata terjadi di sekitar lingkungan penulis. Sekelompok aktivis
tanpa imbalan yang besar bersemangat melakukan kegiatan organisasi, sekelompok
orang menjadi relawan selama bertahun-tahun untuk menolong korban bencana alam
dan di tempat yang berbeda terdapat dosen senior yang masih membaktikan dirinya
untuk mengajar meski sudah tiba saatnya pensiun. Fenomena ini menjadi sebuah
pertanyaan bagi penulis - Mengapa individu memiliki keterikatan kerja? Faktor apa
yang bisa membuat keterikatan kerja begitu tinggi?
Menurut Schaufeli dan Barker (2004), karyawan yang memiliki keterikatan kerja
yang tinggi akan bekerja keras, memberikan usaha yang lebih (extra effort), aktif
terlibat, focus terhadap pekerjaan, hadir secara fisik, dan memberikan energi terhadap
apa yang dikerjakan. Jika individu memiliki kebermaknaan dalam pekerjaannya maka
akan tumbuh komitmen afektif dan menjadikan identitas organisasi (institusi) sebagai
identitas dirinya, Karyawan yang memiliki kebermaknaan dan keselarasan identitas
dengan identitas organisasi (institusi) akan menunjukkan keterlibatan yang tinggi.
Semakin tinggi kebermaknaan yang diperolehnya akan semakin menyatu identitasnya
dengan identitas institusi. semakin dalam kelekatan (attachment) emosional dan
keterlibatannya maka akan semakin dalam pula keterikatan kerja. Dengan demikian
tidak akan ada keterikatan kerja jika individu tidak memiliki keterlibatan terhadap
pekerjaan dan institusinya (Soebandono,2011).
Schaulfeli et al. (2002), menyatakan bahwa keterkaitan kerja diasosiasikan
dengan sumber daya pekerjaan (job resources) yang dapat mengurangi tuntutan
4
pekerjaan (job demands), membantu pencapaian target kerja, dan mendukung proses
pembelajaran dan pengembangan individu. Hal ini didukung dengan penelitian yang
menunjukkan bahwa keterikatan kerja berhubungan positif dengan hubungan atasan dan
rekan kerja, umpan balik terhadap kinerja (performance feedback coaching)
pengendalian kerja, variasi tugas kerja, dan fasilitas pelatihan (Demerouti, Bakker,
Nachreiner, & Schaufeli 2000). Selain itu diungkapkan oleh Albrecht (2010) yang
menyatakan bahwa baik buruknya performa kerja sumber daya manusia tergantung oleh
rasa keterikatannya terhadap pekerjaan (employee engagement).
Menurut Pati dan Kumar ( 2010), terdapat tiga pendekatan teori terhadap
keterikatan kerja karyawan: (1) pendekatan yang pertama adalah role theory yang
dipelopori oleh Kahn (1990) dan May et.al. (2004) yang mengedepankan “peran” dalam
pekerjaan sebagai alasan bagi karyawan untuk terikat pada organisasi; (2) pendekatan
kedua adalah burn out theory yang menurut Maslach dan Leiter (2001) keterikatan
kerja merupakan perlawanan langsung dari burn out. Namun Schaufeli et al.(2002)
membantah dengan alasan bahwa kedua konsep tersebut tidak dapat dianggap secara
sempurna berkorelasi negatif terhadap sesama. Oleh sebab itu, Schaufeli et.al. (2002)
mengusulkan bahwa keterikatan kerja merupakan pemikiran positif dengan ciri-ciri
gairah kerja (vigor), dedikasi dan larut dalam pekerjaan; dan (3) pendekatan ketiga
adalah melalui social exchange theory dari Sacks (2006) yang menunjukkan bahwa
keterikatan kerja merupakan cara individu untuk “membalas budi” kepada organisasi
atas sumber daya ekonomis dan sosial emosional (socioemotional resourses) yang
mereka. Menurut Social exchange theory, keterikatan kerja dipengaruhi oleh bagaimana
5
organisasi memperlakukan individu.
Meskipun keterikatan kerja memiliki beberapa nama dan definisi, bahkan
dianggap sebagai „anggur lama‟ dalam kemasan (botol) yang baru (Albrecht, 2010) para
akademisi dan praktisi organisasi semakin giat meneliti karena menyadari bahwa
keterikatan karyawan dapat memberikan konsekuensi yang positif bagi perusahaan
(Saks, 2006; Mohapatra & Sharma, 2010). Dalam sebuah organisasi, karyawan
diharapkan untuk memfokuskan pikiran pada posisi yang dijalankan. Kondisi ini
merupakan psychologically presence seperti yang dikatakan oleh Kahn (1990).
Psychologically presence adalah kondisi ketika individu merasakan dan menjadi
perhatian (attentive), menyatu (integrated) dan focus terhadap kinerja tanggung
jawabnya. Kahn (1990) berpendapat bahwa karyawan perlu secara aktif, memfasilitasi
diri (harnessing selves) dalam menjalankan peran kerjanya sehingga dapat maksimal
bekerja dan memberikan kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi yang disampaikan oleh
Kahn (1990). Employee engagement (selanjutnya di sebut dengan keterikatan kerja
karyawan) merupakan kehadiran karyawan secara psikologis (dengan penuh kesadaran)
di tempat kerjanya karena: (a) memperoleh kebermaknaan secara psikologis dan (b)
merasa aman secara psikologis dan (c) secara psikologis menyediakan diri menjalankan
peran atau tanggung jawabnya (Kahn,1990).
Keterikatan kerja dinilai penting dalam memprediksi hasil kerja karyawan
(employee outcomes), keberhasilan organisasi (organizational success) dan kinerja
6
finasial perusahaan (Harter et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Luthans et al.
(2007) menemukan adanya pengaruh psychological capital (self efficacy, hope,
optimism & resiliency) terhadap keterikatan kerja karyawan. Psychological capital
merupakan keadaan perkembangan psikologis seseorang yang terdiri dari karakteristik
adanya kepercayaan diri dalam semua tugas, optimisme, harapan serta tingkat resiliensi
yang merupakan kemampuan untuk bertahan dan maju ketika dihadapkan pada sebuah
masalah (Luthans et al., 2007).
Beberapa penelitian menyebutkan pentingnya konsep psychological capital
dalam suatu organisasi. Luthans et al.(2007) menyebutkan bahwa psychological capital
berhubungan dengan performa dan juga kepuasan kerja, baik pada karyawan yang
bekerja dibidang manufaktur atapun bidang jasa. Avolio (dalam Luthans et al.,2007)
menjelaskan bahwa psychological capital dapat digunakan untuk meningkatkan
kompetisi dalam mencapai keuntungan dan kesuksesan perusahaan. Psychological
capital danggap dapat menawarkan sebuah potensi yang dinamis dan mampu
berkembang sepanjang masa (luthans, Youssef & Avolio, 2007). Psychological capital
merupakan konstruk yang sedang berkembang saat ini (Shahnawaz & Jafri, 2009) yang
diajukan sebagai salah satu konsep penting yang dapat membantu menjelaskan masalah
manusia dalam organisasi. Pratiwi (2011) menemukan keterkaitan antara psychological
capital dan penerimaan organisasi dengan keterikatan kerja yang dilakukan pada
perusahaan BUMN.
Menurut penulis, munculnya pemahaman baru mengenai psikologi positif dapat
meningkatkan kesadaran akan pentingnya kekuatan psikologi positif dalam menjelaskan
7
fungsi manusia. Dengan kekuatan positif yang dimiliki manusia memiliki potensi untuk
menghasilkan produktivitas yang lebih baik dalam organisasinya. Penulis berpendapat
bahwa untuk mewujudkan aparatur pemerintahan yang baik dan bersih (good
governance and clean government), sumber daya manusia dalam hal ini pegawai negeri
sipil (PNS) perlu mengembangkan aspek-aspek positif dalam dirinya. Dengan demikian
penting bagi institusi memfokuskan kosentrasi pada kekuatan potensi positif psikologis
yang dimiliki oleh karyawan.
Terkait dengan kemajuan organisasi, Page (2005) menyatakan bahwa
kesejahteraan pegawai (karyawan) di lingkungan kerja atau biasa dikenal dengan istilah
workplace well-being (WWB) memberikan efek yang besar bagi kemajuan organisasi.
Workplace well-being merupakan kesejahteraan (well-being) yang diperoleh karyawan
dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya yang terdiri atas perasaan menyeluruh
(core affect) disertai kepuasan terhadap nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik dari
pekerjaan (work values). Core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu secara
umum dimana terdapat rasa nyaman atau tidak nyaman serta dorongan yang
mempengaruhi aktivitas seseorang. sementara work values merujuk pada aspek-aspek
penting dari pekerjaan yang membuat individu menikmati pekerjaannya (Page, 2005).
Workplace well-being atau kesejahteraan karyawan merupakan salah satu faktor
kunci dalam memotivasi karyawan menuju kesuksesan organisasi atau perusahaan. Oleh
karena itu, penting bagi perusahaan untuk memperhatikan kesejahteraan karyawan,
dimana kesejahteraan karyawan akan berdampak pada kesehatan karyawan baik fisik
maupun psikis (Harter et al., 2003). Karyawan yang sehat dan sejahtera dapat
8
meningkatkan kontribusi berharga mereka pada organisasi untuk mencapai
produktivitas organisasi yang lebih tinggi (Avey, Luthans, Smith & Palmer, 2010).
Lebih lanjut organisasi dengan karyawan yang memiliki tingkat well-being yang tinggi
dilaporkan memiliki beberapa keuntungan antara lain mendapatkan kepuasan dan
loyalitas konsumen yang lebih tinggi, lebih produktif dan tingkat turnover yang lebih
rendah (Harter & Schmidt, 2000; Harter et al.,2003).
Konsep mengenai workplace well-being yang disampaikan oleh Page (2005)
merupakan konstruk yang pararel/setara dengan subjective well-being. Subjective well-
being merupakan kebahagiaan atau yang digambarkan sebagai keadaan fikiran positif
yang meliputi keseluruhan pengalaman hidup seseorang (Page & Vella-Brodrick, 2009).
Secara umum, kesuksesan yang dimunculkan oleh well-being dapat terjadi dalam
berbagai domain kehidupan, termasuk dalam dunia kerja (Avey,Luthans, Smith &
Palmer 2010). Tingkat well-being individu yang tinggi akan membuat karyawan lebih
terikat dengan pekerjaannya, memperoleh pendapatan yang lebih baik, memiliki
hubungan yang baik dengan atasan dan rekan kerja, serta membuat karyawan
mempunyai rasa memiliki pada organisasi (George & Brief,1992 dalam Russel 2008).
Dari pemaparan diatas penulis berpendapat bahwa workplace well-being
menjadi faktor penting karena dapat mempengaruhi kesejahteraan individu secara
keseluruhan. Terlebih hal ini disebabkan karena individu dewasa pada umumnya
menghabiskan sebagian besar waktunya di lingkungan kerja ( Harter, Schmidt & Keyes,
2002; Russel, 2008). Untuk menciptakan organisasi dengan pegawai (aparatur) yang
unggul di Kementerian X, pemerintah melalui MENPAN Nomor
9
PER15/M.PAN/7/2008 (Itjen 2009) mengeluarkan Pedoman Umum Reformasi
Birokrasi seperti: (1) Birokrasi yang bersih yaitu birokrasi yang sistem dan SDM
(aparat) bekerja atas dasar aturan dan koridor nilai-nilai yang dapat mencegah
timbulnya berbagai tindakan penyimpangan dan perbuatan tercela. Birokrasi yang
bersih ditandai dengan (a) keimanan yang kuat; (b)tidak melakukan korupsi karena
jabatan dan wewenang yang dimilikinya; (c) tidak melakukan kolusi atau
persekongkolan jahat yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya dan
golongannya; (d) tidak melakukan tindakan nepotisme karena rekruitmen dan promosi
jabatan berdasar merit system; (e) jujur dan berjiwa besar; (f) mencintai tugas dan
pekerjaannya; (g) kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugas. (2) Birokrasi yang
efisien,efektif dan produktif yaitu birokrasi yang mampu memberikan dampak positif
kepada masyarakat dan mampu menjalankan tugas secara tepat, cepat, berdaya guna dan
berhasil guna. (3) Birokrasi yang transparan yaitu birokrasi yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak diskriminatif dengan
tetap perlindungan atas hak asasi pribadi,golongan dan rahasia negara. Inti dari
transparansi ini adalah kejujuran dalam pengelolaan birokrasi yang menyangkut hajat
hidup masyarakat. (4) Birokrasi yang melayani masyarakat yaitu birokrasi yang tidak
minta dilayani masyarakat tetapi memberi pelayanan prima pada masyarakat. (5)
Birokrasi yang akuntabel, yaitu birokrasi yang bertanggung jawab atas hasil setiap
proses dan kinerja hasil akhir dari setiap program.
Kementerian X memiliki karakteristik yang dikelompokkan dalam 3 ranah,
(Itjen, 2009) yaitu: (a) melayani dengan fokus memudahkan pelayanan; (b)
10
memberdayakan dengan fokus memberi peluang membantu memecahkan persoalan
yang dihadapi; (c) menjadi teladan dengan fokus Kementerian X sebagai sumber
inspirasi dan teladan dalam mengawal bangsa. Menurut penulis, sebagai bagian dari
aparatur negara, potensi sumber daya manusia Kementerian X idealnya terus
dimaksimalkan agar mampu menciptakan kualitas pelayanan prima kepada masyarakat.
Dengan fitrah kemanusiaan yang dimiliki, aparatur sumber daya manusia
Kementerian X diharapkan mampu menjadi teladan dalam berkhidmat pada bangsa dan
negara. Fitrah manusia pada prinsipnya positif dan cenderung mencari kebenaran.
Fitrah dapat dimaknai sebagai sifat-sifat ketuhanan yang ditiupkan pada setiap manusia
sebelum dilahirkan. Implikasi fitrah dalam kehidupan manusia dapat dikaji melalui
beberapa pendekatan. (1) pendekatan teologis: manusia membutuhkan agama yang
membimbing kehidupan spiritualnya. (2) pendekatan falsafi: manusia memiliki qalbu
dan akal pikiran yang memungkinkannya memahami sumber pengetahuan dan wahyu
untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. (3) pendekatan psikologis: manusia
memiliki perasaan yang baik sejak dilahirkan dan karenanya berpotensi berbuat baik
pula. (4) pendekatan pragmatis dalam bekerja: nilai kesadaran akan keberadaan Tuhan
sebagai zat yang Maha Mengawasi, nilai kesucian dan kebersihan yang mendorong
manusia untuk bekerja secara bersih tanpa penyimpangan, nilai kebaikan yang
mendorong untuk bekerja secara serius,disiplin dan bertanggungjawab, nilai keadilan
sebagai manusia, nilai toleransi, nilai persaudaraan, nilai cinta kasih dan nilai kejujuran
(Itjen, 2011). Sebagaimana firman Allah SWT (QS. Al-Syams(91):7-10) “dan jiwa
serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan
11
dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Kementerian X, sesuai dengan paparan di atas, idealnya melakukan upaya
pengembangan budaya kerja aparatur untuk mewujudkan aparatur negara yang memiliki
budaya kerja tinggi dengan indikator utama tidak memiliki niat berbuat menyimpang
dan senantiasa memiliki etos kerja tinggi untuk dapat memperoleh kinerja maksimal
sesuai tugas dan fungsinya. Sebagai bagian dari keseluruhan penyelenggaraan reformasi
birokrasi pemerintah, maka pelaksanaan reformasi Kementerian X (Itjen, 2009)
dilakukan secara sistemik dan komprehensif, mengingat: (1) kelembagaan/organisasi
masih sangat gemuk; (2) SDM aparatur dengan jumlah, kompetensi, penyebaran yang
tidak sesuai dengan kebutuhan, tingkat etos kerja, etika kerja, budaya kerja dan
kesejahteraan yang rendah; (3) ketatalaksanaan masih banyak yang kurang efektif, rumit
dan belum mempunyai standar operasional prosedur yang jelas.
Pelaksanaan reformasi birokrasi membuahkan banyak persepsi dari PNS di
Kementerian X, antara lain sebagaimana didapatkan dalam sebuah interview yang
dilakukan penulis di suatu komunitas: (1) “Sulit menemukan keterikatan kerja pada
pegawai negeri sipil (PNS)”, (2)“Kalaupun ada keterikatan kerja itu hanya
dikarenakan mereka membutuhkan peningkatan gaji, butuh kesejahteraan yang lebih
baik”,(3)“sangat birokratis, tidak familiar dengan tehnologi,“tidak ramah publik”, (4)
“PNS Kementerian X melakukan korupsi karena mereka tahu cara bertaubatnya, (5)”
“tidak ada supervisi yang jelas”, dan (6) “prestasi kerja bukan jaminan untuk dapat
menduduki suatu jabatan, tetapi suka-suka pimpinan mau pilih siapa”. Namun ada
12
juga yang menyatakan: “menjadi PNS Kementerian X sama artinya dengan menjadi
penjaga moral bangsa, maka harus bekerja penuh dedikasi,mestinya PNS Kementerian
X bisa menjadi teladan, profesional berkhidmat untuk bangsa”.
Sejauh ini, penulis tidak banyak menemukan studi literatur yang mengukur
pengaruh psychological capital dan workplace well-being terhadap employee
engagement (keterikatan kerja) pada aparatur negara (Pegawai Negeri Sipil). Maka dari
itu, situasi ini menjadi pertanyaan bagi penulis, apakah kesejahteraan karyawan pada
aparatur negara (PNS) dapat mempengaruhi keterikatan kerja karyawan? modal potensi
positif apa yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterikatan kerja karyawan?
Pertanyaan diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian pada PNS di
Kementerian X. Penulis tertarik untuk meneliti: “Psychological Capital (PsyCap) dan
Workplace Well-Being (WWB) sebagai prediktor Employee Engagement (keterikatan
kerja karyawan) pada pegawai Kementerian X”
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Apakah
Psychological Capital dapat menjadi prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan
pada pegawai Kementerian X? (2) Apakah Workplace Well-Being dapat menjadi
prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan pada pegawai Kementerian X? (3)
Variabel psychological capital atau variabel Workplace well-being yang paling besar
dalam menjadi prediktor keterikatan kerja karyawan?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
13
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: (1) Apakah psychological capital dapat
menjadi prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan pada pegawai Kementerian X?
(2) Apakah workplace well-being dapat menjadi prediktor terhadap keterikatan kerja
karyawan pada pegawai Kementerian X? (3) Variabel psychological capital atau
variabel workplace well-being yang paling besar dalam menjadi prediktor keterikatan
kerja karyawan?
2. Manfaat Penelitian
2.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan: (1) dapat menambah khasanah teori dalam bidang Psikologi
Industri dan Organisasi utamanya mengenai pengaruh psychological capital dan
workplace well-being terhadap employee engagement (keterikatan karyawan) pada
Pegawai Negeri Sipil (PNS). (2) Menyempurnakan alat ukur psychological capital dan
workplace well-being yang sesuai dengan konteks PNS.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan: (1) dapat memberikan gambaran awal mengenai
keterikatan kerja karyawan pada PNS di Kementerian X. (2) dapat memberikan
gambaran awal mengenai psychological capital pada PNS di Kementerian X. (3)dapat
memberikan gambaran awal mengenai workplace well-being pada PNS di Kementerian
X. (4) Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya
14
pengembangan sumber daya manusia di lingkungan pemerintah khususnya di
Inspektorat Jenderal serta Pusat Pendidikan dan Latihan Kementerian X.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan tesis terdiri dari beberapa bagian, antara lain: Bab (1) merupakan
bab pendahuluan. Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab (2)
merupakan bab tinjauan pustaka dari variabel penelitian yang ada. Definisi dan faktor
yang mempengaruhi keterikatan kerja karyawan. Uraian tentang definisi dan faktor
yang mempengaruhi psychological capital serta definisi dan faktor yang mempengaruhi
workplace well-being. Bagian terakhir dari bab 2 menjelaskan model dan hipotesis
penelitian . Bab (3) merupakan bab metode penelitian. Metode dalam penelitian
psychological capital dan workplace well-being sebagai prediktor terhadap keterikatan
kerja karyawan. Meliputi metode, populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi
operasional. Alat/Instrumen Pengumpulan data,pengolahan data, pengembangan alat
ukur, analisis deskriptif tentang subyek penelitian. Bab (4) merupakan bab hasil dan
interpretasi penelitian. Hasil penelitian mengenai psychological capital dan workplace
well-being sebagai prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan, Rangkuman analisis.
Bab (5) merupakan bagian penutup dari penelitian. Bab ini membahas mengenai
simpulan, diskusi dan saran. Pada bagian terakhir terdapat daftar pustaka dan lampiran.
15
BAB II
KAJIAN TEORI
Dalam pengkajian teroretis ini, dibahas tentang teori employee engagement (keterikatan
kerja karyawan) psychological capital dan workplace well-being serta faktor-faktor
yang berperan didalamnya. Selain itu, juga dijabarkan mengenai kerangka pemikiran
dalam sebuah model beserta variabel didalamnya, definisi operasional yang digunakan
dan hipotesis yang diajukan.
2.1 Keterikatan Kerja Karyawan
2.1.1. Konsep Keterikatan Kerja Karyawan
Konsep keterikatan kerja karyawan memiliki definisi yang beragam. Beberapa istilah
yang digunakan oleh para akademisi untuk menjelaskan keterikatan kerja karyawan
yaitu: personal engagement (Kahn, 1990), employee engagement (Saks, 2006) dan work
engagement (Schaufeli & Bakker, 2004) – selanjutnya dalam tesis ini, penulis akan
menggunakan istilah “keterikatan kerja karyawan” sebagaimana dikemukakan oleh
Soebandono (2011).
Dalam literatur psikologi, konsep keterikatan kerja karyawan pertama kali
dikembangkan oleh Kahn pada tahun 1990 (Kular et al., 2008). Kahn (1990)
menggunakan istilah (term) personal engagement untuk menjelaskan keterikatan kerja
karyawan. Pengertian personal engagement menurut Kahn (1990, halaman: 694)
adalah:
16
“...as the harnessing of organization members‟ selves to their work role; in
engagement, people employ and express themselves pshisically, cognitively and
emotionally during role performances..”.
Keterikatan kerja merupakan keadaan dimana individu memfasilitasi diri secara
kognitif, emosional dan fisik dalam peran kerjanya. Dengan demikian, karyawan yang
memiliki keterikatan kerja akan melakukan banyak usaha dalam pekerjaan, karena
individu tersebut mengidentifikasi dirinya pada peran kerjanya. Menurut Kahn (1990)
keterikatan kerja terjadi ketika individu memiliki kesadaran psikologis (psychological
presence) akan kehadiran dirinya di tempat kerjanya. Psychological presence
merupakan kondisi ketika individu merasakan dan menjadi perhatian, menyatu dan
fokus terhadap tanggung jawabnya. Keterikatan kerja menurut Kahn (1990) diperoleh
karena: (1) didapatkannya keberartian atau kebermaknaan secara psikologis
(psychological meaningfulness), (2) adanya rasa aman secara psikologis (psychological
safety), serta (3) keberadaan atau kesediaan dirinya (psychological availability).
Schaufeli, Salanova et al. (2002, halaman: 74) menyatakan bahwa keterikatan
kerja didefinisikan sebagai:
a positive, fulfilling, work related state of mind that is characterized by vigor,
dedication and absorption”.
Keterikatan kerja merupakan pemikiran positif dengan ciri-ciri yang mencakup (1)
Vigor, menunjukkan tingkat energi yang tinggi dan “daya lenting” dalam bekerja,
kemauan untuk berusaha lebih banyak dalam pekerjaannya, kemampuan untuk
17
mencegah terjadinya kelelahan dan kemampuan secara persisten dalam menghadapai
tantangan saat bekerja; (2) Dedication, ditandai dengan melibatkan diri secara aktif
dalam bekerja, antusias, memiliki kebanggaan dan inspirasi terhadap pekerjaannya; dan
(3) Absorption, merupakan suatu karakteristik keadaan dimana individu merasakan larut
dalam pekerjaan, merasa waktu berjalan begitu cepat dan sulit untuk melepaskan diri
dari pekerjaannya. Selain itu ditegaskan oleh Schauefeli (2002) bahwa absorbsi ditandai
dengan perhatian yang terfokus, fikiran yang jernih, kesenangan yang berasal dari
dalam diri, kehilangan kesadaran diri , distorsi waktu, merasa sangat berarti dan mudah
berkosentrasi. Schaufeli dan Bakker (2010) menegaskan bahwa keterikatan kerja
merupakan sebuah konstruk yang berdiri sendiri yang didefinisikan sebagai suatu yang
positif, keadaan fikiran yang berhubungan dengan kesejahteraan pekerjaan dan
memenuhi diri yang memiliki karakteristik energi tingkat tinggi dan teridentifikasi kuat
dalam suatu pekerjaan.
Dalam pandangan Harter, Schimidt dan Keyes (2002) keterikatan kerja
dimaksudkan sebagai sebuah keterlibatan karyawan yang mencakup kepuasan dan
antusiasmenya dalam melakukan pekerjaan. Wefald dan Downey (2008) menyatakan
bahwa keterikatan kerja merupakan suatu keadaan di mana individu merasakan puncak
terpenuhinya kepuasan dalam kerjanya. Menurut Csikszentmihalyi (dalam Albrecht
2010) ada dua aspek penting berkaitan dengan keterikatan kerja, yaitu: (a) job value,
nilai pekerjaan yang meningkatkan citra diri individu; (b) flow, sebagai puncak dari
kondisi kognitif individu dan suatu pengalaman yang dialaminya secara sadar, penuh
18
perhatian terhadap tercapainya suatu tujuan.
Macey et al. (2009, halaman: 7) memaknai kerterikatan kerja dengan pengertian:
“an individual‟s sense of purpose and focused energy, evident to others in the
display of personal iitiative adaptability, effort, and persintence directed toward
organizational goals”.
Dari ulasan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa keterikatan kerja merupakan
tujuan dan fokus dari energi individu yang terlihat dari perilaku seperti inisiatif
personal,berusaha dan tidak menyerah dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam
disertasinya, Soebandono (2011) menjelaskan bahwa keterikatan kerja adalah suatu
konstruk yang merupakan persenyawaan (amalgam) dari beberapa konstruk yang
berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan kaitannya satu dengan lainnya. Keterikatan kerja
terjadi karena karyawan sadar atas keberadaannya secara psikologis di tempat kerjanya,
karena: (a) memperoleh kebermaknaan secara psikologis, (b) mendapat rasa aman
secara psikologis dan (c) menyatakan kesediaan diri secara psikologis untuk
menjalankan peran atau tanggung jawabnya. Di dalam keterikatan kerja tersebut
terdapat tiga elemen yang tidak terpisahkan dan tampil secara bersamaan , yaitu : (1)
keterikatan secara kognitif, (2) keterikatan secara emosional, dan (3) keterikatan secara
fisikal.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep yang disampaikan oleh Kahn
(1990), bahwa employee engagement atau keterikatan kerja karyawan merupakan
keadaan dimana individu memfasilitasi diri secara kognitif, emosional dan fisik dalam
peran kerjanya. Alasan menggunakan teori Kahn (1990) dikarenakan pengertian
19
keterikatan kerja menurut Kahn lebih menunjukkan keterikatan kerja secara hampir
menyeluruh yaitu psikologis, emosional dan fisik. Definisi operasional yang digunakan
penulis adalah keterikatan kerja karyawan merupakan kehadiran karyawan dengan
penuh kesadaran ditempat kerjanya karena: (a) memperoleh kebermaknaan secara
psikologis dan (b) merasa aman secara psikologis dan (c) secara psikologis
menyediakan diri menjalankan peran atau tanggung jawabnya untuk membantu
pencapaian tujuan organisasi.
2.1.2 Dimensi Keterikatan Kerja Karyawan
Menurut Kahn (1990) keterikatan kerja karyawan terdiri dari beberapa dimensi yaitu:
keterikatan kerja kognitif (cognitive engagmennt), keterikatan kerja emosional
(emotional engagement), dan keterikatan kerja fisik (physical engagement).
Schaufeli et al. (2004) menyatakan bahwa keterikatan kerja karyawan memiliki
beberapa dimensi yaitu: gairah kerja atau semangat (vigor), dedikasi (dedication) dan
meresap atau larut (absorb) dalam pekerjaan. Semangat atau gairah kerja merupakan
tingkatan energi tinggi serta ketahanan mental yang besar ketika individu
menyelesaikan pekerjaannya, memiliki kemauan untuk berupaya ekstra dan tetap
konsisten pada saat menghadapi kesulitan dalam bekerja. Dedikasi adalah karakteristik
yang merujuk pada perasaan yang kuat, keterlibatan yang tinggi pada pekerjaan,
antusiasme, terinspirasi, memiliki rasa bangga, dan penuh tantangan. Larut dalam
pekerjaan merujuk pada karakteristik penuh kosentrasi dan perasaan senang terhadap
pekerjaan, waktu dirasakan berjalan cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.
20
Menurut Soebandono (2011) keterikatan kerja karyawan merupakan
persenyawaan (amalgam) dari beberapa konstruk yang berkaitan, dan tidak bisa
dipisahkan kaitannya satu dengan lainnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
dimensi keterikatan kerja sebagai suatu kesatuan konstruk yang berkaitan dan tidak
terpisahkan antara satu dengan lainnya.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja Karyawan
Merujuk pada landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini (Kahn, 1990)
menyatakan bahwa keterikatan kerja dapat diperoleh dari: kebermaknaan secara
psikologis (psychological meaningfulness); rasa aman secara psikologis (psychological
safety); serta keberadaan atau kesediaan diri (psychological availability). Menurut
Ferguson (2007) Kebermaknaan secara psikologis merupakan kondisi psikologis yang
dimaknai dengan: (a) individu merasa bermakna (psychological meaningfulness), rasa
bahwa apa yang dikerjakannya berguna, bermanfaat (bisa dipakai) dan bernilai; (b)
tidak merasakan perbedaan, diperlakukan secara adil dan tidak disepelekan; (c)
pekerjaan yang dipunyai diakui telah memberi makna pada organisasi.
Kahn (1990) mengungkapkan ada tiga faktor yang mempengaruhi
kebermaknaan psikologis, yaitu: (a) karakteristik tugas, ketika seseorang mengerjakan
tugas yang menantang, jelas, bervariasi, kreatif dan memungkinkan karyawan memiliki
otonomi, ia cenderung mengalami kebermaknaan psikologis; (b) karakteristik peran,
ketika seseorang mampu untuk mempengaruhi, menempati posisi yang bermakna dalam
sistemnya dan memperoleh status yang diinginkan, maka ia akan memperoleh
21
kebermaknaan psikologis; (c) interaksi kerja, ketika performa kerja seseorang, termasuk
didalamnya memeiliki interaksi interpersonal yang berharga dengan rekan kerja dan
klien, maka ia juga akan mengalami kebermaknaan psikologis.
Rasa aman secara psikologis (psychological safety) menurut Kahn (1990) ketika
individu dapat menunjukkan diri tanpa harus merasa takut terhadap kemungkinan
adanya konsekuensi negatif terhadap citra diri, status atau karirnya. Ada empat faktor
yang secara langsung mempengaruhi keamanan psikologis, yaitu: hubungan
interpersonal, dinamika kelompok, gaya manajerial dan norma organisasi. Kesediaan
diri (psychological availability) dimaknai jika karyawan memiliki sumberdaya yang
diperlukan: peralatan, perlengkapan dan informasi untuk mengerjakan pekerjaannya.
Menurut Kahn (1990) ada empat hal yang dapat menggangu adanya ketersediaan
psikologis, yaitu: (a) kehabisan energi fisik; (b) kehabisan energi emosional; (c)
perasaan tidak nyaman terhadap status pekerjaan; (d) kehidupan di luar pekerjaan.
Menurut Gallup (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja
adalah : (1) rasa percaya dan integritas; (2) pekerjaan yang menstimulasi mental; (3)
keserasian antara kinerja individual dengan kinerja organisasi; (4) kesempatan untuk
mengembangkan karir; (5) rasa bangga terhadap hubungan dengan organisasi; (6)
hubungan dengan rekan kerja; (7) pengembangan karyawan; (8) hubungan dengan
atasan kerja. Penelitian Schaufeli dan Bakker (2004) mengenai prediktor keterikatan
kerja karyawan dengan menggunakan Job Demands – Resources Model, menunjukkan
hasil bahwa Job resources merupakan merupakan prediktor utama keterikatan kerja
karyawan , dimana individu yang terikat dengan pekerjaannya memiliki banyak sumber
22
untuk penyelesaian tugas pekerjaan (Bakker, Demerouti & Schaufeli (2005).
Dalam pandangan Schaufeli dan Salanova (2007), agar dapat menjadi lebih
maju, berkembang dan bertahan di dalam lingkungan bisnis yang mudah berubah,
organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang sehat dan termotivasi. Schaufeli
dan Bakker (2004) menyebutkan bahwa ketersediaan sumber daya lain dalam pekerjaan
seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan balik performa kerja, variasi
tugas, kemandirian dalam bekerja,kesempatan belajar serta fasilitas pelatihan akan
mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan. Faktor ini menunjukkan bahwa
kenyamanan dan kesejahteraan yang didapatkan seseorang dari pekerjaan dan
lingkungan pekerjaannya akan memiliki dampak terhadap keterikatannya dengan
pekerjaan. Sebaiknya perhatian organisasi tidak hanya pada kinerja pegawai, namun
juga kapasitas psikologis, kesehatan dan kesejahteraan pegawai (Schaufeli & Salanova,
2007). Hal ini didukung oleh Ulrich (2007, halaman: 125) yang menyatakan:
“employee contribution becomes a critical business issue because in trying to
produce more output with less input, companies have no choice but to try to
engage not only the body but the mind and soul of every employee”,
Pernyataan Ulrich (1997) menunjukkan bahwa kontribusi pegawai menjadi masalah
yang penting, karena dalam usaha untuk menghasilkan dengan bahan yang terbatas
namun harus mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk itu, organisasi tidak punya
pilihan lain, selain meningkatkan keterikatan kerja bagi pegawai, tidak hanya fisiknya
namun juga jiwanya.
23
Penulis berpendapat, untuk mendapatkan keterikatan kerja karyawan, maka
diperlukan suatu kondisi psikologis dari karyawan yang dapat mendukung terciptanya
tujuan organisasi, selain itu juga diperlukan suatu kondisi yang nyaman dan sehat
ditempat kerja, terkait hubungan karyawan dengan rekan kerja, atasan dan kondisi
organisasi secara umum.
2.2. Psychological Capital
2.2.1 Definisi Psychological Capital
“Psychological capitasl is an individual positive psychological state
development and is characterized by: (1)having confidence (self efficacy) to take
on and put in the necessary effort to succed at challenging tasks; (2) making a
positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3)
persevering toward goals and,when necessary,redirecting paths to
goals(hope)in order to succeed;and (4) when beset by problems and
adversity,sustaining and bouncing back and evend beyond (resiliency) to attain
success” (Luthans, Youssef, Avolio, 2007, halaman:3)
Berdasarkan definisi diatas, maka psychological capital dapat dijelaskan sebagai
keadaan perkembangan psikologis yang positif dan terdiri dari karakteristik:(1)
kepercayaan diri (efikasi diri) dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup
berhasil pada tugas yang menantang; (2) membuat atribusi yang positif tentang
kesuksesan dimasa sekarang dan masa depan atau yang akan datang (optimisme);
(3)memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan mencari jalan lain jika diperlukan
24
dalam rangka mencapai tujuan (harapan); (4) ketika dihadapkan pada masalah dan
rintangan dapat bertahan dan bangkit kembali dan bahkan dapat melebihi untuk
mencapai kesuksesan atau disebut dengan resiliensi. (Luthans, Youssef &
Avolio,2007).
Luthans et al.(2007) berpendapat bahwa psychological capital merupakan
perkembangan dari konsep positive psychology. Konsep Positive Psychology dalam
dunia kerja dikenal dengan istilah Positive Organizational Behaviour (Luthans,
Youssef & Avolio, 2007). Positive Organizational Behaviour (selanjutnya juga disebut
sebagai POB) didefinisikan sebagai sebuah studi dan aplikasi yang positif; menekankan
pada kekuatan sumber daya manusia dan kapasitas psikologi yang dapat di
ukur,berkembang dan diatur secara efektif untuk kemajuan performa pada dunia kerja
Definisi positive organizational behaviour tersebut menekankan pada adanya sebuah
konstruk yang positif, state like dan dapat berkembang (open to development).( Luthans,
et al., 2007) .
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi psychological capital yang
disampaikan oleh Luthans (2007) psychological capital merupakan sebuah kapasitas
psikologis individu yang berkembang dengan karakteristik: (1) memiliki keyakinan
terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan memberikan usaha yang cukup agar
berhasil dalam melakukan tugas yang menantang (self efficacy). (2) membuat atribusi
yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimism). (3) memiliki
harapan untuk mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain
untuk mencapai tujuan (hope) dan (4) ketika dihadapkan pada masalah dan tantangan
25
dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan lebih dalam meraih kesuksesan – yang
dikenal sebagai resiliency (Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007). Definisi operasional
yang digunakan penulis mengenai psychological capital adalah kapasitas psikologis
individu yang positif yang terdiri dari self efficacy, optimisme, harapan dan kemampuan
untuk bangkit kembali meraih kesuksesan (resiliensi).
2.2.2 Karakteristik Psychological Capital
Merujuk pada definisi yang disampaikan Luthans (2007) psychological capital memiliki
beberapa karakteristik yang saling berintegrasi dan terkait yaitu: efikasi diri (self
efficacy), harapan (hope) optimisme (optimism) dan resiliensi (reciliency). Stajkovic
dan Luthans (dalam Luthans et al., 2007 halaman:38) mendefinisikan efikasi diri
berdasarkn teori Bandura dalam dunia kerja sebagai:
“„one‟s conviction (or confidence) about his or her abilities to mobilize the
motivation,cognitive resources and courses of action needed to successfully execute a
specific task within a given contect” .
Efikasi diri merupakan sebuah keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk
mengerahkan motivasi, sumber-sumber kognitif dan sejumlah tindakan yang diperlukan
untuk berhasil dan sukses dalam menjalankan tugasnya. Efikasi diri juga merupakan
domain spesifik yang terbukti memiliki pengaruh positif dalam berbagai aplikasi pada
dunia kerja (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Luthans et al. (2007) menyebutkan
lima karakteristik yang dapat membedakan individu dengan efikasi diri yang baik, yaitu:
(1) menentukan target yang tinggi untuk dirinya dan memilih tugas-tugas yang sulit; (2)
26
menerima dan berkembang dengan adanya tantangan; (3) memiliki motivasi diri yang
tinggi; (3) mengerahkan usaha-usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuannya; (4)
gigih ketika dihadapkan pada hambatan. Individu dengan efikasi diri yang tinggi tidak
akan menunggu tantangan menghampiri mereka. Sementara itu individu dengan efikasi
diri yang rendah cenderung ragu, skeptis dan sering mengulangi kesalahan terdahulu.
Efikasi diri juga dianggap berfungsi efektif saat individu berada dalam keadaan stres,
takut dan tertantang. Lebih lanjut juga ditegaskan jika efikasi diri sangat berpotensi
menjadi kekuatan sangat besar yang berdampak pada performa kerja dan kesuksesan
individu, kelompok dan organiasi.
Bandura (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) menjelaskan cara yang
dapat digunakan dalam mengembangkan efikasi diri : (1) task mastery, dimana individu
merasa yakin untuk dapat melakukan tugas tertentu dikarenakan keberhasilan
melaksanakan tugas tersebut sebelumnya. (2) Vicarious learning. Individu belajar dari
sukses orang lain. (3) Umpan balik yang diterima dari atasan kerja yang dihormati
(feedback positif). SnyAnderson
Snyder, Irving dan Anderson (dalam Luthans 2010) mendefinisikan harapan
sebagai keadaan motivasional positif yang didasarkan pada proses interaktif yang
berusaha mendapatkan kesuksesan dengan tetap realistis untuk mencapai tujuan dan
pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan). Berdasarkan definisi tersebut,maka kita
melihat dalam harapan terkandung 2 hal penting yaitu adanya keyakinan bahwa dirinya
mencapai target yang menantang namun tetap realistis (agency) dan adanya keyakinan
bahwa dirinya mampu untuk membuat berbagai cara alternative untuk mencapai tujuan
27
yang diinginkan ketika cara yang utama terhambat (pathways). Harapan biasa ditemui
dalam bahasa sehari-hari. Namun, Luthans menyatakan bahwa harapan pada konteks
psychological capital berbeda dengan harapan pada umumnya. Aspek pathways yang
melekat pada dimensi ini pada aspek pathways, dan tidak melihat adanya
alternative,maka dapat digambarkan bahwa individu ini tidak hanya mengalami frustasi
tetapi juga belajar menolong dirinya.
Optimisme dimaksudkan sebagai sisi positif dari emosi yang digunakan untuk
menjelaskan kejadian baik dan buruk. Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa optimisme
merupakan sebuah cara yang menjelaskan bahwa kejadian positif disebabkan karena
faktor pribadi, permanen dan mudah menyebar. Sementara kejadian dilihat sebagai
kejadian yang disebabkan oleh factor eksternal, bersifat sementara dan specific pada
saat kejadian saja. Merujuk definisi diatas, Envick (2005) menyatakan bahwa optimisme
memiliki 2 aspek yaitu: permanen dan pervasive, dimana aspek permanen berkaitan
dengan hal waktu dan pervasive berkaitan dengan tempat. Individu yang optimis akan
melihat kejadian buruk yang terjadi hanyalah bersifat sementara dan dapat memberikan
penjelasan yang khusus mengenai kejadian tersebut. Di lain fihak, individu yang
pesimis akan melihat hal tersebut sebagai hal yang bersifat menetap dan juga
menjelaskan kejadian tersebut secara universal. Individu yang optimis melihat penyebab
dari suatu kejadian berada dibawah control dirinya. Mereka juga cenderung berharap
bahwa hal ini dapat terus berlanjut pada kejadian lain di masa depan. Dengan demikian
gaya optimis ini memungkinkan individu untuk memandang sesuatu secara positif dan
28
menginternalisasi aspek - aspek baik tidak hanya pada masa lalu dan sekarang tapi juga
masa depan.
Resiliensi merupakan karakteristik psychological capital yang diartikan sebagai
bangkit kembali dari kesulitan, ketidakpastian, konflik, kesalahan atau bahkan
perubahan yang positif, kemajuan dan tanggungjawab yang bertambah (Luthans 2005).
Envick (2005) memodifikasi penjelasan Luthans mengenai resiliensi, dimana
menurutnya resiliensi merupakan sebuah proses untuk menyesuaikan diri dengan baik
ketika menghadapi tantangan,trauma, tragedy, ancaman atau bahkan penyebab stres
yang signifikan seperti kesalahan dalam bisnis. Penelitian juga menunjukkan bahwa
resiliensi merupakan hal wajar atau lazim (bukan sesuatu yang luar biasa) yang
umumnya ditunjukkan individu. Masten (dalam Luthans 2004) menyatakan bahwa
resiliensi dapat memiliki dampak yg mendalam untuk meningkatkan kompetensi dan
sumber daya manusia baik secara individu maupun dalam masyarakat. Merujuk pada
pendapat Coutu (dalam Luthhans 2004), individu yang memiliki resiliensi akan
menampilkn ciri: dapat menerima kenyataan, keyakinan yang mendalam bahwa hidup
itu bermakna dan memiliki kemampuan untuk menerima dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan yang signifikan. Lebih lanjut Luthans et.al (2007) menunjukkan
adanya hubungan yang positif antara resiliensi dan performansi hasil kinerja.
29
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological capital
Psychological capital dibangun dari pengertian „ siapa dirimu dan „kamu bisa menjadi
apa, berdasarkan pengembangan positif (Luthans, et.al., 2007). Oleh sebab itu Luthans
(2007) memasukan faktor-faktor: pengetahuan (knowledge,) ketrampilan (skills),
kemampuan teknikal serta pengalaman sebagai faktor-faktor yang berperan dalam
mempengaruhi psychological capital. Faktor-faktor tersebut merupakan bagian dari
“siapa dirimu”dan juga group-level metaconstruct seperti social support & network of
relationships juga merupakan bagian dari siapa dirimu (Sarason, dalam Luthans 2007).
Psychological capital mengenali pergerakan dari diri sebenarnya atau actual self
(human social & psychologi) menuju potensi diri atau possible self (Avolio & Luthans,
2006).
Pada level individual, psychological capital merupakan sumber performa dan
berkembang. Pada level organisasi, psychological capital dapat memberikan pengaruh,
investasi kembali dan keuntungan yang kompetitif melalui peningkatan kinerja
karyawan (Luthans & Youssef, 2007). Hal yang dapat dirasakan organisasi dari
kehadiran psychological capital pada karyawan dan pegawai adalah adanya penurunan
pada tingkat ketidakhadiran (absen) pegawai,sinisme antar pegawai dan intensi untuk
meninggalkan perusahaan. Dalam penelitian yang sama juga ditemukan adanya
hubungan positif antara psychological capital dengan kepuasan kerja, komitmen
karyawan, perilaku kewarganegaraan organisasi, performa karyawan dan juga efektifitas
kepemimpinan (Luthans,Avolio,Walumbwa & Li, 2004 dalam Shahnawas dan Jafri
2009).
30
Luthans et al. (2007) menjelaskan bahwa psychological capital merupakan
inti konstruk yang dapat memprediksi kinerja karyawan. Setiap dimensi psychological
capital secara independen dapat mempengaruhi performa karyawan pada organisasi.
Meski demikian Luthans, et al. (2007) menegaskan bahwa konsep psychological
capital secara keseluruhan akan memprediksi employee outcomes (misalnya performa
dan kepuasan kerja) dengan lebih baik jika dibandingkan kinerja independen setiap
dimensinya. Keseluruhan konsep psychological capital telah menjadi sebuah konstruk
utama (higher order construct) sehingga dapat lebih efektif dalam memprediksi
employee outcomes (Avey, Luthans, Smith & Palmer 2010)
Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa dengan
memperhatikan aspek pengetahuan, ketrampilan, jaringan sosial dan pengalaman pada
karyawan maka akan muncul pemahaman positif untuk mendapatkan psychological
capital dalam organisasi. Dengan adanya psychological capital diharapkan organisasi
akan mengembangkan potensi sumber daya manusianya, dimana individu dengan
psychological capital diharapkan dapat meningkatkan produktifitas demi mencapai
kesuksesan organiassi.
2.3. Workplace Well-being
2.3.1 Teori Workplace Well-being
Page dan Vella-Brodick (2009), menjelaskan bahwa konsep workplace well-being
merupakan konstruk yang paralel dengan konstruk subjective well-being dan
psychological well-being. Konsep ini menjadi landasan dalam membangun konsep
31
kesehatan mental karyawan (employee mental health). Subjective well-being memiliki
definisi sebagai kebahagiaan,yang digambarkan sebagai keadaan pikiran positif yang
meliputi keseluruhan pengalaman hidup seseorang (Page & Vella-Brodrick, 2009).
Sebagaimana terlihat dalam bagan dibawah ini:
Gambar 2.1
Bagan Teori Employee Mental Health (Page & Vella-Brodrick, 2009)
Psychological well-being merupakan usaha keras yang dilakukan oleh
seseorang duntuk kesempurnaan dan potensinya, sedangkan Workplace well-being
merupakan komponen yang paling dekat hubungannya dengan karyawan dan
lingkungan kerja. Hal ini disebabkan karena workplace well-being fokus pada
kepuasan aspek-aspek pekerjaan dan work-related affect (Page dan Vella-Brodrick,
2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa workplace well-being ditandai dengan hadirnya
Kesehatan Mental Karyawan
( Employee Mental Health )
Kesejahteraan Respondentif
(Subjective Well-being)
Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-being)
Kesejahteraan di lingkungan kerja (Workplace well-being)
Kepuasan hidup
life satisfaction
Dispositional
effect
Afek-afek dalam
ranah pekerjaaan
Kepuasan dalam
ranah pekerjaan
(satisfaction
32
afek/persaan positif. Dalam Gambar 2.1. Page dan Vella-Brodrick (2009) menjabarkan
letak konsep workplace well-being dibandingkan konsep kesehatan positif lainnya.
Dalam gambar 2.1. dengan jelas terlihat bahwa kosep workplace well-being
merupakan salah satu konsep yang membentuk employee mental health dan memiliki
kedudukan yang setara/parallel dengan konsep-konsep subjective well-being dan
psychological well-being. Hal yang membedakan konsep workplace well-being dengan
kedua konsep lainnya adalah konsep ini menekankan pada kepuasan dan afek-afek
yang berhubungan dengan pekerjaan. Afek-afek yang berhubungan dengan pekerjaan
(work-related affect) terdiri dari komponen afek positif dan negative. Dalam hal
ini,kepuasan dalam bidang pekerjaan merupakan bentuk evaluasi kognitif mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Sedangkan, afek yang berhubungan
dengan pekerjaan pekerjaan merupakan bentuk evaluasi afektif (emosional) terhadap
pekerjaannya. Namun demikian kedua hal pembentuk workplace well-being tersebut
sudah melebur menjadi satu dalam konstruk workplace well-being sehingga tidak dapat
dipisahkan unsur kognitif dan afektif dalam mengukur tingkat workplace well-being
seseorang (Page & Vell - Brodrick, 2009)
Dalam tulisannya Danna dan Griffin (1999 halaman 9) menyatakan:
“generally appears to encompass both physiological symtomlogy within a
more medical context and well-being should be used as approriate to include
context-free measures of life experiences and within the organizational
research realm to include both generalized job-related experiences”
33
Dari pernyataan Danna dan Griffin (1999) di atas, dapat diketahui bahwa well-
being merupakan sebuah konstruk yang luas dan mencakup banyak hal seperti gejala-
gejala fisiologis dan psikologis yang berkaitan dengan medis, dan well-being itu sendiri,
yakni mencakup pengukuran terhadap kesejahteraan berdasarkan pengalaman hidup dan
pengalaman yang berkenaan dengan pekerjaan.
Menurut Page (2005, halaman 3) workplace well-being didefinisikan sebagai:
“The sense of well-being that employees gain from their. It is conceptualised as
core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic,work values”.
Workplace well-being merupakan perasaan well-being (sehat sejahtera) yang diperoleh
karyawan dari pekerjaan mereka,yang berhubungan dengan perasaan karyawan secara
umum (core affect) dan kepuasan terhadap nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik dari suatu
pekerjaan (work values). Berkaitan dengan definisi Page, Russel (Page 2005)
memberikan penjelasan mengenai core effect yaitu sebagai keadaan dimana terdapat
rasa nyaman dan tidak nyaman serta dorongan yang mempengaruhi aktivitas seseorang.
Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu
secara umum. Core-affect memiliki peran dalam meneliti dan mengukur subjective well-
being.
Untuk menjelaskan pengaruh core-affect pada subjective well-being, Cummins,
Gullone dan Lau (dalam Page 2005) menggunakan konsep abstract-specific hypothesis
yang menjelaskan bahwa jawaban yang diberikan responden ketika ditanya mengenai
kualitas hidup mereka,bergantung pada seberapa abstrak atau spesifik mode pengukuran
tersebut. Cummins (dalam Page, 2005) menyatakan bahwa yang diperhatikan responden
34
ketika membuat keputusan yang cepat tentang pertanyaan ini berdasar pada bagaimana
perasaan/mood ketika responden diberikan pertanyaan tersebut. Ketika pertanyaan yang
diberikan menjadi lebih spesifik,maka pengaruh dari core affect akan berkurang, dan
ketika itu seseorang lebih mengandalkan proses evaluasi kognitif yang spesifik terhadap
pertanyaan tersebut (Page, 2005). Hal ini terjadi karena core affect hanya focus pada
pandangan yang bersifat personal terhadap diri. Page (2005) menegaskan bahwa
workplace well-being didasari oleh nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik dalam pekerjaan.
Nilai intrinsik dalam hal ini merujuk pada dorongan bekerja yang disebabkan oleh
penghargaan yang bersifat psikologis yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri,
seperti prestasi dan tanggung jawab. Nilai ekstrinsik lebih disebabkan oleh keinginan
untuk mendapatkan hal yang berhubungan dengan faktor eksternal itu sendiri seperti
upah. Dalam mengembangkan konstruk teori workplace well-being, Page (2005)
merujuk pada teori dualitas motivasi yang diajukan Herzberg (dalam Page, 2005) yang
mengelompokkan pencapaian,tanggung jawab, dan kemajuan yang dihasilkan sebagai
faktor intrinsik perusahaan yang merupakan faktor motivator. Di sisi lain, kebijakan
perusahaan, gaji, hubungan interpersonal, kondisi kerja dan atasan dikelompokkan
sebagai faktor ekstrinsik pekerjaan yang merupakan faktor hygiene.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi yang digunakan oleh Page
(2005) untuk menjelaskan workplace well-being dengan alasan karena definisi yang
digunakan telah fokus pada aspek-aspek yang diperlukan terkait dengan kesejahteraan
dalam pekerjaan (dimensi intrinsik dan ekstrinsik).
35
2.3.2 Dimensi-dimensi Workplace well-being
Page (2003) menyatakan bahwa workplace well-being memiliki 13 bagian yang terbagi
atas dimensi intrinsik dan ekstrinsik, yaitu: Dimensi intrinsik yang terdiri atas lima
bagian antara lain; (1) tanggung jawab dalam pekerjaan (amount of responbility at
work) yaitu perasaan seseorang mengenai tanggung jawab dan kepercayaan yang
diberikan kepadanya untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik. (2) makna kerja
(meaningfulness of work)yaitu perasaan bahwa pekerjaan memiliki makna dan
mempunyai tujuan baik secara personal maupun pada tingkatan yang lebih tinggi. (3)
kemandirian kerja (independence of work) yaitu perasaan dapat mengerjakan pekerjaan
sendiri tanpa harus mendapat arahan atau instruksi dari manajemen. (4) penggunaan
kemampuan dan pengetahuan kerja (use of abilities and knowledge of work) yaitu
perasaan bahwa lingkungan pekerjaan mengijinkannya menggunakan kemampuan dan
pengetahuan dan bakat personalnya.(5) perasaaan berprestasi dalam bekerja (sense of
achievement from work) yaitu perasaan berprestasi yang berasal dari formasi dan
kepuasan yang berkaitan dengan pekerjaan.
Dimensi ekstrinsik terdiri dari delapan bagian: (1) penggunaan waktu yang
sebaik-baiknya (convenience of work hours) yaitu perasaan bahwa waktu kerja
memungkinkan seseorang untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi dan pekerjaannya.
(2) kondisi kerja (work condition) yaitu kepuasan karyawan terhadap kondisi kerja
seperti ruang kerja dan budaya organisasi. (3) supervisi (supervisor) yaitu perasaan
bahwa supervisor memperlakukan individu sebagai karyawan dengan baik ,
memberikan dorongan, umpan balik yang sesuai serta pengakuan. (4) peluang promosi
36
(promotional opportunies) yaitu perasaan bahwa lingkungan kerja memberikan ruang
untuk pengembangan profesinya. (5) pengakuan akan pekerjaan yang baik (recognition
for good work) perasaan bahwa institusi mampu memperlakukan secara berbeda antara
karyawan yang berkualitas baik dan buruk. (6) nilai sebagai manusia (value as a person
at work) yaitu perasaan bahwa supervisor mampu mengapresiasi karyawan sebagai
individu yang unik. (7) upah (pay) yaitu kepuasan akan gaji, keuntungan dan
penghargaan yang terkait dengan uang dari lingkungan kerja. (8) keamanan kerja (job
security) yaitu kepuasan terhadap rasa aman di posisi kerjanya.
Dalam penelitian ini, delapan bagian dalam dimensi ekstrinsik penulis
gabungkan menjadi lima bagian. Lima bagian tersebut antara lain: (1) penggunaan
waktu sebaik-baiknya. (2) kondisi kerja dan keamanan kerja menjadi satu bagian
kondisi kerja. (3) supervisi dan nilai sebagai manusia menjadi satu bagian supervisi. (4)
kesempatan promosi dan pengakuan akan kinerja yang baik menjadi satu bagian
kesempatan promosi. (5) gaji. Alasan penggabungan tersebut dikarenakan adanya faktor
kemiripan antara beberapa bagian. Selain itu, dengan adanya penggabungan tersebut
dimensi ekstrinsik dapat seimbang dengan dimensi instrinsik.
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Workplace well-being
Menurut Kahneman et.al (1999) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
individu dalam pekerjaannya yaitu faktor lingkungan dan faktor individu. Yang
termasuk ke dalam faktor lingkungan antara lain: (1) kesempatan akan personal control
meliputi penilaian kinerja, kebebasan berkehendak, tidak adanya supervisi yang terlalu
37
ketat, self determination, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebebasan
dalam memilih. (2) kesempatan untuk mengaplikasikan keahlian yang terdiri dari
penggunaan keahlian dan penggunanaan kemampuan yang dibutuhkan. (3) exterbally
generated goal meliputi tuntutan pekerjaan, tuntutan tugas beban kerja secara kualitatif
dan kuantitatif, tuntutan akan perhatian kerja, tanggungjawab atas peran,tuntutan yang
berkonflik, konflik peran, konflik kerja serta tuntutan norma yang harus dipenuhi.(4)
variasi terdiri dari variasi dalam konten dan lokasi pekerjaan,pekerjaan yang tidak
berulang, variasi dalam kemampuan dan variasi dalam tugas. (5) kejelasan dalam
lingkungan meliputi kejelasan mengenai informasi akan konsekuensi dari suatu tingkah
laku, umpan balik tugas, informasi masa depan, adanya keamanan dalam
pekerjaan,ambiguitas peran rendah.(6) ketersediaan uang meliputi tingkat pendapatan,
jumlah pendapatan dan sumber finansial.(7) keamanan fisik terdiri atas hilangnya
bahaya, kondisi kerja yang baik, peralatan yang memadai, tingkat temperatur dan
kebisingan yang aman. (8) supervisi yang mendukung meliputi pimpinan yang
perhatian,dukungan dari atasan, manajemen yang mendukung, kepemimpinan yang
efektif. (9) kesempatan untuk melakukan kontak interpersonal meliputi kuantitas dan
kualitas interaksi, hubungan yang baik dengan orang lain, dukungan sosial dan
komunikasi yang baik. (10) penilaian dalam posisi sosial terdiri dari penilaian atas
status pekerjaan di masyarakat, peringkat sosial, prestise akan pekerjaan,penilaian yang
lebih khusus tentang status pekerjaan, penilaian personal atas signifikansi dari tugas,
peranan dalam tugas, kontribusi terhadap orang lain, kebermaknaan pekerjaan serta
penghargaan diri dari pekerjaan.
38
Menurut Kahneman et al. (1999) Faktor individu yang terkait dengan well-being
adalah disposisi afektif. Disposisi afektif ini terdiri dari afek positif dan afek negatif.
Afek negatif meliputi keadaan emosi negatif yang luas dimana orang dengan afek
negatif yang tinggi cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi. Aspek positif
dilihat sebagai semangat, antusiasme dan ketertarikan yang tinggi. Dibandingkan
individu dengan tingkat afek positif yang rendah, individu dengan afek positif yang
tinggi cenderung lebih aktif dalam hidupnya dan lebih mampu merespon lingkungan
secara positif . Dalam penelitian ini penulis berpendapat bahwa faktor lingkungan dan
faktor individu mampu menjadi faktor yang kuat terhadap munculnya kesejahteraan
karyawan.
2.4. Psychological capital dan workplace well-being sebagai prediktor terhadap
keterikatan kerja karyawan
Menurut Schaufeli dan Salanova (2007), untuk dapat menjadi lebih maju, berkembang
dan bertahan di dalam lingkungan bisnis yang mudah berubah, organisasi
membutuhkan SDM yang sehat dan termotivasi. Schaufeli dan Bakker (2004)
menyebutkan bahwa ketersediaan sumber daya lain dalam pekerjaan seperti dukungan
sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan balik performa kerja, variasi tugas,
kemandirian dalam bekerja,kesempatan belajar serta fasilitas pelatihan akan
mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan. Faktor ini menunjukkan bahwa
kenyamanan dan kesejahteraan yang didapatkan seseorang dari pekerjaan dan
lingkungan pekerjaannya akan memiliki dampak terhadap keterikatannya dengan
pekerjaan. Sebaiknya perhatian organisasi memang tidak hanya pada kinerja
39
pegawai, namun juga kapasitas psikologis, kesehatan dan kesejahteraan pegawai
(Schaufeli & Salanova, 2007). Hal ini didukung oleh Ulrich (2007 P; 125 ) yang
mengatakan “employee contribution becomes a critical business issue because in trying
to produce more output with less input, companies have no choice but to try to engage
not only the body but the mind and soul of every employee”, ini menunjukkan bahwa
kontribusi pegawai menjadi masalah yang penting, karena dalam usaha untuk
menghasilkan dengan situasi dan kondisi yang terbatas namun harus mendapatkan hasil
yang maksimal. Untuk itu, organisasi tidak punya pilihan lain. Selain membuat pegawai
terkait sejahtera tidak hanya secara fisik, namun juga secara mental.
Dampak yang dapat dirasakan organisasi dari kehadiran kapasitas psikologis
yang positif dalam hal ini psychological capital pada karyawan dan pegawai adalah
adanya penurunan pada tingkat ketidakhadiran (absen) pegawai,sinisme antar pegawai
dan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Dalam penelitian yang sama juga
ditemukan adanya hubungan positif antara psychological capital dengan kepuasan
kerja, komitmen karyawan, perilaku kewarganegaraan organisasi, performa karyawan
dan juga efektifitas kepemimpinan (Luthans,Avolio,Walumbwa & Li, 2004 dalam
Shahnawas & Jafri 2009).
Workplace well-being yang dimiliki seorang karyawan dapat berpengaruh pada
organisasi dan dapat berpengaruh pada karyawan itu sendiri (Luthans et al., 2010).
Karyawan yang memiliki well-being cenderung lebih terlihat bahagia, memiliki keadaan
fisik, mental serta perilaku yang lebih sehat (Lyubormirsky, King & Deiner 2005 dalam
Avey, Luthans, Smith & Palmer, 2010). Dalam hal ini, seseorang yang lebih bahagia
40
dan lebih positif dinilai akan lebih kebal dalam menghadapi rintangan atau situasi sulit,
memiliki system imun yang lebih kuat,serta memiliki keadaan fisik yang lebih baik
(Lyubormirsky, King & Deiner 2005 dalam Avey,Luthans, Smith && Palmer,2010).
Lebih lanjut, Pavot dan Diener (2004 dalam Rusel, 2008) mencoba menegaskan bahwa
well-being yang dirasakan seorang karyawan yang bahagia akan lebih produktif dan
merasa lebih puas.
Karyawan akan menunjukkan performa kerja yang baik ketika merasa sejahtera
dilingkungan kerjanya (Wright & Cropanzo dalam Page & Vella-Brodrick, 2009).
Sebaliknya ketika lingkungan kerja tidak menyediakan kesejahteraan, karyawan akan
menunjukkan performa kerja yang rendah. Rendahnya kesejahteraan juga
mengakibatkan tingkat produktifitas yang rendah, kualitas yang rendah dalam
mengambil keputusan dan cenderung untuk absen dari pekerjaan (Boyd dalam Danna &
Griffin,1999) serta penurunan dalam memberikan kontribusi kepada organisasi (Price &
Hoooijberg dalam Danna & Griffin,1999) Tingkat well-being individu yang tinggi
akan membuat karyawan lebih memiliki keterikatan dengan pekerjaannya, memperoleh
pendapatan yang lebih baik, memiliki hubungan yang baik dengan atasan dan rekan
kerja, serta membuat karyawan mempunyai rasa memiliki pada organisasi (George &
Brief,1992 dalam Russel 2008). Sementara itu Sweetman dan Luthans (dalam Bakker &
Leither, 2010) menyebutkan bahwa tuntutan pekerjaan dapat menurunkan keterikatan
karyawan dikarenakan tidak dapat mengontrol pekerjaan. Hal ini berlawanan dengan
dampak optimisme dimana pekerjaan berada dibawah kontrol walaupun banyaknya
tuntutan pekerjaan (Karaksek, 1979, dalam Bakker & Leither, 2010). Penelitian yang
41
dilakukan oleh Schaufeli, Demerouti dan Bakker ( 2010) menemukan bahwa keterikatan
kerja berhubungan dengan self efficacy, optimism dan organizational based-self esteem
(kepercayaan bahwa individu dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan menjalankan
peran dalam organisasi).
Setiap dimensi psychological capital secara independen dapat mempengaruhi
performa karyawan pada organisasi. Meski demikian Luthans, Avolio et al. (2007)
menegaskan bahwa konsep psychological capital secara keseluruhan akan memprediksi
employee outcomes (misalnya performa dan kepuasan kerja) dengan lebih baik jika
dibandingkan kinerja independen setiap dimensinya. Keseluruhan konsep psychological
capital telah menjadi sebuah konstruk utama (higher order construct) sehingga dapat
lebih efektif dalam memprediksi employee outcomes (Avey, Luthans, Smith & Palmer,
2010). Dari uraian diatas, penulis berpendapat bahwa psychological capital dan
workplace well-being dapat menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan.
2.5. Kerangka Berfikir
Penelitian untuk tesis ini menggunakan sebuah model sebagaimana tertera di
bawah ini (Gambar 2.2). Sebagai dependen variabel dalam penelitian ini yaitu:
employee engagement (keterikatan kerja karyawan) dengan definisi: kehadiran
karyawan secara psikologis (dengan penuh kesadaran) ditempat kerjanya karena: (a)
memperoleh kebermaknaan secara psikologis dan (b) merasa aman secara psikologis
dan (c) secara psikologis menyediakan diri menjalankan peran atau tanggung jawabnya
untuk membantu pencapaian tujuan organisasi.
42
Independen variabel (IV) terdiri dari (1) psychological capital dan (2)
workplace well-being. Psychological capital adalah: kapasitas psikologis individu yang
positif yang terdiri dari dimensi efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi.
Workplace well-being merupakan perasaan well-being (sehat sejahtera) yang diperoleh
karyawan dari pekerjaan, yang berhubungan dengan perasaan karyawan terhadap nilai-
nilai instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan (work values). Dimensi instrinsik
terdiri dari: (1) tanggung jawab dalam pekerjaan (2) makna kerja (3) kemandirian kerja
(4) penggunaan kemampuan dan pengetahuan kerja (5) perasaaan berprestasi dalam
bekerja. Dimensi ekstrinsik terdiri dari: (1) penggunaan waktu sebaik-baiknya. (2)
kondisi kerja dan keamanan kerja menjadi satu bagian kondisi kerja. (3) supervisi dan
nilai sebagai manusia menjadi satu bagian supervisi. (4) kesempatan promosi dan
pengakuan akan kinerja yang baik menjadi satu bagian kesempatan promosi (5) gaji.
Gambar 2.2 . Model Penelitian
43
Keterikatan Kerja
Karyawan
Psychological Capital
Workplace Well-Being
Efikasi diri
Ekstrinsik
Intrinsik
Fisik
Emosi
Kognitif
Harapan
Resiliensi
Optimisme
2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: (1) terdapat pengaruh yang signifikan dari
psychological capital sebagai prediktor bagi employee engagement (keterikatan kerja
karyawan); (2) terdapat pengaruh yang signifikan dari workplace well-being sebagai
prediktor bagi employee engagement (keterikatan kerja karyawan); (3) Psychological
capital dan workplace well-being secara signifikan bersama-sama menjadi prediktor
bagi employee engagement (keterikatan kerja karyawan).
44
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian,yang
meliputi model penelitian, hipotesis penelitian, subjek penelitian, pengembangan alat
ukur prosedur penelitian dan metode pengolahan data.
3.1. Model Penelitian
Penelitian ini menfokuskan pada tiga variabel. Sebagai dependen variabel yaitu variabel
keterikatan kerja karyawan yang didefinisikan sebagai kehadiran karyawan secara
psikologis (dengan penuh kesadaran) ditempat kerjanya karena: (a) memperoleh
kebermaknaan secara psikologis (b) merasa aman secara psikologis dan (c) secara
psikologis menyediakan diri menjalankan peran atau tanggung jawabnya untuk
membantu pencapaian tujuan organisasi. Independen variabel dalam penelitian ini
adalah (1) variabel psychological capital yang didefinisikan sebagai modal kapasitas
psikologis individu yang positif yang terdiri dari efikasi diri, optimisme, harapan dan
resiliensi. (2) variabel workplace well-being merupakan perasaan sehat sejahtera
karyawan yang berkaitan dengan aspek intrinsik dan akstrinsik pekerjaan.
Berdasarkan tipe pencarian informasi (Kumar, 1996), penelitian ini digolongkan
kedalam penelitian kuantitatif. Penelitian ini mengkuantifikasi variasi dalam suatu isu,
masalah atau fenomena, informasi yang dikumpulkan berupa variabel kuantitatif dan
analisis yang dilakukan bertujuan untuk memastikan tingkat variasi tersebut. Dalam
perspektif sifat penelitian, penelitian ini merupakan jenis desain penelitian non-
eksperimental dimana variabel yang diteliti tidak dimanipulasi dan dikontrol oleh
45
peneliti karena manifestasinya sudah berlangsung dan tidak dapat dimanipulasi
(Kerlinger & Lee, 2000). Berdasarkan periode referensi yang digunakan, penelitian ini
termasuk dalam penelitian restropektif (restropective study) karena penelitian ini
berusaha untuk meneliti suatu fenomena, situasi atau isu yang sudah terjadi di masa lalu
atau sudah ada sebelumnya (Kumar,1996). Teknik pengambilan sampel yang digunakan
pada penelitian ini adalah nonprobability sample (convenience sample). Dalam
convenience sample peneliti memilih responden berdasarkan ketersediaan untuk
mengakses responden (Creswell, 2009). Dalam penelitian ini alat pengumpul data yang
digunakan berupa kuesioner.
3.2. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel dengan menyebarkan 400 kuesioner
dari 2 lembaga dalam kementerian X. Kedua lembaga tersebut adalah pusat pendidikan
dan pelatihan (pusdilat) yang memiliki 124 karyawan yang terdiri dari 42 Widyaiswara
dan 32 staf pelaksana serta Inspektorat Jenderal (itjen) yang memiliki 427 karyawan,
dengan rincian 153 Auditor dan 149 calon Auditor (sumber: data kepegawaian Itjen
Kementerian X, 2012). Dari 400 kuesioner yang disebarkan, terdapat 248 yang
kembali. Sedangkan yang benar-benar dapat dianalisis hanya 202 responden. Adapun
karakteristik dari sampel tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian X
yang berlokasi di Jakarta dan menjalankan peran sebagai pejabat struktural, peran
administratif serta peran fungsional seperti Auditor dan Widyaiswara.
46
Karakteristik responden yang dipilih untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukan pegawai honorer atau
magang. (2) Bekerja minimal 1 tahun. (3) Pendidikan minimal SMA/Sederajat,
karakteristik ini dipilih karena peneliti berasumsi bahwa karyawan dengan pendidikan
minimal SMA/sederajat dianggap dapat memahami instruksi serta pertanyaan yang
diberikan untuk mengerjakan kuesioner. (4) Usia. Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan batas usia,yaitu minimal berusia 20 tahun.
Dari 202 responden didapatkan gambaran data sebagai berikut: (1) Inspektorat
Jenderal (Itjen) dengan Staf 32%, Auditor 34% (2) Pusdiklat dengan Staf 18%,
Widyaiswara 10%, Pejabat struktural 4%. 66% responden berasal dari Itjen dan 34%
responden dari Pusdiklat. Gambaran responden yang berpendidikan S1=62% S2=30%
S3=9% dan SLTA atau sederajat=4%. Dari segi usia <25 tahun= 34%, usia 25-44
tahun=66% dan >45 tahun=29%. Dari jenis kelamin terdapat laki-laki sebanyak 35%
dan perempuan 64%. Untuk masa kerja <3 tahun=26%,3-10 tahun=29%, 10-20
tahun=22% dan >20tahun=21%. Dalam hal mengikuti training Pengawasan Pendekatan
Agama (PPA) dan training ESQ sebanyak 34% belum mengikuti training dan 65% telah
mengikuti training.
3.3. Pengembangan Alat Ukur
Pengukuran keterikatan kerja karyawan sebagai dependen variabel dilakukan
menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Soebandono (2011) yang juga
mengacu pada Q12 (Gallup, 2000) dan UWES (Schaufeli et al., 2003). Adapun untuk
pengukuran independen variabel; psychological capital dan workplace well-being,
47
penulis melakukan modifikasi dari alat ukur psychological capital questionnaire
(Luthans et.al.,2007) yang berjumlah 24 item, penulis modifikasi menjadi 36 item. Alat
ukur workplace well-being menggunakan alat ukur Page (2008) yang berjumlah 15
item dengan skala Likert 1-10, penulis modifikasi menjadi 51 item dengan skala Likert
1-6.
3.3.1 Alat Ukur Keterikatan Kerja Karyawan
Alat ukur yang dikembangkan oleh Soebandono (2011) mengenai keterikatan kerja
karyawan memiliki tiga dimensi yang merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan,
yaitu keterikatan kerja secara kognitif, keterikatan kerja secara emosional dan
keterikatan kerja secara fisikal, dengan setiap dimensi memiliki 10 item, sebagaimana
dalam Tabel 3.1
Tabel 3.1 Alat Ukur Keterikatan Kerja Karyawan
Dimensi Item Pertanyaan VI DE AB Pekerjaan dan peran yang diberikan membuat saya
Engaged secara kognitif
1 Larut dengan pekerjaan sehingga lupa akan sekeliling x 2 Tertantang untuk menguasai pengetahuan baru X 3 Lupa waktu karena peran dan tugas memberikan nilai
tambah X
4 Bersemangat karena sesuai dengan ketrampilan dan kemampuan yang dipunyai
x
5 Mengerjakan tugas sebai-baiknya karena yakin akan mendapatkan pengakuan
X
6 Membuat selalu harus belajar 7 Meningkatkan kinerja karena yakin akan mendapatkan
pengakuan X
8 Giat karena dengan berprestasi karir akan lebih baik 9 Berharap mendapatkan nilai tambah dengan kompetensi X 10 Sadar bahwa diberikan wewenang yang cukup
menjalankan peran
48
VI= Vigor; DE=Dedication;AB=Absorbtion (UWES. Schaufeli et al., 2003)
Soebandono (2011) mengacu pada beberapa item dari Q12 dan juga unsur-unsur
vigor, dedication dan absorption dalam UWES dengan pengertian engaged secara
kognitif, emosional dan fisikal. Untuk pengujian terhadap validitas dan reliabilitas, alat
ukur ini dapat dikatakan valid karena memiliki self leading factor (SLF) > 0,5 dan
construct reliability (CR) > serta variance extracted (VE) > 0,50 artinya memiliki
reliabilitas yang baik.
Engaged secara emosi
11 Merasa aman karena lingkungan kerja yang mendukung 12 Merasa sangat diperhatikan oleh lingkungan kerja saya 13 Rekan kerja saling mengisi dan berbagi pengetahuan 14 Merasa berada ditengah-tengah keluarga dalam
komunitas di tempat kerja
15 Selalu siap bila diperlukan 16 Menuntaskan kerja meski harus bermalam di tempat
kerja X
17 Menyenangi pekerjaan X 18 Tidak pernah merasa lelah X 19 Merasa rugi meninggalkan pekerjaan sebelum tuntas X 20 Merasa diperlukan karenanya membantu rekan kerja X
Engaged Secara fisik
21 Merasa harus hadir secara fisik di tempat kerja X 22 Mengerahkan kosentrasi dan ketrampilan X 23 Kalau diperlukan akan selalu berada di tempat kerja X 24 Tidak pernah merasa bosan X 25 Harus memelihara kesehatan,agar tidak merugikan
institusi X
26 Harus hadir agar tidak mengganggu jalannya pekerjaan X 27 Merasa betah di tempat kerja X 28 Tidak ingin cepat pulang 29 Bersedia untuk diberi tambahan beban kerja X 30 Bersedia untuk membantu rekan kerja yang
membutuhkan bantuan tenaga
49
3.3.2 Pengembangan alat ukur Psychological Capital
Psychological capital questionare (PCQ) menunjukkan reliabilitas dan konstruk
validitas dan dengan menggunakan confirmatory factor analysis didapati bahwa PCQ
memenuhi kriteria untuk struktur empat faktor memiliki loading factor yang signifikan
bila dibandingkan dengan masing-masing dimensi (p < 0,05). Dengan menggunakan chi
square significance test, maka dibuktikan bahwa “the four factor second order
structure” merupakan “the best fitting model” (Luthans, Avolio, Avey & Norman,
2006).
Tabel 3.4 Variabel Psychological Capital
________________________________________________________________________
VARIABEL DIMENSI INDIKATOR PERNYATAAN
Psychological Capital
Self Efficacy Keyakinan individu untuk mengerahkan segenap motivasi untuk mencapai tujuan
1. Percaya terhadap kemampuan diri saya dalam menyelesaikan permasalahan
2. Merasa percaya diri dalam mempresentasikan informasi di depan kolega-kolega saya
3. Merasa yakin bahwa apa yang diusahakan dengan sungguh-sunguh akan tercapai
Optimisme Mampu memandang peristiwa secara positif, menginternalisasi masa lalu,sekarang dan masa depan
1. Selalu melihat sisi positif pekerjaan saya.
2. Berpegang teguh pada peribahasa “setiap kesulitan pasti ada jalan keluar”
Peristiwa negatif dilihat sebagai hal yang sementara
1. Mengharapkan yang terbaik pada saat dihadapkan pada hal yang tidak menentu.
Resiliensi Proses menyesuaikan diri dengan baik ketika menghadapi tantangan,trauma/stress
1. Mudah bangkit kembali dari keterpurukan dalam area pekerjaan saya
2. Mampu mengatasi hal yang menimbulkan stres dengan tenang
Menerima kenyataan dan keyakinan yang mendalam
1. Percaya bahwa pasti ada hikmah untuk setiap kejadian
50
tentang makna hidup yang menimpa saya Harapan Motivasi positif sebagai
keyakinan untuk mampu mencapai target yang menantang dan tetap realistis
1. Selalu percaya bahwa setiap permasalahan pasti ada jawabannya
2. Merasa mampu menganalisis dan menemukan solusi dari permasalahan jangka panjang perusahaan
Mampu membuat berbagai cara alternatif untuk mencapai tujuan,ketika cara utama terhambat.
1. Mampu memikirkan banyak jalan keluar ketika terhambat dalam pekerjaan.
________________________________________________________________________
*) diadaptasi dari Psychological Capital Questionaire (Luthans et.al 2006)
Dalam penelitian ini penulis melakukan modifikasi item menjadi 36 pertanyaan.
Setelah melakukan modifikasi item, kemudian dilakukan uji validitas konten dan expert
judgment. Hasil dari expert judgment, ada 2 pernyataan yang harus di perbaiki yaitu 1
pernyataan pada dimensi harapan dan 1 pernyataan pada dimensi resiliensi. Uji
validitas dan reabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach‟s menghasilkan 0.895.
3.3.1 Workplace Well-being (WWB)
Alat ukur workplace well-being yang digunakan dalam penelitian ini merupakan alat
ukur yang dimodifikasi dari alat ukur Page (2005). Alat ukur Page (2005) terdiri dari 15
item yang berbentuk pertanyaan dengan menggunakan skala Likert 1-10. Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas konten dengan expert judgment. Hasil
dari expert judgment adalah dilakukan perbaikan terhadap 5 item pernyataan. 1 item
pada bagian kemandirian kerja,1 item pada bagian penggunaan waktu, 2 item pada
bagian supervisi dan 1 item pada bagian gaji. Uji validitas dan reabilitas dengan
menggunakan Alpha Cronbach‟s menghasilkan 0.805
51
Tabel 3.5 Variabel Workplace well-being
Independent Variabel
Dimensi Indikator Item Pernyataan
Workplace wellbeing
Instrinsik Tanggung jawab dalam pekerjaan
1. Jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, saya akan menyelesaikannya saat itu juga meski terasa lelah
2. Saya yakin institusi tempat saya bekerja mempertahankan saya karena saya bertanggung jawab
Makna Kerja 3. Saya mendapatkan kebahagiaan ketika berhasil menyelesaikan suatu tugas.
4. Pekerjaan saya memungkinkan saya dipandang terhormat oleh masyarakat
Kemandirian dalam bekerja
5. Saya menyelesaikan pekerjaan saya,meskipun atasan tidak mengawasi .
6. Sesulit apapun tugas yang diberikan atasan, saya berusaha menyelesaikan pekerjaan itu sendirian.
Penggunaan kemampuan
7. Saya merasa, pekerjaan saya memungkinkan saya untuk menerapkan pemahaman yang saya miliki.
Perasaan berprestasi 8. Bagi saya bekerja dengan kualitas yang baik adalah prestasi.
9. Saya merasa berprestasi bila pekerjaan yang saya lakukan dapat tuntas sempurna sebelum tenggat waktu yang ditentukan
Ekstrinsik Penggunaan waktu yang sebaik-baiknya
10. Saya terpacu untuk mengerjakan tugas dengan lebih baik lagi setelah saya menyelesaikan satu pekerjaan
11. Saya merasa jumlah jam kerja saya tidak menyulitkan saya untuk menikmati waktu bersama keluarga
Kondisi kerja 12. Saya merasa nyaman dengan lingkungan sosial tempat saya bekerja
13. Saya merasa dapat bekerja maksimal dengan ruang kerja seperti saat ini
Nilai sebagai manusia
14. Saya yakin bahwa atasan saya bersedia meberikan saran kepada saya, apabila saya memintanya.
15. Saya merasa keunikan saya sebagai individu menjadi warna bagi institusi saya
Peluang promosi 16. Saya bekerja dengan baik atau tidak baik,tidak berpengaruh pada kenaikan karir saya
52
Gaji 17. Saya yakin bahwa gaji yang saya terima sesuai dengan pekerjaan yang saya lakukan
18. Saya merasa kebutuhan saya kurang tercukupi dengan gaji yang diberikan oleh institusi saya
_____________________________________________________________________________________
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Tahap Persiapan Penelitian
Sebelum melakukan penelitian yang sesungguhnya, peneliti melakukan beberapa tahap
persiapan penelitian untuk menunjang kelancaran penelitian. Hal pertama yang
dilakukan adalah mencari dan membaca berbagai literatur terkait dengan variabel
penelitian yaitu keterikatan kerja karyawan, psychological capital dan workplace well-
being. Literatur ini didapat dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, skripsi, tesis dan
disertasi. Peneliti berharap dengan semakin banyak literatur yang digunakan semakin
banyak pula informasi yang diperoleh. Selain hal diatas peneliti juga akan
mempersiapkan beberapa hal teknis yang mendukung kelancaran penelitian, seperti
penentuan karakteristik sampel dan organisasi tempat pengambilan data,perizinan
penelitian,mengadaptasi kuesioner dan mempersiapkan reward bagi responden yang
berpartisipasi dalam penelitian ini.
3.4.2. Tahap Pelaksanaan
Pengambilan data dilakukan pada akhir 25 Juni hingga 30 Agustus 2012. Peneliti
menyebar sejumlah 400 kuesioner. Pengambilan data dilakukan setelah mendapat ijin
53
dan adanya kesepakatan waktu. Peneliti berhubungan dengan beberapa orang yang
dianggap bisa membantu pelaksanaan penelitian melalui kontak telepon. Pada hari
pertama peneliti menyebarkan kuesioner, peneliti tidak mendapatkan data yang
memadai. Hal ini disebabkan karena sebagian besar para pegawai sedang sibuk
mempersiapkan dinas ke luar daerah. Lamanya waktu dalam pengambilan data pada
penelitian ini dikarenakan sebagian besar tenaga PNS yang berada pada kedua lembaga
di kementerian X tersebut lebih sering menjalankan tugas luar atau dinas ke daerah.
Peneliti harus menunggu 1 bulan kemudian untuk mendapatkan data tersebut. Pada saat
para pegawai telah pulang dari tugasnya di daerah, peneliti berharap kuesioner yang
telah dibagikan dapat diisi. Namun tidak semua pegawai mau mengisi kuesioner
tersebut dengan sejumlah alasan: “masih sibuk, masih capek, yang lain saja dan jumlah
pertanyaannya banyak”. Peneliti sangat terbantu dengan keberadaan staf yang menetap
di kantor tersebut dalam proses pengisian kuesioner.
3.4.3. Metode Analisis Data
Perkembangan structural equation modeling (SEM) didukung oleh software yang
dikenal dengan nama LISREL dari Joreskog dan Sorbom. Alasan yang digunakan
penulis dalam menggunakan metode SEM mengacu pada apa yang disampaikan Kline
dan Klammer (dalam Wijanto 2008). Kline dan Klammer lebih mendorong penggunaan
SEM dibandingkan dengan regresi berganda karena 5 alasan sebagai berikut: (1) SEM
memeriksa hubungan diantara variabel-variabel sebagai sebuah unit, tidak seperti
regresi berganda yang pendekatannya sedikit demi sedikit (piecemeal). (2) Asumsi
pengukuran yang andal dan sempurna pada regresi berganda tidak dapat dipertahankan,
54
dan pengukuran dengan kesalahan dapat ditangani dengan mudah oleh SEM. (3)
Modification index yang dihasilkan oleh SEM menyediakan lebih banyak isyarat
tentang arah penelitian dan pemodelan yang perlu ditindaklanjuti dibandingkan pada
regresi. (4) Interaksi juga dapat ditangani dengan SEM. (5) Kemampuan SEM dalam
menangani non recursive path.
SEM memiliki 2 bagian yaitu model variabel laten dan model pengukuran.
Kedua model SEM ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan regresi biasa.
Regresi biasa umumnya menspesifikasikan hubungan kausal antara variabel-variabel
teramati (observed variables), sedangkan pada model variabel laten SEM, hubungan
kausal terjadi diantara variabel-variabel tidak teramati (unobserved variables) atau
variabel-variabel laten. Penggunaan variabel-variabel laten pada regresi berganda dapat
menimbulkan kesalahan-kesalahan pengukuran (measurement errors) yang berpengaruh
pada estimasi parameter dari sudut bias-unbiased dan besar kecilnya variance (Gujarati
1995 dalam Wijanto, 2008). Masalah kesalahan pengukuran ini dapat diatasi oleh
structural equation modeling (SEM) melalui persamaan yang ada pada model
pengukuran.
Terdapat perbedaan orientasi pada statistik secara umum dengan SEM (Wijanto,
2008), prosedur SEM lebih menekankan penggunaan kovarian dibandingkan dengan
kasus-kasus secara individual, dan dalam SEM yang diminimumkan adalah perbedaan
kovarian sampel dengan kovarian yang diprediksi dalam model. Dengan kata lain,
residual dalam SEM adalah perbedaan antara kovarian yang diprediksikan atau
dicocokkan (predicted/fitted) dengan kovarian yang diamati. Secara umum beberapa
55
tahapan yang harus dilalui dalam menggunakan analisis dengan SEM adalah sebagai
berikut: (1) Menentukan spesifikasi model (model specification),tahap ini berkaitan
dengan pembentukan model awal persamaan struktural, sebelum dilakukan estimasi.
Model awal ini diformulasikan berdasarkan suatu teori atau penelitian sebelumnya; (2)
identifikasi, pengkajian tentang kemungkinan diperolehnya nilai yang unik untuk setiap
parameter yang ada dalam model dan kemungkinan persamaan simultan yang tidak
memiliki solusi; (3) estimasi, berkaitan dengan perkiraan terhadap model untuk
menghasilkan nilai-nilai parameter dengan menggunakan salah satu metode estimasi
yang tersedia. Pemilihan metode estimasi yang digunakan sesuai dengan karakteristik
variabel yang dianalisis; (4) uji kecocokan (testing fit) tahap ini menguji kecocokan
antara model dengan data. Beberapa kriteria ukuran kecocokan atau goodness of fit
(GOF) dapat digunakan untuk melaksanakan tahap ini; (5) Respesifikasi
(respecification) berkaitan dengan penyesuaian kembali spesifikasi dari model
berdasarkan hasil uji kecocokan sebelumnya.
3.4.4. Tahap Pengolahan data
Setelah melakukan pengambilan data, peneliti kemudian melakukan entry data
berdasarkan kuesioner yang telah kembali. Pada tahap pengolahan data, peneliti
melakukan seleksi terhadap kuesioner yang kembali, apakah setiap kuesioner
menyediakan data yang cukup dan sesuai untuk dapat diolah lebih lanjut.
Dalam pengolahan data peneliti menggunakan Structural Equation Modeling
(SEM) dengan 2 pendekatan (Wijanto, 2008), yaitu: (1) tahap Analisis Model
Pengukuran (Structural Model) dan (2) tahap Analisis Model Pengukuran
56
(Measurement Model) menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk
memastikah apakah berbagai indikator atau variabel teramati yang ditentukan secara
teoritis dapat dimasukkan dalam kelompok masing-masing variabel laten. Dalam model
penelitian, analisis model pengukuran dilakukan dengan langkah pengolahan data,
sebagai berikut: (a) menganalisis model-model pengukuran yang ada dalam model
penelitian; (b) menghitung Latent Variable Score (LVS) dari variabel variabel laten;
dan (c) menganalisis model pengukuran dari model penelitian.
Dalam analisis model pengukuran terdapat tiga jenis analisis atau pengujian
yaitu: (1) pengujian kecocokan keseluruhan model yang dilihat dari Goodness of Fit
Indices (GOFI) yang dihasilkan, (2) analisis validitas, dan (3) analisis reliablitas.
Pengujian kecocokan keseluruhan model ditujukan untuk melihat tingkat kecocokan
antara model penelitian dan data penelitian yang berhasil dikumpulkan. Tingkat
kecocokan tersebut dapat dilihat dari perbandingan hasil perhitungan GOFI dengan
standar nilai GOFI untuk beberapa indek goodness of fit sebagai berikut: (1) p-value,
(2) RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation), (3) NFI (Normed Fit Index),
(4) NNFI (Non Normed Fit Index), (5) CFI (Comparative Fit Index), (6) IFI (Increment
Fit Index), (7) RFI (Relative Fit Index), (8) Standarized RMR ( Root Mean Square
Residual) dan (9) GFI (Goodness of Fit Index).
Setelah mendapatkan hasil penelitian, peneliti melakukan deep interview dan
focus group discuss untuk mengkonfirmasi hasil penelitian. Focus group discuss (FGD)
merupakan suatu tipe kelompok tertentu (berdasarkan tujuan, komposisi dan prosedur)
57
yang berkumpul untuk mendiskusikan suatu masalah (Krueger dalam Prawitasari,
2002). Kelebihan FGD menurut Shamdasani dan Steward (dalam Prawitasari, 2002)
antara lain: (1) format terbuka dalam diskusi kelompok terarah memberikan kesempatan
untuk mendapatkan data yang banyak dan kaya dengan kalimat responden (2) interaksi
secara langsung sehingga pernyataan dapat dipertanyakan kembali (3) dapat diterapkan
untuk semua lapisan masyarakat.
58
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Analisa terhadap hasil penelitian ini meliputi uraian hasil pengolahan data dari masukan
yang melalui penyebaran kuesioner. Penjabaran dan analisis meliputi penggunaaan
Structural Equation Modeling (SEM) yang terdiri atas analisis model pengukuran dan
analisis model struktural, serta pembahasan hasil uji hipotesis.
4. Analisis Struktural Equation Modeling (SEM)
Analisis data menggunakan SEM ditujukan untuk mengestimasi parameter-parameter
dari model penelitian dalam rangka menguji hipotesis-hipotesis penelitian. Model
penelitian yang ada dianalisis dan diuji dengan pendekatan dua tahap (Wijanto, 2008);
(1) Analisis model (measurement model) untuk mengevaluasi validitas dan reliabilitas
model pengukuran; dan (2) Analisis model struktural (structural model) untuk
menganalisis hubungan antara semua variabel laten penelitian utama yang membentuk
hipotesis-hipotesis penelitian yang telah disederhanakan.
4.1. Analisis Model Pengukuran
Analisis model pengukuran (measurement model) ini dilakukan untuk memastikan, (1)
indikator atau variabel teramati yang sudah ditentukan secara teoritis merupakan
indikator yang valid pada kelompok masing-masing variabel laten di dalam model
penelitian dan (2) model pengukuran dari setiap variabel laten di dalam model
penelitian mempunyai reliabilitas yang baik. Analisis model pengukuran dari setiap
59
variabel laten dan analisis model pengukuran dari model penelitian dilakukan pada
setiap model pengukuran, dalam bentuk: uji kecocokan keseluruhan model (overall
model fit), uji validitas dan uji reliabilitas dengan n=202
4.1.1. Variabel Keterikatan Kerja Karyawan
Hasil pengukuran estimasi terhadap model variabel laten keterikatan kerja 2nd
order
dengan variabel laten : (1) kognitif, (2) emosi, (3) fisik. Hasil pengukuran estimasi
terhadap model variabel laten keterikatan kerja diperoleh setelah mengolah model
pengukuran CFA disimpulkan valid dan reliabel dengan solusi standar (Chi
square=238.73, df=207, P-value=0.064 dan RMSEA=0.028). Goodness of Fit Indices
(GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar untuk kecocokan yang baik, disimpulkan
model pengukuran variabel laten keterikatan kerja karyawan secara keseluruhan
memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.1
Tabel 4.1 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Keterikatan Kerja Karyawan
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.064 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.028 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.05 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.92 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
60
Dari 30 item yang mengukur Keterikatan kerja karyawan, ternyata ada empat item yang
tidak signifikan (item nomer 1,3,12 dan 24), karena nilai t lebih kecil dari 1, 96
(absolut), selebihnya merupakan item yang signifikan. Dari hasil yang diperoleh,
awalnya model ini tidak fit, namun setelah dilakukan modifikasi terhadap model dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item diperbolehkan atau dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka akhirnya diperoleh model fit (terlampir).
Pengujian validitas dan reliabilitas terhadap model pengukuran variabel laten
keterikatan kerja pada tabel 4.2 di bawah ini memperlihatkan bahwa seluruh variabel
teramati dari variabel keterikatan kerja memenuhi persyaratan validitas (karena nilai
SLF > 0.50) dan reliabilitas, construct reliability (CR) > 0.7, sehingga dapat
disimpulkan model pengukuran CFA variabel laten keterikatan kerja memenuhi
persyaratan validitas dan reliabilitas.
Tabel 4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas CFA Variabel laten keterikatan kerja karyawan
_____________________________________________________________________________
Variabel * SLF> 0.5 Error * CR> 0.7 * VE> 0.5 Kesimpulan
Keterikatan kerja karyawan 0.85 0.68 Reliabilitas baik
Kognitif 0.33 0.07 Validitas baik
Emosi 0.53 0.07 Validitas baik
Fisik 0.26 0.07 Validitas baik
*SLF= Standardized Loading Factor, CR*= Construct Reliability, *VE=Variance Extraced
61
4.1.1.1 Dimensi Kognitif
Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi kognitif 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
reliabel dengan solusi standar (Chi square=24.96 df=17, P-value=0.09567 dan
RMSEA=0.048). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran keterikatan kerja karyawan
dimensi kognitif memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum
dalam Tabel 4.3
Tabel 4.3 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Kognitif
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.095 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.048 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.049 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Dari 10 item yang mengukur keterikatan kerja karyawan pada dimensi kognitif terdapat
2 item yang di drop,karena nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 1 dan 3. Selebihnya
merupakan item yang valid.
4.1.1.2 Dimensi Emosi
Hasil pengukuran estimasi terhadap model dimensi emosi 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
62
reliabel dengan solusi standar (Chi square=34.73 df=24, P-value=0.0725 dan
RMSEA=0.047). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran keterikatan kerja karyawan pada
dimensi emosi memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam
Tabel 4.4
Tabel 4.4 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Emosi
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.072 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.048 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.96 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.94 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.044 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.96 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Dari 10 item yang mengukur keterikatan kerja karyawan pada dimensi emosi terdapat 1
item yang di drop,karena nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 2. Selebihnya
merupakan item yang valid.
4.1.1.3 Dimensi Fisik
Hasil pengukuran estimasi terhadap model dimensi fisik 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
reliabel dengan solusi standar (Chi square=18.21 df=22, P-value=0.06935 dan
RMSEA=0.000). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
63
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran keterikatan kerja karyawan
pada dimensi fisik memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum
dalam Tabel 4.5
Tabel 4.5 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Fisik
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.069 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.000 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 1.01 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.01 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.038 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.98 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Dari 10 item yang mengukur keterikatan kerja pada dimensi fisik terdapat 1 item yang
di drop,karena nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 4. Selebihnya merupakan item
yang valid.
4.1.2 Variabel Psychological Capital
Hasil pengukuran estimasi terhadap model variabel laten psychological capital 2nd
order
dengan dimensi: (1) harapan (2) efikasi diri (3) resiliensi (4) optimisme. Hasil
pengukuran estimasi terhadap model variabel laten psychological capital diperoleh
setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan reliabel dengan solusi
standar (Chi square=285.67, df=251, P-value=0.065 dan RMSEA=0.026). Goodness of
Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar untuk kecocokan yang baik,
64
disimpulkan model pengukuran variabel laten psychological capital secara keseluruhan
memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.6
Tabel 4.6 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Psychological Capital
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.065 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.026 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.98 NFI > 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI > 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI > 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI > 0.90 Kecocokan baik RFI 0.97 RFI > 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.05 Std.RMR< 0.05 Kecocokan baik GFI 0.92 GFI > 0.90 Kecocokan baik
Dari 36 item yang mengukur psychological capital, ternyata ada lima item yang tidak
signifikan (item nomer 1, 13, 23, 24 dan 33), karena nilai t < 1, 96 (absolute),selebihnya
merupakan item yang signifikan. Dari hasil yang diperoleh, awalnya model ini tidak fit,
namun setelah dilakukan modifikasi terhadap model dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka akhirnya diperoleh
model fit (terlampir).
Pengujian validitas dan reliabilitas terhadap model pengukuran variabel laten
psychological capital pada tabel 4.7 di bawah ini memperlihatkan bahwa seluruh
variabel teramati dari variabel psychological capital memenuhi persyaratan validitas
(karena nilai SLF > 0.50) dan reliabilitas, construct reliability (CR) > 0.7, sehingga
dapat disimpulkan model pengukuran CFA variabel laten psychological capital
memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas. Tabel
4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas CFA Variabel laten psychological capital
65
Variabel * SLF> 0.5 Error * CR> 0.7 * VE> 0.5 Kesimpulan
Psychological capital 0.94 0.80 Reliabilitas baik
Hope 0.54 0.06 Validitas baik
Self Efficacy 0.48 0.07 Validitasbaik
Resiliency 0.66 0.06 Validitas baik
Optimism 0.38 0.07 Validitas baik
*SLF= Standardized Loading Factor, CR*= Construct Reliability, *VE=Variance Extraced
4.1.2.1 Dimensi Harapan
Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi harapan 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
reliabel dengan solusi standar (Chi square=14.67 df=10, P-value=0.14466 dan
RMSEA=0.048). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel psychological
capital pada dimensi harapan memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana
tercantum dalam Tabel 4.8 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Harapan
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.14 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.048 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.99 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.97 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.027 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.98 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
66
Dari 7 item yang mengukur dimensi harapan nilai t semuanya > 1.96. jadi ke tujuh item
merupakan item yang valid.
4.1.2.2 Dimensi Efikasi Diri
Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi efikasi diri 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
reliabel dengan solusi standar (Chi square=19.26 df=15, P-value=0.202 dan
RMSEA=0.038). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran psychological capital pada
dimensi efikasi diri memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum
dalam Tabel 4.9
Tabel 4.9 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Efikasi Diri
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.202 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.038 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.98 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 10.97 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.032 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.98 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Dari 9 item yang mengukur dimensi efikasi diri terdapat 1 item yang di drop,karena
nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 9. Selebihnya merupakan item yang valid.
67
4.1.2.3 Dimensi Resiliensi
Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi resiliensi 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
reliabel dengan solusi standar (Chi square=29.34 df=21, P-value=0.10 dan
RMSEA=0.044). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran psychological capital pada
dimensi resiliensi memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum
dalam Tabel 4.10
Tabel 4.10 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Dimensi Resiliensi
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.10 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.044 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.98 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.96 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.037 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Dari 12 item yang mengukur dimensi resiliensi terdapat 3 item yang di drop,karena
nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 1,3,10. Selebihnya merupakan item yang valid.
4.1.2.4 Dimensi Optimisme
Hasil pengukuran estimasi terhadap model dimensi optimisme 1st order. Hasil
pengukuran estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan
valid dan reliabel dengan solusi standar (Chi square=19.06 df=12, P-value=0.086 dan
68
RMSEA=0.054). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel psychological
capital pada dimensi optimisme memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana
tercantum dalam Tabel 4.11
Tabel 4.11 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Dimensi Optimisme
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.086 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.054 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.036 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Dari 8 item yang mengukur dimensi optimisme terdapat 1 item yang di drop,karena
nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 6. Selebihnya merupakan item yang valid.
4.1.3. Variabel Laten Workplace Well-being
Hasil pengukuran estimasi terhadap model variabel laten workplace well-being 2nd
order dengan dimensi: (1) ekstrinsik, (2) intrinsik. Hasil pengukuran estimasi terhadap
model variabel laten workplace well-being diperoleh setelah mengolah model
pengukuran CFA disimpulkan valid dan reliabel dengan solusi standar (Chi
square=172.88, df=149, P-value=0.087 dan RMSEA=0.028). Goodness of Fit Indices
(GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar untuk kecocokan yang baik, disimpulkan
69
model pengukuran variabel laten workplace well-being secara keseluruhan memiliki
kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.12
Tabel 4.12 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Workplace Well-being
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.087 p-value > 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.028 RMSEA< 0.08 Kecocokan baik NFI 0.96 NFI > 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI > 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI > 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI > 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI > 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.05 Std.RMR< 0.05 Kecocokan baik GFI 0.93 GFI > 0.90 Kecocokan baik
Dari 51 item yang mengukur workplace well-being, terdapat 29 item yang tidak
signifikan(item1,2,3,5,6,7,8,10,12,15,16,17,18,20,21,23,25,27,29,30,31,34,35,36,45,46,
49,50,51), karena nilai t < 1, 96 (absolute), 22 item yang lain termasuk signifikan (item
4,9,11,13,14, 19, 22, 24,26,28,32,33,37,38,39,40,41,42,43,44,47,48). Dari hasil yang
diperoleh, awalnya model ini tidak fit, namun setelah dilakukan modifikasi terhadap
model dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item diperbolehkan atau
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka akhirnya diperoleh model fit.
Pengujian validitas dan reliabilitas terhadap model pengukuran variabel laten
workplace well-being pada tabel 4.13 di bawah ini memperlihatkan bahwa seluruh
variabel teramati dari variabel workplace well-being memenuhi persyaratan validitas
(karena nilai SLF > 0.50) dan reliabilitas, construct reliability (CR) > 0.7, sehingga
dapat disimpulkan model pengukuran CFA variabel workplace well-being memenuhi
persyaratan validitas dan reliabilitas.
70
Tabel 4.13 Uji Validitas dan Reliabilitas CFA Variabel laten workplace well-being
______________________________________________________________________
Variabel * SLF> 0.5 Error * CR> 0.7 * VE> 0.5 Kesimpulan
Workplace well-being 0.91 0.71 Reliabilitas baik
Ekstrinsik 0.57 0.07 Validitas baik
Intrinsik 0.58 0.06 Validitasbaik
*SLF= Standardized Loading Factor, CR*= Construct Reliability, *VE=Variance Extraced
4.1.3.1 Dimensi Ekstrinsik
Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi ekstrinsik 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
reliabel dengan solusi standar (Chi square=42.56 df=34 P-value=0.14 dan
RMSEA=0.035). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel workplace well-
being pada dimensi ekstrinsik memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana
tercantum dalam Tabel 4.14 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Ekstrinsik:
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.14 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.035 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.95 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.94 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.046 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.96 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
71
Dari 30 item yang mengukur dimensi ekstrinsik terdapat 20 item yang di drop,karena
nilai t kurang dari 1,96 yaitu item :6,7,8,10,16,17,18,20,21,23,25, 27,30,34,35,36,
45,46,49,50. Selebihnya merupakan item yang valid (4,12,14,20,21,22,23,24,27,28).
4.1.3.2 Dimensi Instrinsik
Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi instrinsik 1st order. Hasil pengukuran
estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan
reliabel dengan solusi standar (Chi square=56.95 df=42 P-value=0.061 dan
RMSEA=0.042). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar
untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel workplace well-
being pada dimensi instrinsik memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana
tercantum dalam Tabel 4.15
Tabel 4.15 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Instrinsik:
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.061 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.042 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.04 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.95 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Dari 21 item yang mengukur dimensi Instrinsik terdapat 9 item yang di drop,karena
nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 1,2,3,5,7,11,14,15,21. Selebihnya merupakan item
yang valid (4,6,8,9,10,12,13,16,17,18,19,20)
72
4.2. Analisis Struktural Model Penelitian
Setelah dilakukan uji GOFI (goodness of fit indices) untuk keseluruhan 1st dan 2
nd
order dan mendapatkan hasil bahwa semua independen variabel (psychological capital
dan workplace well-being) dan dependen variabel disimpulkan reliabel dan valid, maka
dilakukan pemrosesan sesuai model penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran apakah hipotesis yang diajukan diterima atau tidak. Diagram pada gambar 4.1
Sebagai diagram lintas model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan
dibawah ini memberikan gambaran dari hasil pemrosesan tersebut.
Jika dilihat dari uji nilai-t model analisis model penelitian keterikatan kerja
karyawan dapat dilihat pada gambar 4.1 (Gambar Analisis Model Penelitian):
73
Hasil pengolahan model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan
(berdasarkan nilai- t) dalam diagram 4.1 Variabel independen psychological capital
tidak mempunyai signifikansi dalam mempengaruhi variabel keterikatan kerja karyawan
karena berada dibawah nilai –t standar yaitu: > 1.96 . Sedangkan variabel workplace
well-being mempengaruhi variabel keterikatan kerja karyawan secara positif dan
signifikan. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) psychological capital; 1.77
(2) workplace well-being; 4.52.
Selain itu dalam gambar 4.2 sebagaimana tertera di bawah menunjukkan bahwa
dimensi kognitif, emosi dan fisik secara langsung mewakili keterikatan kerja karyawan.
Hasil yang diperoleh: kognitif; 1.00 emosi; 16.6 dan fisik; 15.6. Pada dimensi hope,
efficacy, resiliency, optimism semuanya secara langsung mewakili variabel independen
psychological capital. Hasil yang diperoleh: hope; 1.00, efficacy; 19.5, resiliency;19.2
optimism; 12.9. Dimensi ekstrinsik dan intrinsik secara langsung mewakili variabel
independen workplace well-being. Hasil yang diperoleh dimensi instrinsik lebih besar
dalam mempengaruhi workplace well-being (14.29) dibandingkan dengan dimensi
ekstrinsik (10.49).
74
PSYCHOLOGICAL CAPITAL
WORKPLACE WELL-BEING
Hope
Self Efficacy
Resiliency
Optimism
Ekstrinsik
Intrinsik
Kognitif
Emosi
Fisik
KETERIKATAN KERJA
KARYAWAN
1.77
4.52
1.00
16.85
15.68
1.00
19.51
19.26
12.90
10.49
14.29
Chi-square=27.19, df=21, P-value=0.16464, RMSEA-0.038
Gambar 4.2 (Nilai –t)
Diagram Lintas Model Pengukuran Struktural Keterikatan Kerja Karyawan
Hasil pemrosesan pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan
(berdasarkan standar solusi) dalam diagram 4.3 di bawah ini menunjukkan bahwa
dimensi kognitif, emosi dan fisik secara langsung mewakili keterikatan kerja karyawan.
Hasil yang diperoleh dengan standar solusi: kognitif; 0.84, emosi; 0.93 dan fisik; 0.87.
Pada dimensi harapan, efikasi diri, resiliensi dan optimisme semuanya secara langsung
mewakili variabel independen psychological capital. Hasil yang diperoleh dengan
standar solusi: harapan; 0.95, efikasi diri; 0.86, resiliensi; 0.86 optimisme; 0.71.
75
Dimensi ekstrinsik dan intrinsik secara langsung mewakili variabel independen
workplace well-being. Hasil yang diperoleh dengan standar solusi: ekstrinsik; 0.69 dan
intrinsik; 0.88.
PSYCHOLOGICAL CAPITAL
WORKPLACE WELL-BEING
Hope
Self Efficacy
Resiliency
Optimism
Ekstrinsik
Intrinsik
Kognitif
Emosi
Fisik
KETERIKATAN KERJA
KARYAWAN
0.23
0.62
0.84
0.93
0.87
0.95
0.86
0.86
0.71
0.69
0.88
Chi-square=27.19, df=21, P-value=0.16464, RMSEA-0.038
Gambar 4.3 Diagram lintas Model Pengukuran Struktural Keterikatan Kerja Karyawan
(Solusi Standar)
76
Tabel 4.16 Goodness of Fit Index (GOFI) Model Pengukuran Struktural Keterikatan Kerja
Karyawan
GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN
p-value 0.1646 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.038 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.99 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 1.00 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.98 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.02 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik
Secara keseluruhan, model keterikatan kerja karyawan dikatakan memenuhi kecocokan
(fit), hal ini dapat dilihat dari besaran p-value = 0.16464 (>0.05) dan RMSEA= 0.038
(<0.08). Hasil ini menegaskan bahwa uji kecocokan keseluruhan model terbukti fit dan
didukung oleh nilai GOFI sebagaimana tertera dalam tabel 4.14 mengenai Goodness of
Fit Indices untuk model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Variabel independen psychological capital
tidak siginifikan dalam mempengaruhi variabel dependen keterikatan kerja karyawan.
Sedangkan variabel workplace well-being mempengaruhi variabel keterikatan kerja
karyawan secara positif dan signifikan. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1)
psychological capital; 0,23 (2) workplace well-being; 0.62.
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan hipotesis yang diajukan dalam tesis ini,
ringkasan dari uji signifikansi Model Struktural Penelitian adalah pada tabel 4.17
sebagai berikut:
77
Tabel 4.17
Kesimpulan Uji Signifikasi Model Pengukuran Struktural Keterikatan kerja
Hipotesis Pengaruh Antar Variabel Laten
Nilai-t hitung
Koefisien Kesimpulan Uji Signifikansi
H1
Psychological capital tidak signifikan dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.
1.77
0.23
H1 tidak dapat diterima, karena tidak signifikan dalam mempengaruhi keterikatan kerja karyawan.
H2 Workplace well-being secara signifikan mempunyai pengaruh positif dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.
4.52 0.62 H2 diterima, hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap Keterikatan kerja karyawan.
H3 Psychological capital dan workplace well-being tidak memiliki peran yang sama dalam mejadi prediktor keterikatan kerja karyawan.
H1 tidak diterima, H2 signifikan
Koeffisien H1 < koefeisien H2
Dengan tidak diterimanya H1 maka hanya workplace wellbeing yang berperan sebagai prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan.
Nilai t-hitung H2 berada diatas nilai 1.96 menunjukkan koefisien positif dan
signifikan karena data mendukung model penelitian. Sedangkan H1 tidak diterima
karena data tidak mendukung, perolehan nilai hitung < 1.96 dan koeefisien tidak
menunjukkan signifikansi karena terlalu rendah.
Hipotesis 1:
Psychological capital tidak signifikan dalam mempengaruhi keterikatan kerja
karyawan. Hal ini disebabkan karena data yang diperoleh dalam penelitian hasil
78
penelitian menunjukkan bahwa psychological capital tidak memenuhi persyaratan
signifikansi secara langsung terhadap keterikatan kerja dengan nilai standardized
sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang lebih rendah dari nilai persyaratan 1.96. Dengan
demikian, psychological capital (dengan dimensi harapan, efikasi diri, resiliensi dan
optimisme) tidak terbukti memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan
secara signifikan.
Hipotesis 2:
Workplace well-being terbukti memberikan pengaruh keterikatan kerja karyawan secara
positif dan signifikan dengan nilai standardized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52. Dengan
demikian, workplace well-being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang terdiri dari:
penggunaan waktu sebaik-baiknya, kondisi kerja, supervisi, kesempatan promosi dan
gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari: tanggung jawab dalam pekerjaan,
makna kerja, kemandirian kerja, penggunaan kemampuan dan pengetahuan untuk
bekerja serta perasaan berprestasi dalam bekerja - terbukti berperan dalam memprediksi
keterikatan kerja karyawan. Dengan semakin tingginya workplace well-being maka
akan semakin meningkatkan keterikatan kerja karyawan.
Hipotesis 3:
Psychological capital dan workplace well-being terbukti tidak memiliki peran yang
sama dalam memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan. Psychological
capital tidak signifikan menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan (karena tidak
memenuhi persyaratan signifikansi secara langsung terhadap keterikatan kerja dengan
79
nilai standaradized sebesar 0.23, dan nilai –t 1.77 yang lebih rendah dari nilai
persyaratan 1.96). Sedangkan workplace well-being secara positif dan signifikan
(dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52) dapat menjadi prediktor bagi
keterikatan kerja karyawan. Dengan demikian, workplace well-being dengan (1)
dimensi ekstrinsik yang terdiri dari: penggunaan waktu sebaik-baiknya, kondisi kerja,
supervisi, kesempatan promosi dan gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari:
tanggung jawab dalam pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja, penggunaan
kemampuan dan pengetahuan untuk bekerja serta perasaan berprestasi dalam bekerja,
terbukti lebih berperan dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.
80
BAB 5
DISKUSI, SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab 5 ini akan dikemukakan mengenai diskusi yang berkaitan dengan bahasan
teoritik dari hasil penelitian dan selanjutnya diajukan simpulan dari tesis ini. Sebagai
bagian akhir dari penulisan tesis ini, penulis mengajukan saran-saran untuk penelitian
selanjutnya.
5.1 Diskusi
5.1.1 Diskusi keterikatan kerja karyawan
Keterikatan kerja karyawan yang diawali dengan teori Kahn (1990) merupakan
grounded theory dan pada dekade selanjutnya telah menghasilkan minat yang sangat
besar bagi para akademisi maupun praktisi untuk mengembangkannya. Keterikatan
kerja karyawan memiliki komponen kognitif, afektif dan perilaku dalam proses
bekerjanya. Berdasarkan hasil penelitian ini keterikatan kerja karyawan pada
kementerian X menghasilkan nilai-t= 5.49. ini artinya keterikatan kerja karyawan pada
kementerian X signifikan pada objek penelitian ini. Hasil penelitian ini mendukung apa
yang disampaikan Ferguson (2007) yang menyatakan bahwa salah satu hal yang
menjadi kunci untuk membentuk sebuah organisasi dengan performa yang terus
meningkat adalah keterikatan kerja karyawan.
Menurut penulis salah satu penyebab keterikatan kerja karyawan yang signifikan
pada pegawai (PNS) kementerian X ini adalah adanya kelekatan emosi dalam
81
pekerjaannya. Hal ini terlihat dalam dimensi emosi yang cukup tinggi (0.93)
dibandingkan dengan dua dimensi yang lain (kognitif;0.84 dan fisik;0.87). Masclach
et.al (2001), Schaufeli et.al (2002) May et.al. (2004) menyatakan bahwa individu akan
lebih mendedikasikan diri untuk keberhasilan pekerjaan jika memiliki kelekatan
(attacchment) emosional dalam pekerjaannya.
Kaitannya dengan keterikatan kerja karyawan, komitmen emosi dianggap
sebagai rasa terikat atau engaged (Fleming et.al, dalam Little & Little, 2006). Kelekatan
emosi yang dimiliki oleh PNS kementerian X , merupakan bentuk komitmen pegawai
terhadap organisasinya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Meyer dan Allen
(1997) yang menyatakan bahwa kelekatan emosi dapat terjadi jika individu
mengidentifikasi dirinya dengan organisasi, merasa sebagai bagian dari organisasi,
merasa bernilai bagi organisasi dan keinginan kuat untuk membantu organisasi
mencapai tujuan. Harter, Schmidt dan Keyes (2002) menyatakan bahwa perasaan
kecocokan antara individu dengan lingkungan pekerjaan memiliki kontribusi dalam
membentuk keterikatan kerja karyawan. Penulis berpendapat , keterikatan kerja
karyawan secara emosi idealnya dapat menggerakkan etos untuk dapat terus
meningkatkan performa organisasi secara umum.
Menurut Robbins dan Judge (2008) agar karyawan dapat meningkatkan
keterikatan kerjanya, maka organisasi perlu meningkatkan kelekatan emosional
karyawan dengan cara: pemberdayaan dan pemberian wewenang dalam pekerjaan.
Secara psikologis hal ini akan membuat karyawan lebih memiliki kepercayaan, merasa
dihargai, kompetensinya diakui, dan memperoleh kebermaknaan dalam pekerjaannya.
82
5.1.2 Diskusi Psychological Capital
Menurut Schaufeli, Demerouti dan Bakker (2007) faktor personal seperti optimisme
dan efikasi diri yang tinggi berhubungan dengan keterikatan kerja karyawan.
Optimisime, efikasi, harapan dan resiliensi merupakan bagian dari psychological capital
(Luthans et.al, 2007). Dampak yang dihasilkan dengan adanya kapasitas psikologis
yang positif dalam hal ini psychological capital adalah adanya penurunan sinisme antar
pegawai, ketidakhadiran dan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Psychological
capital juga dianggap dapat memprediksi employee outcomes (Avey, Luthans, Smith &
Palmer, 2010). Performa psikologis karyawan yang rendah akan diikuti dengan
keterikatan kerja karyawan yang rendah juga (Salanova, 2009).
Sejalan dengan hasil penelitian Salanova, Luthans (2006) menemukan bahwa
semakin tinggi karakteristik psychological yang dimiliki, akan semakin tinggi pula
komitmen afektif yang dimiliki. Pada penelitian ini, penulis tidak menemukan pengaruh
yang signifikan dari psychological capital terhadap keterikatan kerja karyawan di
kementerian X pada objek penelitian ini. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi
penulis. Mengapa psychological capital tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap keterikatan kerja karyawan di kementerian X?. Sebagaimana disebutkan pada
bab III, penulis akan mengkonfirmasi melalui deep interview dan focus group discuss.
Berdasarkan apa
yang didapat dalam deep interview dan focus group discuss pada tanggal 19 Oktober
2012 terdapat beberapa pendapat mengenai tidak signifikannya psychological capital di
kementerian X khususnya yang menjadi objek dalam penelitian ini: (1) merasa berada di
83
comfort zone sebagai PNS, jadi stagnan dengan situasi yang dihadapi, apalagi ada istilah
pandai dan bodoh sama saja, ini membuat idealisme luntur dan karyawan jadi malas
maju. (2) Kegiatan terlalu banyak, namun tidak diimbangi dengan pengembangan diri
dalam sikap kerjanya, jadi hasilnya seadanya. (3) Mind set terhadap kehidupan harus
luas, bahaya jika tidak memiliki kesiapan menghadapi perubahan yang tidak sesuai
dengan harapan. (3) Arah kegiatan tidak jelas outputnya. Jadi mengikuti kegiatan karena
ada uang. Bekerja harus sesuatu yang dicintai, karenanya menghasilkan prestasi, bukan
hanya karena ada uangnya. (4) Ketidakpahaman PNS terhadap visi misi organisasi
karena tidak membaca dan juga kurangnya sosialisasi. (5) Tidak adanya teladan dari
atasan, terutama atasan langsung. Figur pimpinan tidak memberikan supervisi dan
mencontohkan cara kinerja yang baik. (6) Hasil penelitian ini menggambarkan apa
yang terjadi di lingkungan ini, bahaya jika tidak segera ditangani. Selama ini evaluasi
kinerja hanya standar untuk administrasi saja. Perlu ada sistem evaluasi dan pembinaan
khusus terkait dengan pola pikir dan sikap kerja
Dari apa yang disampaikan di atas penulis
berpendapat, tidak signifikannya psychological capital dimungkinkan karena belum
optimalnya kapasitas psikologis sumber daya manusia yang dimiliki oleh kementerian
X. Dengan kata lain, apa yang dimiliki sebagai psychological capital belum
sepenuhnya terinternalisasi ke dalam diri pegawai kementerian X. Karena jika
psychological capital telah terinternalisasi maka akan menjelma ke dalam sosok yang
penuh optimisme, memiliki harapan tinggi, keyakinan diri yang kuat untuk bersungguh-
sungguh dalam bekerja dan memiliki resiliensi serta kegigihan ketika dihadapkan pada
84
masalah yang berat. Namun jika modal kapasitas psikologis yang positif ini tidak
dioptimalkan maka yang muncul sebaliknya, akan didapati karyawan yang kurang
memiliki optimisme mengenai masa depan, kurang memiliki keyakinan diri yang kuat
untuk maju dan berkembang, kurang memiliki harapan mengenai performa organisasi
yang diharapkan dan kurang memiliki ketangguhan dalam menghadapi masalah yang
berat.
5.1.3 Diskusi Workplace well-being
Hasil penelitian dalam tesis ini menunjukkan workplace well-being yang signifikan di
Kementerian X pada objek penelitian ini. Dimensi yang lebih berpengaruh dalam
penelitian ini adalah dimensi intrinsik, dengan nilai-t ; 14.29 dan standar solusi; 0.88.
Dimensi instrinsik memiliki lima domain didalamnya yaitu: (1) tanggung jawab dalam
pekerjaan; perasaan seseorang mengenai tanggung jawab dan kepercayaan yang
diberikan kepadanya untuk melakukan pekerjaan dengan baik. (2) makna kerja;
perasaan bahwa pekerjaan memiliki makna dan tujuan baik personal maupun organisasi.
(3) kemandirian kerja; perasaan dapat mengerjakan pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan
manajemen. (4) penggunaan kemampuan dan pengetahuan kerja; perasaan bahwa
lingkungan mengijinkan menggunakan bakat personalnya dalam bekerja (5) perasaan
berprestasi; perasaan puas terkait dengan apa yang dikerjakan. Dimensi intrinsik ini
dikenal dengan dimensi yang bersifat sebagai faktor motivasi. Sedangkan dimensi
ekstrinsik menyumbang nilai –t ;10.49 dan standar solusi 0.69. Dimensi ekstrinsik
terdiri dari (1) penggunaan waktu sebaik-baiknya (2) kondisi kerja (3) supervisi (4)
kesempatan promosi dan (5) gaji.
85
Penulis berpendapat, workplace well-being yang signifikan terjadi karena
pegawai pada kementerian X merasakan memiliki (1) tanggung jawab dalam pekerjaan
(2) perasaan bermakna dalam pekerjaannya (3) kemandirian dalam bekerja (4) dapat
menggunakan pengetahuan dan kemampuan dalam bekerja (5) perasaan berprestasi
dengan apa yang telah dikerjakan. Dengan demikian, hal yang tampak kemudian adalah
adanya suasana batin yang nyaman dan tumbuhnya makna tentang bekerja dengan
ketulusan hati. Sebagaimana diungkapkan Lyubormirsky (dalam Avey, Luthans, Smith
& Palmer, 2010) bahwa karyawan yang memiliki well-being cenderung terlihat lebih
bahagia, memiliki keadaan fisik, mental serta perilaku yang lebih sehat. George (dalam
Russel 2008) menegaskan bahwa tingkat workplace well-being yang tinggi akan
membuat karyawan lebih memiliki keterikatan kerja.
Tercapainya kesejahteraan akan mempengaruhi seluruh kegiatan karyawan
secara positif. Sebagaimana diungkapkan Boyd (dalam Danna & Griffin, 1999) bahwa
kesehatan dan kesejahteraan memiliki peran penting dalam pekerjaan. Workplace well-
being pada dimensi ekstrinsik juga dianggap sebagai faktor yang dapat membuat
memudar atau tidaknya tingkat keterikatan kerja karyawan. Rendahnya kesejahteraan
akan mengakibatkan tingkat produktifitas yang rendah, kualitas yang rendah dalam
mengambil keputusan serta penurunan kontribusi dalam organisasi. Dengan melihat
lebih rendahnya dimensi ekstrinsik pada hasil penelitian ini, penulis berpendapat bahwa
workplace well-being yang dimiliki oleh PNS pada kementerian X lebih berorientasi
pada dimensi intrinsik.
86
5.1.4. Diskusi Psychological Capital dan Workplace Well-being sebagai prediktor
terhadap Keterikatan kerja karyawan
Berdasarkan uraian pada diskusi di atas dapat diketahui bahwa dibandingkan dengan
psychological capital, maka workplace well-being (dengan dimensi instrinsik) secara
signifikan lebih memprediksi keterikatan kerja karyawan di Kementerian X.
Keterikatan kerja merupakan gambaran dari self-employment yang diekspresikan secara
kognitif, emosional dan fisikal selama menjalankan perannya dengan menyadari
keberadaan dirinya secara psikologis di tempat kerjanya.
Pada variabel psychological capital ditemukan bahwa dimensi harapan
memberikan sumbangan yang tertinggi (0.95) diantara tiga dimensi yang lain (efikasi
diri, resiliensi dan optimisme). Penulis berpendapat, hal ini sebagai tingginya harapan
PNS pada kementerian X untuk dapat terus maju dan berkembang meski keadaan sangat
sulit. Terkait dengan rendahnya psychological capital dalam penelitian ini, dari hasil
deep interview dan focus group discuss yang telah dilakukan terdapat beberapa
pendapat antara lain: (1) merasa berada di comfort zone sebagai PNS, jadi stagnan
dengan situasi yang dihadapi, apalagi ada istilah pandai dan bodoh sama saja, ini
membuat idealisme luntur dan orang jadi malas maju. (2) Kegiatan terlalu banyak,
namun tidak diimbangi dengan pengembangan diri dalam sikap kerjanya, jadi hasilnya
seadanya. (3) Mind set terhadap kehidupan harus luas, bahaya jika tidak memiliki
kesiapan menghadapi perubahan yang tidak sesuai dengan harapan. (3) Arah kegiatan
tidak jelas outputnya. Jadi mengikuti kegiatan karena ada uang. Bekerja harus sesuatu
yang dicintai, karenanya menghasilkan prestasi, bukan hanya karena ada uangnya. (4)
87
Ketidakpahaman PNS terhadap visi misi organisasi karena tidak membaca dan juga
kurangnya sosialisasi. (5) Tidak adanya teladan dari atasan, terutama atasan langsung.
Figur pimpinan tidak memberikan supervisi dan mencontohkan cara kinerja yang baik.
(6) Hasil penelitian ini menggambarkan apa yang terjadi di lingkungan ini, bahaya jika
tidak segera ditangani. Selama ini evaluasi kinerja hanya standar untuk administrasi
saja. Perlu ada sistem evaluasi dan pembinaan khusus terkait dengan pola pikir dan
sikap kerja. Meski telah dikonfirmasi melalui deep interview dan focus group discuss ,
hasil penelitian mengenai psychological capital yang rendah ini tetap harus
diperlakukan hati-hati.
Untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia pada aparatur (PNS), salah
satu yang bisa dilakukan adalah reedukasi (Azizy, 2007) melalui: (1) memahami proses
dalam menyentuh budaya; mengubah budaya pesimis menjadi optimis, mengubah
budaya malas menjadi kerja keras. (2) Keterlibatan kerja; PNS dilibatkan dalam proses
perubahan, sejak perencanaan sampai pada tataran aplikasi. (3) Faktor lingkungan;
kapasitas psikologis positif yang tertanam dalam lingkungan akan lebih mudah
menyebar, apalagi jika dimulai dari pimpinan.
Dalam persoalan workplace well-being, Herzberg (dalam Page, 2005)
menyatakan bahwa kunci utama untuk memotivasi karyawan adalah dengan
meningkatkan faktor intrinsik dari suatu pekerjaan. Menurut penulis salah satu cara
yang bisa dilakukan untuk mempertahankan faktor intrinsik adalah meluruskan motivasi
pada saat memulai aktivitas pekerjaan. Dalam memulai aktivitas bekerja dengan bacaan
basmallah yang memiliki arti “Atas nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha
88
Penyayang” aktivitas apapun yang dilakukan aparatur negara (PNS) semata-mata atas
nama Tuhan yang bertujuan merealisasikan tugas-tugas kepemimpinan. Karena aktivitas
tersebut atas nama Tuhan, maka pekerjaan harus dilakukan sebaik mungkin. Dengan
demikian workplace well-being yang tinggi juga dapat berimplikasi: (1) Bekerja sebagai
bagian dari ibadah yang tidak saja berdimensi kemanusiaan tetapi juga berdimensi
ketuhanan. Sebagaimana firman Allah (QS: Al-Nahl:97) “ Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”. (2) Bekerja dengan penuh makna dan tidak
menyalahgunakan wewenang merupakan manifestasi tanggung jawab setiap karyawan.
5.2 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dari penelitian tesis ini, maka dapat disimpukan bahwa:
Psychological capital tidak signifikan dalam mempengaruhi keterikatan kerja
karyawan. Hal ini disebabkan karena data yang diperoleh dalam penelitian
menunjukkan tidak memenuhi persyaratan signifikansi secara langsung terhadap
keterikatan kerja dengan nilai standaradized sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang
lebih rendah dari nilai persyaratan 1.96. Dengan demikian, psychological capital
(dengan dimensi harapan, efikasi diri, resiliensi dan optimisme) tidak terbukti
memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan secara signifikan.
Workplace well-being terbukti memberikan pengaruh keterikatan kerja
karyawan secara positif dan signifikan dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan
89
nilai-t 4.52. Dengan demikian, workplace well-being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang
terdiri dari: penggunaan waktu sebaik-baiknya, kondisi kerja, supervisi, kesempatan
promosi dan gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari: tanggung jawab dalam
pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja, penggunaan kemampuan dan pengetahuan
untuk bekerja serta perasaan berprestasi dalam bekerja - terbukti berperan dalam
memprediksi keterikatan kerja karyawan. Dengan semakin tingginya workplace well-
being maka akan semakin meningkatkan keterikatan kerja karyawan.
Psychological capital dan workplace well-being terbukti tidak memiliki peran
yang sama dalam memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan.
Psychological capital tidak signifikan menjadi prediktor bagi keterikatan kerja
karyawan (karena tidak memenuhi persyaratan signifikansi secara langsung terhadap
keterikatan kerja dengan nilai standaradized sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang
lebih rendah dari nilai persyaratan 1.96). Sedangkan workplace well-being secara
positif dan signifikan (dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52) dapat
menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan. Dengan demikian, workplace well-
being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang terdiri dari: penggunaan waktu sebaik-
baiknya, kondisi kerja, supervisi, kesempatan promosi gaji; serta, (2) dimensi intrinsik
yang terdiri dari: tanggung jawab dalam pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja,
penggunaan kemampuan dan pengetahuan untuk bekerja serta perasaan berprestasi
dalam bekerja – terbukti lebih berperan dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.
90
5.3 Saran
Sebagai penutup dari tesis ini, penulis mengajukan beberapa saran pada Kementerian X
agar dapat terus berbenah memperbaiki performa organisasinya termasuk dalam
penataan sumber daya manusia. Apa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi
gambaran mengenai tingkat keterikatan kerja di kementerian X.
Beberapa saran yang bisa diterapkan: Membuat suatu program yang
berkelanjutan dengan proses pembelajaran tiada henti (never ending learning process)
yang mudah dihayati dan dimengerti karyawan (PNS). Untuk itu, program tersebut
harus merupakan pembelajaran yang integrated yang dapat membuat karyawan mau
melibatkan diri (involved) secara bersungguh-sungguh.
Kementerian X idealnya dapat meningkatkan kapasitas psychological capital
PNS yang ada didalamnya. Psychological capital PNS perlu diarahkan pada
kemampuan menghadapi persaingan global, bukan sekedar survive. Terkait dengan ini
maka sekali lagi, pendidikan dan pelatihan menjadi hal yang sangat penting, karena
dengan pendidikan dan pelatihan (pengembangan diri) akan mampu memberi modal
psikologis untuk menjadi PNS yang bermoral, berprestasi, optimis, penuh harapan,
memiliki resiliensi dalam menghadapi masalah berat dan memiliki efikasi diri yang kuat
untuk meraih kesuksesan dan memberi manfaat pada birokrasi Indonesia sekarang dan
di masa depan.
Kementerian X idealnya juga memperhatikan upaya peningkatan faktor
ekstrinsik pada workplace well-being untuk meningkatkan keterikatan kerja karyawan.
Selain perlunya renumerasi, perlu juga diperhatikan faktor supervisi, lingkungan
91
pekerjaan dan jenjang pengembangan karir secara profesional.
Dari hasil focus group discussion (FGD) ada beberapa saran yang diusulkan
antara lain: (1) Perlunya teladan dari pimpinan, membangun kematangan sistem (2)
Pemilihan orang-orang yang tepat untuk membantu manajemen. Nepotisme jangan
terlalu kuat, perlu mengedepankan profesionalisme. (3) Setiap karyawan harus mampu
menunjang pelayanan visi misi organisasi. (4) Perlu ada pembinaan mental secara
khusus, pengembangan diri melalui pendidikan dan training yang berkelanjutan. (5)
Hasil penelitian ini merupakan gambaran apa yang terjadi pada 2 lembaga di
Kementerian X, maka pimpinan perlu segera membaca dan mempertimbangkan atau
menindaklanjuti saran yang diusulkan.
Sampai dengan penelitian ini dilakukan, di Indonesia belum banyak penelitian
tentang keterikatan kerja karyawan yang dilakukan pada aparatur negara (PNS).
Dengan demikian, masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui karakteristik
dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja PNS pada setiap departemen.
Dengan mengetahui karakteristik setiap departemen, maka akan lebih mudah untuk
melakukan reformasi birokrasi. Adapun dalam metode penelitian, penulis mengakui
bahwa apa yang dilakukan dalam penelitian ini belum mencakup semua hal. Dalam hal
alat ukur, penelitian ini masih perlu disempurnakan dengan memasukkan faktor-faktor
lain secara lebih luas.
Secara keseluruhan, penulis mengakui bahwa penelitian ini masih mempunyai
banyak keterbatasan, karenanya diperlukan suatu penelitian lanjutan untuk mendapatkan
gambaran yang lebih menyeluruh.
92
DAFTAR PUSTAKA
---------- (2009): Alqur‟an & terjemahannya Penerbit: Syamil Cipta Media, Bandung.
Albrecht Simon (2010). Handbook of employee engagement. perspectives, issues, research and
practice. MPG Books Group, UK
Avey, James. B., Luthans. Fred., Smith, Ronda M., & Palmer, Noel F. (2010). Impact of
positive psychological capital on employee well-being over time. Journal of occupational
health psychology 2010, Vol. 15.
Azizy, A. Qodri (2007) Change management dalam reformasi birokrasi (2007). Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Bakker,A.B., Schaufeli, W.B., Leiter, M.P., & Taris, T.W. (2008). Work engagement: an
emerging concept in occupational health psychology.work & stress, 22 (3), 187-200.
Creswell, John (2009. Research design: Qualitative, quantitative and mixed methods
approaches. Third Edition. Sage Publications. Thoussand Oaks California
Danna, Karen. & Griffin, Ricky. W.(1999). Health and well-being in the workplace: A review
and synthesis of the Literature, Journal of management .
Demerouti, E., Bakker, A.B., Nachreiner, F & Schaufeli., W.B. (2000) “A model of burnout and
life satisfaction among nurses”, Journal of advanced nursing.
Dessler, Gary. (2008). Human resources management. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Envick, Brooke R. (2005). Beyond human and social capital: The importance of positive
psychologycal. The entrepreneurial executive; 2005;10, Entrepreneurship pg.41.
Feist, J dan Feist, G.J.(2006). Theories Of personality. New York: McGraw Hill Companies,
Inc.
French, Bell, Zawacki (2000) Organization development and transformation. managing
effective change. McGraw-Hill International Editions. Singapore
Ferguson, Amanda.(2007). Employee engagement : does it exist, and if so, how does it so, how
does it relate to performance, other constructs, and individual differences?
.http://www.lifethatworks.com/ employee-engagement.prn.pdf. (Diakses pada 20 Juli
2012).
Gallup Leadership Institute. Psychological Capital: Measurement, development and
performance impact. http://www.gli.unl.edu. (Di akses 29 Juni 2012)
Gallup; Harter, Schmidt, Killham, Agrawal (2009) Q12 Meta-Analiysis: The relationship
between engagement at work and organizational outcomes
93
Harter, J.K., Schmidt, F,L., & Keyes, C.L.M.(2002). well-weing in the workplace and it‟s
relationship to business outcomes: A Review Of The Gallup Studies. Dalam Keyes, Corey
L.M & Haidt,Jonathan (Eds). Flourishing : The positive person and the good life (205-
224). Washington DC :American Psychological Association.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI (2008): Membangun jati diri aparatur negara
melalui internalisasi nilai-nilai agama
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI (2009): Pengembangan budaya kerja departemen
agama.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI (2011) Mengembangkan budaya kerja melalui
pengawasan dengan pendekatan agama, Modul 1-5.
Jac Fitz-Enz (1990) Human value management. Jossey-Bass Publishers. San Francisco
Kahn, W .A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and disengagement
at work. Academy of management journal, 33(4),692-724.
Kerlinger, F.N. & Lee ,H.B (2000). Foundations of behavioral research ( 4th Ed). Orlando, FL:
Harcourt College Publishers.
Kular, Sandeep., Gatenby, Mark ., Rees, Chris., Soane, Emma. & Truss, Katie. (2008).
Employeeengagement: A Literature Review.Working Paper Series, 19.
http://eprints.kingston,ac.uk /4192/1/19wempen.pdf (Diakses pada 30 April 2012)
Kumar, R.(1999). Research methodology: a step-by-step guide for beginners. London: SAGE
Publication Ltd.
Litle & Litle (2006). Employee engagement: conceptual issues. Journal of organizational
culture, communication and conflict
Luthans, F., Avolio, B.J., Avey, B.,& Norman, S.M.(2007). Positive psychological capital:
measurement and relationship with performance and satisfaction. Personnel psychology,
60,541-572.
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio,Bruce,J (2007). Psychological capital: developing the
human competitive edge. New York: Oxford University Press.
Luthans, F., & Youssef, C M. (2007). Emerging positive behavior. Journal of management.
Luthans, F.,(2002). The need for and meaning of positive organizational behavior. Journal of
organizational behavior hlm. 695-706.
Luthans, F., Luthans, W. K & Luthans, C. Bt. (2004). Positive psychological capital: Beyond
human and social capital. Business horizon 47/1,45-50.
94
Luthans, Fred., Avey, Avolio, Peterson (2010). The development and resulting performance
impact of positive psychological capital: www.interscience.willey.com
Macey, W.H., Scheneider, B. (2009). The meaning of employee engagement. Industrial and
Organizational Psychology
Maslach, C., Schaufeli, W.B. & Leiter, M.P. (2001), “Job burnout”, Annual review of
psychology.
Mac Millan English Dictionary for Advance Learnes. (2002). International student edition.
London : Mac Millan Publishing.CO.
McShane, steven L.,Glinov, Von. (2010). Organizational behaviour: emerging knowledge and
Practice for the real world 5th edition. Newyork: Mc Graw-Hill/Irwin
May, D.R., Gilson, R.L. & Harter, L.M. (2004), The psychological condition of
meaningfullness, safety and availability and the engagement of the human spirit at work.
Journal of occupational and organizational psychology.
Meyer, J.P & Allen, N.J (1997), Commitment in the workplace: theory, research and
application, Thousand Oaks, CA: Sage
Mohapatra, M. & Sharma, B.R.(2010). Study of employee engagement and it‟s predictors in an
Indian public sector undertaking. Global Bussiness Review, 11(2),281-302.
Page, K.M. (2005).Subjective well-being in the workplace. Unpublished Honous thesis, Deakin
University, Melbourne Australia. Accessedvia http//www.deakin.edu.au/research/acqol
/instruments/index.htm.
Page, K.M. & Vella-Brodrick, D.A. (2009). The „what‟,‟why‟,and „how‟ of employee well-
being: a new model. Social Indicators Research, 90, 441-458.
Pati & Kumar (2010) Employee engagement: role of self-efficacy, organizational support &
supervisor support. The Indian Journal of Industrial Relations Vol 46.
Pratiwi, Dini. Keterikatan kerja dan kaitannya dengan perceived organizational support dan
psychological capital pada karyawan PT XYZ. Tesis, Universitas Indonesia, tidak
diterbitkan.
Prawitasari, Johana (2002) Diskusi kelompok terarah. Hand-out asesmen & intervensi. Program
Profesi Psikolog. Fakultas Psikologi UGM
Russell, J.E.A. (2008). Promoting subjective well-being at work. journal of career assessment,
16.
Rudiyanto dalam http://www. bpp.depdagri.go.id (di akses tanggal 20 Juni 2012)
95
Saks, A.M. (2006) Antecedents and consequences of employee engagement. Journal of
Managerial Psychology,21(6),600-619.
Schaufeli, W. B.Salanova, M., Gonzalez-Roma, V. & Bakker, A.B. (2002). The measurement of
burnout and engagement : A confimantory factor analytic approach. Journal of Happiness
Studien, 3,71-92.
Schaufeli, W. B. & Bakker, A. B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship
with burnout and engagement : a multi-sample study. Journal of Organizational Behavior,
25,293-315.
Schaufeli, W. B. Bakker, A. B., & Salanova, M. (2004). The Measurement of work engagement
with a short questionnaire: A Cross-National Study. Educational and psycological
measurement, 66(4),701-716.
Shahnawaz, M.G. & Jafri. (2009). Psychological capital as predictor of organizational
commitment and organizational citizenship behavior. Journal of the Indian Academic
Applied Psychology hlm.78-84.
Seligman, M.E.P. & Csikszentmihalyi, M. (2000), “Positive psychology: an introduction”,
American Psychologist.
Singh, Sandeep., & Mansi. (2009). Psychological capital as predictor of psychological well-
being. Journal of the indian academy of applied Psychology. July 2009,35, no. 2, 233-238.
Sivanathan, N., Arnold, K.A.,turner, N., & Barling, J. (2004). Leading well: transformational
leadership and well-being. Dalam Linley, P.A.& Joseph, S. (Eds). Positive psychology in
practice (241-255). New Jersey: John Wiley & Sons, inc.
Soebandono, J. P. (2011): Peran rasa bangga, kepercayaan, rasa aman, dan nilai kerja pribadi
dalam keterikatan kerja karyawan, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia - Tidak diterbitkan
The Gallup Organisation. (2005). Employee engagement : The employee side of the human
sigma Equation. http://www.gallup.com/
Ulrich, D & Brockbank, W (2005), The HR value proposition, Boston, MA: Harvard Bussiness
School Press.
Wefald, A.J. & Downey, R.G (2008). Job engagement in organizations: fashion or folderol?
Journal of organizational behaviour