presentasi kasus gawatdarurat - sjs

44
PRESENTASI KASUS STEVEN JOHNSON SYNDROME Disusun Oleh: dr. Ayu Niken Savitri

Upload: ayu-niken-savitri

Post on 29-Dec-2015

40 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

gadar, sjs, preskas

TRANSCRIPT

Page 1: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

PRESENTASI KASUS

STEVEN JOHNSON SYNDROME

Disusun Oleh:

dr. Ayu Niken Savitri

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RSUD KABUPATEN BEKASI

MEI 2013-Mei 2014

Page 2: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

BAB I

ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien No. Rekam Medis: 527853

Nama : Tn. P

Umur : 28 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku / Bangsa : Sunda / Indonesia

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Karyawan

Tanggal pemeriksaan : 11 September 2013

B. Anamnesis ( Alloanamnesis / Autoanamnesis )

Keluhan Utama

Kulit melepuh di seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan kulit melepuh di seluruh tubuh. Keluhan

dirasakan sejak 2 hari SMRS. Awalnya melepuh dirasakan di bagian leher

yang kemudian meluas ke batang tubuh, kedua tangan dan kaki, wajah

beserta bagian sekitar mata dan mulut. Pasien saat ini tidak dapat membuka

mata dan mulut. Keluhan disertai dengan rasa mual dan muntah yang hilang

timbul dan diare.

Pada 4 hari SMRS, pasien mengeluhkan nyeri perut dan diare, kemudian os

mengkonsumsi jamu kupu – kupu yang dibeli di warung untuk mengatasi

keluhannya. Karena keluhan menetap, satu hari setelahnya pasien

mengkonsumsi enterostop dan supertetra. Keesokan harinya tubuh pasien

mulai melepuh.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.

Riwayat Penyakit Keluarga

Page 3: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan

pasien.

Riwayat Alergi

Riwayat alergi makanan disangkal. Riwayat alergi obat disangkal.

C. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis.

Tanda vital

- Tekanan Darah : 100/60 mmHg.

- Nadi : 104 x/menit.

- Suhu : 38,20C.

- Frekuensi Pernapasan : 32 x/menit.

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -

Hidung : PCH (-)

Mulut : POC (-)

Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening

Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo VBS kanan=kiri, Ro -/-,Wheezing -/-

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : CTR< 2 detik, Akral hangat (+)

Status Dermatologikus :

o Multipel generalisata, makula hiperemis (+), papul (+), pustul (+),

krusta (+), diameter terkecil 0,5x0,5 cm, diameter terbesar 10x8 cm

o Mata: Konjungtiva injeksi silier (+) mucus (+) kekuningan

o Mulut: Mucosa mulut krusta kehitaman (+)

o Skrotal dextra: Kulit mengelupas (+)

D. Pemeriksaan Penunjang

Page 4: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Pemeriksaan Laboratorium Darah (12/09/13)

E. Diagnosis Kerja

Steven Johnson Syndrome

F. Penatalaksanaan

dr. Rudi, SpKK

- IVFD RL 20 gtt/ menit

- Dexamethasone 3 x 1 ampul

- Gentamycin 2 x 1 ampul

- Kompres Nacl fisiologis pada luka terbuka

G. Prognosis

Quo Ad vitam : Dubia ad bonam

Quo Ad functional : Dubia ad malam

H. Perjalanan Penyakit

Hb 15,1 g/dl Eritrosit 4 %

Leukosit 5300 /mm Ht 41,6

LED 68 mm/jam Trombosit 317.000 /mm3

Basofil 0 % SGOT 19 U/L

Eosinofil 2 % SGPT 12 U/L

Batang 2 % GDS 134 mg/dl

Segmen 78 % Ureum 84 mg/dl

Limfosit 19 % Kreatinin 0,8 mg/dl

Monosit 4 %

Page 5: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Tanggal Keadaan pasien Laboratorium Tatalaksana12/09/13 Dexamethason 3 x 1 amp

Gentamycin 2 x 1 amp

Kenalog zalf

Paracetamol

Curcuma 3 x 2 tab

Cotrimoxazole 2 x 2 tab

Irigasi mata (Nacl 0,9% 5

cc + betadine 0,5 cc)

Kumur dengan Nacl 0,9%

GV dengan Nacl 0,9%

H202 ear drop 4 x 6 gtt

13/09/13 T: 110/80 mmHgN: 88x/mntS: 38,4 C

Dexamethason 3 x 1 amp

Gentamycin 2 x 1 amp

Kenalog zalf

Paracetamol

Curcuma 3 x 2 tab

Cotrimoxazole 2 x 2 tab

Irigasi mata

GV dengan Nacl 0,9%

H202 ear drop 4 x 6 gtt14/09/13 Ur: 36 mg/dl

Cr: 0,9 mg/dlDexamethason 3 x 1 amp

Gentamycin 2 x 1 amp

Kenalog zalf

Paracetamol

Curcuma 3 x 2 tab

Cotrimoxazole 2 x 2 tab

Irigasi mata

GV dengan Nacl 0,9%

H202 ear drop 4 x 6 gtt16/09/13 T: 100/70 mmHg

N: 76x/mntS: 36,4 C

Ur: 46 mg/dlCr: 0,6 mg/dl

Anti HIVReagen 1: ReaktifReagen 2: ReaktifReagen 3: Reaktif

Dexamethason 3 x 1 amp

Gentamycin 2 x 1 amp

Kenalog zalf

Paracetamol

Curcuma 3 x 2 tab

Cotrimoxazole 2 x 2 tab

Irigasi mata

GV dengan Nacl 0,9%

H202 ear drop 4 x 6 gtt

17/09/13 T: 100/70 mmHgN: 80x/mntS: 36 C

Dexamethason 3 x 1 amp

Gentamycin 2 x 1 amp

Kenalog zalf

Page 6: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

BAB II

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ tubuh terluar yang membatasi lingkungan hidup manusia. Luas

kulit orang dewasa 1,5m2 dengan berat kira – kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ

esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit adalah organ

kompleks, elastis, sensitif serta bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan

bergantung pada lokasi tubuh.

2.1.1 Anatomi Kulit

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama:

1. Lapisan Epidermis

a. Stratum Korneum (lapisan tanduk)

Merupakan lapisan terluar yang terdiri atas beberapa sel gepeng yang mati, tidak berinti

dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).

b. Stratum Lusidum

Merupakan lapisan sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi

protein yang disebut eleidin.

c. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)

Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti

diantaranya. Butiran kasar ini terdiri atas keratohialin. Stratum granulosum tampak jelas di

telapak tangan dan telapak kaki

Page 7: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

d. Stratum Spinosum (Stratum Malphigi)

Disebut juga prickle cell layer, terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal

yang besarnya berbeda –beda karena ada proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena

banyak mengandung glikogen dan intinya berada di tengah. Sel ini semakin dekat ke

permukaannya makin gepeng bentuknya. Di antara sel sel nya terdapat intercellular

bridges yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Di antara sel stratum

spinosum terdapat sel Langerhans.

e. Stratum Basale

Terdiri atas sel berbentuk kubus yang tersusn vertikal pada perbatasan dermo – epidermal

berbaris seperti pagar. Merupakan lapisan epidermis terbawah. Sel basal ini mengadakan

mitosis dan berfungsi reproduktif. Terdiri atas 2 jenis sel:

Sel berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, berhubungan

antara satu dengan yang lain

Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel berwarna muda, dengan

sitoplasma basofilik dan inti gelap dan mengandung butiran pigmen (melanosomes)

2. Lapisan Dermis (korium, kutis vera)

Merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal dari epidermis.

Lapisan ini terdiri atas lapisan elastic dna fibrosa padat dengan elemen selular dan folikel

rambut. Dibagi menjadi 2 bagian:

a. Pars Papilare

Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah

b. Pars retikulare

Page 8: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Bagian bawah yang menonjol kearah subkutan. Terdiri atas serabut penunjang seperti

kolagen, elastin dan retikulin. Matriks lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat

dan kondroitin sulfat, serta terdapat fibroblast yang merupakan pembentuk serabut

kolagen. Kolagen muda bersifat lentur dan dengan bertambahnya usia menjadi kurang

larut sehingga semakin stabil. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan

mudah mengembang

3. Lapisan Subkutis (Hipodermis)

Tidak ada batas tegas yang membatasi lapisan dermis dengan subkutis. Lapisan subkemak

merupakan sel bulat. Besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasmautis ditandai dengan

adanya jaringan ikat longgar berisi sel jaringan lemak. Sel l.

Sel sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula.

Lapisan sel lemak, yang disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan makanan.

Pada lapisan ini terdapat ujung saraf tepi, ujung pembuluh darah dan getah bening.

Vaskularisasi pada kulit diatur oleh pleksus superfisial (di bagian atas dermis) dan pleksus

profunda (di subkutis).

2.1.2 Adneksa Kulit

Adneksa kulit terdiri atas kelenjar kulit, rambut dan kuku:

1. Kelenjar Kulit, berada di lapisan dermis dan terdiri atas:

a. Kelenjar keringat

Terdapat 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin dan kelenjar apokrin. Kelenjar

ekrin berbentuk kecil, letaknya dangkal di dermis dengan sekret yang encer. Saluran

kelenjar ini berbentuk spiral dan terdapat pada seluruh permukaan kulit, terbanyak di

Page 9: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

telapak tangan dan kaki, dahi dan aksila. Sekresinya dipengaruhi saraf kolinergik, faktor

panas dan stress emosional. Kelenjar apokrin berukuran lebih besar, terletak lebih dalam

dengan sekret yang kental. Sekresinya dipengaruhi oleh kelenjar adrenergik. Dapat

ditemukan di aksila, areola mamae, pubis, labia minora dan saluran telinga luar.

b. Kelenjar palit (Glandula Sebasea)

Terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di telapak tangan dan kaki. Disebut

juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen. Sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi

sel – sel kelenjar. Kelenjar ini biasanya berada di samping akar rambut dan muaranya

terdapat di lumen folikel rambut. Sekresinya dipengaruhi oleh hormone androgen.

2. Kuku

Merupakan bagian terminal lapisan tanduk yang menebal. Bagian kuku yang terbenam

dalam kulit jari disebut nail root. Bagian yang terbuka di atas dasar jaringan lunak kulit

pada ujung jari disebut nail plate. Kuku tumbuh dari nail root dengan kecepatan tumbuh

kira –kira 1 mm per minggu. Sisi kuku agak mencekung membentuk nail groove. Kulit

tipis yang menutupi kuku di bagian proksimal disebut eponikium, sedangkan kulit yang

ditutupi bagian kuku bebas disebut hiponikium.

3. Rambut

Terdiri atas akar rambut, yaitu bagian yang terbenam dalam kulit, dan batang rambut,

bagian yang berada di luar kulit. Rambut tumbuh secara siklik, pada fase anagen atau

pertumbuhan berlangsung selama 2 – 6 tahun dengan kecepatan pertumbuhan 0,35 mm per

hari. Fase telogen (istirahat) berlangsung selama beberapa bulan. Diantaranya terdapat fase

Page 10: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

katagen (involusi temporer). Pada satu saat 85% dari seluruh rambut mengalami fase

anagen dan sisanya mengalami fase telogen.

2.1.3 Fisiologi Kulit

Kulit memiliki peranan yang sangat penting, selain fungsi utamanya untuk menjamin

kelangsungan hidup. Fungsi utama kulit mencakup fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi,

persepsi, pengaturan suhu tubuh, pembentukan pigmen, pembentukan pigmen D dan

keratinisasi.

1. Fungsi Proteksi

Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik ataupun mekanik seperti

tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi seperti zat kimia khususnya yang bersifat

iritan; gangguan bersifat panas seperti radiasi, sengatan sinar ultra violet; maupun

gangguan infeksi luar terutama bakteri dan jamur. Fungsi tersebut dengan adanya bantalan

lemak, tebal lapisan kulit dan serabut jaringan penunjang.

Melanosit ikut berperan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari. Proteksi

rangsangan kimia terjadi dengan adanya sifat stratum korneum yang impermeable terhadap

berbagai zat kimia dan air, terdapat pula lapisan keasaman kulit yang terbentuk dari

ekskresi keringat dan sebum menyebabkan pH kulit berkisar pada 5 – 6,5 yang melindungi

kontak zat kimia dengan kulit maupun dari infeksi. Proses keratinisasi juga berperan

sebagai sawar mekanis karena sel mati akan melepaskan diri secara berkala.

2. Fungsi Absorpsi

Page 11: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban,

metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antar sel,

menembus sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar.

3. Fungsi Ekskresi

Kelenjar kulit mengeluarkan zat yang tidak berguna lagi ataupun sisa metabolism dalam

tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan amonia. Sebum yang diproduksi akan melindungi

kulit untuk menahan evaporasi yang berlebihan. Produk kelenjar lemak dan keringat di

kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 – 6,5.

4. Fungsi Persepsi

Kulit mengandung ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Pada rangsangan panas

yang berperan adalah badan Ruffini di dermis dan subkutis. Sedangkan terhadap

rangsangan dingin yang berperan adalah badan Krause yang terletak di dermis. Badan

Meissner terletak di papilla dermis dan badan Merkel Ranvier di epidermis berperan

terhadap rabaan, sedangkan badan Paccini di epidermis berperan terhadap tekanan.

5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)

Kulit melakukan peranan ini dengan mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh

darah kulit. Tonus vaskular dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin).

6. Fungsi Pembentukan Pigmen

Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal dan berasal dari rigi saraf.

Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosome) menentukan

warna kulit ras maupun individu. Sel ini disebut juga clear cell , berbentuk bulat dna

Page 12: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

merupakan sel dendrit. Melanosom dibentuk oleh alat golgi dengan bantuan enzim

tirosinase, ion Cu dan O2. Pajanan terhadap sinar matahari mempengaruhi produksi

melanosom.

7. Fungsi Keratinisasi

Lapisan epidermis dewasa memiliki 3 jenis sel utama yaitu keratinosit, sel Langerhans, dan

melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal akan mengadakan pembelahan, sel basal yang

lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum, semakin ke atas

menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Semakin lama inti akan

menghilang dna keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung

normal selama 14 – 21 hari dan berfungsi memberikan perlindungan bagi kulit terhadap

infeksi secara mekanis fisiologik.

8. Fungsi Pembentukan Vitamin D

Terjadi dengan adanya perubahan 7 dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari.

Namun pembentukan ini tidak mencukupi kebutuhan tubuh akan vitamin D, sehingga

pemberian vitamin D sistemik tetap diperlukan

2.2 Sindrom Stevens Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolisis

2.2.1 Definisi

Sindrom Stevens Johnson (Stevens-Johnson Syndrome = SJS) dan Toksik Epidermal

Nekrolisis (TEN) merupakan episode reaksi mukokutan akut yang paling sering dicetuskan

oleh obat, dan terkadang oleh infeksi dan neoplasma. Keduanya memiliki hubungan yang

sangat erat atau identik , dan hanya dibedakan oleh luasnya area permukaan tubuh (BSA=

Page 13: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Body Surface Area) yang terkena. Sindrom Stevens Johnson dan Toksik Epidermal

Nekrolisis ditandai oleh makula ireguler (lesi target atipikal) yang cepat meluas serta

keterlibatan lebih dari 1 mukosa (oral, konjungtiva, dan anogenital). Pada TEN terdapat

eritema yang luas, nekrosis dan lepasnya epidermis yang menyerupai luka bakar. Gejala

konstitusional dan keterlibatan organ dalam sering menyertai penyakit ini. Pada prinsipnya

SJS dan TEN merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Angka kematian pada

toksik epidermal nekrolisis ditemukan cukup signifikan.

Dalam Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS dr. Hasan Sadikin

tahun 2005, Sindrom Stevens Johnson didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala yang

timbul secara akut mengenai kulit dan mukosa mulut, mata dan genital disertai gejala

konstitusi, yang bervariasi dari ringan sampai berat dan dapat menimbulkan kematian.

Sedangkan Toksik Epidermal Nekrolisis didefinisikan sebagai penyakit kulit yang bersifat

akut, ditandai dengan adanya epidermolisis, dapat disertai dengan kelainan di selaput

lendir. Saat ini sulit untuk menarik suatu garis tegas untuk membedakan SJS-TEN dengan

bentuk yang lebih berat dari eritema multiforme.

2.2.2 Klasifikasi

Sindrom Stevens Johnson- bentuk minor dari Toksik Epidermal Nekrolisis

(TEN) yang mengenai < 10% area permukaan tubuh

(Body Surface Area= BSA)

Overlapping SJS-TEN, lepasnya epidermis pada 10-30% BSA

TEN, lepasnya epidermis > 30 % BSA

2.2.3 Insidensi dan Epidemiologi

Page 14: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Insidensi SJS-TEN di Eropa dan Amerika Serikat diperkirakan 2-3 kasus setiap satu juta

populasi per tahun. Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis terjadi di

seluruh dunia dan mempengaruhi wanita dua kali lebih banyak dari pria. Kelainan ini

muncul paling sering pada orang dewasa, meskipun dapat pula terjadi pada anak-anak.

Insidensi Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis meningkat hampir tiga

kali lipat pada populasi yang terinfeksi HIV.

2.2.4 Etiologi

Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis memiliki pola reaksi polietiologi.

Namun obat-obatan merupakan faktor pencetus utama, meliputi 80-95% pasien TEN dan

lebih dari 50% pada pasien SJS. Hanya sebagian kecil kasus SJS-TEN yang dihubungkan

dengan infeksi, vaksinasi, atau transplantasi. Pada 5% pasien SJS-TEN, tidak ditemukan

riwayat obat maupun faktor lain yang berpotensi sebagai pencetusnya (idiopatik).

Meskipun obat-obatan pencetus terjadinya Sindrom Stevens Johnson-Toksik

Epidermal Nekrolisis bervariasi di berbagai Negara serta sejalan dengan waktu, namun

ditemukan tiga golongan obat yang paling sering menjadi pencetus SJS-TEN pada

berbagai survei dan studi, yaitu: antibiotik golongan sulfa, antikonvulsan, dan anti

inflamasi non-steroid (NSAIDs) terutama derivate oxicam dan diklofenak. Obat yang juga

diketahui secara signifikan dapat menimbulkan SJS namun dengan risiko yang lebih

rendah adalah antibiotic non sulfa seperti aminopenicillins, quinolone, cephalosporin dan

tetrasiklin. Antimalaria dan alopurinol berada pada urutan berikutnya.

Obat-obatan sulfa, terutama long-acting sulfonamides dan kotrimoksazol paling

sering mencetuskan SJS-TEN, dengan estimasi kejadian antara 1 sampai 10 kasus per

Page 15: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

100.000 pengguna, dengan resiko relative 172. Obat antikonvulsan seperti fenitoin,

karbamazepin, dan fenobarbital memiliki resiko relative antara 11-15. Karbamazepin

diperkirakan menjadi pencetus paling sering pada SJS-TEN (14 per 100.000 pengguna).

Hidantoin dianggap sebagai penyebab utama terjadinya TEN pada anak-anak.

Alopurinol dan klormezanon merupakan penyebab SJS-TEN yang penting di

negara maju, sedangkan obat antituberkulosis memegang peranan penting di negara

berkembang. Beberapa tahun terakhir, obat antiretrovirus, seperti nevirapine dan protease

inhibitor muncul sebagai penyebab penting SJS-TEN.

Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis memiliki kecenderungan

terjadi pada pasien dengan penyakit multipel, terutama yang mengaktivasi sistem imun,

seperti penyakit kolagen vascular, neoplasia dan limfoma, dan penyakit graft-versus-host,

bahkan dapat pula mengikuti vaksinasi.

Infeksi memegang peran yang kurang penting pada etiologi SJS-TEN. Beberapa

kasus yang telah didokumentasikan ditemukan Mycoplasma pneumoniae yang diisolasi

dari lesi SJS-TEN. Beberapa kasus lainnya dihubungkan dengan histoplasmosis, infeksi

adenovirus, hepatitis A, infeksi mononukleosis, coxsackievirus B5, virus varicella-zoster,

septicemia gram negative, yersiniosis, bahkan sebagai reaksi ekstrem dari acute graft-

versus-host disease paska transplantasi organ. Identifikasi agen pencetus didapatkan

terutama dari anamnesa, tes kulit serta tes in vitro biasanya tidak berguna.

2.2.5 Patogenesis

Patomekanisme dari Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis hanya

dipahami sebagian, namun dipercaya diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II

sitolitik menurut Coomb dan Gel. Pada hal ini yang terjadi adalah penyebaran apoptosis

Page 16: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

meluas dari keratinosit yang terangsang oleh reaksi hipersensitivitas cell-mediated

cytotoxic. Seperti pada eritema multiforme, SJS-TEN merupakan reaksi imunitas sitotoksik

sehingga terjadi destruksi pada keratinosit yang mengekspresikan antigen asing. Interval

antara paparan dan onset penyakit (1-45 hari, rata-rata 14 hari), yang cenderung lebih

singkat pada paparan berulang, juga menunjukkan adanya suatu patogenesis yang

berhubungan dengan imunitas.

Aktivasi sel T yang spesifik terhadap obat (termasuk CD4+ dan CD8+) ditemukan

in vitro pada sel mononuklear darah tepi dari pasien dengan erupsi obat bulosa, bersamaan

dengan peningkatan produksi interleukin-5 (IL-5) dan sitokin lainnya. Sel limfosit memori

CD4+ tampak mendominasi sel mononuklear dermal, sedangkan sel sitotoksik CD8+

banyak ditemukan pada epidermis. Pada eritema multiforme dan SJS-TEN keratinosit

epidermal mengekspresikan ICAM-1 dan antigen MHC klas II.

Sel inflamasi pada SJS-TEN mengandung makrofag teraktivasi dan faktor XIII+

dendrosit dalam jumlah yang besar. Selain itu, terdapat ekspresi yang sangat berlebih dari

TNF-α pada SJS-TEN. Pada cairan bula pasien dengan TEN didapatkan limfosit CD8+

yang aktif dan jumlah TNF-α yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa TNF-α memegang

peranan penting dalam destruksi epidermal dengan menginduksi secara langsung

apoptosis, dengan menarik sel-sel efektor sitotosik, atau keduanya. TNF-α dapat berasal

dari makrofag dan keratinosit, serta keduanya dapat saling menstimulasi. Ekspresi TNF-α

juga distimulasi oleh faktor fisik, seperti sinar UV dan sinar X, sehingga dapat

memperberat SJS-TEN yang diinduksi obat.

Sifat antigen yang mendorong reaksi sitotoksik imunitas seluler tidak begitu

dipahami. Terdapat pendapat bahwa obat-obatan atau metabolitnya berperan sebagai

hapten dan terikat pada keratinosit sebagai suatu antigen. Peptida hasil modifikasi obat

dipresentasikan kepada MHC I dan MHC II. Adanya defek pada sistem detoksifikasi (pada

Page 17: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

hati dan kulit) metabolisme obat aromatik oleh sitokrom P450 akan menyebabkan

terbentuknya hidroksilamin reaktif (dari obat-obatan sulfonamid) atau arene oksida (dari

antikonvulsan aromatik) yang terikat pada komponen sel. Hal ini akan menghasilkan

toksisitas langsung atau perubahan pada komponen antigenik keratinosit.

Pada penderita HIV, terjadi kekurangan glutation, yang merupakan scavenger

komponen toksik. Jumlah mRNA yang tinggi , yang dapat menginduksi nitrit oksida

sintase telah dideteksi pada infiltrat inflamasi SJS-TEN. Nitrit oksida dikenal dapat

menginduksi apoptosis dan nekrosis, sehingga diperkirakan memiliki peran pada

patogenesis SJS-TEN.

Autoantibodi terhadap desmoplakin I dan II ditemukan pada sebagian pasien SJS.

Pada kasus ini terjadi akantolisis suprabasal, namun manisfestasi klinis lainnya tidak

berbeda dengan pasien tanpa autoantibodi ini.

2.2.6 Manifestasi Klinis

Paling sedikit setengah dari pasien, SJS-TEN diawali dengan gejala prodromal nonspesifik

yang berlangsung 1-14 hari. Gejala tersebut antara lain berupa demam, lesi, nyeri kepala,

rinitis, batuk, sakit tenggorokan, sakit dada, muntah, diare, mialgia, dan sakit sendi. Gejala

ini biasanya mengawali 1 – 3 hari sebelum tampak lesi mukokutan. Pasien sering merasa

sakit dan mendapatkan pengobatan antibiotik dan anti inflamasi yang kemudian

menyebabkan kesulitan dalam menentukan faktor penyebab. Onset terjadi tiba-tiba.

Pada SSJ dapat tampak trias kelainan berupa kelainan mata, kelainan selaput lendir

di orifisium dan kelainan kulit. Kelainan mata ditemukan pada 80% kasus, dimana yang

tersering adalah konjungtivitis dan kataralis. Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis

purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Sedangkan pada

Page 18: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

kelainan selaput lendir di orifisium, sebanyak 100% ditemukan pada mukosa mulut,

kemudian pada alat genital dan lebih jarang lagi ditemukan pada lubang hidung dan anus.

Kelainan yang tampak biasanya berupa vesikel dan bula cepat pecah yang menjadi erosi,

ekskoriasi serta krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat tampak pseudomembran.

Lesi kulit berupa makula eritema, sering tersusun morbiliform, yang muncul

pertama kali pada wajah, leher, dan badan, kemudian dapat menyebar ke ekstrimitas dan

bagian tubuh lain. Pada lesi individu terdapat bagian tengah yang pucat membentuk sebuah

lesi target, atau dapat pula berupa makula pucat bulat, ireguler berbatas tegas. Terkadang

dapat pula berupa bula yang kendur, atau pun hemoragik dengan tanda Nikolsky positif.

Lesi kemudian bertambah dalam jumlah dan ukuran, biasanya mencapai manifestasi

maksimal pada hari ke 4-5.

Gambar 1. SJS pada kulit (trunk)

Gambar 2. SJS pada wajah dan bibir

Page 19: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Kecenderungan lesi menjadi konfluens biasanya terbatas pada lokasi predileksi pada SJS,

dan dapat menyebar luas pada TEN. Pada area konfluens, epidermis menjadi longgar dan

mudah terlepaskan dengan trauma friksi minimal. Bentuk bula yang besar, atap bula

dapat ,menjadi nekrotik dan mudah pecah. Pada kasus TEN yang berat, dapat terjadi

pelepasan kuku jari, serta rontoknya alis dan bulu mata. Lesi pada mukosa terjadi

bersamaan bahkan terkadang mendahului terjadinya lesi kulit.

Gambar 3. TEN

TEN tanpa spot. Pada sebagian kecil kasus, TEN tidak diawali dengan lesi konfluens SJS,

namun timbul sebagai eritema difus yang berbatas tidak tegas. Membran mukosa terkadang

tidak dipengaruhi. Manifestasi seperti ini terjadi pada wanita usia lanjut. Sebagian besar

kasus TEN yang disebabkan oleh graft-versus-host reaction meampilkan manifestasi

demikian, dan memiliki prognosis yang lebih buruk dari pada SJS-TEN.

Gejala ekstrakutan. Gejala konstitusional SJS-TEN di antaranya demam, nyeri sendi

serta kelemahan. Keterlibatan organ dalam jarang terjadi pada SJS, namun dapat

bermanifestasi berat pada TEN, melibatkan traktus respiratorius dan gastrointestinal.

Komplikasi pulmonal tampak pada 25% pasien dengan gejala dyspneu, hipersekresi

Page 20: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

bronkial, hipoksemia ataupun hemoptisis. Komplikasi gastrointestinal dapat muncul

sebagai nekrosis dari esofagus, usus kecil maupun kolon dan bermanifestasi sebagai diare,

melena maupun perforasi usus. Komplikasi renal dapat tampak sebagai proteinuria,

microalbuminuria, hematuria dan azotemia.

Gambar 4. SJS pada mukosa oral

Komplikasi lanjut. Lesi pada kulit menyembuh dengan hiper/ hipopigmentasi. Jaringan

parut jarang terjadi kecuali pada kasus yang luas dengan infeksi sekunder, dimana

kontraktur, alopecia, dan anonychia dapat terjadi. Jaringan parut khas dan sering terjadi

pada komplikasi lanjut dari lesi pada mukosa.

2.2.7 Perjalanan Penyakit

1. Fase progresi, berlangsung 4-5 hari

2. Fase plateau, dpat berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Pada fase ini

komplikasi sistemik biasanya terjadi

3. Fase regresi, epidermis yang terlepas berubah menjadi lembaran kering berwarna

hitam.

Page 21: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

4. Reepitelialisasi, berlangsung beberapa minggu.

2.2.8 Patologi

Nekrosis pada epidermis sangat mencolok pada SJS-TEN. Injuri epidermal tampak

sebagai nekrosis sel satelit pada fase awal yang berlanjut pada nekrosis eosinofilik yang

luas pada lapisan basal dan suprabasal, terpisahnya subepidermal mungkin terlihat. Pada

TEN, terjadi nekrosis pada seluruh ketebalan epidermis. Pada SJS-TEN yang berat

nekrosis fibrinoid yang luas dapat terjadi pada beberapa organ dalam.

2.2.9 Pemeriksaan Laboratorium

Peningkatan lanju endap darah dapat terjadi pada pasien SJS-TEN, yang disertai

leukosistosis sedang, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, mikroalbuminuria,

hipoproteinemia, peningkatan enzim transaminase hati, dan anemia. Pada fase akut, dapat

terjadi penurunan sementara limfosit CD4+ di perifer, yang disertai penurunan

sitotoksisitas NK-cell dan allogenik, yang akan kembali normal dalam waktu 7-10 hari.

Page 22: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

2.2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan Toksik Epidermal

Nekrolisis (TEN)

SJS TEN

Eritema multiforme Staphylococcal scalded-skin syndrome

Acute graft-versus-host disease Generalized fixed drug eruption

Ampicillin rash Burns, cauterization, etc.

Fixed drug eruption Toxic erythroderma

2.2.11 Penatalaksanaan

Pasien yang datang dengan SJS-TEN harus dirawat inap karena diperlukannya

perawatan suportif dan pengawasan yang ketat. Pada akut SJS/TEN, hal terpenting yang

dilakukan adalah diagnosis secara cepat dan menghentikan obat pencetusnya. Sedapat

mungkin, pasien mendapat kan perawatan pada intermediate atau intensive care unit.

Selanjutnya perlu dilakukan manajemen penggantian cairan dengan IV fluid secara

cepat dan perbaikan elektrolit seperti pada pasien luka bakar derajat III. Pemberian

glukokortikoid pada awal timbulnya gejala dianggap sangat berperan dalam menurunkan

angka morbiditas dan mortalitas, begitu pula dengan pemberian IV immunoglobulin dosis

tinggi dianggap dapat memperlambat progresi dari SJS. Namun akhir – akhir ini pemberian

glukokortikoid dan IV Immunoglobulin masih sering diperdebatkan. Lakukan suction

secara berkala untuk menghindari pneumonitis aspirasi. Diagnosa dan tangani segera

komplikasi jika terdapat sepsis.

Page 23: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Penatalaksanaan pasien dengan SJS-TEN terletak pada tiga hal:

1. Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus

2. Terapi aktif

3. Terapi suportif

Eliminasi faktor pencetus. Obat yang menjadi penyebab atau pencetus harus segera

diidentifikasi dan dihentikan pemakaiannya. Obat yang paling mungkin menjadi penyebab

adalah obat yang dikonsumsi selama 8 minggu terakhir dan dikenal sebagai risk drug

untuk SJS-TEN.

Supresi aktif terhadap progresifitas penyakit. Beberapa pengobatan anti infalamasi dan

imunosupresan telah dinyatakan memiliki efek menguntungkan bagi pasien SJS-TEN.

Beberapa obat yang digunakan untuk mensupresi progresifitas SJS-TEN antara lain:

1. Glukokortikoid, diberikan dengan dosis inisial yang lebih tingi. Penggunaan

kortikosteroid dapat menggunakan dexamethasone secara intravena dengan dosis 4 – 6 x 5

mg sehari kemudian dan dosis lanjutan 1-2 mg/kg / hari metil prednisolon, secara oral

diturunkan secara cepat. Penurunan dosis bertahap diindikasikan apabila terdapat

perbaikan.

2. Imunoglobulin, IVIG (Intravenous Immunoglobulin) mengandung antibodi

terhadap ligan Fas, yang mampu mencegah apoptosis secara in vitro.

3. Plasma pheresis dan hemodialisis, saat ini tidak dianjurkan dilakukan.

4. Siklofosfamid, merupakan inhibitor cell- mediated cytotoxicity. Obat ini juga

dilaporkan pernah menjadi penyebab beberapa kasus SJS-TEN.

5. Siklosporin, berinteraksi dengan metabolisme TNF-α.

6. N-Asetilsistein, menghambat cytokine-mediated immune reactions (TNF-α)

Page 24: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Pemeliharaan keseimbangan hemodinamika, protein dan hemostasis elektrolit.

Patomekanisme SJS-TEN berbeda dengan luka bakar. Perbedaan utama terletak pada tidak

adanya kerusakan vaskuler pada SJS-TEN, sehingga edema dan kehilangan cairan ke

jaringan interstisial bukan merupakan hal yang menonjol. Kehilangan air pada SJS-TEN

terutama terjadi karena evaporasi dan erosi yang terjadi paling tinggi saat fase puncak.

Asidosis metabolik bukan merupakan kejadian yang umum. Periksakan elektrolit darah

seminggu sekali, pada hipokalemia dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per hari. Infus dapat

pula diberikan dextrose 5%, Nacl 9% dan Laktat Ringer yang berbanding 1:1:1 dalam 1

labu, diberikan 8 jam sekali.

Pengobatan antibiotik. Telah disepakati secara universal bahwa infeksi merupakan

ancaman utama pada pasien dengan SJS-TEN. Pilihlah yang jarang menyebabkan alergi

dengan spektrum luas, bersifat bakterisidal dan paling sedikit risiko nefrotoksik.

Contohnya seperti ciproflocaxin 2 x 400 mg IV, Clindamycin 2 x 600 mg IV ataupun

Ceftriaxone 1 X 2 gr IV.

Terapi suportif. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah nutrisi. Pasien biasanya sukar

menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan. Untuk mengurangi efek samping

kortikosteroid yang bersifat katabolik, berikan diet miskin garam dan tinggi protein. Dapat

pula dilakukan pemberian transfusi darah sebanyak 300cc selama 2 hari sebagai

imunorestorasi pada pasien tanpa perbaikan setelah 2 hari medikasi dengan kortikosteroid,

jika ditemukan adanya purpura generalisata atau terdapat leukopenia.

Terapi topikal tidak sepenting terapia sistemik, pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat

diberikan krim sulfodiazin perak ataupun steroid dengan antibiotik topikal. Untuk lesi pada

mulut dapat diberikan betadine gargle, dan emolien untuk krusta pada mulut. Lesi pada

mata dapat diberikan antibiotik salep seperti eritromisin.

Page 25: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

2.2.12 Prognosis

Prognosis untuk pasien SJS-TEN tergantung beratnya penyakit serta kualitas

perawatan medis. Angka kematian rendah pada pasien SJS, sementara pada TEN mencapai

5-50%. Saat ini telah diajukan severity-of-illness score untuk TEN, yang

mengidentifikasikan tujuh faktor resiko independen:

1. Usia > 40 tahun

2. Keganasan

3. Takikardi, > 120/menit

4. Pelepasan epidermis inisial > 10 %

5. Tingkat Urea serum > 10 mmol/ L

6. Tingkat glukosa serum > 14 mmol/ L

7. Tingkat bikarbonat < 20 mmol/ L

Kasus yang fatal biasanya terjadi pada sepsis (oleh Staphylococcus aureus, Pseudomonas,

Candida) , pneumonia, pendarahan gastrointestinal, infark miokardium.

Page 26: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

BAB III

DISKUSI

No Pertanyaan Jawaban

1 Kapankah seorang pasien dengan

ulkus kornea boleh diberikan

steroid?

Pemberian steroid tidak mutlak pada pasien

dengan ulkus kornea.

Pengobatan steroid boleh diberikan untuk

meredakan peradangan. Jika ulkus kornea masih

di bagian epitel, tidak perlu diberikan steroid,

namun jika ulkus kornea sudah mencapai bagian

stroma atau sudah luas dan melibatkan geografik,

Page 27: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

baru boleh diberikan steroid.

Pada pasien dengan ulkus kornea e.c. jamur tidak

boleh diberikan steroid.

2 Bagaimana cara mengetahui ulkus

kornea yang disebabkan oleh

acanthamoeba?

Ada riwayat lagophtalmus, pemakaian lensa

kontak, dan riwayat herpes.

Ciri khas ulkus kornea ec Acanthamoeba

berbentuk ring.

3 Apa terapi yang sebaiknya diberikan

pada pasien dengan lagophtalmus,

terutama yang mengalami penurunan

kesadaran?

Sebaiknya diberikan salep mata. Pemberian

kassa lembab pada pasien lagophtalmus hanya

untuk mencegah penguapan, tapi tidak terlalu

membantu.

4 Apakah ada reaksi imun pada

transplantasi kornea (keratoplasti)

dan transplantasi membran amnion?

Pada 50% pasien yang dilakukan transplantasi

kornea sering terjadi penolakan dalam 1–2

tahun. Hal itu terjadi karena kornea yang

dijadikan transplantasi biasanya kornea dari

orang luar negeri yang berbeda ras. Maka dari

itu, sebaiknya donor kornea berasal dari 1

keluarga.

Transplantasi dengan membran amnion lebih

bagus, memiliki efek antiradang, dan epitelisasi

yang baik. Biasanya transplantasi dengan amnion

dalam 1-2 bulan bisa jernih. Namun, tidak semua

transplantasi dengan amnion bisa menjadi bagus.

5 Apakah pengobatan ulkus kornea

bisa dengan pengobatan medikasi

Untuk pasien dengan ulkus kornea pertama kali

datang dilakukan dengan pengobatan medikasi.

Page 28: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

saja? Jika setelah diobati tidak ada perubahan,

dilakukan tes fistel untuk melihat apakah ulkus

sudah mencapai stroma (fluoresen + jika ulkus

sudah mencapai stroma).

Antibiotik kurang adekuat juga menjadi salah

satu pertimbangan jika ulkus tidak membaik.

6 Apa saja komplikasi dari ulkus

kornea?

Komplikasi dari ulkus kornea:

Endophtalmitis

Descemetocele

Perforasi

7 Bagaimana prognosis dari ulkus

kornea?

Tergantung besar atau tidaknya ulkus. Jika dalam

1-2 minggu pengobatan dengan medikasi tidak

ada perubahan, maka disarankan operasi

transplantasi dengan membran amnion baru

kemudian dilakukan keratoplasti.

Page 29: Presentasi Kasus GawatDarurat - SJS

Daftar Pustaka

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th

edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158.

2. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta. 2007. p:163-165.

3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:

Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

4. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

5. Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. 2008.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Ed. USA: McGraw - Hill.

6. Gawkrodger, D. 2003. Dermatology: An Illustrated Colour Text. 3rd Ed. UK:

Churchill Livingstone.

7. Wolff, K., Johnson, R. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology. 6th Ed. USA: McGraw - Hill.