tugas makalah sjs
DESCRIPTION
DDFDFGHJHHJTRANSCRIPT
Diskusi kasus
Steven Johnson Syndrom
oleh :
Annisa Nur Fadlilah
G0007187
KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada saat ini banyak dijumpai kasus-kasus yang menyangkut erupsi kulit.
Hal mana mungkin berhubungan dengan meningkatnya pemakaian obat-obatan
baik secara sistemik maupun secara topikal. Diantar penyakit kulit yang
menyangkut erupsi kulit ada yang disebut penyakit kulit reaktif. Penyakit yang
termasuk golongan ini dicurigai sebagai reaksi baikyang bersifat hipersensitif
maupun toksikasi dari kuman-kuman penyakit atau obat-obat (Sutama dan
Pohan, 1986). Penyakit kulit reaktif ini diantaranya adalah Eritema Multiforme,
yang untuk pertama kalinya dilaporkan oleh Hebra pada tahun 1866, sebagai
sindroma kutaneus tingkat sedang yang klasik, disebut Eritema Multiforme Minor,
dengan tanda klasik, dimana erpsi dijumpai pada kulit yang berupa proses
radang yang eritem dengan gambaran khas, dengan ujud kelainan kulit berupa
makula eritem bentuk iris atau “target lesion” (Moschella, 1975).
Pada tahun 1922 Stevens dan Johnson melaporkan untuk pertama
kalinya suatu bentuk Eritema Multiforme akut dengan diikuti kelainan bentuk bula
dan disertai manifestasi pada mata (Domonkos., et al, 1982). Sejak saat itu
Eritema Multiforme dengan gejala bula pada kulit yang disertai erupsi pada
selaput lendir yang multipel dengan gangguan sistemik disebut Sindroma
Stevens-Johnson (SSJ) atau Eritema Multiforme Mayor, bahkan masih banyak
nama-nama lain (Coben, 1982).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Definisi SSJ tidak lepas dari definisi Eritema Multiform. Ada pula yang
mengatakan bahwa SSJ merupakan Eritema Multiforme tipe bulosa (Peter
dan Peter, 1979).
Eritema Multiforme adalah sindroma akut dan radang yang sering
kambuh dengan gejala pada kulit berupa lesi bentuk iris Domonkos., et al,
1982).
SSJ merupakan erupsi mendadak pada kulit dan selaput lendir dengan
gambaran khas berupa vesikula atau bula yang dikelilingi halo kemerahan
tersebar secara simetris dan disertai keadaan umum yang tampak berat
dengan suhu badan yang tinggi (White, 1985).
B. ETIOLOGI
Secara pasti etiologi SSJ belum diketahui. Banyak hal yang
dikemukakan diduga sebagai penyebab atau erat hubungannya dengan SSJ
ini adalah :
1. Infeksi misalnya : Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae,
Streptokokus, Yersinia, Tuberculosis, Histoplasmosis
2. Penyakit kolagen
3. Keganasan
4. Vaksinasi
5. Dermatitis kontak alergi
6. Pengobatan dengan sinar X yang kuat
Kerentanan terhadap obat-obat , terutama golongan antipiretika,
analgetika, sulfonamid, antikonvulsi, hipnotisedativa, penisilin dsb (Sutama
dan Pohan, 1986).
Dalam hal ini yang sering dilaporkan sebagai faktor timbulnya SSJ adalah
obat-obatan (Soedarto, 1986).
3
C. PATOGENESIS
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi alergi
tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-
antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitiasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga
terjadi reaksi radang (Mochtar, 1999).
D. INSIDENSI
Sindroma ini lebih banyak dijumpai pada anak dan dewasa muda
(tersering pada umur 20-40 tahun), tetapi dapat terjadi pada semua umur.
Belum ada kepastian apakah insidensinya lebih banyak pada wanita atau pria
(Coben, 1982).
E. GAMBARAN KLINIS
Berawal sebagai penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok. Trias
SSJ adalah :
1. Kelainan kulit berupa eritema, vesikel dan bula yang kemudian memecah
sehngga terjadi erosi yang luas. Purpura dapat terjadi dan prognosisnya
menjadi lebih buruk. Pada keadaan berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir orificium, yang tersering ialah pada mukosa mulut
(%), orificium genetalia eksterna (50 %), lubang hidung (8 %) dan anus
(4%). Lesi awal berupa vesikel di bibir, lidah dan mukosa buccal yang
kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, eksudasi, krusta kehitaman
dan pembentukan pseudomembran. Biasanya juga terjadi hipersalivasi
dan lesi dapat berulserasi. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah
krusta berwarna hitam yang tebal akibat ekskoriasi. Kelainan di mukosa
terdapat di faring, saluran nafas bagian atas, dan esofagus. Kelainan di
mulut yang hebat dan terbentuknya pseudomembran yamg berwarna
putih atau keabuan di faring dapat menyebabkan kesulitan menelan,
4
sedangkan kelainan di saluran pernafasan bagian atas dapat
menyebabkan keluhan sesak nafas.
3. Kelainan mata (80%) yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Dapat
terjadi konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis
dan iridosiklitis.
Selain kelainan tersebut dapat terjadi kelainan lain misalnya nefritis dan
onikolisis (Arif., et al, 2000).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Kadang-kadang di
dalam pemeriksaan ditemukan lekositosis, pemeriksaan fungsi hati yang
abnormal, proteinuria, dan hematuria. Diagnosis pada dasarnya terlihat dari
gambaran klinis dengan konfirmasi histopatologi (Bogard dan Sue, 2002).
G. HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme,
bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal
yang menyeluruh. Kelainan berupa :
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis
superfisial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidopik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
4. Nekrolisis sel epidermal dan kadang-kadang adnexa.
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis (Mochtar, 1999).
H. KOMPLIKASI
Sebagai komplikasi dapat terjadi bronkopneumoni, sepsis, kehilangan
cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan kebutaan
karena gangguan lakrimasi (Arif., et al, .2000).
5
I. KRITERIA DIAGNOSA
Adapun sebagai kriteria diagnosa sindrom ini adalah sebagai berikut :
1. Perjalanan penyakitnya akut.
2. Penderita biasanya anak-anak atau dewasa muda.
3. Pada anamnesa didapatkan riwayat sesuai dengan salah satu atau lebih
kemungkinan penyebab terjadinya SSJ, antara lain vaksinasi, pneumonia
atau yang paling sering penggunaan obat-obat diantaranya sulfonamid,
barbiturat, analgetika, penisilin, obat-obat topikal dan sebagainya.
4. Penyerangannya didahului demam tinggi, sakit kepala berat, malaise, dan
timbulnya stomatitis yang luas, sakit tenggorok.
5. Gambaran awal kecuali adanya lesi kulit yang khas, adanya konjungtivitis,
rhinitis, stomatitis, uretritis, dsb.
6. Letak lesi kulit simetris dapat menyebar keseluruh tubuh.
7. Lesi bentuk bula atau erosi dengan krusta, dibeberapa tempat terdapat
beberapa lesi bentuk iris.
8. Kesadaran bervariasi dari ringan sampai berat.
J. PENATALAKSANAAN
Jika keadaan umum penderita sindrom Stevens Johnson baik dan lesi
tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg sehari.
Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati
secara tepat dan cepat. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan
life-saving. Biasanya digunakan deksametason dosis permulaan 4-6 x 5 mg
sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari.
Setelah itu dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5
mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti tablet kortikosteroid.
Antibiotik yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Obat
yang memenuhi syarat tersebut misalnya ciprofloxacin 2 x 400 mg i.v dan
klindamisin 2 x 600 mg i.v sehari. Biasanya digunakan gentamicin dengan
dosis 2 x 80 mg. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet
yang miskin garam dan tinggi protein (Mochtar, 1999).
6
K. PROGNOSIS
Pada umumnya SSJ sukar diramalkan, tergantung dari berat ringannya
penyakit dan cepat tidaknya terdapat pengobatan yang adekuat (Soedarto,
1986). Dilaporkan angka kematian berkisar antara 5-15 % (Bogard dan Sue,
2002).
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. CONTOH KASUS
1. Identitas Penderita
Nama : Tn. K
Umur : 35 tahun
Berat Badan : 40 kg
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Tawangsari, Sukoharjo
Pekerjaan : Petani
2. Anamnesa
a. Keluhan utama : lepuh-lepuh pada kulit diseluruh tubuh
b. Riwayat penyakit sekarang :
Kurang lebih 7 hari yang lalu penderita merasa panas badan
dan berak cair 1 kali, tidak muntah. Penderita berobat ke mantri
kesehatan, mendapat suntikan dan kapsul. Kemudian 2 hari setelah
itu timbul bercak-bercak merah pada anggota gerak atas yang
kemudian menyebar ke seluruh tubuh, sehingga penderita
memeriksakan diri ke dokter dan mendapat kapsul berwarna kuning
dan tablet putih. Penyakit tidak bertambah baik, malah bintik-bintik
merah tadi menyebar kemuka dan seluruh tubuh timbul lepuh-lepuh
pada kulit, sedangkan pada mata dan bibir timbul keropeng, sehingga
sukar digerakkan.
c. Riwayat penyakit dahulu:
- riwayat penyakit serupa: disangkal
- riwayat hipertensi : disangkal
- riwayat alergi obat : disangkal
8
3. Status Generalis
a. Keadaan Umum: sakit sedang, gelisah, gizi cukup
b. Vital Sign : T : 120/80 mmHg
N : 80x/menit
Rr : 24x/menit
S : 37,2 C
c. Mata : CA (-), SI (-)
d. Thorax : cor dan pulmo dbn
e. Abdomen : dbn
f. Extremitas : dbn
4. Status Dermatologis
Regio generalisata tampak eritem, vesikel, bula, pus, krusta.
Regio facialis (mata) tampak hiperemis, sekret (+) dan tertuutup krusta.
Regio labialis erosif, hiperemis dan tampak vesikel.
Regio genitalia terlihat eritem, erosi, krusta.
5. Pemeriksaan Lab:
Hb : 12,9 gr/dl
Hct : 39%
AL : 7.000/mm3
AT : 170.000/ml
GD : O
Hitung Jenis : eosinofil : 10 % Neu.Segmen : 67 %
Basofil : 0 % Limfosit : 22 %
Neu. Batang : 1 % Monosit : 0 %
GDS : 105 mg/dl
6. Diagnosa : Stevens-Johnson Syndrome
B. PENANGANAN KASUS
1. Tujuan Terapi:
a. Memperbaiki keadaan umum
b. Menangani kegawatan
c. Menetralisir efek samping obat
d. Mengatur keseimbangan cairan dan nutrisi.
e. Mencegah komplikasi
9
2. Prinsip Terapi:
Tatalaksana penderita rawat inap:
a. Diet rendah garam tinggi protein.
b. Infus Dextrose 5% 20 tpm.
c. Injeksi Deksametason 5mg/6jam i.v.
d. Injeksi gentamycin 80mg/12jam i.v.
e. Kenalog in orabase Salep Triamnisolon asetonida 0,1%
f. Sofra Tulle
3. Penulisan Resep
dr.Sastro, Sp.KK
Alamat: Jl. M.T. Haryono 34, Solo
Telp: 654321
SIP : 005/90
Solo, 24 Juni 2011
R/ Infus Dextrose 5% flab No. III
Cum
Infus set No. I
Abocath no.22 No.I
S imm
_______________________________φR/ Cortidex inj. mg 5 amp No. IV
Cum
Disposible syringe cc 3 No. IV
S imm
________________________________φR/ Kenalog in orabase g 5 tube No. I
S ue
________________________________φ
10
R/ Gentamycin inj. mg 80 amp No. II
Cum
Disposible syringe cc 3 No. II
S imm
________________________________φPro: Tn. K (35 th)
DEXTROSE 5% Infus
Infus dextrose 5% termasuk pada kelompok koloid yang memiliki ukuran molekul
yang cukup besar sehingga akan tetap pada pembuluh darah, sehingga sifatnya
hipertonik yang dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Mampu menstabilkan
tekanan daarah, meningkatkan produksi urin dan mengurangi edema.
CORTIDEX®
FARMAKOLOGI :
CORTIDEX®mengandung Deksametason, suatu glu-kokortikoid sintetis yang dalam dosis kecil sudah cu-kup kuat bekerja sebagai anti-inflamasi dan anti-alergi
INDIKASI :
Semua penyakit yang dapat diobati dengan kortiko-steroid secara sistemik. Sebagai obat anti peradang-an misalnya pada artritis, untuk penyakit alergi seperti penyakit serum dan asma; untuk penyakit gangguan pada darah misalnya leukemia akut; dan penyakit-penyakit lain yang biasa menggunakan glukokortikoid.
KONTRA-INDIKASI :
Pada penderita dengan ulkus peptikum, osteoporosis, psikosis.
EFEK SAMPING :
Efek samping umumnya terjadi karena pemakaian dosis besar dan terus menerus, misalnya; ulkus pepti-kum, osteoporosis dan fraktur vertebra.
11
Kenalog in ora base biasanya digunakan pada lesi di daerah mulut.
Berfungsi untuk mengurangi edema, gatal dan nyeri pada lesi. Obat ini termasuk
pada kortikosteroid dengan kekuatan medium.
KENALOG IN ORA BASE
Tiap gramnya mengandung 1 mg (0,1%) triamcinolone acetonide dalam pasta
emolien gusi yang terdiri dari gelatin, pectin dan carboboxymethylcellulose
sodium in Plastibase (Plasticized Hydrocarbol Gel).
Kenalog in ora base biasanya digunakan pada lesi di daerah mulut.
Berfungsi untuk mengurangi edema, gatal dan nyeri pada lesi. Obat ini termasuk
pada kortikosteroid dengan kekuatan medium.
Indikasi
Diindikasikan untuk terapi adjuvan dan untuk memperbaiki gejala sementara
yang berhubungan dengan inflamasi oral dan lesi ulseratif pada trauma.
Kontraindikasi
Obat ini kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitifitas komponen
pembentuk obat. Disebabkan obat ini mengandung kortikosteroid, maka
dikontraindikasikan terhadap jamur, virus atau infeksi bakteri pada mulut dan
tenggorok.
GENTAMYCIN INJEKSI
Gentamycin injeksi ialah antibiotik aminoglikosida untuk bakteri gram
negatif. Biasanya diberikan bersamaan dengan cairan infus.
dosis
Dosis diberikan secara individu karena indek terapinya relatif sempit
Dosis umum :
o Bayi dan anak < 5 tahun : 2,5 mg/kg BB setiap 8 jam secara i.v. atau i.m.
o Anak > 5 tahun : 2 - 2,5 mg/kg BB setiap 8 jam secara i.v. atau i.m.
o Note : Usual dose yang lebih tinggi dan/atau frekuensi yang lebih tinggi (setiap 6 jam) yang diberikan pada kondisi klinik secara selektif ( cystic fibrosis) data serum level yang dibutuhkan
12
o Anak dan dewasa :
o Intratekal : 4 – 8 mg/hari
Dewasa : Diberikan secara i. v. atau i. m.
Konfensional : 1 – 2,5 mg/kg BB/ dosis setiap 8 – 12 jam untuk mendapatkan kadar puncak secara cepat pada terapi, dosis inisial yang lebih tinggi dapat diberikan dengan pertimbangan yang cermat untuk pasien jika cairan ekstraseluler meningkat (udem, syok)
Dosis tunggal : 4 – 7 mg/kg BB/dosis tunggal/hari; beberapa klinisi memberikan rekomendasi dosis tersebut untuk pasien yang fungsi ginjalnya normal.
Indikasi spesifik :`
o Bruselosis : 240 mg/hari i.m. atu 5 mg/kg BB/hari secara i. v. selama 7 hari. Dapat juga dikombinasi dengan Doxyciclin
o Kolangitis : 4 – 6 mg/kg BB/hari dikombinasi dengan Ampisilin
o Divertikulitis (komplikasi) : 1,5 – 2 mg/kg BB setiap 8 jam (kombinasi dengan Ampisilin dan Metronidazol)
o Profilaksis endokarditis : Gigi, mulut, saluran nafas bagian, atas, saluran pencernaan, saluran urin 1,5 mg/kg BB dikombinasi dengan Ampisilin 50 mg/kg BB 30 menit sebelum operasi
o Endokarditis atau sejenisnya (untuk infeksi Gram Positif) : 1 mg/kg BB setiap 8 jam (kombinasi dengan Ampisilin)
o Meningitis Listeria : 5 – 7 mg/kg BB/hari dikombinasi dengan Penicillin selama 1 minggu
Meningitis Neonatal, 0 – 7 hari :
Neonatal dengan BB < 2000 gr : 2.5 mg/kg BB setiap 18 – 24 jam.
Neonatal dengan BB > 2000 gr : 2,5 mg/kg BB setiap 12 jam
Meningitis Neonatal, 8 – 28 hari :
Neonatal dengan BB < 2000 gr : 2.5 mg/kg BB setiap 8 – 12 jam.
Neonatal dengan BB > 2000 gr : 2,5 mg/kg BB setiap 8 jam
o Inflamasi pelvik :
13
Loading Dose : 2 mg/kg BB, selanjutnya 1,5 mg/kg BB setiap 8 jam
Alternate therapy : 4,5 mg/kg BB/hari
o Plague (Yersinia pestis) : 5 mg/kg BB/hari diikuti dengan postexposture dengan Doksisiklin.
o Pneumonia : 7 mg/kg BB/hari dikombinasi dengan antipseudomonas beta laktam atau Carbapenem
o Tularemia : 5 mg/kg BB/hari dibagi setiap 8 jam untuk 1 – 2 minggu
o Infeksi saluran Urin :1,5 mg/kg BB/dosis setiap 8 jam
o Interval Dosis pada penurunan fungsi ginjal
Dosis konvensional :
Klirens kreatinin >= 60 ml/menit : diberikan setiap 8 jam
Klirens kreatinin 40 – 60 ml/menit : diberikan setiap 12 jam
Klirens kreatinin 20 – 40 ml/menit : diberikan setiap 24 jam
Klirens kreatinin < 20 ml/menit : loading dose, kemudian monitor
Dosis tinggi untuk terapi : Interval diperpanjang ( mis. setiap 48 jam) pada pasien dengan gangguan ginjal yang moderat (klirens kreatinin 30 – 59 mL/menit) dan atau dasar perhitungan pada serum level determination.
o Hemodialisa :
Dilanjutkan dengan dialisa : 30% lanjutan dari Aminoglikosida dilaksanakan selama 4 jam hemodialisa.; pemberian dosis selama hemodialisa dan follow level .
Terapi lanjutan dengan Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) : Pemberian melalui cairan CAPD :
Infeksi Gram–negative : 4 – 8 mg/L(4 – 8 mc/L) dari cairan CAPD
Infeksi Gram–positif (mis. siergis) : 3 – 4 mg/L (mcg/L) dari cairan CAPD
Pemberian injeksi dengan rute i. m. Atau i. v. Selama CAPD.
Dosis untuk Clcr <10 mL/menit dan follow level
14
Lanjutan melalui kontinius arterovenous atau venovenous hemofiltration :
Dosis untuk Clcr 10 - 40 mL/menit dan follow level
Penyesuaian dosis pada penyakit hepar : Monitor konsentrasi dalam plasma
Cara pemberian :
Injeksi i. m.atau i.v.
Tetes mata
Lama penggunaan :
Sesuai dengan aturan pada pemberian dosis
Farmakologi
Didistribusikan melalui plesenta
Volume distribusi meningkat pada odem, asites dan menurun pada dehidrasi.
Neonatus : 0,4- 0,6 per kg BB,
Anak 0,3 -0,35 /kg BB.
Dewasa 0,2-0,3 /kg BB
Protein binding : < 30 %
Waktu paruh eliminasi :
Infant : umur < 1 minggu 3-11,5 jam. 1 minggu -6 bulan 3-3,5 jam.
Dewasa ; 1,5-3 jam.
Pasien dengan gangguan ginjal 36-70 jam
Kadar puncak serum : i.m 30-90 menit; i.v. 30 menit setelah pemberian dengan infus
Ekskresi : Urin
indikasi
Infeksi :
Gram negatif (Pseudomonas, Proteus, Serratia) dan Gram positif (Staphylococcus), infeksi tulang, infeksi saluran nafas, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran urin, abdomen, endokarditis dan septikemia , penggunaan topical, dan profilaksis untuk bakteri endokarditis dan tindakan bedah.
15
kontraindikasi
Hipersensitif terhadap Gentamisin dan Aminoglikosida lain
efek samping
> 10%
o Susunan syaraf pusat : Neurotosisitas (vertigo, ataxia)
o Neuromuskuler dan skeletal : Gait instability
o Otic : Ototoksisitas (auditory), Ototoksisitas (vestibular)
o Ginjal : Nefrotoksik ( meningkatkan klirens kreatinin)
1% – 10%
o Cardiovaskuler : Edeme
o Kulit : rash, gatal, kemerahan
< 1%
o Agranulositosis
o Reaksi alergi
o Dyspnea
o Granulocytopenia
o Fotosensitif
o Pseudomotor Cerebral
o Trombositopeni
interaksi
Dengan Obat Lain :
Penisilin, Sefalosporin, Amfoterisin B, Diuretik dapat meningkatkan efek nefrotoksik, efek potensiasi dengan neuromuscular blocking agent
Dengan Makanan :
Harus dipertimbangkan terhadap diet makanan yang mengandung Calcium, magnesium , potassium
16
bentuk sediaan
Krem, Topical Sebagai Sulfat 0,1 % (15 g, 30 g)
Infus, Sebagai Sulfat (Premixed in NS) 40 mg (50 ml); 60 mg (50 ml, 100 ml); 70 mg (50 ml); 80 mg (50 ml, 100 ml);90 mg (100 ml); 100 mg (50 ml, 100 ml); 120 mg (100 ml)
Larutan Injeksi, Sebagai Sulfat 10 mg/ml (6 ml, 8 ml,10 ml) Vial
Larutan Injeksi, Sebagai Sulfat 40 mg/ml (2 ml, 20 ml) (Dapat Mengandung Metabisulfit)
Larutan Injeksi, Pediatrik Sebagai Sulfat 10 mg/ml (2 ml) (Dapat mengandung Metabisulfit)
Larutan Injeksi, Pediatrik Sebagai Sulfat (Preservative Free) : 10 mg/ml (2 ml)
Saleb Mata Sebagai Sulfat 0,3% (3 mg/g (3,5 g))
Saleb Kulit Sebagai Sulfat 0,1% (15 g, 30 g)
Tetes Mata Sebagai Sulfat 0,3% (5 ml, 15 ml) Mengandung Benzalkonium Klorida
17
BAB IV
SIMPULAN
Sindrom Steven Johnson merupakan erupsi mendadak pada kulit dan
selaput lendir dengan gambaran khas berupa vesikula atau bula yang dikelilingii
halo kemerahan tersebar secara simetris dan disertai keadaan umum yang
tampak berat dengan suhu badan yang tinggi.
Terapi SJS ini tergantung dengan keadaan umum pasien. Biasanya
diberikan kortikosteroid yang digunakan secara tappering off jika masa kritis telah
teratasi. Antibiotik yang digunakan biasanya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bakterisidal, tidak nefrotoksik. Untuk mengatasi efek samping
kortikosteroid diberikan diet rendah garam dan tinggi protein.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arif, M., dkk. 2000. Sindrom Stevens Johnson, dalam Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga jilid kedua, Media Aesculapius, Jakrta. Hal : 136-138
Bongard, F.S., Sue, D.Y. 2002. Erythema Multiforme and Stevens Johnson Syndrome, in Current Critical Care Diagnosis and Treatment, 2nd, Lange Medical Books/ Mc Graw Hill, New York. P:661-662
Caloen, J.P. 1982. Erythema Multiforme (Stevens-Johnson Syndrome), dalam Maddin, S. (Eds.) Current Dermatologic Therapy, W.B. Saunders Co., Philadelphia, Tokyo
Domonkos, A.N. et al. 1982. Andrew’s Disease of the Skin, 7th ed., W.B. Saunders Co., Philadelphia.
Gellis, S.E., Feinold, D.S. 1984. Generalized Rash, dalam Holmes, K.K. et al, Sexually Transmitted Diseases, Mc Graw-hill Book Co., New York
Maria, Y.B.K., dkk. 1986. Penderita Sindrom Stevens Johnson di R.S. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kumpulan Naskah Ilmiah. Konas PAVDI V. Ujung Pandang.
Mochtar H. 1999. Sindrom Stevens Johnson, dalam Adhi J., dkk, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ketiga, Balai penerbit FKUI, Jakarta. Hal : 147-149.
Moschella, S.L. 1975 Hypersensitivity and Miscellaneous Inflamatory Disorders, dalam Moschella S.L et al, Dermatology Vol I, W.B. Saunders Co., Philadelphia.
Peter, M.E., Peter, D.F. 1979. Erythema multiforme, dalam Fitzpatrick, T.B., et al. Dermatology in General Medicine. 2nd ed., Mc Graw Hill, New York.
Soedarto, M., dkk. 1986. Sindrom Stevens Johnson. Dermato Venereologika Indonesiana 36. Hal : 36-39
Sutama, I.N, Pohan, S.S. 1986. Sindroma Stevens Johnson di U.P.F. Penyakit Kulit dan Kelamin R.S.U.P Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 1980-1984 ( penelitian Retrospektif). Konas PAVDI V. Ujung Pandang.
White, J.W. 1985. Hypersensitivity and Mischellaenous Inflamatory Disorders, dalam Moschella, S.L, Hurley, H.J., Dermatology Vol.I, 2nd ed., W.B. Saunders Co., Philadelphia.
19