presbes dhf yanuary tejo

49
PRESENTASI KASUS DENGUE HEMORRAGHIC FEVER Disusun oleh : Yanuary Tejo Buntolo G4A014013 Pembimbing : dr. Ma’mun, Sp.PD SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

Upload: yanuary-tejo

Post on 21-Dec-2015

232 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Presbes DHF

TRANSCRIPT

Page 1: Presbes DHF Yanuary Tejo

PRESENTASI KASUS

DENGUE HEMORRAGHIC FEVER

Disusun oleh :

Yanuary Tejo Buntolo G4A014013

Pembimbing :

dr. Ma’mun, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

Page 2: Presbes DHF Yanuary Tejo

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

Dengue Hemorraghic Fever

Pada tanggal, Februari 2015

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti

program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :

Yanuary Tejo Buntolo G4A014013

Mengetahui, Pembimbing

dr. Ma’mun , Sp.PD

Page 3: Presbes DHF Yanuary Tejo

BAB I

PENDAHULUAN

Demam dengue dan demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic

fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan

manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai

leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diastesis hemoragik. Pada

DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom

renjatan dengue (dengue shock syndrom) adalah demam berdarah dengue yang

ditandai oleh renjatan/syok.

Data Angka Kejadian di Indonesia tahun 2007 Jumlah Kab/Kota yang

terjangkit DBD/DHF (330 /75%), tahun 2005 angka kejadian 0,43 %, tahun 2006

angka kejadian 0,34 %. Patogenesis terjadinya renjatan pada DHF, umumnya oleh

karena proses imunologis. Berdasarkan hipotesis infeksi heterolog sekunder maka

terbentuknya kompleks virus antibody dalam sirkulasi akan mengaktivasi system

komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepaskan C3a dan C5a, dua peptide

yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai

faktor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya

plasma melalui endotel dinding itu.

Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan

penyebaran kasus DBD, antara lain pertumbuhan penduduk yang tinggi,

urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak efektifnya kontrol

vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, peningkatan sarana transportasi

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah demam tidak

terdiferensiasi, demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut

selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala,

nyeri retro orbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie

atau uji bendung positif, leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau

ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam berdarah dengue/

DBD pada lokasi dan waktu yang sama, DBD (dengan atau tanpa renjatan).

Page 4: Presbes DHF Yanuary Tejo

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua

hal ini terpenuhi, yaitu demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya

bifasik, terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif;

petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena,

trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml), terdapat minimal 1 tanda

kebocoran plasma seperti peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar

sesuai umur dan jenis kelamin, penurunan hematokrit >20% setelah mendapat

terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya, tanda kebocoran

plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu: derajat 1

demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah

uji tourniquet, derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan

perdaran lain, derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah, derajat 4: Syok berat, nadi

tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

BAB II

Page 5: Presbes DHF Yanuary Tejo

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A K

Usia : 52 Tahun

Alamat : Bantarsari Rt02/04, Cilacap

Jenis kelamin : Laki-laki

Status : Sudah Menikah

Pekerjaan : Polisi

Pendidikan : S2

Tanggal masuk : 24 Desember 2014

Tanggal periksa : 27 Desember 2014

No. CM : 0922162

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama :

Nyeri Kepala

2. Keluhan tambahan :

Demam, BAB berwarna hitam, timbul ptekie

3. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dua hari yang lalu ke IGD RSMS dengan keluhan nyeri

kepala sejak 5 hari yang lalu, selain itu pasien juga mengeluhkan badan

terasa demam sejak 4 hari yang lalu, BAB berwarna hitam, timbul bercak

kemerahan di kulit tangan dan kaki semenjak 2 hari yang lalu. Sebelumnya

pasien juga sudah berobat dua kali di klinik dokter keluarga tetapi belum

ada perbaikan dan keluhan dirasakan semakin memberat sehingga di rujuk

ke RSMS pada hari Rabu malam tanggal 24 Desember 2014.

Riwayat penyakit dahulu

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat mondok : disangkal

c. Riwayat hipertensi : disangkal

d. Riwayat sakit jantung : disangkal

e. Riwayat DM : disangkal

Page 6: Presbes DHF Yanuary Tejo

f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

g. Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga

a. Keluhan yang sama : disangkal

b. Riwayat Hipertensi : disangkal

c. Riwayat DM : disangkal

d. Riwayat penyakit jantung : disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

f. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat sosial dan exposure

a. Community

Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan

yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan

keluarga dekat baik. Sebelum sakit, pasien aktif dalam kegiatan

kemasyarakatan.

b. Home

Pasien tinggal di daerah perumahan dengan luas rumah ± 9x7 m2

bersama istri dan ke dua anaknya.

c. Occupational

Pasien bekerja sebagai polisi di Polisi Resort (POLRES) Cilacap

d. Diet

Pola makan pasien teratur, 3 kali dalam sehari dengan nasi, sayur,

lauk, dan kadang-kadang buah. Pasien mengaku sering minum

minuman bersoda. Pasien tidak pernah minum minuman beralkohol.

e. Drug

Pasien mengaku tidak ada riwayat menkonsumsi obat-obatan tertentu.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Page 7: Presbes DHF Yanuary Tejo

Dilakukan di RSR RSMS, 27 Desember 2014

1. Keadaan umum : Sedang

2. Kesadaran : Composmentis

3. Tanda vital :

Tekanan darah : 120/90 mmHg

Nadi : 108 x/ menit

Respirasi : 20 x/ menit

Suhu : 37ºC

4. BB : 70 kg

5. TB : 160 cm

6. Status generalis

a. Pemeriksaan kepala

Bentuk : mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)

Rambut : tidak mudah dicabut, distribusi merata

Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema

palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat

isokor, diameter 3 mm

THT : faring hiperemis (-), tonsil T1 – T1, lidah tampak

kotor (-), tremor (-), discharge (-).

Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)

Leher : deviasi trakea (-), JVP 5+2 cm H2O

b. Pemeriksaan dada

Paru

Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan

gerak hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan bentuk dada

(-), eksperium diperpanjang (-), retraksi interkostalis (-)

Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri

Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri

Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor

Batas paru-hepar SIC V LMCD

Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+

Ronki basah halus -/-

Page 8: Presbes DHF Yanuary Tejo

Ronki basah kasar -/-

Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : ictus cordis di SIC V LMCS

Palpasi : ictus cordis diSIC V LMCS

tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung

kanan atas : SIC II LPSD

kiri atas : SIC II LPSS

kanan bawah : SIC IV LPSD

kiribawah : SIC V LMCS

Auskultasi : S1 > S2, reguler, bising (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : cembung, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejas

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok

costovertebrae (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), test undulasi (-)

Hepar & lien : tak teraba

Ekstremitas :

Ekstremitas

superior

Ekstremitas

inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Ptekie + + + +

Akral hangat + + + +

Reflek fisiologis + + + +

Reflek patologis - - - -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Page 9: Presbes DHF Yanuary Tejo

Pemeriksaan Darah Lengkap

1. Tanggal 24 Desember 2014

Darah lengkap

Hemoglobin : 16.3 g/dl

Leukosit : L 2850 /uL

Hematokrit : 44 %

Eritrosit : 5.5 10^6/uL

Trombosit : L 8.000 /uL

MCV : 79,6 fL

MCH : 29,7 pg

MCHC : H 37.4 %

RDW : 11.6 %

MPV : 10.0 fL

HitungJenis

Basofil : 0,7 %

Eosinofil : L 0,4 %

Batang : L 1,4 %

Segmen : 48,8 %

Limfosit : 35.4 %

Monosit : H 13.3 %

Kimia Klinik

Glukosa sewaktu : 102 mg/dL

Sero Imunologi ( DHF ICT)

IgG Anti DHF Non Reaktif

IgM Anti DHF Reaktif

E. DIAGNOSA KERJA

Page 10: Presbes DHF Yanuary Tejo

Dengue Hemoraghic Fever

F. DIAGNOSIS BANDING

Dengue Fever

G. TERAPI

1. Non Farmakologis

a. Bed rest

b. Minum obat secara teratur

c. Pemberian cairan sesuai kebutuhan

2. Farmakologi

a. IVFD NaCl 0.9% 30 tpm

b. Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gr IV

c. Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV

d. PO Paracetamol 3x500 mg tab

e. PO Glimepiride 1x2 gr tab

3. Monitoring

a. Keadaan umum dan kesadaran

b. Tanda vital

c. Berat badan

d. Evaluasi darah lengkap, elektrolit, dan kimia klinik

H. PROGNOSIS

ad vitam : dubia ad bonam

ad sanationam : dubia ad bonam

ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB III

Page 11: Presbes DHF Yanuary Tejo

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam berdarah dengue/DBD (dengue henorrhagic fever, DHF),

adalah suatu penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah, sering

bersifat fatal, penyakit febril yang disebabkan virus dengue. Pada DBD terjadi

pembesaran plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis, dan pada kasus yang

parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan protein masif (dengue shock

syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik (Halstead,

2007).

B. Etiologi dan Klasifikasi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus

dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae.

Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam

ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro, 2006).

Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2,

DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau

demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan

DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.

Sebagai tambahan, terdapat 3 virus yang ditulari oleh artropoda

(arbovirus) lainnya yang menyebabkan penyakit mirip dengue (Halstead,

2007).

C. Penularan Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue

Page 12: Presbes DHF Yanuary Tejo

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus

Aedes (terutama A. Aegepty dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap

tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat

perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air, seperti bak

mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya.

Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan transmisi virus dengue,

yaitu:

a) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor

di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.

b) Penjamu: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan

terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.

c) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, kepadatan penduduk, dan

ketinggian di bawah 1000 di atas permukaan laut (Suhendro, 2006).

D. Patogenesis

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme

imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan

sindroma syok dengue (dengue shock syndrome).

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi

pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh

merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat

berbeda tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus

yang berlainan. Berdasarkan hal ini Halstead pada tahun 1973 mengajukan

hipotesis yang disebut secondary heterologous infection atau sequential

infection hypothesis. Hipotesis ini telah diakui oleh sebagian besar para ahli

saat ini (Hendarwanto, 1996).

Page 13: Presbes DHF Yanuary Tejo

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah

respon imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang

berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan

sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan

dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini

disebut Antibody Dependent Enhancement (ADE). Limfosit T, baik T-helper

(CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus

dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma,

interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6

dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus. Namun,

proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin

oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun menyebabkan

terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator C1q, C3,

C4, C5-C8, dan C3 menurun.

Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat oksida.

Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor XII (faktor

Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum diketahui, tetapi

Page 14: Presbes DHF Yanuary Tejo

terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata intravaskular (Dissemintated

Intravascular Coagulation, DIC) ringan, kerusakan hati, dan trombositopenia.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi

sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran

sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler

dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan

proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam

darah pada saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini

menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi

terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan

fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama

proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi

melalui mekanisme gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP),

peningkatan kadar β-tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang merupakan

penanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang

menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya

koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi

koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue

factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun

tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (Suhendro, 2006).

Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan,

dalam beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang ekstravaskular.

Redistribusi cairan internal ini, bersama dengan defisiensi nutrisi oleh karena

kelaparan, haus, dan muntah, berakibat pada penurunan hemokonsentrasi,

hipovolemia, peningkatan kerja jantung, hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan

hiponatremia (Halstead, 2007).

Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan keparahan penyakit

dengue sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe DEN-4

memberi pandangan bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan dengan

keparahan dengue. Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan DEN-3

menyebabkan infeksi lebih parah dibandingkan serotipe lainnya. Hal ini dikaitkan

Page 15: Presbes DHF Yanuary Tejo

dengan kemampuan virus untuk bereplikasi untuk menghasilkan titer virus yang

lebih tinggi.

Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report on

Dengue (2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan penyakit

dengue:

1. Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi

serotipe primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3

dipandang memberi risiko yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.

2. Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang

dihasilkan oleh aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.

3. Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan sekunder,

maka keparahan dengue semakin meningkat.

4. Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit.

Penelitian menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid diasosiasikan

dengan insidensi yang rendah (2%), sementara orang kaukasoid memilki

insidensi yang lebih tinggi (30%).

E. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

a. Nyeri kepala

b. Demam

c. BAB berwarna hitam

d. Timbul bercak-bercak kemerahan di tangan dan kaki

2. Pemeriksaan fisik

a. Demam yang naik turun

b. Timbul bercak-bercak kemerahan di tangan dan kaki

c. Hepatomegali. Hepatomegali dapat terjadi karena terjadinya sintesis

protein yang meningkat.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Trombositopenia (<10.000 /uL)

b. IgG Anti DHF ( reaktif)

c. IgM Anti DHF (reaktif)

F. Tatalaksana

Page 16: Presbes DHF Yanuary Tejo

Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada pemberian

cairan. Harris et al. (2003) mendemonstrasikan bahwa meminum cairan seperti

air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan faktor

protektif melawan kemungkinan dirawat inap di rumah sakit. Setiap pasien

tersangka demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di tempat terpisah

dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang bebas

nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada demam dengue atau DBD tanpa

penyulit adalah:

Tirah baring.

Pemberian cairan. Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum

banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar

ditambah dengan garam saja).

Medikamentosa yang bersifat simtomatis. Untuk hiperpireksia dapat

diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal. Antipiretik sebaiknya dari

golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal

karena bahaya perdarahan.

Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.

Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok, yaitu:

Keadaan umum memburuk.

Terjadi pembesaran hati.

Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.

Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.

Penanganan DHF berdasarkan 5 protokol yaitu :

1. Protokol 1 Penanganan tersangka DHF dewasa tanpa syok

Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan

pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas

atau Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya

untuk dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat.

Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih

belum tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit

dan trombosit) mungkin masih dalam batas-batas normal, sehingga sulit

membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini

Page 17: Presbes DHF Yanuary Tejo

mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang

meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan observasi/

pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb, Ht,

dan jumlah trombosit.

Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah

1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.

2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok

3. DBD tanpa perdarahan masif dengan

a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl

b. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl

Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit

dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke

poliklinik rumah sakit dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan

pasien rnemburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas kesehatan.

Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk

sementara pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan anjuran minum yang

banyak, serta diberikan infus ringer laktat sebanyak 500 cc dalam empat jam.

Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit. Pasien di rujuk

apabila didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit

kurang dari 100.000/pl atau

2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit

kurang dari 150.000/pl

Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas

normal dengan jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dan dalam waktu 24

jam kemudian diminta kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD

apabila keadaan menjadi memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap

diobservasi dan tetap diberikan infus ringer laktat 500cc dalam waktu empat

jam berikutnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb. Ht dan jumlah

trombosit.

Page 18: Presbes DHF Yanuary Tejo

Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut :

1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari

100.000/ul

2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah

trombosit normal atau menurun Selama diobservasi perlu dimonitor

tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan serta jumlah urin minimal

setiap 4 jam.

2. Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat

Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif

petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di

ruang rawat, pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama.

Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam

ringer laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5%

dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.

Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien

mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-

70 kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam.

Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infuse dapat

dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat

badan lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/

Page 19: Presbes DHF Yanuary Tejo

24 jam. Jumlah cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali

pada pasien DBD dewasa dengan kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-

32 minggu atau pada pasien dengan kelainan jantung/ginjal atau pada pasien

lanjut usia lanjut serta pada pasien dengan riwayat epilepsi. Pada pasien

dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan elektrokardiografi merupakan

salah satu standar prosedur operasional yang harus dilakukan.

Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya

setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda

penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam

jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya

tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih

dari 50.000/pl, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi.

Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa

tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka

pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien

dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl, sedangkan untuk pasien

DBD dewasa dengan jumlah trombosit berkisar 100.000 - 150.000/pl,

pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan

tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin dilakukan

setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan

didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut

harus lebih diperketat.

Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena

penanganan pasien DSS lebih sulit, dan disertai dengan risiko kematian yang

lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien

tampak gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin

dan tampak pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari

0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan tanda-tanda berkurangnya

aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-tanda lain syok dini adalah

tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg,

tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dan kecil. Apabila didapatkan

tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus segera diberikan.

Page 20: Presbes DHF Yanuary Tejo

Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan

massif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah

trombosit < 100.000/pl, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular disseminata

(KID). Pasien DBD dengan trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak

diberikan transfusi suspensi trombosit.

Pasien dapat dipulangkan apabila:

1. Keadaan umum/ kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam.

2. Pada umumnya Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta

stabil dalam 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah

trombosit belum mencapai normal (diatas 50.000) pasien sudah dapat

dipulangkan.

Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya

atau trombosit belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik

dalam waktu 1x24 jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk

agar segera dibawa ke UGD kembali.

Page 21: Presbes DHF Yanuary Tejo

3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dgn peningkatan hematokrit >20%

Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya

perdarahan hidung/ epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi

tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau

hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan

perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5

ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian

cairan ringer laktat tetap

seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml setiap 4 jam.

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan

sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini

mungkin.

Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera

dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6

jam. Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan

tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh

Frozen Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor

pembekuan (PT dan PTT yang memanjang), Packed Red Cell (PRC) diberikan

bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada

DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit kurang

dari 100.000 disertai atau tanpa KID.

Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam

kemudian, sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase

dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD dengan gejaia-gejala

tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas perlu dirujuk dengan infus.

Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila

tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.

Page 22: Presbes DHF Yanuary Tejo

4. Protokol 4 Penatalaksanaan perdarahan spontan pd DHF dewasa

Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat

penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan

pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita

DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat

termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan

pengobatan SSD yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama

yang sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa.

Pilihan lainya adalah NaCl 0,9%. Selaian resustasi cairan, pasien juga diberi

oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit

natrium, kalium, klorida serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infuse

cepat/guyur) dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor

12), dievaluasi selama 30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi

segera/secepat mungkin dalam waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan

teratasi bila keadaan umum pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf

pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih

dari 20 mmHg, frekwensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang

Page 23: Presbes DHF Yanuary Tejo

cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1

ml/kgBB/jam.

Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya

dapat dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit

berikutnya. Bila keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan ringer

selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam. Pengawasan dini kemungkinan

terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama

sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis penyakit masih

berlangsung, juga sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap

dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu

apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30°/o

dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan

perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol %

hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (packed red cells) Apabila

pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata

syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan

koloid. Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel

darah merah. Cairan koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam

dan sebaiknya yang tidak mempengaruhi/menggangu mekanisme pembekuan

darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama

karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri.

Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.

Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai

keunggulan dan kekurangannya, yaitu :

a. Dekstran

b. Gelatin

c. Hydroxy ethyl starch (HES)

Dekstran

Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat

isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan

menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan

ekstravaskular. Efek volume 6% De kstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam,

Page 24: Presbes DHF Yanuary Tejo

sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3,54,5 jam.

Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan

cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta

faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian

dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.

Gelatin

Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai

sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3

jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah.

Hydroxy ethyl starch (HES)

6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan

isotonic dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik

dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam,

sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12

jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang

dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan

hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu

tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.

Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat

diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan

kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain

ringer laktatjuga dapat diberikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin,

dobutamin, atau epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada

KID maka heparin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID,

maka heparin dan transfusi kompunendarah diberikan sesuai dengan indikasi

seperti tersebut diatas.

Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam.

Pemeriksaan hemostasis ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam

kemudian sejak dimulainya pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa

KID; pemeriksaan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat

perdarahan.

Page 25: Presbes DHF Yanuary Tejo

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat

kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran

cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi

sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya

yang tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.

5. Protokol 5 Penanganan tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.

Pada prinsipnya pelaksanaan protokol 5 ini sama dengan protokol 4

hanya pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium (Hb, Ht, trombosit)

perlu dilakukan secara teliti dan seksama untuk menentukan kemungkinan

adanya perdarahan yang tersembuyi disertai dengan KID, maka pemberian

heparin dapat diberikan seperti pada protokol 4. Tetapi bila tidak didapatkan

tanda-tanda perdarahan, walaupun hasil pemeriksaan hemostasis menunjukkan

adanya KID, maka heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan

kearah perdarahan.

Page 26: Presbes DHF Yanuary Tejo

Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera

dipersiapkan dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap

jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta

Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya

setiap 24 jam.

Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk

mengembalikan volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal

ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat

berupa NaCl 0,9%, Ringer’s lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat

dipakai plasma atau ekspander plasma. Jumlah cairan disesuaikan dengan

perkembangan klinis. Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/

jam, dan bila syok telah diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg

berat badan/ jam. Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan

bila tak tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander

plasma atau dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat

badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan asidosis yang harus dikoreksi

dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk menjaga keseimbangan volume

intravaskular, pemberian cairan intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun

plasma dipertahankan 12-48 jam setelah syok selesai.

Page 27: Presbes DHF Yanuary Tejo

Pada tahun 2007, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang

dapat diberikan pada pasien demam dengue/DBD:

a) Kristaloid.

Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer

laktat(D5/RL).

Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan

ringerasetat (D5/RA).

Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam

larutanfaali (D5/GF).

b) Koloid (plasma). Transfusi darah dilakukan pada :

Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan

melena).

Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala,

menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht.

Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih

banyak dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al (2003) menemukan bukti

bahwa praktik ini tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang

signifikan. Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna.

Pada pasien dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata

( disseminated intravascular coagulophaty (DIC) diperkirakan merupakan

penyebab utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti

adanya DIC, heparin perlu diberikan. (Hendarwanto, 1996).

G. Komplikasi

Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya

ringan dan dapat sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit,

hiperpireksia, dan kejang demam adalah komplikasi paling sering pada bayi

dan anak-anak. Epistaksis, petekie, dan lesi purpura tidak umum tetapi dapat

terjadi pada derajat manapun. Keluarnya darah dari epistaksis, muntah atau

keluar dari rektum, dapat memberi kesan keliru perdarahan gastrointestinal.

Pada dewasa dan mungkin pada anak-anak, keadaan yang mendasari dapat

berakibat pada perdarahan signifikan. Kejang dapat terjadi saat temperatur

tinggi, khususnya pada demam chikungunya. Lebih jarang lagi, setelah fase

Page 28: Presbes DHF Yanuary Tejo

febril, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol

ventrikular dapat terjadi.

Komplikasi akibat pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga

dapat terjadi berupa kelebihan cairan (fluid overload), hiperglikemia dan

hipoglikemia, ketidak seimbangan elektrolit dan asam-basa, infeksi

nosokomial, serta praktik klinis yang buruk (Dengue: Guidelines for

diagnosis, treatment, prevention and control, WHO, 2009).

Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada

orang yang mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis

hemokonsentrasi dan trombositopenia (Halstead, 2007).

H. Prognosis

Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya

antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD,

kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan

penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus.

Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan

intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan

syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).

I. Kriteria Memulangkan Pasien

Pasien dapat pulang jika syarat-syarat sebagai berikut terpenuhi:

a) Tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian antipiretik.

b) Nafsu makan membaik.

c) Tampak perbaikan secara klinis.

d) Hematokrit stabil.

e) Tiga hari setelah syok teratasi.

f)Jumlah trombosit >50.000/ml. Perlu diperhatikan, kriteria ini berlaku bila

pada sebelumnya pasien memiliki trombosit yang sangat rendah, misalnya

12.000/ml.

g) Tidak dijumpai distres pernapasan (Mansjoer, 2001).

Page 29: Presbes DHF Yanuary Tejo

J. Pencegahan

Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan tidak ada

pengobatan spesifik untuk menangani infeksi dengue. Hal ini membuat

pencegahan adalah langkah terpenting, dan pencegahan berarti menghindari

gigitan nyamuk jika kita tinggal di atau bepergian ke area endemik (CDC,

2010).

Jalan terbaik untuk mengurangi nyamuk adalah menghilangkan tempat

nyamuk bertelur, seperti bejana/ wadah yang dapat menampung air. Nyamuk

dewasa menggigit pada siang hari dan malam hari saat penerangan menyala.

Untuk menghindarinya, dapat menggunakan losion antinyamuk atau

mengenakan pakaian lengan pajang/celana panjang dan mengamankan jalan

masuk nyamuk ke ruangan.

Penggunaan insektisida untuk memberantas nyamuk dapat dilakukan

dengan malathion. Cara penggunaan malathion adalah dengan pengasapan

(thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah

tangga dapat menggunakan golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid

(Hendarwanto, 1996)

Page 30: Presbes DHF Yanuary Tejo

BAB IV

KESIMPULAN

1. Dengue hemorraghic fever adalah suatu penyakit trombositopenia infeksius

akut yang parah, sering bersifat fatal, penyakit febril yang disebabkan virus

dengue.

2. Penegakkan diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

3. Pentalaksanaan demam berdarah dengue umumnya berorientasi kepada

pemberian cairan yang sesuai dengan kebutuhan dan istirahat yang tercukupi.

4. Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi

yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya serta keselamatan secara

langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif.

Page 31: Presbes DHF Yanuary Tejo

DAFTAR PUSTAKA

Aman, A.K. et al., Pemeriksaan LED, Hb Cara Sahli, Hb Sian, MCV, dan Hematokrit. Buku Rancangan Pengajaran Blok Hematologic & Immunologic System. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ayyub, M., Khazindar, A.M., Lubbad, E.H., Barlas, S., Alfi, A.Y., and Al-Ulkayi, S., 2006. Characteristics of Dengue Fever in A Large Public Hospital, Jeddah, Saudi Arabia. J. Ayub Med. Coll. Abbottabad, 18 (2).

Centers for Disease Control and Prevention, 2010. How to Reduce Your Risk of Dengue Infection. Available from: http:www.cdc.gov/dengue/prevention/index.html.(Accesed 26 Desember 2012).

Clark, D.V., Mammen, M.P., Nisalak, A., Puthimethee, V., and Endy, T.P., 2005. Economic Impact of Dengue Fever/ Dengue Hemorrhagic Fever in Thailand at The Family and Population Levels. Am. J. Trop. Med.Hyg., 72 (6): 786-791.

Daher, E.F. et al., 2005. Dengue Hemorrhagic Fever in The State of Ceara, Brazil, 2005. Virus Review and Research, 15 (1): 44-62.

Delliana, J., 2008. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Report: Asia-Pacific Dengue Program Managers Meeting. World Health Organization, Geneva.

Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control – New Edition, 2009. Geneva: World Health Organization.

Fisbach, F.T., 2003. A Manual of Laboratory and Diagnostic Test, 7th ed.. USA: Williams & Wilkins.

Guyton, A.C., 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 11. Hemostasis dan Pembekuan Darah. Jakarta: EGC, 480-481.

Halstead, S.B., 2007. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. In: Kliegman, Robert M., Behrman, Richard E., Jenson, Hal B., and Stanton, Bonita F., eds. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed.. Philadelphia: Saunders Elsevier, 1412-1414.

Hendarwanto, 1996. Dengue. Dalam: Noer, Sjaifoellah et. al., eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 417-426.

Hillman, R.S., Ault, K.A., Rinder, dan Henry M., 2005. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: McGraw-Hill Companies.

Islam, M.A., et al., 2006. Molecular Characterization and Clinical Evaluation of Dengue Outbreak in 2002 in Bngladesh. Jpn. J. Infect. Dis. 59: 85-91.

Junqueira, L.C., dan Carneiro, J.. Histologi Dasar: Teks & Atlas, ed. 10. Jakarta: EGC.

Khan, N.A., et al., 2008. Clinical Profile and Outcome of Hospitalized Patients During First Outbreak of Dengue in Makkah, Saudi Arabia. Acta. Trop. 105: 39-44.

Lo, C.H., Ben, R.J., Chen, C.D., Hsueh, C.W., Feng, N.H., 2009. Clinical Experience of Dengue Fever in A Regional Teaching Hospital in Southern Taiwan. 內科學誌 20: 248-254.

Page 32: Presbes DHF Yanuary Tejo

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., dan Setiowulan, W., 2001. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, ed. Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.

Mumtaz, K., et al., 2006. Outbreak of Dengue Fever in Karachi 2006: A Clinical Perspective. Journal of Pakistan Medical Association. Available from:

http://www.jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=1710.(Accesed 22 Desember 2012).

Murray, R.K., dan Rand, M.L., 2003. Hemostasis & Thrombosis. In: Murray, Robert K., Granner, D.K., Mayer, P.A., and Rodwell, V.W., eds.. Harper’s Illustrated Biochemistry 26th ed.. New York: McGraw-Hill Companies, 598-608.

Osman, O., Fong, M.Y., Devi, S., 2007. A Preliminary Study of Dengue Infection in Brunei. Jpn. J. Infect. Dis. 60:205-208.

Potts, et al., 2010. Prediction of Dengue Disease Severity among Pediatric Thai Patients Using Early Clinical Laboratory Indicators. Available from:

http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0013729;jsessionid=637092D58984642057CDAB8020D1CE56.ambra01. (Accessed 24 Desember 2012).

Provan, D., et al., 2004. Oxford Handbook of Clinical Haematology Second edition. New York: Oxford University Press.

Rianty, N., Djunaedi, D., Ismanoe, G. and Kalim, H., 1997. Conservative Treatment and Mortality Rate of Dengue Hemorrhagic Fever in Adult Patients During 5 Years (1990-1994) at Dr. Saiful Anwar Regional General Hospital, Malang -- Indonesia. Acta Medica Indonesiana No.1, vol. XXIX: 29-36.

Scientific Working Group: Report on Dengue, 2006. Geneva: World Health Organization.

Suaya, J., 2008. Dengue Disease and Economic Impact. Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Report: Asia-Pacific Dengue Program Managers Meeting. , Geneva: World Health Organization.

Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., dan Pohan, H.T., 2006. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., eds.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1709-1713.

Tai, D.Y.H., Chee, Y.C., Chan, K.W., 1999. The Natural History of Dengue Illness Based on A Study of Hospitalized Patients in Singapore. Singapore Med. J., vol. 40 (04).

Tumberlaka, A.R., et al., 2010. Uji Hipotesis. Dalam: Sastroasmoro, S. dan Ismael, S., eds.. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, ed. ke-3. Jakarta: CV Sagung Seto, 295-296.

Theml, H., 2004. Color Atlas of Hematology. Germany: Thieme. Wallach, J.B., 2000. Interpretation of Diagnostic Test 7th edition. USA: Williams

& Wilkins. World Health Organization, 2010. Trend of Dengue Case and CFR in SEAR

Countries. Available from: http://www.searo.who.int/EN/Section10/Section332/Section2277_11960.html. (Accesed 26 Desember 2012).