presbes olga

27
REVIEW ARTICLE: VITAMIN D AND INFLAMMATORY BOWEL DISEASES RINGKASAN Latar Belakang Vitamin D secara tradisional diketahui berhubungan dengan mekanisme metabolisme tulang. Efek imunologis pada vitamin D akhir-akhir ini banyak menjadi fokus perhatian. Tujuan Untuk mereview bukti yang mendukung peran vitamin D pada inflammatory bowel diseases. Metode Penelitian komprehensif dilakukan pada PubMed dengan menggunakan istilah ‘crohn’s disease’, ‘ulcerative colitis’ dan ‘vitamin D’. Hasil Defisiensi vitamin D banyak ditemukan pada penderita IBD (16-95%) termasuk mereka yang baru didiagnosis menderita penyakit tersebut. Bukti menunjukkan terdapat peran vitamin D pada kasus IBD. Pada penelitian hewan coba, defisiensi vitamin D meningkatkan kerentanan pada colitis dextran sodium sulfat, sedangkan 1,25 (OH)2D3 memperbaikinya. Salah satu studi cohort prospektif menunjukkan bahwa level vitamin D yang rendah berhubungan dengan peningkatan resiko Crohn’s Disease

Upload: elma-laeni-barokah

Post on 23-Dec-2015

226 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

interna

TRANSCRIPT

Page 1: Presbes Olga

REVIEW ARTICLE:

VITAMIN D AND INFLAMMATORY BOWEL DISEASES

RINGKASAN

Latar Belakang

Vitamin D secara tradisional diketahui berhubungan dengan mekanisme

metabolisme tulang. Efek imunologis pada vitamin D akhir-akhir ini banyak

menjadi fokus perhatian.

Tujuan

Untuk mereview bukti yang mendukung peran vitamin D pada inflammatory

bowel diseases.

Metode

Penelitian komprehensif dilakukan pada PubMed dengan menggunakan istilah

‘crohn’s disease’, ‘ulcerative colitis’ dan ‘vitamin D’.

Hasil

Defisiensi vitamin D banyak ditemukan pada penderita IBD (16-95%) termasuk

mereka yang baru didiagnosis menderita penyakit tersebut. Bukti menunjukkan

terdapat peran vitamin D pada kasus IBD. Pada penelitian hewan coba, defisiensi

vitamin D meningkatkan kerentanan pada colitis dextran sodium sulfat, sedangkan

1,25 (OH)2D3 memperbaikinya. Salah satu studi cohort prospektif menunjukkan

bahwa level vitamin D yang rendah berhubungan dengan peningkatan resiko

Crohn’s Disease (CD). Beberapa data menunjukkan adanya hubungan antara level

vitamin D yang rendah dengan peningkatan progresivitas penyakit, khususnya

CD. Pada suatu studi cohort luas, defisiensi vitamin D (<20ng/ml) berhubungan

dengan peningkatan resiko pembedahan pada CD dan perawatan di Rumah Sakit

pada CD (OR 2.1, 95% CI 1.6–2.7) dan UC (OR 2.3, 95% CI 1.7–3.1). Suatu

randomized controlled trial menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D

berhubungan dengan penurunan frekuensi kekambuhan pada pasien CD

dibandingkan dengan yang diberikan placebo (13% vs. 29%, P = 0.06).

Page 2: Presbes Olga

Kesimpulan

Terdapat bukti epidemiologis yang menunjukkan adanya pengaruh defisiensi

vitamin D pada perkembangan IBD dan pengaruhnya terhadap keparahan

penyakit. Investigasi lanjut masih terus dibutuhkan untuk menentukan

kemungkinan terapi vitamin D pada penderita IBD.

PENDAHULUAN

Kolitis ulserativa (UC) dan penyakit Crohn (CD) merupakan penyakit

radang usus kronis idiopatik (IBD). Mekanisme patogenik yang mendasari kedua

penyakit tersebut adalah disregulasi respon imun inang terhadap flora usus

komensal pada individu yang rentan secara genetik. Variasi genetik secara tidak

lengkap menjelaskan adanya variasi pada insidens kasus, membuktikan adanya

pengaruh faktor lingkungan, yang didukung oleh bukti epidemiologis.

Vitamin D telah lama dikenal sebagai regulator utama kalsium dan

metabolisme fosfor serta kunci dalam mempertahankan kesehatan tulang. Namun

beberapa penilitian terbaru menunjukkan adanya peran vitamin D dalam berbagai

proses fisiologis lainnya. Vitamin D memainkan peran penting dalam proses

imunitas tubuh, khususnya yang melibatkan sistem imunitas bawaan, sistem

kadiovaskular dan ginjal, serta perkembangan kanker. Sebuah literatur

mendukung peran penting dari vitamin D dalam patogenesis dan terapi potensial

pada IBD. Sebuah review terbaru melakukan penelitian tentang bukti yang

mengaitkan vitamin D dengan IBD, baik melalui dampaknya terhadap kesehatan

tulang dan asosiasi dengan perjalanan alamiah penyakit tersebut.

METODE

Sebuah penelitian literatur komprehensif pada Pubmed dilakukan dengan

menggunakan istilah pencarian: 'Crohn’s disease’, ‘ulcerative colitis’ dan 'vitamin

D' untuk mengkonfirmasi artikel bahasa Inggris yang terkait dengan hal tersebut

yang dipublikasikan antara tahun 1966 dan 2013. Selain itu, beberapa referensi

dari artikel tersebut dicari untuk menemukan artikel-artikel tambahan yang

relevan.

Page 3: Presbes Olga

HASIL

Sintesis Vitamin D

Sumber utama vitamin D adalah produksi endogen di kulit dimana energi

ultraviolet B di bawah sinar matahari mengkonversi 7-dehydrocholestrol menjadi

cholecalciferol (vitamin D3) (Gambar 1). Asupan diet yang banyak mengandung

vitamin D seperti kuning telur, hati sapi, minyak hati, ikan berlemak dan susu.

Vitamin D yang didapat dari paparan sinar matahari serta yang diserap dari diet

akan dimetabolisme dalam hati menjadi 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) oleh

enzim vitamin D 25-hidroksilase. 25(OH)D merupakan bentuk utama vitamin D

dan yang digunakan untuk menentukan status vitamin D secara klinis. 25 (OH) D

diaktifkan di tubulus proksimal ginjal oleh enzim 25-hydroxyvitamin D-1 alpha-

hidroksilase (dikenal sebagai CYP27B1) menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D

(1,25(OH)2D). Sintesis zat aktif produk vitamin D (1,25 (OH) 2D) oleh ginjal

diatur oleh berbagai faktor antara lain kadar kalsium serum dan fosfor,

parathormon dan faktor pertumbuhan fibroblast.

Bagan 1. Metabolisme Vitamin D

Page 4: Presbes Olga

Prevalensi Defisiensi Vitamin D Pada IBD

Walaupun relatif mudah untuk menentukan defisiensi makronutrien secara

klinis, namun tidak halnya dengan defisiensi mikronutrien. Defisiensi

mikronutrien tidak selalu terbukti secara klinis dan biasanya membutuhkan

pemeriksaan laboratorium. Pengukuran kadar vitamin D terbaik adalah melalui

pengukuran serum 25(OH)D. Serum 25 (OH) D kurang dari 20 ng / mL (50

nmol / L) menunjukkan adanya defisiensi vitamin D. Serum 25 (OH) D antara 21

dan 29 ng / mL (52,5 dan 72,5 nmol / L) menunjukkan insufisiensi vitamin D,

sedangkan tingkat antara 30 dan 100 ng / mL (75 dan 250 nmol / L) merupakan

kadar normal. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin D

yang tinggi pada pasien dengan IBD, meskipun belum ditetapkan bahwa tingkat

ini lebih tinggi dari pada penyakit kronis lain, penyakit inflamasi, atau bahkan

individu sehat di wilayah itu (Tabel 1). Levin et al. melaporkan terdapat defisiensi

vitamin D di 19% dan insufisiensi di 38% anak-anak dengan IBD dalam

kelompok yang didominasi pasien dengan CD. Sebaliknya, Alkhouri et al.

melaporkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin D pada anak dengan IBD (62%)

lebih rendah daripada kelompok kontrol (75%). Penelitian retropektif

menunjukkan pasien dewasa dengan IBD dari Wisconsin (101 UC, 403 CD),

hampir 50% dari pasien menderita defisiensi vitamin D dan sekitar 11% pasien

menderita defisiensi vitamin D berat, hal ini sesuai dengan penelitian cohort

tentang IBD lainnya.

Penyebab Defisiensi Vitamin D Pada Pasien Dengan IBD

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap defisiensi vitamin D pada

pasien dengan IBD, beberapa penyebab berhubungan secara spesifik dengan

penyakit pada usus, dan yang lainnya seperti pada populasi yang tidak menderita

IBD. Hal ini termasuk paparan sinar matahari yang tidak memadai, gaya hidup

atau gejala persisten penyakit aktif yang membatasi aktivitas fisik, asupan

makanan yang tidak adekuat berkaitan dengan gangguan pada usus, gangguan

penyerapan, gangguan konversi vitamin D menjadi produk aktif, peningkatan

katabolisme dan peningkatan ekskresi. Paparan sinar matahari yang kurang telah

dibuktikan merupakan salah satu penyebab penting terjadinya defisiensi vitamin

Page 5: Presbes Olga

D pada pasien dengan IBD. Beberapa studi terutama dari Negara-negara di

belahan dunia utara, secara konsisten menunjukkan hubungan antara defisiensi

vitamin D dan musim dingin, masa dimana paparan sinar matahari dan UVB

rendah. Asupan nutrisi yang tidak cukup juga berkontribusi terhadap rendahnya

kadar vitamin D pada beberapa pasien dengan IBD. Dalam sebuah survei gizi dari

126 pasien IBD, konsumsi vitamin D yang tidak memadai ditemukan pada 36%

pasien dan kadar vitamin D serum suboptimal ditemukan pada 18% pasien.

Asupan nutrisi scara oral berkorelasi secara signifikan dengan tingkat serum pada

pasien CD dan IBD. Sementara terdapat beberapa penelitian menunjukkan adanya

hubungan antara asupan vitamin D dan serum 25 (OH) D pada pasien CD, hal ini

dapat disebabkan karena kurangnya kekuatan statistic pada analisis data penelitian

tersebut.

Lemak dan vitamin yang larut lemak akan diserap setelah emulsifikasi

oleh asam empedu. Asam empedu sendiri dipertahankan oleh sirkulasi

enterohepatik yang dimulai dari ileum terminal. Gangguan sirkulasi enterohepatik

(misalnya reseksi ileum) secara teoritis berkontribusi menyebabkan kekurangan

vitamin D. Namun, data klinis yang berhubungan dengan hal ini masih

diperdebatkan. Reseksi ileum terminal dikaitkan dengan adanya defisiensi vitamin

D pada beberapa studi. Dalam sebuah penelitian terhadap 12 pasien CD yang

menjalani reseksi ileum terminal, terjadi penurunan fungsi penyerapan vitamin D

yang berhubungan dengan panjang segmen yang direseksi. Malabsorpsi secara

teoritis dapat menyebabkan defisiensi vitamin D pada pasien CD sebagai vitamin

D. Hal ini dapat disebabkan karena vitamin D diserap di bagian proksimal dari

usus kecil. Prevalensi tejadinya defisiensi vitamin D lebih tinggi pada pasien

dengan CD yang melibatkan saluran pencernaan bagian atas. Namun, ketika

dilakukan pengujian penyerapan vitamin D secara khusus, hanya 10% pasien

dengan CD yang mengalami penurunan penyerapan vitamin D dibandingkan

dengan 50% pasien dengan insufisiensi pankreas.juga. Selain itu, terdapat

kemungkinan adanya variasi yang luas dalam penyerapan vitamin D pada pasien

dengan CD bahkan pada mereka dengan penyakit yang belum terlalu parah.

Protein-losing enteropathy terjadi pada beberapa pasien dengan IBD. Karena

vitamin D dan bentuk metabolitnya beredar terutama sebagai bentuk terikat

Page 6: Presbes Olga

dengan plasma vitamin D binding protein (DBP), hilangnya DBP bersama dengan

vitamin D bentuk terikat dapat menjadi mekanisme tambahan terjadinya

kekurangan vitamin D, khususnya pada pasien dengan penyakit berat. Baru-baru

ini penelitian menunjukkan bahwa variasi genetik berkontribusi pada kejadian

kekurangan vitamin D dan respon terhadap suplementasi. Dalam studi yang

melibatkan hampir 30.000 orang keturunan Eropa, varian di tiga lokus dekat gen

yang terlibat dalam sintesis kolesterol, transportasi vitamin D dan vitamin D

hidroksilasi dikaitkan dengan kekurangan vitamin D. Pengaruh varian genetik

tersebut pada status vitamin D pada pasien dengan IBD belum pernah dipelajari.

Page 7: Presbes Olga

Peran Vitamin D Dalam Regenerasi Tulang dan Metabolisme Mineral

Vitamin D membantu menjaga kalsium homoeostasis oleh yang bekerja

pada epitel usus halus dan osteoblas. 1,25 (OH) 2D bertindak terutama melalui

vitamin D nuklir reseptor (VDR), yang membentuk heterodimer dengan retinoid

Reseptor X, mengikat vitamin D respon elemen dan mengambil co-aktivator dan

enzim dengan asetilasi histone activity, sehingga dapat mengatur ekspresi gen

yang muncul. 25 (OH) D berinteraksi dengan VDR di epitel usus kecil dan

meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfor dari usus halus. 1,25 (OH) 2D juga

berinteraksi dengan VDR pada osteoblas dan meningkatkan ekspresi Reseptor

Activator Nuklir Factor kB ligan (RANKL), yang setelah berikatan dengan

RANK pada pra-osteoklas, mengubahnya menjadi osteoklas. Osteoklas berfungsi

dalam pemecahan matriks tulang dan memobilisasi kalsium ke dalam sirkulasi,

sehingga membantu homeostasis kalsium. Pemecahan matriks tulang oleh

osteoklas merupakan bagian penting dari renovasi tulang.

Kekurangan vitamin D menyebabkan penurunan tingkat serum kalsium

terionisasi sehingga dapat menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, dan ini

berakibat terjadinya osteoklastogenesis, suatu peningkatan yang tidak

proporsional dalam resorpsi tulang, osteopenia dan osteoporosis. Pada anak-anak,

kekurangan vitamin D dapat menyebabkan pertumbuhan epifisis terhambat yang

mengarah ke cacat tulang dan hambatan pertumbuhan, yang merupakan ciri khas

rakhitis. Pada orang dewasa dengan defisiensi vitamin D, terdapat mineralisasi

matriks kolagen yang kurang sehingga berakibat terjadinya osteomalacia yang

bermanifestasi sebagai nyeri tulang, patah tulang dan kelemahan otot proksimal.

Terdapat prevalensi yang tinggi adanya penyakit tulang metabolik pada

pasien dengan IBD. Prevalensi osteopenia berkisar dari 23% sampai 67% dan

osteoporosis dari 7% sampai 35% pada pasien dengan CD atau UC. Penyakit

inflamasi aktif merupakan faktor risiko yang kuat untuk rendahnya kepadatan

mineral tulang (BMD) pada pasien dengan IBD, dengan BMD yang bersifat

meningkatkan durasi remisi. Hal ini didukung oleh efek TNF-a dan sitokin pro-

inflamasi lainnya seperti IL-1, IL-6, IL-17 dalam mengaktifkan osteoklas. Selain

itu, penggunaan glukokortikoid juga merupakan faktor risiko penting terjadinya

Page 8: Presbes Olga

pengeroposan tulang pada pasien dengan IBD. Namun sampai saat ini data

mengenai hubungan defisiensi vitamin D dan gangguan BMD pada pasien dengan

IBD masih diperdebatkan.

Vitamin D dan Imunitas Bawaan

Reseptor vitamin D banyak diekspresikan di beberapa jaringan tubuh

manusia termasuk sel-sel imun, keratinosit, sel beta pankreas, miosit jantung,

sistem saraf pusat, tubulus ginjal dan usus. Banyak dari jaringan juga

mengandung enzim yag dapay mengkonversi vitamin D menjadi metabolit aktif,

hal ini menunjukkan adanya peran vitamin D pada ekstraskeletal. Vitamin D

tampaknya memiliki peran penting dalam imunitas bawaan serta imunitas adaptif.

Vitamin D bertindak sebagai penghubung utama antara aktivasi toll-like receptor

(TLR) dan respon antibakteri pada imunitas bawaan. Aktivasi TLRs pada

makrofag oleh Mycobacterium tuberculosis yang berasal lipopeptide

menyebabkan peningkatan konversi 25 (OH) D menjadi 1,25 (OH) 2D aktif,

peningkatan ekspresi VDR dan menginduksi VDR termasuk cathelicidin, sebuah

peptide. Antimikroba 1,25 (OH) 2D juga bertindak secara sinergis dengan

diaktifkannya NF-JB untuk menginduksi ekspresi b-defensin 4 gene.

Suplementasi vitamin D pada orang dengan tingkat serum 25 (OH) D yang cukup

menyebabkan peningkatan induksi cathelicidin, sehingga meningkatkan

pertahanan kekebalan bawaan terhadap pathogen.

Autophagy memainkan peran penting dalam patogenesis CD, dan

beberapa bukti mendukung hipotesis bahwa efek vitamin D pada patogenesis IBD

mungkin melalui jalur ini. 1,25 (OH) 2D membantu proses autophagy di

makrofag dengan meningkatkan co-lokalisasi patogen dengan autophagosomes

dalam cathelicidin dependent manner. Induksi yang mirip dengan autophagy oleh

vitamin D juga telah dibuktikan dalam beberapa model jalur sel kanker. Vitamin

D3 diperkirakan dapat berfungsi untuk mengatur autophagy pada beberapa step

penyerapan kalsium. Peningkatan absorpsi kalsium yang dimediasi oleh efek dari

vitamin D3 pada VDR dapat mengaktifkan autophagy melalui berbagai calcium-

dependent kinases and phosphates, sedangkan vitamin D3 sendiri dapat

menurunkan ekspresi mTOR, suatu regulator negatif untuk autophagy. Vitamin

Page 9: Presbes Olga

D3 juga dapat menyebabkan proses autophagy melalui peningkatan Beclin-1,

sebuah regulator autophagy, dan mengaktifkan jalur PI3K sinyal. Vitamin D telah

lama digunakan untuk mengobati infeksi mikobakterium dan suplementasi

vitamin D dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konversi saat dilakukan uji

tuberculin. Dalam sebuah uji coba terkontrol secara acak, suplementasi vitamin D

dikaitkan dengan penurunan laju perkembangan reaksi tuberkulin positif,

menunjukkan efek perlindungan terhadap infeksi tuberkulosis pada populasi

endemic. Serum vitamin D yang rendah juga dikaitkan dengan penurunan

reaktivitas imun ke panel anergi dan suplementasi vitamin D pada individu

anergik dengan tingkat respo hipersensitivitas yang rendah.

Vitamin D juga berperan dalam mencegah over-aktivasi pro-inflamasi.

1,25 (OH) 2D dalam dosis-dependen monosit menghambat lipopolisakarida (LPS)

yang diinduksi p38 fosforilasi dan produksi IL-6 dan TNF-a di LPS yang

merangsang monocytes. Antigen presenting sel, termasuk sel-sel dendritik,

mengekspresikan VDR. Aksi 1,25 (OH) 2D pada sel dendritik mengarah ke

fenotipe tolerogenic, sehingga melindungi jenis autoimun diabetes 1 pada tikus

diabetes yang tidak mengalami besitas. Pematangan sel dendritik dicegah oleh

interaksi 1,25 (OH) 2D dengan VDR pada sel dendritik.

Vitamin D dan Imunitas Adaptif

Reseptor vitamin D diekspresikan dalam limfosit T yang aktif bermitosis

dan limfosit B. 1,25 (OH) 2D berperan pada sel T helper (Sel TH) yaitu dengan

menghambat produksi IL-2 dan sintesis immunoglobulin oleh sel TH yang diatur

limfosit B. Regulatory sel T (Treg) yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan

toleransi terhadap antigen, juga dimodulasi oleh 1,25 (OH) 2D. Meskipun efek

vitamin D pada sel B terutama melalui modulasi fungsi sel-T, bukti terbaru

menunjukkan bahwa 1,25 (OH) 2D juga bertindak langsung pada sel-sel B,

dengan mempengaruhi proliferasi sel B teraktivasi dan menghambat generasi sel

plasma dan sistem memori sel B.

Page 10: Presbes Olga

Peran Vitamin D Dalam Imunopatogenesis IBD

Beberapa bukti epidemiologi dan laboratorium mendukung peran vitamin

D dalam patogenesis IBD. Pertama, ada perbedaan gradient pada kejadian IBD,

yang berhubungan dengan paparan UV dan kadar vitamin D. Dalam sebuah studi

oleh Khalili et al., di lintang selatan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa orang

terutama pada usia 30 tahun dikaitkan dengan risiko signifikan lebih rendah dari

CD [Hazard ratio (HR) 0.48, 95% CI 0,30-0,77] dan UC (HR 0.62, 95% CI 0,42-

0,90). Hal ini telah didukung oleh penelitian lain yang memiliki model paparan

UV perumahan dan menunjukkan korelasi terbalik antara paparan UV dan

kejadian IBD. Tikus yang memiliki sedikit kandungan VDR akan lebih rentan

terhadap dekstran natrium sulfat (DSS) yang dapat menginduksi cedera mukosa

dibandingkan dengan tikus lain. Gangguan di pertautan epitel banyak terjadi pada

tikus yang kekurangan VDR dan 1,25 (OH) 2D dapat mempertahankan integritas

pertautan di sel 1 lapis Caco-2. Studi epidemiologi genetik telah memperkirakan

hubungan antara polimorfisme di wilayah gen VDR pada kromosom 12 dan

hubungannya dengan pengembangan IBD. Meskipun tidak semua penelitian

kohort menghasilkan hasil yang positif. Variasi pada DBP juga ditemukan terkait

dengan IBD.

Beberapa penelitian telah menunjukkan asosiasi antara status vitamin D

dan kejadian IBD secara langsung. Salah satu penelitian tersebut menggunakan

Nurses 'Health Study, sebuah kohort yang melibatka perawat wanita di Amerika

Serikat, diikuti secara prospektif menggunakan kuesioner dua tahunan, dan diet

komprehensif dan asupan nutrisi serta aktivitas fisik selama dilakukan

pemeriksaan dalam penelitian tersebut. Status vitamin D peserta ditentukan

menggunakan regresi model divalidasi dengan mempertimbangkan ras, diet,

aktivitas fisik dan wilayah tempat tinggal. Selama 22 tahun follow-up, kadar 25

(OH) D plasma yang tinggi dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam

risiko CD, tapi tidak pada UC. Dibandingkan dengan wanita dengan kuartil kadar

terendah vitamin D plasma, mereka dengan kuartil tertinggi memiliki penurunan

risiko CD (HR 0.54, 95% CI 0,30-0,99). Untuk setiap 1 ng / mL peningkatan

dalam kadar plasma 25 (OH) D, ada 6% pengurangan risiko relatif untuk CD. Ada

juga hubungan terbalik antara asupan vitamin D dari sumber makanan dan

Page 11: Presbes Olga

suplemen dengan risiko insiden UC, masing-masing peningkatan 100 IU / hari

asupan vitamin D keseluruhan dikaitkan dengan pengurangan resiko UC sebesar

10%.

Hubungan Kadar Vitamin D Dan Keparahan Penyakit IBD

Sejalan dengan efek modulasi imunitasnya, vitamin D juga dapat

mempengaruhi keparahan inflamasi pada IBD. Kekurangan vitamin D

menyebabkan retardasi pertumbuhan lebih parah, penurunan berat badan dan juga

menyebabkan kematian yang lebih tinggi di tikus dengan IL-10 KO colitis.

Keparahan penyakit berkorelasi dengan status vitamin D pada tikus dengan DSS

yang diinduksi kolitis; baik lokal serta efek endokrin dari 1,25 (OH) 2D

mempengaruhi keparahan penyakit. TNF-a memainkan peran sentral dalam proses

inflamasi. 1,25 (OH) 2D mengurangi keparahan kolitis pada tikus IL-10 KO oleh

proses downregulating beberapa gen yang terkait dengan TNF-a. Ketika tikus

dengan tri-nitro-benzena sulfonat (TNBS) asam-diinduksi kolitis diberikan

kombinasi kortikosteroid dan 1,25 (OH) 2D, peningkatan aktivitas penyakit

sejalan dengan proses downregulation dari TH1 sitokin inflamasi serta fungsi

efektor TH17 bersama dengan Th2 dan profil sel T.

Data yang mendukung hubungan klinis antara defisiensi vitamin D dan

aktivitas penyakit IBD masih diperdebatkan (Tabel 2). Baik penelitian El-Matary

et al. atau Levin et al. ditemukan korelasi antara tingkat vitamin D dan aktivitas

penyakit dalam studi cross-sectional dari IBD. Sebaliknya, sebuah penelitian

retrospektif oleh Ulitsky et al. menyimpulkan bahwa kekurangan vitamin D

dikaitkan dengan dengan mutu kesehatan yang lebih rendah terkait hidup dan

peningkatan aktivitas penyakit pasien dengan CD, tapi tidak dengan UC.

Mengatasi beberapa keterbatasan oleh penilaian cross-sectional vitamin D dan

tingkat keparahan penyakit, kami menguji secara prospektif hubungan antara

kekurangan vitamin D dan tingkat kebutuhan untuk operasi atau rawat inap dalam

penelitian kohort besar yang melibatkan 3217 pasien dengan setidaknya satu

pengukuran plasma 25 (OH) D. Kami menemukan bahwa plasma 25 (OH) D <20

ng / mL dikaitkan dengan peningkatan risiko operasi [rasio Odds (OR) 1.76; 95%

CI 1,24-2,51] dan rawat inap (OR 2.07, 95% CI 1.59- 2.68) dibandingkan dengan

Page 12: Presbes Olga

mereka yang kadarnya cukup. Selanjutnya, pasien CD yang menormalisasikan

kadar plasma mereka 25(OH) D memiliki kemungkinan penurunan operasi IBD

terkait (OR 0.56, 95% CI 0,32-0,98) dibandingkan dengan mereka dengan kadar

yang tetap rendah.

Apakah Vitamin D Memiliki Peran Dalam Pengobatan IBD?

Terdapat beberapa penelitian yang meneliti peran vitamin D sebagai agen

terapi untuk IBD pada hewan coba. Tikus IL-10 KO yang memiliki kekurangan

vitamin D secara spontan mempercepat perkembangan penyakit dan keparahan

IBD. Namun, ketika tikus tersebut diberi makan tinggi kalsium dan 1,25 (OH) 2D,

Page 13: Presbes Olga

mereka tidak menunjukkan perkembangan penyakit secara signifikan. Baik dalam

TNBS- dan model kolitis diinduksi DSS, pemberian 1,25 (OH) 2D menyebabkan

peningkatan aktivitas penyakit dan penambahan 1,25 (OH) 2D dengan steroid

memiliki efek sinergis dan kombinasi ini paling efektif mengurangi keparahan

penyakit. Vitamin D analog dengan efek anti-proliferasi dan aktivitas kalsemik

terbatas juga ditemukan dapat mengurangi aktivitas penyakit pada tikus dengan

DSS yang diinduksi colitis.

Terdapat beberapa studi pada manusia (Tabel 3). Jorgensen et al.

melakukan multisenter, acak, penelitian double-blind, percobaan plasebo-

terkontrol di Denmark mengevaluasi khasiat 1,25 (OH) 2D sebagai terapi

pemeliharaan pada pasien CD. Seratus delapan pasien secara acak dipilih untuk

medapatkan baik 1.200 IU 1,25 (OH) 2D dengan 1.200 mg kalsium atau 1200 mg

kalsium sendiri setiap hari selama lebih dari 1 tahun. Hampir sepertiga dari

populasi penelitian memiliki kadar vitamin D yang rendah yang didefinisikan

sebagai serum 25 (OH) D <50 nmol / L. Hanya 13% dari pasien dalam kelompok

vitamin D kambuh selama masa studi 1 tahun dibandingkan dengan 29% pada

kelompok plasebo (P=0.06). Penelitian Zator et al. menilai pengaruh status

vitamin D terhadap respon terapi anti-TNF. Di pusat penelitian kohort tunggal,

pasien dengan CD dan UC dengan kadar plasma 25 (OH) D diukur dalam waktu 3

bulan terapi awal anti-TNF menunjukkan hubungan terbalik yang signifikan

dengan daya tahan pengobatan anti-TNF, dengan efek yang lebih nyata pada

pasien dengan CD. Miheller et al. membandingkan efek terapi dari 1,25 (OH) 2D

dan 25 (OH) D pada pasien dengan CD yang berkaitan dengan aktivitas penyakit

dan kesehatan tulang. Terdapat peningkatan yang signifikan pada aktivitas

penyakit serta metabolisme tulang dalam jangka pendek pada 6 minggu setelah

pemberian 1,25 (OH) 2D tapi tidak 25 (OH) D.

Page 14: Presbes Olga

PEMBAHASAN

Keterbatasan

Meskipun banyak penelitian dengan hasil yang baik dan signigikan,

terdapat beberapa keterbatasan dalam literatur mengenai peran vitamin D pada

pathogenesis IBD. Pertama, sementara secara konsisten didukung oleh model

hewan coba, hubungan antara pra-diagnosis kadar vitamin D yang rendah dan

peningkatan risiko CD telah diteliti dalam studi kohort prospektif tunggal yang

menggunakan model regresi untuk memprediksi status vitamin D seorang

individu. Analisis pada pra diagnosis specimen serta kohort prospektif dengan

resiko tinggi IBD akan menghasilkan jawaban yang lebih definitive terhadap

hipotesis pada randomized controlled trials mengenai vitamin D dan pencegahan

IBD, namun kurang bersifat feasible, memberikan insidens penyakit yang rendah

pada populasi, dan membutuhkan jumlah partisipan yang banyak dan durasi

follow up yang lama. Asosiasi antara vitamin D yang rendah dan peningkatan

aktivitas penyakit khususnya di CD, juga didukung terutama oleh karena adanya

observasi. Sementara penelitian awal yang cross-sectional dan tidak dapat

membedakan pengaruh vitamin D pada aktivitas penyakit dengan kadar vitamin

D, analisis yang lebih baru dari kohort besar telah mampu secra prospektif

menunjukkan hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan

meningkatnya risiko operasi dan rawat inap, khususnya pada pasien CD.

Page 15: Presbes Olga

Sementara itu hanya satu uji coba terkontrol secara acak telah menguji peran

vitamin D dalam pencegahan kekambuhan penyakit. Efek suplementasi vitamin D

dalam memperbaiki aktivitas penyakit di CD telah diperiksa hanya dalam dua

studi percontohan open-label, dan tidak ada penelitian yang mengevaluasi hal ini

pada pasien UC. Sehingga dibutuhkan penelitian dan intervensi yang berkualitas

yang mempelajari hubungan suplementasi vitamin D dengan aktivitas CD dan UC

yang nantinya akan berpengaruh terhadap pilihan terapi.

Praktek Klinis

Pasien dengan IBD berada pada risiko terjadinya defisiensi vitamin D. The

Endocrine Clinical Practice Guidelines Committee merekomendasikan

dilakukannya skrining pasien dengan IBD serta pasien yang mengkonsumsi

kortikosteroid untuk mengetahui status vitamin D-nya. Meskipun terdapat

kekurangan dari pedoman profesional ini terhadap pemeriksaan berikutnya status

vitamin D, kita mengadopsi hal tersebut ke dalam praktek klinik. Jika kadar

vitamin D normal, disarankan mengecek kembali kadarnya setiap tahun atau dua

tahun sekali jika ada penyakit tulang metabolik atau jika menggunakan

kortikosteroid sistemik. The Institute of Medicine and the Endocrine Practice

Guidelines Committee merekomendasikan diet asupan 400 IU vitamin D per hari

untuk bayi, 600 IU vitamin D per hari untuk anak-anak di atas usia 1 tahun dan

orang dewasa serta 800 IU vitamin D per hari untuk lansia berusia di atas 70

tahun. Namun, untuk konsisten meningkatkan kadar 25 (OH) D agar lebih dari 30

ng / mL, terutama pada pasien yang berisiko kekurangan vitamin D, The

Endocrine Practice Guidelines Committee direkomendasikan bahwa dosis yang

dibutuhkan untuk pemeliharaan minimal 1000 IU per hari. Untuk mengobati

defisiensi vitamin D, dianjurkan mengkonsumsi vitamin D2 atau vitamin D3

dengan dosis 2.000 IU per hari selama 6 minggu atau 50 000 IU sekali seminggu

selama 6 minggu pada anak-anak dan vitamin D2 atau vitamin D3 6000 IU per

hari untuk 8 minggu, atau 50 000 IU sekali seminggu selama 8 minggu untuk

orang dewasa untuk mencapai tingkat serum 25 (OH) D lebih dari 30 ng / mL.

Menurut Pappa et al. regimen terapi yang optimal pada pasien IBD diperiksa pada

71 pasien dengan IBD berusia 5-21 tahun dengan defisiensi vitamin D secara acak

Page 16: Presbes Olga

salah satu dari berikut tiga rejimen selama 6 minggu: 2000 IU per hari vitamin

D2; 2000 IU per hari vitamin D3; atau 50 000 IU mingguan vitamin D2.

Ditemukan data bahwa rejimen 6 minggu 50 000 IU vitamin D2 per minggu dan

2000 IU vitamin D3 harian lebih tinggi dari vitamin D2 2000 IU setiap hari.

Sedangkan rejimen 50 000 IU per minggu vitamin D2 meningkatkan serum 25

(OH) D lebih dari 32 ng / mL pada 75% pasien, ditemukan hanya 38% pasien

yang menerima 2.000 IU vitamin D3 setiap hari dan 25% dari pasien yang

menerima 2.000 IU vitamin D2 harian. Ketiga rejimen ditemukan aman dan

ditoleransi dengan baik oleh tubuh.

Future Directions

Beberapa pertanyaan yang tak terjawab tetap mengenai peranan vitamin D

di IBD (Tabel 4). Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk memahami efek dari

asupan suplementasi vitamin D dan vitamin dalam kaitannya dengan

polimorfisme DBP atau VDR untuk mengidentifikasi jika ada subkelompok yang

Page 17: Presbes Olga

bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari profilaksis atau siapa yang

akan membutuhkan dosis yang lebih besar untuk kepentingan terapi. Dengan

bukti baru menunjuk ke arah kekurangan vitamin D yang dikaitkan dengan risiko

IBD, konfirmasi penemuan tersebut akan membuat vitamin D dapat digunakan

sebagai salah satu link pada gen-environment-gut microbiome-interaksi sistem

kekebalan tubuh yang diperlukan untuk hubungannya dengan perkembangan

penyakit IBD. Hal ini juga bermanfaat untuk membuka bahan penelitian apakah

kekurangan vitamin D menyebabkan kausal penyakit meningkat keparahan atau

hanyalah konsekuensi dari penyakit yang berat. Selain itu, perlu diidentifikasi jika

ada kelompok individu yang beresiko tinggi terjadinya defisiensi vitamin D untuk

mencegah onset IBD. Studi berkualitas tinggi lebih lanjut diperlukan untuk

mengevaluasi apakah koreksi kekurangan vitamin D atau jika suplementasi

vitamin D dapat mencegah kekambuhan penyakit, apakah dapat digunakan untuk

menginduksi remisi pada penyakit aktif, dan apakah hal itu memiliki peran dalam

pencegahan komplikasi seperti kanker kolorektal yang telah diidentifikasi pada

pasien non-IBD. Interaksi antara ahli biokimia, ahli epidemiologi gizi, ilmuwan

laboratorium dan peneliti klinis akan membantu menyelesaikan banyak dari

pertanyaan yang tidak terjawab, meningkatkan pemahaman tentang peran vitamin

D, dan aplikasinya dalam praktek klinis.

AUTHORSHIP

Guarantor of the article: Ananthakrishnan. Author contributions: Mouli

and Ananthakrishnan performed literature review. Mouli wrote the first draft of

the manuscript. Ananthakrishnan provided supervision and both authors approved

the final version of the manuscript.

ACKNOWLEDGEMENTS

Declaration of personal interests: Dr Ananthakrishnan has served on the

scientific advisory board of Cubist pharmaceuticals. Declaration of funding

interests: Dr Ananthakrishnan issupported in part by a grant from the National

Institutes of Health (K23 DK097142). This work is also supported by the National

Page 18: Presbes Olga

Institutes of Health (NIH) (P30 DK043351) to the Center for Study of

Inflammatory Bowel Diseases.