presbes olga
DESCRIPTION
internaTRANSCRIPT
REVIEW ARTICLE:
VITAMIN D AND INFLAMMATORY BOWEL DISEASES
RINGKASAN
Latar Belakang
Vitamin D secara tradisional diketahui berhubungan dengan mekanisme
metabolisme tulang. Efek imunologis pada vitamin D akhir-akhir ini banyak
menjadi fokus perhatian.
Tujuan
Untuk mereview bukti yang mendukung peran vitamin D pada inflammatory
bowel diseases.
Metode
Penelitian komprehensif dilakukan pada PubMed dengan menggunakan istilah
‘crohn’s disease’, ‘ulcerative colitis’ dan ‘vitamin D’.
Hasil
Defisiensi vitamin D banyak ditemukan pada penderita IBD (16-95%) termasuk
mereka yang baru didiagnosis menderita penyakit tersebut. Bukti menunjukkan
terdapat peran vitamin D pada kasus IBD. Pada penelitian hewan coba, defisiensi
vitamin D meningkatkan kerentanan pada colitis dextran sodium sulfat, sedangkan
1,25 (OH)2D3 memperbaikinya. Salah satu studi cohort prospektif menunjukkan
bahwa level vitamin D yang rendah berhubungan dengan peningkatan resiko
Crohn’s Disease (CD). Beberapa data menunjukkan adanya hubungan antara level
vitamin D yang rendah dengan peningkatan progresivitas penyakit, khususnya
CD. Pada suatu studi cohort luas, defisiensi vitamin D (<20ng/ml) berhubungan
dengan peningkatan resiko pembedahan pada CD dan perawatan di Rumah Sakit
pada CD (OR 2.1, 95% CI 1.6–2.7) dan UC (OR 2.3, 95% CI 1.7–3.1). Suatu
randomized controlled trial menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D
berhubungan dengan penurunan frekuensi kekambuhan pada pasien CD
dibandingkan dengan yang diberikan placebo (13% vs. 29%, P = 0.06).
Kesimpulan
Terdapat bukti epidemiologis yang menunjukkan adanya pengaruh defisiensi
vitamin D pada perkembangan IBD dan pengaruhnya terhadap keparahan
penyakit. Investigasi lanjut masih terus dibutuhkan untuk menentukan
kemungkinan terapi vitamin D pada penderita IBD.
PENDAHULUAN
Kolitis ulserativa (UC) dan penyakit Crohn (CD) merupakan penyakit
radang usus kronis idiopatik (IBD). Mekanisme patogenik yang mendasari kedua
penyakit tersebut adalah disregulasi respon imun inang terhadap flora usus
komensal pada individu yang rentan secara genetik. Variasi genetik secara tidak
lengkap menjelaskan adanya variasi pada insidens kasus, membuktikan adanya
pengaruh faktor lingkungan, yang didukung oleh bukti epidemiologis.
Vitamin D telah lama dikenal sebagai regulator utama kalsium dan
metabolisme fosfor serta kunci dalam mempertahankan kesehatan tulang. Namun
beberapa penilitian terbaru menunjukkan adanya peran vitamin D dalam berbagai
proses fisiologis lainnya. Vitamin D memainkan peran penting dalam proses
imunitas tubuh, khususnya yang melibatkan sistem imunitas bawaan, sistem
kadiovaskular dan ginjal, serta perkembangan kanker. Sebuah literatur
mendukung peran penting dari vitamin D dalam patogenesis dan terapi potensial
pada IBD. Sebuah review terbaru melakukan penelitian tentang bukti yang
mengaitkan vitamin D dengan IBD, baik melalui dampaknya terhadap kesehatan
tulang dan asosiasi dengan perjalanan alamiah penyakit tersebut.
METODE
Sebuah penelitian literatur komprehensif pada Pubmed dilakukan dengan
menggunakan istilah pencarian: 'Crohn’s disease’, ‘ulcerative colitis’ dan 'vitamin
D' untuk mengkonfirmasi artikel bahasa Inggris yang terkait dengan hal tersebut
yang dipublikasikan antara tahun 1966 dan 2013. Selain itu, beberapa referensi
dari artikel tersebut dicari untuk menemukan artikel-artikel tambahan yang
relevan.
HASIL
Sintesis Vitamin D
Sumber utama vitamin D adalah produksi endogen di kulit dimana energi
ultraviolet B di bawah sinar matahari mengkonversi 7-dehydrocholestrol menjadi
cholecalciferol (vitamin D3) (Gambar 1). Asupan diet yang banyak mengandung
vitamin D seperti kuning telur, hati sapi, minyak hati, ikan berlemak dan susu.
Vitamin D yang didapat dari paparan sinar matahari serta yang diserap dari diet
akan dimetabolisme dalam hati menjadi 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) oleh
enzim vitamin D 25-hidroksilase. 25(OH)D merupakan bentuk utama vitamin D
dan yang digunakan untuk menentukan status vitamin D secara klinis. 25 (OH) D
diaktifkan di tubulus proksimal ginjal oleh enzim 25-hydroxyvitamin D-1 alpha-
hidroksilase (dikenal sebagai CYP27B1) menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D
(1,25(OH)2D). Sintesis zat aktif produk vitamin D (1,25 (OH) 2D) oleh ginjal
diatur oleh berbagai faktor antara lain kadar kalsium serum dan fosfor,
parathormon dan faktor pertumbuhan fibroblast.
Bagan 1. Metabolisme Vitamin D
Prevalensi Defisiensi Vitamin D Pada IBD
Walaupun relatif mudah untuk menentukan defisiensi makronutrien secara
klinis, namun tidak halnya dengan defisiensi mikronutrien. Defisiensi
mikronutrien tidak selalu terbukti secara klinis dan biasanya membutuhkan
pemeriksaan laboratorium. Pengukuran kadar vitamin D terbaik adalah melalui
pengukuran serum 25(OH)D. Serum 25 (OH) D kurang dari 20 ng / mL (50
nmol / L) menunjukkan adanya defisiensi vitamin D. Serum 25 (OH) D antara 21
dan 29 ng / mL (52,5 dan 72,5 nmol / L) menunjukkan insufisiensi vitamin D,
sedangkan tingkat antara 30 dan 100 ng / mL (75 dan 250 nmol / L) merupakan
kadar normal. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin D
yang tinggi pada pasien dengan IBD, meskipun belum ditetapkan bahwa tingkat
ini lebih tinggi dari pada penyakit kronis lain, penyakit inflamasi, atau bahkan
individu sehat di wilayah itu (Tabel 1). Levin et al. melaporkan terdapat defisiensi
vitamin D di 19% dan insufisiensi di 38% anak-anak dengan IBD dalam
kelompok yang didominasi pasien dengan CD. Sebaliknya, Alkhouri et al.
melaporkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin D pada anak dengan IBD (62%)
lebih rendah daripada kelompok kontrol (75%). Penelitian retropektif
menunjukkan pasien dewasa dengan IBD dari Wisconsin (101 UC, 403 CD),
hampir 50% dari pasien menderita defisiensi vitamin D dan sekitar 11% pasien
menderita defisiensi vitamin D berat, hal ini sesuai dengan penelitian cohort
tentang IBD lainnya.
Penyebab Defisiensi Vitamin D Pada Pasien Dengan IBD
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap defisiensi vitamin D pada
pasien dengan IBD, beberapa penyebab berhubungan secara spesifik dengan
penyakit pada usus, dan yang lainnya seperti pada populasi yang tidak menderita
IBD. Hal ini termasuk paparan sinar matahari yang tidak memadai, gaya hidup
atau gejala persisten penyakit aktif yang membatasi aktivitas fisik, asupan
makanan yang tidak adekuat berkaitan dengan gangguan pada usus, gangguan
penyerapan, gangguan konversi vitamin D menjadi produk aktif, peningkatan
katabolisme dan peningkatan ekskresi. Paparan sinar matahari yang kurang telah
dibuktikan merupakan salah satu penyebab penting terjadinya defisiensi vitamin
D pada pasien dengan IBD. Beberapa studi terutama dari Negara-negara di
belahan dunia utara, secara konsisten menunjukkan hubungan antara defisiensi
vitamin D dan musim dingin, masa dimana paparan sinar matahari dan UVB
rendah. Asupan nutrisi yang tidak cukup juga berkontribusi terhadap rendahnya
kadar vitamin D pada beberapa pasien dengan IBD. Dalam sebuah survei gizi dari
126 pasien IBD, konsumsi vitamin D yang tidak memadai ditemukan pada 36%
pasien dan kadar vitamin D serum suboptimal ditemukan pada 18% pasien.
Asupan nutrisi scara oral berkorelasi secara signifikan dengan tingkat serum pada
pasien CD dan IBD. Sementara terdapat beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara asupan vitamin D dan serum 25 (OH) D pada pasien CD, hal ini
dapat disebabkan karena kurangnya kekuatan statistic pada analisis data penelitian
tersebut.
Lemak dan vitamin yang larut lemak akan diserap setelah emulsifikasi
oleh asam empedu. Asam empedu sendiri dipertahankan oleh sirkulasi
enterohepatik yang dimulai dari ileum terminal. Gangguan sirkulasi enterohepatik
(misalnya reseksi ileum) secara teoritis berkontribusi menyebabkan kekurangan
vitamin D. Namun, data klinis yang berhubungan dengan hal ini masih
diperdebatkan. Reseksi ileum terminal dikaitkan dengan adanya defisiensi vitamin
D pada beberapa studi. Dalam sebuah penelitian terhadap 12 pasien CD yang
menjalani reseksi ileum terminal, terjadi penurunan fungsi penyerapan vitamin D
yang berhubungan dengan panjang segmen yang direseksi. Malabsorpsi secara
teoritis dapat menyebabkan defisiensi vitamin D pada pasien CD sebagai vitamin
D. Hal ini dapat disebabkan karena vitamin D diserap di bagian proksimal dari
usus kecil. Prevalensi tejadinya defisiensi vitamin D lebih tinggi pada pasien
dengan CD yang melibatkan saluran pencernaan bagian atas. Namun, ketika
dilakukan pengujian penyerapan vitamin D secara khusus, hanya 10% pasien
dengan CD yang mengalami penurunan penyerapan vitamin D dibandingkan
dengan 50% pasien dengan insufisiensi pankreas.juga. Selain itu, terdapat
kemungkinan adanya variasi yang luas dalam penyerapan vitamin D pada pasien
dengan CD bahkan pada mereka dengan penyakit yang belum terlalu parah.
Protein-losing enteropathy terjadi pada beberapa pasien dengan IBD. Karena
vitamin D dan bentuk metabolitnya beredar terutama sebagai bentuk terikat
dengan plasma vitamin D binding protein (DBP), hilangnya DBP bersama dengan
vitamin D bentuk terikat dapat menjadi mekanisme tambahan terjadinya
kekurangan vitamin D, khususnya pada pasien dengan penyakit berat. Baru-baru
ini penelitian menunjukkan bahwa variasi genetik berkontribusi pada kejadian
kekurangan vitamin D dan respon terhadap suplementasi. Dalam studi yang
melibatkan hampir 30.000 orang keturunan Eropa, varian di tiga lokus dekat gen
yang terlibat dalam sintesis kolesterol, transportasi vitamin D dan vitamin D
hidroksilasi dikaitkan dengan kekurangan vitamin D. Pengaruh varian genetik
tersebut pada status vitamin D pada pasien dengan IBD belum pernah dipelajari.
Peran Vitamin D Dalam Regenerasi Tulang dan Metabolisme Mineral
Vitamin D membantu menjaga kalsium homoeostasis oleh yang bekerja
pada epitel usus halus dan osteoblas. 1,25 (OH) 2D bertindak terutama melalui
vitamin D nuklir reseptor (VDR), yang membentuk heterodimer dengan retinoid
Reseptor X, mengikat vitamin D respon elemen dan mengambil co-aktivator dan
enzim dengan asetilasi histone activity, sehingga dapat mengatur ekspresi gen
yang muncul. 25 (OH) D berinteraksi dengan VDR di epitel usus kecil dan
meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfor dari usus halus. 1,25 (OH) 2D juga
berinteraksi dengan VDR pada osteoblas dan meningkatkan ekspresi Reseptor
Activator Nuklir Factor kB ligan (RANKL), yang setelah berikatan dengan
RANK pada pra-osteoklas, mengubahnya menjadi osteoklas. Osteoklas berfungsi
dalam pemecahan matriks tulang dan memobilisasi kalsium ke dalam sirkulasi,
sehingga membantu homeostasis kalsium. Pemecahan matriks tulang oleh
osteoklas merupakan bagian penting dari renovasi tulang.
Kekurangan vitamin D menyebabkan penurunan tingkat serum kalsium
terionisasi sehingga dapat menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, dan ini
berakibat terjadinya osteoklastogenesis, suatu peningkatan yang tidak
proporsional dalam resorpsi tulang, osteopenia dan osteoporosis. Pada anak-anak,
kekurangan vitamin D dapat menyebabkan pertumbuhan epifisis terhambat yang
mengarah ke cacat tulang dan hambatan pertumbuhan, yang merupakan ciri khas
rakhitis. Pada orang dewasa dengan defisiensi vitamin D, terdapat mineralisasi
matriks kolagen yang kurang sehingga berakibat terjadinya osteomalacia yang
bermanifestasi sebagai nyeri tulang, patah tulang dan kelemahan otot proksimal.
Terdapat prevalensi yang tinggi adanya penyakit tulang metabolik pada
pasien dengan IBD. Prevalensi osteopenia berkisar dari 23% sampai 67% dan
osteoporosis dari 7% sampai 35% pada pasien dengan CD atau UC. Penyakit
inflamasi aktif merupakan faktor risiko yang kuat untuk rendahnya kepadatan
mineral tulang (BMD) pada pasien dengan IBD, dengan BMD yang bersifat
meningkatkan durasi remisi. Hal ini didukung oleh efek TNF-a dan sitokin pro-
inflamasi lainnya seperti IL-1, IL-6, IL-17 dalam mengaktifkan osteoklas. Selain
itu, penggunaan glukokortikoid juga merupakan faktor risiko penting terjadinya
pengeroposan tulang pada pasien dengan IBD. Namun sampai saat ini data
mengenai hubungan defisiensi vitamin D dan gangguan BMD pada pasien dengan
IBD masih diperdebatkan.
Vitamin D dan Imunitas Bawaan
Reseptor vitamin D banyak diekspresikan di beberapa jaringan tubuh
manusia termasuk sel-sel imun, keratinosit, sel beta pankreas, miosit jantung,
sistem saraf pusat, tubulus ginjal dan usus. Banyak dari jaringan juga
mengandung enzim yag dapay mengkonversi vitamin D menjadi metabolit aktif,
hal ini menunjukkan adanya peran vitamin D pada ekstraskeletal. Vitamin D
tampaknya memiliki peran penting dalam imunitas bawaan serta imunitas adaptif.
Vitamin D bertindak sebagai penghubung utama antara aktivasi toll-like receptor
(TLR) dan respon antibakteri pada imunitas bawaan. Aktivasi TLRs pada
makrofag oleh Mycobacterium tuberculosis yang berasal lipopeptide
menyebabkan peningkatan konversi 25 (OH) D menjadi 1,25 (OH) 2D aktif,
peningkatan ekspresi VDR dan menginduksi VDR termasuk cathelicidin, sebuah
peptide. Antimikroba 1,25 (OH) 2D juga bertindak secara sinergis dengan
diaktifkannya NF-JB untuk menginduksi ekspresi b-defensin 4 gene.
Suplementasi vitamin D pada orang dengan tingkat serum 25 (OH) D yang cukup
menyebabkan peningkatan induksi cathelicidin, sehingga meningkatkan
pertahanan kekebalan bawaan terhadap pathogen.
Autophagy memainkan peran penting dalam patogenesis CD, dan
beberapa bukti mendukung hipotesis bahwa efek vitamin D pada patogenesis IBD
mungkin melalui jalur ini. 1,25 (OH) 2D membantu proses autophagy di
makrofag dengan meningkatkan co-lokalisasi patogen dengan autophagosomes
dalam cathelicidin dependent manner. Induksi yang mirip dengan autophagy oleh
vitamin D juga telah dibuktikan dalam beberapa model jalur sel kanker. Vitamin
D3 diperkirakan dapat berfungsi untuk mengatur autophagy pada beberapa step
penyerapan kalsium. Peningkatan absorpsi kalsium yang dimediasi oleh efek dari
vitamin D3 pada VDR dapat mengaktifkan autophagy melalui berbagai calcium-
dependent kinases and phosphates, sedangkan vitamin D3 sendiri dapat
menurunkan ekspresi mTOR, suatu regulator negatif untuk autophagy. Vitamin
D3 juga dapat menyebabkan proses autophagy melalui peningkatan Beclin-1,
sebuah regulator autophagy, dan mengaktifkan jalur PI3K sinyal. Vitamin D telah
lama digunakan untuk mengobati infeksi mikobakterium dan suplementasi
vitamin D dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konversi saat dilakukan uji
tuberculin. Dalam sebuah uji coba terkontrol secara acak, suplementasi vitamin D
dikaitkan dengan penurunan laju perkembangan reaksi tuberkulin positif,
menunjukkan efek perlindungan terhadap infeksi tuberkulosis pada populasi
endemic. Serum vitamin D yang rendah juga dikaitkan dengan penurunan
reaktivitas imun ke panel anergi dan suplementasi vitamin D pada individu
anergik dengan tingkat respo hipersensitivitas yang rendah.
Vitamin D juga berperan dalam mencegah over-aktivasi pro-inflamasi.
1,25 (OH) 2D dalam dosis-dependen monosit menghambat lipopolisakarida (LPS)
yang diinduksi p38 fosforilasi dan produksi IL-6 dan TNF-a di LPS yang
merangsang monocytes. Antigen presenting sel, termasuk sel-sel dendritik,
mengekspresikan VDR. Aksi 1,25 (OH) 2D pada sel dendritik mengarah ke
fenotipe tolerogenic, sehingga melindungi jenis autoimun diabetes 1 pada tikus
diabetes yang tidak mengalami besitas. Pematangan sel dendritik dicegah oleh
interaksi 1,25 (OH) 2D dengan VDR pada sel dendritik.
Vitamin D dan Imunitas Adaptif
Reseptor vitamin D diekspresikan dalam limfosit T yang aktif bermitosis
dan limfosit B. 1,25 (OH) 2D berperan pada sel T helper (Sel TH) yaitu dengan
menghambat produksi IL-2 dan sintesis immunoglobulin oleh sel TH yang diatur
limfosit B. Regulatory sel T (Treg) yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan
toleransi terhadap antigen, juga dimodulasi oleh 1,25 (OH) 2D. Meskipun efek
vitamin D pada sel B terutama melalui modulasi fungsi sel-T, bukti terbaru
menunjukkan bahwa 1,25 (OH) 2D juga bertindak langsung pada sel-sel B,
dengan mempengaruhi proliferasi sel B teraktivasi dan menghambat generasi sel
plasma dan sistem memori sel B.
Peran Vitamin D Dalam Imunopatogenesis IBD
Beberapa bukti epidemiologi dan laboratorium mendukung peran vitamin
D dalam patogenesis IBD. Pertama, ada perbedaan gradient pada kejadian IBD,
yang berhubungan dengan paparan UV dan kadar vitamin D. Dalam sebuah studi
oleh Khalili et al., di lintang selatan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa orang
terutama pada usia 30 tahun dikaitkan dengan risiko signifikan lebih rendah dari
CD [Hazard ratio (HR) 0.48, 95% CI 0,30-0,77] dan UC (HR 0.62, 95% CI 0,42-
0,90). Hal ini telah didukung oleh penelitian lain yang memiliki model paparan
UV perumahan dan menunjukkan korelasi terbalik antara paparan UV dan
kejadian IBD. Tikus yang memiliki sedikit kandungan VDR akan lebih rentan
terhadap dekstran natrium sulfat (DSS) yang dapat menginduksi cedera mukosa
dibandingkan dengan tikus lain. Gangguan di pertautan epitel banyak terjadi pada
tikus yang kekurangan VDR dan 1,25 (OH) 2D dapat mempertahankan integritas
pertautan di sel 1 lapis Caco-2. Studi epidemiologi genetik telah memperkirakan
hubungan antara polimorfisme di wilayah gen VDR pada kromosom 12 dan
hubungannya dengan pengembangan IBD. Meskipun tidak semua penelitian
kohort menghasilkan hasil yang positif. Variasi pada DBP juga ditemukan terkait
dengan IBD.
Beberapa penelitian telah menunjukkan asosiasi antara status vitamin D
dan kejadian IBD secara langsung. Salah satu penelitian tersebut menggunakan
Nurses 'Health Study, sebuah kohort yang melibatka perawat wanita di Amerika
Serikat, diikuti secara prospektif menggunakan kuesioner dua tahunan, dan diet
komprehensif dan asupan nutrisi serta aktivitas fisik selama dilakukan
pemeriksaan dalam penelitian tersebut. Status vitamin D peserta ditentukan
menggunakan regresi model divalidasi dengan mempertimbangkan ras, diet,
aktivitas fisik dan wilayah tempat tinggal. Selama 22 tahun follow-up, kadar 25
(OH) D plasma yang tinggi dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam
risiko CD, tapi tidak pada UC. Dibandingkan dengan wanita dengan kuartil kadar
terendah vitamin D plasma, mereka dengan kuartil tertinggi memiliki penurunan
risiko CD (HR 0.54, 95% CI 0,30-0,99). Untuk setiap 1 ng / mL peningkatan
dalam kadar plasma 25 (OH) D, ada 6% pengurangan risiko relatif untuk CD. Ada
juga hubungan terbalik antara asupan vitamin D dari sumber makanan dan
suplemen dengan risiko insiden UC, masing-masing peningkatan 100 IU / hari
asupan vitamin D keseluruhan dikaitkan dengan pengurangan resiko UC sebesar
10%.
Hubungan Kadar Vitamin D Dan Keparahan Penyakit IBD
Sejalan dengan efek modulasi imunitasnya, vitamin D juga dapat
mempengaruhi keparahan inflamasi pada IBD. Kekurangan vitamin D
menyebabkan retardasi pertumbuhan lebih parah, penurunan berat badan dan juga
menyebabkan kematian yang lebih tinggi di tikus dengan IL-10 KO colitis.
Keparahan penyakit berkorelasi dengan status vitamin D pada tikus dengan DSS
yang diinduksi kolitis; baik lokal serta efek endokrin dari 1,25 (OH) 2D
mempengaruhi keparahan penyakit. TNF-a memainkan peran sentral dalam proses
inflamasi. 1,25 (OH) 2D mengurangi keparahan kolitis pada tikus IL-10 KO oleh
proses downregulating beberapa gen yang terkait dengan TNF-a. Ketika tikus
dengan tri-nitro-benzena sulfonat (TNBS) asam-diinduksi kolitis diberikan
kombinasi kortikosteroid dan 1,25 (OH) 2D, peningkatan aktivitas penyakit
sejalan dengan proses downregulation dari TH1 sitokin inflamasi serta fungsi
efektor TH17 bersama dengan Th2 dan profil sel T.
Data yang mendukung hubungan klinis antara defisiensi vitamin D dan
aktivitas penyakit IBD masih diperdebatkan (Tabel 2). Baik penelitian El-Matary
et al. atau Levin et al. ditemukan korelasi antara tingkat vitamin D dan aktivitas
penyakit dalam studi cross-sectional dari IBD. Sebaliknya, sebuah penelitian
retrospektif oleh Ulitsky et al. menyimpulkan bahwa kekurangan vitamin D
dikaitkan dengan dengan mutu kesehatan yang lebih rendah terkait hidup dan
peningkatan aktivitas penyakit pasien dengan CD, tapi tidak dengan UC.
Mengatasi beberapa keterbatasan oleh penilaian cross-sectional vitamin D dan
tingkat keparahan penyakit, kami menguji secara prospektif hubungan antara
kekurangan vitamin D dan tingkat kebutuhan untuk operasi atau rawat inap dalam
penelitian kohort besar yang melibatkan 3217 pasien dengan setidaknya satu
pengukuran plasma 25 (OH) D. Kami menemukan bahwa plasma 25 (OH) D <20
ng / mL dikaitkan dengan peningkatan risiko operasi [rasio Odds (OR) 1.76; 95%
CI 1,24-2,51] dan rawat inap (OR 2.07, 95% CI 1.59- 2.68) dibandingkan dengan
mereka yang kadarnya cukup. Selanjutnya, pasien CD yang menormalisasikan
kadar plasma mereka 25(OH) D memiliki kemungkinan penurunan operasi IBD
terkait (OR 0.56, 95% CI 0,32-0,98) dibandingkan dengan mereka dengan kadar
yang tetap rendah.
Apakah Vitamin D Memiliki Peran Dalam Pengobatan IBD?
Terdapat beberapa penelitian yang meneliti peran vitamin D sebagai agen
terapi untuk IBD pada hewan coba. Tikus IL-10 KO yang memiliki kekurangan
vitamin D secara spontan mempercepat perkembangan penyakit dan keparahan
IBD. Namun, ketika tikus tersebut diberi makan tinggi kalsium dan 1,25 (OH) 2D,
mereka tidak menunjukkan perkembangan penyakit secara signifikan. Baik dalam
TNBS- dan model kolitis diinduksi DSS, pemberian 1,25 (OH) 2D menyebabkan
peningkatan aktivitas penyakit dan penambahan 1,25 (OH) 2D dengan steroid
memiliki efek sinergis dan kombinasi ini paling efektif mengurangi keparahan
penyakit. Vitamin D analog dengan efek anti-proliferasi dan aktivitas kalsemik
terbatas juga ditemukan dapat mengurangi aktivitas penyakit pada tikus dengan
DSS yang diinduksi colitis.
Terdapat beberapa studi pada manusia (Tabel 3). Jorgensen et al.
melakukan multisenter, acak, penelitian double-blind, percobaan plasebo-
terkontrol di Denmark mengevaluasi khasiat 1,25 (OH) 2D sebagai terapi
pemeliharaan pada pasien CD. Seratus delapan pasien secara acak dipilih untuk
medapatkan baik 1.200 IU 1,25 (OH) 2D dengan 1.200 mg kalsium atau 1200 mg
kalsium sendiri setiap hari selama lebih dari 1 tahun. Hampir sepertiga dari
populasi penelitian memiliki kadar vitamin D yang rendah yang didefinisikan
sebagai serum 25 (OH) D <50 nmol / L. Hanya 13% dari pasien dalam kelompok
vitamin D kambuh selama masa studi 1 tahun dibandingkan dengan 29% pada
kelompok plasebo (P=0.06). Penelitian Zator et al. menilai pengaruh status
vitamin D terhadap respon terapi anti-TNF. Di pusat penelitian kohort tunggal,
pasien dengan CD dan UC dengan kadar plasma 25 (OH) D diukur dalam waktu 3
bulan terapi awal anti-TNF menunjukkan hubungan terbalik yang signifikan
dengan daya tahan pengobatan anti-TNF, dengan efek yang lebih nyata pada
pasien dengan CD. Miheller et al. membandingkan efek terapi dari 1,25 (OH) 2D
dan 25 (OH) D pada pasien dengan CD yang berkaitan dengan aktivitas penyakit
dan kesehatan tulang. Terdapat peningkatan yang signifikan pada aktivitas
penyakit serta metabolisme tulang dalam jangka pendek pada 6 minggu setelah
pemberian 1,25 (OH) 2D tapi tidak 25 (OH) D.
PEMBAHASAN
Keterbatasan
Meskipun banyak penelitian dengan hasil yang baik dan signigikan,
terdapat beberapa keterbatasan dalam literatur mengenai peran vitamin D pada
pathogenesis IBD. Pertama, sementara secara konsisten didukung oleh model
hewan coba, hubungan antara pra-diagnosis kadar vitamin D yang rendah dan
peningkatan risiko CD telah diteliti dalam studi kohort prospektif tunggal yang
menggunakan model regresi untuk memprediksi status vitamin D seorang
individu. Analisis pada pra diagnosis specimen serta kohort prospektif dengan
resiko tinggi IBD akan menghasilkan jawaban yang lebih definitive terhadap
hipotesis pada randomized controlled trials mengenai vitamin D dan pencegahan
IBD, namun kurang bersifat feasible, memberikan insidens penyakit yang rendah
pada populasi, dan membutuhkan jumlah partisipan yang banyak dan durasi
follow up yang lama. Asosiasi antara vitamin D yang rendah dan peningkatan
aktivitas penyakit khususnya di CD, juga didukung terutama oleh karena adanya
observasi. Sementara penelitian awal yang cross-sectional dan tidak dapat
membedakan pengaruh vitamin D pada aktivitas penyakit dengan kadar vitamin
D, analisis yang lebih baru dari kohort besar telah mampu secra prospektif
menunjukkan hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan
meningkatnya risiko operasi dan rawat inap, khususnya pada pasien CD.
Sementara itu hanya satu uji coba terkontrol secara acak telah menguji peran
vitamin D dalam pencegahan kekambuhan penyakit. Efek suplementasi vitamin D
dalam memperbaiki aktivitas penyakit di CD telah diperiksa hanya dalam dua
studi percontohan open-label, dan tidak ada penelitian yang mengevaluasi hal ini
pada pasien UC. Sehingga dibutuhkan penelitian dan intervensi yang berkualitas
yang mempelajari hubungan suplementasi vitamin D dengan aktivitas CD dan UC
yang nantinya akan berpengaruh terhadap pilihan terapi.
Praktek Klinis
Pasien dengan IBD berada pada risiko terjadinya defisiensi vitamin D. The
Endocrine Clinical Practice Guidelines Committee merekomendasikan
dilakukannya skrining pasien dengan IBD serta pasien yang mengkonsumsi
kortikosteroid untuk mengetahui status vitamin D-nya. Meskipun terdapat
kekurangan dari pedoman profesional ini terhadap pemeriksaan berikutnya status
vitamin D, kita mengadopsi hal tersebut ke dalam praktek klinik. Jika kadar
vitamin D normal, disarankan mengecek kembali kadarnya setiap tahun atau dua
tahun sekali jika ada penyakit tulang metabolik atau jika menggunakan
kortikosteroid sistemik. The Institute of Medicine and the Endocrine Practice
Guidelines Committee merekomendasikan diet asupan 400 IU vitamin D per hari
untuk bayi, 600 IU vitamin D per hari untuk anak-anak di atas usia 1 tahun dan
orang dewasa serta 800 IU vitamin D per hari untuk lansia berusia di atas 70
tahun. Namun, untuk konsisten meningkatkan kadar 25 (OH) D agar lebih dari 30
ng / mL, terutama pada pasien yang berisiko kekurangan vitamin D, The
Endocrine Practice Guidelines Committee direkomendasikan bahwa dosis yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan minimal 1000 IU per hari. Untuk mengobati
defisiensi vitamin D, dianjurkan mengkonsumsi vitamin D2 atau vitamin D3
dengan dosis 2.000 IU per hari selama 6 minggu atau 50 000 IU sekali seminggu
selama 6 minggu pada anak-anak dan vitamin D2 atau vitamin D3 6000 IU per
hari untuk 8 minggu, atau 50 000 IU sekali seminggu selama 8 minggu untuk
orang dewasa untuk mencapai tingkat serum 25 (OH) D lebih dari 30 ng / mL.
Menurut Pappa et al. regimen terapi yang optimal pada pasien IBD diperiksa pada
71 pasien dengan IBD berusia 5-21 tahun dengan defisiensi vitamin D secara acak
salah satu dari berikut tiga rejimen selama 6 minggu: 2000 IU per hari vitamin
D2; 2000 IU per hari vitamin D3; atau 50 000 IU mingguan vitamin D2.
Ditemukan data bahwa rejimen 6 minggu 50 000 IU vitamin D2 per minggu dan
2000 IU vitamin D3 harian lebih tinggi dari vitamin D2 2000 IU setiap hari.
Sedangkan rejimen 50 000 IU per minggu vitamin D2 meningkatkan serum 25
(OH) D lebih dari 32 ng / mL pada 75% pasien, ditemukan hanya 38% pasien
yang menerima 2.000 IU vitamin D3 setiap hari dan 25% dari pasien yang
menerima 2.000 IU vitamin D2 harian. Ketiga rejimen ditemukan aman dan
ditoleransi dengan baik oleh tubuh.
Future Directions
Beberapa pertanyaan yang tak terjawab tetap mengenai peranan vitamin D
di IBD (Tabel 4). Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk memahami efek dari
asupan suplementasi vitamin D dan vitamin dalam kaitannya dengan
polimorfisme DBP atau VDR untuk mengidentifikasi jika ada subkelompok yang
bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari profilaksis atau siapa yang
akan membutuhkan dosis yang lebih besar untuk kepentingan terapi. Dengan
bukti baru menunjuk ke arah kekurangan vitamin D yang dikaitkan dengan risiko
IBD, konfirmasi penemuan tersebut akan membuat vitamin D dapat digunakan
sebagai salah satu link pada gen-environment-gut microbiome-interaksi sistem
kekebalan tubuh yang diperlukan untuk hubungannya dengan perkembangan
penyakit IBD. Hal ini juga bermanfaat untuk membuka bahan penelitian apakah
kekurangan vitamin D menyebabkan kausal penyakit meningkat keparahan atau
hanyalah konsekuensi dari penyakit yang berat. Selain itu, perlu diidentifikasi jika
ada kelompok individu yang beresiko tinggi terjadinya defisiensi vitamin D untuk
mencegah onset IBD. Studi berkualitas tinggi lebih lanjut diperlukan untuk
mengevaluasi apakah koreksi kekurangan vitamin D atau jika suplementasi
vitamin D dapat mencegah kekambuhan penyakit, apakah dapat digunakan untuk
menginduksi remisi pada penyakit aktif, dan apakah hal itu memiliki peran dalam
pencegahan komplikasi seperti kanker kolorektal yang telah diidentifikasi pada
pasien non-IBD. Interaksi antara ahli biokimia, ahli epidemiologi gizi, ilmuwan
laboratorium dan peneliti klinis akan membantu menyelesaikan banyak dari
pertanyaan yang tidak terjawab, meningkatkan pemahaman tentang peran vitamin
D, dan aplikasinya dalam praktek klinis.
AUTHORSHIP
Guarantor of the article: Ananthakrishnan. Author contributions: Mouli
and Ananthakrishnan performed literature review. Mouli wrote the first draft of
the manuscript. Ananthakrishnan provided supervision and both authors approved
the final version of the manuscript.
ACKNOWLEDGEMENTS
Declaration of personal interests: Dr Ananthakrishnan has served on the
scientific advisory board of Cubist pharmaceuticals. Declaration of funding
interests: Dr Ananthakrishnan issupported in part by a grant from the National
Institutes of Health (K23 DK097142). This work is also supported by the National
Institutes of Health (NIH) (P30 DK043351) to the Center for Study of
Inflammatory Bowel Diseases.