potensi produk hilir sawit di sektor industri dan …
TRANSCRIPT
1
POTENSI PRODUK HILIR SAWIT DI SEKTOR INDUSTRI DAN
PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DAN LEMAK DALAM
PEREKONOMIAN BALI**)
Made Antara*)
*)Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Bali
Email: [email protected]
*) Makalah disajikan pada Webinar
Outline
ABSTRACT
ABSTRAK
PENDAHULUAN
LUAS AREAL, PRODUKSI DAN EKSPOR MINYAK SAWIT
Kelapa Sawit: Pohon Palem Produktif
Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit
Ekspor Minyak Sawit
Negata Tujuan Ekspor
POTENSI PRODUK HILIR SAWIT DI SEKTOR INDUSTRI
Industri Sawit sebuah Sistem Agribisnis Sawit
Tiga Jalur Hilirisasi Kelapa Sawit
Hilirisasi Sawit Menguatkan Kontribusi Industri Sawit
Mega-Sektor-Sawit: Memperkuat Sistem Ketahanan Pangan, Enerji, Biomaterial, dan
Pelestarian Lingkungan
Prospek Masa Depan Industri Minyak Sawit di Indonesia
HOAX ISU LINGKUNGAN
Isu-Isu Lingkungan Hidup Perkebunan Sawit
Moratorium Konsesi Baru Hutan Perawan
PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEREKONOMIAN BALI
Pariwisata Motor Penggerak Perekonomian Bali
Peran Hasil Industri Hilir Sawit dalam Perekonomian Bali
PENUTUP
Kesimpulan
Rekomendasi
REFERENSI
4 September 2021
Kolaborasi
2
ABSTRACT
Palm oil is one of the plantation commodities that has an important role in the local and national
economy, produces products that are much needed by the industrial sector, absorbs labor, and
generates foreign exchange. Over the last twenty years, the area, production and exports of
crude palm oil have tended to increase. Downstreaming of palm oil in the industrial sector is
able to produce a variety of processed products for export and domestic consumption, and
generate large added value that is able to move the national economy. Tourism as a people's
travel industry involving the hotel, restaurant and travel agency industry is the driving force of
Bali's economy in normal times (without Covid-19), playing a role in absorbing downstream
palm oil industry products such as cooking oil, margarine, candles, soap, various body care
products. , to biodiesel oil which is widely used in the production process of goods and services
in the tourism sector. Thus, the Balinese economy plays a role in encouraging the development
of the palm oil industry in Indonesia, especially from the demand side, because demand can
attract and encourage the production of the downstream palm oil industry. Therefore, it is
recommended that the downstream palm oil industry in Indonesia should continue to be
developed, because processing crude palm oil (CPO) into various kinds of processed products
is able to produce added value that can drive the national economy. The hoax of Indonesian
palm oil plantations that damage the environment that is being campaigned must still be resisted
by presenting true facts and logical arguments, so as to re-awaken Indonesian palm oil
importing countries that palm oil products and other processed products are produced based on
environmentally friendly principles.
Keywords: Downstream Oil Palm, Value Added, Foreign Exchange.
ABSTRAK
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan memiliki peran penting dalam
perekonomian lokal dan nasional, menghasilkan produk yang banyak dibutuhkan oleh sektor
industri, menyerap tenagakerja, dan penghasil devisa. Selama dua puluh tahun terakhir, luas
areal, produksi dan ekspor minyak sawit mentah cenderung meningkat. Hilirisasi sawit di sektor
industri mampu menghasilkan beranekaragam produk olahan untuk ekspor dan konsumsi
domestik, dan menghasilkan nilai tambah besar yang mampu menggerakan perekonomian
nasional. Pariwisata sebagai industri perjalanan orang yang melibatkan industri hotel, restoran
dan biro perjalanan adalah penggerak perekonomian Bali di kala normal (tanpa Coovid-19),
berperanan menyerap produk-produk industri hilir sawit seperti minyak goreng, margarine,
lilin, sabun, berbagai produk perawatan tubuh, hingga minyak biodiesel yang banyak digunakan
dalam proses produksi barang dan jasa di sektor pariwisata. Dengan demikian perekonomian
Bali berperan dalam mendorong pengembangan industri sawit di Indonesia terutama dari sisi
permintaan, karena permintaan dapat menarik dan mendorong produksi industri hilir sawit.
Oleh karena itu disarankan industri hilir sawit di Indonesia sebaiknya terus dikembangkan,
karena pengolahan minyak sawit kasar (CPO) menjadi berbagai macam produk olahan mampu
menghasilkan nilai tambah yang dapat menggerakan perekonomian nasional. Hoax perkebunan
kelapa sawit Indonesia merusak lingkungan yang dikampanyekan harus tetap dilawan dengan
menyajikan fakta-fakta yang benar dan argumentasi yang logis, sehingga menyadarkan kembali
negara-negara importer minyak sawit Indonesia bahwa produk minyak sawit dan produk olahan
lainnya diproduksi berazaskan prinsip-prinsip ramah lingkungan.
Kata Kunci: Hilirisasi Sawit, Nilai Tambah, Devisa Negara.
3
PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan yang mempunyai peran
cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia karena kemampuannya
menghasilkan minyak nabati yang banyak dibutuhkan oleh sektor industri. Sifatnya yang tahan
oksidasi dengan tekanan tinggi dan kemampuannya melarutkan bahan kimia yang tidak larut
oleh bahan pelarut lainnya, serta daya melapis yang tinggi membuat minyak kelapa sawit dapat
digunakan untuk beragam peruntukan, diantaranya yaitu untuk minyak masak, minyak industri,
maupun bahan bakar (biodiesel).
Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di dunia, merupakan salah satu
komoditas unggulan Indonesia, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara eksporter utama
minyak kelapa sawit mentah dan berbagai produk olahannya. Secara umum produk kelapa sawit
yang dikenal di kalangan masyarakat adalah minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan
minyak inti sawit mentah (Crude Palm Kernel Oil, CPKO). Minyak sawit adalah minyak
“ajaib” yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh masyarakat dunia
melalui Indonesia, merupakan salah satu minyak yang paling banyak diproduksi dan
dikonsumsi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan harganya sangat stabil ini
digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa
digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel. Pohon kelapa sawit tumbuh di sekitar dan
sepanjang garis khatulistiwa yaitu Asia, Afrika dan Amerika Selatan, karena pohon sawit
membutuhkan suhu hangat, panjang penyinaran, dan curah hujan cukup dalam proses
produksinya.
Keberhasilan Indonesia menyalip Malayisa membangun perkebunan sawit yang berhasil
merebut posisi sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia sejak tahun 2006, telah membawa
perubahan besar baik dalam pasar minyak sawit dunia maupun pasar minyak nabati dunia
secara keseluruhan. Pangsa Indonesia tahun 2016 mencapai 54 persen dari produksi minyak
sawit dunia. Pada waktu yang bersamaan, minyak sawit juga berhasil mendominasi pasar 4
minyak nabati utama dunia (minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak
sunflower) dengan pangsa 40 persen, menggantikan minyak kedelai yang telah 100 tahun
mendominasi pasar minyak nabati dunia (Anonim, 2017a). Byerlee, et al., 2017 (dalam Anonim
2017a) dari Stanford University dalam bukunya The Tropical Crop Revolution tahun 2017
menyebut bahwa perkembangan industri sawit dikategorikan sebagai suatu revolusi minyak
nabati tropis. Revolusi minyak nabati tropis tersebut yang setara dengan revolusi hijau dunia
tahun 1950-an, telah membawa perubahan besar dalam pasar minyak nabati dunia yang ditandai
dengan dominasi minyak Sawit dalam produksi maupun konsumsi minyak nabati dunia.
Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini
secara total menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit dunia. Indonesia
adalah produsen dan eksportir minyak sawit yang terbesar. Dalam jangka panjang, permintaan
dunia akan minyak sawit menunjukkan kecenderungan meningkat sejalan dengan jumlah
populasi dunia yang bertumbuh dan karenanya meningkatkan konsumsi produk-produk sawit
dengan bahan baku minyak sawit seperti produk makanan dan kosmetik. Sementara itu,
pemerintah di berbagai negara sedang mendukung pemakaian biofuel (Anonim. 2017a).
Perluasan perkebunan sawit di tingkat wilayah (provinsi atau kabupaten) mampu
menyerap banyak tenaga kerja, baik sebagai petani sawit dan pekerja pada perusahaan perkebunan sawit. Perkembangan perkebunan sawit juga berhasil mendorong berkembangnya
sektor ekonomi lainnya, sehingga daerah tersebut tumbuh menjadi pusat ekonomi baru
(agropolitan=kota di areal pertanian), seperti Siak di Riau, Sungai Lilin di Sumatera Selatan
dan Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah. Perkembangan tidak hanya pada level produksi (on-
fam), tetapi juga mendorong berkembangnya industri hilir sawit (off-fam downstream) yang
berkontribusi terhadap perekonomian regional dan nasional melalui penyerapan tenaga kerja,
peningkatan pendapatan dan peningkatan nilai tambah (Anonim, 2021b).
4
Sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia mempunyai potensi
yang besar untuk memasarkan minyak sawit dan inti sawit baik di dalam maupun luar negeri.
Pasar potensial yang akan menyerap pemasaran minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit
mentah (CPKO) adalah industri fraksinasi/ranifasi (terutama industri minyak goreng), lemak
khusus (cocoa butter substitute), margarine/shortening, oleochemical, dan sabun mandi.
Dalam waktu dekat ada dua hal yang bisa mendongkrak ekspor minyak sawit RI. Pertama
adalah kebijakan restocking China terutama menjelang perayaan tahun baru Imlek dan adanya
perayaan Diwali di India November nanti. Dengan populasi masing-masing lebih dari 1,3 miliar
penduduk, India dan China menjadi konsumen sekaligus importir minyak sawit terbesar di
dunia. Impor minyak sawit kedua negara tersebut lebih banyak digunakan untuk kebutuhan
konsumsi. Bulan September-November biasanya menjadi puncak produksi minyak sawit di
Indonesia dan Malaysia. Namun dengan adanya ancaman fenomena iklim La Nina
yang berpotensi menyebabkan banjir bisa menjadi ancaman terhadap pasokan minyak sawit.
Melalui perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang cukup revolusioner, CPO dapat
diolah menjadi berbagai produk turunan yang banyak dibutuhkan oleh berbagai sektor industri
sebagai bahan baku industri, seperti pembuatan minyak goreng, margarine, lilin, sabun,
berbagai produk perawatan tubuh, hingga pembuatan biodiesel yang banyak dibutuhkan oleh
negara-negara Uni Eropa. Industri sawit nasional secara nyata berkontribusi terhadap
perekonomian nasional, kesejahteraan petani sawit, masyarakat konsumen, dan terpenting
adalah memperbaiki kualitas ekologis, yang bertolak belakang dengan hoax industri sawit
Indonesia merusak lingkungan, yang selama ini digunakan sebagai isu black campaign oleh
NGO Uni Eropa.
LUAS AREAL, PRODUKSI DAN EKSPOR MINYAK SAWIT
Kelapa Sawit: Pohon Palem Produktif
Kelapa sawit adalah salah satu pohon palem produktif utama yang dikembangkan di
Indonesia. Tumbuhan ini adalah penghasil minyak nabati terbesar di dunia, terutama karena
minyak dapat diproduksi baik dari serabut buah maupun inti. Minyak sawit dapat digunakan
untuk minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Sifatnya yang tahan
oksidasi dengan tekanan tinggi dan kemampuannya melarutkan bahan kimia yang tidak larut
oleh bahan pelarut lainnya, serta daya melapis yang tinggi membuatnya dapat digunakan untuk
beragam peruntukan. Daerah penyebaran kelapa sawit di Indonesia terutama di daerah pantai
timur Sumatra, Aceh, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat. Penampilan pohon kelapa sawit
agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam.
Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelepah
yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa. Tinggi
tanaman ini dapat mencapai 24 meter. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak
bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak
bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya. Buah
terdiri dari tiga lapisan: 1) Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin. 2)
Mesoskarp, serabut buah 3) Endoskarp, cangkang pelindung inti Inti sawit (kernel, yang
ebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti
berkualitas tinggi. Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E.
oleifera. Jenis pertama yang terluas dibudidayakan orang. dari kedua species kelapa sawit ini
memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan
E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah. banyak orang sedang menyilangkan kedua
species ini untuk mendapatkan species yang tinggi produksi dan gampang dipanen. E. oleifera
sekarang ulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik.
Bagian diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa
sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya.
5
Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki
kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin. Selain dari
bagian serabut buah atau mesokarp, inti atau kernel buah juga dapat diolah menjadi minyak inti
yang kemudian menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Proses pembuatan
minyak sawit dimulai dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C.
Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan
pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan
pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang
akan turun ke bagian bawah lumpur (Anonim, 2013)
Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit
Hanya beberapa industri di Indonesia menunjukkan perkembangan secepat industri
minyak kelapa sawit selama 20 tahun terakhir. Perkembangan ini tampak dalam luas areal,
produksi dan ekspor minyak sawit dari Indonesia. Ditarik oleh permintaan global yang terus
meningkat terhadap produk minyak sawit mentah dan keuntungan yang meningkat, maka
budidaya kelapa sawit di Indonesia meningkatkan secara signifikan, baik diusahakan oleh
petani kecil maupun para pengusaha besar, yang berimbas pada isu negatif pada lingkungan
hidup dan penurunan jumlah produksi produk pertanian lain, karena banyak petani beralih ke
budidaya kelapa sawit. Sebagian besar produk minyak kelapa sawit Indonesia diekspor ke
China (RRT), India, Pakistan, Rusia, dan negara di Uni Eropa.
Berdasarkan Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019 (BPS, 2019), selama 20 tahun
terakhir (2000-2019) luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia cenderung meningkat.
Tahun 2000 hanya seluas 4,2 juta ha, dua puluh tahun kemudian tahun 2019 telah meningkat
menjadi 14,6 juta ha. Jadi selama dua puluh tahun meningkat sebesar 10,4 juta ha (228%) atau
setiap tahun meningkat rata-rata sebesar 52 ribu ha (12,4%) melampau luas perkebuan kelapa
sawit Malaysia (tabel 1). Peningkatan luas areal ini disebabkan oleh adanya usaha ekstensifikasi
atau perluasan areal oleh perusahaan perkebunan swasta dan BUMN.
Peningkatan luas areal sudah tentu diikuti oleh peningkatan produksi. Selama 20 tahun
terakhir (2000-2019), produksi minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) tahun 2000
hanya sebanyak 7,0 juta ton, dua puluh tahun kemudian tahun 2019 produksi meningkat
menjadi 48,4 juta ton. Jadi selama dua puluh tahun (2000-2019) produksi minyak kelapa sawit
mentah meningkat sebesar 41,4 juta ton (591,4%), atau meningkat rata-rata setiap tahun sebesar
2,1 juta ton (29,6%). Sedangkan produksi minyak inti sawit (Crude Palm Kernel Oil, CPKO)
tahun 2000 hanya 1,4 juta ton, dua puluh tahun kemudian tahun 2019 produksi sebanyak 9,7
juta ton. Jadi selama dua puluh tahun (2000-2019), produksi minyak inti sawit meningkat
sebanyak 8,3 juta ton (592,9%), atau meningkat rata-rata setiap tahun sebanyak 415 ribu ton
(29,6%)(tabel 2).
6
Tabel 1
Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Indonesia Menurut Status Pengusahaan (ha), 2000-2019
Sumber: BPS (2019): Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019.
Catatan: data 2019*=data sementara/perkiraan
7
Tabel 2
Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Indonesia Menurut Status Pengusahaan (ton), 2000-2019
Sumber: BPS (2019): Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019.
Catatan: data 2019*=data sementara/perkiraan
Jika diperbandingkan luas areal dan produksi kelapa sawit dalam sebuah grafik batang
dengan hanya mengambil data lima tahun terakhir (2015-2019), maka tampak jelas
perbandingannya seperti gambar 1. Kotak hijau simbul luas areal perkebunan kelapa sawit
cenderung meningkat, diikuti oleh grafik batang warna oranye simbul produksi juga cenderung
meningkat selama lima tahun terakhir (2015-2019). Jadi peningkatan produksi CPO dan CPKO
seiring dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit.
8
Gambar 1
Perkembangan Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia,
2015-2019 (Sumber: BPS, 2019: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019)
Jika diambil hanya produksi kelapa sawit mentah (CPO) tahun 2019 per status
pengusahaan dan per provinsi terlihat seperti infografik gambar 2. Pada grafik tampak bahwa
pengusaha perkebunan kelapa sawit dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu perkebunan besar
swasta, perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara, kontribusnya terhadap total produksi
minyak kelapa sawit tahun 2019, masing-masing 30,1 juta ton (62%), 16,2 juta ton (34%) dan
2,1 juta ton (4%). Jika ditelisik lebih jauh kontribusi per provinsi terhadap total produksi CPO
tahun 2019 yaitu Sumatera Utara sebanyak 14%, Riau sebanyak 20%, Kalimantan Tengah
sebanyak 15%, Sumatera Selatan sebanyak 9%, Kalimantan Barat sebanyak 10%, dan sisanya
mencakup 22 provinsi sebanyak 32%.
9
Gambar 2
Produksi Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) Menurut Provinsi tahun 2019 (Sumber: BPS, 2019: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019)
Adapun sebaran areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia hamper merata di seluruh
Indonesia, mulai dari Sumatera (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan), Kalimantan (Kalbar,
Kalteng dan Kaltim), Sulawesi (Gorontalo, Sultra), Maluku sampai Papua Barat (gambar 3).
10
Gambar 3
Sebaran Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2019 (Sumber: BPS, 2019: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019)
11
Ekspor Minyak Sawit
Pasar utama produksi minyak kelapa sawit Indonesia adalah untuk pasar luar negeri
(ekspor), dan sisanya adalah untuk konsumsi industri di dalam negeri. Produk ekspor minyak
sawit Indonesia adalah minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO), minyak inti kelapa
sawit (Crude Palm Kernel Oil, CPKO), dan produk-produk olahan lanjutan CPO dan CPKO.
Dengan demikian produk ekspor minyak kelapa sawit adalah andalan sumber devisa negara
setelah migas. Namun demikian, Indonesia juga ada menginmpor minyak kelapa sawit dalam
volume kcil.
Selama dua puluh tahun terakhir (2000-2019), seiring peningkatan luas areal dan
produksi, maka volume ekspor CPO, CPKO dan produk olahannya serta perolehan nilai devisa
cenderung meningkat (tabel 3). Tahun 2000 volume ekspor CPO sebanyak 4,1 juta ton dengan
nilai devisa sebanyak 1.087,3 ribu USD, dua puluh tahun kemudian tahun 2019 volume ekspor
ekspor CPO meningkat menjadi 28,3 juta ton dengan perolehan nilai devisa sebanyak 14.716,3
ribu USD. Jadi selama dua puluh tahun (2000-2019) volume ekspor CPO meningkat sebanyak
24,2 juta ton dan nilai devisa meningkat sebanyak 13.639,0 ribu USD, atau setiap tahun volume
ekspor dan nilai devisa meningkat masing-masing sebanyak 1,21 juta ton dan nilia devisa
meningkat sebanyak 681,95 ribu USD.
Berdasarkan kelompok minyak sawit kode Harmonized System (HS), pada tahun 2019
ekspor terbesar adalah Other Palm Oil (HS 15111000) sebesar 69,09% terhadap total ekspor
minyak sawit Indonesia. Berikutnya kontribusi ekspor minyak sawit terbesar adalah Crude
Palm Oil (HS 15111000), Other Palm Oil Kernel (HS 15132900), dan Crude Oil of Palm
Kernel (HS 1513210) dengan kontribusi masing-masing sebesar 24,50%, 4,26% dan 2,15%
terhadap total ekspor (gambar 4).
Gambar 4
Perbandingan Volume Ekspor Minyak Sawit Menurut Jenisnya, 2019 (Sumber: BPS, 2019: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019)
12
Tabel 3
Ekspor dan Impor Minyak Kelapa Sawit dan Inti Sawit, 2000-2019
Sumber: BPS (2019): Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019
13
Jika diambil data volume ekspor dan perolehan nilai devisa hanya lima tahun terakhir
(2015-2019) sebagai bahan perbandingan untuk digambarkan dalam sebuah grafik seperti
disajikan pada gambar 5 (BPS, 2019: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019), tampak bahwa
total ekspor minyak sawit selama lima tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan,
kecuali pada tahun 2016 mengalami penurunan. Peningkatan ekspor minyak sawit terbesar
terjadi pada tahun 2017 dengan volume ekspor sebesar 29,97 juta ton atau meningkat sebesar
19,44% dibandingkan tahun 2016. Namun peningkatan volume ekspor tersebut tidak seiring
dengan peningkatan nilai ekspor, yang justru mengalami penurunan sebesar 12,03% pada tahun
2018 dibandingkan 2017 dan 12,32% pada tahun 2019 dibanding 2018. Penurunan nilai devisa
ini disebabkan oleh penurunan harga minyak sawit di pasar dunia. Berdasarkan publikasi World
Bank Commodities Price Data (The Pink Sheet) yang dirilis pada tanggal 3 November 2020,
tercatat rata-ratga harga minyak sawit di pasar dunia cenderung mengalami penurunan. Pada
tahun 2017, tercatat rata-rata harga minyak sawit sebesar 751** US$/mt. Selanjutnya terjadi
penurunan harga pada tahun 2018 dan 2019 menjadi 639**US$ dan 601**US$/mt.
Gambar 5
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit, 2015-2019
(Sumber: BPS, 2019: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019)
Negata Tujuan Ekspor
Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya
dipasarkan di dalam negeri. Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia menjangkau lima benua
yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa utama di Asia. Pada tahun
2019, lima besar negara pengimpor CPO Indonesia adalah India, Malaysia, Spanyol, Singapura,
dan Belanda. Total ekspor CPO ke lima negara tersebut mencapai 94,08 persen terhadap total
ekspor CPO Indonesia. Negara tujuan ekspor CPO terbesar yaitu India dengan volume ekspor
3,99 juta ton atau 53,88 persen dari total volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai US$ 2.175
juta. Selanjutnya CPO paling banyak diekspor menuju Malaysia dan Spanyol dengan kontribusi
ekspor sebesar 12,56 persen dan 12,54 persen dari total ekspor CPO (gambar 6).
14
Gambar 6
Perbandingan Volume CPO Menurut Negara Tujuan, 2019
(Sumber: BPS, 2019: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019)
Anonim (2021a) menyatakan bahwa akibat dari situasi pendemi yang berdampak
global, performa volume ekspor minyak sawit Indonesia pada 2020 dengan total ekspor
sebanyak 34,007 juta ton turun dibandingkan dengan performa ekspor tahun 2019 sebanyak
37,39 juta ton. Penurunan terbesar terjadi ke China (-1,96 juta ton), ke EU (-280,7 ribu ton), ke
Bangladesh (-323,9 ribu ton), ke Timur Tengah (-230,7 ribu ton) dank e Afrika (-249,2 ribu
ton), sedangkan ekspor ke Pakistan naik (+275,7 ribu ton) dan ke India naik 111,7 ribu ton.
Meskipun terjadi penurunan volume ekspor, secara nilai ekspor tahun 2020 mencapai USD
22,97 miliar lebih tinggi daripada tahun 2019 sebesar USD 20,27 miliar.
Neraca perdagangan bulanan Indonesia pada tahun 2019 hampir selalu negatif dengan
total deficit sebesar USD 3,23 miliar, sedangkan pada tgahun 2020 selalu positif kecuali pada
bulan Januari dan April dengan total nilai USD 21,72 miliar. Selama tahgun 2020, neraca
perdagangan Indonesia surplus sebesar USD 21,27 miliar, di mana ekspor produk kelapa sawit
menyumbang sebesar USD 22,97 miliar. Angka tersebut menunjukan bahwa di masa
pandemic, kontribusi minyak sawit terhadap devis negara sangat signifikan dalam menjaga
neraca perdagangan nasional tetap positif (Anonim, 2021).
Tahun 2021 pengaruh pandemic Coovid-19 diperkirakan belum berakhir. Produksi
minyakj sawit Indonesia 2021 akan naik signifikan karena pemeliharaan kebun yang lebih baik,
cuaca yang mendukung dan harga yang menarik, sehingga diperkirakan produksi mencapai 49
juta ton untuk CPO dan 4,65 juta ton untuk CPKO (Anonim, 2021). Dengan komitmen
pemerintah untuk melanjutkan program B30, konsumsi biodiesel diperkirakan sebesar 8,2 juta
KL (April 2021) yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit. Penggunaan sawit untuk
oleokimia di 2021 diperkirakan sekitar 2 juta ton untuk domestic dan sekitar 4,5 juta ton untuk
ekspor (April 2021)(Anonim 2021). Dengan perkiraan fakta-fakta seperti di atas, maka prospek
perkembangan produksi dan konsumsi minyak kelapa sawit cukup prospektif atau menjanjikan
di tahun 2021 ini.
Posisi sebagai Eksporter
Ekspektasi produksi minyak kelapa sawit dunia disajikan pada tabel 4. Pada tabel 4
tampak bahwa berdasarkan ekspektasi tahun 2016, produksi minyak kelapa sawit dunia sekitar
68,8 juta ton di kontribusi oleh lima negara. Namun Indonesia masih menduduki peringkat
pertama dalam ekspor minyak kelapa sawit dunia, kemudian di urutan kedua dan ketiga disusul
oleh Malaysia dan Thailand.
15
Tabel 4
Ekspektasi Produksi Minyak Kelapa Sawit Dunia tahun 2016
No Negara Produksi (ton metrik)
1 Indonesia 37,785,553
2 Malaysia 21,000,000
3 Thailand 2,200,000
4 Kolombia 1,320,000
5 Nigeria 970,000
Dunia 63,275,553 Sumber: Anonim (2017b)
Catatan: Data Indonesia 2016 dikoreksi berdasarkan data produksi BPS (2019)
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran sederhana di sektor kelapa sawit
Indonesia karena memiliki perkebunan relatif sempit, sementara perusahaan-perusahaan swasta
besar (misalnya, Wilmar Group dan Sinar Mas Group) dominan karena menghasilkan setengah
lebih dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Para petani skala kecil memproduksi sekitar
40% dari total produksi Indonesia. Namun kebanyakan petani kecil ini sangat rentan
keadaannya apabila terjadi penurunan harga minyak kelapa sawit dunia, karena mereka tidak
dapat menikmati cadangan uang tunai (atau pinjaman bank) seperti yang dinikmati perusahaan
besar. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia (misal: Unilever Indonesia) telah atau sedang
melakukan investasi untuk meningkatkan kapasitas penyulingan minyak sawit. Hal ini sesuai
dengan ambisi Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan lebih banyak penghasilan dari sumber
daya alam dalam negeri. Indonesia selama ini berfokus (dan tergantung) pada ekspor minyak
sawit mentah (dan bahan baku mentah lainnya), tetapi selama beberapa tahun terakhir in I
sedang mendorong proses pengolahan produk sumber daya alam supaya memiliki harga jual
yang lebih tinggi dan mendapatkan nilai tambah. Guna mendukung peningkatan nilai tambah
produk kelapa sawit, pengembangan produk hilir sawit jadi pilihan. Anonim (2018)
menyatakan bahwa program peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri tersebut, telah
menghasilkan kinerja gemilang yang terlihat dari indikator rasio ekspor produk hulu dengan
produk hilir yang semula 60%:40% pada tahun 2010 bergeser menjadi 22%:78% di 2017.
Kebijakan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Dalam usaha mendorong perkembangan industri hilir kelapa sawit, pajak ekspor untuk
produk minyak sawit yang telah disuling telah dipotong dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sementara itu, pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) berada di antara 0%-22,5% tergantung
pada harga minyak sawit internasional. Indonesia memiliki 'mekanisme otomatis', sehingga
ketika harga CPO acuan pemerintah (berdasarkan harga CPO lokal dan internasional) jatuh di
bawah 750 USD per metrik ton, pajak ekspor dipotong menjadi 0%. Ini terjadi di antara Oktober
2014 dan Mei 2016 waktu harga acuan ini jatuh di bawah 750 dollar AS per metrik ton.
Masalahnya, bebas pajak ekspor berarti pemerintah kehilangan sebagian besar pendapatan
pajak ekspor (yang sangat dibutuhkan) dari industri minyak sawit. Akhirnya pemerintah
memutuskan untuk mengintroduksi pungutan ekspor minyak sawit di pertengahan 2015.
Pungutan sebesar 50 USD per metrik ton diterapkan untuk ekspor minyak sawit mentah dan
pungutan senilai 30 USD per metrik ton ditetapkan untuk ekspor produk-produk minyak sawit
olahan. Pendapatan dari pungutan baru ini digunakan (sebagian) untuk mendanai program
subsidi biodiesel pemerintah (Anonim, 2017b).
Anonim (2017b) menyatakan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi harga minyak
kelapa sawit, yaitu (1) permintaan & persediaan, (2) harga minyak nabati lain (terutama
16
kedelai), (3) cuaca, (4) kebijakan impor negara-negara importirf minyak kelapa sawit, (5)
perubahan dalam kebijakan pajak dan pungutan ekspor/impor. Pada Februari 2015, Pemerintah
mengumumkan kenaikan subsidi biodiesel dari Rp 1.500 per liter menjadi Rp 4.000 per liter,
sebuah upaya untuk melindungi para produsen biodiesel domestik. Melalui program biodiesel
ini, pemerintah mengkompensasi para produsen karena perbedaan harga antara diesel biasa dan
biodiesel yang terjadi akibat rendahnya harga minyak mentah dunia (sejak pertengahan 2014).
Selain untuk mendanai subsidi ini, hasil dari pungutan ekspor juga disalurkan untuk penanaman
kembali, penelitian, dan pengembangan sumberdaya manusia di industri minyak sawit
Indonesia.
POTENSI PRODUK HILIR SAWIT DI SEKTOR INDUSTRI
Industri Sawit sebagai sebuah Sistem Agribisnis Sawit
Jika penggunakan konsep sistem agribisnis, maka perkebunan sawit nasional saat ini
sudah berkembang meluas mulai dari sektor hulu (up-stream sector), sektor perkebunan sawit
(on-farm sector), sektor hilir (down-stream sector) sampai sektor jasa penunjang (supporting
service sector) yang mendukung semua sektor, sehingga membentuk sebuah sistem yang
disebut sistem agribisnis sawit (gambar 7). Jika ditelusuri peran masing-masing sektor atau
subsistem, yaitu: (1) sektor hulu (up-stream sector) yakni industri-industri yang menghasilkan
barang-barang modal teknologi (embodied technology) bagi kebun sawit maupun untuk sektor
hilir. Sektor hulu ini mencakup industri pembibitan (breeding dan nursery industry), industri
pupuk dan pestisida (agrochemical industry), serta industri peralatan dan mesin (agro-otomotif
industry). (2) Sektor perkebunan kelapa sawit (on-farm sector) yakni berupa kegiatan budidaya
tanaman kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit (kebun sawit) baik kebun sawit rakyat, kebun
sawit swasta maupun kebun sawit BUMN yang saat ini tersebar pada sekitar 200 kabupaten.
Hasil sektor on-farm ini berupa minyak sawit mentah (CPO), minyak Inti (PKO), dan biomas
yang menjadi input bagi sektor hilir. (3) Sektor hilir (down-stream sector) yang mengolah
CPO/CPKO dan biomas menjadi produk olahan baik produk setengah jadi maupun produk jadi.
Termasuk didalamnya yakni industri oleopangan (oleofood industry), industri
oleokimia/biomaterial (biosurfactant, biolubrikan, biofamasi/toiletries/nutrisikal, bioplastic dan
lain-lain) serta industri bioenergi (biodiesel, biopremium/bioethanol, bioavtur, dan lain-lain).
(4) Sektor Jasa pendukung (supporting services sector) yakni industri/lembaga yang
menyediakan jasa bagi sektor hulu, perkebunan dan hilir, seperti lembaga riset dan
pengembangan (litbang), pelatihan/pendidikan SDM, perbankan, asuransi, transportasi,
pelabuhan dan logistik, kebijakan pemerintah (tata ruang, pertanahan, fiskal, moneter,
standarnisasi, perijinan, dan lain-lain), infrastruktur jalan dan lainnya. (5) Sektor perdagangan
dan pemasaran (lokal, antar pulau, internasional), yakni sektor yang berperan sebagai perantara
perdagangan input dari sector hulu ke sektor on-farm atau output dari sector on-farm ke sector
hilir atau ekspor dari sector hilir ke pasar luar negeri, baik berupa minyak sawit mentah maupun
produk olahan sawit. Pelaku di sektor ini ada yang tidak memiliki atau ada yang tidak memiliki
perkebunan sawit.
17
Kelima sektor atau subsistem tersebut merupakan satu kesatuan entitas ekonomi yang
saling terkait dan saling ketergantungan dalam mega-sektor-sawit. Sektor kebun sawit tidak
dapat berkembang tanpa sektor hulu maupun sektor hilir dan demikian sebaliknya. Sektor hulu,
sektor kebun sawit, sektor hilir tidak dapat berkembang tanpa dukungan sektor jasa pendukung
dan sector perantara/intermediary yaitu para pedagang dan eksportir. Menurut Anonim (2017a),
dalam mega-sektor-sawit berlaku teori konvoi yakni kecepatan iring-iringan suatu konvoi
ditentukan oleh elemen konvoi yang paling lambat lajunya. Demikian juga megasektor sawit,
perkembangan megasektor secara keseluruhan ditentukan oleh sektor-sektor yang paling
lambat perkembangannya atau dukungannya. Oleh karena itu, megasektor sawit tersebut perlu
dikelola secara utuh, berimbang dan terintegrasi dari hulu ke hilir.
Tiga Jalur Hilirisasi Kelapa Sawit
Seperti diinformasikan oleh Anonim (2017c), secara umum, jalur hilirisasi kelapa sawit
yang berkembang di Indonesia saat ini dapat dikelompokan atas tiga yaitu: (1) jalur hilirisasi
oleopangan (oleofood complex); (2) jalur hilirisasi oleokimia (oleochemical complex); dan (3)
jalur hilirisasi biodiesel (biofuel complex). Ketiga jalur hilirisasi sawit tersebut dikembangkan
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan domestik (maupun substitusi impor) maupun
memenuhi kebutuhan pasar dunia. Bahkan jika dilihat lebih detail, produk sawit digunakan oleh
seluruh masyarakat dunia selama 24 jam.
Gambar 7
Sistem Agribisnis Kelapa Sawit
18
Gambar 8
Tiga jalur Hilirisasi Minyak Kelapa Sawit (Sumber: Anonim, 2017c)
Hilirisasi Sawit Menguatkan Kontribusi Industri Sawit
Berkembangnya hilirisasi sawit di Indonesia semakin menguatkan kontribusi industri
sawit terhadap perekonomian nasional, salah satunya sebagai sumber devisa. Anonim (2019)
mengatakan bahwa di tengah pandemi dan kelesuan ekonomi global akibat pandemi Covid-19,
minyak sawit dan produk turunannya menjadi kontributor utama dalam net trade Indonesia
yang berhasil memecahkan rekor surplus perdagangan tertinggi mencapai USD 22.9 miliar atau
Rp 321.5 triliun. Selain pada aspek ekonomi dan sosial, pengembangan industri sawit nasional
juga berkontribusi pada lingkungan seperti berperan sebagai “paru-paru ekologis” dengan
fungsi fotosintesis, carbon sink, produksi biomasa, fungsi konservasi tanah dan air (hidrologis),
hingga menjadi solusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui produksi biofuel
yang rendah emisi seperti biodiesel, biohidrokarbon (greenfuel) dan produk bioenergi lainnya.
19
Uraian di atas menunjukkan besarnya peran industri sawit dalam aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan. Namun, besarnya peran dan kontribusi industri sawit tersebut masih dipandang
sebelah mata khususnya oleh generasi milenial dan gen-Z yang sudah terpapar oleh gerakan
anti sawit dan black campaign yang banyak dipublikasikan oleh LSM melalui sosial media.
Sebenarnya black campaign yang menggunakan isu lingkungan, sosial dan kesehatan yang
merusak citra industri sawit merupakan bagian dari agenda politik ekonomi negara importir
terkait proteksionisme dan persaingan dagang antar minyak nabati lainnya. Namun, akibat
ketimpangan informasi yang didapatkan oleh generasi milenial dan gen-Z terkait minyak sawit
yang dapat mengarahkan pada preferensi dan point of view tertentu terhadap sawit yang
dikhawatirkan akan melemahkan industri sawit nasional yang pada akhirnya menimbulkan efek
domino yang negatif terhadap perekonomian, mengingat industri sawit menjadi salah satu
sektor startegis bagi perekonomian Indonesia.
Menurut Matupalesa dkk (2019), Sumatera Utara memiliki potensi besar
mengembangkan hilirisasi industri sawit karena ditunjang oleh area perkebunan yang luas,
berdirinya perusahaan anchor yang membantu proses riset, dan ketersediaan tenaga kerja yang
melimpah. Hilirisasi industri kelapa sawit akan meningkatkan value added dari produk sawit
tersebut yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara dan
Indonesia. Progress hilirisasi sudah berjalan hingga tahap keempat dan untuk mengoptimalan
value added diperlukan hilirisasi lanjutan tahap kelima dan keenam, di mana teknologi untuk
hal tersebut sudah tersedia dan biaya yang diperlukan lebih rendah karena sudah ada
perusahaan anchor sebagai produsen hilirisasi tahap empat yang berposisi sebagai intermediate
input bagi investor hilirisasi lanjutan tersebut.
Mega-Sektor-Sawit: Memperkuat Sistem Ketahanan Pangan, Enerji, Biomaterial, dan
Pelestarian Lingkungan
Mega-sektor-sawit menghasilkan bahan pangan (oleofood), biomaterial, bioenergi dan
jasa lingkungan yang cukup besar, sehingga merupakan bagian penting dari sistem ketahanan
pangan, sistem ketahanan biomaterial, sistem ketahanan bioenergi dan sistem pelestarian
lingkungan hidup nasional (bahkan dunia) baik saat ini maupun di masa yang akan datang.
Dalam bidang sosial, mega-sektor-sawit juga berkontribusi pada penciptaan kesempatan kerja
dan berusaha yang luas dan besar. Mega-sektor-sawit menjadi penggerak ekonomi pedesaan,
pemerataan ekonomi, dan pengurangan kemiskinan khususnya di kawasan pedesaan. Kawasan
sentra-sentra sawit di berbagai daerah telah menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru ekonomi
daerah. Dalam aspek ekologis mega-sektor-sawit juga memiliki peran strategis, seperti dalam
berbagai studi baik dalam maupun luar negeri. Proses produksi biologis perkebunan
sawit merupakan bagian dari “paru-paru dunia” yang menyerap karbondioksida dari atmosfer
bumi dan menghasilkan oksigen bagi kehidupan. Dari 11,8 juta kebun sawit Indonesia (2016)
setiap tahun menyerap sekitar 1,8 milyar ton karbondioksida dari udara bumi dan memasok 200
juta ton oksigen ke udara bumi setiap tahun. Selain itu, bioenergi yang dihasilkannya seperti
biodiesel dapat mengganti energi fosil yang mengotori udara bumi, sehingga merupakan bagian
dari solusi atas pemanasan global khususnya pada penurunan emisi karbon dunia. Manfaat
strategis dari mega-sektor-sawit diproyeksikan masih lebih besar lagi di masa yang akan datang.
Sampai saat ini mega-sektor-sawit nasional masih berada pada tahap awal industrialisasi yakni
pada fase memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam (factor-driven). Tahap industrialisasi
mega-sektor-sawit yang lebih maju dan segera dimasuki adalah tahap peningkatan
produktivitas (capital-driven) dan selanjutnya pada tahap peningkatan produktivitas total dan
nilai tambah tinggi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan SDM kreatif (innovation-
driven). Jika pada saat ini (fase factor-driven) mega-sektor-sawit lebih banyak diperankan
sektor kebun sawit, fase industrialisasi mega-sektor-sawit lebih maju tersebut akan lebih
banyak diperankan oleh sektor hulu, sektor hilir dan sektor jasa penunjang, yang diintegrasikan
20
dengan sektor perkebunan sawit. Industrialisasi lanjutan tersebut akan membawa mega-sektor-
sawit pada produktivitas tinggi, menikmati nilai tambah tinggi dari ratusan produk jadi dan
menghasilkan /menghemat devisa setidaknya 5 kali dari saat ini.
Prospek Masa Depan Industri Minyak Sawit di Indonesia Era booming komoditi 2000-an membawa berkah bagi Indonesia karena berlimpahnya
sumberdaya alam negara ini. Harga minyak sawit naik tajam setelah tahun 2005, namun krisis
global menyebabkan penurunan tajam harga CPO di tahun 2008. Terjadi rebound yang kuat
namun setelah tahun 2011 harga CPO telah melemah, terutama karena permintaan dari China
menurun, sementara rendahnya harga minyak mentah (sejak pertengahan 2014) mengurangi
permintaan biofuel berbahan baku minyak sawit. Karena itu, prospek industri minyak sawit
suram dalam jangka waktu pendek, terutama karena Indonesia masih terlalu bergantung pada
CPO dibandingkan produk-produk minyak sawit olahan. Pada saat permintaan global kuat,
bisnis minyak sawit di Indonesia menguntungkan karena alasan-alasan berikut (Anonim
2017b):
Margin laba yang besar, sementara komoditi ini mudah diproduksi
Permintaan internasional yang besar dan terus berkembang seiring kenaikan jumlah penduduk global
Biaya produksi minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia adalah yang paling murah di dunia
Produktivitas lebih tinggi dibandingkan produk minyak nabati lainnya.
Penggunaan biofuel diduga akan meningkat secara signifikan, sementara penggunaan besin diperkirakan akan berkurang
Namun, terdapat beberapa permasalahan yang menghalangi perkembangan industri
minyak sawit dunia, yaitu:
Kesadaran pentingnya membuat lebih banyak kebijakan ramah lingkungan
Konflik masalah tanah antara investor dengan ngan penduduk lokal karena ketidakjelasan kepemilikan tanah
Ketidakjelasan hukum dan perundang-undangan
Biaya logistik yang tinggi karena kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia
(GIMNI)(dalam Anonim, 2018) menginformasikan bahwa konsumsi minyak sawit di dalam
negeri dapat menyentuh angka 12,759 juta ton, lebih tinggi dari tahun 2017 sebanyak 11,056
juta ton. Pemakaian CPO domestik digunakan lebih dominan kepada industri pangan, dengan
rincian sebanyak 8,414 juta ton untuk makanan dan specialty fats, sementara 845 ribu ton untuk
oleochemical dan soap noodle. Lalu, 3,5 juta ton memenuhi kebutuhan biodiesel. Merujuk dari
data tersebut, berati industri hilir sawit tetap menjanjikan. Sahat Sinaga, menjelaskan industri
hilir sawit tetap menarik di tahun ini, baik untuk sektor minyak nabati, oleokimia, maupun
biodiesel.
HOAX ISU LINGKUNGAN
Isu-Isu Lingkungan Hidup Perkebunan Sawit Pencapaian industri sawit nasional yang demikian impressive, telah mencuri perhatian
publik global. Masyarakat umum, akademisi, LSM di negara-negara maju (EU, USA),
lembaga-lembaga internasional, dalam beberapa tahun terakhir tekun memantau perkembangan
industri sawit nasional. Berbagai bentuk kampanye negatif dan kebijakan protektif untuk
menjegal sawit, merupakan bagian dari reaksi atas revolusi minyak sawit yang membuat
produsen minyak nabati lain merasa terancam. Ironisnya, publik di Indonesia di mana kebun-
kebun sawit berada sebagian besar malah belum mengetahui secara pasti perkembangan
industri sawit nasional. Jangan-jangan pemerintah juga belum mengetahui sudah seperti apa
industri sawit yang mengguncang dunia itu.
21
Pemerintah Indonesia telah sering dikritik kelompok-kelompok pencinta lingkungan
hidup karena terlalu banyak memberikan ruang untuk perkebunan kelapa sawit yang berdampak
pada penggundulan hutan dan penghancuran lahan bakau. Sejalan semakin banyaknya
perusahaan internasional yang mencari minyak sawit ramah lingkungan sesuai dengan kriteria
Roundtable on Sustainable Palm Oil - perkebunan-perkebunan di Indonesia dan pemerintah
perlu mengembangkan kebijakan-kebijakan ramah lingkungan. Para pemerintah negara-negara
barat (misalnya Uni Eropa) telah membuat aturan-aturan hukum yang lebih ketat mengenai
produk-produk impor yang mengandung minyak sawit, dan karena itu mendorong produksi
minyak sawit yang ramah lingkungan.
Pada tahun 2011, Indonesia medirikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang
bertujuan untuk meningkatkan daya saing global dari minyak sawit Indonesia dan mengaturnya
dalam aturan-aturan ramah lingkungan yang lebih ketat. Semua produsen minyak sawit di
Indonesia didorong untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Namun, ISPO ini tidak diakui secara
internasional.
Moratorium Konsesi Baru Hutan Perawan Pemerintah Indonesia menandatangani moratorium berjangka waktu dua tahun
mengenai hutan primer yang mulai berlaku 20 Mei 2011 dan selesai masa berlakunya pada Mei
2013. Setelah habis masa berlakunya, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
memperpanjang moratorium ke dua tahun selanjutnya. Moratorium ini mengimplikasikan
pemberhentian sementara dari pemberian izin-izin baru untuk menggunakan area hutan hujan
tropis dan lahan bakau di Indonesia. Sebagai gantinya Indonesia menerima paket 1,0 milyar
dollar AS dari Norwegia. Pada beberapa kesempatan, media internasional melaporkan bahwa
moratorium ini telah dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Kendati begitu,
moratorium ini berhasil membatasi - untuk sementara - ekspansi perkebunan-perkebunan sawit.
Pihak-pihak yang skeptis terhadap moratorium tersebut menunjukkan bahwa sebelum
penerapannya Pemerintah Indonesia telah memberikan konsesi tanah seluas 9 juta hektar untuk
lahan baru. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar minyak sawit masih memiliki lahan luas
yang baru setengahnya ditanami, berarti masih banyak ruang untuk ekspansi. Pada Mei 2015,
Presiden Joko Widodo kembali memperpanjang moratorium ini untuk periode 2 tahun.
PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM PEREKONOMIAN BALI
Pariwisata Motor Penggerak Perekonomian Bali
Salah satu destinasi pariwisata di Indonesia adalah pulau Bali. Bahkan masyarakat dunia
merupakan yang pertama mengakui Bali sebagai tujuan wisata, sejak dibukanya Hotel Bali pada
tahun 1928. Sejak saat itu jumlah wisatawan meningkat dari beberapa ratus menjadi ribuan
orang per tahun. Di antara pengunjung, beberapa orang terkenal menjadikan Bali sebagai
tempat pesta. Orang-orang yang membuat foto tentang Bali, bahkan membuat film dengan
reputasi Bali sebagai pulau yang indah, unik dan eksotik yang dikenal masyarakat dunia
(Picard, 1996). Bukti lain tentang Bali yang sangat terkenal di mata dunia adalah dengan adanya
berbagai penghargaan internasional yang telah diterima Bali. Salah satunya diberikan oleh
Majalah Travel and Leisure yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), yang
menobatkan pulau pariwisata Bali sebagai terbaik kedua di dunia tahun 2015 (Kompas.com
Travel, 2016).
Sejak tahun 1980-an kepariwisataan di Bali mulai berkembang dan tahun 1990-an
mencapai perkembangan sangat pesat, sehingga Bali menjadi salah satu ikon pariwisata
Indonesia dan menjadi daerah tujuan wisata utama di Indonesia dan daerah tujuan wisata
tervafourit di dunia. Hal ini membawa dampak terhadap perekonomian Bali, baik secara mikro
maupun makro.
22
Perekonomian Bali yang didominansi oleh pariwisata mempunyai karakteristik yang
unik dibandingkan dengan perekonomoian provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pilar-pilar
ekonomi yang dibangun lewat keunggulan industri pariwisata sebagai leading sector, telah
membuka beragam peluang yang dapat mendorong aktivitas ekonomi dan pengembangan etos
kerja masyarakat. Dimensi itu tergambar dari meluasnya kesempatan kerja, besarnya peluang
peningkatan pendapatan masyarakat, luasnya jaringan pemasaran yang meliputi batas-batas
lokal sampai tingkat nasional, bahkan ke tingkat internasional. Dengan dukungan industri
pariwisata yang sangat besar telah meyebabkan sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan
langsung seperti perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, keuangan dan jasa-jasa
memberikan distribusi yang cukup besar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Bali, dan
penerimaan devisa bagi negara.
Peranan sektor pariwisata dalam perekonomian Bali tidak hanya dari kontribusinya
terhadap pembentukan nilai tambah bruto, tetapi juga dapat dilihat dari pengeluaran wisatawan
untuk pembelian barang dan jasa selama berada di Bali. Pengeluaran wisatawan dapat
memberikan dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung merupakan akibat
dari pembelian langsung wisatawan terhadap barang dan jasa yang tersedia di wilayah, di mana
wisatawan tersebut melakukan perjalanan. Sedangkan dampak tidak langsung meliputi
pembelian terhadap barang dan jasa oleh wisatawan di mana secara tidak langsung
mempengaruhi sektor-sektor ekonomi yang memproduksi barang dan jasa tersebut baik
produsen maupun penyediaannya/perdagangan seperti pedagang besar yang menjual barang ke
pedagang eceran yang selanjutnya dibeli oleh wisatawan atau produsen yang menghasilkan
barang/jasa yang barang dan jasanya dibeli oleh wisatawan melalui pedagang eceran dsb.
Perekonomian Bali (di era Normal/tanpa pandemi Covid-19) digerakkan oleh sektor
pariwisata, didukung oleh sektor pertanian dan sector industri kecil dan menengah. Antara dan
Sri Sumarniasih (2017) mencatat bahwa (1) Kontribusi pariwisata Bali terhadap Pariwisata
Nasional sangat penting, karena sekitar 36% dari total wisatawan mancanegara yang
berkunjung ke Indonesia pada tahun 2015 datang langsung ke Bali. Hal ini menunjukkan bahwa
destinasi pariwisata Bali berpotensi menjadi sumber devisa pemerintah Indonesia. Oleh karena
itu, pemerintah Indonesia saat ini sangat berharap pariwisata menjadi sumber devisa pelengkap
devisa dari ekspor komoditas pertanian dan migas; (2) Apabila pariwisata diwakili oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran, maka kontribusi pariwisata terhadap perekonomian Bali
(Produk Domestik Regional Bruto, PDRB dari sisi produksi) sebesar 27,82% pada tahun 2010
meningkat menjadi 31,35% pada tahun 2014 (update data: 41,59% tahun 2019, sebelum
Pandemi Covid-19). Namun jika pariwisata diwakili oleh sektor tersier (sektor jasa), kontribusi
pariwisata terhadap perekonomian Bali (PDRB Bali) sebesar 65,28% pada tahun 2010
meningkat menjadi 68,28% pada tahun 2014 (update data: 75,56% tahun 2019, sebelum
Pandemi Covid-19). Maknanya, peran pariwisata dalam pembentukan PDRB Bali atau peran
pariwisata sebagai penggerak utama perekonomian Bali relatif besar; (3) Banyaknya kegiatan
ekonomi di Bali (bahkan di luar Bali) yang terkait langsung, tidak langsung dan terimbas
dengan jasa pariwisata, sehingga kegiatan ekonomi tersebut banyak menyerap tenaga kerja.
Jika pariwisata diwakili oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, jumlah tenaga kerja yang
bekerja di bidang pariwisata sebanyak 571.274 orang (26,24%) pada tahun 2010, dan
meningkat menjadi 628.585 orang (27,64%) pada tahun 2014. Jika pariwisata diwakili oleh
sektor tersier (sektor jasa), maka jumlah tenaga kerja yang bekerja di bidang pariwisata
sebanyak 1.046.530 orang (48,96%) pada tahun 2010, dan meningkat menjadi 1.178.201 orang
(51,81%) pada tahun 2014. Artinya pariwisata di Bali berperan besar dalam menyerap tenaga
kerja atau menciptakan lapangan kerja.
Dari segi ekonomi, dampak positif pariwisata di Bali dapat dilihat dari beberapa
indikator, yaitu (1) sebagai sumber devisa negara, (2) potensi pasar barang dan jasa yang
dihasilkan oleh masyarakat setempat, (3) ) untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang
23
kegiatannya secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan jasa pariwisata, (4)
meningkatkan kesempatan kerja, baik di sektor-sektor yang berhubungan langsung seperti
hotel, restoran, dan agen perjalanan, maupun pada sektor-sektor keterkaitan tidak langsung
seperti Industri kerajinan tangan, penyediaan hasil pertanian, atraksi budaya, usaha eceran, dan
kegiatan jasa lainnya, (5) sebagai sumber pajak tidak langsung daerah, dan (6) merangsang
kreativitas seniman, seperti industri kecil, dan seni pertunjukan tradisional (Antara dan Pitana,
2009). Dampak positif yang begitu besar ditimbulkan oleh pariwisata di Bali, karena pariwisata
di Bali mempunyai keterkaitan langsung, tidak langsung, dan terinduksi dengan kegiatan atau
sektor ekonomi lainnya (Antara, 1999).
Peran Hasil Industri Hilir Sawit dalam Perekonomian Bali
Hasil industri hilir sawit memang tidak berkontribusi langsung dalam pembentukan
output sector-sektor perekonomian Bali seperti halnya perekonomian suatu Provinsi di
Sumatera atau Kalimantan yang memilik perkebunan kelapa sawit dan industri hilir sawit,
karerna di Bali memang tidak ada perkebunan dan pengolahan sawit. Namun secara tidak
langsung produk industri hilir sawit seperti minyak goreng, margarine, lilin, sabun, berbagai
produk perawatan tubuh, hingga minyak biodiesel banyak digunakan dalam proses produksi
barang dan jasa di sector pariwisata, restoran atau biro perjalanan, dan masyarakat Bali pada
umumnya. Dengan demikian produk industri hilir sawit berkontribusi besar dalam
mempercepat perputaran roda perekonomian Bali, dengan kata lain sebagai pelumas motor
penggerak perekonomian Bali yaitu pariwisata dan industri kecil dan menengah, sehingga dapat
dikatakan produk industri hilir sawit memiliki peran besar dalam perekonomian Bali. Misal,
Produk hilir sawit berupa minyak goreng sangat banyak dikonsumsi masyarakat Bali dan
pariwisata, al. Bimoli, Filma, Tropical, Slim, Sunco, Sania. Kunci Mas, Sedaap, Fortune, dan
Forvita. Minyak biodiesel dikonsumsi oleh sektor transportasi. Produk-produk oleopangan dan
eleokimia banyak dikonsumsi industri kecil dan menengah di berbagai sektor perekonomian di
Bali.
PENUTUP
Kesimpulan
1) Produk minyak sawit mentah (CPO) memiliki potensi besar dikembangkan di sektor
industri hilir, yang menghasil nilai tambah besar di dalam negeri untuk menggerakan
perekonomian nasional, dibandingkan diekspor dalam bentuk CPO yang tidak
menghasilkan nilai tambah.
2) Pariwisata sebagai industri perjalanan orang yang melibatkan industri hotel, restoran dan
biro perjalanan adalah penggerak perekonomian Bali di kala normal (tanpa Coovid-19),
berperanan menyerap produk-produk industri hilir sawit seperti minyak goreng, margarine,
lilin, sabun, berbagai produk perawatan tubuh, hingga minyak biodiesel yang banyak
digunakan dalam proses produksi barang dan jasa di sektor pariwisata. Dengan demikian
perekonomian Bali berperan dalam mendorong pengembangan industri sawit di Indonesia
terutama dari sisi permintaan, karena permintaan dapat menarik dan mendorong produksi
industri hilir sawit.
Rekomendasi
1) Industri hilir sawit di Indonesia sebaiknya terus dikembangkan, karena pengolahan minyak
sawit mentah (CPO) menjadi berbagai macam produk olahan hilir mampu menghasilkan
nilai tambah, yang dapat menggerakan perekonomian nasional.
2) Hoax perkebunan kelapa sawit Indonesia merusak lingkungan harus tetap dilawan dengan
menyajikan fakta-fakta yang benar dan argumentasi yang logis, sehingga menyadarkan
24
kembali negara-negara importer minyak sawit Indonesia bahwa produk minyak sawit dan
produk olahan lainnya diproduksi berazaskan prinsip-prinsip ramah lingkungan.
REFERENSI
Anonim. 2013. Market Brief Kelapa Sawit dan Olahannya. Kementerian Perdagangan
republic Indonesia. Tersedia:
http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/admin/docs/researchcorner/8491378877725.pd
f.
Anonim. 2017a. Megasektor Sawit dan Kebutuhan Pengelolaan Baru | Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Tersedia: https://gapki.id/news/3152/megasektor-
sawit-dan-kebutuhan-pengelolaan-baru.
Anonim. 2017b. Minyak Kelapa Sawit. Dalam Indonesian Investment. Tersedia:
https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166.
Anonim. 2017c. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Sawit Minyak Sawit
Indonesia. Dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Tersedia:
https://gapki.id/news/2422/strategi-dan-kebijakan-pengembangan-industri-hilir-minyak-
sawit-indonesia
Anonim. 2018. Produk Hilir Sawit Diminati Pasar Global. Berita Sawit Indonesia, 4 Juli
2018. Tersedia: https://sawitindonesia.com/produk-hilir-sawit-diminati-pasar-global/
Anonim. 2019. Pacu Industri Hilir Sawit, Untuk Tingkatkan Nilai Tambah. Dalam Info Sawit.
Tersedia: https://www.infosawit.com/news/9404/pacu-industri-hilir-sawit--untuk-
tingkatkan-nilai-tambah.
Anonim. 2021a. Refleksi Industri Sawit 2020 dan Prospek 2021. Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI). Tersedia: https://gapki.id/news/18768/refleksi-industri-sawit-
2020-prospek-2021.
Anonim. 2021b. TOR Palm O’Corner. Webinar PALM O’CORNER, yang diselenggarakan
oleh Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) berkolaborasi dengan
Himpunan Mahasiswa Agribisnis (HIMAGRI) Universitas Udayana dengan topik
“Industri Sawit: Hoax Vs Fakta” yang dilaksanakan pada 4 September 2021.
Antara, M. 1999. Impact of Government Expenditure and Tourism on Performance of Bali
Economy: Social Accounting Matrix Approach. Doctoral Dissertation at the Department
of Agriculture Economic, Post Graduate School, Bogor Agricultural Institute.
Antara, Made dan Sri Sumarniasih, Made. 2017. Role of Tourism in Economy of Bali and
Indonesia. Journal of Tourism and Hospitality Management December 2017, Vol. 5, No.
2, pp. 34-44 ISSN: 2372-5125 (Print), 2372-5133 (Online) Copyright © The Author(s). All
Rights Reserved. Published by American Research Institute for Policy Development DOI:
10.15640/jthm.v5n2a4 URL: https://doi.org/10.15640/jthm.v5n2a4.
Antara, Made and Pitana, IG.. 2009. Tourism Labour Market in the Asia Pacific Region: The
Case of Indonesia. PPt. Presented at the Fifth UNWTO International Conference on
Tourism Statistics: Tourism an Engine for Employment Creation. Held in Bali, Indonesia,
30 March – 2 April 2009. https://webunwto.s3-eu-west-
1.amazonaws.com/imported_images/39102/antara.pdf.
BPS. 2019. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019-Indonesian Oil Palm Statistics 2019.
Penerbit/Published by: Badan Pusat Statistik/BPS–Statistics Indonesia. Tersedia: https://www.bps.go.id › publication › 2020/11/30 › stat.
Matupalesa, A; Fanani, I dan Nauly, Y.D. 2019. Hilirisasi Industri Sawit di Sumatera Utara-
Downstreaming Palm Oil Industry in North Sumatera. In ResearchGate.
https://www.researchgate.net/publication/333675851. DOI:10.31092/jpbc.v3i1.280
Picard, Michael. 2016. Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore Archipelago
Press. 231 pages.