pola pertumbuhan dan reproduksi ikan kuniran … · dr. ir. yunizar ernawati, ms selaku dosen...
TRANSCRIPT
i
POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN
(Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK
JAKARTA, JAKARTA UTARA
NANI TRIANA
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa usulan penelitian yang berjudul :
Pola Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Kuniran (Upeneus moluccensis
Bleeker, 1855) Di Perairan Teluk Jakarta, Jakarta Utara
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Nani Triana
C24070008
iii
RINGKASAN
Nani Triana. C24070008. Pola Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Kuniran
(Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) di Perairan Teluk Jakarta, Jakarta Utara.
Dibawah bimbingan Yunizar Ernawati dan Achmad Fachruddin.
lkan kuniran (Mullidae) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang
mempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah
satunya di perairan teluk Jakarta. Ikan kuniran merupakan hasil tangkapan
sampingan yang diolah menjadi terasi, ikan asin, pakan udang dan ikan, serta
dijadikan makanan olahan seperti otak-otak. Walaupun bukan merupakan tangkapan
utama, namun ikan kuniran selalu tertangkap oleh para nelayan dan tidak jarang
pula pada ikan-ikan kecil serta ikan yang matang gonad juga ikut tertangkap. Akibat
tangkapan secara terus menerus menyebabkan populasi ikan kuniran mulai menurun
yang ditunjukkan dengan ikan yang matang gonad ketika berumur muda. Oleh
karena itu diperlukan kajian mengenai biologi reproduksi yang dapat digunakan
sebagai dasar pengelolaan di Teluk Jakarta.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan bulan Oktober
2010. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Kalibaru, Jakarta Utara. Ikan contoh diambil dengan selang waktu 2 minggu sekali,
dimana sekali pengambilan ikan contoh sebanyak 100 ekor. Total ikan contoh yang
diambil selama penelitian adalah 800 ekor untuk analisis hubungan panjang-berat
dan 400 ekor untuk analisis aspek reproduksi, yang meliputi nisbah kelamin, tingkat
kematangan gonad, indeks kematangan gonad, faktor kondisi, fekunditas, dan
diameter telur yang dianalisis di laboratorium Biologi Makro I.
Sebaran ikan kuniran berkisar antara 96-175 mm. Rata-rata faktor kondisi ikan
kuniran jantan adalah 1,0480-1,1053 sedangkan faktor kondisi ikan kuniran betina
adalah 0,8527-0,9989. Pola pertumbuhan ikan kuniran baik jantan maupun betina
bersifat allometrik negatif. Proporsi kelamin antara ikan jantan dengan ikan betina
adalah 1:1,5. Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad,
diduga waktu pemijahan ikan kuniran pada bulan September dimana ukuran pertama
kali matang gonad berdasarkan selang kelas panjang untuk ikan kuniran jantan
sebesar 144-151 mm sedangkan ikan kuniran betina sebesar 136-143 mm. Nilai rata-
rata fekunditas terbesar terdapat pada bulan September yang merupakan waktu
pemijahan bagi ikan kuniran. Berdasarkan pola penyebaran diameter telur, ikan
kuniran memiliki tipe pemijahan total spawning.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah penelitian mengenai biologi
reproduksi dilakukan selama 1 tahun dengan jumlah contoh yang lebih banyak.
Perlu juga adanya data sekunder mengenai jumlah hasil tangkapan ikan kuniran,
jumlah nelayan, serta jumlah armada penangkapan. Selain itu penelitian ini
diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan untuk kegiatan upaya pengelolaan
berupa pengaturan musim penangkapan, daerah penangkapan, serta pengaturan
upaya penangkapan. Hal tersebut untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan
kuniran.
iv
POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN
(Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK
JAKARTA, JAKARTA UTARA
NANI TRIANA
C24070008
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
v
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul Skripsi : Pola Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Kuniran (Upeneus
moluccensis Bleeker, 1855) di Perairan Teluk Jakarta,
Jakarta Utara
Nama Mahasiswa : Nani Triana
NIM : C24070008
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Ir. Yunizar Ernawati, MS Dr. Ir. Achmad Fachruddin, M.Si
NIP. 19490617 197911 2 001 NIP. 19640327 198903 1 003
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 14 Maret 2011
vi
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pola
Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Kuniran (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) di
Perairan Teluk Jakarta, Jakarta Utara”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing pertama
dan Dr. Ir. Achmad Fachruddin, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah
banyak membantu dalam pemberian bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga
skrisi ini memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang terkait.
Bogor, Maret 2011
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Achmad
Fachruddin, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan
skripsi.
2. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan dan Ir. Zairion,
M.Sc selaku dosen penguji tamu atas saran, nasehat, serta perbaikan yang
diberikan.
3. Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas arahan,
motivasi, dan nasehat selama masa perkuliahan.
4. Keluarga tercinta, Papa (Bapak Tugiran), Mama (Ibu Nermi A), kakakku (Mba
Tati), adik-adikku (Ani D dan M Nur Rizaldi) serta Pandu Mahendratama atas
do’a, motivasi, dan kasih sayangnya.
5. Seluruh staf Tata Usaha MSP serta Bapak Ruslan selaku staf Laboratorium
Biologi Makro I (BIMA I) yang telah membantu memperlancar proses penelitian
serta penulisan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabatku MSP 44 atas perhatian, motivasi, dan nasehatnya.
7. Kakak-kakak MSP 43, adik-adik MSP 45, tim asisten Fisiologi Hewan Air, dan
seluruh penghuni pondok Sabrina atas do’a dan semangatnya selama ini.
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 25 Desember 1989 dari pasangan
Bapak Tugiran dan Ibu Nermi Agustiningsih. Penulis merupakan
anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah
ditempuh yaitu SDN Makassar 01 Pagi, Jakarta Timur (1995-
2001). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan formal di
SLTPN 150 Kramat Jati, Jakarta Timur (2001-2004) dan SMAN
9 Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur (2004-2007). Pada
tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (2008/2009), anggota
divisi public relationship Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan
(HIMASPER) (2008/2009), serta aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan.
Selain itu, penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Fisiologi Hewan Air
(2009/2010) dan Fisiologi Hewan Air (2010/2011).
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis
melaksanakan penelitian yang berjudul “Pola Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan
Kuniran (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) di Perairan Teluk Jakarta,
Jakarta Utara”.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3. Tujuan........... ........................................................................................ 3
1.4. Manfaat.......... ....................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1. Ikan Kuniran (Upeneus moluccensis) ................................................... 4
2.2. Perairan Teluk Jakarta .......................................................................... 5
2.3. Siklus Hidup dan Daerah Pemijahan ... .................................................. 6
2.4. Pertumbuhan ........................................................................................ 7
2.5. Aspek Reproduksi ............................................................................... 8
2.5.1. Faktor Kondisi ........................................................................... 9
2.5.1. Nisbah kelamin .......................................................................... 9
2.5.2. Tingkat kematangan gonad ......................................................... 10
2.5.3. Indeks kematangan gonad .......................................................... 11
2.5.4. Fekunditas .................................................................................. 12
2.5.5. Diameter telur ............................................................................. 13
3. METODE PENELITIAN ........................................................................ 15
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................ 15
3.2. Alat dan Bahan ..................................................................................... 16
3.3. Metode Kerja ....................................................................................... 16
3.3.1. Prosedur kerja di lapang ............................................................. 16
3.3.2. Prosedur kerja di laboratorium ................................................... 16
a. Tingkat kematangan gonad ..................................................... 16
b. Analisis struktur histologis gonad ... ....................................... 17
c. Fekunditas .............................................................................. 17
d. Diameter telur ......................................................................... 18
3.4. Analisis Data ........................................................................................ 18
3.4.1. Sebaran frekuensi panjang .......................................................... 18
3.4.2. Aspek pertumbuhan dan reproduksi ............................................ 19
a. Hubungan panjang - berat ....................................................... 19
b. Faktor kondisi ........................................................................ 19
x
c. Nisbah kelamin ....................................................................... 20
d. Indeks kematangan gonad ....................................................... 20
e. Fekunditas .............................................................................. 21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 22
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... ..................................................... 22
4.2. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Kuniran (Upeneus moluccensis).......... 22
4.3. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi ..................................................... 26
4.3.1. Hubungan panjang-berat ............................................................ 26
4.3.2. Faktor kondisi ............................................................................ 28
4.3.3. Nisbah kelamin ... ....................................................................... 30
4.3.4. Tingkat kematangan gonad ........................................................ 31
4.3.5. Indeks kematangan gonad .......................................................... 35
4.3.6. Fekunditas................................................................................... 37
4.3.7. Diameter telur ............................................................................ 40
4.4. Ukuran Mata Jaring … .......................................................................... 42
4.5. Implikasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kuniran … .................. 43
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 44
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 44
5.2. Saran ................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penentuan TKG secara morfologi (Effendie 2002) ..................................... 17
2. Nisbah kelamin ikan kuniran (Upeneus moluccensis) ... .............................. 30
3. Ukuran mata jaring yang disarankan ... ...................................................... 42
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kuniran .................................. 2
2. Ikan kuniran (Upeneus moluccensis, Bleeker 1855) ..................................... 4
3. Lokasi penelitian ... ..................................................................................... 15
4. Sebaran selang kelas ukuran panjang ikan kuniran
(Upeneus moluccensis) ............................................................................... 23
5. Sebaran ukuran panjang ikan kuniran (Upeneus moluccensis) untuk setiap
pengambilan data ... .................................................................................... 25
6. Hubungan panjang-berat ikan kuniran (Upeneus moluccensis) ... ................ 27
7. Pola pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan
jenis kelamin ................................................................................................. 27
8. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina
berdasarkan selang kelas panjang ... ............................................................ 28
9. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina
berdasarkan waktu pengambilan data ... ...................................................... 29
10. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan
dan betina berdasarkan waktu pengambilan data ... ..................................... 31
11. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan
dan betina berdasarkan selang kelas panjang total ... ................................... 32
12. Struktur histologis gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan pada
TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV ... .................................................... 33
13. Struktur histologis gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina pada
TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV ... .................................................... 34
14. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan
dan betina berdasarkan waktu pengambilan data ... ..................................... 35
15. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan
dan betina berdasarkan selang kelas panjang total ... ................................... 36
16. Hubungan antara panjang total dengan fekunditas TKG IV ikan kuniran
(Upeneus moluccensis) ............................................................................... 37
17. Hubungan antara fekunditas dngan berat total TKG IV ikan kuniran
(Upeneus moluccensis) ............................................................................... 39
xiii
18. Sebaran fekunditas ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan waktu
pengambilan data ... .................................................................................... 39
19. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan
selang kelas diameter telur ... ...................................................................... 40
20. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan
waktu pengambilan data ... .......................................................................... 41
21. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) pada bagian
anterior, median, dan posterior ... ................................................................ 41
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ...................................... 49
2. Metode pembuatan preparat histologis (Hermawati 2006) ... ....................... 50
3. Frekuensi panjang hasil tangkapan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) ... . 51
4. Uji t untuk hubungan panjang-berat ikan kuniran (Upeneus moluccensis) ... 52
5. Contoh perhitungan faktor kondisi ... .......................................................... 52
6. Contoh perhitungan indeks kematangan gonad ... ........................................ 52
7. Contoh perhitungan fekunditas ... ................................................................ 53
8. Selang kelas diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) ................ 53
9. Perhitungan ukuran mata jaring yang disarankan ... ..................................... 54
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
lkan kuniran (Mullidae) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang
rnempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia
(Ernawati and Sumiono 2006). Harga dari ikan kuniran relatif murah sehingga
banyak masyarakat yang lebih memilih untuk membeli ikan ini. Ikan kuniran hampir
tersebar diseluruh perairan Indonesia, salah satunya adalah Teluk Jakarta.
Teluk Jakarta merupakan salah satu kawasan pesisir yang saat ini menjadi
perhatian dalam perencanaan pengelolaan. Umumnya kegiatan pengelolaan
perikanan, mulai dilakukan ketika isu-isu perikanan mulai berkembang. Sangat
jarang ditemui adanya upaya pengelolaan perikanan yang diberlakukan sejak awal
pengembangan suatu kegiatan perikanan (Widodo and Suadi 2008). Disekitar Teluk
Jakarta terdapat berbagai kegiatan seperti industri, pelabuhan perikanan, pelabuhan
kayu, serta tempat penangkapan ikan seperti Kalibaru.
Harga ikan kuniran di tempat pelelangan ikan Kalibaru relatif murah, sehingga
masyarakat sekitar pelelangan mengolah ikan kuniran sebagai ikan asin, otak-otak,
terasi, dan juga pakan dalam budidaya udang dan ikan yang memiliki nilai jual yang
lebih tinggi dibandingkan ikan dalam bentuk segar (Sjafei and Susilawati 2001). Hal
ini membuat para nelayan meningkatkan hasil tangkapan dari ikan kuniran. Namun,
penangkapan dari ikan kuniran tidak mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan
sumberdaya perikanan. Jika hal ini terus berlanjut maka dikhawatirkan dapat
merugikan usaha penangkapan serta sumberdaya perikanan ikan kuniran untuk masa
yang akan datang.
Sebagai populasi atau komunitas hidup, ikan kuniran merupakan sumberdaya
hayati laut yang mampu memperbaharui dirinya melalui proses pertumbuhan. Jika
sumberdaya tidak dapat mengalami pertumbuhan dengan optimal maka dapat
diprediksikan bahwa dalam beberapa waktu sumberdaya tersebut akan mengalami
kepunahan. Pola pertumbuhan dan reproduksi merupakan informasi yang mendasar
dan penting bagi pengelolaan dan pemanfaatan, pada khususnya sumberdaya ikan
2
kuniran. Beberapa informasi penting yang akan diperoleh, diantaranya adalah faktor
kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad,
fekunditas, diameter telur, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad. Sehingga
penelitian mengenai biologi reproduksi terhadap sumberdaya ikan kuniran perlu
dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat berkelanjutan.
1.2. Perumusan Masalah
Skema perumusan masalah dari sumberdaya ikan kuniran di Teluk Jakarta
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kuniran
- Pola pertumbuhan
- Reproduksi (faktor kondisi, nisbah kelamin, TKG, IKG, fekunditas,
diameter telur, ukuran ikan pertama kali matang gonad)
Sumberdaya ikan kuniran
Bernilai ekonomis
Penangkapan tidak terkendali
Sumberdaya ikan kuniran tetap lestari
Permintaan pasar meningkat
Segar dan olahan
(ikan asin, otak-otak, terasi, dan pakan
3
Ikan kuniran merupakan ikan yang bernilai ekonomis. Ikan ini dipasarkan baik
dalam keadaan segar maupun dalam bentuk olahan berupa ikan asin, terasi, pakan
udang dan ikan, serta makanan olahan seperti otak-otak. Hasil olahan tersebut cukup
diminati oleh para konsumen sehingga permintaan pasar terhadap ikan kuniran
semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan proses penangkapan ikan kuniran
cenderung tidak terkendali. Hal ini terlihat dari hasil tangkapan yang berukuran kecil
yang dapat diduga bahwa ikan kuniran telah mengalami eksploitasi. Permasalahan-
permasalahan seperti ini dikhawatirkan pada masa yang akan datang kehidupan ikan
kuniran akan terancam. Untuk itu ikan kuniran perlu dikelola melalui pemanfaatan
sumberdaya ikan kuniran secara berkelanjutan.
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola pertumbuhan dan reproduksi ikan
kuniran yang mencakup faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad,
indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, serta mengetahui waktu
pemijahan dan ukuran ikan kuniran pertama kali matang gonad yang terdapat di
perairan Teluk Jakarta, Jakarta Utara.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pola
pertumbuhan dan reproduksi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam upaya pengelolaan agar optimal dan
berkelanjutan. Diharapkan pula hasil penelitian ini dapat mendukung pola
pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimum dengan memperhatikan aspek-
aspek kelestarian sumberdaya tersebut.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Kuniran (Upeneus moluccensis)
Menurut www.fishbase.org klasifikasi ikan kuniran adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Percoidei
Famili : Mullidae
Genus : Upeneus
Spesies : Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855)
Nama FAO : Goldband goatfish
Nama Indonesia : Kuniran, Biji nangka, Kunir, Kakunir, Kuning (Saanin 1984)
Gambar 2. Ikan kuniran (Upeneus moluccensis, Bleeker 1855)
Sumber : Dokumentasi pribadi
Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) merupakan jenis ikan yang memiliki
bentuk badan memanjang sedang, pipih samping dengan penampang melintang
5
bagian depan punggung, serta ukuran maksimum tubuhnya yang dapat mencapai 20
cm. Ikan ini banyak ditemukan di perairan pantai (www.fishbase.org). Kebiasaan
makanan ikan kuniran berdasarkan Prabha and Manjulatha (2008) adalah 59,49%
jenis udang, 14,51% ikan-ikan kecil, dan 13,51% moluska.
Ikan kuniran (Mullidae) termasuk ke dalam jenis ikan demersal. Sebagai ikan
konsumsi, ikan ini bernilai kurang ekonomis dibandingkan beberapa jenis ikan
demersal lainnya. Ikan ini banyak digunakan sebagai bahan baku pakan dalam
budidaya udang dan ikan (Sjafei and Susilawati 2001). Ikan kuniran tersebar hampir
di seluruh wilayah perairan Indonesia. Seperti yang diketahui, kelompok ikan
demersal mempunyai ciri-ciri bergerombol tidak terlalu besar, aktifitas relatif rendah
dan gerak ruaya juga tidak terlalu jauh. Sehingga dari ciri-ciri yang dimiliki tersebut,
kelompok ikan demersal cenderung relatif rendah daya tahannya terhadap tekanan
penangkapan (Badrudin 2006 in Ernawati and Sumiono 2006).
Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan kuniran adalah dogol,
cantrang, bagan, dan berbagai alat tangkap ikan demersal lainnya. Jika upaya
penangkapan ditingkatkan maka mortalitas pun akan meningkat. Apabila hal ini
terjadi terus menerus maka yang terjadi adalah terancamnya kelestarian sumberdaya
ikan demersal, salah satunya adalah ikan kuniran (Ernawati and Sumiono 2006).
2.2. Perairan Teluk Jakarta
Teluk Jakarta terletak pada 5o54’40’’ – 6
o00’40’’ Lintang Selatan (LS)
106o40’45’’ – 107
o01’19’’ Bujur Timur (BT). Batas geografis Teluk Jakarta yaitu di
sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan
Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan
Seribu (www.jakarta.go.id). Luas teluk Jakarta sebesar 285km2, dengan garis pantai
sepanjang 33 km dengan rata-rata kedalaman perairan 15 meter (Agnitasari 2006).
Perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu perairan di Indonesia yang padat
dengan berbagai jenis kegiatan manusia. Di perairan tersebut terdapat lokasi rekreasi
(Ancol), beberapa industri atau pabrik, tempat penangkapan ikan, dan empat buah
pelabuhan besar yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, dua buah Pelabuhan Perikanan, dan
juga Pelabuhan kayu. Disamping itu Perairan Teluk Jakarta juga merupakan badan
6
air terakhir yang menampung limbah dari industri-industri dan pembuangan sampah
yang ada di Jakarta dan sekitarnya yang membuang limbahnya secara langsung
maupun tidak langsung yaitu melalui 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta
(Rochyatun and Rozak 2007).
Kondisi Teluk Jakarta yang kian kotor telah menghalau ikan ketempat yang
lebih jauh dan semakin sulit dijangkau oleh kapal kecil. Nelayan yang terdapat di
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kalibaru hanyalah nelayan tradisional yang
menggunakan kapal 5 GT sehingga hasil tangkapan relatif lebih sedikit
dibandingkan nelayan yang menggunakan kapal besar. Jenis-jenis ikan yang umum
ditangkap oleh nelayan PPI Kalibaru adalah samge (Penahia sp.), kurisi (Nemipterus
sp.), kuniran (Upeneus sp.), kembung (Rastrelliger sp.), slanget(Anodontostoma sp.),
pepetek (Leiognathus sp.), dan kapasan (Gerres sp.). Beberapa ikan tersebut
memiliki nilai ekonomis yang rendah sehingga harus diolah terlebih dahulu agar
mempunyai nilai jual tinggi.
Aktifitas run-off yang masuk ke Teluk Jakarta setiap tahun relatif sangat tinggi.
Hal ini memberikan pengaruh yang negatif terhadap kondisi perairan. Aktifitas run-
off umumnya membawa berbagai macam buangan dari daratan, seperti limbah
rumah tangga, buangan pestisida, pupuk yang banyak mengandung nutrien, serta
limbah cair dan padat dari berbagai industri. Berdasarkan penelitian dari Paonganan
et al. (2005) kecenderungan konsentrasi nutrien dan sedimentasi pada lokasi yang
lebih dekat ke Teluk Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang jaraknya
relatif lebih jauh dari Teluk Jakarta. Secara umum kondisi perairan Teluk Jakarta
berada dalam kondisi ekosistem yang labil. Selain itu perairan Teluk Jakarta juga
telah berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan yaitu berada pada kondisi
telah tercemar yang termasuk kategori tercemar sedang sampai tercemar berat
(Fachrul et al. 2004).
2.3. Siklus Hidup dan Daerah Pemijahan
Makanan dan kondisi lingkungan menjadi faktor penting dalam proses
pertumbuhan dan reproduksi (Effendie 2002). Apabila makanan mencukupi dan
kondisi lingkungan baik, maka keberlangsungan hidup suatu sumberdaya dapat
7
berjalan dengan baik. Saat ini, lingkungan perairan terus menerus mendapat tekanan
dari adanya kegiatan manusia. Kegiatan manusia tersebut menimbulkan pencemaran
yang tinggi sehingga membuat kondisi ikan menjadi terganggu. Maka perlu adanya
informasi mengenai siklus hidup serta daerah pemijahan agar keeksistensian dari
suatu sumberdaya dapat terjaga melalui kegiatan pengelolaan.
Juvenil ikan kuniran dari spesies Upeneus tragula banyak terdapat di lamun,
kemudian ikan tersebut akan mencari makan di wilayah sekitar terumbu karang.
Setelah mencapai waktu pemijahan ikan tersebut akan mencari dasar perairan yang
mengandung substrat lumpur (Cormick 1993). Upeneus sulphureus di perairan selat
Makassar dominan tertangkap pada kedalaman 30-40 m dengan kisaran panjang
ikan 55-165 mm (Ernawati and Sumiono 2006). Ikan kuniran hidup di dasar perairan
dengan jenis substrat berlumpur atau lumpur bercampur dengan pasir (Burhanuddin
et al. 1984 in Sjafei and Susilawati 2001).
2.4. Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan dari ukuran panjang atau
bobot tubuh dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan merupakan suatu indikator
yang baik untuk melihat kondisi kesehatan individu, populasi, dan lingkungan.
Pertumbuhan dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal yang
mempengaruhi pertumbuhan yaitu jumlah makanan yang tersedia dan kualitas air.
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan adalah keturunan, jenis
kelamin, umur, dan penyakit (Effendie 2002). Laju pertumbuhan yang cepat
menunjukkan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan tempat hidup yang
sesuai (Tutupoho 2008). Keadaan lingkungan perairan yang buruk akan
mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan
ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan (Komara 1983 in
Brojo and Sari 2002). Makanan yang dimakan oleh ikan tidak hanya digunakan
untuk pertumbuhan, namun energi tersebut juga digunakan untuk metabolisme,
aktivitas, osmoregulasi, dan reproduksi (Fujaya 2004).
Pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh perbedaan musim. Pertumbuhan ikan
umumnya akan meningkat pada musim penghujan sedangkan pada musim kemarau
8
pertumbuhan ikan relatif melambat. Hal ini dikarenakan perubahan musim akan
menyebabkan perubahan ketersediaan makanan, perubahan suhu yang akan
memberikan pengaruh terhadap aktivitas makan serta aktivitas memijah. Kualitas
dan kuantitas makanan merupakan hal yang paling mempengaruhi pertumbuhan,
namun temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada wilayah temperate
(Welcomme 2001 in Febriani 2010).
Menurut Dwiponggo (1982) in Harahap and Djamali (2005) kecepatan
pertumbuhan akan berlainan setiap tahunnya terutama pada ikan yang masih muda.
Kecepatan pertumbuhan ikan muda relatif lebih cepat dibandingkan dengan ikan
yang sudah besar. Hal ini besar kemungkinan disebabkan keadaan lingkungan yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan. Selain itu ikan dewasa yang mencapai matang
gonad, energi yang digunakan untuk pertumbuhan gonadnya lebih besar daripada
untuk pertumbuhan tubuhnya (Brojo and Sari 2002).
2.5. Aspek Reproduksi
Reproduksi pada ikan merupakan suatu tahapan penting dalam siklus hidupnya
untuk menjamin kelangsungan hidup suatu spesies. Sjafei et al. (1992) in Rizal
(2009) menyatakan bahwa pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi
dalam tiga periode, yaitu pre-spawning, spawning, dan periode post-spawning.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi tersebut adalah makanan yang
cukup dan kondisi perairan yang baik (Rizal 2009).
Menurut Nikolsky (1963) in Rizal (2009) aspek-aspek reproduksi berupa
faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan
gonad, fekunditas, dan diameter telur penting diketahui untuk kepentingan
pengelolaan perikanan dan kelestarian spesies. Keberhasilan suatu spesies ikan
dalam daur hidupnya ditentukan dari kemampuan anggotanya untuk bereproduksi di
lingkungan yang berfluktuasi dan menjaga keberadaan populasinya (Moyle and
Cech 1988).
9
2.5.1. Faktor kondisi
Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup
dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan
ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat
ikan (Effendie 2002). Faktor kondisi merupakan salah satu ekspresi pertumbuhan
ikan. Ikan yang berukuran kecil memiliki faktor kondisi yang lebih rendah dan akan
meningkat ketika ikan tersebut bertambah besar (Effendie 2002).
Faktor kondisi secara kuantitatif dibutuhkan untuk melihat kondisi ikan yang
berhubungan dengan beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhinya pada
kurun waktu tertentu. Adanya perubahan faktor lingkungan secara periodik akan
mempengaruhi kondisi ikan tersebut (Handayani 2006). Faktor kondisi dapat naik
turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan bagi ikan, khususnya
bagi ikan betina. Faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting
makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad.
Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan
berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber
energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi
ikan menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000). Selain itu terjadinya peningkatan nilai
faktor kondisi juga diduga karena ikan yang telah mengalami pemijahan akan
menggunakan energi yang diperoleh untuk pertumbuhan (Harahap and Djamali
2005).
2.5.2. Nisbah kelamin
Nisbah kelamin adalah perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu
populasi. Untuk beberapa spesies ikan, perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan
melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Dalam
mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, diharapkan perbandingan ikan
jantan dengan ikan betina berada dalam kondisi yang seimbang (1:1) (Purwanto et al
1986 in Affandi et al. 2007). Tetapi di alam sering terjadi penyimpangan dari
kondisi yang ideal, hal ini disebabkan oleh adanya pola tingkah laku bergerombol
antara ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhan. Selain itu
10
perbedaan jumlah dan ukuran dari salah satu jenis kelamin disebabkan oleh
perbedaan umur karena kematangan gonad yang pertama kali (Yustina and Arnentis
2002).
Namun pada kenyataanya di alam perbandingan rasio kelamin tidaklah mutlak,
hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan,
kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan (Effendie 2002).
Keseimbangan rasio kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Pada waktu
melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian
menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang,
lalu didominasi oleh ikan betina (Sulistiono et al. 2001).
2.5.3. Tingkat kematangan gonad
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) adalah tahap-tahap tertentu perkembangan
gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan
gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan
reproduksi dengan yang tidak (Affandi et al. 2007). Tahap perkembangan gonad
terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad
(Rizal 2009).
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk
mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana ikan akan
memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah (Effendie 2002). Berkurangnya
populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah ikan
yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai tindakan
pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif (Najamuddin et al. 2004).
Pendugaan puncak pemijahan dapat dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan
yang matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al. 2001).
Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan berat tubuh pun
semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup
(Yustina and Arnentis 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali
ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta
sift-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan
11
adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah
yang sama) (Atmaja 2008). Secara alamiah TKG akan berjalan menurut siklusnya
sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).
Ikan yang pemijahannya tergolong total spawner akan ditandai dengan
meningkatnya persentase TKG yang tinggi pada setiap akan mendekati musim
pemijahan. Bagi ikan yang memiliki musim pemijahan sepanjang tahun (partial
spawner), pada pengambilan contoh akan didapatkan komposisi tingkat kematangan
gonad (TKG) yang terdiri dari berbagai tingkat dengan persentase yang tidak sama.
Persentase yang tinggi dari TKG yang besar merupakan puncak pemijahan
walaupun pemijahan sepanjang tahun. Jadi dari komposisi TKG ini dapat diperoleh
keterangan waktu mulai dan berakhirnya kejadian pemijahan dan puncaknya.
(Effendie 2002).
Dengan diketahuinya tingkat kematangan gonad tersebut dapat dikaitkan
dengan ukuran ikan dan dapat mengarah kepada identifikasi panjang saat pertama
kali matang gonad (length of first maturity). Informasi ini dapat dijadikan dasar
pengaturan besarnya mata jaring . Besarnya mata jaring ditetapkan sedemikian rupa
sehingga paling tidak ikan yang ditangkap sudah memijah, minimal satu kali
memijah (Badrudin 2004 in Prihartini 2006). Ikan kuniran jantan diduga pertama
kali matang gonad pada ukuran 120 mm dan ikan betina pada ukuran panjang 125
mm (Sjafei and Susilawati 2001).
2.5.4. Indeks kematangan gonad
Indeks Kematangan Gonad (IKG) adalah persentase perbandingan berat gonad
dengan berat tubuh ikan (Effendie 2002). Indeks kematangan gonad merupakan cara
untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad pada setiap kematangan secara
kuantitatif. Sejalan dengan pertumbuhan gonad, gonad akan semakin bertambah
berat dan bertambah besar mencapai ukuran maksimum ketika ikan akan memijah
(Atmaja 2008).
Indeks kematangan gonad ini menunjukkan perubahan gonad terhadap kondisi
ikan secara morfologi. Effendie (2002) menyatakan, indeks kematangan gonad akan
semakin meningkat nilainya dan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi
12
pemijahan, kemudian menurun dengan cepat sampai selesai pemijahan. Umumnya,
pertambahan berat gonad pada ikan betina lebih besar dari ikan jantan yaitu sebesar
10 – 25% dari berat tubuhnya, sedangkan pada ikan jantan sebesar 10-15% (Effendie
2002). Perubahan nilai indeks kematangan gonad berhubungan erat dengan tahap
perkembangan telur. Dengan memantau perubahan indeks kematangan gonad dari
waktu ke waktu, maka dapat diketahui ukuran ikan waktu memijah (Effendie 2002).
Bagenal (1987) in Yustina and Arnentis (2002) menyatakan bahwa ikan yang
memiliki indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20% adalah kelompok ikan yang
dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya. Selain itu Pulungan et al. (1994)
in Yustina and Arnentis (2002) juga menyatakan bahwa umumnya ikan yang hidup
pada perairan tropis dapat memijah sepanjang tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Sjafei and Susilawati (2001) menunjukkan
bahwa IKG Upeneus moluccensis jantan mengalami proses pematangan gonad lebih
awal dibandingkan ikan betina. Hal yang sama juga ditemukan pada ikan kuniran
dengan spesies Upeneus sulphureus (Martasuganda et al. 1991 in Sjafei and
Susilawati 2001).
2.5.5. Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu
ikan memijah (Effendie 2002). Fekunditas merupakan ukuran yang paling umum
digunakan untuk mengukur potensi produksi pada ikan karena relatif mudah
dihitung. Fekunditas lebih sering dihubungkan dengan panjang daripada dengan
berat, karena panjang penyusutannya relatif kecil tidak seperti berat yang dapat
berkurang dengan mudah (Effendie 2002).
Fekunditas merupakan jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina. Ada
beberapa pengertian fekunditas antara lain fekunditas individu, fekunditas relatif,
dan fekunditas total. Menurut Nikolsky (1963) in Effendie (2002), fekunditas
individu adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang dikeluarkan pada tahun itu
pula. Fekunditas relatif adalah jumlah telur persatuan berat atau panjang, sedangkan
fekunditas total diartikan sebagai jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan selama
hidupnya. Ikan-ikan yang tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas relatif
13
lebih kecil. Umumnya fekunditas relatif lebih tinggi dibanding dengan fekunditas
individu. Fekunditas relatif akan menjadi maksimum pada golongan ikan yang
masih muda.
Nikolsky (1963) in Effendie (2002) menyatakan bahwa fekunditas pada ikan
disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Jika ikan hidup di habitat yang banyak
ancaman predator maka jumlah telur yang dihasilkan akan besar atau fekunditas
semakin tinggi, sedangkan ikan yang hidup di habitat dengan sedikit predator akan
memiliki jumlah telur yang lebih sedikit. Beberapa faktor yang berperan terhadap
jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina yaitu fertilitas, frekuensi pemijahan,
perlindungan induk, ukuran telur, ukuran ikan, kondisi lingkungan, makanan, dan
kepadatan populasi (Moyle and Cech 1988). Fekunditas juga dapat dipengaruhi oleh
diameter telur. Umumnya ikan yang diameter telurnya berukuran 0,6-1,1 mm
memiliki fekunditas sebesar 100.000-300.000 butir (Woynarovich 1963 in Yustina
and Arnentis 2002).
Fekunditas sering dihubungkan dengan panjang total. Namun terkadang
hubungan keduanya memiliki koefisien korelasi yang kecil. Hal ini dikarenakan
model – model yang digunakan tidak sesuai untuk menyatakan hubungan fekunditas
dengan panjang total, karena terdapat variasi fekunditas dan perbedaan umur pada
ikan-ikan yang mempunyai ukuran panjang yang hampir sama (Brojo and Sari 2002).
2.5.6. Diameter telur
Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur yang
diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera. Menurut Effendie (2002),
diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad lebih tinggi terutama
saat mendekati waktu pemijahan. Telur yang berukuran besar akan menghasilkan
larva yang berukuran lebih besar dari pada telur yang berukuran kecil, hal ini
berkaitan dengan nutrisi. Untuk menilai perkembangan gonad ikan betina selain
dilihat dari hubungan antara indeks kematangan gonad dengan tingkat kematangan
gonad, dapat pula dihubungkan dengan perkembangan diameter telur yang
dikandungnya (Effendie 2002). Perkembangan diameter telur semakin meningkat
14
dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad, karena semakin mendekati waktu
pemijahan.
Ukuran telur dapat mempengaruhi ukuran larva yang dihasilkan dan juga
berhubungan dengan kelangsungan hidup larva. Pada populasi ikan laut terdapat
hubungan antara ukuran telur dengan ukuran ikan selama siklus hidupnya, hal ini
didukung oleh proses rekruitment (Chambers dan Leggett 1996). Ikan yang
memiliki diameter telur yang sama pada semua bagian gonadnya akan melakukan
pemijahan secara total sedangkan ukuran telur yang berbeda dalam tubuh ikan betina
menandakan pemijahan secara bertahap. Telur ikan demersal umumnya melekat
pada beberapa substrat padat seperti batu (Russell 1976).
15
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari 23 Juli 2010 hingga 29 Oktober 2010. Lokasi
pengambilan ikan contoh yaitu di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kalibaru yang
mewakili perairan Teluk Jakarta yang kemudian dianalisis di Laboratorium Biologi
Makro I (BIMA I), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 3. Lokasi penelitian
Sumber :Google earth
PULAU DAMAR
16
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris dengan
ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 1 g untuk menimbang berat
ikan, timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 g untuk menimbang berat gonad,
camera digital, cawan petri, baki, alat bedah, mikroskop, pipet, gelas objek, cover
glass, botol film, hand tally counter, gelas ukur 10 ml, mikrometer okuler, dan
mikrometer objektif. Bahan yang digunakan adalah ikan kuniran Upeneus
moluccensis, gonad ikan kuniran, formalin 5%, formalin 10%, alkohol 70%, dan
tissue.
3.3. Metode Kerja
3.3.1. Prosedur kerja di lapang
Pengambilan ikan contoh dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli sampai dengan
Oktober 2010 dengan total pengambilan ikan contoh sebanyak 8 kali (2 minggu
sekali). Total ikan contoh yang diukur panjang serta bobotnya sebanyak 800 ekor
dengan total ikan yang diamati aspek reproduksinya sebanyak 400 ekor. Ikan contoh
tersebut diambil dengan menggunakan metode penarikan contoh acak sederhana
dengan cara mengambil ikan secara acak dari beberapa bakul yang jumlahnya tidak
ditentukan untuk setiap bakulnya yang mewakili tiga ukuran, kecil, sedang, dan
besar.
Setelah itu dilakukan pengukuran panjang dan bobot ikan dengan jumlah ikan
sampel sebanyak 100 ekor, selanjutnya diambil 50 ekor ikan contoh setiap waktu
pengambilan data yang kemudian dibedah dan diambil gonadnya untuk dianalisis
lebih lanjut di laboratorium BIMA I dengan menambahkan formalin 5%.
3.3.2. Prosedur kerja di laboratorium
a. Tingkat kematangan gonad
Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh. Kemudian
penentuan TKG menggunakan klasifikasi kematangan gonad yang telah ditentukan.
TKG ditentukan secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan
17
bentuk, warna, ukuran, berat gonad, serta perkembangan isi gonad. Secara histologi
berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik. Penentuan TKG secara morfologi
mengacu kepada TKG ikan modifikasi dari Cassie (Tabel 1).
Tabel 1. Penentuan TKG secara morfologi (Effendie 2002)
TKG Betina Jantan
I
Ovari seperti benang, panjangnya
sampai ke depan rongga tubuh,
serta permukaannya licin
Testes seperti benang,warna jernih,
dan ujungnya terlihat di rongga
tubuh
II
Ukuran ovari lebih besar. Warna
ovari kekuning-kuningan, dan telur
belum terlihat jelas
Ukuran testes lebih besar
pewarnaan seperti susu
III
Ovari berwarna kuning dan secara
morfologi telur mulai terlihat
Permukaan testes tampak bergerigi,
warna makin putih dan ukuran
makin besar
IV
Ovari makin besa, telur berwarna
kuning, mudah dipisahkan. Butir
minyak tidak tampak, mengisi 1/2-
2/3 rongga perut
Dalam keadaan diawet mudah
putus, testes semakin pejal
V
Ovari berkerut, dinding tebal, butir
telur sisa terdapat didekat
pelepasan
Testes bagian belakang kempis dan
dibagian dekat pelepasan masih
berisi
b. Analisis struktur histologis gonad
Contoh gonad yang akan dibuat menjadi preparat histologis merupakan gonad
yang masih segar yang tidak mengandung formalin maupun berbagai zat lain.
Pembuatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
c. Fekunditas
Fekunditas hanya dihitung pada ikan betina yang memiliki TKG IV. Gonad
yang sebelumnya diawetkan ditimbang dengan mengambil sedikit pada bagian
anterior, median, dan posterior yang dijadikan sebagai berat gonad contoh. Setelah
itu, gonad contoh ditambahkan air 10 ml, kemudian dari 10 ml tersebut diambil 1 ml
18
untuk dihitung fekunditasnya. Kemudian telur dihitung dengan metode gabungan
antara metode volumetrik dengan metode grafimetrik.
Metode volumetrik dilakukan dengan cara telur dari ikan diencerkan,
sedangkan metode grafimetrik memiliki prinsip yang sama dengan volumetrik,
bedanya hanya pada ukuran volume diganti dengan ukuran berat. Langkah-langkah
dari metode gabungan adalah :
Pengukuran berat total gonad TKG III dan IV yang akan dihitung.
5 bagian telur contoh diambil secara acak dari satu gonad yang akan diamati,
kemudian ditimbang seluruh gonad contoh tersebut.
Volume gonad contoh tersebut dihitung.
Pengenceran gonad contoh 10 mL.
Dari 10 mL tersebut diambil 1 mL dengan menggunakan pipet tetes.
Hitung jumlah telur yang ada pada 1 mL tersebut.
Hitung fekunditasnya.
d. Diameter telur
Diameter telur ditentukan dari ikan betina yang memiliki TKG IV. Diameter
telur yang diamati adalah telur yang diamati fekunditasnya. Diameter telur diukur
sebanyak 50 butir dengan 3 kali ulangan yaitu pada bagian anterior, median, dan
posterior di bawah mikroskop dengan mikrometer okuler dengan perbesaran 100
kali.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Sebaran frekuensi panjang
Di dalam membuat sebaran frekuensi panjang dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut (Walpole 1992):
1. Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan
2. Menentukan lebar kelas
19
3. Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan masing – masing kelas dengan
memasukkan panjang dan masing – masing ikan contoh pada selang kelas
yang telah ditentukan
3.4.2. Aspek pertumbuhan dan reproduksi
a. Hubungan panjang - berat
Analisis pertumbuhan panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan di alam. Untuk mencari hubungan antara panjang total dan berat
total digunakan persamaan sebagai berikut (Effendie 2002) :
W = aLb
Keterangan :
W = berat total ikan (g)
L = panjang total ikan (mm)
a dan b = konstanta hasil regresi
Dengan pendekatan regresi linier maka hubungan kedua parameter tersebut
dapat dilihat. Nilai b digunakan untuk menduga laju pertumbuhan kedua parameter
yang dianalisis. Hipotesis yang digunakan adalah :
jika b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola
pertumbuhan berat).
Jika nilai b ≠ 3 maka disebut allometrik, yaitu :
a. Jika b > 3 disebut allometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan)
b. Sedangkan nilai b < 3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang
lebih dominan).
b. Faktor kondisi
Dalam menganalisis faktor kondisi ikan terlebih dahulu ikan dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin. Ikan yang mempunyai jenis kelamin yang sama dilihat
koefisien pertumbuhan (model gabungan panjang dan berat (b)). Setelah pola
pertumbuhan panjang tesebut diketahui, maka baru dapat ditentukan kondisi dari
ikan tersebut menurut (Effendie 2002).
20
Model pertumbuhan allometrik (b ≠ 3) Menggunakan persamaan :
baL
WK
c. Nisbah kelamin
Nisbah kelamin penting untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan
betina yang ada pada suatu perairan. Persamaan untuk mencari rasio kelamin adalah
p = %100N
n
Keterangan : p = Proporsi ikan (jantan/betina)
n = Jumlah jantan atau betina
N = Jumlah total ikan (jantan+betina)
Standar Deviasi dari proporsi kelamin tersebut yaitu
Sd = n
pq q = 1 - p
Selang kepercayaan 95%
p – 1,64 Sd < p < p + 1,64 Sd
Nilai 1,64 merupakan nilai dari tabel z (Walpole 1992) pada selang kepercayaan
95%.
d. Indeks kematangan gonad
IKG dihitung dengan membandingkan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan
gonad tersebut dikali 100%.
%100i
i
BT
BGIKG
Keterangan : IKG = Indeks Kematangan Gonad
BGi = Bobot Gonad (g) ke-i
BTi = Bobot Tubuh (g) ke-i
21
e. Fekunditas
Fekunditas ikan dihitung menggunakan rumus berikut :
Q
GxVxXF
Keterangan :
F = fekunditas yang dicari
G = berat gonad total
V = volume pengenceran
X = jumlah telur yang ada dalam 1 ml
Q = berat gonad contoh
22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Secara astronomis, perairan Teluk Jakarta terletak pada 5o54’40” – 6
o00’40”
Lintang Selatan (LS) 106o40’45” – 107
o01’19” Bujur Timur (BT). Teluk Jakarta
memiliki luas 285 km2, dengan garis pantai sepanjang 33 km dengan rata-rata
kedalaman perairan 15 meter (Agnitasari 2006). Sepanjang perairan Teluk Jakarta
bermuara beberapa sungai besar dan terdapat pula beberapa pulau kecil diantaranya
Pulau Bidadari, Pulau Damar, Pulau Anyer, Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa,
Pulau Lancang, Pulau Bokor, Pulau Pari dan lain sebagainya (Rochyatun and Rozak
2007).
Secara umum kondisi perairan Teluk Jakarta berada dalam kondisi
ekosistem yang labil. Selain itu perairan Teluk Jakarta juga telah berada pada tingkat
yang cukup mengkhawatirkan yaitu berada pada kondisi telah tercemar yang
termasuk kategori tercemar sedang sampai tercemar berat (Fachrul et al. 2004).
Ikan kuniran ditangkap di sekitar perairan Pulau Damar yang nantinya akan
didaratkan di pangkalan pendaratan ikan Kalibaru. Nelayan yang terdapat di
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kalibaru merupakan nelayan harian dengan alat
yang masih sederhana dan hanya menggunakan kapal kecil 5 GT sehingga hasil
tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan nelayan yang menggunakan kapal-kapal
besar.
4.2. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Kuniran (Upeneus moluccensis)
Jumlah keseluruhan contoh ikan kuniran selama tiga bulan pengambilan data
adalah sebanyak 400 ekor yang didominasi oleh ikan betina. Jumlah ikan betina
sebanyak 237 ekor dan jumlah ikan jantan sebanyak 163 ekor ikan. Sebaran
frekuensi panjang dari ikan kuniran dapat dilihat pada Gambar 4.
23
Gambar 4. Sebaran selang kelas ukuran panjang ikan kuniran (Upeneus
moluccensis)
Dari Gambar 4 terlihat sepuluh selang kelas ukuran panjang dari ikan kuniran.
Ikan kuniran dominan tertangkap pada selang kelas 120-127 mm sebanyak 90 ekor
dan paling sedikit tertangkap pada selang kelas 168-175 mm sebanyak 2 ekor.
Selang kelas 168-175 mm merupakan selang kelas saat ikan kuniran berumur tua
sehingga jumlah ikan kuniran lebih sedikit dibandingkan selang kelas yang lain.
Selang kelas 120-127 mm didominasi oleh ikan betina dan jantan yang memiliki
TKG II dan TKG III. Hal ini diduga bahwa nelayan menangkap ikan pada daerah
fishing ground yaitu di sekitar Pulau Damar sehingga ikan-ikan tersebut memiliki
kesempatan untuk bereproduksi lebih baik. Selain itu ukuran mata jaring dogol yang
digunakan oleh nelayan sebesar 1,5 inchi pada bagian kantong dan 2 inchi pada
bukaan mulut merupakan ukuran yang sesuai untuk sumberdaya ikan kuniran agar
tetap lestari. Sebaran ukuran panjang ikan kuniran untuk setiap pengambilan data
dapat dilihat pada Gambar 5.
25
Gambar 5. Sebaran ukuran panjang ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
untuk setiap pengambilan data
17 September 2010
01 Oktober 2010
15 Oktober 2010
29 Oktober 2010
26
Pada Gambar 5 terlihat kelas panjang ikan kuniran hasil pengamatan pada 23
Juli 2010 hingga 17 September 2010 mengalami pergeseran modus ke arah kanan.
Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran mengalami pertumbuhan. Pada waktu
pengambilan data tanggal 23 Juli 2010 ikan yang tertangkap masih berumur muda,
karena masih terdapat ikan yang berukuran kecil yaitu 104-111 mm. Ikan akan
mengalami pertumbuhan seiring dengan bertambahnya waktu. Hal ini dikarenakan
adanya faktor makanan, kualitas air, umur, dan jenis kelamin (Effendie 2002).
Kecepatan pertumbuhan ikan muda relatif lebih cepat dibandingkan ikan yang sudah
besar. Hal ini dikarenakan ikan besar lebih menggunakan energinya untuk
perkembangan gonadnya dibandingkan untuk pertumbuhan tubuhnya (Brojo and
Sari 2002). Sedangkan dari 17 September 2010 hingga 1 Oktober 2010 mengalami
pergeseran modus ke arah kiri yang diduga ikan tersebut mengalami rekruitmen.
Rekruitmen adalah masuknya individu baru karena ikan – ikan dewasa telah
melakukan pemijahan.
4.3. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi
4.3.1. Hubungan panjang-berat
Pola pertumbuhan yang terjadi pada ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di
perairan Teluk Jakarta dapat diketahui melalui analisis hubungan panjang–berat.
Berdasarkan analisis hubungan panjang–berat dengan jumlah ikan contoh sebanyak
800 ekor, model pertumbuhan ikan kuniran adalah W = 0,00008L2,6380
, dengan
koefisien determinasi sebesar 0,8880 (Gambar 6). Dari model pertumbuhan tersebut
diperoleh nilai b sebesar 2,6380. Dengan menggunakan uji-t, maka diketahui bahwa
pola pertumbuhan ikan kuniran adalah allometrik negatif yang artinya pertumbuhan
panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan berat tubuhnya (Effendie
2002).
27
Gambar 6. Hubungan panjang-berat ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
Pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif menunjukkan bahwa
makanan yang tersedia di perairan Teluk Jakarta sedikit atau dapat dikatakan bahwa
perairan Teluk Jakarta kurang subur. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fachrul et al. (2004) yang menunjukkan bahwa perairan Teluk
Jakarta berada pada kondisi tercemar sedang sampai tercemar berat. Hal ini
merupakan kondisi yang tidak baik untuk pertumbuhan biota–biota perairan begitu
juga dengan plankton yang menjadi makanan dari ikan – ikan muda.
Gambar 7. Pola pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
berdasarkan jenis kelamin
28
Persamaan pola pertumbuhan ikan kuniran jantan adalah W = 0,0001L2,5708
sedangkan persamaan pola pertumbuhan ikan betina adalah W = 0,00008L2,6480
(Gambar 7). Melalui uji-t, dapat diketahui bahwa ikan kuniran, baik yang berjenis
kelamin jantan maupun betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. Hal
ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk Jakarta kurang cukup menyediakan
makanan untuk pertumbuhan dari ikan kuniran, baik jantan maupun betina
dikarenakan kondisi perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran sedang
sampai dengan berat yang merupakan kondisi yang tidak baik bagi pertumbuhan
organisme akuatik (Fachrul et al. 2004).
4.3.2. Faktor kondisi
Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup
dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan
ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat
ikan (Effendie 2002).
Gambar 8. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina
berdasarkan selang kelas panjang
Pada Gambar 8 terlihat nilai rata-rata faktor kondisi ikan kuniran jantan
berdasarkan selang kelas panjang adalah 1,0480-1,1053 sedangkan ikan betina
berkisar antara 0,8527-0,9989. Faktor kondisi terbesar pada ikan jantan terletak
pada selang kelas panjang 144-151 mm sedangkan ikan betina faktor kondisi
29
terbesar terletak ada 136-143 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada selang kelas
tersebut ikan-ikan mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam
mempertahankan hidupnya dan memanfaatkan makanan di sekitarnya. Ketersediaan
makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang
jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi
selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan
menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000).
Selain itu pada selang kelas 136-143 mm, merupakan ukuran yang paling
dominan mengalami TKG IV sehingga tubuh dari ikan betina pada selang kelas
tersebut lebih besar dibandingkan pada ukuran selang kelas panjang yang lain.
Sedangkan faktor kondisi yang terkecil pada ikan betina terdapat pada selang kelas
168-175 mm. Hal ini adalah ukuran ikan saat ikan-ikan tersebut telah selesai
melakukan proses pemijahan sehingga faktor kondisi semakin kecil. Namun
kemudian akan terjadi peningkatan nilai faktor kondisi karena ikan yang telah
mengalami pemijahan akan menggunakan energi yang diperoleh untuk pertumbuhan
(Harahap and Djamali 2005).
Pada ikan jantan, selang kelas 144-151 mm merupakan selang kelas yang
paling dominan terdapat TKG IV, sehingga faktor kondisi pada selang kelas tersebut
lebih besar. Faktor kondisi terkecil pada ikan jantan terdapat pada selang kelas 96-
103 mm. Hal ini disebabkan karena ikan-ikan yang masih muda belum mempunyai
kemampuan hidup yang baik di tempat hidupnya dan dapat diduga pula karena kalah
bersaing mendapatkan makanan dengan ikan yang lebih tua.
Gambar 9. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina
berdasarkan waktu pengambilan data
30
Nilai faktor kondisi ikan kuniran bervariasi untuk setiap pengambilan data.
Baik ikan kuniran jantan maupun betina memiliki faktor kondisi terbesar pada waktu
pengambilan data 03 September 2010 (Gambar 9). Hal ini dikarenakan TKG IV
paling dominan terdapat pada waktu pengambilan data tersebut.
Nilai faktor kondisi baik ikan jantan maupun betina mengalami fluktuasi.
Peningkatan faktor kondisi disebabkan oleh perkembangan gonad yang akan
mencapai puncaknya sebelum pemijahan (Effendie 2002).
Pada saat makanan
berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber
energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan
menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000). Fluktuasi nilai faktor kondisi ini juga
dipengaruhi oleh aktivitas ikan dalam melakukan adaptasi terhadap kondisi
lingkungan selama proses pematangan gonad hingga proses pemijahan selesai.
4.3.3. Nisbah kelamin
Nisbah kelamin adalah perbandingan antara ikan jantan dan ikan betina dalam
suatu populasi. Tabel nisbah kelamin untuk ikan kuniran dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nisbah kelamin ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
Jumlah
(ekor)
Proporsi
(%)
Standar
Deviasi
Selang Kepercayaan
(95%)
Jantan 163 40,75 3,85 34,44% < J < 47,06%
Betina 237 59,25 3,19 54,02% < B < 64,48%
Jumlah 400 100
Nisbah kelamin antara ikan kuniran jantan dengan betina sebesar 40,75% :
59,25% atau 1:1,5 (Tabel 2). Dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu
populasi, diharapkan perbandingan ikan jantan dengan ikan betina berada dalam
kondisi yang seimbang (1:1) (Purwanto et al 1986 in Affandi et al. 2007). Namun
yang terjadi pada nisbah kelamin ikan kuniran adalah keadaan yang tidak seimbang.
Hal ini dikarenakan adanya pola tingkah laku bergerombol antara ikan jantan dan
betina, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhan. Selain itu ketidak seimbangan
31
tersebut juga disebabkan oleh perbedaan umur karena kematangan gonad yang
pertama kali (Yustina and Arnentis 2002). Keseimbangan rasio kelamin dapat
berubah menjelang pemijahan. Pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi
ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan
jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina
(Sulistiono et al. 2001).
4.3.4. Tingkat kematangan gonad
Tingkat kematangan gonad dapat diamati secara morfologi dan histologi.
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan kuniran jantan dan betina untuk setiap
waktu pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan data
32
Gambar 11. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang total
Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan berat tubuh pun
semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup
(Yustina and Arnentis 2002). Apakah kualitas lingkungannya baik dan makanan
yang tersedia cukup melimpah. Hal inilah yang menjadi faktor penentu dari
keberhasilan proses pemijahan selain faktor fisiologis dari ikan tersebut. Pada
Gambar 11 terlihat bahwa TKG IV pada ikan jantan dominan terdapat pada selang
144-151 mm, sedangkan pada ikan betina TKG IV dominan terdapat pada selang
kelas 136-143 mm. Jelas sekali terlihat bahwa ikan jantan memiliki ukuran panjang
yang lebih besar saat mengalami matang gonad. Hal ini dikarenakan makanan yang
dimakan oleh ikan betina lebih diutamakan untuk perkembangan gonadnya
dibandingkan pertumbuhan panjang tubuhnya seperti yang terjadi pada ikan jantan.
Atmaja (2008) menyatakan bahwa ikan yang memiliki jenis kelamin yang berbeda
mengalami tingkat kematangan pada waktu yang berbeda dan ukuran yang berbeda
33
pula meskipun tempat pemijahannya sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat
pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur,
ukuran, serta sift-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan,
suhu, dan arus) (Atmaja 2008). Secara alamiah TKG akan berjalan menurut
siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah
(Handayani 2006).
Keterangan : SC : spermatogonia, SP : spermatocyst primer, SS : spermatocyst
sekunder, Spt : spermatid, S : spermatozoa
Gambar 12. Struktur histologi gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan
pada TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV
Pada Gambar 12 secara histologis, pada gonad ikan kuniran jantan TKG I
ditemukan spermatogonia dengan jaringan ikat yang kuat. Pada TKG II, gonad lebih
TKG I TKG II
TKG III TKG IV
SP
SS S
SC
Spt
34
berkembang dengan jaringan ikat mulai berkurang. Spermatogonia membelah secara
mitosis menjadi spermatocyst primer yang terletak di dalam kantung tubulus
seminiferus. Pada TKG III, terjadi dua kali pembelahan yang pertama adalah
spermatocyst primer membelah secara meiosis menjadi spermatocyst sekunder yang
meliputi proses duplikasi DNA dan rekombinasi dari informasi genetik, dan yang
kedua adalah pembelahan secara meiosis tanpa melibatkan duplikasi DNA menjadi
benih sel yang disebut dengan spermatid. Pada TKG IV, spermatid melakukan
proses spermiogenesis menjadi spermatozoa yang siap dikeluarkan untuk membuahi
sel telur (Cabrita et al. 2008).
Keterangan : Og: oogonia, ZO : zygotene oocytes, Ot : ootid, Ov : ovum
Gambar 13. Struktur histologi gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina
pada TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV
TKG I TKG II
TKG III TKG IV
ZO
Ot
Ov
Og
35
Pada Gambar 13, TKG I menunjukkan ovari yang belum matang yang
mengandung oogonia yang terletak di sepanjang lamella, oosit tidak ditemukan, dan
inti sel sudah terlihat jelas. Pada TKG II oogonia membelah secara mitosis menjadi
oosit primer dengan jumlah relatif banyak. Selanjutnya oosit primer mengalami fase
pertumbuhan awal (pre-vitellogenesis) yang menyebabkan munculnya material di
sitoplasma serta membentuk lapisan folikel yang terdiri dari lapisan granulosa dan
sel theca. Setelah itu, terjadi fase pertumbuhan kedua (vitellogenesis) yang
menghasilkan cortical alveoli, lipid globules, kuning telur, dinding oosit, serta
membuat lapisan folikel menjadi semakin tebal. Selanjutnya, pada TKG III diameter
telur terlihat lebih besar, sel telur berkembang menjadi ootid dan banyak dijumpai
butiran kuning telur. Kemudian pada TKG IV, ootid berkembang menjadi ovum
dengan butiran kuning telur berwarna kuning tua menandakan telur telah matang,
serta terdapat butiran minyak. Setelah TKG IV, sel telur siap untuk diovulasikan
(Cabrita et al. 2008)
4.3.5. Indeks kematangan gonad
Indeks kematangan gonad merupakan cara untuk mengetahui perubahan yang
terjadi pada gonad pada setiap kematangan secara kuantitatif. Sejalan dengan
pertumbuhan gonad, gonad akan semakin bertambah berat dan bertambah besar
mencapai ukuran maksimum ketika ikan akan memijah (Atmaja 2008).
Gambar 14. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan data
36
Indeks kematangan gonad ikan kuniran bervariasi pada setiap waktu
pengambilan data. Untuk ikan kuniran jenis kelamin jantan kisaran IKG ikan
kuniran antara 0,6428%-1,3475%, sedangkan ikan betina IKG berkisar antara
1,9876%-4,8514%. IKG tetinggi terdapat pada tanggal 03 September 2010 (Gambar
14). Hal ini sesuai dengan waktu pemijahan ikan kuniran dimana TKG IV dominan
terdapat pada tanggal tersebut baik jantan maupun betina. Pada ikan jantan, indeks
kematangan gonad mengalami penurunan pada tanggal 01 Oktober 2010, sedangkan
pada betina indeks kematangan gonad mengalami penurunan pada tanggal 17
September 2010. Adanya penurunan IKG disebabkan ikan-ikan tersebut telah
melakukan proses pemijahan.
Kisaran IKG betina umumnya lebih besar dibandingkan ikan yang berjenis
kelamin jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) bahwa umumnya
pertambahan berat gonad ikan betina berkisar 10 – 25% dari berat tubuhnya,
sedangkan ikan jantan berkisar 5-10% dari berat tubuhnya.
Gambar 15. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang total
Pada Gambar 15 nilai IKG rata-rata tertinggi untuk ikan jantan terdapat pada
selang kelas 144-151 mm sebesar 1,3183% sedangkan pada ikan betina IKG rata-
rata tertinggi terdapat pada selang kelas 136-143 mm sebesar 4,1542%. Hal ini
diduga pada selang kelas kelas tersebut merupakan selang kelas panjang bagi ikan -
ikan yang memiliki TKG III dan IV atau ikan-ikan yang berada dalam fase
37
perkembangan gonad maksimum sebelum pemijahan. Kemudian pada selang kelas
selanjutnya terdapat nilai rata-rata IKG mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan
ikan-ikan pada kelompok ukuran tersebut telah melakukan proses pemijahan,
sehingga nilai IKG-nya menurun. Effendie (2002) menyatakan, indeks kematangan
gonad akan semakin meningkat nilainya dan mencapai batas maksimum pada saat
akan terjadi pemijahan, kemudian menurun dengan cepat sampai selesai pemijahan.
IKG ikan kuniran baik jantan maupun betina memiliki rata – rata nilai IKG
dibawah 20%. Hal ini menunjukkan kelompok ikan kuniran dapat memijah lebih
dari satu kali setiap tahunnya (Bagenal 1987 in Yustina and Arnentis 2002).
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Pulungan et al. (1994) in Yustina and Arnentis
(2002) yang juga menyatakan bahwa umumnya ikan yang hidup pada perairan tropis
dapat memijah sepanjang tahun.
4.3.6. Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina. Dari
jumlah total ikan betina yang diamati, terdapat 41 ekor ikan betina yang memiliki
TKG IV dimana hanya ikan betina TKG IV saja yang dihitung fekunditasnya.
Gambar 16. Hubungan antara panjang total dengan fekunditas TKG IV
ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
38
Pada gambar 16 diketahui hubungan antara fekunditas dengan panjang total
ikan kuniran dengan koefisien korelasi sebesar r = 0,2161. Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan kuniran tidak erat. Tidak
eratnya hubungan tersebut dikarenakan terdapatnya fekunditas yang bervariasi di
dalam ukuran panjang total yang sama.
Jumlah telur yang diperoleh selama penelitian bervariasi dari 26.658 hingga
75.030 butir. Fekunditas maksimum dijumpai pada ukuran panjang total 166 mm
dengan berat gonad 3,0303 gram. Sedangkan fekunditas minimum ditemukan pada
ukuran panjang total 158 mm dengan berat gonad sebesar 1,5631 gram. Rata-rata
fekunditas ikan kuniran sebesar 42.005 butir telur. Hal ini menunjukan bahwa ikan
kuniran memiliki potensi reproduksi yang tinggi, dikarenakan semakin banyak telur
yang dikeluarkan diduga akan menghasilkan jumlah individu baru yang melimpah.
Nikolsky (1963) in Effendie (2002) menyatakan bahwa fekunditas pada ikan
tergantung dengan kondisi lingkungannya. Jika ikan hidup di habitat yang banyak
ancaman predator maka jumlah telur yang dihasilkan akan besar atau fekunditas
semakin tinggi, sedangkan ikan yang hidup di habitat dengan sedikit predator akan
memiliki jumlah telur yang lebih sedikit.
Fekunditas sering dihubungkan dengan panjang total. Namun terkadang
hubungan keduanya memiliki koefisien korelasi yang kecil. Hal ini dikarenakan
model – model yang digunakan tidak sesuai untuk menyatakan hubungan fekunditas
dengan panjang total, karena terdapat variasi fekunditas dan perbedaan umur pada
ikan-ikan yang mempunyai ukuran panjang yang hampir sama (Brojo and Sari 2002).
Koefisien korelasi dari hubungan antara fekunditas TKG IV dengan berat total
ikan kuniran r = 0,2755 (Gambar 17). Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara
fekunditas dengan berat total tidak erat dikarenakan dalam satu ukuran berat total
yang sama memiliki jumlah telur yang berbeda-beda. Beberapa faktor yang berperan
terhadap jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina yaitu fertilitas, frekuensi
pemijahan, perlindungan induk, ukuran telur, ukuran ikan, kondisi lingkungan,
makanan, dan kepadatan populasi (Moyle and Cech 1988).
39
Gambar 17. Hubungan antara fekunditas dengan berat total TKG IV
ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
Selama dilakukannya penelitian, fekunditas rata-rata tertinggi ditemukan pada
tanggal 03 September 2010 sebanyak 51.007 butir dan fekunditas rata-rata terendah
berada pada tanggal 20 Agutus 2010 sebanyak 38.093 butir. Pada tanggal 03
September 2010 merupakan waktu pengambilan data yang dominan terdapat TKG
IV dari ikan betina (Gambar 18). Semakin tinggi TKG, maka fekunditas pun akan
banyak.
Gambar 18. Sebaran fekunditas ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan
waktu pengambilan data
40
4.3.7. Diameter telur
Diameter telur yang diamati sebanyak 6.150 butir telur yang bervariasi antara
0,15 - 0,41 mm. Sebaran diameter telur ikan kuniran berdasarkan selang kelas dapat
dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
berdasarkan selang kelas diameter telur
Ikan betina TKG IV yang diamati diameter telurnya berjumlah 41 ekor dengan
satu puncak ukuran diameter telur yaitu 0,29-0,30 mm (Gambar 19). Selanjutnya
terus mengalami penurunan hingga selang kelas 0,41 – 0,42 mm. Dari sebaran
frekuensi tersebut dapat diketahui bahwa tipe pemijahan ikan kuniran Upeneus
moluccensis adalah total spawning. Hal ini sesuai dengan penelitian Sjafei dan
Susilawati (2001) di Teluk Labuan, Banten yang menyatakan bahwa tipe pemijahan
Upeneus moluccensis adalah total spawning.
Pada Gambar 20 sebaran diameter telur bervariasi setiap waktu pengambilan
data. Puncak tertinggi terdapat pada waktu pengambilan data 03 September 2010,
sedangkan puncak terendah pada waktu pengambilan data 23 Juli 2010. Hal tersebut
dikarenakan bulan September merupakan waktu pemijahan dari ikan kuniran
sehingga banyak telur yang diamati sebaran diameter telurnya.
41
Gambar 20. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
berdasarkan waktu pengambilan data
Gambar 21 merupakan sebaran diameter telur pada tiga bagian gonad, anterior,
median, dan posterior.
Gambar 21. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
pada bagian anterior, median, dan posterior
Terdapat satu puncak pada sebaran diameter telur baik pada bagian anterior,
median, maupun posterior (Gambar 21). Hal ini diduga ikan kuniran mempunyai
sifat pemijahan total, butir-butir telurnya yang sudah matang akan dikeluarkan
42
sekaligus dalam jangka waktu singkat pada saat pemijahan berlangsung. Pernyataan
ini diperkuat oleh pernyataan Russell (1976) bahwa ikan yang memiliki diameter
telur yang sama pada semua bagian gonadnya akan melakukan pemijahan secara
total sedangkan ukuran telur yang berbeda dalam tubuh ikan betina menandakan
pemijahan secara bertahap.
4.4. Ukuran Mata Jaring
Nelayan disekitar PPI Kalibaru menangkap ikan kuniran dengan menggunakan
alat tangkap dogol. Selain ikan kuniran, dogol juga menangkap beberapa ikan yang
lain seperti samge, kurisi, dan pepetek. Ukuran mata jaring dogol yang digunakan
oleh nelayan PPI Kalibaru sebesar 1,5 inchi pada kantong dan 2 inchi pada bukaan
mulut. Ukuran mata jaring tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena
masih tertangkapnya ikan kuniran yang berukuran kecil serta yang memiliki TKG
IV pada waktu pemijahan. Ukuran mata jaring yang digunakan setidaknya dapat
menangkap ikan kuniran setelah ikan tersebut memijah minimal satu kali. Maka dari
itu diperlukan upaya pengelolaan salah satunya dengan pengaturan ukuran mata
jarring agar sumberdaya ikan kuniran tetap lestari. Berdasarkan Juraida (2004)
perhitungan ukuran mata jaring didapatkan dengan rumus:
PB
TBmeshsize ukuran pertama kali matang gonad
dimana TB adalah tinggi badan (mm) dan PB adalah panjang baku (mm). Ukuran
pertama kali matang gonad didapatkan dari sebaran selang kelas panjang ikan
kuniran. Perhitungan tinggi badan, panjang baku, serta ukuran mata jarring yang
disarankan dari ikan kuniran terlampir pada Lampiran 9. Berikut table ukuran mata
jaring yang disarankan (Tabel 3) .
Tabel 3. Ukuran mata jaring yang disarankan
Rata-rata Ukuran panjang
pertama kali matang
gonad (mm)
Ukuran
mata jaring
(kantong)
(inchi)
Panjang baku
(mm)
Tinggi badan
(mm)
90,7 31,0375 151 2
43
4.5. Implikasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kuniran
Keberlangsungan hidup ikan kuniran telah terganggu dengan adanya aktifitas
penangkapan. Akan tetapi, sebagai komunitas hidup ikan kuniran memiliki
kemampuan untuk memperbaharui dirinya dari proses pertumbuhan dan reproduksi.
Apabila suatu sumberdaya tidak dapat melakukan proses reproduksi dengan baik,
maka dikemudian hari sumberdaya tersebut akan mengalami kepunahan. Maka dari
itu, upaya-upaya pengelolaan perlu dilakukan agar sumberdaya tetap lestari.
Ikan kuniran merupakan salah satu ikan demersal yang selalu tertangkap
dalam jumlah yang cukup banyak oleh nelayan Kalibaru. Meskipun hanya
tangkapan sampingan, namun permintaan akan ikan kuniran semakin meningkat.
Hal ini dikarenakan hasil olahan seperti ikan asin, terasi, otak-otak, dan pakan
diminati oleh para konsumen. Oleh karena itu, ketersediaan ikan kuniran di alam
harus tetap selalu dilestarikan.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya hayati
perikanan untuk melindungi populasi ikan kuniran diantaranya adalah dengan
pengaturan penangkapan pada waktu pemijahan serta pengaturan upaya
penangkapan. Berdasarkan penelitian biologi reproduksi yang dilakukan dari bulan
Juli-Oktober, TKG IV dominan tertangkap pada bulan September. Selain itu indeks
kematangan gonad ikan kuniran tertinggi pada bulan September. Maka perlu adanya
larangan penangkapan ikan kuniran pada bulan September yang bertujuan
memberikan kesempatan pada ikan kuniran untuk tetap menjaga keberlangsungan
hidupnya dengan salah satu cara yaitu pemijahan.
Ikan kuniran yang memiliki TKG IV, dominan tertangkap pada selang kelas
136-143 mm untuk betina dan 144-151 mm untuk jantan. Dan berdasarkan sebaran
ukuran panjang untuk setiap pengambilan data, pada bulan September ikan dominan
tertangkap pada selang kelas 136-143 mm untuk betina dan 146-151 mm untuk ikan
jantan yang merupakan ukuran ikan kuniran pertama kali matang gonad. Maka perlu
pengaturan upaya penangkapan dengan penggunaan alat tangkap yang selektif.
Disarankan masyarakat sekitar PPI Kalibaru meningkatkan ukuran mata jaring dogol
sebesar 2 inchi pada bagian kantong dogol agar populasi ikan kuniran di alam tetap
lestari.
44
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian pola pertumbuhan dan reproduksi ikan kuniran
(Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Jakarta adalah pola pertumbuhan ikan
kuniran dari bulan Juli-Oktober baik jantan maupun betina bersifat allometrik
negatif. Selain itu faktor kondisi ikan kuniran bervariasi dari 1,0480-1,1053 untuk
jantan dan 0,8527-0,9989 untuk ikan betina. Nisbah kelamin yang didapat selama
penelitian sebesar 1:1,5 (janta : betina) yang menunjukkan bahwa keberlangsungan
hidup ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta masih dalam keadaan baik.
Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad diduga waktu
pemijahan ikan kuniran terjadi pada bulan September dengan ukuran pertama kali
matang gonad berdasarkan sebaran selang kelas panjang sebesar 144-151 mm untuk
jantan dan 136-143 mm untuk betina. Rata-rata fekunditas ikan kuniran sebesar
42.005 yang menunjukkan bahwa ikan kuniran memiliki potensi reproduksi yang
tinggi. Berdasarkan sebaran diameter telur, ikan kuniran diduga memiliki sifat
pemijahan total (total spawning), yaitu butir-butir telurnya yang sudah matang akan
dikeluarkan sekaligus dalam jangka waktu singkat pada saat pemijahan berlangsung.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan :
a. Penelitian mengenai biologi reproduksi dapat dilakukan selama 1 tahun dengan
jumlah contoh yang lebih banyak.
b. Tersedianya data sekunder berupa jumlah hasil tangkapan ikan kuniran, jumlah
armada penangkapan, serta jumlah nelayan.
c. Agar kelestarian sumberdaya ikan kuniran dapat terjaga, maka perlu dilakukan
upaya pengelolaan yaitu larangan penangkapan ikan kuniran pada bulan
September dan larangan penangkapan pada ukuran 144-151 mm untuk ikan
jantan dan 136-143 mm untuk ikan betina.
45
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Sulistiono, Firmansyah A, Sofiah S, Brojo M, & Mamangke J. 2007.
Aspek biologi ikan butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti,
Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14(1) :
13-22.
Agnitasari, SN. 2006. Karakteristik komunitas makrozoobenthos dan kaitannya
dengan lingkungan perairan Teluk Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Atmaja P. 2008. Biologi reproduksi ikan motan (Thynnichthys thynnoidesi) di
perairan rawa banjiran Sungai Kampar Kiri, Riau [skripsi]. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Brojo M & Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus tambuloides
Blkr.) yang didaratkan di tempat pelelangan ikan Labuan, Pandeglang. Jurnal
Iktiologi Indonesia 2(1) : 9-13.
Cabrita E, Robles V, & Herraez P (Ed.). 2008. Methods in reproductive aquaculture
marine and freshwater species. USA. 549 p.
Chamber RC & Leggett WC. 1996. Maternal influences on variation in eggs sizes in
temperate marine fishes. Journal American Zoology 36 : 180-196.
Cormick MI. 1993. Development and changes at settlement in the barbel structure of
the reef fish, Upeneus tragula (Mullidae). Journal Environmental Biology of
Fishes 37: 269-282.
Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Ernawati T & Sumiono B. 2006. Sebaran dan kelimpahan ikan kuniran (Mullidae) di
perairan Selat Makassar. Prosiding seminar nasional ikan IV. Jatiluhur,
Jakarta.
Fachrul MF, Haeruman H, & Sitepu LC. 2004. Komunitas fitolankton sebagai bio-
indikator kualitas perairan Teluk Jakarta. Seminar Nasional MIPA 2005.
Universitas Indonesia Depok.
46
Febriani L. 2010. Studi makanan dan pertumbuhan ikan bilih (Mystacoleucus
padangensis) di Danau Singkarak, Sumatera Barat [skripsi]. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. 102 hlm.
Fujaya Y. 2004. Fisiologi ikan. PT RinekaCipta. Jakarta. Hlm 131.
Handayani T. 2006. Aspek biologi ikan lais di Danau Lais. Journal of Tropical
Fisheries 1(1) : 12-23.
Harahap TSR & Djamali A. 2005. Pertumbuhan ikan terbang (Hirundichthys
oxycephalus) di perairan Binuangen, Banten. Jurnal Iktiologi Indonesia 5(2) :
49-54.
Hermawati L. 2006. Studi biologi reproduksi ikan terbang (Hirundichthys
oxycephalus) di perairan Binuangen, Kecamatan Malingpingi, Kabupaten
Lebak, Banten [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Juraida R. 2004. Beberapa aspek biologi reproduksi ikan tetet (Johnius belangerii
C.V.) di perairan Pantai Mayangan, Pamanukan, Jawa Barat [skripsi].
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Moyle PB & Cech JJ. 1988. Fishes an introduction to ichthyology 2nd
edition.
Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, USA.
Najamuddin, Mallawa A, Budimawan, & Indar MYN. 2004. Pendugaan ukuran
pertama kali matang gonad ikan layang deles (Decapterus macrosoma
Bleeker). Journal sains & teknologi 4(1) : 1-8.
Paonganan Y, Soedharma D, Nurjaya IW, & Partono T. 2005. Sebaran
spasiotemporal parameter fisika dan kimia perairan Pulau Bokor, Pulau
Payung, dan Pulau Pari di sekitar Teluk Jakarta.
Prabha, YS. & Manjulatha, 2008. Food and feeding habits of Upeneus vittatus
(Forsskal, 1775) from visakhapatnam coast (Andhra Pradesh) of India. Int. J.
Zool. Res. 4: 59-63.
Prihartini A. 2006. Analisis tampilan biologis ikan layang (Decapterus spp.) hasil
tangkapan purse seine yang didaratkan di PPN Pekalongan [tesis]. Program
studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Diponegoro.
Rizal DA. 2009. Studi biologi reproduksi ikan singgiringan (Puntius johorensis) di
daerah aliran Sungai Musi, Sumatera Selatan [skripsi]. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
47
Rochyatun E & Rozak A. 2007. Pemantauan kadar logam berat dalam sedimen di
perairan Teluk Jakarta. Makara sains 11(1) : 28-36.
Russell FS. 1976. The eggs and planktonic stages of british marine fishes. Academic
press. London, New York, San Fransisco. p 8.
Saadah. 2000. Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di
perairan Teluk Labuan, Jawa Barat [skripsi]. Departemem Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. 71 hlm.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Binacipta. Jakarta. 520 hlm.
Sjafei DS & Susilawati R. 2001. Beberapa aspek biologi ikan biji nangka Upeneus
moluccensis Blkr. di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Iktiologi
Indonesia 1(1) : 35-39.
Sulistiono, Kurniati TH, Riani E, dan Watanabe S 2001. Kematangan gonad
beberapa jenis ikan buntal (Tetraodon lunaris, T. fluviatilis, T. reticularis) di
perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia 1 (2) : 25-30.
Tutupoho SNE. 2008. Pertumbuhan ikan motan (Thynnichthys thynnoides) di rawa
banjiran Sungai Kampar Kiri, Riau [skripsi]. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. 46 hlm.
Walpole RE. 1992. Pengantar statistic, edisi ke-3. [Terjemahan dari Introduction to
statistic 3rd
edition]. Sumantri B (penerjemah). PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 515 hlm.
Widodo J & Suadi.2008. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. p.49.
www.jakarta.go.id. Jakarta, Teluk. [terhubung berkala].
http://www.jakarta.go.id/jakv1/ encyclopdia/detail/1172.html [22 Juni 2010].
www.fishbase.org. [terhubung berkala]. http://fishbase.org/Animals/E/Upeneus
moluccensis. [02 Oktober 2010].
Yustina & Arnentis. 2002. Aspek reproduksi ikan kapiek (Puntius schwanefeldi
Bleeker) di Sungai Rangau, Riau, Sumatera. Jurnal Matematika dan Sains 7(1)
: 5-14.
50
Lampiran 2. Metode pembuatan preparat histologi (Hermawati 2006)
Fiksasi
Gonad difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam, setelah itu dipindahkan ke
alcohol 70% selama 24 jam
Dehidrasi I
Gonad direndam dengan alkohol 70% (24 jam), alkohol 80% (2 jam), alkohol 90%
(2 jam), alkohol 95% (2 jam), alkohol 100% (12 jam)
Clearing I (Penjernihan)
Gonad direndam dalam alkohol 100% + Xylol (1:1) selama 30 menit, kemudian
diendam dalam Xylol I, Xylol II, Xylol III masing-masing selama 30 menit
Embedding (Penyusupan/infiltrasi)
Gonad direndam dalam Parafin – Xylol (1:1) selama 45 menit dalam oven suhu 65-
75 °C, selanjutnya direndam dalam Parafin I, Parafin II, Parafin III selama masing-
masing 45 menit yang dipanaskan dalam oven suhu 65-75 °C dan kemudian jaringan
dicetak dalam cetakan selama 12 jam (proses blocking)
Pemotongan
Spesimen dipotong sebesar 4-6 µm dengan mikrotom, diapungkan dalam air suam
kuku dan diletakkan diatas hot plate 40 °C sampai agak kering
Defarafinasi
Preparat direndam berturut-turut dalam Xylol I dan Xylol II masing-masing selama 5
menit
Dehidrasi II
Preparat direndam berturut-turut dalam alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol
95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 75%, alkohol 71%, alkohol 50% masing-
masing 3 menit, setelah itu preparat dibersihkan dengan akuades sampai putih
Pewarnaan
Preparat direndam dalam larutan Haematoxylin selama 5-7 menit, selanjutnya
direndam dengan larutan eosin selama 3 menit dan cuci dengan air mengalir
51
Lampiran 2 (Lanjutan).
Dehidrasi III
Preparat direndam berturut-turut dengan alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80%,
alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol 100% I, alkohol 100% II masing-
masing selama 2 menit
Clearing II
Preparat direndam berturut-turut dalam Xylol I, Xylol II dan Xylol III masing-masing
selama 2 menit
Mounting
Jaringan dilekatkan dengan gelas penutup dan zat perekat
Lampiran 3. Frekuensi panjang hasil tangkapan ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
Selang
kelas
Batas
bawah
Batas
atas
Nilai Tengah
(xi) Frekuensi
96-103 95,5 103,5 99,5 4
104-111 103,5 111,5 107,5 37
112-119 111,5 119,5 115,5 71
120-127 119,5 127,5 123,5 90
128-135 127,5 135,5 131,5 87
136-143 135,5 143,5 139,5 51
144-151 143,5 151,5 147,5 31
152-159 151,5 159,5 155,5 21
160-167 159,5 167,5 163,5 6
168-175 167,5 175,5 171,5 2
N 400
Maks 170
Min 96
Jumlah kelas 10
Wilayah kelas 74
Lebar kelas 8
52
Lampiran 4. Uji t untuk hubungan panjang-berat ikan kuniran (Upeneus
moluccensis)
Hipotesis :
H0 : b = 3, pertumbuhan isometrik
H1 : b ≠ 3, pertumbuhan allometrik
Statistik Regresi
R2 0,89
Tabel Sidik Ragam (TSR)
db
Jumlah Kuadrat
(JK)
Kuadrat Tengah
(KT) F Hitung
Regresi 1 14,64 14,64 6466,65
Sisa 813 1,84
Total 814
Simpangan baku
Intersep -4,1 0,07
Slope 2,64 0,03
T hitung = (2,64-3)/0,03 = 11,04
T table = TINV(0,05;815) = 2,25
Thit > Ttab maka tolak hipotesis nol (H0), selanjutnya b < 3 yang artinya pola
pertumbuhan bersifat allometrik negatif.
Lampiran 5. Contoh perhitungan faktor kondisi
baL
WK
1108,110500008,0
206481,2
K
Lampiran 6. Contoh perhitungan indeks kematangan gonad
100(%) xBT
BGIKG
53
9470,010020
1894,0(%) xIKG
Lampiran 7. Contoh perhitungan fekunditas
Q
GxVxfF
315602210,0
423106489,1
xxF
Lampiran 8. Selang kelas diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis)
N 6150
Maks 0,41
Min 0,15
Wilayah kelas 0,26
Jumlah kelas 14
Lebar kelas 0,02
Selang
kelas
Batas
bawah
Batas
Atas
Nilai tengah
(xi) Frekuensi
0,15-0,16 0,145 0,165 0,155 4
0,17-0,18 0,165 0,185 0,175 19
0,19-0,20 0,185 0,205 0,195 80
0,21-0,22 0,205 0,225 0,215 237
0,23-0,24 0,225 0,245 0,235 477
0,25-0,26 0,245 0,265 0,255 652
0,27-0,28 0,265 0,285 0,275 1056
0,29-0,30 0,285 0,305 0,295 1195
0,31-0,32 0,305 0,325 0,315 1046
0,33-0,34 0,325 0,345 0,335 682
0,35-0,36 0,345 0,365 0,355 459
0,37-0,38 0,365 0,385 0,375 201
0,39-0,40 0,385 0,405 0,395 37
0,41-0,42 0,405 0,425 0,415 5
54
Lampiran 9. Perhitungan ukuran mata jaring yang disarankan
No
Panjang Baku
(mm)
Tinggi Badan
(mm)
1 101 33
2 98 37
3 89 33
4 103 40
5 90 34
6 94 35
7 93 32
8 92 32
9 91 34
10 90 32
11 94 35
12 92 41
13 80 29
14 82 34
15 79 27
16 96 38
17 84 27
18 107 42
19 87 31
20 97 35
21 86 34
22 96 33
23 87 29
24 93 34
25 89 37
26 86 25
27 87 27
28 85 35
29 85 37
30 85 33
31 109 42
32 107 41
33 92 31
34 90 32
35 90 32
36 92 36
37 91 36
38 85 32
55
Lampiran 9 (Lanjutan).
No
Panjang Baku
(mm)
Tinggi Badan
(mm)
39 82 29
40 76 35
41 82 28
42 96 29
43 91 32
44 87 30
45 87 32
46 92 31
47 85 27
48 100 29
49 90 25
50 80 27
51 110 36
52 85 28
53 95 24
54 97 35
55 92 28
56 89 27
57 92 25
58 94 21
59 91 28
60 94 32
61 96 30
62 92 25
63 81 22
64 117 27
65 85 44
66 85 28
67 87 25
68 92 27
69 77 30
70 87 22
71 90 25
72 101 25
73 82 29
74 81 31
75 89 28
76 97 26