persepsi anak jalanan terhadap pendidikan formal...
TRANSCRIPT
PERSEPSI ANAK JALANAN
TERHADAP PENDIDIKAN FORMAL
Studi Kasus di Lebak Bulus, Jakarta Selatan
dan Pondok Ranji, Tangerang Selatan
Disusun Oleh:
DIAN SAFITRI
105015000631
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dian Safitri
NIM : 105015000631
Jurusan : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Angkatan Tahun : 2005
Alamat : Jl. M. Siban Rt.003/08 No.12 Kel. Kunciran Indah
Kec. Pinang Kota.Tangerang
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA
Bahwa skripsi yang berjudul PERSEPSI ANAK JALANAN TERHADAP
PENDIDIKAN FORMAL, adalah benar hasil karya sendiri dibawah bimbingan dosen:
Nama : Dr. Teuku Ramli Zakaria, M.A
Dosen Jurusan : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima
segala konsekwensi apabila ternyata skripsi ini bukan hasil karya sendiri.
Jakarta, 07 Desember 2009
Yang Menyatakan
Dian Safitri
ABSTRAK
Pada tugas akhir ini diteliti mengenai persepsi anak jalanan tentang pendidikan
bagi diri mereka sendiri sebagai generasi muda bangsa dalam menyongsong masa depan
yang lebih baik. Persepsi anak jalanan dapat mempengaruhi tingkah laku dan cara
pandang mereka untuk dapat menjalani hidup tanpa harus berpendidikan.
Pendidikan yang merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia
sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia. Masyarakat luas
dapat memperoleh pendidikan selain melalui penyelenggaraan pendidikan di sekolah
yang bersifat formal, juga bisa melalui penyelenggaraan pendidikan luar sekolah yang
bersifat non formal.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui masalah dan pertimbangan anak
jalanan lebih memilih hidup di jalan tanpa mementingkan pendidikan, kesadaran anak
jalanan dalam mengembangkan identitas diri sebagai anak bangsa, bagian dari generasi
muda, kekeliruan pola pikir anak jalanan tentang dirinya sendiri dan arti penting
pendidikan.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan cara observasi,
wawancara dan dokumentasi dan diperoleh hasil bahwa anak jalanan yang kerap kali
berada di jalan tanpa memandang panas atau hujan, menikmati hidup mereka di jalan
hanya untuk mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan hidupnya dan
mengesampingkan pendidikan.
Kata kunci : Kebutuhan ekonomi sebagai pendorong keberadaan anak-anak di
jalan dan mengesampingkan pendidikan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas berkat rahmat dan karunia Allah SWT sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai syarat kurikulum yang harus dipenuhi
untuk mengikuti ujian sarjana pada Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. Nurochim, MM selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial juga selaku dosen pembimbing akademik.
4. Dr. Teuku Ramli Zakaria, MA selaku dosen pembimbing skripsi.
5. Seluruh staff pengajar dan administrasi pada Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ayah, ibu, kakak dan adik-adikku serta seluruh keluarga yang telah mendo’akan
dan memberikan bantuan baik moral maupun material.
7. Keluarga besar Komando Resimen Mahasiswa ”Wira Dharma” UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya angkatan 8-8 ”Castrena I” dan umumnya seluruh
anggota baik senior maupun junior yang tidak dapat dituliskan namanya satu
persatu.
8. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Tarbiyah.
9. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya angkatan 2005.
10. Teman seperjuangan sesama mahasiswa yang tidak dapat dituliskan namanya satu
persatu, dan rekan-rekan yang telah banyak membantu sehingga selesainya
laporan ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala bantuan
dan kemurahan hati semua pihak yang telah ikhlas membantu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat kekurangan-
kekurangan karena keterbatasan dan kemampuan, maka penulis mengharapkan saran dan
kritik.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan di
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Ciputat, Desember 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abd. Rahman. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Trias Wacana Yogya, 1993. Ahmadi, Abu. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Ala, Andre Bayo. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty,
1981.
Anshori, Ibnu. Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, Jakarta: Komis
Perlindungan Anak, 2007.
Bakri, Nazar. Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Pedoman Jaya, 1994.
Darmodiharjo, Darji. Peranan Guru dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Analisis
Pendidikan, 1982.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1993.
Gunawan, Ary H. Kebijakan-kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Irawan, Bambang. Pemberdayaan Masyarakat Yang Berkesinambungan. Jakarta: Diktat Pelatihan, Yayasan Bina Swadaya, 2001.
Iska, Zikri Neni. Psikologi. Jakarta: Kizi Brother’s, 2006.
Kartono, Kartini. Belajar di SMA dan Perguruan Tinggi. Jakarta: C.V. Rajawali, 1985.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, cet
ke-7, 1997 Mudzakir, Ahmad dan Joko Sutrisno. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Setia, 1995.
Nazir, M. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Nurkancana, Wayan dan Sumartana. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Balai Pustaka, 1986.
Salam, Syamsir. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: C.V. Rajawali, 1990. Slameto. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Reneka Cipta,
2003.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Sukanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Sukardi, Dewa Ketut. Penggunaan test dalam Konseling Karir. Surabaya: Usaha
Nasional, 1999.
Suparlan, Parsudi. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Syah, Darwyan, dkk. Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Faza Media, 2006.
Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya,1999.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Vredenbergt, Jacob. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia,
1984.
Whitherington, H.Carl, (terj) M. Buchori. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Reneka Cipta,
1999. Zarkasi, Muslichah. Psikologi Manajemen. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1997.
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_Jalanan
http://www.sinarharapan.co.id
http://www.hupelita.com
http://id.answers.yahoo.com
http://qym7882.blogspot.com
http:// creasoft.files.wordpress.com
http://sunartombs.wordpress.com
www.anneahira.com
http://www.stopberiuang.or.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERSEPSI ANAK JALANAN TERHADAP PENDIDIKAN FORMAL
STUDI KASUS DI LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN DAN PONDOK RANJI,
TANGERANG SELATAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syariif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 23 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Sosiologi-Antropologi
(Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial).
Jakarta, 23 Desember 2009
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. Nurochim, MM (……………………)
NIP. 19590715 198403 1 003
2. Penguji I : Iwan Purwanto, M.Pd (……………………)
NIP. 19730424 200801 1 012
3. Penguji II : Drs. H. Nurochim, MM (……………………)
NIP. 19590715 198403 1 003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. DR. Dede Rosyada, MA
NIP. 19571005 198703 1 003
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul “Persepsi Anak Jalanan Terhadap Pendidikan Formal Studi
Kasus Di Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Pondok Ranji, Tangerang Selatan” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah, di hadapan Dewan Penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Jakarta, 23 Desember 2009
Panitia Ujian Munaqosah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Tanggal Tanda Tangan
Drs. H. Nurochim, MM
NIP. 19590715 198403 1 003 ______ ____________
Penguji I
Iwan Purwanto NIP. 1919730424 200801 1 012 ______ ____________
Penguji II
Drs. H. Nurochim, MM NIP. 19590715 198403 1 003 _______ ____________
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
NIP. 19571005 198703 1 003
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia ditandai dengan menurunnya nilai tukar
rupiah, berkurangnya pendapatan dalam negeri, turunnya minat investasi, pengangguran
yang besar akibat pekerja yang di PHK dan angkatan kerja baru yang tidak mungkin
terserap, lonjakan jumlah penduduk miskin mencapai 79,14 juta jiwa, dan secara makro
pembangunan merosot dengan laju pertumbuhan 13,68% dan laju inflasi 77,68%1.
Menurut Soerjono Sukanto, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak
merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan
timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dan berkembangnya perdagangan keseluruh dunia
dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat,
kemiskinan muncul sebagai masalah sosial2.
Oleh karena banyaknya jumlah penduduk miskin, maka dampak yang terjadi pun
jumlah anak jalanan di Jakarta terus bertambah meski berbagai upaya telah dilakukan.
Tingginya mobilitas penduduk di Jakarta menjadi salah satu faktor utama meningkatnya
jumlah anak jalanan. Tapi itulah fenomena sebuah kehidupan di kota besar yang sudah
berbau metropolitan.
Banyak pihak dan yayasan yang telah mencoba menolong mereka dengan
memberikan sekolah gratis, makanan gratis dan rumah singgah bagi mereka namun
mereka tetap kembali ke jalan. Tapi jika dibiarkan, 10-20 tahun lagi mereka akan tetap
berada dijalanan dan bisa jadi menjadi preman yang tinggal di jalan dan melahirkan anak-
anak yang kurang mampu dan yang tidak berpendidikan.
Persepsi anak jalanan dapat mempengaruhi tingkah laku dan cara pandang mereka
untuk dapat menjalani hidup tanpa harus berpendidikan. Karena rata-rata cara berfikir
1 Bambang Irmawan, Pemberdayaan Masyarakat Yang Berkesinambungan, (JakartaDiktat
Pelatihan, Yayasan Bina Swadaya 2001) h.1 2 Soerjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet ke-
35, h.365
mereka didorong dari penghasilan yang didapat setiap harinya dengan tanpa adanya
pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.
Saat ini banyak penampungan dan rumah singgah yang dikelola oleh pemerintah
dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menangani anak-anak jalanan, namun
melihat kondisi saat ini, populasi anak-anak jalanan semakin banyak. Dan hal ini cukup
membuat repot pemerintah dan pengelola rumah singgah.
Upaya pendampingan dan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah dan LSM
sejauh ini cukup beragam dari menyekolahkan sampai memberikan kemampuan diri (life
skill). Namun tidak sedikit dari mereka yang di sekolahkan, lebih memilih keluar dari
sekolahnya dan kembali menjadi pengamen dan anak jalanan. Sebagian dari mereka
menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan berada di jalan adalah
sesuatu yang menyenangkan karena akan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia.
Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia
menurut ukuran normatif yang sangat penting di dalam salah satu usaha pencerdasan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menyadari akan hal tersebut,
pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan
yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu
menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sektor pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah tentu sesuai dengan UUD
1945 pasal 23 yaitu mengenai sistem pendidikan nasional. Kewenangan kepada sektor
pendidikan selain dilakukan oleh pemerintah, juga dilakukan oleh berbagai organisasi
masyarakat berupa yayasan pendidikan, bimbingan belajar dan lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak dalam bidang pendidikan.
Sedangkan pendidikan menurut undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun
2003 Bab VI pasal 13, menyatakan: “pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
Krisis ekonomi dan bencana alam yang berkepanjangan yang melanda negara kita
akhir-akhir ini telah banyak menyebabkan orang tua dan keluarga yang mengalami
keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, menurunnya daya jual-beli
serta melambungnya harga barang sehingga tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang diperlukan oleh anak-anak mereka. Akibat yang lebih jauh lagi yaitu
banyak anak-anak yang meninggalkan orang tua dan rumah serta meninggalkan sekolah
guna mengais nafkah.
Bentuk pendidikan yang perlu disadari dan dilaksanakan oleh orang tua terhadap
anaknya antara lain adalah: memelihara dan membesarkannya, melindungi dan menjamin
kesehatannya baik jasmani maupun rohani dari gangguan berbagai macam penyakit atau
bahaya lingkungan yang akan membahayakan dirinya, mendidik anak dengan berbagai
ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta memberikan bekal kepada anak untuk
kehidupan di dunia dan di akhirat.
Masyarakat memiliki hak yang sama dalam dunia pendidikan, tanpa memandang
tinggi rendahnya derajat seseorang dalam kehidupan sosialnya. Adanya kesempatan yang
diberikan pemerintah dalam pendidikan diimplementasikan dengan memberikan
beasiswa, BLT (bantuan langsung tunai), dan lain-lain yang harusnya menjadi faktor
pemicu dan berlomba-lomba untuk berprestasi dalam segala hal terutama pendidikan.
Agar bangsa ini terbebas dari kebodohan yang selama ini disebabkan karena menurunnya
tingkat pendidikan pada anak usia sekolah.
Selain itu, masyarakat luas dapat memperoleh pendidikan selain melalui
penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang bersifat formal, juga bisa melalui
penyelenggaraan pendidikan luar sekolah yang bersifat non formal. Pendidikan formal
merupakan kumpulan satuan mata pelajaran yang telah digariskan oleh pemerintah dalam
sistem pendidikan nasional. Sedangkan pendidikan non formal berupa pengajaran,
latihan, ilmu keterampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan berbagai bidang
kehidupan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian ilmiah tentang
”PERSEPSI ANAK JALANAN TERHADAP PENDIDIKAN FORMAL STUDI
KASUS DI LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN DAN PONDOK RANJI,
TANGERANG SELATAN”.
B. Fokus Penelitian
Fokus dalam suatu penelitian kualitatif adalah masalah pokok yang ingin dikaji dan
dibahas. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, fokus dalam penelitian ini
adalah persepsi anak jalanan tentang pendidikan bagi diri mereka sendiri sebagai generasi
muda bangsa dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih baik.
C. Ruang Lingkup dan perumusan masalah
1. Ruang Lingkup Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian di atas, ruang
lingkup masalah dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:
a. Pertimbangan anak jalanan lebih memilih hidup di jalan tanpa mementingkan
pendidikan.
b. Kesadaran anak jalanan dalam mengembangkan identitas diri sebagai anak
bangsa, bagian dari generasi muda.
c. Kekeliruan pola pikir anak jalanan tentang dirinya sendiri dan arti penting
pendidikan.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan ruang lingkup masalah yang ditentukan, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Mengapa anak jalanan lebih memilih untuk tetap berada di jalan dan tidak
mau bersekolah?
b. Bagaimana cara anak jalanan mengembangkan identitas diri sebagai anak
bangsa?
c. Bagaimana meluruskan persepsi anak jalanan terhadap arti penting
pendidikan?
D. Kegunaan penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain:
1. Bagi anak jalanan, diharapkan dapat memberi arah dan motivasi untuk bangkit
menjadi manusia cerdas dan terampil yang berguna bagi bangsa dan negara.
2. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), diharapkan dapat menjadi masukan
dalam mengembangkan dan melaksanakan program berkaitan dengan anak
jalanan dalam mewujudkan pendidikan.
3. Untuk pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan dalam merumuskan
kebijakan pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh warga Negara tanpa
diskriminasi termasuk pendidikan untuk anak jalanan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Persepsi dan Jenis-Jenis Persepsi
1. Pengertian Persepsi
Memfokuskan perhatian pada satu atau dua objek mengakibatkan terjadinya
perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lain. "Persepsi dalam arti sempit ialah
penglihatan, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana
seseorang memandang atau mengartikan sesuatu3".
Persepsi merupakan suatu proses pemahaman ataupun pemberian makna atas
suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh
otak. Tidak hanya indera pengliahatan (mata) saja yang dapat mempersepsikan sesuatu,
akan tetapi indera pendengar (telinga), indera penciuman (hidung), Indera peraba (kulit),
indera pengecap/perasa (lidah) pun dapat mempersepsikan sesuatu dari rangsangan-
rangsangan yang dialaminya4.
Dalam kamus psikologi persepsi diartikan sebagai proses pengamatan seseorang
terhadap segala sesuatu di lingkungannya dengan menggunakan indera yang dimilikinya,
sehingga menjadi sadar terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan tersebut (Dali, 1982).
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996) mengatakan, persepsi adalah proses
pemberian arti terhadap lingkungan. Tinjauan terhadap konsep persepsi, khususnya untuk
objek-objek lingkungan dapat dikaji melalui dua pendekatan, yaitu : (1) melalui pendekatan
konvensional, (2) pendekatan ekologis terhadap lingkungan. Menurut Backler dalam
Abdurahman (1987), hubungan manusia dengan lingkungan merupakan titik tolak dan
merupakan sumber informasi, sehingga terlihat individu menjadi seorang pengambil
keputusan.
Istilah persepsi sering dikacaukan dengan sensasi. Sensasi hanya berupa kesan
sesaat, saat stimulus baru diterima otak dan belum diorganisasikan dengan stimulus
3 Muslichah Zarkasi, Psikologi Manajemen, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1997), h. 28
4 Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 96
lainnya dan ingatan yang berhubungan dengan stimulus tersebut. Misalnya meja yang
terasa kasar, yang berarti sebuah sensasi dari rabaan terhadap meja5.
Dari definisi-definisi di atas memberikan penjelasan bahwa persepsi ditimbulkan
dari rangsangan alat indera yang kemudian diproses dalam otak sehingga akan
menimbulkan sesuatu yang dapat menjadi pedoman dalam kehidupan dan bahkan bisa
menjadi ingatan yang ditimbulkan dari persepsi tersebut.
2. Jenis-jenis Persepsi
Proses pemahaman terhadap rangsang atau stimulus yang diperoleh oleh indera
menyebabkan persepsi terbagi menjadi beberapa jenis. Antara lain:
a) Persepsi Visual
Persepsi visual merupakan topik utama dari bahasan persepsi secara umum.
Menurut Bjorklund, D.V (2000) Children's Thinking: Developmental Function
and individual Differences. 3rd Ed. Belmont, CA: Wadsworth, Persepsi visual di
dapatkan dari indera penglihatan. Persepsi ini adalah persepsi yang paling awal
berkembang pada bayi, dan mempengaruhi bayi dan balita untuk memahami
dunianya.
Ada tiga macam penglihatan:
- Penglihatan terhadap bentuk; yaitu penglihatan terhadap objek dimensi
dua.
- Penglihatan terhadap warna; yaitu penglihatan terhadap objek psikis dari
warna.
- Penglihatan terhadap dalam; yaitu penglihatan terhadap objek yang
berdimensi tiga6.
Penglihatan yang diterima oleh mata hanyalah merupakan salah satu atau
bagian yang menerima stimulus, dan stimulus ini dilangsungkan oleh syaraf
sensori ke otak, hingga akhirnya individu dapat menyadari apa yang dilihat.
b) Persepsi Auditori
Persepsi auditori didapatkan dari indera pendengaran yaitu telinga. "Telinga
disamping sebagai alat indera pendengaran juga sebagai alat untuk
5 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Persepsi&action=edit§ion=2
6 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 19
keseimbangan"7. Rangsangan yang sesuai dengan indera pendengaran adalah
getaran-getaran udara, atau perubahan-perubahan dalam tekanan udara8.
c) Persepsi Perabaan
Persepsi pengerabaan didapatkan dari indera taktil yaitu kulit. Indera ini dapat
merasakan rasa sakit, rabaan, tekanan, dan temperatur. Tetapi tidak semua bagian
dari kulit dapat menerima rasa-rasa ini.
d) Persepsi Penciuman
Persepsi penciuman atau olfaktori didapatkan dari indera penciuman yaitu
hidung. Kekuatan/kualitas rangsang pada objek pembauan dapat ditentukan oleh
kuantitas objek pembauan di sekitar subjek dan kepekaan fungsi saraf pada
hidung sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan fisiologis pada hidung9.
e) Persepsi Pengecapan
Persepsi pengecapan didapatkan dari indera pengecap yaitu lidah. Indera
pengecap hanya peka terhadap empat macam rasa pokok, yaitu manis, asam, asin,
dan manis. Akan tetapi rasa makanan sebenarnya tidak hanya diamati semata-
mata atas dasar indera pengecap, melainkan atas dasar kombinasi-kombinasi
pembau dan pencecap10.
B. Anak Jalanan
1. Pengertian Anak Jalanan
Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal
1 ayat 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Dari bahasa Indonesia ensiklopedia bebas, anak jalanan adalah sebuah istilah
umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan,
7 Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 98
8 Zikri Neni Iska, Psikologi, (Jakarta: Kizi Brother's, 2006), h. 64
9 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.23
10 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), h. 33
namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada
pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak11
.
Anak-anak jalanan lebih banyak memiliki pengalaman yang getir dan imajinasi
mereka bahkan lebih tajam untuk dituangkan dalam bentuk puisi atau cerpen. Keseharian
yang menantang untuk dapat bertahan hidup di kota-kota besar akan dapat
mengumpulkan memori pengalaman yang unik12
.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa anak jalanan sebenarnya memiliki
keluarga dan sama-sama hidup di jalanan pula dengan anggota keluarganya. Akan tetapi,
ada sebagian anak jalanan yang tidak memiliki anggota keluarga atau terputus dari
keluarga13.
Anak jalanan tak dapat dipisahkan oleh kognisi sosial yang diartikan sebagai
pengetahuan tentang lingkungan sosial dan hubungan interpersonal. Model ini
menekankan tentang dampak/pengaruh pengalaman sosial terhadap perkembangan
kognitif. Selain itu, teori ini menekankan tentang kebudayaan sebagai faktor penentu bagi
perkembangan individu.
Anak jalanan yang cenderung pada anak berusia sekolah, tidak sepatutnya berada
di jalan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaiknya, anak masa usia sekolah
dasar atau disebut dengan istilah masa intelektual, atau masa keserasian bersekolah secara
relatif, anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya.
Oleh sebab keberadaan anak-anak dijalan sangat berpengaruh pada proses
pendidikan baik pada awal anak mengenal pendidikan di Sekolah Dasar hingga
Perguruan Tinggi yang penting diperhatikan ialah sikap anak terhadap otoritas
(kekuasaan), khususnya otoritas orang tua dan guru.
Idealnya, dunia anak adalah dunia kegembiraan, permainan, tanpa beban, dan
mencerdaskan. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak mengalami masa-masa
bahagia dan mencerdaskan. Bahkan dari mereka sudah harus dibebani pekerjaan
membantu orang tua mencari nafkah.
Ada empat persoalan anak yang perlu mendapat perhatian khusus:
a. Pendidikan anak
11
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_Jalanan 12
http://www.sinarharapan.co.id 13 http://www.sinarharapan.co.id
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2001, ada 7,5 juta anak SD
terancam putus sekolah karena kekurangan biaya dan bahkan sebagian lainnya
tidak bisa mengenyam pendidikan sejak dini karena faktor kemiskinan14
.
b. Kesehatan anak
Kondisi kesehatan anak secara umum sangat buruk. Tahun 1999 ada sekitar
1,7 juta balita yang menderita kekurangan gizi dan 10 % diantaranya
tergolong kekurangan yang akut15
.
c. Pekerja anak
Sekarang ini jutaan anak Indonesia harus ikut mencari nafkah. Penelitian
singkat yang dilakukan internasional Labour Organization (ILO), terdapat
sejumlah anak yang harus menjalani perkerjaan terburuk, ada yang menjual
obat-obatan terlarang dan ada yang menjadi pekerja seks16
.
d. Anak-anak di daerah konflik dan bencana
Anak-anak di daerah konflik dan bencana mengalami truma berat dan depresi
sehingga sangat membutuhkan penangan khusus. Seperti di Ambon, Poso,
Aceh, dan lain sebagainya17.
2. Masalah Yang Dihadapi Anak Jalanan
Suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai suatu kondisi atau
ketidakpuasan-ketidakpuasan masyarakat yang memerlukan penanggulangan.
Penanggulangan tersebut dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau mereka yang
merasa bertanggung jawab untuk memecahkan masalah.
Usia Anak jalanan merupakan usia produktif yang seharusnya masa mereka
mendapatkan pendidikan, pembekalan, serta bermain dengan beradaptasi dan
14
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007), h.6
15 Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, 2007), h.7 16
17
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, 2007), h.7
bersosialisasi di lingkungan masyarakat tanpa harus dibebankan oleh faktor ekonomi
yang mengharuskan mereka tetap berada di jalan18
.
Pada dasarnya, masalah anak jalanan tidak terlepas dari:
a. Dalam Diri
1) Minat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa minat mengandung
arti kecenderungan hati yang tertinggi terhadap sesuatu19
. Pandangan para ahli
psikologi mengemukakan bahwa minat adalah sesuatu kecenderungan untuk
selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu secara terus menerus berkaitan
dengan perasaan senang. Minat akan mengarahkan tindakan individu terhadap
suatu obyek, atas dasar rasa senang atau tidak senang. Perasaan senang atau
tidak senang merupakan dasar dari suatu minat20.
Jersild dan Tasch mengatakan bahwa minat (interst) menyangkut aktivitas-
aktivitas yang dipilih secara bebas oleh individu. Sedangkan menurut Doyles
Fryer, minat adalah gejala psikis yang berkaitan dengan objek atau aktivitas yang
menstimulir perasaan senang terhadap sesuatu21
.
H. Carl Whitherington mengatakan bahwa, ”minat adalah kesadaran
seseorang, bahwa suatu obyek, seseorang, suatu soal, atau situasi mengandung
sangkut paut dengan dirinya22. Dari definisi ini, rupa-rupanya minat dipandang
sebagai suatu respon yang sadar terhadap segala sesuatu yang mempunyai sangkut
paut dengan diri seseorang.
Selain definisi yang dikemukakan oleh H. Carl Whitherington di atas,
Hilgard juga memberikan rumusan tentang minat sebagaimana yang dikutip oleh
Slameto bahwa, ”minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan
dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang
18 http://www.hupelita.com
19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), cet. ke-2, h.565 20
Dewa Ketut Sukardi, Penggunaan test dalam Konseling Karir, (Surabaya: Usaha Nasional,
1999), h.76 21
Wayan Nurkancana dan Sumartana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Balai Pustaka, 1986), cet.
ke-4, h. 229 22
H.Carl Whitherington, Psikologi Pendidikan, (terj) M.Buchori, (Jakarta: Reneka Cipta, 1999), cet.
Ke-7, h. 135
diperhatikan terus menerus yang disertai rasa senang”23
. Sementara itu, Slameto
mendefinisikan minat dengan suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada
suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh24
.
Minat diartikan sebagai kehendak, keinginan atau kesukaan25. Minat
adalah sesuatu yang pribadi dan berhubungan erat dengan sikap. Minat dan sikap
merupakan dasar bagi prasangka, dan minat juga penting dalam mengambil
keputusan. Minat dapat menyebabkan seseorang giat melakukan menuju ke
sesuatu yang telah menarik minatnya26
. Minat merupakan sumber motivasi yang
mendorong orang untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas
memilih27.
Minat merupakan suatu perhatian khusus terhadap suatu hal tertentu yang
tercipta dengan penuh kemauan dan tergantung dari bakat dan lingkungannya.
Minat dapat dikatakan sebagai dorongan kuat bagi seseorang untuk melakukan
segala sesuatu dalam mewujudkan pencapaian tujuan dan cita-cita yang menjadi
keinginannya28.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar di atas, terlihat
bahwa antara definisi yang satu dengan definisi yang lain saling melengkapi,
sehingga panulis dapat menegaskan bahwa minat adalah kecenderungan hati
terhadap sesuatu, baik terhadap obyek, aktivitas ataupun situasi yang dianggap
penting dan berguna, sehingga sesuatu itu diperhatikan dan diingat terus menerus
yang disertai dengan perasaan senang.
Dari pengertian tersebut diatas dapat diperoleh kesan bahwa, minat
mengandung tiga unsur, yaitu kognisi, emosi dan konasi. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Abd Rachman Abror, yaitu:
Unsur kognisi (mengenal) dalam arti, minat itu didahului oleh pengetahuan
dan informasi mengeneai obyek yang dituju oleh minat tersebut. Unsur emosi
23
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Reneka Cipta, 2003), cet.
Ke-4, h.57 24
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Reneka Cipta, 2003), cet.
Ke-4, h.180 25
Kamisa, 1997 : 370 dalam http://id.answers.yahoo.com 26
Gunarso,1995 : 68 dalam http://id.answers.yahoo.com 27
Hurlock, 1995 : 144 dalam http://id.answers.yahoo.com 28 http://qym7882.blogspot.com
(perasaan), karena dalam partisipasi atau pengalaman itu disertai dengan
perasaan tertentu (biasanya perasaan senang). Sedangkan unsur konasi
(kehendak) merupakan kelanjutan dari kedua unsur tersebut yaitu diwujudkan
dalam bentuk kemauan dari hasrat untuk melakukan suatu kegiatan29
.
Faktor – faktor utama yang mempengaruhi minat seseorang:
a) Kondisi pekerjaan
Tempat kerja yang memiliki suasana yang menyenangkan dengan
didukung oleh kerja sama yang profesional, saling bantu dapat
meningkatkan produksi.
b) Sistem pendukung
Dalam bekerja sangat diperlukan sistem pendukung yang memadai bagi
para pekerjanya sehingga diperoleh hasil produksi yang maksimal,
misalnya fasilitas kendaraan, perlengkapan pekerjaan yang memadai,
kesempatan promosi, kenaikan pangkat/kedudukan.
c) Pribadi pekerja
Semangat kerja, pandangan pekerja terhadap pekerjaannya, kebanggan
memakai atribut bekerja, sikap terhadap pekerjaannya30
.
2) Motivasi
McDonald memeberikan sebiah definisi tentang motivasi sebagai suatu
perubahan tenaga di dalam diri/pribadi seseorang yang ditandai oleh dorongan
efektif dan reaksi-reaksi dalam usaha mencapai tujuan31
.
Huitt, W. mengatakan motivasi adalah suatu kondisi atau status internal
(kadang-kadang diartikan sebagai kebutuhan, keinginan, atau hasrat) yang
mengarahkan perilaku seseorang untuk aktif bertindak dalam rangka mencapai
suatu tujuan. Jadi ada tiga kata kunci tentang pengertian motivasi menurut Huitt,
29
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Trias Wacana Yogya, 1993), cet. Ke-4,
h. 112 30
Yuwono, 2001 : 40 dalam http// creasoft.files.wordpress.com 31 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 203
yaitu: 1) kondisi atau status internal itu mengaktifkan dan memberi arah pada
perilaku seseorang; 2) keinginan yang memberi tenaga dan mengarahkan perilaku
seseorang untuk mencapai suatu tujuan; 3) Tingkat kebutuhan dan keinginan akan
berpengaruh terhadap intensitas perilaku seseorang.
Thursan Hakim mengemukakan pengertian motivasi adalah suatu
dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan
untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam belajar, tingkat ketekunan siswa sangat
ditentukan oleh adanya motif dan kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan
motif tersebut.
Pengertian motivasi yang lebih lengkap menurut Sudarwan Danim
motivasi diartikan sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan, atau
mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk
mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Motivasi paling
tidak memuat tiga unsur esensial, yakni : (1) faktor pendorong atau pembangkit
motif, baik internal maupun eksternal, (2) tujuan yang ingin dicapai, (3) strategi
yang diperlukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan tersebut.
Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan sikap,
kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Motivasi
sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh factor di dalam diri seseorang itu
sendiri yang disebut instrinsik sedangkan factor di luar diri disebut ekstrinsik32.
Terdapat 2 faktor yang membuat seseorang dapat termotivasi untuk belajar, yaitu:
Pertama, motivasi belajar berasal dari faktor internal. Motivasi ini terbentuk
karena kesadaran diri atas pemahaman betapa pentingnya belajar untuk
mengembangkan dirinya dan bekal untuk menjalani kehidupan.
Kedua, motivasi belajar dari faktor eksternal, yaitu dapat berupa rangsangan
dari orang lain, atau lingkungan sekitarnya yang dapat memengaruhi
psikologis orang yang bersangkutan33.
32
http://sunartombs.wordpress.com 33 www.anneahira.com
b. Luar Diri
1) Kesenjangan Ekonomi
Pada dasarnya, masalah utama yang dihadapi anak jalanan adalah karena
faktor ekonomi. Masalah ekonomi anak jalanan yang identik dengan masalah
kemiskinan secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu standar tingkat hidup
yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku
dalam masyarakat yang bersangkut34
.
Pengertian kemiskinan yang dipergunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan
badan-badan swasta lain menyatakan bahwa orang yang berpenghasilan di bawah
320 Kg beras pertahun dianggap miskin. Sementara Bank Dunia, bahwa aspek
kemiskinan itu adalah income atau pendapatan yang rendah, kekurangan gizi,
keadaan kesehatan buruk dan rendahnya pendidikan.
Andre Bayo Ala memberi arti kemiskinan dengan merincinya; pertama,
kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang
dan ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima
seseorang. Secara luas kemiskinan diartikan meliputi kekurangan-kekurangan atau
tidak memiliki pendidikan ,keadaan kesehatan yang buruk dan kurangnya
transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, kadang kemiskinan diartikan
dari segi kurang atau tidak memiliki aset-aset seperti tanah, rumah, peralatan, uang,
emas, kredit dan lain-lain. Dan yang ketiga, meliputi kemiskinan nonmaterial yaitu
berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, serta hak
atas rumah tangga dan kehidupan yang layak35
.
Oleh karena itu, seseorang yang pendapatannya belum mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan pokok dapat digolongkan kepada golongan miskin atau
ekonomi lemah yang harus dibantu. Baik kebutuhan pokok yang bersifat sandang,
pangan, papan maupun pendidikan.
2) Lingkungan
34
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) h.12 35 Andre Bayo Ala. Kemiskinan dan strategi memerangi kemiskinan, (Yogyakarta: Liberty,1981) h.5
Selain masalah ekonomi yang menyebabkan mereka tetap berada dijalan
adalah faktor lingkungan. Lingkungan memberikan kemungkinan-kemungkinan
atau kesempatan-kesempatan kepada individu. Bagaimana individu mengambil
manfaat dari kesempatan yang diberikan oleh lingkungan tergantung kepada
individu yang bersangkutan.
Sekalipun pengaruh lingkungan tidak bersifat memaksa, namun tidak dapat
diingkari bahwa peranan lingkungan cukup besar dalam perkembangan individu.
Lingkungan yang kurang menguntungkan dapat menyebabkan timbulnya kenakalan
anak, sebaliknya lingkungan yang menguntungkan dapat menjadikan anak sholeh
dan berbudi luhur.
Menurut Drs. Mustaqim bahwa:
”Penyebab kenakalan anak, keengganan atau kemalasannya dalam belajar dan
menerima pelajaran bisa diakibatkan oleh lingkungan yang kurang merangsang ia
untuk belajar. Karena faktor tekanan ekonomi, keluarga, atau ada hubungan antar
personal baik guru maupun kepada sesama temannya36.
Lingkungan secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
1) Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang berupa alam, misalnya keadaan
tanah, keadaan musim dan sebagainya yang akan memberikan pengaruh yang
berbeda.
2) Lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat, dimana dalam
lingkungan masyarakat ada interaksi individu satu dengan individu lain.
Keadaan masyarakatpun akan memberikan pengaruh tertentu terhadap
perkembangan individu37
.
Hubungan antara individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang
saling timbal-balik, yaitu lingkungan dapat mempengaruhi individu, tetapi
sebaliknya individu juga dapat mempengaruhi lingkungan. Oleh sebab itu,
lingkungan amat sangat berperan penting dalam segala aspek kehidupan.
36
Ahmad Mudzakir dan Joko Sutrisno, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Setia, 1995), h.56 37 Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 201
Lingkungan menentukan ekonomi yang akan berimbas kepada tidak terpenuhinya
kebutuhan masyarakat dengan baik sehingga mengakibatkan bertambah banyaknya
jumlah populasi anak jalanan.
3. Upaya Pengentasan Anak Jalanan
Dalam realitasnya, di dunia ini tak ada Negara yang tak turut atas pendidikan
warga negaranya, maka di dunia pendidikan juga ada potensi-potensi konfliknya,
terutama yang berkaitan dengan upaya menjembatani antara kepentingan masyarakat
dengan pemerintah. Karena masyarakat bertekad mewariskan kepentingan-
kepentingannya sendiri kepada generasinya, sementara pemerintah juga berkepentingan
dengan mendidik warga Negara yang baik menurut paham pemerintah, maka tak mustahil
antara kepentingan masyarakat dan pemerintah bertubrukan.
Kepentingan masyarakat dan pemerintah memang tidak selamanya bertubrukkan,
bahkan banyak sekali yang seiring atau sejalan. Tetapi, realitas membuktikan, bahwa
antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah kadang-kadang berlawanan. Tawar-
menawar antara banyaknya kepentingan masyarakat yang mesti dimasukkan ke dalam
kurikulum adalah salah satu wujud dari sekian banyak terjadinya konflik kepentingan
antara keduanya38
.
Dalam Undang-undang Perlindungan anak, di jelaskan bahwa penyelenggaraan
perlindungan anak adalah kewajiban dan tanggung jawab negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua39.
a. Tanggung jawab Negara dan Pemerintah
Pada ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1996, Bab II Pasal 3 Tujuan
Pendidikan Nasional Indonesia dimaksudkan untuk Membentuk manusia
Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki
oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan manusia
Pancasila sejati adalah sesuatu yang sangat diperlukan untuk mengubah
mental masyarakat40
.
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan pemerintah adalah:
38
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.12 39
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, 2007), h.17 40 Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 51
1) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/ atau
mental.
2) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak.
3) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang
secara hukum bertanggung terhadap anak.
4) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak41.
Peran negara dalam program sosial kemanusiaan yang menitikberatkan pada
kesejahteraan anak-anak terlantar, baik pendidikan maupun ekonomi sudah
seharusnya dilaksanakan secara konkret dan berkelanjutan agar program
pelaksanaan wajib belajar 9 tahun berjalan sebagaimana yang diharapkan dan
tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa pun dapat dicapai.
b. Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat
Masyarakat berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan anak
yang dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak42.
Upaya yang dilakukan masyarakat dalam pengentasan anak jalanan dilakukan
dengan cara 1) Berbagi Kasih dengan Sahabat dengan mengundang anak jalanan
dan anak dari keluarga mampu, 2) menyelenggarakan Hari Anak Nasional dengan
berbagai kegiatan permainan atau perlombaan anak.
Yang pada dasarnya tujuan kegiatan Hari Anak Nasional adalah
menumbuhkan kepedulian, kesadaran, dan peran aktif masyarakat dalam
perlindungan dan pengasuhan, pemberian layanan pendidikan, kesehatan, gizi
41
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, 2007), h.17 42
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, 2007), h.17
serta memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk tidak mengeksploitasi anak dengan mempekerjakan mereka di
jalanan43
.
Selain menyelenggarakan Hari Anak Nasional, masyarakat pun berusaha keras
untuk mengajarkan mereka baca-tulis dan bahkan mereka di ajarkan untuk dapat
menciptakan karya sastra yang berupa puisi dan cerpen yang dituangkan
berdasarkan kejadian yang mereka alami dalam kehidupan mereka yang
kesehariannya berada di jalan. Karena sesungguhnya, apabila potensi anak jalanan
digali, mereka merupakan anak yang kreatif, hanya saja mereka tidak mampu
untuk membayar biaya sekolah.
Secara umum, ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi anak-
anak jalanan, diantaranya:
a) Berhenti memberikan uang kepada mereka.
Dengan begitu kita menolong mereka dari resiko-resiko berbahaya serta
memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyambut uluran tangan
yayasan dan melakukan hal-hal yang berguna untuk masa depannya kelak.
b) Dukung usaha mereka
Mendukung usaha yang anak jalanan kelola walaupun dengan harga yang
sedikit lebih mahal, dengan tujuan memberikan peluang usaha daripada
memberikan peluang meminta-minta tanpa ada usaha.
c) Dukung Yayasan Sosial
Dengan mengalihkan bantuan keuangan yang diberikan pada anak jalanan
kepada pengurus yayasan ini dimaksudkan agar anak jalanan dapat
merasakan hak asasinya untuk tumbuh dan berkembang serta merasakan
dunia pendidikan sebagaimana masyarakat pada umunya44.
c. Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga
43
http://www.hupelita.com 44 http://www.stopberiuang.or.id
Orang tua atau keluarga menempati posisi sentral bagi pemenuhan hak anak.
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan keluarga dalam memberikan
perlindungan anak adalah:
1) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
2) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya.
3) Mencegah terjadinyaperkawinan pada usia anak-anak45
.
C. PENDIDIKAN FORMAL 1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, dimana dengan pendidikan manusia
akan bertambah luas pemikiran dan wawasannya. Selain daripada itu, wawasannya pun
akan cepat tumbuh. Berbicara tentang pendidikan tentunya tidak akan lepas dari berbagai
aspek yang mempengaruhinya seperti: sarana, lingkungan, waktu, biaya dan lain
sebagainya.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Pendidikan berasal dara kata "didik", lalu
kata ini mendapat awalan me- sehingga menjadi "mendidik", artinya memelihara dan
memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya,
"pendidikan" adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah
proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan,
pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi
pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi
lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan
45
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, 2007), h.18
kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar
kebudayaan melewati generasi46.
Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan yang
dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individudalam menguasai
pengetahuan, kebiasaan, sikap dan sebagainya secara sadar dan terencana.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Pendidikan berasal dara kata "didik", lalu
kata ini mendapat awalan me- sehingga menjadi "mendidik", artinya memelihara dan
memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya,
"pendidikan" adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah
proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan,
pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Dengan kata lain, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan
juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan,
pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk
mengajar kebudayaan melewati generasi.
Akan tetapi untuk mendefinisikan hakikat pendidikan dapat dikategorisasikan
dalam dua pendekatan yaitu pendekatan epistimologi dan pendekatan ontologi atau
metafisik.
Pendekatan epistimologi yang menjadi masalah ialah akar atau kerangka ilmu
pengetahuan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut berusaha mencari makna pendidikan
sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan dasar analisis yang akan
membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan.
46 http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
Pendekatan ontologi atau metafisik menekankan kepada hakikat keberadaan.
Keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. Oleh sebab itu, hakikat
pendidikan adalah berkenaan dengan hakikat manusia47
.
Untuk menciptakan sumber daya manusia yang ”berkualitas” maka sekolah
sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal merupakan lembaga kepercayaan
masyarakat sebagai komponen penting dalam mempersiapkan dan mengantarkan generasi
anak bangsa untuk mampu menghadapi kompetisi secara global yang kian hari semakin
jelas dan terasa dampaknya terhadap aktifitas kehidupan masyarakat48
.
2. Pendidikan Anak Jalanan
Ketidak mampuan orang tua akan berimbas pada hal-hal lain pada diri anak
terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana belajar serta kualitas sekolah yang
dimasuki anak-anaknya. Biasanya para orang tua dari golongan tidak mampu
menyekolahkan anak tanpa melihat kualitas dan kondisi sekolah yang penting anaknya
bisa membaca dan menulis. Disamping itu juga biasanya sekolah yang berkualitas baik
akan membebankan biaya yang sangat mahal hingga akhirnya sekolah-sekolah tersebut
tidak dapat menjadi tempat belajar anak-anak yang kurang mampu.
Peran negara untuk menciptakan kader-kader bangsa yang berkualitas kiranya
tidaklah sebatas memanfaatkan momen dan menjalankan rutinitas perayaan aksi sosial
yang semu semata. Namun lebih dari itu, penggalangan aksi sosial kemanusiaan dan
pendidikan untuk kemandirian bagi anak-anak tersebut, harus terus diupayakan tanpa
kepentingan mengharapkan simpati, atau ketika pemilihan umum, untuk menambah suara
dari masyarakat.
Untuk memberikan pendidikan pada anak jalanan, hendaknya pemerintah dan
masyarakat menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan anak jalanan,
terutama pada mutu pendidikannya. "Mutu pengelolaan pendidikan di sekolah dapat
dinilai dari kemampuan kepala sekolah yang memungkinkan bagi murid-murid maupun
bagi guru-gurunya untuk belajar dengan aktif. Setiap pendidikan seperti buku,
47
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Jakarta: PT.
REMAJA ROSADAKARYA, 1999), h.18 48
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h.2
perpustakaan, alat praktek, alat peraga, sumber-sumber lingkungan, dan sebagainya
benar-benar disediakan dan dikelola secara efisien agar membantu memberikan
kemudahan bagi siswa untuk belajar49
. Akan tetapi semua itu akan berjalan seperti yang
diharapkan apabila ada keinginan dan motivasi.
Motivasi yang kuat dalam diri siswa akan meningkatkan minat, kemauan dan
semangat yang tinggi dalam belajar, karena antara motivasi dan semangat belajar berkaitan erat. Sejalan dengan hal tersebut, Sudirman A.M.
berpendapat bahwa dalam kegiatan belajar, maka motivasi menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar, sehingga
tujuan yang dikehendaki oleh subjek itu dapat tercapai.50
Banyak ahli pendidikan yang kemudian mencoba mengkategorikan faktor-faktor
yang secara langsung mempengaruhi kualitas belajar dan mutu belajar para pelajar di
sekolah. Sebagaimana yang dikutip oleh Kartini Kartono bahwasannya faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar dikategorikan kepada dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal
dari dalam diri pelajar (internal), dan faktor yang datang dari luar diri pelajar
(eksternal).51 Faktor yang datang dari diri pelajar cenderung dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang berasal/berada di dalam diri pelajar itu sendiri. Hal tersebut dapat meliputi
kemampuan diri pelajar dalam hal menangkap materi yang disampaikan oleh gurunya
(kecerdasan intelegensinya), serta keinginannya untuk menguasai pelajaran di sekolahnya
(minat pelajar itu sendiri).
Faktor yang datang dari luar diri pelajar biasanya dipengaruhi oleh kapasitas
pengajar, dan kualitas pengajaran. Dalam hal ini yang menjadi titik fokus faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi belajar siswa adalah kemampuan para pendidik untuk
dapat menumbuhkan semangat belajar anak didiknya.
Pendidikan sebagai salah satu unsur dinamika sosial mempunyai kontribusi
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat. Fungsi pendidikan
dalam proses transformasi sosial dalam modernisasi, ditempuh melalui berbagai program
pembangunan sosial, terutama peningkatan kualitas manusia sebagai makhluk individu,
49
Darji Darmodiharjo, Peranan Guru dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Analisis Pendidikan, III.4 (September, 1982), h. 239
50 Sardirman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1990), cet.
ke-3, h. 7 51
Kartini Kartono, Belajar di SMA dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), cet. ke-1,
h. 1
sosial, dan berTuhan secara terpadu. Modernisasi yang menimbulkan perubahan sosial
tidak akan berlangsung tanpa didukung dengan sumber daya manusia yang terdidik dan
berkualitas guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan semuanya itu dapat
diperoleh dengan menjalankan serta menyukseskan pendidikan dengan sebaik-baiknya.
3. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan seperangkat hasil yang harus dicapai oleh peserta
didik setelah mengikuti serangkaian kegiatan pendidikan. Rangkaian kegiatan pendidikan
yang diikuti melalui bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang kesemuanya diarahkan
untuk tercapainya tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan meliputi:
a) Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan pendidikan yang hendak dicapai
oleh suatu negara untuk jangka panjang dalam sistem pendidikan nasional yang
merupakan pedoman suatu kegiatan /usaha pendidikan di suatu negara.
Berdasarkan Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Tujuan pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut: “Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”52
.
b) Tujuan Institusional
Tujuan institusional (tujuan lembaga pendidikan) adalah tujuan dari masing-
masing institusi atau lembaga. Misalnya:
1) Tujuan Pendidikan Sekolah Dasar
52
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h. 5
2) Tujuan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama
3) Tujuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas53
c) Tujuan Kurikuler
Tujuan kirikuler adalah tujuan dari masng-masing mata pelajaran atau bidang
studi. Misalnya:
1) Tujuan bidang studi Pendidikan Agama
2) Tujuan pendidikan bidang studi Matematika
3) Tujuan pendidikan bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam54
d) Tujuan Pembelajaran (Instruksional)
Tujuan instruksional merupakan tujuan yang menggambarkan pengetahuan,
kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki setiap siswa sebagai
akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku
(behavior) yang dapat diamati dan diukur.
Tujuan instruksional terdiri dari tujuan instruksional umum (standar kompetensi)
dan tujuan instruksional khusus (kompetensi dasar/indikator hasil belajar). Tujuan
instruksional umum sifatnya masih umum dan tidak dapat diukur karena
perubahan tingkah laku masih terjadi dalam diri manusia (intern). Sedangkan
tujuan instruksional khusus merupakan tujuan pembelajaran yang sifatnya
operasional yaitu dapat diamati, diukur dan menunjukkan perubahan tingkah
laku55.
4. Teori-teori Pendidikan
Teori merupakan deskripsi, penjelasan, dan prediksi mengenai hukum dasar.
Dalam pendidikan diperlukan teori-teori pendidikan untuk mendeskripsikan, menjelaskan
serta mempresiksi pendidikan di masa yang akan datang.
53
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h. 5 54
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h. 6 55
Darwansyah, dkk.,Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h. 6
Beberapa teori pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli antara lain:
a. Teori empirisme
Teori empirisme dikenal dengan teori tabularasa yang dikemukakan oleh
John Lock (1632-1704). Menurut teori ini seorang anak dilahirkan bagai kertas
yang putih bersih dan lingkunganlah yang akan menulis kertas putih itu. Pribadi
seseorang yang masih putih bersih akan berkembang dan dipengaruhi oleh
pendidikan melalui lingkungan56
.
b. Teori Nativisme
Teori ini dikemukakan oleh Arthur Scopenhauer (1788-1860). Menurut
teori ini perkembangan pribadi seseorang hanya ditentukan oleh faktor hereditas,
faktor dalam yang berarti kodrat yang sudah ditentukan dan akan terjadi pada
manusia. Faktor hereditas atau gen atau pembawaan yang dibawa anak sejak lahir
akan bersifat tetap dan tidak dapat di rubah oleh pendidikan57.
c. Teori Konvergensi
Teori konvergensi dikemukakan oleh Wiliam Stern, yang mengemukakan
bahwa untuk berkembang secara maksimal seseorang disamping ditentukan oleh
faktor bawaan atau heredity sebagai faktor internal seseorang juga dapat
dikembangkan melalui lingkungan (pendidikan) sebagai faktor eksternal.
Perkembangan tiap individu merupakan hasil konvergensi atau perpaduan antara
faktor internal dan faktor eksternal58
.
d. Teori Sumber Daya Manusia
56
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h.7 57
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h.7 58
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h.7
Teori sumber daya manusia dikemukakan oleh Langeveld yang mengatakan
bahwa manusia dapat mengembangkan dirinya sendiri untuk selanjutnya menjadi
makhluk yang berkepribadian59
.
e. Teori Relativisme Budaya
Teori relativisme budaya memandang manusia adalah memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang sama yang diwariskan melalui proses pendidikan bukan
melalui herediti. Dan manusia tidak dipisahkan dari kehidupan budaya serta nilai-
nilai yang mewarnai kehidupannya60
.
f. Teori Rekonstruktivisme
Teori rekonstruktivisme mengemukakan bahwa pendidikan merupakan sebuah
institusi sosial dan sekolahpun merupakan bagian lembaga yang ada di
masyarakat. Perkembangan ilmu, teknologi dan industri yang diciptakan dalam
kehidupan masyarakat telah mempengaruhi ke arah positif yaitu peningkatan
kesejahteraan umat manusia dan pada suatu saat telah membawa kepada keadaan
yang tidak menentu dan tiada kemantapan bagi manusia dan masyarakat itu
sendiri61
.
D. SINTESIS
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa anak-anak jalanan yang merupakan
sekelompok anak yang hidup di jalan baik bersama keluarga atau pun terpisah dari
keluarga merupakan anak yang tersisih dari dunia pendidikan formal dalam
kehidupannya. Walaupun pada hakikatnya mereka pun ingin merasakan pendidikan. Tapi
tak bisa mereka lepaskan kehidupan jalanannya.
Apalagi kalau diamati dari usia anak jalanan yang bisa dikatakan usia untuk
mengenyam awal dunia pendidikan yaitu Sekolah Dasar. Secara otomatis, faktor-faktor
59
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h.7 60
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h.7 61
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza
Media, 2006), h.8
buta huruf yang selama ini menjadi kendala masyarakat dalam memeratakan kecerdasan
hidup berbangsa dan bernegara tak akan bisa terwujud tanpa adanya usaha anak jalanan
untuk membebaskan dirinya dari kehidupan dan kembali menjadi anak yang dapat
menjalani hidupnya tanpa dibebankan oleh faktor ekonomi.
Upaya yang dilakukan masyarakat dan pemerintah dalam pengentasan anak
jalanan adalah menjembatani anak-anak jalanan untuk tetap dapat merasakan pendidikan
baik yang bersifat formal, nonformal dan informal.
Persepsi ditimbulkan dari rangsangan alat indera yang kemudian diproses dalam
otak, sehingga akan menimbulkan sesuatu yang dapat menjadi pedoman dalam
kehidupan, dan bahkan bisa menjadi ingatan yang ditimbulkan dari persepsi tersebut.
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang bersifat kelembagaan
untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan,
kebiasaan, sikap, perilaku dan kecakapan hidup. Dengan demikian, pendidikan
merupakan salah satu unsur dinamika sosial yang mempunyai kontribusi terhadap
peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang bermuara pada peningkatan
kesejahteraan dan peradaban suatu bangsa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan ruang lingkup dan perumusan masalah di atas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menganalisis dan memperoleh kebenaran empiris tentang alasan dan
pertimbangan anak jalanan lebih memilih hidup di jalan tanpa mementingkan
pendidikan.
b. Menganalisis dan memperoleh kebenaran empiris tentang kesadaran anak jalanan
mengembangkan identitas diri sebagai anak bangsa bagian dari generasi muda.
c. Menganalisis dan memperoleh kebenaran empiris tentang cara meluruskan pola
pikir anak jalanan tentang dirinya sendiri dan arti penting pendidikan
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di bawah Jembatan Lampu Merah Lebak Bulus Prov.
Jakarta Selatan dan stasiun Pondok Ranji kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan, sedangkan waktu penelitian dilakukan dari tanggal 1 Mei 2009 sampai dengan
tanggal 15 Agustus 2009.
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah survai. Survai adalah suatu
metode yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah data, berkaitan dengan variable
mengenai sejumlah besar individu melalui alat pengukur wawancara62
.
Survai merupakan penelitian yang ditujukan pada sejumlah individu atau
kelompok, untuk memperoleh data guna menjawab pertanyaan penelitian dalam rumusan
62
Jacob Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), h.
44
masalah yang diajukan. Pada penelitian model survai, fokus perhatiannya hanya ditujukan
ke beberapa variable saja, mengingat unit yang ditelaahnya dalam jumlah besar63
.
Secara umum, pengertian survai dibatasi pada penelitian yang datanya
dikumpulkan untuk mewakili populasi yang sering disebut sampel atau dari seluruh
populasi yang sering juga disebut sensus. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini, sesuai dengan karakteristik masalahnya adalah pendekatan kualitatif.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan
data yang diperlukan sesuai dengan rumusan masalah. Data merupakan bahan mentah
berkaitan dengan fakta. Dalam pengumpulan data sangat dibutuhkan teknik yang tepat
dan relevan dengan data yang dicari.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Observasi
Observasi adalah "suatu cara mengumpulkan data dengan mengamati langsung
terhadap objeknya atau penggantinya (Misal: film, rekonstruksi, video dan
sejenisnya)"64
.
Pengamatan ialah proses mengenal dunia luar dengan menggunakan indera. C.
Wragg menjelaskan bahwa observasi yaitu pengamatan secara sistematis dan
analisa yang memegang peranan penting untuk meramalkan tingkah laku sosial,
sehingga hubungan antara satu peristiwa dengan yang lainnya menjadi jelas.
Menurutnya pula bahwa aspek-aspek yang diamati, sifat pribadi, interaksi verbal,
non verbal, aktifitas, pengaturan, keahlian professional, sarana dan alat yang
digunakan, afektif, kognitif, dan sosiologi65
.
Observasi ini sangat penting dilakukan karena dapat langsung melihat keadaan
objek dan membuat catatan mengenai segala sesuatu yang diperlukan data yang
lengkap dan akurat. Observasi ini dilakukan dengan mengadakan kunjungan ke
63
Syamsir Salam, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 15 64
Nazar Bakri, Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian, (Jakarta: CV Pedoman Jaya, 1994 h. 36) 65 Syamsir Salam, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 30
Pondok Ranji yang bertujuan untuk melihat dan mencatat apa yang peneliti
perlukan.
Berdasarkan uraian di atas, yang diamati dalam penelitian observasi adalah segala
sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, kemudian yang dapat didengar oleh telinga
yaitu suara, yang dikecap oleh lidah yaitu rasa, yang dapat dicium oleh hidung
yaitu bau dan yang dapat dilakukan secara langsung oleh peneliti.
2. Wawancara
Yang dimaksud dengan interview adalah suatu proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil tatap muka antara si
penanya dengan si penjawab (responden) dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview guide (paduan wawancara)66
.
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam hal ini,
hasil wawancara ditentukan oleh beberapa factor yang berinteraksi dan
mempengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut ialah: pewawancara,
responden, topik penelitian yang tertuang dalam pertanyaan, dan situasi
pewawancara67.
Suatu wawancara dapat disifatkan sebagai suatu proses interaksi dan komunikasi
dalam mana sejumlah variable memainkan peranan yang penting karena
kemungkinan untuk mempengaruhi dan menentukan hasil wawancara68
.
Teknik wawancara ini penulis gunakan untuk menggali informasi dari pihak
terekai yaitu anak-anank jalanan untuk mengetahui dan mgungkapkan informasi
yang faktual dan aktual mengenai persepsi pendidikan bagi anak jalanan.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah "pemberian atau pengumpulan bukti dan keterangan (seperti:
gambar, kutipan, guntingan koran dan bahasa referensi lain)69.
66
M. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 234 67
Syamsir Salam, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 79 68
Jacob Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), h.
88 69 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang tidak diperoleh dengan
mencatat dokumen-dokumen yang berupa catatan-catatan formal suatu organisasi.
Sumber data yang dapat dikumpulkan sebagai dokumenter yaitu berupa catatan
resmi tertentu, atau dokumen ekspresif tertentu, atau laporan media massa
tertentu70.
Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena
dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji,
menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Dokumen biasanya dibagi atas dokumen
pribadi dan dokumen resmi.
Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang
tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya. Maksud mengumpulkan dokumen
pribadi ialah untuk memperoleh kajian nyata tentang situasi sosial dan arti
berbagai faktor di sekitar subjek penelitian.
Dokumen resmi terbagi atas dokumen internal dan dokumen eksternal. Dokumen
internal berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat
tertentu yang digunakan dalam kalangan sendiri. Dokumen eksternal berisi bahan-
bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial. Dokumen eksternal
dapat dimanfaatkan untuk menelaah konteks sosial, kepemimpinan dan lain-lain71
.
E. Langkah-Langkah Analisis Data
1. Reduksi Data
Jika dalam penelitian kualitatif terdapat data yang bersifat kuantitatif yaitu dalam
bentuk angka-angka, maka sebaiknya angka-angka itu jangan dipisahkan dari
kata-katanya secara kontekstual, sehingga tidak mengurangi maknanya.
Pengumpulan data-data yang terdapat di lapangan kemudian di analisis dan
kemudian dilaporkan. Laporan-laporan tersebut direduksi, yaitu dengan memilih
hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Data-data yang telah direduksi
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
70
Syamsir Salam, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 81 71
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta:PT REMAJA ROSDAKARYA,
2006), cet Ke-22, h. 219
mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-waktu diperlukan. Reduksi
dapat pula membentu dalam memberikan kode-kode pada aspek-aspek tertentu72
.
2. Coding Data
Coding data dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Open Coding dengan artian
menjadikan data sebagai kategori. Selective Coding, yaitu memilih secara selektif
kasus-kasus yang sesuai topic bahasan dan membuat perbedaan secara kuantitas
terhadap semua data sehingga menjadi komplit. Selective coding ini terdiri dari
scanning data dan previous codes.
3. Menyusun Kategori
Kategori tidak lain adalah salah satu tumpukan dari seperangkat tumpukan yang
disusun atas dasar pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu. Selanjutnya
Lincoln dan Guba (1985:347-351) menguraikan ketegorisasi seperti berikut.
Tugas pokok kategorisasi adalah:
a. Mengelompokkan kartu-kartu yang telah dibuat ke dalam bagian-bagian isi
yang secara jelas berkaitan;
b. Merumuskan aturan yang menguraikan kawasan kategori dan yang akhirnya
dapat digunakan untuk menetapkan inklusi setiap kartu pada kategori dan juga
sebagai dasar untuk pemeriksaan keabsahan data; dan
c. menjaga agar setiap kategori yang telah disusun satu dengan yang lainnya
mengikuti prinsip taat asas.
Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa sejumlah kategori yang muncul tidak
dapat dikatakan “seperangkat” kategori. Yang dihasilkan seorang analis ialah
seperangkat yang menyediakan kontruksi data yang beralasan73
.
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik pemerikasaan data dilakukan berdasarkan sejumlah kriteria sebagai berikut:
72
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000), cet. Ke-3, h. 86 73
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.193
1. Derajat kepercayaan.
Kriteria derajat kepercayaan pemeriksaan datanya dilakukan dengan cara:
a. Perpanjangan keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.
Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi
memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti pada latar penelitian.
Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan
derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Perpanjangan keikutsertaan
juga menuntut peneliti agar terjun ke dalam lokasi dan dalam waktu yang
cukup panjang guna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang
mungkin mengotori data. Distorsi dapat berasal dari responden, dapat
terjadi tanpa sengaja misalnya salah mengajukan pertanyaan. Dapat juga
terjadi dengan sengaja, misalnya berdusta, menipu, berpura-pura dari
pihak informan atau responden. Selain itu, perpanjangan keikutsertaan
dimaksudkan untuk membangun kepercayaan para subyek terhadap
peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
Jadi, perpanjangan keikutsertaan dimaksudkan untuk memungkinkan
peneliti terbuka terhadap pengaruh ganda, yaitu factor-faktor kontekstual
dan pengaruh bersama pada peneliti dan subyek yang akhirnya
mempengaruhi fenomena yang diteliti74.
b. Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur
dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang kadang
dicari kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Dengan kata lain, jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,
maka ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman.
Hal ini berarti bahwa peneliti hendaknya mengadakan pengamatan dengan
teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang
74
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.176
menonjol. Kemudian ia menelaahnya secara rinci sampai pada suatu titik
sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh
faktor yang ditelaah sudah dipahami dengan cara yang biasa. Untuk
keperluan itu teknik ini menuntut agar peneliti mampu menguraikan secara
rinci bagaimana proses penemuan secara tentative dan penelaahan secara
rinci dapat dilakukan75
.
c. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksa keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak
digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin
membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan sumber, merode, penyidik dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam metode kualitatif.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton, terdapat dua straregi,
yaitu: 1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa teknik pengumpulan data dan 2) penecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Triangulasi dengan penyidik ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti
atau pengamat lainnya untuk pengecekan kembali dengan derajat data.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba, berdasarkan
anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat
kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Di pihak lain, Patton
berpendapat lain, yaitu bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu
dinamakannya penjelasan banding (rival explanation)76.
d. Pemeriksaan Sejawat Melalui Diskusi
75
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.177 76
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.178
Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil
akhir yang diperoleh dalam bentk diskusi analitik dengan rekan-rekan
sejawat.
Teknik ini mengandung beberapa maksud, yaitu: Pertama, untuk
membuat agar peneliti tetap mempertahankan sikap terbuka dan
kejujuran. Kedua, memberikan suatu kesempatan awal yang baik untuk
mulai menjajaki dan menguji hipotesis yang muncul dari pemikiran
peneliti77
.
e. Analisis Kasus Negatif
Teknik analisis kasus negatif dilakukan dengan jalan mengumpulkan
contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan
informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan
pembanding78
.
f. Kecukupan Referensial
Konsep kecukupan refernsial ini mula-mula diusulkan oleh Eisner (1975,
dalam Lincoln dan Guba, 1981:313) sebagai alat untuk menampung dan
menyesuaikan dengan kritik tertulis untuk keperluan evaluasi. Film atau
video-tape, misalnya, dapat digunakan sebagai alat perekam yang pada
saat senggang dapat dimanfaatkan untuk membandingkan hasil yang
diperoleh dengan kritik yang telah terkumpul. Jadi, bahan-bahan yang
tercatat atau terekam dapat digunakan sebagai patokan untuk menguji
sewaktu diadakan analisis dan penafsiran data79.
g. Pengecekan Anggota
Pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam proses pengumpulan data
sangat penting dalam pemeriksaan derajat kepercayaan. Yang dicek
dengan anggota yang terlibat meliputi data, kategori analitis, penafsiran,
dan kesimpulan.
77
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.179 78
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.180 79
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.181
Pengecekan anggota dapat dilakukan baik secara formal maupun secara
tidak formal. Banyak kesempatan tersedia untuk mengadakan pengecekan
anggota, yaitu setiap hari pada waktu peneliti bergaul dengan pada
subyeknya80.
2. Derajat Keteralihan
Usaha membangun keteralihan dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan
car ”uraian rinci” Keteralihan bergantung pada pengetahuan seorang peneliti
tentang konteks pengiriman dan konteks penerima. Dengan demikian peneliti
bertanggung jawab terhadap penyediaan dasar secukupnya yang
memungkinkan seseorang merenungkan suatu aplikasi pada penerima
sehingga memungkinkan adanya pembandingan.
Teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga
uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan
konteks tempat penelitian diselenggarakan. Jelas laporan itu harus mengacu
pada fokus penelitian.
Jadi, untuk mencapai kriterium keteralihan suatu penemuan hendaknya pihak
peneliti dibekali dengan pengetahuan secukupnya dengan konteks pengirim
dan penerima. Dengan kata lain, peneliti tidak dapat membahas keteralihan
jika ia hanya mempunyai sekeping data dari penelitiannya81
.
3. Derajat Kebergantungan
Derajat kebergantungan dilakukan dengan cara auditing, yaitu dengan cara
penelusuran audit (audit trail). Penelusuran audit tidak dapat dilaksanakan
apabila tidak dilengkapi dengan catatan-catatan pelaksanaan keseluruhan
proses dan hasil studi. Pencatatan pelaksanaan itu perlu diklasifikasikan
terlebih dahulu sebelum auditing itu dilakukan. Setelah pengklasifikasian
dilakukan, dilakukan proses auditing dengan mengikuti langkah-langkah
80
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.181 81
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.183
seperti yang disarankan oleh Halpern, yaitu praentri, penetapan yang dapat
diudit, kesepakatan formal, dan terakhir penetuan keabsahan data.
Pada tahap praentri (pre-entrty), sejumlah pertemuan diadakan oleh auditor
dengan auditi (dalam hal ini peneliti) dan berakhir pada meneruskan,
mengubah seperlunya, atau menghentikan pelaksanaan usulan auditing.
Pada tahap penetapan dapatnya diaudit, tugas auditi ialah menyediakan segala
macam pencatatan yang diperlukan dan bahan-bahan penelitian yang tersedia.
Di pihak lain, tugas pertama auditor ialah mempelajari seluruh bahan yang
tersedia. Sesudah itu ia meminta penjelasan-penjelasan seperlunya tentang
apa yang belum dipahaminya secara mantap. Auditor perlu memahami bahan-
bahan yang tersedia dengan keadaan yang sebenarnya.
Tahap berikutnya dinamakan persetujuan resmi antara auditor dengan auditi.
Pada tahap ini auditor dengan auditi mengadakan persetujuan tertulis tentang
apa yang telah dicapai oleh auditor.
Tahap berikutnya ialah penentuan keabsahan. Tahap ini merupakan tahap
terpenting. Penelusuran auditing meliputi pemeriksaan terhadap kepastian
maupun terhadap kebergantungan82.
4. Derajat Kepastian
Sama halnya dengan pemeriksaan kriteria kepastian, dalam pemeriksaan
terhadap kriteria kebergantungan terdapat beberapa langkah kecil. Pertama-
tama auditor berurusan dengan kecukupan keputusan inkuiri dan pemanfaatan
metodologinya. Kemencengan peneliti juga ditelaah untuk menetapkan sejauh
manakah peneliti terlalu cepat mengakhiri suatu kegiatan pengumpulan data.
Pengaruh perasaan dan emosi dari pihak peneliti perlu pula diperiksa.
Keputusan tentang sampling dan proses triangulasi perlu juga ditelaah.
Terakhir, unsur-unsur rancangan penelitian yang muncul dari penelitian agar
juga diperiksa, dan auditor hendaknya mencatat jika sekiranya terjadi
hambatan atau ketidakstabilan.
82
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.184
Tahap terakhir rentetan auditing ini ialah mengakhiri auditing itu sendiri
(closure). Pada tahap ini ada dua hal yang perlu dikerjakan oleh auditor, yaitu
memberikan umpan balik dan berunding dengan auditi, yaitu si peneliti
sendiri, dan menuliskan laporan hasil pemeriksaannya. Sebelum seluruh
penyusunan laporan di akhiri, sesuai dengan haknya, auditi berhak
mempelajari isi laporan tersebut terlebih dahulu. Hasil penelaahan auditi
dibicarakan dan dibahas bersama. Maksudnya ialah agar auditi dapat
mengetahui bahwa langkah-langkah yang ada dalam perjanjian telah
dilakukan83
.
G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah dan kajian
teori, dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, anak jalanan lebih memilih berada di jalan untuk mencari nafkah
daripada bersekolah karena mereka beranggapan bahwasanya sekolah hanya
menghabiskan biaya. Artinya, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya saja mereka
harus mencari nafkah sendiri. Apabila mereka dibebankan untuk bersekolah, yang
mereka pikirkan adalah bagaimana cara untuk membiayai pendidikan mereka,
sedangkan biaya pendidikan teramat mahal baginya.
Walaupun berbagai cara yang dilakukan oleh LSM untuk dapat
memberikan bantuan kepada anak jalanan agar mereka dapat menempuh
pendidikan, akan tetapi anak jalanan tetap kembali ke jalan dikarenakan mereka
lebih membutuhkan biaya untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Artinya,
dengan bersekolah mereka beranggapan bahwasanya waktu untuk mencari nafkah
dan mendapatkan uang semakin berkurang. Dengan kata lain, mereka lebih
nyaman berada di jalan daripada mereka harus mengikuti proses belajar mengajar
83
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), cet.
Ke-7, h.186
yang dianggapnya hanya menghabiskan waktu tanpa mendapatkan uang guna
mencukupi kebutuhan hidupnya.
Kedua, mengembangkan identitas diri sebagai anak bangsa bagi anak
jalanan tidak hanya dapat dilakukan dengan cara bersekolah, melainkan mereka
dapat mengembangkannya dengan berbagai macam kemampuan dan keahliannya
yang mereka miliki, baik dalam bidang seni suara ataupun seni lukis. Akan tetapi,
hanya sebagian kecil dari anak jalanan yang memikirkan pengembangan identitas
bangsa. Sedangkan sebagian besar dari anak jalanan lebih bertumpu pada
pencarian nafkah tanpa perduli dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya
baik yang diperoleh dari LSM ataupun dari kegiatan yang difasilitasi oleh
pemerintah secara gratis.
Berbagai macam upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
untuk dapat mengurangi anak jalanan dan memberikan bekal hidup untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup anak jalanan. Akan tetapi upaya tersebut bernilai
percuma karena pola pikir anak jalanan yang sulit untuk diluruskan dan persepsi
mereka yang sejak dini sudah di tanamkan oleh orang tuanya untuk tidak
berangan-angan dapat merasakan pendidikan, baik pendidikan formal, informal
dan non formal.
Ketiga, Persepsi anak jalanan terhadap pendidikan dapat dikatakan sama
yaitu pendidikan adalah mahal. Artinya, bukan berarti mereka tidak mau berada
dalam dunia pendidikan, akan tetapi karena biaya yang dibebankan mereka untuk
dapat merasakan pendidikan amatlah mahal. Walaupun sekarang ada program
bantuan pemerintah untuk meringankan biaya pendidikan, akan tetapi tidak sedikit
pula beban yang diberikan sekolah terhadap anak didik untuk dapat mengikuti
proses belajar mengajar di sekolah. Itulah yang menjadi beban anak jalanan untuk
tetap memilih berada di jalan dan meninggalkan bangku sekolah guna mencukupi
kebutuhan hidupnya yang semakin hari semakin berat dan mahal. Belum lagi
beban yang dipikul anak jalanan bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan
mereka memikul beban keluarga. Artinya, mereka mencari nafkah untuk orangtua
dan adik-adiknya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Latar Penelitian
Bawah jembatan merupakan tempat yang kerap kali menjadi serbuan anak-anak
jalanan dalam mengais penghasilan. Bawah jembatan yang dimaksudkan di sini adalah di
bawah fly over atau jalanan yang di lalui kendaraan yang berada di bawah (kolong
jembatan), tepatnya kolong jembatan yang memiliki persimpangan atau lampu merah.
Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengkaji anak jalanan yang berada di
kolong jembatan Lebak Bulus. Kolong jembatan Lebak Bulus ini memiliki 4 (empat)
persimpangan yaitu menuju Ciputat, Pondok Indah, Pasar Rebo dan Kebayoran Lama.
Dalam situasi lampu merah, biasanya anak jalanan langsung mendatangi kendaraan-
kendaraan yang berhenti menunggu sampai lampu hijau kembali. Disaat seperti itulah,
mereka menyebar dan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kehidupannya.
Berbagai macam cara dan upaya yang mereka lakukan untuk dapat menghasilkan
uang, mulai dari yang meminta-minta, mengamen mendatangi kendaraan, bahkan ada
yang mengamen dengan cara masuk ke dalam mobil angkutan dan membagikan amplop
kosong. Dengan kegiatan mereka seperti itulah yang membuat peneliti tertarik mengkaji
lebih jauh tentang aktivitas yang mereka lakukan di kolong jembatan Lebak Bulus84
.
Lebak Bulus merupakan suatu daerah yang berada di Jakarta Selatan yang
letaknya tidak jauh dari perbatasan Kota Tangerang Selatan. Lebak Bulus pun merupakan
daerah yang cukup strategis yang banyak dilalui oleh kendaraan baik dalam kota maupun
luar kota atau provinsi. Dan selain itu, kolong jembatan yang dijadikan obyek penelitian
pun letaknya tidak jauh dari terminal Lebak Bulus, sehingga memungkinkan banyak anak
jalanan yang mengais nafkah di sana.
Pada dasarnya, tidak semua anak jalanan yang mencari nafkah di kolong jembatan
Lebak Bulus berasal dari Lebak Bulus. Bahkan ada yang berasal dari Cijantung, Pondok
Labu dan lain sebagainya85.
84
Hasil pengamatan penulis 85 Hasil wawancara peneliti dengan anak jalanan
Penelitian ini selain dilakukan di kolong jembatan Lebak Bulus, pun dilakukan di
Stasiun Pondok Ranji. Stasiun Pondok Ranji merupakan salah satu stasiun yang
lintasannya antara Ciujung sampai Tanah Abang.
Stasiun Pondok Ranji berada di kelurahan Pondok Ranji, Kecamatan Ciputat
Timur, Kota Tangerang Selatan. Sedangkan jalanan yang melalui Pondok Ranji antara
Ciputat dan Bintaro.
Berbeda dengan kolong jembatan Lebak Bulus, anak-anak jalanan di stasiun
mengais nafkah dengan cara yang berbeda yaitu dengan menumpangi kereta yang melaju.
Mereka mencari nafkah dengan caranya sendiri, ada yang dengan cara meminta-minta
dengan penumpang, ada yang mengamen, ada pula yang membawa alat kebersihan dan
membersihkan kolong bangku lalu meminta upah sebagai uang lelah kepada yang
menduduki bangku tersebut86
.
Akan tetapi tidak semua anak jalanan yang berada di stasiun menumpangi kereta.
Tidak sedikit dari mereka yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan anak-
anak di kolong jembatan, bedanya hanya tempat dan keadaan berhentinya kendaraan.
Kalau di kolong jembatan Lebak Bulus, kendaraan berhenti karena lampu merah, tetapi
kalau di stasiun Pondok Ranji, kendaraan berhenti karena ada kereta yang melaju.
Perbedaan yang mencolok antara keduanya adalah dari tempat tinggal. Kalau
anak-anak jalanan kolong jembatan Lebak Bulus, semua memiliki tempat tinggal dan
mereka tinggal dengan cara mengkontrak rumah dan tinggal bersama keluarga dalam satu
atap. Akan tetapi kalau anak-anak jalanan stasiun Pondok Ranji, sebagian dari mereka
tidak memiliki tempat tinggal dan kebanyakan dari mereka meninggalkan rumah karena
memiliki ibu atau bapak tiri yang sering menyiksa mereka dan mengambil keuntungan
dengan mempekerjakan mereka dengan tidak layak.
Walaupun dengan kondisi dan cara yang anak-anak jalanan lakukan berbeda, akan
tetapi pada hakikatnya mereka berada di jalan untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
B. Deskriptif Hasil Penelitian
86 Hasil pengamatan penulis di dalam kereta
Pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan faktor yang paling mendasar yang
menyebabkan anak jalanan memilih tetap berada di jalan daripada harus mengikuti proses
belajar mengajar di sekolah. Kebutuhan ekonomi yang dimaksud adalah pemenuhan
kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Keberadaan anak jalanan di jalan, menurut mereka dapat menemukan jati dirinya
dengan tidak mengikat ruang dan waktu. Karena jati diri seseorang dapat tertanam dari
suatu sikap dan kebiasaan mereka untuk dapat mempertahankan hidup dan memilih yang
terbaik untuknya dan dapat ditemukan dimana saja.
Orang yang menggantungkan hidupnya di jalan, biasanya memiliki sikap dan sifat
yang keras. Karena kehidupan di jalan tidak ada aturan khusus yang mengikat antar
individu, akan tetapi mereka lebih bersifat sosialis.
Pada dasarnya, motivasi anak jalanan tetap memilih berada di jalan karena mereka
menginginkan bisa mencari uang sendiri dan tidak mau memberikan tambahan beban
ekonomi terhadap orang tuanya, dari keuangan tersebut bagi sebagian anak jalanan
menggunakannya untuk membiayai pendidikannya. Selain itu, tidak sedikit dari anak
jalanan yang berasal dari keluarga yang ekonominya cukup berada di jalan. Biasanya
anak jalanan yang seperti itu memilih berada di jalan karena menganggap orang tuanya
tidak memperhatikannya dan mereka menginginkan kehidupan yang bebas tanpa ada
aturan yang mengikat seperti yang terjadi di masyarakat umum.
Mengembangkan identitas bangsa tidak hanya dapat ditunjukkan dalam dunia
pendidikan. Identitas bangsa juga dapat dilihat dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan
lain-lain. Menurut ibu dari salah seorang anak jalanan, dengan prestasi dan tidak berbuat
nakal seperti mencuri, mengamen dengan tidak memaksa pun merupakan salah satu
upaya pengembangan identitas bangsa. Selain itu, dengan mengeluarkan bakat pun dapat
mengembangkan identitas bangsa.
Keberadaan anak jalanan di jalan yang bertujuan mencari uang, bukan berarti
pemerintah tidak perlu membuka lapangan kerja baru. Pada dasarnya, karena kurangnya
lapangan kerja yang menjadi penyebab keberadaan anak-anak jalanan. Apabila
pemerintah membuka lapangan kerja lebih banyak dalam penerimaannya, maka jumlah
pengangguran pun akan berkurang dan jumlah anak jalanan tidak akan terus bertambah
banyak.
Anak jalanan yang merupakan generasi muda yang menjadi tolok ukur jati diri
bangsa dapat mengembangkan jati dirinya di jalan dengan cara yang berbeda-beda.
Upaya yang dilakukan anak jalanan dalam mengembangkan jati dirinya berupa mengikuti
pelatihan-pelatihan dan penyuluhan yang diberikan LSM dan pemerintah yang berkaitan
dengan cara meningkatkan kebutuhan ekonomi.
Keberadaan anak-anak jalanan di jalan yang terkesan tidak terurus dan hanya bisa
melantunkan lagu dan syair-syair jalanan, bagi sebagian orang yang memanfaatkan
keberadaan mereka dapat memetik hasilnya dengan dibuatkannya album yang bertema
anak jalanan dan ada pula yang mengumpulkan karya seni anak jalanan yang berupa
lukisan dan cerpen anak jalanan lalu menjualnya di pasaran dengan harga yang tidak
murah. Akan tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang hanya bisa mencela dan tidak
dapat menghargai karya-karya anak jalanan.
Populasi anak jalanan di kota-kota besar semakin tahun semakin meningkat
karena kebutuhan pangan yang semakin mahal dan tidak sesuainya pendapatan yang
diterima masyarakat. Harapan anak jalanan untuk dapat mengembangkan identitas bangsa
adalah dengan memberikan peluang kerja dan memberikan pendidikan yang benar-benar
gratis. Masyarakat memang sudah mendapatkan pendidikan gratis, akan tetapi untuk
biaya buku semakin tinggi. Hal itulah yang membuat masyarakat tidak mampu untuk
menempuh pendidikan.
Identitas diri bangsa pada hakikatnya tidak hanya dilihat dari pendidikan saja,
akan tetapi kenyataan yang terjadi di masyarakat dan ditekankan oleh pemerintah
hanyalah pendidikan. Padahal dengan karya seni yang berupa seni rupa dan sastra serta
prestasi-prestasi dalam olahraga pun dapat mengembangkan identitas diri bangsa. Bagi
anak jalanan, pemerintah hanya melihat pendidikan dan kurang kepedulian pemerintah
terhadap hasil karya anak jalanan.
Jika pendidikan di Indonesia berhasil diterapkan, bukan artinya identitas bangsa
berhasil dikembangkan. Karena identitas diri itu tidak hanya dilihat dari satu aspek, akan
tetapi dilihat dari tinjauan ekonomi, sosial dan budaya pula. Selain itu, tidak sedikit para
pengenyam pendidikan yang tidak dapat bersaing dalam mendapatkan pekerjaan, artinya
banyak sarjana yang menganggur. Dengan angka pengangguran tinggi pun artinya
pemerintah tidak dapat dikatakan berhasil mengembangkan identitas bangsa Indonesia.
Pada dasarnya, pendidikan itu penting. Akan tetapi banyak hal yang membuatnya
tidak penting di mata masyarakat. Faktor yang sangat mempengaruhinya adalah karena
faktor ekonomi yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehingga tidak dapat
membiayai pendidikan. Selain faktor ekonomi, faktor dorongan dalam diri pun bisa
menjadi penyebabnya. Artinya, anak-anak usia sekolah yang seharusnya bersekolah,
mereka lebih memilih untuk tidak mengikuti proses belajar mengajar dan lebih memilih
untuk putus sekolah karena mereka menganggap suasana sekolah membosankan dan
tidak dapat menghasilkan keuangan.
Anak jalanan yang tidak membutuhkan pendidikan biasanya terdorong untuk
tidak sekolah karena mereka menganggap setelah lulus sekolah mereka akan mencari
kerja. Akan tetapi untuk mendapatkan kerja pun tidak hanya bisa bermodalkan ijazah, itu
lah salah satu penyebab mereka memutuskan sekolah. Menurutnya, daripada harus
bersekolah yang hanya akan menghabiskan biaya dan pekerjaan sulit didapatkan, lebih
baik mereka mencari uang dengan mengamen di jalan dan yang penting dari bersekolah
adalah hanya untuk bisa baca dan tulis saja menurut Semi. Selain itu, anak jalanan tidak
membutuhkan pendidikan yang tinggi karena mereka lebih memilih mencukupi
kebutuhan hidup yang berupa sandang, pangan, dan papan daripada mencukupi
kebutuhan pendidikan.
Pandangan anak jalanan mengenai pendidikan adalah dilihat dari pembiayaannya
yang bisa dikatakan mahal. Mahal dalam arti mereka adalah mahal dari segi pemenuhan
kebutuhan sekolah seperti peralatan sekolah dan terlebih lagi buku panduan
pembelajaran, baik buku cetak maupun LKS. Selain itu, menurut Santi, pada saat
pelaksanaan ujian nasional para murid mendapatkan bantuan dari gurunya dalam
menjawab soal. Hal tersebut membuat guru semakin pintar dan murid semakin tidak mau
belajar dan mengandalkan jawaban dari guru. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia
tidak dapat maju dan berkembang karena sistem membantu anak murid saat ujian masih
terus diterapkan sehingga tidak dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di Indonesia, wajib belajar 9 tahun diterapkan sudah cukup lama. Akan tetapi
kesadaran masyarakat untuk dapat mengikuti proses belajar 9 tahun masih belum dapat
diterapkan secara merata. Di kota besar seperti kota Jakarta pun masih banyak anak-anak
usia sekolah yang tidak bersekolah apalagi di pedalaman. Bagi anak jalanan, untuk lulus
SD pun memerlukan perjuangan yang panjang dalam mengatur keuangan yang
dibutuhkan dan mengatur waktu untuk belajar dan mencari uang. Apabila mereka tidak
bisa mencari uang sendiri dengan cara mengamen dan tidak pandai mengatur waktu,
maka mereka tidak akan bisa bersekolah dan lulus SD ataupun SMP seperti yang
diharapkan pemerintah.
Bagi sebagian anak jalanan, keberadaan mereka di jalan semata-mata tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan
pendidikannya juga. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang hanya memenuhi kebutuhan
sandang, pangan dan papan tanpa memperdulikan pendidikan.
Pendidikan yang mengajarkan dan menerapkan anak didiknya yang berupa
potensi agar dapat tertanam dan bisa memperbaiki cara hidup mereka dikemudian hari,
tidak dapat dirasakan secara merata karena pemenuhan kebutuhan hidup. Untuk
mendapatkan kebutuhan hidup yang layak dan lebih baik, yang diperlukan oleh masing-
masing individu selain memiliki kualifikasi pendidikan adalah memiliki kemampuan dan
keterampilan khusus. Akan tetapi, dengan kemampuan dan keterampilan khusus pun
tidak akan cukup karena apabila tidak bisa baca dan tulis, maka akan mudah ditipu oleh
orang lain.
C. Pertimbangan anak jalanan lebih memilih hidup di jalan tanpa mementingkan
pendidikan
Usia anak-anak yang seharusnya memacu orang tua untuk memahami
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada anak, seperti perkembangan moral,
sosial, kreativitas, bicara, emosi, kepribadian, belajar, bermain, dan lain sebaginya.
Seolah tidak diperhatikan oleh orang tua, bahkan orang tua cenderung menyuruh anak
untuk tetap berada di jalan.
Pada dasarnya anak jalanan ingin hidup sebagaimana anak seusia mereka yang
belajar dan bermain di sekitar rumahnya dan ingin merasakan kebahagiaan bersama
keluarga. Akan tetapi karena faktor ekonomilah yang mendorong mereka untuk berada di
jalan dan mengais nafkah guna mencukupi kebutuhan hidup.
Walaupun kehidupan di jalan bersifat keras, akan tetapi tak seorang anak jalanan
yang jera terhadap kerasnya kehidupan tersebut. Bahkan ada beberapa orang diantara
mereka mengatakan bahwa, kehidupan di jalan lebih menyenangkan karena tidak adanya
keterikatan dalam bersosialisasi. Artinya, mereka menganggap tidak perlu adanya norma
sopan santun dan tatakrama yang mengikat dalam masyarakat pada umumnya.
Pada saat dilakukan penelitian, nampak dari anak-anak jalanan memiliki
hubungan yang bebas tanpa memandang usia dan jenis kelamin serta beranggapan
mereka semua sama. Artinya tidak ada batasan-batasan antara mereka baik dalam bergaul
dan bertingkah laku. Oleh sebab itu, tidak sedikit anak remaja dan dewasa diantara
mereka yang menjadi tuna susila87
.
Pada awalnya, ketika mereka berusia dini, mereka mencari nafkah dengan cara
mengamen dan meminta-minta. Akan tetapi semakin dewasa, semakin banyak kebutuhan
yang mereka harus penuhi dan oleh sebab itu mulai berdatangan tawaran-tawaran untuk
menjadi tuna susila. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan, bagi
wanita yang mulai menginjak dewasa dan mulai malu dengan meminta-minta dan
mengamen, mereka menjadi tuna susila ketika berusia 15 tahun atau usia Sekolah
Menengah Pertama (SMP) kelas 3. Tetapi karena mereka tidak sekolah, oleh sebab itu
mereka melakukan dengan bebas88.
Dengan kehidupan mereka yang bebas, tidak sedikit dari anak-anak jalanan yang
memiliki cita-cita dan angan-angan yang tinggi yang itu semua hanya tinggal angan dan
khayalan serta tak mungkin mereka raih karena faktor ekonomi yang mereka tidak miliki.
Menurut Drs. Mustaqim bahwa:
”Penyebab kenakalan anak, keengganan atau kemalasannya dalam belajar dan
menerima pelajaran bisa diakibatkan oleh lingkungan yang kurang merangsang ia
untuk belajar. Karena faktor tekanan ekonomi, keluarga, atau ada hubungan antar
personal baik guru maupun kepada sesama temannya89
.
Faktor ekonomi merupakan faktor yang paling menentukan kehidupan manusia.
Apabila semua manusia tercukupi kebutuhan-kebutuhannya, maka tak akan ditemukan di
jalanan anak-anak usia sekolah yang harusnya bersekolah dan menikmati permainan di
rumah.
87
Hasil pengamatan peneliti di kolong jembatan Lebak Bulus 88
Hasil wawancara peneliti dengan anak jalanan 89 Ahmad Mudzakir dan Joko Sutrisno, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Setia, 1995), h.56
Pada dasarnya, masalah utama yang dihadapi anak jalanan adalah karena faktor
ekonomi. Masalah ekonomi anak jalanan yang identik dengan masalah kemiskinan secara
sederhana dapat diartikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya
suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan
dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkut90.
Berdasarkan hasil penelitian di kolong jembatan Lebak Bulus, anak-anak jalanan
usia sekolah yang mengamen dan meminta-minta di lampu merah, hampir semuanya
bersekolah. Walaupun ada sebagian diantara mereka yang tidak bersekolah dan hanya
tamatan SMP91
.
Bagi anak-anak yang masih bersekolah, biasanya setelah pulang dari sekolah,
mereka langsung menuju kolong jembatan lampu merah Lebak Bulus. Mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah mereka. Hampir setiap hari
mereka mengais nafkah mulai pulang sekolah yaitu pukul 12.00 WIB hingga pukul 18.00
WIB. Penghasilan yang mereka dapat pun bervariasi, tergantung pada sedikit banyaknya
kendaraan yang berhenti di lampu merah. Akan tetapi, bagi anak-anak yang tidak
bersekolah, biasanya mereka mulai beroperasi pukul.09.00 WIB sampai pukul 18.00
WIB.
Oleh karena itu, peneliti tertarik mengkaji lebih dalam tentang cara pembagian
waktu mereka untuk belajar, bermain dan mencari nafkah. Ternyata dari hasil yang
didapat, Ningsih (13 tahun) salah seorang anak jalanan yang bersekolah kelas 5 di SDN
07 Pasar Rebo, ia menyempatkan waktu untuk belajar sebelum berangkat ke kolong
jembatan Lebak Bulus dan setelah pulang dari kolong jembatan Lebak Bulus. Hasil
belajarnya pun tidak mengecewakan, ia mengatakan sempat beberapa kali menjadi juara
kelas92
.
Seperti yang dikemukakan di atas, tidak sedikit dari anak-anak jalanan yang
memiliki cita-cita, akan tetapi karena terbentur masalah biaya dan faktor kebutuhan
keluarga yang membuat mereka mngurungkan niatnya untuk mencapai cita-cita mereka.
90
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) h.12 91
Hasil wawancara pada tanggal 22 juli 2009 92 Hasil wawancara pada tanggal 22 Juli 2009
Suasana yang berbeda yang terjadi di stasiun Pondok Ranji, kalau anak jalanan
yang mengais nafkah di kolong jembatan Lebak Bulus hampir semua bersekolah, kalau
yang mencari nafkah di stasiun Pondok Ranji rata-rata dari mereka tidak bersekolah.
Kembali pada pertimbangan anak jalanan memilih hidup di jalan, pada dasarnya
keberadaan mereka di jalan ada yang atas keinginan sendiri, ajakan teman, bahkan ada
yang karena perintah orang tua untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Akan tetapi,
penyebab utama anak-anak usia sekolah tetap berada di jalan pada jam sekolah adalah
karena faktor ekonomi yang harus mereka penuhi untuk mencukupi kebutuhan hidup.
D. Kesadaran anak jalanan dalam mengembangkan identitas diri sebagai anak bangsa
yang merupakan bagian dari generasi muda.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang dapat menentukan baik-
buruknya suatu bangsa dan Negara. Sebab, bangsa dan Negara akan menjadi baik jika
masyarakatnya baik dan masyarakat akan menjadi baik jika setiap keluarga berhasil
membentuk kepribadian yang baik pada masing-masing anggotanya.
Demikian pula dengan generasi muda. Generasi muda adalah harapan bangsa. Jika
generasi muda baik, maka Negara pun akan baik. Sebaliknya, jika generasi muda buruk,
maka Negara akan hancur dibuatnya. Karena identitas diri bangsa berada di tangan
generasi muda.
Anak jalanan merupakan sekumpulan anak-anak usia sekolah yang berada di jalan
untuk mencari nafkah baik dengan cara mengamen atau pun meminta-minta. Dengan
keberadaan mereka yang seperti itu, tidak sedikit mata dunia yang mengarah pada
Indonesia yang merupakan salah satu Negara besar dan memiliki jumlah penduduk yang
banyak.
Anak-anak jalanan lebih banyak memiliki pengalaman yang getir dan imajinasi
mereka bahkan lebih tajam untuk dituangkan dalam bentuk puisi atau cerpen. Keseharian
yang menantang untuk dapat bertahan hidup di kota-kota besar akan dapat
mengumpulkan memori pengalaman yang unik93.
Peran negara untuk menciptakan kader-kader bangsa yang berkualitas kiranya
tidaklah sebatas memanfaatkan momen dan menjalankan rutinitas perayaan aksi sosial
93
http://www.sinarharapan.co.id
yang semu semata. Namun lebih dari itu, penggalangan aksi sosial kemanusiaan dan
pendidikan untuk kemandirian bagi anak-anak tersebut, harus tetap diupayakan tanpa
kepentingan mengharapkan simpati, atau ketika pemilihan umum, untuk menambah suara
dari rakyat.
Semakin banyak anak-anak usia sekolah yang berada di jalan, semakin turun
harga diri bangsa di mata dunia. Melihat kondisi yang seperti itu, banyak upaya yang
dilakukan pemerintah dan LSM dalam mengurangi populasi anak jalanan, mulai dari
penertiban, memberikan rumah tinggal dan lain sebagainya94
.
Akan tetapi, hal tersebut terasa percuma ketika anak-anak jalanan tersebut
kembali lagi ke jalan untuk mencari nafkah dan tidak memiliki keinginan untuk
bersekolah. Padahal bila dicermati lebih jauh, mereka tidak akan mampu bersaing hidup
apabila mereka tidak memiliki pendidikan dan keterampilan. Karena hukum rimba
berlaku di kota-kota besar seperti Jakarta. Artinya, siapa yang kuat dan memiliki
kekuasaan, dia yang akan tetap bertahan hidup.
Sedangkan anak-anak jalanan yang tidak memiliki bekal baik pendidikan maupun
keterampilan, hanya dapat meminta belas kasih dari orang-orang yang berlalu lalang
melewatinya. Hal tersebut, tanpa mereka sadari akan membawa dampak yang buruk bagi
Indonesia.
Cara mengembangkan identitas diri bangsa dapat dilakukan dengan cara
berlomba-lomba untuk mencapai prestasi yang terbaik. Akan tetapi hal tersebut tidak
menjadikan anak jalanan berfikir untuk memberi yang terbaik untuk bangsa. Karena yang
ada dalam benak mereka hanya berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara
bagaimanapun dan tidak mementingkan identitas dirinya sebagai anak bangsa yang
merupakan bagian dari generasi muda.
Generasi muda yang merupakan tolok ukur jati diri suatu bangsa, seharusnya
tertanam pada diri anak-anak jalanan agar mereka dapat mengembangkan dirinya pada
arah yang lebih baik. Akan tetapi, anak-anak jalanan belum sadar untuk memajukan
Negara ini. Padahal mereka mengetahui cara yang mereka ambil untuk hidup dan mencari
nafkah di jalan adalah salah, tetapi mereka tak punya jalan lain selain meminta-minta dan
94
Hasil wawancara dengan ibu Na’umi (Humas Yayasan Nanda Dian Nusantara) pada tanggal 11
November 2009
mengamen karena latar belakang mereka yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki
keterampilan.
E. Kekeliruan pola pikir anak jalanan tentang dirinya sendiri dan arti penting pendidikan
Ciri utama kehidupan dalam era globalisasi adalah perubahan terjadi semakin
cepat, semakin kompetitif, semakin tajam, semakin beragam atau pluralis, dan dengan
kata lain semakin kompleks, namun semakin kreatif dan semakin bermutu.
Pendidikan merupakan faktor penting yang harus di penuhi oleh setiap manusia,
karena pendidikan dapat membawa manusia ke jalan yang lebih baik. Tanpa pendidikan,
manusia senatiasa tidak akan berguna baik dalam masyarakat, pergaulan, dunia kerja, dan
lain sebagainya. Oleh sebab itu, pendidikan harus diterapkan sedini mungkin untuk
mencapai keberhasilan yang diharapkan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat
dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan
kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan
melewati generasi95.
Bagi sebagian anak jalanan, menempuh pendidikan merupakan faktor penting,
akan tetapi biaya untuk sekolah itu yang menjadi faktor penghambat untuk dapat
melaksanakan pendidikan. Sehingga mengakibatkan mereka harus berada di jalan guna
mencukupi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan pernyataan humas Yayasan Nanda Dian Nusantara, persepsi anak
jalanan mengenai biaya pendidikan adalah MAHAL. Pernyataan ini dikemukakan karena
pertimbangan anak jalanan yang lebih mengutamakan untuk mencari nafkah guna
95
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
mencukupi kebutuhan hidupnya dibandingkan mengeluarkan biaya untuk masalah
pendidikan96
.
Kekeliruan pola pikir anak jalanan yang memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
itulah yang membuat mereka berpikir lebih baik tidak bersekolah daripada tidak makan.
Kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan memang tidak dapat dihindari dalam
kehidupan masyarakat. Terutama pada masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah
rata-rata atau ekonomi rendah.
Penghasilan selaras dan dapat terpenuhi semua kebutuhan hidup merupakan
harapan semua orang. Akan tetapi setiap kekurangan pasti ada kelebihan, begitu pula
dengan kelebihan pasti ada kekurangan.
Bagi orangtua anak-anak jalanan, mereka seperti acuh tak acuh terhadap
pelaksanaan pendidikan anak-anaknya. Bahkan mereka menganggap tidak butuh
pendidikan karena biaya pendidikan lebih mahal daripada biaya hidup mereka sehari-hari.
Paradigma keliru tentang anak di kalangan banyak orang tua. Seolah anak adalah
hak milik orang tua yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut
orang tua masuk akal.
96 Hasil wawancara dengan humas Yayasan Nanda Dian Nusantara.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Latar belakang anak jalanan rata-rata masih memiliki orang tua, akan tetapi orang
tua mereka tidak mampu untuk memberikan kebutuhan mereka dengan cukup.
Baik dari segi sandang, pangan dan papan. Oleh sebab itu untuk mempertahankan
kehidupannya, mereka harus mencari nafkah sendiri di jalan dengan berbekal
tutup botol yang dijadikan alat mengamen atau dengan botol yang berisi pasir.
Bahkan ada yang hanya menampakkan wajah “melas” agar orang berbelas kasih
terhadapnya.
2. Anak-anak jalanan memilih tetap berada di jalan karena mereka ingin memenuhi
kebutuhan ekonomi terutama untuk mencukupi kebutuhan pangan (makanan) baik
untuk kehidupannya sendiri maupun untuk kebutuhan keluarganya.
3. Tidak semua anak jalanan tidak mengenyam pendidikan, bahkan ada diantara
mereka yang tetap mempertahankan hidup di jalan selain untuk memenuhi
kebutuhan pangan, mereka pun mencari uang untuk dapat melanjutkan sekolah.
Biasanya, anak jalanan yang bersekolah memiliki banyak adik atau kakak.
Sehingga orang tua mereka tidak mampu memberikan pelayanan terbaik untuk
dapat menyekolahkan anaknya.
4. Anak jalanan yang merupakan bagian dari generasi muda tidak mampu
mengembangkan diri untuk memajukan bangsa. Karena latar belakang mereka
yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan. Bahkan mereka menyadari
bahwa dirinya hanya akan menjadi “sampah masyarakat”. Tetapi hal tersebut
terjadi semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
5. Menurut anak-anak jalanan, identitas diri bangsa tidak hanya tercermin pada
kemampuan dalam dunia pendidikan. Bahkan dengan karya-karya anak jalanan
yang tertuang dalam sebuah nyanyian dan apresiasi musik mereka pun dapat
mengembangkan identitas diri bangsa.
6. Menurut anak-anak jalanan, pendidikan pada dasarnya penting. Akan tetapi nilai
pendidikan tidak penting ketika kebutuhan perut mereka tidak terpenuhi. Artinya,
untuk apa bersekolah apabila mereka kelaparan. Sedangkan biaya pendidikan
teramat mahal apabila dibandingkan dengan kebutuhan hidup mereka yang
terkadang untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk dapat bersekolah.
7. Bagi kebanyakkan anak jalanan, mereka tidak akan berada di jalan ketika
kebutuhan mereka telah terpenuhi. Baik kebutuhan primer, sekunder maupun
tersier. Terutama pada kebutuhan primernya yaitu sandang, pangan dan papan.
B. Implikasi
1. Apabila orang tua anak-anak jalanan dapat memenuhi kebutuhan hidup anak-
anaknya, maka tak akan ditemukan anak-anak berusia sekolah berada di jalan
pada saat proses belajar mengajar berlangsung di sekolah.
2. Apabila mereka tidak berada di jalan dalam arti mereka tidak mencari uang, maka
mereka tidak bisa makan. Hal tersebut yang membuat mereka bertahan di jalan
tanpa mementingkan pendidikan.
3. Anak-anak jalanan dapat merasakan pendidikan (bersekolah) apabila mereka
punya kemauan, dengan cara menyisahkan sebagian uang yang di dapat untuk
membiayai sekolah mereka.
4. Kesadaran anak-anak jalanan sebagai generasi muda yang merupakan harapan
bangsa, tidak tumbuh karena kurang terpenuhinya kebutuhan hidup mereka.
5. Apabila anak-anak jalanan dibiarkan tetap berada di jalan, maka identitas bangsa
akan menurun di mata dunia dan Negara lain tidak akan menghargai bangsa
Indonesia karena di nilai tidak bisa mengatasi masalah ekonomi dalam Negara.
6. Pentingnya pendidikan tidak akan bisa terpenuhi apabila kebutuhan pangan belum
terpenuhi.
C. Saran-saran
1. Hendaknya orang tua memperhatikan anak dari sejak dini dan dapat memenuhi
kebutuhan anak dengan usaha, keterampilan dan pendidikan yang dimilikinya.
Agar anak tidak memiliki beban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
2. Bagi masyarakat yang memiliki penghasilan di atas rata-rata (ekonomi atas),
hendaknya memberi bantuan baik dengan cara menjadi orang tua asuh atau
bahkan mendirikan yayasan untuk membantu anak-anak jalanan dan kurang
mampu untuk dapat merasakan pendidikan.
3. Bagi pemerintah, hendaknya memberikan pelayanan terbaik untuk anak-anak
jalanan dan kurang mampu. Baik pemberian beasiswa, ongkos sekolah maupun
fasilitas yang dibutuhkan untuk sekolah gratis.
4. Hendaknya anak-anak jalanan dapat mengatur keuangannya dan menyisahkan
uangnya untuk biaya pendidikan mereka dan dengan dibantu oleh masyarakat
yang memiliki ekonomi atas.
5. Bagi para investor, hendaknya mendirikan sekolah khusus anak-anak jalanan agar
mereka dapat terbantu dalam urusan sekolah dengan memberikan biaya yang
cukup murah.
LEMBAR UJI REFERENSI
NAMA : Dian Safitri NIM : 105015000631
Jurusan : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Judul Skripsi : Persepsi Anak Jalanan Terhadap Pendidikan Formal
Pengarang, Judul Buku dan Halaman
Bambang Irmawan, Pemberdayaan Masyarakat Yang Berkesinambungan, (JakartaDiktat Pelatihan, Yayasan Bina
Swadaya 2001) h.1
Soerjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet ke-35, h.365
Dra. Muslichah Zarkasi, Psikologi Manajemen, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1997), h. 28
Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 96, 98, 201
Drs. Wasty Soemanto, M.Pd, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 19, 23, 203
Zikri Neni Iska, Psikologi, (Jakarta: Kizi Brother's, 2006), h. 64
Drs. Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), h. 33
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), cet. ke
Dewa Ketut Sukardi, Penggunaan test dalam Konseling Karir, (Surabaya: Usaha Nasional, 1999), h.76
Wayan Nurkancana dan Sumartana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Balai Pustaka, 1986), cet. ke-4, h. 229
H.Carl Whitherington, Psikologi Pendidikan, (terj) M.Buchori, (Jakarta: Reneka Cipta, 1999), cet. Ke
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Reneka Cipta, 2003), cet. Ke-
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Trias Wacana Yogya, 1993), cet. Ke-4, h. 112
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) h.12
Andre Bayo Ala. Kemiskinan dan strategi memerangi kemiskinan, (Yogyakarta: Liberty,1981) h.5
Ahmad Mudzakir dan Joko Sutrisno, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Setia, 1995), h.56
Drs. Ali Imron, MPd, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.12
Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 51
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
ROSADAKARYA, 1999), hal.18
Darji Darmodiharjo, Peranan Guru dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Analisis Pendidikan, III.4 (September, 1982),
h. 239
Sardirman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1990), cet. ke-3, h. 7
Kartini Kartono, Belajar di SMA dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), cet. ke-1, h. 1
Jacob Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), h. 44, 88
Prof. Dr. H. Syamsir Salam, MS, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 15, 30, 79, 81
Nazar Bakri, Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian, (Jakarta: CV Pedoman Jaya, 1994 h. 36)
M. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 234
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3
Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta:PT REMAJA ROSDAKARYA, 2006), cet Ke
22, h. 176, 177, 178, 179, 180, 181, 183, 184, 186, 193, 219
Dr. Husaini Usman, M.Pd dan Purnomo Setiady Akbar, M.Pd, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000),
cet. Ke-3, h. 86
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007), h.6, 7,
Darwansyah, dkk., Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Faza Media, 2006), h.2, 5, 6, 7, 8
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_Jalanan
http://www.sinarharapan.co.id
http://www.hupelita.com
http://id.answers.yahoo.com
http://qym7882.blogspot.com
Yuwono, 2001 : 40 dalam http// creasoft.files.wordpress.com
http://sunartombs.wordpress.com
www.anneahira.com
http://www.stopberiuang.or.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apakah alasan anak jalanan memilih berada di jalan?
2. Apakah kehidupan jalanan dapat membantu menemukan jati diri anak jalanan?
3. Bagaimanakah karakteristik orang yang biasa hidup di jalanan?
4. Apakah yang menjadi motivasi anak jalanan tetap berada di jalan?
5. Bagaimana cara anak jalanan mengembangkan identitas diri bangsa?
6. Apakah dengan keberadaan anak jalanan di jalan, maka pemerintah tidak perlu
membuka lapangan kerja baru?
7. Apakah anak jalanan merupakan generasi muda yang menjadi tolok ukur jati diri
bangsa dapat mengembangkan jati dirinya?
8. Apakah anak jalanan yang mengembangkan diri di jalan sama artinya dengan
mengembangkan nama baik bangsa dan negara?
9. Apakah dengan keberadaan anak-anak jalanan, bangsa Indonesia dapat
mengembangkan dirinya melalui syair-syair anak jalanan?
10. Apakah dengan semakin banyak populasi anak jalanan, semakin sulit bangsa
Indonesia mengembangkan identitas diri bangsa?
11. Apakah identitas diri bangsa hanya dapat terlihat dari kacamata pendidikan saja?
12. Jika pendidikan berhasil diterapkan di Indonesia, apakah artinya negara berhasil
mengembangkan identitas dirinya?
13. Apakah pendidikan itu penting bagi seluruh anak bangsa?
14. Apakah anak jalanan menganggap dirinya tidak membutuhkan pendidikan?
15. Bagaimana pandangan anak jalanan melihat pendidikan di Indonesia?
16. Apakah dengan adanya wajib belajar, hanya menambah beban kehidupan keluarga
anak jalanan semakin bertambah?
17. Apakah anak jalanan berada di jalan selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, juga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan?
18. Jika anak jalanan tidak berpendidikan dan tidak bisa baca tulis, maka apakah anak
jalanan bisa menjadi lebih baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya?
JAWABAN WAWANCARA DI LEBAK BULUS
(Rabu, 8 Juli 2009)
1. Apakah alasan anak jalanan memilih berada di jalan?
Ningsih : Kebutuhan ekonomi
Dilah : Kebutuhan ekonomi
Tuti : Kebutuhan ekonomi
Ilman : Senang, yang penting bisa buat makan
2. Apakah kehidupan jalanan dapat membantu menemukan jati diri anak jalanan?
Ningsih : Tidak juga
Ibu Nia : Bisa, tergantung anaknya.
Dilah : Bisa, kan belajarnya dari jalanan
3. Bagaimanakah karakteristik orang yang biasa hidup di jalanan?
Ibu Nia : Keras...karena jalanan itu kejam dan ga pandang bulu
Ningsih : Keras, tapi tergantung orangnya
4. Apakah yang menjadi motivasi anak jalanan tetap berada di jalan?
Tuti : Biar bisa cari uang sendiri
Rizal : Cari uang untuk biaya sekolah
5. Bagaimana cara anak jalanan mengembangkan identitas diri bangsa?
Ilman : Mengeluarkan bakat sesuai kemampuan
Ibunya Fitri : Berprestasi dan tidak berbuat nakal seperti mencuri dan ngamen
dengan memaksa
6. Apakah dengan keberadaan anak jalanan di jalan, maka pemerintah tidak perlu
membuka lapangan kerja baru?
Ibunya Anton : Karena lapangan kerja kurang makanya anak-anak saya, saya
suruh ngamen. Kalau cari kerja gampang, mungkin sekarang saya
ga ada di jalan.
Ibunya Fiti : Pemerintah perlu buka lapangan kerja lebih banyak, biar anak-
anak tidak berada di jalan.
7. Apakah anak jalanan merupakan generasi muda yang menjadi tolok ukur jati diri
bangsa dapat mengembangkan jati dirinya?
Ibunya Adi : Bisa, kan anak-anak jalanan yang ngamen di Lebak Bulus rata-
rata sekolah.
8. Apakah anak jalanan yang mengembangkan diri di jalan sama artinya dengan
mengembangkan nama baik bangsa dan negara?
Ningsih : Bisa juga...tapi tergantung orangnya.
9. Apakah dengan keberadaan anak-anak jalanan, bangsa Indonesia dapat
mengembangkan dirinya melalui syair-syair anak jalanan?
Anton : Ga tau
10. Apakah dengan semakin banyak populasi anak jalanan, semakin sulit bangsa
Indonesia mengembangkan identitas diri bangsa?
Ningsih : Kalau dari nyanyian anak jalanan, kan bisa bikin pemerintah
terharu dan nanti kan akhirnya ada upaya ngembangin identitas diri
bangsa.
11. Apakah identitas diri bangsa hanya dapat terlihat dari kacamata pendidikan saja?
Cifa : Dari karya anak jalanan yang berupa lagu atau lukisan juga bisa
12. Jika pendidikan berhasil diterapkan di Indonesia, apakah artinya negara berhasil
mengembangkan identitas dirinya?
Ibunya Fitri : Ga juga...kan banyak orang yang sekolah tapi lulusnya karena
dibantu guru. Kalau begitu pendidikan bukan ngembangin bangsa,
malah jadi ngebodihin murid.
Ningsih : Ga juga...
13. Apakah pendidikan itu penting bagi seluruh anak bangsa?
Ilman : Penting
Ningsih : Penting, tapi kalau biayanya ga ada kan sama aja.
Dilah : Penting
14. Apakah anak jalanan menganggap dirinya tidak membutuhkan pendidikan?
Ningsih : Butuh, tapi lebih butuh buat makan. Apalagi adik saya banyak.
Ibunya Anton : Pendidikan butuh, tapi jangankan buat sekolah, buat makan aja
kurang. Yang penting pada bisa baca-tulis aja udah syukur.
15. Bagaimana pandangan anak jalanan melihat pendidikan di Indonesia?
Ningsih : Pengennya Ningsih sekolah sampai lulus, tapi karena biaya
pendidikan mahal, makanya Ningsih ga bisa lanjutin sekolah.
Ibunya Fitri : Pendidikan banyak mengeluarkan biaya.
16. Apakah dengan adanya wajib belajar, hanya menambah beban kehidupan keluarga
anak jalanan semakin bertambah?
Novi : Ga juga... kalau anaknya mau bantu orang tua cari uang, pasti ga
akan putus sampai SD aja...
17. Apakah anak jalanan berada di jalan selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, juga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan?
Ningsih : Iya...Tapi untuk biayain Tuti dan adik-adik yang lain...
Ibu Nia : Iya...
Novi : Iya... makanya Novi masih bisa sekolah sampai kelas 9.
18. Jika anak jalanan tidak berpendidikan dan tidak bisa baca tulis, maka apakah anak
jalanan bisa menjadi lebih baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya?
Novi : Tergantung orangnya, punya kemampuan apa ga.
Ningsih : Kalau ga bisa baca-tulis ga bisa lebih baik, kan nanti jadinya
banyak yang nipu
JAWABAN WAWANCARA DI PONDOK RANJI
(Senin, 10 Agustus 2009)
1. Apakah alasan anak jalanan memilih berada di jalan?
Aziz : Kurang terpenuhinya kebutuhan ekonomi
Asep : Ekonomi tidak terpenuhi
2. Apakah kehidupan jalanan dapat membantu menemukan jati diri anak jalanan?
Asep : Bisa, kan jati diri bisa ditemukan dimana aja
Azizi : Ga tau
3. Bagaimanakah karakteristik orang yang biasa hidup di jalanan?
Putri : Tergantung orangnya
Rani : Cuek aja apa kata orang
4. Apakah yang menjadi motivasi anak jalanan tetap berada di jalan?
Sera : Kehidupan yang bebas
5. Bagaimana cara anak jalanan mengembangkan identitas diri bangsa?
Rani : Mengeluarkan bakatnya.
6. Apakah dengan keberadaan anak jalanan di jalan, maka pemerintah tidak perlu
membuka lapangan kerja baru?
Semi : Perlu, emangnya kita mau selamanya ada di jalan. Kan kita juga
pengen kerja dan punya gaji.
7. Apakah anak jalanan merupakan generasi muda yang menjadi tolok ukur jati diri
bangsa dapat mengembangkan jati dirinya?
Ubay : Tergantung orangnya, kalau dia mau ngembangin dirinya,
biasanya kalau ada penyuluhan dia ikutin.
8. Apakah anak jalanan yang mengembangkan diri di jalan sama artinya dengan
mengembangkan nama baik bangsa dan negara?
Santi : Ga...
9. Apakah dengan keberadaan anak-anak jalanan, bangsa Indonesia dapat
mengembangkan dirinya melalui syair-syair anak jalanan?
Thahirin : Tergantung siapa yang dengar...khan ada orang yang bisa
memaknai syair-syair anak jalanan yang akhirnya dibuat album dan
ada juga yang bisanya cuma nyela anak-anak jalanan.
10. Apakah dengan semakin banyak populasi anak jalanan, semakin sulit bangsa
Indonesia mengembangkan identitas diri bangsa?
Ahmad : Seharusnya kalau mau ngembangin identitas diri bangsa dan ga
mau banyak anak jalanan, pemerintah nyiapin lapangan kerja atau
pendidikan benar-benar gratis.
11. Apakah identitas diri bangsa hanya dapat terlihat dari kacamata pendidikan saja?
Thahirin : Katanya si Iya...
Buktinya pemerintah gembar-gemborin pendidikan terus.
12. Jika pendidikan berhasil diterapkan di Indonesia, apakah artinya negara berhasil
mengembangkan identitas dirinya?
Sera : Ga juga...
Walaupun banyak sarjana, tapi kalau banyak yang nganggur kan
sama aja pendidikannya ga berhasil.
13. Apakah pendidikan itu penting bagi seluruh anak bangsa?
Santi : Penting...
Tapi tergantung orangnya...
Semi : Penting... Tapi saya kalau disuruh sekolah males, makanya ga
dilanjutin. Yang penting bisa baca-tulis.
14. Apakah anak jalanan menganggap dirinya tidak membutuhkan pendidikan?
Semi : Kalau udah bisa baca, pendidikan ga terlalu perlu.
Santi : Pendidikan perlu, tapi untuk kerja aja susah, makanya butuh ga
butuh dah...
15. Bagaimana pandangan anak jalanan melihat pendidikan di Indonesia?
Santi : Pendidikan di Indonesia mahal trus pas waktu ujian gurunya pada
ngebantuin siswa, kan jadinya gurunya tambah pinter dan siswanya
jadi keenakkan ga belajar tapi bisa lulus. Sama aja pendidikan di
Indonesia, bukan bikin cerdas siswa.
16. Apakah dengan adanya wajib belajar, hanya menambah beban kehidupan keluarga
anak jalanan semakin bertambah?
Asep : Tergantung anaknya... Kalau dia mau sekolah, ya harusnya cari
uang sendiri.
17. Apakah anak jalanan berada di jalan selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, juga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan?
Rani : Kebutuhan pendidikan itu belakangan, yang penting kebutuhan
hidup dulu. Nanti kalau kebutuhan hidupnya sudah cukup dan
terpenuhi, baru mikirin pendidikan.
18. Jika anak jalanan tidak berpendidikan dan tidak bisa baca tulis, maka apakah anak
jalanan bisa menjadi lebih baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya?
Santi : Kalau dia ga berpendidikan, ga mungkin bisa lebih baik. Kecuali
dia punya kemampuan dan kreatif.
Istirahat di pinggir rel kereta api stasiun Pondok Ranji
Kebersamaan anak jalanan di stasiun Pondok Ranji
Suasana padat penumpang kereta api di stasiun Pondok Ranji
Kekeluargaan anak-anak jalanan di lampu merah Lebak Bulus
Suasana menunggu lampu merah
Mengamen di lampu merah
Mendatangi kendaraan yang berhenti di lampu merah
Duduk
di
lampu
merah
sambil
menunggu
kendaraan
berhenti
Meninggalkan kendaraan yang ingin melaju
Anak jalanan menumpangi kereta api
Anak jalanan bersama penumpang turun dari kereta api