perlindungan konsumen dalam peredaran...
TRANSCRIPT
i
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEREDARAN
KOSMETIK BERBAHAYA CREAM SYAHRINI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh :
Ayu Eza Tiara
NIM.1613048000089
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437/2016 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Ayu Eza Tiara
NIM : 1111043200028
Judul Skripsi : PENGATURAN HUKUMAN MATI DI
BEBERAPA NEGARA ( Studi Kasus di Negara
Islam dan Non-Islam
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan.
2. Tidak melakukan plagiasi terhadap naskah karya orang lain.
3. Tidak menggunakn karya orang laun tanpa menyebutkansumber asli atau tanpa
izin pemilik karya.
4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini.
Jikalau di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah
melalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memang
ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya siap
dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya
Jakarta, 14 Juli 2016
Yang Menyatakan
Ayu Eza Tiara
v
ABSTRAK
Kosmetik telah menjadi kebutuhan yang tidak kalah penting, khususnya kaum
wanita yang ingin untuk tampil cantik. Keinginan tersebut banyak dimanfaatkan oleh
pelaku usaha yang beritikad buruk. Saat ini banyak peredaran kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya, salah satu merknya adalah Cream pemutih Syahrini.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan
terhadap pelaku usaha yang menjual kosmetik berbahaya dan mengetahui efektifitas
UUPK dalam peredaran kosmetik Cream Syahrini. Penelitian ini menggunakan
metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan yang bersifat deskriptif.
Sumber data penelitian ini menggunakan data primer berupa peraturan perundang-
undangan yang terkait dan data sekunder dari bahan kepustakaan. Data diuraikan
dalam bentuk teks naratif secara sistematis. Metode analisis data yang digunakan
adalah metode normatif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor pendorong konsumen
membeli produk kosmetik cream Syahrini, antara lain: Pertama, minimnya
pengetahuan dan pendidikan konsumen berkaitan dengan kosmetik ilegal. Kedua,
minimnya Pengawasan Dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ketiga,
Harga kosmetik aman dan berkulitas lebih mahal. Efektifitas undang-undang
perlindungan konsumen dalam peredaran kosmetik cream Syahrini, dilihat dari dua
aspek. Pertama, Efektifitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan yang kedua
mengenai efektifitas dalam sistem pengawasan. Undang-undang nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara rinci mengenai perlindungan
konsumen kosmetik, namun jika di tinjau dari Pasal 8 UUPK permasalah kosmetik
ilegal sudah tercakup didalamnya, sedangkan dalam sistem pengawasan juga sangat
membutuhkan peran aktif dari masyarakat seperti melaporkan penjualan-penjualan
kosmetik illegal. Dalam kasus peredaran cream Syahrini, BPOM melakukan
pengawasan yang dilakukan BPOM adalah Sub Sistem Pengawasan Pemerintah dan
Sub Sistem Pengawasan Konsumen. Sub Sistem Pengawasan Pemerintah, membagi
kegiatan pengawasannya dalam tujuh kategori, diantaranya: regulasi, standarisasi,
registrasi, inspeksi, sampling, Public Warning, serta Layanan dan Aduan Konsumen,
sedangkan Sub Sistem Pengawasan Konsumen terbagi menjadi dua, yaitu
pemberdayaan konsumen dan edukasi konsumen
Pembimbing :
1. Dra. Ipah Parihah, MH
2. Elvizah Fauziah, SH.MH
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Kosmetik Berbahaya, Cream Syahrini
Daftar Pustaka : Tahun 1987 sampai Tahun 2008
vi
KATA PENGANTAR
بســــــــــــــــــم اهلل الرحن الرحيم
Puji dan rasa syukur mendalam penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah- Nya maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga selalu tercu4rah pada
baginda Rasullah Muhammad SAW.
Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEREDARAN
KOSMETIK BERBAHAYA CREAM SYAHRINI” ini penulis susun untuk
memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada program
studi Hukum Bisnis
Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua
bantuan yang telah diberikan, baik seara langsung maupun tidak langsung selama
penyusunan tugas akhirini hingga selesai. Secara khusus ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep SyarifuddinHidayat, S.H., M.H, Ketua Jurusan
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum, Seketaris Jurusan Perbandingan
Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Ismail Hasani, S.Ag., M.H., Penasihat Akademik yang telah banyak
membantu semasa perkuliahan.
vii
5. Ibu Dra. Hj. Ipah Parihah, M.H. dan Ibu Evizah Fauziah,S.H, M.H. Dosen
Pembimbing atas bantuan dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan karyawan Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas ilmu, bimbingan dan bantuannya
hingga penulis selesai menyusun skripsi ini.
7. Ibunda tercinta Hj. Murniati Agusman dan Ayahanda tersayang H. Farisal
Muchtar yang telah membesarkan dan mendidik, serta memberkan
dukungan dan doa kepada penulis.
8. Rekan-rekan di Jurusan Ilmu Hukum terutama pada Program Studi Hukum
Bisnis yang telah banyak memberikan semangat dalam proses penulisan
skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah
wawasan bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 14 Juli 2016
Ayu Eza Tiara
vii
DAFTAR ISI
COVER DALAM…………………………………………………………………..…i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI……………………………ii
LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI…………………………...iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI……………………………….iv
ABSTRAK……………………………………………………………………………v
KATA PENGANTAR………………………………………………………………vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………..1
B. Identifikasi Masalah…………………………………………..…...4
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………………….5
D. Kerangka Konseptual……………………………………………...9
E. Metode Penelitian………………………………………………..12
F. Sistematika Penulisan……………………………………………15
BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen…………………….17
B. Pihak-Pihak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen…………..18
C. Hak dan Kewajiban Konsumen………………………………….20
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha……………………………….22
E. Tahap-Tahap Transaksi..………………………………………...25
F. Perbuatan Yang dilarang Bagi Pelaku Usaha..…………………..27
viii
BAB III PROFIL KASUS DAN PENGATURANNYA SERTA FUNGSI
PENGAWASAN BADAN POM TERHADAP KOSMETIK DI
INDONESIA
A. Posisi Kasus……………………………………………………...35
B. Tinjauan Umum Mengenai Organisasi Badan POM…………….36
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha………………………………….45
D. Penyelesaian Sengketa Konsumen………………………………57
E. Sanksi…………………………………………………………….47
BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KASUS CREAM
SYAHRINI
A. Faktor-Faktor Pendorong Konsumen Membeli Produk Kosmetik
Bebahaya Cream Syahrini………………………………….……51
B. Efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam
Peredaran Kosmetik Cream Syahrini Berbahaya………..……...54
C. Perlindungan Konsumen Yang Dilakukan Oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM)……………………………………..57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………61
B. Saran……………………………………………………………..62
DAFTAR PUSTAKA…..………………………………………………….………..65
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keinginan manusia untuk tampil lebih cantik dan sempurna khususnya
kaum wanita merupakan satu hal yang wajar. Selain itu kehidupan modern
masyarakat saat ini tidak hanya menuntut kemajuan yang berkembang pesat
tetapi juga nilai-nilai kecantikan dan keindahan terhadap penampilan.1 Untuk
mencapai tujuan tersebut tak sedikit para wanita rela menghabiskan uangnya
untuk membeli perlengkapan kosmetik dengan tujuan memoles wajahnya agar
terlihat lebih cantik.2
Seiring dengan era perdagangan bebas berbagai jenis kosmetik beredar di
pasaran dengan berbagai kegunaan dari berbagai merek. Produk kosmetik yang
merupakan hasil dari perkembangan industri obat-obatan saat ini sudah menjadi
salah satu kebutuhan masyarakat, seiring dengan perkembangan gaya hidup
masyarakat. Para pelaku usaha berlomba-lomba menghasilkan berbagai macam
1Mitsui, New Cosmetic Science, (Netherland : Elsevier Science B.V. , 1997), h.3
2Suyani Wati Napitulu. “Peran Balai Pengawas Obat dan Makanan Dalam Mewujudkan
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Kosmetik Yang Berbahaya Di Batam.”
Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2014
2
produk kecantikan dengan berbagai macam kegunaan bagi masyarkat untuk
menarik konsumen sebanyak-banyaknya.3
Keinginan manusia untuk selalu tampil cantik, sempurna dalam segala
kesempatan dimanfaatkan oleh sekelompok pelaku usaha yang tidak bertanggung
jawab memproduksi atau memperdagangkan kosmetik yang tidak memenuhi
persyaratan. Sasaran utamanya adalah kaum wanita yang ingin mendapatkan
hasil yang cepat dan maksimal. Mereka akan mudah sekali tertarik untuk
membeli produk kosmetik dengan harga yang murah dan cepat terlihat hasilnya.
Hal tersebut acapkali membuat kedudukan konsumen menjadi tidak seimbang
dalam posisi yang lemah karena para konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis
untuk mendapatkan keuntungan sebesarnya tanpa memperhatikan hak-hak
konsumen, seperti tidak memberikan penjelasan yang benar tentang produk
tersebut.
Berbagai cara juga dilakukan oleh pelaku usaha untuk memasarkan produk
mereka, salah satu contohnya adalah dengan mencantumkan bahwa produk
tersebut buatan luar negeri yang di impor langsung ke Indonesia, berasal dari
racikan dokter ternama yang dijamin kualitas dan keamanannya.4 Termasuk
3Suyani Wati Napitulu. “Peran Balai Pengawas Obat dan Makanan Dalam Mewujudkan
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Kosmetik Yang Berbahaya Di Batam.”
4Gunawan Widjaja, dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama,2000), h.12
3
menggunakan nama public figure ternama sebagai merek produk kosmetik
tersebut seperti peredaran kosmetik merek cream Syahrini.
Cream Syahrini adalah suatu produk kosmetik berbahaya yang penjualannya
marak dilakukan melalui media online.5 Para penjual menjual mengelabui para
kosumennya dengan berbagai cara salah satunya adalah mengatakan bahwa
produk tersebut adalah produk yang diracik dari dokter-dokter ternama yang
sudah beredar dikalangan selebriti dan juga menjadi salah satu produk kosmetik
yang di rekomendasikan pada klinik-klinik kecantikan bahkan penjual produk
tersebut mengatakan bahwa Cream Syahrini dibuat dari bahan-bahan herbal yang
telah di uji di Balai Kimia dan kemasan yang memiliki surat edar perdagangan
dari Departermen Industri dan Perdagangan sehingga produk tersebut aman
dipakai dalam jangka panjang. Selain itu para penjual juga menjanjikan bahwa
konsumen dapat merasakan efek positif dalam pengguaan produk tersebut
dengan rentan waktu yang singkat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, konsumen memiliki hak-hak sebagaimana yang telah di atur dalam
Pasal 4 salah satunya yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa selain itu pelaku usaha bertanggung
jawab memenuhi kewajibannya dengan memberikan informasi yang benar, jelas
5Ais. “Krim Pemutih Syahrini Berbahaya”. Artikel diakses pada 1 Mei 2016 dari
http://showbiz.liputan6.com/ready/412829/krim-pemutih-syahrini-berbahaya
4
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa tersebut serta
memberikan penjelasan cara penggunaan dan pemeliharaan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis menganggap
hak-hak konsumen harus dilindungi terhadap penggunaan dan peredaran produk
kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan dan standar yang telah ditetapkan.
Untuk permasalahan tersebut maka penulis tertarik membuat penelitian dan hasil
penelitian dituangkan dalam judul: PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM PEREDARAN PRODUK KOSMETIK BERBAHAYA CREAM
SYAHRINI
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana kesadaran dan kepatuhan hukum pelaku usaha kosmetik
terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen ?
2. Bagaimana kesadaran akan hak-hak para konsumen yang sebagaimana
dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
3. Apa akibatnya jika produk kosmetik yang mengandung zat berbahaya
tersebut di konsumsi konsumen?
4. Bagaimana cara agar terhindar dari transaski jual beli kosmetik yang
mengandung zat berbahaya?
5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan permasalahan yang peneliti akan teliti
maka penelitian ini hanya difokuskan dengan menghubungkan
permasalahan perlindungan konsumen dalam peredaran produk kosmetik
berbahaya cream Syahrini dengan meninjau Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang untuk selanjutnya dalam
penulisan ini ditulis dengan UUPK.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah dengan merinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Faktor-faktor apa saja yang mendukung peredaran kosmetik
berbahaya cream Syahrini ?
b. Bagaimana efektifitas undang-undang perlindungan konsumen ?
c. Bagaimana perlindungan kosumen terhadap peredaran kosmetik
berbahaya yang dilakukan BPOM ?
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
6
a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung peredaran
kosmetik berbahaya cream SyahriniUntuk mengetahui faktor-faktor yang
mendukung peredaran kosmetik berbahaya cream Syahrini
b. Untuk mengetahui efektifitas undang-undang perlindungan konsumen
c. Untuk mengetahui perlindungan kosumen terhadap peredaran kosmetik
berbahaya khususnya terhadap cream Syahrini yang dilakukan BPOM
2. Manfaat Penulisan
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya hukum
perlindungan konsumen pada khususnya sertra dapat menambah bahan
referensi dibidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis
dimasa yang akan datang.
b. Secara Praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi penegak hukum yang
ingin memahami lebih jauh dalam penyelesaian permasalahan peredaran
produk kosmetik berbahaya yang mencantumkan nama public figure. Selain
itu dapat digunakan sebagai tambahan pemikiran dalam bentuk data
sekunder terhadap permasalahan yang sama.
E. Review Terhadap Hasil Penelitian Terkait
Untuk menunjang penelitian ini penulis meninjau beberapa skripsi tentang
perlindungan konsumen secara umum. Beberapa hasil penelitian ini relevansi
7
dengan penelitian ini dan dapat dijadilan sebagai bahan pertimbangan maupun
perbandingan dalam proses penulisan.
1. Astaha Zianatul Mafiah (2010) dengan Judul Tinjauan Sosiologis Hukum
Islam Terhadap Jual Beli Kosmetik Yang Mengandung Zat Berbahaya
Pada penulisan penelitian ini, penulis memaparkan proses dan alasan-alasan
penjual dan pembeli melakukan praktik jual beli kosmetik berbahaya di Pasar
Beringharjo, dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum Islam.
Penelitian ini memberikan gambaran parktek tejadinya jual beli kosmetik yang
berbahaya dan juga menjelaskan factor-faktor yang menjadi penyebab penjual
dan pembeli melakukan tansaksi jual beli tersebut dengan perspektif Sosiologi
Hukum Islam.
Pada penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian field
research yaitu penulis akan terjun langsung kelapanagan untuk meneliti dan
tekhnik yang pengumpulan data menggunakan interview, observasi, kepustakaan
dan analisis data. Hasil dari penelitian ini adalah ketidak tahuan hukum para
pelaku usaha untuk tidak memperjualkan kosmetik berbahaya adalah penyebab
utama kosmetik berbahaya tersebut marak diperjual belikan, selain itu konsumen
juga tidak menyadari atau mengetahui hak-haknya karena tidak adanya
8
pengembangan pembahasan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun tokoh
masyarakat setempat.6
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang penulis tulis adalah
penelitian yang penulis tulis memfokuskan pada faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan konsumen membeli produk kosmetik berbahaya khususnya cream
Syahrini, selain itu penulis meninjau bagaimana efektifitas undang-undang
perlindungan konsumen dalam melakukan perlindungan terhadap konsumen baik
berdasarkan peraturan dan sistem pengawasan yang dilakukan BPOM.
2. Anastasia Marisa R Hutabarat (2011 dengan Judul Perlindungan
Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Import Tanpa Izin Edar Dari
Badan POM Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia
Pada penulisan penelitian ini, penulis memaparkan ketentuan tentang
pemasukan kosmetik yang diatur dalam Keputusan kepada Badan POM tentang
Pengawasan Pemasukan Kosmetik. Penulis memfokuskan penelitian pada
aturan-aturan hukum apa saja yang mengatur perlindungan konsumen terhadap
produk kosmetik import serta pelaku mana saja yang dapat dimintai pertanggung
jawaban atas praktek jual beli kosmetik import. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap
6Mafiah, Astaha Zianatul, “Tinjauan Sosiologis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Kosmetik
Yang Mengandung Zat Berbahaya.” Skripsi S1 Fakutas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010
9
aturan-aturan hukum tertulis dengan menggunakan studi kepustakaan dan
wawancara.
Hasil dari penelitian ini adalah dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak ada peraturan secara eksplisit mengenai
kosmetik impor. Namun dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat digunakan untuk menjerat
atau memberikan konsekwensi hukum terhadap pelaku usaha yang
memperdagangkan kosmetik tanpa memiliki izin edar. Agar kepentingan
konsumen dapat terlindungi.7
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang penulis tulis adalah
penulis memfokuskan hal-hal apa saja yang dilakukan BPOM dalam melakukan
upaya perlindungan terhadap konsumen sebagai salah sistem pengawasan
sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang perlindungan konsumen.
F. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan konseptual akan diuraikan beberapa konsep-konsep
yang terkait terhadap beberapa istilah yang sering digunakan dalam penelitian
ini, antara lain yaitu:
a. Kosmetik
7Hutabarat, Anastasia Marisa R, “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Kosmetik
Import Tanpa Izin Edar Dari Badan POM Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen Di
Indonesia” Sripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
10
Kosmetik berasal dari bahasa Inggris Cosmetic yang artinya “ alat
kecantikan wanita”. Dalam bahasa Arab modern diistilahkan
dengan Alatuj tajmiil, atau sarana mempercantik diri. Definisi lebih
rincinya menurut badan BPOM ( Badan Pangan, Obat dan Makanan),
Kosmetika adalah panduan bahan yang siap untuk digunakan pada
bagian luar badan ( epidermis, rambut, kuku, dan organ kelamin luar),
gigi dan ronggga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah
penampilan supaya tetap dalam keadaan baik. Dalam skripsi ini kosmetik yang
dimaksud adalah kosmetik yang digunakan untuk perawatan kulit seperti sabun
pembersih wajah, toner, krim yang digunakan pada pagi dan malam hari
sebagaimana contoh produk yang marak seperti produk kosmetik cream
Syahrini.
b. Konsumen
Kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau bahasa
belanda yaitu consument/konsument8. Dalam kamus bahasa inggris Indonesia,
kata konsumen diartikan sebagai pemakai atau konsumen.9 Sedangkan dalam
KBBI, kata konsumen diartikan sebagai:
a) Pemakai barang hasil produksi
8Az. Nasution ,Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan II, (Jakarta:
Diadit Media, 2006), h. 21.
9M.Echols, John, dan Hasan Saidly, Kamus Inggris-Indonesia, Cet.XV, (Jakarta: Gramedia,
1987), h. 142.
11
b) Penerima pesan iklan
c) Pemakai jasa10
Menurut Az. Nasution, konsumen adalah “setiap orang yang mendapatkan
barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu”11
. Sedangkan dalam kamus
manajemen, kata konsumen didefinisikan dengan “orang atau pihak yang
membeli dan menggunakan barang atau jasa yang disediakan oleh
pihak lain12
. Dalam UUPK juga menjelaskan definisi konsumen yaitu, setiap
orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Dari beberapa pengertian diatas penulis dapat
mengambil sebuah kesimpulan bahwa pengertian konsumen adalah pihak yang
membeli dan menggunakan barang ataupun jasa baik digunakan sendiri ataupun
bersama-sama tanpa diperjual-belikan kembali.
c. Hukum Perlindungan Konsumen adalah seperangkat hukum yang diciptakan
untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen
d. Penjual/Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan didalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), h.590.
11
Az. Nasution, Hukum perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, h.29
12BN. Marbun, Kamus Managemen, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h.141.
12
e. Jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli
didalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual
beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban
untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.13
G. Metode Penelitian
Metode penelitian ini disistematikan dalam suatu format antara lain sebagai
berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian yuridis
normatif. Dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat tentang
sebuah peristiwa yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini juga
dilakukan dan ditunjukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-
bahan lain, serta menelaah peraturan-peraturan yang terkait dengan
penulisan penelitian ini. Sedangkan sifat dari penelitian yang digunakan
penulis adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian
yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek atau obyek pada saat
sekarang berdasarkan fakta yang nampak.
2. Pendekatan Penelitian
13
Salim, H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h. 49.
13
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan memperoleh informasi dari berbagai
aspek yang terkait mengenai isu yang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum ini adalah
pendekatan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Data dan Sumber Data
Pengumpulan data merupakan langkah riil yang sangat dibutuhkan
sehubungan dengan referensi yang sesuai dengan objek kajian dalam penelitian
ini. Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data-data mengenai aturan-
aturan penerapan hukuman mati di berbagai negara. Berkaitan dengan hal
tersebut dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga macam bahan pustaka,
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang merupakan bahan hukum yang
mengikat berupa peraturan perundang undangan antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
4) Dan aturan lain yang terkait
14
b. Data Hukum Sekunder
Data hukum sekunder adalah bahan hukum yang berkaitan erat
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk
dalam hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi14
c. Data Non-Hukum (Tersier)
Bahan Non-Hukum adalah baham hukum yang memberikan petunjuk
dan juga menjelaskan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus,
surat kabar dan jurnal serta laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis
dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini.
4. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui penelitian kepustakaan yakni upaya untuk memperoleh data dari
penelusuran literature kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah,
koran, artikel dan sumber lainnya yang sesuai dengan penelitian.
5. Teknik Pengelolaan
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif
adalah dari data yang diedit dan dipilih menurut kategori masing-masing
kemudian dihubungkan satu sama lain atau ditafsirkan dalam usaha mencari
jawaban atas masalah penelitian.
14
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, h.141
15
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun
2012.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab, seperti hal
berikut ini
Bab Pertama, dalam bab ini secara keseluruhan memuat tentang latar
belakang permasalahan yang menguraikan hal-hal yang menjadi dasar
pertimbangan dibuatnya tulisan ini. Dalam bab ini juga dapat dibaca pokok
permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, dalam bab ini memberikan gambaran umum teori-teori tentang
hukum perlindungan konsumen dengan sub-sub bab umumnya seperti pengertian
hukum perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, pihak-
pihak dalam hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen, hak
dan kewajiban pelaku usaha, tahap-tahap transaksi, perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh pelaku usaha, tanggung jawab pelaku usaha dan penyelesaian
sengketa konsumen dan tinjauan penelitian terdahulu.
16
Bab Ketiga, bab ini berisi uraian materi hasil penelitian kepustakaan yang
meliputi: pengertian kosmetik yang lebih terperinci seperti sejarah
perkembangan kosmetik, pengertian kosmetik ilegal, peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang kosmetik serta tinjauan umum mengenai badan
pengawas obat dan makananan.
BAB Keempat, bab ini berisi tentang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang disebutkan dalam perumusan masalah, yang meliputi faktor-faktor
peredaran produk kosmetik berbahaya cream syahrini, efektifitas undang-undang
perlindungan konsumen dan upaya perlindungan konsumen yang dilakukan oleh
BPOM
BAB Kelima, pembahasan diakhiri pada bab ini dengan memuat kesimpulan
dan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang jelas dari
beberapa penjelasan yang telah dipaparkan oleh penulis pada beberapa bagian
sebelumnya.
17
BAB II
TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam ketetapan MPR pada tahun 1993 terdapat suatu arahan mengenai
perlindungan konsumen yaitu melindungi kepentingan konsumen dan juga
produsen, dalam arahan tersebut terdapat dua hal yang harus di perhatikan yaitu
kelompok mayaraka sebagai konsumen dan kelompok masyarakat sebagai
produsen, dimana kepentingan-kepentingan mereka perlu dilindungi.1 Dalam
arahan tersebut terdapat pengertian menganai hukum konsumen dimana hukum
konsumen adalah seperangkat kaidah serta asas-asas yang mengatur hubungan
dan masalah penyediaan dan penggunaan suatu produk baik barang ataupun jasa
anatara penyedia produk dan penggunanya.2
Berdasarkan Pasal 1 Butir 1 UUPK disebutkan bahwa “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi
hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan
harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan
hak konsumen.
1Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2006), h.34
2Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, h.37
18
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk
melindungi dan terpenuhinya hak-hak konsumen. Keberadaan Undang-Undang
perlindungan konsumen sebenarnya mempunyai peran yang strategik bagi
konsumen maupun bagi pembisnis, konsumen akan mendapatkan kejelasan
tentang hak-haknya secara nyata yang ini akan memudahkannya berhubungan
dengan dunia bisnis ketika hak-haknya tidak terpenuhi, dan disisi lain Undang-
Undang tersebut juga akan mengarahkan perilaku pembisnis untuk
memperhatikan hak-hak konsumen dalam pengelolaan bisnisnya termasuk dalam
hal memasarkan produk.3
B. Pihak-Pihak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen
1. Konsumen
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UUPK:
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
kata konsumen berasal dari kata consumer, atau consument yang berarti
orang yang memerlukan, orang yang membelanjakan atau orang yang
menggunakan, pemakai atau pembutuh.4
3Tatik Suryani, Perilaku Konsumen : Implikasi pada Strategi Pemasaran, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2008), Cetakan Pertama, h. 332
4N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Bogor:
Grafika Mardi Yuana, 2005), Cetakan Pertama, h.23
19
Dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu
produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian
konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir
Dari penjelasan tersebut secara tersurat nampaknya hanya menitik beratkan
pada pengertian konsumen sebagai konsumen akhir namun secara tersirat juga
mengandung pengertian konsumen dalam arti luas.Hal tersebut nampak pada
penggunakan kata “pemakai”.
Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan konsumen
untuk mendukung pengertian konsumen akhir, namun sekaligus juga
menunjukkan bahwa barang dan/jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari
suatu transaksi jual beli. Sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan
prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh suatu barang dan
atau jasa tersebut. Dengan arti lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan
pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract)
2. Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah merupakan istilah yuridis dari istilah produsen.5
Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 UUPK:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
5N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, h.24
20
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
RepublikIndonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Pelaku usaha dapat dikelompokan menjadi tiga bagian, menurutIkatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pelaku usaha terbagi-bagi antara lain:
a. Investor adalah pelaku usaha yang menyediakan dana untuk membiayai
suatu kepentingan
b. Produsen adalah pelaku usaha yang memproduksi barang dan ataupun
jasa
c. Distributor adalah pelaku usaha yang mendistribusikan atau
mengedarkan suatu produk barang dan ataupun jasa ke masyarakat luas.
Pengertian pelaku usaha bermakna luas dengan demikian para konsumen
selaku korban terhadap tindakan para pelaku usaha dapat dimudahkan untuk
menuntut pengganti rugian dikarenakan banyak pihak-pihak yang dapat digugat
sehingga para konsumen dimudahkan untuk menentukan kepada siapa tuntutan
pengganti rugian akan di ajukan.6
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Mengacu pada Pasal 4 UUPK, maka hak-hak yang patut diterima konsumen
antara lain adalah :
6Susanti Adi Nugroh, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya , (Jakarta: Kencana, 2008), h.67-68
21
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang
dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain hak-hak yang patut diperoleh oleh konsumen, kemudian diatur pula
kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 5,
yaitu :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
22
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumensecara patut.
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hukum Perlindungan konsumen juga mengatur tentang hak dan kewajiban
bagi para pelaku usaha. Hal ini bertujuan agar para pelaku usaha dapat
menjalankan usahanya dengan baik dan benar agar tercapainya kesejahteraan
baik untuk pihak konsumen dan juga untuk pihak pelaku usaha. Hak dan
kewajiban para pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 antara lain
sebagai berikut:
1. Hak pelaku usaha
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
23
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
2. Kewajiban pelaku usaha
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan cara penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif, yaitu pelaku usaha dilarang membeda-bedakan
d. Konsumen dalam memberikan pelayanan dan mutu pelayanan kepada
konsumen;
e. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
f. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
24
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
h. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasayang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Apabila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku
usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha juga diatur dalam hukum islam yaitu anjuran untuk
berlaku adil. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
۞ ه إ دل هأير للا بانعه ا حسه ال إتهاء وه ههى انقربهى ذي وه ه وه اء عه انفهحشه
ر كه ان وه انبهغ وه ه كى هعظكى ه نهعه رو ك تهره
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan, dia memberikan penjaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S An-Nahl: 90)7
7Departemen Agama Republik Inddonesia, Al- Qur’an dan terjemahannya, (Bandung :
Jumanatul Ali-ART, 2005), h.127
25
Ayat ini menunjukan bahwa masalah keadilan berkaitan secara timbal balik
dengan kegiatan bisnis. Khususnya bisnis yang baik dan etis sehingga terwujudnya
keadilan dalam masyarakat dan terciptanya kelangsungan bisnis yang baik dan etis
sehingga tidak terjadi perselisihan dan perusakan. Sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah:
له انهكى تهأكهىا وه هكى أهيىه تدنىا بانبهاطم به او إنهى بهها وه فهرقا نتهأكهىا انحك ي
ال ثى ان اس أهيىه تى بال أه ه وه ى تهعهه
Artinya: “ Dan janganlah sebagian jamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hhakim, supaya kamu dapat memakan
sebagain dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu Mengetahuinya” (Q.S Al- Baqarah: 188)8
E. Tahap-Tahap Transaksi
Transaksi merupakan suatu proses peralihan kepemilikan atau penikamatan
suatu barang dan atau jasa dari pelaku usaha selaku pihak penyedia barang dan
atau jasa kepada konsumen. Tahap-tahap transaksi konsumen antara lain :
1. Tahap Pratransaksi
Tahap Pratransaksi Adalah tahapan yang terjadi sebelum konsumen
memutuskan untuk membeli dan memakai produk yang ditawarkan oleh
8Departemen Agama Republik Inddonesia, Al- Qur’an dan terjemahannya, h.46
26
pelaku usaha.9 Pada tahap ini, pelaku usaha melakukan penawaran (offer) kepada
konsumen.Penawaran ini dapat dilakukan secara langsung kepada konsumen
(misalnya sales door to door), maupun dengan memanfaatkan berbagai sarana,
seperti brosur, spanduk, ataupun melaui iklan di media cetak dan elektronik.
Dalam proses penawaran ini, pelaku usaha menyediakan informasi yang
diberikan harus dilandasi itikad baik dan tidak disertai dengan kebohongan,
sehingga konsumen tidak merasa diperdaya atau ditipu oleh pelaku usaha. Bila
dikemudian hari terbukti bahwa konsumen membeli karena paksaan, kekhilafan,
atau penipuan, konsumen memiliki hak untuk membatalkan transaksi (Pasal
1321 KUH Perdata).
2. Tahap Transaksi yang Sesungguhnya
Apabila calon konsumen menerima penawaran, maka terjadilah transaksi,
atau menurut bahasa hukum terjadi perjanjian. Syarat-syarat sah terjadinya
perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat perikatan
c. Ada suatu hal tertentu
d. Klausa yang halal
Pada tahap ini para pihak menyepakati apa yang menjadi hak dan kewajiban
masing-masing pihak, pelaku usaha berkewajiban memeperlakukan pihak
9Az. Nasution, Konsumen dan Hukum. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995) h.39
27
konsumen dengan benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu
barang dan atau jasa sesuai standar-standar yang berlaku atau yang diperjanjikan,
member kesempatan kepada pihak konsumen untuk menguji kualitas barang dan
atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan atau garansi terhadap barang
dan atau jasa yang diperoleh pihak konsumen
3. Tahap Purnatransaksi
Tahap ini merupakan realisasi dari tahap transaksi dimana pada tahap
ini konsumen mulai memanfaatkan barang dan atau jasa yang diperoleh dari
transaksi yang telah dilakukan. Pada tahap ini para pihak harus
melaksanakan semua kewajiban yang telah disepakati sebelumnya. Menurut
bahasa hukum, kewajiban yang harus dipenuhi adalah prestasi, dan pihak
yang tidak memenuhi kewajibannya dianggap melakukan wanprestasi.
Dengan adanya wanprestasi, pihak yang telah memenuhi kewajibannya
memiliki hak untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi agar
melakukan prestasinya.
F. Perbuatan –Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 UUPK mengatur secara jelas
perbuatan apa saja yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu larangan dalam
memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan atau
mempromosikan atau mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral atau
lelang dan larangan dalam periklanan.dengan rincian sebagai berikut :
28
1. Larangan dalam memproduksi/memperdagangkan
a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
3) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurutukuran yang sebenarnya;
4) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengelolaan,
data, mode atau penggunaan tertentu sebagaima dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
6) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
7) Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan atas barang tersebut.
29
8) Tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal sebagai pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label.
9) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, efek samping, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuang harus
dipasang.
10) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar
2. Larangan dalam menawarkan/mempromosikan/mengiklankan
a. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksi, mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
1) Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu
30
2) Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru, barang dan/atau jasa
tertentu telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu.
3) Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi.
4) Barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
5) Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
6) Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
7) Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
8) Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
9) Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang
lengkap;
10) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
b. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
1) Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
2) Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
3) Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;
31
4) Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
5) Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
c. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah
tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya
sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau
diiklankan.
d. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau
memberikan tidak sesuai sebagaimana yang dijanjikan.
e. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat,
obat tradisional, sumplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain.
f. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
1) Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
2) Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
3) Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
4) Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
32
g. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan
dengancara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik
fisik maupun psikisterhadap konsumen.
h. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang
untuk:
1) Tidak menepati pesanan dan/atau kesempatan waktu penyelesaian sesuai
dengan yang dijanjikan.
2) Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atauprestasi.
3. Larangan dalam penjualan secara obral/lelang
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau
lelang,dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu.
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak
mengandung cacat tersembunyi.
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untuk menjual barang lain.
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang
cukup dengan maksud menjual barang yang lain. Yang dimaksud
dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang
memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.
33
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah
cukup dengan maksud menjual jasa yang lain.
f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan
obral.
4. Larangan dalam periklanan
a. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
1) Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan
dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan
barang dan/atau jasa.
2) Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa.
3) Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
dan/atau jasa.
4) Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau
jasa.
5) Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang
berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
6) Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.
b. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah
melanggarketentuan pada ayat (1).
34
Pada dasarnya dalam hukum Islam sendiri juga telah memerintahkan para
pelaku usaha untuk secara ketat berlaku adil dan lurus dalam semua transaksi
bisnisnya.10
10
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, (pustaka, Al-Kusar, 2011),h.103
35
BAB III
Profil Kasus Dan Pengaturannya Serta Fungsi Pengawasan Badan POM
Terhadap Kosmetik Di Indonesia
A. Posisi Kasus
Pada pertengahan tahun 2012 diketahui beredar sebuah produk kosmetik
yang menggunakan nama public figure Syahrini sebagai sebuah merek.Produk
tersebut menawaekan beberapa manfaat, antara lain:1
1. Membuat wajah menjadi lebih bersih putih dan merah merona
2. Mengecilkan pori-pori wajah
3. Mengencangkan kulit wajah
4. Mengangkat sel kulot mati yang bisa membuat wajah terlihat kusam
5. Menghilangkan jerawat yang mengganggu penampilan untuk terlihat
lebih cantik
Produk tersebut dijual dengan harga yang relatif murah dengan harga antara
Rp75.000 (tujuh puluh lima ribu rupiah), Rp150.000 (seratus lima puluh ribu
rupiah), hingga Rp250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan janji-janji kulit
pemakainya dapat semulus kulit artis Syahrini membuat para konsumen tanpa
berfikir panjang dan langsung membelinya.2 Untuk meningkatkan penjualan
1Cream Pemutih Syahrini Ternyata Bukan Produk Syahrini.”, Artikel Diakses 1 Mei 2016
dari http://sidomi.com/100640/krim-pemutuh-syahrini-ternyata-bukan-produksyahrini/sidominews
36
produk kosmetik tersebut, para pelaku usaha menggunakan foto-foto artis
Syahrini dalam media iklan. Para pelaku usaha mengeluarkan pernyataan bahwa
produk tersebut adalah produk milik artis Syahrini sebagai produsen utamanya.
Produk tersebut dijualbelikan secara online. Produk cream Syahrini tersebut
terdiri dari berbagai item antara lain: cream pemutih, lotion, sabun, scrub yang
digunakan setiap hari. Produk tersebut tidak memiliki izin edar dari Badan
Kesehatan. Walaupun hasil yang diberikan relatif cepat, namun pemakaian dalam
jangka waktu yang lama, pemakai dapat terancam kesehatannya. Awal
pemakaian produk kosmetik tersebut kulit terlihat lebih putih, sehat dan bebas
jerawat. Setelah pemakaian dihentikan kulit kembali menghitam, jika pemakaian
produk kosmetik tersebut diteruskan kulit semakin berjerawat dan timbul bintik-
bintik hitam.3
B. Tinjauan Umum Mengenai Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan
1. Profil dan Latar Belakang Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Badan POM adalah sebuah
lembaga di Indonesia yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat-
obatan dan makanan di Indonesia. Badan publik yang dibentuk berdasarkan
2“Cream Pemutih Syahrini Ternyata Bukan Produk Syahrini.”, Artikel Diakses 1 Mei 2016
dari http://sidomi.com/100640/krim-pemutuh-syahrini-ternyata-bukan-produksyahrini/sidominews
3Wawancara Pribadi dengan Konsumen Cream Syahrini, Indah; Pengalaman Memakai
Produk Cream Syahrini, Jakarta 5 November 2015
37
Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor
64 Tahun 2005. Pengawasan Obat dan Makanan merupakan bagian integral dari
upaya pembangunan kesehatan di Indonesia. Fungsi dan tugas badan ini menyerupai
fungsi dan tugas untuk mengatur makanan, suplemen makanan, obat-obatan, produk
biofarmasi, transfusi darah, piranti medis untuk terapi dengan radiasi, produk
kedokteran hewan dan kosmetik.
Badan POM didirikan karena Indonesia dianggap memerlukan Sistem
Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu
mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi
keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar
negeri untuk itu dibentuk Badan POM yang memiliki jaringan nasional dan
internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas
profesional yang tinggi hal tersebut dipengaruhi dari kebebasan pasar dan
pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan
menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di lain pihak iklan dan promosi
secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan
seringkali tidak rasional sehingga memungkinkan meningkatnya resiko dengan
implikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi
produk sub standar, rusak atau terkontaminasi dengan bahan berbahaya maka risiko
38
yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.4
2. Visi dan Misi Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan POM mempunyai visi dan misi, visi dari Badan POM adalah Menjadi
Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara
Internasional Untuk Melindungi Masyarakat, sedangkan misi dari Badan POM
antara lain:
a. Melakukan pengawasan Pre-Market dan Post-Market berstandar
Internasional
b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten.
c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di
Berbagai Lini.
d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat
dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.
e. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).
3. Tugas Badan Pengawas Obat dan Makanan
a. Tugas Utama Badan Pengawasn Obat dan Makanan
Sesuai Pasal 67 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, Badan POM
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
4 Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, (Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan, 2006), h.1
39
b. Tugas Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan (Unit Pelaksana
Teknis)
Sesuai Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM No. 14 Tahun 2014, Unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Badan POM mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang
meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat
adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan
atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.5
4. Fungsi Badan Pengawasan Obat dan Makanan
a. Fungsi Utama Badan POM
Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) No. 02001/SK/KBPOM, Badan POM mempunyai fungsi
antara lain sebagai berikut :
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
pengawasan Obat dan Makanan.
b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan
POM.
5Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, h.2
40
d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bindang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah
tangga.
b. Fungsi Balai Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis)
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kepala Badan POM No. 14 Tahun 2014,
Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Badan POM mempunyai fungsi antara
lain sebagai berikut :
1) Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan.
2) Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan
penilaianmutu produk terapetik, narkotika, psikotropika zat adiktif,
obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan
berbahaya.
3) Pelaksanaan pemeriksaanlaboratorium, pengujian dan penilaian mutu
produk secara mikrobiologi.
4) Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi
5) Investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum.
6) Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu
yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
41
7) Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen.
8) Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan.
9) Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan.
10) Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BadanPengawas
Obatdan Makanan, sesuai dengan bidang tugasnya.6
5. Kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Berdasarkan Pasal 69 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, Badan
POM memiliki kewenangan :
a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya.
b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung
pembangunan secara makro.
c. Penetapan sistem informasi di bidangnya.
d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif)
tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran Obat
dan Makanan.
e. Pemberi izin dan pengawasan peredaran Obat serta pengawasan
industri farmasi.
f. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan
pengawasan tanaman Obat.7
6Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, h.2
7Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, h.2
42
6. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Badan POM dalam menjalankan pengawasan yang komperhensif dimulai
dari proses suatu produk sampai dengan produk tersebut beredar di tengah
masyarakat melalui SisPOM melalui tiga sistem, yaitu :
a. Sub-sistem pengawasan Produsen yaitu Sistem pengawasan internal
oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara produksi yang baik atau
good manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari
standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen
bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang
dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap
standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sangsi, baik
administratif maupun pro-justisia.
b. Sub-sistem pengawasan Konsumen yaitu Sistem pengawasan oleh
masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan
peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya
dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh
masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya
masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan
menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat
pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di
satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan
produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan
43
sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dalam
menjaga kualitasnya.
c. Sub-sistem pengawasan Pemerintah/Badan POM yaitu Sistem pengawasan
oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan,
khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi,
pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta
peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap
mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan
kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.8
7. Prinsip Dasar SisPOM
Badan POM memiliki prinsip dasar system pengawasan Obat dan Makanan
yang disebut dengan SisPom, prinsip dasar tersebut anatara lain:
1. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan profesional.
2. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan berbasis bukti-
bukti ilmiah.
3. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus
proses.
4. Berskla nasional atau lintas propinsi, dengan jaringan kerja
internasional
8Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, h.5
44
5. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.
6. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat yang
berkolaborasi dengan jaringan global.
7. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk.9
8. Fungsi Pengawasan Badan POM Terhadap Produksi Dan Peredaran
Kosmetik
Meningkatnya kegiatan produksi serta distribusi pada produk kosmetik
mempunyai implikasi yang cukup luas pada pengendalian serta
pengawasannya.Upaya mengawasan dan pengendalian kosmetik mempunyai
permasalahan-permasalahn yang kompleks dan semakin luas yang merupakan
tanggung jawab pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Peran serta
masyarakat termasuk produsen perlu ditingkatkan demikian pula pengendalian
dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yang meliputi :
1. Pengaturan, regulasi, dan standardisasi
2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan Cara-cara
Produksi yang Baik
3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar
4. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian
laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan
dan penegakan hukum.
9Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, h.5
45
5. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk
6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan
7. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha memiliki tanggung jawab terhadap apa yang
dihasilakan atau diperdagangkan. Ketika terjadi permasalahan terhadap produk
yang dihasilkan berarti produk tersebut cacat yang dapat disebakan kekurang
cermatan dalam proses produksi, tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau
kesalahan yang dilakukan pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar
janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
diatur tentang tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha ketika
terjadi gugatan oleh konsumen akibat produk yang cacat, yaitu:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab member ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Pemberi gantikerugian
dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi.
46
Walaupaun begitu, pemberian ganti rugi tidak menghapuskan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai aadanya unsur kesalahan.
2. Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan
segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pelaku usaha yang bertindak
sebagai importir memiliki tanggung jawab, yaitu:
a. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor
apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
produsen luar negeri;
b. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila
penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
penyedia jasa asing
3. Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan
apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. Pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai contoh, mutu, dan komposis. Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku
usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada
konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
47
5. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan
dalam batas waktu sekurang-kurangnya selama satu tahun berkewajiban
menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
6. Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau
garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari
tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila :
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau di maksudkan
untuk diedarkan;
b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli
atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
D. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen dapat di selesaikan melalui litigasi atau
non litigasi berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa,
sedangkan gugatan yang diajukan sekelompok konsumen (class action),
48
LPKSM, atau pemerintah diajukan kepada peradilan umum (UUPK pasal 46
ayat 2).
1. Penyelesaian di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen (UUPK pasal 47).
Ada dua cara penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, yaitu:
a) Upaya damai oleh para pihak yang bersengketa; Penyelesaian sengketa
secara damai adalah upaya penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah
pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui
pengadilan atau BPSK, dan tidak bertentangan dengan UU tentang
Perlindungan Konsumen.
b) Melalui BPSK dengan mekanisme ADR (Alternative Dispute Resolution)
berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:
350/MPP/Kep/12/2001, yaitu sebagai berikut:
1) Konsiliasi:mempertemukan pihak yang bersengketa dan
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Majelis bertindak pasif
sebagai konsiliator
2) Mediasi:BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan
kepada para pihak. Majelis bertindak aktif sebagai mediator.
3) Arbitrase: para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada BPSK/Majelis
49
2. Penyelesaian di Pengadilan
Masalah penyelesaian sengketa telah di atur secara khusus pada
Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam bab X Pasal 45 sampai
dengan Pasal 48 dimana gugatan pelanggaran para pelaku usaha dapat di
lakukan oleh:
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya;
2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan sama;
3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM);
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait.
E. Sanksi
1. Sanksi Administratif.
a. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 20, Pasal25 dan Pasal 26.
b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak
Rp 200.000.000,00(duaratus juta rupiah).
c. Tata cara penetapan sanksi administratif diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.
50
2. Sanksi Pidana.
a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun atau pidana denda paling banyak
R p 2 . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 , 0 0 ( d u a m i l y a r r u p i a h ) .
b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, Pasal12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat
(1) huruf d dan huruf fdipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap ataukematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
d. Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat
dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
1) Perampasan barang tertentu;
2) Pengumuman keputusan hakim;
3) Pembayaran ganti rugi;
4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugiankonsumen;
5) Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
6) Pencabutan izin usaha
51
BAB IV
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP
KASUS CREAM SYAHRINI
A. Faktor-Faktor Pendorong Konsumen Membeli Produk Kosmetik Bebahaya
Cream Syahrini
Peredaran kosmetik ilegal kini tidak hanya merambah kalangan menengah
kebawah, tapi juga kalangan menengah keatas. Hal tersebut terjadi karena
semakin tingginya tingkat pengetahuan para pelaku usaha yang berusaha untuk
membuat produk kosmetik ilegal yang menyerupai produk kosmetik lainnya.
Melihat pemaparan kasus peredaran kosmetik berbahaya cream Syahrini
sebagaimana telah dijelaskan pada bab tiga maka dapatlah diteliti beberapa
faktor-faktor yang mendorong konsumen membeli kosmetik berbahaya cream
Syahrini, antara lain:
1. Minimnya pengetahuan dan pendidikan konsumen berkaitan
dengan kosmetik ilegal
Bukan hal baru lagi apabila pengetahuan akan pendidikan para
konsumen Indonesia khususnya terhadap kosmetik sangatlah rendah.
Hal ini dipicu oleh beberapa faktor-faktor yang tidak hanya disebabkan
oleh pola pikir konsumen itu sendiri tapi juga tanggung jawab dari
pelaku usaha untuk dapat memberikan pengetahuan kepada konsumen.
52
Berdasarkan Pasal 4 huruf f UUPK menyatakan bahwa hak konsumen
adalah hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. Melihat
ketentuan tersebut, terlihat dua pertentangan. Pertama haak untuk mendapatkan
pembinaan dan pendidikan merupakan salah satu hak dari konsumen. Kedua,
pada praktik dilapangan hak tersebut cenderung dibatasi dengan kewajiban
konsumen untuk selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi.1
Begitu juga dalam hal peredaran kosmetik ilagl yang berkaitan dengan aspek
perlindungan konsume. Konsumen sering kali tidak mengetahui segala sesuatu
yang berkaitan dengan produk kosmetik yang dibelinya. Hanya mendengar
nama Syhrini sebagai publi figure dan janji-janji dari pelaku usaha tanpa berfikir
panjang konsumen langsung membelinya. Tanpa mencek terlebih dahulu
keamanan produk tersebut.
2. Minimnya Pengawasan Dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Sebagai suatu badan yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah untuk
melakukan pengawasan terhadap suatu produk yang terdapat dalam pasar
perdagangan Indonesia sudah semestinya apabila BPOM menjadi institusi yang
menentukan apakah suatu produk dalam hal ini kosmetik tersebut layak atau
tidak untuk dikonsumsi oleh para konsumennya.
1Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika), h.99
53
Namun sering kali dalam prakteknya efektifitas pelaksanaan tugas tersebut
terkesan apa adanya.2 Bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 29 UUPK yang
menyatakan bahwa pihak Pemerintah yang bertanggungjawab atas
penyelenggraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehmya hak dan
dijalankannya kewajiban konsumen dan pelaku usahanya. Dalam rumusan pasal
tersebut jelas bahwa tanggung jawab atas suatu penyelenggaraan yang ditujukan
untuk menjamin hak konsumen ssebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4
UUPK yang dimanifestasikan kedalam bentuk pengawasan merupakan tanggung
jawab Pemerintah yang kemudian didelegasikan kepada BPOM, sehingga
konsekwensi yuridisnya dengan semakin menjamurnya perkembangan dan
peredaran kosmetik ilegal dalam hal ini cream Syhrini di dalam masyarakat
secara tidak langsung menjadi suatu tanggung jawab moral serta hukum dari
Perintah itu sendiri.
3. Harga kosmetik aman dan berkulitas lebih mahal
Bukan hal baru apabila kosmetik aman dan berkualitas jauh lebih mahal bila
dibandingkan dengan kosmetik ilegal. Kebiasaan konsumen yang lebih memilih
kosmetik dengan harga murah tidak dapat dipungkiri mereka beranggapan bahwa
merk dari suatu produk lebih diutamakan dari pada kuantitas harganya, meskipun
produk kosmetik mahal juga tidak menjamin bahwa produk tersebut aman untuk
2Wawancara Pribadi dengan Masduki Nawawi, Efektifitas UUPK terhadap perlindungan
kosmetik illegal : Cream Syahrini, Jakarta 17 Juni 2015.
54
dipakai.3 Dalam hal ini konsumen dituntut unutk bijak dalam memilih suatu
produk untuk dikonsumsi. Hal tersebut dikarenakan para perempuan sering kali
terjebak pada harga-harga produk yang mengiurkan yang membanjiri pasar tanpa
mempedulikan efek samping yang ditimbulkan.4
B. Efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Peredaran
Kosmetik Cream Syahrini Berbahaya
1. Efektifitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tidak mengatur secara rinci mengenai perlindungan konsumen kosmetik,
namun jika di tinjau dari Pasal 8 UUPK permasalah kosmetik ilegal sudah
tercakup didalamnya. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3“Kosmetik Mahal Pasti Lebih Baik, Benarkah?”, artikel ini diakses 17 Juni 2016 pada
www.vemale.com/body-and-mind/cantik/38721-kosmetik-mahal-pasti-lebih-baik-benarkah.html
4“ Ladies, Sekali Lagi Jangan Mudah Tergiur dengan Kosmetik Murah” artikel ini diakse 17
Juni 2016 pada www.life.viva.co.id/news/read/586234-ladies--sekali-lagi-jangan-mudah-tergiur-dengan-komsetik-murah-
55
2. Efektifitas dalam Sistem Pengawasan
Bicara mengenai efektifitas keberadaan UUPK dapat dilihat dari berbagai sisi.
Diantaranya: Pertama,Apakah pasal-pasal dan undang-undang ini benar-benar
dapat dimanfaatkan oleh konsumen untuk melindungi dirinya ?. Kedua, Apakah
kelembagaan yang diamanatkan oleh UUPK telah terbentuk dan berfungsi dengan
benar serta melakukan tugasnya dengan maksimal. Ketiga, Apakah para pelaku
usaha mengindahkan atau menggunakan UUPK menjadi kaidah perilaku dalam
menjalankan usahanya ?, dan masih banyak lagi asipek-aspek yang harus
dicermati dalam mencari tau apakah UUPK efektif mengatasi untuk melindungi
hak-hak konsumen dan para pelaku usaha.5
Jika dikaitkan dalam permasalahan kosmetik ilegal seperti kasus Cream
Syahrini, peran pemerintah sangat besar untuk mengawasi apakah undang-undang
yang dibuat tersebut dapat terealisasi dengan semestinya. Tanggung jawab
pemerintah dalam melindungi konsumen selama ini masih sangat terlihat kurang
efektif, lemah dan tidak tegas.6 Masih banyak konsumen yang dirugikan baik
dalam hal barang maupun jasa. Banyak faktor yang menyebabkan lemahnya
kondisis dan kedudukan jonsumen, salah satunya adalah tingkat pengetahuan
hukum dan kesadaram akan hak dan kewajibannya. Kelemahan tersebut terjadi
karena pendidikan untuk meningkatkan kesadaran konsumen masih dirasa sangat
5Wawancara Pribadi dengan Masduki Nawawi, Efektifitas UUPK terhadap perlindungan
kosmetik illegal : Cream Syahrini, Jakarta 17 Juni 2015.
6Wawancara Pribadi dengan Masduki Nawawi, Efektifitas UUPK terhadap perlindungan
kosmetik illegal : Cream Syahrini, Jakarta 17 Juni 2015.
56
kurang menyentuh konsumen secara luas. Upaya untuk meningkatkan pendidkan bagi
para konsumen harus terus dilaksanakan.
Selanjutnya mengenai persoalan perlindungan konsumen sangat mungkin terkait
dengan adanya perdagangan bebas karena pengaruh globalisasi sera ditunjang dengan
teknologi yang semakin canggih. Produsen mampu mengahasilkan kapasitas
produksinya melebihi batas normal yang dapat memicu persaingan anatar produsen
tidak sehat dan berdampak kepada perlindungan konsumen.
Lembaga yang berwenang menangani kasus tersebut adalah BPOM. BPOM
dapat melakukan pengawasan serta melakukan tindakan hukum yang lebih tegas
kepada pelaku usaha yang mengedarkan produk kosmetik yang mengandung zat-zat
berbahaya berbahaya. Pada saat ini banyak sekali berbagai modus dan bentuk
diberbagai sektor atau tahap perniagaan, baik melalui melalui iklan-iklan ataupun
internet yang sulit dideteksi. Menurut data penelitian YLKI lebih dari 70% (tujuh
puluh persen) penjualan obat dan kosmetik melalui online adalah produk palsu. Ini
berarti UUPK masih banyak diabaikan oleh pihak-pihak pelaku usaha yang ingin
mencari keuntungan besar tanpa memperhatikan apa-apa saja yang menjadi hak
konsumen.7
Dalam mengefektifkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 juga dibutuhkan
peran aktif dari masyarakat seperti melaporkan penjualan-penjualan kosmetik illegal,
tidak mudah tergiur dengan khasiat yang cepat dari produk kosmetik tersebut serta
7Wawancara Pribadi dengan Masduki Nawawi, Efektifitas UUPK terhadap perlindungan
kosmetik illegal : Cream Syahrini, Jakarta 17 Juni 2015.
57
tidak membeli produk-produk illegal tersebut. Sebagai regulator BPOM juga
mempunyai peran penting dalam menegakkan hukum untuk melindungihak-hak
konsumen seperti melakukan pengawasan serta melakukan survey di berbagai
tempat-tempat penjualan kosmetik.
C. Perlindungan Konsumen Yang Dilakukan Oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM)
BPOM dibentuk oleh pemerintah untuk turut berperan aktif dalam
mewujudkan perlindungan konsumen. BPOM ini memiliki tugas dan fungsi,
yaitu:
1. Memberikan Pelayanan Informasi
2. Menerima Pengaduan
3. Mengelola dan meneruskan informasi
4. Memantau proses pemecahan masalah dan menyampaikan hasilnya
BPOM telah menyediakan Umit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK),
yang mana bertugas melayani pengaduan konsumen atau masyarakat tentang
obat, makanan dan minuman, obat tradisional. Kosmetik, alat kesehatan dan
NAPZA, serta bahan-bahan yaang berbahaya. ULPK ini dikoordinatori oleh
sekretaris utama BPOM.
Dalam kasus peredaran cream Syahrini, BPOM melakukan pengawasan
yang dilakukan BPOM adalah Sub Sistem Pengawasan Pemerintah dan Sub
Sistem Pengawasan Konsumen, hal tersebut dikarenakan produk cream Syahrini
58
merupakan produk ilegal yang tidak mendapatkan pedoman atau tata cara
produksi yang baik sebagaimana produk legal pada umumnya.
1. Sub Sistem Pengawasan Pemerintah
Dalam sub sistem pengawasan pemerintah, BPOM membagi kegiatan
pengawasan dalam tujuh kategori, yang diantaranya sebagai berikut :
a. Regulasi, pengawasan yang dilaksanakan oleh BPOM atas peraturan
yang telah ditetaplakn oleh pemerintah yang berkenaan dengan kegiatan
pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintahh dalam ruang lingkup
pengawasan makanan, obat dan komestik yang beredar di masyarakat.
b. Standaarisasi, mengenai ukuran-ukuran yang spesifik tertentu seperti
bentuk, ukuran, dan juga kadar zat yang dipergunakan dalam pemakaian
atau pembuatan makanan, obat dan komestik yang beredar di
masyarakat.
c. Registrasi, setelah proses standarisasi maka tahap registrasi ini hasil dari
produk-produk makanan, obat dan komestik yang telah dibuat diberikan
nomor dan dinyatakan bahwa produk-produk tersebut telah memenuhi
standar dalam pembuatannya.
d. Inspeksi, penyidikan yang dilakukan oleh BPOM mengenai makanan,
obat dan komestik yang telah berdar dimasyarakat. Inspeksi ini
dilakukan secara berkala setiap satu bulan sekali.
59
e. Sampling, kegiatan yang dilakukan oleh BPOM mengenai inspeksi atau
pemeriksaan tersebut ditemukan makanan, obat dan komestik yang dianggap
berbahaya, dibeli dan dipergunakan sebagai contoh dalam uji laboratorium.
f. Public Warning, jika dalam pengujian laboratorium ditemukan hal-hal yang
dapat membahayakan kesehatan, keamanan an keselamatan konsumen, maka
BPOM mengeluarkan dan menyebarkan serta menyampaikan informasi kepada
masyarakat dan Menteri
g. Layanan dan Aduan Konsumen, Layanan aduan konsumen ini dibuat untuk
memberikan pelayanan kepada konsumen beruupa informasi, menerima
pengaduan dan sebagainya agar konsumen merasa aman, nyaman dan selamat
dalam mengonsumsi produk-produk makanan, obat dan komestik.
2. Sub Sistem Pengawasan Konsumen
Kegiatan pengawasan yang dilakukan BPOM dalam mengawasi sub sistem
pengawasan konsumen terbagi menjadi dua, antara lain :
1. Pemberdayaan Konsumen.
Dalam pemberdayaan konsumen ini merupakan hal atau kegiatan
pengawasan BPOM, karena dalam mewujudkan perlindungan hukum
khususnya dalam perlindungan konsumen, masyarakat atau pengguna
barang atau jasalah yang menjadi subjek hukumnya. Dengan
diberlakukannya pengawasan oleh BPOM dalam peberdayaan akan
60
menjadikan masyarakat atau konsumen tersebut menyadari apa yang telah
menjadi hak dan kewajibannya.
2. Edukasi Konsumen
Dalam menindak lanjuti kegiatan pengawasan yang dilakukan BPOM
dalam melakukan pemberdayaan konsumen, edukasi merupakan kegiatan yang
penting dilakukan karena masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat
yang akan berlanjut ke tingkat kesadaran masyarakat atau konsumen untuk
memahami hak dan kewajiban mereka. Pemberian edukasi yang diberikan oleh
BPOM dapat berupa pemberian informasi yang jelas bagi konsumen bukalah
tugas pelaku usaha, BPOM atau pemerintah semata, melainkan juga tugas dari
konsumen untuk mencari informasi yang dianggap relevan dalam mengambil
keputusan untuk penggunaan atau pemanfaatan suatu produk, sehingga
pendidikan tentang perlindungan konsumenmenjadi suatu hal yang harus
dilakukan, tidak hanya memberikan posisi yang kuat pada konsumen untuk
mendapatkan hak-haknya namun juga agr terciptanya aturan main yang lebih
adil bagi semua pihak.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faktor-Faktor Pendorong Konsumen Membeli Produk Kosmetik Bebahaya
Cream Syahrini, antara lain: Pertama, minimnya pengetahuan dan
pendidikan konsumen berkaitan dengan kosmetik ilegal. Kedua, minimnya
Pengawasan Dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ketiga,
Harga kosmetik aman dan berkulitas lebih mahal.
2. Efektifitas undang-undang perlindungan konsumen dalam peredaran
kosmetik cream Syahrini, dilihatt dari dua aspek. Pertama, Efektifitas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan yang kedua mengenai efektifitas
dalam sistem pengawasan. Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara rinci mengenai perlindungan
konsumen kosmetik, namun jika di tinjau dari Pasal 8 UUPK permasalah
kosmetik ilegal sudah tercakup didalamnya. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan sedangkan dalam sistem
pengawasan juga
61
62
sangat membutuhkan peran aktif dari masyarakat seperti melaporkan
penjualan-penjualan kosmetik illegal, tidak mudah tergiur dengan khasiat
yang cepat dari produk kosmetik tersebut serta tidak membeli produk-
produk illegal tersebut.
3. Dalam kasus peredaran cream Syahrini, BPOM melakukan pengawasan
yang dilakukan BPOM adalah Sub Sistem Pengawasan Pemerintah dan Sub
Sistem Pengawasan Konsumen. Sub Sistem Pengawasan Pemerintah,
membagi kegiatan pengawasannya dalam tujuh kategori, diantaranya:
regulasi, standaarisasi, registrasi, inspeksi, sampling, Public Warning, serta
Layanan dan Aduan Konsumen, sedangkan Sub Sistem Pengawasan
Konsumen terbagi menjadi dua, yaitu pemberdayaan konsumen dan edukasi
konsumen
B. Saran
1. Saran untuk masyarakat
a. Ditegaskan untuk tidak menggunakan kosmetika mengandung bahan
berbahaya karena dapat menyebabkan risiko bagi kesehatan bahkan
dapat berakibat fatal
b. Masyarakat diharapkan lebih selektif dalam membeli kosmetik
mengetahui dengan benar-benar teliti bahan-bahan apa saja yang
terkandung dalamm kosmetik tersebut, badan usaha produksi kosmetik
tersebut serta tidak mudah terbuai dengan iklan-iklan
63
yang menjanjikan hasil maksimal dalam penggunaan kosmetik dengan
waktu yang singkat.
c. Masyarakat diharapkan melaporkan kepada Badan POM atau Pemda
setempat apabila diduga adanya produksi dan peredaran kosmetika secara
ilegal kepada Contact Center HALOBPOM 1500533, SMS 081219999533,
email [email protected], atau Unit Layanan Pengaduan Konsumen
(ULPK) Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia.8
2. Saran untuk pelaku usaha, dalam melakukan kegiatan usahanya baik dalam
kegiatan pemasaran ataupun penjualan produk harus memperhatikan hak-hak
konsumendan juga kewajibannya sebagai pelaku usaha khususnya yang telah di
atur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, salah satunya memberikan
informasi yang benar dan jelas berkaitan dengan produk barang dan atau jasa
yang di jual sehingga terciptanya hubungan antara konsumen dengan pelaku
usaha yang berkelanjutan.
3. Saran untuk Bapan Pengawasan Obat dan Makana (BPOM), perlu di adakannya
penyuluhan dan pengawasan yang lebih mengenai adanya undang-undang
perlindungan konsumen karena hingga saat ini masih banyak anggota masyarakat
tidak mengetahui adanya undang-undang perlindungan konsumen, sehingga
8
Badan Pengawas Obat dan Makanan ,”Peringatan Publik Badan POM Penggunaan
Kosmetik illegal dan Berbahaya”. Artikel diakses pada 15 Desember 2015 dari
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/pers/246/Kosmetika-Mengandung-Bahan-
Berbahaya.html
64
masyarakat dapat mengetahui upaya hukum apa saja yang dapat di lakukan apa bila
hak-hak mereka telah di langgar oleh para paelaku usaha,
LAMPIRAN 2
Daftar Pertanyaan dan Jawaban Wawancara
1. Bagaimana efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen terkait
kasus cream Syahrini ?
Undang-undang adalah produk hukum, jika dikaitkan dalam
permasalahan pada kosmetik lembaga yang berwenang menangani kasus
tersebut adalah Badan POM, seharusnya Badan POM melakukan pengawasan
lebih ketat lagi atau melakukan tindakan hukum yang lebih tegas pada
pelaku usaha yang mengedarkan kosmetik illegal. Memang pada saat ini
banyak modus-modus baru pelaku usaha dalam pengedarkan barang
dagangannya biasanya melalui iklan-iklan ataupun internet yang sulit
dideteksi.
Jika produk-produk online tersebut terbukti tidak terdaftar pada Badan
Pom seharusnya Badan POM bersinergi dengan KOMINFO atau
BARESKRIM untuk menutup penjualan melalui online khususnya penjualn
kosmetik dan obat-obatan karena sangat marak terjadi. Menurut data lebih
dari 70% (tujuh puluh persen) penjualan online yang menjual obat dan
kosmetik adalah produk palsu.
Saya kira solusinya mudah jika memang ada komitmen pada Badan
POM untuk menegakkan aturan dan memberikan perlindungan kepada
konsumen dengan menutup media-media online tersebut.
2. Bagaimana faktor pendukung dan penghambat dalam
mengefektivitasnya Undang-undang Perlindungan Konsumen ?
Sebagai regulator Badan POM mempunyai peran penting dalam
menegakkan hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, karena setiap
produk sudah ada lembaga yang mengawasi. Jika urusannya berurusan dengan
obat dan kosmetik maka yang bertanggung jawab adalah Badan POM.Badan
POM mempunyai institusi-institusi dibawahnya didaerah daerah ada Balai
POM di Jakarta sendiri ada Balai Besar POM. Didaerah-daerah ada Balai
POM yang dapat melakukan pengawasan dan tindakan hukum terhadap
perlaku usaha, produsen-produsen yang bermasalah.
Mengenai kosmetik illegal sebenarnya ranah polisi langsung, jika
terdaftar di Badan POM maka ranah POM, Badan Pom bisa bersinergi
dengan kepolisian terhadap produsen yang yang mengedarkan kosmetik
illegal. Memang kosmetik illegal sangat marak sekali bukan hanya dengan
merk cream Syahrini saja yang diperjualkan melalui online ataupun racikan-
racikan doktek yang dijual melaui door to door, acara-acara arisan ibu rumah
tangga dan untuk mengelabui konsumen itu penjual menjualnya dengan harga
yang mahal untuk meyakinkan konsumen jika barang yang digunakan adalah
barang asli.
Ditempat saya juga banyak yang beredar seperti itu dan melaui istri
saya, saya menyampaikan kepada ibu-ibu rumah tangga lebih luas jangan beli
produk jika tidak tercantum Badan POM. Jika berdampak negatif tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban kecuali ada peringatan dari kepolisian tapi jika
produk bermasalah tersebut terdapat pada Badan POM, Badan POM dapat
langsung memprosesnya, mulai dari teguran tertulis sampai pencabutan izin
operasi.
Maraknya penjualan cream-cream ini sebenarnya adalah dampak dari
iklan-iklan yang menggambarkann wanita yang cantik adalah wanita yang
memiliki kulit yang putih sehingga wanita-wanita lain ingin memiliki kulit
yang putih sebagaimana yang digambarkan pada iklan-iklan tersebut.
Sehingga memacu para pelaku usaha menciptaka obat-obat yang mujarab dan
cepat memutihkan kulit termasuk dengan cara mencampurkan zat-zat
berbahaya seperti mercury dan hidroquinon.
Seperti yang pernah ditemui kasus YLKI, YLKI langsung bersinergi
dengan Badan POM untuk menangani kosmetik tersebut. YLKI hanya dapat
bergerak jika ada laporan dari konsumen asal produk tersebut produl legal
sedangkan Badan POM harus berperan lebih aktif. Badan POM dapat bersifat
aktif seperti mengadvokasi pembentukan peraturan. Dahulu pemerintah belum
melarang menggunaan bahan mercury namun setelah YLKI melakukan
penelitian dan mengandvokasi aturan tersebut sekarang zat-zat berbahaya
tersebut tidak boleh sedikitpun ada pada produk kosmetik dan YLKI juga
melakukan penyuluhan dan pendidikan konsumen sebatas kemampuan yang
dapat dilakukann oleh YLKI.
Saya rasa Badan POM masih kurang konperhensif dalam menangani
kasus peredaran produk-produk bermasalah. Yang memang harus berangkat
dari laporan masyarakat atau Badan POM harus melakukan survey seperti di
took-toko obat dan kosmetik atau bahkan di apotek.