perlawanan teuku umar terhadap penjajahan belanda...
TRANSCRIPT
PERLAWANAN TEUKU UMAR TERHADAP PENJAJAHAN BELANDA
DI ACEH (1873 – 1899)
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
M. Fikri Fauzan
NIM: 1113022000036
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M
i
ii
PERLAWANAN TEUKU UMAR TERHADAP PENJAJAHAN
BELANDA DI ACEH (1873 – 1899)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
M. Fikri Fauzan
NIM. 1113022000036
Pembimbing
Drs. Tarmizi Idris, M.A.
NIP. 19601212990031003
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Ayahanda Sugiman
dan
Ibunda Siti Sanariah
v
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “ Perlawanan Teuku Umar Terhadap Penjajahan
Belanda di Aceh (1873-1899)” ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang Teuku
Umar melakukan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda di Aceh. Selain
itu skripsi ini bertujuan untuk mengetahui usaha dan strategi Teuku Umar dalam
perjuangnya melawan Belanda yang mampu merebut dan mempertahankan tanah
Aceh. Penulisan skripsi ini menggunakan metode metode historis atau metode
penelitian sejarah dengan melalui proses mengkaji dan menganalisis data-data baik
dari buku maupun peninggalan suatu jejak sejarah. Dalam metode penelitian sejarah,
ada empat tahap yang harus dilalui, yaitu Heuristik, Verifikasi, Interpretasi, dan
Historiografi. Hasil dari penelitian skripsi ini menyimpulkan bahwa upaya petama
yang dilakukan oleh Teuku Umar dalam karirnya selama melawan Belanda adalah
dengan merebut kembali kampung halamannya. Saat banyak dari Uleebalang yang
menyerah kepada belanda, Teuku Umar masih berdiri tegak untuk melawan belanda.
Banyak strategi yang dilakukan Teuku Umar selama perlawanannya. Salah satunya
adalah dengan berpura-pura menyerah kepada Belanda. Akibat dari strateginya
inilah tidak sedikit rakyat Aceh yang membencinya. Alasannya adalah karena rakyat
Aceh tidak mengetahui bahwa itu semata-mata hanyalah strategi untuk mengambil
keuntungan semata. Dengan demikian banyak peristiwa sejarah perjuangan Teuku
Umar yang dapat difahami dan diketahui yang mempunyai pengaruh besar bagi
daerah Aceh di mana masih bisa dirasakan hingga saat ini.
Kata kuncinya : Perlawanan, Strategi, Belanda.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah berkat Rahmat dan Karunia Allah, skripsi yang berjudul
“Perlawanan Teuku Umar Terhadap Penjajahan Belanda di Aceh (1873-
1899)” dapat diselesaikan dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat
untuk menyelesaikan program Strata I (SI) pada Program Studi Sejarah Peradaban
Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Sang Revolusioner sejati,
Nabi Muhammad SAW, keluarga serta para sahabat yang telah membawa
perubahan dengan menghadirkan peradaban Islam rahmatalilalamin.
Penelitian ini penting bagi penulis untuk dilakukan, sebagai wujud rasa
tanggung jawab akademik untuk mengembangkan kajian ilmu-ilmu Islam sekaligus
sebagai rasa tanggung jawab social dan pengabdian kepada masyarakat. Penulis
sangat menyadari, dalam menyelesaikan penelitian ini sudah barang tentu penulis
banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kepada mereka penulis
sampaikan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dengan iringan do’a semoga
mendapat balasan dari Allah dan dicatat sebagai amal sholeh. Amin.
Namun secara khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc. M.A. selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Saiful Umam M.A. Ph.D. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
3. Dr. Awalia Rahma M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora.
4. Drs. Tarmizi Idris M.A. selaku pembimbing, sebab ditengah-tengah
kesibukannya telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan
mendorong penulisan skripsi ini.
5. Kepada para dosen Fakultas Adab dan Huamniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih karena telah
memberikan kontribusi ilmiahnya dan mengantarkan penulis pada jenjang
pendidikan Strata I (SI) hingga selesai.
vii
6. Kepada pimpinan dan segenap karyawan perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah yang telah memberikan bantuan dan kesempatan memanfaatkan
buku-buku dan fasilitas lain yang diperlukan dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
7. Kepada orang tua penulis sampaikan terima kasih beserta do’a kepada
Ayahanda Sugiman dan Ibunda Sanariah yang selalu memberikan bimbingan,
motivasi, dan do’a semenjak penulis masih kecil agar kelak menjadi orang
yang bermanfaat. Demikian pula, ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
penulis sampaikan kepada kakanda yang memberi semangat dan motivasi
dalam penulisan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman satu kelas, khususnya kepada Burhanudin, Mulyadi,
Hendi Nurahman, Atiqullah, dan Lukman Hadi, serta teman seperantauan
Amei Riandi Oktarianto yang mensuport penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
9. Kepada teman-teman Creator Crew, Faisal Farras, Ibnu Aldent AlGhifary,
Fahrezy Herlambang, Aziz Sudrajat, dan Haris Fadillah penulis berterimakasih
atas bantuan dan dorongannya kepada penulis demi menyelesaiakan penulisan
skripsi ini.
Untuk itu, kepada semuanya penulis berdo’a semoga amal tersebut
dicatat sebagai amal sholeh dan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan
penulis senantiasa berharap semoga penelitian ini berguna dan bermanfaat.
Amin.
Jakarta, 27 April 2020
M. Fikri Fauzan
NIM: 1113022000036
viii
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN ................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................ v
KATA PENGANTAR ...................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Permasalahan .............................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................. 6
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7
E. Kerangka Teori ........................................................................... 8
F. Metode penelitian ....................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 10
BAB II MASYARAKAT ACEH MASA PERANG
A. Kerajaan Aceh ............................................................................. 12
B. Masyarakat Aceh ......................................................................... 21
C. Aceh Sebelum Kedatangan Kolonial Belanda ............................. 22
BAB III BIOGRAFI TEUKU UMAR
A. Asal Usul Teuku Umar ................................................................ 24
B. Teuku Umar ................................................................................ 26
C. Menikah Dengan Cut Nyak Dien ................................................ 28
D. Kedatangan Belanda ke Aceh ..................................................... 30
BAB IV TEUKU UMAR MELAWAN BELANDA
ix
A. Perang Aceh Babak Kedua dan Ketiga ........................................ 34
B. Siasat Teuku Umar Dalam Perang Aceh ...................................... 40
C. Akhir dari Perjuangan Teuku Umar ............................................. 43
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 48
B. Saran-Saran ................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 51
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................. 54
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh merupakan salah satu provinsi yang berada di Indonesia, yang terletak
di ujung pulau Sumatera. Aceh berbatasan dengan samudera Hidia di sebelah barat,
selat malaka di sebelah timur, dan teluk bengala di sebelah utara. Dulu kerajaan
Aceh memiliki wilayah yang luas dan kuat yang terdiri dari beberapa daerah yang
mereka taklukan sendiri, seperti Singkel, Pidie, Gayo dan lain sebagainya. Daerah-
daerah taklukan yang menjadi bagian dari kerajaan Aceh tersebut mendapat
semacam surat pengesahan kekuasaan yang diberikan oleh Sultan dan dalam surat
tersebut diberi Sikureueng atau stempel kesultanan Aceh.1 Setidaknya ada tiga
golongan elit dalam masyarakat Aceh yang dibagi oleh Snouck Hurgronje, yaitu
Sultan, Uleebalang, dan Ulama. Sultan dan Uleebalang sendiri berperan dalam
kehidupan adat di dalam masyarakat Aceh. Lalu Ulama sendiri berperan dalam
urusan keagamaan dalam masyarakat Aceh.
Tujuan awal Belanda datang ke Aceh adalah didasari alasan ekonomi atau
kepentingan bisnis. Belanda datang untuk membeli rempah-rempah langsung dari
daerah Aceh. Dan alasan lain adalah karena Belanda ingin merebut dominasi
dagang Spanyol dan Portugis di Nusantara.2 Alasan Belanda Ingin merebut
dominasi dari Spanyol dan Portugis adalah karena Belanda khawatir kepentingan
bisnisnya akan terganggu dengan adanya dominasi dua negara tersebut.Selain
merasa terancam karena dominasi Portugis di Malaka, Belanda juga merasa
terancam oleh Inggris yang selalu diprioritaskan oleh Sultan. Hal ini didasari dari
1Reid, Anthony, Sumatera : Revolusidan Elit Tradisional,(Jakarta : Komunitas Bambu,
2012),h. 18
2M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), h. 65
2
kedekatan antara Sultan Aceh dengan Ratu Elizabet I. Alasan lain kenapa pihak
Aceh lebih memilih berkerjasama dengan Inggris adalah karena pihak Inggris juga
menawarkan keuntungan yang besar kepada Sultan Aceh. Ditambah lagi Belanda
yang ketahuan membantu Johor saat diserang oleh pasukan Sultan Iskandar Muda,
membuat Aceh lebih memilih Inggris untuk diajak berkerjasama.
Alasan Aceh diperebutkan dan bahkan ingin dikuasai oleh negara-negara
Eropa adalah karena Aceh merupakan tempat yang strategis untuk berdagang.
Ditambah dengan dibukanya Terusan Suez yang memungkinkan negara-negara
Eropa untuk berlayar menuju Asia tanpa harus mengelilingi Afrika. Aceh juga
memiliki potensi dan kekayaan alam yang membuatnya menjadi pengekspor
rempah-rempah ke Jeddah. Selain Jeddah, Aceh juga mengekspor rempah-rempah,
emas, dan berbagai macam perhiasan ke Laut Merah dalam jumlah yang besar.3
Belanda pertama kali dating ke aceh pada tanggal 21 juni 1599. Akan tetapi
kedatangan tersebut tidak memberikan kesan yang baik bagi warga pribumi Aceh.
Dengan sikap yang tidak sopan dan tidak beradab, masyarakat Aceh merasa
tindakan Belanda ini sudah melewati batas. Awak-awak kapal Belanda merampas
perhiasan masyarakat Aceh dan bahkan menenggelamkan kapal-kapal milik Aceh.
Frederick de Houtman juga berbohong kepada sultan Aceh saat ditanya mengenai
letak negara Belanda. Frederick mengklaim bahwa Belanda merupakan sebuah
negara yang besar dan hampir mencakup seluruh dataran Eropa. Sultan Aceh yang
tidak begitu percaya dengan pernyataan Frederick, bertanya kepada seorang
pedagang Portugis. Pedagang Portugis tersebut mengatakan bahwa itu semua
bohong, Belanda merupakan sebuah negara kecil yang baru merdeka. Sultan yang
mengetahui telah dibohongi menjadi geram dan memerintahkan untuk mencari dan
memenjarakan Frederick de Houtman.
Pada tahun 1601, Belanda dan Aceh menjalin suatu hubungan diplomatik
dan perdagangan Aceh-Belanda. Kerja sama ini didasari oleh semakin kuatnya
3Amirul Hadi, Aceh : Sejarah, Buadaya, dan Tradisi, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010),h. 28
3
Portugis di Malaka. Baik Aceh maupun Belanda mempunyai tujuan yang sama
yaitu menyingkirkan Portugis dari kawasan Malaka.4
Awal mula penyebab dari terjadinya perang antara Aceh dengan Belanda
adalah karena terbentuknya Traktat Sumatera yang berisi tentang Inggris yang
memberikan Belanda kebebasan untuk bertindak apa saja terhadap Aceh.5 Belanda
yang telah mendapatkan persetujuan Inggris, mengirim ultimatum untuk Aceh agar
tunduk kepada Belanda dan mengakui kedaulatannya di Aceh. Tetapi Aceh
menolak keinginan Belanda tersebut. Alasan Aceh menolak kedaulatan Belanda
adalah dikarenakan Belanda ingin memonopoli perdagangan yang ada di Aceh dan
ikut campur dalam masalah pemerintahan.6
Akhirnya pada tanggal 7 Maret 1873, F.N. Nieuwenhuyzen yang saat itu
menjabat sebagai komisaris Hindia Belanda berangkat menuju Aceh dengan sebuah
kapal perang dan sebuah kapal pemerintah sipil. Sesampainya di pulau Pinang ia
mendapatkan tambahan kekuatan berupa dua kapal perang milik Belanda. Pada
tanggal 22 Maret 1873 Nieuwenhuyzen tiba di perairan Aceh. Ia masih
menyampaikan peringatan terakhir kepada Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah.
Tetapi Sultan Mahmud Syah masih menolak dan akhirnya pada tanggal 26 Maret
1873 Nieuwenhuyzen memutuskan untuk berperang melawan Aceh.7
Pada tahun 1873, saat Aceh ingin berperang melawan Belanda orang-orang
yang berada di pulau Pinang hingga Betawi telah mengetahui dan ingin membantu
dengan cara menyiapkan pasukan tentara dan 15.000 pucuk senapan serta 5.000 ton
4M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, h. 67
5Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal Mencari Identitas Kebangsaan, (Yogyakarta : LkiS
Yogyakarta, 2008), h. 89
6Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta : Bharata Karya Aksara, 1980), h. 36
7Ismail Sofyan, Perang Kolonial Belanda di Aceh, (Aceh : Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1977), h. 23
4
mesiu yang langsung dikirim ke Aceh. Semuanya dilakuan secara diam-diam agar
pihak Belanda yang ada di Betawi tidak mengetahuinya.8
Pada tanggal 5 April 1873 Belanda telah siap di perairan Aceh dengan
membawa 6 buah kapal perang, 2 buah kapal AL pemerintah, 8 buah kapal peronda,
1 buah kapal komando dan masih banyak kapal-kapal perajurut yang lainnya.
Penyerangan ini dipimpin oleh mayor jenderal J.H.R. Kohler serta dibantu oleh
wakilnya kolonel E.C. van Daalen. Total seluruh pasukan yang dibawa oleh J.H.R.
Kohler kira-kira berjumlah 3.000 orang pasukan yang sudah termasuk perwiranya
yang berjumlah 168 orang. Lalu ditambah dengan 1.000 orang pekerja paksa dan
50 orang mandornya.9 Tetapi dalam penyerangan ini J.H.R. Kohler tewas dalam
peperangan dan pada tanggal 19 April 1873.
Penyerangan kedua yang dilakukan oleh Belanda berlangsung pada tanggal
9 Desember 1973. Dipimpin oleh seorang pensiunan panglima perang Hindia
Belanda yang diaktifkan kembali yaitu Letnan Jendral J. van Swieten. Pasukan
Belanda mendarat di kampung Leu’u dekat kuala Gigieng, Aceh Besar.
Pertempuran sengit terjadi di Masjid Raya Baiturrahman yang memang dari awal
sudah menjadi incaran pihak Belanda. Akan tetapi walau pun telah diperjuangkan
dengan sangat gigih, Masjid Raya Baiturrahman akhirnya dapat dikuasai juga oleh
Belanda pada 6 januari 1874.10
Selanjutnya, Belanda melakukan siasat pemecah belah diantara para
petinggi di Aceh. Akibat dari siasat ini, terjadi banyak kericuhan di Aceh yang
ditandai dengan banyaknya uleebalang yang menjadi berpihak kepada Belanda.
Contohnya adalah Teuku Muda Ba’et yang menyerah pada 9 Maret 1879. Akibat
8Lulofs, Szekely, Cut Nyak Din : Kisah Ratu Perang Aceh, (Jakarta : Komunitas Bambu,
2010), h. 42
9Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, (Yogyakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), h. 204
10Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), h. 117
5
dari banyaknya uleebanlang yang menyerah kepada belanda, semangat juang
rakyat Aceh sempat menurun. Akan tetapi disaat menurunnya semangat para
pejuang Aceh tersebut, ulama tampil dan memimpin para pejuang Aceh bersama
dengan uleebalang yang belum menyerah seperti Teuku Umar.
Teuku Umar merupakan salah satu tokoh yang sangat berperan penting
dalam perlawanan Aceh terhadap Belanda. Peran Teuku Umar dalam perlawanan
terlihat dari saat ia membela kampung halamannya, kampung Daya. Teuku Umar
juga berhasil menggagalkan pendaratan Belanda di Meulaboh. Setelah
menaklukkan Meulaboh, Teuku Umar mulai menaklukkan daerah-daerah yang
berkhianat membantu Belanda. Dalam upayanya melawan Belanda, teuku umar
juga melakukan siasat penyerahan diri. Siasat ini dilakukan sebanyak dua kali.
Yaitu pada tahun 1883 dan 1893.
Yang menjadi alasan mengapa penulis memilih tokoh Teuku Umar adalah
dikarenakan penulis tertarik dengan siasat perang yang dilakukan Teuku Umar
untuk memperdayai Belanda. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengkaji dan
meneliti secara lebih mendalam, serta mengangkatnya kedalam skripsi dengan
judul “ Perlawanan Teuku Umar terhadap penjajahan Belanda di Aceh (1873-1899).
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah pokok yang ingin
dicoba dibahas oleh penulis adalah mengenai upaya elit masyarakat aceh
(Uleebalang) dalam membela tempat tinggalnya. Seperti yang kita ketahui bahwa
perang Aceh melawan Belanda merupaka perang terlama dalam sejarah Nusantara
yaitu sekitar 40 tahunan. Tetapi dalam penulisan ini, penulis lebih memfokuskan ke
satu Uleebalang yaitu Teuku Umar. Penulis ingin mengulas perjuangan dan siasat
Teuku Umar selama masa perang Aceh.
6
2. Pembatasan Masalah
Penulis juga menentukan rentan waktu dalam penulisan skripsi ini, yaitu
pada masa Teuku Umar memulai perang sekitar tahun 1873 sampai dengan 1899.
Alasan penulis mengambil rentan tahun tersebut adalah karena pada waktu tersebut
perang tengah berlangsung.
3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk perlawanan yang dilakukan Teuku Umar terhadap
Belanda ?
2. Apa hasil atau dampak dari perlawanan yang dilakukan oleh Teuku
Umar?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bentuk konflik Uleebalang (Teuku Umar) dengan
Belanda.
b. Untuk mengetahui dampak dari pengaruh tersebut.
2. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam karya tulis ini adalah
sebagai berikut:
a. Menambah pengetahuan sejarah, khususnya yang berkaitan dengan
Peran Teuku Umar dalam perlawanan terhadap Kolonialisme (1873-
1899).
b. Dengan penulisan ini di harapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya khususnya
masyarakat Aceh yang mana Aceh merupakan objek utama dalam
tulisan ini.
7
c. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi positif serta dapat menjadi
bahan acuan ataupun bahan pertimbangan dalam segala bentuk
pengelolaan yang akan dilakukan di suatu instansi pendidikan. Sehingga
penelitian ini menjadi salah satu media acuan dalam
pelaksanaan/penerapan manajemen berbasis sekolah terutama dalam
meningkatkan sarana dan prasarana.
d. Memberi kontribusi berupa sumbangan keilmuan yang berbentuk karya
tulis sejarah bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Fakultas Adab
dan Humaniora khususnya jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelusuran yang dilakukan penulis, terdapat beberapa buku yang
berisikan tentang perlawanan yang dilakukan oleh Teuku Umar dalam perang Aceh.
Penulis juga menemukan beberapa buku yang didalamnya menjelaskan mengenai
konflik antara Aceh dengan Belanda. Selain itu, penulis juga menemukan sebuah
karya ilmiah yang membahas mengenai Teuku Umar.
Buku yang pertama adalah karya dari Anthony Reid yang berjudul
“Sumatera : Revolusi dan Elit Tradisional”. Buku ini diterbitkan oleh Komunitas
Bambu pada tahun 2012. Di dalam buku ini banyak dijelaskan mengenai
perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka yang mana
terdapat faktor internal yang menghambat perjuangan mereka sendiri.
Buku yang kedua adalah buku yang berjudul “Teuku Umar” yang ditulis
oleh Sagimun Mulus Dumadi. Buku ini diterbitkan pada tahun 1983 oleh penerbit
Bhratara Karya Aksara. Karya Sagimun Mulus Dumadi ini berisikan tentang
biografi seorang Teuku Umar. Buku ini juga menjelaskan mengenai siasat yang
dilakukan Teuku Umar dalam melawan penjajahan Belanda. Dimulai dari
perjuangan di kampung halamannya sampai dengan akhir hayatnya.
Buku ketiga adalah buku yang berjudul “Asal Mula Konflik” Aceh karya
Anthony Reid, yang di tebitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005.
Buku ini bersumber dari arsip historis dari Belanda dan Inggris. Buku ini
8
menjelaskan mengenai diplomasi yang dilakukan aceh pada bada ke 19, latar
pertarungan ekonomi-politikBarat di Aceh, hubungan luar negeri Aceh, peristiwa
politik yang berujung konflik fisik dan peperangan, sampai berakhirnya kerajaan
Aceh.
Buku yang keempat adalah buku karya Prof. Dr. Amirul Hadi, M.A. yang
berjudul Aceh : Sejarah Budaya dan Tradisi. Buku ini di terbitkan di Jakatra pada
tahun 2010 oleh penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Berbeda dari buku lain
yang membahas mengenai Aceh tetapi hanya menekankan ekonomi dan politik
semata, buku karya Prof. Dr. Amirul Hadi, M.A. ini lebih menekankan mengenai
sisi keagamaannya.
Selain keempat buku yang penulis sebutkan di atas, terdapat karya yang
telah dihasilkan oleh para peneliti lain mengenai topik yang terkait dengan tema
pada penulisan dalam skripsi ini, antara lain sebuah skripsi oleh Isti Maftufah,
mahasiswi UIN Sunan Kalijaga, fakultas Adab, jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam tahun 2007, dengan judul skripsi “Teuku Umar dan Perjuangannya dalam
Perang Aceh (1874-1899)”. Dalam skrispsi ini, penulis menjelaskan terkait
semangat jihad rakyat Aceh dalam melawan kafir Belanda dengan melalui perang
sabil yang dipelopori oleh Teungku Cik Di Tiro diseluruh Aceh. Penulis juga
berusaha mebahas mengenai jalannya perang Aceh serta menjelaskan terkait
strategi Teuku Umar dalam melawan Belanda dengan semangat perang jihad yang
ditandai dgn taktik perang gerilya.
E. Kerangka Teori
Pada tulisan ini, penulis menggunakan teori Realisme Klasik (Classical
Realism). Menurut Realisme Klasik negara adalah aktor, hasrat untuk mendapatkan
sebuah kekuasaan yang besar berasal dari sifat manusia, negara digunakan sebagai
alat untuk memperjuangkan kapabilitasnya. Dalam penulisan ini, Penulis
menggunakan pemikiran dari dua tokoh dalam Realisme Klasik. Yang pertama
adalah Niccolo Machiavelli. Menurut Niccolo Machiavelli, dalam mewujudkan
9
sebuah nilai politik tertinggi kebebeasan nasional, yaitu kemerdekaan, penguasa
dituntut untuk memiliki kekuatan mempertahankan kepentingan negara seperti
singa, dan harus mampu berprilaku cerdik seperti rubah. Sehubungan dengan ini,
perlawanan para pemimpin Aceh seperti Sultan dan Uleebalang menjadi cocok
denganteori ini. Para pemimpin dituntut untuk mempertahankan keamanan
kelangsungan hidup di Aceh.
Lalu teori selanjutnya adalah milik Thomas Hobbes, Thomas Hobbes
berpendapat bahwa :
1. Manusia adalah sama
2. Manusia berinteraksi dengan lingkungan yang anarkis
3. Manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa tidak percaya diri, dan kemuliaan
Dari pendapat tersebut munculah sebuah konsep bellum omnium contra
omnes yang berarti perang melawan semuanya. Jadi menurut Hobbes, yang
membuat manusia bisa menyerang adalah agar memperoleh keuntungan, keamanan
dan reputasi.11 Jadi, penyerangan Belanda terhadap Aceh menjadi cocok dengan
teori yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes ini. Belanda yang ingin memperoleh
keuntungan dengan menguasai Aceh sepenuhnya, melakukan upaya penaklukan
terhadap Aceh.
F. Metode Penelitian
Didasari dari sebuah pengkajian tentang peristiwa sejarah, maka penulisan
ini menggunakan metode Historis atau penelitian sejarah yang bersifat deskriptif
analitis dengan melalui proses mengkaji dan menganalisis data-data baik dari buku
maupun peninggalan suatu jejak sejarah.12 Dalam metode penelitian sejarah, ada
11Delian Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta : Mizan, 1998), h. 102
12Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Press, 2006), h. 39
10
empat tahap yang harus dilalui, yaitu Heuristik, Verifikasi, Interpretasi, dan
Historiografi.13
Heuristik merupakan tahap pertama, yakni kegiatan pengumpulan sumber.
Pengumpulan sumber di lakukan penulis melalui pencarian data-data tertulis berupa
buku-buku atau Naskah. Penulis menggunakan beberapa buku yang di dapat dari
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora. Setelah sumber atau data tersebut terkumpul, kemudian peneliti
berusaha membaca, mencatat sumber-sumber tertulis tersebut berdasarkan periode
waktu atau secara kronologis, serta meminjam buku-buku perpustakaan yang
dianggap penting dan relevan dengan masalah penelitian.
Kritik sumber merupakan tahap yang ke-dua setelah melakukan
pengumpulan data. Dalam tahap ini penulis menganalisis dan mengkritisi sumber-
sumber yang didapat serta melakukan perbandingan terhadap sumber-sumber yang
didapat agar mendapat sumber yang valid dan relevan dengan tema yang dikaji
penulis.
Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis dan dikritisi, tahapan
selanjutnya yang dilakukan ialah penulis mencoba menafsirkan terhadap sumber
yang telah dikritisi dan melihat serta menafsirkan fakta-fakta yang didapat oleh
penulis, sehingga mendapatkan pemecahan atas permasalahannya. Interprestasi
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kegiatan dalam metode sejarah untuk
menghubungkan antara fakta yang satu dengan yang lain, sehingga menjadi satu
kesatuan yang selaras.
Tahap hisoriografi adalah langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur
penelitian historis. Historiografi merupakan karya sejarah dari hasil penelitian,
dipaparkan dengan bahasa ilmiah, dengan seni yang khas menjelaskan apa yang
ditemukan, beserta argumennya secara sistematis. Dalam penelitian ini,
13Satrono kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4-5, 144-156
11
historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul
Perlawanan Teuku Umar Terhadap Penjajahan Belanda di Aceh (1873-1899)
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi kedalam lima bab tulisan,
termasuk di dalamnya bab pendahuluan dan penutup, berikut dituliskan secara
singkat bab saatu sampai bab lima beserta sub-subnya masing-masing.
Bab pertama berisi tentangpendahuluan. Sebagaimana telah dibahas
didalamnya terdapat penguraian beberapa hal pokok mengenai latar belakang
masalah, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
Sedangkan bab kedua menjelaskan gambaran umum kondisi Masyarakat di
Aceh pada masa perang melawan Belanda. Dalam bab ini pula menjelaskan tentang
letak atau kondisi Geografis dan struktur masyarakatnya pada masa itu.
Bab ketiga berisikantentang biografi seorang Tengku Umar. Dalam bab ini
lebih berfokus pada latar belakang Teuku Umar seperti asal muasal kedua orang
tuanya, pernikahannya dengan Cut Nyak Dien dan dalam bab ini juga berisikan
tentang alasan Teuku Umar ingin membela Aceh dari serangan Belanda.
Bab keempat penulis lebih memfokuskan perihal peran Teuku Umar selama
masa perang melawan Belanda. Baik itu strategi mensiasati Belanda selama masa
perang tersebut, pencapaian apa saja yg didapatkan, sampai akhirnya ia wafat.
Bab terakhir atau bab kelima berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya
yang telah dijelaskan. Dan di bab terakhir ini pula terdapat saran untuk pihak-pihak
yang terkait dalam penelitian ini.
12
BAB II
MASYARAKAT ACEH MASA PERANG
A. Kerajaan Aceh
Dalam pembahasan ini ada baiknya kita sedikit membahas tentang kerajaan
Aceh Darussalam. Aceh merupakan sebuah daerah yang letaknya paling barat dari
kepulauan Indonesia. Luas wilayah Aceh adalah 5.736.577 Ha yang terdiri dari
hutan atau area pertanian, kota, danau, sungai, bukit, dan pegunungan. Wilayah
sebelah selatan Aceh merupakan perbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara,
sedangkan sebelah barat merupakan perbatasan Samudera Hindia.
Aceh juga memiliki potensi dan kekayaan alam yang membuatnya terkenal
oleh turis asing sejak zaman dulu. Sebuah naskah Cina menuliskan bahwa sejak
tahun 1573 – 1620, Aceh banyak mengekspor kekayaan alamnya seperti batu mulia,
kayu gaharu, kayu kelambak, kayu pucuk, cengkeh, lada, keris, timah, kayu sapan
dan belerang. Inilah yang menjadi penyebab banyaknya pendatang asing yang
berkunjung ke Aceh.
Aceh sendiri pada zaman dahulu memiliki beberapa kerajaan Islam kecil,
seperti Pasai, Pidie, Daya, Lamuri, dan Aceh. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki
peran yang sangat penting dalam membangun wilayah Sumatera bagian utara ini.
Hampir semua kerajaan yang ada memiliki hubungan perdagangan dengan Negara
asing. Contohnya, kerajaan Pasai yang memiliki hubungan dagang internasional
dengan Arab, Turki, Iran dan Gujarat. Lalu kerajaan Pidie yang terkenal Karena
merupakan penyuplai utama lada dan berbagai macam rempah. Kerajaan Aceh
dengan kerajaan Lamuri memutuskan untuk membuat sebuah koalisi dan
membentuk satu kerajaan, yaitu kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini mampu
menaklukkan kerajaan-kerajaan lain seperti Pasai, Pidie, dan Daya. Dan karena
penaklukannya, kerajaan Aceh Darussalam mendapat kekuasaan yang sebelumnya
13
dipegan oleh kerjaan-kerajaan tersebut.14 Karena penaklukannya, daerah-daerah
seperti Pidie, Pasai, Perlak, Tamiang, Gayo, Alas, Meulaboh, Singkel, Teuruemon
dan Barus, disebut juga sebagai daerah pokok.
Lalu ada pula yang disebut sebagai daerah inti. Daerah inti merupakan
daerah yang mencakup wilayah berdirinya bangunan kerajaan Aceh Darussalam
yang juga menjadi ibu kota.15 Daerah ini terdiri dari wilayah-wilayah yang termasuk
Aceh Besar. Dan daerah yang terakhir adalah daerah takluk. Daerah takluk
kerajaan-kerajaan yang sudah menyatakan ketundukkannya di bawah pemerintahan
Kerajaan Aceh. Akan tetapi, walaupun telah berada di bawah kekuasaan kerajaan
Aceh Darussalam, kerajaan-kerajaan tersebut masih berupa kerajaan yang merdeka,
hanya saja ada beberapa hal yang harus mengikuti perintah dari Kerajaan Aceh,
seperti dalam bidang ekonomi dan hubungan luar negeri.
Dalam Kerajaan Aceh, terdapat bebrapa wilayah pemerintahan. Wilayah-
wilayah tersebut adalah :
1. Gampong
Gampong, atau dalam bahasa melayu biasa disebut sebagai kampung,
merupakan sebuah wilayah pemerintahan terkecil yang ada di Aceh. Gampong
terdiri dari orang-orang yang berpindah dari wilayah padat penduduk ke wilayah
jarang pemduduk, atau bisa disebut sebagai transmigrasi.
Gampong biasanya diisi dengan 50 sampai 100 rumah, yang biasanya di
setiap rumah terdapat sebuah pekarangan yang sebagiannya ditata untuk kebun.
14Amirul Hadi, Aceh : Sejarah, Dudaya, dan Tradisi, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010),h. 20
15Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Monora,
1972), h. 85
14
Seluruh gampong juga dipagari, yang mana jika ingin pergi ke gampong-gampong
lain harus melewati ladang, kebun, dan belukar.16
Lalu biasanya di setiap Gampong di Aceh terdapat sebuah bangunan yang
disebut Meunasah. Meunasah bisa juga disebut sebagai Mushola, karena
kegunaannya dan fungsinya yang sama. Meunasah merupakan sebuah bangunan
tanpa kamar, lorong ataupun pembagian ruangan. Biasanya, di dekat bangunan
Meunasah terdapat sebuah tempat penampungan air yang terbuat dari batu atau
galian, yang tersalur oleh pipa atau saluran bambu yang miring dari sumur terdekat.
Pada mulanya Meunasah biasa dipakai untuk menginap para pria dewasa
yang sudah menikah maupun yang belum, baik itu orang asing ataupun pria yang
mengunjungi ibunya yang tinggal di Gampong dan bermaksud untuk menginap
disana.17 Tetapi ketika Islam datang dan menguasai kehidupan di Aceh, tempat
menghina para pria (Meunasah) ini dijadikan sebagai tempat ibadah Gampong,
Sama halnya dengan langgar atau balek yang ada di Jawa.
Di Meunasah, selain dijadikan tempat tinggal pria dan tempat menginap
orang dari luar dan tempat beribadah, Meunasah juga biasa dipakai untuk
pertemuan peristiwa khusus yang membahas kepentingan Gampong, akad nikah
dan sebagainya.
Ada tiga unsur pemerintahan yang terdapat di Gampong
1. Keuchik
Keuchik merupakan kepala atau pemimpin dari Gampong yang menerima
wewenang dari Uleebalang. Keuchik biasa juga disebut sebagai Bapak Gampong
oleh masyarakatnya. Jabatan ini didapat secara turun temurun dari nenek moyang
mereka. Jabatan ini, tidak secara permanen dipegang oleh keturunan mereka.
16Hurgronje, Snouck, Aceh : Rakyat dan Adat Istiadatnya, (Jakarta : INIS, 1996), h. 47
17H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara Jilid 1, (Medan : Pustaka Iskandar Muda,
1961), h. 315
15
Uleebalang berhak untuk mencabut jabatan mereka. Keuchik biasanya membawahi
satu Gampong, namun ada pula beberapa Keuchik yang membawahi 2-4 Gampong.
Tugas Keuchik adalah untuk memelihara ketertiban dan keamanan, serta
meningkatkan kesejahteraan daerahnya. Jumlah penduduk dianggap sebagai faktor
penting dari kesejahteraan daerah kekuasaan seorang Keuchik.
2. Teungku Meunasah
Teungku Meunasah biasa juga disebut sebagai ibu Gampong. Gelar
Teungku Meunasah biasanya diberikan kepada orang yang berpengetahuan lebih.
Baik itu dalam urusan keagamaan maupun yang lainnya.18 Teungku Meunasah juga
merupakan kepala dari setiap Meunasah yang ada di Gampong. Teungku Meunasah
juga mengatur masalah perkawinan, perceraian dan juga kematian di sebuah
Gampong dengan persetujuan Keuchik. Karena jabatan Teungku Meunasah berada
dibawah kekuasaan Keuchik.
3. Ureueng Tuha (Tuha Peut)
Ureueng Tuha atau biasa juga disebut sebagai sesepuh. Ureueng Tuha
merupakan orang yang terpandang yang biasanya terdapat di setiap Gampong-
Gampong. Mereka merupakan orang yang berpengalaman, Arif dan memiliki
pengetahuan tentang adat di Gampong.19 Jumlah orang tua ini biasa empat orang,
mereka tidak diangkat atau dipilih secara teratur, namun bisa juga diadakan
musyawarah untuk mengangkat Ureueng Tuha. Para Ureueng Tuha biasanya ikut
membahas urusan yang penting di Gampong bersama Keuchik dan Teungku
Meunasah, baik itu diundang maupun tidak.Ureung Tuha biasanya terdiri dari para
Ulama dan Cerdik Pandai.
18Hurgronje, Snouck, Aceh : Rakyat dan Adat Istiadatnya, h. 54
19Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 46
16
2. Mukim
Mukim merupakan kumpulan dari Gampong-Gampong yang biasanya
terdiri dari minimal 4 Gampong. Ada pun jumlah terbanyak adalah 12 Gampong.
Mukim sendiri baru muncul saat agama Islam Masuk ke Aceh. Mukim memiliki
tingkatan seperti kecamatan untuk sekarang ini. Di sebuah Mukim biasanya terdapat
sebuah Masjid yang dipakai untuk menjalankan sholat jum’at untuk kaum pria.
Karena aturan sholat jum’at yg mengharuskan minimal 40 jama’ah pria untuk
mengesahkan sholat jum’at. Sejarah terbentuknya Mukim dimulai dari kedatangan
islam ke Aceh pada abad ke 13.
Sebuah masjid didirikan di sebuah tempat central yang jaraknya tidak terlalu
jauh dari Gampong satu ke Gampong yang lain.Pembangunan masjid ini
dimaksudkan untuk memudahkan para jama’ah untuk shalat jum’at ataupun
kegiatan keagamaan yang lain20 Apabila sebuah masjid sudah digunakan oleh
masyarakat Gampong sekitarnya, maka itu merupakan sebuah tanda Mukim telah
terbentuk. Pada masa perang, fungsi masjid menjadi bertambah, selain dipakai
untuk kegiatan keagamaan, masjid dipakai juga sebagai benteng pertahanan.
Seperti masjid Indrapuri yang berfungsi juga sebgaia benteng pertahanan.21 Selain
masjid Indrapuri yang terdapat di Mukim XXII, terdapat pula masjid-masjid lain
yang terdapat di sebuah Mukim, yaitu masjid Indrapeurun di Mukim XXV, dan
masjid Indraputra di Mukim XXVI. Masjid-masjid tersebut didirikan oleh Sultan
Meukuta Alam.
Mukim merupakan istilah yang diambil dari kata bahasa Arab “muqim” yang
artinya penghuni suatu tempat. Mukim di pimpin oleh seorang Imeum Mukim, atau
dalam bahasa arab disebut ”Imam”. Tugas ImeumMukimadalah untuk meminpin
segala kegiataan keagamaan yang diadakan. Seperti salah satu contohnya adalah
20Hurgronje, Snouck, Orang Aceh : Budaya, Masyarakat dan Politik Kolonial, (Yogyakarta
: IRCiSoD, 2019), h. 198
21Bambang Budi Utomo, Atlas Sejarah Indonesia Masa Silam, (Direktorat Geografi
Sejarah, 2011), h. 23
17
menjadi imam dalam pelaksanaan sholat, dan memimpin dzikir. Tetapi mereka
hanya bertugas di masjid-masjid saja, sedangkan untuk petugas meunasah
diserahkan kepada Teungku meunasah. Setelah kemerdekaan, sebutan Imeum
Mukim berganti menjadi Kepala Mukim.
Selain menjadi pemimpin sebuah Mukim, tugas seorang Imeum adalah
untuk menjadi wakil dari seorang Uleebalang. Tugas dari seorang wakil
Uleebalang adalah untuk menyampaikan informasi, membantu melaksanakan
pemerintahan dan keputusan-keputusan pada wilayah kekuasaannya. Jabatan
Imeum sendiri biasanya diwarskan turun-temurun.
3. Nanggroe
Nanggroe merupakan sebuah wilayah kekuasaan yang lebih besar dari
Mukim. Nanggroe terdiri dari gabungan beberapa Mukim yang dikepalai oleh
seorang Uleebalang yang ada di daerah inti.22 Nanggroe sendiri memiliki tingkatan
seperti kabupaten untuk Sekaran ini. Untuk daerah takluk yang berada diluar daerah
inti, sistem pemerintahannya juga disamakan seperi Nanggroe yang ada di daerah
Inti.23
Pada masa pemerintahan Sultan Nurul Alam Nakiatuddin Syah ( 1675-1678
), penyebutan Nanggroe di Aceh Inti atau Aceh besar berubah menjadi Lhee Sagoe
yang artinya tiga Sagi. Meskipun penamaanya telah diubah, sistem yang dipakai
masih sama seperti Nanggroe. Setiap Sagi membawahi beberapa Mukim yang ada
di Inti. Penamaan dari setiap tiga Sagi berkaitan dengan berapa jumlah Mukim yang
terdapat di Sagi tersebut. Tiga Sagi tersebut adalah, di bagian selatan terdapat Sagi
XXII Mukim, di bagian barat terdapat Sagi XXV Mukim, dan di bagian timur
terdapat Sagi XXVI Mukim. Ketiga Sagi tersebut dipimpin oleh tiga orang
pemimpin yang disebut sebagai Panglima Sagi. Sama seperti Uleebalang,
22Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), h. 76
23Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh Dalam Tahun 1550-1675, h. 89
18
pengangkatan Panglima Sagi juga dilakukan langsung oleh Sultan Aceh yang
disertai dengan sebuah surat yang dibubuhi cap Sikureung.24 Kepemimpinan
Panglima Sagi diwariskan secara turun temurun.
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, Uleebalang merupakan seorang
pemimpin dari wilayah Nanggroe yang ada di Aceh. Gelar yang diberika untuk
Uleebalang laki-laki adalah Teuku, sedang kan untuk Uleebalang perempuan diberi
gelar Cut. Jabatan Uleebalang diberikan langsung oleh Sultan Aceh yang disertai
dengan sebuah surat yang dibubuhi cap Sikureung. Jabatan Uleebalang bersifat
turun temurun, dan hanya berlaku untuk para bangsawan.
Tugas dari seorang Uleebalang adalah untuk memimpin sebuah Nanggroe
dan membentuk tenaga-tenang tempur dari daerah kekuasaanya bila terdapat
sebuah peperangan. Mereka merupakan penguasa tertinggi di setiap daerah
kekuasaanya, sehingga mereka berhak melakukan apa saja terhadap rakyatnya
tanpa campur tangan dari luar. Uleebalang juga mengatur masalah perluasan
wilayah, pembangunan, pengadilan dan penjatuhan hukuman di daerah kekuasaan
mereka. Walaupun begitu, untuk masalah hubungan dengan luar daerah, seorang
Uleebalang harus meminta izin kepada Sultan. Mereka juga menjalankan perintah
langsung dari sultan, menyediakan perbekalan perang apabila dibutuhkan oleh
pemerintahan pusat, serta membayar upeti.25
4. Sagoe
Sagoe atau bisa disebut dengan Sagi dalam Bahasa Melayu merupakan
kumpulan dari Nanggroe-Nanggroe. Sagi memiliki tingkatan seperti provinsi untuk
sekarang ini. Sebuah Sagi dipimpin oleh seorang Panglima Sagi. Biasanya, terdapat
angka romawi dibelakang kata Sagi atau Sagoe yang merupakan jumlah dari berapa
banyaknya jumlah Mukim di dalam Sagi tersebut. Contohnya adalah Sagi XXII
24Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad,(Medan :Waspada, 1981), h. 209
25Rusdi Sufi, Sejarah Kotamadya Banda Aceh, (Aceh : Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Banda Aceh, 1997), h. 51
19
Mukim. Sistem pemerintahan Sagi ini terdapat di wilayah Aceh Besar yang
terbentuk dari gabungan tiga Sagi, yaitu Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan
Sagi XXVI Mukim. Oleh kerena itu, Aceh Besar biasa juga desebut sebagai Aceh
Lhee Sagoe atau Aceh Tiga Sagi karena di dalam wilayah Aceh Besar terdapat tiga
Sagi.
5. Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan sebuah pemerintahan pusat yang ada di Aceh.
Kesultanan aceh merupakan bentuk pemerintahan tertinggi yang ada di Aceh.
Dikepalai oleh seorang Sultan yang dalam kepemimpinannya dibantu oleh
beberapa pejabat atau Wazir yang membawahi bidang tertentu. Contohnya seperti
Wazir Seri Maharaja Mangkubumi yang mengurus segala urusan yang menyangkut
ke-Uleebalang-an. Lalu ada pula Wazir Rama Setia yang mengurus masalah
perpajakan seluruh daerah kesultanan Aceh.
Sultan Aceh biasanya mewarisi jabatannya kepada putra sulung dari istrinya
yang pertama, akan tetapi tidak jarang juga seorang putra sulung dari Sultan yang
berkuasa sebelumnya, mendapat tugas menjadi seorang Sultan juga untuk
menggantikan ayahnya. Contohnya adalah Sultan Ali Riayat Syah yang digantikan
oleh keponakannya yang bernama Sultan Iskandar Muda.26Seorang Sultan bisa
dipilih ataupun diturunkan dari jabatannya melalui persetujuan tiga Panglima Sagi
dan Khadi Malikul Adil.
Dalam kesultanan Aceh juga terdapat beberapa lembaga yang dipimpin
langsung oleh para pejabat, antara lain:
1. Balai Rong Sari, dipimpin langsung oleh Sultan, yang bertujuan umtuk
membuat rencana dan penelitian.
26Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh ( Aceh, Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), h. 71
20
2. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang
bertugas sebagai perwakilan rakyat.
3. Balai Furdhah, dipimpin oleh Wazir Seri Paduka, yang mengurus perihal
perekonomian dan perdagangan.
4. Balai Laksamana, dipimpin oleh Wazir Laksamana Amirul Harb, yang
mengurus perihal kemiliteran dan pertahanan.
5. Balai Majlis Mahkamah, dipimpin oleh Wazir Mizan, yang mengurus
perihal kehakiman atau pengadilan.27
Sultan Aceh juga memiliki wilayah-wilayah yang langsung berada dibawah
kekuasaannya. Daerah itu disebut sebagai daerah Bibeueh atau daerah bebas.
Daerah kekuasaan Sultan Aceh yang sebelumnya sangat luas, menjadi sangat kecil.
Kekuasaanya hanya sebatas wilayah Banda Aceh dan sekitarnya. Untuk wilaya-
wilayah diluar Banda Aceh, kekuasaan Sultan hanya sebatas sebuah simbol saja.28
Wilayah-wilayah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan, yaitu :
1. Daerah Keraton dan ibukota Banda Aceh
2. Mukim Masjid Raya
3. Mukim Lung Bata
4. Mukim Pagar Aye
5. Mukim Lamsayun
6. Gampong Pandee
7. Gampong Jawa
8. Gampong Pelanggahan
9. Mukim Meraksa
27Ali Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1977), h. 132
28Muhammad isa, Sabil Praharadi Bumi Rencong, (Jakarta : Mizan, 2014), h. 6
21
B. Masyarakat Aceh
Setidaknya ada tiga golongan elit yang ada di masyarakat Aceh. Yang
pertama adalah Sultan. Sultan merupakan raja yang menguasai kerajaan Aceh. Lalu
ada Uleebalang. Uleebalang merupakan seorang pejabat yang diangkat langsung
oleh sultan untuk memerintah suatu Nanggroe. Uleebalang juga biasa disebut
sebagai raja kecil. Dan yang terakhir adalah Ulama. Peran ulama adalah untuk
mengatur masalah keagamaan dan Ulama juga berkontribusi dalam perlembangan
intelektual Aceh.
Lalu adapun pembagian susunan masyarakat yang ada di Aceh :
1.Golongan Ureung Le
Golongan ini merupakan golongan mayoritas yang ada di Aceh.
Ureung Le memiliki arti orang banyak. Golongan ini terdiri dari masyarakat
biasa.
2.Golongan Ureung Kaya (orang kaya)
Merupakan golongan pekerja atau pedagang yang berhasil
mengembangkan ekonomi pribadi. Biasanya para hartawan berperan
sebagai penyumbang dana.
3.Golongan Ulama dan Cerdik Pandai
Golongan ini merupakan golongan rakyat biasa yang memiliki ilmu
pengetahuan menonjol. Para Ulama pun termasuk dalam golongan ini,
karena mereka berperan dalam bidang keagamaan.
22
4.Golongan Bangsawan
Golongan ini merupakan golongan tertinggi yang ada di aceh.
Golongan ini terdiri dari Sultan Aceh, Uleebalang dan para keturunannya.29
Lalu selama perang Aceh berlangsung, para Ulama muncul sebagai
golongan bangsawan.
C. Aceh Sebelum Kedatangan Kolonial Belanda
1. Bidang Politik
Kerajaan Aceh Darussalam terbentuk dari perjanjian atau koalisi antara
Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Lamuri. Setelah terbentuknya Kerajaan Aceh
Darussalam, kerajaan tersebut mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan lain yang ada
disekitar. Hingga pada akhirnya terbentuklah kerajan yang besar dan makmur.
Selain menjadi kerajaan yang makmur, Kerajaan Aceh Darussalam juga memiliki
kekuatan militer yang besar. Hal inilah yang menyebabkan wilayah Aceh adalah
wilayah yang paling lama dalam berperang menghadapi penjajahan Belanda, yaitu
pada tahun 1873-1914 atau sekitar kurang lebih 40 tahunan.
Karena kekuatan dan luas wilayah yang dimiliki oleh Kerajaan Aceh,
kedudukannya bisa disamakan dengan Kerajaan Inggris, ataupun Kerajaan Turki.
Kerajaan Aceh juga menjalin semacam aliansi atau hubungan diplomatik dengan
kerajaan lain. Contohnya adalah dengan Kerajaan Turki Usmani. Aceh yang
menginginkan terbentuknya aliansi dengan Turki Usmani didasari alasan agar
Kerajaan Turki Usmani mengirimkan bantuan militer untuk menghadapi Portugis.
Kerajaan Turki Usmani pun menyambut hangat inisiatif untuk beraliansi yang
disampaikan oleh pihak Aceh. Hal ini didasari pula oleh kepentingan berdagang
dan juga karena kesamaan agama yang dianut, yaitu Islam. Setelah adanya
29Rinrin Kodariyah, Tengku dan Cut, (Jakarta : Pacu Minat Baca, 2017), h. 11
23
perjanian aliansi dengan Aceh, akhirnya Turki Usmani mengirimkan bantuan
militer ke Aceh untuk berperang menghadapi Portugis.30
2. Bidang Ekonomi
Pada bidang Ekonomi, Kerajaan Aceh Darussalam mengandalkan
perdagangan dan juga upeti dari tiap-tiap daerah. Sejak dulu, Aceh telah menjalin
hubungan dagang dengan negara-negara besar seperti India, Inggris, Cina, dan juga
beberapa negara di wilayah Timur Tengah. Kebangkitan ekonomi Aceh terlihat
pada abad ke 16 yang ditandai dengan dijadikannya pelabuhan yang ada di Kawasan
Aceh sebagai pusat perdagangan dan juga meningkatnya status Aceh sebagai
penghasil beberapa hasil bumi seperti lada, sutra, minyak, kapur, dan juga emas.31
Produksi lada di Aceh menjadi sangat pesat pada abad ke 19, tepatnya pada
tahun 1800-1870. Saat itu Aceh berhasil menjadi pemasok lada terbesar yang
mencakup hampir separuh dari persediaan lada dunia. Karena hal ini pula,
terciptalah hubungan dagang dan diplomasi yang kuat dengan Turki, Inggris, India,
Italia, Amerika Serikat dan Prancis. Setelah tahun 1850, perdagangan di Aceh
dijalanakan melalui entrepots dengan jalur pelayaran kapal uap yang terjadwal.32
30Amirul Hadi, Aceh Sejarah, Dudaya, dan Tradisi, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010),h. 31
31Amirul Hadi, Aceh Sejarah, Dudaya, dan Tradisi, h. 27
32Reid, Anthony, Menuju Sejarah Sumatra : Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 336
24
BAB III
BIOGRAFI TEUKU UMAR
A. Asal Usul Teuku Umar
Hubungan antara Aceh dengan Minangkabau sebenarnya telah terjalin sejak
lama. Banyak masyarakat Minangkabau yang merantau ke Aceh, begitu pula
sebaliknya. Di Minangkabau, merantau seperti sebuah keharusan atau bisa
dianggap juga sebagai tradisi daerah. Karena, para masyarakat disana yang sudah
memasuki usia dewasa keatas merasa punya tanggung jawab dan keinginan untuk
mencari kemakmuran.
Dikisahkan di tanah Minangkabau hiduplah seorang raja yang memiliki
empat orang anak, salah satu anaknya bergelar Machudun Sati yang sangat ingin
merantau meninggalkan kampung halamannya. Keinginannya untuk merantau
semakin kuat dengan cerita dari seorang perantau bahwa di Aceh terdapat banyak
sungai yang bermuara ke Samudra Hindia dan tanah-tanah yang subur. Sungai-
sungai tersebut juga banyak membawa serbuk-serbuk emas dari hulu. Ia juga
mendengar kabar bahwa penduduk di daerah tersebutmasih tergolong primitif dan
menyembah berhala. Penduduk tersebut dikenal sebagai orang Mantir.33
Pada saat Datuk Machudun Sati datang ke Aceh Barat belum ada tempat
yang bernama Meulaboh, tempat itu hanya berupa hutan lebat. Tetapi dengan
bantuan dari warga sekitar hutan dan kerabat Minangkabau, sedikit demi sedikit
hutan lebat itu mulai dibangun yang nantinya akan menjadi meulaboh. Meulaboh
sendiri berasal dari kata Minangkabau Balaboeh yang berarti berlabuh atau tempat
33Lulofs, Szekely, Cut Nyak Din : Kisah Ratu Perang Aceh, ( Jakarta : Komunitas Bambu,
2010 ), h. 5
25
kapal akan berhenti.34 Alasan pengambilan kata tersebut tidak terlepas dari asal
muasal kedatangan Datuk Machudun Sati ke Aceh yang menggunakan kapal.
Setelah Meulaboh makmur dan menjadi bagian dari kesultanan Aceh,
Machudun Sati berpindah ke utara Meulaboh, muara sungai Woyla. Dikabarkan
bahwa disana mengalir lebih banyak serbuk emas. Setelah datang dan mengalahkan
penduduk Woyla, Machudun Sati membangun peradabannya sendiri dan
memimpin daerah tersebut. Masyarakat wanita Woyla di peristri oleh orang-orang
Minangkabau dan yang pria dijadikan budak untuk mencari serbuk emas.
Kehidupan di muara sungai Woyla sangat makmur, banyak hasil pertanian
yang melimpah, seperti contohnya lada dan kopi. Pada tahun 1790, mereka
mengirim 5000 ton lada ke pasar internasional. Jumlah tersebut meningkat dalam
setiap tahunnya.35
Karenan kehidupan di muara sungai Woyla telah makmur dan banyak orang
yang datang kesana, Sultan Aceh menjadi tertarik dan mengklaim bahwa daerah
tersebut sebagai daerah kekuasaannya dan mewajibkan penduduk disana untuk
memberi upeti ke istana. Akan tetapi Machudun Sati menolak dan memerintahkan
rakyatnya agar tidak memberikan sesuatu yang bersifat pajak. Ketika Sultan Aceh
meminta terus menerus, akhirnya Machudun Sati memberikan besi-besi yang sudah
tua dan kain dengan kualitas buruk ke istana. Sultan Jeumaloy menganggap
tindakan Machudun Sati merupakan sebuah penghinaan dan memerintahkan
penghulu Benareu yang merupakan seorang panglima untuk menyerang dan
membunuh seluruh warga Woyla.
Machudun Sati mendengar tentang berita penyerangan yang akan dilakukan
oleh panglima Benaru yang diperintahkan oleh Sultan Jeumaloy. Lantas,
34Alamsyah, Ensiklopedi Aceh Adat Bahasa Geografi Kesenian Sejarah, ( Aceh : Pejabat
Pembuat Komitmen Bidang Budaya, 2008), h. 194
35Reid, Anthony, The Contest for North Sumatera, ( Kuala Lumpur : Universitas of
Malaya Press, 1969), h. 6
26
Machudun Sati menyuruh warganya agar bersiap untuk berperang. Akan tetapi,
perjuangan warga Woyla terasa sia-sia karena begitu banyak dan kuatnya perajurit
yang dibawa oleh panglima Benareu. Anak-anak maupun orang tua semua di bunuh
dan para wanitanya dijadikan tawanan. Para wanita yang selamat lari ke daerah
Susoh dan mendapat perlindungan dari warga disana.
Machudun Sati yang sudah terluka dibawa kehadapan Sultan Jeumaloy. Di
istana Sultan Jeulamoy, Machudun Sati diberikan kesempatan untuk hidup.
Dikisahkan bahwa Sultan Jeulamoy memerintahkan anak buahnya untuk
menghancurkan besi-besi yang diperikan Machudun Sati dn serpihan besi tersebut
diberikan kepada Machudun Sati untuk dimakan atau diminum. Apabila Machudun
Sati selamat maka nyawanya akan diampuni. Ajaibnya Machudun Sati berhasil
selamat dan Sultan Jeulamoy mengangkatnya sebagai pengawal.36
Machudun Sati memiliki putra yang bergelar Teuku Nanta Chi’. Teuku
Nanta Chi’ merupakan orang yang sangat berjasa terhadap Sultan Aceh. Pada masa
itu, Sultan merasa terancam oleh seorang panglima Sagi yang ingin merebut
kekuasaannya. Tetapi dengan bantuan dari Teuku Nanta Chi’, Sultan berhasil
terhindar dari ancaman tersebut. Pahlawan tersebut kemudian diangkat menjadi
Uleebalang dari VI Mukim.37
B. Teuku Umar
Nenek moyang Teuku Umar merupakan seorang perantau keturuna
Minangkabau yang menetap di Aceh, Datuk Machudun Sati. Telah dijelaskan di
atas sebelumnya mengenai asal usul Datuk Machudun Sati. Jadi dapat disimpulkan,
dalam darah Teuku Umar juga mengalir darah Minangkabau. Karena Datuk
Machudun Sati adalah leluhur dari Teuku Umar.
36Lulofs, Szekely, Cut Nyak Din : Kisah Ratu Perang Aceh, (Jakarta : Komunitas Bambu,
2010), h. 9
37Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 11
27
Teuku Umar lahir pada tahun1854 di Meulaboh. Ayah dari Teuku Umar
bernama Teuku Mahmud yang merupakan Keturunan Minangkabau, dan Ibunya
Cut Mohani yang merupakan adik dari Uleebalang Meulaboh. Ayah dari Teuku
Umar merupakan putra dari Teuku Nanta Chi’, yang merupakan seorang panglima
perang dari Sultan Suleiman. Teuku Mahmud juga merupakan saudara dari Teuku
Nanta Setia yang menjadi Uleebalang VI Mukim sepeninggal ayahnya.38
Sejak kecil, Teuku Umar dikenal sebagai sosok yang nakal tapi cerdas. Ia
merupakan sosok petualang yang tidak dapat dikekang. Ia tidak mau mengandalkan
kekuasaan orangtuanya. Teuku Umar juga diangkat sebagai ketua kelompok karena
ketangkasannya dalam bertarung. Walaupun tidak pernah bersekolah formal
sebelumnya, baik itu sekolah umum atu pun sekolah agama, tetapi ia memiliki
kecerdasan dan kemampuan yang sangat baik. Pada saat Belanda menyerang pada
tahun 1873, Teuku Umar juga ikut berperang walaupun pada saat itu ia baru
berumur 19 tahun.
Ada banyak pendapat orang tentang sosok Teuku Umar. Ada yang
berpendapat bahwa Teuku Umar adalah seorang yang tampan, cerdas dan gagah
berani. Teuku Umar pandai dalam
Teuku Umar awal menikah pada usia 20 tahun. Ia menikahi Nyak Sopiah,
anak seorang Uleebalang Glumpang. Dengan pernikahannya ini, martabat Teuku
Umar makin naik di masyarakat karena menikahi anak bangsawan tersebut. Lalu
Teuku Umar juga menikah untuk kedua kalinya dengan seorang purti panglima dari
Sagi 25, Nyak Malighai. Nama Teuku Umar pun sekin naik dalam masyarakat
Aceh. Akibat dari pernikahannya dengan Nyak Malighai ini, Teuku Umar mulai
memakai gelar Teuku.39 Dengan gelar dan kekuatan yang dimiliknya, Teuku Umar
mulai memiliki keinginan untuk membebaskan daerah-daerah yang dikuasai oleh
Belanda.Teuku Umar berpendapat bahwa ia harus memiliki pasukan yang kuat dan
terlatih untuk bisa menggapai keinginannya itu. Ia kemudian melatih pasukannya
38Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, Jilid Kedua, (Medan : Waspada, 1991), h. 177
39Teuku merupakan gelar yang dimiliki oleh bangsawan laki-laki Aceh.
28
sendiri dengan kekuatan dan kemampuan berpedang yang ia miliki. Pasukannya
sendiri terdiri dari orang-orang yang berani, ada juga sebagian orang yang
menyebut mereka brandal.40
C. Menikah dengan Cut Nyak Din
Cut Nyak Dien merupakan seorang pahlawan wanita Aceh yang sangat
terkenal. Tidak sedikit buku-buku yang membahas tentang beliau. Baik itu berupa
biografi maupun kisah-kisah perjuangan beliau melawan Belanda. Maka dari itu,
disini penulis akan sedikit membahas tentang Cut Nyak Dien. Mulai dari
keluarganaya sampai beliau bertemu dengan Teuku Umar dan menikahinya.
Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 di Lampadang, Aceh. Cut Nyak Dien
dibesarkan di kalangan bangsawan Aceh.41 Dalam kisahnya, Cut Nyak Dien
merupaka seorang keturunan Minangkabau sama seperti Teuku Umar. Ayahnya
yang bernama Teuku Nanta Setia merupakan keturunan dari Teuku Nanta Chi’. Jadi
dapat disimpulakan bahwa Cut Nyak Dien merupakan saudara sepupu.
Pada tahun 1858, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan seorang bangsawan
keturunan Lamnga. Ia adalah Teuku Ibrahim Lamnga yang kabarnya kelak akan
mewarisi kekuasaan ayahnya, Imam Lamnga. Meskipun umur Cut Nyak Dien
masih tergolong sangat muda, akan tetapi menurut hukum adat hal itu masih
diperbolehkan.42 Akan tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pada tahun
1878 saat sedang berperang melawan Belanda di Sela Glitarun, Teuku Ibrahim
Lamnga syahid terkena peluru dari Belanda.
Teuku Umar yang mendapat kabar bahwa salah satu pemimpin pasukan
Aceh bernama Teuku Ibrahim Lamnga telah gugur ditangan Belanda, secepatnya
berangkat ke Montasik. Kedatangannya ke Montasik adalah untuk bertemu dengan
40Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, h. 13
41 Fenita Agustina, 100 Great Wimen, (Yogyakarta : Jogja Bangkit, 2010), h. 39
42Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Aceh, 1970), h. 9
29
pamannya, Teuku Nanta Setia. Teuku Umar bermaksud menawarkan bantuan
kepada pamannya untuk merebut kembali VI Mukum. Tetapi dalam pikiran
pamannya itu hanya memikirkan nasib putrinya saja. Ia khawatir tentang
keselamatan putrinya. Teuku Nanta Setia pun meminta Teuku Umar untuk
menjadikan Cut Nyak Dien sebagai istrinya. Dari pihak Teuku Umar sendiri tidak
keberatan menerima tawaran dari pamannya itu.43
Banyak masyarakat Aceh yang menanyakan apakah Cut Nyak Dien dapat
menerima Teuku Umar sebagai pasangan hidupnya. Jika melihat Teuku Ibrahim
yang dianggap suci sejak lahir, tentu Teuku Umar tidak bisa dibandingkan
dengannya. Seperti yang sudah dijelaskan di sub bab tentang Teuku Umar, yang
mana Teuku Umar adalah pemimpin dari orang-orang berandal yang kerjaannya
merampoki dan membakar rumah orang kampung. Akan tetapi banyak juga
pendapat yang mengatakan bahwa umar merupakan seorang yang tampan dan
gagah berani. Karena dengan kecerdasan dan keteguhannya dalam berbuat,
mungkin dapat mendatangkan ke untungan bagi pihaknya.44
Teuku Nanta Setia merasa senang karena melihat putrinya tidak lagi merasa
bersedih hati karena sudah mendapatkan teman hidup yang baru, yang sekaligus
menjadi teman satu perjuangan. Teuku Nanta Setia juga merasa bangga karena
mengetahui bahwa yang menjadi suami dari anaknya, yaitu Cut Nyak Dien adalah
salah satu panglima muda pasukan Aceh yang prestasinya dalam perang Aceh
termasuk yang menonjol di antara teman-teman sebayanya.45
Pesta perkawinan Cut Nyak Dien dilangsungkan di Montasik. Banyak tamu
yang berdatangan ke momen yang menggembirakan ini. Tidak berselang lama,
nama keduanya terdengar ke seluruh medan perang Aceh dan menerbitkan gairah
43Lulofs, Szekely, Cut Nyak Din : Kisah Ratu Perang Aceh, (Jakarta : Komunitas Bambu,
2010), h. 129
44Lulofs, Szekely, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh, h. 125
45Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996), h. 49
30
baru di tubuh pasukan Aceh. Pernikahan ini dimaknai bukan sebatas hubungan
spesial antara lelaki dan perempuan, melainkan adalah munculnya pasangan yang
akan mengabdikan dirinya untuk bertempur di medan perang menghadapi Belanda.
Di pundak pasangan inilah keselamatan tanah air dan bangsa Aceh digantungkan.46
D. Kedatangan Belanda ke Aceh
Pada Juni tahun 1596 datanglah seorang penjelajah bernama Cornelis De
Houtman. Ia merupakan seorang penjelajah yang berasal dari Belanda. Ia pertama
kali bersandar di pelabuhan Banten melalui jalur pelayaran Eropa ke Indonesia.
Akan tetapi dikarenakan perilaku kasar dari para awaknya, rombongan mereka
diusir oleh Sultan Banten beserta petugas Portugis. Cornelis De Houtman berhasil
mendapatkan beberapa pot merica saat pelayaran ke Bali.47
Aceh merupakan primadona bagi para penjajah. Dengan penghasilan lada
yang sangant banyak, banyak negara seperti Inggris, Prancis, Amerika dan Belanda
yang ingin berkerjasama dan bahkan ingin menguasainya. Belanda yang sangat
berhasrat untuk menguasai terhalang oleh sebuah kesepakatan yang ditanda tangani
dengan Inggris yang disebut sebagai Traktat London (Treaty of London) pada 1824.
Salah satu isi dari kesepakatan tersebut adalah pihak Belanda dan pihak Inggris
megakui kemerdekaan Aceh.48
Aceh sendiri memiliki pertahanan sendiri yang dibangun oleh Sultan
Iskandar Muda. Sultan membangun kekuatan militer dengan cara melatih anggota-
anggotanya dari usia muda. Kekuatan-kekuatan militer yang dimiliki Aceh terdiri
dari angkatan darat, angkatan laut, pasukan berkuda, pasukan gajah, dan divisi
46Mardanas Safwa,Teuku Umar, (Jakarta : Departemen Pendididkan dan Kebudayaan,
2008) h.47
47Dayat Suryana, Bali dan Sekitarnya, (Bali : Dayat Suryana, 2012), h. 59
48Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal Mencari Identitas Kebangsaan, (Yogyakarta : LkiS
Yogyakarta, 2008), h. 88
31
meriam.49 Dan berkat dari hubungan luar negeri dengan Turki, Aceh menerima
bantuan militer berupa persenjataan beserta instrukturnya guna mengajarkan cara
penggunaan senjata. Meskipun pada abad ke 19 Aceh menganut sistem federal yang
setiap wilayah dipimpin oleh seorang pemimpin lokal yang disebut Uleebalang,
akan tetapi Aceh masih merupakan sebuah kerajaan yang kuat.
Belanda yang berhasrat menguasai Aceh melanggar perjanjiannya dengan
Inggris. Belanda menangkap kapal-kapal Aceh yang berdagang ke luar negeri
dengan alasan tindakan ini merugikan pihak Belanda. Belanda juga mengadakan
perjanjian dengan Siak dan memaksa untuk menyerahkan daerah takluknya, seperti
Deli, Serdang, Asahan, dan Langkat padahal daerah-daerah tersebut masih
merupakan wilayah Aceh sejak kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Perlakuan Belanda yang mulai mengusik kemerdekaan aceh membuat
rakyat Aceh melakukan pembalasan dengan mengambil kapal-kapal Belanda yang
ada di Aceh. Perbuatan ini mendapat persetujuan dari Inggris, karena pihak Inggris
menilai Belanda lah yang memulai kesalahan ini.
Belanda dan Inggris dibuat khawatir bahwa Aceh akan dipengaruhi bahkan
dikuasaioleh negara lain saat terbukannya Terusan Suez50 pada 1869. Jalur ini
menghubungkan perahu-perahu Eropa dengan Asia di selat Malaka. Ditambah lagi
utusan Aceh yang mengadakan perundingan dengan pihak Amerika dan Italia yang
ada di Singapura. Karena itu terbentuklah kesepakatan Traktat Sumatera (Treaty of
Sumatra) pada 1871 antara Belanda dan Inggris yang berisikan bahwa Belanda
bebas bertindak apa saja terhadap Aceh. Sebagai gantinya, Inggris dibolehkan untuk
49Amirul Hadi, Aceh : Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta :Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010),h. 152
50Terusan Suez merupakan jalur transportasi air dari Eropa ke Asia tanpa harus
mengelilingi Afrika.
32
berdagang secara bebas di Siak dan Belanda menyerahkan daerahnya yang ada di
Afrika Utara kepada Inggris.51
Awalnya pihak Belanda meminta penjelasan kepada Aceh perihal apa saja
yang dibicarakan dengan konsul-konsul dari Amerika dan Italia. Tetapi pihak Aceh
tidak menanggapi permintaan tersebut. Akhirnya pada tanggal 7 Maret 1873, F.N.
Nieuwenhuyzen yang saat itu menjabat sebagai komisaris Hindia Belanda
berangkat menuju Aceh dengan sebuah kapal perang dan sebuah kapal pemerintah
sipil. Pada tanggal 22 Maret 1873 Nieuwenhuyzen tiba di perairan Aceh. Ia masih
menyampaikan peringatan terakhir kepada Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah.
Tetapi Sultan Mahmud Syah masih menolak dan akhirnya pada tanggal 26 Maret
1873 Nieuwenhuyzen memutuskan untuk berperang melawan Aceh.52
Penyerangan yang dilakukan oleh Jendral Mayor J.H.R Kohler terhadap
Aceh merupakan tanda awal dari perang Aceh melawan Belanda. J.H.R Kohler
memimpin 168 perwira dan 3200 bawahan. Pasukan J.H.R Kohler mendarat di
pantai sebelah timur Ulee Lheue. Dalam usahanya merebut Masjid Agung di ibu
kota J.H.R Kohler menghadapi Teuku Imam Lueng Bata. Sebelumnya, guna
mempersiapkan pertempuran melawan Belanda, Aceh telah memasukkan 5000 peti
mesiu dan 1394 peti senapan yang kalau dihitung terdapat kurang lebih 5000 pucuk
senapan. Dalam pertempuran ini Jendral Mayor J.H.R Kohler tewas ditangan
pejuang Aceh.53
Masyarakat Aceh dan para pemimpinnya dibuat kalang kabut oleh siasat
dari Snouck Hurgronje pada saat perang. Snouck Hurgronje merupakan seorang
ahli kebudayaan dan masyarakat. Dalam penyamarannya di aceh, ia memakai nama
Abdul Gafur. Snouck Hurgronje menyarankan agar menghancurkan Aceh dari
dalam. Cara yang dipakai adalah dengan memecah belah rakyat Aceh, melakukan
51Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal Mencari Identitas Kebangsaan, h. 89
52Ismail Sofyan, Perang Kolonial Belanda di Aceh, (Aceh : Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1977), h. 23
53Mardanas Safwan, Teuku Umar, h. 9
33
penculikan, serta merangkul para Uleebalang, kemudian, setelah melakukan siasat
tersebut, barulah dilakukan serangan habis-habisan.54 Dengan cara ini beberapa
tokoh penting aceh seperti Cik Di Tiro dan Muhammad Syaman jatuh ke tangan
Belanda.
Para Uleebalang yang berpihak kepada Belanda menandatangani sebuah
Korte Verklaring atau perjanjian pendek.55 Isi dari perjanjian tersebut adalah :
1. Pengakuan kedaulatan Belanda
2. Bendera Belanda merupakan satu-satunya bendera yang sah di Aceh
3. Tidak akan memberikan bantuan kepada para pejaung Aceh
4. Musuh Belanda juga merupakan musuh Uleebalang
54Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad,(Medan :Waspada, 1981), h. 37
55Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia, (Jakarta : Mizan, 2012), h. 171
34
BAB IV
PERLAWANAN TEUKU UMAR DALAM PERANG ACEH
A. Perang Aceh Babak Kedua dan Ketiga
Setelah penyerangan pertama Jendral Mayor J.H.R Kohler mengalami
kekalahan, Belanda memulai kembali penyerang yang dipimpin oleh Letnan
Jendral Jan van Swieten pada penghujung tahun 1873. Pada penyerangan yang
kedua ini, Belanda mengerahkan pasukan dengan jumlah yang besar. Pasukan yang
dipimpin oleh Lentan Jendral van Swieten ini terdiri dari 8.500 serdadu, 4.300 kuli
dan 1.500 pasukan cadangan. Hampir sebagian dari pasukan yang dikirim oleh
Belanda merupakan tentara bayaran yang dikumpulkan dari kalangan orang-orang
kecil atau gelandangan yang ada di Belanda dan beberapa negeri di Eropa.56
Menanggapi rencana dari pihak Belanda ini,pihak Aceh pun tidak tinggal
diam. Para Uleebalang dan Ulama ramai-ramai menyuarakan untuk berperang
membela tanah air. Para Ulama berkhutbah dan menyatakan bahwa perang itu
adalah jihad, dan kewajiban setiap muslim. Panglima Polim, Teuku Imam Lueng
Bata dan Tuanku Hasyim menjadi sosok pemimpin yang sangat menonjol
dikalangan masyarakat Aceh. Banyak sukarelawan yang datang dari berbagai
daerah berkumpul di Aceh Besar untuk ikut andil daram perang. Diantara para
sukarelawan tersebut terdapat Uleebalang dari Meuredu dan Pidie yang didukung
oleh 500 perajurit. Teuku Umar juga ikut ke Aceh Besar setelah berjuang di
Meulaboh.
Pada 6 januari 1874 pasukan Letnan Jendral van Swieten mulai menyerang
Masjid Raya dan berhasil merebutnya dari Tuanku Hasyim. Pada 24 Januari
pasukan Letnan Jendral van Swieten mengepung Istana Sultan Aceh yang memang
56Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.
119
35
merupakat tujuan awal dalam ekspedisi Belanda yang kedua ini. Sultan Mahmud
Syah yang mengetahui Istananya telah dikepung berhasil menyelamatkan diri
bersama keluarga dan para penghuni Istana. Jadi pada saat pasukan van Swieten
masuk ke Istana, Istana tersebut telah kosong. Pasukan yang mengetahui bawah
Istana telah kosong menganggap bahwa pihak Belanda telah memenangi perang ini.
Akhirnya Letnan Jendral van Swieten membuat pengumuman bahwasannya Aceh
telah berhasil ditaklukkan.57
Setelah Belanda merasa perang telah selesai karena berhasil menguasai
Istana Sultan Aceh, mereka mulai menarik bala tentaranya dari Aceh. Termasuk
juga Jendral Van Swieten yang kembali ke Jawa pada akhir 26 April 1874 beserta
dengan sebagian besar pasukannya. Akan tetapi, anggapan Belanda bahwa perang
telah berakhir adalah salah besar. Meskipun Istana Aceh telah dikuasai oleh
belanda, rakyat Aceh masih memiliki semangat juang yang besar. Panglima Polim
berhasil mengumpukan pasuakn Aceh yang tercerai berai selepas perang melawan
Letnan Jendral van Swieten. Ia juga berhasil mendamaikan percecokan antara para
Uleebalang dengan Ulama. Selain Panglima Polim, ada seorang Uleebalang
terkenal yang ikut mendukung perlawanan Aceh ini, ia adalah Teuku Lamnga dari
XIII Mukim yang juga merupakan suami dari Cut Nyak Dien. Dengan pasukanya
yang banyak, ia menjadikan kekuatan Aceh semakin kuat.
Dalam menghadapi kekuatan Aceh ini, pihak Belanda berusaha untuk
membujuk para Ulama untuk berpihak kepada mereka dengan janji akan
membangun kembali Masjid Sultan yang telah dihancurkan. Belanda juga
menggunakan para Uleebalang yang telah memihak mereka untuk melawan
kaumnya sendiri, contohnya adalah Teuku Nek yang sebelumnya menjabat di VI
Mukim. Teuku Nek yang berkhianat harus berhadapan dengan Teuku Lamnga
dalam misi perebutan kembali VI Mukim. Tetapi dengan bantuan dari Belanda,
Teuku Nek berhasil memukul mundur pasukan Teuku Lamnga. Meskipun dapat
57Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, (Jakarta : Balai
pustaka, 2008), h. 291
36
menahan gempuran dari Teuku Lamnga, Teuku Nek nyatanya meninggal diracuni
oleh orang-orang Aceh.58
Tahun 1875 Belanda berhasil menundukkan Uleebalang di pantai Aceh
seperti Pase, Perlak, dan Meulaboh dibawah komando Jendral Pel. Lalu
penaklukkan dilanjutkan oleh Jendral Diemont pada tahun 1877 di Lam Bada,
tepatnya di sungai di atas Kutaraja, tempat Teuku Paya, yang membuat Belanda
berhasil mengucilkan Aceh dari laut. Setelah penaklukan-penaklukan yang
dilakukan oleh Belanda, mereka menawarkan kebaikan-kebaiakn kepada rakyat
Aceh agar mau menyerah tanpa berperang kepada Belanda. Selama setahun tidak
ada perang yang berlangsung di Aceh.59 Karena tidak ada penyerahan diri seperti
yang diinginkan oleh Belanda, akhirnya van Lansberge mengirim Kolonel Karel
van der Heijden untuk kembali menyerang Aceh. Penyerangannya dimulai dari
Sungai Aceh pada 23 Juli 1878 dan berhasil menjatuhkan benteng di Mon Tassiek
pada tanggal 28 juli. Akibat penyerangan ini, Tuanku Muda Baet serta Abd ar-
Rahman menyerah. Abd ar-Rahman beserta pengikutnya dipulangkan ke Jeddah
dan diberi syarat untuk tetap tinggal disana dan diberi imbalan uang pensiun sebesar
$1.000. Sedangkan Tuanku Muda Baet yang telah menyerah kembali melawan lagi
dikarenakan semangat rakyatnya yang belum padam, tetapi usaha itu sia-sia karena
ia terkangkap dan diasingkan ke Banda.
Masih di tahun yang sama, Cik Di Tiro seorang penguasa dari Pidie yang
masih melakukan perlawanan mengalami tekanan dari Belanda. Belanda
memblokade perairan Pidie yang membuat sulitnya pasokan beras, barang-barang
keperluan untuk hidup, dan juga senjata menjadi lebih sulit dikirim ke Aceh Besar.
Walaupun demikian, para rakyat Aceh tidak kehabisan akal, meskipun jalur air
terhalangi, mereka masih bisa mengirimkan persedian pangan dan senjata lewat
58Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 17
59Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, h. 198
37
jalur pegunungan walaupun jalur yang ditempuh lebih sulit. Kesulitan itu pun dapat
teratasi dengan bantuan rakyat lain yang bahu-membahu membantu pengiriman.60
Teuku Umar yang muncul sebagai sosok pemimpin muda juga memiliki
andil besar dalam perang ini. Dari kecil, Teuku Umar dikenal sebagai anak yang
cerdas, pemberani dan terkadang suka berkelahi dengan temannya. Dia juga
memiliki sifat yang tegas dan tidak gampang menyerah. Ini terbukti pada tahun
1873 saat terjadinya peperangan antara Aceh dengan Belanda. Pada usia 19 tahun,
Teuku Umar sudah ikut serta dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda
seperti pejuang Aceh yang lainnya. Perjuangan Teuku Umar dimulai di kampung
halamannya Meulaboh, yang kemudian dilanjutkannya ke Aceh Barat.61 Karena
pamornya yang melejit, Teuku Umar diangkat sebagai seorang Keuchik di
Meulaboh pada usia 19 tahun.
Pada Juli 1878, Teuku Umar datang ke Montasik (Aceh Besar) untuk
berkabung karena salah satu pemimpin pejuang Aceh telah wafat dalam
pertempuran di Sla Getaron. Pemimpin itu ialah Teuku Lamnga, suami dari Cut
Nyak Dien. Teuku Umar akhirnya menikahi Cut Nyak Dien atas saran dari
pamannya Teuku Nanta Setia pada tahun 1880. Setelah menikah dengan Cut Nyak
Dien, Teuku Umar kembali ke Aceh Barat dan mulai berperang lagi melawan
Belanda yang ingin membuat raja-raja kecil di daerah itu berpihak pada mereka.
Pada 1881, Teuku Umar mengetahui niat Belanda untuk menaklukan Patek
yang merupakan sebuah pelabuhan yang terdapat di utara Meulaboh. Teuku Umar
pun berangkat ke Patek dan mengumpulkan pasukan untuk siap berperang melawan
Belanda. Walaupun dihujani dengan tembakan, pasukan Teuku Umar dapat
memukul mundur pasukan Belanda. Lalu Teuku Umar melanjutkan perlawanannya
di sebuah pelabuhan lain bernama Reujaih yang dipimpin oleh raja Rigas yang
60Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, (Jakarta : Balai
pustaka, 2008), h. 295
61Mirnawati, Kumpulan Pahlawan Indonesia, (Depok : Penebar Swadaya Grup, 2012), h.
54
38
sebelumnya telah mengakui kekalahannya kepada Belanda. Teuku umar juga
berhasil melumpuhkan pengaruh Belanda tempat itu.62
Teuku Umar melanjutkan perjuangannya ke Aceh besar, lebih tepatnya di
XXV Mukim. Pada tahun 1882 Teuku Umar berhasil mengusir Belanda dari
Krueng Raba dan mendirikan pos Aceh disana. Teuku Umar juga aktif dalam
penyerbuan pos-pos Belanda yang berada dekat Uleulhe dan Bukit Sibun. Akibat
penyerangan ini membuat Belanda menarik pasukannya dan memfokuskan
keuatannya di Kutaraja. Selain berjuang di XXV Mukim, Teuku Umar juga
membantu perebutan kembali VI Mukim yang merupakan kampung halaman
istrinya. VI Mukim dikuasai oleh seorang Uleebalang penghianat bernama Teuku
Nek. Peperangan ini berhasil dimenangkan Teuku Umar dan dapat mengambil
kembali VI Mukim. Belanda yang mengetahui kabar ini langsung mengirimkan
pasukan bala bantuan dari Padang Sumatera Barat. Dikarenakan perbedaan jumlah
pasukan dan persenjataan, pasukan Teuku Umar terpaksa harus mundur untuk
sementara ke pegunungan Ngarai Baradin. Saat pasukan Belanda mulai lengah,
baru lah disitu pasukan Teuku Umar kembali menyerang. Ia pun dapat menguasai
kembali VI Mukim.63
Pada 1883 rakyat Aceh dikejutkan dengan pemberitaan bahwa Teuku Umar
telah menyerah dan berpaling memihak ke Belanda.64 Belanda yang sedang lemah
karena mendapat berbagai macam serangan dari pasukan Aceh dan ditambah
dengan dipulangkannya jendral Kolonel Karel van der Heijden ke Jawa, merasa
sangat senang dengan penyerahan diri ini. Belanda memberikan tugas-tugas penting
untuk Teuku Umar dan mempercayainya untuk melatih tentara mereka bertempur
di hutan dan mengajarkan teknik berperang gerilya. Belanda yang tidak tau siasat
berpura-pura Teuku Umar memberi tugas untuk melakukan perlawanan pada
62Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad Jilid Ke dua, (Medan : Waspada, 1991), h. 183
63Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 19
64Mardanas Safwan, Teuku Umar, (Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, 2007), h. 24
39
pasukan Aceh. Teuku Umar yang ingin mendapat kepercayaan dari Belanda,
menyanggupi perintah itu, tetapi Teuku Umar hanya berpura-pura saja memerangi
Aceh. Tujuannya adalah agar pasukan Aceh dapat merampas senjata dari pasukan
Teuku Umar, walaupun mereka harus mundur. Dengan mundurnya pasukan Aceh,
Belanda merasa gembira dan memberikan hadiah berupa uang kepada Teuku Umar.
Uang hadiah tersebut justru dikirim ke Aceh secara rahasia guna untuk menambah
modal untuk perang.65
Terjadi sebuah peristiwa yang membuat Belanda sangat terkejut pada
tahun 1884. Dimulai saat sebuah kapal Inggris bernama Nisero terdampar di
perairan Panga, empat puluh mil di utara Meulaboh. Awak kapal Nisero kemudian
berenang ke daratan terdekat, yaitu Teunom. Teuku Imam Muda yang merupakan
Uleebalang atau Raja dari Teunom kemudian mengambil kesempatan ini. Raja
Teunom membuat kesepakatan dengan Belanda. Jika ingin menyelamatkan awak
kapal inggris ini haru membayar sejumlah 100.000. Akhirnya diutuslah Teuku
Umar untuk menebus para sandera tersebut. Dengan persenjataan lengkap dan uang
tebusan, Teuku Umar beserta pengikutnya dan beberapa tentara Belanda berangkat
ke Teunom. Teuku Umar yang memanfaatkan situasi ini berhasil merebut kapal
beserta uang tebusan, lalu kembali berpihak ke Aceh lagi.66
Setelah pencapaian ini, Teuku Umar menolak untuk kembali lagi ke Belanda
dan mulai berpihak kembali ke Aceh walaupun sebenarnya ia masih dicurigai oleh
orang Aceh. Belanda yang geram kemudian membuat sebuah pengumuman pada
1885. Isi pengumuman tersebut adalah barang siapa yang bisa menangkap Teuku
Umar hidup atau mati akan diberi hadiah sebesar 25.000. Tetapi tawaran tersebut
tidak banyak ditanggapi, karena rasanya sia-sia saja melawan Teuku Umar.
Pada 14 Juni 1886, saat Teuku Umar datang ke Ruegaih untuk
mendisiplinkan sebuah kapal yang bernama Hok Canton dari Denmark yang
65M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), h.249
66Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005) h. 256
40
berulah. Kapten kapal tersebut bernama Hansen. Ia menolak membayar lada yang
telah dimuat ke kapalnya. Saat Teuku Umar beserta pengikutnya telah masuk ke
dalam kapal Hok Canton, kapten Hansen beserta awak kapalnya menyerang Teuku
Umar. Ternyata kapten Hansen berencana menculik Teuku Umar dan
menyerahkannya ke Belanda di Uleulhue. Dengan sikap melawan dari kapten
Hansen, Teuku Umar terpaksa bertindak keras dan berhasil mematahkan
perlawanan dari kapten Hansen. Kapten Hansen tewas dalam pertempuran ini.
Awak kapalnya sebagain tewas dan ada awak kapal yang minta diampuni nyawanya
dan berjanji akan masuk islam.67 Dengan menyandera awak kapal yang tersisa,
Teuku Umar meminda tebusan sebesar 25.000. Karena tuntutan dari Inggris,
Belanda akhirnya terpaksa membaya uang tebusan tersebut. Teuku Umar kemudian
membagikan uang hasil tebusan itu ke anak buahnya yang berjasa dalam
penyergapan ini.
B. Siasat Teuku Umar Dalam Perang Aceh
Pada waktu Teuku Umar menyerahkan diri dan mulai berpihak ke Belanda,
rakyat Aceh sangat dibuat terkejut olehnya. Banyak rakyat Aceh yang marah dan
mengutuk Teuku Umar, bahkan ada yang sampai mengatakan “dasar orang
Padang”. Walaupun Teuku Umar terlihat seperti memihak ke Belanda, tetapi dalam
hatinya ia masih sangat mencintai Aceh. Tetapi banyak dari rakyat Aceh yang tidak
mengerti dengan siasat Teuku Umar ini. Bahkan istrinya, Cut Nyak Dien, tidak bisa
mengerti pola pikir suaminya itu. Ini terlihat pada saat Teuku Umar mengutus
tangan kanannya yang bernama Pang Laot untuk menemui Cut Nyak Dien dan
memberikan uang untuk keperluan perang. Tetapi Cut Nyak Dien marah dan
menolak uang itu. Pang Laot akhirnya menjelaskan maksud dan tujuan Teuku Umar
yang sebenarnya.
Sebenarnya, sebelum Teuku Umar menjalankan siasatnya, ia sempat
ditentang oleh Cik Di Tiro. Menurut Teuku Umar, kondisi Belanda sedang lemah
akibat banyak pos-posnya berhasil ditaklukkan, ditambah anggaran untuk perang
67Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad Jilid Ke dua, h. 185
41
telah dibatasi. Kondisi seperti ini harus dimanfaatkan untuk mendapatkan
keuntungan. Caranya adalah dengan didekati dan berpura-pura bekerja sama
dengan mereka. Tetapi, menurut Cik Di Tiro, dalam perang sabil ini hanya ada dua
jalan, berperang dengan tentara kafir atau mati syahid.68
Pada 1891 Aceh kehilangan tokoh penting dalam perang Aceh ini. Cik Di
Tiro telah wafat setelah memakan makanan yang telah diracuni saat perjamuan di
Seulameum.69 Setelah wafatnya Cik Di Tiro, Teuku Umar tampil ke publik sebagai
pemimpin yang berani, ia menjadi harapan rakyat Aceh. Disisi lain, Belanda juga
mengganti gubernurnya di Aceh. Van Teijn digantikan oleh Deykerhoff. Berbeda
dengan van Teijn yang ditakuti rakyat karena memiliki sifat keras dan bertangan
besi, Deykerhoff memiliki sifat lembut dan memilih untuk berdamai dengan Aceh.
Deykerhoff bahkan memberikan uang dan hadiah kepada Sultan Aceh. Daykerhoff
juga menawarkan kepada Sultan Aceh jika ingin bergabung dengan Belanda maka
akan diberikan jabatan sebagai kepala pemerintahan Aceh di bawah pemerintahan
Belanda. Ditahun yang sama, Belanda juga mengirim Snouck Hurgronje untuk
menyamar dan mempelajari rakyat Aceh.
Selama 1891 sampai 1892, Snouck Hurgronje memakai nama Abdul Ghafur
untuk mengelabui rakyat Aceh. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa, perang
Aceh sebenarnya adalah perang rakyat. Jadi, pemerintah Belanda harus
memberantas perlawanan rakyatnya, sekecil apapun itu bentuk perlawanannya. Dan
juga ia menyatakan meskipun Sultan Aceh merupakan orang tertinggi di Aceh,
tetapi perlawanan justru lebih banyak timbul karena pengaruh Ulama dan
Uleebalangnya. Jadi penyerangan bisa difokuskan ke Ulama dan Uleebalang
beserta para pengikutnya.70
68Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 20
69Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996), h. 49
70Hamid Algadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Arab, (Jakarta : Sinar Harapan,
1984), h. 113
42
Teuku Umar yang mengetahui bahwa kolonel Deykerhoff ingin menempuh
jalur damai dengan Aceh, mulai berniat untuk melakukan siasatnya yang kedua.
Meskipun tidak mendapat persetujuan dari Sultan Muhammad Daud, nyatanya pada
September 1893 Teuku Umar beserta 15 orang panglimanya menyerahkan diri ke
Belanda. Ia lalu diberi gelar “Teuku Johan Pahlawan” dan diberi izin memimpin
250 orang pasukan.
Setelah diberi persenjataan yang lengkap dan juga uang, Teuku Umar
ditugaskan untuk memerangi musuh-musuh Belanda yang ada di wilayah XXV
Mukim dan XXVI Mukim. Teuku Umar sukses menjalankan perintah Belanda
tersebut. Sebenarnya, dalam menjalankan perintah Benada, Teuku Umar hanya
memerangi Uleebalang Aceh yang berlaku kejam kepada rakyatnya. Walaupun
Uleebalang tersebut ikut ikut memerangi Belanda, tapi kalau merugikan rakyatnya
maka akan diperangi oleh Teuku Umar. Hal yang sebaliknya akan dilakukan Teuku
Umar apabila menghadapi pasukan Aceh yang benar-benar berperang untuk rakyat
Aceh, maka ia hanya akan melakukan perang pura-pura.71 Teuku Umar juga
mengajak sebagain Uleebalang dan Ulama untuk mengikutinya memakai siasat
pura-pura. Dengan begitu terbentuklah modus vivendi di wilayah Belanda.72
Teuku Umar juga membentuk persekutuan dengan Teungku Kutakarang,
seorang Ulama dari XXV Mukim. Bersama dengan Teuku Kutakarang, mereka
menyerang Mat Amin dan Teungku Beb di XXV Mukim. Penyebab penyerangan
ini adalah karena Mat Amin dan Teungku Beb berlaku tidak baik ke rakyatnya.
Belanda yang menerima kemenangan-kemenangan dari Teuku Umar,
menghadiahinya sebuah rumah di Lam Pisang, Aceh Besar. Lalu dengan
persetujuan pemerintah Belanda, pada 1896 Teuku Umar diberi gelar Uleebalang
Leupueng, di sebelah selatan Aceh Besar.
71Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 20
72Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.
296
43
Karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan Teuku Umar, kekuatan
Belanda yang semulanya di pusatkan di Aceh Besar, kini menyebar ke pos-pos
daerah taklukan mereka. Disisi lain, Cut Nyak Dien yang merupakan istri dari
Teuku Umar merasa khawatir akan sikap suaminya tersebut. Ia pun meminta Teuku
Umar untuk segera keluar dari Belanda dan mulai membantu Aceh untuk
memerangi Belanda kembali.73 Tetapi Teuku Umar tidak menyanggupi permintaan
istrinya tersebut. Sebab Teuku Umar mencari waktu yang pas untuk mulai
menyerang Belanda kembali.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada 28 Maret 1896 Teuku
Umar secara terang-terangan menyatakan keluar dari naungan Belanda dan mulai
memihak Aceh lagi. Kejadian ini sangat membuat pihak Belanda kaget, terutama
kolonel Deykerhoff yang sangat mempercayainya. Pihak Belanda mulai bertanya-
tanya sebab perginya Teuku Umar. Teuku Umar mengirim surat kepada Belanda
yang berisikan alasan kenapa ia meninggalkan Belanda. Ia beralasan sudah muak
dengan sikap curiga dan hinaan dari pembesar Belanda. Hasil dari tindakan Teuku
Umar ini, ia berhasil membawa uang sebanyak 18.000, 800 pucuk senjata, 25.000
butir peluru, 500 kg amunisi dan 5.000 kg timah.74
C. Akhir dari Perjuangan Teuku Umar
Sebenarnya, penghianatan Teuku Umar ini sudah diperkirakan oleh Snouck
Hurgronje. Ia sempat berpesan kepada pemerintah Belanda “bila Umar
menyorongkan tangan, terimalah, tapi peganglah tangan itu teguh-teguh,
pergunakan Umar dimana bisa dipergunakan, tapi jangan percaya ia”. Jadi, Snouck
Hurgronje menyarankan agar pemerintah Belanda mempergunakan Teuku Umar
dengan sebaik-baiknya, tapi jangan terlalu mempercaianyanya.75 Kolonel
Deykerhoff juga menerima dampak dari penghinatan Teuku Umar yang kedua
73Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, (Jakarta : Balai
pustaka, 2008), h. 299
74Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, h. 297
75Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad Jilid Ke dua, (Medan : Waspada, 1991), h. 172
44
kalinya ini, ia diberhentikan dan digantikan oleh Jendral Vetter. Jendral Vetter
mengirimkan ultimatum kepada Teuku Umar agar mengembalikan senjata-senjata
yang dicurinya, tetapi Teuku Umar menolaknya.
Selepas pergi meningglakan Belanda, Teuku Umar lalu berusaha
mengumpulkan kembali pasukan Aceh yang tercerai berai di VI Mukim. Bersama
dengan istrinya, Cut Nyak Dien, ia memimpin perlawanan terhadap pos-pos
Belanda diluar Concentratie Stelsel76. Akan tetapi, pasukan Aceh kalah dari
Belanda dan Belanda berhasil mengusir Aceh dari VI Mukim. Selama dua bulan
Jendral Vetter memimpin pasukan Belanda ia berhasil menaklukkan pos-pos Aceh
yang dulunya milik belanda seperti Aneuk Galong dan Sanelop. Jendral Vetter
kemudia digantikan oleh Jendral de Moulin, tetapi ia meninggal setelah menjabat
sekitar dua minggu. Kemudian muncullah penggantinya yang bernama Kolonel
Stemfoort. Kolonel Stemfoort dengan kekuatan yang besar berhasil merebut pos-
pos penting milik Aceh. Kesuksean Kolonel Stemfoort ini didasari dari info para
penghianat seperti Cut Lam Tengah dan Sutan Ali.
Pada 21 Juli 1896, Teuku Nyak Makam yang merupakan saudara dari Teuku
lamnga tertangkap oleh pasukan Belanda. Teuku Nyak Makam yang sedang
terbaring di tempat tidur karena sakit, tidak bisa berbuat apa-apa saat pasukan
Belanda menyerbu rumahnya di Lam Nga, Aceh Besar. Pejuang yang sedang sakit
itu ditembak dan dipancung kepalanya lalu ditancapkan di ujung bambu. Perlakuan
keji pasukan Belanda tersebut dipertontonkan didepan istri serta rakyat Teuku Nyak
Makam sendiri.77 Teuku Umar yang mendengar kabar tentang Teuku Nyak Makam
diperlakukan sangat kejam, makin menaruh dendam terhadap Belanda.
Atas dasar saran dari Snouck Hurgronje yang menganjurkan untuk “terus
mengejar musuh dan jangan sedikitpun memberi istirahat”, van Heutsz dan van
76Concentratie Stelsel merupakan sebuah sistem pengkonsentrasian kekuatan yang
dikumpulkan di daerah kekuasaan Belanda.
77Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah, (Aceh : Pusat Dokumen dan
Informasi Aceh, 1999), h. 190
45
Dalen terus menerus memburu dan memerangi pasukan Aceh. Akibat serangan
terus menerus yang dilakukan oleh van Heutsz pada 1897, Teuku Umar beserta
pasukan Aceh terpaksa mundur ke Daya Hulu, Aceh Besar. Van Heutsz juga
berhasil menaklukkan Peukan Baro dan Peukan Cot yang dianggap sebagai
ancaman bagi Belanda.
Pada 1898 atas usulan Snouck Hurgronje, van Heutsz diangkat menjadi
Gubernur militer dan sipil di Aceh. Alasan Jendral Van Der Wijk mengangkat van
Heutsz adalah karena ia masih membutuhkan jasa Snouck Hurgronje dalam
perkembangan kebijakan melawan Aceh. Snouck Hurgronje hanya ingin
melakukan kebijakannya dengan Gubernur yang memang sanggup mengikuti
kebijakannya.78 Oleh sebab itu dipilihlah van Heutsz menjadi Gubernur Aceh yang
baru. Van Heutsz memang sering bertukar pikiran dengan Snouck Hurgronje
mengenai kebijakan Aceh sejak 1892. Snouck Hurgronje juga diberi jabatan
sebagai penasihat gubernur
Bersama dengan Snouck Hurgronje, van Heutsz membuat beberapa
kebijakan untuk menaklukkan Aceh, antaralain79 :
1. Aceh Raya harus diduduki pasukan yang bergerak cepat.
2. Rakyat dan Uleebalang harus diamat-amati.
3. Teuku Umar tidak akan diberi istirahat sedikit pun.
4. Rakyat Aceh Raya dilarang membawa senjata api.
5. Barang siapa yang tidak menyerah termasuk Sultan dan Uleebalang akan
ditaklukkan.
Masih ditahun 1898, tepatnya pada 23 Juli 1898 pihak Aceh mengadakan
pertemuan di Keude Meulu, Pidie. Pertemuan ini dihadiri oleh para pemimpin adat
78Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.
298
79Mardanas Safwan, Teuku Umar, (Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, 2007), h. 66
46
dan agama. Dalam pertemuan ini diputuskan bahwa Teuku Umar diangkat menjadi
pemimpin perang. Dalam pertemuan ini juga menghasulkan sebuah kesepakatan
yang menganjurkan bagi siapa pun yang tidak ikut berperang untuk membayar hak
sabil. Sumbangan-sumbangan tersebut akan dipergunakan untuk keperluan
peperangan.
Teuku Umar yang menjadi telah manjadi pemimpin perang membuat
beberapa rencana perang, seperti :
1. Menghindari perang bersekala besar.
2. Pejuang akan bergerak di seluruh Aceh.
3. Tempat yang ditinggalkan Belanda harus diduduki.
4. Peperangan dilakukan secara gerilya.
Pergerakan Teuku Umar beserta pasukannya yang cepat dan selalu
berpindah-pindah tempat tidak bisa diikuti oleh pasukan Belanda yang membawa
meriam dan persediaan makanan. Pasukan Teuku Umar mundur ke daerah
pegunungan yang memiliki hutan lebat. Untuk menanggapi taktik Teuku Umar, van
Heutsz mendatangkan banyak tentara dari Jawa. Van Heutsz berencana menyerang
Pidie tempat berkumpulnya Teuku Umar dan pasukannya. Pasukan Belanda
sebanyak 6.000 orang berangkat dari Sigli dan 2.000 pasukan berangkat dari
Seilemeum untuk mengepung Pidie.80 Teuku Umar yang mengetahui pergerkan
pasukan Belanda ini berhasil menghindar dan keluar dari Pidie.
Teuku Umar yang dikejar oleh pasukan Letnan Willem, kabur ke Tangse 60
km dari Sigli. Saat tiba di jurang yang sempit, pasukan Letnan Willem tidak dapat
melanjutkan pengejaran lagi dan terpaksa untuk mundur. Rupanya van Heutsz
berhasil sampai ke Tangse melalui sebuah jalan rahasia yang diberitahu oleh
seorang penghianat. Teuku Umar pun akhirnya terpaksa pergi dan menuju ke
Lepong dan dilanjutkan ke Wojla. Wojla sendiri merupakan tempat leluhur Teuku
80Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah , h. 193
47
Umar, Datuk Machudun Sati. Dengan pejuang-pejuang yang baru direkrut di Wojla,
Teuku Umar melanjutkan perjuangan melawan Belanda.81
Van Heutsz yang mengetahui keberadaan Teuku Umar, mengutus
tentaranya untuk melakukan pengejaran sementara ia menunggu di Meulaboh.
Teuku Umar yang mengetehui keberadaan van Heutsz di Meulaboh segera
mengerahkan pasukannya untuk menyerang. Tetapi pergerakan Teuku Umar
berhasil diketahui van Heutsz berkat seorang penghianat. Akhirnya van heutsz
menyiapkan sebuah perangkap untuk Teuku Umar dan pasukannya. Setibanya di
Meulaboh, Teuku Umar dan pasukannya disambut dengan tembakan-tembakan dari
pasukan van Heutsz. Serangan ini membuat Teuku Umar tertembak dan wafat di
Meulaboh. Kejadian ini tepatnya terjadi pada 11 Februari 1899.82
Jasad Teuku Umar kemudian diselamatkan oleh tangan kanannya yang
paling setia, Pang Laot. Jasad pahlawan yang telah gugur tersebut kemudian
dimakamkan di Kampung Mugo dengan upacara yang sederhana. Van Heutsz yang
mengetahui jasad Teuku Umar dikuburkan di Kampung Mugo dengan kejinya
menyuruh pasukannya untuk menggalinya dan memenggal kepala Teuku Umar.
Kepalanya kemudian di tancapkan di sebuah bambu dan dipertontonkan ke rakyat
Meulaboh. Cut Nyak Dien yang mengetahui suaminya telah gugur terpaksa mundur
bersama dengan Pang Laot. Ia merasa sangat benci dan dendam terhadap Belanda
karena kedua suaminya tewas ditangan mereka.83
81Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 33
82Mirnawati, Kumpulan Pahlawan Indonesia, (Depok : Penebar Swadaya Grup, 2012), h.
54
83Sagimun Mulus Dumadi, Teuku Umar, h. 34
48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perang yang terjadi di Aceh merupakan perang terlama yang pernah
dihadapi oleh Belanda dalam upaya menguasi wilayah dan perdagangan Nusantara.
Perang ini berlangsung kurang lebih selama 31 tahun, yaitu dari tahun 1873 sampai
1904. Banyak sekali pemimpin-pemimpin ternama dari Aceh yang menonjol saat
memimpin perlawanan terhadap Belanda. Salah satunya adalah Teuku Umar.
Teuku Umar membuat sebuah rencana yang sangat menggemparkan pihak Aceh.
Teuku Umar memutuskan untuk berpihak kepada Belanda pada 1883. Siasat ini
dilakukan Teuku Umar untuk mengambil keuntungan dari Belanda, yang akan
disalurkan untuk kebutuhan perang pihak Aceh. Pihak Belanda yang sangat
mempercayai Teuku Umar, memerintahkannya untuk mengajarkan Teknik perang
gerilya kepada pasukannya. Belanda juga menugaskan Teuku Umar untuk
memerangi rakyat Aceh. Tentu saja Teuku Umar tidak serius berperang melawan
tantara Aceh.
Akhir dari siasat Teuku Umar yang pertama adalah saat terjadinya peristiwa
kapan Nisero. Teuku Umar yang dibekali dengan persenjataan lengkap dan uang
tebusan, ditugaskan untuk membebaskan awak kapal Nisero. Bukannya
membebaskan tawanan, Teuku Umar justru membelot dari Belanda dan kembali
memihak Aceh dengan membawa persenjataan lengkap dan uang yang lumayan
banyak.
Siasat Teuku Umar yang kedua dilakukan saat Belanda sedang dalam
kondisi yang kurang baik. Pada saat itu, pemerintah Belanda membatasi biaya
perang pasukannya di Aceh. Ditambah kolonel Deykerhoff yang menginginkan
jalan damai saja. Karena ia berpendapat bahwa jalan kekerasan hanya akan
menimbulkan lebih banyak perlawanan lagi. Teuku Umar yang melihat kesempatan
ini, mulai melaksanakan siasatnya yang kedua kali. Pada September 1893 Teuku
Umar dan 15 orang pengikutnya menyerahkan diri ke Belanda dan Teuku Umar
49
diberi gelar “Teuku Johan Pahlawan”. Sama seperti sebelumnya, Teuku Umar
ditugaskan untuk melawan pejuang Aceh yang masih memerangi Belanda. Dalam
menjalankan perintah Belanda, Teuku Umar hanya serius ketika melawan seorang
Uleebalang yang dinilai merugikan rakyatnya sendiri. Dari penaklukkan-
penaklukkan yang dilakukan Teuku Umar, wilayah Belanda semakil luas. Mereka
mendirikan pos-pos atau banteng-benteng pertahanan di tempat penaklukan
tersebut.
Berbeda dari siasatnya yang pertama, untuk mengakhiri siasatnya yang
kedua ini Teuku Umar secara terang-terangan menyatakan keluar dari kubu
Belanda pada 28 Maret 1896. Hal ini didasari dari permintaan Cut Nyak Dien yang
terus meminta suaminya itu agar segera kembali ke pasukan Aceh. Ditambah lagi
sikap-sikap pasukan Belanda yang mengucilkan Teuku Umar, membuat niatnya
semakin bulat untuk segera meninggalkan Belanda. Setelah kepulangannya ke
Aceh, Teuku Umar beserta Cut Nyak Dien mulai mengumpulkan pejuang-pejuang
Aceh yang sebelumnya tercerai berai. Ia beserta pasukannya mulai menyerang pos-
pos yang berada di luar daerah pusat kekuasaan Belanda.
Akibat dari siasat berpura-pura yang dilakukan Teuku Umar, pihak Belanda
mengalami kerugian. Baik itu dari keuangan maupun persenjataan. Bahkan, kolonel
Deykerhoff yang saat itu mempercayai Teuku Umar harus diberhentikan dari
jabatannya dan digantikan oleh Jendral Vetter.
50
B. Saran
Karya ilmiah yang telah penulis sampaikan diatas menggambarkan betapa
hebatnya perjuangan yang dilakukan oleh seorang tokoh demi membela tanah
airnya. Hal tersebut diharapkan bisa memberikan kita pelajaran yang sangat berarti
bahwa untuk mendapatkan kebebasan atau kemerdekaan memerlukan sebuah
perjuangan yang tidak mudah.
Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak luput dari kesalahan dan
ketidaksempurnaan. Begitu pula dengan karya ilmiah ini. Sekeras apapun penulis
berusaha menulis karya ilmiah ini, tetap akan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, karya ilmiah ini perlu dilengkapi lagi dengan perspektif berbeda dari karya
ilmiah lain agar mendekati kesempurnaan. Karya ilmiah ini diharapkan bisa
bermanfaat dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca,
khususnya masyarakat Aceh yang mana Aceh merupakan objek utama dalam
pembahasan ini.
51
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Fenita. 100 Great Women, Yogyakarta, Jogja Bangkit, 2010
Ahmad, Zakaria. Sekitar Kerajaan Atjeh Dalam Tahun 1550-1675, Medan,
Monora, 1972
Algadri, Hamid. Politik Belanda Terhadap Islam dan Arab, Jakarta, Sinar
Harapan, 1984
Alfian, Ibrahim. Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah, Aceh, Pusat Dokumen dan
Informasi Aceh, 1999
Alamsyah. Ensiklopedi Aceh adat bahasa geografi kesenian sejarah, Aceh,
Pejabat Pembuat Komitmen Bidang Budaya, 2008
Anshoriy, Nasruddin. Bangsa Gagal Mencari Identitas Kebangsaan, Yogyakarta
LkiS Yogyakarta, 2008
Budi Utomo, Bambang. Atlas Sejarah Indonesia Masa Silam, Direktorat
Geografi Sejarah, 2011
Burhanudin, Jajat. Ulama Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia, Jakarta, Mizan, 2012
Dumadi, Sagimun Mulus. Teuku Umar, Jakarta, Bhratara Karya Aksara, 1983
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto,
Jakarta, UI Press, 2006
Hadi, Amirul. Aceh : Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2010
Hasjmy, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Jakarta,
Bulan Bintang, 1977
Hoesin, Moehammad. Adat Atjeh, Banda Aceh, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Aceh, 1970
Hurgronje, Snouck. Aceh : Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jakarta, INIS, 1996
-----------------------. Orang Aceh : Budaya, Masyarakat dan Politik Kolonial,
Yogyakarta, IRCiSoD, 2019
Ibrahim, Muchtaruddin. Cut Nyak Dien, Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996
Ibrahim, Muhammad. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991
Isa, Muhammad. Sabil Prahara di Bumi Rencong, Jakarta, Mizan, 2014
Kartodirjo, Satrono. Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah, Jakarta,
PT Gramedia Pustaka Utama, 1992
Kartodirjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, Yogyakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975
Kodariyah, Rinrin. Tengku dan Cut, Jakarta, Pacu Minat Baca, 2017
Lulofs, Szekely. Cut Nyak Din : Kisah Ratu Perang Aceh, Jakarta, Komunitas
Bambu, 2010
Madjid, M. Dien. Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014
Mirnawati. Kumpulan Pahlawan Indonesia, Depok, Penebar Swadaya Grup,
2012
Noer, Delian. Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta, Mizan, 1998
Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, Jakarta,
Balai pustaka, 2008
Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005
------------------. Menuju Sejarah Sumatra : Antara Indonesia dan Dunia, Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011
-----------------. Sumatera : Revolusi dan Elit Tradisional, Jakarta, komunitas
Bambu, 2012
----------------. The Contest for North Sumatera, Kuala Lumpur, Universitas of
Malaya Press, 1969
Safwa, Mardanas. Teuku Umar, Jakarta, Departemen Pendididkan dan
Kebudayaan, 2008
Said, Mohammad. Atjeh Sepanjang Abad, Medan, Waspada, 1981
---------------------. Atjeh Sepanjang Abad, Jilid Kedua, Medan, Waspada, 1991
Sofyan, Ismail. Perang Kolonial Belanda di Aceh, Aceh, Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh, 1977
Sufi, Rusdi. Sejarah Kotamadya Banda Aceh, Aceh, Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997
Suny, Ismail. Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta, Bharata Karya Aksara,
1980
Suryana, Dayat. Bali dan Sekitarnya, Bali, Dayat Suryana, 2012
Usman, Rani. Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003
Zainuddin, H.M. Tarich Atjeh dan Nusantara Jilid 1, Medan, Pustaka Iskandar
Muda, 1961
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
Tokoh Uleebalang Aceh Teuku Umar
Lampiran II
Peta Daerah Pertempuran Aceh 1873-1904
Lampiran III
Cut Nyak Dien, Istri Teuku Umar
Lampiran IV
Teuku Umar Beserta Para Pengikutnya
Lampiran V
Tokoh Belanda Snouck Hurgronje