perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran pada masa dinasti abbasiyah
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata arab Al-Hadharah al-
Islamiyyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab
adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat,
masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab,
al-Tsaqafah; Inggris, culture) dan “peradaban” (Arab, al-Hadharah;
Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang,
kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang
semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-
manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan
peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni,
sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik,
ekonomi dan teknologi.1[1]
Peradaban sering dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang
mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem
kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.2[2]
Sejarah perkembangan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga
saat ini akan terus berlangsung. Demikian pula dengan peradaban Islam,
senantiasa akan berlangsung di berbagai wilayah dunia Islam.
Seperti kita ketahui, Islam pernah mencapai kejayaan dalam bidang
peradaban, bahkan sebelum bangsa Eropa maju, peradaban Islam telah
mencapai puncak kejayaannya. Dengan demikian, tidak dapat disangkal
bahwa karena peradaban Islam-lah peradaban Eropa menjadi maju,
karena bangsa Eropa telah belajar dari peradaban Islam, khususnya dari
peradaban Islam Spanyol. Oleh karena itu, mempelajari sejarah Islam dan
peradabannya adalah suatu keniscayaan, agar kemajuan peradaban Islam
dapat kembali diraih oleh umat Islam.
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam
mengembangkan peradaban Islam. Pemerintahan dinasti ini sangat peduli
dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan, ini terbukti dengan
disiapkannya segala fasilitas untuk kepentingan tersebut; pembangunan
1
2
pusat-pusat riset dan terjemah seperti Baitu Hikmah, majelis munadzarah,
dan pusat-pusat studi lainnya.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa dimana umat Islam membangun
pemerintahan, yang ilmu adalah sebagai landasan utamanya, sebagai
suatu keniscayaan yang diwujudkan dalam membawa umat ke suatu
negeri idaman, suatu kehausan akan ilmu pengetahuan yang belum
pernah ada dalam sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Abbasiyah, nama dinasti kekhalifahan yang berkuasa mulai 749 hingga
1258 (132 H-656 H) ini diambil dari nenek moyangnya al-Abbas bin ‘Abdul
Mutalib bin Hasyim, paman Rasulullah.3[3] Dinasti Abbasiyah didirikan
oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Al-
Saffah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abu al-
Abbas al-Saffah dikenal sebagi orang yang masyhur karena
kedermawanannya, kuat ingatannya, keras hati, tapi sangat besar
dendamnya kepada Bani Umayyah. Sehingga dengan tidak mengenal
belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu.4[4]
Munculnya Dinasti Abbasiyah sering dihubungkan dengan kejatuhan
Dinasti Umayyah.5[5] Dalam satu hal terdapat perbedaan yang sangat
mendasar: Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti
Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah merupakan
kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu
unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu.6[6]
Oleh karena itu, penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini lebih dari
sekedar penggantian dinasti, ia merupakan revolusi dalam sejarah Islam,
suatu titik balik yang sama pentingnya dengan revolusi Prancis dan
revolusi Rusia di dalam sejarah Barat.7[7]
3
4
5
6
7
Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya
sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara
teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti
Umayyah.8[8]
Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, yaitu selama lima abad. Selama dinasti ini berkuasa pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan
politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode:
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh
Turki pertama.
3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan
dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar
kota Bagdad.9[9]
Pada mulanya Ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru
berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesipon, tahun 762
M. Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada
ditengah-tengah bangsa Persia.10[10]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam,
mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah
didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang didirikan oleh Al-Saffah dan al-
Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, al-
8
9
10
Mahdi, dan khalifah kesembilan, al-Watsiq dan lebih khusus pada masa
khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya, al-Ma’mun.
B. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah kepala negara adalah khalifah,
yang setidaknya dalam teori memegang semua kekuasaan. Ia dapat
melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang wazir, otoritas pengadilan
kepada seorang hakim (qadhi), dan otoritas militer kepada seorang
jenderal (amir), namun khalifah tetap menjadi pengambil keputusan akhir
dalam semua urusan pemerintahan pemerintahan. Dalam melaksanakan
fungsi dan tugas pemerintahannya khalifah Bagdad mengikuti pola
administrasi Persia. Penolakan masyarakat terhadap pemerintahan
sekuler Umayyah dimanfaatkan Abbasiyah dengan menampilkan diri
sebagai pemerintahan imamah, yang menekankan karakteristik dan
kewibawaan religius.11[11]
Pergantian kepemimpinan secara turun-temurun seperti yang dilakukan
pada masa Umayyah juga diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, beserta dampak
buruknya. Khalifah yang sedang berkuasa akan menunjuk penggantinya
seorang anak, atau saudaranya yang ia pandang cakap atau menurutnya
paling tepat. Khalifah dibantu oleh pejabat rumah tangga istana (hajib)
yang bertugas memperkenalkan utusan dan pejabat yang akan
mengunjungi khalifah. Ada juga seorang eksekutor yang menjadi tokoh
penting istana yang bertugas di bawah tanah istana, yakni tempat
penyiksaan.12[12]
Pendapatan negara pada masa Dinasti Abbasiyah bersumber dari pajak
sebagai sumber utama, kemudian zakat yang dibebankan atas tanah
produktif, hewan ternak, emas dan perak, barang dagangan, dan harta
milik lainnya yang mampu berkembang baik secara alami maupun setelah
diusahakan.13[13]
Ada beberapa biro dalam pemerintahan Abbasiyah; biro pajak, biro
pengawas, dewan korespondensi atau biro arsip yang menangani semua
surat-surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah,
11
12
13
dewan penyelidik keluhan atau semacam pengadilan tingkat
banding/pengadilan tinggi, departemen kepolisian dan pos.14[14]
Kekuatan militer Dinasti Abbasiyah terdiri atas pasukan infanteri
(harbiyah) yang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan
panah (ramiyah) dan pasukan kavaleri (fursan) yang mengenakan
pelindung kepala dan dada serta bersenjatakan tombak panjang dan
kapak.
C. Masa Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasiyah
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan
mencapai kejayaannya pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan
Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.15[15]
Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah di mana
Dunia Islam, mulai Cordova di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan
mengalami pembangunan di segala bidang, terutama di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur;
sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan
primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium
dan observatorium; dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi dan
dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan
baru yaitu kebudayaan Islam.
1. Kehidupan Masyarakat Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sistem kesukuan primitif yang menjadi pola organisasi sosial Arab paling
mendasar runtuh pada masa Dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari
berbagai unsur asing. Bahkan dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk
anak-anak mereka, para khalifah tidak menjadikan darah keturunan Arab
sebagai patokan.16[17]
Pada masa awal Dinasti Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati
tingkat kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada masa Dinasti
14
15
16
Umayyah. Pada masa itu banyak perempuan yang berhasil mengukir
prestasi dan berpengaruh di pemerintahan.17[18]
Pada masa ini, busana laki-laki memiliki corak yang beragam dengan
model terbatas. Penutup kepala yang biasa dipakai adalah
qalansuwah18[19], celana panjang yang lebar (sarawil) dari Persia,
kemeja, rompi dan jaket (qufthan), dengan jubah luar (‘aba’ atau jubbah),
melengkapi lemari pakian laki-laki.19[20]
Perabotan rumah yang paling umum adalah diwan20[21]. Karpet buatan
tangan dipakai untuk menutupi lantai. Makanan disajikan pada nampan
lebar dari perunggu. Dirumah-rumah orang berada nampan-nampan itu
terbuat dari perak. Nasi mereka anggap sebagai makan beracun dan
menggantinya dengan menu-menu dari negeri berperadaban tinggi
seperti daging rebus beraroma dan manisan. Mereka menggunakan roti
tipis sebagai alat tulis. Ayam peliharaan mereka diberi makan berupa
kenari, kacang almond dan susu. Pada musim panas rumah-rumah
mereka didinginkan dengan es.21[22]
Masyarakat kelas atas yang berada dibawah kelas aristokrat terdiri atas
penulis sastra, orang terpelajar, seniman, pengusaha, pengrajin, dan
pekerja profesional. Sementara masyarakat kelas bawah membentuk
mayoritas penduduk negara yang terdiri atas petani, pengembala, dan
penduduk sipil yang berstatus sebagai dzimmi.
Kekuasaan kerajaan yang luas dan tingkat peradaban yang tinggi dicapai
dengan melibatkan jaringan perdagangan internasional yang luas. Para
pedagang yang awalnya orang Kristen, Yahudi dan pengikut Zoroaster
kemudian digantikan oleh orang-orang Arab Islam, sehingga pelabuhan-
pelabuhan seperti Baghdad, Bashrah, Siraf, dan Iskandariyah segera
berkembang menjadi pusat perdagangan laut dan darat yang aktif.
Tingkat perdagangan seperti itu dicapai dengan dukungan
pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri
kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan, seperti industri
karpet, sutera, kapas, kain wol, satin dan brokat, sofa, serta perlengkapan
dapur dan rumah tangga lainnya. Industri penting yang perlu dicatat
17
18
19
20
21
adalah pembuatan kertas tulis, yang diperkenalkan pada pertengahan
abad ke-8 dari Cina ke Samarkand. Seni mengolah perhiasan juga
mengalami
kejayaannya; mutiara, safir, rubi, emerald, permata, zamrud, dan onyx
(semacam batu akik). Perhiasan itu banyak digunakan untuk aksesoris
penghias kepala, sepatu dan lain-lain.22[23]
2. Kebangkitan Intelektual
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah
Ja’far al-Manshur, setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/762 M) dan
menjadikannya sebagai ibukota negara.23[24] Ia menarik banyak ulama
dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Bagdad. Ia
merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid,
hadits, atau ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang
lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang dari luar.
Pada masa itu hidup para filsuf, pujangga, ahli baca al-Qur’an, dan para
ulama di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul
Hikmah, didalamnya orang dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.24
[25] Berkembanglah ilmu pengetahuan agama seperti ilmu al-Qur’an,
qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqih
tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Imam Abu
Hanifah (meninggal di Bagdad tahun 150 H/667 M) adalah pendiri
Madzhab Hanafi. Imam Malik bin Anas banyak menulis hadits dan pendiri
madzhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i (wafat di Mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri
Madzhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hanbali (wafat tahun
241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika,
metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika,
astronomi, musik, kedokteran, dan kimia.25[26]
Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat
kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dapat disebutkan sebagai berikut:
22
23
24
25
a. Perkembangan Bidang Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (al-Qur’an dan Hadits),
yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun
perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga
menjadi ilmu yang kita kenal sekarang,26[27] antara lain ulumul qur’an,
ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa, dan fiqih.27[28]
1) Ilmu Fiqh:
Pada masa Abbasiyah lahir para tokoh Fuqoha (ahli Fiqih) pendiri
madzhab, antara lain:
a) Imam Abu Hanifah (700-767 M)
b) Imam Malik (713-795 M)
c) Imam Syafi’i (767-820 M)
d) Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
2) Ilmu Tafsir. Dari tafsir yang ada cera penafsirannya ada dua macam:
Tafsir bi al-ma’tsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan hadits Nabi.
Mufassir masyhur golongan ini pada masa Abbasiyah antara lain
1) Ibn Jarir at-Thabary dengan tafsirnya sebanyak 30 juz
2) Ibn Athiyah al-Andalusy (Abu Muhammad bin Athiyah)
3) al-Suda yang mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn
Mas’ud, dan para sahabat lainnya.
tafsir bi al-ra’yi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal
dengan memperluas pemahaman yang terkandung didalamnya. Mufassir
masyhur golongan ini pada masa Abbasiyah antara lain:
a) Abu Bakar Asma (mu’tazilah),
b) Abu Muslim Muhammad bin Nashr al-Isfahany (mu’tazilah) dengan
kitab tafsirnya 14 jilid.
3) Ilmu Hadits.
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an.
Diantara para ahli hadits pada masa dinasti Abbasiyah adalah
a) Imam Bukhari (194-256 H), karyanya Shahih al-Bukhari
b) Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shahih Muslim
c) Ibnu Majah, Karyanya Sunan Ibnu Majah
d) Abu Dawud, Karyanya Sunan Abu Dawud
e) Imam an-Nasa’i, Karyanya Sunan An-Nasa’i
f) Imam Baihaqi
26
27
4) Ilmu Kalam
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga
neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan
suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau teologi. Diantara tokoh ilmu kalam
adalah
a) Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, tokoh
Asy’ariyah.
b) Washil bin Atha, Abu Huzail al-allaf, tokoh Mu’tazilah.
c) Al-Juba’i
5) Ilmu Bahasa
Ilmu-ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah
ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan arudl. Bahasa Arab
dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, disamping sebagai alat
komunikasi antar bangsa.
Diantara para ahli ilmu bahasa adalah:
a) Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000
halaman.
b) Al-Kisa’i
c) Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6.000
halaman lebih.
b. Perkembangan Bidang Ilmu Aqli
Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa
Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India.28[29]
Pada tahun 856 M khalifah al-Mutawakkil mendirikan Sekolah Tinggi
Terjemah di Bagdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku.29[30]
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase.
1. Fase pertama pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid,
pada fase ini banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi
dan mantiq.
2. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun
300 H, buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang
filsafat dan kedokteran.
28
29
3. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang ilmu yang diterjemahkan
semakin meluas.30[31]
Dengan kegiatan penerjemahan itu, sebagian karangan Aristoteles, Plato,
Galen, serta karangan dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan
mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama
Islam.
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum
muslimin mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai
semua ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah berkembang masa itu
serta malakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan
eksperimen serta mengembangkan pemikiran spekulatif dalam batas-
batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu
dimulailah pembentukan ilmu-ilmu Islam di bidang aqli, yang sering
disebut Abad Keemasan yang berlangsung antara 900-1100 Masehi.31[32]
Dalam bidang ilmu aqli antara lain berkembang berbagai kajian dalam
bidang filsafat, logika, metafisika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika,
astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.
1) Filsafat
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa
Dinasti Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke
dalam bahasa Arab. Para Filsuf Islam antara lain:
a) Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.
b) Abu Nashr Al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia
memperoleh gelar al-Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru
kedua, sedang guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles.
c) Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf
yang menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato.
Selain filsuf Avicenna juga seorang dokter istana kenamaan. Diantara
bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib (Canon
of Medicine).
d) Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul
Islam, karyanya antara lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh
Dhalal, Tahafut Al- Falasifah, dan Ihya Ulumuddin.
30
31
e) Ibnu Rusyd di Barat terkenal denga Averros (1126-1198 M). Ia seorang
filsuf, dokter dan ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah, Al-
Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-Mujtahid.
2) Ilmu Kedokteran
Pada Masa Abbasiyah Ilmu kedokteran berkembang pesat, rumah sakit
dan sekolah kedokteran banyak didirikan. Diantara ahli kedokteran
ternama adalah
a) Abu Zakariya Yahya bin Mesuwaih (w. 242 H), seorang ahli farmasi di
rumah sakit Jundishapur Iran.
b) Abu Bakar Ar-Razi (Rhazez) (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien
Arab”.
c) Ibnu Sina (Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-
Thib tentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh
obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of
Medicine.
d) Ar-Razi, adalah tokok pertama yang membedakan antara penyakit
cacar dengan measles, Ar-Razi adalah penulis buku tentang kedokteran
anak.
3) Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan
karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang
terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia adalah pengarang kitab Al-Jabar wal
Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.
Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab
karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V
dan seterusnya.
Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin
Al-Abbas (940-998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
4) Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar,
karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan),
Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan
bergizi).
5) Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi
dari berbagai bangsa seperti Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu Falak
Jahiliyah. Diantara ahli astronomi Islam adalah:
a) Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H). Karyanya yang terkenal adalah Isbat
Al-Ulum dan Hayat Al-Falak.
b) Jabir Al-Batani (w. 319 H). Ia adalah pencipta teropong bintang
pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina
Arbai Al-Falak.
c) Raihan Al-Bairuni (w. 440 H). Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina
At-Tanjim.
6) Geografi
Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula
bangsa Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak
jauh untuk berniaga. Di antara wilayah pengembaraan umat adalah umat
Islam mengembara ke Cina dan Indonesia pada masa-masa awal
kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah
a) Abul Hasan Al-Mas’udi (w. 345 H/956 M), seorang penjelajah yang
mengadakan perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis
buku Muruj Az-Zahab wa Ma’adin Al-Jawahir.
b) Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap
sebagai ahli geografi Islam tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa
Al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan
dan peraturan keuangan.
c) Ahmad El-Ya’kubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan
sampai ke Armenia, Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-
Buldan.
d) Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamdani (w. 334 H/946 M), karyanya
berjudul Sifatu Jazirah Al-Arab.
7) Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa
tokoh sejarah antara lain:
Ahmad bin Ya’kubi (w. 895 M) karyanya adalah Al-Buldan (negeri-negeri)
dan At-Tarikh (sejarah).
8) Sastra
Dalam bidang sastra, Bagdad merupakan kota pusat seniman dan
sastrawan. Para tokoh sastra antara lain:
a) Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita
humornya.
b) An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night),
adalah buku cerita Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan
diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia.
D. Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodeisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya
sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khilafah pada periode
ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa para khilafah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khilafah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa faktor yang
menyebabkan kemunduran pada masa daulah Abbasiyah adalah sebagai
berikut:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi
pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah
sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah
kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk
tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun,
khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.32[33]
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., di antara hal yang
menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut:
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-
orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa
kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah
abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan. Pada masa ini
persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan
sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan
Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dan yang masuk lebih
32
besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta.
Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, negara mengalami
defisit anggaran, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah
Abbasiyah, sehingga mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran
keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah, dan kelompok-
kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami
kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Ancaman dari luar
Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan
banyak korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah
terpecah belah untuk menghadapi tentara salibsehingga memunculkan
kelemahan-kelemahan.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam
menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu
Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuatan
Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan
Mongol.33[34]
33
BAB III
PENUTUP
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak
kejayaan pada masa pemerintahhan Dinasti Abbasiyah, kemajuan
intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
Pertama, terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan.
Selain itu mereka banyak berjasa dalamperkembangan ilmu filsafat dan
sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah
dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
Kedua, Gerakan Terjemah. Pada masa daulah ini usaha penerjemahan
kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan
terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum
terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah.
Akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah ialah ketika Bagdad dihancurkan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, 656 H/1258 M. Bagdad
dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah yang terakhir
dengan keluarganya, al-Mu’tashim Billah, dibunuh. Buku-buku yang
terkumpul di baitul hikmah dibakar dan dibuang ke sungai tigris sehingga
berubahlah warna air yang semula jernih menjadi hitam kelam karena
lunturan tinta dari buku-buku itu.
Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan
peran penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam
dengan gemilang.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006)
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994)
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002)
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
MAKALAH
PERKEMBANGAN ILMU ILMU PENGETAHUAN KEDOKTERAN PADA MASA DINASTI
ABBASIYAH
DISUSUN OLEH :
NAMA : IRFAN ISKANDAR
KELAS : VIII_1
SMP NEGERI 3 RAHA
2014KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat dan hidayah-Nya kami bias menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
kami buat guna memenuhi tugas dari dosen.
Makalah ini membahas tentang “ PERKEMBANGAN ILMU ILMU PENGETAHUAN
KEDOKTERAN PADA MASA DINASTI ABBASIYAH ”
semoga dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai siswa SMPN 3 Raha
dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita.
Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna,
maka dari itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari bapak/ibu selaku
dosen-dosen pembimbing kami serta temen-temen sekalian, karena kritik dan saran
itu dapat membangun kami dari yang salah menjadi benar.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita, akhir kata kami mengucapkan terima kasih.
Raha, Mei 2014
PENYUSUN