perempuan pegiat media komunitas

8
Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas 2014 Bentuk Kegiatan: Peningkatan Kapasitas Perempuan Pegiat Media Komunitas dengan Saling Berbagi Pengalaman, Pengetahuan dan Keterampilan dalam Bermedia Tema : Perempuan Berdaya dengan Bermedia Latar Belakang Media massa merupakan wadah untuk mentransformasi ide dan pengetahuan, namun terkadang ide dan pengetahuan yang disampaikan justru mengandung muatan streotipe terhadap perempuan. Sementara itu, media massa, yang dikatakan sebagai agen budaya, sangat berpengaruh terhadap masyarakat sebab masyarakat modern mengkonsumsi media dalam jumlah dan intensitas yang tak dapat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Media massa memang bukan merupakan sarana satu-satunya untuk berkomunikasi, tetapi posisinya telah menjadi semakin sentral dalam masyarakat yang anggotanya sudah semakin kurang berinteraksi secara langsung satu sama lain. Media massa hadir praktis sepanjang hari dalam kehidupan masyarakat. Pemberitaan-pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik seringkali menonjolkan aksen diskriminatif terhadap perempuan melalui tata bahasa maupun visual gambar. Bentuk-bentuk stereotipe yang dimunculkan oleh media massa merupakan bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Perlu dicermati bahwa media dan massa menimbulkan era baru dimana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberi jalan bagi dunia komunikasi baru. Berbeda dengan dunia lama, dunia baru ini mendasarkan diri pada pola hubungan umpan balik dan persinggungan, proses-prosesnya bersifat narasistik dan selalu melibatkan perubahan permukaan. Seiring dengan lenyapnya ruang publik, berita menginvasi sampai ke ruang privat. Hilangnya ruang publik ini diikuti dengan lenyapnya ruang privat. Ruang publik tidak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Biarpun dahulu terdapat pembedaan

Upload: nuno-rahman

Post on 31-Mar-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Media massa merupakan wadah untuk mentransformasi ide dan pengetahuan, namun terkadang ide dan pengetahuan yang disampaikan justru mengandung muatan streotipe terhadap perempuan. Sementara itu, media massa, yang dikatakan sebagai agen budaya, sangat berpengaruh terhadap masyarakat sebab masyarakat modern mengkonsumsi media dalam jumlah dan intensitas yang tak dapat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Media massa memang bukan merupakan sarana satu-satunya untuk berkomunikasi, tetapi posisinya telah menjadi semakin sentral dalam masyarakat yang anggotanya sudah semakin kurang berinteraksi secara langsung satu sama lain. Media massa hadir praktis sepanjang hari dalam kehidupan masyarakat. Pemberitaan-pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik seringkali menonjolkan aksen diskriminatif terhadap perempuan melalui tata bahasa maupun visual gambar. Bentuk-bentuk stereotipe yang dimunculkan oleh media massa merupakan bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan.

TRANSCRIPT

Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas 2014

Bentuk Kegiatan: Peningkatan Kapasitas Perempuan Pegiat Media Komunitas dengan Saling Berbagi Pengalaman, Pengetahuan dan Keterampilan dalam Bermedia

Tema : Perempuan Berdaya dengan Bermedia

Latar Belakang

Media massa merupakan wadah untuk mentransformasi ide dan pengetahuan, namun terkadang ide dan pengetahuan yang disampaikan justru mengandung muatan streotipe terhadap perempuan. Sementara itu, media massa, yang dikatakan sebagai agen budaya, sangat berpengaruh terhadap masyarakat sebab masyarakat modern mengkonsumsi media dalam jumlah dan intensitas yang tak

dapat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Media massa memang bukan merupakan sarana satu-satunya untuk berkomunikasi, tetapi posisinya telah menjadi semakin sentral dalam masyarakat yang anggotanya sudah semakin kurang berinteraksi secara langsung satu sama lain. Media massa hadir praktis sepanjang hari dalam kehidupan masyarakat. Pemberitaan-pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik seringkali menonjolkan aksen diskriminatif terhadap perempuan melalui tata bahasa maupun visual gambar. Bentuk-bentuk stereotipe yang dimunculkan oleh media massa merupakan bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan.

Perlu dicermati bahwa media dan massa menimbulkan era baru dimana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberi jalan bagi dunia komunikasi baru. Berbeda dengan dunia lama, dunia baru ini mendasarkan diri pada pola hubungan umpan balik dan persinggungan, proses-prosesnya bersifat narasistik dan selalu melibatkan perubahan permukaan. Seiring dengan lenyapnya ruang publik, berita menginvasi sampai ke ruang privat. Hilangnya ruang publik ini diikuti dengan lenyapnya ruang privat. Ruang publik tidak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Biarpun dahulu terdapat pembedaan

yang jelas antara ruang publik dan ruang privat, sekarang pembedaan tersebut telah terhapus dalam bentuk kecarutan informasi dalam kehidupan kita yang paling intim dan telah menjadi sorotan media (Sarup, 2008:299).

Perempuan seharusnya atau diharapkan dapat memanfaatkan media secara maksimal yaitu media massa dan media sosial yang memiliki konten kesetaraan gender untuk memenuhi kebutuhan informasinya baik dari segi kognitif, afektif, integrasi personal, integrasi sosial, dan pelepasan ketegangan. Penggunaan media dalam memenuhi kebutuhan informasi ini dilihat berdasarkan jenis media yang digunakan, frekuensi, dan durasi khalayak dalam menggunakan media tersebut. Dimana dan Kapan?

Acara yang diadakan di Desa Wisata Candirejo, Borobudur, Magelang pada 11-13 April 2014 ini difasilitasi oleh Combine Resource Institution. Digunakannya Candirejo sebagai lokasi kegiatan bertujuan agar peserta juga sekaligus mendapat gambaran langsung contoh pengelolaan potensi desa melalui interaksi dengan masyarakatnya.

Peserta

Acara ini diikuti oleh 20 peserta yang terdiri dari para perempuan pegiat media komunitas maupun pengelola media komunitas yang aktif mengangkat isu kesetaraan gender dari sejumlah wilayah di Indonesia. Perempuan dan Media

Budaya media (media culture), seperti yang dituturkan oleh Douglas Kellner, menunjuk pada suatu keadaan yang tampilan audio visual atau tontonan-tontonannya telah

membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Media cetak, radio, televisi, film, internet, dan bentuk-bentuk akhir teknologi media lainnya telah menyediakan defenisi-defenisi untuk menjadi laki-

laki atau perempuan, dan membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks.

Dalam masyarakat, muncul pula pandangan bahwa perempuan adalah objek seks yang fungsi utamanya di dunia untuk melayani pria. Oleh karena dicitrakan sebagai objek seks, maka persepsi bahwa perempuan harus tampil dan berperilaku sebagai objek seks adalah suatu keharusan. Perempuan harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia mengalami pelecehan seksual, dan harus memaklumi perilaku seksual agresif laki-laki. Semua citra itu berada di dalam pemberitaan media massa kita, juga dalam sinetron-

sinetron (KOMUNIKA Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.167-183). Pertanyaannya, apakah selama ini kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi karena media massa, atau media massa yang dipengaruhi oleh fakta yang terjadi dalam masyarakat di sekitarnya?

Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Misalnya, keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke tempat dan adat yang lain, dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, timbul persoalan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. Peserta juga banyak menceritakan soal peran pentingnya media massa, media sosial, blog dan media lainnya untuk mendukung advokasi kebijakan yang responsive dan pro rakyat atau perempuan memerlukan publikasi yang luas agar pemahaman terhadap persoalan dan penuntasannya bisa dipahami masyarakat, terutama pemberdayaan perempuan yang minim ditemukan terutama di tingkat pedesaan. Sejauh ini, dari pemetaan persoalan yang di bahas di dalam temu perempuan pegiat media tersebut dapat saya kerucutkan adalah di bidang peningkatan kondisi tenaga kerja perempuan, akses perempuan terhadap program pemerintah, kepemimpinan bidang kesehatan, minimnya akses pekerjaan lokal bagi perempuan dan masih minimnya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan. Di sisi lain, perkembangan media dan teknologi yang memberi akses informasi tidak terbatas turut berperan memunculkan isu-isu sekelompok atau sebagian perempuan dengan ketidakberdayaan yang tidak lepas dari peran media juga sebagai bahan referensi masyarakat yang cenderung menampilkan perempuan sebagai manekin hasil padu-padan produk yang diiklankan.

Bagaimana peran perempuan dalam seni? Dan telah terjadi perdebatan yang panjang dalam gerakan perempuan bahwa bahkan dalam wilayah seni, kebanyakan perempuan hanya menjadi objek yang dikreasikan atau diciptakan oleh keinginan, hasrat dan daya pikir sudut pandang laki-laki. Daya pikir laki-laki dalam hal ini adalah menjadikan perempuan sebagai objek yang pasif, yang bisa dibentuk oleh sudut pandang laki-laki, bukan dari keinginan perempuan sendiri. Tetapi seluruh peserta mengungkap menggunakan media seni

seperti pembuatan puisi yang isinya berupa kesetaraan gender dan advokasi, seni pertunjukan sebagai bagian kritik sosial, seni film dokumenter dan mampu menjadi power yang kuat untuk pemberdayaan isu-isu perempuan. Hegemoni Negara Terhadap Kebijakan untuk Perempuan

Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarahkehidupan manusia. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budayadan nilai-nilai estetika yang di yakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagian besar manusia, bahkan

terkadang oleh kaum perempuan itu sendiri. Hegemoni dan keterlibatan negara terhadap marjinalisasi yang dialami kaum perempuan sangat nyata dan berpengaruh, hal ini disebabkan oleh kekuasaan negara, yang memiliki legalitas untuk membuat ketentuan/aturan yang berlaku dimasyarakat, t e r m a s u k d i d a l a m n y a s e g a l a k e t e n t u a n y a n g m e n y a n g k u t k e b i j a k a n t e r h a d a p k a u m perempuan (red academia.edu).

Selama ini pemerintah di banyak tempat, khususnya di Indonesia, hanya melihat soal seksualitas dan reproduksi manusia dalam kepentingan kekuasaan-kontrol kependudukan agar berdaya guna secara ekonomi dan politik. Khususnya mengontrol tubuh ’kesuburan’ perempuan (contoh: Program KB- yang menempatkan perempuan sebagai objek). Sebaliknya, pendekatan humanisme dan HAM dalam melihat soal kependudukan dan soal-soal pembangunan, menempatkan manusia (laki-perempuan) sebagai individu yang memiliki otonomi untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya serta memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi dari kesehatan baik secara fisik, psikis maupun sosial, yang dilindungi oleh negara-negara. Pendekatan diatas yang merupakan koreksi terhadap pendekatan yang selama ini ada.

Peningkatan kualitas SDM, dimulai sejak janin dalam kandungan, masa bayi, balita, anak-anak sampai dewasa. Pemberian ASI pada bayi merupakan cara terbaik bagi peningkatan kualitas SDM sejak dini yang akan menjadi penerus bangsa. ASI merupakan makanan yang paling sempurna bagi bayi. Pemberian ASI berarti memberikan zat-zat gizi yang bernilai gizi tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan syaraf dan otak, memberikan zat-zat kekebalan terhadap beberapa penyakit dan mewujudkan ikatan emosional antara ibu dan bayinya. Untuk menjamin hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif, pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan berupa pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria.

Peningkatan HAM perempuan merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar untuk mengantisipasi persoalan kesehatan perempuan. Meningkatkan penghargaan/penghormatan serta pengakuan akan hak-hak asasi manusia perempuan

merupakan hal yang krusial dan prasyarat bagi pemenuhan kesehatan perempuan. Terutama mengembalikan kapasitas perempuan untuk menikmati hak-hak fundamentalnya sebagai manusia yang otonom, dan memiliki kontrol penuh atas integritas tubuh/seksualitasnya.

Media Belum Berpihak pada Perempuan

Budaya kita adalah budaya patriarki, yang melihat dan mencitrakan sesuatu menggunakan sudut pandang laki-laki. Budaya perempuan mungkin tumbuh, namun dalam ukuran yang kerdil dan inferior, sehingga tidak memiliki daya atau kuasa menentukan, sehingga baik kaum laki-laki maupun perempuan, termasuk di

dalamnya anak-anak, dalam budaya kita berpikir dengan sudut pandang tunggal, laki-laki. Isu sensitivitas gender di media massa memiliki kompleksitas tersendiri. Indonesia,

sebagaimana layaknya negara dunia ketiga lainnya, masih menganggap gender sebagai konsep baru. Konsep gender masih harus melakukan beberapa adaptasi terhadap sistem nilai setempat agar dapat diterima secara luas. Pengelola media yang lebih banyak laki-laki akan menghasilkan produk yang cenderung berpihak pada kepentingan laki-laki, dan meskipun ada liputan tentang perempuan, maka tendensi yang muncul sarat dengan kepentingan komersial semata. Media secara tidak sadar seringkali juga membuat relasi-relasi tertentu yang bias gender, seperti menempatkan posisi perempuan sebagai pihak yang lemah, dan membuat konstruksi kebenaran yang diproduksi oleh laki-laki. Paradoks terjadi ketika berita yang dihasilkan menjadi bias gender. Sementara media massa mempunyai peran signifikan untuk menanamkan ideologi gender di tengah stereotipe tentang gender yang berlaku di masyarakat.

Perjuangan untuk mengentaskan proses pemiskinan terhadap perempuan dari berbagai macam praktek-praktek budaya ini sesungguhnya telah dilakukan sejak lama sekali oleh para aktivis perempuan maupun kaum feminis. Media menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi di era seperti sekarang ini.

Betapapun problematiknya media, ia menjadi dan akan terus berupaya menjadi bagian kehidupan siapapun termasuk perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu, mau tidak mau, kita harus siap dan menyiapkan diri menjadi konsumen sekaligus produsen media, objek sekaligus subjek media. Mengkritisi media serta relasi media dengan masyarakat seharusnya menjadi agenda penting dalam kehidupan, dan itu berarti pula menyiapkan perempuan dan anak-anak menjadi pengguna media yang kritis agar tidak menjadi bulan-bulanan mereka.

Fungsi pendidikan, yang dimiliki media massa seyogyanya di gunakan untuk proses mencerdaskan masyarakat. Melahirkan masyarakat yang kreatif, asertif dan mampu bersaing di dunia yang serba global seperti sekarang ini. Tapi dalam prakteknya fungsi itu justru disalah artikan. Perempuan dan Jurnalistik

Keterlibatan para perempuan dalam dunia jurnalistik dan media tidak berarti mereka juga punya kontribusi besar dalam menentukan isu-isu yang harus diangkat dengan sudut pandang para perempuan. Para feminis meyakini bahwa media harus berperan dalam

menciptakan kesetaraan dan keadilan gender. Karenanya, sebenarnya diperlukan jurnalisme yang memiliki sudut pandang perempuan, yang dikenal dengan istilah jurna-lisme berperspektif gender.

Pada saat pelatihan jurnalistik atau menulis, peserta diberikan materi dasar kejurnalistikan. Seperti penulisan berita, penulisan artikel, materi penelusuran isu dan teknik

wawancara, materi jurnalisme investigasi, dan reporting. Jurnalisme adalah ajaran. Setiap ajaran bisa diberikan dalam pelatihan biasa. Akan tetapi jurnalistik adalah sebentuk ego. Sesuatu yang berwarna-warninya bisa dipahami oleh mereka yang menginginkan pencerahan pada orang banyak, walau dirinya diliput kegelapan. Mengapa media menjadi sebuah sasaran strategis bagi alat untuk menyuarakan identitas, keterwakilan dan kepentingan perempuan? Karena peran media yang sangat khas, peran media sangatlah penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Organisasi seperti Combine (NGO) yang memperjuangkan pertemuan komunitas perempuan pegiat media agar peserta dapat saling berbagi pengetahuan, memperjuangkan dan menyuarakan hak bagi perempuan dan menyadarkan bahwa perempuan harus memiliki media sendiri untuk menyebarluaskan gagasan tentang kesetaraan dan keadilan gender. Media juga mereka perlukan untuk melakukan advokasi terhadap terhadap-kebijakan dan menggalang kesatuan untuk melakukan perubahan. Tentang Desa Wisata

Combine mengadakannya temu perempuan pegiat media komunitas mempunyai alasan yang sangat kuat, diantaranya dikarenakan desa dengan kebudayaan yang bernuansa

tradisional serta masih kuat nilai-nilai tradisinya, tetapi memiliki fasilitas penunjang untuk pertemuan dan berwisata yang cukup baik dan sebagai pembelajaran untuk tahu Desa yang mempunnyai brand “Passion, Strength, Heritage” yang bermakna semangat orang Jawa sebagai kekuatan yang berdasar pada warisan luhur Budaya Jawa.

Desa Wisata Candirejo berjarak 3 kilometer kearah tenggara dari Candi Borobudur, jalan yang ditempuh adalah jalan alternatif menuju Jogjakarta melalui Obyek Ziarah Sendangsono, jalan sudah beraspal dan dibutuhkan waktu 5 menit dengan mengendarai sepeda motor. Untuk menuju kedesa ini tidaklah sulit, transportasi umum angkudes sudah melalui desa ini, kalau ingin cepat naik ojek, dan bila pengen menikmati perjalanan naik becak. Desa Candirejo yang terdiri dari 15 dusun dan empat ribuan warga ini letaknya tidak jauh dari Candi Borobudur. Dengan pemandangan yang asri, hijau dan dilewati oleh sungai yang indah, desa ini benar-benar menyimpan sebuah potensi wisata yang besar. Apalagi ini juga didukung oleh kehidupan masyarakatnya yang masih alami. Inilah yang berusaha dipromosikan sebagai objek wisata andalan untuk wisatawan.

Dengan berlandaskan asas kegotong-royongan dan kebersamaan, akhirnya desa Candirejo menetapkan beberapa Perdes yang pada hakikatnya berusaha melindungi warga desa. Perdes tersebut diantaranya menyatakan bahwa pengelolaan Desa Wisata Candirejo berada di bawah koordinasi koperasi Desa Wisata Candirejo. Ini bertujuan untuk mengelola potensi desa dari desa, oleh desa dan untuk desa. Pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat adalah juga kunci keberhasilan koperasi desa wisata sampai saat ini. Selain itu, desa menolak segala bentuk usaha untuk memonopoli pengelolaan kepariwisataan yang ada, termasuk oleh agen wisata. Desa Candirejo memiliki masyarakat yang mempunyai semangat untuk maju dan berkembang, di tingkat pemerintah desa maupun masyarakat luas pada umumnya. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakatnya menjadi potensi yang bisa dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata berbasis masyarakat, yakni kerajinan pandan-bambu, sistem pertanian, budaya, tempat-tempat potensial untuk melakukan kegiatan pengamatan aktivitas harian masyarakat, keindahan pemandangan dan kegiatan trekking.

Kehidupan masyarakat desa Candirejo yang masih agraris didominasi oleh kegiatan pertanian. Jika mereka ingin menjual hasil panen dalam jumlah besar maka mereka akan menuju ke pasar Borobudur atau pasar Jagalan. Delman (andong) merupakan alat transportasi setempat yang masih banyak dipergunakan untuk kegiatan ekonomi antar desa. Rumah tradisional mereka berbentuk rumah jawa Kampung dan Limasan. Candirejo dapat diartikan sebagai wilayah yang berbatu-batu namun subur. Yang menjadi keunikan desa ini adalah sebuah sistem pertanian, budaya masyarakat, kegiatan masyarakat yang sangat agraris, dan sketsa pemandangan yang sangat menawan.

Pada bulan tertentu merupakan masa penen raya masyarakat Candirejo, banyak menghasilkan buah pepaya dan buah segar lainnya, sehingga masyarakat dapat langsung memetik buah tersebut dan langsung menikmatinya dari kebun. Selain itu, pelancong dapat membuat slondok ‘makanan yang di olah dari singkong’ dan belajar memainkan gamelan, sebuah alat musik khas jawa.