perbandingan efektifitas tramadol 0,5 mg/kgbb dengan

66
0 PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN PETIDIN 0,5 mg/kgBB INTRA VENA DALAM PENCEGAHAN MENGGIGIL SETELAH ANESTESI SPINAL PADA TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE Effectivity comparation between intravenous tramadol 0,5 mg/kgBW with pethidine 0,5 mg/kgBW as prevention of shivering after spinal anesthesia in transurethral resection of the prostate ANTONIUS LINO KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU ( COMBINED DEGREE) PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

0

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN PETIDIN 0,5 mg/kgBB INTRA VENA DALAM

PENCEGAHAN MENGGIGIL SETELAH ANESTESI SPINAL PADA TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE

Effectivity comparation between intravenous tramadol 0,5 mg/kgBW with pethidine 0,5 mg/kgBW as prevention of

shivering after spinal anesthesia in transurethral resection of the prostate

ANTONIUS LINO

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU ( COMBINED DEGREE)

PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2012

Page 2: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

1

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/KgBB DENGAN PETIDIN 0,5 mg/KgBB DALAM PENCEGAHAN

MENGGIGIL SETELAH ANESTESI SPINAL PADA TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan Diajukan Oleh

ANTONIUS LINO

kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU ( COMBINED DEGREE)

PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2012

Page 3: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

2

TESIS

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/KgBB DENGAN PETIDIN 0,5 mg/KgBB DALAM PENCEGAHAN

MENGGIGIL SETELAH ANESTESI SPINAL PADA TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE

Disusun dan diajukan oleh :

ANTONIUS LINO

Nomor Pokok : P1507210080

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal 15 Agustus 2012

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat,

Prof. dr. A. Husni Tanra,PhD,SpAn Dr. dr. M Ramli A,SpAn-KAP-KMN

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Biomedik, Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Prof. dr. Rosdiana Natzir, Ph.D Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc

Page 4: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menggigil setelah anestesi merupakan keadaan yang sangat tidak

nyaman bagi penderita. Di samping memberikan rasa tidak nyaman,

menggigil meningkatkan konsumsi oksigen. Menggigil ringan meningkatkan

konsumsi oksigen yang setara dengan latihan ringan, sedangkan menggigil

berat meningkatkan konsumsi oksigen 100-600 %. Menggigil menginduksi

terjadinya arterial hipoksemia, asidosis laktat, meningkatkan respon stres,

meningkatkan tekanan intraokuler, dan tekanan intrakranial (Javaherforoosh,

2009; Adithi, 2007; Atashkhoyi, 2008).

Menggigil harus dicegah karena dengan meningkatnya kebutuhan

oksigen dan produksi karbon dioksida, tubuh akan melakukan kompensasi

berupa peningkatan laju nadi, tekanan darah dan cardiac output. Keadaan ini

sangat tidak menguntungkan bagi pasien dengan gangguan fungsi

kardiovaskular dan pulmonal seperti cardiac arrhythmia, gagal jantung, infark

miokardium dan hipertensi, terutama pada pasien usia lanjut (Adithi, 2007;

Tsai, 2008).

Anestesi spinal merupakan teknik yang sering dipilih untuk TURP,

namun sering menimbulkan efek menggigil sebagai respon pengaturan suhu

Page 5: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

4

akibat hipotermia. Insiden menggigil setelah anestesi spinal pada TURP

mencapai hingga 50%. (Yao, 2008)

Beberapa metode non farmakologi maupun farmakologi digunakan

untuk mencegah terjadinya menggigil. Metode non farmakologi seperti

penggunaan penghangat elektrik, penghangat udara, blanket,

menghangatkan ruang operasi, menghangatkan cairan infus. Metode

farmakologi menggunakan ketanserin, nefopam, petidin, alfentanil,

doxapram, tramadol, klonidin telah uji dalam beberapa penelitian (Adithi,

2007).

Opioid merupakan obat yang paling sering dan paling efektif untuk

menangani menggigil paska anestesi, dimana petidin paling efektif dibanding

opioid lainnya. Namun petidine dapat menyebabkan sedasi, euphoria, mual,

muntah dan depresi ventilasi sebagaimana morphine (Kose, 2008).

Jalur neurotransmiter penyalur sinyal dari pusat pengatur suhu

(hipotalamus) ke otot skelet (efektor) belum jelas dimengerti, tetapi

kemungkinan melibatkan beberapa tingkat integrasi informasi dan sejumlah

neurotransmiter. Serotonin (5-hydroxytryptamine[5-HT]) merupakan golongan

amine yang berperan sebagai neurotransmiter yang ditemukan di otak dan

medula spinalis (Atashkhoyi, 2008; Tsai, 2008).

Tramadol merupakan opioid kerja sentral, bekerja menghambat

penyatuan kembali norepinefrin dan 5-hydroxytriptamin dan memfasilitasi

pelepasan 5-HT. Efek samping pemberian tramadol adalah mual, muntah,

Page 6: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

5

pusing, sakit kepala, mengantuk, berkeringat, mulut kering, efek ini

nampaknya behubungan dengan dosis. Tidak seperti opioid lain, tramadol

tidak menyebabkan depresi nafas atau kardiovaskuler pada dosis yang

direkomendasikan (Tsai, 2008; Bhattacharya, 2003)

Penelitian yang dilakukan oleh Javaherforoosh dkk, terhadap 90

pasien ASA 1 dan 2 yang menjalani seksio sesaria menyimpulkan bahwa

tramadol 1 mg/kgbb efektif mencegah terjadinya menggigil setelah anestesi

spinal dibandingkan kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Saha dkk, juga

menemukan tramadol 1 mg/kgbb efektif menurunkan insiden dan derajat

menggigil pada pasien yang menjalani open kolesistektomi maupun

laparoskopi kolesistektomi.

Mohta dkk (2009) membandingkan tramadol 1,2, dan 3 mg/kgBB

dengan petidin 0,5 mg/kgBB yang diberikan pada pasien yang menjalani

anestesi umum dan menyimpulkan bahwa ketiga dosis tramadol efektif

dibandingkan dengan petidin dalam pencegahan terjadinya menggigil, namun

insiden mual dan muntah ditemukan 30 % pada penggunaan tramadol.

Penelitian ini bertujuan membandingkan efektifitas tramadol 0,5

mg/kgBB dengan petidin 0,5 mg/kgBB yang paling sering digunakan untuk

mencegah terjadinya menggigil, setelah anestesi spinal pada TURP.

Page 7: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut: “Apakah tramadol 0,5 mg/kgBB lebih efektif

dibandingkan petidin 0,5 mg/kgBB dalam pencegahan menggigil setelah

anestesi spinal pada TURP?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Membandingkan efektifitas tramadol 0,5 mg/kgBB dengan petidin 0,5

mg/kgBB dalam pencegahan menggigil setelah anestesi spinal pada

TURP

2. Tujuan Khusus

a. Membandingkan kejadian menggigil pada kelompok tramadol 0,5

mg/kgBB dengan kelompok petidin 0,5 mg/kgBB

b. Membandingkan derajat menggigil pada kelompok tramadol 0,5

mg/kgBB dengan kelompok petidin 0,5 mg/kgBB

c. Membandingkan efek samping pada kelompok tramadol 0,5 mg/kgBB

dengan kelompok petidin 0,5 mg/kgBB

Page 8: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

7

D. Hipotesis

1. Kejadian menggigil pada kelompok tramadol 0,5 mg/kgBB lebih rendah

dibandingkan kelompok petidin 0,5 mg/kgBB

2. Derajat mengigil pada kelompok tramadol 0,5 mg/kgBB lebih rendah

dibandingkan kelompok petidin 0,5 mg/kgBB

3. Efek samping pada kelompok tramadol 0,5 mg/kgBB lebih rendah

dibandingkan kelompok petidin 0,5 mg/kgBB

E. Manfaat Penelitian

1. Memberikan tambahan informasi ilmiah tentang efektifitas tramadol 0,5

mg/kgBB dalam mencegah terjadinya menggigil setelah anestesi spinal

pada TURP

2. Dapat diapliksikan sebagai altenatif pencegahan menggigil setelah

anestesi spinal

3. Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya

tentang peranan tramadol dalam pencegahan menggigil pada berbagai

jenis pembedahan lainnya

Page 9: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Pengaturan Suhu

Sistem pengaturan suhu sama dengan fisiologi sistem kontrol lain

sebagai mekanisme feed back negative. Tempat-tempat khusus pengatur

suhu adalah hipotalamus, yang mengintegrasikan sinyal afferent dari sel-sel

suhu sensitif yang ditemukan di jaringan termasuk otak, spinal cord, central

core tissue, pernafasan, gastrointestinal dan permukaan kulit. Proses

informasi pengaturan suhu melalui tiga tahap yaitu: (1) penerima suhu

afferent (reseptor); (2) pusat pengatur; dan (3) respon efferent (efektor)

(Collins, 1996; Luginbuehl, 2005; Sessler, 2009).

1. Reseptor Afferent Suhu

Sel-sel tubuh yang sensitif terhadap suhu terdapat di medulla spinalis,

permukaan kulit, dan anterior hipotalamus sendiri (area preoptic). Sel-sel

suhu anterior hipotalamus mendeteksi suhu dari darah arteri karotis interna

(Collins, 1996; Sessler, 2009).

Informasi suhu dingin ditransmisikan ke area preoptik hipotalamus oleh

serabut ‘A’ delta dengan kemampuan menyalurkan impuls suhu maksimal 25-

300C, sedangkan informasi panas ditransmisikan oleh serabut ‘C’ tidak

Page 10: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

9

bermielin dengan kemampuan menyalurkan impuls suhu maksimal 45-500C.

Semua informasi afferent suhu disalurkan melalui traktus spinotalamikus di

anterior spinal cord. Beberapa neurotransmiter juga terlibat dalam

pengaturan suhu. Jika otak monyet yang bersuhu normal diberikan cairan

otak monyet yang sudah didinginkan, maka akan timbul demam, sedangkan

jika diberikan cairan otak monyet yang sudah dihangatkan, maka akan timbul

hipotermia (Collins, 1996; Luginbuehl, 2005; Sessler, 2009).

2. Pusat Pengatur

Hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu diketahui oleh Aronsohn

dan Sachs tahun 1985. Hipotalamus mengatur suhu dengan mengaktifkan

atau menghambat mekanisme pengeluaran panas. Hipotalamus anterior

berperan menggabungkan informasi suhu afferent, sedangkan hipotalamus

posterior mengatur penyaluran respon ke efektor (Luginbuehl, 2005).

Perubahan suhu darah yang dirasakan end-organ sensitif permukaan kulit,

medula spinalis dan jaringan dalam tubuh dikumpulkan di area preoptik

anterior hipotalamus, kemudian dibandingkan dengan ambang suhu panas

dan dingin, dan akhirnya hipotalamus posterior mengatur mekanisme

pembentukan dan pelepasan panas berdasarkan set point pada suhu oral

sekitar 36,90C untuk mengatur suhu tubuh. Peningkatan suhu darah memicu

mekanisme pelepasan panas, dimana peningkatan suhu sebesar 0,10C akan

meningkatkan aliran darah kulit sebesar 15 cc/menit, sehingga dilepaskan

Page 11: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

10

energi 1 kal/detik melalui keringat. Bagaimana tubuh menentukan ambang

suhu, belum sepenuhnya dimengerti, kemungkinan melibatkan inhibisi

potensial postsinaptic di neuron hipotalamus, yang dimodulasi oleh

norepinephrin, dopamine, 5-HT (serotonin), acetylcholin, prostaglandin E1,

dan neuropeptides (Collins, 1996; Luginbuehl, 2005; Sessler, 2009).

Respon pengaturan suhu ditentukan oleh suhu rata-rata tubuh yang

meliputi permukaan kulit, medulla spinalis, hipotalamus, bagian lain dari otak

dan jaringan dalam dari perut dan dada. Interthreshold range diartikan

sebagai suhu antara berkeringat dan vasokonstriksi yang tidak memicu

respon pengaturan suhu yaitu 0,20C dan null zone antara berkeringat dan

menggigil adalah 0,60C. Variasi ambang suhu harian berkisar 0,5-10C yang

dipengaruhi oleh latihan fisik, menstruasi, nutrisi, infeksi, hipo dan

hipertiroiditis, obat (termasuk alkohol, sedative, dan nikotine) dan adaptasi

panas/dingin. Wanita memiliki set-point lebih tinggi dibandingkan pria.

Pengaturan suhu dan ambang menggigil masih terjaga baik hingga usia 80

tahun (Collins, 1996; Luginbuehl, 2005).

Secara normal respon terhadap dingin (penurunan suhu 0,1-0,20C

dibawah suhu normal 370C) adalah vasokonstriksi yang akan mencegah

pelepasan panas, sedangkan respon terhadap panas (suhu diatas 380C atau

sekitar 10C diatas core temperature normal) adalah vasodilatasi, yang akan

mengaktifkan mekanisme pelepasan panas. Penurunan core temperature

0,4-0,60C dibawah 370C akan mengaktifkan nonshivering termogenesis.

Page 12: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

11

Anestesi umum menghambat mekanisme pengaturan suhu sentral, dimana

dibutuhkan penurunan core temperature sampai 2,50C dibawah 370C atau

sekitar 34,50C untuk mengaktifkan pusat pengatur suhu sebagai respon

terhadap suhu dingin, dibandingkan yang tidak dianestesi (Sessler, 2009).

Gambar 1. Ilustrasi jalur pengaturan suhu dengan informasi afferent diintegrasikan ke anterior hipotalamus dan pencetusan respon efferent posterior hipotalamus (Luginbuehl, 2005)

3. Respon Efferent (Efektor)

Mekanisme utama pengaturan suhu adalah pelepasan atau

penyimpanan panas. Hambatan mekanisme pelepasan panas merupakan

usaha penting untuk menjaga atau meningkatkan suhu. Peningkatan laju

metabolisme merupakan mekanisme buruk melawan dingin. Respon

JARINGAN DALAMInformasi suhu afferentdari dada dan abdomen

MEDULA SPINALIS DAN OTAKInformasi suhu afferent

ANTERIOR HIPOTALAMUSIntegrasi informasi suhu afferent

POSTERIOR HIPOTALAMUSKontrol respon efferent

-----

°C

TRAKTUS SPINOTALAMIKUS

RESEPTOR DINGINLokasi predominan pada

kulit

RESEPTOR PANASLokasi predominan

pada kulit

RESPON DINGIN-Perubahan prilaku

-Vasokonstriksikutaneus

-Termogenesisoksidatif

-Menggigil

RESPON PANAS-Perubahan

prilaku-Vasodilatasi

kutaneusBerkeringat

Page 13: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

12

sesungguhnya merupakan reaksi yang kompleks antara kulit dan core

temperature dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Respon efferent

(perubahan tingkah laku, vasokontriksi, vasodilatasi, menggigil,

termoregulation non shivering, dan berkeringat) dimediasi menurut

interprestasi pusat akan perangsangan afferent (Collins, 1996; Luginbuehl,

2005).

B. Peranan Neurotransmiter Dalam Pengaturan Suhu

Teori monoamine pengaturan suhu dicetuskan oleh Feldberg dan

Myers (1963), yang menduga bahwa terdapat keseimbangan norepinephrine

dan serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) di preoptik anterior hipotalamus

yang mengatur set-point. Awalnya, respon khusus pengaturan suhu

didemontrasikan pada kucing dengan penyuntikan langsung neurotransmiter

adrenergik dan serotoninergik ke dalam intracerebroventrikuler. Monoamine

menunjukkan efek yang berlawanan, dimana 5-HT menyebabkan menggigil

dan vasokonstriksi yang akan meningkatkan core temperature, sedangkan

norepinephrin dan epinephrin menurunkan suhu normal kucing, dan

melemahkan kemampuan 5-HT menginduksi hipertermia (Sessler, 2002).

Neurotransmiter memodulasi input sinaptik pada neuron sensitif suhu

dan sensitifitas suhu. Aliran sinyal suhu dari sensor panas atau dingin yang

mengandung neurotransmiter tertentu diintegrasikan di hipotalamus dimana

Page 14: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

13

set-point sistem pengatur suhu dimanipulasi. Hal ini sangat rumit, karena

ambang pengaturan suhu ditentukan oleh banyak modulasi suhu dan

nonthermal input di semua tingkat sistem pengaturan suhu, yang tidak

semuanya termasuk golongan monoaminergik. Akan tetapi, keseimbangan

antara input serotonin dan norepinephrin bertanggung jawab pada modifikasi

adaptasi pengaturan suhu baik singkat maupun lama terhadap ambang

menggigil (Sessler, 2009).

Norephinephrin yang dimikrodialisa ke dalam preoptik babi

menurunkan suhu, dimana penurunan ini dapat dihambat dengan pemberian

α2 adrenoreseptor antagonis (yohimbine dan rauwolscine). Alpha2

adrenoreseptor agonist (klonidin) menurunkan core temperatur sesuai dosis,

sedangkan alpha1, beta1 dan beta2 adrenoreseptor agonis dan antagonis

tidak signifikan mempengaruhi suhu inti. Peningkatan suhu ambient hingga

400C secara selektif merangsang pelepasan norephineprin di rostral

hipotalamus kucing, sedangkan penurunan suhu 200C menekan pelepasan

norepinephrin di preoptik anterior hipotalamus tikus (Sessler, 2009).

Serotonin mempengaruhi jalur produksi dan pelepasan panas dengan

respon pengaturan suhu yang berbeda-beda pada berbagai tempat di

hipotalamus. Penyuntikan 5-HT ke dalam preoptik kucing akan mencetuskan

hipotermia akibat vasodilatasi, sedangkan jika disuntikkan ke dalam rostral

hipotalamus kucing, akan mencetuskan hipertermia akibat tercetusnya

menggigil. Pada otak tengah tikus, 5-HT menghambat seluruh unit sensitif

Page 15: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

14

panas dan dingin, sebaliknya pada medula oblongata tikus merangsang unit-

unit sensitif suhu.

Modulasi input berlawanan dari neuron noradrenergik dan

serotoninergik di batang otak bawah memodifikasi komposisi sinyal suhu kulit

pada level hipotalamus, yang akan mengarahkan (shifting) ambang respon

pengaturan suhu. Dalam keadaan fisiologis yang berbeda, seperti adaptasi

saat dingin atau panas, interthreshold range (ambang suhu antara

berkeringat dan menggigil) akan melebar atau menyempit. Contohnya, pada

babi yang beradaptasi terhadap dingin, input serotoninergik akan lebih

dominan sehingga terjadi pelebaran interthreshold zone dengan rata-rata

suhu 380C (dibandingkan dengan 390C jika input norepinephrin dominan). Hal

ini juga terjadi pada manusia, tetapi interthreshold zone -nya hampir dua kali

dengan ambang menggigil sekitar lebih rendah 10C dari 35,40C. Meskipun

dipengaruhi oleh berbagai faktor, tetapi banyak dilaporkan bahwa sistem

monoaminergik otak berpengaruh terhadap pengaturan suhu (Luginbuehl,

2005).

Racemic tramadol dan enantiomernya menekan pengikatan 5-HT dan

merangsang 5-HT efflux di raphe nukleus dorsal. Nucleus raphe magnus

adalah pusat anti menggigil yang merangsang mekanisme penghilangan

panas dan menghambat termogenesis selama adaptasi dingin. Serotonin

adalah neurotransmiter utama pada raphe nuclei, tetapi setengah dari sel

raphe yang terproyeksi ke spinal cord bukan serotoninergik. Terdapat juga

Page 16: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

15

sejumlah norepinephrin di nukleus raphe magnus dan sekitar 10% dari sel

serotoninergik nukleus raphe magnus bersifat alpha2-adrenoreseptor

(Sessler, 2009; Sajedi, 2008).

Hambatan menggigil oleh nukleus raphe magnus disebabkan oleh

hambatan proyeksi transmisi sel kornu dorsalis presinap ke unit hipotalamus

oleh second pathway descending. Aktivasi postsinap unit noradrenergik di

regio subcoeruleus menghambat unit respon panas di area antara anterior

dan posterior hipotalamus, dan di posterior hipotalamus itu sendiri. Proyeksi

regio subcoeruleus lainnya menurun ke pons dan medulla, dan motor neuron

dan group sel preganglion otonom, efferent ke kornu dorsalis medulla spinalis

yang menghambat input suhu kutaneus, tetapi dugaan ini masih

kontroversial. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa terminal descenden 5-HT dari

locus coeruleus membuat hubungan rapat dengan motor neuron, terutama

melalui cord internuntials (Sessler, 2002).

C. Menggigil

Menggigil merupakan mekanisme yang digunakan tubuh untuk

meningkatkan core temperature sebagai tambahan akan proses

termogenesis non shivering, yang merupakan refleks cepat yang diatur oleh

hipotalamus, sebagai fenomena akibat meningkatnya sensitivitas terhadap

suhu dingin. Secara khusus, menggigil menunjukkan berbagai tingkatan

intensitas. Kontraksi otot dapat terlihat pada otot wajah, terutama pada otot

Page 17: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

16

masseter yang meluas ke daerah leher, dada dan perut serta ekstremitas.

Terjadi kontraksi otot yang singkat dan cepat tanpa diikuti kejang sekitar 4-10

siklus tiap menit (Collins, 1996; Luginbuehl, 2005; Sessler, 2009).

Impuls dari reseptor suhu dingin yang dominan di kulit dan medula

spinalis akan mencapai pusat motorik menggigil di dorsomedial hipotalamus

sehingga mengaktifkan pusat menggigil dan menstimulasi motor neuron

anterior medula spinalis. Awalnya terjadi peningkatan tonus otot rangka

seluruh tubuh, selanjutnya jika tonus terus meningkat hingga melewati

ambang normal maka akan timbul menggigil. Pada kondisi panas, pusat ini

dihambat oleh impuls sensitif panas regio preoptik talamus (Collins, 1996).

Menggigil merupakan komplikasi tersering setelah anestesi, dengan

insiden bervariasi tergantung zat yang digunakan. Pada penggunaan

anestetik inhalasi bervariasi antara 60-70%. Namun jika dipremedikasi

narkotik insidensnya menurun 30%. Tingkat keparahan proses ini

dipengaruhi oleh premedikasi dan suhu lingkungan, yang mana dengan

makin rendahnya suhu ruangan maka reaksinya akan makin berat. Tingkat

kedalaman anestesi sangat penting, yang mana pasien tidak akan menggigil

jika tercapai anestesi stadium pembedahan. Hilangnya panas selama

anestesi juga berperan penting (Collins, 1996).

Page 18: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

17

1. Derajat menggigil

Derajat menggigil secara klinis dapat dibagi dari skala 0-4 (Collins,

1996), yaitu sebagai berikut: tidak menggigil (0); tremor ringan intermiten

pada otot leher dan rahang atau fasikulasi minimal pada wajah (1); disertai

tremor pada dada (2); tremor menyeluruh yang intermiten (3); kekakuan

menyeluruh dari otot(4)

2. Efek fisiologis menggigil

Menggigil hanya meningkatkan produksi panas 50-100%, yang masih

tidak efektif dibandingkan produksi panas melalui latihan fisik. Menggigil

dianggap memiliki pengaruh buruk, karena dengan meningkatnya aktivitas

otot, maka kebutuhan oksigen juga meningkat hingga 200-400%, yang akan

mengakibatkan hipoksia dan berbahaya bagi pasien kondisi fisik buruk

seperti gangguan jantung dan anemia. Peningkatan kebutuhan oksigen

jantung berbahaya bagi pasien gangguan jantung dan geriatri, yang mana

dapat terjadi aritmia, infark dan gagal jantung sebagai komplikasi setelah

operasi. Pada menggigil derajat ringan konsumsi oksigen sama dengan yang

dibutuhkan saat kerja ringan, sedangkan pada derajat lebih tinggi, maka

konsumsi oksigen dapat mencapai lima kali lipat. Ventilasi akan meningkat

akibat peningkatan kebutuhan metabolisme, namun cardiac output tidak

meningkat sejalan dengan kebutuhan metabolisme, sehingga pasien dengan

Page 19: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

18

cadangan kardiopulmonal terbatas tidak dapat mengkompensasi

peningkatan metabolisme. Saat terjadi menggigil, kelarutan oksigen dalam

sel darah merah meningkat diikuti penurunan tekanan partial oksigen arterial

(PO2) hingga 75 mmHg pada pasien yang bernapas dengan oksigen

ruangan, sehingga terjadi hipoksia akibat kegagalan perfusi oksigen ke

jaringan. Pasien mengalami metabolik asidosis dengan pH arteri kurang dari

7,3. Pernapasan semenit meningkat 4 kali diatas nilai basal yaitu rata- rata 25

L/mnt pada mereka yang beratnya 70 kg. Mahaj menemukan peningkatan

tekanan intraokuler 5-8 mmHg diatas nilai sebelum induksi (Luginbuehl,

2005; Sessler, 2009).

Vasokonstriksi akibat hipotermia akan menurunkan tekanan parsial

oksigen jaringan, sehingga infeksi luka meningkat, yang akan memperlambat

penyembuhan luka, sehingga masa rawat rumah sakit lebih lama. Hipotermia

juga menghambat koagulasi; meningkatkan insiden iskemik jantung dan

terjadinya PaO2 dibawah 80 mm Hg; mempengaruhi metabolisme obat dan

memperlama kerja obat (Luginbuehl, 2005).

Metode tersering yang digunakan untuk mengatur suhu tubuh adalah

dengan mencegah kehilangan panas dengan penyelimutan, mengatur suhu

ruang operasi sekitar 720F (220C), suhu ruang pemulihan sekitar 750C

(23,50C). Menggigil akan terhenti 5-10 menit setelah pemberian meperidine

intravena (Collins, 1996).

Page 20: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

19

3. Menggigil Setelah Anestesi Spinal

Menggigil merupakan akibat kombinasi rangsang dingin dari core

temperatur dan kulit, yang memicu mekanisme produksi dan penyimpanan

panas (Collins, 1996). Anestesi spinal menurunkan ambang vasokonstriksi

dan menggigil diatas level blok sekitar 0,60C dan interthreshold range

melebar dua kali lipat (Ozaki et al., 1994). Ambang vasokonstriksi 10C lebih

rendah pada pasien 60-80 tahun dibandingkan 30-50 tahun, tetapi walaupun

jarak ambangnya pendek, kerusakan dan gambaran gangguannya sama

dengan yang terjadi pada anestesi umum, sehingga diduga keterlibatan

kontrol sentral lebih banyak daripada perifer. Mekanisme bagaimana

pemberian anestesi lokal mengganggu pusat pengatur suhu belum diketahui,

tetapi hal ini proporsional dengan ketinggian blok. Perubahan pengaturan

suhu akibat anestesi spinal tidak disebabkan oleh penyerapan sistemik lokal

anestesi (Luginbuehl, 2005; Sessler, 2009).

Pada anestesi spinal pengaturan suhu masih baik tetapi tidak efektif

sebagai akibat gangguan jalur afferent dan efferent yang menghambat

vasokonstriksi dan menggigil pada daerah yang terblok. Dengan demikian

sistem pengaturan suhu tidak mampu mengkompensasi tubuh bagian bawah

yang paralisis, serta diperburuk oleh gangguan intrinsik dan faktor lain,

termasuk peningkatan umur dan penyakit penyerta . Anestesi spinal biasanya

menjangkau sebagian besar massa otot, sehingga penurunan core

Page 21: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

20

temperature bisa lebih berat, sedangkan produksi panas hanya sedikit

mengalami penurunan (Sessler, 2009). Penurunan core temperature akan

mencetuskan vasokonstriksi dan menggigil pada daerah yang tidak terblok

jika pengatur suhu tidak terganggu berat seperti oleh umur atau sedasi,

sehingga relatif tidak efektif dan tidak efisien untuk mengatasi hipotermia.

Pada anestesi spinal terjadi penghambatan input suhu ke hipotalamus

dari bagian tubuh yang terblok (informasi dari sensor dingin di kaki yang

normal tidak mencapai hipotalamus, sehingga berpotensi terbaca bersuhu

panas), dan banyaknya dermatome yang terblok secara proporsional

menghambat pengaturan suhu pusat sehingga terjadi kehilangan panas

terus-menerus hingga pulihnya kembali fungsi simpatis dan vasokonstriksi.

Meskipun telah terjadi vasokonstriksi, penurunan core temperature terus

berlanjut dan tidak dapat dicegah karena massa otot yang tidak terblok

sangat sedikit, sehingga jika core temperature mencapai ambang menggigil

akan terjadi menggigil. Pada siklus ini, hipotermia bisa lebih berat daripada

yang terjadi pada anestesi umum (Luginbuehl, 2005; Sessler, 2009).

Dibandingkan anestesi umum, anestesi spinal menurunkan resiko

hipotermia khususnya pada bedah minor dan jika pasien diselimuti dengan

baik. Pada operasi besar, dengan anestesi spinal hipotermia bisa lebih berat

daripada anestesi umum, dan pemulihan suhu tubuh ke kondisi normal

memanjang (Luginbuehl, 2005).

Orang tua dengan anestesi spinal, mudah mengalami hipotermia

Page 22: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

21

karena core temperature yang rendah tidak merangsang respon proteksi

autonom (Vassilieff, 1995). Ambang vasokonstriksi dan menggigil yang telah

turun, diperberat dengan penambahan obat-obat adjuvant dan peningkatan

umur. Respon terhadap dingin yang terjadi tidak efektif dan pasien tidak

merasa jika sedang hipotermia. Karena pemantauan core temperature jarang

dilakukan saat anestesi spinal, maka hipotermia sering tidak terdeteksi

(Sessler, 2009; Vassilieff, 1995).

Semua mamalia dan burung mempunyai reseptor suhu spinal,

sehingga muncul teori yang menyatakan bahwa injeksi obat anestesi lokal

dingin mencetuskan dingin akibat perangsangan sensor suhu lokal. Sesuai

teori ini, insiden menggigil pada wanita hamil dilaporkan lebih tinggi jika

diberikan obat anestesi dingin dibandingkan yang hangat.

Tidak semua menggigil yang tampak (seperti tremor) merupakan

proses pengaturan suhu, karena menggigil bisa juga disebabkan oleh nyeri

dan aktivasi sistem nervus simpatis, sehingga sering terjadi menggigil

dengan intensitas rendah seperti saat melahirkan (Sessler, 2009).

Karena suhu kulit berperan 20% dan tubuh bagian bawah berperan

10% terhadap respon pengaturan suhu, maka menggigil dapat diatasi

dengan pemanasan atau penyelimutan kulit, disamping terapi farmakologis

seperti meperidin 25 mg intravena atau epidural dan clonidine 75 µg intra

vena. Penyelimutan dianjurkan pada bagian kulit wajah, leher, dan dada

bagian atas, yang memiliki banyak reseptor suhu. (Collins, 1996; Sessler,

Page 23: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

22

2009). Gambar 2 memperlihatkan ambang termoregulasi pada orang yang

tidak dianestesi.

Gambar 3 memperlihatkan ambang vasodilatasi, berkeringat,

vasokonstriksi, dan menggigil pada orang yang teranestesi.

Gambar 2. Ambang termoregulasi pada orang yang tidak dianestesi (Bhattacharya, 2003)

Gambar 3. Ambang termoregulasi pada orang yang dianestesi (Bhattacharya, 2003)

Page 24: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

23

4. Menggigil pada Transurethral Resection of the Prostat (TURP)

Sembilan puluh persen laki-laki akan menderita pembesaran kelenjar

prostat terutama pada usia 49-90 tahun, dan 20% diantaranya membutuhkan

intervensi pembedahan. Transurethral resection of prostat (TURP) adalah

salah satu operasi urologi tersering, untuk melepaskan sumbatan kandung

kencing oleh pembesaran kelenjar prostat. Reseksi dilakukan dengan irigasi

cairan yang bersifat isotonik atau mendekati isotonik, berionisasi lemah, tidak

toksik dan jernih. Beberapa jenis cairan irigasi yang masih digunakan

diantaranya glisin, mannitol, glukosa, cytal (campuran glisin 2,7% dan

mannitol 0,5% ) dan cairan urea. Lama waktu reseksi transurethral harus

tidak melewati 2 jam karena akan terjadi penyerapan cairan irigasi berlebihan

sehingga akan mengakibatkan hipotermia dilusional, kejang, bahkan gagal

jantung. TURP dilakukan untuk pembesaran prostat berukuran kurang dari 40

sampai 50 ml sehingga operasi dapat diselesaikan selama paling maksimal 2

jam, sedangkan jika lebih dari 80 ml harus dilakukan open prostatectomy.

Setelah operasi dilakukan irigasi kandung kencing dengan NaCl 0,9% untuk

membersihkan bekuan darah dan mencegah sumbatan saluran kateter.

Komplikasi yang sering terjadi antara lain perdarahan, perforasi, hipotermia,

sepsis dan TURP sindrom. Marrero menunjukkan insiden TUR-P sindrom

akan meningkat jika: ukuran prostat lebih dari 45 gr, lama operasi lebih dari

Page 25: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

24

90 menit, pasien sudah hiponatremia sebelumnya, dan jumlah cairan irigasi

30 liter atau lebih (Gill, 1999; Kirson, 2006; Yao, 2008)

Dyer menyatakan kehilangan panas lebih besar jika menggunakan

anestesi umum dibandingkan anestesi spinal. Menggigil perioperatif selama

anestesi spinal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada TURP karena

vasodilatasi perifer akibat blok simpatis dan irigasi cairan dingin, disamping

kehilangan panas akibat anestesi regional lebih besar dibandingkan anestesi

umum. Penggunaan cairan irigasi pada suhu kamar menyebabkan suhu

tubuh turun antara 1-20C per jam. Kira-kira setengah dari pasien TURP

menjadi hipotermi dan menggigil pada akhir pembedahan (Yao, 2008;

Gravenstein, 1997). Tewari A (2006) menemukan insiden menggigil setelah

propilaksis clonidine tablet 150 mg adalah 2 (5%), dibandingkan 16 (40%)

pada propilaksis starch tablet.

Anestesi bisa dilakukan dengan teknik regional atau umum, tergantung

penyakit penyerta dan keinginan pasien. Anestesi regional lebih

menguntungan dibandingkan anestesi umum karena status mental pasien

bisa dievaluasi dengan baik dan TURP sindrome bisa diketahui lebih awal.

Tingkat blok optimal di T9. Absorbsi cairan irigasi ditentukan oleh beberapa

faktor diantaranya: teknik operasi (TURP atau thermotherapy), tekanan

hidrostatik cairan (ketinggian letak kantong cairan irigasi), jumlah sinus vena

yang terbuka, tekanan vena perifer, lama operasi, dan pengalaman ahli

bedah. Gejala perforasi kandung kencing adalah nyeri bahu pada pasien

Page 26: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

25

yang sadar, sedangkan gejala TURP sindrome yang terjadi karena

penyerapan berlebihan cairan ke intravaskuler, hiponatremia, dan

hipotonisitas adalah mual-muntah, gangguan penglihatan, perubahan status

mental, koma, kejang, hipertensi, angina bahkan kolap kardiovaskuler.

Penghangatan cairan irigasi hingga 370C disamping memperjelas visualisasi

endoskopi juga mengurangi insidens hipotermi dan menggigil. Menggigil

setelah TURP akibat hipotermia sangat tidak diharapkan karena akan

memicu perdarahan post operasi dan penyumbatan kateter oleh bekuan

darah (Gill, 1999; Yao, 2008; Gravenstein, 1997).

D. Petidin

Opioid merupakan obat yang paling sering dan paling efektif untuk

menangani menggigil paska anestesi, dimana petidin paling efektif dibanding

opioid lainnya (Kose, 2008).

Beberapa penelitian telah menunjukkan efek dari opiod untuk

menangani menggigil paska anestesi. Opioid mengatasi menggigil dengan

jalan menurunkan ambang vasokontriksi dan ambang menggigil. Petidine

mengurangi ambang menggigil dua kali lebih besar dibandingkan ambang

vasokontriksi dan menginhibisi menggigil . Petidine menstimulasi reseptor κ

dan reseptor µ dan lebih dominan sebagai reseptor agonis κ, sedangkan

alfentanil, morphinee dan fentanyl pada reseptor agonis µ. Petidine

menjalankan efek anti menggigil dengan mengaktivasi reseptor µ di

Page 27: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

26

hipotalamus dan reseptor κ di medulla spinalis.. Reseptor agonis κ yang lain

seperti butophanol kemungkinan memiliki efek anti menggigil yang sama

dengan petidine. Seperti yang diperlihatkan pada penelitian sebelumnya, efek

anti menggigil petidine tidak berhubungan dengan efek analgetik (Pamela,

1987; Mohammadi, 2006; Tahereh,2007).

Tampaknya bahwa efek anti menggigil petidine disebabkan kerjanya

10% pada reseptor κ. Hipotesis ini didukung oleh bukti yang mengindikasikan

bahwa dosis medium dari naloxone menghambat efek anti menggigil

petidine hanya pada kondisi tertentu (Gill, 1999; Mohammadi, 2006).

Petidine kurang lebih 1/10 kali poten dari morphine, dimana 80 – 10

mg IM setara dengan morphine 10 mg IM. Durasi kerja dari petidine adalah 2

hingga 4 jam, membuatnya agonis opioid dengan kerja lebih singkat

dibanding morphine. Pada dosis analgesik yang setara, petidine

menyebabkan sedasi, euphoria, mual, muntah dan depresi ventilasi

sebagaimana morphine. Berbeda dengan morphine, petidine diabsorbsi

dengan baik di traktus gastrointestinal, namun demikian, jika diberikan secara

oral hanya setengah yang efektif dibandingkan diberikan secara IM (Gill,

1999).

Petidine dimetabolisme di hati, dengan 90% dari obat mengalami

demetilasi ke bentuk normeperidin dan hidrolisis ke bentuk asam meperidin.

Normeperidin kemudian mengalami hidrolisis menjadi asam normeperidin.

Eksresi melalui urin merupakan rute eliminasi yang utama dan bergantung

Page 28: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

27

pada pH. Sebagai contoh, jika pH urin < 5, sebanyak 25% petidine

diekskresikan tanpa perubahan bentuk. Karena itu, asidifikasi dari urin dapat

dipertimbangkan sebagai usaha untuk mempercepat eliminasi petidine.

Penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan akumulasi dari normeperidin.

Normoperidin memiliki eliminasi waktu paruh 15 jam (<35 jam pada

pasien dengan kerusakan ginjal ) dan dapat dideteksi pada urin selama 3 hari

setelah pemberian. Manifestasi toksisitas normeperidin berupa myoclonus

dan kejang sering terjadi pada pemberian jangka panjang petidin sebagai

pasien-kontrol analgesia, terutama pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal (Pamela, 1987; Mohammadi, 2006).

Efek samping dari petidin serupa dengan morfin, pada dosis terapeutik

petidin dihubungkan dengan hipotensi orthostatik. Hipotensi orthostatik

disebabkan karena petidin mengganggu refleks sistem saraf simpatis.

Petidine, berbeda dengan morphine, sangat jarang menyebabkan bradikardi

tetapi menyebabkan peningkatan denyut jantung, menyerupai atropin. Dosis

besar dari petidine mengakibatkan penurunan kontraktilitas miokard

(Tahereh, 2007; Koay, 1991).

Petidine mengakibatkan gangguan ventilasi dan bahkan lebih bersifat

depresan ventilasi dibanding morphine. Petidine dapat melewati plasenta dan

konsentrasi petidine pada darah umbilicus pada kelahiran dapat melebihi

konsentrasi plasma maternal. Petidine menyebabkan retensi urin dan

Page 29: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

28

konstipasi yang lebih kurang dibanding morphine (Adithi, 2007; Gill, 1999;

Tahereh, 2007).

E. Tramadol

Tramadol, kombinasi R dan L enantiomer merupakan analgesik yang

mempunyai farmakologi kompleks. Aksi kliniknya diperantarai oleh

penghambatan pengambilan norepinefrin oleh enantiomer L. R-tramadol juga

menghambat pengambilan 5-hidroxytriptamin (serotonin, 5-HT), memfasilitasi

pelepasan 5-HT, dan mengaktifkan reseptor opioid μ (Bhattacharya, 2003).

Norepinefrin merupakan mediator kontrol termoregulasi utama.

Penyuntikan norepinefrin intraventrikel menurunkan temperature inti dan

kecepatan metabolik pada primata. Respon ini diturunkan oleh pemberian

pretreatmen α-reseptor bloker phentolamin. Norepinefrin juga berperan

penting terhadap termoregulasi perifer pada sistem vaskuler dan metabolism

lemak coklat (Bhattacharya, 2003; Dewitte, 1998).

Efek 5-HT terhadap kontrol termoregulasi masih kontroversial. Obat ini

menyebabkan hipotermia pada binatang dan manusia, sehingga diperkirakan

menghambat kontrol termoregulasi. Kombinasi α-1 adrenergik dan agonis 5-

HT 1a urapidil menekan menggigil yang diinduksi dingin pada manusia.

Namun, antagonis reseptor 5-HT ketanserin menghambat menggigil, respon

yang normalnya dihubungkan dengan penurunan kontrol dan kecenderungan

hipotermi. Sindrom serotonin dikarakteristik oleh hipertermia ekstrim.

Page 30: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

29

Hasil metabolisme tramadol, mono-o-desmethyltramadol memiliki

afinitas yang tinggi terhadap reseptor μ. Pada percobaan hewan, metabolit

tramadol ini enam kali lebih poten dalam menghasilkan analgesia dan

afinitasnya 200 kali lebih kuat terhadap reseptor μ dibandingkan tramadol

sendiri.

Efek samping tramadol mirip dengan opioid, namun tramadol kurang

menyebabkan depresi nafas dibandingkan morpin dan pada dosis terapi tidak

mempunyai efek bermakna terhadap laju jantung, fungsi ventrikel kiri, dan

cardiac index. Kejang pernah dilaporkan pada pemberian tramadol rutin dan

pemberian harus hati-hati pada pasien yang mendapat serotonin reuptake

inhibitor untuk mencegah terjadinya serotonin sindrom (Dewitte, 1998).

Tramadol dimetabolisme oleh demethylasi, glukoronidasi atau

suplhation di hati, tapi hanya mono-o-desmethyltramadol yang aktif.

Metabolisme ini tergantung enzim sitokrom cyp450 isoenzim. Kurang lebih

95% tramadol dan metabolitnya diekskresi di ginjal. Harus hati-hati diberikan

pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal karena waktu paruh

memanjang. Opioid yang mengaktifkan reseptor μ seperti fentanyl sedikit

meningkatkan ambang berkeringat dan menurunkan ambang vasokonstriksi

dan menggigil.Pada keadaan ini, penghambatan termoregulasi yang diinduksi

opioid mirip dengan yang dihasilkan oleh anestestik volatile. Meperidin,

menurunkan ambang menggigil dua kali seperti ambang vasokonstriksi. Aksi

Page 31: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

30

anti menggigil ini tampaknya di perantarai oleh aktivitas pada reseptor κ

(Dewitte, 1998).

Berlawanan dengan ajuvan anestesi pada umumnya, tramadol sedikit

menurunkan ambang berkeringat. Tramadol juga menurunkan ambang

vasokonstriksi dan menggigil, yang konsisten dengan efek anti menggigilnya,

seperti terlihat pada gambar 4.

Agen anestesi volatile dan intravena, opioid dan agonis α2 sentral

meningkatkan ambang berkeringat dan menurunkan ambang vasokonstriksi

dan menggigil, dengan demikian meningkatkan intertreshold range kurang

lebih 5 sampai 20 kali. Tramadol tidak memiliki aktivitas anti menggigil yang

serupa dengan meperidin. Hal ini sesuai dengan selektifitas reseptor μ

terhadap κ yaitu 20 : 1 (Dewitte, 1998).

Gambar 4. Pemberian tramadol menurunkan ambang berkeringat,ambang vasokonstriksi dan ambang menggigil (Witte, 1998).

Page 32: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

31

F. KERANGKA TEORI

HIPOTERMIA

hipotermia

ANTERIOR HIPOTALAMUS

set point menurun ambang menggigil menurun

TRAMADOL PETIDIN

menggigil (-)

POSTERIOR HIPOTALAMUS

Spinal Anestesi : Blok informasi suhu afferent Blok simpatis (vasodilatasi) Gagal kompensasi Redistribusi suhu sentral ke perifer

Faktor lain : suhu kamar operasi jumlah cairan irigasi lama operasi

RESEPTOR

EFEKTOR

Mencegah reuptake 5-HT & norepinerrin, merangsang pelepasan 5-HT

Agonis reseptor κ

Page 33: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

32

BAB III

KERANGKA KONSEP

SUHU RUANGAN

BB

JUMLAH CAIRAN IRIGASI

TEKNIK ANESTESI

SPINAL

UMUR

SUHU TUBUH

PS ASA

LAMA OPERASI

MENGGIGIL

KEJADIAN

DERAJAT

TRAMADOL

PETIDIN

Variabel Bebas Variabel Tergantung

Variabel Kendali

KETERANGAN

Page 34: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

33

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda (random double

blind control trial).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUP dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar mulai Maret 2012 sampai Mei 2012.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi penelitian adalah pasien bedah elektif yang akan menjalani

operasi TURP di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo selama masa

penelitian.

2. Sampel

Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan

setuju untuk ikut dalam penelitian. Pemilihan sampel dilakukan secara

acak dari semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Page 35: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

34

D. Perkiraan Besar Sampel

Menggunakan besar sampel dengan bantuan tabel Isaac Michael dengan

N = 40 sampel ditentukan n = 36 dengan taraf kesalahan 5% (α = 0,05)

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi

a. Telah menandatangani persetujuan terlibat dalam penelitian.

b. Umur 65-80 tahun.

c. Berat badan 40-80 kg.

d. PS ASA II.

e. Operasi elektif TURP.

f. Anestesi spinal.

g. Ada persetujuan dokter primer yang merawat.

2. Kriteria eksklusi

a. Kontra indikasi terhadap bahan penelitian.

b. Temperature membran timpani kurang dari 36,20C atau lebih dari

37,80C.

3. Kriteria drop out

a. Ketinggian blok kurang dari thorakal X atau lebih dari thorakal VI.

b. Lama operasi lebih dari 2 jam.

c. Jumlah cairan irigasi lebih dari 20 liter.

d. Perubahan tehnik anestesi.

Page 36: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

35

e. Perdarahan banyak sehingga membutuhkan transfusi darah

F. Ijin Penelitian dan Kelaikan Etik

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan kelayakan

etik dari komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin. Semua penderita yang memenuhi kriteria inklusi

diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani lembar persetujuan untuk

ikut dalam penelitian secara sukarela. Bila karena suatu alasan, penderita

berhak mengundurkan diri dari penelitian ini.

G. Metode kerja

1. Alokasi Subyek

Subyek penelitian terdiri atas 2 kelompok :

a. Kelompok T, yaitu kelompok yang mendapat tramadol 0,5 mg/kgBB

intravena sebanyak 5 ml

b. Kelompok P, yaitu kelompok yang mendapat petidin 0,5 mg/kgBB

intravena sebanyak 5 ml

2. Cara Penelitian

a. Pasien sebagai sampel yang termasuk kriteria inklusi, diberikan

penjelasan perihal penelitian. Selanjutnya sampel penelitian

menjalani prosedur persiapan operasi elektif yang berlaku.

Page 37: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

36

b. Dilakukan pengukuran dan pemantauan tekanan darah sistolik,

tekanan darah diastolik, TAR (Tekanan Arteri Rerata), laju jantung,

frekwensi nafas, gambaran EKG, saturasi oksigen, dan suhu

membran timpani pada saat pasien berada di ruang operasi,

sebelum dilakukan pemberian obat yang diteliti, yang dilakukan

oleh pembantu peneliti yang telah dijelaskan tentang prosedur

penelitian, sesuai dengan prosedur alur penelitian.

c. Pembantu peneliti pertama membagikan 2 jenis amplop berkode

nomer 1 atau 2 yang berisi obat yang akan disuntikkan kepada

sampel. Pembantu peneliti kedua yang tidak mengetahui isi obat di

tiap-tiap amplop melakukan prosedur anestesi dan pengamatan

hingga pasien dipindahkan dari ruang pemulihan. Ruang operasi

dan pemulihan diatur pada suhu 22±20C.

d. Pasien diberikan loading 500 cc cairan infus ringer laktat bersuhu

kamar. Lima belas menit sebelum dilakukan anestesi spinal,

terlebih dahulu disuntikkan obat penelitian yaitu Tramadol

(Simatral®) 0,5 mg/kgBB yang diencerkan dengan NaCl 0,9%

hingga 5 cc secara intra vena, atau Petidin 0,5mg/kgBB sebanyak

5 cc secara intra vena. Kecepatan penyuntikan obat 5 cc dalam 1

(satu) menit.

e. Dilakukan prosedur anestesi spinal dengan posisi left lateral

decubitus, dengan jarum spinal merk spinocan nomer 25G, dengan

Page 38: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

37

obat bupivacain (buvanest®) hiperbarik 0,5% 2,5 cc (12,5 mg).

Setelah pasien kembali diposisikan supine dilakukan tes ketinggian

blok dengan cold test. Diharapkan ketinggian blok setinggi thorakal

VI-X. Setelah ketinggian blok tercapai, operasi dimulai. Nantinya

sampel yang disuntik dengan Tramadol 0,5 mg/kgBB disebut

Kelompok T, sedangkan sampel yang disuntik dengan Petidin

0,5mg/kgBB disebut kelompok P.

f. Selanjutnya dilakukan pemantuan tiap 5 menit pada 15 menit

pertama terhadap tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,

TAR (Tekanan Arteri Rerata), laju jantung, frekwensi nafas,

gambaran EKG, saturasi oksigen, suhu membran tympani, derajat

menggigil, dan efek samping.

g. Bila terjadi penurunan tekanan darah 25% dari tekanan darah

basal, diberikan efedrin 5 mg intravena. Bila terjadi muntah

diberikan metoklopramid 10 mg iv. Setelah 15 menit pertama,

pemantauan dilanjutkan tiap 15 menit sampai pasien keluar kamar

operasi atau sudah mencapai skor bromage 1 (satu).

h. Jika terjadi menggigil pasien diberikan obat rescue meperidine 25

mg intravena dan penghangatan (selimut dan kompres hangat).

Pengamatan dilakukan oleh pembantu peneliti yang sudah

dijelaskan tentang prosedur penelitian. Hasil pengamatan dicatat

dalam lembar pengamatan yang telah disiapkan.

Page 39: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

38

H. Alur Penelitian

Keterangan :

T0 : waktu pasien tiba di kamar operasi, berbaring telentang di meja operasi, terpasang alat monitoring hemodinamik

Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan randomisasi

Kelompok T Tramadol 0.5 mg/kgBB

Kelompok P Petidin 0.5 mg/kgBB

Anestesi Spinal Bupivacain 0.5% 2 ml

Pengamatan dan Pengumpulan Data

Analisa data dan pelaporan

Kesimpulan

Loading RL 500cc

5 menit

10 menit

T0

T1

T2, dst

Page 40: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

39

T1 : sesaat setelah dilakukan anestesi spinal

T2 : lima menit setelah dilakukan anestesi spinal

T3 : sepuluh menit setelah dilakukan anestesi spinal

T4 : lima belas menit setelah dilakukan anestesi spinal

T5 dan seterusnya waktu setiap 15 menit selama operasi, observasi di PACU sampai pasien dipindahkan ke ruangan

I. Identifikasi Variabel dan Klasifikasi Variabel

1. Identifikasi Variabel

a. Tramadol 0,5 mg/kgBB

b. Petidin 0,5 mg/kgBB

c. Berat Badan (BB)

d. Umur

e. Suhu Tubuh

f. PS ASA

g. Lama Operasi

h. Jumlah Cairan Irigasi

i. Suhu Ruangan

j. Teknik Anestesi Spinal

2. Klasifikasi Variabel

a. Berdasarkan jenis variabel

Page 41: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

40

1) Variabel kategorikal : PS ASA, teknik

anestesi spinal, tramadol 0,5 mg/kgBB, petidin 0,5 mg/kgBB

2) Variabel numerik : berat badan, umur, suhu tubuh, lama

operasi, jumlah cairan irigasi, suhu ruangan

b. Berdasarkan peran/fungsi variabel

1) Variabel bebas :

a) tramadol 0,5 mg/kgBB

b) petidin 0,5 mg/kgBB

2) Variabel tergantung :

a) Kejadian menggigil

b) Derajat menggigil

3) Variabel kendali :

a) Suhu ruangan

b) Teknik anestesi spinal

c) Jumlah cairan irigasi

d) Berat badan

e) Umur

f) Suhu tubuh

g) PS ASA

h) Lama operasi

Page 42: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

41

J. Definisi Operasional

1. Kelompok T : kelompok yang mendapat tramadol 0,5 mg/kgBB

sebanyak 5 ml yang diberikan intravena selama satu menit, sebelum

dilakukan anestesi spinal

2. Kelompok P : kelompok yang mendapat petidin 0,5 mg/kgBB

sebanyak 5 ml yang diberikan intravena selama satu menit, sebelum

dilakukan anestesi spinal

3. Tramadol : obat dengan dosis 0,5 mg/kgBB diencerkan dengan NaCl

0,9% hingga 5 cc , yang akan diberikan secara intravena kepada

kelompok T.

4. Petidin : obat dengan dosis 0,5 mg/kgBB diencerkan dengan NaCl

0,9% hingga 5 cc yang akan diberikan secara intravena kepada

kelompok P.

5. Berat Badan (BB) : ukuran berat badan pasien yang diukur dengan

timbangan dimana pasien berdiri diatasnya.

6. Umur : usia pasien yang tercantum di lembar status, yang telah

dikonfirmasi ulang ke pasien dan atau keluarganya.

7. Suhu Tubuh : suhu yang tercatat dari membran timpani telinga satu

sisi pasien dengan termometer infra red digital merk Doc.Thermo®

model no HD-7 yang diproduksi oleh Comdek Industrial Corp.

Page 43: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

42

8. Suhu Ruangan : suhu yang tercatat pada thermohygrometer yang

tertempel di dinding kamar operasi.

9. Efektifitas obat : keadaan dimana obat yang diberikan menghasilkan

keadaan tanpa menggigil atau menggigil derajat ≤ 2

10. Teknik Spinal Anestesi : proses melakukan tindakan spinal anestesi

dengan terlebih dahulu memberikan loading cairan Ringer Laktat 500

cc dalam 15 menit, selanjutnya pasien dibaringkan dengan posisi left

lateral decubitus. Dalam posisi ini diidentifikasi interspace lumbal III-IV,

dilakukan desinfeksi lapangan injeksi dan dipasang kain penutup steril.

Tempat insersi jarum spinal dianestesi lokal dengan lidocain 2%

sebanyak 2 cc dengan spuit 3 cc. Satu menit kemudian jarum spinal

merek spinocan ukuran 25G diinsersikan perlahan sampai yakin

berada di ruang subarachnoid yang ditandai dengan keluarnya liquor

cerebro spinalis. Selanjutnya obat bupivacaine (® buvanest) 0,5%

hiperbarik diinjeksikan melalui jarum spinal yang telah terpasang

dengan spuit 5 cc sebanyak 2 cc (10 mg). Setelah itu pasien kembali

diposisikan terlentang, dan dilakukan tes ketinggian blok dengan pin

prick test.

11. Menggigil : gerakan kecil-kecil, dan cepat seperti tremor pada otot

yang dapat terlihat pada wajah, terutama pada otot masseter yang

meluas ke daerah leher, dada dan perut serta ekstremitas, yang tidak

diikuti kejang.

Page 44: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

43

12. Insiden Menggigil : terlihat atau tidaknya menggigil pada kedua

kelompok sampel

13. Onset Menggigil : waktu pertama kali kedua kelompok sampel terlihat

menggigil yang dihitung mulai dari saat obat spinal habis diinjeksikan

ke dalam rongga spinalis.

14. Derajat Menggigil : tingkat beratnya menggigil dari skala 0 – 4.

15. Insiden mual dan muntah : ada atau tidaknya kejadian mual dan

muntah pada kedua kelompok sampel

16. Skala sedasi ramsay : penilaian derajat sedasi menggunakan skala

sedasi ramsay

K. Kriteria Obyektif

1. Berat badan (BB)

Dinyatakan dalam kilogram (kg)

2. Umur

Dinyatakan dalam tahun (th)

3. Suhu membran timpani

Dinyatakan dalam derajat celcius (0C)

4. Suhu ruangan

Dinyatakan dalam derajat celcius (0C)

5. Insiden Menggigil

Diberi nilai 1 jika terlihat menggigil, dan 0 jika tidak terlihat menggigil

Page 45: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

44

6. Derajat Menggigil

Dinilai sesuai dengan skala berikut: skala 0 (tidak menggigil); skala 1

(gerakan otot pada leher dan rahang atau fasikulasi minimal pada wajah;

skala 2 (skala satu disertai gerakan otot pada dada); skala 3 (gerakan otot

seluruh tubuh yang tidak terus menerus); dan skala 4 (kekakuan otot

menyeluruh )

7. Insiden mual dan muntah :

Diberi nilai 0 jika tidak terjadi mual dan muntah, 1 jika tidak terjadi mual

dan 2 jika terjadi muntah

8. Skala sedasi Ramsay :

1) Pasien cemas dan agitasi

2) Tenang dan menurut perintah

3) Tertidur dan bangun dengan panggilan pelan

4) Tertidur dan bangun dengan panggilan keras

5) Tertidur dan bangung dengan rangsang nyeri

6) Tidak berespon

L. Pengolahan Dan Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk narasi,

tabel atau grafik. Analisa secara statistik digunakan t test dan Mann-Whitney

Page 46: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

45

U test dengan tingkat kepercayaan 95%, dan dianggap bermakna bila p≤

0,05.

M. Jadwal Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada periode April-Juni 2012

1. Persiapan : 1 minggu

2. Pelaksanaan penelitian : 8 minggu

3. Analisis data dan penyusunan data : 1 minggu

N. Personalia Penelitian

Pelaksana : dr. Antonius Lino

Pembimbing materi :

• dr. Abdul Wahab, SpAn

• Dr. dr.Muh Ramli Ahmad, SpAn-

KAP,KMN

• Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD,SpAn,

KIC,KMN

• dr. Syafruddin Gaus, PhD,SpAn,KMN

• dr. Danny Suwandi, PhD,SpFK

Pembimbing metodologi : Dr.dr. Burhanuddin Bahar, MS

Pembantu pelaksana : Peserta PPDS Anestesiologi FK Unhas

Page 47: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

46

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan April sampai

dengan Mei 2012 dan diperoleh 36 pasien yang bersedia mengikuti penelitian

dan memenuhi kriteria inklusi. Tiga puluh enam pasien tersebut kemudian

dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan tramadol 0,5

mg/kgBB intravena dan kelompok yang mendapatkan petidin 0,5 mg/kgBB

intravena. Setiap kelompok terdiri atas 18 sampel penelitian.

A. Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik sampel penelitian kedua kelompok meliputi umur, Indeks

massa tubuh (IMT), suhu kamar operasi, suhu ruang post anesthetic care unit

(PACU), ketinggian blok, jumlah cairan irigasi, dan lama operasi dapat dilihat

pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 tampak bahwa untuk kategori umur didapatkan nilai rerata

umur untuk kelompok Tramadol 70,56±5,90 tahun dan kelompok Petidin

71,50±6,79 tahun. Dari analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang

bermakna antara kedua kelompok (p=0,669).

Untuk kategori indeks massa tubuh (IMT) didapatkan nilai rerata pada

kelompok Tramadol 21,29±2,03 dan kelompok Petidin 22,37±1,68. Dari

Page 48: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

47

analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua

kelompok (p=0,090).

Suhu rerata kamar operasi pada kelompok Tramadol 22,83±0,510C

dan pada kelompok Petidin 22,61±0,50. Dari analisis statistik tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,198).

Suhu rerata ruang PACU pada kelompok Tramadol 23,39±0,78 dan

pada kelompok Petidin 23,39±0,50. Berdasarkan analisis statistik tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p=1,000).

Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian

No. Variabel

Kelompok

p Tramadol

(mean ± SD)

Petidin

(mean ± SD)

1 Umur 70,56 ± 5,90 71,50 ± 6,79 0,669*

2 IMT 21,29 ± 2,03 22,37 ± 1,68 0,090*

3 Suhu kamar operasi 22,83 ± 0,51 22,61 ± 0,50 0,198*

4 Suhu PACU 23,39 ± 0,78 23,39 ± 0,50 1,000*

5 Lama operasi 46,67 ± 7,28 46,94 ± 5,98 0,739*

6 Jumlah cairan irigasi 12.111,11 ± 1.022,61 11.944,44 ± 872,60 0,602*

7 Ketinggian blok T9 - T6 T8 - T6 0,084**

*Uji t p ≤ 0,05 dinyatakan bermakna. **Uji Mann Whitney U p ≤ 0,05 dinyatakan bermakna. Data disajikan dalam bentuk min-maks.

Page 49: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

48

Jumlah cairan irigasi pada kelompok Tramadol rerata 12.111,11 ±

1.022,61 cc dan pada kelompok Petidin 11.944,44 ± 872,60 cc. Berdasarkan

analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua

kelompok (p=0,602).

Lama operasi pada kelompok Tramadol rerata 46,67±7,28 menit dan

pada kelompok Petidin 46,94±5,98 menit. Berdasarkan analisis statistik tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,739).

Ketinggian blok anestesi pada kelompok Tramadol berkisar antara T9

sampai T6 sedangkan pada kelompok Petidin antara T8 sampai T6 secara

statistik tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,084).

B. Kejadian dan Derajat Menggigil

Hasil penelitian tentang kejadian dan derajat menggigil pada kedua

kelompok dapat dilihat pada tabel 2 dan diperlihatkan dalam bentuk diagram

batang pada gambar 1.

Tabel 2. Kejadian dan derajat menggigil

No. Kejadian Menggigil

Kelompok

p Tramadol

(n = 18)

Petidin

(n = 18)

Page 50: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

49

Derajat 0

Derajat 1

Derajat 2

Derajat 3

Derajat 4

15

3

0

0

0

15

1

2

0

0

0,884

* Uji mann-whitney. p ≤ 0,05 dinyatakan bermakna

Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 1, tampak ada tiga kejadian

menggigil pada kelompok tramadol dan tiga pada kelompok petidin. Dengan

tiga menggigil derajat 1 pada kelompok Tramadol. Sedangkan pada

kelompok Petidin satu menggigil derajat 1 dan dua menggigil derajat 2. Dari

analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna baik kejadian

maupun derajat menggigil pada kedua kelompok (p=0,884).

Page 51: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

50

Gambar 5. Diagram kejadian menggigil pada kedua kelompok

Gambar 6. Diagram derajat menggigil pada kedua kelompok

Page 52: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

51

C. Variasi Suhu Membran Timpani

Variasi suhu membrane timpani pada kedua kelompok selama

penelitian diperlihatkan pada Tabel 3 dan ditampilkan dalam bentuk grafik

pada Gambar Hasil analisis suhu membran timpani menggunakan

independent sampel t test tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara

kedua kelompok (p> 0,05).

Tabel 3. Perbandingan suhu membran timpani pada kedua kelompok

No. Waktu

Suhu Membran Timpani

p Tramadol

(mean ± SD)

Petidin

(mean ± SD)

1 T0 36,38 ± 0,13 36,39 ± 0,13 0,802

2 T1 36,30 ± 0,17 36,31 ± 0,11 0,906

3 T2 36,26 ± 0,21 36,22 ± 0,13 0,448

4 T3 36,15 ± 0,22 36,02 ± 0,18 0,067

5 T4 36,00 ± 0,28 35,86 ± 0,18 0,073

Page 53: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

52

6 T5 35,94 ± 0,32 35,73 ± 0,21 0,101

7 T6 35,67 ± 0,29 35,57 ± 0,21 0,255

8 T7 35,56 ± 0,21 35,41 ± 0,23 0,052

9 T8 35,44 ± 0,25 35,30 ± 0,24 0,100

10 T9 35,37 ± 0,31 35,26 ± 0,27 0,281

11 T10 35,26 ± 0,35 35,27 ± 0,18 0,906

12 T11 35,26 ± 0,39 35,30 ± 0,23 0,681

13 T12 35,37 ± 0,24 35,31 ± 0,23 0,409

14 T13 35,39 ± 0,22 35,47 ± 0,23 0.276

15 T14 35,47 ± 0,29 35,51 ± 0,17 0,685

16 T15 35,54 ± 0,38 35,52 ± 0,20 0,785

17 T16 35,65 ± 0,40 35,65 ± 0,24 1,000

18 T17 35,81 ± 0,38 35,70 ± 0,20 0,277

19 T18 35,93 ± 0,31 35,79 ± 0,18 0,127

Uji t p ≤ 0,05 dinyatakan bermakna

Page 54: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

53

Gambar 7. Grafik perubahan suhu pada kedua kelompok

D. Efek Samping

Tidak ditemukan efek samping berupa hipotensi, bradikardi, dan

depresi respirasi pada sampel penelitian. Kejadian mual dan muntah pada

kedua kelompok secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna.(p =

0,954), sedangkan kejadian urtikaria ditemukan 4 sampel pada kelompok

Petidin, dan tidak ditemukan pada kelompok Tramadol hal ini berbeda

bermakna secara statistik (p = 0,036).

Page 55: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

54

Tabel 4. Perbandingan efek samping pada kedua kelompok

No. Efek Samping

Kelompok

p Tramadol

(n = 18)

Petidin

(n = 18)

1 Mual

Muntah

2

0

1

1 0,954

2 Urtikaria 0 4 0,036

Gambar 8. Perbandingan efek samping pada kedua kelompok

Untuk menilai derajat sedasi digunakan skala sedasi Ramsay yang dapat

dilihat pada gambar 9. Pada kelompok Tramadol semua sampel termasuk

Page 56: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

55

dalam skala dua, sedangkan kelompok Petidin didapatkan tiga belas sampel

skala dua dan lima sampel skala tiga. Berdasarkan analisis statistik

ditemukan perbedaan bermakna (p=0,018).

Tabel 5. Skala Sedasi Ramsay

No. Skala sedasi

Kelompok

p Tramadol

(n = 18)

Petidin

(n = 18)

Skala 1

Skala 2

Skala 3

Skala 4

Skala 5

Skala 6

0

18

0

0

0

0

0

13

5

0

0

0

0,018

Uji Mann whitney U p ≤ 0,05 dinyatakan bermakna

Page 57: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

56

Gambar 9. Perbandingan skala sedasi pada kedua kelompok

BAB V

PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian di RSUP dr Wahidin Sudirohusodo terhadap

36 pasien yang menjalani operasi TURP dengan anestesi spinal. Tujuan

penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas pemberian tramadol

0,5 mg/kgBB iv dengan petidin 0,5 mg/kgBB iv dalam pencegahan menggigil

setelah anestesi spinal pada TURP.

A. Karakteristik Sampel

Page 58: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

57

Karakteristik sampel penelitian yang meliputi umur, indeks masa tubuh

(IMT), suhu kamar operasi, suhu PACU, ketinggian blok, jumlah cairan irigasi,

dan lama operasi tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik.

Sehingga sampel dalam penelitian ini dinilai homogen.

B. Kejadian dan Derajat Menggigil

Pada kedua kelompok masing-masing ditemukan tiga kejadian

menggigil (16,7%). Pada kelompok tramadol semuanya derajat 1 sedangkan

pada kelompok petidin terdapat satu menggigil derajat 1 dan dua menggigil

derajat 2. Secara analisis statistik hasil ini tidak berbeda bermakna, namun

secara klinis menggigil derajat 2 mendapat terapi petidin 25 mg iv.

Anestesi spinal merupakan teknik yang sering dipilih untuk TURP,

namun sering menimbulkan efek menggigil sebagai respon pengaturan suhu

akibat hipotermia. Insiden menggigil setelah anestesi spinal pada TURP

mencapai hingga 50%. (Yao, 2008) Tramadol dan petidin menurunkan

kejadian menggigil, yang pada penelitian ini ditemukan 16,7%.

Teori monoamine pengaturan suhu yang dicetuskan oleh Feldberg dan

Myers (1963) menduga bahwa terdapat keseimbangan norepinefrin dan

serotonin di preoptik anterior hipotalamus yang mengatur set point.

Honarmand dan Safavi (2008) menemukan kejadian menggigil setelah

anestesi spinal pada penderita yang menjalani operasi ortopedi sebesar 60%.

Page 59: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

58

Javaherforoosh dkk (2009) melakukan penelitian terhadap pasien yang

menjalani seksio sesaria dengan anestesi spinal dan menemukan kejadian

menggigil pada kelompok yang mendapat normal salin sebesar 86,6%

sedangkan kelompok tramadol 1 mg/kgBB sebesar 8,8%.

Sedangkan Ataskhoyi dan Negargar (2008) membandingkan

pemberian tramadol `1 mg/kgBB i.v. dengan normal saline pada pasien yang

menjalani seksio sesaria dengan anestesi spinal mendapatkan kejadian

menggigil pada kelompok tramadol sebesar 28,57% sedangkan pada

kelompok normal salin sebesar 65,71%.

Beberapa penelitian sebelumnya yang membandingkan tramadol dan

petidin untuk pencegahan menggigil juga menemukan penurunan kejadian

menggigil. Mohta dkk (2009) melaporkan kejadian menggigil setelah anestesi

umum pada penderita yang mendapat tramadol 1 mg/kgBB iv sebesar 9%,

sedangkan kelompok yang mendapat petidin 0,5 mg/kgBB iv sebesar 12%,

dan kelompok kontrol sebesar 42%.

Tramadol bekerja dengan menghambat pengambilan kembali

norepinefrin dan 5-hidroxytriptamin, memfasilitasi pelepasan 5-HT serta

mengaktifkan reseptor oioid μ. Pemberian tramadol menurunkan setpoint

ambang vasokonstriksi dan menggigil yang konsisten dengn efek anti

menggigilnya. (Dewitee JL, Kim J, Sessler, Bastnamehr, Bjorksten A; 1998)

Petidin memiliki efek anti menggigil spesifik dan merupakan obat yang

paling sering digunakan untuk pencegahan maupun penanganan menggigil.

Page 60: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

59

Petidin menstimulasi reseptor κ dan reseptor μ, namun tampaknya efek anti

menggigil petidin lebih dikarenakan efeknya terhadap reseptor κ. (Adithi A,

Dimar;2007; Pamela, Macintyre;1987).

C. Efek Samping

Efek samping penggunaan tramadol adalah mual dan muntah yang

berhubungan dengan dosis pemberian, semakin tinggi dosis yang diberikan

akan semakin besar efek mual dan muntah.

Dosis 0,5 mg/kgBB untuk pencegahan menggigil yang diberikan pada

penelitian ini merupakan dosis yang relatif kecil. Ditemukan dua kejadian

mual pada kelompok Tramadol, sedangkan pada kelompok Petidin satu

kejadian mual dan satu kejadian muntah, berdasarkan analisis statistik tidak

ditemukan perbedaan bermakna (p=0,954).

Penelitian yang dilakukan oleh Witte dkk (1998) melihat efek samping

pemberian tramadol menyimpulkan bahwa mual tidak ditemukan pada pasien

yang mendapatkan tramadol kombinasi naloxone dan menyimpulkan bahwa

mual berhubungan dengan aktivasi reseptor opioid μ.

Mohta dkk (2009) mendapatkan kejadian mual dan muntah sebesar

30% pada pemberian tramadol 3 mg/kgBB iv dan 18 % pada pemberian 2

mg/kgBB iv dan 12% pada pemberian 1 mg/kgBB iv. Pada penelitian ini

ditemukan dua kejadian mual (11%) sedangkan muntah tidak ditemukan.

Page 61: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

60

Pada kelompok Petidin ditemukan satu kejadian mual dan satu kejadian

muntah, namun secara statistik tidak berbeda bermakna.

Derajat sedasi sebagai salah satu efek samping pemberian obat

terlihat berbeda bermakna antar kedua kelompok. Pada kelompok petidin

terdapat lima sampel yang mengalami sedasi skala 3 (27,8%) sedangkan

kelompok tramadol semua mengalami sedasi skala 2. Hal ini menunjukkan

bahwa petidin dosis 0,5 mg/kgBB memberikan efek sedasi yang lebih besar

dibandingkan tramadol dengan dosis yang sama.

D. Variasi suhu membran timpani

Penurunan suhu inti berhubungan dengan derajat vasodilatasi dan

ketinggian blok, sehingga suhu membran timpani tercatat semakin menurun.

Penggunaan cairan irigasi pada suhu kamar menyebabkan suhu tubuh

menurun antara 1-2 0C perjam dan kembali meningkat perlahan seiring

dengan pulihnya blok spinal (Yao F, 2008).

Anestesi spinal biasanya menjangkau sebagian besar massa otot,

sehingga penurunan temperature inti bisa lebih berat, sedangkan produksi

panas sedikit mengalami penurunan. Penurunan temperatur inti akan

mencetuskan vasokonstriksi dan menggigil pada daerah yang tidak terblok

jika pengaturan suhu tidak terganggu berat seperti oleh umur atau sedasi

Page 62: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

61

sehingga relative tidak efektif dan tidak efisien untuk mengatasi hipotermia

(Sessler & Witte, 2009).

Pada penelitian ini mulai terjadi penurunan suhu secara bertahap

setelah dilakukan anestesi spinal sampai menit ke-105 dan perlahan

meningkat seiring dengan pulihnya blok simpatis sampai mendekati suhu

awal sebelum anestesi dimulai. Tidak ditemukan perbedaan bermakna variasi

suhu pada kedua kelompok penelitian.

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Page 63: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

62

1. Tramadol 0,5 mg/kgBB iv sama efektif dengan petidin 0,5 mg/kgBB iv

dalam menurunkan kejadian dan derajat menggigil setelah anestesi spinal

pada TURP.

2. Efek samping berupa urtikaria, dan sedasi lebih rendah pada kelompok

tramadol 0,5 mg/kgBB iv dibandingkan petidin 0,5 mg/kgBB iv

B. Saran

1. Tramadol 0,5 mg/kgBB iv dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan

menggigil setelah anestesi spinal pada TURP karena memiliki efek

samping yang lebih rendah dibandingkan petidin yang umum digunakan

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan tramadol sebagai

pencegahan menggigil pada jenis operasi lain dengan dosis yang berbeda

Page 64: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

63

DAFTAR PUSTAKA

Adithi A, Dimar. 2007. Tramadol for control of shivering (comparison with

pethidine). Ind J Anaesth. 51 (1) : 28 – 31

Atashkhoyi S, Negargar S. 2008. Effect of tramadol for prevention of shivering after

spinal anesthesia for cesarean section. Research J Biol Sci. 3(12):1365-9

Bhattacharya P, Bhattacharya L, Jain R, Agarwal R. 2003. Post anaesthesia shivering

: a review. Ind J Anaesth. 47(2):88-93

Collins VJ. 1996. Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia. New

York:Williams & Wilkins.

Dewitte JL, Kim J, Sessler, Bastanmehr, Bjorksten A. 1998. Tramadol reduces the

sweating, vasoconstriction, and shivering thresholds. Anesth Analg. 87:173-9

Gill HS, Freiha FS, Deem SA, Pearl RG. 1999. Anesthesiologist’s manual of surgical

prosedures. 2nd ed. New York :Lippincott Williams & Wilkins.

Gravenstein D. 1997. Transurethral resection of the prostat (TURP) syndrome: a

review of the pathophysiology and management. Anesth Analg. 84: 438-46.

James K, Briggs S, Lewis R, Celinski M. 2010. Pharmacology and

pharmacokinetics. London : Springer Dordrecht.

Javaherforoosh F, Akhondzadeh R, Aein KB, Olapour A, Samimi M. 2009. Effects of

tramadol on shivering post spinal anesthesia in elective cesarean section. Pak J Med

Sci. 25(1):12-7

Kirson LE. 2006. Anesthesia secret. 3rd ed . Colorado : Mosby Elsevier.

Page 65: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

64

Koay, C.K. 1991. Shivering during regional anaesthesia and its control with

pethidine. Singapore Med J. 32: 160 – 2.

Kose EA, Dal D. 2008. The efficacy of ketamine for the treatment of postoperative

shivering. Anesth Analg. 106(1):120-2.

Luginbuehl I, Bissonnette B, Davis PJ. 2005. Smith’s Anesthesia for Infants and

Children. 7th ed. Philadelphia : Mosby Elsevier.

Mohammadi F, Khajavi R, Imani F, Azodi S, Tavakoli B, Khashayar P. Tramadol

and meperidine effect in postanaesthetic shivering. Recent advances in clinical

medicine. 126-35

Mohta M, Kumari N, Tyagi A, Sethi A, Agarwal D, Singh M. 2009. Tramadol for

prevention of postanaesthetic shivering: a randomized double-blind comparison with

pethidine. J Anaesth of Great Britain and Ireland. 64 : 141-6

Pamela E, Macintyre MB. 1987. Effect of meperidine on oxygen consumption,

carbon dioxide production, and respiratory gas exchange in postanesthesia shivering.

Anesth Analg. 25:751 -5.

Saha E, Ray M, Mukherjee G. 2005. Effect of tramadol in prevention of

postanaesthetic shivering following general anaesthesia for cholecystectomy. Ind J

Anaesth. 49(3):208-12

Sajedi P, Yaraghi A, Moseli HA. 2008. Efficacy of granisetron in preventing

postanesthetic shivering. Acta Anaesth Taiwan. 46(4):166-70.

Sessler DI, De Witte JL. Perioperative heat balance. Cleaveland Clinic Center for

Continuing Education. 2009. Available from : http:// www. clevelandclinicmeded.

com/ online/heatbalance/references.htm.

Sessler DI, De Witte JL. Perioperative shivering physiology and pharmacology.

Anesthesiology. 2002; 96: 467-84.

Page 66: PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TRAMADOL 0,5 mg/kgBB DENGAN

65

Sessler DI, De Witte JL.Temperatur monitoring and perioperative thermoregulation.

Cleaveland clinic center for continuing education. 2009. Available from : http://

www. Clevelandclinicmeded .com/ online/ temperature/ references. htm.

Tahereh P. Efficacy of pethidine and buprenorphine for prevention and treatment of

postanesthetic shivering. Tanaffos. 2007;6 (3):54 – 58

Tewari A, Katyal S, Singh A, Garg S, Kaul TK, Narula N. 2006. Prophylaxis with

oral clonidine prevents perioperative shivering in patients undergoing transurethral

resection of prostate under subarachnoid blockade. Ind J Anaesth. 22(3): 208-12.

Tsai Y, Chu K. A comparison of tramadol, amitriptyline, and meperidine for

postepidural anesthetic shivering in parturients. Available from : http://

www.ncku.edu.tw

Vassilieff N, Rosencher N, Sessler DI, Conseiller C. Shivering threshold during

spinal anesthesia is reduced in elderly patients. Anesthesiology 1995; 83(6):1162-66.

Yao FSF, Malhotra V, Sudhendra V. 2008. Anesthesiology problem-oriented patient

management. 6th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.