penulis persembahkan kepada kedua orang tua,...

83
i

Upload: others

Post on 10-Jul-2020

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

i

ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto: “Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa

supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13)

“Hubbul Wathon Minal Iman”

Cinta Tanah Air adalah sebagian dari Iman (KH. Hasyim Asy’ari)

Memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.

(Gus Dur)

Insyaf dan sadar bahwa Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan ideologi negara dan falsafah bangsa Indonesia.

Sadar dan yakin bahwa Islam merupakan panduan bagi umat manusia yang kehadirannya memberikan rahmat sekalian alam.

Suatu keharusan bagi umatnya untuk mengejawantahkan nilai Islam dalam pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dalam

kehidupan masyarakat dunia. (Mukadimah PMII)

TANAMKAN KE KEPALA ANAK-ANAKMU BAHWA HAK ASASI ITU

SAMA PENTINGNYA DENGAN SEPIRING NASI (Mahbub Djunaidi)

Persembahan:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

sebagai rasa syukur, segala bakti dan hormat, karya sederhana ini

penulis persembahkan kepada kedua orang tua, Mahmud

iii

Polamolo dan Farida Palebo, ayah dan ibu tercinta yang telah

memberikan segala cinta, kasih sayang, pengorbanan, keridhoan

dan doa serta dukungan yang tiada henti-hentinya hingga

mengantarkan penulis sampai pada tahap ini yang tidak akan

mampu terbalaskan dengan apapun juga. Kepada Kakak satu-

satunya, Firman Polamolo dan kedua adik tercinta Farhan

Polamolo serta Fadilah Polamolo, terima kasih atas segalanya.

KATA PENGANTAR

الحمد � رب العالمین والصالة والسالم على اشرف االنبیاء والمرسلین وعلى آلھ واصحابھ اجمعین اما بعد

Puji dan syukur untuk Sang Maha Pemberi Rahmat dan Hidayah,

Allah swt, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan dan melimpahkan rahmat-Nya serta telah melindungi, memberi petunjuk dan terutama kesempatan dan kesehatan sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, tahun 2019.

Dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, namun dengan kemauan dan ketabahan hati akhirnya penulis menyadari bahwa kesulitan itu tidak mungkin teratasi bila hanya di dasarkan atas kekuatan dan kemampuan penulis sendiri, melainkan berkat pertolongan Allah swt yang diberikan melalui bimbingan serta bantuan dari pihak lain.

Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini:

1. Teruntuk kedua orang tua, Mahmud Polamolo dan Farida Palebo selaku ayah dan ibu tercinta yang telah memberikan segala cinta, kasih sayang, pengorbanan, keridhoan dan doa serta dukungan yang tiada henti-hentinya hingga mengantarkan penulis sampai pada tahap

iv

ini yang tidak akan mampu terbalaskan dengan apapun juga. Kepada Kakak satu-satunya, Firman Polamolo dan kedua adik tercinta Farhan Polamolo serta Fadilah Polamolo, terima kasih atas segalanya. Semoga karya sederhana ini bisa mengukir senyum syukur diwajah pahlawan kalian.

2. Teruntuk segenap keluarga yang senantiasa memberi dukungan dan bantuan hingga pada tahap ini.

3. Terima kasih kepada Bpk. Dr. Lahaji, M.Ag., selaku Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo. Wakil Rektor I, Bpk. Dr. Sopyan Ap. Kau, M.Ag., Wakil Rektor II,Bpk. Dr. Ahmad Faisal, M.Ag., dan Wakil Rektor III, Bpk. Dr. Mujahid Damopolii, M.Pd.

4. Terima kasih kepada Bpk. Dr. H. Lukman Arsyad, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Amai Gorontalo. Wakil Dekan I, Bpk. Dr. H. Muh. Hasbi, M.Pd., Wakil Dekan II, Ibu Dr. Hj. Lamsike Pateda, M.Pd., dan Wakil Dekan III, Bpk. Dr. H. Arten H. Mobonggi, M.Pd.

5. Teruntuk Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Agama Islam IAIN Sultan Amai Gorontalo Bpk. Dr. H. Razak H. Umar, M.Pd., dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Ibu Dr. Hj. Munirah, M.Pd., terima kasih telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penulis hingga ke tahap ini.

6. Teruntuk Dosen Pembimbing Bpk. Dr. Najamuddin Petta Solong, M.Ag, dan Bpk. Burhanudin A.K Mantau, M.Pd.I., terima kasih telah banyak memberikan arahan, bimbingan, ilmu pengetahuan dan solusi pada setiap permasalahan dan kesulitan selama penyusunan skripsi ini.

7. Teruntuk kakak sekaligus senior Kamil Buhohang, Rinaldi Datungsolang, M.Pd., Nawir Safar, M.Pd., Asriadi Lakoro, Rifay Abdullah, Muh. Fani Gobel, S.Pd., Fatan Daniel, Arsid Djenaan, Firanda Lakoro SH., Ishak Goma, Jefri Rison, Ersad Mamonto, Cani Gobel, Rian Laurestabo, Dwi Manoppo, Bayu Wartabone, Anci Makalalag, terima kasih selama ini selalu memberikan yang terbaik bagi penulis hingga mencapai tahap ini.

8. Teruntuk Siti Lauma, Delinda Mula, Ein Baguna, Regita Yore, Ina Pohontu, Mila Sumaila, Rian Kohongia, Fahrudin Piola, Freidi Musran, Farhan Ibunu, Fandi Diko, Taufiq Tantu, Talib Hasan, Rahim Paputungan, Kifli Dotinggulo, Laras Sidiki, Viska Gobel, Tiwi Binol, Ecing, Eha Sumilat, Akri Salote, Dinno Lauma, Nunu Mahyun, Nanda Mokodompit, Indry Tuloli, Fadlan Malo, Uki, Rafli, Ega Bonde, Rahma, Salim, Nia, Fais, Rizky, Fudin, Susan, Rizal, Kiki, Fikri, Yahya Gite, Igo, Apit, Ati Humagi, Savira, Jia Latarima, Firly, Cahya, Yogi Piola, Andi

v

Lasompo, Iis, Andri, Nia Mahyun yang selama ini sebagai keluarga, sahabat sekaligus teman diskusi yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan semangat kepada penulis sampai dengan tahap ini, terima kasih.

9. Kepada Ais Ginoga, Aderiani, Mifta, Mona, Abdul Makalalag, Badar, Fuad dan seluruh teman-teman seperjuangan terutama kelas PAI A angkatan 2015 yang selalu saling mendukung dan memotivasi satu sama lain, terima kasih dan semoga sukses.

10. Teruntuk Ilham Vardiansyah Imran, terima kasih atas bantuan, dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga dapat melewati tahap demi tahap hingga saat ini penulis bisa menyelesaikan skripsi. Semoga bisa terus saling memotivasi dan mendukung satu sama lain.

11. Terima kasih kepada sahabat-sahabat serta kawan-kawanita yang ada di PMII (Komsat IAIN dan Cabang Kota Gorontalo, Manado, Minahasa, Bolmong), dan HMI, IMM, LMND, KPMIBU, FOKMMA sebagai keluarga besar, sahabat sekaligus teman diskusi dan berbagi wawasan ilmu pengetahuan.

12. Teruntuk seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih.

Demikianlah, semoga karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat menjadi sumbangsi pemikiran penulis dalam pembangunan di bidang lembaga pendidikan agama, negara dan bangsa menuju terciptanya masyarakat yang adil dan makmur di bawah lindungan-Nya serta semoga Allah SWT., menunjukkan kita ke jalan yang paling lurus.

Gorontalo, Juli 2019

Penulis,

Fika Magfira Polamolo NIM: 151012043

vi

DAFTAR ISI MOTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................ v BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Rumusan Masalah .................................................................... 9 C. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9 D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 10 E. Telaah Pustaka ........................................................................ 10 F. Kerangka Teori ........................................................................ 11 G. Metode dan Prosedur Penelitian .............................................. 14

BAB II KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL JAMES A. BANKS .............................................................................................. 19

A. Biografi James A. Banks ....................................................... 19 B. Pemikiran James A. Banks tentang Pendidikan Multikultural 20

1. Tujuan Pendidikan Multikultural ...................................... 21 2. Dimensi Pendidikan Multikultural .................................... 22

BAB III PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ................................. 33 A. Pengertian Pendidikan Islam ................................................. 33 B. Sejarah Pendidikan Islam ...................................................... 35 C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam ...................................... 41 D. Kurikulum Pendidikan Islam .................................................. 44

BAB IV INTEGRASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL JAMES A. BANKS DALAM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA .................. 50

A. Dimensi content integration dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia .................................. 51

B. Dimensi the knowledge construction process dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia .............. 54

C. Dimensi prejudice reduction dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia .................................. 59

D. Dimensi equity pedagogy dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia .................................. 64

E. Dimensi empowering school culture and social structure dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia ........................................................................... 68

vii

BAB V PENUTUP ............................................................................. 73 A. Kesimpulan ............................................................................ 73 B. Saran ..................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA TENTANG PENULIS

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pembawaan jasmani dan rohani sesuai dengan nilai yang terkandung dalam masyarakat dan kebudayaan.1 Pentingnnya proses pendidikan harus senantiasa dibarengi dengan kesadaran bagi pendidik untuk menciptakan kesadaran pula pada peserta didik dalam menjalani kehidupan baik kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama bahwa manusia tidak bisa hidup secara individu dan perlunya berinteraksi dengan sesama manusia, serta senantiasa pula menjaga hubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, Allah swt serta senantiasa menjaga kelestarian alam yang juga termasuk sesama ciptaan Allah swt. Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan kemampuan jalur yang ditempuh adalah pendidikan. Pengembangan ini meliputi aspek kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Dalam Islam, proses pendidikan sudah dimulai sejak manusia pertama diciptakan yakni diajarkan nama benda oleh Allah kepada Nabi Adam. Dalam Al-Qur’an pula banyak ayat yang mengandung makna pendidikan. Salah satunya, ayat yang pertama diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril di gua hirra yakni surah Al-Alaq ayat 1-5 yang mengandung makna pendidikan bahwa Allah yang mengajarkan apa yang tidak diketahui oleh manusia.

Pendidikan Islam bertolak dari pandangan Islam tentang manusia. Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok pula. Pertama, manusia sebagai khalifah Allah di Bumi; mengandung makna bahwa manusia diberi amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan dan melestarikan alam raya. Kedua, manusia sebagai makhluk Allah berkewajiban untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Selain itu, manusia adalah makhluk potensi lahir dan batin. Potensi lahir adalah unsur fisik yang dimiliki oleh manusia. Adapun potensi batin adalah unsur batin yang dimiliki manusia yang dapat dikembangkan menuju kesempurnaan.2

Pada dasarnya pendidikan Islam merupakan implementasi dari tujuan manusia sabagai Abdiyullah dan khalifahtullah yang sengaja diciptakan untuk memakmurkan bumi dan bertujuan mewujudkan misi

1H.Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010). h.1-2 2H. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta : Kencana,

2014). h.15

2

Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Tetap mengontrol keseimbangan jasmani dan rohani, emosional dan intelektual, individu dan masyarakat, serta dunia dan akhirat sebagai kunci utama untuk menciptakan paripurna (Insan kamil) sebagaimana tujuan pendidikan Islam.

Dewasa ini, pendidikan Islam sangatlah kompleks karena berbicara cakupan masalah dalam kehidupan sehari-hari baik spiritual sampai kehidupan sosial. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, tentu penting mengetahui sejarahnya untuk terus menjaga marwah Islam yang merupakan agama rahmatan lil ‘alamin. Negara Indonesia yang memiliki kurang lebih 27.000 pulau dan kurang lebih 600 suku serta 6 agama menandakan bahwa Indonesia adalah negara plural dan multikultural.

Keberagaman yang telah dimiliki bangsa ini patut dijaga, dilestarikan dan diapresiasi karena ini merupakan kekayaan bangsa. Menjadi sebuah malapetaka jika keberagaman ini justru dijadikan momok yang akan meluluhlantakan kedamaian berupa perseteruan antar suku dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang dikenal dengan radikalisme dan fundamentalisme agama sehingga menewaskan nilai kemanusiaan dan pemicu disintegrasi bangsa serta perusakan lingkungan yang tentunya bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam bahkan bisa menjadi tragedi untuk sebuah negara. Dalam keanekaragaman agama, suku, budaya dan bahasa, pertentangan akan selalu hadir dalam kehidupan manusia. Terlebih dalam sebuah kelompok sosial, perbedaan bisa memicu ketegangan bahkan konflik antar masyarakat itu sendiri.

Ini menjadi penting untuk dikaji. Melihat fakta sejarah yang dilirik dunia tentang runtuhnya Uni Soviet dan disintegrasi Yugoslavia. Secara umum, kedua negara tersebut adalah negara yang memiliki sejarah keberhasilan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan politik yang stabil bahkan kekuatan politik Uni Soviet tumbuh dan berkembang dibeberapa negara dalam dan luar Eropa Timur yang dikenal dengan negara berpaham sosial-komunis. Keduanya terdiri dari berbagai bangsa, etnis dan agama yang pada akhirnya menjadi sebab keruntuhan kejayaannya.

Uni Soviet merupakan salah satu (mantan) negara yang menjadi lawan abadi Amerika Serikat. Negara ini adalah negara berpaham komunis teragung di dunia pada zamannya. Sehingga kekuatan politiknya tidak dapat dipandang sebelah mata sejak ia berdiri tanggal 25 Oktober 1917. Bahkan 3 tahun setelah itu, Vladimir Lenin terus berusaha memperluas paham komunisme ke luar Eropa Timur. Usahanya ini dikenal dengan Komunis Internasional.3

3SejarahLengkap.com, “Sejarah Runtuhnya Uni Soviet-Penyebab, Proses dan Akibat Keruntuhan”, https://sejarahlengkap.com/dunia/sejarah-runtuhnya-uni-soviet

3

Sebagai negara yang terdiri dari berbagai bangsa dan agama atau bisa dikatakan sebagai negara yang multikultur, tentu tidak terlepas dari pertentangan. Meski memiliki perekonomian yang maju serta politik yang tangguh namun menjaga keutuhan negara adalah hal terpenting untuk ketentraman berbangsa, bernegara dan menjalankan aktivitas beragama. Tanpa negara yang utuh dan keamanan serta ketentraman yang terjamin tentu hanya akan mendatangkan keresahan dan ketidaknyamanan sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan beragama.

Kebijakan pemerintah Uni Soviet di era Gorbachev seperti glasnost (keterbukaan politik), perestroika (restrukturisasi ekonomi) dan uskoreniye (percepatan pembangunan ekonomi)4 yang awalnya bermaksud untuk mengembangkan politik dan perekonomian justru berbuntut pada pemicu konflik antar etnis diberbagai republik Uni Soviet hingga nasib malang menimpa negara yang dikenal dengan julukan negara superpower ini.

Contohnya, pada bulan Februari 1988, pemerintah Nagorno-Karabakh, RSS Azerbaijan, etnis Armenia yang mendominasi, mengeluarkan keputusan yang berisi penggabungan wilayahnya dengan RSS Armenia. Diskriminasi terhadap masyarakat Azerbaijan diberitakan dan ditayangkan ditelevisi Soviet hingga memicu pembantaian terhadap masyarakat Armenia di Sumqayit. Ketegangan antaretnis ini kelak akan menjadi bibit dan jentik radikalisme serta terorisme pasca-keruntuhan Uni Soviet.5

Fakta tersebut sangat memprihatinkan dan seharusnya menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Jangan sampai keanekaragaman yang tercipta memicu fanatis dan etnosentris golongan yang bisa menghantam kedaulatan negara. Beragam suku, bangsa, budaya dan agama adalah kekayaan negara dan menjadi sumber kekuatan menumbuhkan rasa patriotik dan nasionalis untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.

Pasca kemenangan komunis dalam Perang Dunia Kedua, Yugoslavia didirikan sebagai negara federal yang tergabung atas enam republik, kemudian diklasifikasikan berdasarkan latar belakang sejarah dan etnis, diantaranya Slovenia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Serbia, Montenegro dan Makedonia. Ada pula dua provinsi otonomi yang didirikan di Serbia, yaitu Vojvodina dan Kosovo.6

Bubarnya Yugoslavia karena runtutan gejolak serta konflik politik pada awal tahun 1990-an. Kemudian, krisis politik pada tahun 1980-an,

4Wikipedia, “Uni Soviet” https://id.wikipedia.org/wiki/Uni_Soviet 5Wikipedia, “Uni Soviet” https://id.wikipedia.org/wiki/Uni_Soviet 6Wikipedia, “Disintegrasi Yugoslavia” https://id.wikipedia.org/wiki/Disintegrasi_Yugoslavia

4

republik anggota dari Republik Federal Sosialis Yugoslavia terpecah belah dan berbagai masalah yang tak tertangani mengakibatkan perang antaretnis Yugoslavia yang sengit. Perang ini memberi dampak khususnya terhadap Bosnia dan Kroasia.7

Sekali lagi, menjadi penyebab runtuhnya Uni Soviet dan disintegrasi Yugoslavia adalah tragedi yang memakan korban yang tidak sedikit yang disebabkan oleh perang antaretnis dinegara yang sama. Fanatisme golongan dan rasa toleransi yang hilang menewaskan nilai kemanusiaan dengan lenggengnya radikalisme dan terorisme menjadi pemakluman dalam kehidupan sosial, hingga membawa pada malapetaka keruntuhan kedaulatan negara.

Sejarah bangsa sebagai contoh konkret dan sekaligus menjadi pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia yaitu terjadinya pembantaian terhadap para pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, tindakan diskriminasi terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998 serta perang agama antara Islam dan Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003. Serangkaian konflik itu telah merenggut korban jiwa yang tidak sedikit, menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1921 hingga tahun 2000 telah menewaskan kurang lebih 2000 nyawa manusia dengan sia-sia.8

Fakta sejarah yang menyebabkan disintegrasi bangsa baik di luar maupun dalam negeri perlu perhatian yang cukup serius. Kita perlu mengenal gejala disintegrasi dalam masyarakat untuk menemukan pencegahan dan solusi terbaik. Jika tidak menemukan yang terbaik, setidaknya mencegah untuk tidak terjadi kemungkinan terburuk.

Permasalahan yang ada perlu perhatian dari tokoh pendidikan dan stockholder terkait. Wawasan kebangsaan perlu digalakan dalam dunia pendidikan untuk meminimalisir arus paham fanatisme golongan, radikalisme agama dan etnosentris serta intoleransi yang membawa pada sejarah pahit yang berulang.

Peran pendidikan sebagai jalan yang harus ditempuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengembangkan kemampuan, membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat agar tercipta warga negara yang humanis, sosialis dan demokratis.

Insyaf dan sadar bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

7Wikipedia, “Disintegrasi Yugoslavia” https://id.wikipedia.org/wiki/Disintegrasi_Yugoslavia 8M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi

dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 4.

5

diPimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia merupakan ideologi negara dan falsafah bangsa. Sadar dan yakin, bahwa Islam merupakan panduan bagi umat manusia yang kehadirannya memberikan rahmat sekalian alam. Suatu keharusan bagi umatnya mengejawantahkan nilai islam dalam pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dalam kehidupan masyarakat dunia.9 Pancasila sebagai dasar negara yang ideal ditengah pergulatan

ideologi yang memuncak, tentu revitalisasi falsafah negara Indonesia harus terus digalakkan dengan upaya penyadaran dan pembobotan tentang identitas bangsa untuk menanamkan jiwa patriotik dan nasionalis demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kaum muslim sebagai bagian dan menjadi mayoritas di Indonesia harus mampu mengejawantahkan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin secara utuh dalam kehidupan. Misi besar Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam harus dipastikan dipahami penganut agama Islam dengan baik terlebih dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Sebab rahmat adalah sebuah anugerah yang harus disyukuri dengan cara memelihara pemberian Tuhan tersebut. Islam sebagai agama pembawa kedamaian bahkan dalam konteks Indonesia yang plural dan multikultural masih tetap eksis dengan rasa toleransi dan sejalan dengan falsafah bangsa Indonesia.

Wawasan kebangsaan seperti ini yang kurang diperhatikan dalam proses pendidikan sehingga peserta didik kurang pemahaman dan kesadaran dalam memaknai nilai keislaman dan nilai keindonesiaan yang saling berkaitan. Sehingga dengan gamblang pengaruh paham radikalisme dan fundamentalisme diterima dan membentuk pemahaman serta sikap yang tidak sesuai dengan ideologi negara Indonesia yakni Pancasila yang sudah secara final digagas oleh para foundingfather kita pada masalalu tanpa mendiskriminasi agama, suku, bangsa dan budaya manapun. Bahkan tanpa kita sadari bahwa konsumsi budaya asing yang terlalu berlebihan mengakibatkan hilangnya rasa nasionalis sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Konflik yang terjadi tanpa disadari merupakan hal yang dapat melemahkan keutuhan NKRI yang secara jelas berideologi Pancasila dan secara terpadu mengandung penguatan terhadap pemahaman keislaman dan keindonesiaan. Hal ini terjadi karena pemahaman Pendidikan Islam yang dmaknai hanya sampai pada tataran formalisme saja. Sikap transendental dalam memahami Islam ini tentunya membuat pendidikan

9Mukadimah PMII

6

Islam semakin terperosok dalam jurang kemunduran karena tidak memahami Islam secara komprehensif. Hal ini tentu dapat menyebabkan patologi sosial diantaranya:

Laporan The Wahid Institute pada tahun 2012 mengungkapkan10, terdapat 197 tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang ditemukan pada tahun itu. Pelanggaran yang dimaksud, diantaranya: intimidasi dan ancaman kekerasan 36 kasus, penyerangan 27 kasus serta diskriminasi agama 19 kasus.

Berdasarkan hasil survey dari Wahid Foundation pada 1 Agustus 201611 mendapatkan sejumlah data yang mengkhawatirkan. Dari total 1.520 responden ada sebanyak 59,9 % terdapat kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci, termasuk yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis dan lain sebagainya. Dari jumlah 59,9 %, ada sebanyak 92,2 % tidak sepakat jika anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di negara Indonesia. Sebanyak 82,4 % bahkan tak rela jika anggota kelompok yang dibenci tersebut menjadi tetangga mereka. Pada sisi radikalisme ada sebanyak 72 % umat Islam Indonesia menolak untuk bertindak radikal, contohnya melakukan penyerangan di tempat ibadah non-muslim atau melakukan sweeping tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Dan sebanyak 7,7 % yang bersedia melakukan tindakan radikal apabila memiliki kesempatan dan sebanyak 0,4% bahkan pernah melakukan tindakan radikal. Akan tetapi, Yenny mengingatkan meskipun hanya sebesar 7,7%, namun persentase itu cukup mengkhawatirkan. Karena persentase tersebut menjadi proyeksi dari 150 juta pemeluk Islam di Indonesia. Artinya bila diproyeksikan, sekitar 11 juta umat Islam Indonesia bersedia melakukan tindakan radikal. Yenny menuturkan, membayangkan sekitar 11 juta orang yang bersedia melakukan tindakan radikal. 11 juta orang itu seperti umat Islam yang ada di Jakarta dan Bali yang siap bertindak radikal dan itu mengkhawatirkan.

Dari laporan dan survei di atas kita bisa melihat bahwa kasus radikalisme dan intoleransi sudah mulai mengancam integritas bangsa Indonesia. Walaupun hanya sebanyak 7,7 % masyarakat Islam Indonesia yang bersedia melakukan tindakan radikalisme namun ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh semua kalangan, terlebih oleh pemerintah. Jumlah masyarakat Islam Indonesia yang bersedia melakukan tindakan

10The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi, Jakarta 2002, h. 32

11Rakhmat Nur Hakim, Kompas.com (http://nasional.kompas.com/read/2016/08/01/13363111/survei.wahid.foundation.indonesia.masih.rawan.intoleransi.dan.radikalisme?page=all diakses pada sabtu, 28 Oktober 2017. 14.32 WITA

7

radikalisme ini merupakan benih yang nantinya akan menghancurkan keberagaman dan kemajemukan bangsa kita yakni bangsa Indonesia. Namun perlu diapresiasi terhadap sebanyak 72 % masyarakat Islam Indonesia yang terbilang sebagian besar menolak perbuatan radikalisme dan intoleransi. Dari sini pula kita bisa melihat bahwa masih lebih banyak yang siap untuk mempertahankan dan menjaga keutuhan, keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.

Secara umum konsep pendidikan Islam yang dipahami selama ini hanyalah pengejawantahan ajaran Islam sebatas formalisme saja yang berbuntut pada kafir mengkafirkan, diskriminasi terhadap faham, aliran bahkan suku yang lain. Padahal tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan manusia seutuhnya. Maka realitas ini menjadi bertolak belakang dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

Untuk itu perlu suatu konsep yang tepat dalam meminimalisir masalah tersebut. Pendidikan Islam sebagai pengarusutamaan mencapai kecerdasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berlandaskan Pancasila dan cita ideal Islam rahmatan lil ‘alamin.

Isu tentang pendidikan Multikultural sudah tidak asing lagi kita dengar, karena dengan realita sosial yang ada dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menggambarkan nuansa keberagaman dan kemajemukan suku, adat istiadat, bahasa dan agama yang ada di Indonesia. Pendidikan multikultural merupakan konsep untuk memahami kemajemukan yang mengarah pada demokratisitas, humanisme dan pluralitas.

James Albert Banks sebagai seorang tokoh pendidik dan dikenal dengan bapak pendidikan multikultural telah mengemukakan konsep dimensi pendidikan multikultural yang perlu dikaji dalam nuansa keberagaman di Indonesia dengan mengintegrasikannya dengan pendidikan Islam. Sehingga dapat mengayuh dengan seimbang untuk menuju pada perdamaian.

Kegagalan penanaman nilai pendidikan multikultural dikarenakan penafsiran pendidikan Islam yang subjektif menjadi permasalahan yang menyebabkan fanatik beragama dan fanatik kesukuan sehingga ketika muncul sedikit getaran isu tentang masalah keagamaan dan suku maka terguncanglah masyarakat yang masih awam pemahamannya tentang relevansi pendidikan Islam dengan pendidikan multikultural.

Pendidikan Islam sebagai jalan untuk menciptakan manusia seutuhnya sesuai dengan ajaran Islam yakni agama damai dan ramah serta anti terhadap kekerasan dipandang perlu menjadi wawasan kebangsaan. Melihat bahwa integrasi pendidikan Islam dengan pendidikan multikultural memiliki substansi menjaga dan melindungi hak dan nilai

8

kemanusiaan yang sama-sama mengajarkan tentang rasa toleransi, humanisasi dan demokratisasi yang tentunya merupakan cita ideal agama dan negara.

Itulah gambaran umum tentang latar belakang masalah yang diangkat oleh penulis bahwa substansi pendidikan Islam tidak hanya terbatas membahas tentang bagaimana menjadi manusia yang religius, namun bagaimana pendidikan Islam relevan dengan pendidikan multikultural yang mencakup membangun kedasaran identitas bangsa pada jiwa masyarakat Indonesia serta menciptakan hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta, dengan sesama manusia untuk menjaga alam sekitar.

Maka dengan tulisan ini, penulis berharap mampu membangkitkan kesadaran bahwa cinta tanah air adalah kewajiban sebagai warga negara dengan pemahaman ajaran Islam yang utuh sebagai kaum muslim sehingga tidak menumbulkan pertentangan antara nilai religius, budaya dan negara. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Nasionalisme dan Islam Nusantara oleh Said Aqil Siraj. Ada 3 konsep tentang ukhuwah (persaudaraan), yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), serta ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Disini, beliau menekankan pada pentingnya ukhuwah wathaniyah. Ukhuwah wathaniyah harus didahulukan daripada ukhuwa Islamiyah. Karena tanpa negara, bagaimana umat Islam bisa melakukan aktivitas keagamaannya?12

Dalam menjalankan ajaran agama, tentu penting memiliki tempat yang menjamin keamanan bagi para penganutnya. Dimensi terpenting adalah negara merdeka sebagai rumah yang menjamin kebebasan rakyat dalam menjalani kehidupan. Indonesia sebagai negara merdeka dan multikultur, seharusnya menanamkan nilai toleransi, humanisasi dan demokratisasi dalam jiwa rakyatnya demi menjaga hubungan persaudaraan bangsa yang meski berbeda dalam agama, suku, gender, strata sosial untuk melanggengkan rasa merdeka dalam beragama maupun bernegara. Dengan naungan negara yang merdeka dan menjaga hubungan persaudaraan bangsa maka akan menciptakan kenyamanan dalam menjalankan ajaran agama itu sendiri.

Untuk itu, memerlukan suatu usaha sadar yang dapat meminimalisir terjadinya masalah tersebut. Dengan demikian, penulis mencoba melakukan penelitian tentang Integrasi Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran James A. Banks). Dimana pendidikan Islam tidak bertolak belakang dengan konsep pendidikan

12Nasionalisme dan Islam Nusantara. (Jakarta, Kompas Media Nusantara: 2015). H. 3.

9

multikultural. Justru Islam yang memiliki misi rahmatan lil ‘alamin mampu merangkul segala macam perbedaan yang ada dan menyebutnya sebagai Rahmat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana integration content dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia?

2. Bagaimana integrasi knowledge construction process dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia?

3. Bagaimana integrasi prejudice reduction dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia?

4. Bagaimana integrasi equity pedagogy dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia?

5. Bagaimana integrasi empowering school culture and social structure dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia?

C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan para akademisi pendidikan dan khususnya pendidikan multikultural dan pendidikan Islam.

2. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai wawasan atau masukan pembelajaran pendidikan Islam yang membawa pada misi Islam sesungguhnya, yakni agama Rahmatan lil ‘alamin.

3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah pengetahuan tentang konsep pemikiran James A. Banks sebagai bapak pendidikan multikultural untuk para praktisi pendidikan, aktivis gerakan sosial, lembaga pendidikan, akademisi, mahasiswa dan pelajar.

4. Sebagai harapan, mampu bermanfaat bagi guru dalam menanamkan nilai Islam yang tentunya berpengaruh besar pada peserta didik dalam lingkungan keseharian yang tentunya berada di negara Indonsesia yang majemuk atau dapat dikatakan multikultural. Sehingga bisa tertanam karakter Islami sesungguhnya yakni yang menghargai sesama umat manusia atau yang sering disebut dengan toleransi baik dalam beragama, gender, suku, bangsa dan bahasa serta warna kulit.

10

5. Tentunya hasil penelitian ini menjadi motivasi bagi penulis sendiri dalam perilaku sehari-hari yang hidup ditengah masyarakat Indonesia yang multikultural.

D. Tujuan Penelitian

Dengan adanya latar belakang dan rumusan masalah serta pembahasan yang telah dituliskan, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengintegrasikan konsep integration content dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia

2. Untuk mengintegrasikan konsep knowledge construction process dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia

3. Untuk mengintegrasikan konsep prejudice reduction dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia

4. Untuk mengintegrasikan konsep equity pedagogy dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia

5. Untuk mengintegrasikan konsep empowering school culture and social structure dalam pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia.

E. Telaah Pustaka

Judul penelitian yang penulis angkat pembahasannya mengarah pada “Integrasi Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Islam di Indonesia (Analisis Pemikiran James A. Banks)” untuk membedakan lokus dan fokus penelitian perlu ada perbandingan. Penulis telah menelusuri beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam yang selanjutnya dikaji persamaan dan perbedaan dengan judul penelitian ini, di antaranya: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ismail Fuad yang berjudul “Konsep

Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam.” Hasil penelitian skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat relevansi pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam sebagai kerangka penyamaan pandangan, persepsi, visi dan misi masing-masing.13

2. Penelitian yang dilakukan oleh Dyah Herlinawati yang berjudul “Konsep Pendidikan Multikultural H.A.R. Tilaar dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam.” Hasil penelitian ini bahwa pemikiran H.A.R. Tilaar

13Ismail Fuad, “Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”, Skripsi,

(.........................: FITK, 2011), h.

11

tentang Pendidikan Multikultural.........................dan relevansinya dengan Pendidikan Islam adalah pada aspek........14

Dari beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas dan judul yang penulis angkat memiliki persamaan yakni membahas tentang Pendidikan Multikultural dan pendidikan Islam, yang didalamnya juga terdapat nuansa keberagaman dan kemajemukan yang perlu dijaga untuk kedamaian bangsa Indonesia. Perbedaan penelitian Ismail Fuad dengan penelitian yang penulis angkat yakni terletak pada fokus penelitiannya. Dimana penelitiannya mengkaji relevansi pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam secara umum. Sedangkan penulis melihat dari sudut pandang integrasi pendidikan multikultural dan pendidikan Islam di Indonesia dengan fokus analisis pemikiran James A. Banks tentang pendidikan multikultural. Pada penelitian Dyah Herlinawati dengan persamaan yaitu membahas konsep pendidikan multikultural dan pendidikan Islam, namun perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya mengarah pada analisis pemikiran H.A.R. Tilaar.

F. Kerangka Teori

Kehidupan masyarakat Muslim Indonesia yang plural, multikultural dan toleran mampu menjadi cermin bagi seluruh masyarakat dunia, dengan menjunjung nilai religius dan nilai kemanusiaan untuk menguatkan seluruh pihak yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai perwujudan Islam rahmatan lil ‘alamin. Namun perbedaan menjadi pintu masuk potensi pertentangan antar masyarakat Indonesia. Pudarnya jiwa patriotik dan nasionalis serta minimnya rasa toleransi akibat kurangnya pemahaman yang utuh tentang Pancasila dan ajaran Islam membawa masyarakat Indonesia pada konflik yang secara sadar atau tidak, sudah merajalela di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini.

Untuk memahami konsep yang akan dibahas pada bab selanjutnya, maka berikut penulis menghadirkan instrumen untuk menganalisis maksud dari penelitian yaitu:

Teori “Dimensi pendidikan multikultural” (The dimensions of Multicultural Education) James A. Banks untuk menjelaskan konsep pendidikan multikultural, yang terdiri dari: dimensi content integration, dimensi the knowledge construction process, dimensi prejudice reduction, dimensi an equity pedagogy, dan dimensi an empowring school culture and social structure.

14

12

Konsep Pendidikan Multikultural Pendidikan multukultur merupakan jalan yang tepat menuju

persatuan dan keutuhan bangsa. Keanekaragamaan yang ada dibangsa Indonesia sebagai harta berharga yang perlu dijaga untuk kepentingan bersama dan menimbun sifat fanatik suku, agama bahkan klaim kebenaran yang bisa berakhir pada tragedi disintegrasi bangsa. Dimensi Pendidikan Multikultural (James A. Banks)

Teori “Dimensi pendidikan multikultural”(The dimensions of Multicultural Education) James A. Banks untuk menjelaskan konsep pendidikan multikultural, yang terdiri dari: dimensi content integration, dimensi the knowledge construction process, dimensi prejudice reduction, dimensi an equity pedagogy, dan dimensi an empowring school culture and social structure.

Content integration described the ways in which teachers use examples and content from a variety of cultures and groups to illustrate key concepts, prinsciples, generalizations, and theories in their subject area or discipline. The knowledge construction process consists of methods, activities, and questions used by teachers to help students to understand, investigate, and determine how implicit cultural assumptions, frames of reference, perspectives, and biases within a discipline influence the ways in which knowledge is constructed. The prejudice reduction dimesions describes the character of students racial attitudes and strategies that teachers can use to help them to develop more democratic values and attitudes. An equity pedagogy exist when teacher modify their teaching in ways that will facilitate the academic achievement of students from diverse racial, cultural, ethnic, and gender groups. An empowering school culture and social structure conceptualizes the school as a complex social system, whereas the other dimensions deal with particular dimensions of a school or educational setting.15 Rumusan pendidikan multikultural menurut James Banks

mempunyai berbagai dimensi penting. Pertama, content integration, adalah usaha mengintegrasikan berbagai budaya serta kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar generalisasi dan teori dalam mata

15James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h. 83.

13

pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, knowledge constuction process, adalah sebuah metode atau cara bagaimana membawa peserta didik memahami implikasi budaya ke dalam suatu mata pelajaran (disiplin). Ketiga, equity paedagogy, adalah usaha untuk menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik peserta didik yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, adalah mengidentifikasi karakteristik ras peserta didik serta menentukan metode pengajaran mereka, melatih kelompok agar berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf serta peserta didik yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.16 Kelima, empowering school culture and social structure, adalah membangun budaya komunitas yang toleran serta inklusif yang memungkinkan peserta didik berasal dari kelompok ras, suku, gender, serta budaya yang berbeda, mengalami kesederajatan pendidikan dan memiliki status yang sama. Tradisi, budaya, kurikulum, materi pengajaran serta lingkungan pendidikan perlu direkonstruksi dan ditransformasi termasuk sikap, keyakinan, tindakan, penilaian, serta gaya dan strategi mengajar pendidik.17

Keanekaragaman bukanlah hal yang tabu dimasyarakat Indonesia. Perbedaan yang tercipta adalah rahmat Tuhan. Meski begitu, perbedaan kerapkali menjadi pemicu pertentangan antar kelompok. Tidak hanya mengesampingkan nilai toleransi, bahkan nilai kemanusiaan terkadang tak lagi dipandang diakibatkan oleh fanatik suku, agama, budaya atau strata sosial.

Dari konsep James A. Banks dapat kita ketahui bahwa perlunya dimensi pendidikan multikultural dalam proses pelaksanaannya. Peserta didik tentu memiliki kecenderungan yang berbeda sesuai dengan latar belakang suku, ras, etnik, budaya, gender dan strata sosial sehingga seorang pendidik harus mampu memahami perbedaan itu dan mampu memberikan stimulasi sesuai dengan kecenderungan masing-masing peserta didik.

16Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,

hingga Posmodern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), h.102. 17Dafid Leda Lede, Teori Pendidikan Multikultural Menurut James A. Banks

http://dafid08.blogspot.com/2017/07/teori-pendidikan-multikultural-menurut.html?m=1

14

G. Metode Penelitian 1. Setting Penelitian

Penelitian ini berhadapan langsung dengan teks atau data, bukan berdasarkan lapangan atau saksi mata (eyewitness), berupa kejadian, orang atau berbagai benda. Data bersifat siap pakai (readymade), artinya peneliti tidak pergi kemana-mana, hanya beradapan langsung dengan sumber yang sudah ada di perpustakaan. Data perpustakaan umumnya adalah sumber data sekunder, dalam a rti bahwa peneliti memperoleh data dari tangan kedua bukan asli dari tangan pertama dilapangan. Kondisi perpustakaan tidak tentukan oleh ruang dan waktu.18

Penulis menggunakan metode content analysis. Pertama, mengumpulkan data secara sistematis dan konsisten. Kedua, penulis menganalisis data yang telah dikumpulkan. Ketiga, diseleksi dan mengintegrasikan data yang diperoleh. Tahap akhir yaitu mengambil kesimpulan secara umum dan khusus.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini dilakukan di perpustakaan yang mengoleksi berbagai data mengenai pemikiran pendidikan Islam utamanya James A. Banks, lebih khususnya perpustakaan IAIN Sultan Amai Gorontalo sebagai sarana untuk melakukan penelitian kepustakaan. Selain itu, data ditemukan diberbagai toko buku dan Internet. Dari berbagai tempat yang disebutkan, perpustakaan yang merupakan yang paling kaya dan mudah ditemukan datanya.

2. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif.19 Sesuai dengan

objek kajian skripsi ini, maka jenis penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), yaitu: pertama, mencatat semua temuan mengenai motivasi konsumsi secara umum pada setiap pembahasan penelitian yang didapatkan dalam berbagai literatur dan sumber, dan atau penemuan baru mengenai pendidikan multikultural pemikiran James yang dapat diintegrasikan dengan pendidikan Islam di Indonesia. Kedua, memadukan segala temuan, baik teori maupun temuan baru tentang pendidikan multikultural James A. Banks dan Pendidikan Islam di Indonesia. Ketiga, menganalisis berbagai temuan dari bacaan, berkaitan dengan kekurangan tiap sumber, kelebihan atau hubungan masing-masing tentang wacana yang dibahas. Keempat, mengkritisi, memberikan gagasan kritis dalam hasil penelitian terhadap berbagai temuan sebelumnya dengan

18Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004).

15

menghadirkan temuan baru dalam mengolaborasikan berbagai pemikiran yang berbeda, utamanya dalam penelitian ini adalah pemikiran James A. Banks tentang Pendidikan Multikultural.

Dengan menggunakan data dari berbagai referensi terkait, baik primer maupun sekunder. Semuanya dikumpulkan dengan teknik dekomuentasi, yaitu dengan jalan membeca (text reading), mengkaji, mempelajari dan mencatat literatur yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

3. Sumber Data a. Data Primer a) Educating Citizens In a Multicultural Society (Second

Edition), karya James A. Banks, berisi tentang berbagai macam pembahasan tentang pendidikan multikultural. Berbagai pembahasan tersebut adalah Pendidikan Kewarganegaraan dan Keanekaragaman, Epistimologi dan Penelitian tentang Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan dan Dimensi Pokok Pendidikan Multikultural, serta Mendidik Maasyarakat untuk Mengambil Keputusan dan tindakan.

b) Pendidikan Islam dari Masa ke Masa (Tinjauan Kebijakan Publik Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia), karya Marwan Saridjo, berisi tentang Pendidikan Islam pada Masa Permulaan Islam hingga Periode Walisongo, Pendidikan Islam di Masa Penjajahan Belanda hingga Era reformasi, Pendidikan Islam, Pesantren dan Pendidikan Nasional.

b. Data Sekunder a) Pendidikan Multikultural karya Yaya Suryana dan A

Rusdiana. b) Pendidikan Multikultural karya Ainul Yaqin c) Pendidikan Multikultural karya Samsi Pomalingo d) Teori-teori Pendidikan dari Trandisional, (Neo) Liberal,

Marxis-Sosialis, hingga Posmodern karya Nurani Soyomukti

e) Pendidikan Multikultural (Konsep dan Aplikasi) karya Ngainum Naim dan Achmad Sauqi

f) dan lain sebagainya

16

4. Teknik Pengumpulan Data Dalam hal ini, penulis akan melakukan identifikasi wacana dari berbagai buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web (internet), ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan judul penelitian untuk mencari hal berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kajian tentang pendidikan multikultural, pemikiran James Banks dan pendidikan Islam di Indonesia. Maka berikut langkah yang akan dilakukan:

a) Mengumpulkan data terkait melalui berbagai buku, dokumen, majalah dan web (internet).

b) Menganalisa data tersebut sehingga penulis bida menyimpulkan terkait masalah yang dikaji. Pada hakikatnya tidak ada acuan khusus dalam mengumpulkan

data pada metode ini, namun tidak begitu saja data yang dikumpulkan dijadikan hasil peneltian. Karena akal manusia memberikan bimbingan pekerjaan secara sistematis dan sesuai dengan objek kajiannya. Maka perlu teknik tertentu agar hasil penelitian sifatnya sistematis dan objektif.

Ada dua merupakan instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, pertama, pengumpulan data dalam bentuk verbal simbolik, yaitu mengumpulkan berbagai naskah yang belum dianalisis. Kedua, kartu data berfungsi untuk mencatat hasil data yang telah didapatkan untuk lebihi memudahkan penulis dalam mengklarifikasi data yang telah ditemukan, selain itu kartu data bisa digunakan sebagai pengganti instrumen pertama, tapi konsekuensinya waktunya cukup lama berada dilokasi sumber data.

Pertama yang harus dilakukan untuk mengumpulkan data adalah menentukan lokasi sumber data seperti perpustakaan dan berbagai pusat penelitian. Selanjutnya, yaitu mulai mencari data yang diperlukan. Data yang ditemukan, dibaca kemudian menangkap makna yang terkandung dalam sumber kepustakaan. Sehingga ada dua tahap dalam membaca data yang di peroleh. Pertama, membaca secara simbolik. Yiatu tidak membaca seluruh sumber yang didapatkan hingga akhir karena akan menyita waktu. Tahap ini penulis menangkap sinopsis dari buku, bab, subbab sampai pada bagian terkecil dari buku, ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui pola penelitian, hasilnya akan dicatat dalam kartu data dan diberikan kode sesuai dengan pola dan identifikasi penelitian yang dilakukan. Kedua,membaca tingkat semantik yaitu membaca data yang telah dikumpulkan secara terperinci, terurai dan menangkap esensi dari data tersebut. Tahap ini membutuhkan ketekunan dan waktu yang cukup lama. Tiap poin yang dibaca dilakukan analisis dalam data tersebut.

17

Penulis perlu mendahulukan data primer, jika dianggap cukup maka selanjutnya mengumpulkan data sekunder.

Selanjutnya mencatat kutipan langsung tanpa merubah sedikitpun redaksi sumber data atau dari penulis asli, biasanya untuk mencatat berbagai istilah kunci untuk mengembangkan interpretasi yang lebih luas. Selanjutnya, mencatat intisari dari data dengan penjelasan yang panjang kemudian ditulis redaksi kata yang disusun oleh penulis. Adapun mancatat seperti meringkas atau sinopsis yang sama secara logis dari data yang dibaca. Setelah itu, penulis perlu mengategorikan catatan seperti nilai agama, nilai budaya, epsitimologi, aksiologi dan etikan serta berbagai unsur lainnya. Terakhir adalah pengodean yaitu secara teknis bertujuan untuk mensistematiskan agar data yang tidak teratur atau yang tertumpuk.

5. Analisis Data

Aktivitas analisis data model ini yaitu, pertama reduksi data (data reduction) merupakan tahap awal yaitu pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi serta pentransformasian data mentah dalam catatan tertulis. display data yaitu dari data yang telah direduksi kemudian didisplay hingga memberikan pemahaman terhadap data tersebut agar bisa menentukan langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh seorang penulis. Dan gambaran konklusi atau verifikasi (conclution drawing/verification) yakni gambaran kesimpulan, setelah melewati dua tahap tersebut maka dilakukan konklusi atau penarikan kesimpulan dan dipaparkan penemuan dari penelitian.

Adapun langkah setelah itu adalah menganaisa data yakni data yang telah diperoleh analisa isinya yaitu data dideskripsikan apa adanya tentang konsep Pendidikan Multikultural James A. Banks dan Konsep pendidikan Islam di Indonesia. Maka dengan deskriptif analisis, penulis menguraikan isi serta membandingkan objek penelitian dari konsep satu dengan konsep yang lainnya.

6. Validasi Data Validasi data setidaknya ditentukan menggunakan empat kategori. (1)Kepercayaan, kredibilitas seorang penulis perlu dipertanyakan tentang data tepat dalam fokusnya, ketepatan memilih informan dan pelaksanaan metode pengumpulan datanya. Analisis data dan interpretasi data, seluruhnya membutuhkan konsistensi satu sama lain. (2) keteralihan hasil penelitian yang dikemudian hari dijadikan rujukan kembali pada penelitian yang setema dan dipelajari lebih lanjut oleh penulis yang lain. apabila

18

seorang penulis memahami dan mendapat gambaran yang jelas terhadap hasil penelitian sebelumnya, maka hasil penelitian telah memenuhi standar transferbilitas. (3) kebergantungan penelitian terhadap data yang diperoleh. (4) kepastian yaitu menguji keabsahan hasil penelitian terhadap kasus atau fenomena yang sudah terjadi dilapangan baik secara teoritis maupun aplikatif, jika hal tersbut terbukti, maka hasil penelitian bisa dikatakan absah.

19

BAB II KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL JAMES A. BANKS

A. Biografi James A. Banks James Albert Banks adalah bapak pendidikan multikultural. Sebuah

disiplin yang berupaya mengembangkan kesadaran dan keterampilan para pendidik dan peserta didik untuk hidup di Amerika Serikat dan dunia yang beragam budaya. Sebagai profesor kulit hitam pertama di College Of Education di University Of Washington (UW) di Seatlle juga sebagai direktur pendiri Pusat Pendidikan Multikultural Universitas Washington, Banks mengembangkan komitmen terhadap keadilan sosial. Lahir pada 24 September tahun 1941, dekat Marianna (Lee Coountry) dari pasangan Matthew Banks dan Lula Holt Banks yang bekerja sebagai petani.1

Banks bersekolah di sekolah dasar dan menengah di Arkansas. Mendapat penghargaan skolastik tinggi dari Chicago City Junior College dengan gelar associate tahun 1963. Kemudian mendapat gelar sarjana pada pendidikan dasar dan ilmu sosial dari Chicago Teachers College. Selanjutnya mendapat gelar master dan PhD di Universitas Negeri Michigan tahun 1966 dan 1969. Banks juga adalah profesor Universitas Russel F. Stark di Universitas Washington tahun 2001 sampai 2006.2

James A. Banks dikenal dengan karyanya yang inovatif dalam pendidikan ilmu sosial khususnya pada bidang pendiidikan multikultural. Banyak penghargaan ilmiah yang telah didapatkan atas karyanya termasuk Spencer Fellowship dari National Academy of Education, Pengajaran Bahasa Inggris pada Penutur Bahasa Lain, penghargaan Presidensial 1998, Dewan Nasional untuk Studi Sosial 2001, Karya terkenal dalam penelitian Asosiasi Pendidikan Keadilan Sosial Amerika dalam karir penelitian untuk memajukan keadilan sosial melalui penelitian pendidikan tahun 2004. Tahun 1986, dinobatkan sebagai peneliti terpandang atas pendidikan minoritas oleh Komite Asosiasi Penelitian Pendidikan Amerika

1Banks, James Albert- Ensiklopedia Arkansas

https://trnslate.googleusercontent.com/translate_c?depth=id&nv=1&prev=search&rurl=trnslate.google.com&sl=en&sp=nmt4&u=https://encyclopediaforkansas.net/entries/james-albert-banks-4682/&xid=17259,15700002,15700023,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265&usg=ALkJrhhsq4bsXzd9cKUc9S_4xcf-0w1rYw diakses pada 30 Juli 2019, 23:43 WITA

2James A. Banks https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=2&hl=id&nv=1&prev=search&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/James_A._Banks&xid=17259,15700002,15700023,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265&usg=ALkJrhiU4sqIBwhBUuTH8Fhop2jcxp0AZw diakses pada 31 Juli 2019, 00:12 WITA

20

tentang peran dan status Minoritas dalam litbang Pendidikan. Tahun 1994 ia menerima penghargaan Tinjauan Penelitian Asosiasi Riset Pendidikan Amerika.3

Bapak pendidikan multikultural ini telah menulis banyak tentang ilmu sosial dan pendidikan multikultural. Bukunya telah diterjemahkan kebeberapa bahasa diantaranya yaitu bahasa Yunani, Cina, Jepang, Korea, Turki dan Arab. Sebagai tokoh yang sangat penting dalam dunia multikultural, maka penulis mencoba menganalisis integrasi dimensi pendidikan multikultural James A. Banks dan pendidikan Islam di Indonesia.

B. Pemikiran James A. Banks tentang Pendidikan Multikultural Definisi pendidikan multikultural menurut James A. Banks adalah pendidikan people of color. Menandakan bahwa pendidikan multikultural adalah upaya untuk menjelajahi keanekaragaman keindahan yang dianugerahkan Tuhan agar manusia bersyukur dengan cara memelihara dan menjaga perbedaan dalam kehidupan yang ada dengan sikap toleran dan semangat persatuan demi mencapai perdamaian.4 Pendidikan multikultural oleh James A. Banks dari banyak pengertian yang dikemukakan tentang pengertian ini, namun lebih didominasi pada pendidikan multikultur untuk people of color. Yang menurut Choirul Mahfud bahwa jelas tidak sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia karena Indonesia memiliki konteks budaya yang berbeda dari Amerika Serikat, meski keduanya sama-sama memiliki bangsa yang multikultur.5

I have conceptualized multicultural education in a way that consist of three major component: (1) an idea or concept, (2) an educational reform movement, and (3) a process. As an idea or concept, multicultural education maintains that all student should have equal opportunities because to learn regardless of the racial, ethnic, social-class, or gender group to which they belong. Multicultural education is also an educational reform movement that tries to reform school in ways that will give all students an equal opportunity to learn. It describes teaching strategies that empower all students and give them voice. Multicultural education is a continuing process. One of its major goals is to create within schools and society the democratic ideals

3James A. Banks. Diakses pada 31 Juli 2019, 00.30 WITA 4Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)., h. 167. 5Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 224-225.

21

thet Mydral (1944) called American creed values, such as justice, equality, and freedom. These ideals are stated in the nation’s faounding documents, such as the Declaration of Independence, the Constitutional, and the Bill of Rights. They can never be totally achieved, but citizens in a democratic society must constantly work toward attaining them. When we approach the realization of these ideals for particular groups, other groups become victimized by racism, sexism, and discrimination. Censequently, within a democratic, pluralistic society, multicultural education is a continuing process that never ends.6

Konsep pendidikan multikultural Banks terdiri dari tiga komponen,

yaitu an idea or concept, an educational reform movement, dan a process. a. Sebagai ide atau konsep, pendidikan multikultural harus

mempertahankan bahwa setiap peserta didik memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan tanpa memandang ras, etnis, kelas sosial atau gender.

b. Sebagai gerakan reformasi pendidikan yang berupaya mereformasi lembaga pendidikan dengan memberikan hak yang sama untuk belajar dengan cara mengajar yang memberdayakan dan memberi kesempatan yang sama kepada seluruh peserta didik.

c. Pendidikan multikultural sebagai proses yang berkelanjutan dan tidak pernah berakhir. Tujuan utamanya adalah menciptakan sekolah dan masyarakat yang demokratis yang disebutkan Mydral dengan nilai kepercayaan Amerika yaitu keadilan, kesetaraan dan kebebasan. Namun tidak pernah bisa benar-benar dicapai, maka sebagai masyarakat demokratis harus terus menerus berusaha untuk mencapainya.

1. Tujuan Pendidikan Multikultural

Konsep terakhir telah sekaligus menjelaskan tentang tujuan pendidikan multikulutral, yakni menciptakan sekolah dan masyarakat yang demokratis yaitu mengandung nilai keadilan, kesetaraan dan kebebasan seperti yang telah dideklasrasikan pada kemerdekaan Amerika dan dinyatakan dalam konstitusi serta undang-undang hak asasi yang berlaku negara tersebut.

6James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h.82

22

Menciptakan sekolah dan masyarakat yang demokratis sebagai tujuan pendidikan multikultural James Banks juga tersurat dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 3 menyatakan:

“....pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”7 Pada dasarnya, landasan yuridis tersebut sesuai dengan tujuan

pendidikan multikultural James Banks, yakni mengarah pada masyarakat yang demokratis. Dalam mencapai sebuah tujuan, konsep saja tidak cukup. Sehingga bapak pendidikan multikultural ini telah mengembangkan dimensi pendidikan multikultural untuk memfasilitasinya.

Teori “Dimensi pendidikan multikultural” (The dimensions of Multicultural Education) James A. Banks untuk menjelaskan konsep pendidikan multikultural, yang terdiri dari: dimensi content integration, dimensi the knowledge construction process, dimensi prejudice reduction, dimensi an equity pedagogy, dan dimensi an empowring school culture and social structure.

Pendidikan multukultur merupakan jalan yang tepat menuju persatuan dan keutuhan bangsa. Keanekaragamaan yang ada dibangsa Indonesia sebagai harta berharga yang perlu dijaga untuk kepentingan bersama dan menimbun sifat fanatik suku, agama bahkan klaim kebenaran yang bisa berakhir pada tragedi disintegrasi bangsa.

2. Dimensi Pendidikan Multikultural (James A. Banks)

Teori “Dimensi pendidikan multikultural”(The dimensions of Multicultural Education) James A. Banks untuk menjelaskan konsep pendidikan multikultural, yang terdiri dari:

a. Dimensi Integrasi Konten/Materi (Content Integration)

Menurut KBBI integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Sedangkan konten berarti informasi yang

7Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural¸(Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.

221.

23

tersedia melalui media atau produk elektronik.8 Integrasi konten/materi (content integration) adalah penyatuan materi atau informasi dari berbagai media pembelajaran hingga menjadi kesatuan yang utuh.

Content integration described the ways in which teachers use examples and content from a variety of cultures and groups to illustrate key concepts, principles, generalizations, and theories in their subject area or discipline.9 Dimensi integrasi konten/materi (content integration)

mendeskripsikan upaya pendidik dalam mengintegrasikan wawasan budaya dan kelompok sebagai contoh untuk mengilustrasikan konsep, prinsip atau teori dalam bidang disiplinnya. Nurani Soyomukti mangartikan content integration yaitu upaya mengintegrasikan berbagai kelompok baik agama maupun budaya untuk mengilustrasikan konsep atau materi pembelajaran.10

Pendekatan kontribusi James Banks bisa digunakan untuk mengintegrasikan berbagai kebudayaan dan kelompok dengan konsep atau materi pembelajaran pada suatu disiplin atau bidang peserta didik. Menurut Farida Hanum dalam Suryana, dalam pengimplementasiannya pendekatan tersebut perlu disesuaikan dengan ruang lingkup atau jenjang dan umur peserta didik. Pada peserta didik TK dan SD (I, II, dan III) dapat dilakukan:

a) memperkenalkan beragam bentuk rumah dan baju adat dari etnis berbeda;

b) mengajak peserta didik untuk mngenal makanan yang berbeda dari berbagai daerah;

c) mendengarkan lagu daerah lain; d) menunjukan cara berpakaian yang berbeda dari suku bangsa

maupun negara lain; e) memperkenalkan tokoh pahlawan dari berbagai daerah dalam

maupun luar negeri; f) menunjukkan tempat dan ritual ibadah yang berbeda; g) memperkenalkan beberapa kosa kata penting yang berasal dari

suku bangsa atau negara lain.

8Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), h. 9James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h. 83. 10Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,

hingga Posmodern, h.102.

24

h) memperkenalkan panggilan untuk laki-laki dan perempuan menurut berbagai suku dan daerah yang berbeda.11

Dalam tahap ini pada hakikatnya merupakan upaya penanaman

konsep pendidikan multikultural dari berbagai tempat. Baik yang ada disekitar peserta didik, ditempat lain maupun di dunia. Semua keberagaman yang ada memiliki nilai yang sama. Sehingga, peserta didik mampu memahami adanya cara berbeda namun maksud dan nilainya sama. Inilah yang dinamakan upaya memahamkan dengan belajar untuk menerima perbedaan bersama proses dan rasa yang menyenangkan. Akhirnya, dipahamilah bahwa perbedaan bukanlah masalah, melainkan sebuah anugerah.12

Selaras dengan Allison Cumming, McCann, menyebutkan beberapa metode dalam pendidikan multikultural. Salah satunya adalah metode kontribusi yang menerapkan dengan mengajak peserta didik berpartisipasi memahami dan mengapresiasi budaya lain yang berbeda. Implementasinya begitu sederhana, misalnya peserta didik diikut sertakan untuk memilih buku bacaan dan melakukan aktivitas bersama. Selain itu, peserta didik juga mengapresiasi event-event keagamaan maupun kebudayaan yang ada dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Pendidik bisa melibatkan peserta didik dalam pelajaran dan pengalaman terkait event tersebut.13

b. Dimensi Proses Konstruksi Pengetahuan (The Knowledge Construction Process)

Dimensi ini terdiri dari tiga kata. Proses artinya runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu. Konstruksi berarti susunan (model, tata letak), suatu bangunan. Pengetahuan artinya segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).14 Dari pengertian tersebut, maka proses konstruksi pengetahuan merupakan tahapan untuk mengembangkan susunan bangunan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelajaran.

The knowledge construction process consists of methods, activities, and questions used by teachers to help students to understand, investigate, and determine how implicit cultural assumptions, frames

11Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 213-214. 12Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 214. 13Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebhinekaan, (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2017), h.98-99. 14Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).

25

of reference, perspectives, and biases within a discipline influence the ways in which knowledge is constructed.15 James Banks menyebutkan bahwa dimensi proses konstruksi

pengetahuan terdiri dari metode, kegiatan dan pertanyaan yang digunakan oleh pendidik untuk membantu peserta didik untuk memahami, menyelidiki dan menentukan implikasi budaya yang tersirat, referensi, perspektif dan prasangka dalam suatu disiplin pengetahuan yang mempengaruhi proses pembangunannya.

Hal senada menurut Nurani Soyomukti, the knowledge construction process, adalah sebuah metode atau cara bagaimana seorang pendidik berupaya membantu membawa peserta didik agar memahami implikasi budaya yang tersirat dalam suatu mata pelajaran (disiplin).16

Ainul Yaqin menjelaskan peran pendidik dan sekolah dalam membangun paradigma keberagaman inklusif, sejalan dengan dimensi pendidikan multikultural yaitu proses konstruksi pengetahuan. Dimensi ini menekankan pada peran pendidik yang dalam penjelasan Ainul Yaqin merupakan salah satu target dari strategi pendidikan yang dimaksud. Menurutnya, jika seorang pendidik memiliki paradigma pemahaman keberagaman inklusif dan moderat, maka akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilai multikultural pada peserta didik di sekolah. Peran guru yang dimaksud diantaranya:17

Pertama, seorang pendidik harus mampu bersikap demokratis dalam segala tingkah lakunya, baik perilaku maupun perkataan. Tidak diskriminatif terhadap para peserta didik yang menganut agama berbeda dengannya. Misalnya dalam menjelaskan sejara Perang Salib “Crusade” tahun 1099-1291 Masehi yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen, maka seorang pendidik harus mampu bersikap moderat atau tidak memihak terhadap salah satu kelompok meskipun dirinya menganut agama yang sama dengan kelompok lainnya. Jika pendidik tidak mampu bersikap moderat maka analisa penjelasannya akan subjektif. Sehingga peserta didik tidak hanya merasa terdiskriminasi, namun juga bisa menimbulkan pertentangan antara dua kelompok berbeda ini.

Kedua, pendidik harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap peristiwa yang berhubungan dengan keanekaragaman budaya maupun agama. Misalnya, apabila terjadi pemboman pada sebuah kafe di Bali

15James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h. 83-84. 16Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,

hingga Posmodern, h.102. 17Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 61-62.

26

(2003), maka seorang pendidik yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinan atas peristiwa tersebut. Sebaiknya seorang pendidik memahamkan peserta didik bahwa kejadian tersebut jangan sampai terjadi. Pada dasarnya semua agama, baik Islam, Katolik, Budha, Yahudi, Konghucu serta kepercayaan yang lain jelas dikatakan bahwa dalam upaya memecahkan masalah dilarang penggunaan segala bentuk kekerasan karena hal tersebut hanya akan menambah masalah yang baru. Perlu juga dijelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Dari sini dapat dilihat bahwa dimensi proses konstruksi pendidikan harus menekankan pada metode pendidik dalam melibatkan budaya atau agama yang berbeda dalam suatu lingkungan masyarakat atau pembelajaran sebagai bahan membangun kesadaran pengetahuan tentang pendidikan multikultural yang mengarah pada perdamaian.

c. Dimensi Pengurangan Prasangka (Prejudice Reduction)

Dalam tatanan kehidupan masyarakat yang beranekaragam, perbedaan hadir dengan dua sisi berbeda. Disatu sisi sebagai anugerah dan sisi lainnya sebagai pemicu konflik dan perpecahan.

Definisi klasik pertama kali dikemukakan oleh Gordon Allport, seorang psikolog dari Harvard University, yaitu berasal dari praedajudicium yang berarti pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap kelompok tertentu maupun orang sebagai anggota kelompok tertentu. Manurut Allport, prasangka merupakan antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes, dapat dirasakan dan dinyatakan. Antipati bisa langsung ditujukan pada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. Sejalan dengan pandangan John, menurutnya prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.18

Menurut Worchel, pengertian prasangka dibatasi pada sifat negatif terhadap suatu kelompok atau individu dari kelompok lain adalah tidak dibenarkan. Ini merupakan perilaku negatif terhadap kelompok atau individualis yang berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang suatu kelompok. Sikap ini juga didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional dan mudah sekali menjadi faktor pemicu ledakan sosial.19

18Samsi Pomalingo, Pendidikan Multikultrural, (Gorontalo: Manarul Ilmi, 2013), h.71. 19Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2015), h.55.

27

Prasangka berakibat pada perpecahan. Oleh karena itu, dalam dimensi pendidikan multikultural perlu adanya pengurangan terhadap sikap negatif dan bersifat emosional.

Dalam bukunya Educating Citizens in a Multicultural Society, James Banks mengemukakan:

The prejudice reduction dimensions describes the character of students racial attitudes and strategies that teachers can use to help them to develop more democratic values and attitudes.20 Dimensi pengurangan prasangka menggambarkan karakter dari

pernyataan dan strategi rasial yang digunakan para pendidik untuk membantu peserta didik mengembangkan nilai dan sikap yang demokratis.

Choirul Mahfud mendefinisikan pengurangan prasangka (prejudice reduction) yakni mengidentifikasi karateristik ras peserta didik kemudian pendidik menentukan metode pengajaran dan melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan peserta didik dari ras dan etnis yang berbeda dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.21

Hal yang sama juga ditulis dalam buku Teori-teori Pendidikan, Nurani, bahwa prejudice reduction adalah mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran, melatih kelompok untuk ikutserta dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan peserta didik yang berbeda etnis dan ras untuk menciptakan budaya akademik.22

Terkait dengan dimensi pengurangan prasangka, James Banks mendefinisikan pendidikan multikultural merupakan serangkaian kepercayaan (self of beliefs) dan penjelasan yang mengakui serta menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, ataupun negara.23

Azyumardi Azra berpendapat bahwa pendidikan multikultural adalah pengganti dari pendidikan interkultural dengan harapan mampu menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik

20James A. Banks, Educating Citizens In a Multicultural Society, (New York: Teachers

College Press, 2007), h.84. 21Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.169-

170. 22Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,

hingga Posmodern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), h.102. 23Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, (Bandung: Pustaka Setia, 2015),

h.196.

28

pengakuan terhadap kebudayaan suatu kelompok individu, seperti toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, serta subjek lainnya yang relevan.24

Membangun kepercayaan dengan sikap peduli dan mau mengerti antara satu sama lain yang berbeda kebudayaan dan keagamaan dalam penerapan dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction). d. Dimensi Kesetaraan Pedagogi (Equity Pedagogy)

Nuansa keberagaman di Indonesia tidak boleh menjadi penghalang maju dan berkembangnya bangsa ini. Perbedaan yang lahir sebagai anugerah perlu diasah sedemikian rupa dengan memperhatikan kebutuhan individu sesuai dengan potensi juga latar belakang budaya dan agama seorang peserta didik.

Dimensi kesetaraan pedagogi (equity Pedagogy) James Banks: An equity pedagogy exist when teacher modify their teaching in ways that will facilitate the academic achievement of students from diverse racial, cultural, ethnic, and gender groups.25 Kesetaraan pedagogi (equitypedagogy) merupakan metode

pendidik dalam memfasilitasi prestasi akademik peserta didik dari berbagai ras, budaya, etnis dan gender.

Dimensi kesetaraan pedagogi (equity paedagogy) menurut Nurain merupakan usaha untuk menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik peserta didik yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun kelas sosial.26

Prinsip penyusunan program dalam pendidikan multikultural salah satunya didasarkan pada pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui hak asasi manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri. Ada kesetaraan individu, antarindividu, antarbudaya, antarbangsa dan antaragama. Pedagogik kesetaraan berpangkal pada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia (dignity of human).27

24Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, (Bandung: Pustaka Setia, 2015),

h.197. 25James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h. 84. 26Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,

hingga Posmodern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), h.102. 27Samsi Pomalingo, Pendidikan Multikultural, (Gorontalo: Manarul Ilmi, 2013), h. 107.

29

Menurut Hamid Hasan dalam mencapai tujuan kurikulum ideal, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru. Salah satunya adalah cara belajar anak didik yang ditentukan oleh latar belakang budayanya.28

Secara operasional,pada dasarnya pendidikan multikultural adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar jamak bagi peserta didik (multiple learning enviroments) dan yang sesuai dengan kebutuhan akademis ataupun sosial.29

Untuk itu dalam dimensi yang dimaksud, kesetaraan pedagogi mengacu pada bagaimana pendidik mampu mengidentifikasi latar belakang peserta didik untuk mengetahui kebutuhan akademik dan sosial dalam rangka penerapan pendidikan multikultural demi memaksimalkan prestasinya.

Dimensi kesetaraan pedagogi memiliki tujuan untuk memotivasi dalam proses belajar. Dengan fasilitas yang sesuai dengan latar belakang budaya, mampu memicu ketertarikan dan memotivasi peserta didik dalam mengeksplorasi pengetahuan.

Pendekatan aditif tingkat SD kelas atas dan tingkat SMP, seperti: a. Melengkapi perpustakaan dengan buku cerita rakyat dari berbagai

daerah dan negara lain b. Membuat modul pendidikan multikultural sebagai suplemen materi

pelajaran lain c. Memutarkan CD tentang kehidupan di pedesaan, perkotaan, dari

daerah dan negara yang berbeda d. Meminta peserta didik memiliki teman korespondensi/e-

mail/facebook atau sahabat dengan peserta didik yang berbeda daerah, negara atau latar belakang lainnya

e. Menceritakan pengetahuan dan pengalaman pendidik tentang materi di daerah atau negara lain.

f. Mengintegrasikan nilai multikultural dan menerapkannya dikelas. Semua itu dilakukan untuk menanamkan pengetahuan yang luas

bagi peserta didik. Rasa ketertarikan akan keragaman yang diperoleh dalam kelas akan memotivasi untuk tahu lebih banyak dengan membaca, melihat di internet, berkunjung, bertanya kepada orang yang lebih tahu.30

28Ngainum Naim, Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,

(Jogjaskarta: Ar-Ruzz Media, 2017), h. 189. 29Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.

198. 30 Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 214.

30

e. Dimensi Pemberdayaan Budaya Sekolah dan Strata Sosial (an Empowring School Culture and Social Structure)

Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. James Banks menyebutkan:

An empowering school culture and social structure conceptualized the school as a complex social system, whereas the other dimensions deal with particular dimensions of a school or educational setting.31 Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowring

school culture and social structure) ini merupakan sebuah konseptualisasi menjadikan sekolah sebagai sistem sosial yang kompleks. Beberapa dimensi sebelumnya berhubungan dengan dimensi ini.

Empowering school culture and social structure, adalah membangun budaya komunitas yang toleran serta inklusif yang memungkinkan peserta didik berasal dari kelompok ras, suku, gender, serta budaya yang berbeda, mengalami kesederajatan pendidikan dan memiliki status yang sama. Tradisi, budaya, kurikulum, materi pengajaran serta lingkungan pendidikan perlu direkonstruksi dan ditransformasi termasuk sikap, keyakinan, tindakan, penilaian, serta gaya dan strategi mengajar pendidik.32

Peran sekolah begitu penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua agama. Maka, sekolah harus memperhatikan, pertama sekolah perlu membuat undang-undang atau peraturan lokal. Poin penting yang perlu dicantumkan dalam aturan tersebut adalah larangan terhadap segala bentuk diskriminasi agama dan harus ditaati seluruh warga sekolah sebagai pembelajaran untuk selalu menghargai orang lain meski berbeda agama di lingkungan mereka. Kedua, dalam membangun rasa saling pengertian antara peserta didik maka sekolah harus berperan aktif mengadakan dialog keagamaan atau dialog antariman yang tentunya tetap dalam bimbingan pendidik dalam sekolah tersebut.33

pendapat Ainul Yaqin lebih mengarah pada konsep penanaman nilai toleransi dang rasa saling pengertian yang hanya menitik fokuskan pada multiagama. Sedangkan konsep James Banks tidak hanya terbatas pada

31 James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers College Press, 2007), h. 83. 32 Dafid Leda Lede, Teori Pendidikan Multikultural Menurut James A. Banks http://dafid08.blogspot.com/2017/07/teori-pendidikan-multikultural-menurut.html?m=1

33Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 63.

31

multiagama namun juga multi budaya sebagai pemberdayaan budaya sekolah yang kompleks.

Dalam konsep struktur politik masyarakat multikultural, Bhikhu Parekh menyebutkan model proseduralis yaitu perbedaan moral dan budaya yang sangat signifikan pada masyarakat multikultur tidak dapat diselesaikan secara rasional, dan satu-satunya perhatian kita adalah menjamin perdamaian dan kestabilan. Untuk menjamin perdamaian dan kestabilan tersebut, diperlukan sebuah negara yang secara garis besar formal dan netral, yang memberlakukan peraturan-peraturan umum tentang perilaku, yang menjadi pegangan bagi warganya untuk tetap merasa bebas menjalani kehidupan pribadi yang mereka pilih.34

Jika Bhikhu Parekh mengangkat konsep proseduralis yang menyatakan bahwa perlunya negara formal dan netral, maka Banks memberdayakan budaya sekolah dan struktur sosial di sekolah seperti pada tingkatan negara.

Keanekaragaman bukanlah hal yang tabu dalam masyarakat Indonesia. Perbedaan yang tercipta adalah rahmat Tuhan. Meski begitu, perbedaan kerapkali menjadi pemicu pertentangan antar kelompok. Tidak hanya mengesampingkan nilai toleransi, bahkan nilai kemanusiaan terkadang tak lagi dipandang diakibatkan oleh fanatik suku, agama, budaya atau strata sosial. Maka, seorang guru harus mampu menanamkan nilai pendidikan multikultural secara substansial untuk dipahami dan diyakini serta menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat multikultur dengan memelihara dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan demi tercapainya perdamaian.

Pentingnya penerapan dimensi pendidikan multikultural sebagai konsep, gerakan transformasi lembaga pendidikan bahkan proses yang harus berkelanjutan dalam pelaksanaannya. Untuk itu, perlu mengetahui lebih awal karakteristik peserta didik memiliki kecenderungan yang berbeda sesuai dengan latar belakang suku, ras, etnik, budaya, gender dan strata sosial sehingga seorang pendidik harus mampu memahami perbedaan itu dan mampu memberikan stimulasi sesuai dengan kecenderungan masing-masing peserta didik.

Banks juga mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural dalam kurikulum maupun pembelajaran di sekolah, yakni: a. Pendekatan kontribusi (the contributions approach), merupakan fase

awal dari gerakan kebangkitan etnis. Ciri-cirinya adalah

34Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism,Keberagaman Budaya dan Teori Politik.

diterjemahkan oleh Bambang Kukuh Adi. (Yogyakarta: Kansius, 2008). h.267.

32

mengintegrasikan berbagai budaya dalam pelajaran yang sesuai dengan nilai multikultural.

b. Pendekatan aditif (aditif approach), pendekatan ini dilakukan dengan pengkayaan materi, konsep, tema, perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karakteristik dasarnya.

c. Pendekatan transformasi (the tnasformation approach), ini mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi dasar peserta didik dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama yang mungkin dipaparkan dalam materi pembelajaran dan peserta didik boleh memandang dari perspektif yang lain.

d. Pendekatan aksi sosial (the social action approach) mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi dengan tambahan komponen yang mempersyaratkan peserta didik yang membuat aksi sosial yang terkait dalam konsep, isu atau masalah yang dipelajari. Tujuannya yaitu mendidik peserta didik melakukan kritik sosial dan mengajarkan keterampilan mengambil keputusan untuk memperkuat dan membantu menjadikan peserta didik menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan terlatih dalam melakukan perubahan sosial.35

35Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural¸h. 211-212.

33

BAB III PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pengertian Pendidikan Islam Istilah pendidikan awalnya berasal dari bahasa Yunani, yakni

“paedagogie”, artinya adalah bimbingan yang diberikan pada anak, istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yakni “education” artinya pengembangan atau bimbingan.1 Manusia adalah makhluk yang membutuhkan bimbingan atau pengembangan melalui suatu proses pembelajaran dari tidak tahu menjadi tahu dan proses tersebut harus dilakukan secara terus-menerus sepanjang hidup manusia tersebut.

Pendidikan adalah usaha untuk mencerdaskan pikiran, menghaluskan budi pekerti, memperluas cakrawala pengetahuan dan memimpin serta membiasakan peserta didik menuju kearah kesehatan badan dan kesehatan rohani bangsanya.2 Untuk itu, dalam proses pendidikan tidak hanya sebatas mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam upaya mencerdaskan pikiran peserta didik. Namun lebih dari pada itu, pendidikan juga merupakan proses yang dilakukan pendidik agar peserta didik mampu mendewasakan pemahamannnya dalam mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang ia miliki agar tercipta manusia yang fungsional baik untuk diri sendiri, orang lain, masyarakat, agama, bangsa dan negaranya.

Menurut Paulo Freire (pakar pendidikan pembebasan), bahwa pendidikan bukanlah “menara ganding” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik serta berpendidikan, bukan masyarakat yang sekedar mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.3 Pentingnya pendidikan untuk menciptakan tatanan masyarakat terdidik dan berpendidikan yang tidak hanya memepntingkan pengaruh sosial berdasarkan kekayaan dan kemakmuran karena memicu persaingan yang tidak sehat dalam kehidupan bermasyarakat dan mengabaikan nilai kemanusian yang merupakan manfaat dari pendidikan itu sendiri.

1H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 15. 2HM. Nasruddin Anshoriy, dkk, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan, (Yogyakarta: LKiS,

2008), h. 11. 3Samsi Pomalingo, Pendidikan Multikultural, (Gorontalo: Manarul Imli Gorontalo, 2013), h.

2.

34

Dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Pasal 1, ayat (1) bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketermpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.4

Pendidikan secara sempit identik dengan sekolah. Namun, pada

hakikatnya pendidikan adalah proses belajar dan berubah dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang keliru menjadi sesuai, dari malas menjadi cerdas, dari tidak tahu menjadi tahu. Seluruh proses pendidikan harus terus dilakukan sepanjang masa dan tidak hanya terbatas pada sekolah. Pendidikan dapat ditemukan dimana saja. Pendidikan sebagai jalan humanisasi, harus mampu menciptakan manusia seutuhnya.

Dari pengertian dan regulasi di atas, kita bisa melihat bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah proses dan upaya yang dilakukan untuk menciptakan insan yang bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang lain serta alam semesta baik bangsa, agama maupun negara.

Selanjutnya, Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu, Islaman artinya yaitu berserah diri, patuh dan tunduk. Kata aslama tersebut pada awalnya berasal dari salima, artinya selamat, sentosa dan damai.5 Ditinjau dari pengertian Islam secara bahasa mengarah pada tujuan agama Islam yakni agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dimana Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam adalah agama yang ramah, damai, toleran, beretika, berkasih sayang dan mengajak pada keselamatan. Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, mendorong manusia menjadi progresif, adil dan memelihara akal serta berakhlak mulia.

Pendidikan Islam adalah usaha membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.6

Dari berbagai macam uraian di atas, maka dengan demikian pendidikan Islam adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan

4Kumpulan Undang-Undang Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007) hal 5. 5H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal 338. 6H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h.340.

35

insan kamil atau pribadi muslim yang utuh yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang tentunya sesuai dengan ajaran Islam atau menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dimana manusia juga perlu mengoptimalkan potensi yang diberikan oleh Allah Swt. baik potensi lahir maupun batin.

B. Sejarah Pendidikan Islam

Mengetahui sejarah pendidikan Islam adalah penting untuk mengambil pelajaran dalam melakukan proses pendidikan. Sebagaimana yang djelaskan dalam QS. Al-Hasyr ayat 18:

Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Hasyr:18).7 Ayat tersebut menjelaskan tentang pentingnya sesuatu yang telah

terjadi sebagai pelajaran memperbaiki dihari esok. Untuk itu, sebelum menuliskan konsep pendidikan Islam, penting mengetahui sejarahnya demi perkembangan pendidikan Islam yang lebih baik.

Selanjutnya, sebelum membahas sejarah pendidikan Islam, maka penting mengetahui awal mula masuknya Islam di Indonesia. Secara umum, pendidikan Islam berawal sejak masuknya Islam. Namun, banyak ahli yang memiliki pandangan berbeda tentang kapan Islam masuk di Indonesia untuk pertama kalinya. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Indonesia yakni teori Gujarat, teori Makkah, teori Persia, teori Cina sdan teori Maritim.

Pertama, teori Gujarat oleh Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje menjelaskan Islam masuk dari Gujarat. Menurutnya, Islam tidak langsung masuk ke Nusantara dari Arabia tanpa melalui ajaran tasawuf yang berkembang di India. Ia menjelaskan pula bahwa daerah India merupakan Gujarat. Daerah pertama yang dimasuki adalah Kerajaan Samudra Pasai

7Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Toha Putra, 2005), h.548

36

abad ke-13 Masehi. Ia tidak menjelaskan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara. Tidak ada pula penjelasan tentang mazhab yang dianut dan tidak diketahui mazhab yang berkembang di Samudera Pasai. Bahkan tidak diketahui ketika Islam masuk Samudera Pasai langsung mendirikan kekuasaan politik atau kesltanan.

Kedua, teori Makkah oleh Prof. Dr. Buya Hamka. Beliau menggunakan fakta yang diangkat dari Berita Cina Dinasti Tang pada seminar Masuknya Islam ke Indonesia di Medan. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Berita Dinasti Tang menuturkan menemukan daerah tempat tinggal wirausahawan Arab Islam di pantai Barat Sumatera maka disimpulkan bahwa Islam masuk dari daerah Arab. Sementara kesultanan Samudra Pasai yang didirikan pada 1275 Masehi atau abad ke-13 Masehi, bukan merupakan awal masuknya Islam, namun merupakan perkembangan Islam.

Ketiga, teori Persia oleh Prof, Dr. Hoesain Djajadinigrat yang menjelaskan Islam masuk dari Persia serta bermazhab Syi’ah. Pendapat tersebut berdasarkan pada sistem baca atau mengeja huruf Al-Qur’an khususnya di Jawa Barat. Fat-ha menyebutnya Jabar, Kasrah dibaca Je-er, dhammah dibaca Py-es. Teori ini dinilai lemah karena tidak semua yang menggunakan sistem baca huruf Al-Qur’an tersebut menganut mazhab Syi’ah di Persia. Sementara pada saat Baghdad merupakan ibu kota pemerintaan Dinasti Abbasiyah, Abbasiyah umumnya penganut Ahlussunnah wal Jama’ah. Meski di Jawa Barat sistem mengeja baca huruf Al-Qur’an dengan cara seperti itu, akan tetapi bukan merupakan mazhab Syi’ah. Di Jawa Barat secara umum bermazhab Syafi’i sebagaimana Abbasiyah di Baghdad Persia bermazhab Syafi’i.

Keempat, teori Cina oleh Prof. Dr. Slamet Muljana. Menurutnya, tidak hanya Sultan Demak merupakan peranakan Cina. Namun, ia menyimpulkan bahwa para Wali Sanga juga merupakan peranakan Cina. Pendapat ini bertolak dari Kronik Klenteng Sam Po Kong.

Kelima, teori maritim oleh N.A. Baloch seorang sejarawan Pakistan, menurutnya agama Islam masuk dan berkembang di Indonesia karena umat Islam mempunyai navigator atau mualim dan wirausaha Muslim yang dinamik dalam penguasaan maritim dan juga pasar. Melalui aktivitas ini, ajaran agama Islam mulai dikenalkan pada sepanjang jalan laut niaga di berbagai pantai tempat persinggahannya pada masa abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi. Menurutnya, mulai abad ke-6 Hijriah/13 Masehi terjadi

37

pengembangan Islam ke pedalaman oleh para wirausahawan pribumi. Dimulai dari Aceh pada abad ke-9 Masehi.8 Untuk menanggapi pendapat beberapa sarjana Barat, pendapat Prof. Snouck Hurgronje menyatakan dalam bukunya Nederland en De Islam bahwa Islam baru muncul di Timur jauh sesudah sebagian tanamannya tumbuh sudah jauh tinggi dan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1200, menurut Mohammad Said adalah sulit untuk diterima dan tidak beralasan sama sekali, sebab perantau Arab dan Persia sudah tinggal di Canton (China) pada abad pertama Hijriah. Dan menurut Hamka mengatakan orang bahwa Islam tidak diterima langsung dari Mekah dan bahwa agama Islam itu hanya diterima dari India sebagaimana diterangkan oleh Prof. Snouck Hurgronje yaitu suatu jarum “halus” yang dimasukkan dia untuk menentang pengaruh Arab yang ia dapati seketika Aceh melawan Belanda.9

Berbagai teori tentang masuknya Islam di Indonesia dengan berbagai argumen dan pembuktian masing-masing. Bahkan ada beberapa banyak tanggapan dan pembahasan setelahnya. Perlu pengkajian secara mendalam untuk memastikan fakta sejarah awal masuknya Islam di Indonesia. Bahkan penting mengetahui cara penyebarannya.

Melalui ajaran seperti ini, Islam masuk ke Nusantara Indonesia. Di pasar diperkenalkan ajaran syahadat. Dibaca setelah menjadi penganut Islam, disertai membudayakan mandi. Setiap masjid terdapat sumur tujuh sebagai media pengenalan budaya mandi. Diajarkan pula agar mau menutup badanya dengan busana. Dikenalkan sandang pribumi atau batik dengan gambar satu dimensi, daun atau burung. Digambarkan dengan bentuk miring. Batik sebagai pengganti kebiasaan menutupi badan hanya dengan dedaunan. Diajarkan pula kesadaran menyisir rambut. Gerakan pembusanaan atau mensosialisasikan busana secara massal saat Idul Fitri. Dibangkitkan semangat berbusana bersih atau busana baru. Berikut dibangkitkan kesadaran untuk membangun kekuasaan politik atau kekhalifahan.10

Itulah beberapa teori yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Indonesia sebagai tanda awal proses pendidikan Islam di Indonesia pula.

Banyak tulisan yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang terkenal dengan Syekh Maghribi, berasal dari Gujarat India,

8Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, jilid kesatu, (Bandung: Suryanegara, 2018), h.

101. 9Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, edisi revisi, (Bogor: Yayasan Ngali

Aksara dsn al-Manar Press, 2011), h. 23. 10Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, jilid kesatu, (Bandung: Suryanegara, 2018), h.

99.

38

sebagai pendiri pondok pesantren yang pertama di pulau Jawa, bahkan ada yang mengatakan pondok pesantren yang pertama di Indonesia sekitar tahun 1359 dan beliau wafat pada 1419 berdasarkan tulisan batu nisannya di Gresik.11

Dalam tulisan di atas telah dijelaskan bahwa pada 1359, Syekh Maulana Malik Ibrahim telah mendirikan pondok pesantren pertama di pulau Jawa Timur. Membuat sebuah pondok pesantren tentu harus memiliki pendidik dan peserta didik yang cukup untuk mengisi proses pendidikan Islam pada pondok pesantren tersebut. Sebelum didirikan pondok pesantren tentu telah ada beberapa kelompok belajar kecil yang telah dibuat secara sederhana dalam proses pendidikan Islam.

Ini dapat dibuktikan dengan model pendidikan Islam seperti meunasah, rangkang dan dayah atau bentuk pendidikan lain seperti halaqah dan pengajian sorogan, telah berkembang luas di Aceh (di Kerajaan Islam Perlak tahun 833-843 Masehi), kerajaan Islam Samudra Pasai, 1025 dan penyebaran agama Islam pada masa awal era Walisongo di tanah Jawa.12

Awalnya, pendidikan pesantren yang dilakukan para Walisongo adalah pendidikan yang masih sederhana. Masih menggunakan masjid sebagai tempat belajar mengajar. Mempelajari tentang pokok-pokok agama Islam dan pengetahuan tentang ilmu syari’at. Sedangkan ilmu umum masih jarang diajarkan. Setelah masa walisongo, proses pendidikan Islam semakin membaik. Para pendidik semakin berpikir modern sehingga proses pendidikan Islam semakin maju.

Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda. Dalam melancarkan monopoli perniagaan dengan badan bernama VOC sekaligus membawa misi keagamaan di Indonesia, para penjajah Belanda membuka lembaga pendidikan yang hanya di terima dalam lembaga pendidikan tersebut hanya yang beragama Kristen. Sementara untuk kaum muslim tidak diizinkan kecuali ada alasan tertentu.

Secara formal, sikap organisasi tersebut netral agama untuk medapat keuntungan yang banyak. Namun pada kenyataannya, mereka justru memainkan politik agama. Umat Islam dikristenkan agar tidak ada hambatan secara psikologi dalam menjalankan misinya. Namun, selama dua abad VOC berdiri masih gagal dalam memainkan politik agama.

Dua abad telah berlalu untuk VOC, pemerintah kolonial Belanda masih terus berkeinginan untuk melanjutkan proses kristenisasi penduduk

11Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, edisi revisi, (Bogor: Yayasan Ngali

Aksara dsn al-Manar Press, 2011), h. 25. 12Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, edisi revisi, h. 16.

39

pribumi. Usaha yang dilakukan semakin digalakkan untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan Gereja dan lembaga pendidikan Kristen dijadikan alat untuk melanggengkan keinginan penguasa.

Selanjutnya para pemerintah kolonial Belanda ingin mencarikan model pendidikan untuk kaum pribumi yang kemudian terjadi perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa lembaga pendidikan Islam yang telah ada perlu diberdayakan agar pemerintah Belanda tidak lagi mengeluarkan biaya untuk memajukan lembaga pendidikan tersebut karena telah dibiayai oleh masyarakat. namun sebagian menolak dengan keras menjadikan lembaga pendidikan Islam dijadikan model pendidikan pribumi karena hanya mengajarkan tentang agama dan bahasa Al-Qur’an. Lembaga pendidikan ini dianggap buruk karena tidak mengajarkan huruf latin karena para pendidik tidak bisa membaca dan menulis huruf latin sehingga tidak cocok menjadi pendidikan pribumi.

Namun dengan alasan politik dan agama, para pemerintah kolonial Belanda melihat pendidikan agama Kristen adalah lembaga pendidikan yang cocok untuk penduduk pribumi. Padahal model pendidikan ini juga hanya mengajarkan tentang agama Kristen bahkan para pendidiknya adalah para pendeta.

Pendidikan Islam pada awal kemerdekaan dan era orde lama tahun 1945-1966 memberi kebijakan publik yakni (1) rancangan pembaruan sistem pendidikan nasional dengan pokok konsep tentang Pendidikan Agama dan Kebudayaan yaitu dalam garis adab kemanusiaan seperti terkandung dalam segala ajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi pada agama dan kebudayaan bangsa serta mengarah pada keselamatan dan kebahagiaan masyarakat. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia. Kebudayaan lama dan asli yang ada sebagai puncak kebudayaan diseluruh daerah Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak sesuatu yang baru dari kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Pendidikan Untuk Rakyat. Sebagaimana dalam pasal 31 UUD 1945, pemerintah memiliki kewajiban untuk memelihara pendidikan kecerdasan akal budi untuk seluruh rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya. Ini perlu diatur dalam undang-undang kewajiban belajar atau peraturan lain, apabila keadaan belum mengijinkan.

Sekolah Partikulir Swasta. Ini dilakukan agar mampu memperhatikan serta memelihara kepentingan khusus dengan sebaik-baiknya khususnya yaitu berdasar agama, dan atau kebudayaan, maka pihak rakyat diberi kesempatan yang cukup luas untuk mendirikan sekolah

40

partikulir yang menyelenggarakannya, sebagian atau sepenuhnya bahkan bisa dibiayai pemerintah. Pengawasan pemerintah pada usaha sekolah partikulir tersebut hanya sekedar mengenai syarat untuk menjamin kebaikan pelajaran serta ketentraman umum.

Kurikulum (Leerplan) perlu dirancang, sekurang-kurangnya kurikulum yang berisi tentang luas tingginya pelajaran pengetahuan juga kepandaian umum, pendidikan budi pekerti khususnya semangat bekerja, kekeluargaan kebaktian cinta tanah air dan keprajuritan. Syarat tersebutu diwajibkan di semua sekolah baik negeri ataupun partikulir.

Susunan Persekolahan diklasifikasikan menjadi empat tingkat yaitu Sekolah Pertama, Sekolah Rakyat, Sekolah Menengah Tinggi, masing-masing selama 3 tahun. Dari tingkat sekolah rakyat hingga tingkat sekolah menegah tinggi diadakan sekolah pengetahuan umum serta sekolah kepandaian khusus. Untuk peserta didik yang tidak meneruskan sekolahnya pada tiap sekolah rakyat diadakan kelas sambungan (kelas masyarakat).

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dipakai sebagai bahasa pengantar mulai dari sekolah rakyat hingga sekolah tinggi. Bahasa penting diajarkan dengan cukup di semua tingkat dan juga jenis sekolah.

(2) Penyelenggaraan Pendidikan Agama di Sekolah umum dan pembinaan madrasah dan pesantren. Ada tiga hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, Pendidikan Agama bagi peserta didik di sekolah diterima oleh semua komponen bangsa sebagai suatu kebutuhan dan untuk pelaksanaan Pendidikan itu, pihak pemerintah harus mengambil andil seperti menyediakan biaya pengawasan bagi kelancaran jalannya Pendidikan Agama tersebut. Kedua, menjelang setahun setelah pembentukan Kementrian Agama, Menteri Agama telah menetapkan suatu bagian yaitu bertugas mengurusi Pendidikan Agama untuk umat Islam dan umat Kristen. Dengan adanya bagian ini, dalam struktur Kementrian Agama untuk bertugas mengurus pendidikan agama bagi yang beragama Islam dan beragama Kristen mengindikasikan bahwa kelompok umat Kristen tidak ada masalah dengan Pendidikan Agama dan tidak ada masalah dengan peran pemerintah atau negara dalam memperkuat keimanan dan ketaqwaan peserta didik melalui pendidikan agama di berbagai sekolah. Ketiga, pembentukan unit kerja tingkat eselon satu di Kementrian Agama (Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) mengindikasikan pula peran negara dan pemerintah diperlukan untuk mengatur dan membimbing umat beragama.

Selanjutnya, (3) Cita-cita konvergensi antara isi pendidikan umum dan pendidikan agama (Islam) sejatinya telah ada sejak masa penjajahan Belanda seperti di madrasah Ababil Minangkabau, di Manbaul Ulum

41

Surakarta, di Madrasah salafiyah Tebu Ireng Jombang dan lain-lain. Kurang lebih satu dekade setelah dilaksanakan program pendidikan agama di sekolah umum, adalah “intervensi” pertama yang dilakukan pemerintah untuk mendekatkan kutub “santri” dengan sistem pendidikan sekolah umum yang bersifat sekuler. 13

C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 2 bahwa, “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Pasal 3, menyatakan bahwa, “pendidikan nasional memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak yang mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. 14

Tujuan pendidikan nasional yang dimaksud mengembangkan kemampuan atau potensi yang dimiliki manusia Indonesia, kemudian dari membentuk watak hingga peradaban bangsa yang memiliki makna membentuk secara individu hingga menjadi masyarakat luas yang beradab dan bermartabat dengan cita mencerdaskan kehidupan bangsa dengan masyarakat yang memiliki nilai religiuitas dan nasinonalis dalam jiwa dan tatanan hidup bermasyarakat.

Dasar pendidikan Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Dari kedua pilar inilah dibangun konsep dasar pendidikan Islam.15 Kedua pilar ini mencakup bagaimana pandangan dan misi Islam tentang manusia. Dimana manusia merupakan abdiyullah dan khalifahtullah yang diciptakan Allah dimuka bumi untuk senantiasa mengabdi kepada Allah serta menjadi khalifah untuk menjaga dan memelihara bumi dimana merupakan ruang yang ditempati oleh manusia. Makna menjaga dan memelihara bumi harus di maknai secara luas. Dimana tidak hanya menjaga lingkungan hidup, namun juga menjaga seluruh isi bumi yakni mencakup manusia lainnya. Terkait dengan pendidikan Islam, sesuai dengan misi Islam yakni mengajak manusia untuk hidup aman dan damai serta selamat dunia dan akhirat

13Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, edisi revisi, h. 57. 14Kumpulan Undang-Undang Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007) h. 8. 15H. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Perspektif Filsafat,(Jakarta: Kencana, 2014), h. 16.

42

dengan senantiasa menjaga hubungan manusia dengan Allah Swt., manusia dengan manusia lain untuk melestarikan dan menciptakan lingkungan hidup dan kemasyarakatan yang kondusif dan nyaman.

Sejalan dengan penjelasan diatas, dalam pandangan Islam, dasar pendidikan yaitu:

a) Al-Qur’an sebagai pedoman tertinggi yang menjadi petunjuk dan dasar hidup manusia. Dalam Al-Qur’an dapat ditemukan semua permasalahan tentang kehidupan, termasuk pendidikan dan ilmu pengetahuan;

b) Sunnah sebagai pedoman setelah Al-Qur’an. Dengan demikian, sunnah juga merupakan dasar atau elemen dalam pendidikan;

c) Nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah16 Sebagaimana yang tersirat dalam wahyu pertama yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW., dengan perantara malaikat Jibril, QS.Al-Alaq ayat 1-5:

Terjemahnya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS.Al-Alaq:1-5).17 Ayat tersebut memiliki makna pendidikan. Allah SWT., dengan

kemurahan hati-Nya telah menciptakan dan mengajarkan manusia dengan Al-Qur’an sebagai pedoman tertinggi mutlak menjadi dasar pendidikan Islam yang utama. Di awal ayat Allah memerintahkan untuk membaca atau mempelajari segala apa yang telah diciptakan.

16Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 72. 17Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.597.

43

Sebagaimana firman Allah SWT:

Terjemahnya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl:78).18 Telah jelas disebutkan dalam al-Qur’an bahwa manusia dilahirkan

tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum Allah SWT., menganugerahkan pendengaran, penglihatan dan hati untuk melakukan proses pendidikan juga agar manusia bersyukur atasnya.

Selanjutnya dalam firman Allah SWT:

Terjemahnya: Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS.Al-Jatsiyah:13).19 Allah memberi rahmat kepada manusia untuk menjadi bahan

renungan dan pembelajaran agar bisa memaksimalkan potensi yang diberikan yaitu hati dan akal. Keduanya harus seiring sejalan seperti ilmu dan amal yang merupakan siklus yang harus hidup dalam jiwa manusia muslim tentunya dengan berpegang teguh pada pedoman ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama.

Nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dasar pendidikan Islam. Pendidikan Islam dengan nilai sosial kemasyarakatan dipelajari secara langsung dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan pada era awal kemerdekaan dan era orde lama telah terdapat kebijakan pemerintah,

18 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.275. 19 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.499.

44

salah satunya yaitu pendidikan agama dan kebudayaan yaitu dalam garis adab kemanusiaan seperti terkandung dalam segala ajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi pada agama dan kebudayaan bangsa serta mengarah pada keselamatan dan kebahagiaan masyarakat.

Peraturan Pemeritah RI Nomor 55 Tahun 2007, Bab II tentang Pendidikan Agama, Pasal 2 ayat (1), “pendidikan agama memiliki fungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian serta kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama.”20 Meskipun dalam regulasi di atas hanya mencakup fungsi agama secara umum namun memiliki relasi dengan tujuan pendidikan Islam dimana membangun dan menjalin hubungan transedental dengan Allah Swt., yang dalam fungsi pendidikan secara umum disebutkan untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didalam Islam yakni Allah Swt. kemudian membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia yang dalam fungsi pendidikan secara umum adalah mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama demi terciptanya lingkungan hidup yang tentram, indah dan bersih.

Tentunya pendidikan Islam mempunyai tujuan yang berlandaskan pilar di atas, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw serta nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dimana mampu menciptakan pribadi Muslim seutuhnya yakni yang mampu melakukan tugasnya sebagai abdiyullah dan khalifatullah dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki manusia. Tujuan pendidikan begitu luas yaitu mencakup kehidupan dunia dan akhirat sehingga menjadi karakteristik pendidikan Islam itu sendiri, bahkan bisa dikatakan semua jenis pendidikan merupakan bagian dari pendidikan Islam.

D. Kurikulum Pendidikan Islam a. Pengertian

Kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu curriculum yang berarti bahan pengajaran, dan adapula yang mengatakan berasal dari bahasa Perancis, courier yang berarti berlari.21 Adapun dalam bahasa Arab, yaitu

20Kumpulan Undang-Undang Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007) h. 229. 21S. Nasution, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (Bandung: Citra Adirya Bakti, 1991),

h. 9.

45

al-manhaj yang bermakna jalan yang terang atau jalan terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan.22

Pengertian kurikulum dapat dijumpai dalam ajaran Islam, baik pada dataran normatif maupun historis-filosofis. Secara normatif, di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menyuruh manusia agar mempelajari segala sesuatu baik yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis, baik benda-benda yang ada di bumi, maupun yang ada di langit, baik kehidupan umat di masa sekarang, silam maupun yang akan datang.

Selain bersifat normatif, penyusunan dan pembinaan kurikulum dalam pendidikan Islam juga dapat merujuk pendapat para ulama Islam tentang ilmu pengetahuan dan hukum mempelajarinya. Dalam hubungan ini tercatat sejumlah ulama yang membahas tentang ilmu pengetahuan dan kewajiban mengajarkannya, yaitu sebagai berikut:

1. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu pengetahuan. Imam Al-Ghazali membagi ilmu ini kepada dua jenis, yaitu ilmu yang fardhu ‘ain dan ilmu yang fadhu kifayah. Ilmu yang termasuk fardhu ain yaitu ilmu-ilmu agama. Adapun yang termasuk ilmu fardhu kifayah yaitu setiap ilmu yang dibutuhkan demi tegaknya urusan duniawi.

2. Ibnu Khaldun, membagi ilmu ke dalam empat bagian yaitu ilmu keagamaan dan syar’iyyah seperti al-Qur’an, as-Sunnah, fiqih, tafsir dan hadis. Kedua, ilmu ‘aqliyyah seperti fisika dan ketuhanan. Ketiga, ilmu alat yang membantu ilmu-ilmu syar’iyyah seperti ilmu bahasa, ilmu nahwu dan balaghah. Keempat, yaitu ilmu alat bantu ilmu ‘aqliyyah seperti ilmu mantik.23

Dilihat dari segi rumusannya, kurikulum pendidikan Islam dapat digolongkan sederhana atau tradisional, karena yang dibicarakan hanya tentang ilmu pengetahuan yang akan diberikan. Namun, apabila ditinjau dari segi ilmu yang diajarkan, dapat dikatakan luas juga modern, karena bukan hanya sekedar ilmu agama saja namun juga ilmu yang terkait dengan perkembangan intelektual, keterampilan, emosional, sosial dan sebagainya.

Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kurikulum pendidikan Islam adalah suatu rancangan dan konsep yang dijadikan pedoman dalam proses pelaksanaan pendidikan untuk mencapai tujuan dalam pendidikan Islam.

22Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 121. 23Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 127-128.

46

b. Asas Sesuai dengan karakter ajaran Islam, merupakan suatu ajaran yang

terbuka terhadap berbagai masukan dan pengaruh dari luar. Maka kurikulum pendidikan Islam juga menerima masukan dan pengaruh dari luar. Oleh karena itu S. Nasution menyebutkan 4 asas kurikulum kurikulum pendidikan Islam yaitu:

1. Asas filosofis, berperan sebagai penentuan tujuan umum pendidikan.

2. Asas sosiologis, berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyaraakat, kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Asas organisatoris, berfungsi memberikan dasar-dasar dalam penyusunan mata pelajaran, penentuan luas dan sempitnya uraian serta urutan dan susunan mata pelajaran tersebut.

4. Asas psikologis, berperan memberikan berbagai prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai oleh anak didik sesuai dengan tahap perkembangannya.24

Asas-asas ini menjadi bagian yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dengan cermat untuk menyusun kurikulum pendidikan Islam. Penggunaan berbagai asas tersebut dalam kurikulum pendidikan Islam, harus disesuaikan atau disejalankan dengan ajaran Islam.

Berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat pada umumnya berdasarkan pada pandangan yang rasionalis, empiris, dan objektif belaka. Adapun di dalam Islam, selain berdasarkan pada pandangan tersebut, juga harus berdasarkan pada pandangan tauhid dan akhlak mulia yakni semua ilmu tersebut diyakini sebagai pemberian dan tanda kekuasaan Tuhan, dan harus digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Inilah yang selanjutnya dikenal sebagai orientasi humanisme teo-centris. Dimana seluruh kegiatan dilakukan hanya tujuan ikhlas karena Allah, namun manfaat dari kegiatan tersebut untuk perbaikan kehidupan manusia.

c. Prinsip Kurikulum dalam pendidikan Islam berdasarkan pada tujuh

prinsip sebagai berikut: 1. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran

dan nilai-nilai. Setiap bagian yang terdapat dalam kurikulum, mulai

24S. Nasution, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (Bandung: Citra Adirya Bakti, 1991),

h. 11-14.

47

dari tujuan, kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan, dan sebagainya harus berdasar pada agama, dan akhlak Islam. Yakni harus terkait dengan jiwa agama Islam, keutamaan, cita-cita, dan kemauan yang baik sesuai dengan ajaran Islam.

2. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan kandungan kurikulum, yakni mencangkup tujuan pembinaan akidah, akal dan jasmaninya, dan hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat dalam perkembangan spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, termasuk ilmu agama, bahasa, kemanusiaan, fisik, praktis, profesional,seni rupa, dan sebagainya.

3. Prinsip keseimbangan yang relatif sama antara tujuan dan kandungan kurikulum.

4. Prinsip keterkaitan antara bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar,.begitu juga dengan alam sekitar baik yang bersifat fisik maupun sosial di mana pelajar itu hidup dan berinteraksi.

5. Prinsip pemeliharaan perbedaan individual di antara para pelajar, baik dari segi minat maupun bakatnya.

6. Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.

7. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dan pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.25

Selain yang telah dipaparkan diatas, Moh. Roqib mengemukakan bahwa kurikulum hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip pendidikan Islam diantaranya yaitu sebagai berikut: 1. Prinsip Integrasi

Integrasi merupakan sebuah prinsip yang memandang adanya wujud kesatuan kehidupan dunia akhirat. Kehidupan di dua alam ini dipandang sebagai satu perjalanan yang tiada terputus. Hal tersebut diletakkan sebagai jembatan menuju alam akhirat yang abadi. 2. Prinsip Keseimbangan

Proses penentuan materi atau kebijakan kependidikan tidak lepas dari perbedaan individualitas dan kolektivitas subjek didik. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan di dalam menyusun kurikulum dan menetapkan materi ajar. Keseimbangan yang dimaksud yaitu seimbang berdasarkan porsi yang diberikan pada suatu hal secaraproporsional. 3. Prinsip Persamaan dan Pembebasan

25Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010),, h. 133-134.

48

Prinsip ini berdasarkan dari adanya keyakinan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan yang sama dan juga dari asal yang sama. Sedangkan prinsip pembebasan merupakan sebuah proses menuju ke arah kemerdekaan, yaitu ia mampu menyuarakan apa yang ada di dalam benaknya. 4. Prinsip Pendidikan Kontinue

Prinsip ini disebut juga dengan prinsip pendidikan seumur hidup. Proses pendidikan Islam harus terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman. 5. Prinsip Kemaslahatan dan Keutamaan

Prinsip ini adalah sebuah prinsip yang mengharuskan pendidikan membawa manusia ke arah yang baik dan bermanfaat serta menuju ke arah yang lebih utama, karena pendidikan merupakan sebuah proses yang agung guna mengembalikan dan meningkatkan potensi-potensi dan moral utama manusia.26

Sebagai warga negara Indonesia patut mempelajari, memahami, menghayati dan memngamalkan dalam kehidupan sehari-hari tentang wawasan bangsa. Menjadi warga negara Indonesia adalah rahmat Tuhan karena telah dilahirkan sebagai manusia Indonesia yang memiliki ciri khas yang majemuk dan unik.

Tentunya Pancasila itu sendiri merupakan ciri khas ataupun dapat dikatakan sebagai ideologi bangsa Indonesia dan peletak dasar cita-cita bangsa Indonesia. Karena nilai yang terkandung dalam falsafah negara ini merupakan nilai yang dibentuk oleh masyarakat, sehingga segala problematika yang terjadi dimasyarakat Indonesia diyakini mampu dinetralisir dan dipecahkan tentunya dengan berpedoman pada dasar negara Indonesia yakni Pancasila dan UUD 1945 secara yakin dan sadar.

Pertama, Pancasila adalah ideologi sekaligus dasar negara harus melekat pada jiwa untuk menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi negara sebagai landasan konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk negara yang dipilih sebagai komitmen bersama. Keempat, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan negara sebagai modal untuk bersatu. Keempat konsep ini disebut sebagai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan prasyarat minimal bagi bangsa Indonesia untuk tetap tegak

26Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,

Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiSYogyakarta, 2009) h. 84-87.

49

berdiri dan memajukannya dengan prinsip dasar yang memiliki karakter khas bangsa ini.27

Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika empat tiang yang kokoh dalam menyangga bangunan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia tentu menjadi kewajiban untuk tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi, dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara untuk mempertahankan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan bentuk negara yang menjadi komitmen bersama serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang kaya dengan keberagaman suku, ras, agama, etnis, budaya, adat istiadat dan tradisi yang patut dijaga dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan tentram.

27MPR RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal MPR RI. 2012). h. 6-7.

50

BAB IV

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL JAMES A. BANKS DAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Pendidikan multikultural oleh James A. Banks dari banyak pengertian yang dikemukakan tentang pengertian ini, namun lebih didominasi pada pendidikan multikultur untuk people of color. Yang menurut Choirul Mahfud bahwa jelas tidak sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia karena Indonesia memiliki konteks budaya yang berbeda dari Amerika Serikat, meski keduanya sama-sama merupakan bangsa yang multikultur.1

Istilah people of color digunakan terutama di Amerika Serikat untuk mendeskripsikan orang non Eropa Amerika atau bukan orang berkulit putih. Pada abad ke-20, ini diperkenalkan untuk melawan sikap merendahkan yang disiratkan oleh istilah “non-putih” dan “minoritas”, dan ras aktivis keadilan di Amerika Serikat dipengaruhi oleh para ahli teori radikal seperti Frants Fanon memopulerkannya. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, hal ini beredar luas. Baik aktivis anti-rasis maupun akademisi berusaha untuk mengalihkan pemahaman ras di luar dikotomi hitam-putih yang lazim. Joseph tuman berpedapat bahwa istilah ini menarik karena menyatukan kelompok ras dan etnis yang berbeda menjadi sebuah kelompok yang lebih besar dalam solidaritas satu sama lain.2

Pengertian pendidikan multikultur James Banks yang diperuntukan bagi people of color adalah secara istilah. Namun secara kontekstual jika dilihat lima dimensi pokok dari pendidikan multikultur dalam bukunya Educating Citizens In a Multicultural Society, secara substansif mengarah pada perbedaan budaya, ras, etnis dan gender bahkan agama. Tentu ini sesuai dengan konsep pendidikan multikultur di Indonesia karena faktanya bahwa Indonesia memiliki kurang lebih 27.000 pulau dan kurang lebih 600 suku serta 6 agama menandakan bahwa Indonesia adalah negara plural dan multikultural.

Maka pendidikan multikultural James Banks dan pendidikan Islam secara umum di dunia dan secara khusus di Indonesia pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama yaitu menanamkan pemahaman bahwa semua

1Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 224-225. 2Wikipedia, Istilah People of Color https://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=2&hl=id&nv=1&rurl=t

ranslate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Person_of_color&xid=17259,15700002,1570003,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265&usg=ALkJrhhFA0dNu1-vOUFN9Aj9GapowpvEYw , diakses pada 4 Agustus 2019, 14:45 WITA

51

manusia sama meski berbeda dalam suku, bangsa, budaya, agama, bahasa, warna kulit dan gender untuk membangun wawasan kemanusian yang demokratis dalam sekolah maupun tatanan kehidupan masyarakat yang mengandung nilai keadilan, kesetaraan dan kebebasan serta sikap toleransi dalam kehidupan sosial sebagai pengejawantahan Indonesia adalah negara yang merdeka dan mengarah pada perdamaian serta mencegah masalah disintegrasi bangsa dan radikalisme agama yang sering menghantui perjalan negara ini.

Sehingga integrasi pendidikan multikultural sebagai konsep, gerakan reformasi pendidikan dan sebagai proses yang terus berkelanjutan dengan pendidikan Islam di Indonesia dijabarkan sebagai berikut:

A. Dimensi Integration Content dalam Pendidikan Multikultural dengan Pendidikan Islam di Indonesia

Menurut KBBI integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Sedangkan konten berarti informasi yang tersedia melalui media atau produk elektronik.3 Integrasi konten/materi (content integration) adalah penyatuan materi atau informasi dari berbagai media pembelajaran hingga menjadi kesatuan yang utuh.

Content integration described the ways in which teachers use examples and content from a variety of cultures and groups to illustrate key concepts, principles, generalizations, and theories in their subject area or discipline.4

Banks menyebutkan dimensi integrasi konten/materi (content integration) mendeskripsikan upaya pendidik dalam mengintegrasikan wawasan budaya dan kelompok sebagai contoh untuk mengilustrasikan konsep, prinsip atau teori dalam bidang disiplinnya. Nurani Soyomukti mangartikan content integration yaitu upaya mengintegrasikan berbagai kelompok baik agama maupun budaya untuk mengilustrasikan konsep atau materi pembelajaran.5 Dalam tahap ini pada hakikatnya merupakan upaya penanaman konsep pendidikan multikultural dari berbagai tempat. Baik yang ada disekitar peserta didik, ditempat lain maupun di dunia. Semua

3Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), h. 4James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h. 83. 5Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,

hingga Posmodern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), h.102.

52

keberagaman yang ada memiliki nilai yang sama. Sehingga, peserta didik mampu memahami adanya cara berbeda namun maksud dan nilainya sama. Inilah yang dinamakan upaya memahamkan dengan belajar untuk menerima perbedaan bersama proses dan rasa yang menyenangkan. Akhirnya, dipahamilah bahwa perbedaan bukanlah masalah, melainkan sebuah anugerah.6

Dalam pembahasan ini, dimensi content Integration dalam pendidikan multikultural diintegrasikan dengan pendidikan Islam yaitu mengintegrasikan nilai multikultur seperti berbagai budaya, agama, suku, ras, bahasa dan gender di Indonesia untuk mengilustrasikan berbagai materi pendidikan Islam.

Berikut integrasi ruang lingkup materi Pendidikan Agama Islam dengan nuansa pendidikan multikultural dalam rangka membangun keberagaman inklusif:

1. Al-Qur’an Hadis QS. Al-Hujurat ayat 13:

Terjemahnya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha telitil. (QS. Al-Hujurat:13).7 Tafsir QS. Al-Hujurat oleh Kementrian Agama Republik Indonesia

Tafsir QS. Al Hujurat (49) : 13. Oleh Kementrian Agama RI Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa

6Yaya Suryana, A.Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 214. 7Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Toha Putra, 2005), h.517.

53

kepada-Nya. Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.8

Dalam tafsir Al-Misbah oleh Muhammad Quraish Shihab: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dalam keadaan sama, dari satu asal: Adam dan Hawa’. Lalu kalian Kami jadikan, dengan keturunan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal dan saling menolong. Sesungguhnya orang yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Allah sungguh Maha Mengetahui segala sesuatu dan Maha Mengenal, yang tiada suatu rahasia pun tersembunyi bagi-Nya.9

Kedua penjelasan tersebut menafsirkan bahwa Allah SWT., telah menciptakan manusia dari satu asal yaitu dari laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), kemudian menjadikan keturunannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku serta berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemooh atau mendiskriminasi melainkan agar manusia saling mengenal dan saling menolong satu sama lain. Allah membenci manusia yang memperlihatkan kesombongan karena keturunan, pangkat dan harta. Karena sesungguhnya manusia paling mulia derajatnya adalah yang paling bertaqwa.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia berasal dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa serta yang membedakannya hanyalah ketaqwaannya. Allah menciptakan manusia menjadi berbagai suku, bangsa, budaya, agama, ras, warna kulit dan jenis kelamin dengan tujuan untuk saling mengenal, saling menghargai dan saling tolong menolong, bukan justru saling mendiskriminasi satu sama lain. Sehingga secara normatif, Islam telah menguraikan kesetaraan dalam tatanan masyarakat tanpa memandang rendah kelompok yang berbeda.10

Dalam ayat ini, pendidik mengarahkan peserta didik untuk mengilustrasikan pemaknaan hakikat manusia dan mengeksplorasi berbagai budaya, suku, etnis, agama, bahasa, warna kulit dan jenis kelamin yang ada di Indonesia sebagai fakta yang terjadi dalam kehidupan nyata dan sesuai dengan isi kandungan ayat tersebut. Kemudian pendidik mengajarkan dan menanamkan nilai multikultural dalam ayat di atas dengan membangun wawasan kemanusiaan yang multikultur dengan

8Risalah Muslim, Tafsir Surah Al-Hujurat ayat13 https://risalahmuslim.id/quran/al-

hujurat/49-13/ diakses 4 Agustus 2019, 15:45 WITA 9Risalah Muslim, Tafsir Surah Al-Hujurat ayat13 https://risalahmuslim.id/quran/al-

hujurat/49-13/ diakses 4 Agustus 2019, 15:49 WITA 10Yaya Suryana, A.Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 333.

54

mengurai kasih sayang, etika dan sikap toleran sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.

2. Aqidah Dalam buku PAI di SMA, seperti dalam pembahasan materi tentang

iman kepada Allah yang didalamnya menjabarkan tentang sifat-sifat Allah dalam asmaul husna yang berkaitan dengan nilai multikultural, yaitu al-Hakim (Maha Bijaksana). 11 Sifat Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim bisa menjadi materi yang bernuansa multikultural karena sebagai manusia meski dalam perbedaan, harus tetap menolong dan berkasih sayang satu sama lain.

3. Akhlak Materi akhlak merupakan pembelajaran yang fleksibel ketika

diintegrasikan dengan konsep pendidikan multikultural karena titik fokusnya adalah selain perilaku manusia terhadap Sang Pencipta, Rasulullah, diri sendiri, sesama manusia serta lingkungan hidup. Sehingga materi perilaku atau akhlak terhadap sesama manusia harus mengandung nilai multikultur.

4. Fiqh Keadaan masyarakat Madinah pada saat Islam datang tidak jauh

berbeda dengan Indonesia yang multietnis, multikultur dan multiagama12 Untuk itu materi fiqih siyasah juga bisa menjelaskan konsep

rasulullah dalam mengelolah dan memimpin masyarakat Madinah yang multikultur tersebut.

5. Sejarah Kebudayaan Islam Materi sejarah kebudayaan Islam yang berdasarkan pada realitas sosial historis yaitu praktik interaksi sosial yang diterapkan rasulullah ketika membangun masyarakat Madinah yang multikultur dengan temuan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleransi. Bahkan terdapat piagam Madinah yang bisa menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan Islam telah mempraktikannya sejak awal.

B. Dimensi Knowlodege Construction Process dalam Pendidikan Multikultural dengan Pendidikan Islam di Indonesia

Dimensi ini terdiri dari tiga kata. Proses artinya runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu. Konstruksi berarti susunan (model, tata letak), suatu bangunan. Pengetahuan artinya segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).13 Dari pengertian

11Yaya Suryana, A.Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 342. 12Yaya Suryana, A.Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h. 342 13Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).

55

tersebut, maka proses konstruksi pengetahuan merupakan tahapan untuk mengembangkan susunan bangunan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelajaran.

The knowledge construction process consists of methods, activities, and questions used by teachers to help students to understand, investigate, and determine how implicit cultural assumptions, frames of reference, perspectives, and biases within a discipline influence the ways in which knowledge is constructed.14

James Banks menyebutkan bahwa dimensi proses konstruksi pengetahuan terdiri dari metode, kegiatan dan pertanyaan yang digunakan oleh pendidik untuk membantu peserta didik untuk memahami, menyelidiki dan menentukan implikasi budaya yang tersirat, referensi, perspektif dan prasangka dalam suatu disiplin yang mempengaruhi proses pembangunan pengetahuan.

Dalam dimensi ini, proses kontruksi dengan metode dan kegiatan yang membantu peserta didik memahami integritas pendidikan Islam dengan nilai pendidikan multikultural. Hal ini sejalan dengan pendekatan filosofis dalam memahami Islam.

Berikut hal penting yang perlu dipahami dengan gambaran beberapa persoalan yang berkaitan dengan agama dan budaya serta tatanan kehidupan sosial yang terjadi di sekolah:15

a. Gambaran Masalah 1: “beberapa bulan setelah kasus pemboman dua buah kafe di kota A.

Setelah membaca sebuah informasi di media, seorang pendidik berbicara dengan para peserta didik tentang kasus tersebut. Bercerita bahwa apa yang telah dilakukan oleh B dan beberap kawannya adalah bagian dari jihad dan menurut agama tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut karena para korban adalah orang kafir yang beragama C yang hanya bersenang-senang di kafe tersebut.”

Penjelasan pendidik yang seperti itu justru menyesatkan para peserta didik karena telah menanamkan sikap permusuhan dengan pemeluk agama C dan telah melegalkan tindakan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap individu atau kelompok agama lain. seorang pendidik tidak layak bersikap demikian. Seharusnya, pendidik harus

14James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h. 83-84. 15Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 58-59.

56

menjelaskan bahwa tindakan kekerasan tersebut tidak dibenarkan baik secara hukum maupun agama dan semua agama yang ada di dunia ini tidak mengajarkan melakukan kekerasan terhadap siapa saja termasuk kepada pemeluk agama lain. b. Gambaran Masalah 2:

“Seorang peserta didik Sekolah Menengah Atas merasa bingung ketika mengikuti mata pelajaran agama. Ia merasa selama ini hanya mempelajari dan menghafal “teks-teks” keagamaan dan tata cara melakukan kegiatan ritual keagamaan di sekolah. Merasa aneh dan muncul pertanyaan dalam benaknya mengapa pendidik tidak pernah membahas atau mendiskusikan hubungan agama dengan kenyataan hidup yang ada.”

Pertanyaan seperti ini sering ditemui terutama pada tingkat

perguruan tinggi. Kajian agama lebih bersentuhan langsung dengan persoalan faktual yang dihadapi masyarakat memang begitu dibutuhkan.

Dari gambaran masalah yang telah tertulis di atas maka perlunya proses konstruksi pengetahuan pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam di Indonesia menggunakan pendekatan filosofis.

Pada gambaran masalah pertama diindentifikasi tentang penanaman paham dan tindakan radikalisme agama. Pada hakikatnya, jelas bahwa agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan benar bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan terhadap manusia. Islam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang terkandung nilai multikultural dengan sikap toleran dan demokratis. Maka gambaran masalah pertama merupakan peluang yang perlu dikonstruksi oleh pendidik dalam rangka membangun pengetahuan pendidikan Islam yang berwawasan multikultural. Dengan kasus tersebut, pendidik perlu melakukan diskusi dengan peserta didik tentunya berdasarkan pada ajaran Islam yang mengarah pada perdamaian.

Gambaran masalah kedua juga perlu direkonstruksi dalam membangun pengetahuan tentang ajaran Islam, dengan melakukan kegiatan pembelajaran yang mengarah pada aksiologinya yaitu menuju kesejateraan umat dengan implikasi multikultur yang ada di Indonesia. Dengan berbagai metode, seperti memberikan stimulasi berupa pertanyaan dan pernyataan yang mengundang kekritisan para peserta didik tentang manfaat ajaran Islam dalam tatanan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Memahami ajaran Islam secara filosofis bermaksud agar hikmah, hakikat dari ajaran Islam bisa dipahami dan dimengerti secara saksama. Misalnya ketika membaca sejarah para Nabi, maka sejarah yang dipelajari

57

bukan sekedar menjadi hiburan atau bacaan semata melainkan mengambil makna filosofisnya. Yaitu hikmah dan inti dari sejarah para nabi dan maksud serta ajaran atau hikmah yang dapat diambil dalam sejarah tersebut. Sehingga pendidikan Islam tidak dipahami dari sisi formalistik saja, melainkan mampu mengejawantahkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.16

Dimensi ini relevan dengan penjelasan Descartes, bahwa banyak manfaat mengenal adat-istiadat pelbagai bangsa, agar dapat menilai budaya sendiri secara lebih wajar dan agar tidak berasumsi bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan diri sendiri adalah konyol atau berlawanan dengan nalar, seperti anggapan orang ynag tidak pernah mengenal negara lain. Namun, bila terlalu banyak waktu digunakan untuk berkelana, seseorang akan menjadi asing di negerinya sendiri. Bila seseorang terlalu asyik mempelajari berbagai hal yang menjadi kebiasaan di masa lalu, ia akan menjadi asing terhadap kebiasaan zamannya sendiri.17

Penjelasan Descartes tersebut dapat dijadikan bagian dari proses konstruksi pengetahuan yang berdasarkan pada proses mempelajari perbagai budaya bangsa atau orang lain untuk membentuk kesadaran diri sebagai manusia muslim Indonesia yang multikultur.

Proses konstruksi pendidikan Islam ini terdapat dua jalan dalam memperolehnya yaitu melalui wahyu (kitab) dan akal (hikmah).18

Dapat dilihat dari QS. Ali Imran ayat 164:

ن وال م س م ر یھ عث ف ذ ب ین إ ن م ؤ م ل لى ا ع ن ا� د م ق لاب ت ك ل م ا ھ م ل ع ی م و یھ ك ز ی ات و م آی ھ ی ل و ع ل ت م ی ھ س ف ن أ

بي ن ل م ال في ض ل ل ب ن ق وا م ان ن ك إ ة و م ك ح ال وTerjemahnya:

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164).19

16 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali Pers, 2014), h. 43-45. 17Rene Descartes, Diskursus dan Metode (Discourse on Method), diterjemahkan oleh

Ahmad Faridl Ma’ruf, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h.28. 18Aan Rukmana, Seyyed Hossein Nasr, (Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h.3. 19Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,h.71.

58

Ashgar Ali Engineer menyebutkan bahwa masyarakat awam menganggap bahwa agama tidak lebih dari pelaksanaan ritual tertentu yang telah ditetapkan dan harus diyakini dalam berbagai dogma tertentu diformulasikan oleh para intelektual. Barang siapa yang tidak menjalankan ritual atau mempersoalkan dogma tersebut maka ia adalah orang yang berhak mendapat hukuman. Selanjutnya melihat masyarakat di semenanjung Arab adalah sebuah wilayah yang berada dalam gelapan pada banyak hal. Wilayah lainnya membanggakan Ansab atau silsilah keluarga. Kemuliaan para nenek moyang merupakan sesuatu yang penting daripada diri sendiri. Islam mengubah hal tersebut, mengadakan revolusi secara menyeluruh terhadap paradigma orang Arab kemudian meneruskannya ke selulruh wilayah yang dikuasai bangsa Arab. Sehingga Asghar Ali Engineer menyatakan perlunya rekonstruksi pemikiran Islam. Karena pada masa awal Islam, perubahan tidak dianggap sebagai sebuah dosa. Al-Qur’an menaruh perhatian besar terhadap ilmu dan amal (pengetahuan dan perbuatan).20

Ilmu pengetahuan merupakan instrumen untuk mendapatkan berbagai tanda kebesaran Allah. Karena ilmu pengetahuan adalah sarana pencarian jejak ilahi, maka seluruh orientasi dari ilmu pengetahuan berfungsi untuk mendekatkan manusia menuju pusat kebenaran. Maka alih-alih menjauhkan manusia dari kebenaran, bahkan menjadikan kebenaran itu sendiri lebih akrab dan berada langsung dalam kehidupan sehari-hari.21

Pendapat Seyyed Hossein Nasr tersebut pada hakikatnya yaitu ilmu pengetahuan terbangun dari kebenaran yang manusia rasakan dalm tatanan kehidupan itu sendiri sebagai tanda kekuasaan Allah SWT. Sehingga construction knowledge proses merupakan dimensi yang tepat dalam membangun pengetahuan Islam yang mengandung nilai multikultural di Indonesia karena instrumen dalam menguatkan bangunan pengetahuan adalah kondisi kehidupan masyarakat itu sendiri yang berimplikasi pada berbagai budaya, suku, bangsa dan kelompok.

Islam sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari negara Indonesia yang multikultural, tentu memiliki kewajiban membangun pemahaman yang ideal sejalan dengan misinya agama rahmatan lil ‘alamin meski dalam tatanan kehidupan yang berbeda namun tidak bertentangan dengan kedua konsep tersebut.

20Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, diterjemahkan oleh Tim FORSTUDIA, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2004). H.66-69 21 Aan Rukmana, Seyyed Hossein Nasr, (Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h.6-7.

59

C. Dimensi Prejudice Reduction dalam Pendidikan Multikultural dengan Pendidikan Islam di Indonesia

Definisi klasik pertama kali dikemukakan oleh Gordon Allport, seorang psikolog dari Harvard University, yaitu berasal dari praedajudicium yang berarti pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap kelompok tertentu maupun orang sebagai anggota kelompok tertentu. Manurut Allport, prasangka merupakan antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes, dapat dirasakan dan dinyatakan. Antipati bisa langsung ditujukan pada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. Sejalan dengan pandangan John, menurutnya prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.22

Menurut Worchel, pengertian prasangka dibatasi pada sifat negatif terhadap suatu kelompok atau individu dari kelompok lain adalah tidak dibenarkan. Ini merupakan perilaku negatif terhadap kelompok atau individualis yang berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang suatu kelompok. Sikap ini juga didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional dan mudah sekali menjadi faktor pemicu ledakan sosial.23

Prasangka berakibat pada perpecahan. Oleh karena itu, dalam dimensi pendidikan multikultural perlu adanya pengurangan terhadap sikap negatif dan bersifat emosional.

Dalam bukunya Educating Citizens in a Multicultural Society, James Banks mengemukakan:

The prejudice reduction dimensions describes the character of students racial attitudes and strategies that teachers can use to help them to develop more democratic values and attitudes.24

Dalam tatanan kehidupan masyarakat yang beranekaragam, perbedaan hadir dengan dua sisi berbeda. Disatu sisi sebagai anugerah dan sisi lainnya sebagai pemicu konflik dan perpecahan.

22Samsi Pomalingo, Pendidikan Multikultrural, (Gorontalo: Manarul Ilmi, 2013), h.71. 23Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2015), h.55. 24James A. Banks, Educating Citizens In a Multicultural Society, (New York: Teachers

College Press, 2007), h.84.

60

Dimensi pengurangan prasangka menggambarkan karakter dari pernyataan dan strategi rasial yang digunakan para pendidik untuk membantu peserta didik mengembangkan nilai dan sikap yang demokratis.

Choirul Mahfud mendefinisikan pengurangan prasangka (prejudice reduction) yakni mengidentifikasi karateristik ras peserta didik kemudian pendidik menentukan metode pengajaran dan melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan peserta didik dari ras dan etnis yang berbeda dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.25

Terkait dengan dimensi pengurangan prasangka, James Banks mendefinisikan pendidikan multikultural merupakan serangkaian kepercayaan (self of beliefs) dan penjelasan yang mengakui serta menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, ataupun negara.26

Azyumardi Azra berpendapat bahwa pendidikan multikultural adalah pengganti dari pendidikan interkultural dengan harapan mampu menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan suatu kelompok individu, seperti toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, serta subjek lainnya yang relevan.27

Komunikasi antarbudaya maupun antaragama atau antar kelompok yang mindful akan meminimalisir atau mengurangi prasangka karena komunikasi akan menjadi sebuah upaya untuk berinteraksi dengan individu yang berbeda akan tercapai jika keduanya dapat mengatasi kecemasan dan ketidakpastian yang akan dihadapi berdasarkan individu yang ditemui. Upaya ini perlu dilakukan secara terbuka dan fleksibel sehingga tidak menimbulkan prasangka yang tentu memicu konflik dan bertentangan denga konsep pengurangan prasangka dalam pendidikan Islam yang berakar pada fenomena multikultur Indonesia.

Dalam gagasan psikologi humanistik, pemahaman antarpribadi terjadi melalui pengungkapan diri, umpan balik dan kepekaan terhadap pengungkapan diri orang lain. kesalahpahaman dan ketidakpuasan dalam suatu jalinan antarpribadi diakibatkan oleh ketidakjujuran, ketidakselarasan

25Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.169-

170. 26Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, (Bandung: Pustaka Setia, 2015),

h.196. 27Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, h.197.

61

antara tindakan dan perasaan, umpan balik yang terbatas serta terhambatnya pengungkapan diri.28

Membangun kepercayaan dengan sikap peduli dan mau mengerti antara satu sama lain yang berbeda kebudayaan dan keagamaan dalam penerapan dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction) merupakan upaya integrasi pendidikan multikultural dan pendidikan Islam di Indonesia. Seperti dalam QS. Al-Hujurat ayat 12:

ن ◌ ن الظ ا م یر ث وا ك ب ن ت وا اج ن ین آم ذ ا ال ا ی ھ ی أ

م ك ض ع ب ب ت غ ال ی وا و س س ج ال ت م و ث ن إ إن بع ض الظقوا ات ا و ت ی یھ م خ م أ ح ل ل ك أ ن ی م أ ك د ح ب أ ح ی ا أ ض ع ◌ ب

یم ح اب ر و ت إن ا� ا� ◌ Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwa kepada Allah, sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat: 12).29 Al-Qur’an menekankan pentingnya saling percaya, pengertian dan

sikap toleransi terhadap orang lain serta menjauhi prasangka buruk serta mencari kesalahan orang lain. Pada dasarnya prasangka merupakan salah satu pemicu konflik dalam perbedaan.

Indonesia sebagai negara yang plural dan multikultural mengajari warga negaranya bersikap toleran sesuai dengan ajaran Pancasila yang tentunya sejalan dengan ajaran Islam dalam dimensi prejudice reduction atau mengurangi prasangka terhadap kelompok lain. Selanjutnya salah satu tokoh kyai, budayawan, politisi, penulis dan juga Guru Bangsa yang semasa hidupnya selalu mengajarkan kepada seluruh umat di bangsa ini agar selalu menjunjung tinggi nilai Kemanusiaan, Ke-Islam-an dan Ke-Indonesia-an, dalam tulisannya berjudul Intelektual di Tengah Eksklusifisme memaparkan:

28Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2005), h.65. 29Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.517.

62

“... saya membaca, menguasai, menerapkan Al-Qur’an, al-Hadits, dan kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok sesuai hati nurani. Saya tidak memedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau benar kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara soal penafsiran bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.”30 Dalam hal ini, toleransi yang diajarkan dan dipraktikkan Gus Dur

yaitu tidak hanya menghargai keyakinan dan pendirian orang lain yang berasal dari dari agama lain, tetapi juga menerima ajaran yang baik dari agama lain. karena sesungguhnya seluruh agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian.

Islam di Indonesia yang toleran dan moderat bisa menjadi model yang mampu mengubah pandangan negatif negara Barat terhadap Islam selama ini. oleh karena itu, Islam Indonesia yang fleksibel dengan budaya lokal perlu diperkenalkan ke dunia Internasional.

Masih dalam revitalisasi sikap toleransi dalam masyarakat multikultur di Indonesia. Tasamuh atau toleran yaitu begitu besar dalam pluralitas pemikiran serta dalam hal diskursus sosial-budaya yang telah berkembang di masyarakat. Sikap toleran memberikan nuansa khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan dalam lingkup yang lebih universal.31

Dengan sikap saling menghargai juga sikap demokratis yang merupakan ajaran Islam sebagai upaya bisa dapat meminamilisir potensi konflik dalam masyarakat multikultural yang terjadi dari percikan prasangka satu dengan yang lain

Sikap saling menghargai harus menjadi bahasa bersama untuk membangun masyarakat multikultural. Sikap yang perlu diutamakan dalam tatanan masyarakat ini tidak sekedar berkonotasi pada tuntutan akan penghargaan orang lain, namun juga menjadi refleksi yang dilakukan terhadap perilaku budaya sendiri, yang seringkali justru membuat tidak pantas untuk dihargai. Banyak yang menuntut untuk dihargai, padahal sebenarnya perilaku senidri tidak cukup berbobot untuk mendapatkan

30Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebhinekaan, (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2017), h. 200 31Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahlussunnah wa al-

Jamaah, (Surabaya: Khalista, 2010), h.64-65.

63

penghargaan. Ini menjadi siklus yang terus berjalan karena akan berdampak pada tindakan lebih lanjut, yang cenderung tidak menghargai sehingga orang lain justru semakin tenggalam dalam tindakan yang tidak menghargai dan akibatnya orang lain juga semakin tidak menghargainya.32

Selain menanamkan sikap toleransi, kasih sayang dan etika Islam merupakan hal penting dalam dimensi pengurangan prasangka. Islam adalah agama yang damai dan penuh nuansa kasih sayang serta ajaran yang berlandaskan pada etika.

Konsep kasih sayang dalam Islam adalah nilai penting yang harus ditransformasikan dalam dunia pendidikan Islam dengan integrasi dimensi pengurangan prasangka sebagai representatif agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam dan mengandung nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Kasih sayang juga dapat diurai menjadi kerendahan hati.

Kerendahan hati bisa menjadi bahasa bersama. Makna rendah hati tentu berbeda dengan makna rendah diri. Menyadari bahwa manusia memiliki kelebihan dan kekurangan serta kemampuan dan keterbatasan adalah orang yang rendah hati. Sedangkan makna rendah diri adalah orang yang pesimis, menganggap bahwa dirinya sepenuhnya hanya memiliki kekurangan tanpa melihat kelebihannya.33 Dengan menyadari bahwa manusia memiliki keterbatasan dan kemampuan serta kekurangan dan kelebihan, maka sesama manusia harus saling membantu dan memberi manfaat dan menebar kasih sayang sebagai jalan menuju perdamaian dunia.

Dengan kasih sayang yang ditekankan dalam integrasi pendidikan multikultural dan pendidikan Islam, maka membawa pada rasa persaudaraan yang tinggi tanpa memandang suku, agama, budaya, gender, strata sosial dan bahkan dapat meredam konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Dalam sejarah, awal kemunculan pendidikan Islam yang sejalan dengan munculnya Islam, Nabi Muhammad SAW., sebagai rasulullah yang membawa agama Islam telah memberi pengajaran kepada para sahabat untuk menghormati pemeluk agama lain.34 Ini mengungkapkan keselarasan atau keterkaitan antara pendidikan Islam dan pendidikan multikultural dalam mewujudkan tujuan keduanya.

32Benyamin Molan, Multikulturalisme: Cara membangun Hidup Bersama yang Stabil dan

Dinamis, (Jakarta: Indeks, 2015), h.76. 33Benyamin Molan, Multikulturalisme: Cara Membangun Hidup Bersama yang Stabil dan

Dinamis, h. 79. 34Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebhinekaan, (Jakarta: Elex Media

Komputindo), h.165.

64

Pada surat Al-Fatihah ayat menyebutkan kata arrahmaan arrahiim. Pada ayat yang pertama sangat memperhatikan sense kasih tuhan yang dideskripsikan dengan Allah sebagai rabb alamin. Konsep rabb sendiri bersandar pada kemurahan dan kasih-Nya pada segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Pada kenyataannya, rahmah sangat utama dalam eksistensi Allah yang mencakup segala hal yang ada di alam semesta ini.35

Etika sebagai salah satu ajaran Islam juga berlaku dalam tatanan hidup masyarakat Indonesia yang memiliki etika dan norma budaya dan agama maka menjadi penting untuk membahasnya, etika bisa mencakup seluruh agama. Karena pada dasarnya, semua agama mengajarkan etika dengan ciri khas agama itu sendiri begitupun dengan budaya yang ada di bangsa ini.

Secara umum, etika tentunya membawa pada keteraturan dalam melaksanakan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Tanpa etika, baik etika religius maupun etika bernegara adalah untuk menciptakan keteraturan dalam sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Tanpa adanya moralitas dalam diri seorang penganut agama ataupun seorang warga masyarakat, maka akan menimbulkan kerugian baik untuk diri sendiri, orang lain, suatu kelompok masyarakat, suku, agama dan bahkan negara.

Kebenaran dalam ilmu etis, khususnya agama memiliki dimensi moral atau ideologis yang tidak perlu diuji. Aspek moral atau kebenaran agama inilah yang membedakan antara agama dengan ilmu. Betapapun, akan dipahami bahwa kebenaran tidak bertolak belakang dengan fakta empiris. Semua orang dapat mengatakan sebuah kebenaran dalam wacana moralitas dan keagamaan bukan hanya yang sesuai dengan fakta, karena kebenaran itu melampaui kenyataan. D. Dimensi Equity Pedagogy dalam Pendidikan Multikultural dengan

Pendidikan Islam di Indonesia

Nuansa keberagaman di Indonesia tidak boleh menjadi penghalang maju dan berkembangnya bangsa ini. Perbedaan yang lahir sebagai anugerah perlu diasah sedemikian rupa dengan memperhatikan kebutuhan individu sesuai dengan potensi juga latar belakang budaya dan agama seorang peserta didik.

35Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). h. 200

65

Dimensi kesetaraan pedagogi (equity Pedagogy) James Banks:

An equity pedagogy exist when teacher modify their teaching in ways that will facilitate the academic achievement of students from diverse racial, cultural, ethnic, and gender groups.36 Kesetaraan pedagogi (equitypedagogy) merupakan metode

pendidik dalam memfasilitasi prestasi akademik peserta didik dari berbagai ras, budaya, etnis dan gender.

Secara operasional,pada dasarnya pendidikan multikultural adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar jamak bagi peserta didik (multiple learning enviroments) dan yang sesuai dengan kebutuhan akademis ataupun sosial.37

Untuk itu dalam dimensi yang dimaksud, kesetaraan pedagogi mengacu pada bagaimana pendidik mampu mengidentifikasi latar belakang peserta didik untuk mengetahui kebutuhan akademik dan sosial dalam rangka penerapan pendidikan multikultural demi memaksimalkan prestasinya.

Dimensi kesetaraan pedagogi memiliki tujuan untuk memotivasi dalam proses belajar. Dengan fasilitas yang sesuai dengan latar belakang budaya maupun agama, mampu memicu ketertarikan dan memotivasi peserta didik dalam mengeksplorasi pengetahuan.

Instrumen yang perlu dilakukan pada dimensi ini yaitu pendekatan psikologis dan pendekatan kultural. Pendekatan psikologis berusaha memperhatikan situasi psikologis peserta didik sebagai personal yang mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Dengan melihat kecenderungan dan potensi peserta didik, maka pendidik mampu menentukan metode pembelajaran yang cocok untuknya. Ini tidak mudah, maka pendidik harus mengasah kemampuan membaca keunikan setiap peserta didik. Selanjutnya pendekatan kultural yang menitikberatkan pada autentisitas dan tradisi yang berkembang. Peserta didik dibantu agar bisa membedakan antara tradisi autentik dan yang bukan. Atau peserta didik harus mampu membedakan antara tradisi Arab dan tradisi yang mengandung ajaran Islam. Pendekatan ini memungkinkan melihat secara kritis, karena konsekuensi dari pemahaman akan melahirkan keyakinan yang berbeda pula.38

36James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers

College Press, 2007), h. 84. 37Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.

198. 38Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebhinekaan, (Jakarta: Elex Media

Komputindo), h.106-107.

66

Keadilan dan keberadaban adalah faktor penunjang dimensi kesetaraan pedagogi dalam pendidikan Islam. Konsep keadilan harus didampingi oleh keberadaban dalam tatanan masyarakat multikultur. Keadilan yang berlebihan cenderung menjadi balas dendam yang tak berkesudahan. Sedangkan keberadaban hadir untuk membuat tuntutan keadilan manjadi manusiawi dan berbudaya. Makhluk yang berbudaya dan beradab hanyalah manusia. Orang yang hanya menuntut keadilan tanpa membangun sikap beradab cenderung menjadi tidak tenang dan terus berkecamuk dalam rasa dendam. Sedangkan orang yang terlalu beradab akan menjadi korban manipulasi, sikap yang mudah memaafkan tanpa pernah menuntut keadilan akan mudah diremehkan.39 Maka keduanya harus terus saling berdampingan dan mengisi satu sama lain sehingga dimensi kesetaraan pengetahuan terintegrasi dalam pendidikan Islam.

Al-Qur’an memberikan perhatian besar terhadap konsep keadilan yang menjadi pusat nilai dalam etika Islam. Al-Qur’an menyatakan: Berlakulah adil karena hal itu lebih dekat kepada ketakwaan (QS. Al-Maidah ayat 8). Dalam Islam mustahil konsep ketakwaan tanpa bersikap adil. Lawan dari keadilan yaitu dhulm (penindasan). Terma dhulm berasal dari akar kata dhalama yang mencakup pengertian melakukan kesalahan, ketidak-adilan, kegelapan, ketidakseimbangan, penindasan dan lain-lain. Al-Qur’an selalu menggunakan nuansa perbuatan yang salah dan penindasan pada terma tersebut.40

Sebagai seorang pendidik dalam memaksimalkan upaya kesetaraan pedagogi. Pendidik harus cekatan dalam melihat latar belakang dan karakter peserta didik yang multikultur sehingga mampu memfasilitasi dan membantunya dalam proses belajar pendidikan Islam. Misalnya dalam materi Islam masuk di Indonesia, seorang pendidik memberikan tugas untuk mengidentifikasi sejarah masuknya Islam di daerah masing-masing peserta didik mengeksplorasi tantangan Islam masuk di daerah tersebut serta bagaimana akulturasi budaya setempat dengan ajaran Islam. Kemudian memberi kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menceritakannya di depan kelas sehingga disamping berbagi pengetahuan dan hikmah proses masuknya Islam di Indonesia, peserta didik juga saling bertukar informasi dan wawasan tentang kebudayaan lainnya.

Dalam klasifikasi potensi peserta didik berekspresi dalam beragama juga bisa dilakukan. Misalnya ada yang senang berceramah, tilawah, Khotbah dan lain-lain, maka seorang pendidik harus mampu

39Benyamin Molan, Multikulturalisme: Cara Membangun Hidup Bersama yang Stabil dan

Dinamis, (Jakarta: Indeks, 2015), h.78. 40Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). h. 246.

67

memfasilitasinya dengan baik dalam bentuk pengajaran maupun pengadaan buku pedoman dari pihak sekolah untuk memaksimalkan potensi peserta didik berdasarkan karakteristik masing-masing.

Sebagai masyarakat majemuk, maka kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses belajar peserta didik menjadi manusia yang demokratis, pluralis, humanis dan menekankan pada penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Yakni tidak hanya sekedar cerdan secara intelektual, namun harus bermoral dan beretika, dapat hidup dalam masyarakat demokratis dan menghormati hak orang lain.41

Prinsip penyusunan program dalam pendidikan multikultural salah satunya didasarkan pada pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui hak asasi manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup berdasarkan kebudayaannya sendiri. Ada kesetaraan individu, antarindividu, antarbudaya, antarbangsa dan antaragama. Pedagogik kesetaraan berpangkal pada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia (dignity of human).42

Menurut Hamid Hasan dalam mencapai tujuan kurikulum ideal, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru.

Pendekatan aditif tingkat SD kelas atas dan tingkat SMP, seperti: Melengkapi perpustakaan dengan buku cerita rakyat dari berbagai daerah dan negara lain: (a) Membuat modul pendidikan multikultural sebagai suplemen materi pelajaran lain. (b) Memutarkan CD tentang kehidupan di pedesaan, perkotaan, dari daerah dan negara yang berbeda. (c) Meminta peserta didik memiliki teman korespondensi/e-mail/facebook atau sahabat dengan peserta didik yang berbeda daerah, negara atau latar belakang lainnya, (d) Menceritakan pengetahuan dan pengalaman pendidik tentang materi di daerah atau negara lain. (e) Mengintegrasikan nilai multikultural dan menerapkannya di kelas.43

Semua itu dilakukan untuk menanamkan pengetahuan yang luas bagi peserta didik. Rasa ketertarikan akan keragaman yang diperoleh dalam kelas akan memotivasi untuk tahu lebih banyak dengan membaca, melihat di internet, berkunjung, bertanya kepada orang yang lebih tahu.44

41Ngainum Naim, Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2017), h. 5 42Samsi Pomalingo, Pendidikan Multikultural, (Gorontalo: Manarul Ilmi, 2013), h. 107. 43Ngainum Naim, Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2017), h. 189. 44Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.

214.

68

Sebagai masyarakat muslim Indonesia, tentu tujuan pelaksanaan integrasi pendidikan multikultural dan pendidikan Islam ber landaskan pada Peraturan Pemeritah RI Nomor 55 Tahun 2007, Bab II tentang Pendidikan Agama, Pasal 2 ayat (1), “pendidikan agama memiliki fungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian serta kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama.45

Meskipun dalam regulasi di atas hanya mencakup fungsi agama secara umum namun memiliki relasi dengan tujuan pendidikan Islam dimana membangun dan menjalin hubungan transedental dengan Allah Swt., yang dalam fungsi pendidikan secara umum disebutkan untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didalam Islam yakni Allah Swt. kemudian membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia yang dalam fungsi pendidikan secara umum adalah mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama demi terciptanya lingkungan hidup yang tentram, indah dan bersih.

E. Dimensi Empowering School Culture and Social Structure dalam Pendidikan Multikultural dengan Pendidikan Islam di Indonesia

Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. James Banks menyebutkan: Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowring school culture and social structure) ini merupakan sebuah konseptualisasi menjadikan sekolah sebagai sistem sosial yang kompleks. Beberapa dimensi sebelumnya berhubungan dengan dimensi ini.

An empowering school culture and social structure conceptualized the school as a complex social system, whereas the other dimensions deal with particular dimensions of a school or educational setting.46 Empowering school culture and social structure, adalah membangun

budaya komunitas yang toleran serta inklusif yang memungkinkan peserta didik berasal dari kelompok ras, suku, gender, serta budaya yang berbeda, mengalami kesederajatan pendidikan dan memiliki status yang sama.

45Kumpulan Undang-Undang Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007) hal 229. 46 James A. Banks, “Educating Citizens In a Multicultural Society”, (New York: Teachers College Press, 2007), h. 83.

69

Tradisi, budaya, kurikulum, materi pengajaran serta lingkungan pendidikan perlu direkonstruksi dan ditransformasi termasuk sikap, keyakinan, tindakan, penilaian, serta gaya dan strategi mengajar pendidik.47

Peran sekolah begitu penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua agama. Maka, sekolah harus memperhatikan, pertama sekolah perlu membuat undang-undang atau peraturan lokal. Poin penting yang perlu dicantumkan dalam aturan tersebut adalah larangan terhadap segala bentuk diskriminasi agama dan harus ditaati seluruh warga sekolah sebagai pembelajaran untuk selalu menghargai orang lain meski berbeda agama di lingkungan mereka. Kedua, dalam membangun rasa saling pengertian antara peserta didik maka sekolah harus berperan aktif mengadakan dialog keagamaan atau dialog antariman yang tentunya tetap dalam bimbingan pendidik dalam sekolah tersebut.48

Pendapat Ainul Yaqin lebih mengarah pada konsep penanaman nilai toleransi dang rasa saling pengertian yang hanya menitik fokuskan pada multiagama. Sedangkan konsep James Banks tidak hanya terbatas pada multiagama namun juga multi budaya sebagai pemberdayaan budaya sekolah yang kompleks.

Dalam konsep struktur politik masyarakat multikultural, Bhikhu Parekh menyebutkan model proseduralis yaitu perbedaan moral dan budaya yang sangat signifikan pada masyarakat multikultur tidak dapat diselesaikan secara rasional, dan satu-satunya perhatian kita adalah menjamin perdamaian dan kestabilan. Untuk menjamin perdamaian dan kestabilan tersebut, diperlukan sebuah negara yang secara garis besar formal dan netral, yang memberlakukan peraturan-peraturan umum tentang perilaku, yang menjadi pegangan bagi warganya untuk tetap merasa bebas menjalani kehidupan pribadi yang mereka pilih.49

Jika Bhikhu Parekh mengangkat konsep proseduralis yang menyatakan bahwa perlunya negara formal dan netral, maka Banks memberdayakan budaya sekolah dan struktur sosial di sekolah seperti pada tingkatan negara.

Keanekaragaman bukanlah hal yang tabu dalam masyarakat Indonesia. Perbedaan yang tercipta adalah rahmat Tuhan. Meski begitu, perbedaan kerapkali menjadi pemicu pertentangan antar kelompok. Tidak hanya mengesampingkan nilai toleransi, bahkan nilai kemanusiaan

47Dafid Leda Lede, Teori Pendidikan Multikultural Menurut James A. Banks

http://dafid08.blogspot.com/2017/07/teori-pendidikan-multikultural-menurut.html?m=1 48Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 63. 49Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism,Keberagaman Budaya dan Teori Politik.

diterjemahkan oleh Bambang Kukuh Adi. (Yogyakarta: Kansius, 2008). h.267.

70

terkadang tak lagi dipandang diakibatkan oleh fanatik suku, agama, budaya atau strata sosial. Maka, seorang guru harus mampu menanamkan nilai pendidikan multikultural secara substansial untuk dipahami dan diyakini serta menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat multikultur dengan memelihara dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan demi tercapainya perdamaian.

Pentingnya penerapan dimensi pendidikan multikultural sebagai konsep, gerakan transformasi lembaga pendidikan bahkan proses yang harus berkelanjutan dalam pelaksanaannya. Untuk itu, perlu mengetahui lebih awal karakteristik peserta didik memiliki kecenderungan yang berbeda sesuai dengan latar belakang suku, ras, etnik, budaya, gender dan strata sosial sehingga seorang pendidik harus mampu memahami perbedaan itu dan mampu memberikan stimulasi sesuai dengan kecenderungan masing-masing peserta didik.

Banks juga mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural dalam kurikulum maupun pembelajaran di sekolah, yakni:

a. Pendekatan kontribusi (the contributions approach), merupakan fase awal dari gerakan kebangkitan etnis. Ciri-cirinya adalah mengintegrasikan berbagai budaya dalam pelajaran yang sesuai dengan nilai multikultural.

b. Pendekatan aditif (aditif approach), pendekatan ini dilakukan dengan pengkayaan materi, konsep, tema, perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karakteristik dasarnya.

c. Pendekatan transformasi (the tnasformation approach), ini mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi dasar peserta didik dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama yang mungkin dipaparkan dalam materi pembelajaran dan peserta didik boleh memandang dari perspektif yang lain.

d. Pendekatan aksi sosial (the social action approach) mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi dengan tambahan komponen yang mempersyaratkan peserta didik yang membuat aksi sosial yang terkait dalam konsep, isu atau masalah yang dipelajari. Tujuannya yaitu mendidik peserta didik melakukan kritik sosial dan mengajarkan keterampilan mengambil keputusan untuk memperkuat dan membantu menjadikan peserta didik menjadi

71

kritikus sosial yang reflektif dan partisipan terlatih dalam melakukan perubahan sosial.50 Menurut Ainul Yaqin, timbulnya kesenjangan sosial yang sangat

dalam antara kelompok masyarakat yang kaya dan miskin di Indonesia, dalam kesangsian merupakan akibat dari perbuatan para generasi pendahulu (pemerintah), atau juga bisa perbuatan generasi sekarang (pemerintah sekarang). Untuk mencari bukti tentang kuatnya pendapat ini dengan melihat banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme yag terjadi sejak era Orde Baru hingga era Reformasi merupakan bukti yang tidak bisa diingkari.51

Pendapat ini terasa sempit untuk dikaji. Namun, dalam Islam telah dijelaskan bahwa yang membedakan manusia hanyalah taqwa dan saling menyalahkan dan berprasangka juga dilarang dalam Islam. Maka perlu ada sosialisasi kebijakan dan peraturan pemerintah yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai masyarakat yang hidup di Indonesia yang majemuk dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bentuk pemberdayaan budaya kampus dan struktur sosial yang berintegrasi dengan pendidikan Islam.

Dalam pengimplementasian dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial dengan diulas dengan integrasinya dengan pendidikan Islam. Misalnya dalam materi tentang toleransi dan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Selain dibuat peraturan sekolah yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang harus ditaati oleh seluruh warga sekolah tanpa memandang tingkat atau jabatannya, sekolah juga perlu mengadakan event keagamaan dan kebudayaan yang melibatkan peserta didik secara langsung dalam mengekspor berbagai warna dan anegurah yang ada di Indonesia. Peserta didik dan pendidik yang menggelar event tersebut bisa mengundang peserta didik maupun pendidik dari sekolah lain bahkan bisa melibatkan partisipasi aktif orang tua peserta didik. Sehingga integrasi pendidikan Islam dalam dimensi pendidikan multikultural ini dapat memberi nilai tambah bagi seluruh pihak.

Itulah integrasi lima dimensi pokok pendidikan Multikultural James Banks dengan Pendidikan Islam di Indonesia yang berisi tentang upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam yaitu menjadi Insan kamil yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual dengan instrumen yang terarah menuju sekolah dan masyarakat sosial dengan nilai demokratis, pluralis, humanis dan toleran dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

50Yaya Suryana, A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural¸(Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.

211-212. 51Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 145-146.

72

berdasarkan Pancasila dengan konstitusi UUD 1945 serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengarah pada perdamaian dunia.

Dengan pengintegrasian konsep pendidikan multikultural James A. Banks dengan pendidikan Islam, akan membantu para pendidik dan peserta didik menjadi warga negara yang mampu mengimplementasikan nilai luhur agama dan budaya menjadi penawar berbagai paham maupun tindakan radikalisme yang mengatasnamakan agama serta mengikis habis berbagai macam pemicu konflik mengatasnamakan perbedaan ras, suku, bangsa, budaya, agama dan gender yang berujung pada disintegrasi agama. Sehingga, perlu dan penting untuk menerapkan konsep pendidikan Multikultural pemikiran James A. Banks sebagai sarana atau instrumen dan metode dalam berbagai mata pelajaran khususnya Pendidikan Islam yang ada di Indonesia bahkan menyiratkan nilai pendidikan multikultural dalam budaya sekolah hingga dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai sinergi dalam menjaga perdamaian dan keutuhan bangsa dalam tatanan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

73

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang diuraikan dari bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan:

1. Integrasi dimensi content Integration dalam pendidikan multikultural dan pendidikan Islam di Indonesia mengarah pada materi pendidikan Islam seperti Al-Qur’an Hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqh dan Sejarah Kebudayan Islam yang diilustrasikan dengan berbagai kebudayaan dan keagamaan yang ada di Indonesia untuk kompleksitas dalam sebuah pemahaman dan penghayatan pengetahuan.

2. Integrasi dimensi construction knowledge process dalam pendidikan multikultural dan pendidikan Islam di Indonesia yaitu upaya membangun pengetahuan pendidikan Islam yang komprehensif dengan implikasi budaya dan latar belakang peserta didik sehingga ajaran Islam dan konsep multikultural tidak hanya menjadi pemahaman tanpa pengamalan atau pengamalan tanpa pemahaman. Karena proses konstruksi pengetahuan harus berdasar pada ilmu pengetahuan dan amal perbuatan.

3. Integrasi dimensi prejudice reduction dalam pendidikan multikultural dan pendidikan Islam di Indonesia perlu menanamkan sikap toleran, etika dan kasih sayang untuk mengurangi prasangka yang seringkali menjadi pemicu konflik antara satu sama lain dan Al-Qur’an melarang manusia berprasangka dan mencari kesalahan manusia lain.

4. Integrasi dimensi equity pedagogy dalam pendidikan multikultural dan pendidikan Islam di Indonesia dengan mempelajari latar belakang budaya, agama dan karakteristik peserta didik dalam melihat potensi dan kebutuhannya dalam belajar. Dalam kegiatan keagamaan, peserta didik memiliki kecenderungan yang berbeda sesuai dengan latar belakang budaya dan karakternya misalnya lomba dakwah, adzan, tilawah atau kaligrafi sehingga pendidik dan sekolah harus mampu memfasilitasi kebutuhannya demi mengasah potensi dan memaksimalkan prestasi peserta didik dengan nilai plus memahami nilai pendidikan multikultural.

5. Integrasi dimensi empowering school culture dan social structure dalam pendidikan multikultural dan pendidikan Islam di Indonesia berupa pembuatan peraturan sekolah yang menjunjung tinggi nilai

74

kemanusiaan dan berlaku untuk semua warga sekolah tanpa memandang tingkat dan jabatan, membuat event keagamaan dan kebudayaan serta peserta didik wajib berpartisapasi dalam event tersebut bahkan bisa melibatkan orang tua sehingga tidak hanya peserta didik yang mengeksplorasi nilai agama dan budaya dari berbagai daerah dan keyakinan. Tujuannya adalah memperluas wawasan tentang budaya dan agama di Indonesia dengan tetap rukun dan damai dalam bingkai NKRI dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semoboyan bangsa Indonesia.

B. SARAN

Dari pembahasan sampai pada kesimpulan, ada beberapa saran untuk semua pihak yang masih peduli dengan pendidikan terutama pendidikan yang mengarah pada perdamaian yang berlandaskan pada pendidikan Islam dan pendidikan multikultural, diantaranya:

1. Pemerintah hendaknya senantiasa memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan bidang pendidikan. Proses pendidikan yang dilakukan dengan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai batu loncatan mencapai tujuan nasional negara Indonesia. Pendidikan Islam dan pendidikan multikultural merupakan instrumen menuju perwujudan tujuan bangsa perlu diperhatikan dan diberi ruang yang tepat untuk penerapannya.

2. Masyarakat perlu belajar, memahami, mendalami dan melihat potensi pendidikan Islam sebagai wawasan kebangsaan untuk kemajuan agama dan bangsa. Dari pemahaman yang utuh maka akan lahir spirit untuk mendukung pendidikan Islam sebagai wawasan kebangsaan.

3. Lembaga pendidikan, pakar pendidikan dan pelaksana pendidikan hendaknya melihat konsep dan metode pendidikan Islam sebagai wawasan kebangsaan dengan basis multikultural sehingga secara utuh mampu merumuskan dan bekerja sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan jati diri yang harus terus dijaga untuk melanggengkan integritas dan perdamaian Indonesia.

4. Mahasiswa dan aktivis gerakan agar senantiasa mengawal segala kebijakan yang ada dalam dunia pendidikan baik pendidikan Islam juga pendidikan multikultural agar sesuai perkembangan jaman dan tetap memelihara nilai tradisi (kearifan lokal) sebagai harta yang diwariskan para founding father bangsa Indonesia.

Tentang Penulis

Penulis, Fika Magfira Polamolo lahir di Bolaang Mongondow Utara, Kecamatan Bolangitang Timur tepatnya di Desa Saleo pada hari Selasa tanggal 28 April 1998. Anak kedua dari empat bersaudara pasangan dari Mahmud Polamolo dan Farida Palebo. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Kartini Kotamobagu (2003), melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 2 Saleo (2009), kemudian menimba ilmu

di SMPN 1 Pinogaluman, selanjutnya melanjutkan Sekolah Menengah Atas di MAN Kotamobagu sekarang MAN 1 Kotamobagu (2015). Pada tahun 2015, penulis melanjutkan pendidikan di lembaga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri tepatnya di IAIN Sultan Amai Gorontalo untuk memerluas dan memperdalam cakrawala berpengetahuan sebagai kesadaran seorang manusia yang pada hakikatnya membutuhkan ilmu pengetahuan. Penulis juga aktif dalam beberapa oraganisasi diantaranya Pengurus Rayon Tarbiyah PMII (2016-2017), Pengurus HMJ PAI (2016-2017), Pengurus FOKMMA 2017-2018), Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow Utara (KPMIBU), Pengurus Komisariat PMII IAIN Sulltan Amai Gorontalo (2018-2019) serta menulis artikel di media online. Alhamdulillah, selama mengenyam pendidikan di IAIN Sultan Amai Gorontalo dan berproses dibeberapa organisasi, penulis mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat dan sangat berharga yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Demikian, Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq (Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus), Wassalamu’alaikum Wr. Wb.