pengolahan edible film nata de coco dan aplikasinya
TRANSCRIPT
57
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya
sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda
Processing of Edible Film Nata de Coco and Its Application as Coating on
Young Coconut Meat
RINDENGAN BARLINA, SURYANI LAHEA dan ENGELBERT MANAROINSONG
Balai Penelitian Tanaman Palma Jln. Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001
E-mail: [email protected]
Diterima 12 Juli 2018 / Direvisi 17 Juli 2018 / Disetujui 07 Desember 2018
ABSTRAK
Bioselulosa nata de coco merupakan bahan baku potensial untuk pengolahan edible film sebagai kemasan yang ramah lingkungan. Aplikasi edible film pada bahan pangan dapat memperpanjang masa simpan produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan karakteristik yang baik dari pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan serta perubahan mutu daging buah kelapa muda yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Palma, dan Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM-Yogyakarta pada bulan bulan Januari sampai Desember 2016.. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama formulasi pengolahan edible fim, dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata de coco (BS) : CMC dan gliserol (GLI), sebagai berikut : Formula 1= BIS:CMC:GLI=100:0:0; Formula 2=BIS:CMC:GLI= 99,5:0,5:0; Formula 3=BIS:CMC:GLI= 99,0:1,0:0; Formula 4=BIS:CMC: LI=98,5:0,5 :1; Formula 5=BIS:CMC:GLI= 98,0:1,0:1,0; Formula 6 F=BIS:CMC:GLI= 98,0:5:1,5; Formula 7=BIS:CMC:GLI= 97,5:1,0:1,5; Formula 8=BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan Formula 9=BIS:CMC:GLI= 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali sehingga ada 27 satuan percobaan. Tahap kedua aplikasi edible film yang memiliki karakterisik yang baik pada irisan daging kelapa muda terolah minimal. Kemudian dikemas secara vacum dan disimpan sampai tiga bulan di dalam Refrigerator dan Freezer. Hasil penelitian menujukkan bahwa, edible film berbahan baku bioselulosa nata de coco (BIS) dengan penambahan carboxymethylcellulose (CMC) dan gliserol (GLI) perbandingan BIS : CMC : GLI= 97,5: 1,0 :1,5 cukup baik, memiliki karakateristik ketebalan 0,0551 mm, kuat tarik 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, laju transmisi uap air 16,878 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening). Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda terolah minimal yang dikemas secara vacum dan disimpan dalam Freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis. Kata kunci: air kelapa, karakteristik kemasan, penyimpanan irisan daging kelapa muda
ABSTRACT
Biocellulose nata de coco is a potential raw material for edible film processing as an environmentally friendly packaging. Edible film applications on foodstuffs can extend the shelf life of the product. This study aims to determine the formulation and good characteristics of the processing of raw materials of bioselulose nata de coco edible film which are suitable for packaging materials as well as changes in the quality of tender coconut meat applied by edible coating during storage. The research was conducted at the Laboratory of Palm Research Institute and Laboratory of Agricultural Product Technology Engineering, UGM-Yogyakarta in January to December 2016. The study was conducted in two stages, the first stage is formulation and processing of the edible fim, using Completely Randomized Design (RAL), with the treatment comparison between biocelulose nata de coco (BS): CMC and glycerol (GLI), as follows: Formula 1 = BIS: CMC: GLI = 100: 0: 0; Formula 2 = BIS: CMC: GLI = 99.5: 0.5: 0; Formula 3 = BIS: CMC: GLI = 99.0: 1.0: 0; Formula 4 = BIS: CMC: LI = 98.5: 0.5: 1; Formula 5 = BIS: CMC: GLI = 98,0: 1,0: 1,0; Formula 6 = BIS: CMC: GLI = 98.0: 5: 1,5; Formula = BIS: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5; Formula 8 = BIS: CMC: GLI = 97.5: 0.5: 2.0; and Formula 9 = BIS: CMC: GLI = 97.0: 1.0: 2.0. The second stage, edible film application that has a good characteristic on young coconut meat slices, then packed using vacuum method and stored for three months in Refrigerator and Freezer. The results showed that, edible film comparison: CMC: GLI = 97.5: 1.0: 1.5 is acceptable and has 0,0551 mm in thickness, tensile strength 19,0747 Mpa, elongation 18,2618%, vapor transmission rate 16,878 (g / m2 / 24 hour) and better brightness value (clear). The application of edible coating biocellulose nata atslices on young coconut meat and stored in Freezer can reduce total microbial growth and up to 3 months and is still favored by panelists. Keywords: coconut water, packaging characteristic, storage of young coconut meat slices
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
58
PENDAHULUAN
Salah satu bahan yang menjadi pencetus
pencemaran lingkungan adalah kemasan plastik
non edible karena tidak dapat terurai secara cepat.
Berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hal ini,
antara lain mencari bahan baku kemasan plastik
yang ramah lingkungan bahkan diharapkan dapat
dimakan. Oleh karena itu sumber daya alam
yang berpotensi sebagai bahan baku edible film
telah banyak dimanfaatkan.
Dengan berkembangnya industri
pengolahan makanan, maka diperkirakan dari
tahun ke tahun permintaan kemasan edible film
akan meningkat. Hal ini juga akan lebih
meningkat, karena ada kecenderungan
berkembangnya konsumen yang lebih memilih
mengkonsumsi produk makanan kemasan karena
dianggap lebih higienis dan praktis (Rindengan,
2014).
Salah satu produk pangan berbahan baku
air kelapa yang tergolong food dessert yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku edible film
adalah nata de coco (bacterial cellulose, bioselulosa)
karena secara kimia tergolong selulosa.
Bioselulosa merupakan bahan yang sangat unik
karena selulosa yang dihasilkan bebas lignin,
memiliki sifat mekanis tinggi dantidak merusak
lingkungan (biodegradable) sehingga dapat
menggantikan polimer sintetik yang saat ini
banyak digunakan, baik dalam industri pangan
maupun nonpangan (Indrarti, 2007).
Dilaporkan Layuk et al. (2012), bahwa
pendiaman air kelapa selama 4 hari kemudian di
fermentasi selama 6-7 hari menghasilkan
rendemen, tekstur dan kekenyalan nata de coco
yang lebih tinggi dibanding pendiaman 2 hari dan
0 hari, tetapi warna dan rasa lebih baik pada
pendiaman 0 hari. Iskandar et al., (2010)
melaporkan, nata dari sari buah nenas yang
difermentasi selama 15 hari, menghasilkan
rendemen tertinggi pada penambahan larutan gula
10% dan pH 5 serta menghasilkan karakteristik
film selulosa, antara lain tensile strenght (nilai kuat
tarik) dan elongasi yang paling tinggi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa, pH 5 adalah
nilai optimum pada pengolahan nata de pina dan
nata de coco. Pada hasil penelitian Layuk et al.,
(2012) tidak dilaporkan secara detail kondisi pH
larutan air kelapa setelah pendiaman dan
penambahan asam asetat. Hasil penelitian
Rindengan et al., (2014), menunjukkan bahwa
penundaan air kelapa selama 2 hari dan waktu
inkubasi (fermentasi) 3 minggu, diperoleh kadar
selulosa tertinggi, yaitu 1,68%. Sedangkan bahan
baku nata de coco yang digunakan untuk
pembuatan membran mikrofiltrasi selulosa asetat
yang dilakukan Lindu et al., (2011), adalah
menggunakan perbandingan starter Acetobacter
xylinum dan air kelapa 9:1, inkubasi selama 8 hari
pada suhu ruang.
Krochta e t a l . , ( 1994), menyatakan
bahwa struktur d a n derajat kristalinitas dari
bioselulosa yang tinggi, menyebabkan bahan ini
t idak larut dalam air, sehingga perlu dilakukan
modifikasi sebagai komposit dengan cara
mencampurkan material lain sebagai
aditif,sehingga mempunyai karakteristik sebagai
edible film. Aditif yang banyak digunakan adalah
c a r b o x y m e t h y l c e l u l o s a ( C MC) dan
gliserol. CMC merupakan derivat selulosa yang
sifatnya mengikat air dan sering digunakan
sebagai pembentuk tekstur halus. Gliserol banyak
digunakan sebagai bahan pemlastis untuk
menghasilkan lapisan tipis yang lebih fleksibel.
Beberapa laporan menunjukkan, bahwa
penambahan gliserol akan mengurangi kekuatan
mekanik berbagai jenis film dengan bahan dasar
protein maupun polisakarida (Yoshida et al., 2004,
Tapia-Blacid et al. , 2005).
Aplikasi edible film sebagai kemasan dapat
dilakukan dengan cara pembungkusan,
pencelupan, penyikatan atau penyemprotan untuk
memberikan penahanan yang selektif terhadap
perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta
perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Rahim
et al., 2010). Fungsi lainnya adalah membantu
mempertahankan integritas struktural dan
mencegah hilangnya senyawa volatil pada bahan
pangan tertentu (Nisperos et al., 1990).
Kemampuan edible film dan coating dalam
menahan uap air dan oksigen dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesegaran dari
buah, sayuran, dan pangan lainnya (Falguera et
al . , 2011). Perbedaan antara edible film dengan
edible coating yaitu edible film merupakan bahan
pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu
berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
59
untuk mengemas produk pangan. Sedangkan
edible coating merupakan bahan pengemas yang
dibentuk langsung pada produk dan bahan
pangan (Harris, 1999).
Sampai saat ini belum ada laporan tentang
aplikasi edible coating pada daging buah kelapa.
Produk ini sangat digemari oleh berbagai lapisan
konsumen, yang dikonsumsi dalam keadaan segar
karena mudah mengalami perubahan setelah
panen. Oleh karena itu perlu dilakukan proses
penanganan awal, sehingga mutunya dapat
dipertahankan, antara lain dengan disimpan pada
suhu beku tetapi dilapisi edible coating, seperti
halnya dengan produk olahan dari daging hewan
(sosis dan pangan beku lainnya).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
formulasi dan karakteristik yang baik dari
pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa
nata de coco yang sesuai untuk bahan kemasan
serta perubahan mutu daging buah kelapa muda
yang diaplikasi edible coating selama penyimpanan.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah air dari
buah kelapa Dalam Mapanget (DMT) umur 11-12
bulan, daging buah kelapa Dalam Mapanget
(DMT) umur 8-9 bulan, gula pasir, asam asetat
teknis, gliserol food grade, carboximetilselulosa
(CMC), biakan murni Acetobacter xylinum, dan lain-
lain. Alat yang digunakan adalah gelas ukur,
erlenmeyer, timbangan analitik, baki plastik
(wadah fermentasi), pH meter, kain saring, Hot
Plate, Stirer, Memmert oven listrik, Dodawa Hand
Blender, Chromameter Minolta CR-310, Vacum Sealer,
petridis plastik diameter 14 cm, TensileStrengthand
Elongation TesterStograph-MIToyoseiki(kapasitas 50
kgf),dan lain-lain.
Metode Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan dalam 2 tahap,
yang dilakukan secara berkesinambungan,
masing-masing akan diuraikan berikut ini:
Tahap pertama: pengolahan bioselulosa nata de
coco
Pengolahan bioiselulosa nata de coco
menggunakan air kelapa yang telah diinkubasi
selama 4 hari, sehingga tidak menggunakan asam
asetat karena kemasaman (pH) air kelapa telah
sesuai untuk media fermentasi (Rindengan,et al.
2014). Bioselulosa nata de coco yang dihasilkan
digunakan sebagai bahan baku pengolahan edible
film. Pengolahan mengikuti metode Indrarti
(2007), yang telah dimodifikasi pada beberapa
bagian proses.
Bioselulosa nata de coco dipotong bentuk
kubus 1x1cm, dicuci pada air mengalir selanjutnya
dididihkan hingga keasamannya lebih cepat
berkurang. Kemudian dimurnikan dengan cara
dididihkan dalam larutan NaOH 1% untuk
menghilangkan komponen non selulosa, lalu
dicuci lagi dengan air sampai pH netral dan
didiamkan satu malam kemudian ditiriskan.
Selanjutnya disiapkan 250 g bioselulosa nata de
coco tambahkan 100 ml air matang dan diolah
menjadi bentuk juice menggunakan Hand Blender,
lalu disimpan dalam refrigerator selama satu hari.
Larutan bioselulosa nata de coco ditambah
air, CMC dan gliserol.Proses p e n c ampuran
adalah sebagai berikut: CMC ( s e s u a i
p e r l a k u a n ) d i t a m b a h akuades 75 ml
sedikit demi sedikit, sambil diaduk diatas hot plate
suhu 70-75OC, tambahkan gliserol (sesuai
perlakuan) dan diaduk sampai homogen.
Selanjutnya tambahkan juice biosellosa nata de
coco (sesuai perlakuan) dan diaduk terus di atas
Hot Plate selama 30 menit sampai homogen.
Tambahkan lagi akuades hingga total volume
menjadi 3 00ml, diaduk sampai homogen, lalu
dituang ke dalam petridis plastik, dikeringkan
dalam oven yang dilengkapi blower, pada suhu
40OC selama 24 jam.
Penelitian dilakukan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan
perlakuan:perbandingan antara bioselulosa nata
de coco (BS): CMC dan gliserol (GLI), sebagai
berikut: Formula 2= BIS:CMC:GLI=100:0:0;
Formula 2 = BIS:CMC:GLI=99,5:0,5:0; Formula 3 =
BIS:CMC:GLI = 99,0:1,0:0; Formula 4 = BIS:CMC:
GLI = 98,5:0,5:1; Formula 5 = BIS:CMC:GLI =
98,0:1,0:1,0; Formula 6 = BIS:CMC:GLI = 98,0:5:1,5;
Formula 7 = BIS:CMC:GLI = 97,5:1,0:1,5; Formula 8
= BIS:CMC: GLI=97,5:0,5:2,0; dan Formula 9=
BIS:CMC:GLI = 97,0:1,0:2,0. Ulangan tiga kali
sehingga ada 27 satuan percobaan. Pengamatan
karakteristik film selulosa, terdiri dari tensile
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
60
strenght (nilai kuat tarik)/Mpa dan elongasi (%)
diukur dengan Tensile Strengthand Elongation
TesterStograph-MIToyoseik idengan kapasitas 50 kgf
(ASTM,D882,2002), kecepatan penguapan air
(g/m2/24 jam) menggunakan Water Vapor
TransmissionRate TesterBergerlahr metode cawan
(ASTM, 1983 dalam Gunawan, 2009), ketebalan
(Mikrometer, ketelitian 0,0001 mm),dan warna
ChromameterMinolta CR-310 (Jowit, 1987 dalam
Gunawan, 2009). Data hasil pengamatan dianalisis
menggunakan SSPS 16,0. Jika ada perbedaan antar
perlakuan dilanjutkan dengan DMRT (Duncan
Multiple Range Test).
Tahap kedua: Aplikasi edible coating nata de
coco pada daging kelapa muda
Pada tahap kedua adalah menggunakan hasil
terbaik dari tahap pertama dengan cara diaplikasi
pada irisan daging kelapa muda dalam bentuk
edible coating (larutan terakhir yang diperoleh tidak
dikeringkan). Penelitian dilakukan dengan metode
deskriptif. Disiapkan daging kelapa Dalam
Mapanget (DMT), umur 8-9 bulan, diiris
memanjang, dipasteurisasi pada suhu 70OC,
selama 15 menit, ditiriskan dan dicelupkan dalam
larutan edible hingga ter-coating sempurna lalu
dikeringkan pada suhu 400C selama 45 menit,
didinginkan dan dikemas dalam plastik
polypropylene (PP) khusus untuk vacum dan
direkatkan menggunakan Vacum Sealer, kemudian
disimpan dalam Refrigerator dan Freezer selama 0,
1, 2, dan 3 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap
karakteristik fisikokimia, total mikroba dan
organoleptik yang terdiri dari warna, aroma dan
rasa dengan nilai 1=sangat tidak suka, 2=tidak
suka, 3=biasa, 4=suka dan 5=sangat suka
(Soekarto, 1985) menggunakan 20 orang panelis.
Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan
SSPS 16,0. Jika ada perbedaan antar perlakuan
dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple
Range Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik edible filmbioselulosa nata de
coco
Warna/Kecerahan Edible Film
Secara fisik edible film yang dihasilkan
agak bening dan mirip dengan kemasan komersial
yang non edible, kecuali formula 1 sebagai kontrol
cenderung berwarna putih karena hanya terdiri
dari bioselulosa nata de coco (Gambar 1a).
Gambar 1a. Penampilan sembilan formula edible film dari bioselulosa nata de coco
Figure 1a. Appearance of nine edible film of biocellulose nata de coco
Gambar 1b. Proses peeling formula 4 dan formula 5 Figure 1b. Peeling process of formula 4 and formula 5
Nilai L yang kecil menunjukkan bahwa
edible film cenderung lebih banyak menyerap sinar
dari pada memantulkan sinar. Laju transmisi uap
air cenderung meningkat dengan semakin tinggi
penambahan gliserol. Nilai laju transmisi uap air
1 2 3
4 5 6
7 8 9
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
61
berhubungan dengan nilai elongasi edible film.
Semakin tinggi laju transmisi uap air, nilai
elastisitas edible film juga akan meningkat. Sinar
yang dapat ditangkap oleh detector warna, maka
indeks keputihan menjadi lebih kecil. Semakin
kecil indeks keputihan edible film berarti semakin
bening/transparan edible film yang dihasilkan
(Jowit, 1987 dalam Gunawan, 2009).
Analisis statistik, menunjukkan bahwa
formula 2 sampai formula 9 tidak berbeda nyata,
tetapi berbeda nyata dibanding dengan formula 1
(Gambar 2). Hal ini disebabkan pada formula 1
tanpa penambahan CMC dan gliserol. Menurut
Hikmat (1997) dalam Gunawan (2009),
pembentukan film tanpa penambahan CMC,
memerlukan energi yang cukup besar dan waktu
yang lama serta film yang dihasilkan kurang cerah,
rapuh, dan kurang kompak. Nilai
kecerahan/keputihan edible film berkisar 51,88
sampai 63,83. Semakin rendah nilai L, berarti
edible film semakin transparan. Dikaitkan dengan
Gambar 1a, pada formula 1 warnanya kurang
cerah karena nilai L adalah yang tertinggi, yaitu
63,83 (Gambar 2). Sebagai bahan kemasan, yang
diharapkan adalah bening/transparan, sehingga
tidak menghalangi penampilan asli dari produk
yang dikemas.
Ket : Angka yang diikuti huruf sama pada grafik tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan 0,5%. Note : Number followed by the same letters at the graphyc are not significantly different at 0.05 level DMRT
Gambar 2. Nilai L (kecerahan) sembilan formula edible film bioselulosa nata de coco Figure 2. The value of L (brightness) of nine formulas of edible film bioselulosa nata de coco .
Ketebalan edible film
Hasil pengukuran ketebalan edible film
bervariasi dari terendah 0,03 mm dan tertinggi
0,06 mm (Gambar 3). Hasil analisa statistik
menunjukkan, perbandingan formulasi bioselulosa
nada de coco, CMC dan gliserol, tidak
berpengaruh terhadap formula 1 sampai formula 6
dan formula 8, tetapi berpengaruh pada formula 7
dan formula 9. Penambahan CMC dalam
pembentukan film antara lain bertujuan untuk
memperbaiki penampakan, kekuatan,
kekompakan d a n mempercepat pembentukan
matrik film (Hikmat, 1997 dalam Gunawan, 2009),
sedangkan gliserol memiliki sifat a n t a r a l a i n ,
meningkatkan viskositas larutan dan mengikat air
(Winarno, 1997). Oleh karena itu ada
kecenderungan bahwa semakin tinggi
penambahan CMC maupun gliserol ketebalan
edible film meningkat, terutama formula 7 dan
formula 9. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Jacoeb et al., (2014), bahwa ketebalan edible film
dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan dan
banyaknya total padatan dalam larutan. Hasil
penelitian Permatasari at al., (2012), menggunakan
bahan baku sari alang-alang dengan penambahan
A. xylinum, diperoleh edible film dengan ketebalan
0,05 mm.
63,83a
53,53bc 53,0bc 52,27bc 52,47bc
54,58b52,97bc 52,57bc 51,88c
0
10
20
30
40
50
60
70
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nilai LL Value
Formula
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
62
Gambar 3. Ketebalan sembilan formula edible film Figure 3. The thickness of the nine edible formulas
Gambar 4. Nilai kuat tarik sembilan formula edible film Figure 4. The tensile strength value of the nine edible formulas Kuat tarik edible film bioselulosa nata de coco
Kualitas suatu film sangat bergantung
pada kekuatan tarik dan elongasi (perpanjangan)
dari film tersebut. Kuat tarik merupakan salah satu
sifat mekanis untuk mengukur kekuatan film. Kuat
tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat
ditahan oleh film selama pengukuran berlangsung
sampai film terputus, sehingga kuat tarik dari
suatu film sangat berpengaruh terhadap kualitas
dari film tersebut. Semakin tinggi kekuatan tarik
suatu film, maka semakin bagus kualitas dari film
tersebut (Iskanda et al., 2010). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai kuat tarik edible film
berkisar 11,91-38,93 Mpa (Gambar 4). Hasil
penelitian (Indrarti, 2007), nilai kuat tarik edible
film berbahan baku bioselulosa nata de coco
berkisar 22,01-166,80 Mpa dan 2,62 Mpa pada
bioselulosa asetat (Radiman dan Yuliani, 2008) dan
6,40-11,29 Mpa pada edible film berbahan baku
amilosa dengan penambahan gliserol (Cahyana,
2006). Sedangkan pembuatan plastik kitosan
menggunakan pelarut asetat dengan penambahan
gliserol 0-0,4% menghasilkan kuat tarik cenderung
menurun dari 39,90 Mpa sampai menjadi 12,58
Mpa (Apriyanti et al., 2013).
Berdasarkan Gambar 4, semakin rendah
penambahan bioselulosa nata de coco dan CMC
serta semakin tinggi penambahan gliserol nilai
kuat tarik menurun. Harris (1999) menyatakan
bahwa penambahan gliserol sebagai pemlastis
akan mengurangi kerapatan dan gaya antar
molekul substrat dengan gliserol. Wirawan et al.,
(2012) menyatakan juga bahwa, semakin banyak
plasticizer yang ditambahkan akan menurunkan
kuat tarik. Kondisi ini terjadi pada formula 6
sampai formula 9. Hal ini disebabkan gliserol akan
menghasilkan pengurangan interaksi
intermolekuler dan peningkatan pergerakan dari
0,032bc0,030c
0,033bc
0,042bc0,042bc
0,045bc
0,055a
0,035bc
0,047ab
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tebal
Thick(mm)
Formula
18,57bc
38,25a 38,96a
20,43bc
24,35b
12,45c
19,07bc
14,64bc
11,91c
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kuat tarik/Mpa
Tensile strength/Mpa
Formula
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
63
rantai polimer, sehingga kuat tarik akan turun
(Huri dan Nisa, 2014).
Elongasi edible film
Elongasi adalah perubahan perpanjangan
maksimum dari film yang diukur dalam persen
saat sobek (Krochta, 1992). Oleh karena itu
perpanjangan dari film juga sangat berpengaruh
terhadap kualitas dari film tersebut. Laurdin, et
al., (1997) dalam Cahyana (2006), menyatakan
bahwa plasticizer ditambahkan ke dalam polimer
untuk meningkatkan fleksibilitasnya.
Penambahan plasticizer sampai pada taraf
tertentu akan meningkatkan elongasi film.
Berdasarkan Gambar 5, nilai perpanjangan edible
film berkisar antara 2,81-18,26%. Formula 7
adalah yang memiliki nilai perpanjangan yang
paling tinggi. Hasil penelitian (Indrarti, 2007),
nilai perpanjangan edible film berkisar antara
2,93% sampai 30,39%. Berdasarkan Gambar 5,
semakin banyak penambahan gliserol
nilai elongasi meningkat, sehingga mampu
mengikat air dan melunakkan permukaan film.
Berdasarkan Gambar 4, semakin rendah
penambahan bioselulosa nata de coco dan CMC
serta semakin tinggi penambahan gliserol nilai
kuat tarik menurun. Harris (1999) menyatakan
bahwa penambahan gliserol sebagai pemlastis
akan mengurangi kerapatan dan gaya antar
molekul substrat dengan gliserol. Wirawan et al.,
(2012) menyatakan juga bahwa, semakin banyak
plasticizer yang ditambahkan akan menurunkan
kuat tarik. Kondisi ini terjadi pada formula 6
sampai formula 9. Hal ini disebabkan gliserol akan
menghasilkan pengurangan interaksi
intermolekuler dan peningkatan pergerakan dari
rantai polimer, sehingga kuat tarik akan turun
(Huri dan Nisa, 2014).
Gambar 5. Elongasi sembilan formula edible film Figure 5. Elongation of nine edible film formulas
Gambar 6. Laju transmisi uap air sembilan formula edible film Figure 6. Rate of water vapor transmission of nine edible film formulas
2,80c 2,94c 3,19c
13,21ab
8,03bc
11,94ab
18,26a
15,99ab
17,18a
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Elongasi, %
Formula
23,06a
20,06ab
16,32b 17,39b
20,79ab
18,26a
23,76a
21,32ab
0
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Formula
17,98bLajutransuap air,g/m2
/24j
64
Laju Transmisi Uap Air Edible Film
Laju transmisi uap air adalah jumlah uap air
yang melalui suatu permukaan film persatuan luas
persatuan waktu. Nilai laju transmisi uap air
menunjukkan seberapa tahan edible film tersebut
dapat menahan jumlah uap air dari dalam produk.
Semakin rendah nilai laju transmisi uap air,
makaedible film tersebut akan semakin baik (Harris,
1999). Menurut Gunawan (2009), laju transmisi
uap air yang rendah dapat menghambat hilangnya
air dari produk yang dicoating sehingga kesegaran
produk yang dicoating terjaga. Selain itu, dapat
menghambat kerusakan akibat reaksi hidrolisa
dan kerusakan oleh mikroorganisme karena
adanya air.
Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa
nilai laju transmisi uap air berkisar antara 16,32
sampai 23,76 (g/m2/24 jam). Berdasarkan Gambar
6, laju transmisi uap air cenderung meningkat
dengan semakin tinggi penambahan gliserol. Nilai
laju transmisi uap air berhubungan dengan nilai
elongasiedible film. Semakin tinggi laju transmisi
uap air, nilai elastisitas edible film juga akan
meningkat.
2. Aplikasi edible coating pada daging kelapa
muda.
Pada Gambar 7, dapat dilihat secara ringkas
tahapan proses penelitian yang dilakukan. Bahan
baku daging buah kelapa Dalam Mapanget (7a),
proses pencelupan dalam edible coating
bioselulosa nata de coco (7b), selesai proses
pengeringan suhu 40OC selama 30 menit (7c), dan
pengemasan secara vacum (7d).
(a) (b) (c) (d)
Gambar 7. Pemisahan daging kelapa muda (a), pencelupan dalam edible coating(b), pengeringan suhu 40OC
selama 30 menit (c) dan pengepasan vacum (d) Figure 7. Separation of young coconut meat (a), immersion in edible coating (b), drying at 40OC
temperature for 30 minutes (c) and vacuum packaging (d) Karakteristik bahan baku daging kelapa muda
dan edible coating
Hasil pengamatan bahan baku daging
kelapa muda jenis DMT, adalah sebagai berikut:
kadar air 88,83%, abu 2,35%, lemak 33,56%, protein
8,73% dan serat kasar 16,89%. Hasil yang
diperoleh memiliki kemiripan dengan yang
dilaporkan Rindengan et al., (1997), dimana
daging kelapa muda GKBxDMT (umur 8 bulan),
memiliki kadar air 87,24%, protein 9,58%,
karbohidrat 34,68% dan serat kasar 19,15%.
Selanjutnya karakteristik dari bahan edible coating
(formula 7) yang dianalisa dalam bentuk edible film
adalah sebagai berikut ketebalan 0,06 mm, kuat
tarik 19,08 Mpa, elongasi 18,26%, laju transmisi
uap air16,88 (g/m2/24 jam) dan memiliki nilai
kecerahan yang lebih (bening).
Karakteristik organoleptik daging kelapa muda
diaplikasi edible coating
Berdasarkan Gambar 8, penilaian warna
irisan daging kelapa muda sampai 3 bulan
penyimpanan, baik yang dicoating maupun tidak
dan disimpan dalam Freezer maupun Refrigerator
nilai yang diberi berkisar 3 sampai mendekati nilai
4 (biasa sampai mendekati suka). Hal ini
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
65
menunjukkan bahwa, meskipun daging buah
kelapa ada perlakuan aplikasi edible coating, panelis
masih menganggap penampilannya normal. Salah
satu manfaat aplikasi edible coating pada bahan
makanan adalah untuk mempertahankan sifat
sensorik dari produk (Falguera et al., 2011).
Selanjutnya pada penilaian aroma, sampel
yang tanpa edible coating tidak disukai selama
penyimpanan 3 bulan. Sedangkan perlakuan
lainnya masih dianggap biasa (normal) karena
nilai yang diberikan mendekati nilai 3 dan 4. Pada
penilaian rasa, diaplikasi maupun tanpa aplikasi
edible coating pada penyimpanan dalam Freezer
nilai yang diberikan masih berkisar 3-3,5 sampai 3
bulan penyimpanan. Sedangkan penyimpanan
dalam Refrigerator, baik yang diaplikasi maupun
tidak diaplikasi edible coating, mulai 2 bulan
penyimpanan nilai yang diberikan <3 atau panelis
mulai tidak menyukai. Hal ini menunjukkan,
bahwa penyimpanan dalam Freezer ( suhu beku)
lebih mempertahankan karakteristik organoleptik
daging buah kelapa muda.
Keterangan: F = Aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, FK= Tanpa aplikasi edible coatingdisimpan dalam Freezer, R = Aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator, RK = Tanpa aplikasi edible coatingdisimpan dalam Refrigerator
Note: F = Edible coating application stored in Freezer, FK = No application of ediblecoating stored in Freezer, R = Edible Coating application is stored in Refrigerator, RK = No application of ediblecoating stored in Refrigerator
Gambar 8. Karakteristik organoleptik irisan daging kelapa muda dengan dan tanpa aplikasi edible coating
bioselulosa nata Figure 8. The organoleptic characteristics of young coconut meat slices with and without applied edible coating of
biocellulose nata
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3
F FK R RK Warna
Penyimpanan (bulan)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 1 2 3
F FK R RKAroma
Penyimpanan (bulan)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 1 2 3
F
FK
R
RK
Rasa
Penyimpanan (bulan)
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
66
Total mikroba dan kemasaman (pH) daging kelapa muda dengan aplikasi edible coating Hasil pengamatan total mikroba, menunjukkan terjadi penurunan jumlah mikroba selama penyimpanan (Gambar 9a). Menurut Krochta, et al., (1994) dalam Gunawan (2009), salah satu fungsi penambahan plasticizer CMC dalam formulasi coating adalah menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, serta mengurangi penyerapan oksigen tanpa menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida pada jaringan buah-buahan.
Berdasarkan Gambar 9a, aplikasi edible coating bioselulosa nata ternyata dapat mereduksi perkembangan total mikroba, tetapi penyimpanan dalam Freezer (F) penghambatannya lebih tinggi dibanding yang disimpan dalam Refrigerator (R).
Sedangkan daging kelapa muda tanpa aplikasi edible coating bioselulosa nata, total mikroba cukup tinggi sampai penyimpanan satu bulan, kemudian tidak terdeteksi sampai tiga bulan penyimpanan. Kondisi ini diduga berkaitan dengan penurunan pH, sehingga suasana menjadi asam. Hal ini berkaitan juga dengan penilaian organoleptik, terutama aroma dan rasa umumnya panelis memberi nilai yang rendah. Sampai saat ini belum ada produk irisan daging kelapa muda segar beku yang dikomersialkan. Oleh karena itu sebagai pembanding adalah total mikroba daging ayam beku (karkas dan tanpa tulang dan daging cintang adalah 1 x 106koloni/gr (SNI, 2009). Dengan demikian total mikroba pada daging kelapa muda yang dicoating tergolong rendah dibanding standar yang ditetapkan pada daging ayam beku.
Keterangan: F = Aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, FK= Tanpa aplikasi edible coating disimpan dalam Freezer, R = Aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator, RK = Tanpa aplikasi edible coating disimpan dalam Refrigerator
Note: F = Edible coating application stored in Freezer, FK = No application of ediblecoating stored in Freezer, R = Edible Coating application is stored in Refrigerator, RK = No application of ediblecoating stored in Refrigerator
Gambar 9. Total mikroba (a) dan kemasaman/pH (b) irisan daging kelapa muda dengan dan tanpa
aplikasi edible coating bioselulosa nata Figure 9. Total microbial and acidity (pH) of young coconut meat slices with and without applied edible coating of
biocellulosic nata
KESIMPULAN
Perbandingan penambahan bioselulosa nata de coco, carboxylb methylcellulose mempengaruhi karakteristik edible film yang dihasilkan. Semakin tinggi penambahan CMC dan gliserol ketebalan edible film meningkat, sedangkan nilai kuat tarik menurun dengan penambahan bioselulosa dan CMC yang menurun.
Penambahan gliserol melunakkan permukaan film dan meningkatkan nilai laju transmisi uap air. Semakin kecil indeks kecerahan/keputihan menunjukkan makin transparanedible film yang dihasilkan.
Formula edible film terbaik yaitu pada perbandingan bioselulosa nata de coco: karboksimetilselulosa : gliserol = 97,5: 1,0 :1,5 dengan karakteristik ketebalan 0,07 mm, kuat tarik 19,08 Mpa, elongation 18,26%, laju transmisi uap
0
50
100
150
200
250
300
0 1 2 3
F FK
x 1
01
CFU
Lama penyimpanan (bulan)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3
F FKpH
Lama penyimpanan (bulan)
Pengolahan Edible Film Nata de Coco dan Aplikasinya sebagai Coating pada Daging Kelapa Muda (Rindengan Barlina, et al.)
67
air16,88 (g/m2/24 jam) dan nilai kecerahan yang lebih baik (bening).
Aplikasi edible coating bioselulosa nata pada irisan daging kelapa muda yang dikemas secara vacum, pada penyimpanan menggunakan freezer dapat mereduksi perkembangan total mikroba dan sampai 3 bulan dan masih disukai panelis. Sedangkan penyimpanan dalam refrigerator, hanya disukai panelis sampai 2 bulan penyimpanan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Rahmat Teguh, sebagai laborant di Laboratorium Rekayasa Teknologi Hasil Pertanian, UGM–Yogyakarta yang membantu dalam pelaksanaan analisis karakteristik fisik edible film.
DAFTAR PUSTAKA
American Society for Testing and Materia. 2002. ASTM.D882-02. Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheting. International, West Conshohocker, PA.
Apriyanti, A.F., Mahatmanti, F.W., Sugiyo, Warlan. 2013. Kajian Sifat Fisik- Mekanik dan Antibakteri Plastik Kitosan Termodifikasi Gliserol. Indonesian Journal of Chemistry Science. 2(2).
Falguera, V., J.P. Quintero., A. Jimenez., J.A. Murioz., A. Ibarz. 2011. Edible Fim and Caoting: Structure, Active Properties and Trend in Their Use. Trend in Foof Science Technology 22(6): 292-303.
Gunawan, V. 2009. Formulasi dan Aplikasi Edible Coating Berbasis Pati Sagu dengan Penambahan Vitamin C pada Paprika(Capsicum annuum varietas Athena). Skripsi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. 146 Halaman.
Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari Pati Ubi Kayu, Aren dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semi basah. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Huri, D dan F.D. Nisa. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit Apel Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Edible Film. Jurnal Pangan dan Agroindistri 2(4):29-44.
Iskandar., M. Zaki., S.Mulyati.,U.Fathanah., I.Sari dan Juchairawati. 2010. Pembuatan film
selulosa dari nata de pina. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan 7(3):105-111. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syaiah Kuasa. Banda Aceh.
Indrarti, L. 2007. Bioselulosa sebagaibahanedible film. Laporan Penelitian. PusatPenelitian Fisika. LIPI. 39 Hal.
Jacoeb, A.M., Nugraha, R., Utari, S.p. 2014. Pembuatan Edible Film dari Pati Buah Lindur dengan Penambahan Gliserol dan Karaginan. JPHPI 17(1):14-21.
Krochta, J.M., 1992. Control of Mass Transfer in Food With Ediable Coatings and Films. In Singh, R.P. and M.A. Wirakartakusumah (eds). Advances in Food Engineering. CRP Press. Boca Raton. 519-538.
Krochta, J.M, E.A. Baldwin, a n d M.O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Films to Improve Food Quality, Technomic Publishing Company, Inc., Pennsylvania, U.S.A.
Lindu, M., T. Puspitasari dan D.A. Reinfani, 2011. Sintetis dan Uji Kemampuan Membran Mikrofiltrasi Selulosa Asetat dari Nata de Coco untuk Penyisihan Kekeruan pada Air Artifisial. Jurnal Sains Materi Indonesia 12(3): 153-158.
Layuk, P., M. Lintang dan G.H. Joseph. 2012. Pengaruh waktu fermentasi air kelapa terhadap produksi dan kualitas nata de coco. Buletin Palma 13(1): 32-40. Puslitbangbun. Badan Litbang Pertanian
Nisperos-Carriedo M.O., P.E. Shaw and E.A. Baidwin, 1990. Changes in Volatile Component of Pineapple Orange Juices as Influences by The Application of Lipid and Composite Film. J.Agric. Food Chem. 38: 1382-1387.
Permatasari, A., H.F. Aprilianti dan A. Purbasari. 2012. Pembuatan Nata Berbahan Dasar Alang-Alang Secara Fermentasi Sebagai Kajian Awal Pembuatan Edible Film. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 1(1): 54-58.
Rezaee, A., S.SolimaniandM. Forozandemogadam. 2005. Role of Plasmid in Production ofAcetobacter xylinum Biofilms. American Journal of Biochemistry and Biotechnology (3):121-124.
Rahim, A., Nur Alam., Haryadi dan U. Santoso. 2010. Pengaruh konsentrasi pati aren dan minyak sawit terhadap sifat fisik dan mekanik edible film the effect of palm sugar starch apalm oil concentrations on
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 57 - 68
68
physical and mechanical characteristics of edible film. J. Agroland 17 (1) : 38 – 46.
Radiman, C. danG. Yuliani. 2008. Penggunaan natadecoco sebagaibahan membran selulosa asetat. Prosiding Simposium Nasional Polimer V- Bandung. Hal 203-308.
Rindengan, B., A. Lay., H. Novarianto dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh jenis dan umur buah terhadap sifat fisikokimia daging buah kelapa hibrida dan pemanfaatannya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1(6):263-277.
Rindengan, B., E. Goniwala dan M.K. Allo'. 2014. Pengaruh pendiaman dan lama fermentasi air kelapa terhadap rendemen dan karakteristik bioselulosa nata untuk bahan baku edible film. Buletin Palma 15(2): 134-140.
Rindengan, B. 2014. Bioselulosa dari nata de coco sebagai bahan baku edible film. Warta Puslitbanbun 20(1): 1-4.
Soewarno, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 01-3924-2009. Mutu Karkas dan Daging Ayam . Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Tapia-Blacido, D., P.J. Sobral and F.C Menegalli. 2005. Effects of Drying Temperature and Relative Humidity on The Mechanical Properties of Amaranth Flour Films Plasticized with Glycerol. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 22 (2):249.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Wirawan, S.K., Prasetya, A. Ernie, E. 2012. Pengaruh Plasticizer Pada Karakteristk Esible Film dari Pekti. Reaktor 14(1): 61-67.
Yoshida, C.M.P., A.J. Antunes. 2004. Characterization of Whey Protein Emulsion Films. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 21(2):247.