pengembangan wilayah dalam reformasi...

41
Project Working Paper Series No. 06 PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM REFORMASI TATA PEMERINTAHAN DESA: Pelajaran dari Lima Provinsi dan Beberapa Tantangan Ke Depan Penulis: Eka Intan Kumala Putri Arya Hadi Dharmawan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB Bekerjasama dengan Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia

Upload: donhi

Post on 04-May-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Project Working Paper Series No. 06

PENGEMBANGAN WILAYAH DALAMREFORMASI TATA PEMERINTAHAN DESA:Pelajaran dari Lima Provinsi dan Beberapa TantanganKe Depan

Penulis:

Eka Intan Kumala Putri

Arya Hadi Dharmawan

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB

Bekerjasama dengan

Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

2

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi TataPemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi dan

Beberapa Tantangan Ke Depan

Penulis:

Eka Intan Kumala Putri

Arya Hadi Dharmawan

Layout dan Design Sampul :

Dyah Ita M. dan Husain As’adi

Diterbitkan pertama kali, Juli 2006

Oleh

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB

Bekerjasama dengan

Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP

Kampus IPB Baranangsiang

Gedung Utama, Bagian Selatan, Lt. Dasar

Jl. Raya Pajajaran Bogor 16151

Telp. 62-251-328105/345724

Fax. 62-251-344113

Email. [email protected]

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh

isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ISBN: 979-8673-38-0

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

3

KATA PENGANTAR

Kebijakan Otonomi Daerah (OTDA) adalah keputusan politik yang menjaditonggak penting sejarah sistem tata-pengaturan dan pemerintahan (governance andgovernment system) di Indonesia. Undang-Undang no. 32/2004 yang melegitimasiOTDA, merupakan produk hukum yang pantas disambut baik oleh semua pihak,karena memberikan platform yang jelas pada penegakan kedaulatan lokal,keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat dandemokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan.

Keputusan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah (OTDA) melaluiimplementasi Undang-Undang (UU) No. 22/1999 yang dilanjutkan oleh UU. No.32/2004 tersebut, memberikan tantangan akademik yang sangat menarik bagi parasarjana, pemikir dan praktisi pengembangan wilayah (regional development). Teori-teoripengembangan wilayah (regional development theories) seolah tertantang untukmendalami makna dan mengelaborasinya secara intensif untuk menjawabpertanyaan yang selama ini hampir tak pernah terjawab, yaitu: benarkahpembangunan wilayah ala OTDA yang berintikan prinsip desentralisme dapatmendorong pertumbuhan ekonomi dan distribusi kesejahteraan sosial jauh lebihbaik bila dibandingkan dengan pola pembangunan ala sentralisme? Prasyarat apasaja yang harus dipenuhi pada suatu sistem kawasan, untuk bisa mencapai derajatperkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial seperti yang dicita-citakan banyakorang itu?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, studi-aksi partnership-based rural governance reformmemberikan peluang olah-akademik yang mencukupi untuk melihat kembali danmelakukan ekspektasi ke depan, berkaitan dengan relevansi antara OTDA danperkembangan sosio-ekonomi suatu wilayah atau kawasan. Studi-aksi tersebutdilaksanakan sepanjang Februari 2006 – Agustus 2006 oleh Pusat StudiPembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor.

Singkatnya waktu dan terbatasnya ruang yang tersedia jelas menjadi pembatas yangsignifikan bagi peneliti dan penulis untuk menuangkan pengalaman-pengalaman(lessons learned) secara lebih leluasa dalam working paper ini. Namun, penulisberusaha tidak mengurangi kelengkapan informasi dalam membahas OTDA dankaitannya dengan pengembangan wilayah di lima provinsi studi. Akhir kata semogaworking paper ini dapat menambah khasanah kajian otonomi desa khususnya yangberkaitan dengan diskursus pengembangan wilayah di Indonesia.

Bogor, Juli 2006

Penulis

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

4

DAFTAR ISI

HalamanKata Pengantar …………………………………………………………...Daftar Isi …………………………………………………………………

1. LATAR BELAKANG: ASUMSI, URGENSI DAN MASALAH ..

2. LANDASAN TEORETIK- KONSEPTUAL2.1. Konsep Wilayah: Pengertian dari Beragam Perspektif ............2.2. Pengembangan Wilayah berbasiskan Partisipasi dan Kemitraan

via Penguatan Ruang Politik dan Kelembagaan Lokal …………

3. PERENCANAAN DAN PENATAAN WILAYAH PADALIMA PROVINSI DALAM KONTEKS UU 32/2004 DANUNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS3.1. Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam ..................3.2. Sistem Nagari di Minangkabau ........................................3.3. Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat ..............................3.4. Sinergisme di Bali ..............................................................3.5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung di Papua .....

4. PERMASALAHAN DAN HAMBATAN PEMBANGUNANWILAYAH DALAM PENYELENGGARAAN OTDA PADALIMA PROVINSI4.1. Kemampuan Nanggroe Aceh Darussalam dalam Otonomi

Khusus .............................................................................4.2. Respons Sumatera Barat terhadap Otonomi Daerah .............4.3. Ketidakoptimalan Otonom Daerah di Jawa Barat .................4.4. Efektivitas Otonomi Daerah di Bali .................................4.5. Ketertinggalan Otonomi Khusus di Papua .......................

PENUTUP: RENCANA STRATEGIS PENGEMBANGANWILAYAH .....................................................................

DAFTAR RUJUKAN .....................................................

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

5

1 LATAR BELAKANG: ASUMSI, URGENSI DANMASALAH

Keputusan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah () melalui implementasiUndang-Undang (UU) No. 22/1999 yang dilanjutkan oleh UU. No. 32/2004memberikan tantangan akademik yang sangat menarik bagi para sarjana, pemikirdan praktisi pengembangan wilayah (regional development). Teori-teori pengembanganwilayah (regional development theories) seolah tertantang untuk mendalami makna danmengelaborasinya secara intensif untuk menjawab pertanyaan yang selama inihampir tak pernah terjawab, yaitu: benarkah pembangunan wilayah ala OTDA yangberintikan prinsip desentralisme dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dandistribusi kesejahteraan sosial jauh lebih baik bila dibandingkan dengan polapembangunan ala sentralisme? Prasyarat apa saja yang harus dipenuhi pada suatusistem kawasan, untuk bisa mencapai derajat perkembangan ekonomi dankesejahteraan sosial seperti yang dicita-citakan banyak orang itu? Untuk menjawabpertanyaan itu, studi-aksi partnership-based rural governance reform memberikan ruang-akademik yang mencukupi untuk melakukan studi-elaboratif tentang relevansiOTDA dengan perkembangan sosio-ekonomi suatu wilayah atau kawasan.

Sebagaimana diketahui, perkembangan pemikiran terkini yang dapat ditangkapdalam diskursus-diskursus akademis pada studi pengembangan wilayah,memberikan pelajaran yang sangat berharga dan menantang. Pendugaan dampaksosio-ekonomi yang berlangsung di suatu wilayah sebagai akibat dijalankannyakebijakan OTDA tidak lagi dapat ditelisik (being scrutinized) hanya denganmengandalkan teori-teori pengembangan wilayah klasikal seperti central-place theoryatau growth-pole theory yang sangat sedikit mengakomodasi asumsi-asumsi proses-proses politik-administratif di dalam alam-pemikirannya. Dalam teoripengembangan wilayah konvensional, sebuah kawasan diasumsikan hanya akantumbuh dan berkembang bila di dalamnya terdapat pusat-pusat pertumbuhanekonomi dan pelayanan yang dihela secara mandiri dan kuat oleh sektor ekonomiandalan. Pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan-pelayanan fungsi kehidupanmasyarakat dikembangkan secara terpola mengikuti rasionalitas yang dianut olehpara pelaku ekonomi konvensional. Dalam asumsi sistem ekonomi yang demikianitu, setiap pelaku bergerak atau mengambil keputusan terhadap sejumlah pilihanyang tersedia berdasarkan landasan etika-moral optimalisasi manfaat, minimisasibiaya, dan akumulasi modal. Teori pengembangan wilayah konvensional, tidakmemandang aspek tata-pengaturan (governance) atau sistem-administrasipemerintahan sebagai faktor penting yang ikut menentukan pertumbuhan danperkembangan perekonomian suatu kawasan.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

6

Oleh karena keterbatasan teori-teori konvensional dalam menjelaskan “dimensitata-pengaturan”, maka diperlukan tools of analysis yang sepantasnya diturunkanmelalui teoretisasi yang agak berbeda (inkonvensional) dari pandangan-pandanganklasikal dalam membedah efektivitas dan relevansi OTDA yang sesungguh-sungguhnya terhadap perkembangan suatu kawasan (pedesaan dan perkotaan) dibentang wilayah tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah, teori atau pendekatanalternatif apakah yang bisa digunakan dalam hal ini? Bagaimana pendekatan-pendekatan alternatif itu dioperasionalisasikan di lapangan?

Sebagaimana diketahui, asumsi dasar peluncuran kebijakan OTDA adalah,membiarkan pemegang otoritas-administrasi pembangunan di suatu kota/kawasanyang memiliki hierarkhi-kewenangan lebih bawah (kabupaten/kota) daripadapemerintah-pusat untuk melakukan improvisasi dalam menghimpun sumber-sumber ekonomi, menggerakkannya dan mengembangkan wilayahnya sesuaipotensi dan aspirasi-lokal. Melalui OTDA, perencanaan pengembangan suatukawasan harus dibebaskan dari kekuatan sentralitas yang tunggal dan mendikte (blue-printmodel). Oleh karena itu, kebijakan OTDA mendekonstruksi peran BadanPerencanaan Pembangunan Nasional yang berkedudukan di pusat, danmemperkuat posisi administratif-politis Badan Perencana Pembangunan Daerah diKabupaten dan Kota. Pemerintah kabupaten dan kota juga diberikan ruang yangmencukupi untuk mengalokasikan anggaran pembangunan sesuai keinginan lokal.

Semua itu dilakukan, oleh karena selama masa pemerintahan yang sentralistik,pembangunan sosio-ekonomi dan pengembangan wilayah, terlalu bias padakepentingan dan cita-rasa penguasa politik dan pemerintahan di pusat (Jakarta).Aspirasi dan kebutuhan di tingkat lokalitas, saat itu sangat diabaikan dan tidakbanyak dikomodasi oleh sistem kekuasaan dan pemerintahan sentralistik-otoritariantersebut. Demikianlah, sehingga OTDA dihadirkan dengan semangat untukmendekonstruksi dan mereduksi proses-proses perencanaan pembangunan wilayahyang terpusat (“central-government-biased”) yang terkesan elitis, tidak membumi, kurangmemihak rakyat kecil, dan mengabaikan keberadaan organisasi-organisasi ataukekuatan-kekuatan civil-society di tingkat grass-root. Artinya, OTDA (seharusnya)membawa missi perencanaan pembangunan wilayah yang lebih populis, membumi(down-to-earth), dan mengakar pada kebutuhan masyarakat serta mengakomodasiproses-proses politik perencanaan pembangunan yang partisipatif di tingkat lokal.Benarkah semua cita-cita itu bisa diwujudkan? Fakta-fakta atau pengalamanpelaksanaan OTDA sejak tahun 1999 hingga 2006, yang bisa dipetik dandiinventarisasikan dari lapangan, justru memberikan gambaran yang berbeda secaradiametral dengan apa yang dicita-citakan tersebut. Seperti apakah persoalan-persoalan faktual OTDA yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkansuatu kawasan? Beberapa persoalan penting OTDA di bawah ini bisa dicermati.

Pengembangan wilayah dalam kerangka OTDA, menghadapi sejumlah persoalanstruktural yang dapat diinventarisasi sebagai berikut:

1. OTDA yang mengimplementasikan prinsip desentralisme dan otonomisasiperencanaan pembangunan di tingkat kabupaten, seolah “menutup mata”

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

7

terhadap kenyataan adanya keeratan hubungan jejaring eko-geografis antarkawasan kabupaten-kabupaten “sehamparan”. OTDA juga telah mengingkarirealitas (adanya fakta) keniscayaan hubungan fungsional-interaksional perekonomian yangterjalin secara kuat antar berbagai organisasi ekonomi-produksi di wilayah kabupaten-kabupaten sekawasan. Pemerintah kabupaten menerjemahkan prinsip atau cita-cita kemandirian-daerah yang diinginkan oleh OTDA melalui “bahasaperencanaan pembangunan wilayah” yang samasekali menyalahi proposisi teoripembangunan wilayah apapun dan dimanapun. Alih-alih mengembangkanjejaring fungsional, dengan OTDA, setiap kabupaten justru men-single-out diri(mengisolasikan diri mereka dari pengaruh luar) dan berasumsi seolah-olahkawasan itu menjadi pusat pertumbuhan-mandiri yang memang sepantasnyabebas/steril dari pengaruh serta tidak memerlukan dukungan fungsional dariwilayah kabupaten tetangganya dan sebaliknya.

2. Pemberlakuan kebijakan OTDA yang sangat “daerah-oriented”, telahmenumbuhkan dan menguatkan egoisme-regional serta menajamkan potensikonflik antar-regional dalam perencanaan dan operasionalisasi pembangunanwilayah sekawasan. Kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh satu pemerintahkabupaten seringkali saling bertentangan dengan kebijakan yang diambil olehpemerintah kabupaten-kabupaten tetangganya. Akibatnya, bukan sinergismepertumbuhan sekawasan yang bisa dihasilkan, melainkan sebuah prosesnetralisasi-pembangunan, dimana kebijakan ekonomi di satu daerah justruberdampak counter-productive bagi perkembangan perekonomian di daerah lainnya(lihat Dharmawan, 2005).

3. OTDA memberikan kegamangan dan ketidaksiapan bagi pengemban otoritaspemerintahan daerah dalam membuat perencanaan pembangunan wilayah ditingkat kabupaten. Pengalaman dari berbagai studi terdahulu memberikanpetunjuk bahwa, dalam setiap proses working-out rencana pembangunan,pemerintah kabupaten selalu kehilangan esensi dari mata-rantai perencanaanpembangunan internal yang justru dibangunnya dengan susah-payah. Faktamenunjukkan bahwa, kepada setiap unsur masyarakat di setiap desa dankecamatan (otoritas administrasi di bawah kabupaten) diberikan peluang untukikut melakukan proses-proses perencanaan pembangunan yang sesuai dengankebutuhan wilayahnya (melalui proses-proses politik lokal), namun di pihaklain, apa yang diperoleh desa di kemudian hari selalu saja tidak seperti apa yangtelah direncanakan semula. OTDA dalam hal ini menghadapi prosesketidakpercayaan internal dalam ruang kelembagaan pemerintahan atau ruang-politikperencanaan pembangunan (lihat Piliang, 2003 dan Dwiyanto et al, 2003).

4. OTDA membuat sibuk pemerintah kabupaten untuk terus-menerusmenghimpun dana (Pendapatan Asli Daerah atau PAD), sementara merekamelupakan untuk apa (kemana) dana yang telah dikumpulkan itu sesungguhnyaharus/akan dimanfaatkan. Hal ini terbukti, bahwa fungsi-fungsi pelayanansosial (fasilitas pendidikan, pusat kesehatan masyarakat, infrastruktur fisik) danfasilitas kegiatan ekonomi masyarakat lainnya tidak serta-merta meningkat

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

8

kualitasnya dengan meningkatnya PAD. Di beberapa kabupaten yang dapatdikategorikan “kaya dengan sumberdaya alam dan menghasilkan PAD dalamjumlah yang besarpun”, fenomena kemelaratan dan ketertinggalan danketidakpuasan atas pelayanan publik masih menjadi persoalan yang menonjol(lihat Dwiyanto et al, 2003).

5. OTDA menyisakan sejumlah persoalan penting yang perlu menjadi perhatianbersama ke depan. Hasil investigasi empirik yang dilakukan oleh Dwiyanto et.al (2003) atau Dharmawan (2006) menerangkan bahwa persoalan-persoalantersebut adalah:

(a) Ketidaksepahaman tentang pemahaman OTDA oleh setiap pemerintah daerah,dimana ketidakselarasan ini berpotensi mengganggu atau mendistorsiimplementasi kebijakan OTDA secara utuh dan keseluruhan,

(b) Kapasitas kelembagaan pemerintahan serta komitmen kelembagaan pemerintah padakepentingan publik yang masih sangat terbatas,

(c) Konflik-konflik antar kelembagaan pemerintahan dan antar pemerintahanbaik secara horisontal maupun vertikal,

(d) Pelayanan administrasi publik yang masih mengecewakan dimana isyuKorupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) tetap menjadi isyu sentral,

(e) transparansi pengelolaan anggaran dan pengawasan kegiatan pembangunan yangmasih kurang memuaskan,

(f) penegakan hukum yang tidak konsisten, dan(g) intensitas dan luasnya partisipasi masyarakat dalam proses politik lokal serta

tata-pemerintahan yang masih terkendala, sehingga mendistorsipembentukan tatanan pemerintahan yang mandiri, berdaya dan legitimate.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah sesungguhnya formulasi konseppembangunan wilayah di masa OTDA sebaiknya disusun dan dijalankan?Pengalaman apa yang bisa dipetik dari studi aksi partnership-based rural governancereform di lima wilayah provinsi di Indonesia, yang dapat menjadi pertimbangan bagikonsep pembangunan wilayah pedesaan selanjutnya? Rencana strategis apa yangsepantasnya disusun ke depan bagi pembangunan kawasan yang mengedepankanprinsip good-rural governance dan berbasiskan kemitraan itu?

2 LANDASAN TEORETIK-KONSEPTUAL

2.1. Konsep Wilayah: Pengertian dari Beragam PerspektifSebelum membahas tentang konsep pembangunan wilayah yang relevan bagiOTDA, perlu disepakati terlebih dahulu tentang apa batasan-makna region, wilayahatau kawasan itu. Meski setiap orang bisa menunjuk pada maksud yang sama,namun “wilayah atau kawasan” dalam wacana pengembangan wilayah (regionaldevelopment) memiliki makna yang berbeda-beda tergantung dari sudut-pandang danperspektif mana yang hendak dipakai. Secara sederhana Dawkins (2003) memaknai

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

9

konsep wilayah pada pengertian “kesatuan atau entitas dimana aktivitas-aktivitas ekonomiberlangsung” atau sekedar “kumpulan ruang atau tempat yang disatukan oleh batas-batasgeografis tertentu”. Namun, pengertian wilayah atau kawasan tentu tidak sesederhanaitu maknanya, sejak ilmu pengetahuan juga terus berkembang dan memberikanalternatif cara memandang sesuatu persoalan.

Sebagai konsep ruang yang saling terkait satu sama lain (spatially interdependent), wilayahatau kawasan dapat menunjuk pada pengertian “nodal regions” dimana satuan-satuanaktivitas pertukaran dalam perekonomian saling dihubungkan satu sama lainsehingga membentuk jejaring kawasan yang lebih luas. Menurut Hoover danGiarratani (1985) sebagaimana dikutip oleh Dawkins (2003) kawasan nodalmemiliki dua karakteristik:

(1) mereka secara fungsional-internal terintegrasi satu sama lain sedemikian rupasehingga tenaga kerja, modal dan komoditas perdagangan cenderung salingdialirkan dan dipertukarkan di dalam kawasan daripada ke luar kawasan,

(2) di dalam kawasan, aktivitas-aktivitas selalu diarahkan ke satu titik (node),dimana diasumsikan bahwa setiap titik (node) memiliki kawasan periferal yangmengelilinginya. Setiap titik (node) menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yangikut membawa kemakmuran bagi kawasan periferalnya. Pengertian ini jelasmemaknai kawasan sebagai satuan wilayah dengan menggunakan asumsipergerakan ekonomi semata-mata dan menegasikan kehadiran elemen laindalam kehidupan yang semestinya juga diperhitungkan.

Dalam pada itu, perspektif traditional functional economic area dan perspektif localpolitical approach memberikan makna pada konsep kawasan berbeda secarasubstansial. Sebuah wilayah dalam pengertian yang dianut oleh mereka dariperspektif kawasan ekonomi fungsional tradisional selalu menunjuk kawasan denganbatas-batas geografis yang “maya” sesuai dengan kuatnya pengaruh pusat-pusatpertumbuhan ekonomi yang secara struktural-fungsional terjalin-terpadu dengankawasan-kawasan pelayanan sosial di sekelilingnya. Pendekatan politik-lokalmemaknai kawasan sebagai ruang dimana suatu ideologi-politik tertentu danpraktek kehidupan politik berasaskan ideologi tertentu tersebut hidup danberlangsung secara intensif.

Batas-batas geografis atau luas-wilayah kawasan berbasiskan pengertian politik-lokal, jelas tidak-setangkup dengan luas-wilayah berdasarkan pengertian kawasanekonomi fungsional dimana aktivitas-aktivitas ekonomi dijalankan. Dalam perspektifpolitik lokal, suatu kawasan dapat dikenali dengan jelas sesuai dengan luasannya danbesarnya jumlah penganut suatu gagasan atau ideologi politik tertentu, dimanaideologi tersebut diimplementasikan secara efektif di kawasan yang bersangkutan.Dengan pengertian seperti ini, maka secara geografis, luas-wilayah tata-pemerintahan (berbasiskan kesatuan ideologi-politik yang dianut masyarakat danmembentuk kesatuan wilayah hukum tertentu) seringkali tidak kongruen satu samalain dengan luas-wilayah ekonomi dimana aktivitas-aktivitas pertukaran-perdagangan barang-jasa-modal dan pelayanan-pelayanan sosial berjalan secara

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

10

fungsional dan operasional. Dalam banyak kasus, luas-wilayah pertukaran danpelayanan ekonomi bisa lebih sempit ataupun lebih luas daripada coverage(jangkauan) pelayanan administrasi dan tata-politik pemerintahan lokal di suatukawasan.

Dari sudut pandang yang agak berbeda, wilayah atau region dapat dipahami sebagaikesatuan atau “gugusan elemen sumberdaya alam yang tersusun secara teratur dan tertib”pada batasan geografis tertentu. Perspektif ini memahami wilayah sebagai:“ekosistem dimana batas-batas geografis di dalamnya dapat ditelusuri dari intensitashubungan-hubungan sosio-ekologi-dan-ekonomikal yang saling bergantungsesamanya antara natural resource systems dan human populations”. Sementara itu,Markusen (1987) sebagaimana dikutip oleh Dawkins (2003) mendefinisikan wilayahatau kawasan dalam perspektif kesatuan tata-kehidupan komunitas dan sumberdaya alamsecara sekaligus, sebagai: “sebuah tempat kehidupan dimana terdapat pemukimanbeserta aktivitas-aktivitas ekonomi yang saling berdekatan, berkaitan dan terpusat(contiguous territorial society) yang berkembang secara historis dimana di dalamnyaterlibat sejumlah elemen seperti physical environment, socioeconomic, political, and culturalmilieu yang sangat dinamis”. Dengan konstelasi yang demikian, maka sebuahkawasan atau wilayah akan menampilkan kekhasan spasial secara struktural (spatialstructure) yang tampilannya secara nyata jelas berbeda terhadap kawasan lainnya.Definisi ini sangat mengapresiasi keberadaan suatu kawasan dalam konteks historisdimana tumbuhnya aktivitas-aktivitas sosio-ekonomi atau kehidupan secara umumdisebabkan oleh interaksi antara manusia (komunitas manusia) dan sumberdaya alamlokal (the interaction between humans and local natural resources) sepanjang waktu.

Hingga titik ini, pengertian kawasan atau wilayah, paling tidak dapat diidentifikasiatau dimaknai dari beberapa perspektif penting, seperti:

(1) perspektif ruang-geografis,(2) perspektif ruang-politis,(3) perspektif jejaring-fungsional,(4) perspektif sumberdaya alam dan lingkungan,(5) perspektif entitas komunitas-sosiologis.Setiap perspektif mendefiniskan ruang, wilayah atau kawasan secara berbeda-bedamenurut pemahaman dan asumsi yang mendasarinya. Persoalannya kini adalah,menggunakan perspektif atau teori yang manakah analisis tentang pembaruan tata-pemerintahan desa dalam konteks pembangunan wilayah harus dilakukan?

2.2. Pengembangan Wilayah berbasiskan Partisipasi dan Kemitraan viaPenguatan Ruang Politik dan Kelembagaan Lokal

Sebenarnya, kebijakan OTDA yang memberikan otonomi dan keleluasaankewenangan lebih besar kepada daerah (kabupaten) dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi-politik pembangunan, dapat menjadi peluang yang sangatberarti bagi kekuatan-kekuatan politik lokal untuk secara aktif memperjuangkan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

11

gagasan pengembangan wilayahnya sesuai aspirasi dan sumberdaya lokal.Pertanyaannya, sudah mampukah setiap elemen politik lokal merespons, memilikikesiapan, serta berkapasitas penuh untuk merumuskan tahapan pengembanganwilayahnya dalam kerangka OTDA? Mampukah elemen-elemen politik pada setiapsatuan terkecil wilayah-perekonomian menggerakkan aktivitas ekonomi lalumenjalinnya menjadi jaringan pertumbuhan wilayah yang integratif? Ruang politik(lokal) seperti apakah yang mampu meggerakkan perekonomian dan kesejahteraanwilayah? Ruang politik lokal seperti apakah yang ada dan telah terbentuk saat ini?Benarkah atau sudah siapkah ruang politik lokal yang ada akan mampu menjadi“wadah sekaligus mesin penggerak” pertumbuhan atau perkembangan daerah? Jikajawabannya “belum-siap”, maka apa yang harus diperbaiki, diperkuat, diberdayakan,dan dikembangkan?

Secara paradigmatik, perspektif teori politik-lokal berkeyakinan bahwa pembangunanwilayah yang kondusif bisa didekati dan dimulai melalui ruang politik lokal yangberdaya dan mandiri. Kawasan yang dinamis dan bergairah hanya bisa diwujudkanbila elemen-elemen politik lokal memiliki kesiapan dan kapasitas yang mencukupiuntuk melakukan perencanaan pembangunan wilayah secara mandiri (bebas dari“kekuatan penekan” manapun). Pertanyaannya kemudian, jika ternyata ruangpolitik perencanaan wilayah yang ada belum berdaya, lalu bagaimanakah elemen-elemen politik lokal itu harus diberdayakan? Dapatkah penguatan ruang politik lokaldimulai dari organisasi tata-pemerintahan desa sebagai unit-keputusan terkecil dalamhierarkhi kewenangan pembangunan?

Secara filosofis, terdapat dua ranah/pespektif dalam teori pembangunan wilayahyang mendekati persoalan penumbuhan ekonomi lokal melalui perspektif “ruang-politik lokal”, yaitu:

(1) growth machine theory (GMT) atau teori mesin pertumbuhan, dan(2) new institutional economics (NIE) atau teori ekonomi kelembagaan baru.

Kedua teori tersebut diturunkan dari kritik yang tegas atas kelemahan teori-teoriklasikal pembangunan wilayah, yang selama ini mengabaikan faktor kelembagaanpolitik dalam “model” pemutusan kebijakan pengembangan suatu wilayah ataukawasan (lihat Dawkins, 2003).

Teori mesin pertumbuhan (GMT) menjelaskan bahwa ruang-politik lokal yang mapandan matang mampu menelurkan gagasan-gagasan serta mengoperasionalisasikangagasan tersebut menjadi fakta-konkret di lapangan. Menurur teori ini,pertumbuhan ekonomi regional dapat terbentuk sebagai akibat langsung dariaktivitas tata-pengaturan administrasi-politik lokal (local political organization), danbukan sebaliknya. Artinya, “kekuatan organisasi pengaturan politik lokal” dapatberfungsi sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal. Mesin pertumbuhanyang diperkenalkan oleh teori ini menunjuk pada keberadaan sejumlah organisasisosial lokal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Teoriini kemudian dikenal sebagai teori politik lokal, karena organisasi-organisasi sosialtersebut dalam operasionalisasinya mampu men-generate keputusan-keputusan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

12

politik yang decisive bagi pertumbuhan wilayah. Manakala kebijakan-kebijakan yangdirumuskan bisa berjalan secara efektif, maka keputusan-keputusan tersebutpastilah memiliki dampak pada perbaikan atau jalannya aktivitas-aktivitasperekonomian lokal. Berkembangnya aktivitas ekonomi lokal (local economic activity)juga berarti sebuah dorongan bagi pertumbuhan perekonomian suatu kawasan.Pertumbuhan perekonomian suatu kawasan adalah inti dari perkembangan suatuwilayah (Molotch, 1976 seperti dikutip oleh Dawkins, 2003). Menurut perspektifteori GMT, kebijakan OTDA yang memberikan platform otonomi desa sebagaikekuatan penggerak perubahan wilayah desa, pergerakannya akan sangat ditentukansejauhmana rural governance system berlangsung dan dijalankan oleh semua pihakterkait pada proses-proses perencanaan pembangunan wilayah.

Sementara itu, teori ekonomi kelembagaan baru (NIE) mengembangkan proposisi yangintinya adalah bahwa perkembangan perekonomian suatu wilayah dapat didekatimelalui perubahan kelembagaan (institutional change) dan penataan kelembagaansebagai infrastruktur pengembangan wilayah. Pendekatan ini adalah turunan (derivat)dari mazhab institusionalisme yang mengembangkan keyakinan bahwakelembagaan menjadi kata-kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi regional.Gagasan ini dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang mengajukan proposisibahwa kelembagaan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligusmenghindarkan beban biaya tinggi yang diperlukan untuk memonitorketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang harus ditanggung oleh para pihakberinteraksi. North (1990) mengukuhkan proposisi Coase dengan menyodorkansatu teori institutional adaptation and change yang berbasisikan pada asumsi-kerjabahwa kelembagaan politik dan ekonomi memang menjadi kebutuhan untukdisesuaikan dan dikembangkan guna menekan transaction cost dilemma yang selaluhadir pada suatu sistem sosial-ekonomi yang berkembang makin kompleks sebagaiakibat pertukaran-pertukaran ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaankapitalistik. Dalam pandangan North (1990) perkembangan perekonomian danpertukaran (transaksi ekonomi) di suatu wilayah yang terus meninggi perludiimbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yangkompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang hadir untukmemfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk menangguk short-termprofits.Secara instrumental, baik perspektif GMT maupun NIE dapat digunakan salingmendukung untuk menganalisis persoalan dan hubungan antar-persoalan yangterkait dalam pengembangan wilayah (desa) di era OTDA. Pertanyaan yang hendakdijawab disini, adalah: bagaimanakah organisasi pemerintahan desa dan tata-pemerintahan desa sebagai basis-kelembagaan ruang politik lokal, diberdayakan agarmampu menjadi penggerak perkembangan suatu wilayah (desa)? Hal-hal (governancesystem) apa sajakah yang perlu diperbaiki dan disempurnakan? Sudah cukupkahorganisasi pemerintahan desa menjadi ruang publik dan “arena bermain” yangmemadai bagi segenap stakeholder untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakanpengembangan wilayah (di tingkat lokal - desa)?

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

13

3 PERENCANAAN DAN PENATAAN WILAYAH PADALIMA PROVINSI DALAM KONTEKS UU 32/2004 DANUNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS

Undang-undang No. 32/2004 telah membawa reorientasi (nilai) perubahan cukupbesar bagi proses demokrasi perencanaan pembangunan di Indonesia, yangsebenarnya telah berubah ke arah yag lebih demokratis pada saat UU No. 22/1999.UU No. 22/1999 pada dasarnya lebih akomodatif untuk menjalankan demokrasidan desentralisasi lokal pada aras pedesaan. UU No. 32/2004 secara substansimakin menjauh dari UU No. 22/1999 dengan meresentralisasi danmerebirokratisasi kehidupan politik di pedesaan, yang ditunjukkan pada desainhubungan pusat-daerah dan akuntabilitas kepala daerah (bupati/walikota) maupunkepala desa. Demikian pula halnya dengan UU otonomi khusus (OTSUS), tidakjauh berbeda kondisinya dengan keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tersebut.

Dari sisi perencanaan dan penataan wilayah sedikit banyak juga mengalami’sentuhan’ perubahan dengan adanya UU No. 32 tahun 2004, hanya saja perubahanini ada yang disikapi dengan serius untuk menuangkannya ke dalam rencanatataruang wilayahnya namun ada pula yang belum menuangkannya dalam rencanatataruang wilayah. Semua itu memang tergantung kemauan, keinginan dankomitmen dari kepala daerah (bupati/walikota) nya masing-masing. Bagaimanaperencanaan dan penataan wilayah yang ada di lima provinsi penelitian, disajikanpada Gambar 1.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa perencanaan dan pembangunan di Sumatera Baratdan Bali relatif telah berjalan dengan baik dan efektif dibandingkan dengan daerahNanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat dan Papua. Efektivitas programperencanaan dan pembangunan di 2 (dua) provinsi tersebut diatas didukung denganketersediaan infrastruktur yang memadai, dan didukung dengan tersedianyaperaturan yang mendukung penataan tata ruang wilayah serta cukup partisipatif-nyaketerlibatan internal pemerintahan administratif dalam penataan ruang. Sedangkanbagi 3 (tiga) provinsi yang lain, yang menunjukkan bahwa perencanaanpembangunan wilayahnya lemah adalah masih besarnya peran Pemerintah dansangat mengandalkan negara (state driven) dalam segala tata kehidupan, sehinggahampir tidak ada perencanaan yang muncul secara murni dari wilayahpembangunan itu sendiri. Dengan kata lain, program pembangunan akandirencanakan dan dilaksanakan jika telah ada ’petunjuk’ dan arahan dari pihakatasan, sehingga sangat kental dengan nuansa ’top down’ nya.

Demikian pula halnya dengan pemicu pertumbuhan ekonomi dan wilayah, pada 2(dua) daerah Sumbar dan Bali itu sudah memiliki “generator penggerak pertumbuhan”yang menggerakkan ekonomi wilayah, yang masing-masing berbasiskan pada sektorpertanian dan pariwisata, dibandingkan dengan ke-3 (ketiga) wilayah yang lain.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

14

Penggerak ekonomi wilayah di dua(2) wilayah tersebut berjalan dengan baik karenadidukung kesiapan kelembagaan yang ada disana, dominan dengan keberadaanlembaga adat yang memang sudah ’established’ dan berakar pada masyarakatsetempat disana.

Berikut akan dibahas satu per satu bagaimana respon penerapan UU No. 32 tahun2004 dan UU otonomi khusus masing-masing wilayah di lima provinsi yang ditelititerhadap perencanaan dan penataan wilayahnya.

Faktor Pengaruh NAD Sumbar Jabar Bali Papua

Kondisi Infrastruktur Terbatas Tersedia &baik

Tersedia& baik

Tersedia &baik

Terbatas

Peraturan TerkaitPenataan Wilayah

Tidak ada Perda16/2005

ada ada Tidak ada

Peran Adat dalamPenataan Wilayah

Tidak ada Dominan Tidak Ada Dominan Tidak ada

Keterlibatan InternalPemerintahahAdministratif dalamPenataan Wilayah

Tidak ada Cukuppartisipatif

Tidak ada Partisipatif Tidak ada

Keterpengaruhanpihak bottom up dalamPenataan Wilayah

State driven dominan State driven dominan State driven

Model PenataanWilayah Yang Ada

Tidak ter-planning

Ter-planning

Tidak Ter-planning

Ter-planning

Tidak adaplanning

Orientasi PenataanWilayah di MasaDepan

Tertinggaldenganhomogenitaspertanian

Majudenganpertanianberbasislokalitas

Majudenganpertanian-industri-budaya

Majudenganperan adatsangatdominan

Tertinggaldenganheterogenitastinggi

PendorongPertumbuhanWilayah: growthmachine ketersediaanruang politik lokal

Tidak ada Ada, walaulambat

Tidak ada Ada Tidak Ada

PendorongPertumbuhanWilayah: newinstitutional economics kelembagaan

Ada tapi‘mati’

Ada Tidak ada Ada Tidak ada

Sumber: Catatan Harian Lapang, 2006.

Gambar 1. Perencanaan dan Penataan Wilayah di Lima Provinsi Penelitian

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

15

3.1. Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)Hasil diskusi focus group discussion di lokasi penelitian yang dipusatkan di Desa BabahJurong dan Desa Cot Geundreud menunjukkan bahwa sedikit sekali atau bahkandapat dikatakan belum ada perubahan yang dirasakan oleh masyarakat lokalsebagai dampak dari penerapan OTSUS di NAD. Seperti kita ketahui bersama,bahwa pemerintahan NAD masih berkutat dengan urusan konflik-politis internalkarena instabilitas sosio-politis di level makro NAD (yang dijajagi dengan perjanjiandamai GAM-RI) yang membelenggu gerak dinamika politik dan sosial pemerintahmaupun masyarakat daerah-lokal sehingga kevakuman dalam tata pemerintahantidak dapat dihindari. Kehidupan dan kekuatan civil society meredup dan bahkanpadam samasekali.

Konflik sosio-politis NAD membawa pengaruh yang besar pada kehidupanmasyarakat yang saat ini berada pada kondisi apatisme yang tinggi dan ’salingcuriga’ satu dengan lainnya (internal distrust antar masyarakat yang cukup tinggi) sertatingginya ketidakpedulian diantara masyarakat. Pada kondisi masyarakat seperti itusulit bagi pemerintahan NAD untuk melakukan perencanaan dan pembangunanwilayahnya. Terlebih lagi dengan datangnya musibah Tsunami di NAD, makinmemperburuk perencanaan dan pembangunan NAD, hampir seluruh energi dansumberdaya yang ada terkuras habis untuk merecovery (memulihkan kembali)NAD, yang infrastrukturnya hancur porak-poranda sehingga melumpuhkanpembangunan dan pertumbuhan ekonomi lokal disana.

Undang-undang OTSUS NAD sebenarnya lebih mengakomodir perencanaan danpembangunan wilayah yang didesentralisasikan kepada pemerintahan di tingkatbawah (desa sekalipun), yang diterjemahkan dalam bentuk musrenbang(musyawarah perencanaan pembangunan) di tingkat kabupaten ataupun desa,namun karena ketidakberdayaan aparat pemerintahan desa dan masyarakat lokalsehingga berdampak pada stagnannya proses perencanaan pembangunan daribawah (bottom up). Salah satu contoh adalah ketidakberdayaan dan hancurnyakelembagaan pengelolaan sumberdaya air di level desa, yang disebut ’kajeureunblang’, melumpuhkan tata kelola air antar desa dan antar kawasan hulu-hilir yangakhirnya melumpuhkan pertumbuhan ekonomi lokal. Kelembagaan pengelolaansumberdaya air ini merupakan sumber berkembangnya aktivitas ekonomi lokal (localeconomic activity). Dengan hancur dan matinya ’kajeureun blang’ maka hal ini jugaberarti pertumbuhan ekonomi kawasan itu hancur atau mati. Itu artinya, hancurnyakelembagaan pengelolaan air akan ada perubahan ekonomi lokal yang akhirnyaberdampak pada hancurnya kehidupan sosial masyarakat di kawasan atau wilayahtersebut nantinya.

Berbagai kondisi ketidakberdayaan pemerintahan daerah (kabupaten dan desa) danmasyarakatnya membuat pemerintah pusat yang mengambil alih urusanperencanaan pembangunan wilayah disana. Walaupun diambil alih pemerintahpusat, namun penyusunan perencanaan pembangunan selalu disesuaikan dengankehidupan dan kebutuhan masyarakat NAD. Syariah Islamiyah diterapkan dalamsegala tata aturan pemerintahan maupun perilaku kehidupan politik disana.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

16

Berbagai ’quanon-quanon’ dibuat agar rencana pembangunan di NAD dapat lebihmudah diimplementasikan dan direalisasikan.

Lebih lanjut, menarik untuk dibahas disini adalah masih kentalnya kehidupan adatdi wilayah NAD, yang sedikit banyak mempengaruhi proses perencanaanpembangunannya. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisir keragu-raguansebagian orang akan mampukah konsep desentralisisasi dan tata pemerintahan desaditerapkan ditengah-tengah menguatnya pembangunan masyarakat modern danglobal. Eksistensi masyarakat desa termasuk masyarakat adat ’gampong’ saat inimengalami paradoks dan marginalisasi akibat pembangunan yang dilakukan olehpemerintah pusat. Pemecahan dan pengambilan keputusan yang dahulu selaludiselesaikan di tingkat desa melalui ’meunasah’ dengan membangun solidaritassosial diantara masyarakat desa, hal itu sekarang juga sudah termarjinalkan.

Dampak dari paradoks dan marjinalisasi pembangunan ini muncul sebagai dampakdari diterapkannya model pembangunan yang umumnya digunakan sebagai acuanoleh negara Indonesia, seperti yang diterapkan oleh negara-negara berkembanglainnya di dunia ini, yaitu model yang evolusionistik, berkembang secara bertahap,linier, ekuilibrium dan makro, seperti model pertumbuhan ekonomi Rostow(Anonimous, 2005). Model pertumbuhan Rostow dengan cirinya yang makroterfokus pada pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan materi dan tingkatkemampuan konsumsi, telah menyebabkan model ini didalam pelaksanaannyamengabaikan variasi-vasiasi lokal yang ada didalam suatu masyarakat-negara.Ideologi dan paradigma modernisasi pembangunan tersebut menganggap ’tradisidan kearifan lokal’ yang melingkupi kehidupan masyarakat desa dan masyarakathukum adat adalah suatu masalah dan menghambat pembangunan, sehingga tidakjarang muncul konflik antara pemerintah dan masyarakat desa yang langsungmaupun tidak langsung terkait dengan masalah adat.

Konflik dan resistensi masyarakat desa atau masyarakat hukum adat – khususnyayang berada di wilayah kaya sumberdaya alam – terhadap kondisi tersebut diatastidak sedikit yang memunculkan kegiatan separatis ingin memisahkan dari NKRI(Negara Kesatuan Republik Indonesia), termasuk di NAD ini. Adanya UU No.22/1999 dan UU No. 32/2004 berusaha menggantikan perangkat-perangkathukum dan perundang-undangan yang selama ini sentralistik, otoriter dan represif.Demikian pula halnya dengan NAD, melalui UU OTSUS berusaha ’menekan’sentralistik, otoriter dan represif tadi dan menggantikannya dengan pendekatanyang lebih desentralistik, demokrasi dan persuasif, dengan tanpa mengabaikanhukum-hukum atau pranata adat ’gampong’ yang berlaku di NAD.

3.2. Sistem Nagari di MinangkabauPerencanaan dan pembangunan wilayah di Sumatra Barat yang ditelitidikonsentrasikan pada wilayah Kabupaten Solok, dengan mengambil contoh 2(dua) desa dengan karakteristik satu dan lainnya berbeda, yaitu Desa Paninggahan(desa urban dengan tata kehidupan masyarakat yang lebih mudah menerima

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

17

perubahan dari luar desa) dan Desa Semanau (desa rural-urban dengan tatakehidupan masyarakat yang masih mempertahankan keasliannya). Kabupaten itumerupakan kabupaten yang relatif lebih siap dalam menghadapi otonomidibandingkan dengan daerah atau kabupaten lainnya di Sumatra Barat. Segalaaturan tata ruang yang menyangkut wilayah telah dituangkan ke dalam PeraturanDaerah (Perda), sebagai contoh Perda No. 1 Tahun 2004 tentang Rencana TeknikRuang Kota Ibukota Kabupaten Solok, dan Perda No. 27 tahun 2000 tentangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Solok.

Hal yang menarik dalam perencanaan dan pembangunan wilayah di Sumatra Barat,khususnya di Kabupaten Solok, adalah adanya keterlibatan masyarakat lokal secarabottom up dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang, yang tertulis dalam Perdatersebut, bahwa peran serta dan masukan-masukan (saran) masyarakat dapatdisampaikan secara lisan maupun tulisan mulai dari tingkat Nagari ke Kecamatandan kepada Kepala Daerah serta pejabat yang berwenang di wilayahnya.

Khusus untuk Kabupaten Solok, dalam rangka penerapan undang-undang mulaidari UU No. 22 tahun 1999 hingga UU No. 32 tahun 2004 dan penyesuaiannyasekarang dengan Peraturan Pemerintah (PP) no. 72 tahun 2005 maka PemerintahKabupaten (Pemkab) melakukan peningkatan pelayanan publik denganmenyerahkan 105 kewenangan kepada Nagari. Tujuan penyerahan wewenang danurusan ke Nagari adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lokalsecara cepat dan efisien, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraanmasyarakat lokal secara langsung. Diserahkannya kewenangan kepada Nagarikarena Nagari merupakan satuan administratif terendah yang diakui olehmasyarakat adat dan dalam hirarkhi pemerintahan setara dengan desa di ProvinsiSumatra Barat yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Pada implikasinya kewenangan ini berbeda dengan urusan. Pada satu kewenanganada beberapa urusan, termasuk kewenangan pendidikan yang terdiri dari beberapaurusan, termasuk urusan disiplin guru, kurikulum pendidikan sekolah, dan lainsebagainya, disamping kewenangan pengurusan KTP yang langsung berhubungandengan masyarakat lokal. Di Kabupaten Solok, Wali Nagari lah yang langsungmemberikan pelayanan publik, termasuk menandatangani KTP dan bukan Bupatiatau di level Kabupaten, hal ini berbeda dengan daerah lain di Provinsi SumatraBarat. Namun setelah dikeluarkannya PP72 tahun 2005 oleh Pemerintah Pusatmaka pelayanan publik tersebut mengalami perubahan, dimana berimplikasi WaliNagari tidak memiliki kewenangan lagi untuk menandatangani KTP atau aktalainnya, namun Wali Nagari tetap harus memberikan surat pengantar/rekomendasike kecamatan. Dampak PP No.72 tahun 2005 ini penandatangani KTP kembali kekabupaten (dalam hal ini oleh kecamatan) sehingga rantai birokrasi lebih panjangdan memakan waktu bisa mencapai 12 hari, sementara itu ketika penandatanganiKTP dilakukan oleh Wali Nagari hanyalah memakan waktu lima hari.

Tanggapan Pemerintah Kabupaten (daerah) terhadap UU 32 tahun 2004, yangmerupakan bentuk penyempurnaan terhadap UU 22 tahun 1999, memberikankewenangan lebih luas dalam hal kaitannya dengan aktivitas tata-pengaturan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

18

administrasi-politik lokal (local political organization), yang pada gilirannya dapatmemotivasi secara langsung pertumbuhan ekonomi regional. Selaras dengan teorisebelumnya manakala kebijakan-kebijakan yang dirumuskan berjalan efektif, makakeputusan-keputusan tersebut harus memiliki dampak pada aktivitas ekonomi lokaldan kehidupan sosial masyarakat lokal. Dalam hal ini, perubahan dan implementasiUU 22 tahun1999 terhadap UU 32 tahun 2004 dan penyempurnaan PP 93 tahun2004 menjadi PP 72 tahun 2005 di Provinsi Sumatra Barat direalisasikan denganPerda Nagari (Perna) yang saat ini sedang diproses perubahannya. Prosespelimpahan wewenang mengikuti mekanisme sebagai berikut, yaitu UU dituangkanmenjadi PP, kemudian dituangkan menjadi Perda, khusus di tingkat Nagaridituangkan menjadi Perna, yang langsung ’bersentuhan’ dengan masyarakat lokalNagari.

Khusus di Kabupaten Solok, seluruh desa sudah menjadi Nagari, yang manaperubahan tersebut diikuti dengan semangat perubahan Perna No.4 tahun 2001menjadi Perna No.8 tahun 2005. Segala perubahan tersebut, seperti yang sudahdibahas diatas, bahwa membawa pada proses perubahan di seluruh sendi-sendikehidupan Nagari, termasuk sosial dan ekonomi. Menyangkut perkembanganekonomi, di masing-masing Nagari membangun Badan Usaha Milik Nagari (BUM-Nag) yang setara dengan Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) dan dominandiarahkan pada aktivitas-aktivitas pertanian (dalam arti luas: pertanian, perikanandan kehutanan) berbasiskan sumberdaya lokal, disamping memberikan danatersendiri dalam bentuk DAUN (Dana Anggaran Umum Nagari) yang besarannyaberkisar pada 20 juta rupiah per Nagari. Di bidang sosial, yang juga mengalamiperubahan adalah menyangkut masalah aksesibilitas, human capital dari sumberdayamanusia (SDM), peningkatan pendapatan, fasilitas pendidikan dan kesehatan. Padaintinya, pembangunan daerah (Nagari) di Kabupaten Solok diprioritaskan pada 3(tiga) bidang arahan, mencakup: (1) ekonomi kerakyatan, (2) pendidikan, dan (3)kesehatan.

Dalam rangka OTDA, Kabupaten Solok merupakan satu-satunya kabupaten diProvinsi Sumbar yang sudah melaksanakan peningkatan pelayanan publik denganmenerapkan sistem ”Pos Pelayanan Satu Pintu Plus” dengan tujuan untukmerealisasikan “good governance /clean governance” disana dengan menerapkanakuntabilitas melalui penegakan hukum dan tranparansi pelayanan publik.Realisasinya ”Pos Pelayanan Satu Pintu Plus” dapat berjalan baik apabila dapatmemenuhi kriteria 3 (tiga) kejelasan, yaitu (1) ada jelas syaratnya, (2) ada jelasbiayanya, dan (3) ada jelas waktu pelayanannya.

Sebelum disahkan dan direalisasikan, konsep ’pelayanan satu pintu plus’ itudilakukan melalui beberapa tahapan proses, yang menerapkan pendekatanpartisipatif dan bottom up yang melibatkan seluruh stakeholders yang terlibat,yaitu:

(1) Tahap Diskusi: didiskusikan terlebih dahulu secara matang, transparan danantisipatif ke depan segala kemungkinan yang akan terjadi jika”Pos Pelayanan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

19

Satu Pintu Plus” ini diterapkan pada masyarakat lokal maupun masyarakatluar (pendatang).

(2) Tahap Sosialisasi: diterapkan aturan bagi hasil lima persen per instansi bagiinstansi yang terlibat dan berada dibawah tata pemerintahan (11 dinas dengan32 jenis pelayanan tidak masuk pertanahan (karena dekonsentrasi), agama,dan sebagainya.

(3) Tahap Legalisasi: diterbitkannya berbagai Peraturan Nagari (Perna) yangmengatur tentang jaminan pelayanan publik.

Realisasinya, untuk kecamatan yang letak wilayahnya jauh dapat dilayani dengan posdan yang kira-kira membutuhkan transport bagi masyarakat, dengan hanyamengeluarkan tambahan biaya pos, disamping biaya untuk mengurus pelayanannyaitu sendiri. Selanjutnya, sistem penerimaan pada akhir bulan pada instansi terkait,diatur sedemikian rupa, meliputi:

(1) Pelayanan satu pintu plus merupakan milik Pemkab, yang dimasukkan sebagaikas daerah, sementara Provinsi melakukan kewenangan dana perimbangan.

(2) Pencairan dana dimasukkan kedalam BPKD (Badan Pengelola KeuanganDaerah) yang berfungsi sebagai bank, yang juga menerapkan pelayanan satupintu.

(3) Jasa pemborongan dengan menerapkan SPM (surat perintah membayar)dengan menandatangani ”Pakta Integritas”, yang merupakan komitmen janjikejujuran: tidak boleh memberi dan menerima dari pihak manapun untuksuatu kegiatan apapun. Pengalaman pembangunan yang diterapkan selama ini,kabupaten pernah menolak program-program atau proyek nasional sejauh ada”fee”, sebagai contoh penolakan yang menyangkut pembangunan terminal diKabupaten Solok.

Disamping hal tersebut diatas, bagi Pemerintah Kabupaten Solok memberi ruanggerak yang lebih luas, yaitu adanya keleluasaan dan kewenangan bagi seluruh Nagariuntuk berotonomi. Contoh konkrit yang berhubungan dengan keleluasaan dankewenangan itu adalah ketika rencana membangun gedung SD yang diprogramkanoleh pemerintah pusat (top down) padahal jika dilihat dari kebutuhan Nagari makarencana membangun Puskesmas lebih tinggi urgensinya daripada gedung sekolahSD tersebut maka jika tidak dimanfaatkan dana pembangunan akan dikembalikanatau bangunan itu tidak berguna samasekali, oleh karena itu Pemerintah Pusatmenyetujui untuk dibangun Puskesmas di Nagari. Sedemikian kuatnya keleluasaandan kewenangan yang didesentralisasikan pada Pemerintah Kabupaten sehingga’mampu’ menolak usulan perencanaan pembangunan dari Pemerintah Pusat. Halyang tidak akan ditemukan pada daerah atau wilayah lain di Indonesia. Kemampuandan kekuatan bargaining position yang tinggi ini yang dimungkinkan dalamimplementasi UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 72 tahun 2005. Sumbarmemungkinkan melakukan hal itu karena didukung dengan kesiapan kelembagaanpemerintahannya dalam menghadapi .

Dengan adanya pelimpahan wewenang dan urusan ke Nagari, sebenarnya terdapatbeberapa kemudahan-kemudahan yang diberikan, namun hingga sekarang baru

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

20

terdapat 2 (dua) wewenang dan tanggungjawab yang dapat dilaksanakan oleh WaliNagari, khususnya di Nagari Paninggahan, yaitu: wewenang pendidikan, berupapengawasan harian kehadiran guru dan disiplin guru (berdasarkan SK Bupati No.16tahun 2000) dan wewenang kesehatan, yang mengawasi kehadiran dokter danperawat yang bertugas pada masing-masing Puskesmas.

Implementasi UU 32 tahun 2004 bagi Sumbar ini menunjukkan bahwa kewenangankembali tersentralistik di kabupaten karena kabupaten yang memiliki otonomiberdasarkan UU No.32 tahun 2004 tersebut, yang berbeda wewenangnya jikadibandingkan dengan UU No.22 tahun 1999. Dalam hal ini, kecamatan hanyasebagai perpanjangan tangan dari kabupaten dan melakukan koordinasi daribeberapa Nagari dibawahnya, sehingga kecamatan tidak dapat mempunyaiwewenang untuk mengambil keputusan sendiri.

Jiwa dan ruh akan adanya otonomi di provinsi Sumbar sudah mulai tampak,ditandai terselenggaranya dengan baik penataan wilayah dan kawasan di Nagari,yang merupakan salah satu ciri bahwa masyarakat adat di tingkat Nagari di wilayahSumbar tidak mengalami paradoks dan marginalisasi pembangunan yang dilakukanoleh pemerintah pusat dan bahkan sebaliknya, justru Pemerintah Pusat yangmengakui eksistensi pada masyarakat dan hukum adat di Sumbar. Juga sekaligusmerupakan ciri tumbuhnya kelembagaan dari bawah melalui pengukuhanpertumbuhan dari masyarakat bawah (bottom up). Keberadaan UU No.32 tahun2005 ini, menunjukkan bahwa kabupaten tidak mengubah wewenang ketata-wilayahan daripada Nagari. Hampir seluruh Nagari selalu melibatkan satuan terkecilkelembagaan di tingkat masyarakat, yaitu RT/RW dalam proses perencanaanpembangunannya, sehingga relatif tidak muncul konflik yang berkepanjangan,contoh konkrit ditunjukkan dengan Perda 20 tahun 2002 yang menetapkanbeberapa kawasan berada dibawah Kabupaten Solok Selatan sebelum Solok Selatandimekarkan.

Kelembagaan lain yang diakui keberadaannya dalam ini dan dituangkan dalamPerda adalah lembaga adat, yang disebut Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN).Lembaga ini telah tumbuh di Nagari Paninggahan sejak tahun 1979 dan diakui padatahun 2002, hingga saat ini masih kuat sehingga mendukung tata pemerintahanWali Nagari. Kerapatan adat ini tidak pernah ditinggalkan dalam pertemuan-pertemuan di level Wali Nagari dalam segala kesempatan. Dalam hal ini, Nagarimemiliki tata pemerintahan yang secara administratif dan legitimatif diakui olehPemerintah regional maupun pusat. Intinya, dapat dikatakan bahwa atmospheredemocracy and autonomy sudah mulai tumbuh di Kabupaten Solok, Sumbar yangmengacu pada trias politica.

Dalam perencanaan pembangunannya, ada satu hal yang membedakan Sumbar inidengan wilayah lain di Indonesia, yaitu cukup berperannya orang-orang atauorganisasi-organisasi perantau sebagai investor yang berani menanamkan modaluntuk pembangunan di daerah asalnya sehingga memiliki dampak terhadappenumbuhan ekonomi regional disana. Sejauh ini, mereka yang berperan untukpembangunan fisik dan non fisik, bisnis maupun sosial budaya dan ekonomi adalah

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

21

organisasi Persatuan Keluarga Paninggahan (PKP), Yayasan Danau Singkarak, PT.Nagari Paninggahan, dan sebagainya.

Seluruh perencanaan pembangunan fisik/spiritual ditentukan/disusun secaramusyawarah mufakat dalam rapat Nagari, yang melibatkan Pemerintahan Nagari,KAN, Pengurus Alim Ulama, Ketua Bundo Kanduang, Pemuda, Wali Jorong,pemuka masyarakat, majelis ulama dan kaum cerdik pandai (ninik-mamak). Sebagaicontoh, mekanisme perencanaan pembangunan di Nagari Paninggahan maupun diNagari Semanau, yang selalu berjalan kompromistis dan persuasif, dimana dana-dana pembangunan selalu dirapatkan di level Nagari sehingga programpembangunan dijamin dengan akuntabilitas dan transparansi yang dijunjung tinggi.Tidak sedikit program pembangunan yang telah direncanakan, dilaksanakan secaragotong-royong. Konkritnya, tidak pernah sepeser-pun Pemerintah Nagarimengeluarkan dana untuk ganti rugi tanah dari dana pembangunan yang diperolehper tahunnya, yaitu sebesar 18 milyar rupiah. Segala sesuatu yang menyangkutperencanaan pembangunan selalu dimusyawarahkan dengan seluruh kelembagaanpemerintah maupun lembaga adat yang ada di tingkat Nagari, seperti KAN, NinikMamak, dan lainnya.

Dengan kata lain, tata pemerintahan di Paninggahan terdiri dari penyesuaian-penyesuaian antara undang-undang formal dengan undang-undang adat yangdilakukan oleh lembaga adat, yang telah terinternalisasi di kalangan masyarakatMinangkabau. Sebagai contoh, KAN berfungsi sebagai pengawal ’adat basandisyara, syara basandi kitabullah’, yang dalam hubungannya dengan BPN, memilikihubungan yang kuat terutama menyangkut ’sako dan pusako’ sehingga suarapertimbangan KAN sangat diperhatikan.

Walaupun pelimpahan wewenang dan kekuasaan sudah berjalan dengan baik diSumbar, namun karena sektor pembangunan yang dikembangkan masih padasumberdaya pertanian sawah – yang digambarkan dengan luasnya hamparan hijausawah di segala penjuru Sumbar – maka dapat ditunjukkan bahwa “generatorpenggerak pertumbuhan” atau mesin-mesin pertumbuhan relatif berjalan lambat. Halini membawa konsekuensi ekonomi regional disana bertumbuh, tapi berjalanlambat. Oleh karenanya perlu dikembangkan aktivitas ekonomi lokal (local economicactivity) yang tidak didominasi oleh pertanian sawah semata tetapi perlu jugadikembangkan industri kecil atau agroindustri yang berbasiskan sumberdayapertanian lokal yang selanjutnya dapat menjadi trickle down effect bagi bidang lainnyasehingga dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi suatu kawasan nantinya.

3.3. Pemberdayaan Masyarakat di Jawa BaratPenyelenggaraan Pemerintah Daerah di Kabupaten Ciamis sudah mengacu padaUU No. 32/2004, dengan direalisasikannya pemberian kewenangan dariPemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota yang mencakuppembiayaan, personil, peralatan dan dokumentasi. Kewenangan tersebut diberikan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

22

dengan memperhatikan kondisi: kemantapan kelembagaan, ketersediaansumberdaya aparatur yang memadai, serta potensi keuangan daerah.

Kemantapan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Ciamis telah ada,yang ditunjukkan dengan dikeluarkannya PP No. 8 tahun 2003, yang ditindaklanjutidengan merampingnya struktur organisasi perangkat daerah. Demikian pula denganketersediaan sumberdaya yang memadai, ditunjukkan dengan > 50% aparatberpendidikan cukup tinggi. Namun dari sisi pelayanan publik dalam rangkapenyelenggaraan pemerintah sesuai , pelayanan yang diberikan kepada masyarakatbelum maksimal sehingga ketidakpuasan masyarakat akan pemerintah daerah cukuptinggi. Belum optimal pelayanan pemerintah daerah tersebut dapat dilihat padarendahnya pelayanan administrasi, akses yang rendah yang berkaitan dengankewajiban Pemerintah, seperti penyediaan infrastruktur transportasi, irigasi,penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan.

intinya adalah daerah memiliki kebebasan dalam 3 (tiga) hal, yaitu keuangan,kepemimpinan, dan mengatur rumahtangga. Dalam hal kepemimpinan,pemerintahan di Jawa Barat (Jabar) membentuk kelembagaan musyawarahperencanaan pembangunan (musrenbang), yang diamanatkan pembentukannyadalam UU No. 32/2004. Musrenbang ini di Jabar sudah terbentuk dengan baik,hanya masalahnya muncul dan adanya ketidak-konsistenan dan ketidakselarasanantara hal-hal (segala sesuatu) yang direncanakan di tingkat atas dengan apa yangdilaksanakan dan direalisasikan oleh pemerintah daerah (di tingkat bawah) karenaprogram disusun masih bersifat top down. Seluruh usulan-usulan yang bersumberdari grass root tidak sedikit yang ditolak atau digeser prioritasnya oleh aparat/intansiterkat diatasnya (kabupaten dan atau provinsi). Bahkan, tidak jarang penolakan iniberbuntut pada distrust-feeling antar berbagai pihak yang terlibat sehingga tidakmenutup kemungkinan ‘class action’ di lembaga hukum yang ada. Khususnya, padawilayah yang kaya akan sumberdaya alamnya dimana potensi untuk meningkatkanPAD nya cukup besar, seperti di wilayah pariwisata, industri, jasa, dan sebagainya.Dengan kata lain, kemitraan yang terjalin antar aparat pemerintahan dan antaraaparat pemerintahan dengan masyarakat belum terlaksana dengan suasana yangkondusif. Padahal jika dilihat dari salah satu indikator kualitas human capital nya,yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka IPM Kabupaten Ciamis padatahun 2005 ini meningkat menjadi 71,09 daripada tahun 2004 (IPM sebesar 70,90).Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi kemampuan dan kapabilitas, kualitassumberdaya masyarakat sudah tidak perlu diragukan lagi untuk ikut berpartisipasidalam program pembangunan daerahnya, sehingga masih perlu dicari apa akarpermasalahan tidak terjadinya kemitraan yang kondusif tersebut.

Pemerintah desa walaupun 100% menerima usulan masyarakat lokal dandimasukkan dalam perencanaan yang dimusyawarahkan dalam musrenbang, yangsetiap tahun selalu diadakan. Seharusnya saat ini usulan rencana pembangunandalam musrenbang sudah dilaksanakan, tetapi berhubung terdapat beberapamasalah administratif yang belum diselesaikan sehingga belum bisa dilaksanakan.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

23

Hal ini menunjukkan bahwa program pembangunan di Jabar masih mengacu danberkutat pada hal-hal yang disusun oleh pemerintah pusat.

Terdapat perubahan dalam tata pemerintahan desa (kelembagaan) di Jabar, yangdahulu dikenal LMD (Lembaga Musyawarah Desa) sekarang berubah menjadi BPD(Badan Permusyawaratan Desa) atau sekarang lebih populer dengan Bamusdes(badan musyawarah desa). Bamusdes itu kalau difungsikan dengan baik danmerupakan wakil masyarakat, maka akan ada perubahan dan perbaikan yangsignifikan, seperti perbaikan sarana telekomunikasi, sarana air, dan saranapendidikan di desa. Perubahan juga terjadi pada alam demokrasi, dimanamasyarakat desa lebih memiliki keberanian dalam mengemukakan pendapat.

Namun demikian, dalam aspek ekonomi perdesaan, belum ada perubahan yangsignifikan. Belum ada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi desa (“generatorpenggerak pertumbuhan”) yang dapat menggerakkan ekonomi wilayah lokal, walaupunsumberdaya alam sangat berpotensi. Oleh karena, sumber perekonomian desamasih mengandalkan pada usaha pertanian, peternakan dan perikanan, maka tidakada potensi ekonomi yang dapat digerakkan untuk meningkatkan pembangunanwilayah di Jabar. Hal ini dapat ditunjukkan dengan laju pertumbuhan ekonomi(LPE) sebesar 4,28% pada tahun 2004 dengan angka inflasi yang cukup tinggi, yaitu7,81% dan dengan besaran pendapatan per kapita sebesar Rp 4.951.661,-(berdasarkan atas dasar harga berlaku) serta kemampuan daya beli per kapita yangrendah, yaitu sebesar Rp 587.454,- (bandingkan dengan daya beli ideal menurutUNDP sebesar Rp 732.720,-). Oleh karena itu, tidak salah jika dinyatakan bahwakegiatan perekonomian masyarakat Kabupaten Ciamis saat ini masih berbasis padapertanian tradisional, yang membawa pengaruh trickle down effect pembangunan padadaerah dan bidang lain berjalan sangat lambat.

Pertumbuhan ekonomi desa, khususnya pada beberapa wilayah dusun, sangatmengandalkan adanya bantuan langsung (BLT) dari Pemerintah Pusat, dalambentuk ’raskin’ beras miskin, yang jelas-jelas merupakan bantuan yang memberikan’ikan daripada kail’ sehingga efektivitas dan produktivitas dari bantuan pusat itusendiri patut dipertanyakan lebih lanjut. Sampai kapan bantuan itu akan diberikanpada masayarakat miskin, apakah dengan bantuan seperti itu akan ada perubahandan peningkatan pendapatan bagi mereka? Walaupun, hingga tahun 2004 terdapatpenurunan jumlah penduduk miskin di Kabupate Ciamis, yaitu menjadi 221.900orang (14,72%) dari 228.100 orang (15,18%) pada tahun 2003, namun demikiantetap bahwa penduduk miskin yang mengandalkan bantuan ’raskin’ dari PemerintahPusat merupakan suatu bantuan yang tidak mampu menciptakan kegiatan produktifdaripadanya.

Elitisme dan feodalisme masih mewarnai dalam pengambilan keputusan dankewenangan di tingkat pemerintahan. Tokoh yang kuat dan memiliki circle institutionyang solid maka akan mudah memperoleh kekuasaan dan disegani oleh masyarakat,dan bahkan kekuasaan itu tidak jarang menjadi sesuatu yang dilanggengkan.Sehingga ketika tokoh politik itu tidak populer dan tidak lagi memperoleh simpatidari masyarakat, sulit baginya untuk ’turun’ dari posisi kekuasaannya tersebut.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

24

Berbeda halnya dengan tokoh masyarakat yang merupakan figur masyarakat,walaupun besar simpati dari masyarakat, namun karena tidak memiliki dukungan’beking’ dari tokoh politik yang berkuasa maka sulit baginya untuk melangkah kejenjang politik yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa politik lokal masihmerupakan sesuatu yang perlu lebih diberdayakan lebih lanjut.

Kemandirian dalam perencanaan dan pembangunan wilayah di Kabupaten Ciamis,dengan luas wilayah 244.479 Ha dan penduduk berjumlah 1.457.143 orang, sebagaikabupaten kasus di Provinsi Jawa Barat dengan 2 (dua) desa kasus yaitu DesaSirnasari dan Desa Gunung Sari, sangatlah rendah. Prioritas perencanaanpembangunan Kabupaten Ciamis diarahkan untuk mencapai visi yang telah disusunpemerintah daerahnya, yaitu ’Dengan Iman dan Taqwa Ciamis Terdepan DalamAgribisnis dan Pariwisata di Priangan Tahun 2009’. Walaupun memiliki potensi yangcukup tinggi dengan kondisi pariwisatanya namun demikian tetap dalam prosespembangunannya sangat tergantung pada pemerintah pusat.

Realitas menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sangat lambatberjalan, karena ’”generator penggerak pertumbuhan”’ yang menggerakkannya masihterpusat pada sektor pertanian tradisional, walaupun disana disini sudah mulaiditopang oleh sektor pariwisata dan industri berskala usaha mikro/kecil berbasiskanpertanian. Terdapat sangat sedikit pusat-pusat pertumbuhan ekonomi asli (lokal)yang mampu berkembang bagi pengembangan kawasan di wilayah tersebut. Faktamenunjukkan bahwa pembangunan ekonomi masih menunggu ”uluran tangan”dari sistem ekstra-lokal, yaitu pemerintah daerah (kabupaten) atau bahkan daripemerintah pusat. Ruang politik-pemerintahan lokal, tidak mampu mengisikebutuhan pertumbuhan ekonomi lokal, sehingga apa yang dilakukan hanyalahmenunggu datangnya intervensi pemerintah dari hierarkhi yang lebih tinggi(Pemerintah Kabupaten/Provinsi atau Pusat). Jelaslah, bahwa khusus untuk Jabar,walaupun ada “ruang administrasi dan politik” di tingkat lokal, namun ketidaksiapanpada sisi kelembagaan yang mendukungnya, membuat sistem pemerintahan danperekonomian harus ”menunggu” inisiatif dari otoritas diatasnya.

Khusus untuk Jabar, belum tumbuh kelembagaan yang kuat dari perspektif newinstitutional economics yang mencukupi dan cukup kuat menggerakkan perekonomianwilayah setempat. Karena tidak adanya kelembagaan yang kuat tersebut, maka sulitdan sedikit sekali investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya disana dalamrangka mengembangkan ekonomi wilayah lokal. Hal ini selanjutnya menyulitkanproses penumbuhan lapangan pekerjaan di pedesaan, sekalipun sebenarnya,ditemukan sangat banyak potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di desatersebut. Hingga taraf tertentu, kelembagaan semacam Badan Usaha Milik Desa(contoh PSAB di salah satu desa kasus Ciamis) sebenarnya sudah dibentuk, dankedepannya akan memfokuskan kegiatannya pada usaha agrowisata. Namun hinggasaat ini, pengembangan agrowisata masih pada tahap perencanaan disain dariagrowisata itu, bagaimana pengelolaan retribusinya, siapa atau kelembagaan apayang mengelola, dan sebagainya. Diskusi tentang disain pengelolaan kelembagaanterasa sangat melelahkan dan tidak berujung pangkal. Sementara itu, pemerintah

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

25

desa memiliki keterbatasan dan kendala (lack of capable human resources and institutionalcapacity) yang luar biasa untuk menentukan arah pengembangan investasi danstrategi agrowisata ke depan.

Sementara itu, ”ruang politik lokal” menghadapi persoalan lain berupa kualitaspelayanan publik yang masih berjalan ”seperti biasanya” dan tidak ada perubahandengan pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004. Sebagai contoh, dalam pengurusanperijinan, aparat birokrasi desa menetapkan ”biaya jasa” pelayanan publik yangmasih diatas ketentuan yang berlaku. Biaya jasa pelayanan akan makin tinggi seiringdengan derajat keterdesakan warga atas pelayanan yang dibutuhkan. Semakin mahalbiaya jasa akan ditanggung oleh warga, jika mereka menghendaki percepatankeluarnya suatu ijin.

Untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, Musrenbang Desa Nasolselalu dilakukan dengan mengundang pemerintah, perangkat desa, tokohmasyarakat, terutama mengenai kualitas dan kuantitas pendidikan, seperti bangunansekolah yang perlu direhabilitasi, pembangunan fisik (irigasi, air bersih, dan lainnya)yang dibutuhkan masyarakat. Dalam realisasinya, pembangunan tidak akan berjalantanpa ketersediaan dana yang memadai. Untuk Jabar sendiri, selain mengandalkanbantuan pemerintah pusat dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK(Dana Alokasi Khusus), pemerintah daerah/desa dimotivasi untuk mencari danamandiri dalam bentuk PAD (Penerimaan Asli Daerah) dan swadaya masyarakat.Sebagai contoh, tahun 2005 realisasi perbaikan irigasi dan jalan termasuk melaluiPPK (total 350 juta), dana diperoleh dari sharing antara pemerintah daerah danmasyarakat, kira-kira sekitar 70% dari pemerintah, 30% dari swadaya masyarakat.Berbagai program pembangunan di desa yang melibatkan swadaya masyarakatdilakukan melalui mekanisme musyawarah, dusun mana yang perlu diprioritaskanuntuk melakukan pembangunan selalu ditempuh melalui mekanisme musyawarahuntuk mufakat, dan biasanya sampai ditentukan berapa jumlah sumbangan untukmasing-masing keluarga serta disertai dengan klasifikasinya, misal dengan melihatsiapa yang memiliki kendaraan tetapi ada juga yang tidak diminta sumbangannyamaka mereka akan memberikan bantuan berupa tenaga saja, atau bahkansumbangan dapat dicicil setiap bulannya (misalnya sebesar 50 ribu rupiah perbulan).

3.4. Sinergisme di BaliPerencanaan pembangunan wilayah di Provinsi Bali sangat sarat dengan nuansahukum adat dan sisa-sisa peninggalan kebudayaan kerajaan Hindu Majapahit, yangmemang dominan menyangga kehidupan masyarakat Bali. Disana, hukum adatyang ada sangat dijunjung tinggi sehingga ‘mematahkan’ pernyataan sebagian ahlibahwa adanya dampak modernisasi dan globalisasi akan memarjinalkan kehidupanadat istiadat. Marjinalisasi hukum adat ini tidak berlaku untuk masyarakat Bali.Bahkan, hukum adat dan hukum modern dapat bersanding selaras dan sinergidengan perkembangan jaman yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintahan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

26

Desa disana berjalan efektif dan menunjang sintesa high adaptability struktur tata-pemerintahan adat dengan sistem formal. Pengakuan akan wewenang lembaga adatsangat menunjang dalam perencanaan pembangunan di Bali.

Khusus untuk Provinsi Bali, lokasi kasus penelitian yang dipilih yaitu KabupatenTabanan dengan 2 (dua) desa sampel yang diambil, yaitu Desa Selanbawak, yangmerupakan desa rural dengan tata kehidupan masyarakat kultural agraris tradisionalyang cukup kuat, dan Desa Samsam, yang merupakan desa rural-urban dengan tatakehidupan masyarakat yang individualis satu dengan lainnya. Pada kedua desatersebut dikenal adanya Desa Dinas, merupakan desa yang secara administratif-politis dibentuk dari adanya instruksi Pemerintah Pusat, meliputi unsur perangkatdesa, termasuk kelian dinas (kalau di Jawa setara dengan rukun warga atau kepalalingkungan/dusun) dan desa pakraman, merupakan desa adat yang tumbuh darigrass root masyarakat Bali sendiri, yang juga meliputi unsur perangkat desa yaitukelian adat atau kelian banjar pakraman, yang biasanya satu Desa Pakraman terdiridari satu atau lebih Banjar Pakraman.

Kedua status desa tersebut di Bali dapat hidup secara sinergi dan salingberkesinambungan satu dengan lainnya serta saling mendukung dalam programpembangunannya. Disamping itu, sebenarnya masih banyak kelembagaan-kelembagaan adat yang memegang peranan penting dalam perencanaanpembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah disana. Sebut saja Subak,misalnya. Subak merupakan organisasi yang bergerak dibidang pengairan pertanian,tumbuh dari kebutuhan dan keinginan grass root masyarakat lokal (petani) disanayang telah berlangsung secara turun temurun sejak tahun 1207.

Berbagai bidang pekerjaan di berbagai sektor dapat menjadi “generator penggerakpertumbuhan” dan menjadi penghela bagi pertumbuhan ekonomi lokal masyarakat.Bidang-bidang pekerjaan seperti keterampilan ukir kayu dan batu, wiraswastaperdagangan, industri kecil rumahtangga, dan pertanian-agraris juga merupakanpenghela bagi pertumbuhan ekonomi lokal masyarakat. Market space and marketshare dari masing-masing usaha dan sektor pekerjaan tersebut cukup luas, tidakhanya untuk memenuhi kebutuhan dalam desa saja tetapi juga dilakukanperdagangan antar wilayah. Perdagangan antar wilayah, bahkan antar pulau, ini yangmembuat ekonomi Bali tumbuh dan berkembang.

Di sisi lain, Bali identik dengan Pariwisata karena 70% pendapatan Pemerintah(APBD) Bali mengandalkan dari sektor pariwisata. Pariwisata ini juga merupakan“generator penggerak pertumbuhan” bagi Provinsi Bali sehingga dapat menghela sektorekonomi lainnya. Muncul pertanyaan, apakah sektor pariwisata ini yangmenumbuhkan aktivitas ekonomi seperti keterampilan ukir, perdagangan danindustri kecil lainnya ataukah karena adanya kekhasan dan keunikan dari adatistiadat dan keterampilan ukir itu yang justru menarik wisatawan baik domestikmaupun asing untuk mengenal dan mengetahui lebih jauh tentang budaya Balisehingga memunculkan aktivitas-aktivitas di bidang pariwisata. Terlepas daridikotomi itu, memang sumberdaya alam Bali yang indah dengan pantai (Sanur,Kuta, Tanah Lot), danau (Bedugul, Kintamani) dan gunung (Batur) dan adat

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

27

istiadat yang masih kental (baca misalnya: Ngaben) merupakan faktor penarikwisatawan untuk berpariwisata ke Bali dan sekaligus merupakan faktor penumbuhkegiatan ekonomi lainnya di Bali. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana ekonomiBali hancur dan tidak dapat bertumbuh kembali (recovery) pada masa terjadinyatragedi-pemboman di beberapa pusat pariwisatanya (antara lain di Jimbaran), yanghingga sekarang (pertengahan tahun 2006) dampaknya (berupa penurunan jumlahkunjungan wisatawan asing) masih sangat terasa. Kondisi ini makin diperparahdengan kenaikan BBM, yang merupakan kebijakan pemerintah pusat, berdampakpada terganggunya stabilitas ekonomi rumahtangga di Bali.

Namun demikian, adanya aktivitas pariwisata ini selain dapat memunculkandampak positif sebagai “generator penggerak pertumbuhan” bagi daerah dan aktivitaslain juga sangat berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi penataan wilayah diProvinsi Bali. Hal itu diillustrasikan pada ke-2 desa dimana penelitian ini dilakukan.

Desa Samsam dengan karakteristik desa rural urban dan terletak di pinggir jalanutama Kabupaten Tabanan, pembangunan wilayah pada awalnya berjalan selarasdengan penataan wilayah yang telah direncanakan namun ketika kemudian tingkatkunjungan pariwisata ini cukup tinggi maka berpotensi pada pertumbuhan danpembangunan wilayah yang tidak terkendali. Pembangunan ekonomi dirangsanguntuk dapat menarik wisatawan datang ke wilayah ini, sehingga tumbuhlah berbagaiaktivitas ekonomi yang bersifat komersial, seperti rumah makan, hotel, bungalow,super- dan hipermarket, dan sebagainya. Pada tahap awal, aktivitas ekonomi inimerangsang masyarakat lokal untuk terlibat didalamnya dan dapat menciptakanlapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal lainnya. Namun, manakala kunjunganwisatawan ini semakin meningkat dan pembangunan ekonomi makin intensif makatidak mustahil akan menimbulkan potensi masalah bagi pembangunan wilayahnya,umpamanya adanya konversi lahan pertanian menjadi tempat penginapanwisatawan seperti vila, bungalow dan hotel; adanya perubahan kepemilikan lahanpertanian menjadi milik orang kota atau orang luar Bali atau bahkan tidak menutupkemungkinan menjadi milik orang asing; dan sebagainya. Saat ini potensi masalahtata ruang di Desa Samsam sudah mulai tampak, yang ditandai dengan semakinpadatnya lalu lintas kendaraan (tidak sedikit berplat nomor daerah di luar Bali) yangtidak diimbangi dengan ruas dan luas jalan yang ada, hiruk-pikuk penduduk yangberaktivitas ekonomi, jumlah penduduk yang padat dan tidak diimbangi denganruang (space) yang memadai, dan sebagainya. Jika ditilik lebih lanjut, potensimasalah penataan wilayah yang muncul di Desa Samsam ini tidak dapat dihindarikarena disamping merupakan desa rural urban, Desa Samsam yang terletak di pinggirjalan utama Tabanan juga terkena imbas dari Kota Kabupaten Tabanan sebagaidaerah hinterland dari Denpasar.

Berbeda halnya dengan Desa Selanbawak, desa rural yang masih memegang kuatadat dan budaya tradisional. Sektor pertanian tradisional masih merupakan “generatorpenggerak pertumbuhan” sehingga pembangunan ekonomi berjalan relatif lambat.Selain itu, karena lokasi desa yang relatif terisolir dan jauh dari keramaian kota,maka penataan wilayah di Desa Selanbawak masih belum berubah dan tidak

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

28

terimbas dengan kehidupan Kota Kabupaten Tabanan sebagai daerah hinterland dariDenpasar.

Namun demikian, pada kedua desa itu sinergisme antara desa dinas dan desa adatdominan berperan dan diperlukan untuk dapat ikut mencari solusi permasalahanpembangunan yang dihadapi pada masing-masing desa. Pada masyarakat adat adaDAU (Dana Alokasi Umum), yang dialokasikan oleh Pemerintah Provinsi kepadamereka. Ketika kebijakan pemerintah masih berorientasi sentralistik, umumnyadana dari pemerintahan administratif politis hanya dialokasikan pada instansi yangterkait secara administratif politis. Namun, ketika arah kebijakan desentralistik,keberadaan lembaga adat sangat diakui sehingga sinergisme desa dinas dan desaadat sangat dimungkinkan, yang berdampak pada beberapa kegiatan yang bersifatadat juga turut didanai dari dana yang semula dialokasikan untuk pemerintahanadministratif politis.

Pada kondisi seperti itu pengakuan akan kelembagaan adat sangat menguntungkanpembangunan wilayah disana karena masyarakat adat secara bergotong royongmelaksanakan berbagai proyek pembangunan secara swadaya. Dengan rasionalitaspemikiran tentang perencanaan pembangunan yang dipahami mereka, sehinggamuncul kemandirian pembangunan self-governance tidak terlalu tergantung padapemerintah pusat. Di sisi lain, stakeholders di level regional dan nasional (kabupatendan/atau provinsi) memiliki respon positif terhadap usulan-usulan rencanapembangunan yang dibuat oleh grass root. Sehingga, sinergisme rencana danpembangunan di wilayah lokal tidak hanya terjalin antara lembaga adat yangmewakili masyarakat lokal dan kelembagaan dinas yang mewakili aparat pemerintahdi tingkat desa, tetapi merupakan ‘development triangle’ antara pemerintah desa,lembaga adat dan masyarakat lokalnya, serta lembaga pemerintah di tingkatregional/nasional.

3.5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung di PapuaDiatas telah disinggung bahwa perencanaan pembangunan, baik jangka menengahmaupun jangka panjang, untuk Provinsi Papua sangat tertinggal jauh. Kondisipembangunan disana tidak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesiabagian Timur dan jauh tertinggal jika dibandingkan wilayah-wilayah lain diIndonesia bagian Barat. Ketertinggalan pembangunan disana terjadi akibatlambatnya pembangunan infrastruktur baik utama maupun penunjang, tidakmendukung prasarana dan sarana di segala bidang kehidupan, lemahnya kualitasdan kuantitas human capital penduduk yang ada walaupun dari sisi keberadaansumberdaya alam sangat potensial.

Kesenjangan pembangunan diatas terjadi tidak hanya antara Papua dan wilayah laindi Indonesia, tetapi antar wilayah di Papua sendiri juga menampakkanpemandangan kesenjangan yang menyedihkan. Sehingga dalam tataran wilayah,dikenal istilah Papua ‘daratan’ yang memiliki lokasi dekat pantai dan Papua ‘gunung’yang wilayahnya terletak diantara gunung-gunung yang membentang di sepanjang

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

29

pegunungan Jayawijaya. Kondisi wilayah Papua ‘gunung’ ini sangat tertinggal jauhbila dibandingkan dengan Papua ‘daratan’, khususnya yang menyangkutinfrastruktur jalan, pemukiman, dan berbagai fasilitas pembangunan lainnya.Ketertinggalan pembangunan di Papua ‘gunung’ ini membawa dampak makintertutup dan terisolirnya wilayah-wilayah disana. Aksesibilitas penduduk lokalsangat terbatas terhadap pembangunan baik lokal maupun regional. Ekonomiwilayah, jika kita mengacu pada teori basis wilayah, tidak dapat berkembang jikawilayah tersebut terisolir dan tertutup. Hal ini akan berdampak pada lemahnya“generator penggerak pertumbuhan” yang dapat digerakkan untuk menumbuhkanekonomi wilayah disana.

Sangat sulit ‘mengundang’ investor untuk menanamkan investasi dan modalnya diwilayah pegunungan, disamping biaya operasional pembangunan yang mahal karenawilayah-wilayah tersebut sulit dijangkau jika hanya menggunakan alat-alatberkapasitas ringan, juga tidak sedikit pembangunan infrastruktur yang berakhirdengan ‘sia-sia atau mubajir’ karena pemeliharaan infrastruktur yang sangat rendahdan biaya pemeliharaan yang tidak tercover dalam anggaran perencanaanpembangunannya. Walaupun di wilayah Papua telah ada investor asing, seperti PT.FI yang sejak tahun 1991 telah ada di Mimika, PT. BP dengan wilayahpengembangan barunya di Way Bentuni sejak tahun 2000, dan sebagainya, namunkontribusi dalam bentuk program-program pembangunan masih bersifat spasialdan lokal dampaknya.

PT. FI sendiri sesungguhnya telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untukdijalankannya berbagai program pengembangan masyarakat dan memberi manfaatbagi masyarakat lokal sekitar lokasi tambang. Namun, berbagai programpembangunan dan pengembangan masyarakat disana masih perlu dipertanyakanefektivitasnya karena sangat tergantung pada kualitas sumberdaya manusia lokal danpengelolaan dananya. Keberadaan PT. FI dari data yang ada menunjukkan bahwasesungguhnya telah menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah yang tidak kecildan pendapatan rumahtangga tercipta karena adanya kesempatan kerja yangtercipta. Melalui mekanisme multiplier ekonomi, kegiatan usaha PT. FI, baiklangsung maupun tidak langsung, telah menciptakan kesempatan kerja yang sangatbesar. PT. FI telah berkontribusi menstimulir penciptaan kesempatan kerja diPapua pada tahun 1995, 2000 dan tahun 2005 masing-masing (berurutan menuruttahun) mencapai 113 ribu, 161 ribu dan 229 ribu kesempatan kerja orang.1 Masihperlu banyak investor-investor yang tidak hanya mengutamakan profit oriented sematatetapi juga memiliki motivasi dan visi untuk turut mengembangkan wilayah dankehidupan masyarakat asli di Papua.

Pada perencanaan pembangunan di Papua, faktor yang harus diperhatikan jugaadalah adanya cultural community yang ada di masyarakat adat lokal Papua sebagaipelaku dari proses pembangunan itu sendiri. Wilayah Papua ‘gunung’ masih sangat

1 Hasil penghitungan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia (LPEM-UI) dalam Executive Summary “Analisa Dampak Ekonomi dan Fiskal PT. FI” Tahun2006.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

30

kental dengan adat istiadat yang terdiri dari ratusan kepala suku adat. Perbedaandengan wilayah lain di Indonesia yang sangat kental dengan adatnya adalah potensidan sumberdaya adat yang ada disana belum dimanfaatkan sebagai faktor‘penumbuh’ dan ‘penggerak’ pembangunan. Berbagai perencanaan dan programpembangunan tidak menggunakan ‘potensi adat’ sebagai media perantara danfasilitator pembangunan baik di tingkat lokal maupun regional. Rencana danprogram pembangunan kawasan masih sesuatu yang terpisah denganpengembangan adat.

Disamping kelembagaan adat, yang memegang peranan penting dalam masyarakatPapua adalah keberadaan dari pihak gereja. Sinergisme antara lembaga pemerintah(dinas), lembaga adat dan gereja masih sesuatu yang jauh dari harapan. Walaupunmasyarakat sangat menjunjung tinggi eksistensi lembaga adat dan lembaga gerejani,namun kedua lembaga tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk ‘diselipi’program pembangunan yang dapat menumbuhkan dan menggerakkan ekonomiwilayah disana. Lembaga adat dan gereja yang ada masih disibukkan dengan urusanpertikaian antara adat dan’berkutat’ dengan kehidupan masyarakat lokal sehari-hari.Lembaga adat masih terpisah dan terkotak-kotak berbeda keberadaannya denganlembaga pemerintah.

Disamping itu, kualitas sumberdaya itu sendiri juga memegang peranan utamadalam pembangunan disana. Seperti yang diketahui kualitas sumberdaya manusiasangat rendah di Papua, dari total penduduk wilayah Papua diperkirakan hanyasekitar 10% yang memiliki pendidikan tinggi. Peningkatan kualitas human capitalpenduduk Papua merupakan kunci penting dan utama dalam regional planning disana.Berbagai program pembangunan di peningkatan kualitas dan kuantitas human capitalsudah diprogramkan dan direncanakan, sebut saja beberapa program peningkatankuantitas human capital pembangunan, seperti gedung sekolah dasar, puskesmas,pemukiman, dan sebagainya disamping peningkatan kualitas human capital denganmemperbanyak jumlah guru-guru yang mengajar di wilayah-wilayah terisolir danperbatasan, pelayananan peningkatan kualitas gizi dan kesehatan masyarakat,peningkatan intensitas frekuensi kunjungan dokter dan pegawai kesehatan kewilayah-wilayah terpencil, dan lain sebagainya.

Dari pengalaman pembangunan yang selama ini dilaksanakan di Papua (lihat uraiansebelumnya) maka keterlambatan dan kesenjangan dalam program pembangunandisana dan dalam rangka desentralisasi di wilayah Papua, maka Pemerintah Pusatmengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang‘Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua”. Tujuan yang tertera dalam UU OTSUStersebut sebenarnya sangatlah mulia, yaitu untuk meningkatkan pendapatan dankesejahteraan penduduk asli Papua dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasilkekayaan alam yang selama ini belum digunakan secara optimal, sehingga telahmengakibatkan kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain danmengabaikan hak-hak dasar penduduk asli Papua. Namun demikian, dalamkenyataannya hingga saat ini (tahun 2006) keberadaan UU No. 21/2001 tersebutmasih direspon rendah oleh aparat dan stakeholder daerah karena memang

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

31

kemampuan dan kapasitas sumberdaya manusianya yang sangat lemah. Belum adasatupun produk hukum yang telah dibuat oleh Bappeda Papua, termasuk denganMajelis Rakyat Papua (MRP) -nya, dalam bentuk perdasi (peraturan daerah dalamrangka desentralisasi) dan perdasus (peraturan daerah dalam rangka otonomikhusus).

Pemerintah daerah masih memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam hal capacitybuilding sehingga belum mampu ‘menterjemahkan’ OTSUS dalam bentuk produkhukum yang diperlukan oleh daerahnya. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraanpembangunannya masih menganut pada perda-perda yang memang sudah adasebelumnya dan bukan meruapakan hasil penyesuaian dengan OTSUS. Walaupundemikian OTSUS dengan UU No. 21/2001 –nya ini dirasakan masyarakat desalebih baik karena menampung aspirasi dari bawah, bersifat bottom up dan adapendelegasian kewenangan perencanaan pembangunan dari kabupaten ke distrik.Dibandingkan dengan system pemerintahan sebelumnya Orde Baru, yang bersifattop down, tidak ada wewenang desa/distrik untuk merencanakan pembangunannyaserta tidak aspiratif karena masyarakat desa hanya sebagai pelaku dari kebijakanyang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat.

Namun demikian, keberadaan UU inipun disikapi berbeda antar kelompokmasyarakat dan antar wilayah administratif pembangunan. UU No. 22/1999 danUU No. 32/2004 tidak dikenal oleh masyarakat di tingkat kampung (distrik),sedangkan UU No. 21/2001 tentang OTSUS ini lebih disikapi dengan pro dankontra. Sebagian anggota masyarakat yang ‘setuju’ (pro) dengan pemberlakuan UUtersebut karena adanya OTSUS berfungsi sebagai “jembatan” kearah tujuan yangingin dicapai, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama karena adanyaOTSUS yang diserahkan pada masing-masing distrik, melalui ProgramPemberdayaan Distrik, dan dana OTSUS yang diserahkan pada masing-masingkampung, yang disebut Program Pemberdayaan Kampung. Besar masing-masing dana itu disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing distrik dankampung. Sebagai gambaran, setelah penerapan OTSUS, Anggaran Belanja danPendapatan Daerah (APBD) Kabupaten Jayapura yang sebelumnya 4 (empat)milyar rupiah, maka untuk tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi DAUsebesar 1,5 trilyun rupiah, DAK 2,9 trilyun rupiah, sedangkan PAD Jayapurasebesar 200 milyar rupiah (tanpa termasuk Provinsi Irjabar).

Sedangkan, sebagian anggota masyarakat yang tidak setuju (kontra) lebih didasarkanpada alasan politis. Ketidakpuasan sekelompok masyarakat yang memang inginmerdeka dari NKRI, sehingga adanya OTSUS bukan merupakan ‘jembatan’ ke arahtujuan yang dicapai oleh mereka.

Keberadaan UU no 21/tahun 2001 ini direspon lebih positif dan cepat olehKabupaten Jayapura dibandingkan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Papua.Seperti yang telah dikemukakan diatas, sebagai respons dari pemberlakuan OTSUSdengan diberlakukannya Program Pemberdayaan Distrik dan ProgramPemberdayaan Kampung ternyata hanya diselenggarakan di Kabupaten Jayapurase Provinsi Papua karena kedua program tersebut merupakan kebijaksanaan Bupati

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

32

Jayapura sebagai implementasi dari kebijaksanaan OTSUS di daerahnya. Kabupatenlain belum mengikuti langkah-langkah pembangunan yang ditempuh oleh BupatiJayapura ini.

Dalam rangka pemberdayaan Distrik dan Kampung ini sebenarnya dianggarkandari dana OTSUS, sesuai dengan kesepakatan antar kabupaten, besarnya masing-masing kabupaten adalah sebesar 1 (satu) milyar rupiah per tahun. Dana tersebutdikucurkan melalui kelembagaan koperasi di semua tingkatan kampung atau distrik,yang diserahkan pengaturannya secara otonomi dan berazaskan kesepakatan(musyawarah) oleh Kepala Distrik. Dana itu tidak terikat dengan batas wilayah ataujumlah penduduk, karena sifat dana itu adalah untuk menstimulus pembangunanyang ada di masing-masing kampung dan distrik. Sehingga, oleh masing-masingkabupaten dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan,dan sebagainya. Khusus untuk peningkatan human capital melalui pendidikan,Kabupaten Jayapura masih mencari formula dana sebesar 30% hingga 40% dariAPBD Jayapura.

Selain itu, dalam rangka merespons kebijakan OTSUS di daerahnya, BupatiJayapura mengeluarkan kebijaksanaan yang lain dalam rangka implementasi OTSUSUU no. 21/2001, yaitu adanya keharusan setiap kampung menyusun RPJMK(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung). Dalam proses penyusunanRPJMK ini, masing-masing kampung yang ada di wilayah Kabupaten Jayapuraharus dan selalu didampingi oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yangditunjuk sebagai mitra dari Kabupaten Jayapura. Hal ini dilakukan sebagai salah satusolusi dari adanya kesenjangan human capital gap yang lemah dari masyarakat dimasing-masing kampung dan distrik. Oleh karena Kabupaten Jayawijaya yangmerespons cepat keberadaan OTSUS, sehingga kasus distrik yang dipilihdifokuskan pada (1) Kampung Talasupa dengan Distrik Defare, yang penduduknyadominan bermatapencaharian sebagai nelayan, dan (2) Kampung Sabronsari denganDistrik Sentani Barat, yang merupakan kampung dengan dominan penduduktransmigrasi dari Jawa.

Diatas telah dikemukakan bahwa Pemerintah Daerah di level provinsi dankabupaten sangat lambat dalam merespons UU No. 21/2001 yang dibuat olehPemerintah Pusat, termasuk pula pembuatan peraturan yang berhubunganperencanaan wilayah (regional planning). Hingga kini RTRW yang telah disusun baruterbatas pada Kota Sentani Barat saja sementara daerah lain belum ada. Kondisi initerjadi karena adanya ketidakpastian peraturan-peraturan dari Pemerintah Pusatdisamping peraturan-peraturan yang adapun selalu berubah-ubah akibat percepatanpertumbuhan di wilayah Provinsi Papua dengan adanya pemekaran-pemekaranyang hingga saat ini masih, sedang dan akan berjalan.

Ketidakpastian peraturan yang berhubungan dengan penataan wilayah di ProvinsiPapua juga menimbulkan dampak negatif pada banyaknya lahan yang beralih fungsikarena alasan tuntutan pembangunan atau alasan lainnya. Sebut saja salah satunyaseperti yang tertera pada Perda no. 16 tahun 2004, adanya perubahan pembangunankawasan dimana semula merupakan kawasan hutan lindung berubah fungsi menjadi

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

33

pemukiman dan bangunan perkantoran Gubernur Papua dan DPRD karenatuntutan pembangunan. Disamping itu, kerusakan kawasan konservasi dan tamannasional juga terjadi karena pola tanam ladang berpindah yang dilakukan olehpenduduk suku asli Papua yang tinggal menetap di pegunungan dan merekamembutuhkan aktivitas itu sebagai sumber matapencahariannya.

Perencanaan pembangunan (regional planning) termasuk tataruang memiliki orientasipembangunan yang antar kawasan, prioritas pembangunan di kawasan perkotaanberbeda dengan kawasan di kabupaten. Di kawasan perkotaan, Jayapura misalnya,merupakan wilayah yang dikelilingi oleh pantai dan laut sehingga wilayah daratansangat terbatas, orientasi dan prioritas pembangunan diarahkan pada pembangunanvertikal, dan hal ini yang tertuang selama ini dalam RTRW. Sedangkan kawasanpedesaan di masing-masing kabupaten di Provinsi Papua diarahkan padapembangunan horisontal karena masih luasnya wilayah pegunungan, hanya harusdihindari agar tidak terjadi ‘benturan’ dengan wilayah-wilayah konservasi.

Disisi lain, sama halnya dengan adat-adat yang lain di Indonesia, ada traditionalknowledge aturan-aturan adat sebagai kearifan lokal penduduk asli Papua yang justrumelindungi sumberdaya alam dan lingkungannya, sebagai contoh sanksi yangdikenakan pada pengambilan ikan dengan ledakan/bom dapat dikenakan dendayang mencapai 10 juta rupiah hingga 200 juta rupiah, tergantung dari besar-kecilnyakapal penangkap ikan atau besar-kecilnya dentuman ledakan untuk mengambil ikandi laut, dan sebagainya. Menurut kearifan lokal penduduk asli Papua, penangkapanikan dengan bom dapat merusak sumberdaya perikanan dan lingkungan lautsehingga jika nelayan lokal yang menangkap ikan disana maka mereka hanyamenggunakan alat tangkap sederhana dan tradisional sehingga kelestariansumberdaya laut dapat terpelihara. Bom dan ledakan di laut sering dilakukan olehkapal-kapal besar yang berasal dari luar daerah Papua atau bahkan oleh nelayan dariluar negeri.

4 PERMASALAHAN DAN HAMBATAN PEMBANGUNANWILAYAH DALAM PENYELENGGARAANOTONOMI DAERAH PADA LIMA PROVINSI

Dari beberapa uraian diatas, dapat diinventarisasi permasalahan dan hambatan yangmuncul dalam rangka pembangunan wilayah di 5 (lima) provinsi, antara lain:

4.1. Kemampuan Nanggroe Aceh Darussalam dalam Otonomi KhususDalam merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan OTSUS di NAD,ditemukan beberapa masalah dan hambatan yang berkaitan dengan pembangunankawasan atau wilayah, yaitu:

(1) Matinya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sehingga tidak ada “generatorpenggerak pertumbuhan” yang mampu membawa perubahan pada kehidupan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

34

ekonomi di NAD. Pada prakteknya sangatlah mengandalkan pada kehidupanekonomi di Sumatra Utara, karena kedekatan wilayah antara NAD dan Sumutdan kesamaan sukubangsa, budaya dan adat istiadat (yaitu Melayu).

(2) Tidak berjalannya dengan efektif, baik pelaku, pelaksana maupun pengambilkebijakan dalam pelaksanaan pembangunan, baik di tingkat lokal maupuntingkat regional.

(3) Kelembagaan (adat maupun instansi pemerintah) tidak berperan dengan baik.Kelembagaan adat yang seharusnya berperanpun, belum pulih 100% akibatinternal konflik dan musibah Tsunami.

(4) Pendelegasian wewenang tidak berjalan karena matinya fungsi-fungsi jaringankelembagaan yang ada. Hal ini dimungkinkan pada kondisi dimana distrustantar masyarakat sudah cukup tinggi.

(5) Perencanaan dan Program Pembangunan Tidak berjalan dengan baik karenadistrust yang tinggi diantara anggota masyarakat, yang sempat terpecah antaramasyarakat yang pro GAM dan masyarakat yang pro TNI, dan antaramasyarakat dengan Pemerintah NKRI.

4.2. Respon Sumatera Barat terhadap Otonomi DaerahWalaupun Sumbar merupakan salah satu wilayah yang cukup baik dalam meresponsOTDA, namun demikian bukan berarti bahwa dalam penyelenggaraannya tidakmemiliki kendala atau hambatan. Beberapa hambatan yang muncul denganpenerapan di Sumbar, antara lain:

(1) Persoalan lemahnya “generator penggerak pertumbuhan” di Sumbar membawapengaruh pada lambatnya ‘geliat’ ekonomi wilayah disamping karenapenggerak pertumbuhan masih didominasi oleh sektor pertanian sawah.

(2) Politik lokal berjalan dengan koordinasi yang baik dan saling menghargai satudengan lainnya. Namun demikian, perubahan yang cepat dalam peraturanperundangan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, tidak serta-merta diikutidengan perubahan dalam kebijakan lokalnya.

(3) Ketidaksinkronan antara UU Formal dan UU Adat karena lambatnyaantisipatif perubahan UU Adat terhadap akselerasi perubahan UU Formal,seperti perubahan UU No.22/1999 menjadi UU No.32/2004 yang sulitdirespon dan disinkronisasikan dengan UU Adat.

(4) Kesulitan bagi investor, tentang siapa yang bisa mengambil keputusan ijinuntuk berinvestasi pada suatu daerah dengan adanya kebijakan daerah yangberubah-ubah, apakah yang menjadi acuan adalah kelembagaan adat ataukelembagaan administrasi Pemerintah Daerah.

(5) membawa pelimpahan wewenang yang berlebihan, yang tidak didukungdengan kemampuan SDM yang baik dan dana yang dialokasikan pulaterbatas, sehingga tidak jarang menyebabkan perencanaan pembangunan didaerah berjalan ‘stagnan’.

(6) Koordinasi antar lembaga pemerintah dan antar aparat Pemerintah secarahorisontal sudah berjalan baik hanya secara vertikal masih terdapat

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

35

kelemahan-kelemahan koordinasi yang dihadapi. Walaupun demikian,koordinasi antar lembaga formal dan informal di level horisontal sudahberjalan dengan efektif di daerah.

4.3. Ketidakoptimalan Otonomi Daerah di Jawa BaratMasalah yang terakumulasi dalam rangka penyelenggaraan di Jabar, dapatdiinventarisasikan sebegai berikut:

(1) Ketergantungan pemerintah daerah yang cukup tinggi terhadap instruksi daripemerintah pusat. Sangat mengandalkan state driven, dimana aparat pemerintahdaerah nya sangat tergantung pada aparat pemerintah pusat.

(2) Tidak mampu berdiri dan bergerak diatas kekuasaan dan kemampuan daerahsendiri karena sangat terkungkung dengan budaya feodalisme yang terjalinturun menurun.

(3) Perencanaan pembangunan tidak berjalan atas kemitraan yang baik danhubungan yang kondusif antar aparat pemerintah daerah dan antara aparatpemerintah daerah dengan masyarakatnya.

(4) Perencanaan pembangunan wilayah belum optimal, yang ditunjukkan denganburuknya kualitas dan kuantitas penyediaan infrastruktur transportasi, irigasi,pendidikan dan kesehatan.

(5) Belum optimalnya pembangunan wilayah perbatasan kabupaten/kotatetangga sehingga berdampak pada keinginan wilayah atau desa-desa diperbatasn untuk bergabung dengan kabupaten/kota yang dapat memberikanpembangunan yang lebih optimal.

(6) Masih rendahnya kinerja Pemerintahan Daerah ditunjukkan dengan belumoptimalnya perampingan struktur organisasi Pemerintahan, rendahnyapelayanan publik, dan lemahnya penegakan hukum.

4.4. Efektivitas Otonomi Daerah di BaliPenyelenggaraan pemerintahan di Bali dalam rangka berjalan cukup efektif, namundemikian ditemui beberapa permasalahan yang sebenarnya dapat berpotensimenghambat proses pembangunan itu sendiri. Permasalahan dan kendala yangdihadapi di Provinsi Bali, meliputi:

(1) Kuatnya adat istiadat yang turun temurun pada grass root sangat mengukungkehidupan berpolitik di tingkat daerah dan lokal, sehingga hukum danperaturan negara menjadi termajinalkan karena eksistensi hukum Adat.

(2) Pengaruh globalisasi dan modernisasi berdampak pada munculnyapergeseran-pergeseran budaya yang berpengaruh terhadap pola kehidupanmasyarakat yang semula gotong royong menjadi semi individualis.

(3) Perencanaan Pembangunan berjalan dengan lancar karena adanya sinergismeantara kelembagaan adat dan kelembagaan dinas, namun demikianperencanaan dan koordinasi pembangunan antara keduanya masih sesuatu

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

36

yang terpisah karena Pemerintah Pusat masih mengandalkan padakelembagaan dinas sebagai ‘perpanjangan tangan’ segala kebijakannya.

4.5. Ketertinggalan Otonomi Khusus di PapuaSeperti telah diuraikan dimuka, bahwa dalam penyelenggaraan OTSUS di ProvinsiPapua sangat banyak permasalahan dan kendala yang dihadapi, baik oleh aparat dariinstansi terkait maupun oleh masyarakatnya. Permasalahan yang dapatdiinventarisasi meliputi:

(1) Kunci dari keberhasilan pembangunan adalah kualitas SDM. Kapabilitas dankapasitas SDM di Provinsi Papua yang lemah, menyebabkan respon aparatpemerintah maupun masyarakat sangatlah rendah terhadap perencanaan danpelaksanaan OTSUS.

(2) Setelah dicanangkannya OTSUS bagi Provinsi Papua maka tidak adaperubahan dan dinamika pembangunan yang terjadi, sehingga masih dominantop down. Hal ini ditunjukkan dengan belum mampu menghasilkan satupunperdasus atau perdasi walaupun telah 5 tahun OTSUS dicanangkan.

(3) Keterisolasian wilayah antar pulau dan antar kawasan sehingga menghambatpembangunan karena pelaksanaan pembangunan menjadi sangat mahal danhanya dapat mengandalkan transportasi udara semata.

(4) Keterisolasian ini pula yang berdampak pada mahalnya biaya hidup dansulitnya membangun infrastruktur pembangunan disana sehingga investorenggan menanamkan modalnya untuk pembangunan infrastruktur disana.

(5) Otonomi hanya dirasakan oleh instansi dan masyarakat di tingkat provinsi.Hubungan antara pusat dan provinsi ditunjukkan dengan kewenangan yanglebih kuat dari pusat dibandingkan provinsi karena ide-ide dan pemberdayaanmasyarakat ada dari provinsi.

(6) Pola hubungan pembangunan antara Distrik dan Kampung sangat beragam,tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat Distrik dapat ‘mengatur’Kampung’. Namun, ada pula kewenangan yang dibuat Kampung berdasarkanUU yang berlaku dan telah disahkan.

(7) Perencanaan pembangunan sangat sulit dilaksanakan disana. Walaupun sudahada sinergisme antara lembaga adat, lembaga pemerintah dan lembaga gereja,namun tidak jarang justru lembaga adat dan lembaga gereja yang lebihberperan dalam urusan sehari-hari dan lembaga pemerintah hanya mengurusihal-hal yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan, adanya pengkotak-kotakan fungsi ini yang menyebabkan perencanaan pembangunan tidak mulusdilaksanakan. Lembaga adat, seperti MRP, masih dipertanyakan efektivitaskeorganisasiannya karena dominan beranggotakan penduduk asli Papua, yangkualitas pendidikan rendah dan masih berpola pikir tradisional-konservatif.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

37

5 PENUTUP: RENCANA STRATEGIS PENGEMBANGANWILAYAH

Perubahan UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004 disikapi dengan berbagairespons, ada yang lambat dan ada pula yang sangat responsif pada beberapa wilayahdi Indonesia. Bahkan untuk UU OTSUS pada 2 (dua) wilayah di Aceh dan Papua,disikapi dengan respon yang sangat lambat, walaupun tidak dapat dinyatakan tidakdirespon samasekali.

Dari sisi pemerintah daerah, adanya dan OTSUS, membawa ‘angin segar’ bagidunia politik daerah dan regional, yang semula ‘menunggu instruksi’ dari Pusatberubah menjadi ‘harus berkreativitas sendiri dan mandiri’, sudah barang tentumembawa konsekuensi bagi tidak hanya kesiapan daerah, aparat pemerintah daerahnamun juga masyarakat lokalnya. Adanya sederet kelemahan human capital yangdialami oleh masyarakat dan aparat di daerah, tidak jarang itu tidak dapatdiimplementasikan dengan baik atau bahkan diimplementasikan secara salah.Sehingga, kunci bagi peningkatan kemampuan dan keberhasilan aparat pemerintahdaerah dan masyarakat agar dapat berotonomi adalah peningkatan human capital dariSDM nya, melalui peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan, kesehatan, dansebagainya. Sosialisasi dan penyebarluasan makna pembangunan dan perangkathukum yang mendukungnya adalah suatu syarat mutlak. Selama ini yang terjadi,begitu juga di 5 (lima) provinsi kasus, sosialisasi dan penyebarluasan makna sangatjarang dilakukan sehingga ‘gaung’nya kurang bergema di beberapa daerah diIndonesia.

Walaupun dalam kedua UU maupun UU OTSUS tidak disinggung tentangpengembangan wilayah, karena memang untuk tata ruang sedang digodok tersendiriproses pembentukan UU nya, namun hampir setiap program pembangunan yangdisusun sedikit banyak akan terkait dengan pengembangan wilayah. Umpamanya,kasus di Jabar dimana dalam rangka meningkatkan PAD-nya prioritaspembangunan diarahkan pada pariwisata, jika batas wilayah pariwisata tidakditentukan dengan jelas dan tidak didukung dengan infrastruktur dan fasilitas yangmemadai, maka pembangunan pariwisata tidak dapat berjalan dan dampaknya tidakakan menjadi sumber pemasukan bagi PAD. Kunci utama keberhasilanpembangunan dalam rangka disini adalah pembangunan infrastruktur transportasi,fasilitas jalan, sarana dan prasarana penunjang pembangunan pariwisata lainnya.Atau, kasus pembangunan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua, dimana dalamrangka merespons OTSUS maka dilakukan berbagai program pembangunandidaerahnya tidak sedikit ‘melanggar’ kebijakan-kebijakan yang berhubungandengan penataan wilayah, contoh kasus yang cukup ramai adalah pembangunan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

38

kantor administrasi gubernur di lahan yang berstatus konservasi. Hal inimenunjukkan bahwa tidak jarang program pembangunan yang disusun terjadipergeseran dan pergesekan dengan pengembangan atau penataan wilayahnya.

Oleh karena itu, tidak salah jika dikemukakan disini bahwa agar programpembangunan di daerah dapat berjalan dengan baik dan efektif maka perlu adasinergisme antara program pembangunan administratif suatu daerah denganpengembangan wilayahnya. Disamping itu, perlu ditingkatkan kemampuan pelaku,penerima dan pelaksana stakeholders dari berbagai kebijakan pembangunan tersebutsehingga capability lag dari human capital dapat diminimalisir sedemikian rupa danharapan kebijakan berjalan efektif dapat terwujud.

Ekonomi daerah dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang cukup berpotensi dimasing-masing wilayah perlu ditingkatkan, khususnya melalui berbagai rangsangandan insentif pembangunan. Dari growth machine theory, perkembangan daerah inidapat berkembang dan berfungsi dengan baik bila ruang dan tatanan politik lokaldibenahi. Tata-politik lokal yang baik akhirnya akan menggerakkan roda-perekonomian di wilayah yang bersangkutan. Dalam logika trickle down effect, gerakanroda pertumbuhan suatu kawasan secara otomatis akan menumbuhkanperekonomian di wilayah sekitarnya. Namun demikian, tata-politik lokal sajatidaklah mencukupi. Keberhasilan kehidupan politik lokal sebagaimanadiindikasikan oleh growth machine theory, hanya akan dapat dicapai bila disertai olehpenguatan kelembagaan sebagaimana arahan pemikiran mazhab new institutionaleconomics theory. Dengan demikian, dua ‘wilayah’ penggerak pertumbuhan kawasanharus disinergikan secara sekaligus, yaitu tatanan dan suasana politik lokal daninfrastruktur kelembagaan penopang kehidupan ekonomi, sosial dan politik lokal.Pembaruan di dua ‘wilayah’ itulah seterusnya akan menjadi prasyarat terjadinyapertumbuhan ekonomi wilayah (spasial) yang sesungguhnya di suatu kawasangeografis tertentu.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

39

DAFTAR RUJUKAN

Anonimous. 2001. Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Kabupaten AcehBesar Tahun 2001-2005. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar Kota Jantho.

________. 2001. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tabanan Tahun 2002-2012. Pemerintah Kabupaten Tabanan. Badan PerencanaanPembangunan Daerah Kabupaten Tabanan.

________. 2004. Peraturan Daerah Kabupaten Solok No. 1 Tahun 2004 tentangRencana Teknik Ruang Kota Ibukota Kabupaten Solok.

________. 2005. Laporan Akhir Sementara Revisi Rencana Tata Ruang WilayahProvinsi Papua. Badan Perencanaan Dan Pengendalian PembangunanDaerah (BP3D) Provinsi Papua.

________. 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Insitute for Researchand Empowerment (IRE) Yogyakarta bekerjasama dengan FordFondation. ISBN: 979-98181-5-X. IRE Press. Yogyakarta.

________. 2004. Mewujudkan Tekad: Berkarya Menuju PembangunanBerkelanjutan. Laporan PT. FI. Timika. Papua.

________. 2006. Gambaran Umum PT. FI. Slide Presentasi.

________. 2006. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)Kabupaten CiamisTahun Anggaran 2007 (Draft). Pemerintah Kabupaten Ciamis.

________. 2006. Usulan Program dan Kegiatan Prioritas Kabupaten CiamisTahun 2007 Hasil Musrenbang Kecamatan dan Forum Gabungan SKPDTahun 2006. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah KabupatenCiamis.

Coase, R. H. 1937. The Nature of the Firm. Economica Vol 4/16, pp. 386-405.Dawkins, C.J. 2003. Regional Development Theory: Conseptual Foundations, Classic Works,

and Recent Developments. Journal of Planning Literature. Vol. 18/2. pp. 131-172.

Dharmawan, A. H. 2005. Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam danLingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi.Working Paper Series No. 09. Proyek Studi-Aksi Sistem Tata-PemerintahanLingkungan Bermitra. PSP-IPB dan UNDP Partnership. Bogor.

Dharmawan, A. H. 2006. Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas KelembagaanLokal dalam Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan Desa: InvestigasiTeoretik dan Empirik. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan PedesaanIPB dan Kemitraan bagi Pembangunan Tata-Pemerintahan di Indonesia.Bogor-Jakarta.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

40

Dwiyanto, A. et. al. 2003. Reformasi: Tata-Pemerintahan dan Otonomi Daerah.Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dan Kemitraan bagiPembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Jakarta.

Kristiadi, JB. 2001. Otonomi Daerah: Peluang, Tantangan dan Kendala. MakalahSeminar Nasional tentang Pembangunan Sumberdaya Manusia danEkonomi Berbasis Pertanian dan Kelautan Untuk Memperkuat OtonomiDaerah Menuju Masyarakat Madani. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia. 2006. Analisa Dampak Ekonomi dan Fiskal PT. FI (ExecutiveSummary). Jakarta.

North, D. 1990. Institution, Institutional Change, and Economic Performance. CambridgeUniversity Press. Cambridge. UK.

Piliang, I. J. 2003. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi. Yayasan HarkatBangsa dan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Jakarta.

Syafa’at, R. 2002. Kelembagaan Pemerintahan Desa: Tinjauan Historis SosialBudaya Keberadaan Masyarakat Adat Dalam Konteks Desentralisasi Desadalam Maryunani dan Ludigdo, U. (eds.). 2002. Desentralisasi dan TataPemerintahan Desa: Monitoring dan Evaluasi Berpartisipasi. LembagaPenelitian Ekonomi dan Pengabdian Masyarakat Fakultas EkonomiUniversitas Brawijaya. Malang.

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi danBeberapa Tantangan Ke Depan

41

BIODATA PENULIS

Dr. Ir. Hj. Eka Intan Kumala Putri, Msi., lahir di Garut tanggal 12Februari 1965. Menyelesaikan pendidikan S-1 tahun 1988 pada PS.Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi-Fakultas Pertanian, IPB. Tahun1996 menyelesaikan pendidikan S-2 di PS. Perencanaan danPembangunan Wilayah Perdesaan (PWD), IPB. Selanjutnya, padatahun 2001 menyelesaikan Program Doktor pada Environmental andResources Economics, Georg-August University of Goettingen Germany.

Sejak Mei 1990-hingga sekarang menjadi staf pengajar Departemen Sosial Ekonomi(Sosek) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, sejak 2001 hingga sekarang menjadistaf pengajar S-2 dan S-3 pada PS. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL)dan PS. Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), serta staf pengajar pada Program MagisterPengembangan Pembangunan Daerah (MPD). Penulis, selain sebagai staf pengajar, jugaaktif menjadi peneliti pada pada beberapa pusat studi di IPB. Sejak tahun 1989 hinggasekarang, penulis aktif menjadi peneliti pada Pusat Studi Pembangunan (PSP) IPB. Sejaktahun 2002 hingga sekarang, penulis aktif juga menjadi peneliti pada Pusat StudiBiofarmaka (PSB) IPB. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan seminar dan workshopdalam dan luar negeri, seperti seminar Follow-up Process to the International Conference onFinancing for Development (Bandung, 2003). International Seminar on Biopharmaca (Surakarta2003; Yogyakarta, 2004; Yogyakarta, 2005). Seminar on the Environmental Assessment inIndonesia (2005).

Kegiatan penelitian dalam 2 (dua) tahun terakhir yang pernah penulis ikuti, yaitu (a) PovertyReduction Studies (2004), (b) Efektivitas Biaya dari Eksternalitas Negatif Industri BerskalaUsaha Kecil dan Menengah (UKM) Tahu di Provinsi Jawa Tengah (2005), (c) RancanganKelembagaan dan Analisa Manfaat BioIsland (Unpublished, 2005) dan (d) KebijakanPungutan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) (Unpublished, 2006).

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr, lahir di Surakartatanggal 14 September 1963. Menyelesaikan pendidikan S-1 tahun1988 pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi-Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.Selanjutnya sejak Mei 1990 hingga saat ini bekerja sebagai Dosen padaDepartemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor dan Dosen pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogorpada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,

dan Program Studi Sosiologi Pedesaan. Tahun 1993 menyelesaikan program pendidikan S-2 di Georg-August University of Goettingen Germany in integrated Tropical Agriculturaland Forestry, dan pada tahun 2000 menyelesaikan program doktor pada Rural andAgricultural Sociology di Georg-August University of Goettingent Germany.

Selain sebagai dosen, penulis juga aktif sebagai peneliti di Pusat Studi Pembangunan (PSP-IPB) sejak 1988 sampai sekarang. Aktif dalam kegiatan seminar dan workshop baiknasional maupun internasional seperti Presenting Papers in the Annual InternationalConference on Tropical and Subtropical Agriculture (organized by ATSAF) in: GoettingenGermany (1998), Berlin Germany (1999) dan di Hohenheim Germany (2000).