pengembangan produk sereal sarapan siap … · nutritious, easy and fast to serve breakfast cereal...

115
PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGUM (Sorghum bicolor L.) DENGAN METODE EKSTRUSI SKRIPSI DION SUGIANTO F 24063252 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN 2011

Upload: dotram

Post on 12-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGUM (Sorghum bicolor L.) DENGAN

METODE EKSTRUSI

SKRIPSI

DION SUGIANTO

F 24063252

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

2011

Development of Ready-to-Eat Cereal Product with Sorgum-based (Sorghum bicolor L.) Extrusion Method

Dion Sugianto

1, Budiatman Satiawihardja

1, Subarna

1,2

1 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agriculture University, IPB Darmaga Campus, PO. Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. 2

Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center,

Bogor Agriculture University, IPB Darmaga Campus, PO. Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

ABSTRACT

Nutritious, easy and fast to serve breakfast cereal is becoming a solution for urban people

which has less time in the morning due to early business. Endogenous cereal, such as sorgum, would

become an alternative to flour to produce breakfast cereal, with its superiority as dry climate resistant

plant and having sustainable production, so as to support national food security. With high flexibility,

control, and production, twin-screw extrusion method was used to produce the breakfast cereal. The

preliminary research determines materials that would be suitable to create acceptable texture, color,

and taste of the extrudate. The main research showed the suitable amount of tapioca and emulsifier

might be used to produce well-textured and preferable product. Product with 100% sorgum, 15%

flour sugar, 10% cocoa powder, 4% vegetable oil, and 1% salt was the best to produce acceptable

texture, color, and taste of the extrudate. Replacement of 10% sorgum with tapioca and the addition

of 1% emulsifier resulted in preferable product in hedonic rating and best characteristic in physical

analysis. Acceptance test to target consumer with different social-economy level was done, resulting

in good response of the panelist toward the product. Feasibility study was also done to provide a

reference if small-scale industry of the product might be feasible. With the period of 5 years project

for the production level of 5.5 tones/month, the NPV value is Rp 30.413.824-, the IRR value is 14%

(at discount rate of 13%), the net Benefit Cost Ratio is 1.01, and Payback Period at 4 years 25 days,

so as to conclude that the project is feasible.

Keywords: sorgum, breakfast cereal, extrusion

DION SUGIANTO. F24063252. Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis

Sorgum (Sorghum bicolor L.) Dengan Metode Ekstrusi. Di bawah bimbingan Budiatman

Satiawihardja dan Subarna. 2011

RINGKASAN

Seiring dengan perkembangan jaman, tingkat kesibukan masyarakat semakin meningkat,

terutama di daerah perkotaan dan sekitarnya. Kesibukan yang diawali d i pagi hari menyebabkan

waktu yang tersedia di pagi hari sangat terbatas. Hal ini menyebabkan terlewatnya sarapan. Karena

kesibukan orang tua, anak-anak juga turut melewatkan sarapannya. Padahal, sarapan sangat penting

untuk aktivitas sepanjang hari. Pada umumnya, sereal sarapan dibuat dari tepung terigu, sedangkan

iklim d i Indonesia tidak cocok untuk menanam gandum. Sorgum merupakan alternatif bahan pangan

pengganti gandum yang dapat digunakan untuk memproduksi sereal sarapan dengan karakteristik

yang mudah ditaman, tahan hama, tahan kekeringan, resistansi tinggi terhadap keasaman, dan tingkat

produksi yang tinggi. Proses ekstrusi merupakan metode yang umum d igunakan untuk memproduksi

sereal sarapan dan makanan ringan. Dengan tingkat fleksibilitas, produksi, dan kontrol yang tinggi,

ekstruder ulir ganda digunakan dalam penelit ian in i.

Tujuan penelitian in i adalah mempero leh komposisi bahan-bahan yang tepat untuk

menghasilkan sereal sarapan siap santap berbasis sorgum yang dapat diterima oleh konsumen.

Penelit ian dilakukan di laboratorium SEAFAST, Techopark, dan laboratorium Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan pada bulan Mei 2010 hingga Februari 2011.

Penelit ian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitan utama.

Penelit ian pendahuluan dilakukan untuk menentukan ukuran partikel sorgum dan komposisi bahan-

bahan selain sorgum, antara lain tepung gula, bubuk coklat, minyak, dan garam, yang dapat

menghasilkan produk yang memiliki tekstur, rasa, dan warna yang baik dan dapat diterima. Penentuan

formula terbaik pada penelitian pendahuluan dilakukan secara subjektif. Penelit ian utama dilakukan

untuk menentukan komposisi tapioka dan emuls ifier terbaik yang menghasilkan produk dengan

karakteristik produk terbaik. Komposisi tapioka yang dicoba adalah 10% dan 20%, sedangkan

komposisi emulsifier yang dicoba adalah 0%, 1%, dan 2%. Penentuan produk terbaik diperoleh

melalui hasil uji rat ing hedonik dan analisis fisik. Analisis kimia kemudian dilakukan untuk

mengetahui kandungan gizi produk. Analisis finansial juga dilakukan untuk mengetahui apakah

industri skala kecil produk sereal sarapan sorgum layak d ilakukan.

Penelit ian pendahuluan dilakukan dua kali uji coba. Informasi yang diperoleh dari uji coba

pertama menunjukkan bahwa ukuran partikel sorgum 60 mesh menghasilkan ekstrudat dengan tingkat

pengembangan dan kerenyahan yang lebih baik dibandingkan sorgum 40 mesh. Komposisi bahan -

bahan selain sorgum dari hasil uji coba kedua antara lain 15% tepung gula, 10% bubuk coklat, 4%

minyak, dan 1% garam, dinilai dapat menghasilkan ekstrudat dengan karakteristik terbaik dan dapat

diterima. Komposisi dan ukuran partikel dari hasil penelitian pendahuluan digunakan dalam penelit ian

utama.

Dari hasil penelitian utama, 10% tapioka 1% emulsifier merupakan komposisi yang

menghasilkan produk dengan skor kesukaan tertinggi dan memiliki karakteristik derajat

pengembangan dan kerenyahan terbaik. Hasil uji rating hedonik dengan 5 skala penilaian

menunjukkan bahwa sampel dengan 10% tapioka 1% emulsifier memiliki skor kesukaan terhadap

tekstur (3.94), rasa (3.33), serta secara keseluruhan (3.56) yang paling baik. Hasil analisis fisik juga

menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki derajat pengembangan (panjang = 118.09%; lebar =

130.93%), dan tingkat kekerasan (1100 gf) yang paling baik. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa

sampel tersebut memiliki kandungan air 2.66% (bk), abu 2.54% (bk), lemak 3.89% (bk), protein

7.50% (bk), karbohidrat 79.42% (bk), serta serat kasar 9.32% (bk). Hasil analisis finansial

menunjukkan bahwa industri kecil produk sereal sarapan sorgum layak untuk dilakukan dengan

parameter-parameter sebagai berikut: Net Present Value (NPV) Rp. 30,413,824.-; Internal Rate of

Return (IRR) 14% (pada tingkat suku bunga diskonto 13%); Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 1.01;

dan Payback Period (PP) 4 tahun 25 hari.

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SIAP SANTAP BERBASIS

SORGUM (Sorghum bicolor L.) DENGAN METODE EKSTRUSI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DION SUGIANTO

F 24063252

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Judul Skripsi : Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis

Sorgum (Sorghum bicolor L.) Dengan Metode Ekstrusi

Nama : Dion Sugianto

Nim : F24063252

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc.) (Ir. Subarna, M.Si.)

NIP 19530815 197903.1.002 NIP 19600629 199803.1.001

Mengetahui :

Plt. Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.)

NIP 19610802 198703.2.002

Tanggal lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul

Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorgum (Sorghum

bicolor L.) Dengan Metode Ekstrusi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan

Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 24 Agustus 2011

Yang membuat pernyataan

Dion Sugianto

F 24063252

BIODATA PENULIS

Penulis bernama lengkap Dion Sugianto, yang dilahirkan pada tanggal

2 Juni 1988 di Cilacap. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Purwokerto pada tahun 2006.

Selama menjalan i penedidikan di tingkat SMA, penulis mengikuti kompetisi

Olimpiade Astronomi hingga ke tingkat propinsi. Penulis juga aktif pada

kegiatan organisasi sekolah dan luar sekolah. Setelah menyelesaikan

pendidikan SMA, penulis memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke

Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB). Setelah melewati tahun pertama di Tingkat Persiapan Bersama

(TPB), penulis memutuskan untuk melanjutkan ke Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjalan i

pendidikan, penulis juga turut aktif berpartisipasi pada berbagai keg iatan akademis maupun non -

akademis, serta mengikuti berbagai pelatihan. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang

berjudul, “Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum (Sorghum bicolor

L.) dengan Metode Ekstrusi.”

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas hikmat, kasih, tuntunan,

dan kekuatan yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi dengan judul, “Pengembangan Produk

Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum (Sorghum bicolor L.) dengan Metode Ekstrusi” dapat

diselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini d itulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan

Mei 2010 h ingga Februari 2011, yang dilaksanakan di Laboratorium Pilot Plant SEAFAST Center,

Laboratorium Technopark Fakultas Teknolog i Pertanian, serta Laboratorium Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan.

Pada kesempatan kali ini dengan penuh hormat d isampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. sebagai Pembimbing yang telah banyak memberikan

dukungan, koreksi, dan bimbingan kepada penulis.

2. Ir. Subarna, M.Si. sebagai Pembimbing yang telah banayak memberikan arahan dan saran serta

bimbingan kepada penulis.

3. Ir. Sutrisno Koswara, M.Si. sebagai Pembimbing Proyek yang telah banyak memberikan

dukungan dan masukan kepada penulis untuk menyempurnakan penelitian in i sekaligus sebagai

dosen penguji yang telah memberi pengarahan dan masukan kepada penulis.

4. Papah, Mamah, Oh Dial, Dicky, Denny atas dukungan dan semagat, serta do a yang selalu

menyertai penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

5. Hana Anita Anasstasia atas dukungan, semangat, teguran, dan kasih sayang serta kesabaran yang

telah diberikan kepada penulis sehingga penulis selalu berusaha untuk memperbaiki d iri.

6. Bapak Jun, Bapak Deni, Bapak Iyas, Bapak Hendra, Ibu Rubiyah, sebagai teknisi laboratorium

yang telah memberikan arahan, bantuan, dan dukungan serta semangat kekeluargaan kepada

penulis.

7. Seluruh dosen departemen ITP yang banyak memberikan ilmu dan nasehat berha rga kepada

penulis selama kuliah dan staf departemen yang banyak membantu penulis.

8. Wonojatun, Sandra, Nadia, Zega, Riza, Arius, Steph GH, Jessica, Helen, Karleen, Selma,

Kandhie, Yess, Syenni, Rich ie, Daisy, Nina, Felicia, Federika, Dhimas, Anto, Abdi, serta semua

teman-teman ITP 43 yang selalu memberikan perhatian, semangat, dorongan, masukan,

informasi, keceriaan, dan kebersamaan yang begitu berharga bagi penulis.

9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik

secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Akhirnya semoga skripsi ini akan menjadi inspirasi bagi saya pribadi dan semua yang

sempat membaca, guna menyempurnakan pengetahuan di bidang Teknologi Pangan.

Bogor, 9 Agustus 2011

Dion Sugianto

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.............................................................................. iii

DAFTAR TABEL..................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR................................................................................ vii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ ix

I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 1

B. TUJUAN PENELITIAN .....................................................................2

II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3

A. SORGHUM....................................................................................... 3

B. EKSTRUSI........................................................................................ 7

1. Proses Ekstrusi ............................................................................7

2. Alat Ekstruder..............................................................................8

3. Variabel Operasi Ekstrusi ........................................................... 10

C. SARAPAN SEREAL......................................................................... 14

D. ANALISIS FINANSIAL................................................................... 15

1. NPV(Net Present Value)............................................................. 15

2. IRR (Internal Rate of Return)......................................................16

3. Net B/C (Net Benefit-Cost Ratio)................................................ 16

4. PP (Payback Period)................................................................... 16

5. BEP (Break Even Point).............................................................. 17

III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 18

A. ALAT DAN BAHAN........................................................................ 18

B. METODE PENELITIAN.................................................................. 19

1. Penelitian Pendahuluan............................................................... 21

2. Penelitian Utama......................................................................... 22

C. METODE ANALISIS....................................................................... 22

1. Uji Rating Hedonik..................................................................... 22

2. Analisis Fisik............................................................................... 23

3. Analisis Kimia............................................................................. 24

v

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 28

A. PENELITIAN PENDAHULUAN......................................................28

B. PENELITIAN UTAMA..................................................................... 35

1. Uji Rating Hedonik.......................................................................35

2. Analisis Fisik................................................................................ 39

3. Uji Penerimaan............................................................................. 45

4. Analisis Kimia.............................................................................. 48

5. Analisis Finansial......................................................................... 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 54

A. KESIMPULAN.................................................................................. 54

B. SARAN.............................................................................................. 54

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 55

LAMPIRAN.............................................................................................. 57

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai serealia (per 100

gr bagian yang dapat dimakan; 12% ka)....................................... 4

Tabel 2. Perkiraan kandungan amilosa dan amilopektin serealia................ 5

Tabel 3. Negara produsen utama sorgum dunia...........................................6

Tabel 4. Formula uji coba pertama.............................................................. 21

Tabel 5. Formula uji coba kedua................................................................. 22

Tabel 6. Variasi tapioka dan emulsifier....................................................... 22

Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama....................... 28

Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua.......................... 32

Tabel 9. Komposisi optimum bahan-bahan selain untuk digunakan

dalam penelitian utama................................................................. 34

Tabel 10. Hasil uji rating hedonik..................................................................35

Tabel 11. Data derajat pengembangan...........................................................39

Tabel 12. Data waktu rehidrasi...................................................................... 40

Tabel 13. Data indeks kelarutan air............................................................... 42

Tabel 14. Data analisis kekerasan.................................................................. 43

Tabel 15. Data analisis nilai patah (breakage)...............................................44

Tabel 16. Komposisi kimia produk................................................................48

Tabel 17. Kandungan gizi produk sampel dan referen dalam satu

takaran saji (50 g).......................................................................... 50

Tabel 18. Persentase pemenuhan energi berdasarkan kebutuhan

energi 2000 kkal.............................................................................50

Tabel 19. Harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk...... 51

Tabel 20. Kriteria kelayakan usaha sorgum flakes........................................ 52

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman Sorgum.........................................................................3

Gambar 2. Penampang Melintang Biji Sorgum............................................ 4

Gambar 3. Penampang Ekstruder Ulir Tunggal Sederhana.......................... 8

Gambar 4. Jenis-Jenis Ekstruder Ulir Ganda Berdasarkan

Konfigurasi Ulir...........................................................................9

Gambar 5. Amilosa dan Amilopektin............................................................11

Gambar 6. Pin Disc Mill; Ayakan Bergoyang; Rheoner............................... 18

Gambar 7. Ekstruder Ulir Ganda...................................................................18

Gambar 8. Tahapan Pelaksanaan Penelitian..................................................20

Gambar 9. Tahapan Pembuatan Produk........................................................ 21

Gambar 10. Ekstrudat Formula 1 (Tepung Sorghum 40 Mesh) dan 4 (Tepung

Sorghum 60 Mesh)...................................................................... 30

Gambar 11. Ekstrudat Semua Formula Pada Uji Coba Pertama..................... 31

Gambar 12. Ekstrudat dengan penambahan gula 10%, 15%, dan 20%.......... 33

Gambar 13. Ekstrudat Dengan Penambahan Coklat 5%, 10%, dam 15%...... 34

Gambar 14. Ekstrudat Dengan Penambahan Minyak 5%, 7,5%, dan 10%.....34

Gambar 15. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor

Kesukaan Tekstur........................................................................ 35

Gambar 16. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor

Kesukaan Rasa.............................................................................37

Gambar 17. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor

Kesukaan Secara Keseluruhan.................................................... 38

Gambar 18. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap

Derajat Pengembangan Dimensi Panjang................................... 40

Gambar 19. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap

Waktu Rehidrasi Awal................................................................ 41

Gambar 20. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap

Waktu Rehidrasi Akhir................................................................ 42

Gambar 21. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap

viii

Indeks Kelarutan Air................................................................... 43

Gambar 22. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap

Nilai Kekerasan........................................................................... 44

Gambar 23. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap

Nilai Patah................................................................................... 45

Gambar 24. Pengetahuan dan tingkat konsumsi sereal sarapan dari

dua sekolah.................................................................................. 46

Gambar 25. Penerimaan terhadap atribut produk............................................47

Gambar 26. Keinganan konsumsi produk....................................................... 47

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Formula yang diujikan pada penelitian pendahuluan................60

Lampiran 2. Kuesioner uji rating hedonik.....................................................61

Lampiran 3. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut

tekstur........................................................................................62

Lampiran 4. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut

warna......................................................................................... 63

Lampiran 5. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut

rasa............................................................................................ 64

Lampiran 6. Analisis keragaman uji rating hedonik terhadap atribut secara

keseluruhan............................................................................... 64

Lampiran 7. Analisis keragaman derajat pengembangan produk

dimensi panjang........................................................................ 65

Lampiran 8. Analisis keragaman derajat pengembangan produk

dimensi lebar............................................................................. 66

Lampiran 9. Analisis keragaman waktu awal rehidrasi.................................67

Lampiran10. Analisis keragaman waktu akhir rehidrasi................................ 67

Lampiran 11. Analisis keragaman indeks kelarutan air (WSI)....................... 68

Lampiran 12. Grafik analisis kekerasan dengan alat Rheoner........................ 68

Lampiran 13. Analisis keragaman dengan alat Rheoner................................. 70

Lampiran 14. Analisis keragaman dengan alat Rheoner................................. 71

Lampiran 15. Kuesioner uji penerimaan......................................................... 72

Lampiran 16. Pengolahan data uji penerimaan terhadap pengetahuan

tentang sereal susu.....................................................................73

Lampiran 17. Pengolahan data uji penerimaan terhadap tingkat konsumsi

sereal susu................................................................................. 74

Lampiran 18. Pengolahan data uji penerimaan terhadap atribut sensori

sereal susu................................................................................. 75

Lampiran 19. Pengolahan data uji penerimaan terhadap keinginan

konsumsi produk....................................................................... 78

x

Lampiran 20. Dokumentasi kegiatan uji penerimaan di Sekolah Dasar..........79

Lampiran 21. Pengolahan data analisis kadar air............................................ 80

Lampiran 22. Pengolahan data analisis kadar abu...........................................80

Lampiran 23. Pengolahan data analisis kadar lemak.......................................80

Lampiran 24. Pengolahan data analisis protein............................................... 81

Lampiran 25. Pengolahan data analisis serat kasar......................................... 81

Lampiran 26. Pengolahan data analisis karbohidrat........................................ 81

Lampiran 27. Perincian modal investasi sorghum flakes................................ 82

Lampiran 28. Perincian biaya operasional usaha menengah

sorghum flakes.......................................................................... 84

Lampiran 29. Kebutuhan dana usaha menengah sorghum flakes....................86

Lampiran 30. Perhitungan pelunasan kredit.................................................... 87

Lampiran 31. Asumsi penjualan...................................................................... 90

Lampiran 32. Proyeksi laba-rugi..................................................................... 91

Lampiran 33. Perhitungan BEP (Break Even Point)....................................... 92

Lampiran 34. Proyeksi arus kas.......................................................................93

Lampiran 35. Analisis kelayakan usaha.......................................................... 94

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kondisi ekonomi bangsa Indonesia terus berubah seiring perkembangan zaman. Sistem

agraris perlahan-lahan digantikan dengan sistem industri dan perkantoran. Waktu menjadi

semakin berharga secara ekonomis, sehingga pengusaha, industri, dan perkantoran memperketat

jam kerja para karyawannya demi meningkatkan pendapatannya. Demi meningkatkan kondisi

ekonomi, masyarakat di daerah sekitar perkotaan pun rela menjadi pekerja dan karyawan di

perusahaan yang berada jauh dari rumah mereka. Hal tersebut menyebabkan kesibukan

masyarakat semakin bertambah, berbeda dengan kondisi masyarakat agraris di daerah pedesaan

yang belum terkena dampak industrialisasi.

Perubahan-perubahan ini akhirnya berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat di

perkotaan dan daerah sekitarnya. Enam h ingga sembilan jam kerja yang diwajibkan perusahaan

atau kantor dimana mereka bekerja, diawali di pagi hari, mulai dari jam tujuh hingga jam

sembilan pagi. Bagi pekerja atau karyawan yang tinggal di pinggiran kota atau bahkan luar kota,

berangkat pukul setengah enam pagi merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar t idak

terlambat sampai d i tempat kerja. Dengan rutin itas pagi hari seperti in i, pekerja dan karyawan

memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain, terutama

menyiapkan makan pagi atau sarapan.

Perubahan gaya hidup ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa, namun anak-anak usia

sekolah juga terkena dampaknya. Banyak alasan yang dilontarkan anak-anak untuk melewatkan

sarapan, contohnya adalah terlambat bangun pagi, tidak ada selera makan di pagi hari, orang tua

tidak menyiapkan sarapan, tidak biasa sarapan pagi, dan lain-lain. Hal in i menjadi masalah yang

apabila tidak d itanggapi secara tepat, akan berakibat buruk pada kesehatan masyarakat daerah

perkotaan dan sekitarnya.

Sarapan pagi merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Energ i untuk melakukan

aktivitas selama sehari d iperoleh dari sarapan pagi. Untuk memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari,

para ahli merekomendasikan bahwa sarapan pagi sebaiknya memenuhi 20-25% kebutuhan

nutrisi harian (Mathews 1996; Vergara 2005). Menurut Mathews (1996), sarapan sebaiknya

dapat memenuhi 400-500 kkal kebutuhan energi, jika dibandingkan dengan kebutuhan energi

2000 kkal seseorang. Selain itu, sarapan sebaiknya mengandung karbohidrat, protein, lemak,

vitamin, dan mineral. Melewatkan sarapan pagi dapat mengakibatkan hal-hal negatif, baik

jangka pendek maupun jangka panjang (Sizer dan Whitney 2000). Bagi anak-anak usia sekolah,

melewatkan sarapan pagi dapat menurunkan prestas i mereka di sekolah (Rahayuning 2004).

Untuk mengatasi masalah ini, sarapan yang praktis, disukai, dan mampu memenuhi

kebutuhan energi di pagi hari adalah solusi yang diperlukan. Salah satu jenis sarapan yang

digemari di negara maju adalah sereal sarapan siap santap atau dikenal ready-to-eat cereals.

Serel sarapan ini berbetuk flakes dengan ukuran dan bentuk yang sangat bervariasi, serta mudah

disajikan, yaitu hanya dengan penambahan susu. Rasanya juga bervariasi, mulai dari rasa coklat,

buah-buahan, vanilla, madu, hingga rasa alami, seperti flakes jagung (corn flakes). Kombinasi

penyajian yang mudah, rasa yang enak dan bervariasi, serta pemenuhan energi yang tepat di pagi

hari menjadikan sereal sarapan siap santap salah satu solusi yang baik untuk pemenuhan sarapan

masyarakat di daerah perkotaan dan sekitarnya.

2

Produksi sereal sarapan siap santap terus mengalami perkembangan. Saat ini, teknologi

ekstrusi merupakan metode yang paling populer digunakan. Metode ini dikenal fleksibel,

efisien, stabil, dengan volume produksi yang tinggi. Penambahan unit operasi lain juga dapat

diintegrasikan dengan mudah untuk tujuan yang spesifik, seperti pengeringan, pelapisan

(coating) flavor, atau pemanggangan (Owen 2001).

Bahan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan seral sarapan adalah

gandum. Namun, gandum merupakan tanaman seralia yang tidak cocok ditanam di Indonesia

yang beriklim tropis. Untuk pemenuhan kebutuhan gandum, Indonesia masih mengimpor dari

luar negeri. Akan lebih baik apabila dikembangkan seral sarapan yang bahan baku

pembuatannya memanfaatkan komodit i lokal. Selain meningkatkan ketahanan pangan,

penggunaan komoditi lokal juga dapat menurunkan biaya produksi yang berdampak pada

menurunnya harga produk. Komoditi lokal yang saat ini sedang diteliti dan dikembangkan

sebagai alternatif bahan pangan antara lain jagung, ubi jalar, ubi kayu, garut, kimpul, sorgum,

kentang, dan sagu.

Di dunia, sorgum adalah tanaman serealia kelima terpenting setelah beras, gandum,

jagung, dan barley. Sorgum menjadi makanan utama lebih dari 750 juta orang yang tinggal di

daerah tropis setengah kering di Afrika, Asia, dan Amerika Lat in (FSD 2003). Sorgum

merupakan sumber pangan potensial bagi bangsa Indonesia karena memiliki berbagai

keunggulan. Sorgum termasuk low-input crop yang dapat di budidayakan pada lahan kering dan

dapat beradaptasi luas di lahan marginal. Biji sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pangan,

pakan, maupun bahan baku industri, sedangkan daunya digunakan untuk pakan ternak. Sorgum

dan produk-produk yang dihasilkannya memiliki harga yang lebih murah d ibandingkan

makanan-makanan pokok yang lain seperti beras dan gandum (Arv i 2006).

Dengan penjelasan seperti di atas, pengembangan produk sereal sarapan siap santap

berbasis sorgum dengan memanfaatkan teknologi ekstrusi diharapkan menjad i suatu

pertimbangan dalam mencari solusi terlewatkannya sarapan pagi oleh masyarakat di daerah

perkotaan dan sekitarnya.

B. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian in i bertujuan untuk menghasilkan sereal sarapan siap santap

(ready-to-eat cereal) berbasis sorgum dengan menggunakan ekstruder ulir ganda yang dapat

diterima oleh konsumen. Secara lebih spesifik, penelitian in i bertujuan untuk menemukan

komposisi bahan-bahan terbaik termasuk komposisi tapioka dan emulsifier terbaik untuk

menghasilkan flakes sorgum terbaik dari segi karakteristik sensori produk, sertadapat diproduksi

dengan nilai ekonomi yang positif sehingga dapat diserap dan diterapkan pada industri pangan di

Indonesia.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sorgum Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae

bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan lain-lain. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur,

sorgum dikenal dengan nama ‗jagung cantel‘, sedangkan di Jawa Barat dikenal dengan nama

‗jagung cantrik‘ dan ‗batara tojeng‘ di Sulawesi Selatan (Suprapto dan Mudjisihene 1987).

Tanaman sorgum banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang.

Sorgum d ibudidayakan pada ketinggian 0-700 m d i atas permukaan laut. Tanaman ini dapat

tumbuh pada suhu lingkungan 23o-34

oC tetapi suhu optimum berkisar antara 23

o-30

oC dengan

kelembaban relatif 20-40%. Sorgum t idak terlalu peka terhadap keasaman (pH) tanah, tetapi pH

tanah yang baik untuk pertumbuhannya adalah 5.5-7.5 (Ris munandar 1989). Tanaman sorgum

tahan terhadap kekeringan. Sebagai perbandingan, 1 kg bahan kering sorgum hanya memerlukan

sekitar 332 kg a ir selama pembudidayaan, sedangkan pada jumlah bahan kering yang sama, jagung

membutuhkan 368 kg, barley 434 kg, dan gandum 514 kg air (Suprapto dan Mudjisihene 1987).

Gambar tanaman sorgum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Sorgum (Barr 2007)

Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor L.termasuk ke dalam :

Genus : Sorghum

Ordo : Cyperales

Kelas : Liliopsida/Monokotiledon

Divisi : Magnoliophyta

Superdivisi : Spermatophyta

Subkingdom : Tracheobionta

Kingdom : Plantae.

Secara umum, b iji sorgum dapat dikenali dengan bentuknya yang bulat lonjong atau bulat

telur, dan terdiri dari tiga lap isan utama, yaitu kulit luar (8%), lembaga (10%), dan endosperma

(82%). Ukuran bijinya kira-kira adalah 4.0 x 2.5 x 3.5 mm, dan berat bijinya berkisar antara 8 mg

sampai 50 mg dengan rata-rata 28 mg. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, biji sorgum dapat

digolongkan sebagai biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg).

Kulit bijinya ada yang berwarna putih, merah, atau coklat (Suprapto dan Mudjisihene 1987) .

4

Biji sorgum termasuk jenis kariopsis (caryopsis) dimana seluruh perikarp bergabung dengan

endosperma. Perikarp terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Tepat di

bawah endokarp, terdapat lapisan testa yang mengelilingi endosperma.

Gambar 2. Penampang Melintang Biji Sorgum (FSD 2003)

Sorgum memiliki komposisi kimia yang mirip dengan jagung (Zea mays). Hal ini berarti

bahwa sorgum memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan menjadi bahan baku berbagai

produk pangan. Perbandingan gizi berbagai serealia ditampilkan pada Tabel 1. Dari tabel

tersebut, dapat dilihat bahwa protein sorgum lebih t inggi dibandingkan dengan jagung dan beras,

dengan kandungan lemak yang lebih rendah daripada jagung. Serat pada sorgum juga lebih tinggi

daripada beras.

Tabel 1. Perbandingan kadungan nutrisi berbagai serealia (per 100 gr bagian yang dapat dimakan;

12% ka)

Bahan

Pangan

Kalori

(kal)

Protein

(g)

Lemak

(g)

Karbohidrat

(g) Air (g)

Serat

(g)

Sorgum 366 11.0 3.30 73.0 11.2 2.3

Beras 360 7.0 0.70 79.0 9.8 1.0

Jagung 361 9.0 4.50 72.0 13.5 2.7

Kentang 62 2.1 0.20 13.5 83.4 0.5

Ubi kayu 154 1.0 0.30 36.8 61.4 0.9

Ubi jalar 119 0.5 0.40 25.1 72.6 4.2

Terigu 333 9.0 1.00 77.2 11.8 0.3

Sumber : Beti et al. (1990); PAGI (2009)

Sebagian besar karbohidrat yang terdapat di dalam sorgum adalah pati. Endosperma dari tipe

sorgum biasa mengandung 23 - 30% amilosa, sedangkan varietas waxy mengandung amilosa

kurang dari 5%. Tepung sorgum mempunyai suhu gelatinisasi 68o - 78

oC, sedangkan tepung

jagung tergelatinisasi pada suhu 62o - 68

oC. Hal ini menyatakan bahwa tepung sorgum

merupakan bahan baku yang serbaguna karena tidak mudah menggumpal (tergelat inisasi) pada

5

saat mengalami pemanasan (Suprapto dan Mudjisihene 1987). Perbandingan komposisi amilosa

dan amilopekt in serta derajat gelatin isasi dari berbagai jenis serealia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkiraan kandungan amilosa dan amilopektin serealia

Tipe Pati Amilosa (% ) Amilopektin (% ) Rentang Derajat

Gelatinisasi (oC)

Jagung 25 75 62-72

Jagung waxy <1 >99 63-72

Jagung tinggi amilosa 55-70 (atau lebih) 45-30 (atau kurang) 70-95+

Kentang 20 80 50-60

Beras 19 81 68-78

Beras ketan <1 >99 68-77

Tapioka 17 83 52-61

Gandum 25 75 58-63

Sorgum 25 75 65-74

Sorgum waxy <1 >99 64-73

Sorgum heterowaxy <20 >80 64-73

Sumber : Lusas & Lloyd (2001)

Protein pada sorgum dapat dikategorikan menjadi empat jen is berdasarkan sifat kelarutannya,

yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin/gliadin (larut alkohol), dan glutelin

(larut asam atau basa). Meskipun tepung sorgum memiliki glutelin dan gliadin, akan tetapi protein

tepung sorgum kurang memiliki kemampuan untuk membentuk g luten jika dibandingkan dengan

terigu (Suarni 2004). Menurut Suarni (2004), kandungan gliadin dan glutenin terigu seimbang,

sehingga dapat membentuk gluten yang memiliki sifat elasitisitas tinggi ketika ditambahkan air.

Oleh karena tepung sorgum tidak memiliki gluten yang sama seperti gluten terigu, maka tepung

sorgum dapat digunakan untuk pembuatan produk makanan yang bebas gluten atau gluten free

(FSD 2003; NSP 2005; Rooney 2003). Rooney (1973) menyatakan bahwa komposisi kimia

protein pada sorgum mirip dengan jagung, yaitu lisin sebagai komponen terbanyak, treonin,

triptofan, dan metionin sebagai komponen paling kecil.

Semua varietas sorgum mengandung komponen fenolik, termasuk asam fenolat dan

flavonoid. Beberapa varietas mengandung tanin dibagian testa, tetapi seringkali sorgum budidaya

tidak mengandung tanin. Komponen ini dapat mempengaruhi warna, flavor, dan kualitas nutrisi

produk. Meskipun demikian, tanin melindungi biji sorgum dari serangan serangga dan burung

karena rasa pahit yang dikandungnya.

Kandungan tanin pada biji menghambat aktivitas beberapa enzim sehingga menghambat

pencernaan protein dan pemecahan selulosa. Uji coba pada hewan telah membukt ikan bahwa

tanin menghambat penyerapan protein, mengurangi pemanfaatan mineral dan menyebabkan

penurunan pertumbuhan. Pemberian pakan pada babi yang mengandung 4.21% tanin menurunkan

daya cerna protein sebesar 5.6%. Kandungan tanin sebelum b iji matang (ripe) selalu lebih t inggi

dibandingkan setelah biji matang. Kandungan tanin pada biji yang lebih gelap selalu lebih t inggi

daripada biji yang lebih pucat. Beberapa tipe sorgum putih mengalami pigmentasi di bagian

perikarp dan testa yang disebabkan oleh ko mponen fenolik (Leder 2004).

Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk

dikembangkan di Indonesia. Sorgum mempunyai daerah adaptasi yang luas. Tanaman sorgum

6

toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif

tahan terhadap gangguan hama/penyakit. Biji sorgum dapat digunakan sebagai bahan baku di

industri pangan seperti industri gula, monosodium glutamat (MSG), asam amino, dan industri

minuman. Dengan kata lain, sorgum merupakan komoditas pengembang untuk diversifikasi

industri secara vertikal (Sirappa 2003).

Di berbagai belahan dunia, sorgum telah d igunakan sejak lama sebagai bahan pangan

terutama adalah pangan tradisional. Masyarakat Afrika dan India mengkonsumsi sorgum sejak

ribuan tahun lalu dengan mengolahnya menjadi bubur dan panekuk. Di Afrika, terutama daerah

Tanzania, Afrika Tengah, dan Afrika Utara, sorgum juga digunakan sebagai bahan pembuat bir

(Dogget 1970).

Tepung sorgum juga dapat berperan sebagai subtitusi tepung terigu pada pembuatan roti, mie,

pasta, dan kue-kue kering. Suarni (2004) menyebutkan bahwa tepung sorgum dapat mensubtitusi

tepung terigu hingga taraf 50-80% untuk membuat kue kering. Subtitusi perlu menambahkan

maizena sebagai bahan perekat dan bumbu kue untuk menekan rasa sepat pada tepung sorgum.

Areal yang berpotensi untuk pengembangan sorgum di Indonesia sangat luas, meliputi daerah

beriklim kering atau musim hujannya pendek serta tanah yang kurang subur. Daerah penghasil

sorgum dengan pola pengusahaan tradisional adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak,

Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan,

Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), dan sebagian Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

(Sirappa 2003).

Menurut Beti et al. (1990), luas areal tanam sorgum di dunia mencapai sekitar 50 juta hektar

dengan total produksi 68.40 juta ton dan rata-rata produktivitas 1.30 t/ha. Negara penghasil

sorgum utama adalah India, Cina, Nigeria, dan Amerika Serikat. Data produksi dan produktivitas

sorgum di berbagai belahan dunia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Negara produsen utama sorgum dunia

Negara

(2007/2008)

Produksi

(000,000 t)

Produktivitas

(t/ha)

Amerika Serikat 12.64 4.60

Nigeria 10.00 1.35

India 7.93 1.00

Meskiko 6.20 3.49

Sudan 4.50 0.68

Australia 3.07 2.99

Argentina 2.94 4.74

Brazil 2.00 2.35

Cina 1.92 3.84

Indonesia* 0.006 0.003

Dunia 63.26 1.60

Sumber : AgroStats (2009); *Deptan (2010)

Ketersediaan sorgum di Indonesia masih terbatas. Hal ini terkait dengan kesadaran petani

dan kebijakan pemerintah terhadap upaya tanam sorgum. Permintaan terhadap sorgum untuk

pangan masih sangat rendah. Saat ini, sorgum masih dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai

7

pakan ternak dan produksi etanol. Perusahaan belum tertarik untuk menggunakan sorgum sebagai

bahan baku produksi. Keberadaan gandum masih sangat dominan karena gandum dianggap lebih

mudah diterima masyarakat, karena sorgum belum banyak dikenal masyarakat. Akibatnya, petani

pun enggan menanam sorgum dalam jumlah besar karena dianggap tidak ada yang membeli.

Untuk mengatasi hal ini, kebijakan pemerintah yang tepat dapat meningkatkan penerimaan sorgum

sebagai bahan pangan sedikit demi sedikit.

Perguruan tinggi memegang peranan yang penting untuk mendukung penerimaan sorgum

oleh masyarakat sebagai upaya diversifikasi pangan. Dengan penelitian yang terarah, produk

berbahan dasar sorgum dapat dikembangkan sehingga membuka peluang penggunaan sorgum

pada produk komersial. Pengembangan pangan fungsional dari sorgum juga dapat dilakukan.

Upaya-upaya ini dapat meningkatkan citra sorgum sehingga masyarakat dapat menerima sorgum

sebagai bahan pangan alternatif.

B. EKSTRUSI

1. Proses Ekstrusi Ekstrusi adalah suatu satuan proses yang memaksa suatu bahan untuk mengalir pada

suatu ruangan yang sempit dan akh irnya memaksanya untuk keluar melalui sistem bukaan (die)

yang sempit juga, sehingga bahan mengalami beberapa satuan proses sekaligus meliputi proses

pencampuran, pengadukan, pemasakan, pengulian, pembentukan, pengembangan, atau

pengeringan tergantung dari desain esktruder dan kondisi proses (Dziezak 1989).

Proses ekstrusi digunakan untuk memproduksi beberapa produk seperti pasta, sereal

sarapan, biskuit, crackers, makanan bayi, makanan ringan (snack), p roduk-produk

konfeksioneri, dan lain-lain (Linko et al. diacu dalam Dziezak 1989). Secara umum, Pontoh

(1995) menyatakan bahwa proses ekstrusi memberi manfaat untuk merubah flavor, merubah

protein (denaturasi) dan pati (gelatinisasi dan dekstrinisasi), menghasilkan makanan yang lebih

mudah dicerna, merusak enzim yang merugikan, memperbaiki bentuk bahan dan menciptakan

tekstur yang dikehendaki.

Pemasakan dengan ekstrusi mempunyai banyak keuntungan, antara lain parameter fisik

(suhu, tekanan) dapat dirubah-rubah, sehingga dengan mesin yang sama dapat memasak dan

mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda. Keuntungan lainnya adalah

memberi bentuk dan tekstur pada hasil produk, kemampuan produksi kontinyu, pengoperasian

yang efisien dari segi tenaga, energi, dan luas pabrik, pasteurisasi produk akh ir, dan pros es

dalam keadaan kering (Harper 1981). Lusas dan Llyod (2001) menambahkan bahwa di dalam

proses ekstrusi, tindakan koreksi dapat dengan mudah dilakukan.

Ekstrusi juga merupakan gabungan dari berbagai satuan operasi. Secara umum, satuan

operasi yang terjadi pada proses ekstrusi antara lain pemanasan, pendinginan, pengaliran

bahan, pemasukan bahan, penekanan, pencampuran, peleburan, pemasakan, pembentukan,

teksturisasi, dan reaksi (Lusas dan Lloyd 2001).

Pemasakan ekstrusi semakin populer pada dua dekade terakhir karena beberapa alasan ,

antara lain cakupan produk, biaya, produktivitas, kualitas produk, dan pengaruh terhadap

lingkungan. Cakupan produk yang luas dapat dihasilkan oleh proses ekstrusi hanya dengan

mengubah ingredien bahan, kondisi operasi ekstruder, dan lubang keluaran (die). Biaya proses

yang dikeluarkan juga lebih rendah karena sifat berkelanjutan yang meningkatkan

produktivitas. Kualitas produk yang baik tercapai karena aplikasi suhu tinggi dalam waktu

singkat. Retensi komponen pangan tidak tahan panas dapat diperthanakan sehingga menjaga

kualitas produk. Proses ekstrusi ramah terhadap lingkungan yang berkaitan dengan proses

8

pemasakan ekstrusi dengan kelembaban rendah. Proses ini menghasilkan limbah dalam jumlah

yang tidak signifikan, mengurangi biaya pengolahan air dan tingkat polusi lingkungan.

2. Alat Ekstruder Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper 1981). Menurut

Muchtadi et al. (1988), fungsi pengekstrusi meliputi gelatinisasi, pemotongan moleku ler,

pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan penggelembungan atau pengeringan. Kombinasi

satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut di atas merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam

proses ekstrusi.

Terdapat empat komponen dasar di dalam ekstruder. Komponen pertama adalah sistem

pengumpan (feeding system). Sistem pengumpan berfungsi untuk tempat bahan yang akan

diekstrusi. Komponen kedua berupa sistem preconditioner, yaitu sistem yang berfungsi untuk

menyeragamkan atau memodifikasi kondisi bahan sebelum masuk ke dalam laras ekstruder.

Sistem in i dapat berupa injeksi uap, maupun pencampuran dengan air. Komponen ketiga

adalah ekstruder. Komponen terakhir berupa die pada ujung keluaran ekstruder. Die inilah

yang berperan membentuk produk sesuai yang diinginkan (Lusas dan Lloyd 2001).

Penggunaan motor berkekuatan tinggi akan membuat screw terus berputar, sehingga

menimbulkan panas yang tinggi akibat gesekan antar bahan. Perputaran screw memaksa

produk bergerak sepanjang laras (barrel) dan membangkitkan tekanan yang akhirnya

digunakan untuk pembentukan produk (Miller 1993).

Ekstruder terdiri dari ulir putar (screw), yang terpasang dalam laras tertutup rapat

(barrel), dan sering kali dikelilingi oleh jaket pemanas (heating mantle). Dalam banyak kasus,

pemasukan panas utama sering dihasilkan dari perputaran screw (friksi internal) atau disebut

konversi energi mekanik. Sumber panas lain dapat berupa konduksi dari jaket p emanas, atau

secara konveksi dari uap panas (steam) (Lusas dan Lloyd 2001).

Maltz (1984) membagi ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang digunakan dalam proses

ekstusi, yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda. Menurut Bhattacharva dan

Padmanabhan (1992), ekstruder ulir ganda memiliki kelebihan daripada ekstruder ulir tungal

yaitu kontrol dan keseragaman produk yang leb ih baik, namun penggunaannya memerlukan

investasi yang lebih besar dengan kapasitas produksi yang sama.

Gambar 3. Penampang Ekstruder Ulir Tunggal Sederhana

9

Menurut Muchtadi et al. (1988), ada lima jen is pengekstrusi berulir tunggal yang umum

digunakan di industri pangan, yaitu :

a. Pengekstrusi Pasta.

Alat ini dipakai untuk membentuk makaroni dan produk serupa dari suatu adonan.

b. High Pressure Forming Extruder

Alat in i dipakai untuk memadatkan dan membentuk adonan yang telah mengalami

gelatinisasi terlebih dahulu, menjad i produk yang membutuhkan proses lanjutan, seperti

makanan ringan (snack) dan sereal.

c. Low Shear Cooking Extruder

Alat ini dipakai sebagai pemasak yang kontinyu untuk adonan yang berkadar air tinggi.

Produk kemudian diproses lebih lan jut dengan pembentukan, pengeringan, dan lain -lain.

d. Collet Extruder

Alat ini dapat mendinginkan, membuat gelembung, dan membentuk butiran -butiran kering

seperti misalnya corn meal untuk produk-produk pangan bergelembung, seperti corn curl.

e. High Shear Cooking Extruder

Alat ini merupakan ekstruder yang berkerja pada rasio kompresi tinggi, laras yang panjang,

dan kemampuan mendinginkan atau memanaskan produk secara eksternal. Ekstruder jenis

ini memiliki kemampuan operasi yang luas. Bahan yang bervariasi dengan rentang

kelembaban yang lebih luas dapat digunakan. Selain itu, kondisi proses seperti suhu dan

pengembangan juga dapat dikendalikan.

Ekstruder ulir ganda atau ulir kembar terdiri dari dua ulir yang sama panjang dan

terletak berdampingan dalam satu barrel. Berdasarkan arah alirannya, ekstruder ulir ganda

dapat dibedakan menjadi counter rotating dan co-rotating. Berdasarkan jarak antara dua

sumbu kedua ulir tersebut, ekstruder ulir ganda dibedakan menjad i intermeshing dan non-

intermeshing (Hariyadi 1996).

A B C D

Keterangan :

A : Counter rotating, intermeshing

B : Co-rotating, intermeshing

C : Counter rotating, non-intermeshing

D : Co-rotating, non-intermeshing

Gambar 4. Jenis-Jenis Ekstruder Ulir Ganda Berdasarkan Konfigurasi Ulir (Jensen 1978)

Ekstruder berulir ganda merupakan alat yang dapat digunakan untuk membuat sereal

sarapan dengan mengaplikasikan teknologi High Shear Cooking Extruder. Dengan dua ulir

yang bekerja, pemotongan (shear) akan lebih merata dan lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap

10

partikel bahan akan diproses dengan lebih konsisten sehingga diperoleh struktur dan tekstur

yang lebih homogen. Ekstruder ulir ganda memiliki fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan

dengan ekstruder ulir tunggal. Pada ekstruder ulir tunggal, rancangan ulir, sistem pemasukan

bahan (feeding), dan pola suhu di dalam ekstruder merupakan t iga faktor yang berkaitan erat.

Pada ekstruder berulir ganda, ketiga faktor ini tidak berkaitan erat, sehingga operator dapat

mengendalikan kondisi-kondisi tersebut untuk mengahasilkan tekstur produk akhir yang

diinginkan (Muchtadi et al. 1987).

3. Variabel Operasi Ekstrusi Menurut Harper (1981), terdapat dua tipe variabel operasi pada proses ekstrusi, yaitu

variabel dependen dan independen. Variabel independen adalah variabel-variabel yang dapat

dikontrol oleh operator dan tidak tergantung pada faktor lain yang ada di dalam sistem.

Sebaliknya, variabel dependen merupakan variabel-variabel yang dapat mencapai n ilai tertentu,

tergantung dari nilai variabel independen.

Variabel independen yang mempengaruhi suatu proses ekstrusi antara lain adalah

ingredien bahan, kelembaban, desain ulir dan laras (screw and barrel design), desain cetakan

(die), kecepatan putar ulir (screw speed), temperatur, p reconditioning, dan kecepatan masuk

bahan. Sedangkan variabel dependen pada proses ekstrusi terdiri dari v iskositas, shear rate,

flow rate, tekanan, tenaga (power), lama tinggal (residence time), temperatur, dan karakteristik

produk.

Guy (2001) menjelaskan bahwa sifat paling penting dari proses ekstrusi adalah sifat

keberlan jutan yang beroperasi pada keseimbangan antara masukan (input) dan keluaran

(output). Oleh karena itu, untuk mendapatkan karakteristik ekstrudat yang diinginkan ,

masukan harus diatur pada tingkat yang tepat untuk mencapai kondisi fisik dan perubahan

proses kimia yang baik. Kondisi fisik dan kimia in i merupakan variabel dependen yang akan

menentukan sifat produk, sedangkan masukan (input) merupakan variabel independen.

Hubungan antara variabel dependen dan independen yang baik harus dijaga pada tingkat

optimum dengan celah perubahan proses sekecil mungkin untuk menjaga keseragaman produk.

a. Variabel Bahan

Ingredien bahan dengan komposisi yang tepat serta kondisi proses optimum

merupakan variabel independen yang menjadi perhatian utama pada penelitian ini.

Kombinasi yang baik dari ingredien yang tepat serta kondisi proses optimum d iperlukan

untuk memperoleh karakteristik produk yang renyah, mengembang, tidak mudah larut

dalam media saji, masak, dan siap dikonsumsi.

Guy (1994) mengklasifikasikan bahan-bahan yang memiliki peran fungsional dalam

pemasakan ekstrusi ke dalam tujuh grup yang dikenal sebagai Sistem Klasifikasi Guy.

1) Bahan-bahan pembentuk struktur

Grup pertama adalah bahan-bahan yang berperan membentuk struktur, yang

berupa biopolimer. Biopolimer dapat berupa pati-patian alami ataupun polimer pati.

Pati-patian alami memiliki ukuran part ikel yang lebih besar dibandingkan polimer pati,

sehingga tidak memberikan pengembangan optimum. Oleh karena itu, kombinasi

antara pati-patian alami dan polimer pati dengan komposisi yang tepat diperlukan untuk

membentuk struktur dan pengembangan yang diinginkan.

Pati terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilopketin dan amilosa.

Amilopekt in merupakan komponen yang lebih besar karena memiliki struktur

bercabang. Berat molekul amilopekt in lebih besar dari 108 Dalton dan memberikan

pengembangan 1-2 ml/g. Namun demikian, pemotongan mekanik yang tinggi dapat

11

mengurangi berat molekulnya hingga 106 D dan memberikan pengembangan hingga 25

ml/g. Amilosa memiliki ukuran yang leb ih kecil karena strukturnya yang lin ier. Berat

moleku lnya berkisar antara 2-105 D dan memberikan pengembangan yang paling besar

pada pati-patian alami. Muchtadi et al. (1987) juga menjelaskan bahwa pati dengan

kandungan amilosa tinggi akan menghas ilkan produk ekstrusi yang lebih pejal, padat,

keras, tetapi kurang mengembang. Pati dengan kandungan amilopektin tinggi akan

menghasilkan produk ekstrusi yang mengembang (puffing), ringan, porous, garing, dan

renyah. Hal ini terjadi karena amilopekt in dengan struktur bercabang mengalami

kerusakan yang lebih besar dan tidak mampu saling menyusun secara efektif di dalam

laras maupun cetakan, sehingga membantu pengembangan produk. Amilosa lebih tahan

terhadap kerusakan mekanik selama proses daripada amilopektin.

Amilosa Amilopekt in

Gambar 5. Amilosa dan Amilopekt in

Sebagian besar pati yang akan diekstrusi memiliki kadar air dibawah 50%,

sehingga apabila dipanaskan pada suhu tingi akan terjadi peleburan granula pati

(Wirakartakusumah 1981). Peleburan granula pati ini dapat berupa terbentuknya

kompleks pati dengan lemak, atau diduga sebagai akibat terjadinya perubahan

komposisi komponen kimia pati karena perlakuan suhu yang terlalu tinggi.

Muchtadi et al. (1987) menyatakan bahwa amilosa membentuk kompleks dengan

lip ida-lip ida selama proses ekstrusi sehingga sangan membantu untuk mempertahankan

struktur alamiahnya. Eastman et al. (2001) menyebutkan bahwa pati juga memiliki

kemampuan untuk membentuk lapisan yang dapat memperlambat terserapnya susu ke

dalam produk sereal.

2) Bahan-bahan pengisi fase terdispersi

Grup kedua merupakan bahan-bahan pengisi yang terdispersi ke dalam lapisan

pati, diantaranya adalah protein (gluten, albumin) dan material berserat (selulosa, hemi -

selulosa, lignin, bekatul). Protein gluten dalam jumlah lebih kecil dari 30% akan

terhidrasi dalam air dan mengalami pengecilan ukuran oleh ulir ekstruder menjad i

berukuran sekitar 5µm setelah proses. Protein larut air lainnya (albumin) terkoagulasi

pada suhu tinggi dan kemudian akan rusak dan terpecah menjadi part ikel dengan ukuran

yang sama. Material berserat tidak berubah ukurannya selama ekstrusi.

Keberadaan fase terdispersi mempengaruhi proses ekstrusi dengan dua cara.

Kehadiran material terdispersi secara fisik di d inding sel partikel mengurangi potensi

pengembangan dari pati dengan cara penetrasi ke lapisan dinding sel. Kehadiran

material terdispersi juga mempengaruhi pengembangan pada lubang keluaran (die)

dengan sifat balik elastik (elastic recoil). Sifat ini juga akan mengurangi

pengembangan produk.

12

3) Bahan-bahan yang berperan sebagai pelumas dan plastisizer

Bahan-bahan yang berperan sebagai plastisizer dapat berupa air dan lemak atau

minyak. Penambahan air merubah bahan-bahan kering menjad i plastis. Lemak dan

minyak dapat mengurangi pemotongan dengan cara melumasi part ikel yang saling

berinteraksi di dalam adonan dan partikel yang bergesekan dengan permukaan logam

dari ulir atau dinding laras. Penambahan satu atau dua persen lemak atau minyak dapat

menghasilkan efek yang besar pada proses ekstrusi.

Selama proses, lemak akan membentuk struktur baru dengan pati yaitu kompleks

antara amilosa dan asam oleat (Hanna dan Bhatnagar 1994). Struktur baru yang

terbentuk ini dapat menghambat pengembangan produk ekstrusi dan membuatnya lebih

pejal dan renyah.

Selain itu, lemak dapat melapisi bagian luar granula pati sehingga menghambat

penetrasi air ke dalam granula. Hal in i akan menyababkan tingkat gelatinisasi yang

lebih rendah (Po lina 1995).

4) Padatan terlarut

Padatan terlarut meliputi gula dan garam yang berperan sebagai agen pemberi

flavor dan humektan. Komponen-komponen ini akan terlarut dalam air bebas dalam

adonan pada saat pengadukan awal. Efeknya terhadap proses ekstrusi tergantung pada

konsentrasi dan interaksi kimia dengan polimer pati dan protein.

Gula juga akan berkompetisi dengan pati untuk mendapatkan air yang tersedia.

Hal ini dapat mempengaruhi hidrasi dan ekspansi optimal dari pati. Kadar gula internal

bahan sebaiknya tidak melebih 16% (Eastman et al. 2001).

Garam berperan untuk meningkatkan viskositas dalam laras ekstruder sehingga

men ingkatkan konversi energi mekanis (mempercepat pemasakan) dan meningkatkan

pengembangan produk. Garam juga mempengaruhi kelarutan dan kekentalan protein,

karena itu ketegaran tekstur dan ekspansi produk ekstrusi akan meningkat (Miller

1995).

5) Bahan pembentuk sel

Kalsium karbonat dan magnesium silikat merupakan contoh bahan pembentuk

sel. Penambahan bahan tidak larut yang sangat halus dapat mengurangi energi yang

diperlukan untuk membentuk gelembung dalam lap isan pati, dan meningkatkan

jumlahnya dari ratusan hingga puluhan ribu per mililiter.

6) Bahan pemberi warna

Penggunaan bahan-bahan pemberi warna diutamakan adalah yang tahan panas

(stabil) ataupun yang berupa prekursor.

7) Bahan pemberi flavor

Penambahan bahan pemberi flavor dapat dilakukan saat proses ekstrusi

berlangsung maupun setelahnya.

b. Variabel Proses dan Operasi

Variabel proses yang dapat dikendalikan dengan mesin yang ada dan yang berperan

dalam mempengaruhi karakteristik produk akhir antara lain suhu, kecepatan putar ulir,

kecepatan masuk bahan, desain cetakan.

13

1) Suhu

Suhu terutama berfungsi untuk memasak bahan sehingga saat keluar dari

ektruder, produk siap d ikonsumsi. Selain itu, suhu juga mempengaruhi perubahan

moleku ler bahan. Ekstrusi pemasak (cooking extruder) pada umumnya menggunakan

suhu antara 150-200oC. Dengan suhu ini, bahan yang masuk ke dalam ekstruder akan

mengalami proses pemasakan sehingga saat keluar produk sudah masak dan siap

dikonsumsi. Komponen mikrobial yang terdapat pada bahan dapat dihilangkan, dengan

memin imalkan kehilangan kandungan gizi p roduk mengingat bahwa proses yang

digunakan adalah proses HTST. Selain itu, komponen anti nutrisi seperti tripsin

inhibitor, hemaglutinin, dan gosipol juga dapat dihilangkan (Muchtadi et al. 1987)

Di dalam laras ekstruder, air akan menguap dan menjadi uap air, namun tertahan

di dalam bahan karena tekanan yang dihasilkan putaran ulir. Saat keluar dari cetakan,

akan terjadi proses flashing dimana uap air segera meninggalkan bahan karena

perbedaan tekanan, dan menyebabkan produk mengembang.

2) Ulir dan Kecepatan Putar Ulir

Pada sebuah ekstruder biasanya terdapat tiga bagian ulir utama yang dapat diatur

suhunya lewat pemanas eksternal. Bagian pertama adalah bagian masukan (feed

section). Bahan mula-mula masuk ke dalam ulir lewat bagian ini. Fungsi utama bagian

masukan adalah untuk memastikan bahwa bahan yang masuk cukup sehingga ulir tidak

dalam keadaan kosong (starved). Bagian kedua adalah bagian kompresi (compression

section). Bagian ini bahan mulai dipanaskan dan ditekan oleh ulir akibat penurunan

jarak antara ulir dengan dinding laras. Karakteristik bahan berubah dari bentuk granula

ataupun partikulat menjadi bentuk amorf atau adonan plastis. Bagian terakhir adalah

bagian pengendali (metering section), dimana bahan akan mengalami pemotongan dan

pemanasan maksimal. Konversi energi mekanis menjadi besar yang menyebabkan

peningkatkan suhu yang lebih cepat. Tingkat pemotongan yang tinggi akan

meningkatkan pengadukan internal sehingga suhu ekstrudat menjadi lebih seragam

(Harper 1981).

Kecepatan putar ulir akan menentukan tingkat pemotongan dan energi mekanis

yang berpengaruh pada suhu bahan. Kecepatan ulir juga berpengaruh pada

keseragaman pengadukan dan suhu, yang sangat penting untuk menjaga ―tit ik mat i‖

tidak terbentuk. Titik mat i adalah daerah-daerah/titik-titik di dalam ekstruder dimana

aliran dapat terhenti sehingga menyebabkan aliran bahan yang terlampau panas dan

bentuk fisik yang telah berubah (Muchtadi et al. 1987). Tingkat pemotongan bahan

akan semakin meningkat dengan menambah kecepatan ulir bahan.

Geometri dan rancangan ulir juga mempengaruhi tingkat pemotongan bahan,

yaitu bentuk ulir, jarak u lir dengan dinding laras, serta bentuk dan susunan tonjolan ulir.

Akan tetapi, variabel in i telah ditetapkan pada mesin ekstruder, sehingga tidak leluasa

untuk diubah.

3) Kecepatan Masuk Bahan

Kecepatan masuk bahan dapat diatur dengan mengendalikan kecepatan auger

atau ulir pengumpan. Ulir pengumpan berfungsi untuk menyeragamkan bahan serta

melakukan pemotongan bahan sebelum masuk ke ekstruder. Hal ini penting untuk

mencegah penyebaran air atau kelembaban yang tidak merata yang dapat menyebabkan

distribusi suhu yang tidak merata dan ―titik mat i‖ di dalam ekstruder. Kecepatan masuk

bahan juga mempengaruhi jumlah aliran bahan di dalam laras. Jumlah bahan yang

14

masuk sebaiknya cukup untuk mencegah terbentuknya kantong-kantong udara di dalam

laras. Pembentukan kantong-kantong udara ini akan mempengaruhi ketidakseragaman

produk yang dihasilkan (Harper 1981: Muchtadi et al. 1987).

4) Desain Cetakan

Desain cetakan akan mempengaruhi bentuk produk yang dihasilkan. Pada

beberapa desain cetakan yang memiliki lubang ganda dengan bentuk lingkar yang tidak

simetris terhadap sumbu alat, dapat terjadi perbedaan tekanan diantara lubang cetakan.

Hal ini dapat menyababkan aliran bahan yang tidak seragam sehingga produk yang

dihasilkan t idak konsisten.

C. Sarapan Sereal Sereal sarapan pagi (breakfast cereal) adalah produk dengan tekstur cenderung rapuh yang

sebagian besar terbuat dari serealia yang diubah menjad i bentuk yang lebih mudah dikonsumsi dan

dicerna melalui proses mencakup pemasakan dan dehidrasi (Frame 1999). Di dalam Standar

Nasional Indonesia (SNI) 01—4270-1996, definisi susu sereal adalah serbuk instan yang terbuat

dari susu bubuk dan sereal dengan penambahan bahan makanan lain dan atau tanpa bahan

tambahan pangan yang diizinkan. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2000) yang dimaksud

dengan makanan ringan ekstrudat ialah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari

bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta

bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dengan atau tanpa melalui p roses penggorengan.

Seiring dengan perkembangan zaman, waktu sarapan pagi semakin terbatas, sehingga

diperlukan menu sarapan pagi yang praktis dan juga bergizi. Oleh karena itu, saat in i telah beredar

berbagai produk sereal sarapan yang praktis penyajiannya dan hanya membutuhkan penambahan

susu cair. Jen is sereal sarapan seperti in i menawarkan kepraktisan dan kandungan gizi ekstra.

Menurut Tribelhorn (1991), produk sereal sarapan dapat dikelompokan berdasarkan sifat

fisik alami dari produk. Jenis pertama adalah kelompok sereal tradisional yang memerlukan

pemasakan (Traditional cereal that require cooking). Sereal jenis ini dijual di pasaran dalam

bentuk biji mentah yang sudah diproses.

Jenis kedua adalah sereal tradisonal panas cepat saji (Instant traditional hot cereal). Sereal

jenis in i dijual di pasaran dalam bentuk biji masak dan hanya memerlukan air mendidih untuk

dapat dikonsumsi.

Jenis ketiga adalah Ready-to-eat cereal. Sereal jenis ini merupakan kelompok sereal yang

dibuat dari biji yang sudah dimasak dan dimodifikasi. Jenis sereal ini dapat dikelompokkan lagi

menjadi produk flaked, puffed, atau shredded.

Jenis keempat adalah Ready-to-eat ceral mixes. Sereal jenis ini merupakan kombinasi dari

bermacam-macam b iji sereal, polong-polongan (legumes), atau oil seeds, serta buah-buahan

kering.

Jenis kelima, atau jenis yang terakhir adalah produk sereal lainnya (Miscellaneous cereal

products). Jenis ini merupakan produk sereal yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam empat

jenis sereal sarapan di atas karena adanya pengkhususan dari proses astau pengguna akhir. Contoh

sereal jenis ini adalah makanan bayi dan cereal nuggets.

Saat ini, sereal sarapan yang paling digemari masyarakat adalah jenis ready -to-eat puffed

cereal yang penyajiannya dengan cara mencampurkan sereal dengan susu dan dapat disajikan

kurang dari 3 menit. Sereal sarapan jenis ini paling banyak jenisnya dibandingkan dengan sereal

sarapan lainnya dan merupakan sereal sarapan yang akan dibuat pada penelitian ini.

15

Menurut Khomsan (2002), sarapan pagi menyumbang kurang lebih 25% zat gizi, yaitu

sekitar 400-500 kkal untuk kecukupan energi 2000 kkal. Menurut Hand (2010), kisaran jumlah

asupan karbohidrat yang dapat mencukupi kebutuhan tubuh dan mencegah penyakit adalah 45-

65%. Jumlah asupan protein yang dianjurkan adalah 10-35%, sedangkan asupan lemak yang

dianjurkan adalah 20-35% dari total kebutuhan gizi harian. Jika dibagi rata, maka jumlah energi

dari karbohidrat yang harus dipenuhi pada saat sarapan adalah 180-325 kkal, sedangkan dari

protein adalah 40-175 kkal dan dari lemak adalah 80-175 kkal.

Pada umumnya, takaran saji produk sereal sarapan siap santap adalah berkisar 20 -80 gram

yang menyumbangkan energi antara 80-160 kkal. Jumlah energi sejumlah in i tentu belum

mencukupi kebutuhan energi di pagi hari seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun

demikian, penyajian sereal siap santap ini adalah dengan menambahkan susu. Jumlah susu yang

ditambahkan pada umumnya adalah setengah gelas hingga satu gelas susu, atau berkisar antara

150 h ingga 300 ml yang menyumbangkan antara 130-260 kkal energ i. Dengan demikian, energi

yang dihasilkan dengan mengkonsumsi sereal sarapan pagi dengan susu adalah berkisar 210-420

kkal energ i, yang diharapkan mencukupi kebutuhan energi di pagi hari.

D. ANALISIS FINANSIAL Analisis finansial merupakan suatu dasar pengambilan keputusan untuk melakukan

investasi yang menyangkut sejumlah besar dana dengan harapan mendapatkan keun tungan jangka

panjang (Soeharto 1999). Beberapa parameter untuk menguji kelayakan suatu proyek untuk

dijalankan pada analisis finansial adalah NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return),

Net B/C (Net Benefit Cost Ratio), PP (Payback Period), dan BEP (Break Event Point). Parameter-

parameter tersebut dapat diperoleh melalui perhitungan dengan melakukan perkiraan aliran kas

masuk dan keluar. Soeharto (1999) menyebutkan aliran kas terbentuk dari perkiraan biaya

pertama, modal kerja, biaya operasi, biaya produksi, dan pendapatan.

1. NPV (Net Present Value)

Net Present Value adalah perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan)

dengan nilai sekarang biaya (Kadariah et al. 1978 yang dikutip o leh Djazu li et al. 2009).

Besarnya NPV (Net Present Value) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

NPV = 𝐴𝐶𝐹𝑡

(1 + 𝑘)t

n

t=1

− 𝐼𝑜

Keterangan :

ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t

n = usia proyek yang diharapkan (tahun)

k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%)

t = periode (tahun)

Io = investasi awal (Initial Investment)

Keown et al. (2005) menyebutkan suatu proyek dapat diterima atau layak dilaksanakan

apabila NPV ≥ 0.0. Nilai 0.0 pada NPV menunjukkan setelah proyek berlangsung pada

periode yang diharapkan, proyek tersebut memberikan pengembalian yang sama dengan

tingkat pengembalian yang disyaratkan.

2. IRR (Internal Rate of Return)

Internal Rate of Return dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang

menunjukkan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh biaya investasi

proyek (Djazuli 2009). IRR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

16

IO = 𝐴𝐶𝐹𝑡

(1 + 𝐼𝑅𝑅)t

n

t =1

Keterangan :

ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t

n = usia proyek yang diharapkan

t = periode (tahun)

Io = investasi awal (Initial Investment)

Keown et al. (2005) menyebutkan kriteria keputusan parameter IRR adalah menerima

proyek jika persentase IRR ≥ tingkat pengembalian yang disyaratkan.

3. Net B/C (Net Benefit Cost Ratio)

Net B/C adalah angka perbandingan antara present value total bersih dari hasil

keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih (Kadariah et al. 1978 yang dikutip

oleh Djazu li et al. 2009). Perh itungan Net B/C d ilakukan dengan terlebih dahulu menghitung

PV (Present Value). PV (Present Value) merupakan nilai arus kas bersih (net cash flow) yang

dikalikan dengan discount factor (DF). Arus kas bersih merupakan hasil pengurangan nilai

manfaat (benefit) dengan nilai biaya (cost). Rumus menghitung discount factor (DF) adalah :

DF = 1

(1 + k)t

Keterangan :

k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%)

t = periode (tahun)

Nilai Net B/C dihitung dari perbandingkan jumlah semua PV yang positif dengan

semua PV negatif. Rumus untuk menghitung nilai Net B/C dapat dinyatakan sebagai berikut :

Net B/C = + NPV positif

− NPV negatif

Djazu li et al. (2009) menyebutkan apabila Net B/C>1 proyek dinyatakan layak, Net

B/C=1 proyek mencapai t itik impas, dan jika Net B/C<1 proyek d inyatakan tidak layak

untuk dilanjutkan.

4. PP (Payback Period)

Keown et al. (2005) menyebutkan PP (Payback Period) atau periode pembayaran

kembali adalah jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menutupi pengeluaran awal.

Perhitungannya dilakukan berdasarkan aliran kas, baik tahunan maupun merupakan nilai sisa.

Periode pengembalian pada suatu tingkat pengembalian tertentu digunakan model formula

berikut :

PP = n − a

b

Keterangan :

n = tahun terakhir dimana keadaan Arus Kas Kumulatif bernilai negatif

a = Jumlah Arus Kas Kumulat if negative di tahun ke-n

b = Jumlah Arus Kas Bersih d i tahun ke-(n+1)

17

Djazu li et al. (2009) menyebutkan apabila nilai PP leb ih besar dari pada umur proyek,

maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Proyek tersebut layak untuk

dilaksanakan apabila nilai PP lebih kecil daripada umur proyek.

5. BEP (Break Event Point)

BEP (Break Event Point) atau titik impas merupakan t itik keseimbangan antara total

penerimaan dan total pengeluaran (Ibrahim, 1998). Kapasitas produksi atau volume yang

diproduksi pada titik in i tidak akan untung atau rugi (impas). Jumlah unit yang diproduksi

pada titik ini dapat dihitung dengan perumusan :

Q (jumlah) = Biaya tetap

Harga penjualanunit

− Biaya variabel

unit

18

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Alat Dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelit ian ini adalah ekstruder ulir ganda (Berto

Industries), vibrating screen, pin disc mill, alat penyosoh, alat bantu (baskom, mixer, sendok

pengaduk), serta alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia. Alat-alat tersebut antara

lain penggaris, mangkuk, Rheoner, oven, tanur, cawan alumunium, cawan porselen, desikator,

neraca analitik, mortar, penyaring vakum, pendingin balik, sudip, gegep, penangas, sentrifuse, dan

alat-alat gelas untuk analisis . Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Gambar 6. Pin Disc Mill (a); Ayakan Bergoyang (b); Rheoner (c)

Gambar 7. Ekstruder Ulir Ganda {tampak samping (a); tampak depan (b); tampak keseluruhan (c)}

(a) (b)

(a) (b) (c)

(c)

19

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian in i adalah sorgum, tepung gula, tapioka,

minyak nabati, garam, bubuk coklat, emulsifier (gliserol mono stearat). Bahan-bahan yang

dibutuhkan untuk analisis proksimat dan serat kasar antara lain K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH,

Na2SO4, H3BO3, HCl, d ietil eter, alkohol, indikator merah metil, kertas saring, dan akuades.

Tapioka d ipilih sebagai pati yang ditambahkan ke dalam formula karena harganya yang

lebih murah dibandingkan pati lain, seperti maizena. Moscicki (2011) menyebutkan bahwa tapioka

cukup terkenal sebagai bahan pembuat flakes di negara-negara Asia. Tapioka memiliki derajat

gelatinisasi yang rendah (52-65oC), kandungan protein dan lemak yang rendah, karakteristik

pengikat yang baik, warna putih, dan flavor manis, yang merupakan keunggulan dari tepung

tapioka. Gliserol monostearat dipilih sebagai emulsifier karena sifatnya yang lipofilik dengan nilai

HLB adalah 3.8, dan umum digunakan pada proses ekstrusi (Hui & Corke 2006; Kamel & Stauffer

1993).

B. Metode Penelitian

Penelit ian yang dilakukan terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian

utama. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan memporoleh jen is dan jumlah bahan-

bahan yang digunakan untuk menghasilkan produk dengan karakteristik terbaik. Penelit ian

pendahuluan dilakukan dalam dua kali uji coba produksi. Variabel yang diujicobakan adalah

ukuran partikel sorghum, penambahan tepung kacang hijau, penambahan tepung gula,

penambahan minyak, dan penambahan coklat bubuk. Jumlah dan jenis bahan yang digunakan

dalam penelit ian utama ditetapkan berdasarkan penilaian subjektif terhadap rasa, tekstur, warna

produk, serta biaya bahan yang digunakan. Penelitian utama dilakukan dengan tujuan

mendapatkan produk dengan parameter terbaik dengan variasi penambahan tapioka dan emulsifier.

Penentuan produk terbaik dilakukan dengan uji organoleptik dan karakteristik fisik. Kandungan

gizi produk d iukur dengan melakukan analisis kimia. Uji penerimaan dilakukan untuk melihat

respon dari target konsumen utama, yaitu anak-anak. Analisis finansial juga dilakukan untuk

mensimulasi kelayakan usaha sorgum flakes. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama penelit ian

dapat dilihat pada diagram alir pada Gambar 8.

Uji coba pembuatan produk (2 tahap)

Pengamatan subyektif terhadap rasa, warna, dan tekstur produk

uji coba serta pertimbangan biaya

Flakes sorgum

terbaik

Pembuatan produk dengan variasi tapioka dan emulsifier

A

20

Gambar 8. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Tahap-tahap pembuatan produk meliputi persiapan bahan, penimbangan, pencampuran,

pengkondisian bahan (conditioning), ekstrusi, dan pengeringan. Persiapan bahan adalah tahap

pengecilan sorgum dari biji sorgum menjad i grits sorgum yang dilakukan dengan penggilingan biji

sorgum dan pengayakan. Penimbangan bahan-bahan dilakukan untuk mempersiapkan bahan-

bahan sesuai dengan jumlah dan komposisi formula yang diujicobakan. Pencampuran dilakukan

selama 15 menit dengan menggunakan mixer agar seluruh unsur bahan tercampur merata.

Pengkondisian bahan dilakukan dengan mendiamkan campuran bahan selama 10 menit agar

kelembaban merata ke seluruh bagian adonan. Ekstrusi dilakukan dengan menggunakan alat

ekstruder ulir ganda Berto dengan tipe BEX-DS-2256 dengan spesifikasi sebagai berikut :

- Tipe : Twin screw co-rotating intermeshing

- Motor utama :

o Daya : 36 KW

o Voltase : 380 VAC

o Frekuensi : 50-60 Hz

- Die :

o Tampak depan berbentuk bundar dengan sebuah lubang die di tengah

o Lubang die berbentuk oval, diameter panjang 7,5 mm diameter lebar 11 mm 7,5 mm

11 mm

Tampak depan Lubang die

Parameter-parameter pada ekstruder diset sebagai berikut :

- Suhu laras bagian I (feed) : 70oC

- Suhu laras bagian II (compression) : 100oC

- Suhu laras bagian III (metering) : 135oC

- Kecepatan putar ulir : 22 Hz

- Kecepatan putar auger (feeding screw) : 22 Hz

- Kecepatan putar pisau : 50 Hz

Tahap selanjutnya setelah ekstrudat keluar dari ekstruder adalah pengeringan. Pengeringan

dilakukan dengan menggunakan oven yang diset pada suhu 115oC selama 15 menit. Hal ini

Analisis finansial usaha sorgum flakes

Uji penerimaan Analisis kimia produk terpilih

Uji organoleptik rating hedonik dan analisis fisik

Flakes sorgum

terpilih

A

21

dilakukan agar kadar air produk turun hingga 3% sesuai dengan standar SNI 01—4270-1996.

Diagram alir dan kesetimbangan massa pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram Alir dan Kesetimbangan Massa Pembuatan Produk

1. Penelitian Pendahuluan Penelit ian pendahuluan dilakukan dalam dua kali uji coba produksi dengan rancangan

formula yang berbeda. Hasil dari tiap rancangan menjadi dasar modifikasi rancangan formula

pada uji coba berikutnya. Formula pertama dan kedua berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 4

dan Tabel 5.

Tabel 4. Formula uji coba pertama

Bahan Jumlah (% )

1 2 3 4 5 6

Tepung sorgum 40 mesh 100 80 70 - - -

Tepung sorgum 60 mesh - - - 100 80 70

Tepung kacang hijau 0 0 10 0 0 10

Tapioka 0 20 20 0 20 20

Tepung gula 10

Minyak 4

Garam 2

Jumlah tepung sorgum, kacang hijau, dan tapioka adalah 100%. Jumlah bahan-bahan

lainnya ditentukan dari basis ini, yaitu dengan mengalikan persentase bahan tersebut dengan

jumlah dari tepung sorgum, kacang hijau, dan tapioka. Dari tabel d i atas dapat dilihat bahwa

variabel yang digunakan pada uji coba pertama adalah sorghum 40 dan 60 mesh, penambahan

kacang hijau, dan penambahan tapioka.

Pada uji coba kedua, variabel yang menjadi perlakuan adalah gula, coklat, dan minyak.

Penambahan coklat bubuk dilakukan untuk memberi warna dan aroma coklat. Garam yang

digunakan diubah menjadi 1% dan ukuran partikel sorgum yang digunakan adalah 60 mesh

berdasarkan hasil uji coba pertama.

(R = 85.00%)

65.43 kg (R = 69.24%)

94.50 kg (R = 94.50%) 100 kg

Sorgum Penepungan (pin

disc mill) Grits sorgum Pengayakan 60 mesh

(vibrating screen)

Tepung sorgum

60 mesh Grits sorgum Pencampuran

bahan (mixer)

Tapioka

Tpg. kcg hijau Tpg. gula Bubuk coklat

Minyak Emulsifier Garam

Pengkondisian Ekstrusi Pengeringan Flakes sorgum

22

Tabel 5. Formula uji coba kedua

Bahan Jumlah (% )

Std G1 G2 C1 C2 M1 M2

Tepung sorgum 60 mesh 100 100 100 100 100 100 100

Tepung gula 15 10 20 15 15 15 15

Coklat bubuk 10 10 10 5 15 10 10

Minyak 5 5 5 5 5 7.5 10

Garam 1 1 1 1 1 1 1

Uji coba kedua dilakukan dengan tujuan melihat pengaruh variasi penambahan tepung

gula, coklat bubuk, dan minyak terhadap karakteristik produk akh ir. Tepung gula divariasikan

pada taraf 10, 15, dan 20%. Coklat bubuk divariasikan pada taraf 5, 10, dan 15%. Minyak

divariasikan pada taraf 5, 7,5, dan 10%.

Penentuan produk terbaik d itetapkan berdasarkan pengamatan tekstur, rasa, aroma dari

produk tersebut serta biaya bahan yang digunakan. Formula produk terbaik akan digunakan

pada penelitian utama.

2. Penelitian Utama Penelit ian utama dilakukan dengan memvariasikan jumlah tapioka dan penambahan

emulsifier. Tujuan dari penelitian utama adalah untuk memperoleh jumlah emulsifier dan

tapioka yang tepat yang menghasilkan ekstrudat dengan karakteristik terbaik dan paling

disukai. Emulsifier yang digunakan adalah gliserol monostearat (GMS). Variasi tapioka

terdiri dari dua taraf yaitu 10 % dan 20%, sedangkan variasi emulsifier terdiri dari 3 taraf yaitu

0%, 1%, dan 2%. Variasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Jumlah bahan-bahan lain seperti

gula, coklat, minyak, dan garam, serta parameter ekstruder ditetapkan dari penelit ian

pendahuluan.

Produk yang dihasilkan diuji secara organoleptik dan fisik. Hal in i bertujuan untuk

mengetahui tingkat kesukaan terhadap masing-masing formula dan karakteristik fisik ekstrudat

dari masing-masing formula. Pengujian dilanjutkan dengan melakukan analisis kimia terhadap

produk terbaik dan uji penerimaan terhadap konsumen yaitu siswa sekolah dasar.

Referen atau produk komersial yang digunakan sebagai perbandingan adalah sereal

sarapan siap santap dari gandum yang bermerek ‗Koko Krunch‘. Produk ini dijadikan referen

atas pertimbangan bentuk, ukuran, warna yang serupa dengan produk yang dikembangkan.

Tabel 6. Variasi tapioka dan emulsifier

Sorgum Tapioka Emulsifier* Kode

90% 10%

0% T1E1

1% T1E2

2% T1E3

80% 20%

0% T2E1

1% T2E2

2% T2E3

*Persentase berdasarkan campuran sorgum dan tapioka

23

C. Metode Analisis

1. Uji Rating Hedonik (Waysima dan Adawiyah 2008) Analisis sensori merupakan analisis yang menggunakan indera manusia sebagai

instrumennya. Analisis sensori yang dilakukan adalah uji afektif berupa rating hedonik, yang

menyangkut penerimaan terhadap sifat atau kualitas sampel yang diujikan dan melibatkan

panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang.

Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan nilai skala terhadap

warna, rasa, kerenyahan, dan kesukaan secara keseluruhan dari setiap sampel pada uji rating

hedonik. Data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA)

yang dapat dilanjutkan dengan uji Duncan. Nilai yang digunakan pada uji rating adalah 1

sampai 5, yaitu nilai 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = netral, 4 = suka, dan 5 = sangat

suka.

Selain itu dilakukan juga uji penerimaan yang dilakukan terhadap 40 siswa kelas 5 dari

2 Sekolah Dasar dengan perkiraan tingkat ekonomi yang berbeda, yaitu SDN Dramaga 4

sebagai golongan menengah ke bawah dan SDN Polisi V sebagai golongan menengah ke atas .

Tingkat ekonomi ini ditetapkan berdasarkan asumsi lokasi sekolah dan tingkat popularitas dari

sekolah. SDN Polisi V berada di pusat kota Bogor sementara SDN Dramaga 4 berada di

kabupaten Bogor. Berdasarkan tingkat popularitasnya, SDN Polisi V lebih terkenal

dibandingkan dengan SDN Dramaga 4. Rata-rata, Pengetahuan dan tingkat konsumsi panelis

terhadap jenis produk juga ditanyakan untuk mengetahui relevansi data dan potensi

pengembangan produk. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan analisis

deskriptif dengan metode tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi

kedua sekolah dengan tingkat kesukaan terhadap produk. Nilai yang digunakan pada uji

penerimaan adalah 1 sampai 3, yaitu nilai 1 = menarik/enak/suka, 2 = cukup

menarik/enak/suka, dan 3 = tidak menarik/enak/suka. Penggunaan tiga skala ini ditu jukan

karena panelis adalah anak-anak.

2. Analisis Fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap produk flakes sorgum terpilih adalah uji derajat

pengembangan produk, uji rehidrasi produk d i dalam media saji (susu), uji indeks kelarutan air,

serta analisis tekstur dengan menggunakan alat Rheoner.

a. Uji Derajat Pengembangan Produk (Muchtadi et al. 1987)

Uji derajat pengembangan produk dilakukan untuk melihat rasio diameter ekstrudat

yang keluar dari lubang keluaran (die) dengan diameter lubang keluaran itu sendiri. Derajat

pengembangan produk dapat ditentukan menggunakan rumus berikut :

Rasio Pengembangan (%) = Diameter produk (mm)

Diameter die (mm)× 100

b. Uji Rehidrasi Produk dalam Media Saji

Uji rehidrasi produk dalam media saji d ilakukan untuk melihat berapa lama produk

akan terehidrasi di dalam media saji yang berupa susu. Untuk produk jenis flakes yang

disajikan dengan susu, konsumen cenderung lebih menyukai p roduk yang terehidrasi lebih

24

lama di dalam media saji karena kerenyahan produk dapat dinikmati lebih lama (Mannie

1999).

Uji rehidrasi dalam media saji dilakukan dengan menghitung waktu yang

dibutuhkan produk mulai dari pertama dicampur susu hingga seluruh bagian produk

terbasahi oleh susu. Sebanyak 5 gram sampel ditambahkan 100 ml susu (T=25oC)

kemudian dihitung waktu yang diperlukan hingga seluruh bagian sampel dibasahi oleh susu

hingga tidak ada bagian yang keras.

c. Analisis Indeks Kelarutan Air (Modifikasi Anderson 1969 diacu dalam Ganjyal et al.

2006)

Analisis indeks kelarutan air dilakukan untuk melihat seberapa banyak bagian

ekstrudat yang dapat terlarut dalam air. Langkah awal dari uji ini dilakukan dengan

menghancurkan ekstrudat hingga berukuran 100 mesh, kemudian ditimbang sebanyak 0.5

gram. Sampel disuspensikan kedalam 15 ml akuades dan diaduk dengan menggunakan

stirrer selama 30 menit sampai semua bahan terdispersi merata. Sampel kemudian

disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu ruang. Supernatan

sebanyak 2 ml d imasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya (C1). Cawan

dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 100+5oC sampai semua air menguap

(+ 4 jam). Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C2) sebagai bahan kering

yang terlarut dalam supernatan. Indeks kelarutan air (Water Solubility Index - WSI)

ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

𝑊𝑆𝐼 𝑔/𝑚𝑙 = 𝐶2 − 𝐶1

2

d. Analisis Kekerasan dan Nilai Patah (Rheoner)

Analisis tekstur secara objektif d ilakukan dengan menggunakan alat texture

analyzer. Parameter yang diukur adalah kekerasan produk yang dilihat dari gaya

maksimum (puncak tertinggi) dan nilai patah (puncak pertama), dalam satuan gram force

(gf) atau kilogram force (kgf). Semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk menekan

produk hingga patah, maka n ilai kekerasannya semakin besar, yang berarti produk semakin

keras. Kekerasan dianggap berbanding terbalik dengan kerenyahan produk. Parameter-

parameter yang ditetapkan pada alat Rheoner adalah sebagai berikut :

- Jenis probe : jarum

- Skala maksimum : 20 (2000 gf)

- Kecepatan grafik : 60 mm/s

- Kecepatan probe : 0,5 mm/s

3. Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan pada produk flakes sorgum terpilih adalah analisis

proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, dan kadar lemak

kasar. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan dengan metode by difference. Analisis kimia

juga meliputi penentuan serat kasar dengan metode hidrolisis asam basa.

a. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1999)

Penentuan kadar air dengan metode oven didasarkan pada berat yang hilang,

sehingga sampel seharusnya memiliki kestabilan panas yang tinggi dan tidak mengandung

komponen lain yang mudah menguap. Langkah awal analisis kadar air adalah persiapan

cawan aluminium sebagai wadah sampel. Cawan aluminium d ikeringkan dalam oven,

25

didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 g )

dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta sampel

dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Pengeringan dilakukan sampai dipero leh bobot konstan.

Kadar air (% BB) = W−(W1−W2 )

W x 100%

Keterangan:

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)

W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g)

W2 = bobot cawan kosong (g)

b. Kadar Abu (AOAC 1999)

Prinsip analisis kadar abu yang digunakan, yaitu destruksi komponen organik

sampel dengan suhu tinggi di dalam suatu tanur pengabuan tanpa terjadi nyala api, sampai

terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat tetap tercapai. Oksigen yang terdapat di

dalam udara bert indak sebagai oksidator. Residu yang didapatkan merupakan total abu dari

suatu sampel.

Persiapan yang dilakukan, yaitu cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu

400-600oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram

sampel dit imbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel

dipijarkan di atas nyala api dari pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian

dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau

sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator,

selanjutnya ditimbang.

Kadar abu (% BB) = W1−W2

W x 100%

Keterangan:

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)

W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g)

W2 = bobot cawan kosong (g)

c. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1999)

Analisis kadar lemak dengan metode soxhlet merupakan analisis kadar lemak secara

langsung dengan cara mengekstrak lemak dari bahan menggunakan pelarut organik non

polar. Ekstraksi d ilakukan dengan cara refluks pada suhu yang sesuai dengan titik did ih

pelarut yang digunakan. Selama proses refluks, pelarut secara berkala akan merendam

sampel dan mengekstrak lemak yang ada pada sampel. Refluks dihentikan sampai pelarut

yang digunakan untuk merendam sampel sudah berwarna jern ih (tidak ada lagi lemak yang

terlarut). Jumlah lemak pada sampel dapat diketahui dengan menimbang lemak setelah

pelarutnya diuapkan. Jumlah lemak per berat bahan yang diperoleh menunjukkan kadar

lemak kasar (crude fat), artinya komponen yang terekstraksi oleh pelarut organik bukan

hanya lemak, tetapi komponen lain yang larut dalam pelarut organik, seperti vitamin larut

lemak (A, D, E, dan K) serta karotenoid.

Persiapan analisis kadar lemak yang dilakukan, yaitu labu lemak terlebih dahulu

dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Sampel dalam bentuk bubuk ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring

dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (diet il eter atau

heksana). Refluks dilakukan min imal selama 5 jam dan pelarut yang ada di dalam labu

lemak didistilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan

26

dalam oven pada suhu 100oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan

ditimbang.

Kadar lemak (% BB) = W1−W2

W x 100%

Keterangan:

W = bobot contoh (g)

W1 = bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)

W2 = bobot labu lemak kosong (g)

d. Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1999)

Penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl didasarkan pada pengukuran kadar

nitrogen total yang ada di dalam sampel dan metode ini dapat digunakan untuk analisis

protein semua jenis bahan pangan. Kandungan protein dihitung dengan mengasumsikan

rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk sampel yang dianalisis. Metode ini

didasarkan pada asumsi bahwa kandungan nitrogen di dalam protein adalah sekitar 16%.

Angka faktor konversi 100/16 atau 6.25 digunakan untuk mengonversi dari kadar nit rogen

ke dalam kadar protein.

Sejumlah kecil sampel sekitar 0.1-0.25 gram (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl

0.01 N atau 0.02 N) ditimbang dan diletakkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml, kemudian

ditambahkan 1.0 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15

mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel

dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.

Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dib ilas dengan akuades, dan

ditambahkan 10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi

dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H2 BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan

3 tetes indikator (campuran 2 bagian methylene red 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian

methylene blue 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah

larutan H2BO3. Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah

distandarisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu -abu. Penetapan

blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel.

Kadar protein (N) dih itung dengan menggunakan rumus:

N (%) = ml HCl sampel −ml HCl blanko x N HCl x 14 .007 x 100

mg sampel

Kadar protein (% BB) = %N x faktor konversi (6.25)

e. Kadar Karbohidrat by difference (AOAC 1999)

Penentuan kadar karbohidrat by difference diperoleh dari hasil pengurangan angka

100 dengan persentase komponen lain yang terkandung di dalam sampel, seperti air, abu,

lemak, dan protein. Kadar karbohidrat by difference dapat ditentukan dengan rumus:

Kadar kabohidrat (% BB) = 100% - (KA + A + L + P)

Keterangan:

KA = Kadar air (%)

A = Kadar abu (%)

L = Kadar lemak (%)

P = Kadar protein (%)

f. Analisis Serat Kasar (AOAC 1999)

27

Analisis serat kasar pada prinsipnya merupakan analisis untuk menentukan residu

setelah sampel pangan direaksikan dengan asam dan basa kuat. Residu yang dihasilkan

menunjukkan karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Sampel dihaluskan sehingga dapat

melalui saringan berdiameter 1 mm, kemudian dit imbang sebanyak 1-2 gram dan

diekstraksi lemaknya dengan metode soxhlet. Setelah bebas lemak, contoh dipindahkan

secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml dan ditambahkan 200 ml larutan H2SO4

0.255 N. Labu Erlenmeyer diletakkan pada pendingin balik dengan wadah harus dalam

keadaan tertutup dan didihkan selama 30 menit. Setelah itu, did=tambahkan 200 ml NaOH

0.625 N ke dalam campuran dan didihkan kembali selama 30 menit dengan pendingin

balik. Sampel disaring kembali melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil

dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu di kertas saring dicuci dengan air mendid ih,

kemudian alkohol 95%. Kertas saring beserta isinya dikeringkan di oven pada suhu 100oC

sampai berat konstan, didinginkan dalam desikator kemudian timbang. Kadar serat kasar

dihitung berdasarkan rumus:

Kadar serat kasar (% BB) = W1−W2

W x 100%

Keterangan:

W1 = berat kertas saring dan residu yang telah dikeringkan (g)

W2 = berat kertas saring kosong

W = berat sampel awal (g)

28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

Penelit ian diawali dengan persiapan bahan, yaitu pengecilan ukuran sorgum dan

penimbangan bahan. Pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunkan alat pin disc mill dan

ayakan bergoyang (vibrating screen). Biji sorgum yang telah digiling dengan pin disc mill

memiliki ukuran part ikel yang berbeda-beda. Ukuran part ikel dari endosperm biji-bijian serealia

dan perlakuan yang diterapkan akan sangat mempengaruhi perubahan pada pati selama proses

ekstrusi (Lusas dan Rooney 2001). Distribusi ukuran partikel dari bahan baku harus seragam

untuk menghindari letupan ataupun sumbatan pada ekstruder dan menjamin kualitas yang

diinginkan (Moscicki 2011). Oleh karena itu, ukuran partikel grits sorgum hasil penepungan

diseragamkan dengan menggunakan ayakan bergoyang (vibrating screen). Untuk melihat

pengaruh ukuran partikel terhadap produk, grits sorgum diayak dengan menggunakan dua ukuran

yang berbeda, yaitu 40 dan 60 mesh. Tepung sorgum berukuran 40 mesh merupakan tepung yang

lolos dari ayakan berukuran 40 mesh namun tidak lo los ayakan berukuran 60 mesh.

Sebelum masuk ke dalam esktruder, semua bahan dicampur dan diaduk terlebih dahulu

dengan menggunakan mixer, kemudian did iamkan selama 15 menit untuk menyeragamkan kadar

air (conditioning). Guy (2001) menyebutkan bahwa pengadukan perlu dilakukan untuk

menyeragamkan semua unsur bahan dan kelembaban dalam adonan. Hal in i penting agar kinerja

ekstruder tetap stabil dan ekstrudat yang keluar seragam dan sesuai dengan yang diharapkan.

Penelit ian pendahuluan dilakukan dalam dua kali uji coba. Uji coba pertama dilakukan

dengan variabel tepung sorghum 40 dan 60 mesh, tepung kacang hijau, dan tapioka. Formula yang

diujicobakan pada uji coba pertama dapat dilihat pada Tabel 4. Ringkasan hasil pengamatan

ekstrudat dari uji coba pertama dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama

Formula Tekstur Rasa Warna

1

(S40 100%)

Kekerasan/kerenyahan ++

Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous ++

Tingkat pengembangan ++

Permukaan ++

2

(S40T20%)

Kekerasan/kerenyahan +++

Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous +++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan ++++

3

(S40T20%K10%)

Kekerasan/kerenyahan +++

Agak pahit Putih kecoklatan Padat/porous +++

Tingkat pengembangan ++

Permukaan +++

29

Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama (lan jutan)

Formula Tekstur Rasa Warna

4

(S60 100%)

Kekerasan/kerenyahan +++

Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous ++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan ++

5

(S60T20%)

Kekerasan/kerenyahan ++++

Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous +++

Tingkat pengembangan ++++

Permukaan ++++

6

(S60T20%K10%)

Kekerasan/kerenyahan ++++

Agak pahit Putih kecoklatan Padat/porous +++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan +++

Keterangan :

- S40 = Sorgum 40 mesh; S60 = Sorgum 60 mesh

- T20% = Tapioka 20%

- K10% = Kacang hijau 10%

- Kekerasan/kerenyahan : + = sangat keras; +++++ = sangat renyah (optimum =

++++)

- Padat/porous : + = sangat padat; +++++ = sangat porous (optimum =

+++)

- Tingkat pengembangan : + = tidak mengembang; +++++ = sangat mengembang

(optimum = ++++)

- Permukaan : + = sangat berpori; +++++ = tidak berpori (optimum =

+++++)

Parameter dinilai berdasarkan pengamatan subjektif terhadap produk yang dihasilkan.

Tingkat kekerasan/kerenyahan dinilai setelah produk dimakan dan dinilai tingkat

kekerasan/kerenyahannya. Tingkat padat/porous dinilai dengan membelah flakes kemudian

diamati jumlah pori di dalam flakes. Tingkat pengembangan dinilai dengan mengamat i ukuran

flakes dibandingkan dengan ukuran die. Tekstur permukaan dinilai dengan mengamat i jumlah pori

pada permukaan flakes.

Sorgum merupakan bahan baku utama yang digunakan sebagai bahan pembentuk struktur.

Sorgum yang digunakan adalah sorgum sosoh, yaitu sorgum yang telah dihilangkan bagian kulit

dan perikarpnya. Hal in i bertujuan untuk meningkatkan proporsi fraksi pati dan menghilangkan

bagian serat dan komponen polifenol, yang dapat menyebabkan rasa yang tidak diinginkan pada

produk (Guy 2001). Menurut Rooney (2003), sorgum memiliki beberapa keunggulan seperti

warna terang, flavor hambar, dan sifat pengembangan yang baik, yang menjadikannya bahan yang

sangat baik untuk dikembangkan menjadi produk ekstrusi.

Pengamatan yang dilakukan terhadap produk yang keluar dari ekstruder meliputi tekstur,

rasa, dan warna. Tabel 7 menunjukkan bahwa formula 1 dan 4 hanya menggunakan sorgum saja

tanpa penambahan tapioka atau kacang hijau. Formula 1 menggunakan tepung sorgum berukuran

40 mesh, sedangkan formula 4 menggunakan tepung sorgum 60 mesh. Tabel 7 menunjukkan

bahwa formula 1 leb ih keras dan kurang mengembang daripada formula 4, sedangkan porositas

dan teksur permukaan sama. Hal ini d iduga disebabkan karena ukuran partikel bahan yang lebih

30

kecil memungkinkan transfer panas yang lebih merata serta menyerap kelembaban yang lebih

banyak, sehingga proses gelatinisasi yang lebih merata dan sempurna di seluruh bagian adonan

(Guy 2001). Hasilnya, ekstrudat yang keluar lebih renyah dan mengembang. Gambar ekstrudat

formula 1 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 10.

Formula 1 Formula 4

Gambar 10. Ekstrudat Formula 1 (Tepung Sorgum 40 Mesh 100%) dan 4 (Tepung Sorgum

60 Mesh 100%)

Penambahan tapioka mengubah karakteristik pati dalam formula dengan tujuan

memperoleh produk yang lebih baik. Tapioka memiliki derajat gelatinisasi yang rendah (52-65oC),

kandungan protein dan lemak yang rendah, karakteristik pengikat yang baik, warna putih, dan

flavor manis (Moscicki 2011). Dari Tabel 7, penambahan pati tapioka mampu memperbaiki

kerenyahan, tingkat pengembangan, dan tekstur permukaan ekstrudat. Hal in i dapat dilihat dengan

membandingkan formula yang menggunakan ukuran partikel yang sama, yaitu formula 1 dan 2,

serta formula 4 dan 5. Dengan penambahan 20% tapioka, fo rmula 2 memiliki tekstur yang lebih

baik dari pada formula 1. Tingkat kerenyahan, porositas, pengembangan, dan tekstur permukaan

ekstrudat menjadi lebih baik. Hal serupa juga terdapat antara formula 4 dan 5, yaitu tekstur

ekstrudat formula 5 (penambahan 20% tapioka) leb ih baik daripada formula 4. Perubahan

karakteristik tersebut mungkin disebabkan perubahan struktur sel ekstrudat dengan penambahan

pati, yaitu tapioka, melalui proses retrogradasi yang kemudian membentuk lapisan film yuang

cukup kuat untuk mencegah runtuhnya dinding sel dan membentuk sel dengan ketebalan yang

lebih rendah dan ukuran rongga udara yang lebih kecil (Eastman 200; Gonzales 2005). Selain itu,

komposisi amilosa dan amilopektin dalam adonan juga berpengaruh terhadap tingkat

pengembangan dan kekerasan (Lusas dan Rooney 2001). Tapioka memiliki komposisi amilosa-

amilopektin yang berbeda dengan sorgum, sehingga penambahan tapioka dapat mengubah

komposisi amilosa-amilopektin dalam adonan. Chinnaswamy dan Hanna (1988, 1990) diacu

dalam Hanna dan Bhatnagar (1994) menyebutkan bahwa terdapat rasio optimum antara amilosa

dan amilopekt in untuk memperoleh ekstrudat dengan karakteristik tekstur terbaik. Perbandingan

ekstrudat formula 1 dan 2 serta 4 dan 5 dapat dilihat pada Gambar 11.

Penambahan protein berupa tepung kacang hijau dilakukan pada formula 3 dan 6.

Ekstrudat yang keluar memiliki rasa yang pahit dan ukuran ekstrudat yang lebih kecil

dibandingkan dengan formula 2 dan 5. Rasa pahit ini diduga berasal dari hidrolisat protein akibat

gaya potong ekstruder. Dalam jumlah tertentu, hidrolisat protein ini akan menghambat

pengembangan pati saat keluar dari die, sehingga menurunkan derajat pengembangan (Guy 2001).

31

Formula 1 Formula 2 Formula 3

Formula 4 Formula 5 Formula 6

Gambar 11. Ekstrudat Semua Formula Pada Uji Coba Pertama

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat pengaruh ukuran partikel, penambahan tapioka, dan

penambahan kacang hijau terhadap tekstur, rasa, dan warna. Dengan ukuran partikel yang

berbeda, ekstrudat memiliki t ingkat kepadatan dan tekstur permukaan yang sama. Perbedaannya,

ekstrudat yang menggunakan sorgum 60 mesh memiliki t ingkat pengembangan dan kerenyahan

yang lebih baik. Penambahan tapioka menunjukkan peningkatan karakteristik tekstur ekstrudat.

Kerenyahan, porositas, tingkat pengembangan, dan tekstur permukaan ekstrudat menjadi leb ih

baik. Ketika ditambahkan kacang hijau, rasa menjadi lebih pahit dan tingkat pengembangan serta

tekstur permukaan ekstrudat menjadi menurun, meskipun masih lebih t inggi dibandingkan 100%

sorgum. Oleh karena itu, kacang hijau tidak lagi d igunakan pada uji coba selanjutnya.

Tepung gula ditambahkan untuk memberikan rasa manis pada ekstrudat. Selain itu, gula

berperan sebagai agen pengikat, pembawa flavor, dan pemberi mouthfeel pada produk

(Dobraszczyk et al. 2005). Jumlah tepung gula yang ditambahkan pada semua formula adalah

10% dari jumlah tepung sorgum, pati tapioka, dan tepung kacang hijau, atau sebanding dengan

8.7% dari total bahan yang digunakan. Dalam jumlah tersebut, gula tidak berpengaruh signifikan

terhadap proses ekstrusi. Namun, jumlah yang lebih tinggi dapat berdampak negatif pada

pemasakan ekstrusi, karena gula dapat mengurangi temperatur bahan sehingga energi panas yang

dibutuhkan menjadi lebih besar, dan derajat pengembangan ekstrudat menjadi berkurang

(Moscicki, 2011). Dari segi rasa, ekstrudat yang dihasilkan dari penambahan 10% gula belum

menunjukkan rasa manis. Sebaliknya, ekstrudat terasa agak asin, yang mungkin disebabkan

penamabahan garam yang berleb ihan.

Sama seperti gula, minyak juga ditambahkan dalam jumlah yang sama untuk semua

formula yang diujicobakan, yaitu 4%. Tujuan penambahan minyak adalah menghindari

penyumbatan di dalam ekstruder. Penyumbatan ini terjadi akibat pembentukan leburan adonan

yang lengket akibat degradasi polimer pati, apabila ekstrusi dilakukan menggunakan bahan yang

memiliki kandungan lemak dan kele mbaban rendah (Dobraszczyk et al. 2005). Penambahan

minyak dapat mengurangi friksi adonan dalam ekstruder serta membantu pergerakan material

32

dalam adonan, sehingga penyumbatan dapat dihindari (Moscicki 2011). Selain itu, lemak atau

minyak memiliki dampak positif terhadap kualitas dan kandungan gizi dari ekstrudat .

Garam d itambahkan untuk memberi rasa dan sebagai penguat flavor (flavor enhancer).

Penambahan garam sebanyak 2% pada semua formula menyebabkan produk terasa agak asin saat

dicicip. Oleh karena itu, jumlah garam pada uji coba selanjutnya dikurangi menjadi 1%.

Dari hasil uji coba pertama, uji coba kedua dilakukan untuk melihat pengaruh penambahan

gula, coklat, dan minyak terhadap karakteristik ekstrudat. Beberapa variabel yang ditetapkan dari

uji coba pertama antara lain ukuran partikel sorgum yang digunakan yaitu 60 mesh, jumlah garam

yang digunakan diturunkan yaitu 1%. Ringkasan pengamtan ekstrudat uji coba kedua dapat dilihat

pada Tabel 8.

Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua

Formula Tekstur Rasa Warna

Std

(G15C10M5)

Kekerasan/kerenyahan +++

Agak manis Coklat Padat/porous ++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan ++

G1

(G10C10M5)

Kekerasan/kerenyahan +++

Sedikit asin Coklat Padat/porous ++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan ++

G2

(G20C10M5)

Kekerasan/kerenyahan ++

Agak pahit Coklat Padat/porous ++

Tingkat pengembangan ++

Permukaan ++

C1

(G15C5M5)

Kekerasan/kerenyahan +++

Agak manis Sedikit coklat Padat/porous ++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan ++

C2

(G15C15M5)

Kekerasan/kerenyahan +++

Agak pahit Coklat Padat/porous ++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan ++

M1

(G15C10M7,5)

Kekerasan/kerenyahan ++

Agak manis Coklat Padat/porous ++

Tingkat pengembangan +++

Permukaan ++

33

Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua (lan jutan)

M2

(G15C10M10)

Kekerasan/kerenyahan ++

Agak manis Coklat Padat/porous ++

Tingkat pengembangan ++

Permukaan ++

Keterangan :

- G10 = gula 10%; G15 = gula 15%; G20 = gula 20%

- C5 = coklat 5%; C10 = coklat 10%; C15 = coklat 15%

- M5 = minyak 5%; M7,5 = minyak 7,5%; M10 = minyak 10%

- Kekerasan/kerenyahan : + = sangat keras; +++++ = sangat renyah (optimum =

++++)

- Padat/porous : + = sangat padat; +++++ = sangat porous (optimum =

+++)

- Tingkat pengembangan : + = tidak mengembang; +++++ = sangat mengembang

(optimum = ++++)

- Permukaan : + = sangat berpori; +++++ = tidak berpori (optimum =

+++++)

Gula ditambahkan dengan variasi 10%, 15%, dan 20%. Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa

tidak terdapat perbedaan antara ekstrudat dengan penambahan gula 10% dan 15%. Pada

penambahan 20% gula, ekstrudat menjadi lebih keras dan ukurannya lebih kecil. Rasa ekstrudat

menjadi lebih pahit yang diduga akibat reaksi karamelisasi saat ekstrusi berlangsung (Guy, 2001).

Pada penambahan 10% gula, terasa sedikit rasa asin. Oleh karena itu, penambahan 15% gula

merupakan jumlah terbaik yang menghasilkan rasa dan tekstur terbaik.

.

10% 15% 20%

Gambar 12. Ekstrudat dengan penambahan gula 10%, 15%, dan 20%

Variasi penambahan coklat bubuk dilakukan pada jumlah 5%, 10%, dan 15%. Dari segi

tekstur, tidak terlihat perbedaan diantara ketiga variasi penambahan. Perbedaan terlihat dari wana

dan rasa ekstrudat yang dihasilkan. Warna terbaik din ilai dengan membandingkan produk dengan

produk referen. Pada penambahan 5% coklat, warna coklat lebih pudar dibandingkan dengan

penambahan 10% dan 15% coklat. Penambahan coklat sebanyak 15% menunjukkan warna coklat

yang baik namun berdampak negatif pada rasa yang lebih pahit. Rasa pahit yang ditimbulkan

berasal dari komponen alkalo id pada coklat, sehingga jumlah yang lebih tinggi akan menyebaban

rasa pahit semakin nyata. Penambahan coklat ditetapkan pada jumlah 10% yang memberikan

warna coklat, aroma, dan rasa produk yang baik.

34

5% 10% 15%

Gambar 13. Ekstrudat Dengan Penambahan Coklat 5%, 10%, dan 15%

Variasi penambahan minyak dilakukan pada jumlah 5%, 7,5%, dan 10%. Penambahan

minyak dalam jumlah yang lebih tinggi akan menyebabkan turunnya pengembangan produk (Guy

2001). Hal in i dapat diamat i dari ekstrudat yang dihasilkan, yaitu semakin kecilnya ukuran

ekstrudat dengan bertambahnya jumlah minyak yang digunakan. Tekstur ekstrudat juga menjadi

lebih keras dengan peningkatan jumlah minyak yang digunakan. Dibandingkan dengan uji coba

pertama, 5% minyak menghasilkan ekstrudat yang lebih keras , dan ukuran ekstrudat menjadi leb ih

kecil, begitu pula dengan penambahan 7.5% dan 10%. Oleh karena itu, jumlah minyak yang

ditambahkan d itetapkan pada taraf 4%.

5% 7,5% 10%

Gambar 14. Ekstrudat Dengan Penambahan Minyak 5%, 7,5%, dan 10%

Dari penelit ian pendahuluan ini, diperoleh komposisi bahan-bahan tambahan yang

menghasilkan ekstrudat dengan karaktersitik paling baik. Sorgum yang digunakan adalah sorgum

yang berukuran 60 mesh. Dari u ji coba pertama, 20% tapioka terbukt i mampu memperbaiki

karakteristik tekstur ekstrudat. Namun, komposisi optimum tapioka akan ditentukan pada

penelitian utama. Komposisi bahan-bahan unutk digunakan pada penelitian utama dapat dilihat

pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi optimum bahan-bahan untuk digunakan dalam

penelit ian utama

Bahan Jumlah (% )

Tepung sorgum 60 mesh (relatif terhadap tapioka)

Tepung gula 15

Coklat bubuk 10

Minyak 4

Garam 1

35

10

200.00

1.00

2.00

3.00

4.00

0 1 2

2.9

3.943.66

3.23.06

3.01

tap

ioka

(%

)

kesu

kaan

te

kstu

r

emulsifier (%)

*Perbedaan signifikan ditunjukan dengan perbedaan warna

B. Penelitian Utama Penelit ian utama dilakukan dengan memvariasikan jumlah tapioka dan penambahan

emulsifier. Tujuan dari penelitian utama adalah menghasilkan tekstur ekstrudat yang baik. Kedua

bahan yang digunakan memiliki karaktersit ik pembentuk tekstur. Dengan memvariasikan

komposisi keduanya, diharapkan dapat diperoleh jumlah yang tepat untuk membentuk tekstur yang

baik. Formula yang diujicobakan dapat dilihat pada Tabel 4.

Produk yang dihasilkan kemudian d iuji secara organoleptik dan fisik. Uji organoleptik

dilakukan untuk menilai tingkat kesukaan panelis terhadap masing-masing formula. Data yang

diperoleh dijad ikan dasar penentuan produk terbaik. Analisis fisik dilakukan untuk melihat

pengaruh masing-masing variasi bahan yang diujicobakan terhadap karakteristik fisik ekstrudat.

1. Uji Rating Hedonik Dasar penentuan formula optimum ditetapkan dari uji rat ing hedonik, yaitu uji yang

termasuk ke dalam uji afektif . Uji rating hedonik melibatkan 70 panelis tidak terlat ih, sesuai

yang dikatakan oleh Waysima (2008). Kuesioner uji rating hedonik dapat dilihat pada

Lampiran 2. Data yang diperoleh dari rating hedonik diolah menggunakan program SPSS.

Hasil dari uji rat ing hedonik dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil uji rating hedonik

Gambar 15. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor Kesukaan Tekstur

Kode

Sampel

Penggunaan

Tapioka dan

Emulsifier (% )

Nilai Rata-Rata

Tekstur Warna Rasa Keseluruhan

T1E1 10%, 0% 2.60a

3.53a

2.50a

2.77a

T1E2 10%, 1% 3.94c

3.31a

3.33c

3.56d

T1E3 10%, 2% 3.66c

3.23a

3.34c

3.44c,d

T2E1 20%, 0% 3.20b

3.37a

3.09b,c

3.24b,c

T2E2 20%, 1% 3.06b

3.31a

2.90b

3.14b

T2E3 20%, 2% 3.01b

3.41a 2.83

b 2.99

a,b

36

Pengolahan data (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara tapioka

dengan emulsifier terhadap skor kesukaan tekstur ekstrudat (p<0.05). Uji lan jut terhadap

variabel-variabel in i dapat dilihat pada Gambar 15. Dari gambar tersebut, perbedaan signifikan

ditunjukan dengan perbedaan warna pada diagram batang.

Penambahan tapioka dan emulsifier diharapkan dapat memperbaiki tekstur ekstrudat

sehingga lebih disukai oleh konsumen/panelis. Namun dari hasil analisis yang didapat,

penambahan emulsifier dan tapioka tidak menunjukkan hasil yang linier. Pada penambahan

10% tapioka, penambahan emulsifier meningkatkan skor kesukaan, sedangkan pada

penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak menunjukkan perbedaan skor

kesukaan. Tanpa penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menyebabkan

peningkatan skor kesukaan, sedangkan dengan penambahan emulsifier, peningkatan tapioka

justru menurunkan skor kesukaan.

Tapioka ditambahkan dengan tujuan mengubah karakteristik pati dalam adonan menjadi

lebih baik sehingga diperoleh tekstur yang lebih baik dan leb ih disukai o leh konsumen.

Sedangkan emulsifier ditambahakan dengan tujuan meratakan pembentukan dan distribusi sel

atau rongga udara sehingga diperoleh ekstrudat dengan tekstur yang lebih halus dengan ukuran

pori-pori yang lebih kecil. Pemerataan pembentukan sel ini juga dapat berpengaruh terhadap

meningkatknya pengembangan (Gonzales 2005). Secara umum, konsumen lebih menyukai

produk yang renyah, yang merupakan produk dengan tingkat pengembangan baik dan densitas

rendah.

Dari data yang diperoleh dapat diamat i bahwa tanpa penambahan emulsifier,

penambahan 20% tapioka menunjukkan skor kesukaan yang lebih tinggi (3.20) dibandingkan

10% tapioka (2.60). Penambahan emulsifier memberikan pengaruh positif pada 10% tapioka,

sedangkan tidak memberikan pengaruh s ignifikan pada penambahan 20% tapioka. Hal ini

mungkin dapat dikaitkan dengan pembentukan kompleks amilosa-lip id (dengan gliserol

monostearat dari emulsifier) yang lebih cenderung terjadi pada penambahan 20% tapioka,

karena jumlah amilosa bebas (dari tapioka) yang lebih tinggi (Guy 2001; Hanna dan Bhatnagar

1994; Harper 1981; Muchtadi et al. 1987). Kompleks ini menyebabkan emulsifier menjadi

terikat dengan amilosa dan tidak dapat memberikan perannya untuk meratakan pembentukan

sel, atau rongga udara mikro yang dapat membuat ekstrudat menjadi leb ih renyah, lebih

mengembang, dan memiliki tekstur permukaan/tampak luar yang lebih merata atau halus

(Harper 1981; Moscicki 2011). Sebaliknya, pembentukan kompleks ini jutru dapat

menurunkan pengembangan, dengan merusak dinding sel sehingga tidak mampu

mempertahankan strukturnya dan runtuh saat keluar melalu i die (Gonzales 2005). Pada

penambahan 10% tapioka, kecenderungan pembentukan kompleks tersebut nampaknya jauh

lebih kecil, sehingga emulsifier dan tapioka dapat berinteraksi positif menghasilkan

karakteristik tekstur ekstrudat yang lebih baik.

Dari hasil analisis derajat pengembangan (hal 39), penambahan emulsifier pada 10%

tapioka menunjukkan sedikit peningkatan meskipun tidak signifikan. Sebaliknya pada

penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier menurunkan derajat pengembangan. Dari

hasil analisis kekerasan (hal 43), penambahan emulsifier pada 10% tapioka menunjukkan

penurunan nilai kekerasan, sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier

tidak menunjukkan perbedaan. Apabila dibandingkan, terdapat kesesuaian antara hasil analisis

dengan skor kesukaan tekstur, yaitu bahwa pembentukan kompleks pada penambahan 20%

tapioka menyebabkan penurunan pengembangan dan tidak memberikan pengaruh terhadap

kekerasan. Sebaliknya pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier sedikit

37

10

200.00

1.00

2.00

3.00

4.00

0 1 2

2.5

3.34 3.33

3.092.9

2.83

tap

ioka

(%

)kesu

kaan

ras

a

emulsifier (%)

meningkatkan pengembangan dan menurunkan kekerasan. Dari penjelasan tersebut, dapat

dilihat bahwa panelis cenderung menyukai produk dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah

dan derajat pengembangan yang lebih tinggi.

Pengolahan data ANOVA untuk atribut warna (Lampiran 4) tidak menunjukkan adanya

interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap skor kesukaan warna (p>0.05). Hal

ini disebabkan jumlah coklat yang ditambahkan pada semua formula sama. Meskipun

demikian, diperoleh informasi bahwa esktrudat memiliki warna yang cukup disukai oleh

panelis (skor rata-rata 3.36).

Hasil pengolahan data atribut rasa dengan ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan terdapat

interaksi antara variabel tapioka dan emulsifer terhadap skor kesukaan rasa (p<0.05). Gambar

16 menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier

meningkatkan skor kesukaan. Sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan

emulsifier tidak memberikan pengaruh signifikan. Tanpa penambahan emulsifier, peningkatan

jumlah tapioka meningkatkan meningkatkan skor kesukaan rasa. Sebaliknya, dengan

penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menyebabkan penurunan skor kesukaan.

Gambar 16. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor Kesukaan Rasa

Pengaruh penambahan emulsifier dan tapioka terhadap rasa terutama berkaitan dengan

tingkat kematangan produk. Tapioka dengan kandungan amilopektin yang lebih tinggi

memiliki sifat alir yang lebih baik daripada amilosa, sehingga dapat menurunkan friksi internal

bahan untuk menghindari rasa gosong. dari pemasakan berlebih (Xie et al. 2009). Emulsifier,

yang memiliki sifat seperti lemak, juga berpengaruh terhadap friksi internal bahan, sehingga

interaksi keduanya akan berpengaruh terhadap rasa produk.

Tanpa penambahan emulsifier, penambahan 20% tapioka memiliki skor kesukaan rasa

yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan 10% tapioka. Hal in i disebabkan oleh

kandungan total amilopektin yang lebih tinggi pada sampel tersebut, sehingga diduga mencapai

tingkat kematangan yang lebih baik, atau tidak mengalami pemasakan berlebih (over-cooking),

daripada sampel dengan 10% tapioka.

Sebaliknya dengan penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka justru

menurunkan skor kesukaan terhadap rasa, meskipun tidak signifikan. Hal ini d iduga

disebabkan penurunan friksi internal yang berlebihan dengan ditambahkannya kedua variabel

38

10

200.00

1.00

2.00

3.00

4.00

0 1 2

2.77

3.56 3.44

3.243.14

2.99

tap

ioka

(%

)

kesu

kaan

ke

selu

ruh

an

emulsifier (%)

tersebut. Pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier, yang memiliki sifat

pelumasan seperti minyak, akan semakin mengurangi friksi internal. Hal in i menyebabkan

turunnya suhu adonan sehingga proses gelatinisasi tidak berlangsung cukup sempurna. Hal ini

juga dapat dikaitkan dengan turunnya tingkat pengembangan pada sampel-sampel tersebut.

Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier justru meningkatkan skor kesukaan

rasa yang diduga disebabkan tercapainya tingkat kematangan yang baik, atau tidak mengalami

pemasakan kurang (under-cooking) ataupun pemasakan berlebih (over-cooking).

Pengolahan data dengan ANOVA (Lampiran 6) untuk atribut secara keseluruhan

menunujukan adanya interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap skor kesukaan

secara keseluruhan. Gambar 17 menunjukkan bahwa tanpa penambahan emulsifier,

peningkatan jumlah tapioka meningkatkan skor kesukaan, sedangkan dengan penambahan

emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menurunkan skor kesukaan. Pada penambahan 10%

tapioka, penambahan emulsifier cenderung meningkatkan skor kesukaan, sedangkan pada

penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak memberikan pengaruh signifikan.

Gambar 17. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor

Kesukaan Secara Keseluruhan

Dari gambar 17, terdapat diagram batang yang memiliki garis luar dengan warna yang

berbeda dengan warna diagram batangnya, yang menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak

berbeda signifikan dengan sampel lain yang memiliki warna d iagram batang yang sama

maupun dengan sampel dengan warna yang sama dengan garis luarnya. Hasil uji rating

hedonik secara keseluruhan ini sesuai dengan hasil uji rat ing hedonik terhadap rasa dan tekstur.

Dari pengolahan data uji organoleptik yang telah dilakukan, dipero leh informasi

mengenai sampel yang memiliki skor tertinggi yang paling disukai o leh panelis. Sampel

dengan penambahan 10% tapioka dan 1% emulsifier memiliki skor tertinggi dari pengujian

sensori terhadap atribut tekstur, rasa, dan atribut secara keseluruhan. Oleh karena itu, sampel

tersebut dipilih sebagai sampel yang memiliki karakteristik sensori terbaik.

39

2. Analisis Fisik

a. Derajat Pengembangan Derajat pengembangan produk diuji dengan memperhatikan dua dimensi produk.

Hal ini dikarenakan ukuran produk yang tidak bulat merata, melainkan pipih lonjong.

Dimensi yang diukur adalah panjang dan lebar.

Pengolahan data ANOVA untuk derajat pengembangan dimensi panjang (Lampiran

7) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap

derajat pengembangan dimensi panjang. Sementara pengolahan data ANOVA untuk

derajat pengembangan dimensi lebar (Lampiran 8) tidak menunjukkan adanya interaksi.

Uji lanjut Duncan menunjukkan terdapat dua subset yang berbeda. Dari Tabel 11 dapat

dilihat bahwa sampel dengan kode T1E1, T1E2, T1E3, dan T2E1 memiliki derajat

pengembangan yang tidak berbeda, dibandingkan dengan sampel T2E2 dan T2E3.

Tabel 11. Data derajat pengembangan

Sampel Derajat Pengembangan (%)

Dimensi Panjang Dimensi Lebar

T1E1 113,64b

130,93a

T1E2 118,09b

130,93a

T1E3 114,00b

128,13a

T2E1 121,91b

134,13a

T2E2 102,63a

121,60a

T2E3 101,27a

133,07a

Dari Gambar 18, dapat dilihat bahwa pada penambahan 20% tapioka, derajat

pengembangan sampel dengan penambahan emuls ifier (1% dan 2%) berbeda signifikan

dengan sampel lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh pembentukan kompleks amilosa-

lip id pada sampel tersebut yang dapat menurunkan derajat pengembangan. Kompleks

amilosa-lip id in i diduga terbentuk antara amilosa bebas dari tapioka dan emulsifier yang

berupa gliserol monostearat (Guy 2001; Hanna dan Bhatnagar 1994; Harper 1981). Saat

ekstrusi berlangsung, pati dapat membentuk sebuah matriks yang dapat memerangkap uap

air, sehingga membentuk gelembung-gelembung (Guy dan Horne 1988 diacu dalam Hanna

dan Bhatnagar 1994; Harper 1981). Pembentukan kompleks dapat mengubah karakteristik

viskoelastik dari matriks pati tersebut, sehingga tidak mampu memerangkap uap air dan

menyebabkan penurunan derajat pengembangan serta peningkatan densitas kamba

(Gonzales 2005; Hanna dan Bhatnagar 1994). Selain itu, pembentukan kompleks in i

diduga dapat mengubah rasio amilosa-amilopektin dalam adonan dengan berinteraksinya

amilosa dengan emulsifier, sehingga ras io amilosa-amilopektin yang optimum untuk

pengembangan tidak tercapai (Chinaswammy dan Hanna 1988 1990 d iacu dalam Hanna

dan Bhatnagar 1994).

40

10

200

20

40

60

80

100

120

140

0 1 2

113.64 118.09 114

121.91

102.63101.27

tap

ioka

(%

)

de

raja

t p

en

gem

ban

gan

(%

)

emulsifier (%)

Gambar 18. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Derajat

Pengembangan Dimensi Panjang

Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier terlihat tidak menurunkan

derajat pengembangan, bahkan meningkatkannya. Hal ini mungkin d isebabkan jumlah

tapioka yang ditambahkan lebih sedikit, sehingga kemungkinan terbentuknya kompleks

lebih kecil. Pembentukan kompleks dalam jumlah yang lebih kecil ini mungkin juga

menyebabkan tercapainya rasio amilosa-amilopekt in yang lebih baik untuk pengembangan.

Peran emulsifier untuk mengubah karakteristik tekstur dengan meratakan pembentukan dan

distribusi rongga udara dan membantu pemotongan dalam ekstruder juga terlihat pada

sampel tersebut, sehingga diduga dapat meningkatkan pengembangan dari ekstrudat

(Mosciciki 2011).

b. Waktu Rehidrasi Waktu rehidrasi terbagi menjad i waktu rehidrasi awal dan waktu rehidrasi akhir.

Waktu rehidrasi awal dapat dijelaskan sebagai waktu saat susu mulai membasahi ekstrudat,

yaitu saat bagian tepi ekstrudat terlihat basah. Waktu akhir rehidrasi merupakan waktu saat

susu membasahi seluruh bagian ekstrudat, yaitu saat seluruh permukaan ekstrudat terlihat

basah. Waktu rehidrasi referen juga diukur untuk melihat perbandingan antara waktu

rehidrasi sampel dengan referen.

Tabel 12. Data waktu rehidrasi

Sampel Waktu Rehidrasi (detik)

Awal Akhir

T1E1 2065a

2506a

T1E2 2650a

3210a

T1E3 2797a

3348a

T2E1 2390a

2794a

T2E2 2932a

3306a

T2E3 3131a

3493a

Referen 1375a

1510a

41

10

20

Ref

0

400

800

1200

1600

2000

2400

2800

3200

0 1 2 Ref

2065

2650 27972390

29323131

1375

tap

ioka

(%

)

wak

tu r

eh

idra

si a

wal

(d

tk)

emulsifier (%)

Gambar 19. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Waktu Rehidrasi Awal

Pengolahan data dilakukan dengan ANOVA (Lampiran 9 dan Lampiran 10)

menunjukkan bahwa t idak terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap

waktu rehidrasi, baik awal dan akhir. Meskipun demikian, Gambar 19 dan Gambar 20

menunjukkan hubungan yang linier antara peningkatan jumlah emulsifier dan tapioka

terhadap waktu rehidrasi awal dan akhir. Semakin tinggi jumlah tapioka yang

ditambahkan, semakin tinggi waktu rehidrasinya. Begitu pula dengan emulsifier.

Peningkatan waktu rehidrasi akibat peningkatan jumlah tapioka disebabkan pati-patian,

seperti tapioka, memiliki kemampuan membentuk film, sehingga memperlambat

penyerapan susu ke dalam sereal (Eastman et al. 2001). Selain itu, peningkatan jumlah

amilopektin, yang dalam hal ini berupa tapioka, menyebabkan penurunan kemampuan

serap air adonan, karena komponen amilopektin menyerap lebih sedikit air dibandingkan

amilosa (Moscicki 2011).

Emulsifier memiliki sifat yang serupa dengan lipid. Penambahan emulsifier berart i

peningkatan kandungan lipid dalam adonan. Semakin tinggi jumlah lipid dalam adonan,

semakin banyak granula pati yang terlapisi, sehingga sukar menyerap air (Harper 1981).

Hal ini dapat meningkatkan waktu rehidrasi dari ekstrudat. Selain itu, efek pelumasan dari

lip id dapat menyebabkan penurunan degradasi amilopekt in, yang sukar menyerap air. Hal

ini menyebabkan semakin sedikit bagian yang terlarut dalam air, sehingga waktu

rehidrasinya meningkat (Hanna dan Bhatnagar 1994).

Referen memiliki waktu rehidrasi yang lebih singkat daripada semua sampel. Hal

ini merupakan hal yang baik karena konsumen lebih menyukai sereal yang terehidrasi lebih

lama karena kerenyahan dapat dipertahankan (Mannie 1999).

42

10

20

Ref

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

0 1 2 Ref

2506

3210 33062794

3348 3493

1510

tap

ioka

(%

)

wak

tu r

eh

idra

si a

khir

(d

tk)

emulsifier (%)

Gambar 20. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Waktu Rehidrasi Akhir

c. Indeks Kelarutan Air Indeks kelarutan air atau Water Solubility Index (WSI) merupakan parameter yang

digunakan untuk mengukur kelarutan ekstrudat di dalam air. Indeks in i menunjukkan

seberapa banyak bagian ekstrudat yang dapat terlarut dalam air, dan dinyatakan dalam gram

per mililiter (g/ml). Pengolahan data dengan ANOVA (Lampiran 11) menunjukkan bahwa

tidak terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier yang ditambahkan terhadap

indeks kelarutan air. Selain itu, tidak terdapat pengaruh penambahan tapioka dan

penambahan emulsifier terhadap indeks kelarutan air. Data indeks kelarutan air sampel

dapat dilihat dalam Tabel 13.

Tabel 13. Data indeks kelarutan air

Sampel Indeks Kelarutan Air (g/ml)

T1E1 0,0076a

T1E2 0,0076a

T1E3 0,0080a

T2E1 0,0082a

T2E2 0,0081a

T2E3 0,0076a

Referen 0,0208b

43

10

20

Ref

0.0000

0.0050

0.0100

0.0150

0.0200

0.0250

0 1 2 Ref

0.0076 0.0076 0.0080

0.0082 0.00810.0077

0.0208

tap

ioka

(%

)

ind

eks

ke

laru

tan

air

(g/

ml)

emulsifier (%)

Gambar 21. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Indeks Kelarutan Air

Gambar 21 menunjukkan bahwa indeks kelarutan air referen jauh leb ih tinggi

daripada sampel. Hal in i menunjukkan bahwa sampel lebih sukar larut dalam air daripada

referen. In i berarti bowl time sampel atau lamanya flakes mempertahankan kerenyahannya

saat disajikan leb ih tinggi daripada referen. Hal in i lebih disukai oleh konsumen.

d. Analisis Kekerasan dan Nilai Patah (Rheoner) Analisis fisik dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner, dan dibagi menjad i

kekerasan maksimum dan nilai patah (breakage). Ringkasan pengolahan data analisis

kekerasan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Data analisis kekerasan

Sampel Kekerasan (gf)

T1E1 1640,00d

T1E2 1100,00b

T1E3 1340,00c

T2E1 1670,00d

T2E2 1760,00d

T2E3 1760,00d

Referen 400,00a

Pengolahan data ANOVA untuk nilai kekerasan menunjukkan adanya interaksi

antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap nilai kekerasan. Gambar 22 menujukan

bahwa penambahan emulsifier memiliki pengaruh yang berbeda pada kedua tingkat

penambahan tapioka. Pada 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak memberikan

pengaruh signifikan. Sebaliknya, pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier

justru menurunkan nilai kekerasan. Hal ini berhubungan dengan pembentukan kompleks

amilosa-lip id pada sampel dengan penambahan 20% tapioka. Kompleks amilosa-lip id

dapat menurunkan pengembangan dan densitas kamba, yang berarti produk menjadi padat

dan keras (Hanna dan Bhatnagar 1994). Dibandingkan dengan skor kesukaan terhadap

44

10

20

Ref

0

500

1000

1500

2000

0 1 2 Ref

1640

11001340

1670 1760 1760

400

tap

ioka

(%

)keke

rasa

n (g

f)

emulsifier (%)

tekstur, sampel dengan penambahan 10% tapioka 1% dan 2% emulsifier memiliki skor

tertinggi (3.94 dan 3.66). Hal ini berarti panelis leb ih menyukai sampel dengan nilai

kekerasan yang lebih rendah.

Gambar 22. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Nilai Kekerasan

Pada sampel dengan penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier justru

menurunkan nilai kekerasan ekstrudat. Hal ini mungkin disebabkan tercapainya rasio

amilosa amilopektin yang lebih baik dengan pembentukan kompleks amilosa-lipid yang

lebih sedikit, seperti dijelaskan sebelumnya. Rasio amilosa-amilopektin menjadi kurang

optimum pada penambahan 2% tapioka akibat pembentukan kompleks yang lebih banyak,

yang ditunjukan dengan naiknya nilai kekerasan.

Gambar 22 juga menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kekerasan produk lebih tinggi

daripada tingkat kekerasan sampel referen. Hal in i d iduga akibat kandungan amilosa dalam

sorgum lebih tinggi daripada jagung atau gandum yang digunakan pada produk komersial

(Harper 1981)

Tabel 15. Data analisis nilai patah (breakage)

Sampel Nilai Patah (g f)

T1E1 770,00a

T1E2 710,00a

T1E3 660,00a

T2E1 960,00a

T2E2 1200,00a

T2E3 1290,00a

Referen 300,00a

45

10

20

Ref

0

500

1000

1500

2000

0 1 2 Ref

770710

660

9601200 1290

300

tap

ioka

(%

)nila

i pat

ah (

gf)

emulsifier (%)

Gambar 23. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Nilai Patah

Pengolahan data ANOVA untuk data nilai patah menunjukkan bahwa tidak terdapat

interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap nilai patah sampel. Meskipun

demikian, dapat dilihat pada Gambar 23 bahwa terdapat perbedaan pengaruh penambahan

emulsifier antara sampel dengan 10% tapioka dengan 20% tapioka. Penambahan emulsifier

pada sampel yang ditambahkan 20% tapioka menujukan peningkatan nilai patah dengan

peningkatnya jumlah emulsifier. Sebaliknya pada sampel dengan penambahan 10%

tapioka, penambahan emusifier justru menurunkan nilai patah. Hal in i dapat terjadi akibat

pembentukan kompleks seperti dijelaskan sebelumnya.

3. Uji Penerimaan Dari uji rating hedonik dan uji fisik, sampel dengan penambahan 10% tapioka dan 1%

emulsifier dip ilih menjadi sampel terbaik. Karena target konsumen adalah anak-anak usia

sekolah, uji organoleptik 2 atau uji penerimaan dilakukan kepada siswa kelas 5 SD di dua

sekolah. Dua sekolah dasar yang dipilih adalah SDN Babakan IV Bogor dan SDN Polisi V

Bogor. Dua sekolah ini memiliki tingkat ekonomi yang berbeda, yang bertujuan untuk

melihat penerimaan produk pada tingkat ekonomi yang berbeda tersebut. Tingkat ekonomi

kedua sekolah ditetapkan berdasarkan asumsi lokasi sekolah dan tingkat popularitas dari

sekolah. SDN Polisi V berada di pusat kota Bogor sementara SDN Dramaga 4 berada di

kabupaten Bogor. Berdasarkan tingkat popularitasnya, SDN Polisi V lebih terkenal

dibandingkan dengan SDN Dramaga 4

Kuesioner yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 15. Pertanyaan tentang

pengetahuan dan tingkat konsumsi siswa disertakan dalam kuesioner sehingga relevansi uji

sensori dapat diketahui. Ringkasan uji penerimaan dapat dilihat pada Gambar 24.

Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskriptif dengan statistik chi-square.

Informasi yang didapatkan menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa kelas 5 dari kedua

sekolah telah mengetahui mengenai sereal sarapan susu. Uji statistik chi-square menunjukkan

tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan pengetahuan tentang sereal susu. Hal

ini dapat disebabkan sereal sarapan susu telah banyak beredar di masyarakat dan pemasarannya

lewat media telev isi telah banyak bermunculan.

46

Secara garis besar, siswa kedua sekolah kadang-kadang mengkonsumsi sereal susu. Uji

statistik chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan

konsumsi sereal susu. Nampaknya sereal susu telah cukup populer di masyarakat dan

harganya telah cukup terjangkau sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat

mengkonsumsinya. Hasil pengujian pengetahuan tentang sereal dan tingkat konsumsi dapat

dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Pengetahuan dan tingkat konsumsi sereal sarapan dari dua sekolah

Berdasarkan hasil yang diperoleh, tingkat kesukaan terhadap aroma dan kerenyahan

siswa-siswa kedua sekolah serupa, yaitu sebagian besar menyatakan enak. Uji statistika

dengan chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi siswa

dengan tingkat kesukaan terhadap aroma dan kerenyahan. Dari informasi in i, aroma dan

kerenyahan yang dimiliki produk sudah cukup baik dan diterima baik o leh konsumen.

Tingkat ketertarikan terhadap warna dan tingkat kesukaan terhadap rasa siswa kedua

sekolah menunjukkan perbedaan. SDN Polisi V yang memiliki tingkat ekonomi rata-rata

siswanya lebih tinggi cenderung memilih cukup enak, berbeda dengan SDN Dramaga IV yang

banyak memilih enak. Uji chi-square menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat ekonomi

dengan tingkat kesukaan rasa dan ketertarikan warna produk. Secara keseluruhan, tingkat

kesukaan siswa semakin menurun dengan meningkatnya tingkat ekonomi. Penerimaan

terhadap atribut produk dapat dilihat pada Gambar 25.

0

20

40

60

80

100

tahu tidak tahu

100

0

97.5

2.5

jum

lah

(%)

Pengetahuan Tentang Sereal

Menengah ke bawah Menengah ke atas

0

20

40

60

80

tidak pernah kadang-kadang sering

0

79.5

20.5

0

77.5

22.5

jum

lah

(%)

Tingkat Konsumsi

Menengah ke bawah Menengah ke atas

47

Gambar 25. Penerimaan terhadap atribut produk

Gambar 26. Keinginan konsumsi produk

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

menarik cukup menarik

tidak menarik

71.8

25.6

2.6

4552.5

2.5jum

lah

(%)

Penerimaan terhadap warna

Menengah ke bawah Menengah ke atas

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

enak cukup enak tidak enak

71.8

28.2

0.0

67.5

25.0

7.5

jum

lah

(%)

Penerimaan terhadap aroma

Menengah ke bawah Menengah ke atas

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

enak cukup enak tidak enak

66.7

30.8

2.6

27.5

67.5

5.0

jum

lah

(%)

Penerimaan terhadap rasa

Menengah ke bawah Menengah ke atas

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

enak cukup enak tidak enak

64.1

35.9

0.0

65.0

32.5

2.5jum

lah

(%)

Penerimaan terhadap kerenyahan

Menengah ke bawah Menengah ke atas

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

enak cukup enak tidak enak

82.1

17.9

0.0

37.5

55.0

7.5

jum

lah

(%)

Penerimaan terhadap keseluruhan atribut

Menengah ke bawah Menengah ke atas

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

mau tidak mau

100.0

0.0

70.0

30.0

jum

lah

(%)

Keinginan konsumsi

Menengah ke bawah Menengah ke atas

48

Kecenderungan yang sama terlihat pada keinginan konsumsi produk. Pada Gambar 26

jelas terlihat bahwa jumlah siswa yang ingin mengkonsumsi produk lebih banyak pada sekolah

menengah ke bawah. Uji chi-square juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

tingkat ekonomi dengan keinginan konsumsi produk.

4. Analisis Kimia Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia produk, seperti kadar air,

kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Kandungan

kimia produk telah dirangkum pada Tabel 16.

Tabel 16. Komposisi kimia produk

Komponen Jumlah (%)

bb bk

Air 2.59 2.66

Abu 2.47 2.54

Lemak 3.79 3.89

Protein 7.30 7.50

Karbohidrat

(by difference) 77.33 79.42

Serat kasar 9.07 9.32

a. Kadar Air Kadar air produk akhir adalah 2.59 (basis basah) dan 2.66 (basis kering). Basis

basah merupakan perbandingan kandungan komponen yang diukur dengan berat sampel

untuk analisis dengan kandungan air. Basis basah merupakan perbandingan berat

kandungan komponen yang diukur dengan berat sampel untuk analisis dikurangi

kandungan airnya (Singh dan Heldman 2009).

Kadar air produk dibawah 3% yang sesuai dengan SNI 01-4270-1996 tentang susu

sereal. Kadar air ini tercapai setelah pengeringan dengan oven selama 15 menit. Kadar air

yang rendah dapat menjaga produk tetap renyah saat disajikan dan memperpanjang umur

simpannya (Winarno 1984).

b. Kadar Abu Abu merupakan residu mineral yang tersisa setelah proses pembakaran dalam suhu

tinggi (Winarno 1984). Umumnya mineral yang terkandung di dalam abu berada dalam

bentuk metal oksida, senyawa sulfat, fosfat, nitrat, klorida, dan senyawa anorganik lainnya

(Miller 1996).

Kadar abu hasil analisis adalah 2.47 (bb) dan 2.54 (bk). Guy (2001) mengatakan

bahwa kandungan mineral pada ekstudat, khususnya besi, dapat meningkat akibat kontak

intens dengan permukaan logam pada laras atau ulir ekstruder, seiring dengan peningkatan

suhu. Camire dan Dougherty (1998) menjelaskan bahwa kandungan dan bioavailabilitas

mineral tertahan dengan baik selama ekstrusi. Bioavailabilitas mineral juga dapat

ditingkatkan apabila fitat pengikat mineral dih ilangkan.

49

c. Kadar Lemak Lemak merupakan sumber energi kedua setelah karbohidrat. Para ahli gizi

merekomendasikan agar 20-25% kebutuhan kalori dipenuhi dari le mak (Muchtadi et al.

1992). Lemak memiliki karakteristik mudah teroksidasi apabila terpapar oleh oksigen.

Proses oksidasi ini menyebabkan kerusakan produk berupa penyimpangan flavor. Kadar

lemak produk adalah 3.79% (bb) dan 3.89 (bk). Kadar lemak produk cukup rendah, dan

dengan disertai rendahnya kadar air, maka kerusakan produk dapat ditekan semin imal

mungkin sehingga umur simpan produk menjadi lebih lama.

Dari segi nutrisi, kadar lemak produk termasuk rendah. Namun sesuai saran

penyajian, produk disajikan dengan susu yang memiliki kandungan lemak cukup tinggi.

Penyajian dengan susu ini akan membantu memenuhi kebutuhan lemak.

d. Kadar Protein Protein merupakan zat gizi yang penting sebagai pembangun tubuh dan pengganti

sel-sel yang rusak, serta berperan juga sebagai sumber energi ket iga setelah karbohidrat dan

lemak (Muchtadi et al. 1992). Kadar protein pada produk adalah 7.30% (bb) dan 7.50%

(bk). SNI 01-4270-1996 menyebutkan bahwa kandungan min imal protein pada susu sereal

adalah 7%, yang berarti bahwa kandungan protein produk telah memadai.

Kandungan protein hanya diperoleh dari biji sorgum. Kandungan pada biji sorgum

adalah 11%. Kehilangan protein terjadi saat proses ekstrusi karena suhu dan tekanan tinggi

yang menyebabkan rusaknya struktur protein (Guy 2001).

e. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama. Sebanyak 50-60% kebutuhan

energi harian sebaiknya dipenuhi dari karbohidrat. Kandungan karbohidrat by difference

produk adalah 77.33% (bb) atau 79.42% (bk). Kandungan karbohidrat pada sorghum

adalah sekitar 73%. Peningkatan kadar karbohidrat diperkirakan karena penghilangan

bagian perikarp dan juga karena penambahan tapioka. Penghilangan bagian perikarp

dengan penggilingan atau penyosohan akan mengurangi bagian dengan konsentrasi

karbohidrat rendah dan meninggalkan bagian endosperm dengan kandungan karbohidrat

lebih tinggi (Suarn i 2004). Menurunnya kadar protein juga dapat meningkatkan kadar

karbohidrat secara relatif.

f. Kadar Serat Kasar Serat merupakan ko mponen karbohidrat yang tidak dapat tercerna o leh enzim-

enzim pencernaan. Meskipun demikian, penelitian-penelit ian pada 10 tahun terakhir

menunjukkan bahwa serat memegang peranan penting pada kesehatan seseorang. Kadar

serat kasar produk adalah 9.07 (bb) dan 9.32 (bk).

g. Kandungan dalam Satu Takaran Saji Satu takaran saji yang direncanakan adalah 50 gr. Kandungan gizi dalam satu

takaran saji dapat dilihat pada Tabel 17.

50

Tabel 17. Kandungan gizi produk sampel dan referen dalam satu takaran saji (50 g)

Komponen

Nilai Gizi Satu Takaran Saji

Produk yang

Dikembangkan

Produk

Komersial*

Energ i total (kkal) 186 200

Lemak (g) 1.90 2

Protein (g) 3.65 4

Karbohidrat total (g) 38.66 40

*Label informasi nilai gizi produk komersial (50 gram takaran saji)

Berdasarkan Tabel 17, kandungan gizi produk dengan produk komersial tidak terlalu

berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa produk dapat bersaing dengan produk komersial

dalam segi kandungan gizi, tetapi dengan harga yang lebih murah. Energi total yang

diberikan oleh produk baru mencukupi 10% energ i harian 2000 kkal. Namun apabila

dikonsumsi dengan 200 ml susu, maka jumlah energi yang dihasilkan dapat mencapai 380

kkal atau sebesar 19% kebutuhan energi 2000 kkal. Berdasarkan kebutuhan energi 2000

kkal t iap hari, pemenuhan kebutuhan energi sehari-hari produk tercantum pada Tabel 18.

Tabel 18. Persentase pemenuhan energi berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal

Komponen Daily value*

% AKG

Produk yang

Dikembangkan

Produk

Komersial**

Kadar lemak 65 g 2.92 3

Kadar protein 50 g 7.30 8

Kadar karbohidrat total 300 g 12.88 13

Energ i 2000 kkal 9.30 10

*CFR (2011) **) Label informasi nilai gizi produk komersial

5. Analisis Finansial

a. Asumsi Dasar Perhitungan Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial produk adalah:

1) Analisis ekonomi d ilakukan dengan biaya investasi untuk pendirian usaha menengah

baru.

2) Tanah dan bangunan tempat produksi adalah sewa.

3) Umur ekonomi p royek ditetapkan 5 tahun.

4) Perhitungan waktu yang digunakan dalam analisis ditetapkan satu tahun sama dengan

12 bulan, satu bulan sama dengan 25 hari.

5) Analisis dilakukan pada harga konstan. Harga bahan baku yang ditetapkan dapat

dilihat pada Tabel 19.

51

Tabel 19. Harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk

6) Harga peralatan yang digunakan berdasarkan faktor perkiraan dengan dasar rancangan

secara garis besar dan spesifikasi yang belum jelas.

7) Biaya penyusutan peralatan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus.

8) Biaya perawatan peralatan ditetapkan 2.5% dari biaya penyusutan

9) Tingkat produksi dari tahun pertama hingga terakhir adalah 100% yaitu sebesar

kurang lebih 40 kg bahan baku tepung sorgum dan tapioka per jam dengan 5 jam

operasi perhari. Maka, vo lume produksi dalam satu hari adalah adalah : 40 x 5 = 200

kg, dan dalam satu bulan adalah : 200 x 25 = 5000 kg (basis tepung sorgum dan

tapioka).

10) Efisiensi produksi sebesar 85% dari total jumlah bahan baku yang digunakan.

11) Volume produk yang terjual ditetapkan sebesar 70% dari jumlah produksi di tahun

pertama. Pada tahun kedua dan seterusnya, volume produk terjual adalah 80% dari

kapasitas produksi pada tahun yang sesuai.

12) Harga jual produk adalah Rp 2,500.- per kemasan (50 gr).

13) Modal investasi berasal dari pinjaman bank sebesar 70% dan modal sendiri sebesar

30%.

14) Bunga pinjaman sebesar 14% dan konstan selama pengembalian dengan perhitungan

bunga tetap.

15) Discount rate/suku bunga sebesar 13%.

16) Kredit modal kerja ditetapkan sebesar biaya operasional dan produksi untuk satu

tahun pertama dan dimulai pada tahun pertama.

17) Pembayaran angsuran kredit investasi dan kredit modal kerja dimulai pada tahun ke-1,

dengan jangka waktu pembayaran untuk kredit investasi dan kredit modal kerja

selama 4 tahun.

18) Perhitungan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur oleh UU Perpajakan Nomor 17

tahun 2000 yaitu keuntungan di bawah Rp. 50,000,000 d ikenakan pajak sebesar 10

persen, keuntungan antara Rp. 50,000,000 h ingga Rp. 100,000,000 d ikenakan pajak

sebesar 15 persen, dan keuntungan di atas Rp. 100,000,000 dikenakan pajak sebesar

30 persen.

Bahan Satuan Harga (Rupiah)

Sorghum kg 3,250.-

Tapioka Kg 4,500.-

Tepung Gula Kg 12,000.-

Bubuk Coklat Kg 50,000.-

Minyak Kg 10,000.-

Garam Kg 2,000.-

Emulsifier Kg 150,000.-

Kemasan Buah 300.-

52

b. Modal Awal Usaha Modal awal usaha berupa biaya investasi dan modal kerja. Biaya investasi berupa

biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membeli komponen yang dibutuhkan untuk

menjalankan usaha seperti mesin, peralatan, perizinan, dan lain-lain. Investasi merupakan

komponen yang memiliki umur panjang. Modal kerja merupakan biaya yang dibutuhkan

untuk menjalankan usaha sebelum perusahaan menperoleh pendapatan. Besarnya biaya

modal kerja berupa biaya operasional selama 1 tahun pada tahun pertama (Soeharto 1999).

Biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha adalah Rp 746,100,000.-.

Rincian biaya investasi dapat dilihat pada Lampiran 27. Modal kerja yang dibutuhkan

adalah Rp 1,661,143,333.-, yaitu biaya operasional selama 1 tahun (Lampiran 28).

Kebutuhan dana proyek pada tahun pertama sebesar Rp 2,407,243,333.- dan sebesar 70%

dari dana ini diperoleh melalu i pinjaman bank, sedangkan sisanya berasal dari modal

sendiri.

c. Biaya Produksi Biaya produksi meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya operasional

pabrik, dan biaya operasional kantor, yang rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 28.

Biaya produksi yang diperlukan selama 1 bulan adalah Rp 138,428,611.- dan selama 1

tahun adalah Rp1,661,143,333.-. Biaya produksi diasumsikan sama dari tahun pertama

sampai tahun kelima.

d. Volume Produksi dan Proyeksi Penjualan Volume produksi diasumsikan 85% dari total bahan baku yang digunakan perbulan.

Jumlah produk yang dihasilkan adalah 111.350 kemasan perbulan atau 1,336,200 kemasan

pertahun, dengan berat perkemasan adalah 50 gram. Penjualan pada tahun pertama

diasumsikan sebesar 70% atau sebanyak 935,340 kemasan, dan meningkat pada tahun

kedua dan seterusnya menjadi 80% atau sebanyak 1,068,960 kemasan. Harga pokok per

kemasan dihitung dari kebutuhan dana usaha pada tahun pertama (Lampiran 29) d ibagi

dengan jumlah produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yaitu Rp 1,801.56. Harga jual

produk adalah Rp 2,500.-, sehingga marg in keuntungan adalah sekitar 39%.

e. Analisis Kriteria dan Break Even Point (BEP) Kriteria kelayakan usaha yang digunakan adalah Payback Period (PBP), Net Present

Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Break

Even Point (BEP). Untuk memperoleh nilai dari kriteria tersebut, diperlukan suatu arus kas

(cash flow), yang dapat dilihat pada Lampiran 34. Hasil analisis finansial untuk kriteria

kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Kriteria kelayakan usaha sorgum flakes

Kriteria Nilai

NPV (Net Present Value) Rp 30,413,824,-

IRR (Internal Rate Return) 14%

Net B/C (Net Benefit Cost) 1.01

PP (Payback Period) 4 tahun 25 hari

53

Berdasarkan Tabel 20, nilai NPV lebih besar dari nol, nilai IRR lebih besar dari

tingkat suku bunga diskonto (13%), n ilai PP kurang dari umur proyek (5 tahun), dan nilai

Net B/C leb ih besar dari 1,00. Maka dapat disimpulkan bahwa proyek layak yang

dilaksanakan atau investasi dapat dilakukan. Rincian proyeksi aliran kas dan perhitungan

kriteria kelayakan dapat dilihat pada Lampiran 34 dan Lampiran 35.

Break Even Point atau Keadaan Pulang Pokok merupakan keadaan saat penerimaan

pendapatan perusahaan (total revenue – TR) sama dengan biaya yang ditanggungnya (total

cost – TC). BEP juga dapat menunjukkan jumlah min imum unit produk yang harus terjual

agar perusahaan tidak merugi. Perincian perhitungan BEP dapat dilihat pada Lampiran 33.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa titik impas pada tahun pertama senilai Rp

939,300,334.46 dengan jumlah unit terjual minimal 375,720 unit. Pada tahun berikutnya,

nilai BEP adalah Rp 767,896,416.22 atau 307,159 unit produk minimal terjual. Dari

proyeksi penjualan, jumlah unit terjual sudah di atas BEP sehingga perusahaan telah

mendapat untung.

54

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan penelit ian yang dilakukan, dapat diketahui komposisi bahan -bahan yang

diperlukan untuk membuat sorgum flakes dengan karakteristik paling disukai. Tepung sorgum

berukuran 60 mesh menghasilkan karakteristik renyah dan tekstur paling baik. Penambahan

tepung tapioka memperbaiki karakteristik pengembangan dan tekstur produk. Perbandingan

tepung sorgum 60 mesh dan tapioka yang paling disukai adalah 9 : 1. Penambahan emulsifier

sebanyak 1% dari basis 100% jumlah tepung sorgum dan tapioka menghasilkan produk dengan

karakteristik tekstur terbaik dan paling disukai. Penambahan bahan-bahan lain seperti tepung gula

(15%), coklat bubuk (10%), minyak (4%), dan garam (1%) berdasarkan 100% jumlah tepung

sorgum dan tapioka menghasilkan flakes dengan karakteristik terbaik. Komposisi bahan-bahan

tersebut menghasilkan flakes sorgum dengan karakteristik yang paling disukai.

Pengujian tingkat penerimaan produk oleh konsumen, yaitu anak-anak sekolah dasar,

menunjukkan respon yang baik. Pengujian dilakukan pada dua sekolah dasar dengan tingkat

ekonomi yang berbeda, yang merepresentasikan ekonomi menengah ke bawah dan menengah ke

atas. Secara keseluruhan, terdapat hubungan antara tingkat sosial ekonomi siswa dengan tingkat

kesukaan terhadap produk. Hal ini teramati secara khusus pada atribut rasa dan warna. Hubungan

yang sama juga ditunjukan dari tingkat keinginan konsumsi produk. Hal in i berart i, semakin

meningkatnya tingat sosial ekonomi konsumen, kesukaan dan keinginan konsumsi produk

cenderung menurun. Meskipun demikian, secara umum, produk dapat diterima konsumen, yang

terlihat bahwa sangat sedikit yang mengatakan tidak suka terhadap atribut produk.

Komposisi kimia produk yang dihasilkan dalam % basis kering, yaitu kadar air 2.66%,

kadar abu 2.54%, kadar lemak 3.80%, kadar protein 7.50%, kadar karbohidrat by difference

79.42%, dan kadar serat kasar 9.32%. Produk ini memiliki derajat pengembangan 118.09%

dimensi panjang dan 130.93% dimensi lebar, waktu reh idrasi selama 2650 detik saat mulai

terbasahi media susu dan 3210 detik saat semua bagian terendam dalam media. Indeks kelarutan

air produk adalah 0.008 gr/ml, tingkat kekerasan maksimal produk 1100 gf dan 820 gf saat patah.

Satu takaran saji produk sebanyak 50 gram dapat memenuhi 13% kebutuhan karbohidrat harian,

8% kebutuhan protein, dan 6% kebutuhan lemak berdasarkan kebutuhan energi harian 2000 kkal.

Analisis finansial terhadap proyek usaha sorgum flakes selama 5 tahun menunjukkan

bahwa nilai NPV sebesar Rp 30,413,824.- yang leb ih besar dari nol, nilai IRR sebesar 14% yang

lebih besar dari t ingkat suku bunga diskonto 13%, Net B/C 1.01 yang lebih besar dari 1.00, serta

nilai PP selama 4 tahun 25 hari yang kurang dari umur proyek, merupakan indikator bahwa usaha

sorgum flakes layak untuk dilaksanakan.

B. Saran Pengembangan produk sorgum flakes dapat ditingkatkan untuk menghasilkan produk

yang jauh lebih baik. Dari segi mutu, optimasi kadar air bahan dapat dilakukan untuk mencapai

gelatinisasi optimum dan pengembangan maksimal. Selain itu, pelapisan produk dengan flavor

dan gula dapat meningkatkan flavor dan rasa produk. Demikian juga optimasi proses pelapisan

(coating) dan komposisinya dapat dilakukan, sehingga cita rasa produk dapat bersaing dengan

produk komersial lainnya. Dari hasil analisis finansial, nilai keuntungan proyek sereal sarapan

sorgum sangat kecil. Peningkatan keuntungan dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi

produksi maupun meningkatkan n ilai penjualan produk (>80%).

55

DAFTAR PUSTAKA

AgroStats [online]. 2009. World Sorghum Production. http://www.agrostats.com/world-sorghum-

production.html. [3 Agustus 2011].

Anderson, R.A., Conway, H.F., Pfeifer, V.F., Griffin, E.L. 1969. Gelatinizat ion of Corn Grits by

Roll and Extrusion Cooking. J. Cereal Science 14 :4-12.

AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of The Association of Official Agricultural Chemist.

AOAC, Inc., Washington.

Arvi, Felicia. 2006. Pengembangan produk sereal siap santap berbasis sorghum [skripsi]. Bogor :

Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-2886-2000. Makanan ringan ekstrudat. Jakarta

Barr D, Panuwet B, Nguyen P, Udunka JV, Needham S, Needham LL. 2007. Assessing exposure

to atrazine and its metabolites using biomonitoring.

http://www.environmentalhealthnews.org/newscience/2007/2007-1126barretal.html. [18

Agustus 2010].

Bhattacharva, M. dan M. Padmanabhan. 1992. Extrusion processing : texture and rheology. In:

Y.H. Hui (ed.). Encyclopedia of Food Science and Technology . John Wiley & Sons, Inc.

Toronto, Chichester, Brisbane, Singapore.

Beti, Y.A., A. Ispandi, dan Sudaryono. 1990. Sorgum [monografi]. Malang : Balai Penelit ian

Tanaman Pangan.

Camire, M.E. dan Dougherty, M.P. 1998. Added phenolic compounds enhance lipid stability in

extruded corn. J. Food Sci 63(4): 516-518.

[CFR] Code of Federal Regulations [online]. 2011. Food and Drugs, Title 21, (101.9) Nutrition

labeling of food. http://ecfr.gpoaccess.gov [13 April 2011]

Chinnaswamy, R., dan Hanna, M. A. 1988. Relat ionship between amylose content and extrusion-

expansion properties of corn starches. Cereal Chem 65:138-143.

Deptan [Homepage of Direktorat Jendral Tanaman Pangan Kementrian Pertanian], [online]. 2010.

http://www.deptan.go.id/ditjentan/index.php. [3 Agustus 2011].

Djazu li, N., M. Wahyuni, D. Monintja, dan A. Purbayanto. 2009. Analisis finansial pengolahan

surimi dengan skala modern dan semi modern. J. Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia

2(12) : 102-114.

Dobraszczyk, Bogdan J., Paul Ainsworth, Senol Ibanoglu, Pedro Bouchon. 2005. Baking,

extrusion, and frying. In: Brennan, James G. (ed). Food Processing Handbook (2006).

Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.

Dogget, H. 1970. Sorghum. Longmans Green & Co. Ltd. Cambridge, USA.

Dziezak, J.D. 1989. Single and twin screw extrudes in food processing. J. Food Technol 43(4):

164 – 174.

Eastman, J., F. Orthoefer, S. So lorio. 2001. Using extrusion to create breakfast cereal products.

Cereal Foods Worlds 46: 468 – 471.

Frame, N.D. 1999. Extrusion Cooking. USA : Aspen Publishers, Inc.

[FSD] Food Security Department [online]. 2003. Sorghum. Post-harvest Operations.

http://www.fao.org/inpho/compend/test/ch07.htm.[12 Februari 2010].

Ganjyal, M., Hanna, M.A., Supprung P., Noomhorn, jones, D. 2006. Modelling Selected

Properties of Extruded Rice Flour and Rice Starch by Neural Networks and Statistics. J.

Cereal Chemist. 83 (3) : 223-227.

56

Gonzales, Alejandro J.P. 2005. Specialty sorghums in direct-expansion extrusion [thesis]. Texas :

Master Program, Texas A&M University.

Guy, R.C.E., dan Horne, A.W. 1988. Extrusion and co-ext rusion of cereals. In: J.M.V. Blanshard

and J.R. Mitchell (eds). Food Structure-Its Creation and Evaluation. Butterworths:

London.

Guy, R.C.E. 1994. Raw materials for extrusion cooking process . In: Frame N.D. (ed). The

Technology of Extrusion Cooking. London: Blackie Academic and Profesional, pp 52-72.

Guy, Robin. 2001. Extrusion Cooking: Technologies and Applications. New York, Washington

D.C: CRC Press, Boca Raton.

Hand, Becky. 2010. Healthy Carb, Fat and Protein Ranges The Numbers You Need to Know.

http://www.sparkpeople.com/resource/nutrition_articles.asp?id=372 [23 April 2010]

Hanna, M.A. dan S. Bhatnagar. 1994. Amylose-lip id complex formation during single screw

extrusion of various corn starches. Cereal Chem 71(6): 582-587.

Hariyadi, P. 1996. Pengenalan peraltan proses ekstrusi, bakeri, dan penggorengan. Makalah

Pelatihan Produk-Produk Olahan Ekstrusi, Bakery, dan Frying, 2-3 Oktober 1996, Tambun,

Bekasi.

Harper, J.M. 1981. Extrusion of Foods, vol I dan II. Flo rida, USA: CRC Press, Inc.

Ibrahim, Y. H. M. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Jin, Z., F. Hsieh, dan H.E. Huff. 1995. Effects of soy fiber, salt, sugar, and screw speed on

physical properties and microstructure of corn meal extrudate. J. Cereal Science 22(2): 185 -

194.

Kamel, Basil S. dan Clyde E. Stauffer. 1993. Advances in Bakery Technology. London : Blackie

Academic & Professional.

Keown, A. J., D. F. Scott, J. D. Martin, and J. W. Petty. 2005. Financial Management Principles

and Applications. India: Pearson Education Inc.

Khomsan, A. 2002. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Leder, Iren. 2004. Sorghum and millets. Cultivated Plants, Primarily as Food Sources,

Encyclopedia of Life Support System. Developed under Auspices of the UNESCO, Eolss

Publisher, Oxford, USA.

Linko, P., P. Colonna, dan C. Mercier. 1981. High temperature short ext rusion cooking. J. Cereal

Food World 39(2): 99 – 102.

Lusas, Raymond W. & Lloyd W. Rooney. 2001. Snack Foods Processing. Washington D.C.: CRC

Press.

Maltz, S.A. 1984. Snack Food Technology. Westport, Connecticut, USA: The Avi Publ. –

Company, Inc.

Mannie, Elizabeth. 1999. Breakfast cereal, kid style. http://www.foodproductdesign.com [8 Maret

2011].

Mathews, R. 1996. Importance of breakfast to cognitive performance and health. Perspectives in

Applied Nutrit ion 3(3): 204-212.

Mercier, C., dan P. Feillet. 1975. Modification of carbohydrate components by extrusion cooking

of cereal product. Cereal Chem 52(3): 283-297.

Miller, R.C. 1993. A primer on cooking ext ruders. Bul. Sustain Notes 5(3).

Miller, R.C. 1995. Raw material types and finished product characteristic. Snack Food and

Breakfast Cereal Training Program [prosiding pelat ihan]. IUC for Food and Nutrit ion,

Institut Pertanian Bogor.

57

Miller, D. D. 1996. Minerals. In: Fennema, O. R. (ed). Food Chemistry: Third Edition. New York:

Marcel Dekker, Inc.

Moscicki, Les zek. 2011. Extrusion-Cooking Techniques: Application, Theory, and Sustainability.

Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.

Muchtadi, T.R., BAS. Santoso, dan D.S. Damard jati. 1988. Struktur, Komposisi, dan Nilai Gizi

Jagung. Balai Penelit ian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan A.B. Ahza. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar

Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi, D., N. S. Palupi, dan M. Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam

Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor.

[NSP] National Sorghum Producers [online]. 2005. Sorghum’s Food Characteristics.

http://www.sorghumgrowers.com\Uses+&+Products\Food. [20 Februari 2010].

Owen, Gavin. 2001. Cereal Processing Technology. Boston, New York, Washington, DC.: CRC

Press, Boca Raton.

[PAGI] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia . Jakarta: Elex

Media Komputindo.

Polina. 1995. Studi pembuatan produk ekstrusi dari campuran jagung, sorghum, dan kacang hijau

[skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pontoh, J. 1995. Mempelajari pembuatan dan sifat fisikokimia makanan ekstrusi sorgum dan

kacang hijau [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rahayuning P.D. 2004. Formulasi flakes trip le mixed ubi jalar-kecambah kedelai-wheat germ

sebagai produk sarapan fungsional untuk anak-anak [skripsi]. Bogor: Program Sarjana,

Institut Pertanian Bogor.

Rismunandar. 1989. Sorghum Tanaman Serba Guna . Bandung: Sinarbaru.

Rooney, L.W. 1973. A review of the physical properties, composition, and kernel characteristics of

sorghum. In : Rooney, L.W. dan D.S. Mury (ed). Proceedings of the International

Symposium on Sorghum Grain Quality, 28-31 October 1985. ICRISAT Center, Patancheru,

India, 407 p.

Rooney, L. W. 2003. Food and Nutritional Quality of Sorghum and Millet. Texas A&M: Pro ject

TAM 226.

Singh, R. Paul dan Dennis R. Heldman. 2009. Introduction to Food Engineering . USA: Elsevier.

Sirrapa, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di indonesiasebagai komoditas alternatif

untuk pangan, pakan, dan industri. J. Litbang Pertanian 22(4): 133-140.

Sizer, F. dan E. Whitney. 2000. Nutrition : Concept and Controversies (8th ed). USA: Thomson

Learn ing.

Soeharto, I. 1999. Manajemen Proyek . Jakarta: Penerbit Erlangga.

Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. Jurnal Litbang Pertanian 23(4).

Suprapto dan R. Mudjisihene. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Jakrata: Penebar

Swadaya.

Tribelhorn, R. E., 1991. Breakfast cereals. In : Lorenz, K. J. dan K. Kulp (Eds). Handbook of

Cereal Science and Technology. New York: Marcel Dekker, Inc., pp : 741-762.

Vergara, H. J. 2005. Breakfast is Important. El Paso Times.

http://www.borderlandnews.com/apps/pbcs.dll/article?AID=/20050914/LIV

ING/509140325/1004. [28 Desember 2009].

Waysima, Adawiyah DR. 2008. Penuntun Prakt ikum Evaluasi Sensori. Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

58

Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia.

Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of starch gelatinization and water absorption in rice

[Ph.D disertation]. Madison: Doctor Program, University of Wisconsin.

Xie, Fengwei, Long Yu, Bing Su, Peng Liu, Jun Wang, Hongshen Liu, dan Ling Chen. 2009.

Rheological properties of starches with different amylose/amylopect in ratios. J. Cereal

Science 49(2009): 371-377.

Hui, Yiu H. dan Harold Corke. 2006. Bakery Products : Science and Technology. USA: Wiley-

Blackwell.

LAMPIRAN

60

Lampiran 1. Formula yang dicobakan pada penelitian pendahuluan

a. Trial 1

Bahan Jumlah (%)

1 2 3 4 5 6

Tepung sorghum 40 mesh 100 80 70 - - -

Tepung sorghum 60 mesh - - - 100 80 70

Tepung kacang hijau 0 0 10 0 0 10

Pati tapioka 0 20 20 0 20 20

Tepung gula 10 10 10 10 10 10

Minyak 3 3 3 3 3 3

Garam 2 2 2 2 2 2

b. Trial 2

Bahan Jumlah (%)

1 2 3 4 5 6 7

Tepung sorghum 60 mesh 100 100 100 100 100 100 100

Tepung gula 15 10 20 15 15 15 15

Coklat bubuk 10 10 10 5 15 10 10

Minyak 5 5 5 5 5 7.5 10

Garam 1 1 1 1 1 1 1

61

Lampiran 2. Kuesioner uji rating hedonik

Produk : Flakes Sorghum

Nama :.................................................... Tanggal:..............................................

Petunjuk

Dihadapan Anda terdapat 6 sampel flakes sorghum. Anda diminta untuk menilai

kesukaan terhadap tekstur, warna, rasa, dan keseluruhan (overall) dari keenam

sampel. Kunyahlah masing-masing sampel berurutan dari kiri ke kanan. Berilah

penilaian terhadap masing-masing sampel dengan nilai 1 (sangat tidak suka) hingga

nilai 5 (sangat suka) dengan TIDAK membandingkan antar sampel. Netralkan mulut

Anda dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya. Anda diperbolehkan untuk

mencicip ulang sampel-sampel tersebut sebelum melakukan penilaian.

Kode Teksur Warna Rasa Keseluruhan

274

448

685

363

912

121

Keterangan : 1 = sangat tidak suka ; 2 = tidak suka ; 3 = netral ; 4 = suka ; 5 =

sangat suka

Komentar :

.........................................................................................................................................

...............................................................................................................................

62

Lampiran 3. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut tekstur

Variabel dependen : skor

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 81.440a 5 16.288 19.250 .000

Intersep 4423.260 1 4423.260 5.228E3 .000

tapioka * emulsifier 44.462 2 22.231 26.274 .000

Kesalahan 350.300 414 .846

Total 4855.000 420

Total Terkoreksi 431.740 419

a. R Kuadrat = .189 (R Kuadrat Terkoreksi= .179)

Uji Lanjut

skor

Duncan

interaksi N Subset

1 2 3

tpk 10% - emu 0% 70 2.60

tpk 20% - emu 2% 70 3.01

tpk 20% - emu 1% 70 3.06

tpk 20% - emu 0% 70 3.20

tpk 10% - emu 2% 70 3.66

tpk 10% - emu 1% 70 3.94

Sig. 1.000 .170 1.000

Rerata untuk subset yang homogen terlampir. Berdasarkan tipe III penjumlahan kuadrat: Kesalahan = 0.846

a. Jumlah penguji sampel = 70 b. Tingkat signifikansi (α) = 0.05

63

Lampiran 4. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut warna

Variabel dependen : skor

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 3.705a 5 .741 1.098 .361

Intersep 4747.010 1 4747.010 7.037E3 .000

tapioka 0.010 1 0.010 .014 .905

emulsifier 1.633 2 .817 1.211 .299

tapioka * emulsifier 2.062 2 1.031 1.528 .218

Kesalahan 279.286 414 .675

Total 5030.000 420

Total Terkoreksi 282.990 419

a. R Kuadrat = .013 (R Kuadrat Terkoreksi= .001)

Lampiran 5. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut rasa

Variabel dependen : skor

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 36.555a 5 7.311 10.008 .000

Intersep 3774.002 1 3774.002 5.166E3 .000

tapioka 1.448 1 1.488 2.037 .154

emulsifier 8.862 2 4.431 6.065 .003

tapioka * emulsifier 26.205 2 13.102 17.935 .000

Kesalahan 302.443 414 .731

Total 4113.000 420

Total Terkoreksi 338.998 419

a. R Kuadrat = .108 (R Kuadrat Terkoreksi= .097)

64

Uji Lanjut

Subset Homogen

skor

Duncan

interaksi N Subset

1 2 3

tpk 10% - emu 0% 70 2.50

tpk 20% - emu 2% 70 2.83

tpk 20% - emu 1% 70 2.90

tpk 20% - emu 0% 70 3.09 3.09

tpk 10% - emu 1% 70 3.33

tpk 10% - emu 2% 70 3.34

Sig. 1.000 .093 .093

Rerata untuk subset yang homogen terlampir. Berdasarkan tipe III penjumlahan kuadrat: Kesalahan = 0.731

a. Jumlah penguji sampel = 70 b. Tingkat signifikansi (α) = 0.05

Lampiran 6. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut secara keseluruhan

Variabel dependen : skor

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 29.448a 5 5.890 8.201 .000

Intersep 4275.238 1 4275.238 5.953E3 .000

tapioka 1.867 1 1.867 2.599 .108

emulsifier 8.348 2 4.174 5.812 .003

tapioka * emulsifier 19.233 2 9.617 13.391 .000

Kesalahan 297.314 414 .718

Total 4602.000 420

Total Terkoreksi 326.762 419

a. R Kuadrat = .090 (R Kuadrat Terkoreksi= .079)

65

Uji Lanjut

Subset Homogen

skor

Duncan

sampel N Subset

1 2 3 4

tpk 10% - emu 0% 70 2.77

tpk 20% - emu 2% 70 2.99 2.99

tpk 20% - emu 1% 70 3.14

tpk 20% - emu 0% 70 3.24 3.24

tpk 10% - emu 2% 70 3.44 3.44

tpk 10% - emu 1% 70 3.56

Sig. .135 .090 .163 .425

Rerata untuk subset yang homogen terlampir. Berdasarkan tipe III penjumlahan kuadrat:

Kesalahan = 0.718 a. Jumlah penguji sampel = 70 b. Tingkat signifikansi (α) = 0.05

Lampiran 7. Analisis keragaman derajat pengembangan produk dimensi panjang

Variabel dependen : nilai

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 1723.659a 5 344.732 5.242 .002

Intersep 375807.215 1 375807.215 5.715E3 .000

tapioka 550.524 2 275.262 4.186 .028

emulsifier 330.340 1 330.340 5.024 .035

tapioka * emulsifier 842.795 2 421.398 6.408 .006

Kesalahan 1578.196 24 65.758

Total 379109.000 30

Total Terkoreksi 3301.855 29

a. R Kuadrat = .522 (R Kuadrat Terkoreksi= .442)

66

Uji Lanjut

Subset Homogen

nilai

Duncan

sampel N Subset untuk alpha = .05

1 2

tpk 20% - emu 2% 5 101.2720

tpk 20% - emu 1% 5 102.6340

tpk 10% - emu 0% 5 113.6380

tpk 10% - emu 2% 5 114.0000

tpk 10% - emu 1% 5 118.0880

tpk 20% - emu 0% 5 121.9100

Sig. .793 .152

Rerata untuk subset yang homogen terlampir. a. Menggunakan Ukuran Rataan Sampel Harmonis = 5.000.

Lampiran 8. Analisis keragaman derajat pengembangan produk dimensi lebar

Variabel dependen : nilai

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 510.200a 5 102.040 1.641 .187

Intersep 505438.604 1 505438.604 8.128E3 .000

tapioka 206.023 2 103.012 1.657 .212

emulsifier 1.196 1 1.196 .019 .891

tapioka * emulsifier 302.980 2 151.490 2.436 .109

Kesalahan 1492.383 24 62.183

Total 507441.187 30

Total Terkoreksi 2002.583 29

a. R Kuadrat = .255 (R Kuadrat Terkoreksi= .100)

67

Lampiran 9. Analisis keragaman waktu awal rehidrasi

Variabel dependen : nilai

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 4.318E6a 6 719647.286 47.705 .000

Intersep 7.006E7 1 7.006E7 4.644E3 .000

tapioka 295474.083 1 295474.083 19.587 .003

emulsifier 1185398.167 2 592699.083 39.290 .000

tapioka * emulsifier 1565.167 2 782.583 .052 .950

Kesalahan 105597.500 7 15085.357

Total 9.035E7 14

Total Terkoreksi 4423481.214 13

a. R Kuadrat = .976 (R Kuadrat Terkoreksi= .956)

Lampiran 10. Analisis keragaman waktu akhir rehidrasi

Variabel dependen : nilai

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 5.820E6a 6 969950.476 44.654 .000

Intersep 9.399E7 1 9.399E7 4.327E3 .000

tapioka 93104.083 1 93104.083 4.286 .077

emulsifier 1319654.000 2 659827.000 30.377 .000

tapioka * emulsifier 19744.667 2 9872.333 .454 .652

Kesalahan 152049.500 7 21721.357

Total 1.222E8 14

Total Terkoreksi 5971752.357 13

a. R Kuadrat = .975 (R Kuadrat Terkoreksi= .953)

68

2000 gf

1000 gf

0 gf

Lampiran 11. Analisis keragaman indeks kelarutan air (WSI)

Variabel dependen : nilai

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi .000a 6 4.829E-5 22.359 .000

Intersep .002 1 .002 725.208 .000

tapioka 2.133E-7 1 2.133E-7 .099 .762

emulsifier 1.667E-9 2 8.333E-10 .000 1.000

tapioka * emulsifier 5.817E-7 2 2.908E-7 .135 .876

Kesalahan 1.512E-5 7 2.160E-6

Total .002 14

Total Terkoreksi .000 13

a. R Kuadrat = .950 (R Kuadrat Terkoreksi= .908)

Lampiran 12. Grafik analisis kekerasan dengan alat Rheoner

a. T1E1 b. T1E2

2000 gf

1000 gf

0 gf

69

c. T1E3 d. T2E1

e. T2E2 f. T2E3

g. Referen

2000 gf

1000 gf

0 gf

2000 gf

1000 gf

0 gf

2000 gf

1000 gf

0 gf

2000 gf

1000 gf

0 gf

2000 gf

1000 gf

0 gf

70

Lampiran 13. Analisis keragaman nilai kekerasan dengan alat Rheoner

Variabel dependen : nilai

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 7.404E6a 6 1234071.429 146.415 .000

Intersep 5.070E7 1 5.070E7 6.016E3 .000

tapioka 1026750.000 1 1026750.000 121.818 .000

emulsifier 253500.000 2 126750.000 15.038 .000

tapioka * emulsifier 505500.000 2 252750.000 29.987 .000

Kesalahan 236000.000 28 8428.571

Total 7.443E7 35

Total Terkoreksi 7640428.571 34

a. R Kuadrat = .969 (R Kuadrat Terkoreksi= .962)

Uji Lanjut

Subset Homogen

nilai

Duncan

sampel N Subset untuk alpha = .05

1 2 3 4

referen 5 400.00

tpk 10% - emu 1% 5 1100.00

tpk 10% - emu 2% 5 1340.00

tpk 10% - emu 0% 5 1640.00

tpk 20% - emu 0% 5 1670.00

tpk 20% - emu 1% 5 1760.00

tpk 20% - emu 2% 5 1760.00

Sig. 1.000 1.000 1.000 .067

Rerata untuk subset yang homogen terlampir. a. Menggunakan Ukuran Rataan Sampel Harmonis = 5.000.

71

Lampiran 14. Analisis keragaman nilai patah dengan alat Rheoner

Variabel dependen : nilai

Sumber Tipe III Penjumlahan

Kuadrat df

Rata-Rata

Kuadrat F Sig.

Model Terkoreksi 3.522E6a 6 586952.381 3.251 .015

Intersep 2.054E7 1 2.054E7 113.795 .000

Tapioka 1180083.333 1 1180083.333 6.537 .016

Emulsifier 2666.667 2 1333.333 .007 .993

tapioka * emulsifier 424666.667 2 212333.333 1.176 .323

Kesalahan 5055000.000 28 180535.714

Total 3.524E7 35

Total Terkoreksi 8576714.286 34

a. R Kuadrat = .411 (R Kuadrat Terkoreksi= .284)

72

Lampiran 15. Kuesioner uji penerimaan

Kuesioner Uji Penerimaan

Nama : Tanggal : Januari 2011

Silanglah (x) pilihan yang adik-adik pilih.

Apakah adik-adik pernah mendengar/mencoba produk sereal susu?

a. Ya pernah b. Tidak pernah

Seberapa sering adik-adik mengkonsumsi produk sereal susu?

a. Sering b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

Setelah mencoba produk ini, menurut adik-adik :

1. Bagaimana warna produk ini?

a. menarik b. cukup menarik c tidak menarik

2. Bagaimana bau/aroma produk ini?

a. enak b. cukup enak c. tidak enak

3. Bagaimana rasa produk ini?

a. enak b. cukup enak c. tidak enak

4. Bagaimana kerenyahan produk ini?

a. suka b. cukup suka c. tidak suka

5. Secara umum, apakah adik-adik suka produk ini?

a. Suka b. cukup suka d. tidak suka

6. Apakah adik-adik mau sarapan dengan produk ini?

a. Ya mau b. tidak mau

73

Lampiran 16. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap pengetahuan tentang

sereal susu Tabulasi Silang

Simpulan Pengolahan Data

Data

Valid Hilang Total

N Persen N Persen N Persen

sekolah *

pengetahuan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

Hubungan antara sekolah dengan pengetahuan terhadap jenis produk

perhitungan

pengetahuan_sereal Total

tidak tahu tahu

sekolah menengah ke bawah 0 39 39

menengah ke atas 1 39 40

Total 1 78 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .988b 1 .320

Koreksi Kontinuitas(a) .000 1 1.000

Rasio Kemiripan 1.374 1 .241

Hubugnan Linear dengan Linear .975 1 .323

N dari Data Valid 79

a Dikomputasi hanya untuk tabel 2x2

b 2 sel (50.0%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah .49

74

Lampiran 17. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap tingkat konsumsi

sereal susu

Tabulasi Silang

Simpulan Pengolahan Data

Data

Valid Hilang Total

N Persen N Persen N Persen

sekolah *

konsumsi 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

Hubungan antara sekolah dengan tingkat konsumsi produk

perhitungan

konsumsi_sereal Total

kadang-

kadang sering

sekolah menengah ke bawah 31 8 39

menengah ke atas 31 9 40

Total 62 17 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .046b 1 .830

Koreksi Kontinuitas(a) .000 1 1.000

Rasio Kemiripan .046 1 .830

Hubugnan Linear dengan Linear .046 1 .831

N dari Data Valid 79

a Dikomputasi hanya untuk tabel 2x2

b 2 sel (50.0%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah 8.39

75

Lampiran 18. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap atribut sensori sereal

susu

Tabulasi Silang

Simpulan Pengolahan Data

Data

Valid Hilang Total

N Persen N Persen N Persen

sekolah * warna 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

sekolah * aroma 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

sekolah * rasa 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

sekolah * kerenyahan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

sekolah * kesukaan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap warna produk

perhitungan

warna Total

menarik

cukup

menarik

tidak

menarik

sekolah menengah ke bawah 28 10 1 39

menengah ke atas 18 21 1 40

Total 46 31 2 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 6.065a 2 .048

Rasio Kemiripan 6.168 2 .046

Hubugnan Linear dengan Linear 4.685 1 .030

N dari Data Valid 79

a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah .99

76

Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap aroma produk

perhitungan

aroma Total

enak

cukup

enak

tidak

enak

sekolah menengah ke bawah 28 11 0 39

menengah ke atas 27 10 3 40

Total 55 21 3 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 3.054a 2 .217

Rasio Kemiripan 4.212 2 .122

Hubugnan Linear dengan Linear .901 1 .342

N dari Data Valid 79

a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah 1.48

Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap rasa produk

perhitungan

rasa Total

enak

cukup

enak

tidak

enak

sekolah menengah ke bawah 26 12 1 39

menengah ke atas 11 27 2 40

Total 37 39 3 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 12.173a 2 .002

Rasio Kemiripan 12.507 2 .002

Hubugnan Linear dengan Linear 10.509 1 .001

N dari Data Valid 79

a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah 1.48

77

Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap kerenyahan produk

perhitungan

kerenyahan Total

enak

cukup

enak

tidak

enak

sekolah menengah ke bawah 25 14 0 39

menengah ke atas 26 13 1 40

Total 51 27 1 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.044a 2 .593

Rasio Kemiripan 1.430 2 .489

Hubugnan Linear dengan Linear .019 1 .889

N dari Data Valid 79

a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah .49

Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap kesukaan secara

keseluruhan

perhitungan

kesukaan Total

enak

cukup

enak

tidak

enak

sekolah menengah ke bawah 32 7 0 39

menengah ke atas 15 22 3 40

Total 47 29 3 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 16.898a 2 .000

Rasio Kemiripan 18.585 2 .000

Hubugnan Linear dengan Linear 16.369 1 .000

N dari Data Valid 79

a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah 1.4

78

Lampiran 19. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap keinginan konsumsi

produk

Tabulasi Silang

Simpulan Pengolahan Data

Data

Valid Hilang Total

N Persen N Persen N Persen

sekolah * keinginan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%

perhitungan

keinginan

Total

mau

tidak

mau

sekolah menengah ke bawah 39 0 39

menengah ke atas 28 12 40

Total 67 12 79

Tes Chi-Square

Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 13.796a 1 .000

Koreksi Kontinuitas 11.565 1 .001

Rasio Kemiripan 18.437 1 .000

Hubugnan Linear dengan Linear 13.621 1 .000

N dari Data Valid 79

a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum

hitungan yang diharapkan adalah 5.92

79

Lampiran 20. Dokumentasi kegiatan uji penerimaan di Sekolah Dasar

SDN Dramaga IV Bogor

Suasana panelis saat mendengar penjelasan Suasana panelis saat mencicip i

Suasana panelis saat mencicip i SDN Dramaga IV Bogor

SDN Polisi V Bogor

Suasana panelis saat mendengar penjelasan Suasana panelis saat akan mencicip i

Suasana panelis saat mencicip i SDN Polisi V Bogor

80

Lampiran 21. Analisis kadar air

Sampel Duplo Wsampel (gr) Wcawan (gr) Wakhir (gr) Kadar air (%) Rata-rata SD

Flakes 1 3.1268 3.0103 6.0549 2.7306

2.5885 0.2010 2 3.0584 3.1231 6.1051 2.4463

Lampiran 22. Analisis kadar abu

Sampel Duplo Wsampel (gr) Wcawan (gr) Wakhir (gr) Kadar abu (%) Rata-rata SD

Flakes 1 3.0002 18.7776 18.8517 2.4698

2.4709 0.0015 2 2.9127 19.9298 20.0018 2.4719

Lampiran 23. Analisis kadar lemak

Sampel Duplo Wsampel (gr) Wlabu (gr) Wakhir (gr) Kadar lemak (%) Rata-rata SD

Flakes 1 3.0665 107.0650 107.1822 3.8219

3.7913 0.0434 2 3.0128 115.9022 116.0155 3.7606

81

Lampiran 24. Analisis protein

Sampel Duplo Wsampel

(mg) Vblanko (ml)

Vt itrasi

(ml) N HCl % N % P Rata-rata SD

Flakes 1 115.7 0.1 18.8517 0.02484 1.1425 7.1407

7.2969 0.2230 2 59.8 0.1 20.0018 0.02484 1.1925 7.4532

Lampiran 25. Analisis serat kasar

Sampel Duplo Wsampel (gr) Wkertas (gr) Wakhir (gr) Kadar serat

kasar (%) Rata-rata SD

Flakes 1 0.5758 0.1984 0.2495 8.8746

9.0681 0.2737 2 0.5431 0.1976 0.2479 9.2616

Lampiran 26. Analisis karbohidrat

Sampel Duplo Kadar air (%)

Kadar abu (%)

Kadar lemak (%)

Kadar protein (%)

Kadar karbohidrat (%)

Rata-rata SD

Flakes 1 0.5758 0.1984 0.2495 8.8746 77.4383

77.3332 0.1486 2 0.5431 0.1976 0.2479 9.2616 77.2282

82

Lampiran 27. Perincian modal investasi sorghum flakes

No Jenis Biaya Jumlah

Fisik Satuan Harga/satuan Total Harga

Umur

Ekonomis (tahun)

Penyusutan per Tahun

Nilai Sisa

1 Perizinan

a. pendaftaran PIRT 1 kali Rp 100,000 Rp 100,000 5 Rp 20,000 Rp -

b. pendaftaran halal 1 kali Rp 500,000 Rp 500,000 5 Rp 100,000 Rp -

sub jumlah

Rp 600,000 Rp 120,000 Rp -

2 Mesin / Peralatan

a. mesin penepung/pengecil

ukuran 2 buah Rp 20,000,000 Rp 40,000,000 10 Rp 4,000,000 Rp 20,000,000

b. ayakan bergoyang 1 buah Rp 50,000,000 Rp 50,000,000 10 Rp 5,000,000 Rp 25,000,000

c. varimixer 1 buah Rp 20,000,000 Rp 20,000,000 10 Rp 2,000,000 Rp 10,000,000

d. ekstruder ulir ganda 1 buah Rp 500,000,000 Rp 500,000,000 10 Rp 50,000,000 Rp 250,000,000

e. timbangan 2 buah Rp 5,000,000 Rp 10,000,000 5 Rp 2,000,000 Rp -

f. mesin pengemas 1 buah Rp 40,000,000 Rp 40,000,000 10 Rp 4,000,000 Rp 20,000,000

g. wadah stainless (20 kg) 2 buah Rp 250,000 Rp 500,000 5 Rp 100,000 Rp -

sub jumlah

Rp 660,500,000 Rp 67,100,000 Rp 325,000,000

3 Instalasi Utilitas

a. komputer 1 unit Rp 4,000,000 Rp 4,000,000 5 Rp 800,000 Rp -

b. printer 1 buah Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 5 Rp 200,000 Rp -

c. telepon/fax/internet 1 buah Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 5 Rp 200,000 Rp -

d. alat-alat kantor 1 paket Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 3 Rp 666,667 Rp (1,333,333)

e. mobil pickup 1 buah Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 10 Rp 7,000,000 Rp 35,000,000

f. instalasi air 1 paket Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 10 Rp 200,000 Rp 1,000,000

g. instalasi listrik 1 paket Rp 5,000,000 Rp 5,000,000 10 Rp 500,000 Rp 2,500,000

sub jumlah Rp 85,000,000 Rp 9,566,667 Rp 37,166,667

Jumlah Biaya Investasi Rp 746,100,000

Rp 76,786,667 Rp 362,166,667

83

Keterangan :

Total Harga = Jumlah Fisik x Harga/satuan

Contoh (mesin penepung/pengecil) :

Total Harga = 2 (buah) x 20,000,000

Total harga = 40,000,000

Penyusutan per Tahun = Total Harga/Umur Ekonomis

Contoh (timbangan) :

Penyusutan per Tahun = 10,000,000/5

Penyusutan per Tahun = 2,000,000

Nilai Sisa = Total Harga/(Penyusutan per Tahun x Umur Proyek)

Contoh (timbangan) :

Nilai Sisa = 10,000,000/(2,000,000 x 5)

Nilai Sisa = 0.00

84

Lampiran 28. Perincian biaya operasional usaha menengah sorghum flakes

No Input Jumlah Satuan Harga

Per Satuan

Nilai

Per Bulan

Nilai

Per Tahun

1 Bahan Baku

Tepung Sorgum 60 mesh(*) 4500 kg

Biji Sorgum(**) 6900 kg Rp 3,250 Rp 22,425,000 Rp 269,100,000

Pati Tapioka 500 kg Rp 4,500 Rp 2,250,000 Rp 27,000,000

Tepung Gula 750 kg Rp 12,000 Rp 9,000,000 Rp 108,000,000

Coklat Bubuk 500 kg Rp 50,000 Rp 25,000,000 Rp 300,000,000

Minyak 200 L Rp 10,000 Rp 2,000,000 Rp 24,000,000

Garam 50 kg Rp 2,000 Rp 100,000 Rp 1,200,000

Emulsifier 50 kg Rp 150,000 Rp 7,500,000 Rp 90,000,000

Kemasan 111350 buah Rp 300 Rp 33,405,000 Rp 400,860,000

sub jumlah

Rp 101,680,000 Rp 1,220,160,000

2 Tenaga Kerja

pegawai pabrik 6 orang, bulan Rp 900,000 Rp 5,400,000 Rp 64,800,000

supervisor pabrik 1 orang, bulan Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 18,000,000

pegawai kantor 2 orang, bulan Rp 900,000 Rp 1,800,000 Rp 21,600,000

manajer 1 orang, bulan Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 24,000,000

sub jumlah

Rp 10,700,000 Rp 128,400,000

85

No Input Jumlah Satuan Harga

Per Satuan

Nilai

Per Bulan

Nilai

Per Tahun

3 Operasional Pabrik

sewa bangunan dan kantor 1 bulan Rp 8,000,000 Rp 8,000,000 Rp 96,000,000

biaya penyusutan mesin dan

peralatan 1

bulan Rp 5,591,667 Rp 5,591,667 Rp 67,100,000

biaya perawatan mesin dan

peralatan 1

bulan Rp 139,792 Rp 139,792 Rp 1,677,500

biaya perawatan bangunan 1 bulan Rp 50,000 Rp 50,000 Rp 600,000

biaya transportasi bahan 1 bulan Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 Rp 12,000,000

sanitasi dan kebersihan 1 bulan Rp 50,000 Rp 50,000 Rp 600,000

listrik 1 bulan Rp 200,000 Rp 200,000 Rp 2,400,000

air 1 bulan Rp 200,000 Rp 200,000 Rp 2,400,000

sub jumlah

Rp 15,231,458 Rp 182,777,500

4 Operasional Kantor

biaya pemasaran 1 bulan Rp 8,000,000 Rp 8,000,000 Rp 96,000,000

telepon/fax/internet 1 bulan Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 Rp 12,000,000

biaya penyusutan peralatan kantor

1 bulan

Rp 797,222 Rp 797,222 Rp 9,566,667

biaya perawatan peralatan 1 bulan Rp 19,931 Rp 19,931 Rp 239,167

biaya transportasi 1 bulan Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 Rp 12,000,000

subjumlah Rp 10,817,153 Rp 129,805,833

Jumlah Biaya Operasional Rp 138,428,611 Rp 1,661,143,333

*jumlah tepung sorgum + tapioka yang digunakan, yaitu 5000 kg, diperoleh dari asumsi nomor 9

**Jumlah biji sorgum yang dibutuhkan dihitung melalui rendemen proses penepungan dan pengayakan untuk menghasilkan 4500 kg sorgum, yaitu : 4500 x

(100/94,5) x (100/69,24) = 6877 ~ 6900 kg

86

Keterangan

Nilai Per Bulan = Jumlah x Harga Per Satuan

Contoh (pegawai pabrik) :

Nilai Per Bulan = 6 x 900,000

Nilai Per Bulan = 5,400,000

Nilai Per Tahun = Nilai Per Bulan x 12

Contoh (pegawai pabrik) :

Nilai Per Tahun = 5,400,000 x 12

Nilai Per Tahun = 64,800,000

{Nilai Per Tahun Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan (No. 3 poin 2)} = {Sub jumlah Penyusutan

Per Tahun Mesin/Peralatan (No.2 Lampiran 27)}

{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan} = {Nilai Per Tahun

Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan}/12

{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Mesin dan Peralatan (No.3 poin 3)} = {Harga

Per Satuan (Nilai Per Bulan) Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan} x 2.5% (Asumsi No. 8 hal. 51)

{Nilai Per Tahun Biaya Perawatan Mesin dan Peralatan} = {Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Mesin

dan Peralatan} x 12

{Nilai Per Tahun Biaya Penyusutan Peralatan Kantor (No. 4 poin 3)} = {Sub jumlah Penyusutan Per

Tahun Instalasi Utilitas (No. 3 Lampiran 27)}

{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Penyusutan Peralatan Kantor} = {Nilai Per Tahun Biaya

Penyusutan Peralatan Kantor}/12

{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Pera latan Kantor (No.4 poin 4)} = {Harga Per

Satuan (Nilai Per Bulan) Biaya Penyusutan Peralatan Kantor} x 2.5% (Asumsi no. 8 hal. 51)

{Nilai Per Tahun Biaya Perawatan Peralatan Kantor} = {Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Peralatan

Kantor} x 12

87

Lampiran 29. Kebutuhan dana usaha menengah sorghum flakes

No Rincian Biaya Proyek Total Biaya

1 dana investasi yang bersumber dari

a. Kredit Rp 522,270,000

b. Dana sendiri Rp 223,830,000

jumlah dana investasi Rp 746,100,000

2 dana operasional yang bersumber dari

a. Kredit Rp 1,162,800,333

b. Dana sendiri Rp 498,343,000

jumlah dana operasional Rp 1,661,143,333

3 total dana proyek yang bersumber dari

a. Kredit Rp 1,685,070,333

b. Dana sendiri Rp 722,173,000

jumlah dana proyek Rp 2,407,243,333

Keterangan :

{Jumlah dana investasi} = {Jumlah Biaya Investasi (Lampiran 27)}

Mengacu Asumsi No. 13 hal.51 :

{Dana investasi yang bersumber dari Kredit} = 70% x {Jumlah dana investasi}

{Dana investasi yang bersumber dari Dana Sendiri = 30% x {Jumlah dana investasi}

{Jumlah dana operasional} = {Jumlah Biaya Operasional (Lampiran 28)}

Mengacu Asumsi No. 13 hal.51 :

{Dana operasional yang bersumber dari Kredit} = 70% x {Jumlah dana operasional }

{Dana operasional yang bersumber dari Dana Sendiri = 30% x {Jumlah dana operasional }

{Jumlah dana proyek} = {Jumlah dana investasi} + {jumlah dana operasional}

Mengacu Asumsi No. 13 hal.51 :

{total dana proyek yang bersumber dari Kred it} = 70% x {jumlah dana proyek}

{total dana proyek yang bersumber dari Dana Sendiri} = 30% x {jumlah dana proyek}

88

Lampiran 30. Perhitungan pelunasan kredit

A. Angsuran Kredit Investasi

Jumlah kredit Rp 522,270,000.-

Jangka waktu kredit 4 tahun

Bunga per tahun 14% tahun

Jumlah angsuran 48 bulan

Sistem Perhitungan Bunga 1 Menurun

Tahun Angsuran Pokok Angsuran Bunga Total Angsuran Saldo Awal Saldo Akhir

1 130,567,500 64,739,719 195,307,219 522,270,000 391,702,500

2 130,567,500 40,460,269 177,027,769 391,702,500 261,135,500

3 130,567,500 28,280,819 158,748,319 261,135,500 130,567,500

4 130,567,500 9,901,369 140,468,869 130,567,500 0

Total 522,270,000 149,282,175 671,552,175

89

B. Angsuran Kredit Modal Kerja

Jumlah kredit Rp 1,162,800,333.-

Jangka waktu kredit 4 tahun

Bunga per tahun % 14% tahun

Jumlah angsuran 12 bulan

Sistem Perhitungan Bunga 1 Menurun

Tahun Angsuran Pokok Angsuran Bunga Total Angsuran Saldo Awal Saldo Akhir

1 290,700,083 144,138,791 434,838,875 1,162,800,333 872,100,250

2 290,700,083 103,440,780 394,140,863 872,100,250 581,400,167

3 290,700,083 62,742,768 353,442,851 581,400,167 290,700,083

4 290,700,083 22,044,756 312,744,840 290,700,083 0

Total 1,162,800,333 332,367,095 1,495,167,429

90

C. Angsuran Kredit Investasi dan Modal Kerja

Tahun Kredit

Angsuran

Pokok

Angsuran

Bunga

Total

Angsuran

Saldo

Awal

Saldo

Akhir

1,685,070,333

1,685,070,333 1,685,070,333

1

421,267,583 208,878,510 630,146,093 1,685,070,333 1,263,802,750

2

421,267,583 149,901,048 571,168,632 1,263,802,750 842,535,167

3

421,267,583 90,923,587 512,191,170 842,535,167 421,267,583

4

421,267,583 31,946,125 453,213,708 421,267,583 0

Keterangan :

Rumus penghitungan angsuran kredit

Angsuran pokok per bulan= jumlah kred it / (tahun kredit x 12 bulan)

Angsuran bunga per bulan = bunga pinjaman(14%)/12 x sisa kredit

Total angsuran = angsuran pokok + angsuran bunga

Contoh perhitungan kredit investasi dan modal kerja (Po in C)

Kredit investasi = Rp 1,685,070,333.-

Jumlah tahun angsuran = 4

Angsuran pokok tiap tahun = 1,685,070,333/4 = 421,267,583

Angsuran pokok per bulan = 421,267,583/12 = 35,105,631

Angsuran bunga per bulan (bulan 1) = (14%/12) x saldo awal bulan 1 = (0.14/12) x 1,685,070,333 = 19,659,154

Total angsuran perbulan = 35,105,631 + 19,659,154= 54,764,786

Cicilan bunga bulan 2= (14%/12) x saldo awal bulan 2 = (0.14/12) x (1,685,070,333 – 54,764,786) = 19,249,588

91

Lampiran 31. Asumsi penjualan

% Penjualan Tahun ke- Hasil Penjualan

70 1 935,340

80 2 1,068,960

80 3 1,068,960

80 4 1,068,960

80 5 1,068,960

Keterangan :

Harga produk : Rp 2,500.-

Kapasitas produksi basis bahan karbohidrat per bulan (Asumsi No. 9 hal 51)

= 40 kg x 5 jam x 25 hari = 5,000 kg bahan (karbohidrat)

Jumlah total bahan (Volume Produksi) per bulan dihitung dengan menjumlahkan bahan -bahan lain seperti tapioca, coklat bubuk, minyak,

garam, dan emulsifier, atau sekitar 6,550 kg

Kapasitas produksi per bulan (efisiensi 85%; Asumsi no. 10 hal 51)

= 0.85 x kapasitas produksi per bulan x 1000 (gr/kg) / 50 gr

= 0.85 x (+) 6,550 kg x 1000 (gr/kg) / 50 g r

= (+) 111,350 unit produk (50 gr)

Kapasitas produksi per tahun = jumlah produksi per bulan x 12 bulan

= 111,350 x 12

= 1,336,200 unit produk

92

Berdasarkan Asumsi No. 11 hal 51 :

Jumlah penjualan tahun 1 = volume penjualan tahun 1 (70%) x kapasitas produksi per tahun

= 0.7 x 1,336,200

= 935,340 unit produk terjual

Jumlah penjualan tahun 2 (dst) = volume penjualan tahun 2 (dst) (80%) x kapasitas produksi per tahun

= 0.8 x 1,336,200

= 1,068,960

93

Lampiran 32. Proyeksi laba-rugi

No Uraian

Tahun

1 2 3 4 5 Jumlah

1 Pendapatan Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2, 672,400,000 Rp 2, 672,400,000 Rp 2, 672,400,000 Rp 13,027,950,000

2 Pengeluaran

a. Biaya operasional Rp - Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 6,644,573,333

b. Penyusutan Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 383,933,333

c. Angsuran pokok Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp - Rp 1,685,070,333

d. Bunga bank Rp 208,878,510 Rp 149,901,048 Rp 90,923,587 Rp 31,946,125 Rp - Rp 481,649,270

Jumlah Rp 706,932,760 Rp 2,309,098,632 Rp 2,250,121,170 Rp 2,191,143,708 Rp 1,737,930,000 Rp 9,195,226,270

Laba sebelum pajak Rp 1,631,417,240 Rp 363,301,368 Rp 422,278,830 Rp 481,256,292 Rp 934,470,000 Rp 3,832,723,730

e. Pajak Rp 489,452,172 Rp 108,990,410 Rp 126,683,649 Rp 144,376,887 Rp 280,341,000 Rp 1,149,817,119

3 Laba/(Rugi) Rp 1,141,992,068 Rp 254,310,958 Rp 295,595,181 Rp 336,879,404 Rp 654,129,000 Rp 2,682,906,611

4 Profit margin % 48.84% 9.52% 11.06% 12.61% 24.48%

Keterangan :

Pendapatan (No. 1) = Hasil Pen jualan per tahun

Contoh (Pendapatan per tahun (tahun 1) = jumlah penjualan (tahun 1) x harga produk

= 935,340 x Rp 2,500.-

= Rp 2,338,350,000.-

Biaya Operasional (tahun 1) bern ilai nol karena dihitung sebagai Modal Awal Usaha pada tahun ke-0

Biaya Operasional (tahun 2, dst) merupakan Jumlah Biaya Operasional (Lampiran 28)

94

Penyusutan merupakan total nilai Penyusutan Pertahun (Lampiran 27)

Angsuran Pokok merupakan n iai Angsuran Pokok Kred it Investasi Per Tahun (Lampiran 30)

Bunga Bank merupakan nilai Angsuran Bunga Kredit Investasi Per Tahun (Lampiran 30)

{Laba Sebelum Pajak} = {Total Pendapatan} – {Total pengeluaran}

{Pajak} = {(Asumsi No. 18 hal 51)} x {Laba Sebelum Pajak}

{Laba (Rugi)} = {Laba Sebelum Pajak} – {Pajak}

{Profit Marg in (%)} = {Laba(Rugi)} / {Pendapatan} x 100

95

Lampiran 33. Perhitungan BEP (Break Even Point)

Waktu

Biaya Tetap Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5

Sewa Bangunan & Kantor Rp 120,000,000 Rp 120,000,000 Rp 120,000,000 Rp 120,000,000 Rp 120,000,000

Gaji Rp 134,400,000 Rp 134,400,000 Rp 134,400,000 Rp 134,400,000 Rp 134,400,000

Telepon/internet Rp 12,000,000 Rp 12,000,000 Rp 12,000,000 Rp 12,000,000 Rp 12,000,000

Biaya Penyusutan Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667

Biaya Transportasi Rp 24,000,000 Rp 24,000,000 Rp 24,000,000 Rp 24,000,000 Rp 24,000,000

sub jumlah Rp 367,186,667 Rp 367,186,667 Rp 367,186,667 Rp 367,186,667 Rp 367,186,667

Biaya Variabel

Bahan Baku Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000

Operasional Pabrik Rp 182,777,500 Rp 182,777,500 Rp 182,777,500 Rp 182,777,500 Rp 182,777,500

Biaya Pemasaran Rp 96,000,000 Rp 96,000,000 Rp 96,000,000 Rp 96,000,000 Rp 96,000,000

sub jumlah Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500

Jumlah Produk (unit) 935,340 1,068,960 1,068,960 1,068,960 1,068,960

Harga Jual Rp 2,500 Rp 2,500 Rp 2,500 Rp 2,500 Rp 2,500

Hasil Penjualan Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000

BEP (Rp/tahun) Rp 939,300,334.46 Rp 767,896,415.95 Rp 767,896,415.95 Rp 767,896,415.95 Rp 767,896,415.95

BEP (unit produk) 375,720 307,159 307,159 307,159 307,159

Keterangan

Perhitungan BEP (rup iah) = Jumlah Biaya Tetap / (1-(Biaya Variabel per unit/Harga per unit))

= 367,186,667/ (1-(1,498,937,500/935,340)/2,500)

= Rp 939,300,334.46

Perhitungan BP (unit) = BEP rupiah / harga produk per unit

= 939,300,334.46 / 2500 = 375,720 unit

96

Lampiran 34. Proyeksi arus kas

Uraian Tahun

0 1 2 3 4 5

Inflow

a. Pendapatan Rp - Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000

b. Nilai sisa Rp - Rp - Rp - Rp - Rp - Rp 362,166,667

Jumlah Rp - Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 3,034,566,667

Outflow

a. Biaya investasi Rp 746,100,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000

b. Biaya modal kerja Rp 1,661,143,333

c. Biaya operasional Rp - Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333

d. Angsuran pokok Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583

e. Biaya bunga bank Rp 208,878,510 Rp 149,901,048 Rp 90,923,587 Rp 31,946,125

f. Pajak Rp 489,452,172 Rp 108,990,410 Rp 126,683,649 Rp 144,376,887 Rp 280,341,000

Jumlah Rp 2,407,243,333 Rp 1,121,071,265 Rp 2,342,802,376 Rp 2,301,518,152 Rp 2,260,233,929 Rp 1,942,984,333

Net Cashflow Rp (2,407,243,333) Rp 1,217,278,735 Rp 329,597,624 Rp 370,881,848 Rp 412,166,071 Rp 1,091,582,333

Saldo Kas Awal Rp - Rp (2,407,243,333) Rp (1,189,964,599) Rp (860,366,974) Rp (489,485,127) Rp (77,319,056)

Saldo Kas Akhir Rp (2,407,243,333) Rp (1,189,964,599) Rp (860,366,974) Rp (489,485,127) Rp (77,319,056) Rp 1,014,263,277

Keterangan :

Nilai Pendapatan per tahun sesuai dengan nilai Pendapatan pada Proyeksi Laba/Rugi (Lampiran 32)

Nilai sisa merupakan total Nilai Sisa pada Perincian Modal Investasi (Lampiran 27)

Biaya Investasi dan Modal Kerja tahun ke-0 merupakan Modal Awal Usaha (hal52)

Biaya investasi tahun-1, dst merupakan biaya investasi rutin yang ditetapkan

Biaya Operasional, Angsuran Pokok, Biaya Bunga Bank, dan Pajak sesuai dengan perincian Proyeksi Laba/Rugi (Lampiran 32)

{Net Cashflow} = {Jumlah Inflow} – {Jumlah Outflow}

97

Contoh (tahun-1) :

Net Cashflow = 2,338,350,000 – 1,121,071,265

Net Cashflow = 1,217,278,735

Saldo Kas Awal merupakan nilai Saldo Kas Akhir pada tahun sebelumnya

{Saldo Kas Akhir} = {Saldo Kas Awal} + {Net Cashflow}

Contoh (tahun-1) :

Saldo Kas Akhir = (-2,407,143,333) + 1,217,278,735

Saldo Kas Akhir = 1,189,964,599

98

Lampiran 35. Analisis kelayakan usaha

Tahun Arus Kas

Bersih

Arus Kas

Kumulatif DF( 13% ) NPV

NPV

Kumulatif

0 (2,407,243,333) (2,407,243,333) 1 (2,407,243,333) (2,407,243,333)

1 1,217,278,735 (1,189,964,599) 0.8850 1,077,237,818 (1,330,005,515)

2 329,597,624 (860,366,974) 0.7831 258,123,286 (1,071,882,229)

3 370,881,848 (489,485,127) 0.6931 257,039,725 (814,842,504)

4 412,166,071 (77,319,056) 0.6133 252,789,170 (562,053,334)

5 1,091,582,333 1,014,263,277 0.5428 592,467,157 30,413,824

Kriteria Kelayakan:

IRR = 14%

NPV = Rp 30,413,824

Net B/C = 1.01

PBP = 4.07 tahun

Discounted PBP

4.95 tahun

BEP (Rp / tahun) = tahun 1 = Rp 939,300,334

tahun 2 dst = Rp 767,896,416

99

Keterangan :

1. Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) menggunakan fungsi IRR di dalam Microsoft Excel menggunakan data pada kolom Present Value (PV)

dari PV tahun ke-0 sampai tahun ke-5.

Rumus umum (menggunakan iterasi) :

IO = 𝐴𝐶𝐹𝑡

(1 + 𝐼𝑅𝑅)t

n

t =1

Keterangan :

ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t

n = usia proyek yang diharapkan

t = periode (tahun)

Io = investasi awal (Initial Investment)

Rumus (menggunakan program Microsoft Excel) : =IRR(G5:G10,13%)

Catatan : PV merupakan Present Value, yaitu nilai Arus Kas Bersih yang telah dikalikan dengan Discount Factor (DF). PV d isebut juga Arus Kas

Terdiskonto.

2. NPV kumulat if merupakan akumulasi dari nilai PV (Present Value) dari tahun ke-0 sampai tahun ke-5 dan nilainya didapat dari kolom NPV

Kumulatif tahun ke-5.

Rumus umum :

NPV = 𝐴𝐶𝐹𝑡

(1 + 𝑘)t

n

t=1

− 𝐼𝑜

PVt = ACFt

(1 − k)t

Keterangan :

ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t

n = usia proyek yang diharapkan (tahun)

k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%)

t = periode (tahun)

100

Io = investasi awal (Initial Investment)

NPV = PV 0 + PV 1 + PV 2 + PV 3 + PV 4 + PV 5 = Rp 30,413,824.-

3. Perhitungan Net B/C Ratio adalah membagi jumlah dari PV yang bernilai positif (dari tahun ke-1 sampai tahun ke-5) dengan nilai mutlak dari PV

yang bernilai negatif (tahun ke-0)

Rumus umum :

Net B/C = + NPV positif

− NPV negatif

Net B/C Rat io = Jumlah pemasukan (PV1+PV2+PV3+PV4+PV5) / Jumlah pengeluaran (PV0)

= 2,437,657,157/ 2,407,243,333

= 1.0126 (1.01)

4. Perhitungan Payback Period adalah menambahkan angka tahun dimana Arus Kas Kumulat if bersifat negatif terakhir kali, dengan rasio antara nilai

mutlak Arus Kas Kumulatif tahun tersebut dan Arus Kas Bersih tahun berikutnya. PBP dih itung menggunakan kolom Arus Kas Breish dan kolom

Arus Kas Kumulat if, sedangkan Discounted PBP menggunakan kolom PV dan NPV Kumulat if.

Contoh perhitungan PBP :

PBP = n + (a/b)

= 4 + (77,319,056/1,091,582,333) = 4.07 tahun (4 tahun 25 hari)

Keterangan :

n = Tahun terakhir di mana keadaan Arus Kas Kumulat if bernilai negatif

a = Jumlah Arus Kas Kumulat if negatif di tahun ke-n

b = Jumlah Arus Kas Bersih d i tahun ke-n+1