PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGUM (Sorghum bicolor L.) DENGAN
METODE EKSTRUSI
SKRIPSI
DION SUGIANTO
F 24063252
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
2011
Development of Ready-to-Eat Cereal Product with Sorgum-based (Sorghum bicolor L.) Extrusion Method
Dion Sugianto
1, Budiatman Satiawihardja
1, Subarna
1,2
1 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agriculture University, IPB Darmaga Campus, PO. Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. 2
Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center,
Bogor Agriculture University, IPB Darmaga Campus, PO. Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.
ABSTRACT
Nutritious, easy and fast to serve breakfast cereal is becoming a solution for urban people
which has less time in the morning due to early business. Endogenous cereal, such as sorgum, would
become an alternative to flour to produce breakfast cereal, with its superiority as dry climate resistant
plant and having sustainable production, so as to support national food security. With high flexibility,
control, and production, twin-screw extrusion method was used to produce the breakfast cereal. The
preliminary research determines materials that would be suitable to create acceptable texture, color,
and taste of the extrudate. The main research showed the suitable amount of tapioca and emulsifier
might be used to produce well-textured and preferable product. Product with 100% sorgum, 15%
flour sugar, 10% cocoa powder, 4% vegetable oil, and 1% salt was the best to produce acceptable
texture, color, and taste of the extrudate. Replacement of 10% sorgum with tapioca and the addition
of 1% emulsifier resulted in preferable product in hedonic rating and best characteristic in physical
analysis. Acceptance test to target consumer with different social-economy level was done, resulting
in good response of the panelist toward the product. Feasibility study was also done to provide a
reference if small-scale industry of the product might be feasible. With the period of 5 years project
for the production level of 5.5 tones/month, the NPV value is Rp 30.413.824-, the IRR value is 14%
(at discount rate of 13%), the net Benefit Cost Ratio is 1.01, and Payback Period at 4 years 25 days,
so as to conclude that the project is feasible.
Keywords: sorgum, breakfast cereal, extrusion
DION SUGIANTO. F24063252. Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis
Sorgum (Sorghum bicolor L.) Dengan Metode Ekstrusi. Di bawah bimbingan Budiatman
Satiawihardja dan Subarna. 2011
RINGKASAN
Seiring dengan perkembangan jaman, tingkat kesibukan masyarakat semakin meningkat,
terutama di daerah perkotaan dan sekitarnya. Kesibukan yang diawali d i pagi hari menyebabkan
waktu yang tersedia di pagi hari sangat terbatas. Hal ini menyebabkan terlewatnya sarapan. Karena
kesibukan orang tua, anak-anak juga turut melewatkan sarapannya. Padahal, sarapan sangat penting
untuk aktivitas sepanjang hari. Pada umumnya, sereal sarapan dibuat dari tepung terigu, sedangkan
iklim d i Indonesia tidak cocok untuk menanam gandum. Sorgum merupakan alternatif bahan pangan
pengganti gandum yang dapat digunakan untuk memproduksi sereal sarapan dengan karakteristik
yang mudah ditaman, tahan hama, tahan kekeringan, resistansi tinggi terhadap keasaman, dan tingkat
produksi yang tinggi. Proses ekstrusi merupakan metode yang umum d igunakan untuk memproduksi
sereal sarapan dan makanan ringan. Dengan tingkat fleksibilitas, produksi, dan kontrol yang tinggi,
ekstruder ulir ganda digunakan dalam penelit ian in i.
Tujuan penelitian in i adalah mempero leh komposisi bahan-bahan yang tepat untuk
menghasilkan sereal sarapan siap santap berbasis sorgum yang dapat diterima oleh konsumen.
Penelit ian dilakukan di laboratorium SEAFAST, Techopark, dan laboratorium Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan pada bulan Mei 2010 hingga Februari 2011.
Penelit ian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitan utama.
Penelit ian pendahuluan dilakukan untuk menentukan ukuran partikel sorgum dan komposisi bahan-
bahan selain sorgum, antara lain tepung gula, bubuk coklat, minyak, dan garam, yang dapat
menghasilkan produk yang memiliki tekstur, rasa, dan warna yang baik dan dapat diterima. Penentuan
formula terbaik pada penelitian pendahuluan dilakukan secara subjektif. Penelit ian utama dilakukan
untuk menentukan komposisi tapioka dan emuls ifier terbaik yang menghasilkan produk dengan
karakteristik produk terbaik. Komposisi tapioka yang dicoba adalah 10% dan 20%, sedangkan
komposisi emulsifier yang dicoba adalah 0%, 1%, dan 2%. Penentuan produk terbaik diperoleh
melalui hasil uji rat ing hedonik dan analisis fisik. Analisis kimia kemudian dilakukan untuk
mengetahui kandungan gizi produk. Analisis finansial juga dilakukan untuk mengetahui apakah
industri skala kecil produk sereal sarapan sorgum layak d ilakukan.
Penelit ian pendahuluan dilakukan dua kali uji coba. Informasi yang diperoleh dari uji coba
pertama menunjukkan bahwa ukuran partikel sorgum 60 mesh menghasilkan ekstrudat dengan tingkat
pengembangan dan kerenyahan yang lebih baik dibandingkan sorgum 40 mesh. Komposisi bahan -
bahan selain sorgum dari hasil uji coba kedua antara lain 15% tepung gula, 10% bubuk coklat, 4%
minyak, dan 1% garam, dinilai dapat menghasilkan ekstrudat dengan karakteristik terbaik dan dapat
diterima. Komposisi dan ukuran partikel dari hasil penelitian pendahuluan digunakan dalam penelit ian
utama.
Dari hasil penelitian utama, 10% tapioka 1% emulsifier merupakan komposisi yang
menghasilkan produk dengan skor kesukaan tertinggi dan memiliki karakteristik derajat
pengembangan dan kerenyahan terbaik. Hasil uji rating hedonik dengan 5 skala penilaian
menunjukkan bahwa sampel dengan 10% tapioka 1% emulsifier memiliki skor kesukaan terhadap
tekstur (3.94), rasa (3.33), serta secara keseluruhan (3.56) yang paling baik. Hasil analisis fisik juga
menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki derajat pengembangan (panjang = 118.09%; lebar =
130.93%), dan tingkat kekerasan (1100 gf) yang paling baik. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa
sampel tersebut memiliki kandungan air 2.66% (bk), abu 2.54% (bk), lemak 3.89% (bk), protein
7.50% (bk), karbohidrat 79.42% (bk), serta serat kasar 9.32% (bk). Hasil analisis finansial
menunjukkan bahwa industri kecil produk sereal sarapan sorgum layak untuk dilakukan dengan
parameter-parameter sebagai berikut: Net Present Value (NPV) Rp. 30,413,824.-; Internal Rate of
Return (IRR) 14% (pada tingkat suku bunga diskonto 13%); Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 1.01;
dan Payback Period (PP) 4 tahun 25 hari.
PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SIAP SANTAP BERBASIS
SORGUM (Sorghum bicolor L.) DENGAN METODE EKSTRUSI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
DION SUGIANTO
F 24063252
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis
Sorgum (Sorghum bicolor L.) Dengan Metode Ekstrusi
Nama : Dion Sugianto
Nim : F24063252
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc.) (Ir. Subarna, M.Si.)
NIP 19530815 197903.1.002 NIP 19600629 199803.1.001
Mengetahui :
Plt. Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.)
NIP 19610802 198703.2.002
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul
Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorgum (Sorghum
bicolor L.) Dengan Metode Ekstrusi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan
Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 24 Agustus 2011
Yang membuat pernyataan
Dion Sugianto
F 24063252
BIODATA PENULIS
Penulis bernama lengkap Dion Sugianto, yang dilahirkan pada tanggal
2 Juni 1988 di Cilacap. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Purwokerto pada tahun 2006.
Selama menjalan i penedidikan di tingkat SMA, penulis mengikuti kompetisi
Olimpiade Astronomi hingga ke tingkat propinsi. Penulis juga aktif pada
kegiatan organisasi sekolah dan luar sekolah. Setelah menyelesaikan
pendidikan SMA, penulis memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB). Setelah melewati tahun pertama di Tingkat Persiapan Bersama
(TPB), penulis memutuskan untuk melanjutkan ke Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjalan i
pendidikan, penulis juga turut aktif berpartisipasi pada berbagai keg iatan akademis maupun non -
akademis, serta mengikuti berbagai pelatihan. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang
berjudul, “Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum (Sorghum bicolor
L.) dengan Metode Ekstrusi.”
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas hikmat, kasih, tuntunan,
dan kekuatan yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi dengan judul, “Pengembangan Produk
Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum (Sorghum bicolor L.) dengan Metode Ekstrusi” dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulisan skripsi ini d itulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan
Mei 2010 h ingga Februari 2011, yang dilaksanakan di Laboratorium Pilot Plant SEAFAST Center,
Laboratorium Technopark Fakultas Teknolog i Pertanian, serta Laboratorium Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan.
Pada kesempatan kali ini dengan penuh hormat d isampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. sebagai Pembimbing yang telah banyak memberikan
dukungan, koreksi, dan bimbingan kepada penulis.
2. Ir. Subarna, M.Si. sebagai Pembimbing yang telah banayak memberikan arahan dan saran serta
bimbingan kepada penulis.
3. Ir. Sutrisno Koswara, M.Si. sebagai Pembimbing Proyek yang telah banyak memberikan
dukungan dan masukan kepada penulis untuk menyempurnakan penelitian in i sekaligus sebagai
dosen penguji yang telah memberi pengarahan dan masukan kepada penulis.
4. Papah, Mamah, Oh Dial, Dicky, Denny atas dukungan dan semagat, serta do a yang selalu
menyertai penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
5. Hana Anita Anasstasia atas dukungan, semangat, teguran, dan kasih sayang serta kesabaran yang
telah diberikan kepada penulis sehingga penulis selalu berusaha untuk memperbaiki d iri.
6. Bapak Jun, Bapak Deni, Bapak Iyas, Bapak Hendra, Ibu Rubiyah, sebagai teknisi laboratorium
yang telah memberikan arahan, bantuan, dan dukungan serta semangat kekeluargaan kepada
penulis.
7. Seluruh dosen departemen ITP yang banyak memberikan ilmu dan nasehat berha rga kepada
penulis selama kuliah dan staf departemen yang banyak membantu penulis.
8. Wonojatun, Sandra, Nadia, Zega, Riza, Arius, Steph GH, Jessica, Helen, Karleen, Selma,
Kandhie, Yess, Syenni, Rich ie, Daisy, Nina, Felicia, Federika, Dhimas, Anto, Abdi, serta semua
teman-teman ITP 43 yang selalu memberikan perhatian, semangat, dorongan, masukan,
informasi, keceriaan, dan kebersamaan yang begitu berharga bagi penulis.
9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik
secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Akhirnya semoga skripsi ini akan menjadi inspirasi bagi saya pribadi dan semua yang
sempat membaca, guna menyempurnakan pengetahuan di bidang Teknologi Pangan.
Bogor, 9 Agustus 2011
Dion Sugianto
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................. iii
DAFTAR TABEL..................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ ix
I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN .....................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
A. SORGHUM....................................................................................... 3
B. EKSTRUSI........................................................................................ 7
1. Proses Ekstrusi ............................................................................7
2. Alat Ekstruder..............................................................................8
3. Variabel Operasi Ekstrusi ........................................................... 10
C. SARAPAN SEREAL......................................................................... 14
D. ANALISIS FINANSIAL................................................................... 15
1. NPV(Net Present Value)............................................................. 15
2. IRR (Internal Rate of Return)......................................................16
3. Net B/C (Net Benefit-Cost Ratio)................................................ 16
4. PP (Payback Period)................................................................... 16
5. BEP (Break Even Point).............................................................. 17
III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 18
A. ALAT DAN BAHAN........................................................................ 18
B. METODE PENELITIAN.................................................................. 19
1. Penelitian Pendahuluan............................................................... 21
2. Penelitian Utama......................................................................... 22
C. METODE ANALISIS....................................................................... 22
1. Uji Rating Hedonik..................................................................... 22
2. Analisis Fisik............................................................................... 23
3. Analisis Kimia............................................................................. 24
v
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 28
A. PENELITIAN PENDAHULUAN......................................................28
B. PENELITIAN UTAMA..................................................................... 35
1. Uji Rating Hedonik.......................................................................35
2. Analisis Fisik................................................................................ 39
3. Uji Penerimaan............................................................................. 45
4. Analisis Kimia.............................................................................. 48
5. Analisis Finansial......................................................................... 51
V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 54
A. KESIMPULAN.................................................................................. 54
B. SARAN.............................................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 55
LAMPIRAN.............................................................................................. 57
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai serealia (per 100
gr bagian yang dapat dimakan; 12% ka)....................................... 4
Tabel 2. Perkiraan kandungan amilosa dan amilopektin serealia................ 5
Tabel 3. Negara produsen utama sorgum dunia...........................................6
Tabel 4. Formula uji coba pertama.............................................................. 21
Tabel 5. Formula uji coba kedua................................................................. 22
Tabel 6. Variasi tapioka dan emulsifier....................................................... 22
Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama....................... 28
Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua.......................... 32
Tabel 9. Komposisi optimum bahan-bahan selain untuk digunakan
dalam penelitian utama................................................................. 34
Tabel 10. Hasil uji rating hedonik..................................................................35
Tabel 11. Data derajat pengembangan...........................................................39
Tabel 12. Data waktu rehidrasi...................................................................... 40
Tabel 13. Data indeks kelarutan air............................................................... 42
Tabel 14. Data analisis kekerasan.................................................................. 43
Tabel 15. Data analisis nilai patah (breakage)...............................................44
Tabel 16. Komposisi kimia produk................................................................48
Tabel 17. Kandungan gizi produk sampel dan referen dalam satu
takaran saji (50 g).......................................................................... 50
Tabel 18. Persentase pemenuhan energi berdasarkan kebutuhan
energi 2000 kkal.............................................................................50
Tabel 19. Harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk...... 51
Tabel 20. Kriteria kelayakan usaha sorgum flakes........................................ 52
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman Sorgum.........................................................................3
Gambar 2. Penampang Melintang Biji Sorgum............................................ 4
Gambar 3. Penampang Ekstruder Ulir Tunggal Sederhana.......................... 8
Gambar 4. Jenis-Jenis Ekstruder Ulir Ganda Berdasarkan
Konfigurasi Ulir...........................................................................9
Gambar 5. Amilosa dan Amilopektin............................................................11
Gambar 6. Pin Disc Mill; Ayakan Bergoyang; Rheoner............................... 18
Gambar 7. Ekstruder Ulir Ganda...................................................................18
Gambar 8. Tahapan Pelaksanaan Penelitian..................................................20
Gambar 9. Tahapan Pembuatan Produk........................................................ 21
Gambar 10. Ekstrudat Formula 1 (Tepung Sorghum 40 Mesh) dan 4 (Tepung
Sorghum 60 Mesh)...................................................................... 30
Gambar 11. Ekstrudat Semua Formula Pada Uji Coba Pertama..................... 31
Gambar 12. Ekstrudat dengan penambahan gula 10%, 15%, dan 20%.......... 33
Gambar 13. Ekstrudat Dengan Penambahan Coklat 5%, 10%, dam 15%...... 34
Gambar 14. Ekstrudat Dengan Penambahan Minyak 5%, 7,5%, dan 10%.....34
Gambar 15. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor
Kesukaan Tekstur........................................................................ 35
Gambar 16. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor
Kesukaan Rasa.............................................................................37
Gambar 17. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor
Kesukaan Secara Keseluruhan.................................................... 38
Gambar 18. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap
Derajat Pengembangan Dimensi Panjang................................... 40
Gambar 19. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap
Waktu Rehidrasi Awal................................................................ 41
Gambar 20. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap
Waktu Rehidrasi Akhir................................................................ 42
Gambar 21. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap
viii
Indeks Kelarutan Air................................................................... 43
Gambar 22. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap
Nilai Kekerasan........................................................................... 44
Gambar 23. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap
Nilai Patah................................................................................... 45
Gambar 24. Pengetahuan dan tingkat konsumsi sereal sarapan dari
dua sekolah.................................................................................. 46
Gambar 25. Penerimaan terhadap atribut produk............................................47
Gambar 26. Keinganan konsumsi produk....................................................... 47
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Formula yang diujikan pada penelitian pendahuluan................60
Lampiran 2. Kuesioner uji rating hedonik.....................................................61
Lampiran 3. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut
tekstur........................................................................................62
Lampiran 4. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut
warna......................................................................................... 63
Lampiran 5. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut
rasa............................................................................................ 64
Lampiran 6. Analisis keragaman uji rating hedonik terhadap atribut secara
keseluruhan............................................................................... 64
Lampiran 7. Analisis keragaman derajat pengembangan produk
dimensi panjang........................................................................ 65
Lampiran 8. Analisis keragaman derajat pengembangan produk
dimensi lebar............................................................................. 66
Lampiran 9. Analisis keragaman waktu awal rehidrasi.................................67
Lampiran10. Analisis keragaman waktu akhir rehidrasi................................ 67
Lampiran 11. Analisis keragaman indeks kelarutan air (WSI)....................... 68
Lampiran 12. Grafik analisis kekerasan dengan alat Rheoner........................ 68
Lampiran 13. Analisis keragaman dengan alat Rheoner................................. 70
Lampiran 14. Analisis keragaman dengan alat Rheoner................................. 71
Lampiran 15. Kuesioner uji penerimaan......................................................... 72
Lampiran 16. Pengolahan data uji penerimaan terhadap pengetahuan
tentang sereal susu.....................................................................73
Lampiran 17. Pengolahan data uji penerimaan terhadap tingkat konsumsi
sereal susu................................................................................. 74
Lampiran 18. Pengolahan data uji penerimaan terhadap atribut sensori
sereal susu................................................................................. 75
Lampiran 19. Pengolahan data uji penerimaan terhadap keinginan
konsumsi produk....................................................................... 78
x
Lampiran 20. Dokumentasi kegiatan uji penerimaan di Sekolah Dasar..........79
Lampiran 21. Pengolahan data analisis kadar air............................................ 80
Lampiran 22. Pengolahan data analisis kadar abu...........................................80
Lampiran 23. Pengolahan data analisis kadar lemak.......................................80
Lampiran 24. Pengolahan data analisis protein............................................... 81
Lampiran 25. Pengolahan data analisis serat kasar......................................... 81
Lampiran 26. Pengolahan data analisis karbohidrat........................................ 81
Lampiran 27. Perincian modal investasi sorghum flakes................................ 82
Lampiran 28. Perincian biaya operasional usaha menengah
sorghum flakes.......................................................................... 84
Lampiran 29. Kebutuhan dana usaha menengah sorghum flakes....................86
Lampiran 30. Perhitungan pelunasan kredit.................................................... 87
Lampiran 31. Asumsi penjualan...................................................................... 90
Lampiran 32. Proyeksi laba-rugi..................................................................... 91
Lampiran 33. Perhitungan BEP (Break Even Point)....................................... 92
Lampiran 34. Proyeksi arus kas.......................................................................93
Lampiran 35. Analisis kelayakan usaha.......................................................... 94
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kondisi ekonomi bangsa Indonesia terus berubah seiring perkembangan zaman. Sistem
agraris perlahan-lahan digantikan dengan sistem industri dan perkantoran. Waktu menjadi
semakin berharga secara ekonomis, sehingga pengusaha, industri, dan perkantoran memperketat
jam kerja para karyawannya demi meningkatkan pendapatannya. Demi meningkatkan kondisi
ekonomi, masyarakat di daerah sekitar perkotaan pun rela menjadi pekerja dan karyawan di
perusahaan yang berada jauh dari rumah mereka. Hal tersebut menyebabkan kesibukan
masyarakat semakin bertambah, berbeda dengan kondisi masyarakat agraris di daerah pedesaan
yang belum terkena dampak industrialisasi.
Perubahan-perubahan ini akhirnya berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat di
perkotaan dan daerah sekitarnya. Enam h ingga sembilan jam kerja yang diwajibkan perusahaan
atau kantor dimana mereka bekerja, diawali di pagi hari, mulai dari jam tujuh hingga jam
sembilan pagi. Bagi pekerja atau karyawan yang tinggal di pinggiran kota atau bahkan luar kota,
berangkat pukul setengah enam pagi merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar t idak
terlambat sampai d i tempat kerja. Dengan rutin itas pagi hari seperti in i, pekerja dan karyawan
memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain, terutama
menyiapkan makan pagi atau sarapan.
Perubahan gaya hidup ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa, namun anak-anak usia
sekolah juga terkena dampaknya. Banyak alasan yang dilontarkan anak-anak untuk melewatkan
sarapan, contohnya adalah terlambat bangun pagi, tidak ada selera makan di pagi hari, orang tua
tidak menyiapkan sarapan, tidak biasa sarapan pagi, dan lain-lain. Hal in i menjadi masalah yang
apabila tidak d itanggapi secara tepat, akan berakibat buruk pada kesehatan masyarakat daerah
perkotaan dan sekitarnya.
Sarapan pagi merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Energ i untuk melakukan
aktivitas selama sehari d iperoleh dari sarapan pagi. Untuk memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari,
para ahli merekomendasikan bahwa sarapan pagi sebaiknya memenuhi 20-25% kebutuhan
nutrisi harian (Mathews 1996; Vergara 2005). Menurut Mathews (1996), sarapan sebaiknya
dapat memenuhi 400-500 kkal kebutuhan energi, jika dibandingkan dengan kebutuhan energi
2000 kkal seseorang. Selain itu, sarapan sebaiknya mengandung karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, dan mineral. Melewatkan sarapan pagi dapat mengakibatkan hal-hal negatif, baik
jangka pendek maupun jangka panjang (Sizer dan Whitney 2000). Bagi anak-anak usia sekolah,
melewatkan sarapan pagi dapat menurunkan prestas i mereka di sekolah (Rahayuning 2004).
Untuk mengatasi masalah ini, sarapan yang praktis, disukai, dan mampu memenuhi
kebutuhan energi di pagi hari adalah solusi yang diperlukan. Salah satu jenis sarapan yang
digemari di negara maju adalah sereal sarapan siap santap atau dikenal ready-to-eat cereals.
Serel sarapan ini berbetuk flakes dengan ukuran dan bentuk yang sangat bervariasi, serta mudah
disajikan, yaitu hanya dengan penambahan susu. Rasanya juga bervariasi, mulai dari rasa coklat,
buah-buahan, vanilla, madu, hingga rasa alami, seperti flakes jagung (corn flakes). Kombinasi
penyajian yang mudah, rasa yang enak dan bervariasi, serta pemenuhan energi yang tepat di pagi
hari menjadikan sereal sarapan siap santap salah satu solusi yang baik untuk pemenuhan sarapan
masyarakat di daerah perkotaan dan sekitarnya.
2
Produksi sereal sarapan siap santap terus mengalami perkembangan. Saat ini, teknologi
ekstrusi merupakan metode yang paling populer digunakan. Metode ini dikenal fleksibel,
efisien, stabil, dengan volume produksi yang tinggi. Penambahan unit operasi lain juga dapat
diintegrasikan dengan mudah untuk tujuan yang spesifik, seperti pengeringan, pelapisan
(coating) flavor, atau pemanggangan (Owen 2001).
Bahan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan seral sarapan adalah
gandum. Namun, gandum merupakan tanaman seralia yang tidak cocok ditanam di Indonesia
yang beriklim tropis. Untuk pemenuhan kebutuhan gandum, Indonesia masih mengimpor dari
luar negeri. Akan lebih baik apabila dikembangkan seral sarapan yang bahan baku
pembuatannya memanfaatkan komodit i lokal. Selain meningkatkan ketahanan pangan,
penggunaan komoditi lokal juga dapat menurunkan biaya produksi yang berdampak pada
menurunnya harga produk. Komoditi lokal yang saat ini sedang diteliti dan dikembangkan
sebagai alternatif bahan pangan antara lain jagung, ubi jalar, ubi kayu, garut, kimpul, sorgum,
kentang, dan sagu.
Di dunia, sorgum adalah tanaman serealia kelima terpenting setelah beras, gandum,
jagung, dan barley. Sorgum menjadi makanan utama lebih dari 750 juta orang yang tinggal di
daerah tropis setengah kering di Afrika, Asia, dan Amerika Lat in (FSD 2003). Sorgum
merupakan sumber pangan potensial bagi bangsa Indonesia karena memiliki berbagai
keunggulan. Sorgum termasuk low-input crop yang dapat di budidayakan pada lahan kering dan
dapat beradaptasi luas di lahan marginal. Biji sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pangan,
pakan, maupun bahan baku industri, sedangkan daunya digunakan untuk pakan ternak. Sorgum
dan produk-produk yang dihasilkannya memiliki harga yang lebih murah d ibandingkan
makanan-makanan pokok yang lain seperti beras dan gandum (Arv i 2006).
Dengan penjelasan seperti di atas, pengembangan produk sereal sarapan siap santap
berbasis sorgum dengan memanfaatkan teknologi ekstrusi diharapkan menjad i suatu
pertimbangan dalam mencari solusi terlewatkannya sarapan pagi oleh masyarakat di daerah
perkotaan dan sekitarnya.
B. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian in i bertujuan untuk menghasilkan sereal sarapan siap santap
(ready-to-eat cereal) berbasis sorgum dengan menggunakan ekstruder ulir ganda yang dapat
diterima oleh konsumen. Secara lebih spesifik, penelitian in i bertujuan untuk menemukan
komposisi bahan-bahan terbaik termasuk komposisi tapioka dan emulsifier terbaik untuk
menghasilkan flakes sorgum terbaik dari segi karakteristik sensori produk, sertadapat diproduksi
dengan nilai ekonomi yang positif sehingga dapat diserap dan diterapkan pada industri pangan di
Indonesia.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sorgum Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae
bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan lain-lain. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
sorgum dikenal dengan nama ‗jagung cantel‘, sedangkan di Jawa Barat dikenal dengan nama
‗jagung cantrik‘ dan ‗batara tojeng‘ di Sulawesi Selatan (Suprapto dan Mudjisihene 1987).
Tanaman sorgum banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang.
Sorgum d ibudidayakan pada ketinggian 0-700 m d i atas permukaan laut. Tanaman ini dapat
tumbuh pada suhu lingkungan 23o-34
oC tetapi suhu optimum berkisar antara 23
o-30
oC dengan
kelembaban relatif 20-40%. Sorgum t idak terlalu peka terhadap keasaman (pH) tanah, tetapi pH
tanah yang baik untuk pertumbuhannya adalah 5.5-7.5 (Ris munandar 1989). Tanaman sorgum
tahan terhadap kekeringan. Sebagai perbandingan, 1 kg bahan kering sorgum hanya memerlukan
sekitar 332 kg a ir selama pembudidayaan, sedangkan pada jumlah bahan kering yang sama, jagung
membutuhkan 368 kg, barley 434 kg, dan gandum 514 kg air (Suprapto dan Mudjisihene 1987).
Gambar tanaman sorgum dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Sorgum (Barr 2007)
Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor L.termasuk ke dalam :
Genus : Sorghum
Ordo : Cyperales
Kelas : Liliopsida/Monokotiledon
Divisi : Magnoliophyta
Superdivisi : Spermatophyta
Subkingdom : Tracheobionta
Kingdom : Plantae.
Secara umum, b iji sorgum dapat dikenali dengan bentuknya yang bulat lonjong atau bulat
telur, dan terdiri dari tiga lap isan utama, yaitu kulit luar (8%), lembaga (10%), dan endosperma
(82%). Ukuran bijinya kira-kira adalah 4.0 x 2.5 x 3.5 mm, dan berat bijinya berkisar antara 8 mg
sampai 50 mg dengan rata-rata 28 mg. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, biji sorgum dapat
digolongkan sebagai biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg).
Kulit bijinya ada yang berwarna putih, merah, atau coklat (Suprapto dan Mudjisihene 1987) .
4
Biji sorgum termasuk jenis kariopsis (caryopsis) dimana seluruh perikarp bergabung dengan
endosperma. Perikarp terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Tepat di
bawah endokarp, terdapat lapisan testa yang mengelilingi endosperma.
Gambar 2. Penampang Melintang Biji Sorgum (FSD 2003)
Sorgum memiliki komposisi kimia yang mirip dengan jagung (Zea mays). Hal ini berarti
bahwa sorgum memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan menjadi bahan baku berbagai
produk pangan. Perbandingan gizi berbagai serealia ditampilkan pada Tabel 1. Dari tabel
tersebut, dapat dilihat bahwa protein sorgum lebih t inggi dibandingkan dengan jagung dan beras,
dengan kandungan lemak yang lebih rendah daripada jagung. Serat pada sorgum juga lebih tinggi
daripada beras.
Tabel 1. Perbandingan kadungan nutrisi berbagai serealia (per 100 gr bagian yang dapat dimakan;
12% ka)
Bahan
Pangan
Kalori
(kal)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Karbohidrat
(g) Air (g)
Serat
(g)
Sorgum 366 11.0 3.30 73.0 11.2 2.3
Beras 360 7.0 0.70 79.0 9.8 1.0
Jagung 361 9.0 4.50 72.0 13.5 2.7
Kentang 62 2.1 0.20 13.5 83.4 0.5
Ubi kayu 154 1.0 0.30 36.8 61.4 0.9
Ubi jalar 119 0.5 0.40 25.1 72.6 4.2
Terigu 333 9.0 1.00 77.2 11.8 0.3
Sumber : Beti et al. (1990); PAGI (2009)
Sebagian besar karbohidrat yang terdapat di dalam sorgum adalah pati. Endosperma dari tipe
sorgum biasa mengandung 23 - 30% amilosa, sedangkan varietas waxy mengandung amilosa
kurang dari 5%. Tepung sorgum mempunyai suhu gelatinisasi 68o - 78
oC, sedangkan tepung
jagung tergelatinisasi pada suhu 62o - 68
oC. Hal ini menyatakan bahwa tepung sorgum
merupakan bahan baku yang serbaguna karena tidak mudah menggumpal (tergelat inisasi) pada
5
saat mengalami pemanasan (Suprapto dan Mudjisihene 1987). Perbandingan komposisi amilosa
dan amilopekt in serta derajat gelatin isasi dari berbagai jenis serealia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkiraan kandungan amilosa dan amilopektin serealia
Tipe Pati Amilosa (% ) Amilopektin (% ) Rentang Derajat
Gelatinisasi (oC)
Jagung 25 75 62-72
Jagung waxy <1 >99 63-72
Jagung tinggi amilosa 55-70 (atau lebih) 45-30 (atau kurang) 70-95+
Kentang 20 80 50-60
Beras 19 81 68-78
Beras ketan <1 >99 68-77
Tapioka 17 83 52-61
Gandum 25 75 58-63
Sorgum 25 75 65-74
Sorgum waxy <1 >99 64-73
Sorgum heterowaxy <20 >80 64-73
Sumber : Lusas & Lloyd (2001)
Protein pada sorgum dapat dikategorikan menjadi empat jen is berdasarkan sifat kelarutannya,
yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin/gliadin (larut alkohol), dan glutelin
(larut asam atau basa). Meskipun tepung sorgum memiliki glutelin dan gliadin, akan tetapi protein
tepung sorgum kurang memiliki kemampuan untuk membentuk g luten jika dibandingkan dengan
terigu (Suarni 2004). Menurut Suarni (2004), kandungan gliadin dan glutenin terigu seimbang,
sehingga dapat membentuk gluten yang memiliki sifat elasitisitas tinggi ketika ditambahkan air.
Oleh karena tepung sorgum tidak memiliki gluten yang sama seperti gluten terigu, maka tepung
sorgum dapat digunakan untuk pembuatan produk makanan yang bebas gluten atau gluten free
(FSD 2003; NSP 2005; Rooney 2003). Rooney (1973) menyatakan bahwa komposisi kimia
protein pada sorgum mirip dengan jagung, yaitu lisin sebagai komponen terbanyak, treonin,
triptofan, dan metionin sebagai komponen paling kecil.
Semua varietas sorgum mengandung komponen fenolik, termasuk asam fenolat dan
flavonoid. Beberapa varietas mengandung tanin dibagian testa, tetapi seringkali sorgum budidaya
tidak mengandung tanin. Komponen ini dapat mempengaruhi warna, flavor, dan kualitas nutrisi
produk. Meskipun demikian, tanin melindungi biji sorgum dari serangan serangga dan burung
karena rasa pahit yang dikandungnya.
Kandungan tanin pada biji menghambat aktivitas beberapa enzim sehingga menghambat
pencernaan protein dan pemecahan selulosa. Uji coba pada hewan telah membukt ikan bahwa
tanin menghambat penyerapan protein, mengurangi pemanfaatan mineral dan menyebabkan
penurunan pertumbuhan. Pemberian pakan pada babi yang mengandung 4.21% tanin menurunkan
daya cerna protein sebesar 5.6%. Kandungan tanin sebelum b iji matang (ripe) selalu lebih t inggi
dibandingkan setelah biji matang. Kandungan tanin pada biji yang lebih gelap selalu lebih t inggi
daripada biji yang lebih pucat. Beberapa tipe sorgum putih mengalami pigmentasi di bagian
perikarp dan testa yang disebabkan oleh ko mponen fenolik (Leder 2004).
Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk
dikembangkan di Indonesia. Sorgum mempunyai daerah adaptasi yang luas. Tanaman sorgum
6
toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif
tahan terhadap gangguan hama/penyakit. Biji sorgum dapat digunakan sebagai bahan baku di
industri pangan seperti industri gula, monosodium glutamat (MSG), asam amino, dan industri
minuman. Dengan kata lain, sorgum merupakan komoditas pengembang untuk diversifikasi
industri secara vertikal (Sirappa 2003).
Di berbagai belahan dunia, sorgum telah d igunakan sejak lama sebagai bahan pangan
terutama adalah pangan tradisional. Masyarakat Afrika dan India mengkonsumsi sorgum sejak
ribuan tahun lalu dengan mengolahnya menjadi bubur dan panekuk. Di Afrika, terutama daerah
Tanzania, Afrika Tengah, dan Afrika Utara, sorgum juga digunakan sebagai bahan pembuat bir
(Dogget 1970).
Tepung sorgum juga dapat berperan sebagai subtitusi tepung terigu pada pembuatan roti, mie,
pasta, dan kue-kue kering. Suarni (2004) menyebutkan bahwa tepung sorgum dapat mensubtitusi
tepung terigu hingga taraf 50-80% untuk membuat kue kering. Subtitusi perlu menambahkan
maizena sebagai bahan perekat dan bumbu kue untuk menekan rasa sepat pada tepung sorgum.
Areal yang berpotensi untuk pengembangan sorgum di Indonesia sangat luas, meliputi daerah
beriklim kering atau musim hujannya pendek serta tanah yang kurang subur. Daerah penghasil
sorgum dengan pola pengusahaan tradisional adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak,
Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan,
Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), dan sebagian Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
(Sirappa 2003).
Menurut Beti et al. (1990), luas areal tanam sorgum di dunia mencapai sekitar 50 juta hektar
dengan total produksi 68.40 juta ton dan rata-rata produktivitas 1.30 t/ha. Negara penghasil
sorgum utama adalah India, Cina, Nigeria, dan Amerika Serikat. Data produksi dan produktivitas
sorgum di berbagai belahan dunia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Negara produsen utama sorgum dunia
Negara
(2007/2008)
Produksi
(000,000 t)
Produktivitas
(t/ha)
Amerika Serikat 12.64 4.60
Nigeria 10.00 1.35
India 7.93 1.00
Meskiko 6.20 3.49
Sudan 4.50 0.68
Australia 3.07 2.99
Argentina 2.94 4.74
Brazil 2.00 2.35
Cina 1.92 3.84
Indonesia* 0.006 0.003
Dunia 63.26 1.60
Sumber : AgroStats (2009); *Deptan (2010)
Ketersediaan sorgum di Indonesia masih terbatas. Hal ini terkait dengan kesadaran petani
dan kebijakan pemerintah terhadap upaya tanam sorgum. Permintaan terhadap sorgum untuk
pangan masih sangat rendah. Saat ini, sorgum masih dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai
7
pakan ternak dan produksi etanol. Perusahaan belum tertarik untuk menggunakan sorgum sebagai
bahan baku produksi. Keberadaan gandum masih sangat dominan karena gandum dianggap lebih
mudah diterima masyarakat, karena sorgum belum banyak dikenal masyarakat. Akibatnya, petani
pun enggan menanam sorgum dalam jumlah besar karena dianggap tidak ada yang membeli.
Untuk mengatasi hal ini, kebijakan pemerintah yang tepat dapat meningkatkan penerimaan sorgum
sebagai bahan pangan sedikit demi sedikit.
Perguruan tinggi memegang peranan yang penting untuk mendukung penerimaan sorgum
oleh masyarakat sebagai upaya diversifikasi pangan. Dengan penelitian yang terarah, produk
berbahan dasar sorgum dapat dikembangkan sehingga membuka peluang penggunaan sorgum
pada produk komersial. Pengembangan pangan fungsional dari sorgum juga dapat dilakukan.
Upaya-upaya ini dapat meningkatkan citra sorgum sehingga masyarakat dapat menerima sorgum
sebagai bahan pangan alternatif.
B. EKSTRUSI
1. Proses Ekstrusi Ekstrusi adalah suatu satuan proses yang memaksa suatu bahan untuk mengalir pada
suatu ruangan yang sempit dan akh irnya memaksanya untuk keluar melalui sistem bukaan (die)
yang sempit juga, sehingga bahan mengalami beberapa satuan proses sekaligus meliputi proses
pencampuran, pengadukan, pemasakan, pengulian, pembentukan, pengembangan, atau
pengeringan tergantung dari desain esktruder dan kondisi proses (Dziezak 1989).
Proses ekstrusi digunakan untuk memproduksi beberapa produk seperti pasta, sereal
sarapan, biskuit, crackers, makanan bayi, makanan ringan (snack), p roduk-produk
konfeksioneri, dan lain-lain (Linko et al. diacu dalam Dziezak 1989). Secara umum, Pontoh
(1995) menyatakan bahwa proses ekstrusi memberi manfaat untuk merubah flavor, merubah
protein (denaturasi) dan pati (gelatinisasi dan dekstrinisasi), menghasilkan makanan yang lebih
mudah dicerna, merusak enzim yang merugikan, memperbaiki bentuk bahan dan menciptakan
tekstur yang dikehendaki.
Pemasakan dengan ekstrusi mempunyai banyak keuntungan, antara lain parameter fisik
(suhu, tekanan) dapat dirubah-rubah, sehingga dengan mesin yang sama dapat memasak dan
mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda. Keuntungan lainnya adalah
memberi bentuk dan tekstur pada hasil produk, kemampuan produksi kontinyu, pengoperasian
yang efisien dari segi tenaga, energi, dan luas pabrik, pasteurisasi produk akh ir, dan pros es
dalam keadaan kering (Harper 1981). Lusas dan Llyod (2001) menambahkan bahwa di dalam
proses ekstrusi, tindakan koreksi dapat dengan mudah dilakukan.
Ekstrusi juga merupakan gabungan dari berbagai satuan operasi. Secara umum, satuan
operasi yang terjadi pada proses ekstrusi antara lain pemanasan, pendinginan, pengaliran
bahan, pemasukan bahan, penekanan, pencampuran, peleburan, pemasakan, pembentukan,
teksturisasi, dan reaksi (Lusas dan Lloyd 2001).
Pemasakan ekstrusi semakin populer pada dua dekade terakhir karena beberapa alasan ,
antara lain cakupan produk, biaya, produktivitas, kualitas produk, dan pengaruh terhadap
lingkungan. Cakupan produk yang luas dapat dihasilkan oleh proses ekstrusi hanya dengan
mengubah ingredien bahan, kondisi operasi ekstruder, dan lubang keluaran (die). Biaya proses
yang dikeluarkan juga lebih rendah karena sifat berkelanjutan yang meningkatkan
produktivitas. Kualitas produk yang baik tercapai karena aplikasi suhu tinggi dalam waktu
singkat. Retensi komponen pangan tidak tahan panas dapat diperthanakan sehingga menjaga
kualitas produk. Proses ekstrusi ramah terhadap lingkungan yang berkaitan dengan proses
8
pemasakan ekstrusi dengan kelembaban rendah. Proses ini menghasilkan limbah dalam jumlah
yang tidak signifikan, mengurangi biaya pengolahan air dan tingkat polusi lingkungan.
2. Alat Ekstruder Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper 1981). Menurut
Muchtadi et al. (1988), fungsi pengekstrusi meliputi gelatinisasi, pemotongan moleku ler,
pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan penggelembungan atau pengeringan. Kombinasi
satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut di atas merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam
proses ekstrusi.
Terdapat empat komponen dasar di dalam ekstruder. Komponen pertama adalah sistem
pengumpan (feeding system). Sistem pengumpan berfungsi untuk tempat bahan yang akan
diekstrusi. Komponen kedua berupa sistem preconditioner, yaitu sistem yang berfungsi untuk
menyeragamkan atau memodifikasi kondisi bahan sebelum masuk ke dalam laras ekstruder.
Sistem in i dapat berupa injeksi uap, maupun pencampuran dengan air. Komponen ketiga
adalah ekstruder. Komponen terakhir berupa die pada ujung keluaran ekstruder. Die inilah
yang berperan membentuk produk sesuai yang diinginkan (Lusas dan Lloyd 2001).
Penggunaan motor berkekuatan tinggi akan membuat screw terus berputar, sehingga
menimbulkan panas yang tinggi akibat gesekan antar bahan. Perputaran screw memaksa
produk bergerak sepanjang laras (barrel) dan membangkitkan tekanan yang akhirnya
digunakan untuk pembentukan produk (Miller 1993).
Ekstruder terdiri dari ulir putar (screw), yang terpasang dalam laras tertutup rapat
(barrel), dan sering kali dikelilingi oleh jaket pemanas (heating mantle). Dalam banyak kasus,
pemasukan panas utama sering dihasilkan dari perputaran screw (friksi internal) atau disebut
konversi energi mekanik. Sumber panas lain dapat berupa konduksi dari jaket p emanas, atau
secara konveksi dari uap panas (steam) (Lusas dan Lloyd 2001).
Maltz (1984) membagi ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang digunakan dalam proses
ekstusi, yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda. Menurut Bhattacharva dan
Padmanabhan (1992), ekstruder ulir ganda memiliki kelebihan daripada ekstruder ulir tungal
yaitu kontrol dan keseragaman produk yang leb ih baik, namun penggunaannya memerlukan
investasi yang lebih besar dengan kapasitas produksi yang sama.
Gambar 3. Penampang Ekstruder Ulir Tunggal Sederhana
9
Menurut Muchtadi et al. (1988), ada lima jen is pengekstrusi berulir tunggal yang umum
digunakan di industri pangan, yaitu :
a. Pengekstrusi Pasta.
Alat ini dipakai untuk membentuk makaroni dan produk serupa dari suatu adonan.
b. High Pressure Forming Extruder
Alat in i dipakai untuk memadatkan dan membentuk adonan yang telah mengalami
gelatinisasi terlebih dahulu, menjad i produk yang membutuhkan proses lanjutan, seperti
makanan ringan (snack) dan sereal.
c. Low Shear Cooking Extruder
Alat ini dipakai sebagai pemasak yang kontinyu untuk adonan yang berkadar air tinggi.
Produk kemudian diproses lebih lan jut dengan pembentukan, pengeringan, dan lain -lain.
d. Collet Extruder
Alat ini dapat mendinginkan, membuat gelembung, dan membentuk butiran -butiran kering
seperti misalnya corn meal untuk produk-produk pangan bergelembung, seperti corn curl.
e. High Shear Cooking Extruder
Alat ini merupakan ekstruder yang berkerja pada rasio kompresi tinggi, laras yang panjang,
dan kemampuan mendinginkan atau memanaskan produk secara eksternal. Ekstruder jenis
ini memiliki kemampuan operasi yang luas. Bahan yang bervariasi dengan rentang
kelembaban yang lebih luas dapat digunakan. Selain itu, kondisi proses seperti suhu dan
pengembangan juga dapat dikendalikan.
Ekstruder ulir ganda atau ulir kembar terdiri dari dua ulir yang sama panjang dan
terletak berdampingan dalam satu barrel. Berdasarkan arah alirannya, ekstruder ulir ganda
dapat dibedakan menjadi counter rotating dan co-rotating. Berdasarkan jarak antara dua
sumbu kedua ulir tersebut, ekstruder ulir ganda dibedakan menjad i intermeshing dan non-
intermeshing (Hariyadi 1996).
A B C D
Keterangan :
A : Counter rotating, intermeshing
B : Co-rotating, intermeshing
C : Counter rotating, non-intermeshing
D : Co-rotating, non-intermeshing
Gambar 4. Jenis-Jenis Ekstruder Ulir Ganda Berdasarkan Konfigurasi Ulir (Jensen 1978)
Ekstruder berulir ganda merupakan alat yang dapat digunakan untuk membuat sereal
sarapan dengan mengaplikasikan teknologi High Shear Cooking Extruder. Dengan dua ulir
yang bekerja, pemotongan (shear) akan lebih merata dan lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap
10
partikel bahan akan diproses dengan lebih konsisten sehingga diperoleh struktur dan tekstur
yang lebih homogen. Ekstruder ulir ganda memiliki fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan
dengan ekstruder ulir tunggal. Pada ekstruder ulir tunggal, rancangan ulir, sistem pemasukan
bahan (feeding), dan pola suhu di dalam ekstruder merupakan t iga faktor yang berkaitan erat.
Pada ekstruder berulir ganda, ketiga faktor ini tidak berkaitan erat, sehingga operator dapat
mengendalikan kondisi-kondisi tersebut untuk mengahasilkan tekstur produk akhir yang
diinginkan (Muchtadi et al. 1987).
3. Variabel Operasi Ekstrusi Menurut Harper (1981), terdapat dua tipe variabel operasi pada proses ekstrusi, yaitu
variabel dependen dan independen. Variabel independen adalah variabel-variabel yang dapat
dikontrol oleh operator dan tidak tergantung pada faktor lain yang ada di dalam sistem.
Sebaliknya, variabel dependen merupakan variabel-variabel yang dapat mencapai n ilai tertentu,
tergantung dari nilai variabel independen.
Variabel independen yang mempengaruhi suatu proses ekstrusi antara lain adalah
ingredien bahan, kelembaban, desain ulir dan laras (screw and barrel design), desain cetakan
(die), kecepatan putar ulir (screw speed), temperatur, p reconditioning, dan kecepatan masuk
bahan. Sedangkan variabel dependen pada proses ekstrusi terdiri dari v iskositas, shear rate,
flow rate, tekanan, tenaga (power), lama tinggal (residence time), temperatur, dan karakteristik
produk.
Guy (2001) menjelaskan bahwa sifat paling penting dari proses ekstrusi adalah sifat
keberlan jutan yang beroperasi pada keseimbangan antara masukan (input) dan keluaran
(output). Oleh karena itu, untuk mendapatkan karakteristik ekstrudat yang diinginkan ,
masukan harus diatur pada tingkat yang tepat untuk mencapai kondisi fisik dan perubahan
proses kimia yang baik. Kondisi fisik dan kimia in i merupakan variabel dependen yang akan
menentukan sifat produk, sedangkan masukan (input) merupakan variabel independen.
Hubungan antara variabel dependen dan independen yang baik harus dijaga pada tingkat
optimum dengan celah perubahan proses sekecil mungkin untuk menjaga keseragaman produk.
a. Variabel Bahan
Ingredien bahan dengan komposisi yang tepat serta kondisi proses optimum
merupakan variabel independen yang menjadi perhatian utama pada penelitian ini.
Kombinasi yang baik dari ingredien yang tepat serta kondisi proses optimum d iperlukan
untuk memperoleh karakteristik produk yang renyah, mengembang, tidak mudah larut
dalam media saji, masak, dan siap dikonsumsi.
Guy (1994) mengklasifikasikan bahan-bahan yang memiliki peran fungsional dalam
pemasakan ekstrusi ke dalam tujuh grup yang dikenal sebagai Sistem Klasifikasi Guy.
1) Bahan-bahan pembentuk struktur
Grup pertama adalah bahan-bahan yang berperan membentuk struktur, yang
berupa biopolimer. Biopolimer dapat berupa pati-patian alami ataupun polimer pati.
Pati-patian alami memiliki ukuran part ikel yang lebih besar dibandingkan polimer pati,
sehingga tidak memberikan pengembangan optimum. Oleh karena itu, kombinasi
antara pati-patian alami dan polimer pati dengan komposisi yang tepat diperlukan untuk
membentuk struktur dan pengembangan yang diinginkan.
Pati terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilopketin dan amilosa.
Amilopekt in merupakan komponen yang lebih besar karena memiliki struktur
bercabang. Berat molekul amilopekt in lebih besar dari 108 Dalton dan memberikan
pengembangan 1-2 ml/g. Namun demikian, pemotongan mekanik yang tinggi dapat
11
mengurangi berat molekulnya hingga 106 D dan memberikan pengembangan hingga 25
ml/g. Amilosa memiliki ukuran yang leb ih kecil karena strukturnya yang lin ier. Berat
moleku lnya berkisar antara 2-105 D dan memberikan pengembangan yang paling besar
pada pati-patian alami. Muchtadi et al. (1987) juga menjelaskan bahwa pati dengan
kandungan amilosa tinggi akan menghas ilkan produk ekstrusi yang lebih pejal, padat,
keras, tetapi kurang mengembang. Pati dengan kandungan amilopektin tinggi akan
menghasilkan produk ekstrusi yang mengembang (puffing), ringan, porous, garing, dan
renyah. Hal ini terjadi karena amilopekt in dengan struktur bercabang mengalami
kerusakan yang lebih besar dan tidak mampu saling menyusun secara efektif di dalam
laras maupun cetakan, sehingga membantu pengembangan produk. Amilosa lebih tahan
terhadap kerusakan mekanik selama proses daripada amilopektin.
Amilosa Amilopekt in
Gambar 5. Amilosa dan Amilopekt in
Sebagian besar pati yang akan diekstrusi memiliki kadar air dibawah 50%,
sehingga apabila dipanaskan pada suhu tingi akan terjadi peleburan granula pati
(Wirakartakusumah 1981). Peleburan granula pati ini dapat berupa terbentuknya
kompleks pati dengan lemak, atau diduga sebagai akibat terjadinya perubahan
komposisi komponen kimia pati karena perlakuan suhu yang terlalu tinggi.
Muchtadi et al. (1987) menyatakan bahwa amilosa membentuk kompleks dengan
lip ida-lip ida selama proses ekstrusi sehingga sangan membantu untuk mempertahankan
struktur alamiahnya. Eastman et al. (2001) menyebutkan bahwa pati juga memiliki
kemampuan untuk membentuk lapisan yang dapat memperlambat terserapnya susu ke
dalam produk sereal.
2) Bahan-bahan pengisi fase terdispersi
Grup kedua merupakan bahan-bahan pengisi yang terdispersi ke dalam lapisan
pati, diantaranya adalah protein (gluten, albumin) dan material berserat (selulosa, hemi -
selulosa, lignin, bekatul). Protein gluten dalam jumlah lebih kecil dari 30% akan
terhidrasi dalam air dan mengalami pengecilan ukuran oleh ulir ekstruder menjad i
berukuran sekitar 5µm setelah proses. Protein larut air lainnya (albumin) terkoagulasi
pada suhu tinggi dan kemudian akan rusak dan terpecah menjadi part ikel dengan ukuran
yang sama. Material berserat tidak berubah ukurannya selama ekstrusi.
Keberadaan fase terdispersi mempengaruhi proses ekstrusi dengan dua cara.
Kehadiran material terdispersi secara fisik di d inding sel partikel mengurangi potensi
pengembangan dari pati dengan cara penetrasi ke lapisan dinding sel. Kehadiran
material terdispersi juga mempengaruhi pengembangan pada lubang keluaran (die)
dengan sifat balik elastik (elastic recoil). Sifat ini juga akan mengurangi
pengembangan produk.
12
3) Bahan-bahan yang berperan sebagai pelumas dan plastisizer
Bahan-bahan yang berperan sebagai plastisizer dapat berupa air dan lemak atau
minyak. Penambahan air merubah bahan-bahan kering menjad i plastis. Lemak dan
minyak dapat mengurangi pemotongan dengan cara melumasi part ikel yang saling
berinteraksi di dalam adonan dan partikel yang bergesekan dengan permukaan logam
dari ulir atau dinding laras. Penambahan satu atau dua persen lemak atau minyak dapat
menghasilkan efek yang besar pada proses ekstrusi.
Selama proses, lemak akan membentuk struktur baru dengan pati yaitu kompleks
antara amilosa dan asam oleat (Hanna dan Bhatnagar 1994). Struktur baru yang
terbentuk ini dapat menghambat pengembangan produk ekstrusi dan membuatnya lebih
pejal dan renyah.
Selain itu, lemak dapat melapisi bagian luar granula pati sehingga menghambat
penetrasi air ke dalam granula. Hal in i akan menyababkan tingkat gelatinisasi yang
lebih rendah (Po lina 1995).
4) Padatan terlarut
Padatan terlarut meliputi gula dan garam yang berperan sebagai agen pemberi
flavor dan humektan. Komponen-komponen ini akan terlarut dalam air bebas dalam
adonan pada saat pengadukan awal. Efeknya terhadap proses ekstrusi tergantung pada
konsentrasi dan interaksi kimia dengan polimer pati dan protein.
Gula juga akan berkompetisi dengan pati untuk mendapatkan air yang tersedia.
Hal ini dapat mempengaruhi hidrasi dan ekspansi optimal dari pati. Kadar gula internal
bahan sebaiknya tidak melebih 16% (Eastman et al. 2001).
Garam berperan untuk meningkatkan viskositas dalam laras ekstruder sehingga
men ingkatkan konversi energi mekanis (mempercepat pemasakan) dan meningkatkan
pengembangan produk. Garam juga mempengaruhi kelarutan dan kekentalan protein,
karena itu ketegaran tekstur dan ekspansi produk ekstrusi akan meningkat (Miller
1995).
5) Bahan pembentuk sel
Kalsium karbonat dan magnesium silikat merupakan contoh bahan pembentuk
sel. Penambahan bahan tidak larut yang sangat halus dapat mengurangi energi yang
diperlukan untuk membentuk gelembung dalam lap isan pati, dan meningkatkan
jumlahnya dari ratusan hingga puluhan ribu per mililiter.
6) Bahan pemberi warna
Penggunaan bahan-bahan pemberi warna diutamakan adalah yang tahan panas
(stabil) ataupun yang berupa prekursor.
7) Bahan pemberi flavor
Penambahan bahan pemberi flavor dapat dilakukan saat proses ekstrusi
berlangsung maupun setelahnya.
b. Variabel Proses dan Operasi
Variabel proses yang dapat dikendalikan dengan mesin yang ada dan yang berperan
dalam mempengaruhi karakteristik produk akhir antara lain suhu, kecepatan putar ulir,
kecepatan masuk bahan, desain cetakan.
13
1) Suhu
Suhu terutama berfungsi untuk memasak bahan sehingga saat keluar dari
ektruder, produk siap d ikonsumsi. Selain itu, suhu juga mempengaruhi perubahan
moleku ler bahan. Ekstrusi pemasak (cooking extruder) pada umumnya menggunakan
suhu antara 150-200oC. Dengan suhu ini, bahan yang masuk ke dalam ekstruder akan
mengalami proses pemasakan sehingga saat keluar produk sudah masak dan siap
dikonsumsi. Komponen mikrobial yang terdapat pada bahan dapat dihilangkan, dengan
memin imalkan kehilangan kandungan gizi p roduk mengingat bahwa proses yang
digunakan adalah proses HTST. Selain itu, komponen anti nutrisi seperti tripsin
inhibitor, hemaglutinin, dan gosipol juga dapat dihilangkan (Muchtadi et al. 1987)
Di dalam laras ekstruder, air akan menguap dan menjadi uap air, namun tertahan
di dalam bahan karena tekanan yang dihasilkan putaran ulir. Saat keluar dari cetakan,
akan terjadi proses flashing dimana uap air segera meninggalkan bahan karena
perbedaan tekanan, dan menyebabkan produk mengembang.
2) Ulir dan Kecepatan Putar Ulir
Pada sebuah ekstruder biasanya terdapat tiga bagian ulir utama yang dapat diatur
suhunya lewat pemanas eksternal. Bagian pertama adalah bagian masukan (feed
section). Bahan mula-mula masuk ke dalam ulir lewat bagian ini. Fungsi utama bagian
masukan adalah untuk memastikan bahwa bahan yang masuk cukup sehingga ulir tidak
dalam keadaan kosong (starved). Bagian kedua adalah bagian kompresi (compression
section). Bagian ini bahan mulai dipanaskan dan ditekan oleh ulir akibat penurunan
jarak antara ulir dengan dinding laras. Karakteristik bahan berubah dari bentuk granula
ataupun partikulat menjadi bentuk amorf atau adonan plastis. Bagian terakhir adalah
bagian pengendali (metering section), dimana bahan akan mengalami pemotongan dan
pemanasan maksimal. Konversi energi mekanis menjadi besar yang menyebabkan
peningkatkan suhu yang lebih cepat. Tingkat pemotongan yang tinggi akan
meningkatkan pengadukan internal sehingga suhu ekstrudat menjadi lebih seragam
(Harper 1981).
Kecepatan putar ulir akan menentukan tingkat pemotongan dan energi mekanis
yang berpengaruh pada suhu bahan. Kecepatan ulir juga berpengaruh pada
keseragaman pengadukan dan suhu, yang sangat penting untuk menjaga ―tit ik mat i‖
tidak terbentuk. Titik mat i adalah daerah-daerah/titik-titik di dalam ekstruder dimana
aliran dapat terhenti sehingga menyebabkan aliran bahan yang terlampau panas dan
bentuk fisik yang telah berubah (Muchtadi et al. 1987). Tingkat pemotongan bahan
akan semakin meningkat dengan menambah kecepatan ulir bahan.
Geometri dan rancangan ulir juga mempengaruhi tingkat pemotongan bahan,
yaitu bentuk ulir, jarak u lir dengan dinding laras, serta bentuk dan susunan tonjolan ulir.
Akan tetapi, variabel in i telah ditetapkan pada mesin ekstruder, sehingga tidak leluasa
untuk diubah.
3) Kecepatan Masuk Bahan
Kecepatan masuk bahan dapat diatur dengan mengendalikan kecepatan auger
atau ulir pengumpan. Ulir pengumpan berfungsi untuk menyeragamkan bahan serta
melakukan pemotongan bahan sebelum masuk ke ekstruder. Hal ini penting untuk
mencegah penyebaran air atau kelembaban yang tidak merata yang dapat menyebabkan
distribusi suhu yang tidak merata dan ―titik mat i‖ di dalam ekstruder. Kecepatan masuk
bahan juga mempengaruhi jumlah aliran bahan di dalam laras. Jumlah bahan yang
14
masuk sebaiknya cukup untuk mencegah terbentuknya kantong-kantong udara di dalam
laras. Pembentukan kantong-kantong udara ini akan mempengaruhi ketidakseragaman
produk yang dihasilkan (Harper 1981: Muchtadi et al. 1987).
4) Desain Cetakan
Desain cetakan akan mempengaruhi bentuk produk yang dihasilkan. Pada
beberapa desain cetakan yang memiliki lubang ganda dengan bentuk lingkar yang tidak
simetris terhadap sumbu alat, dapat terjadi perbedaan tekanan diantara lubang cetakan.
Hal ini dapat menyababkan aliran bahan yang tidak seragam sehingga produk yang
dihasilkan t idak konsisten.
C. Sarapan Sereal Sereal sarapan pagi (breakfast cereal) adalah produk dengan tekstur cenderung rapuh yang
sebagian besar terbuat dari serealia yang diubah menjad i bentuk yang lebih mudah dikonsumsi dan
dicerna melalui proses mencakup pemasakan dan dehidrasi (Frame 1999). Di dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01—4270-1996, definisi susu sereal adalah serbuk instan yang terbuat
dari susu bubuk dan sereal dengan penambahan bahan makanan lain dan atau tanpa bahan
tambahan pangan yang diizinkan. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2000) yang dimaksud
dengan makanan ringan ekstrudat ialah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari
bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta
bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dengan atau tanpa melalui p roses penggorengan.
Seiring dengan perkembangan zaman, waktu sarapan pagi semakin terbatas, sehingga
diperlukan menu sarapan pagi yang praktis dan juga bergizi. Oleh karena itu, saat in i telah beredar
berbagai produk sereal sarapan yang praktis penyajiannya dan hanya membutuhkan penambahan
susu cair. Jen is sereal sarapan seperti in i menawarkan kepraktisan dan kandungan gizi ekstra.
Menurut Tribelhorn (1991), produk sereal sarapan dapat dikelompokan berdasarkan sifat
fisik alami dari produk. Jenis pertama adalah kelompok sereal tradisional yang memerlukan
pemasakan (Traditional cereal that require cooking). Sereal jenis ini dijual di pasaran dalam
bentuk biji mentah yang sudah diproses.
Jenis kedua adalah sereal tradisonal panas cepat saji (Instant traditional hot cereal). Sereal
jenis in i dijual di pasaran dalam bentuk biji masak dan hanya memerlukan air mendidih untuk
dapat dikonsumsi.
Jenis ketiga adalah Ready-to-eat cereal. Sereal jenis ini merupakan kelompok sereal yang
dibuat dari biji yang sudah dimasak dan dimodifikasi. Jenis sereal ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi produk flaked, puffed, atau shredded.
Jenis keempat adalah Ready-to-eat ceral mixes. Sereal jenis ini merupakan kombinasi dari
bermacam-macam b iji sereal, polong-polongan (legumes), atau oil seeds, serta buah-buahan
kering.
Jenis kelima, atau jenis yang terakhir adalah produk sereal lainnya (Miscellaneous cereal
products). Jenis ini merupakan produk sereal yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam empat
jenis sereal sarapan di atas karena adanya pengkhususan dari proses astau pengguna akhir. Contoh
sereal jenis ini adalah makanan bayi dan cereal nuggets.
Saat ini, sereal sarapan yang paling digemari masyarakat adalah jenis ready -to-eat puffed
cereal yang penyajiannya dengan cara mencampurkan sereal dengan susu dan dapat disajikan
kurang dari 3 menit. Sereal sarapan jenis ini paling banyak jenisnya dibandingkan dengan sereal
sarapan lainnya dan merupakan sereal sarapan yang akan dibuat pada penelitian ini.
15
Menurut Khomsan (2002), sarapan pagi menyumbang kurang lebih 25% zat gizi, yaitu
sekitar 400-500 kkal untuk kecukupan energi 2000 kkal. Menurut Hand (2010), kisaran jumlah
asupan karbohidrat yang dapat mencukupi kebutuhan tubuh dan mencegah penyakit adalah 45-
65%. Jumlah asupan protein yang dianjurkan adalah 10-35%, sedangkan asupan lemak yang
dianjurkan adalah 20-35% dari total kebutuhan gizi harian. Jika dibagi rata, maka jumlah energi
dari karbohidrat yang harus dipenuhi pada saat sarapan adalah 180-325 kkal, sedangkan dari
protein adalah 40-175 kkal dan dari lemak adalah 80-175 kkal.
Pada umumnya, takaran saji produk sereal sarapan siap santap adalah berkisar 20 -80 gram
yang menyumbangkan energi antara 80-160 kkal. Jumlah energi sejumlah in i tentu belum
mencukupi kebutuhan energi di pagi hari seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun
demikian, penyajian sereal siap santap ini adalah dengan menambahkan susu. Jumlah susu yang
ditambahkan pada umumnya adalah setengah gelas hingga satu gelas susu, atau berkisar antara
150 h ingga 300 ml yang menyumbangkan antara 130-260 kkal energ i. Dengan demikian, energi
yang dihasilkan dengan mengkonsumsi sereal sarapan pagi dengan susu adalah berkisar 210-420
kkal energ i, yang diharapkan mencukupi kebutuhan energi di pagi hari.
D. ANALISIS FINANSIAL Analisis finansial merupakan suatu dasar pengambilan keputusan untuk melakukan
investasi yang menyangkut sejumlah besar dana dengan harapan mendapatkan keun tungan jangka
panjang (Soeharto 1999). Beberapa parameter untuk menguji kelayakan suatu proyek untuk
dijalankan pada analisis finansial adalah NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return),
Net B/C (Net Benefit Cost Ratio), PP (Payback Period), dan BEP (Break Event Point). Parameter-
parameter tersebut dapat diperoleh melalui perhitungan dengan melakukan perkiraan aliran kas
masuk dan keluar. Soeharto (1999) menyebutkan aliran kas terbentuk dari perkiraan biaya
pertama, modal kerja, biaya operasi, biaya produksi, dan pendapatan.
1. NPV (Net Present Value)
Net Present Value adalah perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan)
dengan nilai sekarang biaya (Kadariah et al. 1978 yang dikutip o leh Djazu li et al. 2009).
Besarnya NPV (Net Present Value) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
NPV = 𝐴𝐶𝐹𝑡
(1 + 𝑘)t
n
t=1
− 𝐼𝑜
Keterangan :
ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t
n = usia proyek yang diharapkan (tahun)
k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%)
t = periode (tahun)
Io = investasi awal (Initial Investment)
Keown et al. (2005) menyebutkan suatu proyek dapat diterima atau layak dilaksanakan
apabila NPV ≥ 0.0. Nilai 0.0 pada NPV menunjukkan setelah proyek berlangsung pada
periode yang diharapkan, proyek tersebut memberikan pengembalian yang sama dengan
tingkat pengembalian yang disyaratkan.
2. IRR (Internal Rate of Return)
Internal Rate of Return dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang
menunjukkan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh biaya investasi
proyek (Djazuli 2009). IRR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
16
IO = 𝐴𝐶𝐹𝑡
(1 + 𝐼𝑅𝑅)t
n
t =1
Keterangan :
ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t
n = usia proyek yang diharapkan
t = periode (tahun)
Io = investasi awal (Initial Investment)
Keown et al. (2005) menyebutkan kriteria keputusan parameter IRR adalah menerima
proyek jika persentase IRR ≥ tingkat pengembalian yang disyaratkan.
3. Net B/C (Net Benefit Cost Ratio)
Net B/C adalah angka perbandingan antara present value total bersih dari hasil
keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih (Kadariah et al. 1978 yang dikutip
oleh Djazu li et al. 2009). Perh itungan Net B/C d ilakukan dengan terlebih dahulu menghitung
PV (Present Value). PV (Present Value) merupakan nilai arus kas bersih (net cash flow) yang
dikalikan dengan discount factor (DF). Arus kas bersih merupakan hasil pengurangan nilai
manfaat (benefit) dengan nilai biaya (cost). Rumus menghitung discount factor (DF) adalah :
DF = 1
(1 + k)t
Keterangan :
k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%)
t = periode (tahun)
Nilai Net B/C dihitung dari perbandingkan jumlah semua PV yang positif dengan
semua PV negatif. Rumus untuk menghitung nilai Net B/C dapat dinyatakan sebagai berikut :
Net B/C = + NPV positif
− NPV negatif
Djazu li et al. (2009) menyebutkan apabila Net B/C>1 proyek dinyatakan layak, Net
B/C=1 proyek mencapai t itik impas, dan jika Net B/C<1 proyek d inyatakan tidak layak
untuk dilanjutkan.
4. PP (Payback Period)
Keown et al. (2005) menyebutkan PP (Payback Period) atau periode pembayaran
kembali adalah jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menutupi pengeluaran awal.
Perhitungannya dilakukan berdasarkan aliran kas, baik tahunan maupun merupakan nilai sisa.
Periode pengembalian pada suatu tingkat pengembalian tertentu digunakan model formula
berikut :
PP = n − a
b
Keterangan :
n = tahun terakhir dimana keadaan Arus Kas Kumulatif bernilai negatif
a = Jumlah Arus Kas Kumulat if negative di tahun ke-n
b = Jumlah Arus Kas Bersih d i tahun ke-(n+1)
17
Djazu li et al. (2009) menyebutkan apabila nilai PP leb ih besar dari pada umur proyek,
maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Proyek tersebut layak untuk
dilaksanakan apabila nilai PP lebih kecil daripada umur proyek.
5. BEP (Break Event Point)
BEP (Break Event Point) atau titik impas merupakan t itik keseimbangan antara total
penerimaan dan total pengeluaran (Ibrahim, 1998). Kapasitas produksi atau volume yang
diproduksi pada titik in i tidak akan untung atau rugi (impas). Jumlah unit yang diproduksi
pada titik ini dapat dihitung dengan perumusan :
Q (jumlah) = Biaya tetap
Harga penjualanunit
− Biaya variabel
unit
18
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Alat Dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelit ian ini adalah ekstruder ulir ganda (Berto
Industries), vibrating screen, pin disc mill, alat penyosoh, alat bantu (baskom, mixer, sendok
pengaduk), serta alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia. Alat-alat tersebut antara
lain penggaris, mangkuk, Rheoner, oven, tanur, cawan alumunium, cawan porselen, desikator,
neraca analitik, mortar, penyaring vakum, pendingin balik, sudip, gegep, penangas, sentrifuse, dan
alat-alat gelas untuk analisis . Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 6. Pin Disc Mill (a); Ayakan Bergoyang (b); Rheoner (c)
Gambar 7. Ekstruder Ulir Ganda {tampak samping (a); tampak depan (b); tampak keseluruhan (c)}
(a) (b)
(a) (b) (c)
(c)
19
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian in i adalah sorgum, tepung gula, tapioka,
minyak nabati, garam, bubuk coklat, emulsifier (gliserol mono stearat). Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk analisis proksimat dan serat kasar antara lain K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH,
Na2SO4, H3BO3, HCl, d ietil eter, alkohol, indikator merah metil, kertas saring, dan akuades.
Tapioka d ipilih sebagai pati yang ditambahkan ke dalam formula karena harganya yang
lebih murah dibandingkan pati lain, seperti maizena. Moscicki (2011) menyebutkan bahwa tapioka
cukup terkenal sebagai bahan pembuat flakes di negara-negara Asia. Tapioka memiliki derajat
gelatinisasi yang rendah (52-65oC), kandungan protein dan lemak yang rendah, karakteristik
pengikat yang baik, warna putih, dan flavor manis, yang merupakan keunggulan dari tepung
tapioka. Gliserol monostearat dipilih sebagai emulsifier karena sifatnya yang lipofilik dengan nilai
HLB adalah 3.8, dan umum digunakan pada proses ekstrusi (Hui & Corke 2006; Kamel & Stauffer
1993).
B. Metode Penelitian
Penelit ian yang dilakukan terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian
utama. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan memporoleh jen is dan jumlah bahan-
bahan yang digunakan untuk menghasilkan produk dengan karakteristik terbaik. Penelit ian
pendahuluan dilakukan dalam dua kali uji coba produksi. Variabel yang diujicobakan adalah
ukuran partikel sorghum, penambahan tepung kacang hijau, penambahan tepung gula,
penambahan minyak, dan penambahan coklat bubuk. Jumlah dan jenis bahan yang digunakan
dalam penelit ian utama ditetapkan berdasarkan penilaian subjektif terhadap rasa, tekstur, warna
produk, serta biaya bahan yang digunakan. Penelitian utama dilakukan dengan tujuan
mendapatkan produk dengan parameter terbaik dengan variasi penambahan tapioka dan emulsifier.
Penentuan produk terbaik dilakukan dengan uji organoleptik dan karakteristik fisik. Kandungan
gizi produk d iukur dengan melakukan analisis kimia. Uji penerimaan dilakukan untuk melihat
respon dari target konsumen utama, yaitu anak-anak. Analisis finansial juga dilakukan untuk
mensimulasi kelayakan usaha sorgum flakes. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama penelit ian
dapat dilihat pada diagram alir pada Gambar 8.
Uji coba pembuatan produk (2 tahap)
Pengamatan subyektif terhadap rasa, warna, dan tekstur produk
uji coba serta pertimbangan biaya
Flakes sorgum
terbaik
Pembuatan produk dengan variasi tapioka dan emulsifier
A
20
Gambar 8. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Tahap-tahap pembuatan produk meliputi persiapan bahan, penimbangan, pencampuran,
pengkondisian bahan (conditioning), ekstrusi, dan pengeringan. Persiapan bahan adalah tahap
pengecilan sorgum dari biji sorgum menjad i grits sorgum yang dilakukan dengan penggilingan biji
sorgum dan pengayakan. Penimbangan bahan-bahan dilakukan untuk mempersiapkan bahan-
bahan sesuai dengan jumlah dan komposisi formula yang diujicobakan. Pencampuran dilakukan
selama 15 menit dengan menggunakan mixer agar seluruh unsur bahan tercampur merata.
Pengkondisian bahan dilakukan dengan mendiamkan campuran bahan selama 10 menit agar
kelembaban merata ke seluruh bagian adonan. Ekstrusi dilakukan dengan menggunakan alat
ekstruder ulir ganda Berto dengan tipe BEX-DS-2256 dengan spesifikasi sebagai berikut :
- Tipe : Twin screw co-rotating intermeshing
- Motor utama :
o Daya : 36 KW
o Voltase : 380 VAC
o Frekuensi : 50-60 Hz
- Die :
o Tampak depan berbentuk bundar dengan sebuah lubang die di tengah
o Lubang die berbentuk oval, diameter panjang 7,5 mm diameter lebar 11 mm 7,5 mm
11 mm
Tampak depan Lubang die
Parameter-parameter pada ekstruder diset sebagai berikut :
- Suhu laras bagian I (feed) : 70oC
- Suhu laras bagian II (compression) : 100oC
- Suhu laras bagian III (metering) : 135oC
- Kecepatan putar ulir : 22 Hz
- Kecepatan putar auger (feeding screw) : 22 Hz
- Kecepatan putar pisau : 50 Hz
Tahap selanjutnya setelah ekstrudat keluar dari ekstruder adalah pengeringan. Pengeringan
dilakukan dengan menggunakan oven yang diset pada suhu 115oC selama 15 menit. Hal ini
Analisis finansial usaha sorgum flakes
Uji penerimaan Analisis kimia produk terpilih
Uji organoleptik rating hedonik dan analisis fisik
Flakes sorgum
terpilih
A
21
dilakukan agar kadar air produk turun hingga 3% sesuai dengan standar SNI 01—4270-1996.
Diagram alir dan kesetimbangan massa pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Diagram Alir dan Kesetimbangan Massa Pembuatan Produk
1. Penelitian Pendahuluan Penelit ian pendahuluan dilakukan dalam dua kali uji coba produksi dengan rancangan
formula yang berbeda. Hasil dari tiap rancangan menjadi dasar modifikasi rancangan formula
pada uji coba berikutnya. Formula pertama dan kedua berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 4
dan Tabel 5.
Tabel 4. Formula uji coba pertama
Bahan Jumlah (% )
1 2 3 4 5 6
Tepung sorgum 40 mesh 100 80 70 - - -
Tepung sorgum 60 mesh - - - 100 80 70
Tepung kacang hijau 0 0 10 0 0 10
Tapioka 0 20 20 0 20 20
Tepung gula 10
Minyak 4
Garam 2
Jumlah tepung sorgum, kacang hijau, dan tapioka adalah 100%. Jumlah bahan-bahan
lainnya ditentukan dari basis ini, yaitu dengan mengalikan persentase bahan tersebut dengan
jumlah dari tepung sorgum, kacang hijau, dan tapioka. Dari tabel d i atas dapat dilihat bahwa
variabel yang digunakan pada uji coba pertama adalah sorghum 40 dan 60 mesh, penambahan
kacang hijau, dan penambahan tapioka.
Pada uji coba kedua, variabel yang menjadi perlakuan adalah gula, coklat, dan minyak.
Penambahan coklat bubuk dilakukan untuk memberi warna dan aroma coklat. Garam yang
digunakan diubah menjadi 1% dan ukuran partikel sorgum yang digunakan adalah 60 mesh
berdasarkan hasil uji coba pertama.
(R = 85.00%)
65.43 kg (R = 69.24%)
94.50 kg (R = 94.50%) 100 kg
Sorgum Penepungan (pin
disc mill) Grits sorgum Pengayakan 60 mesh
(vibrating screen)
Tepung sorgum
60 mesh Grits sorgum Pencampuran
bahan (mixer)
Tapioka
Tpg. kcg hijau Tpg. gula Bubuk coklat
Minyak Emulsifier Garam
Pengkondisian Ekstrusi Pengeringan Flakes sorgum
22
Tabel 5. Formula uji coba kedua
Bahan Jumlah (% )
Std G1 G2 C1 C2 M1 M2
Tepung sorgum 60 mesh 100 100 100 100 100 100 100
Tepung gula 15 10 20 15 15 15 15
Coklat bubuk 10 10 10 5 15 10 10
Minyak 5 5 5 5 5 7.5 10
Garam 1 1 1 1 1 1 1
Uji coba kedua dilakukan dengan tujuan melihat pengaruh variasi penambahan tepung
gula, coklat bubuk, dan minyak terhadap karakteristik produk akh ir. Tepung gula divariasikan
pada taraf 10, 15, dan 20%. Coklat bubuk divariasikan pada taraf 5, 10, dan 15%. Minyak
divariasikan pada taraf 5, 7,5, dan 10%.
Penentuan produk terbaik d itetapkan berdasarkan pengamatan tekstur, rasa, aroma dari
produk tersebut serta biaya bahan yang digunakan. Formula produk terbaik akan digunakan
pada penelitian utama.
2. Penelitian Utama Penelit ian utama dilakukan dengan memvariasikan jumlah tapioka dan penambahan
emulsifier. Tujuan dari penelitian utama adalah untuk memperoleh jumlah emulsifier dan
tapioka yang tepat yang menghasilkan ekstrudat dengan karakteristik terbaik dan paling
disukai. Emulsifier yang digunakan adalah gliserol monostearat (GMS). Variasi tapioka
terdiri dari dua taraf yaitu 10 % dan 20%, sedangkan variasi emulsifier terdiri dari 3 taraf yaitu
0%, 1%, dan 2%. Variasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Jumlah bahan-bahan lain seperti
gula, coklat, minyak, dan garam, serta parameter ekstruder ditetapkan dari penelit ian
pendahuluan.
Produk yang dihasilkan diuji secara organoleptik dan fisik. Hal in i bertujuan untuk
mengetahui tingkat kesukaan terhadap masing-masing formula dan karakteristik fisik ekstrudat
dari masing-masing formula. Pengujian dilanjutkan dengan melakukan analisis kimia terhadap
produk terbaik dan uji penerimaan terhadap konsumen yaitu siswa sekolah dasar.
Referen atau produk komersial yang digunakan sebagai perbandingan adalah sereal
sarapan siap santap dari gandum yang bermerek ‗Koko Krunch‘. Produk ini dijadikan referen
atas pertimbangan bentuk, ukuran, warna yang serupa dengan produk yang dikembangkan.
Tabel 6. Variasi tapioka dan emulsifier
Sorgum Tapioka Emulsifier* Kode
90% 10%
0% T1E1
1% T1E2
2% T1E3
80% 20%
0% T2E1
1% T2E2
2% T2E3
*Persentase berdasarkan campuran sorgum dan tapioka
23
C. Metode Analisis
1. Uji Rating Hedonik (Waysima dan Adawiyah 2008) Analisis sensori merupakan analisis yang menggunakan indera manusia sebagai
instrumennya. Analisis sensori yang dilakukan adalah uji afektif berupa rating hedonik, yang
menyangkut penerimaan terhadap sifat atau kualitas sampel yang diujikan dan melibatkan
panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang.
Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan nilai skala terhadap
warna, rasa, kerenyahan, dan kesukaan secara keseluruhan dari setiap sampel pada uji rating
hedonik. Data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA)
yang dapat dilanjutkan dengan uji Duncan. Nilai yang digunakan pada uji rating adalah 1
sampai 5, yaitu nilai 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = netral, 4 = suka, dan 5 = sangat
suka.
Selain itu dilakukan juga uji penerimaan yang dilakukan terhadap 40 siswa kelas 5 dari
2 Sekolah Dasar dengan perkiraan tingkat ekonomi yang berbeda, yaitu SDN Dramaga 4
sebagai golongan menengah ke bawah dan SDN Polisi V sebagai golongan menengah ke atas .
Tingkat ekonomi ini ditetapkan berdasarkan asumsi lokasi sekolah dan tingkat popularitas dari
sekolah. SDN Polisi V berada di pusat kota Bogor sementara SDN Dramaga 4 berada di
kabupaten Bogor. Berdasarkan tingkat popularitasnya, SDN Polisi V lebih terkenal
dibandingkan dengan SDN Dramaga 4. Rata-rata, Pengetahuan dan tingkat konsumsi panelis
terhadap jenis produk juga ditanyakan untuk mengetahui relevansi data dan potensi
pengembangan produk. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan analisis
deskriptif dengan metode tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi
kedua sekolah dengan tingkat kesukaan terhadap produk. Nilai yang digunakan pada uji
penerimaan adalah 1 sampai 3, yaitu nilai 1 = menarik/enak/suka, 2 = cukup
menarik/enak/suka, dan 3 = tidak menarik/enak/suka. Penggunaan tiga skala ini ditu jukan
karena panelis adalah anak-anak.
2. Analisis Fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap produk flakes sorgum terpilih adalah uji derajat
pengembangan produk, uji rehidrasi produk d i dalam media saji (susu), uji indeks kelarutan air,
serta analisis tekstur dengan menggunakan alat Rheoner.
a. Uji Derajat Pengembangan Produk (Muchtadi et al. 1987)
Uji derajat pengembangan produk dilakukan untuk melihat rasio diameter ekstrudat
yang keluar dari lubang keluaran (die) dengan diameter lubang keluaran itu sendiri. Derajat
pengembangan produk dapat ditentukan menggunakan rumus berikut :
Rasio Pengembangan (%) = Diameter produk (mm)
Diameter die (mm)× 100
b. Uji Rehidrasi Produk dalam Media Saji
Uji rehidrasi produk dalam media saji d ilakukan untuk melihat berapa lama produk
akan terehidrasi di dalam media saji yang berupa susu. Untuk produk jenis flakes yang
disajikan dengan susu, konsumen cenderung lebih menyukai p roduk yang terehidrasi lebih
24
lama di dalam media saji karena kerenyahan produk dapat dinikmati lebih lama (Mannie
1999).
Uji rehidrasi dalam media saji dilakukan dengan menghitung waktu yang
dibutuhkan produk mulai dari pertama dicampur susu hingga seluruh bagian produk
terbasahi oleh susu. Sebanyak 5 gram sampel ditambahkan 100 ml susu (T=25oC)
kemudian dihitung waktu yang diperlukan hingga seluruh bagian sampel dibasahi oleh susu
hingga tidak ada bagian yang keras.
c. Analisis Indeks Kelarutan Air (Modifikasi Anderson 1969 diacu dalam Ganjyal et al.
2006)
Analisis indeks kelarutan air dilakukan untuk melihat seberapa banyak bagian
ekstrudat yang dapat terlarut dalam air. Langkah awal dari uji ini dilakukan dengan
menghancurkan ekstrudat hingga berukuran 100 mesh, kemudian ditimbang sebanyak 0.5
gram. Sampel disuspensikan kedalam 15 ml akuades dan diaduk dengan menggunakan
stirrer selama 30 menit sampai semua bahan terdispersi merata. Sampel kemudian
disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu ruang. Supernatan
sebanyak 2 ml d imasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya (C1). Cawan
dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 100+5oC sampai semua air menguap
(+ 4 jam). Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C2) sebagai bahan kering
yang terlarut dalam supernatan. Indeks kelarutan air (Water Solubility Index - WSI)
ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
𝑊𝑆𝐼 𝑔/𝑚𝑙 = 𝐶2 − 𝐶1
2
d. Analisis Kekerasan dan Nilai Patah (Rheoner)
Analisis tekstur secara objektif d ilakukan dengan menggunakan alat texture
analyzer. Parameter yang diukur adalah kekerasan produk yang dilihat dari gaya
maksimum (puncak tertinggi) dan nilai patah (puncak pertama), dalam satuan gram force
(gf) atau kilogram force (kgf). Semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk menekan
produk hingga patah, maka n ilai kekerasannya semakin besar, yang berarti produk semakin
keras. Kekerasan dianggap berbanding terbalik dengan kerenyahan produk. Parameter-
parameter yang ditetapkan pada alat Rheoner adalah sebagai berikut :
- Jenis probe : jarum
- Skala maksimum : 20 (2000 gf)
- Kecepatan grafik : 60 mm/s
- Kecepatan probe : 0,5 mm/s
3. Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan pada produk flakes sorgum terpilih adalah analisis
proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, dan kadar lemak
kasar. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan dengan metode by difference. Analisis kimia
juga meliputi penentuan serat kasar dengan metode hidrolisis asam basa.
a. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1999)
Penentuan kadar air dengan metode oven didasarkan pada berat yang hilang,
sehingga sampel seharusnya memiliki kestabilan panas yang tinggi dan tidak mengandung
komponen lain yang mudah menguap. Langkah awal analisis kadar air adalah persiapan
cawan aluminium sebagai wadah sampel. Cawan aluminium d ikeringkan dalam oven,
25
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 g )
dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta sampel
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Pengeringan dilakukan sampai dipero leh bobot konstan.
Kadar air (% BB) = W−(W1−W2 )
W x 100%
Keterangan:
W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
b. Kadar Abu (AOAC 1999)
Prinsip analisis kadar abu yang digunakan, yaitu destruksi komponen organik
sampel dengan suhu tinggi di dalam suatu tanur pengabuan tanpa terjadi nyala api, sampai
terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat tetap tercapai. Oksigen yang terdapat di
dalam udara bert indak sebagai oksidator. Residu yang didapatkan merupakan total abu dari
suatu sampel.
Persiapan yang dilakukan, yaitu cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu
400-600oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram
sampel dit imbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel
dipijarkan di atas nyala api dari pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian
dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau
sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator,
selanjutnya ditimbang.
Kadar abu (% BB) = W1−W2
W x 100%
Keterangan:
W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
c. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1999)
Analisis kadar lemak dengan metode soxhlet merupakan analisis kadar lemak secara
langsung dengan cara mengekstrak lemak dari bahan menggunakan pelarut organik non
polar. Ekstraksi d ilakukan dengan cara refluks pada suhu yang sesuai dengan titik did ih
pelarut yang digunakan. Selama proses refluks, pelarut secara berkala akan merendam
sampel dan mengekstrak lemak yang ada pada sampel. Refluks dihentikan sampai pelarut
yang digunakan untuk merendam sampel sudah berwarna jern ih (tidak ada lagi lemak yang
terlarut). Jumlah lemak pada sampel dapat diketahui dengan menimbang lemak setelah
pelarutnya diuapkan. Jumlah lemak per berat bahan yang diperoleh menunjukkan kadar
lemak kasar (crude fat), artinya komponen yang terekstraksi oleh pelarut organik bukan
hanya lemak, tetapi komponen lain yang larut dalam pelarut organik, seperti vitamin larut
lemak (A, D, E, dan K) serta karotenoid.
Persiapan analisis kadar lemak yang dilakukan, yaitu labu lemak terlebih dahulu
dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Sampel dalam bentuk bubuk ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring
dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (diet il eter atau
heksana). Refluks dilakukan min imal selama 5 jam dan pelarut yang ada di dalam labu
lemak didistilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan
26
dalam oven pada suhu 100oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan
ditimbang.
Kadar lemak (% BB) = W1−W2
W x 100%
Keterangan:
W = bobot contoh (g)
W1 = bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
W2 = bobot labu lemak kosong (g)
d. Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1999)
Penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl didasarkan pada pengukuran kadar
nitrogen total yang ada di dalam sampel dan metode ini dapat digunakan untuk analisis
protein semua jenis bahan pangan. Kandungan protein dihitung dengan mengasumsikan
rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk sampel yang dianalisis. Metode ini
didasarkan pada asumsi bahwa kandungan nitrogen di dalam protein adalah sekitar 16%.
Angka faktor konversi 100/16 atau 6.25 digunakan untuk mengonversi dari kadar nit rogen
ke dalam kadar protein.
Sejumlah kecil sampel sekitar 0.1-0.25 gram (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl
0.01 N atau 0.02 N) ditimbang dan diletakkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml, kemudian
ditambahkan 1.0 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15
mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel
dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.
Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dib ilas dengan akuades, dan
ditambahkan 10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi
dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H2 BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan
3 tetes indikator (campuran 2 bagian methylene red 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian
methylene blue 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah
larutan H2BO3. Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah
distandarisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu -abu. Penetapan
blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel.
Kadar protein (N) dih itung dengan menggunakan rumus:
N (%) = ml HCl sampel −ml HCl blanko x N HCl x 14 .007 x 100
mg sampel
Kadar protein (% BB) = %N x faktor konversi (6.25)
e. Kadar Karbohidrat by difference (AOAC 1999)
Penentuan kadar karbohidrat by difference diperoleh dari hasil pengurangan angka
100 dengan persentase komponen lain yang terkandung di dalam sampel, seperti air, abu,
lemak, dan protein. Kadar karbohidrat by difference dapat ditentukan dengan rumus:
Kadar kabohidrat (% BB) = 100% - (KA + A + L + P)
Keterangan:
KA = Kadar air (%)
A = Kadar abu (%)
L = Kadar lemak (%)
P = Kadar protein (%)
f. Analisis Serat Kasar (AOAC 1999)
27
Analisis serat kasar pada prinsipnya merupakan analisis untuk menentukan residu
setelah sampel pangan direaksikan dengan asam dan basa kuat. Residu yang dihasilkan
menunjukkan karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Sampel dihaluskan sehingga dapat
melalui saringan berdiameter 1 mm, kemudian dit imbang sebanyak 1-2 gram dan
diekstraksi lemaknya dengan metode soxhlet. Setelah bebas lemak, contoh dipindahkan
secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml dan ditambahkan 200 ml larutan H2SO4
0.255 N. Labu Erlenmeyer diletakkan pada pendingin balik dengan wadah harus dalam
keadaan tertutup dan didihkan selama 30 menit. Setelah itu, did=tambahkan 200 ml NaOH
0.625 N ke dalam campuran dan didihkan kembali selama 30 menit dengan pendingin
balik. Sampel disaring kembali melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil
dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu di kertas saring dicuci dengan air mendid ih,
kemudian alkohol 95%. Kertas saring beserta isinya dikeringkan di oven pada suhu 100oC
sampai berat konstan, didinginkan dalam desikator kemudian timbang. Kadar serat kasar
dihitung berdasarkan rumus:
Kadar serat kasar (% BB) = W1−W2
W x 100%
Keterangan:
W1 = berat kertas saring dan residu yang telah dikeringkan (g)
W2 = berat kertas saring kosong
W = berat sampel awal (g)
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan
Penelit ian diawali dengan persiapan bahan, yaitu pengecilan ukuran sorgum dan
penimbangan bahan. Pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunkan alat pin disc mill dan
ayakan bergoyang (vibrating screen). Biji sorgum yang telah digiling dengan pin disc mill
memiliki ukuran part ikel yang berbeda-beda. Ukuran part ikel dari endosperm biji-bijian serealia
dan perlakuan yang diterapkan akan sangat mempengaruhi perubahan pada pati selama proses
ekstrusi (Lusas dan Rooney 2001). Distribusi ukuran partikel dari bahan baku harus seragam
untuk menghindari letupan ataupun sumbatan pada ekstruder dan menjamin kualitas yang
diinginkan (Moscicki 2011). Oleh karena itu, ukuran partikel grits sorgum hasil penepungan
diseragamkan dengan menggunakan ayakan bergoyang (vibrating screen). Untuk melihat
pengaruh ukuran partikel terhadap produk, grits sorgum diayak dengan menggunakan dua ukuran
yang berbeda, yaitu 40 dan 60 mesh. Tepung sorgum berukuran 40 mesh merupakan tepung yang
lolos dari ayakan berukuran 40 mesh namun tidak lo los ayakan berukuran 60 mesh.
Sebelum masuk ke dalam esktruder, semua bahan dicampur dan diaduk terlebih dahulu
dengan menggunakan mixer, kemudian did iamkan selama 15 menit untuk menyeragamkan kadar
air (conditioning). Guy (2001) menyebutkan bahwa pengadukan perlu dilakukan untuk
menyeragamkan semua unsur bahan dan kelembaban dalam adonan. Hal in i penting agar kinerja
ekstruder tetap stabil dan ekstrudat yang keluar seragam dan sesuai dengan yang diharapkan.
Penelit ian pendahuluan dilakukan dalam dua kali uji coba. Uji coba pertama dilakukan
dengan variabel tepung sorghum 40 dan 60 mesh, tepung kacang hijau, dan tapioka. Formula yang
diujicobakan pada uji coba pertama dapat dilihat pada Tabel 4. Ringkasan hasil pengamatan
ekstrudat dari uji coba pertama dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama
Formula Tekstur Rasa Warna
1
(S40 100%)
Kekerasan/kerenyahan ++
Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous ++
Tingkat pengembangan ++
Permukaan ++
2
(S40T20%)
Kekerasan/kerenyahan +++
Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous +++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan ++++
3
(S40T20%K10%)
Kekerasan/kerenyahan +++
Agak pahit Putih kecoklatan Padat/porous +++
Tingkat pengembangan ++
Permukaan +++
29
Tabel 7. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba pertama (lan jutan)
Formula Tekstur Rasa Warna
4
(S60 100%)
Kekerasan/kerenyahan +++
Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous ++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan ++
5
(S60T20%)
Kekerasan/kerenyahan ++++
Agak asin Putih kecoklatan Padat/porous +++
Tingkat pengembangan ++++
Permukaan ++++
6
(S60T20%K10%)
Kekerasan/kerenyahan ++++
Agak pahit Putih kecoklatan Padat/porous +++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan +++
Keterangan :
- S40 = Sorgum 40 mesh; S60 = Sorgum 60 mesh
- T20% = Tapioka 20%
- K10% = Kacang hijau 10%
- Kekerasan/kerenyahan : + = sangat keras; +++++ = sangat renyah (optimum =
++++)
- Padat/porous : + = sangat padat; +++++ = sangat porous (optimum =
+++)
- Tingkat pengembangan : + = tidak mengembang; +++++ = sangat mengembang
(optimum = ++++)
- Permukaan : + = sangat berpori; +++++ = tidak berpori (optimum =
+++++)
Parameter dinilai berdasarkan pengamatan subjektif terhadap produk yang dihasilkan.
Tingkat kekerasan/kerenyahan dinilai setelah produk dimakan dan dinilai tingkat
kekerasan/kerenyahannya. Tingkat padat/porous dinilai dengan membelah flakes kemudian
diamati jumlah pori di dalam flakes. Tingkat pengembangan dinilai dengan mengamat i ukuran
flakes dibandingkan dengan ukuran die. Tekstur permukaan dinilai dengan mengamat i jumlah pori
pada permukaan flakes.
Sorgum merupakan bahan baku utama yang digunakan sebagai bahan pembentuk struktur.
Sorgum yang digunakan adalah sorgum sosoh, yaitu sorgum yang telah dihilangkan bagian kulit
dan perikarpnya. Hal in i bertujuan untuk meningkatkan proporsi fraksi pati dan menghilangkan
bagian serat dan komponen polifenol, yang dapat menyebabkan rasa yang tidak diinginkan pada
produk (Guy 2001). Menurut Rooney (2003), sorgum memiliki beberapa keunggulan seperti
warna terang, flavor hambar, dan sifat pengembangan yang baik, yang menjadikannya bahan yang
sangat baik untuk dikembangkan menjadi produk ekstrusi.
Pengamatan yang dilakukan terhadap produk yang keluar dari ekstruder meliputi tekstur,
rasa, dan warna. Tabel 7 menunjukkan bahwa formula 1 dan 4 hanya menggunakan sorgum saja
tanpa penambahan tapioka atau kacang hijau. Formula 1 menggunakan tepung sorgum berukuran
40 mesh, sedangkan formula 4 menggunakan tepung sorgum 60 mesh. Tabel 7 menunjukkan
bahwa formula 1 leb ih keras dan kurang mengembang daripada formula 4, sedangkan porositas
dan teksur permukaan sama. Hal ini d iduga disebabkan karena ukuran partikel bahan yang lebih
30
kecil memungkinkan transfer panas yang lebih merata serta menyerap kelembaban yang lebih
banyak, sehingga proses gelatinisasi yang lebih merata dan sempurna di seluruh bagian adonan
(Guy 2001). Hasilnya, ekstrudat yang keluar lebih renyah dan mengembang. Gambar ekstrudat
formula 1 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 10.
Formula 1 Formula 4
Gambar 10. Ekstrudat Formula 1 (Tepung Sorgum 40 Mesh 100%) dan 4 (Tepung Sorgum
60 Mesh 100%)
Penambahan tapioka mengubah karakteristik pati dalam formula dengan tujuan
memperoleh produk yang lebih baik. Tapioka memiliki derajat gelatinisasi yang rendah (52-65oC),
kandungan protein dan lemak yang rendah, karakteristik pengikat yang baik, warna putih, dan
flavor manis (Moscicki 2011). Dari Tabel 7, penambahan pati tapioka mampu memperbaiki
kerenyahan, tingkat pengembangan, dan tekstur permukaan ekstrudat. Hal in i dapat dilihat dengan
membandingkan formula yang menggunakan ukuran partikel yang sama, yaitu formula 1 dan 2,
serta formula 4 dan 5. Dengan penambahan 20% tapioka, fo rmula 2 memiliki tekstur yang lebih
baik dari pada formula 1. Tingkat kerenyahan, porositas, pengembangan, dan tekstur permukaan
ekstrudat menjadi lebih baik. Hal serupa juga terdapat antara formula 4 dan 5, yaitu tekstur
ekstrudat formula 5 (penambahan 20% tapioka) leb ih baik daripada formula 4. Perubahan
karakteristik tersebut mungkin disebabkan perubahan struktur sel ekstrudat dengan penambahan
pati, yaitu tapioka, melalui proses retrogradasi yang kemudian membentuk lapisan film yuang
cukup kuat untuk mencegah runtuhnya dinding sel dan membentuk sel dengan ketebalan yang
lebih rendah dan ukuran rongga udara yang lebih kecil (Eastman 200; Gonzales 2005). Selain itu,
komposisi amilosa dan amilopektin dalam adonan juga berpengaruh terhadap tingkat
pengembangan dan kekerasan (Lusas dan Rooney 2001). Tapioka memiliki komposisi amilosa-
amilopektin yang berbeda dengan sorgum, sehingga penambahan tapioka dapat mengubah
komposisi amilosa-amilopektin dalam adonan. Chinnaswamy dan Hanna (1988, 1990) diacu
dalam Hanna dan Bhatnagar (1994) menyebutkan bahwa terdapat rasio optimum antara amilosa
dan amilopekt in untuk memperoleh ekstrudat dengan karakteristik tekstur terbaik. Perbandingan
ekstrudat formula 1 dan 2 serta 4 dan 5 dapat dilihat pada Gambar 11.
Penambahan protein berupa tepung kacang hijau dilakukan pada formula 3 dan 6.
Ekstrudat yang keluar memiliki rasa yang pahit dan ukuran ekstrudat yang lebih kecil
dibandingkan dengan formula 2 dan 5. Rasa pahit ini diduga berasal dari hidrolisat protein akibat
gaya potong ekstruder. Dalam jumlah tertentu, hidrolisat protein ini akan menghambat
pengembangan pati saat keluar dari die, sehingga menurunkan derajat pengembangan (Guy 2001).
31
Formula 1 Formula 2 Formula 3
Formula 4 Formula 5 Formula 6
Gambar 11. Ekstrudat Semua Formula Pada Uji Coba Pertama
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat pengaruh ukuran partikel, penambahan tapioka, dan
penambahan kacang hijau terhadap tekstur, rasa, dan warna. Dengan ukuran partikel yang
berbeda, ekstrudat memiliki t ingkat kepadatan dan tekstur permukaan yang sama. Perbedaannya,
ekstrudat yang menggunakan sorgum 60 mesh memiliki t ingkat pengembangan dan kerenyahan
yang lebih baik. Penambahan tapioka menunjukkan peningkatan karakteristik tekstur ekstrudat.
Kerenyahan, porositas, tingkat pengembangan, dan tekstur permukaan ekstrudat menjadi leb ih
baik. Ketika ditambahkan kacang hijau, rasa menjadi lebih pahit dan tingkat pengembangan serta
tekstur permukaan ekstrudat menjadi menurun, meskipun masih lebih t inggi dibandingkan 100%
sorgum. Oleh karena itu, kacang hijau tidak lagi d igunakan pada uji coba selanjutnya.
Tepung gula ditambahkan untuk memberikan rasa manis pada ekstrudat. Selain itu, gula
berperan sebagai agen pengikat, pembawa flavor, dan pemberi mouthfeel pada produk
(Dobraszczyk et al. 2005). Jumlah tepung gula yang ditambahkan pada semua formula adalah
10% dari jumlah tepung sorgum, pati tapioka, dan tepung kacang hijau, atau sebanding dengan
8.7% dari total bahan yang digunakan. Dalam jumlah tersebut, gula tidak berpengaruh signifikan
terhadap proses ekstrusi. Namun, jumlah yang lebih tinggi dapat berdampak negatif pada
pemasakan ekstrusi, karena gula dapat mengurangi temperatur bahan sehingga energi panas yang
dibutuhkan menjadi lebih besar, dan derajat pengembangan ekstrudat menjadi berkurang
(Moscicki, 2011). Dari segi rasa, ekstrudat yang dihasilkan dari penambahan 10% gula belum
menunjukkan rasa manis. Sebaliknya, ekstrudat terasa agak asin, yang mungkin disebabkan
penamabahan garam yang berleb ihan.
Sama seperti gula, minyak juga ditambahkan dalam jumlah yang sama untuk semua
formula yang diujicobakan, yaitu 4%. Tujuan penambahan minyak adalah menghindari
penyumbatan di dalam ekstruder. Penyumbatan ini terjadi akibat pembentukan leburan adonan
yang lengket akibat degradasi polimer pati, apabila ekstrusi dilakukan menggunakan bahan yang
memiliki kandungan lemak dan kele mbaban rendah (Dobraszczyk et al. 2005). Penambahan
minyak dapat mengurangi friksi adonan dalam ekstruder serta membantu pergerakan material
32
dalam adonan, sehingga penyumbatan dapat dihindari (Moscicki 2011). Selain itu, lemak atau
minyak memiliki dampak positif terhadap kualitas dan kandungan gizi dari ekstrudat .
Garam d itambahkan untuk memberi rasa dan sebagai penguat flavor (flavor enhancer).
Penambahan garam sebanyak 2% pada semua formula menyebabkan produk terasa agak asin saat
dicicip. Oleh karena itu, jumlah garam pada uji coba selanjutnya dikurangi menjadi 1%.
Dari hasil uji coba pertama, uji coba kedua dilakukan untuk melihat pengaruh penambahan
gula, coklat, dan minyak terhadap karakteristik ekstrudat. Beberapa variabel yang ditetapkan dari
uji coba pertama antara lain ukuran partikel sorgum yang digunakan yaitu 60 mesh, jumlah garam
yang digunakan diturunkan yaitu 1%. Ringkasan pengamtan ekstrudat uji coba kedua dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua
Formula Tekstur Rasa Warna
Std
(G15C10M5)
Kekerasan/kerenyahan +++
Agak manis Coklat Padat/porous ++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan ++
G1
(G10C10M5)
Kekerasan/kerenyahan +++
Sedikit asin Coklat Padat/porous ++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan ++
G2
(G20C10M5)
Kekerasan/kerenyahan ++
Agak pahit Coklat Padat/porous ++
Tingkat pengembangan ++
Permukaan ++
C1
(G15C5M5)
Kekerasan/kerenyahan +++
Agak manis Sedikit coklat Padat/porous ++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan ++
C2
(G15C15M5)
Kekerasan/kerenyahan +++
Agak pahit Coklat Padat/porous ++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan ++
M1
(G15C10M7,5)
Kekerasan/kerenyahan ++
Agak manis Coklat Padat/porous ++
Tingkat pengembangan +++
Permukaan ++
33
Tabel 8. Ringkasan pengamatan ekstrudat uji coba kedua (lan jutan)
M2
(G15C10M10)
Kekerasan/kerenyahan ++
Agak manis Coklat Padat/porous ++
Tingkat pengembangan ++
Permukaan ++
Keterangan :
- G10 = gula 10%; G15 = gula 15%; G20 = gula 20%
- C5 = coklat 5%; C10 = coklat 10%; C15 = coklat 15%
- M5 = minyak 5%; M7,5 = minyak 7,5%; M10 = minyak 10%
- Kekerasan/kerenyahan : + = sangat keras; +++++ = sangat renyah (optimum =
++++)
- Padat/porous : + = sangat padat; +++++ = sangat porous (optimum =
+++)
- Tingkat pengembangan : + = tidak mengembang; +++++ = sangat mengembang
(optimum = ++++)
- Permukaan : + = sangat berpori; +++++ = tidak berpori (optimum =
+++++)
Gula ditambahkan dengan variasi 10%, 15%, dan 20%. Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa
tidak terdapat perbedaan antara ekstrudat dengan penambahan gula 10% dan 15%. Pada
penambahan 20% gula, ekstrudat menjadi lebih keras dan ukurannya lebih kecil. Rasa ekstrudat
menjadi lebih pahit yang diduga akibat reaksi karamelisasi saat ekstrusi berlangsung (Guy, 2001).
Pada penambahan 10% gula, terasa sedikit rasa asin. Oleh karena itu, penambahan 15% gula
merupakan jumlah terbaik yang menghasilkan rasa dan tekstur terbaik.
.
10% 15% 20%
Gambar 12. Ekstrudat dengan penambahan gula 10%, 15%, dan 20%
Variasi penambahan coklat bubuk dilakukan pada jumlah 5%, 10%, dan 15%. Dari segi
tekstur, tidak terlihat perbedaan diantara ketiga variasi penambahan. Perbedaan terlihat dari wana
dan rasa ekstrudat yang dihasilkan. Warna terbaik din ilai dengan membandingkan produk dengan
produk referen. Pada penambahan 5% coklat, warna coklat lebih pudar dibandingkan dengan
penambahan 10% dan 15% coklat. Penambahan coklat sebanyak 15% menunjukkan warna coklat
yang baik namun berdampak negatif pada rasa yang lebih pahit. Rasa pahit yang ditimbulkan
berasal dari komponen alkalo id pada coklat, sehingga jumlah yang lebih tinggi akan menyebaban
rasa pahit semakin nyata. Penambahan coklat ditetapkan pada jumlah 10% yang memberikan
warna coklat, aroma, dan rasa produk yang baik.
34
5% 10% 15%
Gambar 13. Ekstrudat Dengan Penambahan Coklat 5%, 10%, dan 15%
Variasi penambahan minyak dilakukan pada jumlah 5%, 7,5%, dan 10%. Penambahan
minyak dalam jumlah yang lebih tinggi akan menyebabkan turunnya pengembangan produk (Guy
2001). Hal in i dapat diamat i dari ekstrudat yang dihasilkan, yaitu semakin kecilnya ukuran
ekstrudat dengan bertambahnya jumlah minyak yang digunakan. Tekstur ekstrudat juga menjadi
lebih keras dengan peningkatan jumlah minyak yang digunakan. Dibandingkan dengan uji coba
pertama, 5% minyak menghasilkan ekstrudat yang lebih keras , dan ukuran ekstrudat menjadi leb ih
kecil, begitu pula dengan penambahan 7.5% dan 10%. Oleh karena itu, jumlah minyak yang
ditambahkan d itetapkan pada taraf 4%.
5% 7,5% 10%
Gambar 14. Ekstrudat Dengan Penambahan Minyak 5%, 7,5%, dan 10%
Dari penelit ian pendahuluan ini, diperoleh komposisi bahan-bahan tambahan yang
menghasilkan ekstrudat dengan karaktersitik paling baik. Sorgum yang digunakan adalah sorgum
yang berukuran 60 mesh. Dari u ji coba pertama, 20% tapioka terbukt i mampu memperbaiki
karakteristik tekstur ekstrudat. Namun, komposisi optimum tapioka akan ditentukan pada
penelitian utama. Komposisi bahan-bahan unutk digunakan pada penelitian utama dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Komposisi optimum bahan-bahan untuk digunakan dalam
penelit ian utama
Bahan Jumlah (% )
Tepung sorgum 60 mesh (relatif terhadap tapioka)
Tepung gula 15
Coklat bubuk 10
Minyak 4
Garam 1
35
10
200.00
1.00
2.00
3.00
4.00
0 1 2
2.9
3.943.66
3.23.06
3.01
tap
ioka
(%
)
kesu
kaan
te
kstu
r
emulsifier (%)
*Perbedaan signifikan ditunjukan dengan perbedaan warna
B. Penelitian Utama Penelit ian utama dilakukan dengan memvariasikan jumlah tapioka dan penambahan
emulsifier. Tujuan dari penelitian utama adalah menghasilkan tekstur ekstrudat yang baik. Kedua
bahan yang digunakan memiliki karaktersit ik pembentuk tekstur. Dengan memvariasikan
komposisi keduanya, diharapkan dapat diperoleh jumlah yang tepat untuk membentuk tekstur yang
baik. Formula yang diujicobakan dapat dilihat pada Tabel 4.
Produk yang dihasilkan kemudian d iuji secara organoleptik dan fisik. Uji organoleptik
dilakukan untuk menilai tingkat kesukaan panelis terhadap masing-masing formula. Data yang
diperoleh dijad ikan dasar penentuan produk terbaik. Analisis fisik dilakukan untuk melihat
pengaruh masing-masing variasi bahan yang diujicobakan terhadap karakteristik fisik ekstrudat.
1. Uji Rating Hedonik Dasar penentuan formula optimum ditetapkan dari uji rat ing hedonik, yaitu uji yang
termasuk ke dalam uji afektif . Uji rating hedonik melibatkan 70 panelis tidak terlat ih, sesuai
yang dikatakan oleh Waysima (2008). Kuesioner uji rating hedonik dapat dilihat pada
Lampiran 2. Data yang diperoleh dari rating hedonik diolah menggunakan program SPSS.
Hasil dari uji rat ing hedonik dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil uji rating hedonik
Gambar 15. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor Kesukaan Tekstur
Kode
Sampel
Penggunaan
Tapioka dan
Emulsifier (% )
Nilai Rata-Rata
Tekstur Warna Rasa Keseluruhan
T1E1 10%, 0% 2.60a
3.53a
2.50a
2.77a
T1E2 10%, 1% 3.94c
3.31a
3.33c
3.56d
T1E3 10%, 2% 3.66c
3.23a
3.34c
3.44c,d
T2E1 20%, 0% 3.20b
3.37a
3.09b,c
3.24b,c
T2E2 20%, 1% 3.06b
3.31a
2.90b
3.14b
T2E3 20%, 2% 3.01b
3.41a 2.83
b 2.99
a,b
36
Pengolahan data (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara tapioka
dengan emulsifier terhadap skor kesukaan tekstur ekstrudat (p<0.05). Uji lan jut terhadap
variabel-variabel in i dapat dilihat pada Gambar 15. Dari gambar tersebut, perbedaan signifikan
ditunjukan dengan perbedaan warna pada diagram batang.
Penambahan tapioka dan emulsifier diharapkan dapat memperbaiki tekstur ekstrudat
sehingga lebih disukai oleh konsumen/panelis. Namun dari hasil analisis yang didapat,
penambahan emulsifier dan tapioka tidak menunjukkan hasil yang linier. Pada penambahan
10% tapioka, penambahan emulsifier meningkatkan skor kesukaan, sedangkan pada
penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak menunjukkan perbedaan skor
kesukaan. Tanpa penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menyebabkan
peningkatan skor kesukaan, sedangkan dengan penambahan emulsifier, peningkatan tapioka
justru menurunkan skor kesukaan.
Tapioka ditambahkan dengan tujuan mengubah karakteristik pati dalam adonan menjadi
lebih baik sehingga diperoleh tekstur yang lebih baik dan leb ih disukai o leh konsumen.
Sedangkan emulsifier ditambahakan dengan tujuan meratakan pembentukan dan distribusi sel
atau rongga udara sehingga diperoleh ekstrudat dengan tekstur yang lebih halus dengan ukuran
pori-pori yang lebih kecil. Pemerataan pembentukan sel ini juga dapat berpengaruh terhadap
meningkatknya pengembangan (Gonzales 2005). Secara umum, konsumen lebih menyukai
produk yang renyah, yang merupakan produk dengan tingkat pengembangan baik dan densitas
rendah.
Dari data yang diperoleh dapat diamat i bahwa tanpa penambahan emulsifier,
penambahan 20% tapioka menunjukkan skor kesukaan yang lebih tinggi (3.20) dibandingkan
10% tapioka (2.60). Penambahan emulsifier memberikan pengaruh positif pada 10% tapioka,
sedangkan tidak memberikan pengaruh s ignifikan pada penambahan 20% tapioka. Hal ini
mungkin dapat dikaitkan dengan pembentukan kompleks amilosa-lip id (dengan gliserol
monostearat dari emulsifier) yang lebih cenderung terjadi pada penambahan 20% tapioka,
karena jumlah amilosa bebas (dari tapioka) yang lebih tinggi (Guy 2001; Hanna dan Bhatnagar
1994; Harper 1981; Muchtadi et al. 1987). Kompleks ini menyebabkan emulsifier menjadi
terikat dengan amilosa dan tidak dapat memberikan perannya untuk meratakan pembentukan
sel, atau rongga udara mikro yang dapat membuat ekstrudat menjadi leb ih renyah, lebih
mengembang, dan memiliki tekstur permukaan/tampak luar yang lebih merata atau halus
(Harper 1981; Moscicki 2011). Sebaliknya, pembentukan kompleks ini jutru dapat
menurunkan pengembangan, dengan merusak dinding sel sehingga tidak mampu
mempertahankan strukturnya dan runtuh saat keluar melalu i die (Gonzales 2005). Pada
penambahan 10% tapioka, kecenderungan pembentukan kompleks tersebut nampaknya jauh
lebih kecil, sehingga emulsifier dan tapioka dapat berinteraksi positif menghasilkan
karakteristik tekstur ekstrudat yang lebih baik.
Dari hasil analisis derajat pengembangan (hal 39), penambahan emulsifier pada 10%
tapioka menunjukkan sedikit peningkatan meskipun tidak signifikan. Sebaliknya pada
penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier menurunkan derajat pengembangan. Dari
hasil analisis kekerasan (hal 43), penambahan emulsifier pada 10% tapioka menunjukkan
penurunan nilai kekerasan, sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier
tidak menunjukkan perbedaan. Apabila dibandingkan, terdapat kesesuaian antara hasil analisis
dengan skor kesukaan tekstur, yaitu bahwa pembentukan kompleks pada penambahan 20%
tapioka menyebabkan penurunan pengembangan dan tidak memberikan pengaruh terhadap
kekerasan. Sebaliknya pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier sedikit
37
10
200.00
1.00
2.00
3.00
4.00
0 1 2
2.5
3.34 3.33
3.092.9
2.83
tap
ioka
(%
)kesu
kaan
ras
a
emulsifier (%)
meningkatkan pengembangan dan menurunkan kekerasan. Dari penjelasan tersebut, dapat
dilihat bahwa panelis cenderung menyukai produk dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah
dan derajat pengembangan yang lebih tinggi.
Pengolahan data ANOVA untuk atribut warna (Lampiran 4) tidak menunjukkan adanya
interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap skor kesukaan warna (p>0.05). Hal
ini disebabkan jumlah coklat yang ditambahkan pada semua formula sama. Meskipun
demikian, diperoleh informasi bahwa esktrudat memiliki warna yang cukup disukai oleh
panelis (skor rata-rata 3.36).
Hasil pengolahan data atribut rasa dengan ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan terdapat
interaksi antara variabel tapioka dan emulsifer terhadap skor kesukaan rasa (p<0.05). Gambar
16 menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier
meningkatkan skor kesukaan. Sedangkan pada penambahan 20% tapioka, penambahan
emulsifier tidak memberikan pengaruh signifikan. Tanpa penambahan emulsifier, peningkatan
jumlah tapioka meningkatkan meningkatkan skor kesukaan rasa. Sebaliknya, dengan
penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menyebabkan penurunan skor kesukaan.
Gambar 16. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor Kesukaan Rasa
Pengaruh penambahan emulsifier dan tapioka terhadap rasa terutama berkaitan dengan
tingkat kematangan produk. Tapioka dengan kandungan amilopektin yang lebih tinggi
memiliki sifat alir yang lebih baik daripada amilosa, sehingga dapat menurunkan friksi internal
bahan untuk menghindari rasa gosong. dari pemasakan berlebih (Xie et al. 2009). Emulsifier,
yang memiliki sifat seperti lemak, juga berpengaruh terhadap friksi internal bahan, sehingga
interaksi keduanya akan berpengaruh terhadap rasa produk.
Tanpa penambahan emulsifier, penambahan 20% tapioka memiliki skor kesukaan rasa
yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan 10% tapioka. Hal in i disebabkan oleh
kandungan total amilopektin yang lebih tinggi pada sampel tersebut, sehingga diduga mencapai
tingkat kematangan yang lebih baik, atau tidak mengalami pemasakan berlebih (over-cooking),
daripada sampel dengan 10% tapioka.
Sebaliknya dengan penambahan emulsifier, peningkatan jumlah tapioka justru
menurunkan skor kesukaan terhadap rasa, meskipun tidak signifikan. Hal ini d iduga
disebabkan penurunan friksi internal yang berlebihan dengan ditambahkannya kedua variabel
38
10
200.00
1.00
2.00
3.00
4.00
0 1 2
2.77
3.56 3.44
3.243.14
2.99
tap
ioka
(%
)
kesu
kaan
ke
selu
ruh
an
emulsifier (%)
tersebut. Pada penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier, yang memiliki sifat
pelumasan seperti minyak, akan semakin mengurangi friksi internal. Hal in i menyebabkan
turunnya suhu adonan sehingga proses gelatinisasi tidak berlangsung cukup sempurna. Hal ini
juga dapat dikaitkan dengan turunnya tingkat pengembangan pada sampel-sampel tersebut.
Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier justru meningkatkan skor kesukaan
rasa yang diduga disebabkan tercapainya tingkat kematangan yang baik, atau tidak mengalami
pemasakan kurang (under-cooking) ataupun pemasakan berlebih (over-cooking).
Pengolahan data dengan ANOVA (Lampiran 6) untuk atribut secara keseluruhan
menunujukan adanya interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap skor kesukaan
secara keseluruhan. Gambar 17 menunjukkan bahwa tanpa penambahan emulsifier,
peningkatan jumlah tapioka meningkatkan skor kesukaan, sedangkan dengan penambahan
emulsifier, peningkatan jumlah tapioka menurunkan skor kesukaan. Pada penambahan 10%
tapioka, penambahan emulsifier cenderung meningkatkan skor kesukaan, sedangkan pada
penambahan 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak memberikan pengaruh signifikan.
Gambar 17. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Skor
Kesukaan Secara Keseluruhan
Dari gambar 17, terdapat diagram batang yang memiliki garis luar dengan warna yang
berbeda dengan warna diagram batangnya, yang menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak
berbeda signifikan dengan sampel lain yang memiliki warna d iagram batang yang sama
maupun dengan sampel dengan warna yang sama dengan garis luarnya. Hasil uji rating
hedonik secara keseluruhan ini sesuai dengan hasil uji rat ing hedonik terhadap rasa dan tekstur.
Dari pengolahan data uji organoleptik yang telah dilakukan, dipero leh informasi
mengenai sampel yang memiliki skor tertinggi yang paling disukai o leh panelis. Sampel
dengan penambahan 10% tapioka dan 1% emulsifier memiliki skor tertinggi dari pengujian
sensori terhadap atribut tekstur, rasa, dan atribut secara keseluruhan. Oleh karena itu, sampel
tersebut dipilih sebagai sampel yang memiliki karakteristik sensori terbaik.
39
2. Analisis Fisik
a. Derajat Pengembangan Derajat pengembangan produk diuji dengan memperhatikan dua dimensi produk.
Hal ini dikarenakan ukuran produk yang tidak bulat merata, melainkan pipih lonjong.
Dimensi yang diukur adalah panjang dan lebar.
Pengolahan data ANOVA untuk derajat pengembangan dimensi panjang (Lampiran
7) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap
derajat pengembangan dimensi panjang. Sementara pengolahan data ANOVA untuk
derajat pengembangan dimensi lebar (Lampiran 8) tidak menunjukkan adanya interaksi.
Uji lanjut Duncan menunjukkan terdapat dua subset yang berbeda. Dari Tabel 11 dapat
dilihat bahwa sampel dengan kode T1E1, T1E2, T1E3, dan T2E1 memiliki derajat
pengembangan yang tidak berbeda, dibandingkan dengan sampel T2E2 dan T2E3.
Tabel 11. Data derajat pengembangan
Sampel Derajat Pengembangan (%)
Dimensi Panjang Dimensi Lebar
T1E1 113,64b
130,93a
T1E2 118,09b
130,93a
T1E3 114,00b
128,13a
T2E1 121,91b
134,13a
T2E2 102,63a
121,60a
T2E3 101,27a
133,07a
Dari Gambar 18, dapat dilihat bahwa pada penambahan 20% tapioka, derajat
pengembangan sampel dengan penambahan emuls ifier (1% dan 2%) berbeda signifikan
dengan sampel lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh pembentukan kompleks amilosa-
lip id pada sampel tersebut yang dapat menurunkan derajat pengembangan. Kompleks
amilosa-lip id in i diduga terbentuk antara amilosa bebas dari tapioka dan emulsifier yang
berupa gliserol monostearat (Guy 2001; Hanna dan Bhatnagar 1994; Harper 1981). Saat
ekstrusi berlangsung, pati dapat membentuk sebuah matriks yang dapat memerangkap uap
air, sehingga membentuk gelembung-gelembung (Guy dan Horne 1988 diacu dalam Hanna
dan Bhatnagar 1994; Harper 1981). Pembentukan kompleks dapat mengubah karakteristik
viskoelastik dari matriks pati tersebut, sehingga tidak mampu memerangkap uap air dan
menyebabkan penurunan derajat pengembangan serta peningkatan densitas kamba
(Gonzales 2005; Hanna dan Bhatnagar 1994). Selain itu, pembentukan kompleks in i
diduga dapat mengubah rasio amilosa-amilopektin dalam adonan dengan berinteraksinya
amilosa dengan emulsifier, sehingga ras io amilosa-amilopektin yang optimum untuk
pengembangan tidak tercapai (Chinaswammy dan Hanna 1988 1990 d iacu dalam Hanna
dan Bhatnagar 1994).
40
10
200
20
40
60
80
100
120
140
0 1 2
113.64 118.09 114
121.91
102.63101.27
tap
ioka
(%
)
de
raja
t p
en
gem
ban
gan
(%
)
emulsifier (%)
Gambar 18. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Derajat
Pengembangan Dimensi Panjang
Pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier terlihat tidak menurunkan
derajat pengembangan, bahkan meningkatkannya. Hal ini mungkin d isebabkan jumlah
tapioka yang ditambahkan lebih sedikit, sehingga kemungkinan terbentuknya kompleks
lebih kecil. Pembentukan kompleks dalam jumlah yang lebih kecil ini mungkin juga
menyebabkan tercapainya rasio amilosa-amilopekt in yang lebih baik untuk pengembangan.
Peran emulsifier untuk mengubah karakteristik tekstur dengan meratakan pembentukan dan
distribusi rongga udara dan membantu pemotongan dalam ekstruder juga terlihat pada
sampel tersebut, sehingga diduga dapat meningkatkan pengembangan dari ekstrudat
(Mosciciki 2011).
b. Waktu Rehidrasi Waktu rehidrasi terbagi menjad i waktu rehidrasi awal dan waktu rehidrasi akhir.
Waktu rehidrasi awal dapat dijelaskan sebagai waktu saat susu mulai membasahi ekstrudat,
yaitu saat bagian tepi ekstrudat terlihat basah. Waktu akhir rehidrasi merupakan waktu saat
susu membasahi seluruh bagian ekstrudat, yaitu saat seluruh permukaan ekstrudat terlihat
basah. Waktu rehidrasi referen juga diukur untuk melihat perbandingan antara waktu
rehidrasi sampel dengan referen.
Tabel 12. Data waktu rehidrasi
Sampel Waktu Rehidrasi (detik)
Awal Akhir
T1E1 2065a
2506a
T1E2 2650a
3210a
T1E3 2797a
3348a
T2E1 2390a
2794a
T2E2 2932a
3306a
T2E3 3131a
3493a
Referen 1375a
1510a
41
10
20
Ref
0
400
800
1200
1600
2000
2400
2800
3200
0 1 2 Ref
2065
2650 27972390
29323131
1375
tap
ioka
(%
)
wak
tu r
eh
idra
si a
wal
(d
tk)
emulsifier (%)
Gambar 19. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Waktu Rehidrasi Awal
Pengolahan data dilakukan dengan ANOVA (Lampiran 9 dan Lampiran 10)
menunjukkan bahwa t idak terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap
waktu rehidrasi, baik awal dan akhir. Meskipun demikian, Gambar 19 dan Gambar 20
menunjukkan hubungan yang linier antara peningkatan jumlah emulsifier dan tapioka
terhadap waktu rehidrasi awal dan akhir. Semakin tinggi jumlah tapioka yang
ditambahkan, semakin tinggi waktu rehidrasinya. Begitu pula dengan emulsifier.
Peningkatan waktu rehidrasi akibat peningkatan jumlah tapioka disebabkan pati-patian,
seperti tapioka, memiliki kemampuan membentuk film, sehingga memperlambat
penyerapan susu ke dalam sereal (Eastman et al. 2001). Selain itu, peningkatan jumlah
amilopektin, yang dalam hal ini berupa tapioka, menyebabkan penurunan kemampuan
serap air adonan, karena komponen amilopektin menyerap lebih sedikit air dibandingkan
amilosa (Moscicki 2011).
Emulsifier memiliki sifat yang serupa dengan lipid. Penambahan emulsifier berart i
peningkatan kandungan lipid dalam adonan. Semakin tinggi jumlah lipid dalam adonan,
semakin banyak granula pati yang terlapisi, sehingga sukar menyerap air (Harper 1981).
Hal ini dapat meningkatkan waktu rehidrasi dari ekstrudat. Selain itu, efek pelumasan dari
lip id dapat menyebabkan penurunan degradasi amilopekt in, yang sukar menyerap air. Hal
ini menyebabkan semakin sedikit bagian yang terlarut dalam air, sehingga waktu
rehidrasinya meningkat (Hanna dan Bhatnagar 1994).
Referen memiliki waktu rehidrasi yang lebih singkat daripada semua sampel. Hal
ini merupakan hal yang baik karena konsumen lebih menyukai sereal yang terehidrasi lebih
lama karena kerenyahan dapat dipertahankan (Mannie 1999).
42
10
20
Ref
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
0 1 2 Ref
2506
3210 33062794
3348 3493
1510
tap
ioka
(%
)
wak
tu r
eh
idra
si a
khir
(d
tk)
emulsifier (%)
Gambar 20. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Waktu Rehidrasi Akhir
c. Indeks Kelarutan Air Indeks kelarutan air atau Water Solubility Index (WSI) merupakan parameter yang
digunakan untuk mengukur kelarutan ekstrudat di dalam air. Indeks in i menunjukkan
seberapa banyak bagian ekstrudat yang dapat terlarut dalam air, dan dinyatakan dalam gram
per mililiter (g/ml). Pengolahan data dengan ANOVA (Lampiran 11) menunjukkan bahwa
tidak terdapat interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier yang ditambahkan terhadap
indeks kelarutan air. Selain itu, tidak terdapat pengaruh penambahan tapioka dan
penambahan emulsifier terhadap indeks kelarutan air. Data indeks kelarutan air sampel
dapat dilihat dalam Tabel 13.
Tabel 13. Data indeks kelarutan air
Sampel Indeks Kelarutan Air (g/ml)
T1E1 0,0076a
T1E2 0,0076a
T1E3 0,0080a
T2E1 0,0082a
T2E2 0,0081a
T2E3 0,0076a
Referen 0,0208b
43
10
20
Ref
0.0000
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0 1 2 Ref
0.0076 0.0076 0.0080
0.0082 0.00810.0077
0.0208
tap
ioka
(%
)
ind
eks
ke
laru
tan
air
(g/
ml)
emulsifier (%)
Gambar 21. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Indeks Kelarutan Air
Gambar 21 menunjukkan bahwa indeks kelarutan air referen jauh leb ih tinggi
daripada sampel. Hal in i menunjukkan bahwa sampel lebih sukar larut dalam air daripada
referen. In i berarti bowl time sampel atau lamanya flakes mempertahankan kerenyahannya
saat disajikan leb ih tinggi daripada referen. Hal in i lebih disukai oleh konsumen.
d. Analisis Kekerasan dan Nilai Patah (Rheoner) Analisis fisik dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner, dan dibagi menjad i
kekerasan maksimum dan nilai patah (breakage). Ringkasan pengolahan data analisis
kekerasan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Data analisis kekerasan
Sampel Kekerasan (gf)
T1E1 1640,00d
T1E2 1100,00b
T1E3 1340,00c
T2E1 1670,00d
T2E2 1760,00d
T2E3 1760,00d
Referen 400,00a
Pengolahan data ANOVA untuk nilai kekerasan menunjukkan adanya interaksi
antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap nilai kekerasan. Gambar 22 menujukan
bahwa penambahan emulsifier memiliki pengaruh yang berbeda pada kedua tingkat
penambahan tapioka. Pada 20% tapioka, penambahan emulsifier tidak memberikan
pengaruh signifikan. Sebaliknya, pada penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier
justru menurunkan nilai kekerasan. Hal ini berhubungan dengan pembentukan kompleks
amilosa-lip id pada sampel dengan penambahan 20% tapioka. Kompleks amilosa-lip id
dapat menurunkan pengembangan dan densitas kamba, yang berarti produk menjadi padat
dan keras (Hanna dan Bhatnagar 1994). Dibandingkan dengan skor kesukaan terhadap
44
10
20
Ref
0
500
1000
1500
2000
0 1 2 Ref
1640
11001340
1670 1760 1760
400
tap
ioka
(%
)keke
rasa
n (g
f)
emulsifier (%)
tekstur, sampel dengan penambahan 10% tapioka 1% dan 2% emulsifier memiliki skor
tertinggi (3.94 dan 3.66). Hal ini berarti panelis leb ih menyukai sampel dengan nilai
kekerasan yang lebih rendah.
Gambar 22. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Nilai Kekerasan
Pada sampel dengan penambahan 10% tapioka, penambahan emulsifier justru
menurunkan nilai kekerasan ekstrudat. Hal ini mungkin disebabkan tercapainya rasio
amilosa amilopektin yang lebih baik dengan pembentukan kompleks amilosa-lipid yang
lebih sedikit, seperti dijelaskan sebelumnya. Rasio amilosa-amilopektin menjadi kurang
optimum pada penambahan 2% tapioka akibat pembentukan kompleks yang lebih banyak,
yang ditunjukan dengan naiknya nilai kekerasan.
Gambar 22 juga menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kekerasan produk lebih tinggi
daripada tingkat kekerasan sampel referen. Hal in i d iduga akibat kandungan amilosa dalam
sorgum lebih tinggi daripada jagung atau gandum yang digunakan pada produk komersial
(Harper 1981)
Tabel 15. Data analisis nilai patah (breakage)
Sampel Nilai Patah (g f)
T1E1 770,00a
T1E2 710,00a
T1E3 660,00a
T2E1 960,00a
T2E2 1200,00a
T2E3 1290,00a
Referen 300,00a
45
10
20
Ref
0
500
1000
1500
2000
0 1 2 Ref
770710
660
9601200 1290
300
tap
ioka
(%
)nila
i pat
ah (
gf)
emulsifier (%)
Gambar 23. Pengaruh Penambahan Tapioka dan Emulsifier Terhadap Nilai Patah
Pengolahan data ANOVA untuk data nilai patah menunjukkan bahwa tidak terdapat
interaksi antara variabel tapioka dan emulsifier terhadap nilai patah sampel. Meskipun
demikian, dapat dilihat pada Gambar 23 bahwa terdapat perbedaan pengaruh penambahan
emulsifier antara sampel dengan 10% tapioka dengan 20% tapioka. Penambahan emulsifier
pada sampel yang ditambahkan 20% tapioka menujukan peningkatan nilai patah dengan
peningkatnya jumlah emulsifier. Sebaliknya pada sampel dengan penambahan 10%
tapioka, penambahan emusifier justru menurunkan nilai patah. Hal in i dapat terjadi akibat
pembentukan kompleks seperti dijelaskan sebelumnya.
3. Uji Penerimaan Dari uji rating hedonik dan uji fisik, sampel dengan penambahan 10% tapioka dan 1%
emulsifier dip ilih menjadi sampel terbaik. Karena target konsumen adalah anak-anak usia
sekolah, uji organoleptik 2 atau uji penerimaan dilakukan kepada siswa kelas 5 SD di dua
sekolah. Dua sekolah dasar yang dipilih adalah SDN Babakan IV Bogor dan SDN Polisi V
Bogor. Dua sekolah ini memiliki tingkat ekonomi yang berbeda, yang bertujuan untuk
melihat penerimaan produk pada tingkat ekonomi yang berbeda tersebut. Tingkat ekonomi
kedua sekolah ditetapkan berdasarkan asumsi lokasi sekolah dan tingkat popularitas dari
sekolah. SDN Polisi V berada di pusat kota Bogor sementara SDN Dramaga 4 berada di
kabupaten Bogor. Berdasarkan tingkat popularitasnya, SDN Polisi V lebih terkenal
dibandingkan dengan SDN Dramaga 4
Kuesioner yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 15. Pertanyaan tentang
pengetahuan dan tingkat konsumsi siswa disertakan dalam kuesioner sehingga relevansi uji
sensori dapat diketahui. Ringkasan uji penerimaan dapat dilihat pada Gambar 24.
Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskriptif dengan statistik chi-square.
Informasi yang didapatkan menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa kelas 5 dari kedua
sekolah telah mengetahui mengenai sereal sarapan susu. Uji statistik chi-square menunjukkan
tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan pengetahuan tentang sereal susu. Hal
ini dapat disebabkan sereal sarapan susu telah banyak beredar di masyarakat dan pemasarannya
lewat media telev isi telah banyak bermunculan.
46
Secara garis besar, siswa kedua sekolah kadang-kadang mengkonsumsi sereal susu. Uji
statistik chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan
konsumsi sereal susu. Nampaknya sereal susu telah cukup populer di masyarakat dan
harganya telah cukup terjangkau sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat
mengkonsumsinya. Hasil pengujian pengetahuan tentang sereal dan tingkat konsumsi dapat
dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Pengetahuan dan tingkat konsumsi sereal sarapan dari dua sekolah
Berdasarkan hasil yang diperoleh, tingkat kesukaan terhadap aroma dan kerenyahan
siswa-siswa kedua sekolah serupa, yaitu sebagian besar menyatakan enak. Uji statistika
dengan chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi siswa
dengan tingkat kesukaan terhadap aroma dan kerenyahan. Dari informasi in i, aroma dan
kerenyahan yang dimiliki produk sudah cukup baik dan diterima baik o leh konsumen.
Tingkat ketertarikan terhadap warna dan tingkat kesukaan terhadap rasa siswa kedua
sekolah menunjukkan perbedaan. SDN Polisi V yang memiliki tingkat ekonomi rata-rata
siswanya lebih tinggi cenderung memilih cukup enak, berbeda dengan SDN Dramaga IV yang
banyak memilih enak. Uji chi-square menunjukkan terdapat hubungan antara tingkat ekonomi
dengan tingkat kesukaan rasa dan ketertarikan warna produk. Secara keseluruhan, tingkat
kesukaan siswa semakin menurun dengan meningkatnya tingkat ekonomi. Penerimaan
terhadap atribut produk dapat dilihat pada Gambar 25.
0
20
40
60
80
100
tahu tidak tahu
100
0
97.5
2.5
jum
lah
(%)
Pengetahuan Tentang Sereal
Menengah ke bawah Menengah ke atas
0
20
40
60
80
tidak pernah kadang-kadang sering
0
79.5
20.5
0
77.5
22.5
jum
lah
(%)
Tingkat Konsumsi
Menengah ke bawah Menengah ke atas
47
Gambar 25. Penerimaan terhadap atribut produk
Gambar 26. Keinginan konsumsi produk
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
menarik cukup menarik
tidak menarik
71.8
25.6
2.6
4552.5
2.5jum
lah
(%)
Penerimaan terhadap warna
Menengah ke bawah Menengah ke atas
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
enak cukup enak tidak enak
71.8
28.2
0.0
67.5
25.0
7.5
jum
lah
(%)
Penerimaan terhadap aroma
Menengah ke bawah Menengah ke atas
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
enak cukup enak tidak enak
66.7
30.8
2.6
27.5
67.5
5.0
jum
lah
(%)
Penerimaan terhadap rasa
Menengah ke bawah Menengah ke atas
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
enak cukup enak tidak enak
64.1
35.9
0.0
65.0
32.5
2.5jum
lah
(%)
Penerimaan terhadap kerenyahan
Menengah ke bawah Menengah ke atas
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
enak cukup enak tidak enak
82.1
17.9
0.0
37.5
55.0
7.5
jum
lah
(%)
Penerimaan terhadap keseluruhan atribut
Menengah ke bawah Menengah ke atas
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
mau tidak mau
100.0
0.0
70.0
30.0
jum
lah
(%)
Keinginan konsumsi
Menengah ke bawah Menengah ke atas
48
Kecenderungan yang sama terlihat pada keinginan konsumsi produk. Pada Gambar 26
jelas terlihat bahwa jumlah siswa yang ingin mengkonsumsi produk lebih banyak pada sekolah
menengah ke bawah. Uji chi-square juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
tingkat ekonomi dengan keinginan konsumsi produk.
4. Analisis Kimia Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia produk, seperti kadar air,
kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Kandungan
kimia produk telah dirangkum pada Tabel 16.
Tabel 16. Komposisi kimia produk
Komponen Jumlah (%)
bb bk
Air 2.59 2.66
Abu 2.47 2.54
Lemak 3.79 3.89
Protein 7.30 7.50
Karbohidrat
(by difference) 77.33 79.42
Serat kasar 9.07 9.32
a. Kadar Air Kadar air produk akhir adalah 2.59 (basis basah) dan 2.66 (basis kering). Basis
basah merupakan perbandingan kandungan komponen yang diukur dengan berat sampel
untuk analisis dengan kandungan air. Basis basah merupakan perbandingan berat
kandungan komponen yang diukur dengan berat sampel untuk analisis dikurangi
kandungan airnya (Singh dan Heldman 2009).
Kadar air produk dibawah 3% yang sesuai dengan SNI 01-4270-1996 tentang susu
sereal. Kadar air ini tercapai setelah pengeringan dengan oven selama 15 menit. Kadar air
yang rendah dapat menjaga produk tetap renyah saat disajikan dan memperpanjang umur
simpannya (Winarno 1984).
b. Kadar Abu Abu merupakan residu mineral yang tersisa setelah proses pembakaran dalam suhu
tinggi (Winarno 1984). Umumnya mineral yang terkandung di dalam abu berada dalam
bentuk metal oksida, senyawa sulfat, fosfat, nitrat, klorida, dan senyawa anorganik lainnya
(Miller 1996).
Kadar abu hasil analisis adalah 2.47 (bb) dan 2.54 (bk). Guy (2001) mengatakan
bahwa kandungan mineral pada ekstudat, khususnya besi, dapat meningkat akibat kontak
intens dengan permukaan logam pada laras atau ulir ekstruder, seiring dengan peningkatan
suhu. Camire dan Dougherty (1998) menjelaskan bahwa kandungan dan bioavailabilitas
mineral tertahan dengan baik selama ekstrusi. Bioavailabilitas mineral juga dapat
ditingkatkan apabila fitat pengikat mineral dih ilangkan.
49
c. Kadar Lemak Lemak merupakan sumber energi kedua setelah karbohidrat. Para ahli gizi
merekomendasikan agar 20-25% kebutuhan kalori dipenuhi dari le mak (Muchtadi et al.
1992). Lemak memiliki karakteristik mudah teroksidasi apabila terpapar oleh oksigen.
Proses oksidasi ini menyebabkan kerusakan produk berupa penyimpangan flavor. Kadar
lemak produk adalah 3.79% (bb) dan 3.89 (bk). Kadar lemak produk cukup rendah, dan
dengan disertai rendahnya kadar air, maka kerusakan produk dapat ditekan semin imal
mungkin sehingga umur simpan produk menjadi lebih lama.
Dari segi nutrisi, kadar lemak produk termasuk rendah. Namun sesuai saran
penyajian, produk disajikan dengan susu yang memiliki kandungan lemak cukup tinggi.
Penyajian dengan susu ini akan membantu memenuhi kebutuhan lemak.
d. Kadar Protein Protein merupakan zat gizi yang penting sebagai pembangun tubuh dan pengganti
sel-sel yang rusak, serta berperan juga sebagai sumber energi ket iga setelah karbohidrat dan
lemak (Muchtadi et al. 1992). Kadar protein pada produk adalah 7.30% (bb) dan 7.50%
(bk). SNI 01-4270-1996 menyebutkan bahwa kandungan min imal protein pada susu sereal
adalah 7%, yang berarti bahwa kandungan protein produk telah memadai.
Kandungan protein hanya diperoleh dari biji sorgum. Kandungan pada biji sorgum
adalah 11%. Kehilangan protein terjadi saat proses ekstrusi karena suhu dan tekanan tinggi
yang menyebabkan rusaknya struktur protein (Guy 2001).
e. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama. Sebanyak 50-60% kebutuhan
energi harian sebaiknya dipenuhi dari karbohidrat. Kandungan karbohidrat by difference
produk adalah 77.33% (bb) atau 79.42% (bk). Kandungan karbohidrat pada sorghum
adalah sekitar 73%. Peningkatan kadar karbohidrat diperkirakan karena penghilangan
bagian perikarp dan juga karena penambahan tapioka. Penghilangan bagian perikarp
dengan penggilingan atau penyosohan akan mengurangi bagian dengan konsentrasi
karbohidrat rendah dan meninggalkan bagian endosperm dengan kandungan karbohidrat
lebih tinggi (Suarn i 2004). Menurunnya kadar protein juga dapat meningkatkan kadar
karbohidrat secara relatif.
f. Kadar Serat Kasar Serat merupakan ko mponen karbohidrat yang tidak dapat tercerna o leh enzim-
enzim pencernaan. Meskipun demikian, penelitian-penelit ian pada 10 tahun terakhir
menunjukkan bahwa serat memegang peranan penting pada kesehatan seseorang. Kadar
serat kasar produk adalah 9.07 (bb) dan 9.32 (bk).
g. Kandungan dalam Satu Takaran Saji Satu takaran saji yang direncanakan adalah 50 gr. Kandungan gizi dalam satu
takaran saji dapat dilihat pada Tabel 17.
50
Tabel 17. Kandungan gizi produk sampel dan referen dalam satu takaran saji (50 g)
Komponen
Nilai Gizi Satu Takaran Saji
Produk yang
Dikembangkan
Produk
Komersial*
Energ i total (kkal) 186 200
Lemak (g) 1.90 2
Protein (g) 3.65 4
Karbohidrat total (g) 38.66 40
*Label informasi nilai gizi produk komersial (50 gram takaran saji)
Berdasarkan Tabel 17, kandungan gizi produk dengan produk komersial tidak terlalu
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa produk dapat bersaing dengan produk komersial
dalam segi kandungan gizi, tetapi dengan harga yang lebih murah. Energi total yang
diberikan oleh produk baru mencukupi 10% energ i harian 2000 kkal. Namun apabila
dikonsumsi dengan 200 ml susu, maka jumlah energi yang dihasilkan dapat mencapai 380
kkal atau sebesar 19% kebutuhan energi 2000 kkal. Berdasarkan kebutuhan energi 2000
kkal t iap hari, pemenuhan kebutuhan energi sehari-hari produk tercantum pada Tabel 18.
Tabel 18. Persentase pemenuhan energi berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal
Komponen Daily value*
% AKG
Produk yang
Dikembangkan
Produk
Komersial**
Kadar lemak 65 g 2.92 3
Kadar protein 50 g 7.30 8
Kadar karbohidrat total 300 g 12.88 13
Energ i 2000 kkal 9.30 10
*CFR (2011) **) Label informasi nilai gizi produk komersial
5. Analisis Finansial
a. Asumsi Dasar Perhitungan Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial produk adalah:
1) Analisis ekonomi d ilakukan dengan biaya investasi untuk pendirian usaha menengah
baru.
2) Tanah dan bangunan tempat produksi adalah sewa.
3) Umur ekonomi p royek ditetapkan 5 tahun.
4) Perhitungan waktu yang digunakan dalam analisis ditetapkan satu tahun sama dengan
12 bulan, satu bulan sama dengan 25 hari.
5) Analisis dilakukan pada harga konstan. Harga bahan baku yang ditetapkan dapat
dilihat pada Tabel 19.
51
Tabel 19. Harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk
6) Harga peralatan yang digunakan berdasarkan faktor perkiraan dengan dasar rancangan
secara garis besar dan spesifikasi yang belum jelas.
7) Biaya penyusutan peralatan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus.
8) Biaya perawatan peralatan ditetapkan 2.5% dari biaya penyusutan
9) Tingkat produksi dari tahun pertama hingga terakhir adalah 100% yaitu sebesar
kurang lebih 40 kg bahan baku tepung sorgum dan tapioka per jam dengan 5 jam
operasi perhari. Maka, vo lume produksi dalam satu hari adalah adalah : 40 x 5 = 200
kg, dan dalam satu bulan adalah : 200 x 25 = 5000 kg (basis tepung sorgum dan
tapioka).
10) Efisiensi produksi sebesar 85% dari total jumlah bahan baku yang digunakan.
11) Volume produk yang terjual ditetapkan sebesar 70% dari jumlah produksi di tahun
pertama. Pada tahun kedua dan seterusnya, volume produk terjual adalah 80% dari
kapasitas produksi pada tahun yang sesuai.
12) Harga jual produk adalah Rp 2,500.- per kemasan (50 gr).
13) Modal investasi berasal dari pinjaman bank sebesar 70% dan modal sendiri sebesar
30%.
14) Bunga pinjaman sebesar 14% dan konstan selama pengembalian dengan perhitungan
bunga tetap.
15) Discount rate/suku bunga sebesar 13%.
16) Kredit modal kerja ditetapkan sebesar biaya operasional dan produksi untuk satu
tahun pertama dan dimulai pada tahun pertama.
17) Pembayaran angsuran kredit investasi dan kredit modal kerja dimulai pada tahun ke-1,
dengan jangka waktu pembayaran untuk kredit investasi dan kredit modal kerja
selama 4 tahun.
18) Perhitungan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur oleh UU Perpajakan Nomor 17
tahun 2000 yaitu keuntungan di bawah Rp. 50,000,000 d ikenakan pajak sebesar 10
persen, keuntungan antara Rp. 50,000,000 h ingga Rp. 100,000,000 d ikenakan pajak
sebesar 15 persen, dan keuntungan di atas Rp. 100,000,000 dikenakan pajak sebesar
30 persen.
Bahan Satuan Harga (Rupiah)
Sorghum kg 3,250.-
Tapioka Kg 4,500.-
Tepung Gula Kg 12,000.-
Bubuk Coklat Kg 50,000.-
Minyak Kg 10,000.-
Garam Kg 2,000.-
Emulsifier Kg 150,000.-
Kemasan Buah 300.-
52
b. Modal Awal Usaha Modal awal usaha berupa biaya investasi dan modal kerja. Biaya investasi berupa
biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membeli komponen yang dibutuhkan untuk
menjalankan usaha seperti mesin, peralatan, perizinan, dan lain-lain. Investasi merupakan
komponen yang memiliki umur panjang. Modal kerja merupakan biaya yang dibutuhkan
untuk menjalankan usaha sebelum perusahaan menperoleh pendapatan. Besarnya biaya
modal kerja berupa biaya operasional selama 1 tahun pada tahun pertama (Soeharto 1999).
Biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha adalah Rp 746,100,000.-.
Rincian biaya investasi dapat dilihat pada Lampiran 27. Modal kerja yang dibutuhkan
adalah Rp 1,661,143,333.-, yaitu biaya operasional selama 1 tahun (Lampiran 28).
Kebutuhan dana proyek pada tahun pertama sebesar Rp 2,407,243,333.- dan sebesar 70%
dari dana ini diperoleh melalu i pinjaman bank, sedangkan sisanya berasal dari modal
sendiri.
c. Biaya Produksi Biaya produksi meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya operasional
pabrik, dan biaya operasional kantor, yang rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 28.
Biaya produksi yang diperlukan selama 1 bulan adalah Rp 138,428,611.- dan selama 1
tahun adalah Rp1,661,143,333.-. Biaya produksi diasumsikan sama dari tahun pertama
sampai tahun kelima.
d. Volume Produksi dan Proyeksi Penjualan Volume produksi diasumsikan 85% dari total bahan baku yang digunakan perbulan.
Jumlah produk yang dihasilkan adalah 111.350 kemasan perbulan atau 1,336,200 kemasan
pertahun, dengan berat perkemasan adalah 50 gram. Penjualan pada tahun pertama
diasumsikan sebesar 70% atau sebanyak 935,340 kemasan, dan meningkat pada tahun
kedua dan seterusnya menjadi 80% atau sebanyak 1,068,960 kemasan. Harga pokok per
kemasan dihitung dari kebutuhan dana usaha pada tahun pertama (Lampiran 29) d ibagi
dengan jumlah produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yaitu Rp 1,801.56. Harga jual
produk adalah Rp 2,500.-, sehingga marg in keuntungan adalah sekitar 39%.
e. Analisis Kriteria dan Break Even Point (BEP) Kriteria kelayakan usaha yang digunakan adalah Payback Period (PBP), Net Present
Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Break
Even Point (BEP). Untuk memperoleh nilai dari kriteria tersebut, diperlukan suatu arus kas
(cash flow), yang dapat dilihat pada Lampiran 34. Hasil analisis finansial untuk kriteria
kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Kriteria kelayakan usaha sorgum flakes
Kriteria Nilai
NPV (Net Present Value) Rp 30,413,824,-
IRR (Internal Rate Return) 14%
Net B/C (Net Benefit Cost) 1.01
PP (Payback Period) 4 tahun 25 hari
53
Berdasarkan Tabel 20, nilai NPV lebih besar dari nol, nilai IRR lebih besar dari
tingkat suku bunga diskonto (13%), n ilai PP kurang dari umur proyek (5 tahun), dan nilai
Net B/C leb ih besar dari 1,00. Maka dapat disimpulkan bahwa proyek layak yang
dilaksanakan atau investasi dapat dilakukan. Rincian proyeksi aliran kas dan perhitungan
kriteria kelayakan dapat dilihat pada Lampiran 34 dan Lampiran 35.
Break Even Point atau Keadaan Pulang Pokok merupakan keadaan saat penerimaan
pendapatan perusahaan (total revenue – TR) sama dengan biaya yang ditanggungnya (total
cost – TC). BEP juga dapat menunjukkan jumlah min imum unit produk yang harus terjual
agar perusahaan tidak merugi. Perincian perhitungan BEP dapat dilihat pada Lampiran 33.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa titik impas pada tahun pertama senilai Rp
939,300,334.46 dengan jumlah unit terjual minimal 375,720 unit. Pada tahun berikutnya,
nilai BEP adalah Rp 767,896,416.22 atau 307,159 unit produk minimal terjual. Dari
proyeksi penjualan, jumlah unit terjual sudah di atas BEP sehingga perusahaan telah
mendapat untung.
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan penelit ian yang dilakukan, dapat diketahui komposisi bahan -bahan yang
diperlukan untuk membuat sorgum flakes dengan karakteristik paling disukai. Tepung sorgum
berukuran 60 mesh menghasilkan karakteristik renyah dan tekstur paling baik. Penambahan
tepung tapioka memperbaiki karakteristik pengembangan dan tekstur produk. Perbandingan
tepung sorgum 60 mesh dan tapioka yang paling disukai adalah 9 : 1. Penambahan emulsifier
sebanyak 1% dari basis 100% jumlah tepung sorgum dan tapioka menghasilkan produk dengan
karakteristik tekstur terbaik dan paling disukai. Penambahan bahan-bahan lain seperti tepung gula
(15%), coklat bubuk (10%), minyak (4%), dan garam (1%) berdasarkan 100% jumlah tepung
sorgum dan tapioka menghasilkan flakes dengan karakteristik terbaik. Komposisi bahan-bahan
tersebut menghasilkan flakes sorgum dengan karakteristik yang paling disukai.
Pengujian tingkat penerimaan produk oleh konsumen, yaitu anak-anak sekolah dasar,
menunjukkan respon yang baik. Pengujian dilakukan pada dua sekolah dasar dengan tingkat
ekonomi yang berbeda, yang merepresentasikan ekonomi menengah ke bawah dan menengah ke
atas. Secara keseluruhan, terdapat hubungan antara tingkat sosial ekonomi siswa dengan tingkat
kesukaan terhadap produk. Hal ini teramati secara khusus pada atribut rasa dan warna. Hubungan
yang sama juga ditunjukan dari tingkat keinginan konsumsi produk. Hal in i berart i, semakin
meningkatnya tingat sosial ekonomi konsumen, kesukaan dan keinginan konsumsi produk
cenderung menurun. Meskipun demikian, secara umum, produk dapat diterima konsumen, yang
terlihat bahwa sangat sedikit yang mengatakan tidak suka terhadap atribut produk.
Komposisi kimia produk yang dihasilkan dalam % basis kering, yaitu kadar air 2.66%,
kadar abu 2.54%, kadar lemak 3.80%, kadar protein 7.50%, kadar karbohidrat by difference
79.42%, dan kadar serat kasar 9.32%. Produk ini memiliki derajat pengembangan 118.09%
dimensi panjang dan 130.93% dimensi lebar, waktu reh idrasi selama 2650 detik saat mulai
terbasahi media susu dan 3210 detik saat semua bagian terendam dalam media. Indeks kelarutan
air produk adalah 0.008 gr/ml, tingkat kekerasan maksimal produk 1100 gf dan 820 gf saat patah.
Satu takaran saji produk sebanyak 50 gram dapat memenuhi 13% kebutuhan karbohidrat harian,
8% kebutuhan protein, dan 6% kebutuhan lemak berdasarkan kebutuhan energi harian 2000 kkal.
Analisis finansial terhadap proyek usaha sorgum flakes selama 5 tahun menunjukkan
bahwa nilai NPV sebesar Rp 30,413,824.- yang leb ih besar dari nol, nilai IRR sebesar 14% yang
lebih besar dari t ingkat suku bunga diskonto 13%, Net B/C 1.01 yang lebih besar dari 1.00, serta
nilai PP selama 4 tahun 25 hari yang kurang dari umur proyek, merupakan indikator bahwa usaha
sorgum flakes layak untuk dilaksanakan.
B. Saran Pengembangan produk sorgum flakes dapat ditingkatkan untuk menghasilkan produk
yang jauh lebih baik. Dari segi mutu, optimasi kadar air bahan dapat dilakukan untuk mencapai
gelatinisasi optimum dan pengembangan maksimal. Selain itu, pelapisan produk dengan flavor
dan gula dapat meningkatkan flavor dan rasa produk. Demikian juga optimasi proses pelapisan
(coating) dan komposisinya dapat dilakukan, sehingga cita rasa produk dapat bersaing dengan
produk komersial lainnya. Dari hasil analisis finansial, nilai keuntungan proyek sereal sarapan
sorgum sangat kecil. Peningkatan keuntungan dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi
produksi maupun meningkatkan n ilai penjualan produk (>80%).
55
DAFTAR PUSTAKA
AgroStats [online]. 2009. World Sorghum Production. http://www.agrostats.com/world-sorghum-
production.html. [3 Agustus 2011].
Anderson, R.A., Conway, H.F., Pfeifer, V.F., Griffin, E.L. 1969. Gelatinizat ion of Corn Grits by
Roll and Extrusion Cooking. J. Cereal Science 14 :4-12.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of The Association of Official Agricultural Chemist.
AOAC, Inc., Washington.
Arvi, Felicia. 2006. Pengembangan produk sereal siap santap berbasis sorghum [skripsi]. Bogor :
Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-2886-2000. Makanan ringan ekstrudat. Jakarta
Barr D, Panuwet B, Nguyen P, Udunka JV, Needham S, Needham LL. 2007. Assessing exposure
to atrazine and its metabolites using biomonitoring.
http://www.environmentalhealthnews.org/newscience/2007/2007-1126barretal.html. [18
Agustus 2010].
Bhattacharva, M. dan M. Padmanabhan. 1992. Extrusion processing : texture and rheology. In:
Y.H. Hui (ed.). Encyclopedia of Food Science and Technology . John Wiley & Sons, Inc.
Toronto, Chichester, Brisbane, Singapore.
Beti, Y.A., A. Ispandi, dan Sudaryono. 1990. Sorgum [monografi]. Malang : Balai Penelit ian
Tanaman Pangan.
Camire, M.E. dan Dougherty, M.P. 1998. Added phenolic compounds enhance lipid stability in
extruded corn. J. Food Sci 63(4): 516-518.
[CFR] Code of Federal Regulations [online]. 2011. Food and Drugs, Title 21, (101.9) Nutrition
labeling of food. http://ecfr.gpoaccess.gov [13 April 2011]
Chinnaswamy, R., dan Hanna, M. A. 1988. Relat ionship between amylose content and extrusion-
expansion properties of corn starches. Cereal Chem 65:138-143.
Deptan [Homepage of Direktorat Jendral Tanaman Pangan Kementrian Pertanian], [online]. 2010.
http://www.deptan.go.id/ditjentan/index.php. [3 Agustus 2011].
Djazu li, N., M. Wahyuni, D. Monintja, dan A. Purbayanto. 2009. Analisis finansial pengolahan
surimi dengan skala modern dan semi modern. J. Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
2(12) : 102-114.
Dobraszczyk, Bogdan J., Paul Ainsworth, Senol Ibanoglu, Pedro Bouchon. 2005. Baking,
extrusion, and frying. In: Brennan, James G. (ed). Food Processing Handbook (2006).
Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
Dogget, H. 1970. Sorghum. Longmans Green & Co. Ltd. Cambridge, USA.
Dziezak, J.D. 1989. Single and twin screw extrudes in food processing. J. Food Technol 43(4):
164 – 174.
Eastman, J., F. Orthoefer, S. So lorio. 2001. Using extrusion to create breakfast cereal products.
Cereal Foods Worlds 46: 468 – 471.
Frame, N.D. 1999. Extrusion Cooking. USA : Aspen Publishers, Inc.
[FSD] Food Security Department [online]. 2003. Sorghum. Post-harvest Operations.
http://www.fao.org/inpho/compend/test/ch07.htm.[12 Februari 2010].
Ganjyal, M., Hanna, M.A., Supprung P., Noomhorn, jones, D. 2006. Modelling Selected
Properties of Extruded Rice Flour and Rice Starch by Neural Networks and Statistics. J.
Cereal Chemist. 83 (3) : 223-227.
56
Gonzales, Alejandro J.P. 2005. Specialty sorghums in direct-expansion extrusion [thesis]. Texas :
Master Program, Texas A&M University.
Guy, R.C.E., dan Horne, A.W. 1988. Extrusion and co-ext rusion of cereals. In: J.M.V. Blanshard
and J.R. Mitchell (eds). Food Structure-Its Creation and Evaluation. Butterworths:
London.
Guy, R.C.E. 1994. Raw materials for extrusion cooking process . In: Frame N.D. (ed). The
Technology of Extrusion Cooking. London: Blackie Academic and Profesional, pp 52-72.
Guy, Robin. 2001. Extrusion Cooking: Technologies and Applications. New York, Washington
D.C: CRC Press, Boca Raton.
Hand, Becky. 2010. Healthy Carb, Fat and Protein Ranges The Numbers You Need to Know.
http://www.sparkpeople.com/resource/nutrition_articles.asp?id=372 [23 April 2010]
Hanna, M.A. dan S. Bhatnagar. 1994. Amylose-lip id complex formation during single screw
extrusion of various corn starches. Cereal Chem 71(6): 582-587.
Hariyadi, P. 1996. Pengenalan peraltan proses ekstrusi, bakeri, dan penggorengan. Makalah
Pelatihan Produk-Produk Olahan Ekstrusi, Bakery, dan Frying, 2-3 Oktober 1996, Tambun,
Bekasi.
Harper, J.M. 1981. Extrusion of Foods, vol I dan II. Flo rida, USA: CRC Press, Inc.
Ibrahim, Y. H. M. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Jin, Z., F. Hsieh, dan H.E. Huff. 1995. Effects of soy fiber, salt, sugar, and screw speed on
physical properties and microstructure of corn meal extrudate. J. Cereal Science 22(2): 185 -
194.
Kamel, Basil S. dan Clyde E. Stauffer. 1993. Advances in Bakery Technology. London : Blackie
Academic & Professional.
Keown, A. J., D. F. Scott, J. D. Martin, and J. W. Petty. 2005. Financial Management Principles
and Applications. India: Pearson Education Inc.
Khomsan, A. 2002. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Leder, Iren. 2004. Sorghum and millets. Cultivated Plants, Primarily as Food Sources,
Encyclopedia of Life Support System. Developed under Auspices of the UNESCO, Eolss
Publisher, Oxford, USA.
Linko, P., P. Colonna, dan C. Mercier. 1981. High temperature short ext rusion cooking. J. Cereal
Food World 39(2): 99 – 102.
Lusas, Raymond W. & Lloyd W. Rooney. 2001. Snack Foods Processing. Washington D.C.: CRC
Press.
Maltz, S.A. 1984. Snack Food Technology. Westport, Connecticut, USA: The Avi Publ. –
Company, Inc.
Mannie, Elizabeth. 1999. Breakfast cereal, kid style. http://www.foodproductdesign.com [8 Maret
2011].
Mathews, R. 1996. Importance of breakfast to cognitive performance and health. Perspectives in
Applied Nutrit ion 3(3): 204-212.
Mercier, C., dan P. Feillet. 1975. Modification of carbohydrate components by extrusion cooking
of cereal product. Cereal Chem 52(3): 283-297.
Miller, R.C. 1993. A primer on cooking ext ruders. Bul. Sustain Notes 5(3).
Miller, R.C. 1995. Raw material types and finished product characteristic. Snack Food and
Breakfast Cereal Training Program [prosiding pelat ihan]. IUC for Food and Nutrit ion,
Institut Pertanian Bogor.
57
Miller, D. D. 1996. Minerals. In: Fennema, O. R. (ed). Food Chemistry: Third Edition. New York:
Marcel Dekker, Inc.
Moscicki, Les zek. 2011. Extrusion-Cooking Techniques: Application, Theory, and Sustainability.
Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
Muchtadi, T.R., BAS. Santoso, dan D.S. Damard jati. 1988. Struktur, Komposisi, dan Nilai Gizi
Jagung. Balai Penelit ian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan A.B. Ahza. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi, D., N. S. Palupi, dan M. Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam
Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor.
[NSP] National Sorghum Producers [online]. 2005. Sorghum’s Food Characteristics.
http://www.sorghumgrowers.com\Uses+&+Products\Food. [20 Februari 2010].
Owen, Gavin. 2001. Cereal Processing Technology. Boston, New York, Washington, DC.: CRC
Press, Boca Raton.
[PAGI] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia . Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Polina. 1995. Studi pembuatan produk ekstrusi dari campuran jagung, sorghum, dan kacang hijau
[skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pontoh, J. 1995. Mempelajari pembuatan dan sifat fisikokimia makanan ekstrusi sorgum dan
kacang hijau [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rahayuning P.D. 2004. Formulasi flakes trip le mixed ubi jalar-kecambah kedelai-wheat germ
sebagai produk sarapan fungsional untuk anak-anak [skripsi]. Bogor: Program Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Rismunandar. 1989. Sorghum Tanaman Serba Guna . Bandung: Sinarbaru.
Rooney, L.W. 1973. A review of the physical properties, composition, and kernel characteristics of
sorghum. In : Rooney, L.W. dan D.S. Mury (ed). Proceedings of the International
Symposium on Sorghum Grain Quality, 28-31 October 1985. ICRISAT Center, Patancheru,
India, 407 p.
Rooney, L. W. 2003. Food and Nutritional Quality of Sorghum and Millet. Texas A&M: Pro ject
TAM 226.
Singh, R. Paul dan Dennis R. Heldman. 2009. Introduction to Food Engineering . USA: Elsevier.
Sirrapa, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di indonesiasebagai komoditas alternatif
untuk pangan, pakan, dan industri. J. Litbang Pertanian 22(4): 133-140.
Sizer, F. dan E. Whitney. 2000. Nutrition : Concept and Controversies (8th ed). USA: Thomson
Learn ing.
Soeharto, I. 1999. Manajemen Proyek . Jakarta: Penerbit Erlangga.
Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. Jurnal Litbang Pertanian 23(4).
Suprapto dan R. Mudjisihene. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Jakrata: Penebar
Swadaya.
Tribelhorn, R. E., 1991. Breakfast cereals. In : Lorenz, K. J. dan K. Kulp (Eds). Handbook of
Cereal Science and Technology. New York: Marcel Dekker, Inc., pp : 741-762.
Vergara, H. J. 2005. Breakfast is Important. El Paso Times.
http://www.borderlandnews.com/apps/pbcs.dll/article?AID=/20050914/LIV
ING/509140325/1004. [28 Desember 2009].
Waysima, Adawiyah DR. 2008. Penuntun Prakt ikum Evaluasi Sensori. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
58
Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia.
Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of starch gelatinization and water absorption in rice
[Ph.D disertation]. Madison: Doctor Program, University of Wisconsin.
Xie, Fengwei, Long Yu, Bing Su, Peng Liu, Jun Wang, Hongshen Liu, dan Ling Chen. 2009.
Rheological properties of starches with different amylose/amylopect in ratios. J. Cereal
Science 49(2009): 371-377.
Hui, Yiu H. dan Harold Corke. 2006. Bakery Products : Science and Technology. USA: Wiley-
Blackwell.
60
Lampiran 1. Formula yang dicobakan pada penelitian pendahuluan
a. Trial 1
Bahan Jumlah (%)
1 2 3 4 5 6
Tepung sorghum 40 mesh 100 80 70 - - -
Tepung sorghum 60 mesh - - - 100 80 70
Tepung kacang hijau 0 0 10 0 0 10
Pati tapioka 0 20 20 0 20 20
Tepung gula 10 10 10 10 10 10
Minyak 3 3 3 3 3 3
Garam 2 2 2 2 2 2
b. Trial 2
Bahan Jumlah (%)
1 2 3 4 5 6 7
Tepung sorghum 60 mesh 100 100 100 100 100 100 100
Tepung gula 15 10 20 15 15 15 15
Coklat bubuk 10 10 10 5 15 10 10
Minyak 5 5 5 5 5 7.5 10
Garam 1 1 1 1 1 1 1
61
Lampiran 2. Kuesioner uji rating hedonik
Produk : Flakes Sorghum
Nama :.................................................... Tanggal:..............................................
Petunjuk
Dihadapan Anda terdapat 6 sampel flakes sorghum. Anda diminta untuk menilai
kesukaan terhadap tekstur, warna, rasa, dan keseluruhan (overall) dari keenam
sampel. Kunyahlah masing-masing sampel berurutan dari kiri ke kanan. Berilah
penilaian terhadap masing-masing sampel dengan nilai 1 (sangat tidak suka) hingga
nilai 5 (sangat suka) dengan TIDAK membandingkan antar sampel. Netralkan mulut
Anda dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya. Anda diperbolehkan untuk
mencicip ulang sampel-sampel tersebut sebelum melakukan penilaian.
Kode Teksur Warna Rasa Keseluruhan
274
448
685
363
912
121
Keterangan : 1 = sangat tidak suka ; 2 = tidak suka ; 3 = netral ; 4 = suka ; 5 =
sangat suka
Komentar :
.........................................................................................................................................
...............................................................................................................................
62
Lampiran 3. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut tekstur
Variabel dependen : skor
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 81.440a 5 16.288 19.250 .000
Intersep 4423.260 1 4423.260 5.228E3 .000
tapioka * emulsifier 44.462 2 22.231 26.274 .000
Kesalahan 350.300 414 .846
Total 4855.000 420
Total Terkoreksi 431.740 419
a. R Kuadrat = .189 (R Kuadrat Terkoreksi= .179)
Uji Lanjut
skor
Duncan
interaksi N Subset
1 2 3
tpk 10% - emu 0% 70 2.60
tpk 20% - emu 2% 70 3.01
tpk 20% - emu 1% 70 3.06
tpk 20% - emu 0% 70 3.20
tpk 10% - emu 2% 70 3.66
tpk 10% - emu 1% 70 3.94
Sig. 1.000 .170 1.000
Rerata untuk subset yang homogen terlampir. Berdasarkan tipe III penjumlahan kuadrat: Kesalahan = 0.846
a. Jumlah penguji sampel = 70 b. Tingkat signifikansi (α) = 0.05
63
Lampiran 4. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut warna
Variabel dependen : skor
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 3.705a 5 .741 1.098 .361
Intersep 4747.010 1 4747.010 7.037E3 .000
tapioka 0.010 1 0.010 .014 .905
emulsifier 1.633 2 .817 1.211 .299
tapioka * emulsifier 2.062 2 1.031 1.528 .218
Kesalahan 279.286 414 .675
Total 5030.000 420
Total Terkoreksi 282.990 419
a. R Kuadrat = .013 (R Kuadrat Terkoreksi= .001)
Lampiran 5. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut rasa
Variabel dependen : skor
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 36.555a 5 7.311 10.008 .000
Intersep 3774.002 1 3774.002 5.166E3 .000
tapioka 1.448 1 1.488 2.037 .154
emulsifier 8.862 2 4.431 6.065 .003
tapioka * emulsifier 26.205 2 13.102 17.935 .000
Kesalahan 302.443 414 .731
Total 4113.000 420
Total Terkoreksi 338.998 419
a. R Kuadrat = .108 (R Kuadrat Terkoreksi= .097)
64
Uji Lanjut
Subset Homogen
skor
Duncan
interaksi N Subset
1 2 3
tpk 10% - emu 0% 70 2.50
tpk 20% - emu 2% 70 2.83
tpk 20% - emu 1% 70 2.90
tpk 20% - emu 0% 70 3.09 3.09
tpk 10% - emu 1% 70 3.33
tpk 10% - emu 2% 70 3.34
Sig. 1.000 .093 .093
Rerata untuk subset yang homogen terlampir. Berdasarkan tipe III penjumlahan kuadrat: Kesalahan = 0.731
a. Jumlah penguji sampel = 70 b. Tingkat signifikansi (α) = 0.05
Lampiran 6. Analisis keragaman uji rating hedonik atribut secara keseluruhan
Variabel dependen : skor
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 29.448a 5 5.890 8.201 .000
Intersep 4275.238 1 4275.238 5.953E3 .000
tapioka 1.867 1 1.867 2.599 .108
emulsifier 8.348 2 4.174 5.812 .003
tapioka * emulsifier 19.233 2 9.617 13.391 .000
Kesalahan 297.314 414 .718
Total 4602.000 420
Total Terkoreksi 326.762 419
a. R Kuadrat = .090 (R Kuadrat Terkoreksi= .079)
65
Uji Lanjut
Subset Homogen
skor
Duncan
sampel N Subset
1 2 3 4
tpk 10% - emu 0% 70 2.77
tpk 20% - emu 2% 70 2.99 2.99
tpk 20% - emu 1% 70 3.14
tpk 20% - emu 0% 70 3.24 3.24
tpk 10% - emu 2% 70 3.44 3.44
tpk 10% - emu 1% 70 3.56
Sig. .135 .090 .163 .425
Rerata untuk subset yang homogen terlampir. Berdasarkan tipe III penjumlahan kuadrat:
Kesalahan = 0.718 a. Jumlah penguji sampel = 70 b. Tingkat signifikansi (α) = 0.05
Lampiran 7. Analisis keragaman derajat pengembangan produk dimensi panjang
Variabel dependen : nilai
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 1723.659a 5 344.732 5.242 .002
Intersep 375807.215 1 375807.215 5.715E3 .000
tapioka 550.524 2 275.262 4.186 .028
emulsifier 330.340 1 330.340 5.024 .035
tapioka * emulsifier 842.795 2 421.398 6.408 .006
Kesalahan 1578.196 24 65.758
Total 379109.000 30
Total Terkoreksi 3301.855 29
a. R Kuadrat = .522 (R Kuadrat Terkoreksi= .442)
66
Uji Lanjut
Subset Homogen
nilai
Duncan
sampel N Subset untuk alpha = .05
1 2
tpk 20% - emu 2% 5 101.2720
tpk 20% - emu 1% 5 102.6340
tpk 10% - emu 0% 5 113.6380
tpk 10% - emu 2% 5 114.0000
tpk 10% - emu 1% 5 118.0880
tpk 20% - emu 0% 5 121.9100
Sig. .793 .152
Rerata untuk subset yang homogen terlampir. a. Menggunakan Ukuran Rataan Sampel Harmonis = 5.000.
Lampiran 8. Analisis keragaman derajat pengembangan produk dimensi lebar
Variabel dependen : nilai
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 510.200a 5 102.040 1.641 .187
Intersep 505438.604 1 505438.604 8.128E3 .000
tapioka 206.023 2 103.012 1.657 .212
emulsifier 1.196 1 1.196 .019 .891
tapioka * emulsifier 302.980 2 151.490 2.436 .109
Kesalahan 1492.383 24 62.183
Total 507441.187 30
Total Terkoreksi 2002.583 29
a. R Kuadrat = .255 (R Kuadrat Terkoreksi= .100)
67
Lampiran 9. Analisis keragaman waktu awal rehidrasi
Variabel dependen : nilai
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 4.318E6a 6 719647.286 47.705 .000
Intersep 7.006E7 1 7.006E7 4.644E3 .000
tapioka 295474.083 1 295474.083 19.587 .003
emulsifier 1185398.167 2 592699.083 39.290 .000
tapioka * emulsifier 1565.167 2 782.583 .052 .950
Kesalahan 105597.500 7 15085.357
Total 9.035E7 14
Total Terkoreksi 4423481.214 13
a. R Kuadrat = .976 (R Kuadrat Terkoreksi= .956)
Lampiran 10. Analisis keragaman waktu akhir rehidrasi
Variabel dependen : nilai
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 5.820E6a 6 969950.476 44.654 .000
Intersep 9.399E7 1 9.399E7 4.327E3 .000
tapioka 93104.083 1 93104.083 4.286 .077
emulsifier 1319654.000 2 659827.000 30.377 .000
tapioka * emulsifier 19744.667 2 9872.333 .454 .652
Kesalahan 152049.500 7 21721.357
Total 1.222E8 14
Total Terkoreksi 5971752.357 13
a. R Kuadrat = .975 (R Kuadrat Terkoreksi= .953)
68
2000 gf
1000 gf
0 gf
Lampiran 11. Analisis keragaman indeks kelarutan air (WSI)
Variabel dependen : nilai
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi .000a 6 4.829E-5 22.359 .000
Intersep .002 1 .002 725.208 .000
tapioka 2.133E-7 1 2.133E-7 .099 .762
emulsifier 1.667E-9 2 8.333E-10 .000 1.000
tapioka * emulsifier 5.817E-7 2 2.908E-7 .135 .876
Kesalahan 1.512E-5 7 2.160E-6
Total .002 14
Total Terkoreksi .000 13
a. R Kuadrat = .950 (R Kuadrat Terkoreksi= .908)
Lampiran 12. Grafik analisis kekerasan dengan alat Rheoner
a. T1E1 b. T1E2
2000 gf
1000 gf
0 gf
69
c. T1E3 d. T2E1
e. T2E2 f. T2E3
g. Referen
2000 gf
1000 gf
0 gf
2000 gf
1000 gf
0 gf
2000 gf
1000 gf
0 gf
2000 gf
1000 gf
0 gf
2000 gf
1000 gf
0 gf
70
Lampiran 13. Analisis keragaman nilai kekerasan dengan alat Rheoner
Variabel dependen : nilai
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 7.404E6a 6 1234071.429 146.415 .000
Intersep 5.070E7 1 5.070E7 6.016E3 .000
tapioka 1026750.000 1 1026750.000 121.818 .000
emulsifier 253500.000 2 126750.000 15.038 .000
tapioka * emulsifier 505500.000 2 252750.000 29.987 .000
Kesalahan 236000.000 28 8428.571
Total 7.443E7 35
Total Terkoreksi 7640428.571 34
a. R Kuadrat = .969 (R Kuadrat Terkoreksi= .962)
Uji Lanjut
Subset Homogen
nilai
Duncan
sampel N Subset untuk alpha = .05
1 2 3 4
referen 5 400.00
tpk 10% - emu 1% 5 1100.00
tpk 10% - emu 2% 5 1340.00
tpk 10% - emu 0% 5 1640.00
tpk 20% - emu 0% 5 1670.00
tpk 20% - emu 1% 5 1760.00
tpk 20% - emu 2% 5 1760.00
Sig. 1.000 1.000 1.000 .067
Rerata untuk subset yang homogen terlampir. a. Menggunakan Ukuran Rataan Sampel Harmonis = 5.000.
71
Lampiran 14. Analisis keragaman nilai patah dengan alat Rheoner
Variabel dependen : nilai
Sumber Tipe III Penjumlahan
Kuadrat df
Rata-Rata
Kuadrat F Sig.
Model Terkoreksi 3.522E6a 6 586952.381 3.251 .015
Intersep 2.054E7 1 2.054E7 113.795 .000
Tapioka 1180083.333 1 1180083.333 6.537 .016
Emulsifier 2666.667 2 1333.333 .007 .993
tapioka * emulsifier 424666.667 2 212333.333 1.176 .323
Kesalahan 5055000.000 28 180535.714
Total 3.524E7 35
Total Terkoreksi 8576714.286 34
a. R Kuadrat = .411 (R Kuadrat Terkoreksi= .284)
72
Lampiran 15. Kuesioner uji penerimaan
Kuesioner Uji Penerimaan
Nama : Tanggal : Januari 2011
Silanglah (x) pilihan yang adik-adik pilih.
Apakah adik-adik pernah mendengar/mencoba produk sereal susu?
a. Ya pernah b. Tidak pernah
Seberapa sering adik-adik mengkonsumsi produk sereal susu?
a. Sering b. Kadang-kadang c. Tidak pernah
Setelah mencoba produk ini, menurut adik-adik :
1. Bagaimana warna produk ini?
a. menarik b. cukup menarik c tidak menarik
2. Bagaimana bau/aroma produk ini?
a. enak b. cukup enak c. tidak enak
3. Bagaimana rasa produk ini?
a. enak b. cukup enak c. tidak enak
4. Bagaimana kerenyahan produk ini?
a. suka b. cukup suka c. tidak suka
5. Secara umum, apakah adik-adik suka produk ini?
a. Suka b. cukup suka d. tidak suka
6. Apakah adik-adik mau sarapan dengan produk ini?
a. Ya mau b. tidak mau
73
Lampiran 16. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap pengetahuan tentang
sereal susu Tabulasi Silang
Simpulan Pengolahan Data
Data
Valid Hilang Total
N Persen N Persen N Persen
sekolah *
pengetahuan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
Hubungan antara sekolah dengan pengetahuan terhadap jenis produk
perhitungan
pengetahuan_sereal Total
tidak tahu tahu
sekolah menengah ke bawah 0 39 39
menengah ke atas 1 39 40
Total 1 78 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square .988b 1 .320
Koreksi Kontinuitas(a) .000 1 1.000
Rasio Kemiripan 1.374 1 .241
Hubugnan Linear dengan Linear .975 1 .323
N dari Data Valid 79
a Dikomputasi hanya untuk tabel 2x2
b 2 sel (50.0%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah .49
74
Lampiran 17. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap tingkat konsumsi
sereal susu
Tabulasi Silang
Simpulan Pengolahan Data
Data
Valid Hilang Total
N Persen N Persen N Persen
sekolah *
konsumsi 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
Hubungan antara sekolah dengan tingkat konsumsi produk
perhitungan
konsumsi_sereal Total
kadang-
kadang sering
sekolah menengah ke bawah 31 8 39
menengah ke atas 31 9 40
Total 62 17 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square .046b 1 .830
Koreksi Kontinuitas(a) .000 1 1.000
Rasio Kemiripan .046 1 .830
Hubugnan Linear dengan Linear .046 1 .831
N dari Data Valid 79
a Dikomputasi hanya untuk tabel 2x2
b 2 sel (50.0%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah 8.39
75
Lampiran 18. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap atribut sensori sereal
susu
Tabulasi Silang
Simpulan Pengolahan Data
Data
Valid Hilang Total
N Persen N Persen N Persen
sekolah * warna 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
sekolah * aroma 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
sekolah * rasa 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
sekolah * kerenyahan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
sekolah * kesukaan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap warna produk
perhitungan
warna Total
menarik
cukup
menarik
tidak
menarik
sekolah menengah ke bawah 28 10 1 39
menengah ke atas 18 21 1 40
Total 46 31 2 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.065a 2 .048
Rasio Kemiripan 6.168 2 .046
Hubugnan Linear dengan Linear 4.685 1 .030
N dari Data Valid 79
a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah .99
76
Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap aroma produk
perhitungan
aroma Total
enak
cukup
enak
tidak
enak
sekolah menengah ke bawah 28 11 0 39
menengah ke atas 27 10 3 40
Total 55 21 3 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 3.054a 2 .217
Rasio Kemiripan 4.212 2 .122
Hubugnan Linear dengan Linear .901 1 .342
N dari Data Valid 79
a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah 1.48
Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap rasa produk
perhitungan
rasa Total
enak
cukup
enak
tidak
enak
sekolah menengah ke bawah 26 12 1 39
menengah ke atas 11 27 2 40
Total 37 39 3 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 12.173a 2 .002
Rasio Kemiripan 12.507 2 .002
Hubugnan Linear dengan Linear 10.509 1 .001
N dari Data Valid 79
a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah 1.48
77
Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap kerenyahan produk
perhitungan
kerenyahan Total
enak
cukup
enak
tidak
enak
sekolah menengah ke bawah 25 14 0 39
menengah ke atas 26 13 1 40
Total 51 27 1 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 1.044a 2 .593
Rasio Kemiripan 1.430 2 .489
Hubugnan Linear dengan Linear .019 1 .889
N dari Data Valid 79
a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah .49
Hubungan antara sekolah dengan penilaian terhadap kesukaan secara
keseluruhan
perhitungan
kesukaan Total
enak
cukup
enak
tidak
enak
sekolah menengah ke bawah 32 7 0 39
menengah ke atas 15 22 3 40
Total 47 29 3 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 16.898a 2 .000
Rasio Kemiripan 18.585 2 .000
Hubugnan Linear dengan Linear 16.369 1 .000
N dari Data Valid 79
a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah 1.4
78
Lampiran 19. Analisis tabulasi silang uji penerimaan terhadap keinginan konsumsi
produk
Tabulasi Silang
Simpulan Pengolahan Data
Data
Valid Hilang Total
N Persen N Persen N Persen
sekolah * keinginan 79 100.0% 0 .0% 79 100.0%
perhitungan
keinginan
Total
mau
tidak
mau
sekolah menengah ke bawah 39 0 39
menengah ke atas 28 12 40
Total 67 12 79
Tes Chi-Square
Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 13.796a 1 .000
Koreksi Kontinuitas 11.565 1 .001
Rasio Kemiripan 18.437 1 .000
Hubugnan Linear dengan Linear 13.621 1 .000
N dari Data Valid 79
a 2 sel (33.3%) memiliki hitungan yang diharapkan kurang dari 5. Jumlah minimum
hitungan yang diharapkan adalah 5.92
79
Lampiran 20. Dokumentasi kegiatan uji penerimaan di Sekolah Dasar
SDN Dramaga IV Bogor
Suasana panelis saat mendengar penjelasan Suasana panelis saat mencicip i
Suasana panelis saat mencicip i SDN Dramaga IV Bogor
SDN Polisi V Bogor
Suasana panelis saat mendengar penjelasan Suasana panelis saat akan mencicip i
Suasana panelis saat mencicip i SDN Polisi V Bogor
80
Lampiran 21. Analisis kadar air
Sampel Duplo Wsampel (gr) Wcawan (gr) Wakhir (gr) Kadar air (%) Rata-rata SD
Flakes 1 3.1268 3.0103 6.0549 2.7306
2.5885 0.2010 2 3.0584 3.1231 6.1051 2.4463
Lampiran 22. Analisis kadar abu
Sampel Duplo Wsampel (gr) Wcawan (gr) Wakhir (gr) Kadar abu (%) Rata-rata SD
Flakes 1 3.0002 18.7776 18.8517 2.4698
2.4709 0.0015 2 2.9127 19.9298 20.0018 2.4719
Lampiran 23. Analisis kadar lemak
Sampel Duplo Wsampel (gr) Wlabu (gr) Wakhir (gr) Kadar lemak (%) Rata-rata SD
Flakes 1 3.0665 107.0650 107.1822 3.8219
3.7913 0.0434 2 3.0128 115.9022 116.0155 3.7606
81
Lampiran 24. Analisis protein
Sampel Duplo Wsampel
(mg) Vblanko (ml)
Vt itrasi
(ml) N HCl % N % P Rata-rata SD
Flakes 1 115.7 0.1 18.8517 0.02484 1.1425 7.1407
7.2969 0.2230 2 59.8 0.1 20.0018 0.02484 1.1925 7.4532
Lampiran 25. Analisis serat kasar
Sampel Duplo Wsampel (gr) Wkertas (gr) Wakhir (gr) Kadar serat
kasar (%) Rata-rata SD
Flakes 1 0.5758 0.1984 0.2495 8.8746
9.0681 0.2737 2 0.5431 0.1976 0.2479 9.2616
Lampiran 26. Analisis karbohidrat
Sampel Duplo Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar lemak (%)
Kadar protein (%)
Kadar karbohidrat (%)
Rata-rata SD
Flakes 1 0.5758 0.1984 0.2495 8.8746 77.4383
77.3332 0.1486 2 0.5431 0.1976 0.2479 9.2616 77.2282
82
Lampiran 27. Perincian modal investasi sorghum flakes
No Jenis Biaya Jumlah
Fisik Satuan Harga/satuan Total Harga
Umur
Ekonomis (tahun)
Penyusutan per Tahun
Nilai Sisa
1 Perizinan
a. pendaftaran PIRT 1 kali Rp 100,000 Rp 100,000 5 Rp 20,000 Rp -
b. pendaftaran halal 1 kali Rp 500,000 Rp 500,000 5 Rp 100,000 Rp -
sub jumlah
Rp 600,000 Rp 120,000 Rp -
2 Mesin / Peralatan
a. mesin penepung/pengecil
ukuran 2 buah Rp 20,000,000 Rp 40,000,000 10 Rp 4,000,000 Rp 20,000,000
b. ayakan bergoyang 1 buah Rp 50,000,000 Rp 50,000,000 10 Rp 5,000,000 Rp 25,000,000
c. varimixer 1 buah Rp 20,000,000 Rp 20,000,000 10 Rp 2,000,000 Rp 10,000,000
d. ekstruder ulir ganda 1 buah Rp 500,000,000 Rp 500,000,000 10 Rp 50,000,000 Rp 250,000,000
e. timbangan 2 buah Rp 5,000,000 Rp 10,000,000 5 Rp 2,000,000 Rp -
f. mesin pengemas 1 buah Rp 40,000,000 Rp 40,000,000 10 Rp 4,000,000 Rp 20,000,000
g. wadah stainless (20 kg) 2 buah Rp 250,000 Rp 500,000 5 Rp 100,000 Rp -
sub jumlah
Rp 660,500,000 Rp 67,100,000 Rp 325,000,000
3 Instalasi Utilitas
a. komputer 1 unit Rp 4,000,000 Rp 4,000,000 5 Rp 800,000 Rp -
b. printer 1 buah Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 5 Rp 200,000 Rp -
c. telepon/fax/internet 1 buah Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 5 Rp 200,000 Rp -
d. alat-alat kantor 1 paket Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 3 Rp 666,667 Rp (1,333,333)
e. mobil pickup 1 buah Rp 70,000,000 Rp 70,000,000 10 Rp 7,000,000 Rp 35,000,000
f. instalasi air 1 paket Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 10 Rp 200,000 Rp 1,000,000
g. instalasi listrik 1 paket Rp 5,000,000 Rp 5,000,000 10 Rp 500,000 Rp 2,500,000
sub jumlah Rp 85,000,000 Rp 9,566,667 Rp 37,166,667
Jumlah Biaya Investasi Rp 746,100,000
Rp 76,786,667 Rp 362,166,667
83
Keterangan :
Total Harga = Jumlah Fisik x Harga/satuan
Contoh (mesin penepung/pengecil) :
Total Harga = 2 (buah) x 20,000,000
Total harga = 40,000,000
Penyusutan per Tahun = Total Harga/Umur Ekonomis
Contoh (timbangan) :
Penyusutan per Tahun = 10,000,000/5
Penyusutan per Tahun = 2,000,000
Nilai Sisa = Total Harga/(Penyusutan per Tahun x Umur Proyek)
Contoh (timbangan) :
Nilai Sisa = 10,000,000/(2,000,000 x 5)
Nilai Sisa = 0.00
84
Lampiran 28. Perincian biaya operasional usaha menengah sorghum flakes
No Input Jumlah Satuan Harga
Per Satuan
Nilai
Per Bulan
Nilai
Per Tahun
1 Bahan Baku
Tepung Sorgum 60 mesh(*) 4500 kg
Biji Sorgum(**) 6900 kg Rp 3,250 Rp 22,425,000 Rp 269,100,000
Pati Tapioka 500 kg Rp 4,500 Rp 2,250,000 Rp 27,000,000
Tepung Gula 750 kg Rp 12,000 Rp 9,000,000 Rp 108,000,000
Coklat Bubuk 500 kg Rp 50,000 Rp 25,000,000 Rp 300,000,000
Minyak 200 L Rp 10,000 Rp 2,000,000 Rp 24,000,000
Garam 50 kg Rp 2,000 Rp 100,000 Rp 1,200,000
Emulsifier 50 kg Rp 150,000 Rp 7,500,000 Rp 90,000,000
Kemasan 111350 buah Rp 300 Rp 33,405,000 Rp 400,860,000
sub jumlah
Rp 101,680,000 Rp 1,220,160,000
2 Tenaga Kerja
pegawai pabrik 6 orang, bulan Rp 900,000 Rp 5,400,000 Rp 64,800,000
supervisor pabrik 1 orang, bulan Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 18,000,000
pegawai kantor 2 orang, bulan Rp 900,000 Rp 1,800,000 Rp 21,600,000
manajer 1 orang, bulan Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 24,000,000
sub jumlah
Rp 10,700,000 Rp 128,400,000
85
No Input Jumlah Satuan Harga
Per Satuan
Nilai
Per Bulan
Nilai
Per Tahun
3 Operasional Pabrik
sewa bangunan dan kantor 1 bulan Rp 8,000,000 Rp 8,000,000 Rp 96,000,000
biaya penyusutan mesin dan
peralatan 1
bulan Rp 5,591,667 Rp 5,591,667 Rp 67,100,000
biaya perawatan mesin dan
peralatan 1
bulan Rp 139,792 Rp 139,792 Rp 1,677,500
biaya perawatan bangunan 1 bulan Rp 50,000 Rp 50,000 Rp 600,000
biaya transportasi bahan 1 bulan Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 Rp 12,000,000
sanitasi dan kebersihan 1 bulan Rp 50,000 Rp 50,000 Rp 600,000
listrik 1 bulan Rp 200,000 Rp 200,000 Rp 2,400,000
air 1 bulan Rp 200,000 Rp 200,000 Rp 2,400,000
sub jumlah
Rp 15,231,458 Rp 182,777,500
4 Operasional Kantor
biaya pemasaran 1 bulan Rp 8,000,000 Rp 8,000,000 Rp 96,000,000
telepon/fax/internet 1 bulan Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 Rp 12,000,000
biaya penyusutan peralatan kantor
1 bulan
Rp 797,222 Rp 797,222 Rp 9,566,667
biaya perawatan peralatan 1 bulan Rp 19,931 Rp 19,931 Rp 239,167
biaya transportasi 1 bulan Rp 1,000,000 Rp 1,000,000 Rp 12,000,000
subjumlah Rp 10,817,153 Rp 129,805,833
Jumlah Biaya Operasional Rp 138,428,611 Rp 1,661,143,333
*jumlah tepung sorgum + tapioka yang digunakan, yaitu 5000 kg, diperoleh dari asumsi nomor 9
**Jumlah biji sorgum yang dibutuhkan dihitung melalui rendemen proses penepungan dan pengayakan untuk menghasilkan 4500 kg sorgum, yaitu : 4500 x
(100/94,5) x (100/69,24) = 6877 ~ 6900 kg
86
Keterangan
Nilai Per Bulan = Jumlah x Harga Per Satuan
Contoh (pegawai pabrik) :
Nilai Per Bulan = 6 x 900,000
Nilai Per Bulan = 5,400,000
Nilai Per Tahun = Nilai Per Bulan x 12
Contoh (pegawai pabrik) :
Nilai Per Tahun = 5,400,000 x 12
Nilai Per Tahun = 64,800,000
{Nilai Per Tahun Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan (No. 3 poin 2)} = {Sub jumlah Penyusutan
Per Tahun Mesin/Peralatan (No.2 Lampiran 27)}
{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan} = {Nilai Per Tahun
Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan}/12
{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Mesin dan Peralatan (No.3 poin 3)} = {Harga
Per Satuan (Nilai Per Bulan) Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan} x 2.5% (Asumsi No. 8 hal. 51)
{Nilai Per Tahun Biaya Perawatan Mesin dan Peralatan} = {Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Mesin
dan Peralatan} x 12
{Nilai Per Tahun Biaya Penyusutan Peralatan Kantor (No. 4 poin 3)} = {Sub jumlah Penyusutan Per
Tahun Instalasi Utilitas (No. 3 Lampiran 27)}
{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Penyusutan Peralatan Kantor} = {Nilai Per Tahun Biaya
Penyusutan Peralatan Kantor}/12
{Nilai Per Satuan dan Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Pera latan Kantor (No.4 poin 4)} = {Harga Per
Satuan (Nilai Per Bulan) Biaya Penyusutan Peralatan Kantor} x 2.5% (Asumsi no. 8 hal. 51)
{Nilai Per Tahun Biaya Perawatan Peralatan Kantor} = {Nilai Per Bulan Biaya Perawatan Peralatan
Kantor} x 12
87
Lampiran 29. Kebutuhan dana usaha menengah sorghum flakes
No Rincian Biaya Proyek Total Biaya
1 dana investasi yang bersumber dari
a. Kredit Rp 522,270,000
b. Dana sendiri Rp 223,830,000
jumlah dana investasi Rp 746,100,000
2 dana operasional yang bersumber dari
a. Kredit Rp 1,162,800,333
b. Dana sendiri Rp 498,343,000
jumlah dana operasional Rp 1,661,143,333
3 total dana proyek yang bersumber dari
a. Kredit Rp 1,685,070,333
b. Dana sendiri Rp 722,173,000
jumlah dana proyek Rp 2,407,243,333
Keterangan :
{Jumlah dana investasi} = {Jumlah Biaya Investasi (Lampiran 27)}
Mengacu Asumsi No. 13 hal.51 :
{Dana investasi yang bersumber dari Kredit} = 70% x {Jumlah dana investasi}
{Dana investasi yang bersumber dari Dana Sendiri = 30% x {Jumlah dana investasi}
{Jumlah dana operasional} = {Jumlah Biaya Operasional (Lampiran 28)}
Mengacu Asumsi No. 13 hal.51 :
{Dana operasional yang bersumber dari Kredit} = 70% x {Jumlah dana operasional }
{Dana operasional yang bersumber dari Dana Sendiri = 30% x {Jumlah dana operasional }
{Jumlah dana proyek} = {Jumlah dana investasi} + {jumlah dana operasional}
Mengacu Asumsi No. 13 hal.51 :
{total dana proyek yang bersumber dari Kred it} = 70% x {jumlah dana proyek}
{total dana proyek yang bersumber dari Dana Sendiri} = 30% x {jumlah dana proyek}
88
Lampiran 30. Perhitungan pelunasan kredit
A. Angsuran Kredit Investasi
Jumlah kredit Rp 522,270,000.-
Jangka waktu kredit 4 tahun
Bunga per tahun 14% tahun
Jumlah angsuran 48 bulan
Sistem Perhitungan Bunga 1 Menurun
Tahun Angsuran Pokok Angsuran Bunga Total Angsuran Saldo Awal Saldo Akhir
1 130,567,500 64,739,719 195,307,219 522,270,000 391,702,500
2 130,567,500 40,460,269 177,027,769 391,702,500 261,135,500
3 130,567,500 28,280,819 158,748,319 261,135,500 130,567,500
4 130,567,500 9,901,369 140,468,869 130,567,500 0
Total 522,270,000 149,282,175 671,552,175
89
B. Angsuran Kredit Modal Kerja
Jumlah kredit Rp 1,162,800,333.-
Jangka waktu kredit 4 tahun
Bunga per tahun % 14% tahun
Jumlah angsuran 12 bulan
Sistem Perhitungan Bunga 1 Menurun
Tahun Angsuran Pokok Angsuran Bunga Total Angsuran Saldo Awal Saldo Akhir
1 290,700,083 144,138,791 434,838,875 1,162,800,333 872,100,250
2 290,700,083 103,440,780 394,140,863 872,100,250 581,400,167
3 290,700,083 62,742,768 353,442,851 581,400,167 290,700,083
4 290,700,083 22,044,756 312,744,840 290,700,083 0
Total 1,162,800,333 332,367,095 1,495,167,429
90
C. Angsuran Kredit Investasi dan Modal Kerja
Tahun Kredit
Angsuran
Pokok
Angsuran
Bunga
Total
Angsuran
Saldo
Awal
Saldo
Akhir
1,685,070,333
1,685,070,333 1,685,070,333
1
421,267,583 208,878,510 630,146,093 1,685,070,333 1,263,802,750
2
421,267,583 149,901,048 571,168,632 1,263,802,750 842,535,167
3
421,267,583 90,923,587 512,191,170 842,535,167 421,267,583
4
421,267,583 31,946,125 453,213,708 421,267,583 0
Keterangan :
Rumus penghitungan angsuran kredit
Angsuran pokok per bulan= jumlah kred it / (tahun kredit x 12 bulan)
Angsuran bunga per bulan = bunga pinjaman(14%)/12 x sisa kredit
Total angsuran = angsuran pokok + angsuran bunga
Contoh perhitungan kredit investasi dan modal kerja (Po in C)
Kredit investasi = Rp 1,685,070,333.-
Jumlah tahun angsuran = 4
Angsuran pokok tiap tahun = 1,685,070,333/4 = 421,267,583
Angsuran pokok per bulan = 421,267,583/12 = 35,105,631
Angsuran bunga per bulan (bulan 1) = (14%/12) x saldo awal bulan 1 = (0.14/12) x 1,685,070,333 = 19,659,154
Total angsuran perbulan = 35,105,631 + 19,659,154= 54,764,786
Cicilan bunga bulan 2= (14%/12) x saldo awal bulan 2 = (0.14/12) x (1,685,070,333 – 54,764,786) = 19,249,588
91
Lampiran 31. Asumsi penjualan
% Penjualan Tahun ke- Hasil Penjualan
70 1 935,340
80 2 1,068,960
80 3 1,068,960
80 4 1,068,960
80 5 1,068,960
Keterangan :
Harga produk : Rp 2,500.-
Kapasitas produksi basis bahan karbohidrat per bulan (Asumsi No. 9 hal 51)
= 40 kg x 5 jam x 25 hari = 5,000 kg bahan (karbohidrat)
Jumlah total bahan (Volume Produksi) per bulan dihitung dengan menjumlahkan bahan -bahan lain seperti tapioca, coklat bubuk, minyak,
garam, dan emulsifier, atau sekitar 6,550 kg
Kapasitas produksi per bulan (efisiensi 85%; Asumsi no. 10 hal 51)
= 0.85 x kapasitas produksi per bulan x 1000 (gr/kg) / 50 gr
= 0.85 x (+) 6,550 kg x 1000 (gr/kg) / 50 g r
= (+) 111,350 unit produk (50 gr)
Kapasitas produksi per tahun = jumlah produksi per bulan x 12 bulan
= 111,350 x 12
= 1,336,200 unit produk
92
Berdasarkan Asumsi No. 11 hal 51 :
Jumlah penjualan tahun 1 = volume penjualan tahun 1 (70%) x kapasitas produksi per tahun
= 0.7 x 1,336,200
= 935,340 unit produk terjual
Jumlah penjualan tahun 2 (dst) = volume penjualan tahun 2 (dst) (80%) x kapasitas produksi per tahun
= 0.8 x 1,336,200
= 1,068,960
93
Lampiran 32. Proyeksi laba-rugi
No Uraian
Tahun
1 2 3 4 5 Jumlah
1 Pendapatan Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2, 672,400,000 Rp 2, 672,400,000 Rp 2, 672,400,000 Rp 13,027,950,000
2 Pengeluaran
a. Biaya operasional Rp - Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 6,644,573,333
b. Penyusutan Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 383,933,333
c. Angsuran pokok Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp - Rp 1,685,070,333
d. Bunga bank Rp 208,878,510 Rp 149,901,048 Rp 90,923,587 Rp 31,946,125 Rp - Rp 481,649,270
Jumlah Rp 706,932,760 Rp 2,309,098,632 Rp 2,250,121,170 Rp 2,191,143,708 Rp 1,737,930,000 Rp 9,195,226,270
Laba sebelum pajak Rp 1,631,417,240 Rp 363,301,368 Rp 422,278,830 Rp 481,256,292 Rp 934,470,000 Rp 3,832,723,730
e. Pajak Rp 489,452,172 Rp 108,990,410 Rp 126,683,649 Rp 144,376,887 Rp 280,341,000 Rp 1,149,817,119
3 Laba/(Rugi) Rp 1,141,992,068 Rp 254,310,958 Rp 295,595,181 Rp 336,879,404 Rp 654,129,000 Rp 2,682,906,611
4 Profit margin % 48.84% 9.52% 11.06% 12.61% 24.48%
Keterangan :
Pendapatan (No. 1) = Hasil Pen jualan per tahun
Contoh (Pendapatan per tahun (tahun 1) = jumlah penjualan (tahun 1) x harga produk
= 935,340 x Rp 2,500.-
= Rp 2,338,350,000.-
Biaya Operasional (tahun 1) bern ilai nol karena dihitung sebagai Modal Awal Usaha pada tahun ke-0
Biaya Operasional (tahun 2, dst) merupakan Jumlah Biaya Operasional (Lampiran 28)
94
Penyusutan merupakan total nilai Penyusutan Pertahun (Lampiran 27)
Angsuran Pokok merupakan n iai Angsuran Pokok Kred it Investasi Per Tahun (Lampiran 30)
Bunga Bank merupakan nilai Angsuran Bunga Kredit Investasi Per Tahun (Lampiran 30)
{Laba Sebelum Pajak} = {Total Pendapatan} – {Total pengeluaran}
{Pajak} = {(Asumsi No. 18 hal 51)} x {Laba Sebelum Pajak}
{Laba (Rugi)} = {Laba Sebelum Pajak} – {Pajak}
{Profit Marg in (%)} = {Laba(Rugi)} / {Pendapatan} x 100
95
Lampiran 33. Perhitungan BEP (Break Even Point)
Waktu
Biaya Tetap Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5
Sewa Bangunan & Kantor Rp 120,000,000 Rp 120,000,000 Rp 120,000,000 Rp 120,000,000 Rp 120,000,000
Gaji Rp 134,400,000 Rp 134,400,000 Rp 134,400,000 Rp 134,400,000 Rp 134,400,000
Telepon/internet Rp 12,000,000 Rp 12,000,000 Rp 12,000,000 Rp 12,000,000 Rp 12,000,000
Biaya Penyusutan Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667 Rp 76,786,667
Biaya Transportasi Rp 24,000,000 Rp 24,000,000 Rp 24,000,000 Rp 24,000,000 Rp 24,000,000
sub jumlah Rp 367,186,667 Rp 367,186,667 Rp 367,186,667 Rp 367,186,667 Rp 367,186,667
Biaya Variabel
Bahan Baku Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000 Rp 1,220,160,000
Operasional Pabrik Rp 182,777,500 Rp 182,777,500 Rp 182,777,500 Rp 182,777,500 Rp 182,777,500
Biaya Pemasaran Rp 96,000,000 Rp 96,000,000 Rp 96,000,000 Rp 96,000,000 Rp 96,000,000
sub jumlah Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500 Rp 1,498,937,500
Jumlah Produk (unit) 935,340 1,068,960 1,068,960 1,068,960 1,068,960
Harga Jual Rp 2,500 Rp 2,500 Rp 2,500 Rp 2,500 Rp 2,500
Hasil Penjualan Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000
BEP (Rp/tahun) Rp 939,300,334.46 Rp 767,896,415.95 Rp 767,896,415.95 Rp 767,896,415.95 Rp 767,896,415.95
BEP (unit produk) 375,720 307,159 307,159 307,159 307,159
Keterangan
Perhitungan BEP (rup iah) = Jumlah Biaya Tetap / (1-(Biaya Variabel per unit/Harga per unit))
= 367,186,667/ (1-(1,498,937,500/935,340)/2,500)
= Rp 939,300,334.46
Perhitungan BP (unit) = BEP rupiah / harga produk per unit
= 939,300,334.46 / 2500 = 375,720 unit
96
Lampiran 34. Proyeksi arus kas
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5
Inflow
a. Pendapatan Rp - Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000
b. Nilai sisa Rp - Rp - Rp - Rp - Rp - Rp 362,166,667
Jumlah Rp - Rp 2,338,350,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 2,672,400,000 Rp 3,034,566,667
Outflow
a. Biaya investasi Rp 746,100,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000 Rp 1,500,000
b. Biaya modal kerja Rp 1,661,143,333
c. Biaya operasional Rp - Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333 Rp 1,661,143,333
d. Angsuran pokok Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583 Rp 421,267,583
e. Biaya bunga bank Rp 208,878,510 Rp 149,901,048 Rp 90,923,587 Rp 31,946,125
f. Pajak Rp 489,452,172 Rp 108,990,410 Rp 126,683,649 Rp 144,376,887 Rp 280,341,000
Jumlah Rp 2,407,243,333 Rp 1,121,071,265 Rp 2,342,802,376 Rp 2,301,518,152 Rp 2,260,233,929 Rp 1,942,984,333
Net Cashflow Rp (2,407,243,333) Rp 1,217,278,735 Rp 329,597,624 Rp 370,881,848 Rp 412,166,071 Rp 1,091,582,333
Saldo Kas Awal Rp - Rp (2,407,243,333) Rp (1,189,964,599) Rp (860,366,974) Rp (489,485,127) Rp (77,319,056)
Saldo Kas Akhir Rp (2,407,243,333) Rp (1,189,964,599) Rp (860,366,974) Rp (489,485,127) Rp (77,319,056) Rp 1,014,263,277
Keterangan :
Nilai Pendapatan per tahun sesuai dengan nilai Pendapatan pada Proyeksi Laba/Rugi (Lampiran 32)
Nilai sisa merupakan total Nilai Sisa pada Perincian Modal Investasi (Lampiran 27)
Biaya Investasi dan Modal Kerja tahun ke-0 merupakan Modal Awal Usaha (hal52)
Biaya investasi tahun-1, dst merupakan biaya investasi rutin yang ditetapkan
Biaya Operasional, Angsuran Pokok, Biaya Bunga Bank, dan Pajak sesuai dengan perincian Proyeksi Laba/Rugi (Lampiran 32)
{Net Cashflow} = {Jumlah Inflow} – {Jumlah Outflow}
97
Contoh (tahun-1) :
Net Cashflow = 2,338,350,000 – 1,121,071,265
Net Cashflow = 1,217,278,735
Saldo Kas Awal merupakan nilai Saldo Kas Akhir pada tahun sebelumnya
{Saldo Kas Akhir} = {Saldo Kas Awal} + {Net Cashflow}
Contoh (tahun-1) :
Saldo Kas Akhir = (-2,407,143,333) + 1,217,278,735
Saldo Kas Akhir = 1,189,964,599
98
Lampiran 35. Analisis kelayakan usaha
Tahun Arus Kas
Bersih
Arus Kas
Kumulatif DF( 13% ) NPV
NPV
Kumulatif
0 (2,407,243,333) (2,407,243,333) 1 (2,407,243,333) (2,407,243,333)
1 1,217,278,735 (1,189,964,599) 0.8850 1,077,237,818 (1,330,005,515)
2 329,597,624 (860,366,974) 0.7831 258,123,286 (1,071,882,229)
3 370,881,848 (489,485,127) 0.6931 257,039,725 (814,842,504)
4 412,166,071 (77,319,056) 0.6133 252,789,170 (562,053,334)
5 1,091,582,333 1,014,263,277 0.5428 592,467,157 30,413,824
Kriteria Kelayakan:
IRR = 14%
NPV = Rp 30,413,824
Net B/C = 1.01
PBP = 4.07 tahun
Discounted PBP
4.95 tahun
BEP (Rp / tahun) = tahun 1 = Rp 939,300,334
tahun 2 dst = Rp 767,896,416
99
Keterangan :
1. Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) menggunakan fungsi IRR di dalam Microsoft Excel menggunakan data pada kolom Present Value (PV)
dari PV tahun ke-0 sampai tahun ke-5.
Rumus umum (menggunakan iterasi) :
IO = 𝐴𝐶𝐹𝑡
(1 + 𝐼𝑅𝑅)t
n
t =1
Keterangan :
ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t
n = usia proyek yang diharapkan
t = periode (tahun)
Io = investasi awal (Initial Investment)
Rumus (menggunakan program Microsoft Excel) : =IRR(G5:G10,13%)
Catatan : PV merupakan Present Value, yaitu nilai Arus Kas Bersih yang telah dikalikan dengan Discount Factor (DF). PV d isebut juga Arus Kas
Terdiskonto.
2. NPV kumulat if merupakan akumulasi dari nilai PV (Present Value) dari tahun ke-0 sampai tahun ke-5 dan nilainya didapat dari kolom NPV
Kumulatif tahun ke-5.
Rumus umum :
NPV = 𝐴𝐶𝐹𝑡
(1 + 𝑘)t
n
t=1
− 𝐼𝑜
PVt = ACFt
(1 − k)t
Keterangan :
ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t
n = usia proyek yang diharapkan (tahun)
k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%)
t = periode (tahun)
100
Io = investasi awal (Initial Investment)
NPV = PV 0 + PV 1 + PV 2 + PV 3 + PV 4 + PV 5 = Rp 30,413,824.-
3. Perhitungan Net B/C Ratio adalah membagi jumlah dari PV yang bernilai positif (dari tahun ke-1 sampai tahun ke-5) dengan nilai mutlak dari PV
yang bernilai negatif (tahun ke-0)
Rumus umum :
Net B/C = + NPV positif
− NPV negatif
Net B/C Rat io = Jumlah pemasukan (PV1+PV2+PV3+PV4+PV5) / Jumlah pengeluaran (PV0)
= 2,437,657,157/ 2,407,243,333
= 1.0126 (1.01)
4. Perhitungan Payback Period adalah menambahkan angka tahun dimana Arus Kas Kumulat if bersifat negatif terakhir kali, dengan rasio antara nilai
mutlak Arus Kas Kumulatif tahun tersebut dan Arus Kas Bersih tahun berikutnya. PBP dih itung menggunakan kolom Arus Kas Breish dan kolom
Arus Kas Kumulat if, sedangkan Discounted PBP menggunakan kolom PV dan NPV Kumulat if.
Contoh perhitungan PBP :
PBP = n + (a/b)
= 4 + (77,319,056/1,091,582,333) = 4.07 tahun (4 tahun 25 hari)
Keterangan :
n = Tahun terakhir di mana keadaan Arus Kas Kumulat if bernilai negatif
a = Jumlah Arus Kas Kumulat if negatif di tahun ke-n
b = Jumlah Arus Kas Bersih d i tahun ke-n+1