pengelolaan sumberdaya hutan: pembagian …

24
Penge/a/aan Sumberdaya Huran PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH ' Takdir Rahmadi The allocation of authoriry on forestry between central alld local government of Indonesia has several times shifted in a pendulum-like movement due to the enaCiment of three regulations. Firsr, under the Government Regulation No. 64 Year 1957 local government enjoys a vast authoriry on it. Nonetheless, Law No. 5 Year 1967 dragged the pendulum toward (he centralisation extreme, lIotwithstanding several Goven/mel![ Regulations (hat delegated some items of aUlhoriry to rhe local government. Unde r the Law No. 22 Year 1999 thar demonstrated commirmellls to decentralisation, implementations showed orherwise tendencies of central-government's strong injluences. I. Pendahulnan 271 Pada masa rejim Orde Baru, aparatur Pemerintah Pusat memiliki kewenangan yang luas di berbagai bidang, termasuk di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pola kewenangan seperti ini tercermin dalam Undang- undang NO.4 Tahun I maupun dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 . Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, Departemen- Departemen sektoral memiliki kewenangan yang kuat dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam lingkup tugas-tugas dan fungsi-fungsi sektoral mereka. Dengan demikian, jika kita berbicara tentang sektor kehutanan, ... Artikcl ini merupakan sat u dari makalah-Inakalah indonesian (111(/ [he Netherlantis Studies Oil Eflvironmemal L(IIv and Administratioll (lNSELA) yang lIlerupakan kCljasam<l pt:nditian aillara Indonesiull Celller jor Enviornmental Law (lCEL). Etkultas Hukum Universitas Indonesia. dan Vall Volienhoven Institute. Fakultas Hukum Uuivt:l"silas Leiuen. Bt::Ianua. Kerjasama penelilian ini l.Iidanai oleh Ford FoulllJalioll. Namar 3 Tahun XXXII

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Penge/a/aan Sumberdaya Huran

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN KEWENANGAN ANTARA

PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH '

Takdir Rahmadi

The allocation of authoriry on forestry between central alld local government of Indonesia has several times shifted in a pendulum-like movement due to the enaCiment of three regulations. Firsr, under the Government Regulation No. 64 Year 1957 local government enjoys a vast authoriry on it. Nonetheless, Law No. 5 Year 1967 dragged the pendulum toward (he centralisation extreme, lIotwithstanding several Goven/mel![ Regulations (hat delegated some items of aUlhoriry to rhe local government. Under the Law No. 22 Year 1999 thar demonstrated commirmellls to decentralisation, implementations showed orherwise tendencies of central-government's strong injluences.

I. Pendahulnan

271

Pada masa rejim Orde Baru, aparatur Pemerintah Pusat memiliki kewenangan yang luas di berbagai bidang, termasuk di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pola kewenangan seperti ini tercermin dalam Undang­undang NO.4 Tahun I ~82 maupun dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 . Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, Departemen­Departemen sektoral memiliki kewenangan yang kuat dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam lingkup tugas-tugas dan fungsi-fungsi sektora l mereka . Dengan demikian, jika kita berbicara tentang sektor kehutanan,

... Artikcl ini merupakan ~a lah satu dari makalah-Inakalah indonesian (111(/ [he Netherlantis Studies Oil Eflvironmemal L(IIv and Administratioll (lNSELA) yang lIlerupakan kCljasam<l pt:nditian aillara Indonesiull Celller jor Enviornmental Law (lCEL). Etkultas Hukum Universitas Indonesia. dan Vall Volienhoven Institute. Fakultas Hukum Uuivt:l"silas Leiuen. Bt::Ianua. Kerjasama penelilian ini l.Iidanai oleh Ford FoulllJalioll.

Namar 3 Tahun XXXII

Page 2: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

272 Hukum dUll Pt!Jllballgunan

maka Oepanemen Kdlulanan benanggungjawab atas kinerja pengelolaan lingkungan hidup dalam lingkup sektor kehutanan, sepeni kewenangan mengeluarkan HPH dan kewenangan penegakan hukum administrasi.

Setelah kerumuhan rejil11 Orde Baru , banyak pakar dan politisi daerah telah menyuarakan tuntutan tentang perlunya desemralisasi yang luas dan hakiki karena sentralisasi penyelenggaraan pemerimahan sepeni dilakukan pad a masa rejil11 Orde Baru dipandang sebagai salah satu penyebab kehancuran plliitik dan ekonomi negara. Sebagai tanggapan alas tumulan desentralisasi yang kuat, Pel11erintah telah mengundangkan dua perangkal hukum, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang­undang No. 25 Tahun 1999 yang merupakan kerangka dasar bagi desemralisasi.' Oesemralisasi mengharuskan Pel11erimah Pusal mendislribusikan kewenangannya kepada Pel11erintah Oaerah. Makalah ini membahas bagaimana rembagian kewenangan antara Pel11erintah Pusat di bidang kehutanan dan Pel11erintah Oaerah berdasarkan peraruran perundang-undangan yang berlaku. Sebelum l11el11bahas bagail11ana pel11bagian kewenangan pengelolaan hutan di masa lalu dan mas a sekarang, makalah ini terlebih dahulu menguraikan secara singkal konsep­konsep desentralisasi.

II. Konsep-Konsep Desentralisasi

Oi dalam kepustakaan dapat dilemukan pengenian-pengertian dan bentuk-bentuk desentralisasi. Makalah ini tidak bennaksud mengkritisi pengertian-pengertian yang dikel11ukakan oleh para sarjana . Tujuannya adalah sebaras mengungkapkan konsep desentralisasi l11acal11 "ra yang dikehendaki oleh politisi dan sarJana pendukung desent ralisasi di Indonesia. Rondineli et. ai., l11el11bedakan desemralisasi ke dalam el11pat bentuk , yaitu "deconcentration", "delegation", "devolution" dan "privatization".' Dekonsentrasi ("deconcentralion") dianikan sebagai pendislribusian langgungjawab administratif hanya dalam lingkup aparal

I Dt::partt:I1lt!1l Ualam N~gt:n saal ini telah mempersiapkan rt.::visi rerhadar UU No. 22 Tahun 1999. Asosiasi Pemcrintah Kabupaten dan Kow mengkritik rem:ana r!;!visi UU itu st!hagai upaya pcngemhalian ke arall pola sentralisasi.

2 George: Fn.::rks and J'II\ Michie! Otto, Dece11lralizmion and Deve!opmel1f: A UevielV Administration Literature. Resean.:h Report 96/2, Van Vollenhoven Institute. Leiden Univt::rsity. hal. 9.

Ju/i - Sep,elllber 2002

Page 3: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengeioiaan Sumberdaya HUian 273

pemerimah sentral, misalnya pengalihan beban kerja dari kantor pusat deparrelllen kepada kantor-kantor di daerah 3 ("redistribution of administrative responsibilities only within the central government"). Delegasi ("delegation") merupakan pengalihan kewenangan pengambilan keputusan dan pengelolaan untuk tugas atau fungsi tertentu kepada badan yang tidak secara langsung di bawah kendali Menteri di lingkat pusa!, misalnya pembentukan badan usaha milik negar" atau otoritas pembangunan wilayah tertentu 4 ("tra11fer of decision-making and management authority for specific functions to agencies that are not under direct control of central government ministeries"). Devolusi ("devolution") mengandung pengertian. bahwa unit-unit Pemerintah Daerah bersifat otonom atau mandiri yang memiliki status hukum terpisah atau berbeda dari Pemerintah Pus"t dan selain itu mempunyai kewenangan untuk mencari sumber-sumber pendapatan sendiri dan mengelola pendapatan itu.' Privatisasi ("privatization") adalah pengalihan fungsi-fungsi dari pemerintah kepada Iemhaga-Iembaga non-pemerintah."

Devas , membedakan desentralisasi ke dalam dua bentuk saJa, yaitu: "intergovernmental or political decentralization" dan "management decentralization" 7 Pengertian "intergovernmental decentralization" adalah "transfer of power to elected local governments". Konsep "decentralization of management" adalah penyerahan tanggungjawab at as bidang pelayanan tertentu kepada manager dari unit pelayanan yang bersangkutan.' (with responsibility for delivery of particular services being decentralized to the managers of service units" ) . Berdasarkan desentralisas i manaJelllen, maka setiap manager unit-unit kegiatan mungkin hams berkolllpetisi dengan pelaku-pelaku swasta . Di Inggeris , misalnya, kegiatan pengumpulan Iimbah, pemeliharaan bangunan, dan pemeliharaan taman diserahkan kepada manajer-manajer unit dan mereka harus berkompetisi dcngan pelaku-pelaku swasta umuk lllendapatkan kontrak-kontrak pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut untuk kepentingan

J Ihid 4 lhid.

S Ibid.

11 !hid.

7 Nick Oevas. "Imlollcsia: What do we mean hy th:ct:ntralizatioll ,!". ualilm Public Admilli.wratiofl and Dew;'/oplII('lII. Vol. 17 No.3. 1997. hal. 352.

II Ibid.

NonlOr 3 Tahun XXXII

Page 4: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

274 HukulIl dUll Pe/llvllllgullllll

Pemerintah Daerah." Konsep desentralisasi manajemen tampaknya sangat menyerupai (Jengan konsep privatisasi.

Surianingrat Illembedakan desentralisasi ke <.Ialam liga bentuk pokok, yaitu: "desentralisasi jabatan" , "desentralisasi kcnegaraan" <.Ian "tugas pembantuan". '" Desentralisasi jabatan disebut juga <.Iengan istilah "dekonsentrasi" merupakan penyebaran kekuasaan <.Iari alasan kepa<.la bawahan <.Iengan tujuan untuk meningkatkan kelancaran kerja." Desentralisasi kenegaraan, yang juga disebut sebagai <.Iesemral isasi <.Ia lam arti sempit, merupakan penyerahan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri sebagai usaha untuk mewujudkan demokrasi.·· Desentralisasi kenegaraan ini dibedakan pula atas dua kategori, yaitu "desentralisasi territorial" dan "desentralisasi fungsional". Desentralisasi territorial ada lah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dan pembatasan kewenangan itu Ilanyalah wilayah." Konsep ini disebut juga dengan "otonomi". Desentralisasi fungsional merupakan penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi­fungsi atau tugas-tugas tertentu saja. J3 Bentuk ketiga. yaitu tugas pembantuan (medebewind) merupakan campuran antara "dekonsentrasi ' <.Ian "desentralisasi dalam arti sempit"."

Di antara beherapa konsep -yang dikemukakan oleh penulis­penulis tersebut- yang relevan dengan wacana desentralisasi di Indonesia saat ini tampaknya adalah konsep devolusi menurut Rondinelli et aI., yang dapat dikatakan serupa dengan konsep intergovernmental decentralization menu rut Devas, atau konsep "desentralisasi territorial" dalam tulisan Surianingrat. Setelah keruntuhan rejim pemerintahan Orde Baru. banyak orang menggugat model pengelolaan pemerintahan rejim orde baru yang dianggap sangat sentralistis. Di sisi lain, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, meski secara konseptual merupakan be11luk-be11luk dese11lralisasi, kedua be11luk itu tidak populer dari sudut pandang dan kepentingan Pemeri11lah Daerah, karena dekonse11lrasi dan tugas pembantuan masih menempatkan aparat Pemerimah Pusat, yaitu Menteri

lj Ihid.

10 Buyu Surianingrat. Desellfmlisasi dan Dekonsentrasi Pemeril1wlwlI di Ifldonesia Suatu Ana/im, 19~L Dt!waruci Pr~ss. Ital. 6 dan 7. Illhid. 12 lhid.

13 Ibid. 14 Ihid, hal. 17.

Juli - September 2002

Page 5: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengeioiaan Sumberdaya HlIlan 275

sebagai perencana, penentu kebijakan dan anggaran. Menteri memiliki aparatnya di daerah dalam bentuk Kantor-Kantor Wilayah yang melaksanakan kebijakan dan program yang ditetapkan oleh Menteri. Oleh sebab itu pula kehadiran Kantor-Kantor Wilayah dianggap tidak mencerminkan kepentingan daerah.

Sebagian sarjana dan politisi bahkan berpendapat, bahwa wacana tentang IlUbungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mestinya tidak Ilanya sebatas konsep desentralisasi dalam ani bagaimana mengatur hubungan kewenangan Pemerimah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan kerangka negara kesatuan, tetapi juga telah memunculkan pemikiran dan asplrasi politik menginginkan perubahan bentuk negara Republik Indonesia, yaitu dari sebuah negara kesatuan berdasarkan U U 0 1945 menjadi sebuah negara federal. IS

Wacana itu tidak saja dikemukakan oleh akademisi tetapi juga tokoh-tokoh daerah. Bahkan di beherapa daerah misalnya Aceh dan Irian Jaya, telah timbul aspirasi sebagian penduduknya untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Untuk merespon aspirasi politik daerah yang menginginkan otonomi luas hingga ke pemisahan diri dari negara kesatuan, Pemerintah telah mengundangkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1<)<)9. Setelah pengundangan kedua UU tersebut wacana tentang perubahan bentuk negara secara berangsur semakin surut. Wacana lebih dipusatkan pada pengkajian peiaksanaan dua undang-undang itu yang mengatur Ilubungan kewenangan Pemerimah Pus"t dan Pemerimahan Daerah, sena perimbangan keuangan pusal dan daerah, yaitu: Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 temang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Sepanjang berkaitan dengan tumutan desemralisasi territorial dalal11 pengelolaan lingkungan hidup pad a ul11umnya dan pengelolaan sumberdaya hutan pada khususnya , tanggapan para sarjana dan pengamat terbagi dua, yaitu antara pandangan yang optil11is dan pandangan yang pesimis. Sebagian sarJana berpendapat, bahwa desentralisasi akan l11enimbulkan dampak positif bagi pengelolaan sumberdaya hUlan,

J5 Lihal. misalnya Anllar Gong.gong. "Resistensi Terhauap FeueralisLllt: Traullm Vim Mook alau Buuaya Politik Selltralislik··. dalam Otollomi (l{aU Fetierali.1'111e Dalf/paknya Ter/Ilu/ap IJerekollol1lilJII. Suara PClllharuan. Jakarta, 2000. h'll. 145-156: Faisal Basri. "Otollol1li Luas uall I:;eucralisllle"" dal.ull Otonomi (l{all FetiemU.mll', Dwnpaknya ferIUJt/a/J Pere/.:.ollolllicm. Suara Pelllharuan. Jakarta. 2000. h"ll. 157- 163.

Nomar 3 Tahull XXXII

Page 6: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

276 Hukllln dUll Pembullglilian

misalnya ullluk mempercepat pengambilan keputusan. memperluas dan mengilllensitkan komunikasi dan kepedulian "stakeholders". khususnya masyarakat yang tinggal Lii dalam dan di sekitar hUlan. serta akumabilitas pengelolaan hUlan. '" Dampak positif lainnya adalah memberi peluang kepada masyarakat lIlltuk menyelesaikan sendiri masalah-masalah kehutanan seperti pencegahan penebangan hutan secara tidak sah atau liar. pendidikan masyarakat agar melakukan pembalakan yang herdampak rendah dan pelibatan masyarakat untuk mengawasi jumlah maksimal penebangan kayu yang diperbolehkan setiap tahunnya. 17 Pandangan pesimis didasarkan pad a kenyataan, bahwa sebagian besar birokrat dan politisi daerah dalam menyuarakan desentralisasi lebih menitikberatkan pada bagaimana meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan upaya yang mudah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah adalah mengeksploitasi sumberdaya alam. Jadi, menurut mereka yang berpandangan pesimis. birokrat dan pOlitisi daerah cenderung memiliki visi yang bias ke arail eksploitasi sumberdaya alam dengan kurang memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. "

Agar deselllralisasi tidak menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sehagaimana dikJlawatirkan oleh pandangan pesimitis, adalah peming umuk mempertimbangkan tiga hal. Pertama, pengelolaan hutan secara berkelanjulan harus uidasarkan pada satuan pengelolaan eksosistem wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan zoogeografis yang temunya tidak dapat dengan mudah dipecah-pecah ke dalam wilayah administrasi pemerimahan.,·j Oleh sebab itu , pemecahan pengelolaan hutan secara kaku berdasarkan batas-batas wilayah administrasi pemerimahan tidak semestinya diberlakukan.

[(, Lihar. Hariadi KartnLiih;mljo. Masaluh Kehijakall Pen~el(}luan HW(lIi Alum Produhi. 1999. LATIN . Bugu,.. hal. 37. 17 Lihal Untung Iskandar. V ialog Kehutanan dalam W(l(;ana Global. 2000. Bigr<lr Puhlishing. Jakarta, hal. 173.

IX Lihat Republika 24 Jill)Uari 2000, halaman 5: "UU OlOllomi Dat:rah Am:aman Rlgi

Lingkungan BiLlup·'. III LilIat Uuh Aliyudin. Pf'III/JangUlwn Kehutanan dan PerkehulUlti DatU/II RUIIKka 01()/wmi

Daerah. makalah disampaikan palla Kuliah Umum paua Civitas Akadeillika Fakultas Kehutanan IPS Tahun Ajarall 1999/2000, (anggal 25 Maret 2000.

Juli - SepTember 2002

Page 7: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengeloluwz Sumberduyu III11UIl 277

K~dua , desemralisasi pengelolaan sumberdaya hUlan hanlS memperrimbangkan kons~p keadilan amar daerah urau propinsi yang benelangga. Propinsi wrrentu mungkin me1l1i1iki kawasan-kawasan hUlan yang sebagian besar dinyatakan sebagai hUlan lindung dan propinsi lainnya 1l1emiliki kawasan-kawasan hUlan yang sebagian besar dinyalakan sebagai hUlan produksi. Propinsi pemilik hUlan produksi dapal mengambil manfaal ekonomi dari kawasan hUlan di dalam wilayahnya dan memperoleh gO % dari pen~rimaan di seklOr kehutanan, sedangkan Propinsi pemilik hUlan I indung lidak dapal meugalllbil manfaat ekonomi dari keberadaan hUlan d i dalam wilayalmya. lelapi di sisi lain manfaat ekologis hUlan lindung ilU juga dinikmali oleh I'rop insi tetangga yang memiliki hUlan produksi. Kasus sepeni ini leljadi di antara Propinsi Sumatera Baral di satu pillak dan Propinsi Riau dan !'ropinsi Jambi di pihak lain. Kawasan-kawasan hutan di Propinsi Sumatcra Barat pada umu1l1nya dinyatakan sebagai Ilutan lindung, sedangkan kawasan hutan di Propinsi Riau uan Propinsi Jambi pada umumnya clinyatakan sebagai hutan produksi. Di sisi lain kawasan hUlan lindung di Sumatcra Barat berfungsi sebagai daerah langkapan air yang memberi manfaal ckologis dan ekonomi bagi Propinsi Riau dan Propinsi Jambi . '"

Ketiga, konsep uesentralisasi hendaknya tidak uiarrikan hanya sebatas pada penyerahan kewenangan Pemerintah Pusat kcpada Pemerintah DaeJ'llh, letapi juga harus uisenai dengan demokratisasi. Wujud nyata dari demokratisasi dalam pengelolaan hutan adalah pengakuan alas peranserra masyarakat setempal yang lebih kuat ' dan hakiki ualam pengelolaan hutan. " Desentralisasi yang diiringi oleh demokratisasi adalah salah saw prasyaral agar kebijakan desentralisasi dapat meningkatkan kcsejahteraan rakyat dan mempertahankan keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Deselllralisasi yang demokratis ditandai oleh kuatnya fungsi pengawasan oleh DPRD dan kuatnya masyarakal lIladani yang menjalankan fungsi penekan dan pengawasan." Pengenian lIlasyarakat lIladani adalah semua peiaku atau stakeholders yang bukan aparat

::! () Pt!lIt ingnya kt:iHJilall allta!' Propinsi dalam JIlt:ng.lIl1hil llliluli.lat hut<lll tl! J'ungkap Jari WaW<l llC'lnl ul! lIgan rl:jai1at lJilias KdlUt<tn<tn Propinsi Sumatl!l'<l Bural. 1 Nopl::l1lbcl' 1999. 11 leEl. Pokok·Po/.:.o/.:. Pikiroll })"I-: ; Pemeril1WhWI Bam /-Iasi! PeJlliiu }999 LiIl~kUllK(/f1 /fidttp clan SumiJer 00.\'(1 A{w/l Pa.\'ca Orde Barll, 1999, feEL. h. Us-I'}: lihat juga FllJ'UIll KOli lunikasi KdlUtan<J1l M"s~larakat (FKKM), SIIIII/)(IIt}f(Jf1 Pelllik imll (ell/ollg Nejimll({si Penxe/o/t/wl SWIII}(!r Daya I/ /lUIlI Nasional. 1999. FakulClis Kt:huLUnan UGM uall hII'll Founuatiun. h. 11- 13 . 22 1CEL. fOLci/.

NU/lZor J Tail"" XXXII

Page 8: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

278

pemerimah, Mereka ilU amara lain adalah masyarakal allal, LSM. llIass media dan kelompok pro[esi di bidang kehutanan, LSM lillgkungan alau kehuranan dan pengalllar kehutanan harus lampil menjadi "\i'well dog ". lerUlama ketika DPRO sebagai institusi pengawas formal di daerah lidak memberi perharian dan pengawasan yang cukup lerhadap pengelolaan hutan yang berkelanjulan . Oleh sebab ilU, adalah sangat peming untuk lumbuh dan berkembangnya LSM lingkungan atau kehulanan di Llaerah yang malllpu Illenjalin kerjasama dellgan akademisi kehulanan di daerah yang bersangkuran guna lllemperkuat fungsi pengawasan oleh masyarakat.

Peransena lllasyarakat dalam bentuk proses pcrencanaan. pelaksanaan pengelolaan hUlan dan keikursertaan menikmali manfaal dari keberada"n sumberdayahuran merupakan kecenderungan yang dilcmukan dalalll hukum kehutanan di sejumiah negara Asia," Oi indonesia luntlltan agar masyarakat se lelllpat secara langsung dapar meniklllali manfaal sUll1berdaya hutan scsungguhnya telah seringkali disuar,lkan dengan mendasarkan pada konsep huran adar dan konsep hUlan kemasyarakaran,21 Sekedar sebagai perbandingan dapal juga dikell1ukakan kunsep -:ioilll jiJreslry IIwllagemell!" Lli negara Bagian West Bengal. InLlia, yang melibarkanmasyarakal desa hutan dalall1 pengelolaan hUlan ."

III. Perkembangan I'embagian Kewenangan I'engelolaall Sumberdaya Hulan

Perkembangan hubungan kewenangan dalam pengelo laan sumberdaya ilUlan di Indonesia dapar dibedakan alas empal rejim peraruran perundang-undangan, ya itu: I) PP No. 64 Tallun 1957 lentang Penyerahan Sebagian dari Urusan I'emerintah Pusat di Lapangan Perikanan Lalli ,

23 E II ~ 1I Kt:rJ\, Kt:llIl~tll L. [{ust:llhaul1l , RossJna Silv~\ Repetto, TOIllIIlt! YOllng. . hel/(/.I ill

Forestry Law ill Alllerim lIlill Asia, 1998. FAD. ROI Ilt;:. h. 116

14 Lilmt. misalnya. NOt:r Fauzi. "I-Iulan Untuk RakyaL HUlan Siapa'! MClIuju Pl:ngakuall Hak I\:-.al Usul'·. Pmsidi1lg Dia/oJ.: Kebijaks(JI/{/(JfI PemhanxwIC/1/ Ke/l/(lWwl/. Natural ReSOU ft:~ M;:lIlagcmem Prograll1 10 Maret 1999: JdTn::y Y. ClIllpbd l. liutan UIHuk Rak yal. Masy,uakar Ad.tl atau Koperasi'! Plural Perspcl:t ivt:s in the Polil:Y Debate till' COllllllunity Fun.:stry ill Imluncsia" , paper disaj ikan ualalll Sl!IlIil/or 1('I/lUI/X L('glll

COlllpil.~xiry, NafUrot UeSOIflT£' MWIlI;.:emel/[ ill (lnd S(n:ia! (ill) SI!CurilY in /I/(/olll'siu, PaJang. 6·9 Septemher 1999.

25 S. B. Roy. Mitali Chatcqcc. Raktim<1 Mukherjee. Policy 10 Pmcti("(' (~I Joilll ((In'.I·lry

MWf{/~f!IIIf!fI{ . 1999. Imer Illdia Puhlicarions.

i,,1i - SepM"ber 20(}2

Page 9: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Penge/o/aall SUlllberdaya HUlan 271)

Kehulanan dan Karel Rakyal Kepada Daerah-Daerah, 2) UU Nu. 5 Tahun 1967 lemang Kelemuan J>okok Kehulanan dan peraluran pelaksanaanya. 3) UU No. 22 Tahun 19'19 lemang Pemerimah Daerah, dan 4) UU No. 41 Tahun 1999 lemang Kehulanan. Dua peraluran perundang-undangan yang disebul dalam bUlir I) dan 2) sekarang lidak lagi berlaku. Akan lelapi , baik peraluran perundang-undangan yang pernah berlaku maupun yang sekarang berlaku perlu diuraikan unluk memperlihalkan perkembangan pola pembagian kewenangan amara Pemerinlah Pusal dan Pemerimah Daerah dari sualu masa ke masa lainnya.

I1LL Kewenangan Bel'dasarkan PP No. 64 Tahun 1957

Berdasarkan 1'1' No. 64 TallUn 1957. Pemerimah Daerah Swalamra Tingkal I mempunyai kewenangan rdatif kual dalam pengelolaan hUlan karena Pemerimah Swalamra berwenang umuk mengurus Ilulan , baik hUlan lindung maupun hUlan pruuuksi. i'emcrilllah Daerah juga diserahi kewenangan umuk mengeluarkan "surat izin eksploilasi hUlan", "izin pengambilan kayu dan hasil hUlan lain alau swasta", memungul "cukai" dari pemegang "sural izin eksploilasi hUlan" dan pemegang izin pengambilan kayu dan hasil hUlan. mcngatur dan melaksanakan perlindungan hUlan dan mengatur pengangkulan hasil hutan. Alas dasar PI' No. 64 Tahun 1957 lelah dibemuk Dinas Kehulanan Ji duapuluh em pal prupinsi. sedangkan di tiga propinsi, yaitu Prupinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa TimUf lidak dibemuk Dims Kehutanan. karena lelah ada Perum PerhUlani. '"

Kewenangan Pemerimah Pusat yang diwakili <,Ieh Memeri Perlanian terbatas pada penyusunan "rencana karya" yang Im'us dipedomani oleh Pelllerimah Daerah dalam melaksanakan kewenangan­kewenangannya lerseilut Ji atas. Dengan demikian, PI' No. 64 Tahun 1957 memberikan kewenangan yang relatif luas kepada i'emerimall Daerah Tingkat I dalam pengelolaan IlUtan. Luasnya kewenangan Pemerimah Daerah dalam pengelolaan hutan berdasarkan PI' No. 64 Tahun 1957 tidak dapat dilepaskan dari UU yang mendasari PI' tersebut. yaitu U U No. I Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah

11'. Dl:partL'Ill~Jl Kchutan'1I1. K(!"~i(fksa"{/{/11 dUll Slm/rxi PeJ/l!J(/IIj.{IIIUlI/ KdlltlWWII.

Pt::lIg<lralwlI Mt:lltt::ri Kdlulanan pOlua KOllferensi Nasional IX PUS<l1 Sllldi Ling.kullgan I-liuup <.Ii Meu;lII. liJlIgg;1I ~ Nnpcmhcr 1988. hal. 9.

Nomor J Full/Ill XXXII

Page 10: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

2g0 i-Illklllll dall Pem!JWIgwu.lJl

yang menganut "desemralisasi territorial dengan olonomi riil Jan seillas­luasnya". Akan tetapi. di pihak lain, kewenangan Pemerimah Daerah Kabupaten tidak disehut-sebut dalam PP No. 64 Tahun 1<)57. Apa dan hagaimana implikasi empiris dari kebijakan desentralisasi berdasarkan PI' No. 64 Tahun 1<)57 terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup tidak begitu kelihatan . l3arangkali penyebab adalah industri kehutanan pada masa itu belum muncul sepeni industri kehutanan ketika berlakunya UU No. 5 Tahun 11)67 yang telah menggunakan modal besar dan peralatan modern. Oleh sehab itu, dalam era berlakunya UU NO.5 Tahun 1967 , Jampak negarif dari industri kehutanan begilU sangar tampak dan tercalar.

111.2. Kewenangan Berdasarkan UU No, 5 Tahun 1967,

Perkembangan kedua dalam IlUbungan amara Pemerimah Pusal Jan Pemerimah Daerah lerjadi setelah pengundangan UU No. 5 Tahlln 1967 lemang Pokok-Pokok Kehutanan dan peraturan perundang-undangan peiaksanaannya. Dengan berlakunya UU No.5 Tahun IlJ67. pendulum hubungan kewenangan amara Pemerintah Pusat dan Pemerimah Daerah dalam pengelolaan hUlan bergerak ke arah sentralisasi. Memeri KehUlanan sebagai aparat Pemerimah Pusat mell1egang kewenangan yang sang at kuar. Empat aspek dari pengeiolaan hutan, yaitu perencanaan, pengurusan. pengusahaan dan perlindungan hutan ll1erupakan kewenangan pusal. Dalam bidang pengusahaan hutan, Pell1erimah Pusat mengall1bil alih kewenangan Pemerintah Daerah T ingkat I berdasarkan PI' No. 64 Tahun IlJ57 untuk ll1engeluarkan konsesi hutan. Akibat nyata dari sentralisasi pengeiolaan hutan "dalah seringkali kebijakan penetapan kawasan hutan dan pemberian HPH oleh Menteri yang berwenang kepada pemegang HPH tidak memperhatikan kondisi sosial budaya di daerah-daerah yang mengenal masyarakat adat, sepeniPropinsi-Propinsi Sumatera Baral, Kalimantan Timur dan Kalimantan Bara!. Akibat lebih lanjul adalah tidak dapat dihindarkan timbulnya kontlik-kont1ik antara pemegang HPH dengan lllasyarakat ada!.

Selain itu, perhandingan pener.illlaan Pelllerintah Daerah yang lebih keeil dibandingkan penerimaan Pemerintah Pusat di sektor kehutanan lebih melllperkuat sibt sentralisasi kebijakan di sektor kehutanan. Demikian pula, Pelllerintah Daerah Kabupaten lllerasakan kebijakan kehutanan berdasarkan rejim UU No. 5 Tahun 1967 lehih llle\etakkan

Juli - SI.!j>ff!lIIiJer 20()2

Page 11: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pellgeio/aall SUlllberdaya HUian

beban permasalahan oi pundak mereka, sementara manfaat ckonomi dari SeklOr kehutanan sama sekali tidak mereka nikmati, alaupun kalau aua sedikit sekali yang mengalir ke daerah Kabupaten. Beban permasalahan yang mereka rasakan aualah bahwa ketika terjadi permasalahan di seklUr kehutanan. misalnya kontlik antara pemegang HPH uengan masyarakat setempat atau teljadi penebangan hutan secara liar oleh masyarakat . aparat Pemerintah Daerah Kabupaten dilibatkan guna melaksanakan kebijakan dan penegakan hukum ui sektor kehutanan , sehingga seringkali aparatur Pemerimah Daerah Kabupaten harus berhadapan uengan warga mereka sendir i. Lebih Iagi uengan keluarnya kebijaksanaan pemerintah yang melarang Pemerimah Daerah Kabupaten untuk memungut retribusi kayu membuat Pemerintah Daerah semakin merasakan. bahwa seklOr kehutanan lebih menimbulkan persoalan daripada manfaa! bagi lIlereka. brena pengangkutan kayu-kayu log yang melintasi jalan-jalan kabupaten seringkali menimbulkan kerusakan pada ruas jalan Kabupalen. sementara mereka tidak dibolehkan memungut retribusi. "

Selanjulllya. tidak dapat disangkal, bahwa kebijabn sentralisasi berdasarkan UU No. No. 5 tahun 1967 telah mendorong munculnya industri kehutanan yang merupakan salah salU sumber teljauinya kerusakan hUlan. Dengan demikian. kebijakan pengelolaan hutan yang tersel1lralisasi telah gaga I jika uinilai uari tiga aspek. Pertama, masyarakal aual yang secara turun temurun memiliki hubungan sejarah dan budaya uengan hUlan tidak memperoleh manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan ya ng aua oi sekitar kehiuupan mereka. Hidup mereka tetap miskin uan terbelakang. Kedua , Pemerimah daerah merasa pembagian penerimaan sektor kchutanan tidak adil sementara mereka juga harus menyelesaikan kontlik-kontlik pemanfaaran hutan di uaerahnya . Ketiga, kalau tidak dapar uisebut sebagai penyebab utall1a, sctidaknya industri kehutanan. terutall1a perusahaan HPH, ll1erupakan salah satu penyebab terjadinya degradasi hutan.

Karena adanya desakan atau tuntutan pendelegasian wewenang yang dikell1ukakan oleh para pengamat pemerimahan ll1aupun Pemerimah daerah, paua perkell1bangan lebih lanjut Memeri Kehuranan secara berangsur ll1ell1ang ll1cnyerahkan sebagian wewenangnya berdasarkan U U No.5 Tahun 1967 ui biuang kehutanan kepada Pell1erintah Daerah karena

!.7 Wilwanc<tr.1 I.h!llgitll UUjlilli Kr.:pala Daer.th Kahupalt:n .solnk. PfopillSi SUIll<ltcril lIar'lI. Gamawan F'.lUzi. S.H. langgal (] April 2000 iJilli BUrmli Kr.:pab Dill':)';I!! KahupalcII KUlai Timur. Kalil1liUIl<ln Tilllur. Drs. !\wang Faruk. tanggal 27 April 2000.

NOlllor J TatulIl XXXII

Page 12: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

282 J-Jl/kulJI d(lIl PellliJllJlgllluJI/

hal itu memang dimungkinkan oleh UU NO.5 Tahun 1957." Penyerahan ini teljadi melalui beberapa peraturan pemerintah. PerwIIIll adalah melalui PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Basil Hutan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I untuk menerbitkan HPHH. Kedua adalah melalui PP No. 2~

Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Atas dasar PP No. 28 Tahun 1985 , instansi-instansi kehutanan Daerah Tingkat I diberikan kewenangan melaksanakan perlindungan hutan, tetapi pada kenyataannya kewenangan itu hanya bersifat teknis, sedangkan kebijakannya letap berada pada Pemerintah Pusat, rerUiama menyangkut pendanaan.'" Dengan demikian, kewenangan Pemerilllah Daerah Tingkat I dalam bidang perlindungan hutan sebagaimana dialUr dalam PP No. 28 Tahun 1985 lebih merupakan bentuk tugas pemballluan.

Keligll, penyerahan dilakukan adalah melalui PP No. 62 Tahun 1998 telllang Penyerahan Sebagian U rusan Pemerintahan di l3idang Kehutanan Kepada Daerah. Atas dasar PP No. 62 Ta hun 199X , Pemerintah Daerah Tingkat I diserahi kewenangan L1alam dua hidang, yaitu pengelolaan taman hutan ray a dan penataan batas hUlan . Pengelolaan raman huran raya meliputi pembangunan, pemeliharaan, peillanlaatall pengembangan taman huran raya.'" Kewenangan penataan batas melipuri kegiaran proyeksi batas, pemancangan batas semelllara, invemarisasi hak­hak pihak ketiga, pengukuran dan pemetaan, pemasangan randa batas rerap dan pembuatan Berita Acara Tata Batas.

Atas dasar PP No. 62 Tahun 1998, Pemerintah Daerah Kabuparen juga diseraili kewenangan dalam bidang-bidang berikur: penghijauan dan konservasi ranah dan air. persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan huran milikl hutan rakyar, pengelolaan hutan lindung, penyuluhan kehutanan, pengelolaan hasil iluran non-kayu, perburuan tradisional sarwa liar yang tidak dilindungi pad a areal buru , perlindungan huran dan peialiilan ketrampilan masyarakat L1i bidang kehutanan." Urusan pengelolaan iluran lindung mencakup kegiatan pemancangan baras, pemeliharaan baras, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan lindung dan pemanfaaran jasa

21< UU No.5 Tahun 1967, Pasal 12.

21} Wilwancara U!!llgan pejahal Dinas KdlUtanan Propinsi Sum'lh!ra lkl.ral. li.lIlggal 15 April 2000 . . 111 PP No. 62 T"hun 1998, P",,, I 3 "ya! (1) .

.11 Ibid. Pasal 5.

Jllii - Sep/eillber 2IJII2

Page 13: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengeioiaan Sumberdaya Hwan 2X3

lingkungan. Urusan perlindungan hutan mencakup kegialan ilaran apl. pemeliharaan sekat oakar, pengadaan sarana pcmadam kebakaran. pengaturan pengembalaan ternak dalam hutan." PP No. 62 Tahun 199~ menyebutkan, bahwa anggaran untuk kegiatan-kegiatan urusan yang diserahkan kepada daerah yang tersedia dalam APBN dituangkan ke dalalll APBD yang bersangkutan. Selain itu, PP No. 62 Tahun 1998 melllbuka peluang teljadinya pemutasian Pegawai Negeri Sipil pusat pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan ke Pelllerintah Dacrah atas persetujuan Kepala Daerah yang bersangkutan untuk tujuan memperkual penyelenggaraan urusan yang diserahkan kepada daerah.

Pelilllpahan kewenangan keempat terjadi melalui PP NO.6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Peillungutan Hasil HUlan Produksi yang Illencabut berlakunya PP No. 21 Tahun 1970. Atas dasar 1'1' No. () Tahun 1999. kewenangan pemberian HPH ullluk luas areal di hawah 10.000 (sepuluh ribu) hektar dililllpahkan kepada Guhernur. sedangkan kewenangan pelllberian HPHH , yang atas dasar PP No. 21 Tahun 1970 merupakan kewenangan Gubernur, diserahkan kepada Bupali Kepala Daerah 31 Penyerahan sebagian kewenangan Pelllerimah Pusal kepada Pelllerintah Daerah melalui PP NO.6 Tahun 1999 lampaknya mcrupakan upaya untuk Illelllenuhi kuatnya tuntutan desentralisasi yang seringkali disuarakan oleh sarjana dan politisi yang pro desentralisasi pada tahun 1990-an.

111.3. Kewenangan Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999.

Perkembangan ketiga dalam pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terjadi setelall pengundangan UU No. 22 Tahun 1999 yang Illerupakan satu paket dengan UU No. 25 Tahun 1999. Dalalll UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan. bahwa penerimaan negara dari sumberdaya alalll sector-sektor kehutanan, pertalllbangan UIllUIll dan perikanan dibagi dengan illlbangan 20 % ullluk Pelllerintah Pusat dan ~() % untuk Pemerintah Daerah . Selain ilu. 40 % Dana Reboisasi disalurkan kepada Pelllerintah Daerah penghasil hUlan dan 60 % diteri1l1a oleh Pe1l1erintah Pusat:" Formula peri1l1bangan keuangan

.. 2 Ibid, P'Isal 6 .

.1] PP NO.6 Tahull 19<)9. Pas;tl II ayat (2) Jail Pasal21 <ly<ll (3) .

. 14 1IIiJang-ulU.lan,!! 25 of IYl)l). Pasal 6 ayat (5).

NOlllor 3 Tal",,, XXXII

Page 14: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

/-Iuk lilll d all P e IIlha II g III/{ fII

amara Pemerimah PUS'H dan Pemerintah Daerah berdasarkan UU No. ~5

Tahun 1999 merupakan tanggapan langsung atas tutltutan Pemerimahan Daerah yang ingin memperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar daripada manfaat yang dirasakan di mas a lalu yang berasal dari seklOr ketor kehutanan. Formula perimbangan itu juga diharapkan dapal mempertahankan keberadaan negara kesatuan Republik Indonesia karena banyak politisi dan tokoh daerah memandang formula perimbangan keungan di mas a lalu sangat tidak adi/. Ketidakadilan ekonomi telah menjadi dasar bagi sebagian tokoh dan politisi daerah umuk menyuarakan pemisahan diri dari negara kesatuan.

UU No. 22 Tahun 1999 memuat ketemuan, bahwa kewenangan Pemerintah Pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan dan keamanan. peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang diuraikan dalam Pasal 7 ayat (2). Kewenangan bidang lain. sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999. adalah "kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro. dan perimbangan keuangan, sislem adminisrrasi negara , pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia. pendavagunaan sumberdaya alam serta reknologi tinggi yang strategis . konservasi dan standarisasi nasional". (garis bawah dari penulis). Jadi. jib dilihat dari bunyi Pasal 7 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999, Pemerintah Pusar masih l11empunyai kewenangan di bidang pendayagunaan sumberdaya alam dan pengertian sumberdaya alam sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) lemu termasuk hutan. Di pihak lain, menu rut ketentuan Pasal l) ayat (I) U U No. 22 Tahun 1999. kehutanan termasuk bidang pemerintahan yang berada di bawah kewenangan Propinsi sebagai daerah Olonom.

Kewenangan Propinsi sebagai daerah OlOnom berdasarkan U U No. 22 Tahun 1999 terdiri atas dua kategori kewenangan . Kalegori pertama mencakup kewenangan dalam bidang pemerimahan yang bersifat Iintas kabupaten dan kora . Kategori kedua adalah kewenangan dalam bidang pemerintahan tcrtentu lainnya.,, )5 (gar is bawah dari penulis). Penjelasan Pasal l) ayat (I) antara lain menyebutkan, bahwa kewenangan bidang pemerintah yang bersifat Iintas kabupaten dan kota adalah sepeni "kewenangan di bidang pekerjaaan umum, perhubungan dan kehutanan dan perkebunan." Penjelasan Pasal 9 ayat (2) menyebutkan, bahwa kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah: perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan hidang

35 UU No. 22 Tahull 1999. Pasal 9.

Juli - Seplelllber lU02

Page 15: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengelolaan Sumberdaya Huwn

tenemu, alokasi sumberdaya manusia potensial dan penelitian ya ng mencakup wilayah propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang, dan budaya/pariwisata. pcnanganan penyakit menular, dan hama tanaman . serta perencanaan tara ruang propinsi. (Garis bawah dari penulis). Dengan demikian, jika dilihat dari Penjelasan Pasal 'I ayat (I) dan ayat (2) UU No. 22 tahun 1'1'1'1. maka Propinsi sebagai Daerall O(onom memiliki kewenangan di bidang pengeiolaan hutan dan pengendalian Iingkungan hidup. Dua bidang yang tidak dapat dipisahkan satu sarna lain mengingat hutan mengandung multi fungsi . yaitu tidak saja mempunyai fungsi ekonomi. relapi juga fungsi ekolugis yang temunya rerkait erat dengan pengelolaan lingkungan hidup.

Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kuta adalail mem;akup "semua kewenangan pemerimah selain kewenangan yang dikecualikan Jalam Pasal 7 dan yang diarur dalam Pasal Y ... ,l" Selain ilu. Daerah Kabupaten dan Jaerah Kota mempunyai II (scbelas) hidang kewenangan wajib sebagaimana disebutkan dalam Pasal II ayat (2). yailU : pekerjaan umum. kesehatan, pendidikan dan kebuadayaan. penanian. perhubungan. industri dan perdagangan, penanaman mudal. lingkungan hidup. perranahan, koperasi dan tenaga kerja (gar is bawah penulis). Sepanjang pengelolaan I ingkungan hidup dalam kairannya dengan se ktor kehutanan . maka kelembagaan yang berwenang di Dacrah Kabupaten dan Kotamadya adalah Dinas Perhuranan dan Konservasi Tanah atau di sejumlah Daerah lain. misalnya Propinsi Kalimantan Timur disebur dengan Dinas Kehutanan Kabuparen. Selain itu, alas dasar KepPres No. 77 Tallun 1'1'14 dan KepMendagri No. 98 Tahun 1'1'16, Daerah Kabupaten dan KOla dapat ll1ell1bentuk Badan Pengendalian Dall1pak Lingkungan.

Sebagai pelaksanaan dari Pasal 12 UU No. 22 TallUn 1'1'19. Pell1erimah telah mengeluarkan PP No. 25 Tallun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Selain kewenangan yang disebutkan Illenjadi kewenangan Pemerimah Pusat dan Pell1erintah Propinsi dalam PP No. 25 rahun 2000. maka kewenangan lainnya berarti merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Akan tetapi, jika diliilat dari substansi PI' No. 25 Tahun 2000. ternyata Pemerintah Pusat Illasih Illelllpunyai kewenangan di sektor kehulanan yang cukup kuat. Kewenangan itu mencakup: (I) penetapan kriteria dan standar pengurusan hutan. kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru. (2) penetapan

.'11 Ihid. rasaili .

NOlllOr 3 Tatul/I XXXII

Page 16: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

286 f1ukulIl dall PcmlJUlI,l:.fIIllI1I

krileria dan standar invcnrarisasi , pengukuhan dan penalagunaan kawasan huran , kawasan suaka alam, kawasan peleslarian alam Jan raman burll (3)

penerapan kawasan hUlan. perubahan starus dan fungsinya, (4) penerapan crileria dan slandar pembentukan wilayah pengelolaan hUlan. kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan laman buru, (5) penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pekslarian alam dan laman buru, termasuk daerah aliran sungai, (6) penyusunan makro kehulanan dan perkebunan nasional, sena pola umum rehabilirasi lahan, konservasi tanah dan penyusunan perwilayahan, rancang. pengendalian lahan dan indsutri primer perkebunan, (7) penelapan krileria Jan slandar larif iuran izin usaha pemanfaalan hUlan , provisi sumbenlaya hUlan, dana reboisasi Jan dan inevstasi untuk biaya peieslarian hUlan. (~)

penelapan kriteria dan slandar produksi, pengolahan, pengenJalian mum dan pemasaran dan peredaran hasil . hUlan dan perkebunan lermasuk perbenihan, pupuk, dan peslisida lanaman kehulanan Jan perkeounan (lJ)

penetapan crileria dan satndar perizinan usaha pemanraatan kawasan hUlan. pemanfaatan dan pemungutan hasil. pemanraalan jasa lingkungan. pengusahaan pariwisata alam, pengusahaan laman buru, usaha perollruan. penangkaran tlora dan rauna, lembagakonservasi uan usaha pcrkebllnan. (10) penyeknggara izin usaha pengusahaan taman buru. lIsaha perburuan penangkaran tlora dan fauna yang dilindungi dan lembaga konservasi. sena penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan peleslarian alam dan laman buru, tennasuk daerah aliran sungai Ji ualamnya, (11) penyelenggara izin usaha pemanfaalan hasil hUl3n produksi uan pengusahan pariwisata alam Iintas propinsi, ( 12) penelapan krileria uan standar pengelolaan yang melipuli tata hutan dan rene ana pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan, pengawasan dan pengendalian kawasan hutan dan areal perkebunan. ( 13) penelupan krileria standar konservasi sumberdaya alam hayali uan ekosislemnya meliputi perlindungan pengawetan dan pemanfaaran secara leslari Ji bidang kehutanan dan perkebunan, (14) penelapan norma. prosedur, kriteria dan standar peredaran tumbuhan dan salwa liar lennasuk pembinaan habitat satwa jarak jauh , (15) penyelenggaraizin pemanfaatan dan pereda ran fauna uan tlora yang dilindungi yang lerdarlar appendix CITES, (16) penetapan criteria dan standar penyelnggaraan pengamanan dan penanggulangan belleana pada kawasan hUlan dan areal perkebunan.

Berdasarkan PP No. 25 Tahun 2000 Propinsi sebagai daerah Ownom mempunyai 18 (uelapan belas) kewenangan ui biuang kehulanall dan perkebunan, yaitu: (I) membuat pedoman penyelennggaraan

iI/ii - September 2lJV2

Page 17: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Penge/o/aan Sumberdaya HllIan 1M7

inventarisasi dan pemetaan hutan, (2) menyelenggarakan penunjukan dan pengamanan balas hUlan produksi dan hUlan lindung, (3) membual pedoman penyelenggaran lala balas hUlan , dan penalaan .kawasan hUlan produksi dan hutan lindung, (4) menyelenggarakan pembentukan dan perwilayahan areal hUlan, (2) menyelenggarakan penunjukan dan pengamanan balas hUlan produksi dan hUlan lindung , (3) membual pedoman penyelenggaran lala balas hutan, dan penalaan kawasan hUlan produksi dan hutan lindung, (4) menyelenggarakan pembentukan uan perwilayahan areal perkehunan linlas batas Kabupalen/Kota. (5) membual pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah dan penyediaan dukungan pengelolaan taman hUlan raya, (6) menyusun perwi layahan rancangan. pengendalian lahan induslri primer perkebunan limas Kabupalen/ Kola . (7) menyusun rencana makro kehutanandan perkebunan lintas Kabupalenl KOla, (8) membual pedoman penyelenggaraan pengu rusan erosi. sedimenlasi, produktifilas lahan pad a daerah aliran su ngai lilllas Kabupalen/Kota, (9) membuat pedoman penyelenggaraan re hab ilitasi dan reklamasi hutan produksi dan hutan lindung , (to) menyelenggarakan perizinan lintas Kabupaten/ KOla meliputi pemanfaalan hasil hutan kayu. pemanfaatan tlora dan fauna yang tidak dilindungi, usaha perkebunan, dan pengolahan hasil hutan . (I I) melaksanakan pengawasan usall perbeniiJan. penggunaan pupuk. peslisida, alat dan mesin di bidang kehutanan dan perkebunan, (12) melaksanakan pengamatan, peramalan orgamsme lumbuhanpengganaggu uan pengendalian hama terpadu lanaman kehutanan dan perkebunan. (13) menyelenggarakan dan mengawasi kegialan rehabilitasi, reklamasi. system silvikultur, budidaya dan pengolahan. (14) menyelenggarakan pengelolaan taman hutan raya lintas kabupaten/Kola, (15) membuat pedoman untuk penentuan tariff pungutan hasil hUlan bukan kayu lintas Kabupaten/ Kota, (16) bersama Pemerintah Pusat menelapkan kawasan. perubahan fungsi dan status hutan dalam rangka perencanaan lata ruang Propinsi herdasarkan Kabupaten/Kola, (17) Illelaksanakan perlindungan dan pengalllanan hutan pad a kawasan limas kabupalen/Kota. (I M) menyediakan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan lalihan leknis, penelitian dan pengembangan terapan kehulanan.-17

.'7 PP No. 25 Tahull 2000. Pasal 3.

NO/llor 3 Tahun XXXII

Page 18: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

198 Hllklllll dUll PelllballglllulIl

111.4. Kewellallgall Berdasarkall UU No. 41 Tahull 1999

UU No. 41 Tahun 1999 meneabut berlakunya U UNo . 5 Tahun 1967. tetapi beberapa Peraturan Pemerintah yang tliunc.langkan berdasarkan kerangka U UNo. Tahun 1967 tetap berlaku . seperti PP No. 62 Tahun 1998 dan PP NO.6 Tahun 1999. UU No. 41 Tahun 1999 ternyata tidak menguhah seeara mendasar pola pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang kehutanan. Oleh sebab itu. tidak mengherankan jika timbul pandangan. bahwa Departemen Kehutanan eenderung tlianggap masih beroriemasi pada semanga[ sentralistis. 3K Namun. UU No. 41 Tahun 1999 juga menyatakan. bahwa "tlalam rangka penyelenggaraan kehutanan. Pemerimah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerimah Daerah . .. w Pelaksanaan penyerahan kewenangan dari Pemerintah kepada Pemerimah Daerah diatur tlengan Peraturan Pemerintah. M1 Penting umuk tlipenanyakan apakah Peraturan Pemerimah yang dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3 ) UU No. 41 Tahun 1999 adalah yang diprakarsai oleh Departell1en KehUlanan a[aU yang dipersiapkan Menteri Negara Otonoll1i Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi tlaerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 . Jib ada dua Peraturan Pemerintah yang dipersiapkan oleh instansi pemerimah yang berbeda dikhawatirkan menimbulkan komradiksi-kontradiksi. Dan tUll1pang tindih. Dengan telah keluarnya PP No. 25 tahun 2000 sebagai pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999. ll1aka PP yang dimaksudkan tlalam UU No. 41 Tahun 1999 relatif tidak diperlukan lagi umuk menghindari komradiksi dan tum pang tindih dengan kewenangan berdasarkan kewenangan PP No. 25 talmn 2000.

IV. Kelembagaall di Sektor Kehutanan

Konsep dekonsemrasi di sektor kehutanan sebelum pell1berlakuan otonoll1i daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 [all1pak dari keberadaan Kantor-Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di setiap Ibukota Propinsi. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan ll1enjalankan

Jif Panuangan ini. antara lain . tt!rungkap dalam wawancara pCllulis dcngan Bupati Solok Gallli.lwan Fauzi dan lihat juga catatan kaki No, 26. w . UU No. 41 TallUn [999. l'ilSil1 66 ayat (I)

'" 'bili. Pasal 66 ayat (3) .

Jul; - SeprellliJer 2002

Page 19: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengelolaan Sumberdaya Htaan

fungsi-fungsi berikut: mcmpersiapkan dan mengkoordinasikan pcrencanaan dan program-program propinsi dalam rangka keterpaduan amara kebijakan pusat dan propinsi, memantau dan melakukan evaluasi pelaksanaan tugas­tugas Departemen Kehutanan di propinsi , melakukan konsultasi seeara teratur dengan Pemerimah Propinsi 41

Konsep dekonsentrasi dapat juga dilihat melalui keberadaan Balai Taman Nasional yang langsung berada di bawah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Sebuah Balai Taman Nasional bertanggungjawab atas pengelolaan kawasan Taman Nasiona!. 42 Sehuah Taman Nasional mungkin terletak eli sebuah propinsi atau melintasi beherapa propinsi. Taman Nasional Kerinci Seblat. misalnya , merupakan Taman Nasional yang kawasannya tennasuk ke dalam wilayah empat propinsi, yaitu Propinsi Sumatera l3arat, Propinsi Jamb;, Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Bengkulu.

Kelembagaan scktor kehutanan yang bersifat desemralisasi Lli tingkat propinsi adalah Dinas Kehutanan. Dinas Kehutanan clLlalah aparat Gubernur , tetapi seem'a teknis dan fungsional el ibina olch Depancmen Kehutanan melalui Kantor Wilayah Departemen Kehutanan <.Ii propinsi yang bersangkutan. Pcmbinaan itu meliputi pereneanaan, penyusunan sasaran, strategi pencapaian tugas-tugas sektor kehutanan yang didesentralisasi , penguatan kemampuan teknis dan kerrampilan pcjabar­pejabat di Iingkungan Dinas Kehuranan. 41 Hubungan kelja antara Dinas Kehuranan dan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dalam propinsi yang sama dapat dilihat pada program pengendalian kebakaran huran dan lahan. Untuk meneegah dan menanggulangi kebakaran huran, ui seriap propinsi telah dibentuk Pusat Pengendalian Kebakaran Huran dan Lahan (PPKHL). Dalam PPKHL, Kepala Kantor Wilayah Depal1emen Kehuranan bertindak sebagai Ketua Umum, sedangkan Kepala Dinas Kehuranan Propinsi adalah sebagai Ketua Harian. Hubungan kerja ualam pengendalian kebakaran IlUtan dan lahan melalui PPKLH uapat uiremukan

41 KL!pUIUSan Mcnt~ri Kdllu:tn:ln No. 34/ 1983 tCllIang Urganisasi uan Pmscuur KClja

Kantor Wilayah Depanemcll KdlUtanan. Pasal 3. 42. Dd'inisi Taman Nasional henlasarkan UU No.5 Tahull ISlSlO [cJltilng Konsl!rvasi SumhenJaya Alam Hayali dan Ekosistell1llya adalah k,lwasan pdestarian <1101111 yang dikelola LlWS dasar sislem zonasi untuk Ioa:pentingan penelili;m. pl:IH.lidikan. pariwisaw LI '1I1 n:krcasi. 4.1 Pcraluran Pemerintah No. 62 Tahun 1998 leUl'IIl!,!. Pcnyerahall Schagi'lIl LJrusall Kehutanan kepada Pel11erillwll Daerah. Pasal 15 . lilwt juga Keputus.lIl MClltcri Kchutanall Nil. 341 t 983. Pasal 2.

NVlllor 3 Tahun XXXll

Page 20: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

2YO HlI.kUIII dl/II Pelll!JulIgllli£lll

di setiap propinsi, terkecuali di Jawa karena tidak ada Dinas Kehutanan. tetapi yang ada adalah Pcrum Perhutani.

Sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. struktur organisasi Dinas Kehutanan Propinsi terdiri atas Sekretariat, Sub Dinas l3iua Program, Sub Dinas Pr",luksi, Sub Dinas Usaha Hutan, Sub Dinas l3ina Hutan, Sub Dinas Kemanan dan Penyuluhan. Setiap Sub Dinas membawahi Seksi-Seksi. Dinas Kehutanan propinsi dapa! ll1embemuk Cabang Dinas Kehutanan di tingkat kabupaten. Sebagai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan U UNo. 25 Tahun 1999. Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Sural Edaran No . 0611729, Maret 2000 tentang Penataan Kelembagaan yang dikirmkan kepada setiap Gubernur, Bupati dan Walikota. Salah salU muaran dari Surat Edaran itu menyatakan bahwa fungsi-fungsi dari Kal1lor Wilayah dari Departemen-Depanemen yang ada diserahkan dan kemudian diselenggarakan oleh Dinas-Dinas Propinsi." Sejalan dengan Sural [daran Menteri Dalam Negeri itu. Menteri Kehutanan juga Lelah mengirill1kan Surat Edaran No. 124/2000, 10 Oktober 2000 kepada Kepala-Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan . Salah satu muatan dari SuraL Edaran Menteri Kehutanan menyatakan, bahwa Kamor Wilayah Departemen Kehutanan digabungkan dengan Dinas Kehutanan di Propinsi yang sama. Dinas KehuLanan yang akan melaksanakan fungsi-fungsi yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kantor Wilayah. Jadi. melalui penggabungan Kantor Wilayah dengan Dinas, maka eksistensi Kamor Wilayah tidak lagi ada. Akan tetapi, Surat Edaran Memeri Kehutanan menegaskan, bahwa Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Unit Konservasi Sumberdaya Alam, Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional [etap ada dan masih merupakan aparat Pemerintah Pusat hingga adanya penataan kelembagaan kembali. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 0611729, Maret 20(){). juga menetapkan pedoman umuk penataan kelembagaan desentralisasi di Propinsi, Kabupaten dan Kota sebagai pelaksanaan dari UU No . 22 Tahun 1999. Sural Edaran itu menyatakan. bahwa struktur organisasi Dinas-Dinas terdiri at as 5 (lima) Sub Dinas, Un it Pelaksanaan Teknis dan Kelompok Fungsional.

Kelembagaan kehutanan yang mencerminkan konsep desentralisasi di lingkat kabupaten/koLa adalah Dinas Perhulanan dan Konservasi Tanah. Dasar hukum pembemukan Dinas Perhulanan dan Konservasi Tanah sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 adalah Keputusan l3ersallla

44 Lihat juga UU No, 22 Talltlll 1999. Pasal 129

iI/ii - September 2()()2

Page 21: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengelolaan Sumberdaya HI/Ian

Memeri Dalam Negeri No. 5211994 dan Keplltusan Menteri Kehlltanan No. 230/1994. Tugas-tugas Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanail berdasarkan Kepulusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan MCllIeri Kehutanan ' adalah pelaksanaan reboisas i, konservasi lahan dan air, persuteraan alam, perlebahan, pemberian bantuan pengelolaan hlltan masyarakat dan hutan milik, dan penyuluhan kehutanan. Setelah pengundangan PP No. 62 Tahun 1998, Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah menyelenggarakan tugas-lugas lainnya seperti pengelolaan hutan lindung, pengelo laan hasil -hasil hutan bukan kayu, pengaturan perburuan tradisional satwa liar yang tidak terancam punah, perlindungan hutan dan pendidikan masyarakat dcngan kterampilan di sekto r kehutanan . Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah terdiri atas: Sekretarial. Seksi Penyuluhan, Seksi Pengembangan Hutan Rakyat. Seksi Konservasi Tanah . Tugas-lugas Seksi Penyuluhan adalah memberi penyuluhan progral11-program kehutanan kcpada masyarakat, Illendorong dan lllengel11bangkan pelllbentukan kelompok-kelompok tani, melakukan penghijauan dcngan l11elibalkan kelompok lani. Tugas-tugas Seksi Hutan Rakyal adalah l11elakukan penghijauan di lahan-Iahan krilis milik nlasyarakal. mengembangkan hutan rakyal, persuteraan alam. perlebahan dan hasil­hasil hutan rakyat.

Setelah pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999, maka pcnataan kelembagaan kehutanan di Kabupalen/Kota harus Illeillperhatikan Sural Edaran Memeri Dalam Negeri No. 0611729. Marel 2000 yang juga Illenetapkan pedoman bagi Kabupalen/Kota umuk melakukan penalaan ulang kelembagaan desemralisasi. Sural Edaran Memeri dalam Negeri ilU aillara lain l1lenegaskan. bahwa Dinas-Dinas Kabupaten/Kota terdiri atas 5 (lima) Sub Dinas, Unit Pelaksana Teknis dan Kelol1lpok Fungsional. Bagaimana slruktur organisasi Dinas Kabupaten setelah pemberlakuan U U No. 22 lahun 19<)9 dapal dilihal dalam kasus Kabupatcn Indragiri Hilir. Propinsi Riau. Struktllr organisasi Dinas KehUlanan Kabllpaten Inuragiri j-jilir terdiri atas Kepala Dinas, Bagian lata Usaha, Sub Dillas. Perlindungan Hutan. Sub Dinas Penyuluhall Hutan. Sub Dinas Pengembangan HUlan Rakyal dan dan Hasil HUlan bukan Kayu. Sub Dinas Konservasi Tanah. Sub Dinas Pengawasan dall Peredarall I-Iasil HUlan. Kantor Cabang, Unil Pelaksana Teknis dan Kelompok FUllgsional. Adalah penting untuk dikclahui bahwa struktur organisasi uan pcnal1laan sub-sub dinas dari Dinas tampaknya bervariasi antara Dinas di sualu Propinsi, Kabupalen/Knta dengan Dinas di Propinsi. Kabupaten/Kola lainnya. Sural Edaran Menteri Dalal1l Negeri hanya I1lcnelllukall jUl1llall

Nomor 3 Tahlm XXXll

Page 22: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

292 Hukum dlill PellliJallgllllllJl

Sub Dinas, sedangkan ueskripsi urusan diserahkan kepada Illasmg-masmg Kabuparen/Kora sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

V. Pellutup

Hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat uan I'emerilllah Daerah dalam pengelolaan huran di Indonesia relah mengalami perubahan­perubahan. dari desentralisasi sejak 1957 hingga 1967 , semral isasi dari 1967 hingga 1999 dan kecenderung"n ke arah ueselHralisasi sejak pengundangan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun IlJ9lJ Kebijakan desentralisasi dalam pengelolaan lingkungan Ilidup dan sumberdaya alam berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 relall tl isikapi o!ell sebagian orang dengan skepris. karena kekhawariran terjauinya cksploirasi sumberdaya alam 1IlHuk meningkarkan pendaparan asli daerall. Kekhawatiran ini memang perlu menjadi perll(lrian sungguh-sungguh. retapi ridak darat menjadi alasan untllk penalakan rerhadap kebijakail uesentralisasi, karena i'aktanya kerusakan huran teljaui justerll di c,'a sentralisasi se lama 32 lahun berdasarkan UU No.5 Tallun 1'.167. Olell sebab iru, unruk mencegah rerjadinya eksploirasi sumberdaya alam yang tidak rerkendali yang jllsteru akan mereduksi manfaar desemralisasi dan menimbulkan masalall-maslah lingkungan hiuup, maka deselllralisasi dalam pengelolaan lingkllngan hidup dan sumberdaya "lam harus disenai dengan penguatan peranserta dan kamral masyarakat, baik olell masyarakar adar, LSM. 1I1ass media dan pemerhari bidang kehutanan .

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000. kewenangan pengelolaan huran terdisrribusi di amara Pemerintah Pusat. Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kora. Akan tetapi secara keseluruhan Pemerimah I'usar masih memegang fungsi-fungsi penting. Pemerimah Pusar, yang direpresemasikan oleh Menteri Kehutanan, tidak hanya l11el11egang kewenangan kebijakan, misalnya l11enyusun kebijakan l11akro kehutanan. l11enelapkan krireria dan standar pengelolaan kawasan hutan, terapi juga l11emiliki kewenangan hukum adl11inistrasi. sepe rIi penerbilan HPH untuk luas di alas 10.000 ha dan izin pemanfaaran fa una dan flora. Pel11erintah I'usat juga memiliki kewenangan pengelolaan kawasan suak" alam dan kawasan pelestarian alam. yaitu Taman Nasion." melalui prinsip dekonsentrasi. Dengan demikian. Me11leri Kelluranan

JI/Ii ~ Sqllelllber 2002

Page 23: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

Pengelolaan Sumberdaya Hawn 2'13

masih memegang kewenangan besar dalam pengelulaan kawasan-kawasan hutan baik untuk kepentingan ekonomi dan kepentingan ekulogis.

Pemerintah Propinsi mempunya. kewenangan pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan dan juga kewenangan hukum administrasi. Kewenangan pelaksanaan kebijakan , antara lain, pembuaran peduman tentang inventarisasi dan pemetaan kawasan-kawasan huran, penyusunan pedoman batas-batas kawasan-kawasan hutan, penetapan dan perlindungan rata batas kawasan-kawasan hutan. Kewenangan hukum administrasi. antara lain, dalam benruk pengelolaan Taman Hutan Raya , penerbiran HPH luas di bawah 10.000 ha, melaksanakan perlindungan huran lintas kabupaten. Meskipun Pemerintah Propinsi hanya berwenang untuk menerbitkan HPH luas di bawah 10.000 ha, Pemerimah Propinsi penghasil kayu mendapatkan gO % dari penerimaan seklOr kehutanan di wilayahnya.

Sejak pengundangan PP No . 6 Tahun ['1'19 . Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan di bidang penghijauall. konservasi tanah . pengelolaan hutan rakyar. pengaturan perburuan scHwa liar, perlindungan huran . perizinan HPHH. Penerbiran HPHH yang sebelum pengundangan PP No.6 Tahun 1'1'19 dikeluarkan uleh Gubernur kemudian dengan PP terse but diserahkan kepada Bupati merupakan upaya untuk memberikan manfaar ekonomi sektor kehuranan kepada Pemerimah Kabupaten. Selain itu , Pemerimah Kabupaten memiliki tanggungjawab pelaksanaan perlindungan hutan dan pendidikan kepada masyarakat di sektor kehuranan.

Daftar Pustaka

Anhar Gonggong, "Resistensi Terhadap Federalisme, Trauma Van Mouk dan Budaya Politik Sentralistik" dalam OlOnomi {{[au ederalisme Dampaknya Terhadap Perekonomian, 2000, Penerbit Suara Pembaruan. Jakarta.

BAPEDAL, Runcungan Naskah Akademis Pera/uran l'erunLiung­undangun lenlang Pengeioiuun Ungkungun Hidup, 5 .Iuni 1995.

8ayu Surianingrat, Desenrralisasi dan Dekonselllrasi Pelllerima/ulfl <Ii Indonesia SualU Allalisa, 1981, Dewaruci Press, hal. 6 dan 7.

Nomor 3 Tahun XXXII

Page 24: PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN: PEMBAGIAN …

294 Hukul1I dan Peilibangullan

Departemen Kehutanan. Kebijaksanaan dan Straregi Pemballgullan kehuranan, Pidasto Pengarahan Menteri Kehutanan pada Kon!'erensi Nasional PSLH di Medan, 8 Nopember 1988 .

Devas, Nick, "Indonesia: What do we mean by decentralization "", dalam Public Administration and Development, Vol. 17 No. ], 1997, hal. 351 -367.

Faisal Basri , "Otonomi Luas dan Federalisl11e" dalal11 Otonomi alaU Federalisme Dampaknya Terhadap Perekonomian, 2000, Penerbit Suara Pembaruan . Jakarta.

Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), Sumbaflxan Pemikiran telllallfi Reformasi Pengelolaan Sumber Doya Hutan Nasional, 1999. Fakultas Kehutanan UGM L1an Ford Foundation.

Frerks, George and Jan Michiel Otto, Decentralization lind Developmelll: A Review or Development Adminisllmion Literature . Research Report 96/2. Van Vollenhoven Institute, Leiden University.

Hariadi Kartodihardjo. Masalah Kebijakan Pengelolaall HI./iWI Alom Produksi, 199. LATIN, Bogor.

ICEL, Pokok-Pokok Pikiran Bagi PemerintaiJan Baru Hasil Pelllilu 1999 Lingkungan Hidup dall Sumber Daya Alam Pasca Orde Baru. 1999. ICEL.

Kern, Ellen, Kenneth L. Rosenbaum. Rossana Silva Repetto. Tomme Young , Trends iI/ Forestry Law in America and Asia , 1998. FAO, Rome, h. 116

Riyaas Rasyid. "Perspektif Otonomi Luas" dalam Oral/omi ({WU

Federalisme Dampaknya Terhadap Perekonomian, 2000. Penerbita Suara Pel11baruan. Jakarta.

Roy, S.B., Mitali Chatterjee, Raktima Mukherjee. Policy 10 PraClice or Joint Forest Manaxement, 1998 , Inter India Publication. New Delhi.

Untung Iskandar. Dialog Kehulanan dalam Wa(,([lIa Global, 2000. l3igra!' Publishing , Jakarta .

UUH Aliyuddin, Pellll'(lIlgunol! Kelmlollol/ dan Perkeblll/ilIl Dahl/II Rongka OlOnom; Daerah, makalah disampaikan palla Kuliah Ulllum pada Civitas Akademika Fakultas Kehutanan IPB Tahun Ajaran 1999/2000. tanggal 25 Maret 2000 .

Jul; - SeplellliJer 2()()2