web view... sumberdaya alam dan budaya mencakup pokok alasan untuk melakukan perjalanan ... hutan...
TRANSCRIPT
REVIEW : TRAVEL AND TOURISM COMPETITIVENESS INDEX (TTCI)
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pariwisata dalam Hubungan Internasional
DISUSUN OLEH :
Anggar Shandy P. 12/335642/SP/25315
Marcela O.B. Endo 13/345272/SP/25541
Maria Rosa Tita Amelia 13/348005/SP/25747
Kartika Poetri Aryani 13/353737/SP/26000
Mohammad Rizqi I. 14/367435/SP/26393
Andino Kevin Siagian 14/364264/SP/26071
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
REVIEW : TRAVEL AND TOURISM COMPETITIVENESS INDEX (TTCI)
Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang dikeluarkan oleh World
Economic Forum (WEF) ditujukan untuk mengukur daya saing suatu negara dari segi
pariwisata. Index yang pertama dikeluarkan pada tahun 2007 ini diterbitkan untuk menjadi
tolak ukur sektor pariwisata yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan
yang signifikan sehingga mampu menjadi penopang bagi kekuatan ekonomi suatu negara.
Dalam beberapa tahun belakangan, dunia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi
dan ketegangan geopolitik, tetapi sektor pariwisata telah menunjukkan ketahanan secara
global. TTCI secara umum mengukur: faktor-faktor dan kebijakan publik yang
memungkinkan pengembangan sektor perjalanan dan pariwisata, yang menyumbang
kepada pembangunan dan daya saing suatu negara. Variabel yang dihitung dalam
memformulasikan TTCI terdiri empat belas pilar dari empat sub-index, yaitu; Sub-index
A: lingkungan yang kondusif (enabling environment), sub-index B: kebijakan perjalanan
& pariwisata dan kondisi yang memungkinan (T&T Policy and enabling conditions), sub-
index C: infrastruktur serta sub-index D: sumber daya alam dan budaya.
Sub-index A mencakup keadaan umum yang dibutuhkan untuk pariwisata
beroperasi di suatu negara yang diantaranya; lingkungan bisnis, keselamatan dan
keamanan, kesehatan dan kebersihan, sumber daya manusia dan tenaga kerja, kesediaan
teknologi, informasi dan komunikasi. Sementara sub-index B adalah indikator yang
mencakup kebijakan dan aspek strategis yang lebih spesifik kepada sektor perjalanan dan
pariwisata, diantaranya; pengutamaan pada sektor perjalanan dan pariwisata, keterbukaan
internasional, harga saing serta kelestarian lingkungan. Sub-index infrastruktur mengukur
ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik suatu negara; infrastruktur transportasi udara,
infrastruktur transportasi darat dan laut serta jasa wisata. Sub-index seterusnya,
sumberdaya alam dan budaya mencakup pokok alasan untuk melakukan perjalanan; daya
tarik sumber daya alam, sumberdaya budaya dan perjalanan bisnis.
Dalam penulisan review ini, penulis ingin lebih menyoroti sub-index D, berkenaan
dengan sumberdaya alam dan budaya. Indikator yang digunakan dalam sub-index
sumberdaya alam diantaranya jumlah situs alam yang termasuk UNESCO World Heritage,
jumlah spesies yang diketahui, luas kawasan lindung serta kualitas lingkungan. Sementara
indikator yang digunakan untuk menghitung sumberdaya budaya; jumlah situs budaya
2
yang dianggap World Heritage, jumlah warisan budaya yang tidak berwujud, jumlah
stadion olahraga, jumlah pertemuan internasional.
Menurut penulis, variabel-variabel yang ditentukan dalam TTCI terlalu fokus
mengukur faktor-faktor yang berwujud, yang dapat dilihat secara kasat mata. Dalam
menghitung sumberdaya terutama sumberdaya budaya, indikator yang digunakan bersifat
tangible, seperti situs budaya, stadion olahraga dan pertemuan internasional. Padahal,
dalam realita, alasan wisatawan dalam memilih tujuan wisata tidak sesimpel itu. Daya tarik
intangible juga memengaruhi motif wisatawan. Tren terbaru wisatawan dibuktikan dalam
Adventure Tourism Development Index 2015, yang menunjukkan bahwa ada peningkatan
jumlah Adventure Tourism akhir-akhir ini. Adventure Tourism adalah perjalanan seseorang
yang keluar dari lingkungan normal mereka melebihi 24 jam yang mencakup paling
kurang dua dari tiga elemen pariwisata yaitu; aktifitas fisik, lingkungan alam, serta
cultural immersion.1 Konsep cultural tourism telah berevolusi seiring berjalannya waktu.
Cultural tourism yang pada awalnya fokus pada situs kultural, monumen sejarah serta
penampilan seni budaya kini fokus pada “learning” dan “experience” dengan membaur
dalam kehidupan penduduk asli tujuan wisata.2 Tambahan pula penawaran creative
tourism di mana wisatawan melibatkan diri dalam komunitas dan warisan budaya lokal
untuk merasakan lifestyle sangat berbeda dengan traditional tourism, karena industri ini
menyodorkan perjalanan untuk pengalaman, sehingga dibutuhkan penawaran alternatif
untuk konsumsi wisatawan.3 Beberapa contoh di mana daya tarik budaya menjadi daya
saing utama atau keunggulan kompetitif suatu tujuan wisata; indigenous tourism di
Hawaii, culinary arts tourism di Prancis, atau yang lebih kontroversial seperti vodka
tourism di Russia dan prostitution tourism di Thailand. Oleh itu, metode pengukuran yang
diterapkan dalam TTCI yang lebih mengedepankan faktor-faktor tangible dalam mengukur
indikator daya saing suatu tujuan pariwisata tidak lagi relevan.
Dalam menghadapi wisatawan yang membaur dalam masyarakat mana daya saing
dalam menarik wisatawan ini patut diukur dengan menambahkan indikator-indikator yang
intangible seperti sumber daya manusia yang dimiliki. Sumber daya manusia yang penulis
maksudkan tidak hanya mencakup tingkat pendidikan masyarakat lokal tetapi juga tingkat
penerimaan tuan rumah terhadap wisatawan asing. Penerimaan masyarakat yang menerima 1 Adventure Tourism Development Index, “The 2015 Report”, http://adventureindex.travel/downloads.htm diakses pada 05 Maret 20162 I. Shih, Cultural Acceptance and Its Effect on Tourism, University of Nevada Las Vegas, 20113 R. Prentice; V. Anderson, “Creative Tourism Supply”, dalam G. Richards dan J. Wilson (ed.), “Tourism and Creativity Development”, Routledge, New York, 2007, hal. 90
3
wisatawan asing tersebut penting untuk menimbulkan suasana nyaman bagi para
wisatawan karena tujuan utama wisatawan mengunjungi tujuan wisata tersebut adalah
untuk membaur dan mempelajari budaya dari suatu tujuan wisata. Industri cultural tourism
merupakan industri padat karya, sehingga membutuhkan partisipan yang berpengetahuan
budaya untuk menyukseskan industri tersebut. Cultural acceptance adalah faktor penting
untuk menyediakan sumberdaya manusia dan modal yang sesuai untuk membangun
industri cultural tourism.
Untuk mengukur daya saingnya diperlukan indikator afinitas masyarakat dalam
menerima wisatawan, sehingga sangat disayangkan dalam index TTCI kali ini indikator
tersebut tidak lagi dijadikan indikator penting dalam menilai daya saing tujuan pariwisata.
Dalam TTCI 2013, afinitas masyarakat dalam menerima pariwisata diukur dengan
beberapa penilaian yaitu; keterbukaan terhadap pariwisata, sikap masyarakat terhadap
wisatawan asing, tingkat orientasi pelanggan serta perpanjangan perjalanan bisnis yang
ditawarkan.4 Namun, penilaian yang tersedia dalam TTCI 2013 juga belum sempurna
karena mengabaikan tingkat toleransi masyarakat lokal terhadap budaya asing. Oleh itu
sebagai tambahan dari indikator (afinitas masyarakat dalam menerima wisatawan asing)
yang sudah ada, penulis menyarankan agar tingkat toleransi masyarakat juga dijadikan
sebagai variabel pengukur daya saing suatu tujuan wisata. Penulis beranggapan bahwa
tingkat toleransi penting karena diversitas wisatawan asing yang mungkin menjadi potensi
pasar dari suatu industri pariwisata. Wisatawan yang ingin menikmati cultural tourism
mungkin membawa budaya-budaya asing bagi masyarakat bahkan mungkin budaya yang
dianggap taboo bagi masyarakat sekita. Oleh itu, penulis mengasumsikan bahwa
masyarakat yang toleran terhadap budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan asing
dapat menggaet pasar yang lebih besar dibandingkan dengan tujuan pariwisata yang
masyarakatnya kurang toleran terhadap wisatawan.
Dalam mengukur tingkat toleransi masyarakat, kita dapat merujuk pada Social
Progress Index.5 Laporan yang tersedia dalam daring berjudul Social Progress Imperative
ini mencantumkan Tolerance and Inclusion sebagai salah satu variabelnya. Variabel
Tolerance and Inclusion diukur dengan agregasi beberapa tolak ukur yang diantaranya; 4 J. Blanke, T. Chiese. 2013. The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013: Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation, World Economic Forum, http://www3.weforum.org/docs/WEF_TT_Competitiveness_Report_2013.pdf diakses pada 05 Maret 2016
5 Social Progress Imperative, “Social Progress Index”, http://www.socialprogressimperative.org/data/spi/components/com11#data_table/countries/idr48/idr48, diakses pada 07 Maret 2016
4
tingkat toleransi terhadap imigran asing, tingkat toleransi terhadap homoseksual, tingkat
diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum minoritas dan tingkat toleransi agama.
Berikut beberapa hasil TTCI (Travel and Tourism Competitiveness Index) :
Asia Pasifik
Asia-Pasifik merupakan wilayah yang luas dan sangat beraneka ragam, dengan
komitmen yang tinggi dalam mengembangkan sektor pariwisata. Salah satu di antaranya
adalah Jepang – didukung adanya ketersediaan infrastruktur transportasi berkelas dunia,
kesiapan dan keterbukaan pada kemajuan teknologi dan informasi, serta sumber daya
manusia yang terlatih. Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah
mengimplementasikan fasilitas visa, dengan tujuan pemegang visa tersebut dapat dengan
mudah berkeliling atau melalukan perjalanan lintas batas negara dalam wilayah ASEAN.
Berdasarkan data dari UNWTO, cara yang dilakukan ASEAN ini ampuh menarik
wisatawan mancanegara hingga 10 juta wisatawan. Akan tetapi masalah utama yang harus
dihadapi oleh negara-negara di ASEAN adalah isu degradasi lingkungan. Selain itu tingkat
urbanisasi yang tinggi serta industrialisasi sangat berpengaruh pada kualitas udara, hutan,
serta ekosistem laut, sebagai contoh : Forest Watch Indonesia melaporkan bahwa
Indonesia kehilangan 990.000 hektar lahan hutan antara tahun 2010 hingga 2013.
1. Australia
Australia menduduki peringkat 7 secara global dan peringkat 1 dalam wilayah
Asia-Pasifik dalam hal pengembangan pariwisata. Industri pariwisata Australia telah
berkembang dengan pesat dalam dua dekade belakangan – jumlah wisatawan mancanegara
meningkat 2 kali lipat, dari tahun 1992 tercatat 2,5 juta wisatawan mancanegara dan
hampir mencapai 6,7 juta wisatawan pada tahun 20146. Australia telah membuat terobosan
bagi wisatawan dalam membuat visa (49th), termasuk pengembangan sistem aplikasi visa
berbasis internet dan fasilitas self-processing border entry bagi pemegang e-passport dari
Amerika Serikat dan Inggris.
2. Jepang
Jepang menduduki peringkat 9 secara global dan peringkat 2 di lingkup wilayah
Asia-Pasifik dalam hal pengembangan pariwisata. Negara ini mampu mendatangkan lebih
6 Mundy, Warren.2015. Australia’s International Tourism Industry : Productivity Commision Research Paper. Australian Government, 2.
5
dari 10 juta wisatawan mancanegara pada tahun 2013. Negara ini memiliki tiga masa
liburan yaitu Golden week (pada musim semi), Obon (pada musim panas), dan libur tahun
baru yang diselenggarakan dari akhir tahun hingga minggu pertama tahun yang
baru7(Maine International Trade Center, 2015). Pada masa-masa liburan tersebut travel
agent saling berlomba untuk menawarkan liburan yang menarik bagi wisatawan
mancanegara, karena pada momen-momen tersebut biasanya terdapat festival tertentu yang
sayang untuk dilwatkan. Kesuksesan Jepang dalam mendatangkan wisatawan ke
negaranya didukung kekayaan budaya (6th), infrastruktur transportasi darat (17th) dan
transportasi udara (19th). Negara Jepang juga dikenal akan kesiapannya dalam
mengembangkan ICT (9th), menyediakan layanan internet nirkabel berbayar yang dapat
diakses bahkan lintas negara, yang mana layanan ini sangat diapresiasi oleh para
wisatawan mancanegara serta membantu kegiatan bisnis yang berkembang di negara ini.
Sumber daya manusia yang dimiliki Jepang dikenal sangat terlatih (15th) dan mampu
melayani pelanggan dengan sangat baik, di mana dalam hal ini Jepang menduduki
peringkat pertama. Hanya saja, negara ini bukanlah negara tujuan pariwisata dengan price-
competitiveness yang ramah (119th).
Singapura
Singapura berada pada peringkat 11 secara global dalam pengembangan sektor
pariwisata. Negara ini dikenal dengan lingkungan bisnis yang sangat kondusif (1st) dengan
kualitas sumber daya manusia yang tidak perlu lagi diragukan (3rd), terutama dalam
menunjang industri pariwisata yang berkembang di negara ini. Pariwisata merupakan
komoditas yang sangat diperhitungkan dan menjadi prioritas di negara ini (4th). Singapura
berada pada peringkat pertama dalam hal keterbukaan terhadap dunia internasional sebagai
caranya untuk menarik wisatawan mancanegara untuk berwisata di negaranya. Pariwisata
yang berkembang di Singapura didukung adanya infrastruktur transportasi darat (2nd) dan
udara (6th) yang sangat baik. Akan tetapi, negara ini bukanlah negara tujuan pariwisata
dengan price-competitiveness yang ramah (116th).
3. Cina
Cina berada pada peringkat ke-6 secara regional dan ke-17 secara global. Negara
ini tercatat mampu mendatangkan lebih dari 55 juta wisatawan internasional pada tahun
2013. Industri pariwisata menjadi motor penggerak dalam meningkatkan pertumbuhan
7 Maine International Trade Center. 2015. Travel and Tourism Industry Opportunity Japan & China.
6
ekonomi di negara ini8. Oleh karena itu, Cina melakukan pembangunan infrastruktur
terutama pada infrastruktur transportasi udara (25th) dengan memperbanyak bandara baru
atau memperluas bandara yang sudah ada dengan tujuan mampu meningkatkan kapasitas
untuk menampung wisatawan mancanegara. Akan tetapi, infrastruktur transportasi darat
masih kurang dibangun dengan baik (53rd), dan ketersediaan kamar hotel (112th) yang
tidak berbanding lurus dengan banyaknya wisatawan yang datang. Negara ini harus fokus
dalam menyusun kebijakan yang mampu meningkatkan iklim bisnis (80th) dan
meningkatkan international openness (96th). Selain itu, Cina juga dihadapkan pada isu
lingkungan seperti polusi udara yang menempatkan negara ini menjadi penghasil karbon
dioksida tertinggi di dunia9. Berdasarkan penelitian oleh The Guardian, pakar Fisika di
Universitas California di Berkeley, AS, mengkalkulasikan bahwa sekitar 1,6 juta orang di
Cina meninggal setiap tahunnya akibat masalah jantung, paru-paru, dan stroke yang
disebabkan oleh polusi udara, terutama asap partikel kecil10. Masalah ini menjadi salah
satu pertimbangan bagi wisatawan yang ingin berkunjungn ke negara ini, akibat pekat
polusi udara yang kerap terjadi.
4. India
India berada pada peringkat ke-52 dalam hal pembangunan pariwisata. Sektor ini
menyumbang 5% untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan berpotensi mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi yang lebih besar karena mampu mendatangkan 7 juta wisatawan ke
negara ini, biarpun dalam segi jumlah masih terlampaui jauh dengan Cina. Akan tetapi,
pengembangan pariwisata di India dihadapkan pada permasalahan pembangunan
infrastruktur yang tidak merata terutama dalam menunjang sektor pariwisata (109th) dan
kualitas jalan raya. Kepadatan penduduk yang tinggi di India berdampak pada
permasalahan kemacetan, sehingga tak dipungkiri kerap kali terjadi kerusakan pada
infrastruktur jalan raya terutama di kota-kota besar seperti Mumbai, New Delhi, Kolkata,
dan Bangalore. Pemerintah India sendiri menyadari kurangnya pembangunan pada
8 OECD. 2010. OECD Tourism Trends and Policies 2010.International Report Journal. 291.
9 Ilham, Mohammad. 2014. Isu Polusi Lingkungan China dalam Hubungan China-Jepang. Karya Tulis Ilmiah, 5.
10 Berita Online CNN Indonesia. (Agustus, 2015). Riset Polusi : Udara di China Tewaskan 4000 Orang Setiap Hari. Dikutip dari Berita Online CNN Indonesia : http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150814143109-113-72196/riset-polusi-udara-di-china-tewaskan-4000-orang-setiap-hari.
7
infrastruktur jalan raya, dan sangat mengharapkan investasi yang mampu menyelesaikan
permasalahan infrastruktur ini11. Keamanan juga menjadi isu yang perlu diperhatikan
mengingat negara ini dihadapkan pada tingkat kejahatan dan kekerasan yang meningkat
(97th), dan India juga menduduki peringkat ke-139 dalam mempertahankan
keberlangsungan lingkungan.
5. Indonesia
Indonesia menduduki peringkat ke-50 secara global dengan industri pariwisata
yang tengah berkembang ini, mampu menarik lebih dari 8,8 juta wisatawan pada tahun
2014. Pengembangan industri pariwisata di negara ini menjadi prioritas nasional (15th),
salah satunya dengan melakukan pembangunan pada infrastruktur pendukung – jaringan
telepon kini mampu diakses di seluruh area di negara ini, transportasi udara dikembangkan
dengan cukup baik hingga mampu menduduki peringkat ke-39, akan tetapi transportasi
darat menduduki peringkat ke-77. Pembangunan yang dilakukan ini menempatkan
Indonesia sebagai negara yang sangat kompetitif (3rd) dengan keberagaman sumber daya
alam, dan situs budaya (10th). Akan tetapi, Indonesia justru dihadapkan pada isu
keberlangsungan lingkungan yang kurang diperhatikan sehingga menempatkan negara ini
pada peringkat ke-134. Dalam usaha untuk melindungi keberlangsungan lingkungan,
Indonesia mengelompokkan hutan ke dalam 3 kelompok besar berdasarkan fungsinya
yaitu hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Menurut data yang dihasilkan
oleh Indrarto, dkk (2012), hutan produksi memiliki luas 82,2 juta hektar, hutan lindung
seluas 31,6 juta hektar, dan hutan konservasi mencapai 19,9 juta hektar. Hutan produksi di
Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal pembangunan,
sehingga kekayaan yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan secara legal (Henstridge,
Chiappe, dan Crawfurd, 2013)12. Akan tetapi, pembalakan hutan liar terus-menerus terjadi
dalam 30 tahun belakangan, yang menyebabkan Indonesia tidak mampu mempertahankan
keberlangsungan lingkungan.
Timur Tengah dan Afrika Utara
11 Abadie, Richard, Poulter, Tony, & Raymond, Peter. 2013. Gridlines India : Articles. 1-2.
12 Henstridge, M., Chiappe, F., dan Crawfurd, Lee. 2013. Growth in Indonesia : is it Sustainable ? The Environmental Sustainability of Growth. Oxford Policy Management (Maret 2013), 8.
8
Secara umum, negara-negara pada wilayah ini adalah negara dengan price
competitiveness yang tinggi dengan didukung banyaknya pembangunan untuk menyokong
kegiatan industri pariwisata. Akan tetapi pengembangan industri pariwisata pada wilayah
ini dihadapkan pada isu keamanan – seperti terorisme dan ketidakstabilan politik serta
kejahatan dan kekerasan – yang sering kali menyebabkan negera-negara pada wilayah ini
mengalami penurunan jumlah wisatawan mancanegara, walaupun tidak dipungkiri bahwa
banyak tourism resorts yang letaknya jauh dari daerah berbahaya. Negara pada wilayah ini
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok : (i) negara-negara yang memiliki iklim bisnis
kondusif, infrastruktur yang telah dibangun dengan baik, serta relatif aman sebagai
destinasi wisata, (ii) negara-negara dengan pengembangan pariwisata yang luar biasa,
namun dihadapkan pada masalah keamanan atau keterbatasan infrastruktur pendukung
(Mesir, Tunisia, Yordania, dan Lebanon), dan (iii) negara-negara yang tidak mampu
mengembangkan kapasitasnya dalam industri pariwisata.
1. The United Arab Emirates (UAE)
UAE merupakan negara dengan industri pariwisata yang paling maju di wilayah
ini, sehingga menempatkan negara ini dalam peringkat ke-24 secara global, dan pada tahun
2013 tercatat mampu mendatangkan lebih dari 10 juta wisatawan ke negara ini. UAE tidak
memiliki kekayaan sumber daya alam (95th), akan tetapi negara ini mampu
mengembangkan lingkungan pariwisata yang menarik untuk dikunjungi bagi wisatawan
mancanegara maupun bagi usaha bisnis. Negara ini tergolong negara yang aman, namun
perlu ditingkatkan dalam hal layanan kesehatan (69th), dan beberapa aspek seperti price
competitiveness, harus senantiasa dikontrol karena biaya hidup di negara ini terus
mengalami kenaikan (103rd).
2. Israel
Israel menempati peringkat 7 di wilayah ini dan ke-72 secara global. Berdasarkan
data dari Israel Central Bureau of Statistics (2013), wisatawan dari Amerika Serikat
menduduki prosentase paling tinggi dalam menyumbang jumlah wisatawan yang datang ke
Israel13. Negara ini memiliki tingkat penetrasi/kesiapan ICT yang tinggi (32rd) dan
pengembangan pada pilar sumber daya manusia dan pasar tenaga kerja yang cukup baik
(39th), dengan didukung kemudahan dalam merekrut tenaga kerja ahli (17th) Data yang
dilansir dari World Travel and Tourism Council (2015) menunjukkan bahwa
13 Israel Central Bureau of Statistics. 2013.Tourism in Israel 2000-2012. Israel Ministry of Tourism, 3.
9
berkembangnya industri pariwisata di Isarel ini mampu berkontribusi dalam menyediakan
lapangan pekerjaan bagi 275.000 pekerja atau setara dengan 7,8% dari total lapangan
pekerjaan yang tersedia14. Infrastruktur dibangun dengan cukup baik, akan tetapi negara ini
membutuhkan investasi dalam menyokong keberlangsungan pariwisata yang tengah
berkembang. Sama halnya dengan negara lain di wilayah ini, pariwisata di negara ini
sangat dipengaruhi isu keamanan (99th), terorisme (130th) dan ketidakstabilan yang
disebabkan oleh konflik.
3. Maroko
Maroko menempati peringkat ke-4 di wilayah ini dan ke-72 secara global.
Wisatawan tertarik berkunjung ke Maroko karena kekayaan budaya (39th) dan beberapa
natural resource hot spots, termasuk beberapa beach resorts yang terkenal, dengan iklim
bisnis yang kondusif (10th) serta prosedur yang tidak memberatkan bagi tumbuh-
berkembangnya bisnis (28th). Infrastruktur pada negara ini sangat berperan penting bagi
keberlangsungan industri pariwisata, biarpun negara ini masih harus meningkatkan
kualitas transportasi darat dan udara. Sumber daya manusia (107th) juga perlu ditingkat
kualitasnya, melalui pelatihan (105th) serta meningkatkan keterlibatan peran wanita
sehingga pasar tenaga kerja menjadi lebih fleksibel.
4. Arab Saudi
Arab Saudi menempati posisi ke-5 secara regional dan ke-64 secara global. Negara
ini memiliki iklim bisnis yang kondusif (23rd) dan price competitiveness (11th) yang
ramah bagi wisatawan. Wisatawan yang datang berkunjung ke negara ini umumnya
memiliki urusan bisnis atau untuk mengikuti wisata religi, sehingga negara ini cenderung
tidak terbuka bagi turis yang sekedar ingin berwisata. Arab Saudi tidak menempatkan
industri pariwisata sebagai prioritas (100th) dan kurang terbuka terhadap dunia
internasional (138th).
5. Mesir
Mesir menempati peringkat ke-10 secara regional dan ke-83 secara global dengan
mendatangkan 9 juta wisatawan mancanegara tiap tahunnya. Perkembangan industri
pariwisata di negara ini mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi 2,94 juta pekerja
pada tahun 2014, dan diperkirakan meningkat 4,3% di tahun 2015 (World Travel and
14 World Travel & Tourism Council. 2015. Travel and Tourism : Economic Impact 2015 Israel. 4.
10
Tourism Council, 2015). Mesir merupakan negara dengan price competitiveness yang
tinggi (2nd) dengan investasi yang besar dalam sektor pariwisata (23rd). Baru-baru ini
Mesir didera ketidakstabilan yang menyebabkan wisatawan yang berkunjung mengalami
penurunan. Negara ini juga dihadapkan pada permasalahan keamanan (136th) dan juga
keterbatasan dalam international openness (115th).
Sub-Sahara Afrika
Pengembangan pariwisata di Afrika didukung oleh potensi yang terutama berasal
dari kekayaan sumber daya alam dan kebudayaan yang berpeluang untuk dikembangkan
lebih lanjut. Pada tahun 2012, tercatat Afrika mampu mendatangkan 33,8 juta wisatawan
mancanegara15. Pariwisata di Afrika, bagaimanapun, masih berada pada tahap awal
pengembangan dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan isu kesehatan dan kebersihan.
Dua aspek penting yang dibutuhkan dalam menjalin hubungan internasional dalam rangka
membangun sektor pariwisata, salah satunya adalah keterbukaan, yang dilengkapi dengan
perubahan kebijakan sebagai bentuk keinginan untuk memperbaiki pariwisata yang telah
berkembang. Sebagai contoh, 15 negara yang tergabung dalam Economic Community of
West African States (ECOWAS) memperkenalkan kebijakan visa yang memungkinkan
wisatawan dapat dengan bebas melakukan mobilisasi ke negara-negara anggota serta
menawarkan pasar yang terbuka bagi wisatawan mancanegara. Pemerintah Afrika secara
kolaboratif telah melakukan kerja sama dalam rangka menghimpun sumber daya dan
informasi untuk mengembangkan pariwisata, menempatkan anggota pasukan keamanan
terutama di daerah perbatasan, serta pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan
perlindungan produk di daerah tujuan pemasaran, terutama di Asia.
1. Afrika Selatan
Afrika Selatan menempati urutan tertinggi dalam hal pengembangan pariwisata
apabila dibandingkan dengan negara anggota lainnya. Pengembangan pariwisata Afrika
Selatan disokong adanya kekayaan alam dan kebudayaan, lingkungan bisnis yang kondusif
biarpun seringkali diwarnai adanya praktek red-tape serta beban administrasi, namun
memiliki infrastruktur yang relatif lebih baik dibanding dengan negara-negara tetangga.
Afrika Selatan dalam hal ini perlu membangun sistem keamanan dan kesehatan, yang
mana secara bersamaan mempengaruhi pasar tenaga kerja, sebagai bentuk representasi
15 The World Bank. 2013. Tourism in Africa : Harnessing Tourism for Growth and Improved Livelihoods.
11
tantangan utama yang dihadapi bukan hanya pengembangan sektor pariwisata, melainkan
competitiveness suatu negara secara umum.
2. Mauritius
Industri pariwisata di negara ini menjadi penyokong utama kegiatan ekonomi, di
mana pariwisata menyumbang lebih dari 10% dari Gross Domestic Product negara ini dan
menyumbang investasi lebih dari 16%. Mauritius memperkirakan pada tahun 2015,
mampu mendatangkan 1,048 juta turis mancanegara dan pada tahun 2025 mampu
mendatangkan 1,32 juta turis mancanegara16. Mauritius menawarkan keamanan (33rd) dan
keramahan berusaha/berbisnis di sektor pariwisata (24th), didukung sumber daya manusia
yang handal (47th), ketersediaan lahan (27th), serta layanan infrastruktur penunjang
kegiatan pariwisata yang mampu digunakan sebagai sarana transportasi dan menerima
hampir 1 juta wisatawan tiap tahunnya. Infrastruktur transportasi udara yang dimiliki oleh
negara ini dapat dikatakan kurang dibangun dengan baik, sehingga berdampak pada
keterbatasan kapasitas wisatawan dan armada airlines yang dapat ditampung oleh bandara
di Mauritius. Keberlanjutan menjadi kunci keberhasilan Mauritius dalam mengembangkan
industri pariwisata.
3. Kenya
Pariwisata menjadi salah satu industri unggulan di Kenya yang berkontribusi dalam
perekenomian Kenya (Gitu dalam Kuto dan Groves, 2004)17. Sumber daya alam menjadi
aset berharga yang dimiliki oleh Kenya (11th), sebagaimana yang terlihat dalam beberapa
situs online yang menunjukkan banyaknya jumlah pariwisata berbasis alam yang
ditawarkan oleh negara ini (10th). Kenya menjadi “rumah” bagi banyak spesies dan situs
budaya yang dilindungi oleh UNESCO. Pemerintah setempat mencoba untuk
memberdayakan resources tersebut sebagai bentuk kontribusi pentingnya pengembangan
sektor pariwisata. Pemerintah menginvestasikan kurang lebih 7% dari anggaran negaranya
untuk mengembangkan pariwisata dan mengadakan marketing campaign yang efektif.
Keberlanjutan lingkungan juga menjadi kekuatan dalam sektor pariwisata, khususnya
16 World Travel & Tourism Council. 2015. Travel and Tourism : Economic Impact 2015 Mauritius. Travel and Tourism Report Journal, 5-6.17 Kuto, Benjamin dan Groves, James. 2004. The Effect of Terrorism : Evaluating Kenya’s Tourism Crisis. E-Review of Tourism Research (eRTR), Vol. 2, No. 4, 89.
12
upaya dalam mencegah penebangan liar (84th), dan menghilangkan tingginya prosentase
pemborosan sumber daya air (109th).
4. Bostwana
Pariwisata memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian negara
Bostwana dan pembangunan masyarakat, yang mana pada tahun 2002 sektor ini
menyumbang 5% dari GDP18. Negara ini relatif memiliki iklim bisnis yang kondusif (36th)
serta tingkat keamanan yang lebih baik dibanding negara tetangga. Akan tetapi,
infrastruktur tidak dikembangkan dengan baik apabila disandingkan dengan Afrika Selatan
dan Namibia. Transportasi darat (105th) berada pada peringkat yang lebih rendah,
sementara infrastruktur transportasi udara dan infrastruktur penunjang kegiatan pariwisata
juga perlu ditingkatkan. Keterbatasan layanan transportasi udara berdampak pada
hubungan negara ini dengan negara lainnya dan derajat keterbukaan Bostwana (118th).
5. Nigeria
Pariwisata tidak berperan penting dalam menunjang kegiatan perekonomian
Nigeria, sektor ini hanya menyumbang kurang lebih 1,5% dari GDP dan penyerapan
tenaga kerja, serta tidak menjadi agenda utama pemerintah negara ini, sehingga
menempatkan Nigeria di peringkat ke-131 dalam hal prioritas kegiatan pariwisata.
Beberapa tantangan yang dihadapi Nigeria dalam rangka mengembangkan sektor
pariwisata di antaranya : (1) peningkatan sistem keamanan untuk mengatasi terorisme dan
kekerasan yang kerap terjadi, (2) ketidaksediaan infrastruktur yang memadai sebagai salah
satu aspek yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan tourism competitiveness suatu
negara. Maka tak heran apabila negara ini menempati peringkat ke-127 dalam
pembangunan infrastruktur transportasi darat, peringkat ke-111 transportasi udara, dan
peringkat ke-114 dalam infrastruktur layanan pariwisata.
T&T resilience and development impact
Berdasarkan data dari UNWTO, industri pariwisata mampu membuka lapangan
pekerjaan bagi 1 dalam setiap 11 orang pekerja dan menyumbang 11% dari prosentase
GDP. Kegiatan ekonomi yang disokong pariwisata lebih cepat tumbuh daripada kegiatan
ekonomi lain, yang mana di dukung adanya kemudahan akses secara IT, serta dorongan
ekonomi-sosial dan budaya yang menyebabkan orang berpindah secara global dengan
frekuensi yang lebih sering. Turis mancanegara datang ke suatu negara selalu dikaitkan 18 Leechor, Chad. 2003. Developing Tourism in Bostwana : Progress and Challenges. Discusstion Draft. 3.
13
dengan isu kestabilan ekonomi serta sensitifitas terhadap isu keamanan yang cenderung
berdampak pada keadaan negara tujuan pariwisata. Ketika sebuah negara diterpa
ketidakstabilan, maka negara lain akan menerima wisatawan yang lebih banyak. Secara
global trend pertumbuhan pariwisata yang demikian serasa tidak pernah berhenti.
New trends and what it takes to capture them
Data UNWTO menunjukkan bahwa Cina merupakan pasar terbesar dalam hal
pengeluaran untuk kebutuhan pariwisata internasional. Pasar terbesar urutan ke-10 diraih
oleh Brazil, sementara belanja pariwisata internasional yang dilakukan oleh masyarakat
India, Filipina, Saudi Arabia, dan Qatar ketika melakukan perjalanan dan pariwisata
internasional tercatat mengalami peningkatan kurang lebih 30% dari tahun 2013 hingga
2014. Trend lain dalam kegiatan pariwisata adalah adanya perubahan secara demografi.
Jumlah penduduk dunia berumur di atas 60 tahun mengalami peningkatan; 900 juta jiwa
pada tahun 2010 dan tercatat mencapai hampir 1,4 miliar jiwa penduduk di tahun 2030
mendatang. Penduduk dalam usia tersebut cenderung menyukai jenis pariwisata yang
menawarkan pelayanan terbaik dengan budget yang tinggi tetapi setara dengan kualitas
yang diterima. Sementara itu, dalam pariwisata juga dikenal wisatawan travellers yang
umumnya adalah penduduk berusia muda dengan karakteristik menyukai tantangan,
tertarik pada wisata budaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka. Penduduk berusia
muda dalam hal ini tidak tertarik pada pariwisata yang menawarkan kemewahan,
melainkan akan mearas senang untuk mengeksplorasi sekitarnya. Wisatawan travellers ini
menggunakan kemajuan teknologi dan layanan internet untuk mengatur perjalanan wisata
yang akan dilakukannya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group
menyebutkan bahwa 95% orang kini menggunakan digital resources untuk mengatur
perjalanan wisata dengan menggunakan kurang lebih 19 website atau mobile applications,
sebagai cara mudah untuk melakukan booking, mencari informasi seputar daerah tujuan
wisata, membuat rencana wisata dan membagikan pengalaman berwisata di tempat
tersebut selama perjalanan maupun sesudah perjalanan berakhir. Akses internet pada saat
melakukan perjalanan wisata menjadi sebuah kebutuhan; dilansir dari Tripadvisor, survei
menunjukkan bahwa 74% dari responden menyebutkan fasilitas “free-wifi” menjadi alasan
utama seorang wisatawan dalam memilih akomodasi. Kemudahan yang ditawarkan oleh
internet ini memberikan keuntungan bagi negara dalam hal T&T’s Competitiveness.
Negara dengan competitivenss yang baik cenderung memasarkan pariwisatanya melalui
14
media online, serta menawarkan kemudahan booking via online. Adapun kemudahan lain
yang diterima oleh wisatawan dengan adanya internet ini adalah mampu memperoleh
informasi sebanyak-banyaknya mengenai daerah tujuan wisata baik dari ulasan wisatawan
lain yang pernah berkunjung atau informas resmi yang dikeluarkan oleh sebuah instansi
atau negara, seperti informasi situs budaya dan cagar alam yang dikeluarkan secara resmi
oleh UNESCO.
Keuntungan Berkembangnya Industri Pariwisata
Negara-negara yang memiliki pendapatan rendah hingga sedang kini menerima lebih
banyak wisatawan mancanegara daripada negara dengan pendapatan tinggi. Ini
menunjukkan bahwa industri pariwisata memberikan dampak yang signifikan bagi negara
dalam segala tahap pembangunan yang tengah dijalankan. Meningkatnya competitiveness
suatu negara dalam bidang pariwisata menyebabkan efek ekonomi jangka panjang seperti
halnya neraca pembayaran meningkat, sementara itu investasi dalam pembangunan
infrastruktur guna menunjang kegiatan pariwisata ini juga memiliki dampak terhadap
kegiatan ekonomi yang lebih luas dalam jangka panjang.
Koordinasi dan Kerjasama adalah Kunci Sukses
Identifikasi prioritas, peningkatan kualitas infrastruktur, memperkirakan insentif yang
diterima serta menjalankan promosi merupakan beberapa hal penting yang perlu dilakukan
oleh suatu negara agar pembangunan sektor pariwisata mencapai kesuksesan – ini menjadi
tugas tidak hanya bagi pemerintah lokal melainkan juga para menteri suatu negara.
Pemerintah lokal memiliki dua peran utama dalam menunjang pariwisata di tingkat lokal;
(1) Bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan masyarakat lokal, dan memastikan
bahwa pariwisata yang berkembang di daerah tersebut berdampak pada masyarakat.
Pemerintah lokal harus mampu memastikan bahwa dampak yang diperoleh berupa manfaat
dan bukan dampak yang merusak serta (2) Bertanggung jawab dalam pembangunan
pariwisata baik secara ekonomi maupun sosial19. Oleh karena itu, hal yang membedakan
antara industri pariwisata yang sukses dengan industri pariwisata yang gagal terletak pada
kekuatan kolaborasi yang terjalin antar aktor dalam pemerintahan untuk mengatasi isu
finansial serta isu tentang kemandekan yang kerap terjadi dalam institusi maupun
19 Elliott, James. 2002. Tourism : Politics and Public Sector Management. London dan New York : Routledge.
15
organisasi pemerintah. Membangun infrastruktur pariwisata, sebagai contoh,
membutuhkan keterlibatan paling tidak dua kementerian yang berbeda – transportasi dan
pembiayaan – bersama dengan kewenangan lokal, kontraktor, investor, serta agen lainnya
yang terkait.
Conclusion
Berdasarkan pada data di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat kunci yang
muncul dari Travel and Tourism Competitiveness Index serta analisis kuantitatif dan
kualitatif yang dilakukan untuk mengolah data yang diterima.
1) Industri pariwisata berkembang dengan cepat, dan terbukti mampu bertahan di
tengah goncangan ketidakpastian ekonomi serta isu lainnya;
2) Tren baru dalam industri pariwisata muncul, dan negara-negara yang mampu
melakukan pengembangan pariwisata dengan lebih baik menurut TTCI adalah
negara yang mampu memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan ekonominya.
3) Pengembangan industri pariwisata meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi
seluruh negara, serta membuka lapangan pekerjaan dalam berbagai tingkatan
kemampuan.
4) Pengembangan industri pariwisata merupakan sesuatu yang kompleks,
membutuhan koordinasi antar kementrian, dan kerjasama yang terjalin antar
berbagai negara dan kerjasama dengan private sector.
The Travel & Tourism Competitiveness Report 2015
Lampiran A menunjukkan komposisi dari Tour and Travel Competitiveness Index
(TTCI). Pilar-pilar dari struktur TTCI yang berjumlah 14 pilar terbagi ke dalam empat
subindex. Subindex pertama yakni Enabling Environtment (terdiri dari Business
Environtment, Safety and Security, Health and Hygiene, Human Resources and Labour
Market, Readiness). Subindex kedua yakni T&T Policy and Enabling Conditions (terdiri
16
dari Prioritization of Travel & Tourism, International Openness, Price Competitiveness,
Environmental sustainability). Subindex ketiga yakni Infrastructure (terdiri dari Air
Transport Infrastructure, Ground and Port Infrastructure, Tourist Service Infrastructure).
Dan terakhir, subindex keempat yakni Natural and Cultural Resources (terdiri dari
Natural Resources and Cultural Resources and Business Travel).
Komposisi yang ditetapkan ini sangatlah komprehensif sehingga dapat menjadi
indikator yang akurat di dalam menakar TTC suatu negara. Tidak berlebihan untuk
mengatakan hal demikian jika kita menilai satu per satu subindex yang ditawarkan.
Subindex pertama, Enabling Environtment. Subindex yang satu ini mencakup faktor-
faktor yang punya pengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengembangan
bisnis – kedua hal yang secara relatif berbanding lurus dengan sektor pariwisata.20
Komposisi yang ada di dalam subindex ini juga sangat esensial di dalam menentukan
wajah pariwisata suatu negara. Subindex yang kedua yakni T&T Policy and Enabling
Conditions. Jika subindex pertama merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
pariwisata secara relasional, subindex ini merupakan faktor-faktor yang langsung
berkenaan dengan pariwisata itu sendiri dan yang mempengaruhi secara struktural,
contohnya yakni kebijakan dan regulasi pemerintah suatu negara terhadap pariwisatanya.
Subindex ketiga yakni Infrastructure. Infrastruktur, yang juga mencakup transportasi,
merupakan bagian yang inheren dari pariwisata. Suatu wilayah pariwisata dengan
infrastuktur yang memadai memiliki nilai plus yang signifikan dan sangat mungkin
menjadi preferensi bagi turis.21 Hal yang satu ini membuatnya kontras dengan destinasi
wisata lainnya. Subindex yang terakhir yakni Natural and Cultural Resources. Jika
subindex yang sebelumnya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pariwisata suatu
negara, subindex yang terakhir ini dapat dikatakan merupakan wajah pariwisata itu sendiri.
Pasalnya, komposisinya mencakup alam dan budaya apa yang ditawarkan suatu negara
dari pariwisatanya. Hal-hal demikian merupakan “komoditi” dari pariwisata itu sendiri
yang menjadi pertimbangan utama dari wisatawan.
Lampiran B. Empat subindex yang telah disebutkan mencakup hal-hal yang lebih
spesifik lagi. Secara berurut, hal-hal tersebutlah yang disebut sebagai 14 pilar dari TTCI
2015. Lampiran B memberikan gambaran mengenai komposisi apa yang ditambah dan
20 C. Ashley, P.D. Brine, A. Lehr & H. Wide, The Role of Tourism Sector in Expanding Economic Opportunity, International Business Leaders Forum, Cambridge, 2007, p. 14.
21 B. Seetanah et.al., ‘Does Infrastructure Matter in Tourism Development,’ University of Mauritius Research Journal, vol. 17, 2011, p. 90.
17
dihilangkan dari TTCI sehingga menghasilkan TTCI 2015 yang lebih akurat dan
komprehensif. Terkait perubahan tersebut dapat ditelisik secara pilar per pilar. Pilar yang
pertama yakni Business Environtment. Indikator yang ditambahkan ke dalam pilar ini
yakni efisiensi dari kerangka hukum dalam menyelesaikan sengketa dan dalam penetapan
regulasi. Indikator ini dimasukkan dengan pertimbangan bahwa penegakan hukum penting
untuk menjamin kontrak dan hak milik (property right). Indikator lainnya yakni waktu
yang diperlukan terkait izin pembangunan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk hal ini.
Pertimbangan yang menyertainya yakni izin pembangunan langsung mempengaruhi
pengembangan sektor pariwisata. Pilar yang kedua yakni Safety and Security. Adapun
indikator yang ditambahkan yakni index of terrorism incidence. Ini bukanlah hal yang
dahulu lazim. Tetapi di era kontemporer, terorisme menjadi sesuatu yang patut
dipertimbangan karena isunya sedang menjadi perhatian global. Adapun indikator yang
dihapus yakni tingkat kecelakaan di jalan raya. Ini sangat masuk akal dihapus. Pasalnya,
kecelakaan bukanlah bentuk kriminal dan kekerasan. Ia tidak disengaja dan seharusnya
bukan menjadi pertimbangan di dalam TTCI.
Pilar ketiga yakni Health and Hygiene. Indikator yang ditambahkan yakni
persebaran HIV dan wabah malaria. Penyakit merupakan sesuatu yang hampir tak bisa
ditolerir oleh wisatawan. Pilar keempat yakni Human Resources and Labour Market.
Indikator yang ditambahkan yakni treatment terhadap cutomer dan kemudahan dalam
mencari tenaga kerja profesional. Yang dihapus dari pilar ini adalah tingkat harapan hidup
karena dirasa terlalu luas. Pilar kelima yakni ICT (Information, Communication, and
Technology) Readiness. Indikator yang ditambahkan yakni kualitas dari jaringan
komunikasi dan suplai dari energi listrik. Indikator yang dihapus yakni fixed telephone
lines. Ini dikarenakan telefon bukan lagi media informasi yang relevan di era kontemporer
sehingga tidak begitu menentukan. Di pilar yang keenam yakni Prioritization of Travel &
Tourism dengan country brand strategy rating sebagai indikator yang ditambahkan.
Bagaimana suatu negara mempromosikan pariwisatanya mempunyai signifikansi yang tak
bisa dinafikan. Pilar ketujuh yakni International Openness. Visa, keterbukaan terkait
kerjasama penerbangan bilateral dan angka perdagangan regional menjadi indikator yang
ditambahkan. Sedangkan tourism openness dan sikap masyarakat terhadap orang asing
menjadi indikator yang dihapus karena bukanlah hal yang presisi untuk mejadi tolok ukur
TTCI. Misalnya saja, sikap masyarakat terhadap orang asing, sangat sulit untuk ditakar
karea terkait variabel-variabel yang tak dapat diukur, dijangkau, dan bahkan diketahui.
18
Pilar kesembilan yakni Environment Sustainability. Indikator yang dihapus yakni jumlah
emisi karbon dioksida. Hal ini juga dianggap tidak presisi dan tidak bisa mengukur
kulalitas lingkungan secara baik. Pilar ketiga belas yakni Natual Resources. Indikator yang
ditambahkan yakni total protected areas dan natural tourism digital demand. Pilar yang
terakhir yakni Cultural Resources and Business Travel di mana Cultural and
entertainment tourism digital demand menjadi indikator yang ditambahkan.
Lampiran C menyajikan tabel peringkat dari 141 negara yang masuk ke dalam
TTCI 2015. Tabel peringkat disajikan berdasarkan pilar per pilar. Jika seluruh pilar
dikombinasikan, adapun negara yang menempati TTCI urutan pertama yakni Spanyol. Jika
dilihat secara lebih teliti, Spanyol memiliki pencapaian yang baik pada pilar keenam dan
kesepuluh hingga keempat belas. Walaupun dapat diperdebatkan, kenyataan ini dapat
dikatakan benar adanya. Di tahun 2014, Uni Eropa merupakan kawasan dengan index
parisiwata terbaik dan Spanyol menempati urutan pertama di Uni Eropa, terkhususnya
dalam hal jumlah destinasi wisata terbanyak.22 Di samping itu, penulis berpendirian bahwa
TTC merupakan sesuatu yang sangat sulit diukur sehingga data-data yang disajikan dari
TTCI Report 2015 tidak mutlak benar tetapi akurat dan mendekati kebenaran. Mengapa
tidak mutlak benar karena masing-masing pilar memiliki bobot yang setara. Padahal, di
lapangan antara pilar yang satu dan yang lain memiliki bobot yang berbeda. Pertimbangan
dan preferensi wisatawan antara pilar yang satu dan yang lainnya tidak bisa disamaratakan.
Belum lagi dikarenakan kompleksitas pilar yang ada sehingga informasi yang diperoleh
juga tidak akurat. Informasi bahkan diperoleh dari badan-badan yang berbeda-beda
sehingga memiliki interpretasi yang berbeda pula. Informasi dari pihak kedua bahkan
ketiga seperti ini membuat data yang diperoleh bersifat “kasar” dan tidak “bersih”.
Adapula variabel-variabel yang tidak dapat diukur atau bahkan tidak diketahui sama
sekali. Tetapi, TTCI 2015 sudah cukup memberikan pendekatan yang maksimal dan dapat
dikatakan terbaik di dalam menyajikan variabel-variabel yang diperlukan. TTC pada
dasarnya merupakan sebuah variabel yang sulit dikuantifikasikan.
1.2 Adapting to Uncertainty – The Global Hotel Industry
Seiring dengan perkembangan jaman, industri perhotelan, dan segala bisnis yang
berurusan dengan travel dan hospitality terus harus beradaptasi menghadapi berbagai
instabilitas dan permasalahan. Dunia perhotelan merupakan suatu industri yang kompleks,
22 ‘Tourism Statistics/Statistics Explained,’ Eurostat (daring), November 2015, <http://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php/Tourism_statistics>, diakses pada 9 Maret 2016.
19
yang beroperasi secara global, dengan network yang cukup luas dan sangat tergantung
kepada konsumen. Oleh karena itu, industri perhotelan ini riskan akan berbagai resiko-
resiko unik. Dalam chapter 1.2 Adapting to Uncertainty - The Global Hotel Industry ini,
Oaten, Le Quesne, dan Segal mencoba mengeksplorasi empat contoh permasalahan
demand dalam industri tersebut, khususnya yang mengakibatkan perjolakan pada
fenomena demand perhotelan. Yakni, economic violatility, instabilitas politik, terorisme
dan pandemik. Mereka juga menjabarkan pendekatan-pendekatan untuk mengatasi
ketidakpastian tersebut.
Sebelumnya, perlu dijabarkan terlebih dahulu bagaimana uniknya isu-isu yang
harus diatasi oleh industri perhotelan. Kepengurusan perusahaan-perusahaan hotel sangat
jelas memerlukan sebuah sistem struktur yang cukup rumit. Kesuksesan mereka tidak
hanya dipengaruhi oleh siklus-siklus makro-ekonomi dan tren-tren konsumen, tetapi juga
oleh berbagai sektor-sektor industri yang berhubungan dengannya secara paralel.
Contohnya adalah birojasa travel/wisata, industri penerbangan/maskapai, timeline dan tren
demand konsumen, dan inovasi-inovasi produk.
Dampak Guncangan Ekonomi
Siapa yang dapat melupakan betapa besarnya dampak krisis ekonomi global pada
dunia, seperti yang terjadi pada 2011 yang mengakibatkan turunnya nilai mayoritas mata
uang dunia. Semua bidang industri pasti merasakan dampak dari krisis tersebut. Industri
perhotelan tidaklah lain. Kondisi ekonomi negara dan dunia merupakan faktor utama yang
mempengaruhi demand perhotelan. Hal ini dikarenakan pengeluaran masyarakat
konsumen bergantung secara garis lurus kepada tingkat GDP negara, dimana tentunya
pada masa resesi demand akan turun dan sebaliknya. Resesi tersebut dapat berdampak
secara perlahan, dikarenakan sifat kontrak dan pre-booking perhotelan, tetapi yang dapat
dipastikan adalah pemulihan yang cukup susah dan lamban industri perhotelan jika resesi
terjadi.
Jika menganalisis sejarah resesi yang terjadi pada berbagai kawasan dalam dunia,
terlihat adanya satu pola. Dimana, resesi menyebabkan sensitivitas terhadap harga
penginapan hotel dan penurunan demand terhadap penginapan tersebut. Hal ini diikuti
dengan hotel-hotel menggunakan taktik-taktir seperti pemberian diskon dalam upaya untuk
meningkatkan kembali demand. Pemulihan dari resesi juga tergantung kepada demand,
dan terdapat pula sebuah fenomena dimana booking hotel justri mencapai puncak pada
20
masa-masa mendekati puncak, ketika perusahaan-perusahaan belum dapat meningkatkan
harga.
Resesi juga dapat meninggalkan industri perhotelan riskan terhadap disrupsi-
disrupsi sekunder. Dalam buku, diberikan contoh seperti dalam Arab Spring. Kawasan
Afrika Utara pada Januari 2010 sebenarnya telah mencapai pemulihan, tetapi pecahnya
Arab Spring mengakibatkan penurunan terdrastis yang pernah terjadi pada kawasan
tersebut. Diberikan pula contoh krisis Eurozone, yang memberikan dampak sama tapi tidak
separah itu pada performa perhotelan Eropa. Krisis ini mengakibatkan pemulihan pasar
perhotelan Eropa berlangsung secara stagnan sampai 2013, tidak seperti pada Amerika
Serikat yang sudah membaik sejak Q3 2011. Contoh-contoh ini membuktikan bagaimana
penurunan ekonomi merupakan salah satu tantangan terbesar demand dari sisi operasional
dan perspektif investasi, karena memberikan efek besar pada pemasukan dan kapital
pengeluaran nasional. Industri perhotelan harus dapat menyeimbangi kebutuhan
pemasukan jangka pendek dengan strategi jangka panjang seperti pemberian harga, servis,
dan tingkat produk.
Guncangan Politik
Shock secara politik memberikan dampak yang lebih kecil pada performa
perhotelan. Namun, efek-efek dari permasalahan politik juga bergantung kepada pengaruh
liputan media, persepsi konsumen, dan pengalaman travel diplomatik. Efek dari shock
politik cenderung berkonsentrasi pada lokasi kejadian permasalahan politik tersebut saja,
sehingga terisolasi. Khususnya jika daerah-daerah destinasi lain dalam negara konflik
tersebut memiliki jalur transpor internasional, sehingga para pendatang dapat dengan
mudah tidak harus melewatinya.
Contohnya adalah pada negara Thailand yang telah menderita dari berbagai
guncangan politik selama dekade terakhir ini, dengan diadakannya kudeta-kudeta militer
yang mengakibatkan penutupan temporer Bandara Internasional Suvarnabhumi di
Bangkok. Pada setiap kasus, didapatkan analisis dari STR Global data bahwa reservasi
hotel Bangkok terus mengalami penurunan pada tingkat yang lebih curam daripada pasar
nasional, dengan pasar pada Phuket dan Koh Samui mengalami penurunan yang sangat
kecil. Efek guncangan politik di Yunani pun menampilkan kecenderungan yang sama.
Pada 2008, Athena menjadi pusat terjadinya kerusuhan dan gerakan protes anti-austerity.
Penurunan aktivitas perhotelan pun hanya terjadi secara besar-besaran pada ibukota
21
tersebut. Konflik sosial yang berkepanjangan yang ditambah dengan ketidakstabilan
ekonomi mengkibatkan Athena baru memulai pemulihan pada 2013, tiga tahun setelah
saingan-saingan destinasi lain seperti Barselona, Lisbon, Milan dan Roma. Pasar
perhotelan secara garis besar tidak begitu terpengaruh dari konflik tersebut. Pola yang
terjadi pada Turkey pada saat Protes Gezi Park pun sama. Salah satu pengecualian dari
pola ini adalah Mesir. Pada Arab Spring di 2011, tingkat occupancy (sewa unit hotel) turun
sebesar 30% di Kairo, tetapi resor-resor besar seperti yang dimiliki Sharm El Shelkh dan
Hurghada pun menderita dan turun pada tingkat 39%. Hal ini dapat diperkirakan
disebabkan oleh media internasional yang membesar-besarkan daerah tersebut sebagai
tidak stabil, walau badan travel diplomatik telah mendeklarasikan daerah tersebut sebagai
aman. Sebaliknya, demand tersebut lalu berpindah kepada daerah UAE yang
occupancynya naik sebesar 8% karena dianggap sebagai destinasi alternatif yang lebih
aman. Secara garis besar penulis berpendapat bahwa dampak dari guncangan politik
bergantung kepada tingkat konflik tersebut, dan melalui analisis sesuai dengan penelitian
Deloitte, guncangan-guncangan terhadap industri perhotelan oleh karena permasalahan
politik dapat memulih secara cepat. Selama, permasalahan tersebut tidak mempengaruhi
faktor-faktor demand secara berlebihan, seperti ekonomi, pengeluaran konsumen, persepsi
destinasi, produk/servis, dan akses.
Guncangan Teroris
Chapter ini juga menganalisis fenomena terorisme dan dampaknya kepada industri
perhotelan. Sejak peristiwa 9/11, perang dunia pada terorisme menjadi isu yang kian
menjadi fokus semua negara. Dengan berkembangnya berbagai gerakan-gerakan terorisme
seperti Al-Qaeda pada dekade terakhir maupun ISIS pada baru-baru ini, kita sudah dapat
menganalisis pengaruh dan pola pemulihan gerakan-gerakan tersebut pada pasar,
khususnya industri perhotelan. Menggunakan analisis Deloitte dan STR Global lagi,
didapatkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan dari aksi terorisme telah
memendek sejak 15 tahun terakhir. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, faktor utama yang
dapat berpengaruh paa tingkat occupancy dari permasalahan terorisme/politik adalah
ancaman packaging media terhadap tingkat keparahan konflik tersebut.
Kembali pada contoh 9/11, didapatkan bahwa tingkat occupancy di New York
membutuhkan 34 bulan untuk mencapai pemulihan dan beroperasi secara normal lagi.
22
Untuk pasar nasional yang lebih luas, dibutuhkan 45 bulan, dikarenakan penambahan
resesi ekonomi. Untuk perbandingan, Madrid berhasil mencapai pemulihan setelah 12
bulan dari tragedi bom kereta pada 2004, dan London dalam 9 bulan setelah serangannya
pada July 2005. Kejadian Boston Marathon Bombing pun tidak begitu mempengaruhi
tingkat occupancy perhotelan, pada tingkat nasional maupun kota. Didapatkan bahwa
umumnya dampak guncangan terorisme pada perhotelan terjadi secara jangka-pendek saja.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Tren tersebut dapat diattribusikan pada
peningkatan planning korporat mengenai hal tersebut, seperti perkembangan program
pemulihan dan protokol risk management, sistem revenue, dan teknologi komunikasi real-
time. Adapun pendapat bahwa seiring dengan perkembangan waktu, masyarakat
internasional mulai membudayakan kultur baru yang berusaha memberikan respon yang
tidak panik dan menghadapi terorisme sebagai “normal”.
Pandemik
Fenomena keempat yang dapat mempengaruhi demand pada dunia perhotelan ini
adalah pandemik, atau penyakit-penyakit yang menyebar secara luas. SARS, flu babi dan
Ebola tentunya masing-masing pernah mengakibatkan ketakutan secara global. Ancaman
penularan terhadap penyakit eksotis yang belum dapat disembuhkan menjadi isu yang
sangat menyeramkan bagi para traveller yang ingin kesana. Walau pandemik dapat
mengakibatkan penurunan yang jauh lebih curam daripada guncangan-guncangan lainnya,
waktu pemulihan justru cenderung terjadi secara paling cepat.
Deloitte dan STR Global menganalisis bahwa pandemik SARS pada 2002 hingga
2004 mengakibatkan penurunan occupancy pada Asia Utara sebesar 10%, tetapi dapat
mencapai pemulihan hinggan tingkatan normal sebelum pandemik terjadi dalam waktu
satu tahun. Bandingkan waktu pemulihan tersebut dengan contoh-contoh guncangan
ekonomi yang telah dijabarkan sebelumnya, yang jauh lebih lamban. Seperti guncangan
politik, daerah dampak fenomena tersebut pun juga tidak menyebar dan hanya
berkonsentrasi pada daerah kejadian saja. Contoh-contoh lain yang membuktikan pola ini
adalah seperti ancaman ADR pada 2003 yang berhasil diatasi dalam waktu hanya 3 bulan,
ataupun epidemik flu babi pada 2009 yang walau mengakibatkan penurunan 50%
occupancy di Kota Meksiko pada awal 2009, pada 2010 angka-angka occupancy sudah
mendekati normal lagi. Karena pandemik cenderung hanya berjangka pendek dan
23
terlokalisasi, manajemen terhadap penanganannya lah yang harus difokuskan agar dapat
memaksimalkan pemulihan pada industri.
Empat guncangan diataslah yang diberikan sebagai contoh faktor-faktor pengaruh
dalam uncertainty atau ketidakpastian dalam industri perhotelan. Walau berhasil
menjelaskan pola-pola fenomena yang terjadi dalam dunia perhotelan, chapter ini
melupakan faktor-faktor lain dalam demand, yang tidak spesifik kepada dunia perhotelan
tetapi tetaplah amat relevan. Demand uncertainty sendiri didefinisikan sebagai kurangnya
informasi dan pengetahuan untuk membuat keputusan, karena kesusahan konfigurasi
operasi internal perusahaan, lingkungannya, dan hubungan kompleks diantaranya.23
Ketidakpastian ini dapat tercipta karena berbagai hal, diantaranya adalah karena sikap
musiman produk perusahaan, perkembangan teknologi, ataupun perubahan dalam
kepentingan/ketertarikan konsumen. Dalam ilmu ekonomi, dijabarkan bahwa uncertainty
lingkungan dibagi atas empat, yaitu makro-environmental, competitive, market and
demand, dan technology uncertainty.24 Menurut saya, keempat faktor tersebut bersama
dengan faktor ketidakpastian sikap konsumen pantas untuk dibahas lebih lanjut dalam
menganalisis adaptasi industri perhotelan pada demand uncertainty. Dalam dunia kini
terlihat bahwa industri perhotelan merupakan suatu industri bernilai bilyaran, dengan
tingkat kompetitif yang sangat tinggi diantara satu perusahaan dengan lainnya. Hal
tersebut, bersama dengan kecenderungan konsumen, tidak kalah berpengaruh daripada
faktor-faktor lain seperti guncangan politik dalam ekonomi perhotelan.
How to Plan for the Unpredictable
Melalui perspektif Deloitte, industri perhotelan memiliki sistem yang
interconnected, dengan lingkungan yang dinamis. Industri perlu selalu siap menghadapi
berbagai interupsi bisnis. Oleh karena itu diperlukan strategi manajemen yang
mempertimbangkan berbagai aspek, yang dibagi menjadi enam, yaitu:
1. Pahami semua faktor
Industri perhotelan sangat dependen terhadap berbagai rangkaian sistem kompleks
seperti pada sosio-ekonomi, politik, dan lingkungan. Dengan dapat mengidentifikasi
semua ancaman utama, perusahaan dapat mengembangkan sebuah profil resiko-resiko
23 Collis, David J. , The Strategic Management of Uncertainty, European Management Journal 10, no. 2 (June 1992): 125–135.
24 L. Fahey, V.K. Narayanan, Macroenvironmental Analysis for Strategic Management, West, 1986, hal. 168-169
24
yang spesifik untuk bisnis mereka. Ini adalah tahap pertama dalam merumuskan sebuah
strategi manajemen.
2. Expect the Unexpected
Merencanakan sistem untuk menghadapi guncangan-guncangan yang tidak dapat
diprediksi seharusnya menjadi kunci dari framework risk manajemen sebuah perusahaan.
Dengan mengidentifikasi dan mengukur tingkat kemungkinan dan kerusakan resiko,
perusahaan dapat merancang sebuah rencana sebagai respon jika kalau ancaman tersebut
benar terjadi. Didapatkan contoh seperti erupsi gunung Iceland pada April 2010 yang
memberikan dampak polusi udara secara global. Dalam hal seperti ini, rancangan bisnis
atau continuity plan sangat dibutuhkan guna meminimalisir dampak.
3. Respon Cepat Terhadap Peluang-Peluang Baru
Bisnis yang dapat bertahan lama harus dapat bergerak cepat dalam beradaptasi
pada kondisi-kondisi baru dan dapat mempergunakan berbagai tantangan sebagai peluang.
Sangat lah penting untuk memiliki pendekatan entrepreneur dan strategis dalam dewasa
kini, agar dapat memajukan bisnis dalam pasar dan meningkatkan valuenya.
4. Keterlibatan dengan Regulator
Interaksi yang aktif dengan pemerintahan dan para pembuat kebijakan merupakan
aspek yang penting dalam strategi perusahaan, untuk dapat membuka jalur alternatif untuk
dukungan finansial ataupun fiskal. Hubungan yang baik dapat sangat menguntungkan
perusahaan jika suatu guncangan terjadi, dengan pemerintah dapat menawarkan hibah atau
pinjaman untuk masa pemulihan industri.
5. Kolaborasi dalam Mempromosikan Destinasi
Perusahaan dapat ditolong secara besar dengan bantuan pemerintah dalam
mempromosikan daerah destinasi mereka. Melihat kecenderungan media untuk
mengakibatkan turunnya demand terhadap daerah-daerah perhotelan, pemerintah dapat
digunakan untuk melobi negara-negara asing untuk mencabut travel ban atau mendukung
publikasi keamanan daerah-daerah yang tidak terguncang oleh permasalahan. Kooperasi
diantara pemerintah dan industri turisme sangat penting, khususnya pada masa
ketidakstabilan politik, untuk menjaga komunikasi dan penyebaran pesan yang jelas dari
industri pada konsumen.
25
6. Pemulihan dan Kapitalisasi
Seringkali perusahaan salah dalam merancang strategi manajemennya, yakni
mereka selalu berfokus kepada bagaimana dapat mengatasi suatu guncangan, tanpa
melihat peluang untuk mengambil keuntungan darinya. Industri dapat keluar ari suatu
permasalahan dengan posisi yang lebih tinggi dan kuat dari saat ia masuk. Tentu, investasi
sangat susah untuk didapatkan ketika performa sedang dalam keadaan kritis, tetapi
terdapat beberapa peluang dalam permasalahan. Contohnya adalah bagaimana masa-masa
dengan demand rendah dapat dipergunakan untuk reposisi atau pemulihan melalui re-
branding ataupun investasi kapital.
Bisa disimpulkan bahwa kesuksesan industri perhotelan bergantung pada
kapabilitasnya untuk beradaptasi dengan ketidakpastian (uncertainty).
Kemampuan untuk siap menangani berbagai permasalahan adalah vital untuk dapat
menghadapi guncangan dan menjaga performa perusahaan. Agar dapat bertahan dalam
lingkungan ini, perusahaan harus dapat merancang sebuah sistem risk management yang
baik.
1.3 How to Re-emerge as a Tourism Destination after a Period of Political Instability
Keadaan politik suatu negara merupakan salah satu poin penting dalam menjamin
keberlangsungan sektor pariwisata di suatu negara. Negara yang mengalami ketidak-
stabilan politik tidak dapat menghindari turunnya minat pariwisata terutama dari jumlah
turis internasional maupun pemasukan dari sektor pariwisata. Salah satu faktor penyebab
turunnya jumlah kedatangan pelancong asing adalah pemberitaan media massa mengenai
konflik politik, dan juga berbagai cerita dari pengalaman buruk yang berasal dari keluarga
maupun rekan yang pernah mengunjungi negara tersebut.
26
Turunnya jumlah peminat pariwisata dan ketakutan pada pertanggugan jawaban
hukum membuat banyak agen dan penyelenggara tur memilih untuk mengurangi jumlah
kunjungan wisata ke wilayah yang tidak stabil. Sebagai hasil dari faktor-faktor ini
menyebabkan terebntuknya lingkaran yang tak berujung penurunan tingkat wisata:
ketidaksatbilan politik berdampak pada penurunan minat di sektor pariwisata, investasi
swasta menurun disebabkan oleh ketidakpercayaan investor untuk menanamkan investasi
akibat situasi politik, dan investasi publik (yang berasal dari pemerintah ) menurun
diakibatkan oleh fokus terhadap permasalahan keamanan menyebabkan anggaran belanja
dialihkan kepada prioritas yang lebih penting (pertahanan kemanan). Hal ini membuat
kesiapan negara dalam mempersiapkan diri sebagai destinasi wisata menurun dan
kedepannya membuat daya tarik wisata negara ini di mata turis internasional juga
mengalami penurunan.
Dampak dari ketidakstabilan politik terhadap sektor pariwisata juga dapat
menyebar melewati batas negara, terutama apabila sebuah negara dianggap sebagai bagian
dari rencana perjalanan. Sebagai contoh, pariwisata Maldives yang merasakan dampak dari
ketidakstabilan politik di Sri Lanka, terutama karena Maldives dianggap sebagai bagian
dari tur perjalanan ke Sri Lanka. Selain itu terdapat pula dampak positif yang dirasakan
oleh negara tetangga akibat terjadinya ketidakstabilan politik, misalnya terjadinya
peningkatan jumlah turis di negara Qatar dan UEA serta Yunani, Cyprus dan Turki saat
terjadiya ketidakstabilan keadaan politik di wilayah Timur Tengah lainnya. Hal ini terjadi
karena negara-negara di atas dianggap sebagai alternatif destinasi wisata untuk merasaka
suasana Timur Tengah dan wisata budaya kuno. Pendapatan dari sektor wisata dapat
mengalami penurunan yang lebih drastis dibandingkan dengan turunnya jumlah turis yang
datang. Hal ini disebabkan saat terjadinya ketidakstabilan politik akan membuat transaksi
jual-beli yang dilakukan oleh wisatawan menjadi berkurang. Edangkan bagi wisatawan
domestik cenderung memilih untuk menyimpan uang sebagai persiapan untuk menghadapi
keadaan ekonomi kedepannya yang mungkin saja juga mengalami ketidastabilan akibat
dari goncangan politik.
Dampak negatif ketidakstabilan politik yang tidak dapat dihindari oleh sektor
pariwisata membutuhkan peran pemerintah dalam usaha untuk menjamin bahwa sektor
pariwisata akan secara perlahan dapat dihidupkan kembali apabila dilakukan tindakan
untuk menjamin hal ini. Negara dapat mengambil langkah-langkah selama berlangsungnya
krisis, faktor kemanan dan keselamatan berusaha untuk dikembalikan seperti semula, dan
27
untuk mendorong kembali sektor pariwisata di saat keadaan di negara tersebut teah
kembali normal. Langkah-langkah ini harus ditargetkan kepada kelompok-kelompok
penting yang dapat mempengaruhi wisatawan memutuskan untuk mengunjungi suatu
destinasi wisata, yaitu wisatawan itu sendiri, media massa, bisnis pariwisata, dan
pemerintah negara dari wisatawan yang dianggap potensial.
Selama periode krisis tersebut, prioritas utama yang harus dilakukan adalah untuk
menunjukkan kemampuan krisis manajemen untuk memperkecil kerugian, menjamin
keselamatan turis dan membatasi pemberitaan media yang bersifat negatif. Krisis
manajemen ini termasuk pencarian pencarian secara efektif dan usaha penyelamatan,
menyediakan tempat perlindungan yang aman bagi para turis, memperketat tingkta
keamanan di kawasan pariwisata dan menyediakan fasilitas untuk memudahkan proses
pemulangan wisatawan asing ke negara asal. Tindakan penguranangan kepanikan dan
krisis manajemen yang dilakukan secara baik akan memiliki dampak yang besar terhadap
citra destinasi wisata dan tingkat kunjungan pariwisata kedepannya. Perencanaan krisis
manajemen yang telah direncanakan sebelumnya, jauh lebih efektif dibandingkan dengan
respon reaktif yang dilakukan sesaat setelah terjadinya ketidakstabilan politik.
Pemeirntah juga perlu melakukan langkah manajemen terhadap pemberitaan
(Perception management) media masa, terutama apabila pemberitaan tersebut bersifat
negatif dan melebih-lebihkan kondisi maupun keadaan mengenai destinasi wisata.
Perception management harus dlakukan di saat tingkat ketidakamanan yang sebenarnya
terjadi lebih parah dari yang sebenarnya, dan disaat keamanan telah dikembalikan seperti
sebelumnya. Hal yang dapat dilakukan adalah membangun kampanye yang memiliki
dampak yang besar dan terutama memfokuskan kepada hal-hal yang menjadi perhatian
para wisatawan. Kampanye ini juga dapat mengarahkan kepada pengurangan konflik dan
mempromosikan pengamanan dan kenyaman di wilayah lain.
Pengembalian minat wisatawan juga dapat dilakukan dengan pemberian ‘insentif’
kepada para wisatawan, ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pelaku industri
pariwisata. ‘Insetntif’ dapat dilakukan dengan mengurangi harga dair barang dan jasa yang
ditawarkan di dalam pariwisata, seperti misalnya diskon biaya akomodasi dan transportasi.
Pemerintah juga dapat memberikan dukungan terhadap bisnis-bisnis yang berkaitan
dengan pariwisata untuk mengembalikan kembali giat bisnis pariwisata pasca
ketidakstabilan politik melalui kebijakan fiskal, bunga pinjaman rendah. Cara lain adalah
dengan mengalihkan fokus target kepada wisatawan domestik melalui promosi, namun hal
28
ini tidak sepenuhnya dapat megembalikan kerugian yang ditimbulkan oleh berkurangnya
wisatawan asing dikarenakan wisatawan asing memiliki tingkat pembelajaan yang lebih
besar. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah mencari segment wisatawan baru yang tidak
mudah terpegaruh dampak ketidastabilan politik, ii termasuk wisatwan yang berada di
kawasan sekitar yang melihat secara lebih dekat mengenai situasi sebenarnya yang terjadi
di negara kita dan memiliki kepekaan terhadap tarif pariwisata. Usaha ini juga daoat
dilakukan dengan menggunakan kemajuan tekonologi, seperti e-booking dan media sosial,
yang memfasilitasi hubungan dengan para wisatawan dan memudahkan akses informasi.
Pemerintah juga dapat mengembangkan daerah wisata agar mengurangi resiko terkena
dampak konflik ataupun kerusuhan yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik.
Berbagai usaha untuk mengembalikan ataupun merubah sektor pariwisata
bergantung pada perencanaan yang baik dan koordinasi antara pihak-pihak yang terkait di
dalamnya, serta kemmapuan untuk membiayai infrastruktur pendukung pariwisata dan
usaha untuk melakukan pemasaran sektor ini. Pihak yang memiliki otoritas di bidang
pariwisata harus bisa terlibat di dalam aktifitas manajemen dan perencanaan pengentasan
bencana. Oleh sebab itu untuk mendukung peningkatan keamanan dan keselamatan di
bidang pariwisata, The World Tourism Organization (UNWTO) menyarankan kepada
negara-negara untuk mengembangkan kebijakan di tingkat nasional mengenai
keselamatan di sektor pariwisata bersamaan dengan pencegahan resiko bagi para
wisatawan. Salah satu langkah umum dalam mengantisipasi resiko yang terjadi adalah
mendirikan cadangan pendanaan pemulihan pariwisata yang dapat membantu pemulihan
pariwisata apbila sewaktu-waktu mengalami kemunduran akibat ketidakstabilan politik
yang terjadi.
Pihak pemerintah memainkan peran penting dalam usaha membangkitkan kembali
sektor pariwisata yang terkena dampak ketidakstabilan yang terjadi di suatu negara. Hal ini
menggambarkan mengapa pemerintah terlibat di dalam pariwisata, hanya pemerintahlah
yang memiliki kemampuan untuk menyediakan kestabilan politik, kerangka kemanan,
hukum, dan finansial yang sangat dibutuhkan oleh sektor pariwisata.25 Selain itu, dapat
pula dilihat adanya pengaruh political forces di dalam sektor pariwisata. Political forces
dapat berupa dukungan pemerintah terhadap infrastruktur yang mendukung sektor
pariwisata, kebijakan mengenai perencanaan pariwisata, hubungan diplomatik yang
terjalin antara negara wisaatawan dan negara yang menjadi tujuan wiasatawan, hal ini 25 James Elliot. 2002.Tourism : Politics and Public Sector Management, Routledge, London, 2
29
mempengaruhi lingkungan pengembangan sektor wisata di suatu negara.26 Kondisi
ketidakstabilan politik yang menyebabkan pembangunan dan daya pikat pariwisata satu
negara mengalami penurunan, merupakan salah satu contoh pengaruh pemerintah di dalam
menjaga kestabilan sektor pariwisata dan untuk itu dibutuhkan peran pemerintah pula
untuk membangkitkan kembali sektor ini, yang diwujudkan melalui political forces.
1.4 Global Air Passenger Markets: Riding Out Periods of Turbulence
Salah satu isu dalam daya saing travel dan turisme adalah pengguna layanan
penerbangan. Data menunjukkan bahwa peningkatan penumpang layanan penerbangan
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Antara periode 1950 hingga 1970, pengguna
layanan penerbangan meningkat 10% akibat dari penemuan mesin jet yang mampu
menghemat biaya penerbangan hingga 5% per tahun. Selain itu, tren positif penggunaan
layanan penerbangan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang yang mengakibatkan meningkatnya jumlah kelas menengah di negara-negara
tersebut. Peningkatan jumlah kelas menengah di negara-negara berkembang tersebut
menyebabkan perjalanan udara yang semakin bisa di jangkau oleh banyak orang.
26 Personal, Social, and Humanities Education Section Education Bureau, Manual on Module I : Introduction to Tourism, The Government of the Hong Kong Special Administrative Region, Hong Kong, 4.
30
Banyak hal yang dapat mempengaruhi jumlah pengguna layanan penerbangan.
Sejak periode 1950, terdapat empat kejadian besar yang cukup signifikan mempengaruhi
tren positif jangka panjang dunia penerbangan. Yang pertama adalah krisis minyak yang
terjadi pada tahun 1979 di Amerika Serikat. Krisis minyak tersebut terjadi menyusul
menurunnya produksi minya akibat terjadinya Revolusi Iran pada tahun yang sama. Protes
besar-besaran yang terjadi di Iran menyebabkan terganggunya sektor minyak Iran. Selain
itu, pemerintahan yang berpindah tangan dari Reza Pahlevi ke Ayatollah Khomeini
membuat kebijakan ekspor minyak ditangguhkan27. Selain itu pemogokan lebih dari
37.000 pekerja kilang minyak di Iran menyebabkan penurunan produksi minyak mentah
Iran yang awalnya 6 juta barel per hari menjadi hanya 1,5 juta barel per hari.28 Namun,
krisis minyak tahun 1979 sebenarnya lebih dipengaruhi oleh kepanikan masyarakat
daripada penurunan pasokan minyak itu sendiri. Secara statistik, pada tahun 1979 pasokan
minyak dunia hanya mengalami penurunan sebesar 4%29. Selain itu, ketegangan hubungan
antara Amerika Serikat dan Iran yang sebelumnya merupakan sekutu dekat juga
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kepanikan di dalam masyarakat yang
akhirnya menyebabkan krisis minyak tersebut. Kejadian tersebut menyebabkan stagnansi
dalam trend positif dunia penerbangan hingga pertengahan periode 1980.
Kemudian, periode 1990 terjadi Perang Teluk Kedua yang melibatkan Irak dan
Kuwait. Perang tersebut dimuali dengan invasi Irak ke dalam teritori Kuwait akibat
pelanggaran kuota minyak oleh Kuwait, Arab, dan Uni Emirat Arab sehingga produksi
melimpah, akibatnya harga minyak anjlok. Irak yang waktu itu sangat mengandalkan
pendapatan negara dari sektor minyak sangat terpukul dengan peristiwa ini. Irak waktu itu
sedang membangun negaranya yang rusak akibat perang dengan Iran. Sumber dana
diandalkan dari minyak. Selain dampak langsung yang dirasakan oleh negara peserta
perang, Perang Teluk Kedua juga mengakibatkan gangguan ekonomi di banyak negara
berkembang. Beberapa sektor yang terkena dampak dari Perang Teluk Kedua adalah
import minyak, arus uang, dan hilangnya pendapatan eksport dan pariwisata.30 Dalam 27 "1979: Shah of Iran flees into exile”, BBC (online), <http://news.bbc.co.uk/onthisday/hi/dates/stories/january/16/newsid_2530000/2530475.stm>, diakses: 8 Maret 2016.
28 "Iran: Another Crisis for the Shah". Time (online), <http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,946149,00.html>, diakses: 8 Maret 2016.
29 “1970s: Education”, National Association of Convenience Stores (online), <http://www.nacs50.com/decades/70s/>, diakses: 8 Maret 2016.
30 "The Impact of the Gulf Crisis on Developing Countries". Overseas Development Institute, 2011.
31
kasus ini, industri pariwisata atau khususnya industri penerbangan mengalami pukulan
telak dengan penurunan jumlah penumpang transportasi udara yang sebelumnya
mengalami tren positif pasca bangkit dari krisis minyak tahun 1979.
Kemudian penurunan jumlah penumpang pengguna transportasi udara terjadi pasca
terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Center yang berlokasi di New
York, Amerika Serikat pada 11 September 2001. Pasca terjadinya kejadian tersebut,
jumlah kunjungan ke Amerika Serikat menurun derastis. Pada tahun-tahun sebelum
terjadinya serangan 9/11, pengunjung Amerika Serikat selalu mengalami trend posititif.
Pada tahun 2000 sendiri, terdapat sekitar 6,5 juta pengunjung Amerika Serikat. Namun
pasca terjadinya serangan 9/11, pengunjung Amerika Serikat mengalami menurunan yang
cukup signifikan hingga ke angka 4 juta pengunjung dan baru dapat kembali ke tren positif
setelah tahun 2004 (seperti dapat dilihat pada table 1).31 Selain dampak yang dialami oleh
Amerika Serikat, serangan 9/11 juga berdampak cukup signifikan terhadap dunia turisme
khususnya dunia penerbangan dengan terjadinya jumlah pengguna layanan jasa
penerbangan.
31 Derekh Cornwell & Bryan Roberts, “The 9/11 Terrorist Attack and Overseas Travel to the United States: Initial Impacts and Longer-Run Recovery”, Office of Immigration Statistics: Working Paper, 2010, hal. 2.
32
Tabel 1: Jumlah Kunjungan ke Amerika Serikat32
Kejadian yang member pukulan terhadap industri penerbangan khususnya
penurunan jumlah pengguna layanan penerbangan selanjutnya adalah krisis finansial
global yang terjadi pada tahun 2008. Krisis ini merupakan krisis finansial terburuk yang
terjadi sejak Great Depression yang terjadi pada periode 1930-an. Krisis financial pada
tahun 2008 ini memiliki dampak global yakni melambatnya pertumbuhan ekonomi baik
negara maju maupun berkembang. Krisis ini bedampak cukup signifikan bagi
perekonomian Amerika Serikat dengan penurunan produksi barang dan jasa sebesar 6%,
peningkatan jumlah pengangguran sebesar 10,1% dan stagnansi Pendapatan Domestik
Bruto (PDB) Amerika Serikat.33
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa penurunan jumlah pengguna jasa
penerbangan dan penurunan tren positif terjadi akibat beberapa krisis yang memiliki
dampak sacara global. Namun, krisis sendiri merupakan sesuatu yang tidak dapat
diprediksi. Upaya untuk mempertahankan tren positif industri penerbangan salah satunya
32 Derekh Cornwell & Bryan Roberts, “The 9/11 Terrorist Attack and Overseas Travel to the United States: Initial Impacts and Longer-Run Recovery”, Office of Immigration Statistics: Working Paper, 2010, hal. 2.
33 Moira Herbst, "Business Week-Unemployed lose with hour and wage cuts", BusinessWeek (online), <www.businessweek.com/bwdaily/dnflash/content/jul2009/db20090710_255918.htm>, diakses: 8 Maret 2016.
33
yang paling berpengaruh adalah kebijakan terkait industri penerbangan. Kebijakan yang
tambal sulam hanya akan menyusahkan industri penerbangan untuk bangkit pasca
menghadapi krisis yang tak dapat diprediksi. Kebijakan pemerintah juga dapat merangsang
perjalanan ke suatu tempat yang tentunya akan membawa dampak positif bagi industri
penerbangan. Yang menjadi kunci adalah kebijakan yang tepat yang memungkinkan
industri untuk secepatnya bangkit dari krisis dan kebijakan yang dapat merangsang
pertumbuhan pariwisata yang otomatis akan meningkatkan penggunaan jasa transportasi
udara.
34