pengaruh unsur-unsur ekstrinsik terhadap diksi...
TRANSCRIPT
1
PENGARUH UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK
TERHADAP DIKSI PERIBAHASA ARAB DAN
INDONESIA
(ANALISIS SASTRA BANDING)
Laporan Penelitian Kolektif
Diajukan kepada Lembaga Penelitian (LEMLIT)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
Dr. Yani‟ah Wardani, M.Ag
Dr. Cahya Buana, MA
LEMBAGA PENELITIAN (LEMLIT)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1434 H/ 2012 M
2
LEMBAR PENGESAHAN
Ketua Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan ini menyatakan, bahwa penelitian:
Judul : Pengaruh Unsur-unsur Ekstrinsik Terhadap Diksi
Peribahasa Arab dan Indonesia (Analisis Sastra
Bandingan)
Penulis : Dr. Yani‟ah Wardani, M.Ag
Dr. Cahya Buana, MA
telah disetujui dan disahkan sebagai laporan kegiatan penelitian kolektif.
Demikian pengesahan ini dibuat, untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta,
Tanggal : 21 Nopember 2012
Ketua LEMLIT,
Dr. Jajat Burhanudin, MA
3
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Judul Penelitian
PENGARUH UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK TERHADAP DIKSI
PERIBAHASA ARAB DAN INDONESIA (ANALISIS SASTRA
BANDINGAN)
B. Jenis Penelitian
Kolektif
C. Peneliti
Penelitian dilaksanakan oleh:
1. Dr. Yani‟ah Wardani, M.Ag
2. Dr. Cahya Buana, MA
D. Bidang Penelitian
Bahasa dan Sastra Arab
E. Bentuk Penelitian
Kepustakaan (Kualitatif)
F. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Nopember 2012
G. Dana Penelitian
Dana penelitian bersumber dari Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebesar Rp. 25.000.000;
H. Penanggung jawab
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحمي
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-
Nya sehingga penelitian tentang “PENGARUH UNSUR-UNSUR
EKTRINSIK PERIBAHASA (AMTSAL) DALAM BAHASA ARAB DAN
INDONESIA: KAJIAN SASTRA BANDING” ini dapat diselesaikan tepat
pada waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada baginda kita afshahu al ‗Arab, Nabi Muhammad SAW
Penelitian kolektif ini mengangkat tentang kajian banding,
bagaimana karakteristik Amtsal Arab dan Peribahasa Indonesia, adakah
persamaan dan perbedaan antara keduanya, dan mungkinkah ada
keterpengaruhan peribahasa Indonesia oleh Peribahasa Arab, berdasarkan
tinjauan intrinsik (diksi ) dan ekstrinsik (sejarah, geografis dan budaya).
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pihak khususnya kepada lembaga penelitian (Lemlit) UIN Syarif
Hidayatullah selaku pemberi dana hibah (DIPA) sehingga penelitian ini
dapat terlaksana.
Ucapan terima kasih juga kepada Perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah dan perpustakaan LPIA Arab Saudi yang telah menfasilitasi
pelayananan peminjaman buku, sehingga penelitian ini terlaksana dengan
baik.
Selain itu juga kami mengucapkan terima kasih kepada kolega dari
jajaran pimpinan, para dosen dan karyawan Fakultas Adab dan
Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah atas sarana yang disediakan.
Semoga hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi pada
5
pengembangan dan pendalaman kajian Bahasa dan sastra Arab di
lingkungan kampus khususnya dan masyarakat umumnya terutama para
muballigh, karena pentingnya peribahasa bagi mereka sebagai media
dalam penyampaian dakwahnya.
Ciputat, 12 November 2012
Tim Penulis
6
ABSTRAK Diksi adalah pilihan kata yang digunakan dalam suatu karya sastra termasuk peribahasa. Diksi yang digunakan dalam setiap karya sastra berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak hal, di antaranya dipengaruhi oleh unsur-unsur ekstrinsik yang meliputinya, seperti sejarah, geografi, alam dan budaya. Unsur-unsur ini sangat mempengaruhi diksi yang digunakan dalam peribahasa Arab dan Indonesia. Untuk mengetahui karakteristik diksi kedua peribahasa serta unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya, termasuk di dalamnya perbedaan dan persamaan antara keduanya, dan juga keterpengaruhan antar kedua peribahasa tersebut, dalam penelitian ini digunakan analisis sastra bandingan.
Melalui kajian ini terbukti, bahwa masing-masing peribahasa memiliki karakteristik tersendiri yang disebabkan oleh unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya, meskipun berdasarkan tema, masing-masing ada kesamaan, seperti dalam penggunaan nama binatang, fenomena alam, benda-benda langit, tumbuhan, dan budaya. Namun demikian, ada beberapa unsur ekstrinsik yang dominan di setiap peribahasa sebagai pengaruh dari perbedaan geografi keduanya. Amtsâl (peribahasa Arab) adalah cerminan kehidupan padang pasir, sedangkan peribahasa Indonesia merupakan cerminan dari kehidupan negara agraris dan maritim. Unta, kurma, fenomena alam padang pasir, serta peperangan, merupakan diksi yang paling dominan dalam amtsâl, selain nama-nama orang. Adapun ayam, ikan, air, padi, dan peralatan rumah tangga tradisional, menjadi ciri khas dari diksi peribahasa Indonesia. Oleh karena itu, pada tataran bahasa atau lafaz yang digunakan, terdapat persamaan dan perbedaan antara kedua peribahasa tersebut. Akan tetapi pada tataran makna, baik amtsâl maupun peribahasa sama-sama digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral baik yang bersifat lokal maupun universal.
Meskipun kedua peribahasa ini dalam beberapa hal memiliki persamaan, namun tidak bisa dikatakan kalau satu sama lain saling mempengaruhi, sebab masing-masing tampil dengan karakter masing-masing baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Namun demikian, pengaruh sastra Arab tetap tampak dalam peribahasa Indonesia terutama pada kata-kata bijak atau al-amtsâl al-hikmiyyah. Hal ini sebagai ekses dari masuknya Islam ke dalam idelogi masyarakat Indonesia.
7
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
I. Konsonan II. Vokal Pendek
ء
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
„
B
T
TS
J
H
KH
D
DZ
R
Z
S
SY
SH
DL
TH
ـــَـ
ـــِـ
ــُــ
a
i
u
III. Vokal Panjang
ا ـــَـ
ى ـــِـ
و ــُــ
â
î
û
IV. Diftong
و ـــَـ
ى ـــَـ
au
ai
V. Pembauran
Metode transliterasi diadopsi dari Pedoman Akademik Program Magister dan
Doktor Kajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007/2008
8
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ي
ة
ZH
`
GH
F
Q
K
L
M
N
W
H
Y
T
ال
الش
وال
al-
al-sy-
wa al-
9
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………i
LEMBAR LAPORAN HASIL PENELITIAN …………………………...……ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….iii
ABSTRAK ………………………………………………………………………..v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN …………………………...…vi
DAFTAR ISI …………………….......................................................................viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………..……1
B. Permasalahan Penelitian ……………………………….…6
C. Tujuan Penelitian ………………………………………….6
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ……………………....6
E. Landasan teori dan Kerangka konseptual ……..……….7
F. Metode Penelitian yang digunakan ……………………...9
BAB II : TEORI SASTRA BANDINGAN
A. Sejarah ..................................................................................14
B. Pengertian ............................................................................17
C. Tujuan dan Ruang Lingkup ..............................................20
D. Sastra Bandingan dalam penelitian ini............................24
BAB III : SEKILAS TENTANG AMTSÂL DAN PERIBAHASA
A. Amtsâl ……………………………………………………...29
a. Pengertian Amtsâl …………………………………….29
b. Macam-macam Amtsâl Arab ………………………...34
c. Gaya Bahasa Amtsâl ……………………………...….36
d. Manfaat Amtsâl .………………………………………46
10
B. Peribahasa ……………………………………...…………46
a. Pengertian peribahasa ……………………………….47
b. Macam-macam peribahasa Indonesia ……………..48
c. Gaya bahasa peribahasa Indonesia …………………50
C. Amtsâl dan Peribahasa dalam bentuk syair
(puisi)………………………………………………………52
BAB IV : DIKSI DAN UNSUR EKSTRINSIK YANG
MEMPENGARUHINYA DALAM AMTSÂL DAN
PERIBAHASA
A. Karakteristik Diksi dalam Peribahasa Arab……………57
a. Nama Orang …………………………………………..58
b. Hewan …………………………………………………76
c. Budaya …………………………………..…………...102
d. Alam ………………………………………………….113
e. Tumbuhan……………………………………………128
B. Karakteristik Diksi dalam Peribahasa Indonesia …….133
a. Fenomena alam ……………………………………...133
b. Hewan ………………………………………………..142
c. Tumbuhan ………………………………………...…153
d. Budaya ……………………………………………….156
C. Persamaan dan Perbedaan Diksi kedua peribahasa ..161
a. Lafaz ………………………………………………….162
b. Makna atau kandungan ……………………………168
D. Saling Keterpengaruhan antara Kedua peribahasa …173
BAB V : KESIMPULAN …………………………………..…………..176
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………181
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra adalah cermin kehidupan manusia, maju mundurnya
peradaban suatu bangsa akan tampak pada karya sastra yang
dilahirkannya. Karya sastra mampu menjadi refleksi kehidupan sosial,
politik, ekonomi hingga ideologi suatu bangsa. Bahkan karya sastra juga
mampu mengungkap sejarah, adat istiadat, serta budaya dan geografi
suatu masyarakat yang hidup pada masa itu.1 Menurut Muhammad al-
Iskandar dan Mushtafa „Inani, sebagai bagian dari sastra, peribahasa
(amtsâl) merupakan cermin masyarakat yang sudah lalu. Meskipun sudah
berlalu, peribahasa tetap memiliki nilai-nilai moralitas yang tinggi. Ia
bahkan bisa menjadi tolak ukur maju mundurnya suatu bangsa, termasuk
kebahagiaan dan penderitaannya. Ia juga bisa menjadi cermin bahasa dan
sastra bangsanya.2
Karya sastra tidak muncul dari sebuah kenihilan. Banyak aspek
yang turut mempengaruhi lahirnya karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik
sastra, seperti, individu pengarang, sejarah, sosial politik, hingga unsur
geografis turut mempengaruhi bentuk dan isi sebuah karya sastra.3 Karya
sastra yang lahir dari bumi pertiwi Indonesia, tentu akan berbeda dengan
karya sastra yang lahir di belahan Jazirah Arab, baik dari aspek bentuk
1 Atar Semi menggambarkan hubungan antara sastra, masyarakat dan kebudayaan sebagai berikut: Pertama, bahwa sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua, bahwa sastra adalah cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat.Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 55-56
2 Ahmad al-Iskandari dan Mushthafa „Inani, al-Wasith fi al-Adab al-‗Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, tth), h. 18-19
3 Studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik Lih. Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 77-134.
12
maupun isinya. Maka karya sastra yang lahir dari negeri khatulistiwa
dengan nuansa alam yang permai, tentu berbeda dengan karya sastra
yang lahir dari bumi Arabia yang gersang dan bernuansa padang pasir.
Salah satu karya sastra klasik yang berkembang dalam sastra
Indonesia dan Arab adalah peribahasa. Dalam bahasa Indonesia,
peribahasa terkadang dinamakan juga dengan istilah pepatah. Dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah proverb atau saying. Peribahasa
secara terminologi adalah 1) ungkapan yang ringkas padat yang berisi
kebenaran yang wajar, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku. 2)
ungkapan pendek yang mengandung aturan tingkah laku sebagai prinsip
hidup. 4 Sedangkan secara istilah peribahasa adalah kelompok kata yang
mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu,
dikatakan juga bidal atau pepatah. Terkadang peribahasa juga merupakan
perumpamaan; yaitu perbandingan makna yang sangat jelas, karena ia
didahului oleh perkataan seolah-olah, ibarat, bak, seperti, laksana, macam,
bagai dan umpama. Dalam bahasa Arab istilah tersebut dikenal dengan
istilah amtsâl. Ibrahim „Ali Abu al-Khasyab mendefinisikan amtsâl dengan
kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa tertentu
digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu dengan
keadaan atau peristiwa asal dimana matsal tersebut diucapkan.5
Peribahasa pada dasarnya adalah fenomena bahasa yang bersifat
universal dan mengandung makna-makna universal dan hampir tiap
bahasa memiliki tradisi peribahasa dalam sistem komunikasi. Namun
demikian, tentu saja peribahasa yang ada pada suatu bangsa berbeda
dengan peribahasa lainnya, sesuai dengan kondisi sosial, budaya, sejarah,
serta geografi yang mempengaruhinya.
4 Tim penyusun, Ensiklopedi sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 608
& 614 5 Ibarahim „Ali abu al-Khasyab & Muhammad Abdul Mun‟im Khafaji, Turatsuna
al-Adabi, (Kairo: Dar al-Thaba‟ah al-Muhammadiyah, tth), h. 84
13
Sebagai contoh peribahasa Arab menyatakan 6
(isilah busur sebelum memanah). Dalam peribahasa Indonesia, amtsâl
tersebut senada dengan “Sedia payung sebelum hujan”7. Secara intrinsik,
kedua peribahasa tersebut memiliki massage yang sama yakni segala
sesuatu harus dipersiapkan dengan matang, sehingga dapat
mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun secara ekstrinsik,
kedua peribahasa tersebut dipengaruhi oleh dua unsur yang berbeda.8
Diksi yang digunakan dalam amtsâl sangat dipengaruhi oleh tradisi
berperang yang senantiasa membutuhkan berbagai persiapan termasuk
senjata. Di antara senjata perang yang sangat populer saat itu adalah
panah. Tempat untuk menyimpan panah dalam bahasa Arab di sebut
dengan kanâin atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama busur.
Pada peribahasa Indonesia, unsur geografis (alam) sangat dominan
mempengaruhi gaya bahasanya, yaitu kata hujan yang identik dengan
negara beriklim tropis. Berdasarkan hal tersebut, tampak perbedaan latar
belakang lahirnya suatu peribahasa sesuai dengan kondisi yang
mempengaruhinya, meskipun pesan yang terkandung di dalamnya sama.
Kata kanâ‘in dan juga hujan yang digunakan dalam kedua
peribahasa tersebut di dalam kajian sastra disebut dengan diksi. Diksi
sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia adalah
pemilihan kata yang dilakukan oleh pengarang, atau penyair, untuk
6 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986),
h. 990 7 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan: Balai Pustaka, 2008), h. 738 8 Unsur intrinsik dalam sebuah karya satra yang terdiri dari tema, rima, irama,
tipografi, amanat, gaya bahasa dan lain sebagainya, sesuai dengan karakteristik bahasa dan sastra yang digunakan. Adapun unsur ekstrinsik sastra adalah unsur luar yang turut mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, sejarah dan budaya. Lihat buku Abdul Razak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 67
14
mengungkapkan gagasan.9 Dalam istilah sastra Arab, kata diksi disebut
dengan al-shûrah al-adabiyyah atau10 al-shiyâghah al-fanniyah. „Adnan „Ali
Ridha al-Nahwi, mendefinisikan al-shiyâghah al-fanniyah dengan pilihan
kata dan hubungannya dengan kata lain yang digunakan untuk membuat
kalimat atau suatu ungkapan.11
Diksi yang dipilih oleh penulis atau pengarang biasanya tidak
muncul begitu saja. Banyak aspek yang mempengaruhinya, boleh jadi
mengacu pada keindahan kata dan gaya bahasa, emosi dan wawasan
pengarang, atau juga unsur-unsur luar lainnya yang ada di sekitar
pengarang, seperti alam dan lingkungan yang melingkupinya. Artinya
diksi sebagai unsur intrinsik tidak bisa berdiri sendiri tanpa unsur-unsur
lain yang mempengaruhinya. Sebaliknya, unsur-unsur ekstrinsik yang
ada dalam karya sastra seperti geografi, alam, budaya dan tradisi, juga
bisa dilihat dari diksi yang digunakan dalam karya sastra. Berdasarkan
hal tersebut, diksi sebagai unsur intrinsik karya sastra sangat dipengaruhi
oleh unsur-unsur ekstrinsik. Kajian yang menggabungkan unsur intrinsik
dan ekstrinsik, dalam kritik sastra disebut dengan strukturalis genetik.
Menurut Sukron Kamil, sepintas ada kemiripan antara strukturalis
genetik dengan sosiologi sastra. Keduanya pada dasarnya dapat
dibedakan melalui tiga hal, yaitu aspek intrinsik teks sastra, latar belakang
pencipta, latar belakang sosial, budaya, dan sejarah masyarakat itu
9 Diksi yang baik dapat dilihat dari pemilihan kata yang tepat dan selaras,
digunakan sesuai dengan konteks pembicaraan, peristiwa, ataupun pembaca dan pendengar. Dengan demikian diksi disesuaikan dengan gagasan yang ingin diungkapkan oleh pembicara atau pengarang. Tim Penyusun, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 217-218
10 Muhammad al-Tunji dalam al-Mu‘jam al-Mufashal fi al-Adab mendefinisikan kata al-shûrah al-adabiyyah dengan kata (lafaz) yang digunakan oleh pengarang untuk mengekspresikan idea tau imajinasinya. Kata-kata tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur kejiwaan atau emosi pengarang. Muhammad al-Tunji, al-Mu‘jam al-Mufashal fi al-Adabi, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1993), h. 591
11 „Adnan „Ali Ridha al-Nahwi, al-Naqd al-Adabi al-Mu‘âshir baina al-Hadam wa al-Binâ‘, (Riyadh: Dar al-Nahwi, 1995 M), h. 147
15
sendiri. Sementara sosiologi sastra tidak mementingkan kajian unsur-
unsur intrinsik. 12 Dalam kajian peribahasa, baik Arab maupun Indonesia,
latar belakang pengarang sebenarnya sulit untuk diungkapkan, hal ini
oleh karena peribahasa pada dasarnya adalah sastra lisan.13 Menurut
Ismail Hamid, dalam sastra Indonesia, kesusasteraan lisan merupakan
kesusasteraan Indonesia lama dan sudah tumbuh kembang bersamaan
dengan lahirnya bangsa ini. Kesusasteraan Indonesia yang bercorak
tulisan mulai berkembang dalam masyarakat Indonesia dengan pesat
setelah kedatangan agama Islam.14
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa diksi yang
digunakan dalam peribahasa Indonesia akan berbeda dengan diksi yang
ada dalam amtsâl. Namun demikian, secara historis, kita tidak dapat
mengingkari bahwa bangsa Arab membawa pengaruh banyak terhadap
sistem sosial dan budaya bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya
bahasa. Masuknya Islam ke Indonesia, jelas membawa berbagai pengaruh,
bahkan karya sastra Indonesia lama yang kita kenal dengan syair
merupakan tiruan nyata dari syi‘r yang berkembang di jazirah Arab,
meskipun tentu saja dengan beberapa perubahan disesuaikan dengan
karakter bahasa Indonesia.15 Oleh karena itu, amtsâl yang juga
berkembang di Jazirah Arab ini, dengan masuknya Islam ke Indonesia,
sedikit banyak tentu mempengaruhi peribahasa Indonesia. Digunakannya
12 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), h. 188 13 Menurut Hutomo, sastra lisan dapat dibagi ke dalam tiga jenis, pertama, jenis
cerita seperti dongeng, mitos, legenda, epik, tutur, dan memori. Kedua, jenis bukan cerita di mana salah satunya adalah peribahasa. Ketiga, jenis tingkah laku seperti drama. Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, h. 151-152.
14 Keterpengaruhan tradisi menulis bangsa Indonesia, diawali dengan semangat para mubaligh/da‟i atau pengajar agama dalam mempelajari ajaran Islam, sehingga mereka mulai belajar menulis dengan tulisan Arab dalam skrip-skrip atau naskah. Dari situ mulai berkembang kegiatan tulis menulis dengan menggunakan bahasa Arab. Ismail Hamid, Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 1.
15 Cahya Buana, pengaruh Sastra Arab terhadap Sastra Indonesia Lama dalam Syair-syair Hamzah Fansuri, (Yogyakarta: Mocopat, 2007), h. 251-253
16
amtsâl Arab jenis hikmah sebagai media dakwah oleh para juru da‟wah
menjadi indikator, bahwa amtsâl tersebut telah masuk ke dalam
peribahasa Indonesia. Hubungan ideologis ini, menjadi indikator adanya
saling keterpengaruhan antara dua genre sastra ini.
Di sinilah pentingnya pendekatan yang mampu mengungkap nilai-
nilai yang terkandung dalam dua karya sastra yang berbeda secara bahasa
dan budaya. Maka kajian sastra banding untuk mengungkapkan
perbedaan dan persamaan kedua sastra tersebut sangat diperlukan dan
dalam hal ini menjadi pintu gerbang untuk menganalisis unsur-unsur
ekstrinsik yang mempengaruhi kedua peribahasa.
B. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, ada empat pokok
permasalahan yang menjadi landasan dalam penelitian ini:
1. Bagaimanakah karakteristik diksi dalam peribahasa Arab dan
Indonesia?
2. Adakah unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhi terbentuknya
diksi dalam peribahasa Arab dan Indonesia?
3. Adakah unsur persamaan dan perbedaan antara diksi amtsâl dan
peribahasa?
4. Adakah unsur keterpengaruhan antara peribahasa Arab dan
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, ada empat tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui karakteristik diksi dalam peribahasa Arab dan
Indonesia;
17
2. Mengetahui unsur-unsur ekstrinsik: sejarah, geografi, alam,
budaya dan lain sebagainya yang mempengaruhi terbentuknya
diksi dalam pribahasa Arab dan Indonesia;
3. Mengetahui persamaan dan perbedaan diksi dalam amtsâl dan
peribahasa;
4. Mengetahui unsur keterpengaruhan antara peribahasa Arab
dan Indonesia.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, antara lain:
1. Bagi pemerhati peribahasa, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi baru tentang peribahasa yang
berkembang di negara lain, serta karakteristik yang dimilikinya,
termasuk sejarah yang melatarbelakangi munculnya suatu
peribahasa;
2. Bagi orang yang merasa kesulitan menyampaikan sesuatu pesan
secara langsung, peribahasa dapat membantu
mengungkapkannya dengan bahasa yang lain yang dianggap
familer, sehingga lebih mudah difahami;
3. Bagi masyarakat luas, dapat mengangkat nilai-nilai moralitas
yang terkandung dalam pribahasa Arab dan Indonesia.
4. Bagi dunia sastra, menambah khazanah sastra terutama dapat
memperkaya kajian sastra banding
E. Landasan teori dan Kerangka konseptual
Amtsal bentuk jama‟ dari matsal (perumpamaan) merupakan
kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang
hidup dalam pikiran dan jiwa. Biasanya dengan melakukan metode
“mempersonifikasikan” sesuatu yang ghaib dengan yang nyata, yang
abstrak dengan yang kongkrit, atau dengan menganalogikan sesuatu hal
dengan hal yang serupa, maka sesuatu yang awalnya susah dipahami
18
akan menjadi mudah dimengerti. Dengan amtsâl, berapa banyak makna
yang asalnya tidak jelas dipahami menjadi lebih jelas, indah dan
menyentuh perasaan. Oleh karena itulah amtsal dianggap lebih dapat
mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksud dan
membuatnya terasa mendalam. Maka, dengan amtsal dapat dikatakan
salah satu metode untuk mengungkapkan berbagai penjelasan yang masih
samar menjadi jelas dan mudah dipahami.
Amtsal dalam tradisi sastra Arab, pada dasarnya telah lahir sejak
zaman Jahiliyah, bahkan sebagaimana syair ia juga tidak diketahui kapan
kelahirannya. Namun demikian, dalam amtsal baik yang dihasilkan masa
Jahiliyah maupun Islam banyak mengandung pesan-pesan moral,
meskipun terdapat perbedaan antara amtsal Jahiliyah dan Islam, di
antaranya adalah amtsal Jahiliyah biasanya lahir berdasarkan peristiwa
yang terjadi di masyarakat,16 sedangkan pada masa Islam lebih didasari
oleh prinsip-pinsip ideologi Islam, baik al-Qur‟an atau al-Hadis.
Dalam al-Qur‟an sendiri banyak terdapat perumpamaan-
perumpamaan. Al-Quran datang dengan kemukjizatan bahasa yang tidak
ada tandingnya, dan amtsal merupakan gaya bahasa yang sering dipakai
dalam al-Quran, Hadits, Qaul „Ulama wa al Hukama bahkan para da‟I
senantiasa memakainya dalam setiap pidatonya. Sebuah ungkapan
dengan makna yang tinggi akan dirasakan lebih menarik dan menyentuh
jiwa, jika dituangkan dalam kerangka retorika yang indah. Dengan
penggambaran yang tepat akan lebih dekat pada pemahaman sesuatu
ilmu, sebagaimana difirmankan Allah:
16 Ibarahim „Ali abu al-Khasyab & Muhammad Abdul Mun‟im Khafaji, Turatsuna
al-Adabi, h. 85 17 Q.S : al-„ankabut 43
19
Perumpamaan itu Kami buat untuk manusia,dan tidak akan memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu
Ibrahim „Ali Abu Khasyab dalam bukunya Turatsuna al-Adaby
mengatakan bahwa amtsâl (peribahasa, pepatah) dan hikmah (kata
mutiara) adalah karya sastra jenis prosa peninggalan zaman Jahiliyah.
Menurut para ahli balaghah (Bulaghâ), bentuk amtsâl tidak akan berubah
lafaznya atau selamanya akan begitu-begitu saja –yakni kalau dalam
bentuk mufrad, tatsniyah, jama‘, muannats dan muzakkar maka selamanya
akan seperti itu- karena amtsal Arab lahir berdasarkan kisah atau hikayat
yang terjadi di masyarakat.
Amtsâl Arab terbagi dua: Haqiqy dan Iftiradhy. Amtsal Haqiqy adalah
amtsâl yang lahir berdasarkan kisah terkenal yang terjadi di masyarakat,
Sedangkan Amtsal Iftiradhy adalah amtsâl yang bersifat fiktif, biasanya
pentamsilan hewan dalam sebuah dongeng atau legenda18 . Sedangkan
dalam peribahasa Indonesia tidak memiliki kejelasan historis kapan, siapa
dan apa penyebab lahirnya suatu peribahasa di masyarakat.
F. Metode Penelitian yang digunakan
Secara umum, penelitian ini menggunakan metode sastra Banding.
Menurut Kathleen Morner & Raplh Rausch dalam NTC,S Dictionary of
Literary Terms sastra banding adalah bidang kajian sastra yang
mengeksplorasi hubungan antara satu sastra dengan yang lainnya yang
berbeda secara bahasa dan negara. Sastra banding meneliti saling
keterpengaruhan, gaya (styles), perkembangan, sumber, tema, arketipe,
dan motif atau jenis antar sastra yang berbeda. Sastra banding mengkaji
hubungan antara mitos, legenda, dan epik, juga perkembangan bentuk
dan genre sastra.19
18 Ali Abu al-Khasyab, Turâtuna al Adaby, h 84-85 19Kathleen Morner & Raplh Rausch, NTC,S Dictionary of Literary Terms, (United
States of America: NTC, 1998), h. 40
20
Sastra Banding memang memiliki lingkup kajian yang sangat luas,
oleh karena itu sulit untuk melaksanakan semua aspek dalam satu
penelitian. Oleh karena itu, kami melakukan penelitian ini dalam rangka:
1. Mencari unsur persamaan dan perbedaan kedua peribahasa
dari aspek intrinsik dan ekstrinsik.
2. Mencari unsur saling keterpengaruhan antara peribahasa
Indonesia dengan amtsal Arab.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kami melakukan langkah
penelitian sebagai berikut:
1. Menelusuri sejarah munculnya kedua peribahasa, Arab dan
Indonesia
2. Memetakan peribahasa secara historis, apakah peribahasa yang
dijadikan sampel muncul sebelum atau setelah Islam. Hal ini
dilakukan untuk mencari unsur keterpengaruhan antar dua
peribahasa.
3. Menganalisis peribahasa yang dijadikan sampel dari aspek
intrinsik dan ekstrinsik.
4. Aspek intrinsik terdiri dari diksi dan isi, sedangkan aspek
aspek ekstrinsik meliputi adat, budaya, sejarah, serta geografi
yang mempengaruhi kedua peribahasa tersebut.
Penelitian ini murni bersifat kajian kepustakaan yakni mencari
data-data naskah dan buku-buku yang berkenaan dengan amstal melalui
studi kepustakaan.
21
BAB II
TEORI SASTRA BANDINGAN
Ada beberapa alasan kenapa kami memilih sastra bandingan
sebagai landasan teoritis dalam kajian ini. Pertama, hampir dipastikan
bahwa setiap bahasa memiliki peribahasa20 tersendiri. Indonesia sendiri
misalnya, berdasarkan penelitian salah satu blog di website, memiliki lebih
dari 746 bahasa daerah.21 Dan masing-masing bahasa tentu saja memiliki
peribahasa tersendiri. Dalam bahasa jawa, sebagai contoh, digunakan
istilah pepatah, contoh, arep jemuré emoh watangé, yang artinya ingin enak tapi
tidak mau susahnya. Dalam bahasa sunda dikenal dengan istilah babasan atau
paribasa, contoh, nete semplek nincak semplak, yang artinya apapun yang
dilakukannya selalu salah, dan lain sebagainya. Peribahasa ini juga bukanlah
milik bangsa Indonesia semata, 22 dalam bahasa Inggris misalnya, dikenal
dengan istilah proverb atau saying, contoh, A man without ambition is like a bird
without wing yang artinya seseorang yang tidak punya cita-cita bagaikan
burung tak bersayap. Fenomena peribahasa inipun tentu saja tidak lepas
20 Dalam tulisan ini digunakan istilah peribahasa bukan pribahasa, hal ini
merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka hasil olahan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2007 Edisi ke-3, cet. Ke-4.
21 bahasa-nusantara.blogspot.com, Kamis, 3 Februari 2011. Dalam Blog tersebut
dikutip pernyataan Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dr Dendy Sugondo di Jakarta, Rabu (22/10) yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. Untuk itu Pusat Bahasa Depdiknas akan menerbitkan peta bahasa yang terdiri atas kumpulan bahasa daerah di Tanah Air dari Sabang, Pulau We sampai Merauke, Papua. Penyusunan peta bahasa ini sudah berlangsung selama 15 tahun karena proses pengumpulan data bahasa ibu dari satu daerah ke daerah lain mengalami kendala geografis. Penelitian tentang bahasa daerah atau bahasa ibu bertujuan untuk memetakan bahasa sebagai budaya dan sarana mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
22 Dalam al-Mu‘jam al-Mufashal fi al-Adab al-‗Arabi kamus yang membahas secara khusus dunia sastra Arab, dinyatakan bahwa peribahasa atau amtsâl dimiliki oleh setiap bangsa yang ada di dunia. Peribahasa merupakan cermin nyata kehidupan manusia, baik adat dan tradisinya, ideolog dan keyakinannya, ilmu pengetahuan dan budayanya, maupun perilaku masyarakatnya. Muhammad al-Tunji, al-Mu‘jam al-Mufashal fi al-Adab al-‗Arabi, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1993M/1413 H), h. 757
22
dari bahasa Arab. Di dalam bahasa Arab istilah peribahasa dikenal
dengan matsal (tunggal) atau amtsâl (jamak).23 Amtsâl merupakan
fenomena bahasa yang sudah dikenal sejak zaman Jahiliyyah. Contoh,
yang jika diartikan secara harfiah adalah kadang-kadang
panah mengenai sasaran bukan berasal dari sang pemanah. Sebagai
perumpamaan bahwa tidak selamanya manusia itu salah.24 Berdasarkan
hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa peribahasa pada hakekatnya
adalah fenomena bahasa di dunia dengan karakteristik tersendiri.
Kedua, peribahasa baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia
biasanya menggunakan gaya bahasa yang mengandung nilai-nilai sastra
baik secara performa maupun isi, sehingga ia bisa diketegorikan sebagai
karya sastra. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan keduanya,
baik dari segi isi maupun gaya bahasanya, diperlukan kajian sastra
bandingan.25
Ketiga, secara historis, tidak dipungkiri lagi bahwa bangsa
Indonesia dan bangsa Arab memiliki kedekatan emosional, terutama
23 Dalam al-Mu‘jam al-Mufashal fi al-Adab al-Arabi disebutkan bahwa kata matsal
berasal dari bahasa Semit kuno. Seperti, dalam bahasa Ibrani dikenal dengan nama Mashal, dalam bahasa Armenia disebut dengan Matla, sedangkan di Habsyah (saat ini Ethopia) disebut dengan Mesel. Semua kata tersebut hampir mirip dengan kata Matsal dalam bahasa Arab. Namun demikian, para ahli bahasa Arab berpendapat bahwa kata matsal diambil dari ungkapan matsal al-Syai‘ wa mitsluhu seperti kata Syabhuhu wa Syibhuhu yang artinya yang satu menyerupai yang lainnya. Muhammad al-Tunji, al-Mu‘jam al-Mufashal fi al-Adab al-‗Arabi, h. 757
24 Ahmad al-Iskandari dan Mushthafa „Inani, al-Wasith fi al-Adab al-‗Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, tth), h. 16
25 Menurut Muhammad Ghanaimi Hilal ada dua unsur yang bisa membedakan apakah sebuah ungkapan atau karya termasuk sastra atau bukan, Pertama terletak pada ide (fikrah), dan kedua terletak pada kemasan seni yang membalut ide tersebut (qalibuha al-fanny), atau materi (madah) dan bentuk tampilannya (shighah). Kedua unsur tersebut tercermin dalam karya sastra secara keseluruhan. Karya tersebut boleh jadi menggambarkan perasaan seseorang (penyair) maupun fikiran-fikirannya tentang keagungan alam, keindahan dan rahasia-rahasianya, atau tentang duka nestapa serta harapan-harapannya. Atau mungkin saja tentang ide-ide seorang penulis tentang kehidupan sosial yang melingkupinya, dst. Muhammad Ghanaimi Hilal, Al-Adab al-Muqaran, (Kairo: Mukhaimar, tth), h. a
23
diakibatkan oleh faktor ideologi. Kedekatan Indonesia -terutama secara
ideologis- dengan bangsa Arab ini menjadi sangat memungkinkan
terjadinya pengaruh mempengaruhi antara keduanya.26 Maraknya amtsâl
dan hikmah dalam penyampaian dakwah di Indonesia, menjadi indikasi
bahwa peribahasa Arab sudah sangat akrab di telinga kaum Muslimin
Indonesia. Namun demikian, hal ini bukan berarti peribahasa yang
muncul dan berkembang di negeri ini seluruhnya adalah hasil adopsi dari
bangsa lain (Arab), karena jauh sebelum Islam hadir di negeri ini sangat
memungkinkan peribahasa telah berkembang di negeri ini. Berdasarkan
hal inilah, penelitian sastra bandingan sangat diperlukan guna
mengungkap aspek apa dan mana sajakah yang sesungguhnya murni
berasal dari masing-masing Negara, dan aspek apa sajakah yang sudah
mendapat pengaruh dari Negara lain. Di samping itu juga, melalui sastra
bandingan kita juga dapat melihat bagaimana unsur-unsur ekstrinsik
masing-masing negara mewarnai peribahasa masing-masing.
Untuk mengetahui lebih rinci tentang sastra bandingan, kami
sajikan secara khusus dalam bab ini.
26
Kedekatan bangsa Indonesia dengan bangsa Arab diawali dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat tentang kapan dan di mana Islam pertama kali masuk ke Indonesia. Pendapat pertama berasal dari sarjana-sarjana orientalis Belanda yang menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M melalui Gujarat di kerajaan Samudra Pasai. Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana muslim di antaranya adalah Prof. Hamka yang menyatakan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau sekitar abad 7-8 Masehi melalui selat Malaka. Pendapat yang ketiga berasal dari sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah yang mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurutnya, memang benar bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, namun baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Islam baru berkembang pesat dan memiliki kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2010), h. 8-9
24
A. Sejarah
Istilah sastra bandingan27 -mengutip istilah Suwardi Endraswara-
atau studi komparatif sastra atau dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah dirâsah muqâranah, adalah disiplin ilmu baru dalam kajian kritik
sastra yang membandingkan antara satu karya sastra atau lebih yang
berbeda secara bahasa. Definisi ini tidak jauh berbeda dengan pengertian
yang diberikan oleh Ghanaimi Hilal, menurutnya sastra bandingan (al-
adab al-muqaran) adalah penelitian tentang sastra suatu bangsa
dibandingkan dengan sastra lain yang berbeda secara bahasa dalam
konteks sejarah untuk mencari unsur saling keterpengaruhan antara dua
sastra atau lebih, baik yang menyangkut genre, aliran, tema, tokoh, ide,
pemikiran, dst.28 Syarat utama yang harus dipenuhi dalam sastra
bandingan (al-adab al-muqâran) adalah perbedaan bahasa. Hal ini perlu
diperjelas untuk membedakan istilah sastra bandingan dalam bahasa
Arab dan sastra Indonesia. Dalam kritik sastra Arab digunakan juga
istilah al-muwâzanah yaitu kajian yang membandingkan dua karya sastra
atau lebih dengan bahasa yang sama.29
Munculnya istilah sastra bandingan, pada dasarnya tidak terlepas
dari adanya teori Imitasi (nazhariyah al-muhâkah) yang dikemukakan oleh
Aristoteles pada saat ia ingin menjelaskan hubungan antara seni secara
umum dengan alam, bahwasanya seorang penyair pada mulanya tiada
lain hanyalah seorang imitator yang memiliki kecerdasan untuk meniru
alam ini. Dalam teori imitasi itu sendiri terdapat beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan, seperti;
27 Suwardi Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra menggunakan
istilah sanding (sastra banding) dan sasper (sastra perbandingan) untuk 28 Muhammad Ghanaimi Hilal, Al-Adab al-Muqaran, h. h 29 Ahmad Syayyib, Ushul al-Naqd al-Adabi, Muhammad Ghanaimi Hilal, Al-Adab
al-Muqaran, h. 7
25
1. Bahwasanya meniru sebuah karya sastra atau sastrawannya
sendiri adalah salah satu prinsip sastra yang tidak mungkin
dapat dihindari
2. Bahwasanya proses peniruan tersebut bukanlah hal yang
mudah, namun diperlukan bakat tertentu dalam diri peniru.
3. Bahwasanya imitasi tersebut tidak boleh dilakukan secara total,
kalimat demi kalimat, ungkapan demi ungkapan, dengan tema
yang sama, dll, karena hal tersebut tidak termasuk pada
wilayah imitasi, melainkan plagiat (menjiplak) mutlak.
Pada intinya, menurut teori imitasi, orisinalitas murni adalah suatu
hal yang mustahil, karena mayoritas penyair maupun karyanya
merupakan hasil imitasi para pendahulunya. Keterpengaruhan adalah
suatu hal yang natural dan tidak perlu dianggap sebagai aib.30
Selain teori imitasi, teori lain yang muncul dalam lingkup studi
komparatif sastra adalah istilah cosmopolisme sastra, yaitu keluarnya
suatu sastra tertentu dari lingkaran bahasa yang ditulisnya kepada sastra
yang ditulis dalam bahasa lain. Fenomena seperti ini biasa terjadi pada
masa-masa tertentu yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti
dikarenakan terpengaruh oleh sastra lain, atau karena memiliki tujuan
untuk lebih menyempurnakan kreatifitas sastranya dengan cara
cosmopolisme sastra.31
Pada masa modern, Sastra Bandingan merupakan salah satu
disiplin keilmuan dalam kajian kesusateraan. Kajian ini pertama kali
muncul di Eropa lalu keluar dan menyebar ke seluruh dunia. Konsep-
konsep sastra banding terkadang tidak seragam antara satu negara
dengan negara lainnya, tergantung dari sejauh mana suatu bangsa
30 . Lebih jauh tentang teori-teori imitasi Lih. Shalahuddin al-Nadwi, Mukhtarat
min al-Adab al-Muqaran, Program Pasca Sarjana IAIN, 1997, hal. 14-20. 31 . Shalahuddin al-Nadwi, Mukhtarat min al-Adab al-Muqaran, Program Pasca
Sarjana IAIN 1997, hal. 22.
26
memahami prinsip-prinsip kebangsaannya. Untuk itu menurut S. Jaffar
Husin, semakin kuat pemahaman kebangsaan sebuah negara, semakin
payah disiplin kesusasteraan Bandingan akan bertapak. Namun
sebaliknya, semakin terbuka pemahaman sebuah negara, maka disiplin
ilmu ini akan semakin menguat dan berkembang.32
Istilah komparatif sastra itu sendiri, untuk pertama kali
diperkenalkan oleh Abel Francois Villemain pada tahun 1829 dengan
nama ‘literature comparee‟ pada seminar yang ia berikan di Sorbone. Lalu
istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi
‘Comparative Literature‟. Istilah ‘Comparative Literature‘ ini di dalam
kesusasteraan Inggris pertama kali digunakan oleh Mattew Arnold pada
saat menterjemahkan buku karya Jacques Amperes yang berjudul Historie
de la Literature Francaise au moyen age comparee aux literatures etrangeres
(1841). Untuk jasanya tersebut, selanjutnya Villemain dan Amperes
dianggap sebagai tokoh atau bapak studi komparatif sastra.33 Berdasarkan
hal tersebut, maka tidak diragukan lagi jika sastra banding modern, murni
berasal dari Perancis.
Disebut dengan sastra banding modern, karena istilah ini muncul
pada era modern. Namun demikian, meskipun istilah tersebut baru
muncul ke permukaan sekitar abad 18 Masehi, namun pada hakikatnya
disiplin ini adalah sebuah disiplin ilmu kuno yang telah dilakukan selama
berabad-abad lamanya. Sebagai contoh, para ahli sastra Latin yang
mengambil sastra Yunani dan meniru gaya sastra mereka. Peniruan
(muhakah) yang dilakukan oleh kalangan sastrawan Latin terhadap Sastra
Yunani ini sangat terkenal di dalam sejarah pertumbuhan Sastra Banding.
Selanjutnya Pada abad pertengahan (1390-1453 M), sastra-sastra lain di
32 . S. Jaafar Husin, Pengantar Kesusateraan Bandingan, (Kuala Lumpur: Percetakan
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994), hal. 13-14. 33 . S. Jaafar Husin, Pengantar Kesusateraan Bandingan, 1994, hal. 14.
27
Eropa mulai mengikuti sastra Latin, dan hal itu menjadikan bahasa Latin
sebagai bahasa Sastra dan sains.34 Dan dikemudian hari, disiplin ini mulai
banyak diminati masyarakat sastra dunia, karena dianggap dapat
menguak tabir sejarah suatu bentuk kesusateraan.
Sebagaimana dikutip oleh S. Jaafar Husin dari Renne Wellek dkk,
bahwa istilah kesusasteraan Bandingan pada mulanya bertujuan untuk
mengkaji sastra lisan, terutama tema serta proses perpindahan yang
dialaminya, dan bagaimana juga sastra tersebut menjelma menjadi sebuah
karya seni yang indah dan menarik. Untuk itu, kajian sastra banding
harus mencakup proses perkembangan sastra dan asal-usul kebangkitan
genre pada sastra tertentu.35
Meskipun istilah sastra bandingan diekspose secara terbuka untuk
pertama kalinya oleh Abel Francois Villemain dan Ampere, namun
demikian, secara historis, jauh sebelum itu sastra perbandingan telah
dirintis dengan gigih oleh Diderot dan Stendal, meskipun keduanya
belum menggunakan istilah sastra bandingan. Menurut Weelek dan
Warren, istilah sastra bandingan pertama kali digunakan oleh Noel dan
Laplace.36
Di awal kemunculannya, sastra bandingan berkembang di
Perancis, Inggris, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Selanjutnya
menyebar ke Amerika dan Asia pada umumnya.
B. Pengertian
Sastra bandingan merupakan kajian sastra lintas budaya (across
cultural) yang bersifat interdisipliner. Pada praktiknya kajian ini lebih
banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan
tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan berusaha membadingkan dua
34 . Shalahuddin al-Nadwi, Muktarat min al-Adab al-Muqaran, hal. 10-11 35S. Jaafar Husin, Pengantar Kesusateraan Bandingan, hal. 19 36Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2004), h. 130
28
atau lebih periode yang berbeda, sedangkan dari aspek tempat, sastra
bandingan mengkaji sastra berdasarkan wilayah geografisnya.37 Untuk
itu, sastra banding lebih bersifat historis, digunakan untuk mengkaji
berbagai aspek yang dapat menghubungkan antar satu sastra dengan
sastra lainnya yang berlainan secara bahasa. Objeknya dapat diambil dari
masa yang sudah lalu atau yang sedang up to date. Inti dari kajian sastra
banding pada hakekatnya adalah mengkaji tentang adanya ‟pengaruh
mempengaruhi‟ antar sastra yang berbeda (at-ta‘tsîr wa at-ta‘atsur).
Dalam kajian sastra Arab, istilah sastra bandingan dibagi ke dalam
dua macam, pertama dikenal dengan istilah muwâzanah, yaitu
perbandingan antar dua karya sastra atau lebih dengan bahasa yang sama,
tanpa harus dibatasi oleh waktu, seperti kitab karya kritikus sastra Arab
Abi al-Qasim al-Amadi38 yang membandingkan syair karya Abi Tamam
al-Tha‟i39 dan Abi „Ubadah al-Buhturi40. Abi Tamam wafat tahun 231 H,
sedangkan Abi „Ubadah wafat pada tahun 284. Tujuannya adalah untuk
mencari unsur keterpengaruhan antara satu karya sastra dengan sastra
lainnya. Kedua, istilah ini dikenal dengan nama muqâranah, yaitu
perbandingan dua karya sastra atau lebih dengan bahasa yang berbeda.41
Definisi yang lebih rinci diungkapkan oleh Kathleen Morner &
Raplh Rausch dalam NTC,S Dictionary of Literary Terms bahwa sastra
banding adalah bidang kajian sastra yang mengeksplorasi hubungan
antara satu sastra dengan yang lainnya yang berbeda secara bahasa dan
negara. Sastra banding meneliti saling keterpengaruhan, gaya (styles),
perkembangan, sumber, tema, arketipe, dan motif atau jenis antar sastra
37Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, h. 128 38 Nama lengkapnya adalah al-Imam al-Nuqadah Abi al-Qasim al-Hasan Bisyr
ibn Yahya al-Amadi al-Bashri, wafat tahun 370 H. 39 Nama lengkapnya Abi Tamam Habib ibn Aus al-Tha‟i. 40 Nama lengkapnya Abi „Ubadah al-walid ibn „Ubaid al-Buhturi. 41 Lih. Abi al-Qasim al-Hasan ibn Bisyr ibn Yahya al-Amadi al-Bashri, al-
Muwazanah baina Abi Tamam wa Abi ‗Ubadah, (Beirut: Maktabah „Ilmiyyah, tth).
29
yang berbeda. Sastra banding mengkaji hubungan antara mitos, legenda,
dan epik, juga perkembangan bentuk dan genre sastra.42
Menurut Rene Wellek & Austin Warren, istilah sastra bandingan
dapat dibagi ke dalam tiga pemahaman. Pertama, istilah yang digunakan
untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya,
tentang bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam penulisan
sastra yang lebih artistik. Meskipun demikian, menurut Wellek, istilah
sastra bandingan bukanlah term khusus yang diperuntukan untuk sastra
lisan. Kedua, sebuah kajian khusus yang membahas hubungan antara dua
kesustraan atau lebih. Ketiga, istilah sastra bandingan disamakan dengan
sastra dunia, sastra universal, atau sastra umum, yaitu sebuah studi yang
mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas-batas
nasional. 43 Ketiga pengertian tersebut tentu saja memiliki ciri dan batasan
tersendiri.
Pada studi komparatif sastra, perbedaan bahasa adalah syarat
utama dan hal yang mutlak. Maka karya sastra yang ditulis dalam bahasa
yang sama, keluar dari kajian ini.44 Selain persoalan bahasa, hal lain yang
perlu diperhatikan dalam sastra banding adalah adanya indikasi akurat
yang menunjukkan bahwa telah terjadi hubungan antara kedua sastra
atau lebih yang sedang dibandingkan. Maka dalam hal ini sejarah
memiliki peranan penting dalam menentukan apakah sastra-sastra
tersebut memungkinkan untuk memiliki hubungan atau tidak.
Untuk itu di dalam pelaksanaan studi sastra banding, ada dua
syarat mutlak yang harus dipenuhi:
42Kathleen Morner & Raplh Rausch, NTC,S Dictionary of Literary Terms, (United
States of America: NTC, 1998), h. 40 43 Rane Wellek & Austin Warren (terjemah Melani Budianta), Teori Kesusastraan,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 47-50 44 . Dalam dunia sastra Arab, studi komparatif yang membandingkan antara dua
karya sastra yang menggunakan bahasa yang sama disebut dengan muwâzanah.
30
Pertama, sastra banding hanya dapat dilakukan terhadap karya-
karya sastra yang berlainan secara bahasa, bila syarat ini tidak terpenuhi,
hal itu berarti telah keluar dari koridor studi komparatif sastra.
Kedua, dalam sastra banding aspek yang dikaji adalah hubungan
antara seorang sastrawan dengan sastrawan lainnya atau suatu karya
sastra dengan karya sastra lainnya. Namun apabila sejarah tidak
mengindikasikan adanya suatu hubungan apapun antara keduanya, maka
hal tersebut tidak termasuk ke dalam kajian sastra banding.
C. Tujuan dan Ruang Lingkup
a. Tujuan
Menurut Endraswara, sastra bandingan memiliki beberapa tujuan,
di antaranya adalah:
1. Untuk mencari pengaruh sastra satu dengan yang lain dan atau
pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra;
2. Untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinal
dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra;
3. Untuk menghilangkan kesan bahwa karya sastra nasional
tertentu lebih hebat dibanding karya sastra nasional yang lain.
Dalam kaitan ini karya sastra dipandang memiliki kedudukan
yang sederajat. Setiap komunitas masyarakat memiliki tradisi
sastra yang memuat nilai-nilai tertentu pula;
4. Untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya
sastra satu dengan yang lainnya. Hal ini sekaligus untuk
melihat buah pikiran kehidupan manusia dari waktu ke waktu;
5. Untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan
universal dalam sastra;
6. Untuk menilai mutu dan keindahan karya-karya sastra yang
berasal dari berbagai negara.
31
Tujuan tersebut mengisyaratkan bahwa orientasi sastra bandingan
tidak stagnan sehingga mengalami perubahan dari waktu ke waktu.45
Menurut Suwardi, tujuan tersebut tidak harus tercapai seluruhnya,
namun bisa saja hanya satu atau lebih sesuai dengan yang akan dicapai
oleh peneliti.
b. Ruang Lingkup
Secara umum, sastra bandingan mengkaji dua hal, pertama, Affinity
(pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme antar varian teks satu dengan
yang lain. Kedua, pengaruh karya sastra terhadap karya lain atau
pengaruh karya sastra tertentu pada bidang lain, dan atau sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, lingkup studi sastra bandingan dapat
dikembangkan lagi menjadi:
1) Perbandingan antara karya pengarang satu dengan lainnya,
pengarang yang sezaman, antar generasi, pengarang yang
senada, dan sebagainya.
2) Membandingkan karya sastra dengan bidang lainnya, seperti
arsitektur, pengobatan tradisional, takhayul, dan lain
sebagainya.
3) Kajian bandingan yang bersifat teoritik, sejarah, teori dan kritik
sastra
Namun demikian, dalam sastra bandingan seyogyanya
menitikberatkan pada dua hal:
1) Bahasa dan konteks budaya yang dipergunakan
2) Asal-usul pengarang atau kewarganegaraan pengarang yang
dianggap dominan.
Secara teoritis, ruang lingkup sastra bandingan dapat digolongkan
ke dalam empat bidang utama berikut ini:
45Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2004), h. 129
32
1) Kajian yang bersifat komparatif, yaitu menelaah teks A, B, C
dan seterusnya. Kajian ini biasanya biasanya juga disebut
dengan influence study dn atau affinity study.
2) Kajian bandingan historis, yaitu ingin melihat pengaruh nilai-
nilai historis yang melatarbelakangi kaitan antara satu sastra
dengan karya sastra lainnya atau mungkin antara karya sastra
dengan buah pemikiran manusia. Tugas studi ini untuk
melihat seberapa jauh pengaruh historis tertentu yang masuk
ke dalam pengarang sehingga mampu menciptakan karya
sastra. Kajian seperti ini, hampir mirip dengan kajian
strukturalis genetik.
3) Kajian bandingan teoritik, kajian ini bertujuan untuk
menggambarkan secara jelas tentang kaidah-kaidah kesastraan.
Sebagai contoh, peneliti dapat membandingkan berbagai genre,
aliran dalam sastra, kritik sastra (antara strukturalisme dengan
formalisme), tema, dan lain sebagainya.
4) Kajian antar disiplin ilmu, yaitu membandingkan antara karya
sastra dengan bidang lainnya, misalkan dengan kepercayaan,
politik, agama, seni, dan sebagainya. Titik tolak bandingan
adalah pada karya sastra, sedangkan bidang lainnya
bergunauntuk memperjelas informasi sastra. Penelitian seperti
ini diharapkan dapat memberikan informasi keilmuan yang
handal.
Sebagaimana disebutkan dalam definisi sebelumnya, bahwa studi
komparatif sastra adalah kajian tentang hubungan sejarah (al-‗alaqât al-
târikhiyah) antara suatu sastra dengan sastra lainnya. Dengan demikian,
maka dapat disimpulkan bahwa secara umum obyek kajian sastra
banding itu ada dua yaitu fenomena-fenomena sastra (al-dzawâhir al-
adabiyah) yang berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain, dan proses
33
terjadinya perpindahan sastra (kaifiyat al-intiqâl), yaitu bagaimana sastra
tertentu masuk pada sastra lain.
Adapun yang dimaksud dengan fenomena-fenomena sastra adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan materi-materi sastra (al-mâdah
al-adabiyah), sedangkan proses perpindahan, berkaitan dengan realitas
sejarah (al-haqâiq al-târikhiyah) yang menyertai proses perpindahan dan
berkaitan dengan materi-materi sastra.
Pada materi sastra (al-mâdah al-adabiyah), ada beberapa
kemungkinan yang terjadi dalam proses keterpengaruhan antar satu
sastra dengan sastra lainnya, bisa terjadi pada jenis sastra, format
penyajian, tehnik pengungkapan, tema, pola pikir ataupun emosi.
Untuk itu Shalahuddin al-Nadwi secara global menyebutkan tujuh
bentuk pokok persoalan yang bisa dijadikan sebagai objek kajian sastra
banding, yaitu:
1. faktor-faktor terjadinya perpindahan dari satu sastra ke sastra
lainnya. Dalam hal ini ada dua faktor utama yaitu: pengarang
dan karangan-karangannya. Kedua unsur tersebut disebut
dengan faktor-faktor kosmopolisme sastra, yaitu faktor-faktor
yang membantu proses perpindahan dari satu sastra pada
sastra yang lain. Adapun yang dimaksud dengan karangan
bisa berbentuk buku, majalah, naskah dan lain sebaginya.
Sedangkan tokoh yang sangat terkenal sangat memungkinkan
dalam memberi pengaruh terhadap orang lain.
2. kajian terhadap jenis atau genre sastra. Dalam hal ini dapat
dilihat apakah sastra tersebut termasuk jenis prosa atau puisi.
Prosa terbagi kepada bentuk novel, sastra sejarah, dialog,
ataukah monolog. Sedangkan jenis puisi dapat dilihat dari
epic, drama, vabel, dan lain-lain.
34
3. kajian pada tema-tema sastra. Di dalam sastra Arab tema
disebut juga dengan tujuan (aghradl).
4. keterpengaruhan penulis oleh sastra lain.
5. mengkaji sumber-sumber referensi penulis
6. kajian terhadap arus pemikiran
7. kajian terhadap negara yang sastranya telah mempengaruhi
penulis.46
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengkaji materi-materi
sastra adalah:
1. Realitas atau fakta-fakta sejarah yang berhubungan dengan
materi sastra.
2. Situasi dan kondisi yang turut mempengaruhi proses
perpindahan, serta hal-hal lain yang menyertainya.
3. Sejarah yang dapat menggambarkan perpindahan tersebut.
Baik al-mâdah al-adabiyah (materi sastra) maupun al-haqâiq al-
târikhiyah (realitas sejarah), keduanya tidak bisa dipisahkan dan berdiri
sendiri, namun satu sama lain saling berkaitan dan pada hakikatnya
terangkum dalam tujuh ruang lingkup kajian sastra banding sebelumnya.
D. Sastra Bandingan dalam penelitian ini
Secara psikologis maupun historis, bangsa Indonesia memiliki
kedekatan tersendiri dengan bangsa Arab. Hal yang sangat mendasar
disebabkan oleh unsur ideologi yakni keyakinan akan kebenaran Islam.
Maka tidak dapat dipungkiri, jika pada awal kebangkitan sastra
nusantara, beberapa genre dipengaruhi oleh sastra Arab seperti pada
syair. Jika demikian, maka tidak mustahil bila peribahasa Indonesia juga
dipengaruhi oleh amtsâl atau hikmah yang berasal dari Jazirah Arab. Sejauh
46 . Shalahuddin al-Nadwi, Muktarat min al-Adab al-Muqaran, hal. 29-32. . lih. Juga
Akram Malibari, Muqadimah fi al-Adab al-Muqaran, hal. 19-31
35
mana perbedaan dan persamaan antara kedua peribahasa ini, perlu kajian
yang secara khusus membandingkan keduanya atau yang dalam kritik
sastra dinamakan dengan sastra banding atau dalam bahasa Arab
dinamakan dengan al-adab al-muqâran.
Berdasarkan pada teori di atas, tujuan dari studi sastra banding ini
adalah:
1. Mencari hubungan dan unsur saling keterpengaruhan antara
peribahasa Indonesia dengan amtsâl Arab;
2. Mencari unsur persamaan dan perbedaan kedua peribahasa
baik dari aspek intrinsik maupun ekstrinsik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kami melakukan langkah
penelitian sebagai berikut:
1. Menelusuri sejarah munculnya kedua peribahasa, Arab dan
Indonesia;
2. Memetakan peribahasa secara historis, apakah peribahasa yang
yang satu mempengaruhi peribahasa yang lain atau tidak;
3. Menganalisis peribahasa yang dijadikan sampel dari aspek
intrinsik dan ekstrinsik;
4. Dari aspek intrinsik meliputi diksi yang digunakan oleh kedua
peribahasa serta isi/amanat yang terkandung di dalamnya.
5. Dari aspek ekstrinsik meliputi adat, budaya, sejarah, serta
geografi yang mempengaruhi kedua peribahasa tersebut.
Berdasarkan tujuan tersebut, unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
sastra perlu dibahas lebih rinci, agar bisa dijadikan sebagai landasan teori
pada saat menganalisis peribahasa Arab dan Indonesia.
Unsur instrinsik adalah unsur dalam atau batin yang membangun
suatu karya sastra. Unsur intrinsik prosa dalam beberapa hal berbeda
36
dengan unsur intrinsik puisi, demikian pula halnya peribahasa.47 Selain
gaya bahasa, unsur lain yang tidak kalah penting dalam intrinsik sastra
adalah amanat atau pesan moral. Karya sastra termasuk peribahasa,
senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat
luhur kemanusiaan, serta memperjuangkan hak dan martabat manusia.
Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal.
Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia
sejagad. Ia tidak hanya bersifat kesebangsaan apalagi keseorangan, walau
memang terdapat ajaran moral-kesusilaan yang hanya berlaku dan
diyakini oleh kelompok tertentu. Sebuah karya fiksi yang menawarkan
pesan moral yang bersifat universal, biasanya akan diterima
kebenarannya secara universal pula dan memungkinkan untuk menjadi
sebuah karya yang bersifat sublim, meski tentu saja tidak bisa ditentukan
hanya oleh unsur moral semata, tanpa melibatkan unsur sastra lainnya.48
Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan,
massage. Unsur amanat pada hakekatnya merupakan gagasan yang
mendasari penulisan karya sastra. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi akan sangat
berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan nonfiksi.49
Menurut William Kenny dalam bukunya How to Analyze Fiction,
sebagaimana dikutip oleh Burhan, moral seperti halnya tema, termasuk
unsur intrinsik sastra. Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan
oleh pengarang kepada pembaca, dan merupakan makna yang
terkandung dalam sebuah karya. Meski identik sama, tema dan moral
tidak selalu mengarah pada maksud yang sama. Tema pada dasarnya
47. Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.
89. 48 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada
University press, Cet Ke-8 2010, h. 322 49 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 321
37
bersifat lebih kompleks daripada moral, selain itu juga tidak memiliki
nilai langsung sebagai saran yang ditujukan kepada pembaca. Dengan
demikian, moral dapat dianggap sebagai satu wujud tema dalam bentuk
yang sederhana, sehingga tidak semua tema merupakan moral.50 Namun
demikian, kajian tentang moralitas dalam karya sastra tentu saja tidak
dapat berdiri sendiri, karena pasti ada hubungannya dengan latar
belakang pengarang dan situasi sosial budaya yang meliputinya yang
disebut dengaan unsur ekstrinsik.
Jenis ajaran moral itu sendiri mencakup berbagai persoalan,
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat tak terbatas.
Menurut Nurgiyantoro, secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan
manusia dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
1. Hubungan manusia dengan diri sendiri;
2. Hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam lingkup
sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam;
3. Hubungan manusia dengan Tuhannya atau disebut juga
dengan pesan religius. 51
Adapun yang dimaksud dengan unsur ekstrinsik sastra adalah
unsur luar yang turut mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra,
seperti biografi pengarang, sejarah, dan budaya. Secara garis besar, unsur
ekstrinsik sastra dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu unsur ekstrinsik
utama, yaitu pengarang, dan unsur ektrinsik penunjang yaitu norma-
norma, ideologi, tatanilai, konvensi budaya, konvensi sastra, dan konvensi
bahasa. Baik unsur utama maupun penunjang dapat ditelusuri dalam
setiap karya sastra.52
50 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian fiksi,Yogyakarta : Gadjah Mada
University press, Cet Ke-8 2010, h. 320, 51 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 52
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 2
38
Peribahasa pada dasarnya termasuk dalam kategori sastra lisan
yang banyak berkembang di masyarakat, meskipun kemudian banyak
yang dituliskan. Berdasarkan hal tersebut, identitas pencipta atau
pengarang peribahasa terutama dalam peribahasa Indonesia sangat sulit
untuk dilacak. Hal ini berbeda dengan peribahasa Arab (amtsâl), di mana
sebagian dari peribahasa yang berkembang di masyarakat asal-usulnya
masih bisa ditelusuri melalui metode periwayatan.
Wallahu ‗alam bi al-shawab.
39
BAB III
SEKILAS TENTANG AMTSÂL DAN
PERIBAHASA
A. Amtsâl
a. Pengertian Amtsâl
Salah satu bentuk prosa (natsr) yang muncul sejak zaman Jahiliyah
adalah amtsâl yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan
peribahasa. Amtsal adalah ungkapan yang beredar di masyarakat yang
berisi tentang pikiran yang bijak dan tentang aspek kehidupan manusia,
biasanya berbentuk kata-kata majaz yang cenderung imajinatif dan
mudah dihafal, bertujuan sebagai perbandingan dan nasehat kehidupan.
Secara definitif amtsâl merupakan sebuah ungkapan yang tidak
mementingkan keindahan dalam segi uslub dan maknanya, ia
mengandung nasihat dan sekaligus bersumber dari kejadian yang sesuai
dengan realitasnya. Hal ini sesuai dengan definisi yang diungkapkan oleh
Ibrahim Ali Abu al Khasyab dalam bukunya Turâtsuna al- Adaby:
Artinya: ―Amtsal adalah kalimat singkat yang diucapkan berdasarkan cerita atau
peristiwa yang menyerupai keadaan asal dimana matsal tersebut diucapkan‖.
Dengan kata lain amtsâl muncul di tengah masyarakat berdasarkan
suatu peristiwa dan tidak mesti dengan lafaz yang indah, tetapi ia
diucapkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada saat itu. Begitu pula
53 Ibrahim Ali Abu al-Khasyab dan Muhammad Abdul Mun‟im Khafajy,
Turâtsuna alAdaby, Shuwar min Rawaai‘ihi wa Malaamihihi, (Kairo: Dar al-Thiba‟ah al Muhammadiyah, tt), h. 84
40
susunan bahasa dalam Amtsal Arab adalah bersifat tetap dan tidak bisa
berubah selamanya, karena kalau berubah tidak boleh lagi dikatakan
amtsâl melainkan kalimat biasa saja, misalnya: artinya Syann
(nama laki-laki) dapat jodoh (pasangan) yang sepadan dengan Thabaqah
(nama Perempuan). Maka nama Syann dan Thabaqah tidak boleh diganti
dengan nama lain, karena itu mempunyai dasar sejarah atas
kemunculannya di masyarakat Arab. Jika hal itu dirubah, maka akan
berubah pula maknanya. Amtsal ini hampir sama dengan peribahasa
Indonesia “Bagaikan pinang dibelah dua”.
Menurut Ibn Manzhûr, pakar bahasa Arab penulis kamus Lisan al-
‗Arab, amtsâl adalah ungkapan persamaan (taswiyah). Kata amtsâl adalah
bentuk jama‘ dari matsal. Kata matsal, mitsl dan matsîl penggunaannya
sama dengan syabah, syibh dan syabîh dari segi maknanya saja54. Beda
halnya dengan al-Fairuzabadi yang mengatakan bahwa persamaan
penggunaan kata matsal , mitsil dan matsil dengan syabah, syibh dan syabih
itu tidak hanya berlaku pada maknanya saja, tetapi juga mencakup
lafaznya. Satu hal yang menunjukkan keserasian antara amtsal dan tasybih
adalah bahwa kata tasybih bersifat umum sedangkan amtsal bersifat
khusus, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa setiap amtsal pasti
merupakan tasybih, tetapi tidak setiap tasybih merupakan amtsal55. Ibnu
Faris dalam kitabnya Mu‘jam al-Lughah mengatakan bahwa mim, tsa dan
lam (matsala) awal mulanya berfungsi untuk menunjukkan perbandingan
sesuatu dengan sesuatu yang lain56. Menurut Ibn al-Arabi al-mitsal
(dengan kasrah pada mim) menunjukkan ungkapan perumpamaan yang
mudah diraba oleh panca indra (mahsus), sedangkan al-matsal (dengan
54 Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim Ibn Manzur, Lisan al-Arab
(Beirut: Dar Sadir, tt (hlm 610 55 Abd al-Qahir al-Jurjani, Asrar al-Balaghah fi ‗ilm al-Bayan (Beirut: Dar al-Kutub
al-ilmiyah, 1998), hlm 177 56 Ibnu Faris, Mu‘jam al-Lughah, h. 25
41
fathah pada mim dan tsa, maknanya menunjukkan sifat yang
penyerupaannya tidak mudah dijangkau oleh panca indra (ma‘qul)57.
Selain itu, kata mitsl mempunyai kemungkinan makna yang lain yaitu
Washf atau penyipatan dan shifah atau sifat. Kata ini digunakan baik
dalam makna hakiki maupun makna kiasan. Akan tetapi pengertian mitsl
dengan sifat ini dibantah oleh ahli Bahasa Zarkasyi (wafat 794H)
tampaknya tidak umum dalam istilah bahasa Arab. Kata mitsl disini lebih
tepat atau lebih dekat maksudnya dengan makna tamtsil (penggambaran,
memberi contoh). 58
Secara etimologis pengertian amtsal ada tiga macam; pertama, bisa
berarti perumpamaan, gambaran atau penserupaan. Kedua; bisa berarti
kisah atau cerita yang sifatnya menakjubkan, dan yang ketiga, bisa berarti
sifat keadaan atau tingkah laku. Sedangkan secara terminologis amtsal
didefinisikan oleh para ahli sastera adalah ungkapan yang sifatnya
menyamakan sesuatu dengan sesuatu. Penggunaan ungkapan itu
dimaksudkan untuk mempengaruhi dan menyentuhkan kesan, seakan
sipembuat perumpamaan mengetuk telinga si pendengar (menguatkan
pesan) sehingga pengaruhnya menembus kalbu 59
Dalam bahasa Arab, istilah pemaknaan matsal (pepatah) juga dekat
dengan pemaknaan hikmah (kata mutiara). Hikmah yaitu ungkapan ringkas
dan indah yang mengandung kebenaran yang dapat diterima oleh
masyarakat dan berisi tentang moral dan nasihat yang baik. Hanyasannya
ada sedikit berbeda dengan matsal, bahwa hikmah biasanya keluar dari
orang bijak (Hukama) yang berpengalaman dan berpengetahuan luas.
57 Tamtsil Ayat-ayat al-Qur‘an, h. 5 58 Ja‟far Subhani, Wisata al-Quran tafsir ayat-ayat metafora, terj Amtsal fi alQuran,
Jakarta, al-Huda: 2007, cet pertama, h 3 59 Ibrahim Ali Abu al-Khasyab dan Muhammad Abdul Mun‟im Khafajy,
Turatsuna alAdaby, Shuwarun min rawaai‘ihi wa malaamihihi, (Kairo: Dar al-Thiba‟ah al Muhammadiyah, tt), h
42
Maka, kemunculan hikmah berbeda dengan kemunculan matsal yang
terikat dengan kejadian atau peristiwa tertentu (asbab al-wurûd).
Penulis buku al-Wasith fi al-Adab al-‗Arabi wa Tarikhihi
mengkategorikan amtsal dan hikmah ke dalam kalam Arab atau ungkapan-
ungkapan bangsa Arab. Amtsal maupun hikmah bisa dalam bentuk puisi
maupun prosa, tergantung gaya bahasa atau performa yang digunakan.
Adapun yang dimaksud dengan amtsal adalah ungkapan atau pepatah
yang biasa digunakan untuk mengumpamakan suatu hal dengan hal lain.
Sedangkan hikmah adalah ungkapan indah yang di dalamnya terkandung
kebijaksanaan dan kebenaran. Baik hikmah maupun amtsal keduanya bisa
dalam bentuk puisi maupun prosa.60
Secara terminologi, Ahmad al-Hasyimi penulis buku Balaghah
yang sangat terkenal di Indonesia mendefinisikan amtsâl dengan
ungkapan singkat yang beredar di masyarakat dan digunakan untuk
mengkiaskan sesuatu hal yang baru dengan sesuatu yang pernah terjadi
sebelumnya. Oleh karena, itu menurut Ahmad al-Hasyimi amtsal terdiri
dari dua unsur, pertama maurid atau peristiwa lama yang pernah terjadi
dan dijadikan sebagai perumpamaan, kedua mudhrab yaitu peristiwa baru
yang menyerupai peristiwa lama yang kemudian diumpamakan.61
Sebagai contoh:
Balasan Sinimmar
Jaza Sinimmar adalah kisah tentang orang yang berbuat baik pada
orang lain namun dibalas dengan kejahatan (kisahnya akan dibahas pada
bab IV). Bila terjadi kisah yang sama, yaitu kebaikan dibalas dengan
60 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa „Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa
Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, tth), h. 15-16 61 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma‘ani, al-Bayan wa al-Badi‘,
(Indonesia: maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1960), h. 336
43
kejahatan, maka kisah Sinimmar menjadi maurid, sedangkan kisah yang
mirip dengannya disebut dengan mudhrab.
Amtsal telah berkembang sejak zaman pra-Islam. Setelah Islam
dating, corak amtsal lebih cenderung pada hikmah. Hal ini dapat dilihat
dari isi yang terkandung di dalamnya. Amtsâl Jahiliyah lebih
menggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh
dengan kefanatikan terhadap kelompok dan suku. Tokoh terkenal amtsal
dan hikmah pada masa jahily adalah Aktsam bin Shaify at-Tamimi, Qus
bin Sa‟idah al-Iyadi dan Zuheir bin Abi Sulma62. Sedangkan amtsal dan
hikmah pada masa Islam lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat
religius berdasarkan al-Quran dan al-Hadits, bahkan “amtsal al-Quran”
menjadi pembahasan tersendiri. Tokoh pada masa ini antara lain Ali bin
Abi Thalib dengan karyanya Nahjul Balaghah. Pada masa Abbasiyah dan
seterusnya, lebih menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan
filsafat sosial dan akhlak. Tokohnya Ibnu Muqaffa (720-756 M), dengan
bukunya yang terkenal dengan nama”Kalilah wa Dimnah”.
Dalam al-Quran banyak kita dapatkan amtsal (perumpamaan),
misalnya perumpamaan tentang orang kafir, orang-orang yang
mendustakan ayat Allah, tentang kehidupan dunia, orang-orang munafik,
perumpamaan orang-orang yg gemar bersedekah dan lain-lain, sehimgga
dengan demikian, amtsal bukan hanya berfungsi sebagai ungkapan yng
beredar di masyarakat, tetapi juga digunakan sebagai media dakwah oleh
para muballigh.
62 Ibrahim Ali Abu al Khasyab dan Muhammad Abdul Mun‟im Khafajy,
Turatsuna alAdaby, shuwarun min rawaai‘ihi wa malaamihihi, Dar athiba‟ah al Muhammadiyah, al Azhar, Kairo, tt, h
44
b. Macam-macam Amtsal Arab
Sayyid Syaqir membagi amtsal ke dalam lima bagian, yaitu: Al-
amtsal al-Hikmiyyah, Al-mtsâl at-Târikhiyyah, Al-amtsal al-Khurafiyyah, Al-
amtsal as-sâirah (asy-Sya‘biyyah) dan Al-Amtsal al-Fukahiyyah:
1. Al-Amtsal al-Hikmiyyah.
Al-amtsal al-hikmiyyah yaitu amtsal yang menyerupai kata hikmah
(kata mutiara atau nasihat) baik dari keindahan lafaznya ataupun
maknanya63, contoh:
“Janganlah engkau memegang ekor ular sedangkan kepalanya dilepas, jika engkau
cerdik, peganglah kepalanya‖
Matsal ini menyerupai hikmah (kata mutiara), karena ia memakai
kata-kata yang indah berupa tasybih dalam ilmu Balaghah. Disamping itu
juga ia mengandung nasihat yang baik, yaitu jika engkau ingin
menyelesaikan suatu masalah, lihatlah/kembali pada pokok
permasalahan. Tokoh jenis amtsal ini pada masa Jahiliyah antara lain
Aktsam bin Shaify.
2. Al-Amtsâl at-Târikhiyyah.
Al-Amtsâl at-Târikhiyyah yaitu amtsal yang muncul berdasarkan
hikayat atau sejarah pembesar atau penguasa suatu kaum dalam
melaksanakan sikap politiknya terhadap bawahannya, misalnya :
―Laparkanlah anjingmu, maka ia akan mengikutimu‖
3. Al-amtsal al-Khurafiyyah.
63 Hikmah (hikam) artinya kata mutiara, sedangkan matsal artinya pepatah atau
peribahasa. Hal yang membedakan hikmah dengan matsal antara lain bahwa secara lafaznya matsal tidak perlu indah, sedangkan hikmah disamping maknanya merupakan nasihat juga harus disampaikan dengan kata-pkata yang indah. „Ali Abu Khasyab, Turatsuna al-Adabi, hal. 87
45
Al-amtsal al-Khurafiyyah adalah amtsal yang muncul berdasarkan
cerita binatang, yang mengandung I‟tibar, nasihat dan ajaran-ajaran yang
baik, misalnya amtsal yang terdapat pada kisah Kalilah wa Dimnah
karangan Ibnu Muqaffa‟ yang terdapat pada cerita seribu satu malam.
Manusia pada awal kehidupan, mereka belajar dari falsafah hidup
Ghurab (burung gagak) begitu juga amtsal Khurafiyah ini banyak
terdapat pada kisah Nabi Sulaiman yang digambarkan dengan burung
Hudhud, cerita tentang ratu Bilqis seorang ratu negara Saba, sebagai
contoh: " ." , yang artinya “Setiap buruan itu ada di
tengah keledai hutan”. Maksud dari pepatah ini adalah kiasan bagi
sseseorang yang mendapatkan sesuatu yang terbaik di antara kawan-
kawan lain yang sama-sama menginginkannya.
Asal mula dari pepatah ini adalah ada tiga orang pemburu
binatang di hutan. Yang seorang mendapatkan kelinci, yang seorang lagi
kijang, dan yang ketiga keledai hutan. Yang pertama dan kedua itu
merasa bangga dengan hasilnya masing-masing. Yang ketiga diam saja,
tetapi tiba-tiba ia berkata: aah apa yang kalian dapatkan itu? Lihat hasilku
ini , semua buruan ada di tengah keledai hutan. Ia berkata demikian
dengan apa yang ia hasilkannya itu adalah sebaik-baiknya, dan kalau
sudah mendapatkan itu, tidak lagi memerlukan yang lain. Jadi, pepatah
ini diangkat dari cerita tentang binatang yang mereka dapatkan, sehingga
menjadi „itibar dan nasehat yang baik.
4. Al-Amtsal as-Sâirah (asy-Sya‘biyyah).
Al-Amtsal as-Sâirah (asy-Sya‘biyyah) yaitu amtsal yang
menggambarkan suatu adat dan prilaku serta kemuliaan suatu bangsa
(masyarakat), baik kehidupan pedesaan ataupun perkotaan misalnya
artinya, Engkau (perempuan) telah sia-siakan air susu
46
pada musim kemarau. Matsal ini ditujukan kepada orang yang
melewatkan kesempatan yang baik.
5. Al-Amtsal al-Fukahiyyah.
Al-Amtsal al-Fukahiyyah ialah amtsal yang menggambarkan kehidupan
prilaku manusia berupa keinginan ataupun harapan pada masa lampau
lalu kemudian akhirnya terwujud, misalnya " " menggambarkan
nilai keserasian pasangan yang sepadan sebagai realisasi dari sebuah
harapan dari seorang laki-laki (Syann) yang mencari pasangan hidup
(Thabaqah).64
Ahmad Al-Hasyimi membagi amtsal ke dalam dua bagian saja,
yaitu amtsal haqiqiyah dan amtsal fardhiyyah. Adapun yang dimaksud
dengan amtsal haqiqiyah adalah peribahasa yang banyak beredar di
masyarakat namun berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi, sedangkan
amtsal fardhiyyah adalah peribahasa yang tidak jelas asal muasalnya dan
biasanya menggunakan gaya bahasa fabel atau kisah tentang binatang.
Contoh amtsal haqiqiyah bisa dilihat pada pembahasan berikutnya
terutama amtsal yang menggunakan nama-nama orang sebagai simbol,
seperti Sinimmar dalam jaza‟ Sinimmar, Mutalamis dalam surat
Mutalammis, Hatim al-Tha‟I, Luqman al-Hakim, dan lain-lain. Begitu juga
dengan amtsal fardhiyyah, dapat dilihat dalam peribahasa yang
menggunakan nama binatang sebagai simbol, seperti unta, anjing, singa,
dan lain-lain.
c. Gaya Bahasa Amtsâl
Sebagaimana syair, amtsal memiliki gaya bahasa tersendiri yang
berbeda dari genre sastra lainnya. Gaya bahasa yang paling banyak
digunakan dalam amtsal adalah isti‘arah tamtsiliyyah dan tasybih tamtsil.
Selain kedua gaya bahasa tersebut, gaya bahasa lainnya yang tidak kalah
64 Mahmud Sayyid Syaqir, Alwan min al-Tarbiyyah al-‗Arabiyyah, h. 18-25
47
menarik adalah banyaknya digunakan isim tafdhil yang mengandung kata
lebih, seperti lebih buruk, lebih cantik untuk membandingkan sesuatu hal
yang baru dengan yang lama.
Gaya bahasa tasybih tamtsil termasuk pada gaya bahasa yang
paling baik dalam kategori tasybih (perumpamaan). Sebelum memahami
maksud dari tasybih tamtsil, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan tasybih itu sendiri. Tasybih secara bahasa adalah
tamtsil atau perumpamaan. Sedangkan secara terminologi adalah
membandingkan dua hal atau lebih karena persamaan sifat yang dimiliki
keduanya dengan menggunakan artikel ( ) tertentu sesuai tujuan
pembicara.65
Ada empat unsur yang membangun gaya bahasa tasybih, yaitu:
1. Musyabbah: sesuatu yang dijadikan sebagai rujukan
perbandingan (pebanding)
2. Musyabbah bih: sesuatu yang diserupakan
3. Wajh al-syibh: sifat yang dianggap menyerupai atau sama
4. Adat al-Tasybih: alat analogi, seperti bagaikan, seperti, ibarat,
seumpama, dll. Dalam bahasa Arab alat analogi di antaranya: ،ك
مثل
Adapun yang dimaksud dengan tasybih tamtsil adalah
perumpamaan yang wajh al-syibnya terdiri dari berbagai karakter atau
sifat, seperti:
Orang itu ibarat bintang, cahayanya bersinar dalam satu bulan lalu terbenam
Tasybih tamtsil terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
65 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, h. 247
48
1. Tasybih tamtsil dengan menggunakan alat analogi yang
jelas. Contoh dalam al-Qur‟an al-Karim:
―Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada
memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal‖
Dalam ayat tersebut, alat analogi digunakan secara jelas yaitu kata
matsal yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan perumpamaan, dan
seperti.
2. Tasybih tamtsil tanpa menggunakan alat analogi. Contohnya
dalam peribahasa Arab:
Aku melihatmu memajukan satu kaki dan memundurkan yang lainnya
Ungkapan ini ditujukan pada orang yang ragu-ragu, sehingga
kadang maju kadang mundur. Ungkapan asli peribahasa tersebut adalah
aku melihatmu ragu-ragu bagaikan orang yang melangkah, lalu mundur
kembali.
Kedua jenis gaya bahasa ini banyak digunakan dalam peribahasa
Arab. Di antara peribahasa Arab yang menggunakan alat analogi:
Bagaikan orang yang mencari binatang buruan di persembunyian singa
Bagai orang yang menulis di atas air
66
QS: al-Jum’ah, 62 67
Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 283
49
Bagai Burung unta, bukan burung bukan pula unta
Orang yang bertobat dari suatu dosa, bagai orang yang tanpa dosa
Posisi tasybih tamtsil seperti disebutkan dalam kitab Jawahir al-
Balaghah biasanya berada di awal kalimat atau setelah makna kalimat
sempurna, dengan kata lain di akhir kalimat.68 Hal ini tampak jelas dari
kutipan peribahasa-peribahasa di atas. Sebagian besar peribahasa di atas
menempatkan tasybih tamtsil di awal kalimat, yaitu dengan
menggunakan huruf kaf dan kata mitslu yang berarti bagai di awal
kalimat. Adapun peribahasa terakhir menempatkan tasybih tamtsil di
akhir sebagai penyempurna kalimat dengan menggunakan huruf kaf.
Secara kuantitas, peribahasa Arab yang menggunakan alat analogi
tidaklah sebanyak peribahasa yang tanpa alat analogi. Berikut ini
beberapa peribahasa yang menggunakan struktur tanpa alat analogi:
Sayur sebulan dengan duri setahun
Ungkapan ini sebagai kiasan bagi orang yang kebaikannya sedikit
dan banyak keburukannya. Asal ungkapan adalah kebaikan yang sedikit
dan keburukanmu yang banyak itu, ibarat sayur sebulan dan duri
setahun.
Bumi yang rendah itu menghisap airnya sendiri dan air orang lain
Asal ungkapan adalah saya melihat orang yang bertabiat buruk
dan jahat itu ibarat bumi yang rendah yang menghisap airnya sendiri dan
juga air orang lain. Artinya kesombongan, kejahatan, ketamakan dan
68
Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, h. 266
50
sikap buruk lainnya, bukan hanya menghancurkan diri sendiri, tapi juga
orang di sekelilingnya.
Adapun yang dimaksud dengan Isti‘arah tamtsiliyyah adalah
ungkapan yang dibuat untuk membandingkan suatu sifat, keadaan, atau
peristiwa secara langsung tanpa alat analogi. Makna lainnya adalah
ungkapan yang digunakan bukan pada makna yang sebenarnya, karena
adanya kemiripan antara makna hakiki dengan makna majasi disertai
dengan indikator yang mengalihkannya dari makna yang sebenarnya.
Isti‘arah tamtsiliyyah pada dasarnya terbentuk dari tasybih tamtsil. Sebagai
contoh:
Perigi itu lebih kekal dari talinya
Asal ungkapan adalah orang yang ditipu itu biasanya lebih baik
rizkinya dibanding si penipu itu sendiri, atau orang yang memberi itu
biasannya jauh lebih baik nasibnya dibanding orang yang menerima,
seperti halnya sumur yang biasanya lebih langgeng dan lebih kuat dari
tali sumur itu sendiri. Dan masih banyak lagi.
Dalam peribahasa di atas, kata al-bi‘r (sumur) sebenarnya bukanlah
makna yang diinginkan atau bukan makna yang sebenarnya, begitu pula
dengan kata al-risya‘ (tali sumur). Sumur sebagaimana kita tahu selalu
dimanfaatkan atau diambil airnya, dan tali timba adalah alat untuk
mengambilnya. Oleh karena itu, kata sumur diumpamakan sebagai orang
yang dirugikan dan tali adalah orang yang merugikan. Adapun indikator
yang mengalihkan maksud tersebut adalah kontesk pembicaraan yang
kemudian menjadi peribahasa. Gaya bahasa seperti ini disebut dengan
isti‘ârah tamtsîliyyah atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
metafora. Isti‘ârah tamtsîliyyah dalam ilmu balaghah adalah bagian dari
majas.
51
Ahmad al-Hasyimi memberikan contoh isti‘arah tamtsiliyyah dalam
amtsal:
Di musim kemarau kau sia-siakan susu
Peribahasa ini berasal dari sebuah cerita tentang perempuan
bernama Daktanus binti Laqith istri Amr bin Udas. Suami Daktanus
sudah tua, namun kaya. Daktanus sendiri masih belia, oleh karena itu ia
tidak suka terhadap suaminya, lalu minta cerai. Tidak lama kemudian ia
menikah dengan seorang laki-laki tampan namun miskin. Pada saat
kemarau tiba, ia merasakan kesengsaraan yang luar biasa. Ia kemudian
menyuruh seseorang untuk meminta susu pada mantan suaminya.
Namun yang ia dapatkan bukan susu, melainkan ungkapan di atas. Kisah
ini kemudian menjadi kiasan bagi orang yang menyia-nyiakan
kesempatan. Peribahasa ini sama dengan amtsal hikmiyyah:
Hari-hari yang telah lalu tidak akan pernah kembali
Contoh lain dari isti‟arah tamtsiliyyah:
―Aku melihatmu melangkahkan satu kaki dan memundurkan yang lainnya‖
Orang yang kadang melangkah kadang mundur lagi
diumpamakan sebagai orang yang ragu-ragu terhadap sesuatu. Demikian
beberapa contoh dari isti‘arah tamtsiliyyah dan masih banyak contoh
lainnya dalam amtsal.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu gaya
bahasa amtsal adalah tasybih tamtsil. Tasybih tamtsil biasanya
69 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma‘ani wa al-Bayan wa al-Badi‘, h.
333
52
menggunakan alat analogi seperti bagai, seperti, laksana, dan lainnya.
Namun dalam peribahasa Arab ada alat analogi lain yang berbeda dengan
yang lainnya, yaitu menggunakan isim tafdhil sebagai alat pebanding.
Isim tafdhîl adalah kata sifat yang diambil dari kata kerja untuk
menunjukkan makna lebih dari, atau paling.70 Dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah comparative degree. Sebagai contoh:
Khalil lebih pintar dan lebih baik dari Sa‘id
Kata a‘lam dan afdhal adalah isim tafdhil dari kata kerja „alima yang
berarti pintar dan hasuna yang berarti baik. Isim tafdhil bisa dimaknai lebih
dari bila dirangkai dengan artikel min ( ), namun bila tanpa min
diartikan dengan paling atau ter, contoh:
Ahmad siswa terpintar di kelas
Ada dua bentuk isim tafdhil dalam bahasa Arab, yaitu af‘alu ( )
untuk mudzakkar (laki-laki), fu‟la ( ) untuk mu‘annats (perempuan).
Selain kedua bentuk tersebut, ada jenis isim tafdhil yang berbeda dari
aslinya karena alasan sulit diucapkan seperti kata, khair ( ) asalnya
akhyar ( ), Syarr ( ) asalnya asyarru ( )dan habb ( ) asalnya
70 Mushtafa Ghalayaini, Jami‘ al-Durus al-‗Arabiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-
„Ashriyyah, 1987), Juz. 1, h. 193
53
ahabbu ( ). Isim tafdhil hanya bisa dibentuk dari kata kerja yang bersifat
tsulatsi yaitu tiga huruf seperti kata ka-ru-ma ( ).71
Dalam amtsal corak gaya bahasa dengan menggunakan isim tafdhîl
banyak ditemukan. Berikut ini beberapa contoh peribahasa yang
menggunakan isim tafdhîl :
Lebih Bijak dari Lukman (al-Hakim)
Lebih dermawan daripada Hatim72
Lebih cakap berpidato dari Sabhan Wa‘il
Lebih kikir dari si Madir
Bila diperhatikan, banyaknya peribahasa Arab dengan
menggunakan gaya bahasa isim tafdhil (comparative degree) tidak terlepas
dari watak bangsa Arab yang suka berlebihan (lebay) atau mubalâghah.
Kita ambil salah satu contoh yang ada di balik peribahasa di atas:
Lebih dungu dari si Dughah
Dalam peribahasa di atas terkandung sebuah cerita yang
menunjukkan kebodohan manusia yang luar biasa bahkan sulit untuk
dipercaya. Dughah adalah seorang ibu yang memiliki anak bayi. Suatu
71 Masih ada beberapa syarat lain dalam membentuk isim tafdhil. Hal ini bisa
dibaca dalam pelajaran ilmu nahwu atau ilmu tata bahasa Arab. 72 Hatim al-Tha‟i
54
ketika ia mendapati anaknya selalu gelisah, sulit tidur, dan selalu
menangis. Ketika diperiksa, ia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada
tubuhnya, namun ia melihat ubun-ubun anak tersebut bergerak-gerak
kembang kempis. Tanpa ragu ia menyuruh madunya untuk mengambil
pisau dan membedah otak anaknya, lalu mengeluarkannya dari ubun-
ubun. Madunya kemudian bertanya, apa yang dilakukannya. Ia kemudian
menjawab, bahwa itulah yang selalu mengganggu anaknya. Ada kotoran
di kepalanya, dan setelah dikeluarkan anaknya tidur dengan lelap. Iapun
berhasil menidurkan anaknya untuk selama-lamanya.73
Peristiwa kebodohan yang ditunjukkan dughah dalam peribahasa di
atas adalah peristiwa yang sangat luar biasa, namun demikian peribahasa
Arab masih juga menggunakan kata ahmaq yang artinya lebih bodoh dari
dughah. Hal ini jelas menunjukkan salah satu karakter bangsa Arab yang
suka dilebih-lebihkan (mubalaghah). Begitu juga dengan kisah-kisah
lainnya,seperti yang sudah dibahas sebelumnya.
Semua isim tafdhil yang digunakan dalam peribahasa Arab
menggunakan bentuk af‘alu untuk mudzakkar atau laki-laki. Dan tidak
ditemukan dalam bentuk fu‘la. Budaya bangsa Arab yang lebih
mengutamakan laki-laki dibandingkan dengan perempuan, jelas
mempengaruhi gaya bahasa amtsâl.
Selain menggunakan wazan af‘alu, bentuk isim tafdhil lainnya yang
juga banyak digunakan adalah khair ( ) dan Syarr ( ). Contoh kata
khair:
Sebaik-baiknya perkara adalah yang membuatmu bahagia di dunia dan akhirat
73 Kisah ini diawali dengan qila atau cerita yang bersumber dari katanya, dan
tidak dapat diyakini kebenarannya.
55
Sebaik-baiknya sahabat adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan
Sebaik-baiknya perkara adalah menjaga lisan
Sebaik-baiknya kekayaan adalah qana‘ah (sifat menerima)
Sebaik-baiknya pengetahuan adalah yang mendatangimu
74........
Bila diperhatikan secara cermat, kata khair lebih banyak digunakan
dalam konteks ajaran Islam. Hal ini tampak pada diksi yang digunakan,
seperti kata darain untuk penyebutan dunia dan akhirat, al-qanu‘ atau kata
lain dari qana‘ah salah satu ajaran Islam yang mengharuskan umatnya
menerima segala apa yang telah diberikan Allah SWT, dan lain
sebagainya.
Kata syarr dalam peribahasa Arab tidak sebanyak kata khair. Hal
ini dapat dipahami bahwa islam lebih banyak menganjurkan untuk
berbuat kebaikan. Contoh peribahasa dengan kata Syarr:
Seburuk-buruknya manusia adalah yang berbuat jahat tanpa perduli kalau ia dilihat oleh
orang lain
74
Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 220-226 75
Peribahasa dengan tema kata Syarr dapat dilihat dalam Peribahasa Bahasa Arab, h. 343-345
56
Seburuk-buruknya manusia adalah orang yang ditakuti oleh orang lain.
Ditakuti di sini maksudnya bukan disegani, namun merasa takut
jikalau orang tersebut berbuat jahat padanya, mungkin karena
kedudukannya, kekayaannya, kezalimannya, kecerobohannya, dan lain-
lain.
Bila diperhatikan dengan cermat, peribahasa yang menggunakan
kata khair lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam, bukan lagi berasal
dari masa pra-Islam. Beberapa diksi yang digunakan jelas sekali lebih
bersifat islamis, seperti istilah fiqh (untuk pengetahuan), dârain untuk
istilah dunia dan akhirat, qana‘ah, atau kata-kata yang lebih menunjukkan
prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti metode jual beli, metode berbicara,
memberdayakan kekayaan, dan lain sebagainya. Kata khair juga lebih
bersifat motivasi untuk seseorang agar melakukan hal yang baik. Pada
kata syarr, diksi yang digunakan lebih bersifat umum, sehingga sulit
menentukan asal-usulnya.
d. Manfaat Amtsal
Munculnya amtsal dalam ranah sastra memiliki banyak manfaat, di
antaranya:
1. Menyingkap hakikat diri mengemukakan sesuatu yang tidak
nampak menjadi sesuatu yang seakan-akan nampak.
2. Menonjolkan sesuatu yang hanya dapat dijangkau dengan
akal menjadi bentuk kongkrit yang dapat dirasakan atau
difahami oleh indra manusia.
3. Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam
memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan
peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Bahkan sering
dikatakan dalam al-quran Allah SWT sering menyebut
amtsal untuk peringatan dan supaya diambil „ibrahnya.
57
4. Memberikan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para
cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan
diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.
5. Memotivasi orang untuk mengikuti dan mencontoh
perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsal.
6. Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam
ungkapan yang padat76
B. Peribahasa
a. Pengertian peribahasa
Peribahasa adalah ungkapan dalam bentuk kata atau frasa yang
mengandung arti kiasan.77 Bahasa Indonesia memiliki banyak sekali
peribahasa. Sering dikatakan bahwa peribahasa termasuk suatu bagian
yang tidak mudah dipahami dalam bahasa Indonesia, padahal
sesungguhnya sering kita tidak sadar bahwa kata-kata yang kita gunakan
bukan lagi kata biasa melainkan peribahasa. Tuturan seperti membanting
tulang, berotak udang, bertukar cincin, menjadi kambing hitam,
semuanya merupakan peribahasa karena digunakan dengan arti kiasan.
Dengan peribahasa menjadikan bahasa lebih hidup dan indah, karena
pemakaian bahasa menjadi lain dari bahasa yang dipakai dalam
percakapan sehari-hari, Ia bagaikan bumbu yang menambah lezatnya
makanan.
Adapun definisi peribahasa dalam Bahasa Indonesia tidak jauh
berbeda dengan Amtsal Arab. Menurut KBBI, ada dua definisi peribahasa:
1. Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap
susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam
peribahsa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan).
76Lihat Kadar M Yusuf, Study al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2009), hal 88 77 J.S. Badudu, Kamus Peribahasa, (Jakarta: Kompas, 2009), h. XI
58
2. Ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan,
perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah
laku78.
Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu
perbandingan makna yang sangat jelas karena ia didahului oleh perkataan
seolah-olah, ibarat, bak, seperti, laksana, macam, bagai dan umpama.
Susunan kata dalam peribahasa bersifat tetap. Sebab, jika diubah susunan
kata itu tidak lagi dapat dikatakan peribahasa, melainkan sebagai kalimat
biasa.
Pada perkembangannya peribahasa Indonesia sudah sering
digunakan oleh masyarakat terutama di kalangan para da‟I, mereka lebih
banyak menggunakan peribahasa dalam menyampaikan dakwahnya. Hal
ini sesuai dengan fungsi peribahasa itu sendiri yaitu memperjelas atau
memberi pemahaman sesuatu pengertian yang sulit difahami menjadi
mudah dimengerti. Peribahasa Indonesia pada dasarnya adalah fenomina
bahasa yang bersifat universal dan mengandung makna-makna universal.
Tiap bangsa memiliki peribahasa yang berbeda sesuai dengan kondisi
sosial, budaya, sejarah serta geografi yang mempengaruhinya. Keaneka
ragaman adat istiadat, budaya dan bahasa di negara Indonesia
berpengaruh pada perbendaharaan kalimat, namun memiliki kesamaan
dalam makna.
Dari dua definisi diatas terdapat kesamaan, bahwa amtsal Arab
dan peribahasa Indonesia merupakan ungkapan yang sarat dengan
nasihat dalam kehidupan manusia.
b. Macam-macam peribahasa Indonesia
Peribahasa Indonesia terbagi ke dalam beberapa macam, yaitu:
78 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV, 2008
59
1. Bidal adalah peribahasa atau pepatah yang mengandung
nasihat, peringatan, sindiran, dsb.
2. Pepatah, merupakan peribahasa yang mengandung nasihat
atau ajaran dari para sesepuh (biasanya dipakai atau
diucapkan untuk mematahkan lawan bicara).
3. Ungkapan, adalah kelompok kata atau gabungan kata yang
menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering
kali menjadi kabur).
4. Perumpamaan, adalah peribahasa yang berisikan
perbandingan-perbandingan atau sering juga diartikan
sebagai peribahasa yang berupa perbandingan . biasanya
menggunakan kata-kata seperti, bak, laksana, ibarat,
umpama, bagai.
5. Ibarat, adalah (1) berkataan atau cerita yang dipakai sebagai
perumpamaan (perbandingan, lambang,
6. Tamsil, (1) persamaan dengan umpama(misal), contoh: Dia
hidupnya seperti katak dalam tempurung (2) ajaran yang
terkandung dalam cerita, ibarat; lukisan (sesuatu sebagai
contoh), banyak cerita yang mengandung untuk kanak-
kanak
7. Pemeo, (1) ejekan (olok-olok, sindiran) yang menjadi buah
mulut orang (2) perkataan yang lucu (untuk menyindir dsb,
misalnya “undang-undang hanya berlaku untuk rakyat
kecil” atau bisa juga merupakan peribahasa yang berupa
semboyan, berfungsi untuk ntuk mengobarkan semangat /
menghidupkan suasana79
79 Tim Agogos, Buku pintar Peribahasa Indonesia, Jakarta:New Agogos, cet 1, 2012
h. 2-4
60
Lebih ringkas lagi Putera Rais dalam bukunya “Panduan Super
Lengkap; Majaz, EYD, Peribahasa‖ membagi peribahasa menjadi tiga macam
(jenis):
1. Pepatah, adalah salah satu jenis dari peribahasa yang berisi
nasihat-nasihat, petuah atau ajaran tertentu.
2. Perumpamaan, adalah sejenis peribahasa yang memakai
kata-kata bermakna membandingkan diantaranya bagai,
bak, laksana, serupa, dan umpama.
3. Ungkapan dan kiasan, adalah kata yang mengandung arti
yang tidak sebenarnya, sedangkan yang dimaksud dengan
ungkapan adalah kelompok kata yang berfungsi untuk
menyatakan suatu maksud tertentu. Kelompok kata tersebut
bersifat tetap, tidak bisa disisipi kata-kata yang lain.
Misalnya Dia membawa buah tangan dari Bandung (buah
tangan=oleh-oleh). Atau misal lain Dosen itu menjadi buah
bibir mahasiswa (buah bibir_bahan perbincangan). Jadi,
ungkapan itu selalu berbeda-beda, tergantung konteks
kalimatnya80.
c. Gaya bahasa peribahasa Indonesia
Dalam kamus istilah sastra, gaya bahasa merupakan suatu
ungkapan yang berisi tentang kata-kata kiasan. Gaya bahasa merupakan
semua jenis ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu
dengan makna kias (bukan makna yang sebenarnya)81 , yang dalam sastra
Arab disebut dengan makna majazy. Maka, dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan gaya bahasa juga disebut “kias”, yaitu cara
80Putera Rais, Panduan super Lengkap, Majaz, EYD, Peribahasa, Yogyakarta: Buku
Pintar, cet 1, 2012, h 87-119 81 Putera Rais, Panduan super lengkap Majaz EYD Peribahasa, h. 7
61
mengungkapkan pikiran atau perasaan baik dalam bentuk tulisan
maupun lisan.
Gaya bahasa yang biasa juga disebut dengan majaz, juga bisa
diartikan sebagai cara mengungkapkan suatu pikiran atau perasaan
dalam bentuk tulisan atau pun lisan. Gaya bahasa merupakan salah satu
contoh pemanfaatan dari kekayaan bahasa, maka ia harus bisa memilih
kata yang tepat sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ibnu Manzur dalam
bukunya Lisan al Arab memberikan pengertian gaya bahasa (uslub), dan
membaginya pada dua bagian, pertama, secara hissy (indrawi) berarti garis
pada pohon kurma, jalan yang membentang atau jalan yang ditempuh
seorang musafir, dan kedua; secara maknawy adalah langkah seorang ahli
bahasa dalam memindahkan kalimat dari bahasa biasa ke bahasa sastra.82
Atas dasar ini Ahmad Syayib mengatakan bahwa gaya bahasa (uslub)
adalah seni berbicara baik dalam penuturan kisah atau dalam bercakap-
cakap, dengan memakai bahasa metafora, perumpamaan, dan sampiran
dalam bentuk kata mutiara atau pepatah.83 Artinya, gaya bahasa yang
menghiasi bahasa sastra bukan bahasa biasa, tetapi bahasa yang sudah
berbingkai yang disebut dengan “gaya bahasa” atau adalam bahasa Arab
dinamakan “Uslub”atau “style”84. Dengan demikian gaya bahasa yang
dipakai dalam peribahasa (kata mutiara dan pepatah) Indonesia, secara
umum tidak bergeser penggunaan dan pemaknaannya dari gaya bahasa
dalam peribahasa yang lainya, misalnya jika dalam bahasa Arab terdapat
82 Ibnu Manzur, Lisan al Arab, h 15 83 Ahmad Syayib, al-Uslub Dirasah balaghiyyah tahliliyyah li ushul al-Asalib al-
Adabiyyah, h. 41, Lihat pula Yani‟ah Wardani, Syair-syair Estetika Ibn al Qayyim al- Jauziyyah, (Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah), h. 39.
84 Menurut Gorys Keraf, style berasal dari kata latin, semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Alat ini sangat mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Maka style berubah menjadi kemampuan dan keahlian menulis dengan menggunakan kata-kata secara indah, yang dimaksud adalah “gaya bahasa”. Lihat Gorys Keraf, Diksi dan Gaya bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 112
62
makna majazy, begitupun dalam gaya bahasa peribahasa Indonesia
terdapat pula makna majas (makna kiasan).
Gaya bahasa (Majas) dalam kajian bahasa Indonesia terbagi pada
beberapa katagori, yaitu; Majas Perbandingan, Majas Penegasan, Majas
Sindiran, dan Majas Pertentangan85
Gaya bahasa yang terdapat dalam matsal dan peribahasa mayoritas
lebih menekankan pada pengumpaan sesuatu, umpama,‟bak, bagaikan,
seperti, laksana dsb, yang dalam gaya bahasa Arab dinamakan adat at
Tasybih, seperti kaf, mitsl, dharb, dsb.
Adapun fungsi dari penggunaan gaya bahasa antara lain : 1. Untuk
menegaskan sesuatu dengan lebih jelas 2. Untuk mengungkapkan suatu
maksud atau tujuan tertentu 3. Untuk membandingkan dua hal yang
berlawanan 4. Untuk mengumpamakan tentang sesuatu hal 5. Untuk
mengatakan suatu maksud tertentu dengan menggunakan kata yang
berlainan maksud tertentu.
C. Amtsâl dan Peribahasa dalam bentuk syair (puisi):
Selain jenis amtsâl dan peribahasa yang telah disebutkan
sebelumnya, ada jenis peribahasa yang memiliki kemiripan satu sama
lain, yaitu amtsâl dan peribahasa dalam bentuk syair (puisi). Hal ini
tampak pada contoh-contoh di bawah ini:
85Gaya bahasa atau majas dalam bahasa Indonesia terbagi dalam beberapa
bagian, antara lain, 1.Majas perbandingan, terbagi pada beberapa macam, yaitu Alegori, Alusio, Simile, Metafora, Antropomorfisme, Sinestesia, Antonomasia, Aptronim, majas Metonimia, majas Hipokorisme, majas Utotes, majas Hiperbola, majas Personifikasi, Pars pto toto, Totum pro parte, Eufimisme, Disfemisme, fabel, Parabel, Perifrase, Eponim, Simbolik, dan Asosiasi, 2. Majas Penegasan, terdiri dari Apofasis, Pleonasme, Repitisi, Pararima, Aliterasi, Pararelisme, Tautologi, Antanaklis, Klimaks, Anti klimaks, Inversi, Retoris, Elipsis, Koreksio, Polisidenton, Asindenton, Interupsi, Enskalamasio, Enumerasio, Preterio, Alonim, dan Silopsis. 3. Majas Sindiran, macam-macamnya yaitu Sarkasme, Ironi, Satire, Innuendo, Sinisme dan Antifrasis 4. Majas Pertentangan, macamnya yaitu, Paradoks, Oksimoron, Anakronisme, Kontradiksi interminus dan antithesis. (Lihat Putera Rais, Panduan super lengkap Majas EYD Peribahasa, Yogyakarta: Buku pintar, h 9-41) .
63
“Janganlah engkau potong ekor ular lalu kau lepaskan kalau kau pandai
membunuh sekalian kepala dan ekornya”
Amtsâl ini diucapkan oleh Abu Udzainah al-Lakhmy yang
mendorong al- Aswad ibn al-Munzir untuk membunuh para tawanannya
dari raja-raja Ghassasinah, dan jangan menerima fidyah tebusan86
Amtsâl ini sepadan dalam peribahasa Indonesia” Empang sampai ke
seberang, dinding sampai ke langit‖, atau Berguru kepalang ajar bagai bunga
kembang tak jadi‖ yang maksudnya, jika mengerjakan sesuatu jangan
setengah-setengah.87
“Nikmatilah wanginya bunga arar di kota Nejed, karena bunga Arar akan
kehilangan baunya pada malam hari‖.
Amtsâl ini perumpamaan agar menikmati sesuatu sebelum hilang.
Amtsâl ini diucapkan oleh as Shammah ibn Abdillah al Qusyairy88. Matsal
ini sepadan dengan peribahasa Indonesia”kumpulkan kuncup mawar selagi
bisa”.89
“Engkau mendatangkan air dengan air yang sepadan. Dan aku tidak berdosa, karena
telah ku katakan pada kaumku, minumlah!‖
Amtsâl ini sebuah perumpamaan bagi orang yang tidak mau
menerima peringatan. Dalam peribahasa Indonesia sepadan dengan
86 Ahmad Al-Iskandary, al-Wasith fi al-Adab al-‗Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-
Ma‟arif, 1978), h. 17 87J.S. Badudu, Kamus Peribahasa, memahami Arti dan Kiasanperibahasa, Pepatah , dan
Ungkapan, Jakarta: Buku Kompas, h 81 88 Ahmad Al-Iskandary, al-Wasith fi al-Adab al-‗Arabi wa Tarikhihi, h. 17 89Tim Generasi Cerdas, 3000 Peribahasa dan Pantun paling populer, (Jakarta:
Generasi cerdas), cet. 2, 2010, h. 110
64
“Bagai hujan jatuh ke pasir‖, artinya tidak ada gunanya mengingatkan
seseorang yang tidak pernah mau menerima peringatan itu90
“Bagaikan orang yang menanduk batu karang –pada suatu hari- untuk
menghancurkannya. Maka itu tidak akan terjadi, karena sekuat-kuat tanduk adalah
tanduk banteng‖
Padanan amtsâl ini dalam peribahasa Indonesia “Laksana burung
pungguk merindukan bulan” atau ―bagaikan menegakkan benang basah‖ atau
“seperti menerkam ayam dalam telor‖. Maksudnya, bagi orang yang
mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin tercapai.
“Ketika seseorang menyembunyikan karakter jahatnya, suatu saat akan diketahui jua‖.
Amtsâl ini sama saja dengan peribahasa Indonesia:“Sepandai-pandai
orang menyembunyikan bangkai, akan tercium juga‖ atau ―Mana busuk yang
tak berbau‖.
“Kuajari orang itu memanah setiap hari, tetapi setelah kuat lengannya aku sendiri yang dilempar anak panahnya‖.
Peribahasa ini kiasan bagi seseorang yang memberikan balasan
kejelekan setelah diberi kebaikan. Dalam peribahasa Indonesia “Air susu
dibalas dengan air tuba‖.
―Sesungguhnya hati, jika telah luka kecintaannya, ia bagaikan kaca yang retak tidak dapat ditambal lagi‖
90 J.S.Badudu, Kamus Peribahasa, Memahami arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah, dan
Ungkapan, (Jakarta: Buku Kompas, 2008), h. 22
65
Matsal diatas ini sepadan dengan peribahasa ―Hati yang terluka
adalah seumpamanya besi bengkok, walau telah diketuk, sulit kembali menjadi
bentuk asalnya‖.
Matsal dalam bentuk syair ini, juga ada dalam peribahasa
Indonesia dalam bentuk pantun yang dinamakan dengan pantun
peribahasa. Berikut ini beberapa contoh peribahasa dalam bentuk pantun:
Ombak badai menggulung-gulung Kelasi terdampar di tepi pantai Hajat di hati nak peluk gunung Apakan daya tangan tak sampa
Maksudnya, bercita-cita besar, namun tak tercapai.
Melihat si keras batu karang Sambil mencarri ikan kerapu Mengan jadilah arang Bila kalah menjadi abu
Maksudnya, menang kalah sama saja, tidak ada untungnya.
Budak-budak bermain rakit Rakit buluh tolong buatkan Harap-harapkan guruh di langit Air di tempayan dicurahkan
Maksudnya, menyesal mendengar pembicaraan orang yang
merugikan dirinya sendiri.
Daun hijau daun pandan Daun pandan dipetik di dalam gua Sama cantik sama padan Bagai pinang dibelah dua
Maksudnya, pasangan pengantin yyang nampak serasi dan
sepadan.
Di atas tikar makan ketupat Dicampur gulai tulang dan iga Sepandai—pandai tupai melompat Kelak kan jatuh juga.
66
Maksudnya, sepandai-pandainya manusia, suatu saat pasti pernah
melakukan kesalahan juga.
Sungguh dalam di tengah lautan Tempat bertapa sang buaya Sesal dahulu pendapatan Sesal kemudian tiadak gunanya
Maksudnya, lebih baik menyadari kesalahan kita di awal, dari pada
menyesalinya di belakangan91
Demikian beberapa contoh amtsal dalam bentuk syair dan pantun
peribahasa.
91
Putera Rais, Panduan super lengkap Majas EYD Peribhasa, Yogyakarta: Buku pintar, h 83-86
67
BAB IV
DIKSI DAN UNSUR EKSTRINSIK YANG
MEMPENGARUHINYA DALAM AMTSÂL DAN
PERIBAHASA
Pada saat menganalisis unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat
dalam karya sastra, baik lisan maupun tulisan, analisis tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur ekstrinsik
tersebut tercermin melalui unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam
teks-teks sastra. Diksi (shighah al-kalam) dan gaya bahasa yang digunakan
dalam karya sastra, termasuk isi atau amanat yang terkandung di
dalamnya, merupakan unsur intrinsik sastra yang juga terdapat dalam
peribahasa. Baik diksi, gaya bahasa, maupun amanat yang terkandung di
dalamnya, sesungguhnya merupakan refleksi dari unsur-unsur ekstrinsik
yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, pada saat mengkaji unsur-
unsur ekstrinsik amtsâl ataupun peribahasa, teks menjadi pintu gerbang
untuk memahaminya.
Dalam bab ini, akan dibahas secara khusus berbagai hal yang
terkait dengan diksi dan unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya,
gaya bahasa, serta isi atau amanat yang terkandung dalam peribahasa
Arab dan Indonesia.
A. Karakteristik Diksi dalam Peribahasa Arab
Seperti peribahasa pada umumnya, amtsâl banyak menggunakan
gaya bahasa simbolik dalam penyusunannya. Gaya bahasa simbolik
adalah gaya bahasa yang menggunakan lambang-lambang atau simbol-
68
simbol dalam penyusunannya.92 Dalam amtsal tidak sedikit diksi yang
menggunakan simbol-simbol, baik dalam bentuk nama manusia,
binatang, tumbuhan, benda-benda langit, hingga tradisi yang ada dalam
masyarakat. Semua itu bisa sebagai simbol baik atau sebaliknya, sesuai
dengan kemiripan watak dan karakter dari simbol-simbol tersebut.
Pemilihan diksi yang dijadikan sebagai simbol dalam peribahasa,
bukan tanpa alasan, namun dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstrinsik yang
berkembang di masyarakat, seperti keyakinan, moralitas, budaya, politik
dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian terhadap sejumlah
amtsâl yang banyak berkembang dalam masyarakat Arab, ada beberapa
simbol yang sangat populer dan banyak digunakan dalam ungkapan-
ungkapan, yaitu nama manusia, binatang, benda-benda langit, unsur-
unsur alam, adat dan tradisi, serta tumbuhan.
a. Nama Orang
Di antara ciri khas peribahasa Arab adalah banyak menggunakan
nama orang sebagai simbol perumpamaan. Di dalam kamus al-Munjid,93
ditemukan banyak sekali nama orang yang dijadikan sebagai
perumpamaan. Secara umum, nama-nama tersebut terbagi ke dalam dua
ketegori, yaitu simbol manusia baik dan simbol manusia buruk .
1. Nama-nama yang mengandung simbol positif
a) Simbol Manusia bijak
Lebih Bijak dari Lukman (al-Hakim)
92 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h.
740 93 Kajian peribahasa Arab (amtsâl) difokuskan pada kitab al-Munjid fi al-Lughah wa
al-‗Alam: Fara‘id al-Adab fi al-Amtsal wa al-Aqwal al-Sa‘irah ‗inda al-Arab karya Lewis Ma‟luf, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002) dan buku karya Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, (tp: al-Ma‟arif, 1982) yang sebagian besar merupakan terjemahan dari al-Munjid.
69
Dalam peribahasa Arab sebenarnya ditemukan dua nama Luqman,
yang satu menjadi kiasan positif, sedangkan yang satunya lagi menjadi
kiasan negatif, sebagaimana akan dibahas selanjutnya.
Bagi umat Islam yang sering membaca al-Qur‟an al-Karim dan
memahami maknanya, bisa jadi nama Luqman al-Hakim sudah tidak
asing lagi di telinga.94 Selain nasihat-nasihat Luqman yang terdapat dalam
al-Qur‟an, kisah-kisah bijak Luqman al-Hakim lainnya banyak beredar
dalam cerita-cerita dalam buku. Luqman kemudian menjadi
perumpamaan bagi orang-orang yang memiliki sifat bijak dalam
memutuskan suatu perkara.
b) Simbol manusia dermawan
Lebih dermawan daripada Hatim95
Lebih mulia dari hatinya Hatim Thayy
Kedua peribahasa di atas menggunakan satu nama untuk dua
simbol kebaikan, yaitu sifat dermawan dan mulia yang dimiliki oleh
seseorang yang bernama Hatim. Pada peribahasa yang pertama nama
Hatim tidak diikuti dengan nama suku, sedangkan pada peribahasa yang
kedua diikuti dengan jelas nama sukunya yaitu kabilah Thayy. Pada masa
Jahiliyah Hatim al-Thayy96 sangat dikenal oleh masyarakat Arab karena
kedermawanannya.
94 Kisah tentang Luqman al-Hakim serta nasihat-nasihatnya, lih. QS: Luqman,
ayat 12-19 95 Hatim al-Tha‟i 96 Nama lengkapnya adalah Hatim ibn Abdullah ibn Sa‟ad ibn al-Hasyraj al-Tha‟i
al-Qahthani. Selain menjadi seorang prajurit, ia juga penyair Jahiliyah yang terkenal. Ia menikah dengan salah seorang putrid dari kerajaan Gassan yang bernama Mawiyah binti
70
Banyak kisah yang menceritakan kedermawanan Hatim, salah satu
contoh diceritakan bahwa pada suatu hari ia mengadakan jamuan makan.
Ia pun mengundang orang-orang yang ada di sekitarnya dan sekitar 200
orang memenuhi undangannya. Ketika jamuan usai dan tamu-tamu
bermaksud untuk pulang, Hatim memberikan 3 ekor unta untuk setiap
orang.97 Dan masih banyak lagi kisah tentang kedermawanan Hatim yang
terkadang di luar logika manusia biasa. Sifat inilah yang kemudian
menjadikan namanya sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang
dermawan.
Berikut ini contoh syair karya Hatim a-Tha‟i yang menunjukkan
prinsip-prinsip kedermawanannya:
(Berbuatlah) kemuliaan, Tak kan kubiarkan seorang pengemispun di malam hari
Kuhitung dengan jari-jariku apa yang telah aku terima
Bait syair ini jelas menunjukkan konsep hidup yang mulia dan
penuh derma dari seorang manusia yang hidup pada masa Jahiliyah yang
bernama Hatim al-Tha‟i. .
c) Simbol manusia yang pandai bicara
Orasi atau dalam bahasa Arab di sebut dengan khutbah atau khitab
adalah salah satu tradisi yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab. Tradisi
lisan yang kuat menuntut bangsa Arab untuk mampu berbicara secara
fasih dan menarik. Hal ini juga terkait dengan tradisi perang yang biasa
mereka lakukan dan menuntut mereka untuk mahir dalam berpidato.
Sehingga selain penyair, orator (ahli pidato) juga menempati posisi
Hujr. Ia meninggal di „Awarid sebuah gunung yang terletak di negeri Thayy dan dikubur di situ.
97 Ahmad Rasyad, Diwan Hatim al-Tha‘i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), h. 5
98 Ahmad Rasyad, Diwan Hatim al-Tha‘i, h. 10
71
penting dalam struktur sosial bangsa Arab. Kefasihan dan kepiawaian
seseorang dalam berpidato sangat dihargai, sehingga kemudian dijadikan
sebagai perumpamaan bagi orator lainnya yang juga memiliki
kemampuan yang serupa atau mungkin lebih baik.99
Di antara orang-orang yang yang dijadikan sebagai perumpamaan
dalam peribahasa Arab adalah Sabhan Wail dan Quss, sebagaimana
terdapat dalam peribahasa berikut ini:
Lebih cakap berpidato dari Sabhan Wa‘il
Lebih pandai bicara dari Sabhan
Lebih cakap (pandai bicara) dari si Quss
Peribahasa yang pertama diambil dari kata yang
berarti berpidato.100 Kata berarti sangat memiliki kemampuan yang
99 Dalam sebuah Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa pada masa Pra-Islam
khatib (ahli berpidato) dianggap sebagai penyambung lidah sukunya dalam berbagai persoalan sosial termasuk perang yang sering terjadi pada mereka. Sebagai utusan, khatib bertugas mencari solusi untuk konflik-konflik yang terjadi. Ia juga bertugas member pencerahan pada kaumnya. Selain itu, tentu saja tugasnya adalah membangkitkan semangat perang melawan suku-suku lainnya, jika jalan damai tidak dapat ditempuh. Khatib dalam tradisi bangsa Arab umumnya berasal dari kalangan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat atau cendekiawan yang menguasai sejarah bangsa Arab. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ickhtiar Baru van Hoeve, 1999), h. 45
100 Dalam al-Mu‘jam al-Mufashal disebutkan bahwa kata al-Khithabah berasal dari kata al-Khathbu yang artinya sesuatu yang jelas. Oleh karena i membantu kabilah-kabilah Arab Arab dalam menyampaikan pesan. Tradisi berorasi dalam masyarakat Arab muncul secara alamiah karena kebutuhan yang disebabkan oleh tradisi perang. Muhammad al-Tunji, al-Mu‟jam al-Mufashal fi al-Adab, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1993M/1413 H), h. 405
72
luar biasa di bidang orasi. Peribahasa yang kedua menggunakan kata
yang berasal dari kata yang artinya berbicara, sehingga kata
anthaq mengandung arti lebih/paling memiliki kemampuan di bidang
komunikasi. Peribahasa yang ketiga menggunakan kata yang berasal
dari kata yang berarti menyampaikan, sehingga kata ablagh
mengandung arti lebih atau paling mampu menyampaikan saat berbicara.
Pada intinya ketiga peribahasa tersebut terkait dengan kehebatan
seseorang dalam komunikasi.
Ada dua nama yang dijadikan sebagai simbol kecakapan berbicara
pada masyarakat Arab, yaitu Sabhan dan Quss. Sabhan berasal dari suku
Bahilah, sedangkan Quss namanya adalah Quss ibn Sa‟idah yang sangat
terkenal dengan kemampuannya berpidato dan bersyair. Quss menurut
sejarah adalah orang yang pertama kali menggunakan kata „amma ba‘du
yang sering kita dengar saat ini ketika seseorang berpidato.101 Quss juga
dikenal sebagai seorang ahli agama dan meyakini hari kebangkitan. Ia
juga mengajak manusia untuk meninggalkan berhala dan menunjukkan
jalan yang benar yaitu mengabdi pada sang pencipta.102
d) Simbol manusia yang suka menepati janji
Lebih tepat janjinya dari Samau‘al
Orang yang gemar berjanji namun gemar pula mengingkarinya
dalam peribahasa Arab diberi nama dengan si „Urqub sebagaimana
dibahas dalam peribahasa selanjutnya. Adapun orang yang senang
101 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, (tp: al-Ma‟arif, 1982), h. 72 102 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, h. 45
73
menepati janji dalam kondisi apapun oleh masyarakat Arab
diumpamakan dengan Samau‟al.
Dalam tradisi bangsa Arab, seseorang tidak mungkin dijadikan
sebagai bahan perumpamaan kecuali termasuk kategori manusia langka
di luar kebiasaan manusia pada umumnya. Hal ini juga tampak pada
kisah kegigihan Samau‟al dalam menepati janjinya. Diceritakan bahwa
pada suatu hari Umru al-Qais bin Hajar dari suku Kindi menitipkan
beberapa pakaian perang pada Samau‟al berhubung ia akan pergi ke
Roma. Ketika Umru al-Qais meninggal dunia, ada seorang raja dari Syam
yang berniat untuk merampas barang titipan tersebut dari Samau‟al. Pada
saat penyerbuan, anak Samau‟al ditawan oleh raja tersebut, dengan tujuan
agar Samau‟al mau menyerahkan barang yang ia inginkan, dan bila tidak
diserahkan anak tersebut akan disembelih. Samau‟al tetap pada
pendiriannya tidak mau menyerahkan barang titipan dari Umru al-Qais
padahal ia telah meninggal dunia. Akhirnya anaknyapun disembelih dan
samau‟al menyaksikannya dari tempat persembunyiannya. Akhirnya raja
itu kembali tanpa hasil, dan benda-benda titipannya ia berikan pada ahli
waris Umru al-Qais saat mereka datang memintanya. Demikian
pengorbanan Samau‟al dalam rangka menepati janjinya.103
Selain nama-nama yang telah disebutkan, masih ada nama-nama
lain yang terdapat dalam peribahasa Arab dan menjadi simbol kebaikan,
seperti Ahnaf104 sebagai simbol manusia penyabar dan santun, Zarqa al-
Yamamah105 sebagai simbol orang yang memiliki penglihatan tajam,
Ma‟an106 simbol manusia yang memiliki segalanya namun dermawan,
baik hati, sopan dan tidak sombong, Mu‟adah simbol manusia yang serba
103 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 1013 104 Namanya adalah Ahnaf bin Qais dari suku Tamim. 105 Zarqa al-Yamamah adalah perempuan dari suku Jadis yang mampu melihat
suatu kejadian tiga hari sebelumnya. 106 Nama lengkapnya adalah Ma‟an ibn Zaidah ibn Abdullah dari suku Syaiban.
74
berkecukupan, dan Zabba107 simbol pemimpin perempuan yang mulia
hatinya, teguh pendirian, dan memiliki cita-cita yang tinggi.108 Demikian
beberapa kisah tentang nama-nama orang yang dijadikan simbol kebaikan
dalam peribahasa Arab.
Bila kita cermati, sangat jelas bahwa nama-nama yang dijadikan
sebagai simbol watak dan sifat manusia yang baik tersebut diambil
berdasarkan kisah-kisah nyata yang terjadi pada masyarakat Arab saat itu,
dan sangat terkenal dalam tradisi lisan mereka. Terbukti nama-nama
tersebut bukan hanya sebatas cerita khayalan, namun benar-benar terjadi
dan ada riwayat yang mengatakannya. Amtsal dengan jenis seperti ini
sebagaimana disebutkan pada Bab III dinamakan dengan al-amtsâl al-
târikhiyyah. Yaitu peribahasa yang muncul berdasarkan hikayat yang
diriwayatkan, atau peribahasa yang mengandung sejarah pembesar atau
penguasa suatu kaum.109
2. Nama-nama yang mengandung simbol negatif
Setelah membahas nama-nama orang yang dijadikan sebagai
simbol kebaikan dalam peribahasa Arab, berikut ini nama-nama yang
menjadi simbol watak dan kepribadian manusia yang tidak baik dalam
pandangan masyarakat Arab. Dan berdasarkan hasil analisis, kami
menemukan bahwa nama-nama yang mengandung simbol-simbol sifat
negatif lebih banyak jika dibandingkan dengan sifat-sifat yang positif.
a) Simbol manusia Kikir
107 Zabba adalah salah seorang putrid dari suku Amluq yang pernah menjadi raja
Hirah dan gemar sekali berperang. Benteng-benteng Ablaq dan Marid yang terkenal dengan pertahanannya pernah ia taklukkan.
108 Peribahasa dan kisah lengkap yang melatarbelakangi masing-masing peribahasa lih. Lewis Ma‟luf, al-Munjid: Faraidh al-Adab fi al-Amtsal wa al-Aqwal al-Sairah ‗Inda al-‗Arab, h. 982, 973, 982, 1000
109 Mahmud Sayyid Syaqir, Alwan minal Amtsal al ‘Araby, Kairo: Dar al Fikr, h 98.
75
Lebih kikir dari si Madir
Madir dalam peribahasa di atas adalah perumpamaan manusia
yang sangat kikir dan tidak disukai oleh masyarakat. Kekikiran Madir
tampak pada cerita yang ada di balik peribahasa ini. Sebuah kisah nyata
yang terjadi pada masa Jahiliyah. Diceritakan bahwa Madir berasal dari
suku Hilal. Ia terkenal sangat kikir. Suatu ketika ia menemukan sebuah
mata air, lalu diminumkannya seluruh unta yang dimilikinya dengan air
tersebut, hingga air yang tersisa tinggal sedikit. Agar air sisa tersebut
tidak bisa digunakan lagi oleh orang lain, ia kemudian buang air besar di
dalamnya dan mencampurnya dengan lumpur.
Berdasarkan peristiwa tersebut, nama Madir kemudian menjadi
kiasan bagi manusia kikir yang seharusnya dihindari manusia, sehingga
tidak dibenci oleh manusia lainnya.
b) Simbol manusia kejam
Lebih kejam dari Dausar
Dausar adalah panglima perang pada masa Jahiliyah. Ia merupakan
pembantu utama raja Nu‟man bin Munzhir. Dausar adalah manusia yang
gemar menyembelih dan menyiksa tawanan dengan cara yang sangat keji,
di luar batas kemanusiaan. Bahkan di saat korbannya sekarat, ia tertawa
gembira melihat pemandangan di hadapannya.
Kisah ini oleh masyarakat Arab kemudian dijadikan sebagai
perumpamaan bagi seseorang atau sekelompok orang yang luar biasa
kejam. Dan Dausar menjadi misal dari manusia yang berwatak kejam pada
manusia lainnya.
c) Simbol manusia ingkar janji
76
Janji-janji si Urkub
Lebih menyalahi janji dari si Urqub
Dalam Kamus al-Munjid, kata „Urqûb disebutkan sebanyak dua kali
dengan konteks yang sama yaitu terkait dengan janji. Kata mawa‘id
merupakan jamak dari kata mau‘id yang artinya janji. Adapun kata akhlaf
merupakan isim tafdhil110 dari kata khâlif yang artinya menyalahi janji.
Kata „Urqûb sendiri diambil dari nama seseorang yang gemar berjanji
namun tidak suka menepatinya. „Urqûb sendiri berasal dari suku Amluq.
Pada suatu hari, ia didatangi oleh saudaranya untuk meminta sesuatu.
„Urqûb kemudian berjanji akan memberikan apa yang diminta saudaranya
itu pada saat kurmanya telah berbunga. Pada saat kurmanya berbunga
dan saudaranya dating untuk menagih janji, ia kemudian menyuruhnya
untuk kemabli lagi pada saat kurmanya ke luar putik. Demikian
seterusnya, ia menyuruh saat kurmanya berbuah, lalu setengah matang,
hingga masak. Ketika waktu panen tiba, ia dengan cepat memetiknya di
malam hari, sehingga tidak sebutirpun yang ia berikan pada saudaranya.
Di kala saudaranya menagih janji, iapun menjanjikannya di musim panen
yang akan datang. Demikian seterusnya.
„Urqûb bagi masyarakat Arab menjadi perumpamaan bagi manusia
yang suka menabur janji namun tidak pernah menepatinya, atau kita
menyebutnya dengan janji-janji palsu. Manusia dengan watak seperti
„Urqûb jelas sangat tidak disukai masyarakat di belahan dunia manapun.
d) Simbol manusia bodoh
110 Kata benda yang menunjukkan makna paling atau dalam bahasa inggris
dikenal dengan istilah superlatif degree. Namun ketika digabung dengan kata min, kata benda tersebut mengandung arti komparatif degree atau lebih dari..kata Ahmad akbar min Musa mengandung arti Ahmad lebih besar dari Musa. Sedangkan Ahmad akbar al-thulab fi al-Fashl, diartikan dengan Ahmad murid paling besar di kelas.
77
Lebih dungu dari si Dughah
Lebih dungu dari Syaranbats
Lebih dungu dari si ‗Ijil
Lebih dungu dari si Habnaqah
Kata ahmaq dalam bahasa Arab diartikan dengan kebodohan yang
sangat, dungu, atau pandir.111 Dalam peribahasa di atas, ada empat nama
yang dijadikan simbol kebodohan manusia yang sangat parah. Masing-
masing nama memiliki kisah tersendiri. Dalam kisah Dughah diceritakan
bahwa ia adalah seorang ibu yang memiliki anak bayi. Suatu ketika ia
mendapati anaknya selalu gelisah, sulit tidur, dan selalu menangis. Ketika
diperiksa, ia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada tubuhnya, namun
ia melihat ubun-ubun anak tersebut bergerak-gerak kembang kempis.
Tanpa ragu ia menyuruh madunya untuk mengambil pisau dan
membedah otak anaknya, lalu mengeluarkannya dari ubun-ubun.
Madunya kemudian bertanya, apa yang dilakukannya. Ia kemudian
menjawab, bahwa itulah yang selalu mengganggu anaknya. Ada kotoran
di kepalanya, dan setelah dikeluarkan anaknya tidur dengan lelap. Iapun
berhasil menidurkan anaknya untuk selama-lamanya.112
111 S. Askar, Kamus Arab Indonesia al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2011), h.
120 112 Kisah ini diawali dengan qila atau cerita yang bersumber dari katanya, dan
tidak dapat diyakini kebenarannya.
78
Simbol manusia bodoh berikutnya bernama Syaranbats. Menurut
cerita, Syaranbats adalah seorang laki-laki yang menyembunyikan
hartanya di suatu gurun. Untuk mengingat letak harta tersebut, ia
menjadikan bayangan pohon yang ada di dekat harta tersebut sebagai
patokan. Suatu ketika ia ingin mengambil hartanya tersebut, namun nahas
bayangan pohon yang ia maksud sudah berubah arah akibat perubahan
arah sinar matahari. Iapun akhirnya kehilangan hartanya untuk selama-
lamanya, karena tidak dapat menemukan letak persembunyian harta
tersebut.
Adapun „Ijil ia adalah seorang laki-laki dari suku Wa‟il. Suatu hari
ia membeli seekor kuda. Pada saat kawannya bertanya mengenai siapa
nama kuda tersebut, ia kebingungan dan dengan serta merta menusuk
mata si kuda hingga buta. Lalu ia menjawab, bahwa ia menamakan kuda
tersebut si A‟war yang artinya Si Buta sebelah.
Nama lain yang juga dijadikan sebagai kiasan perbuatan bodoh
adalah Habnaqah. Ia seorang laki-laki dari suku Qais ibn Tsa‟labah. Suatu
hari kawannya mendapatinya sedang menggembala ternak. Adapun
ternak yang gemuk ia letakan pada padang rumput yang subur,
sedangkan yang kurus ia letakan di tempat yang juga sedikit rumputnya.
Ketika ia ditanya mengapa melakukan hal tersebut, Abnaqah menjawab
bahwa ia tidak ingin merubah sesuatu yang sudah Tuhan takdirkan.
Ternak yang sudah ditakdirkan Tuhan gemuk, tidak boleh dirusak
menjadi kurus, demikian pula sebaliknya.
Kisah Dughah dan Syaranbats pada dasarnya tidak bisa dipastikan
kebenarannya, hal ini terlihat dari kata-kata yang mengawali cerita
tersebut yang tidak menyebutkan identitas sang tokoh dengan jelas,
seperti pada kisah-kisah lainnya. Sedangkan kisah „Ijil dan Habnaqah
disandarkan pada riwayat yang agak jelas. Hal ini tampak pada
79
penisbatan keturunan dari tokoh dalam peribahasa pada suku tertentu,
meski juga tidak bisa diyakini kebenarannya secara mutlak.
Dari keempat kisah perbuatan bodoh di atas, tampaknya kisah
Dughah termasuk pada perumpamaan manusia yang paling dungu,
disusul oleh kisah „Ijil, Syaranbats dan Habnaqah. Kebodohan Syaranbats
dan Habnaqah masih bisa dimakumi. „Ijil adalah manusia bodoh yang
tidak bisa memahami gejala alam, sedangkan Habnaqah adalah manusia
bodoh yang tidak mampu memahami arti sebuah keyakinan (ajaran
agama). Berdasarkan cerita-cerita yang melatarbelakangi munculnya
peribahasa tersebut, maka peribahasa di atas bisa dikategorikan ke dalam
dua jenis, yaitu amtsâl târikhiyyah dan amtsâl khurâfiyyah. Amtsâl khurâfiyyah
yaitu peribahasa yang bersumber dari cerita-cerita bohong, dongeng, dan
takhyul atau bisa juga sesuatu yang tidak masuk akal.113
Apapun itu, nama-nama di atas pada hakikatnya adalah kiasan dari
manusia-manusia bodoh yang tidak mampu memberdayakan akal fikiran
yang sudah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Sebuah kebodohan di luar
batas kebodohan manusia pada umumnya. Maka ketika ditemukan
seseorang yang melakukan suatu perbuatan bodoh di luar nalar mereka
diumpamakan dengan keempat manusia tersebut.
e) Simbol Manusia Sial
Ada banyak kisah yang diabadikan dalam peribahasa Arab sebagai
simbol kesialan manusia dalam hidupnya. Bentuk kesialannya sangat
beragam. Simbol manusia sial yang pertama adalah Sinimmar yang
terkenal dalam peribahasa:
Balasan untuk Sinimmar
113 Lih. Arti Khurafat dalam Ensiklopedi Islam, h. 58
80
Pernahkah anda membaca kisah dari negeri Arab tentang
Sinimmar? Sinimmar adalah seorang arsitek bangunan dari bangsa
Romawi. Suatu ketika ia diminta Raja Nu‟man bin Umru al‟Qais untuk
mendirikan istananya. Permintaan raja tersebut dilaksanakan oleh
Sinimmar dan jadilah sebuah istana megah yang kemudian dinamakan
dengan Khawarnaq. Istana tersebut terletak di Kufah. Namun demikian,
raja Nu‟man membalas kebaikan Sinimmar ini dengan balasan yang
sangat keji. Sinimmar dilemparkan dari atas istana hingga mati, dengan
tujuan agar ia tidak bisa membangun lagi istana yang lebih megah dari
yang ia miliki. Sinimmar adalah manusia yang sial, sudah berusaha
dengan sebaik-baiknya, bukannya mendapat pahala, malah mendapat
siksa. Dalam peribahasa Indonesia, kejadian seperti ini dikenal dengan
“air susu dibalas dengan air tuba”, yaitu kebaikan dibalas dengan kejahatan.
Kisah manusia sial selanjutnya terabadikan dalam peribahasa
berikut ini:
Surat Mutalamis
Sebagaimana peribahasa jaza‘ Sinimmar atau balasan Sinimmar
yang singkat namun memiliki kisah yang panjang di baliknya, Surat
Mutalamispun tidak jauh berbeda.114 Peribahasa ini merupakan kiasan
bagi seseorang yang tanpa ia sadari melakukan sesuatu yang
menyebabkan kematiannya sendiri. Surat Mutalammis adalah kisah
tentang dua orang manusia sial, yaitu Mutalammis dan keponakannya
yang membawa surat untuk di antarkan, padahal surat tersebut
merupakan perintah untuk membunuh keduanya.115 Oleh karena itu,
114 Berdasarkan riwayat nama lengkap Mutalammis adalah Jurer ibn „Abdil‟uzaa
al-Dhubu‟i. Paman-pamannya berasal dari Bani Yasykur. Ia seorang penyair Jahiliyyah yang sangat terkenal. Muhammad al-Tunji, al-Mu‟jam al-Mufashal fi al-Adab, h. 480
115 Kisah lengkap lih. Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 370-372
81
kami mengkategorikan nama Mutalammis seperti halnya Sinimmar ke
dalam simbol manusia-manusia yang sial.
Selain Sinimmar dan Mutalammis, masih banyak nama-nama
lainnya yang juga menjadi kiasan dari kesialan nasib seseorang, seperti
peribahasa-peribahasa di bawah ini
Lebih celaka dari Basus116
Lebih celaka dari Roti Hawla117
Basus dan Hawla dalam peribahasa di atas adalah dua orang
perempuan yang menyebabkan terjadinya peperangan yang
berkepanjangan pada masa Jahiliyah.
Dari peribahasa-peribahasa di atas dapat disimpulkan bahwa
Sinimmar adalah simbol dari manusia yang sial akibat manusia lain yang
tidak tahu balas budi. Peristiwa yang terjadi pada Sinnimar sepadan
dengan peribahasa Indonesia air susu dibalas dengan air tuba. Adapun
Mutalammis adalah kiasan bagi manusia yang sial akibat kebodohannya
sendiri, yaitu tidak bisa membaca. Sedangkan Basus dan Hawla adalah
simbol kecelakaan akibat hal yang sepele yaitu mudah tersinggung, juga
kegemaran bangsa Arab dengan perang. Selain nama-nama tersebut,
masih banyak lagi nama-nama lain yang dijadikan sebagai simbol kesialan
dalam peribahasa Arab dengan konteks yang berbeda-beda. Kisah-kisah
di atas termasuk pada kategori amtsâl târikhiyyah, karena bersumber dari
116 Basus adalah seorang gadis putrid dari Munqizh dari suku tamimi. Ia adalah
penyebab perang yang terjadi antara kabilah Bakry dan Taghlabi yang berlangsung selama 40 tahun pada masa jahiliyah. Kisah lengkap lih. Lewis Ma‟luf, al-Munjid: Faraidh al-Adab fi al-Amtsal wa al-Aqwal al-Sairah ‗Inda al-‗Arab, h. 993
117 Kisah hawla hampir mirip dengan Basus, Ia adalah penyebab peperangan akibat hal sepele yaitu roti. Al-Munjid, h. 993
82
sejarah yang diriwayatkan dengan jelas serta tidak mengandung unsur-
unsur khurafat.
f) Simbol penyesalan
Dalam peribahasa Indonesia, ungkapan nasi telah menjadi bubur
sepertinya sudah familier. Sebuah peribahasa yang mengkiaskan
penyesalan yang tiada guna. Dalam peribahasa Arab, kisah-kisah
penyesalan ini dikiaskan pada peristiwa yang terjadi pada seseorang yang
menyesal namun tiada guna, seperti terdapat dalam peribahasa-
peribahasa berikut ini:
Lebih menyesal daripada Kusa‘i
Lebih menyesal dari Si Hunain
Pulang dengan sepasang sepatu Hunain
Dari balik ketiga peribahasa tersebut, terdapat kisah manusia-
manusia yang menyesali perbuatan yang seharusnya tidak terjadi, yaitu
Kusa‟i118 dan Hunain. Nama Hunain bahkan diabadikan dalam dua
peribahasa. Hunain adalah seorang tukang sepatu. Pada suatu hari
seorang Arab Badawi datang untuk memesan sepatu. Pada waktu yang
telah disepakati, ia datang kembali untuk mengambil pesanannya
tersebut. Sayang, terjadi perselisihan antara keduanya, sehingga orang
tersebut batal membeli sepatu dari Hunain. Hunainpun dendam dan
berniat untuk menipu-daya orang tersebut. Ia membawa sepatu tersebut
ke jalan yang pasti akan dilalui oleh orang tersebut dan meletakannya
118 Kisah penyesalan Kusa‟i lih. Lewis Ma‟luf, Lewis Ma‟luf, al-Munjid: Faraidh al-Adab fi al-Amtsal wa al-Aqwal al-Sairah ‗Inda al-‗Arab, h.
83
secara terpisah. Ketika orang tersebut lewat, ia menemukan sepatu yang
diletakkan Hunain. Dalam hatinya ia ingin memiliki sepatu tersebut,
namun sayang hanya sebelah, sehingga iapun urung untuk
mengambilnya. Iapun melanjutkan perjalanannya, dan tidak lama
kemudian menemukan sepatu yang satunya. Iapun berfikir untuk kembali
mengambil sepatu yang sebelahnya. Untuk itu ia menambatkan unta dan
barang-barang bawaannya di pohon untuk mengambil sepatu
pasangannya. Hunain dengan cepat mengambil unta dan barang bawaan
orang tersebut lalu membawanya pulang. Sedangkan orang Arab itu
kembali ke rumahnya dengan sepasang sepatu Hunain.
Kisah Hunain dan sepatunya ini kemudian dijadikan sebagai
perumpamaan bagi orang yang gagal dalam suatu hal akibat lalai dalam
berbuat, meskipun yang gagal dalam kisah ini sebenarnya adalah tokoh
lain dalam kisah Hunain.
g) Simbol ketamakan
Lebih Tamak dari Asy‘ab
Lebih tamak dari Thufail
Ada dua nama dalam dua peribahasa yang menggambarkan
tentang sifat tamak manusia yang kemudian djadikan sebagai
perumpamaan dalam peribahasa yaitu Asy‟ab dan Thufail. Asy‟ab adalah
seorang penduduk Madinah yang sangat terkenal dengan ketamakannya.
Adapun Thufail mengandung arti anak kecil. Dalam peribahasa ini
Thufail diartikan sebagai anak yang selalu menuntut lebih dari orang
84
tuanya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia seorang Arab yang
berasal dari Kufah dan terkenal dengan ketamakannya.119
Selain nama-nama di atas, masih banyak nama-nama lain yang
dijadikan sebagai sebuah perumpamaan dalam peribahasa Arab, seperti
Haumal sebagai simbol manusia melarat120, Fujasy sebagai simbol orang
yang sangat marah121, Khurafah simbol manusia yang senang berkhayal
dan mengada-ada bahkan lebih dekat pada orang yang senang kepada
takhyul122, Baqil sebagai simbol orang yang pelit dalam berbicara123, dan
lain sebagainya.
Ada satu nama yang selain menjadi simbol kebaikan ia juga
digunakan oleh Bangsa Arab sebagai simbol keburukan, yaitu Luqman
namun tanpa al-Hakim, dalam peribahasa:
Lukman bersendawa bukan karena kenyang
Peribahasa ini sebagai perumpamaan bagi orang yang gemar
bergaya layaknya orang kaya padahal miskin, atau mengaku-ngaku kuat
padahal lemah, sok pintar padahal bodoh, dan lainnya. Di antara
peribahasa Indonesia yang memiliki makna yang serupa adalah ―Air
beriak tanda tak dalam” dan “Seperti padi hampa, kepalanya mencongak”.
Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari tradisi peribahasa
Arab dengan menggunakan nama orang sebagai kiasan, yaitu:
Pertama, peribahasa yang menggunakan nama orang sebagai
kiasan, biasanya diambil dari kisah-kisah nyata yang pernah terjadi yang
kemudian dijadikan sebagai bahan pelajaran atau yang disebut dengan al-
119 Lewis Ma‟luf, al-Munjid: Faraidh al-Adab fi al-Amtsal wa al-Aqwal al-Sairah ‗Inda
al-‗Arab, h 120 (Lebih lapar dari anjing si Haumal) 121 (Si Fujasy panas periuknya) (cerita si Khurafah (Seperti)) حديث خرافة 122123 (Lebih singkat bicara dari Baqil)
85
amtsâl al-târikhiyyah. Bila tidak jelas nama orang yang menjadi asal-usul
peribahasa tersebut, biasanya menggunakan kata fulan, seperti:
Si Fulan memotong-motong tongkat kaumnya
Peribahasa ini sebagai perumpamaan bagi orang yang suka
memecah belah kaumnya sendiri, ibarat tongkat yang dipotong-potong.
Tongkat bila sudah terpotong-potong maka tidak lagi disebut dengan
tongkat, demikian juga halnya dengan kelompok atau bangsa.124
Kedua, nama-nama yang diabadikan dalam peribahasa diharapkan
dapat dijadikan sebagai contoh jika itu baik, atau ditinggalkan jika
menurut sudut pandang masyarakat buruk.
Ketiga, peribahasa dengan menggunakan nama orang sebagai
simbol menunjukkan tradisi sastra lisan yang kuat karena harus
berdasarkan pada riwayat. Tradisi hafalan dan periwayatan menjadi ciri
khas dari peribahasa Arab yang menggunakan simbol manusia sebagai
kiasan.
Keempat, nama-nama orang yang dijadikan sebagai bahan
perumpamaan dalam peribahasa Arab memiliki watak atau kepribadian
yang lebih dari manusia pada umumnya, baik watak yang baik maupun
yang buruk, sehingga kisah-kisah yang melatarbelakangi munculnya
peribahasa dengan manusia sebagai simbol tampak bersifat hiperbol
(mubâlaghah).
Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap tradisi peribahasa
Indonesia, tidak didapati nama orang yang dijadikan sebagai simbol
dalam peribahasa Indonesia. Namun demikian ada beberapa peribahasa
yang menggunakan kata manusia dan orang secara umum, tanpa nama
tertentu, seperti:
124 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 994
86
Bagai orang kena miang
Membubuhkan arang dimuka orang
Yang pertama sebagai perumpamaan bagi orang yang sangat
gelisah karena mendapat malu ditengah orang banyak, sedangkan yang
kedua berarti membongkar aib nama seseorang di depan orang lain.
b. Hewan
Hewan dan manusia ibarat dua sisi kehidupan yang tidak bisa
dipisahkan. Tuhan telah menciptakan berbagai hewan dengan
karakteristik yang disesuaikan dengan unsur lingkungan yang
meliputinya, sehingga mampu bertahan hidup dan memberi manfaat
pada manusia. Ketika berbicara tentang hewan yang hidup di gurun pasir,
bisa jadi yang pertama terlintas dalam benak kita adalah unta. Mungkin
juga sebagian orang tidak tahu berapa banyak dan apa saja hewan yang
bisa hidup di gurun pasir dan dikenal oleh masyarakat Arab.
Dalam peribahasa Arab ternyata bukan hanya manusia yang
banyak digunakan sebagai simbol perumpamaan. Hewan terbukti banyak
digunakan sebagai kiasan dari sifat-sifat manusia, baik positif maupun
negatif. Amtsal jenis ini disebut dengan amtsâl fardhiyyah125, yaitu
peribahasa yang dinisbatkan pada binatang, tumbuhan, atau benda. 126
Ada beberapa binatang yang banyak digunakan sebagai kiasan dalam
peribahasa Arab, di antaranya adalah unta, anjing, kuda, burung dengan
segala macamnya, dan singa atau yang sejenis.127 Hewan-hewan lain yang
juga disebutkan namun tidak dominan di antaranya: kambing, keledai,
rusa, ular, musang, biawak, semut, lalat, musang dan ayam.128 Sedangkan
125 Kata fardhiyyah dalam kamus al-Munawwir diartikan berdasarkan dugaan
perkiraan 126 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa „Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa
Tarikhihi, h. 18-19 127 Binatang-binatang tersebut disebutkan dalam peribahasa Arab sekitar 10-20
kali 128 Binatang-binatang tersebut disebutkan dalam peribahasa Arab sekitar 3-4 kali
87
binatang lainnya seperti kalajengking, belalang, babi, katak, bunglon,
laba-laba, kutu unta, ulat, rayap, ikan, tikus, kunang-kunang, hawi, dan
monyet rata-rata disebutkan 1-2 kali. Kelompok binatang yang terakhir
sepertinya kurang begitu dikenal oleh bangsa Arab yang hidup di padang
pasir atau tidak begitu akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hal tersebut, ada lima jenis binatang yang kerap
berinteraksi dengan bangsa Arab sejak dahulu atau juga karena dianggap
sebagai simbol kegagahan, yaitu unta, anjing, kuda, burung, dan singa.
Banyaknya keempat binatang tersebut dalam peribahasa Arab tentu saja
bukan tanpa alasan. Untuk itu, dalam kajian ini akan dibahas secara
khusus kelima binatang tersebut.
1. Unta129
130
Dari segi jumlah, unta dalam peribahasa Arab sebenarnya
menempati posisi kedua setelah burung. Namun demikian, burung yang
disebutkan berasal dari berbagai spesies, sehingga unta tetap
mendominasi kategori binatang yang terabadikan dalam peribahasa Arab.
Terhitung lebih dari 16 kata unta yang terdata dalam peribahasa Arab.
129
Dalam Kamus Biologi disebutkan bahwa unta adalah sejenis jerapah berleher pendek, berpunuk satu atau dua, pemakan segala jenis tumbuhan. Hewan ini adalah tunggangan dan pembawa beban yang tangguh di daerah gurun. Wildan Yatim, Kamus Biologi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 876
130 Sumber gambar: devilzofponari.blogspot.com
88
Unta dalam bahasa Arab memiliki beberapa nama, hal ini tampak
pada peribahasa yang menggunakan unta sebagai kiasan, seperti:
Untaku tidak kujual dan tidak pula dihibahkan
Peribahasa ini diucapkan kepada seseorang yang zalim yang
hendak merampas sesuatu yang menjadi milik kita, sedangkan ia sama
sekali tidak hak atasnya. Ucapan ini sebagai penegas bahwa kita sekali-
kali tidak akan memberikan sedikitpun dari hak itu kepadanya.
Bagaikan penggiring tanpa unta
Peribahasa ini merupakan perumpamaan orang yang suka
menyombongkan sesuatu yang tidak ia miliki, atau orang yang suka
membual dengan kepandaiannya, padahal tidak mengerti atau tidak
mengetahuinya. Ada peribahasa Indonesia yang mirip dengan peribahasa
ini, seperti “Air beriak tanda tak dalam‖, Tong kosong nyaring bunyinya, atau
dalam bahasa kiasan “mulut besar”.
Pergilah, sebagaimana Ummu Qasy‘am meletakkan bebannya
Ummu Qasy‟am adalah nama seekor unta yang karena dibiarkan
oleh pemiliknya, ia letakkan beban yang dibawanya di atas api.
Peribahasa ini merupakan kiasan bagi seseorang yang tidak mau
mengikuti nasihat, lalu kemudian dibiarkan berbuat kerusuhan dan
kerusakan sesuka hatinya.
131 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lâm, h. 970 132 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lâm, h. 980 133 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lâm, h. 987
89
Lebih banyak minumnya dari unta haus
Peribahasa ini sebagai kiasan bagi seseorang yang banyak
minumnya. Sebuah ungkapan hiperbola yang umum digunakan dalam
peribahasa Arab. Bagaimana tidak, menurut data di salah satu situs
website, dalam waktu sekitar 10 menit, unta mampu meminum air hingga
130 liter, jumlah yang kurang lebih setara dengan sepertiga berat
tubuhnya. Di samping itu, unta memiliki struktur berlendir dalam
hidungnya dengan ukuran 100 kali lebih besar dari yang ada pada
manusia. Hal ini memungkinkan unta mendapatkan 66% uap air yang
terkandung dalam udara.135 Jadi kalau ada peribahasa yang mengatakan
“lebih banyak minumnya dari unta haus‖, maka hal tersebut lebih bersifat
mubâlaghah (hiperbola).
Sampai unta masuk liang jarum
Peribahasa ini sebagai kiasan bahwa sesuatu itu tidak mungkin
dapat diperoleh. Di dalam peribahasa Indonesia, ada beberapa kiasan
yang mengandung makna yang sama, di antaranya ―Seperti pungguk137
merindukan bulan‖, ―Menantikan ara138 tak bergetah‖ atau kita juga mungkin
pernah mendengar peribahasa “sampai lebaran monyet‖.139
134 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lâm, h. 994 135 http://forum.indowebster.com 136 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 365 137 Pungguk adalah sejenis burung elang malam (burung hantu) yg suka
memandang bulan. Peribahasa di atas mengandung arti seseorang yang merindukan kekasih, tapi cintanya tidak mungkin berbalas. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 907
138 Pohon jenis fikus yg getahnya banyak, banyak macamnya, ada yg berupa pohon, tumbuhan perdu, tumbuhan memanjat, dan yang sepertinya. Dalam kiasan lain misalnya: “utang kayu ara” hal itu berarti utang yang tidak akan pernah dibayar. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 62
139 Selain peribahasa tersebut, ada beberapa amtsal lain yang juga mengandung arti yang sama yaitu sesuatu yang tidak mungkin terjadi, di antara peribahasa tersebut adalah:
90
Anak unta itu tidak lepas dari belas kasih induknya
Perumpamaan ini diucapkan pada seseorang yang selalu mencela
dan mengumpat keburukan orang tuanya sendiri. Peribahasa ini
diucapkan dengan tujuan si anak menyadari akan kekhilafannya. Dengan
itu ia ingat akan kasih sayang orang tuanya semasa masih kecil.
Dalam peribahasa Indonesia ada ungkapan yang serupa dengan
peribahasa tersebut yaitu “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang
jalan‖. Artinya bahwa kasih sayang ibu itu tidak terbatas, sedangkan anak
biasanya mudah melupakan orang tua.
Dalam hal ini, tidak unta betina, tidak juga unta jantan
Peribahasa tersebut sebagai kiasan bagi seseorang yang mencuci
tangan yakni tidak ingin turut campur dalam suatu perkara. Peribahasa
ini mirip dengan istilah “lepas tangan‖ dalam peribahasa Indonesia.
Dari rangkaian peribahasa di atas ada beberapa nama yang
digunakan untuk unta, yaitu: ibil, bang‘îr,Ummu Qasy‘am, hîm, jamal, huwâr,
dan nâqah. Bang‘îr adalah jenis unta, baik betina atau jantan yang baru
tumbuh giginya. Ummu Qasy‘am adalah nama yang diberikan seseorang
untuk unta. Oleh karena itu, Ummu Qasy‘am tidak termasuk pada jenis
unta tapi nama unta yang terkenal karena suatu peristiwa tertentu seperti
dijelaskan sebelumnya.
Sedangkan kata al-hîm di dalam kamus tidak digunakan secara
khusus untuk unta, namun di antara artinya adalah seseorang atau seekor
Hal itu tidak mungkin terjadi, sampai burung gagak beruban
Sampai tikus bertelur
91
binatang yang mengalami rasa haus yang hebat, dan obat untuk
mengatasi rasa haus unta. Unta sebagaimana diketahui oleh mereka
merupakan makhluk hidup yang paling banyak meminum air.
Berdasarkan data yang diperoleh dari salah satu website, unta dapat
mengkonsumsi sekitar 130 liter air dalam waktu 10 menit.140 Mungkin
berdasarkan hal itu pula, kata al-hîm diartikan sebagai unta yang haus.
Huwâr adalah istilah untuk anak unta, sedangkan jamal
sebagaimana terdapat dalam peribahasa sebelumnya merupakan unta
jantan, dan nâqah adalah unta betina. Dengan demikian, ibil adalah satu-
satunya unta yang lepas dari makna tambahan, sehingga ia bisa dimaknai
sebagai unta jantan ataupun betina.
Lalu mengapa bangsa Arab gemar menjadikan unta sebagai suatu
kiasan? Jawabannya tentu saja karena hewan tersebut adalah satu-satunya
hewan yang multifungsi yang bisa hidup di gurun pasir.141 Selain sebagai
alat transportasi yang tangguh, unta juga bisa dijadikan sebagai mata
pencaharian melalui peternakan. Dari ternak itu mereka makan daging,
140 frezyprimaardi.wordpress.com 141 Beberapa keistimewaan dan keunikan unta:
1. Unta telah „didisain‟ secara khusus untuk kondisi padang pasir. 2. Kakinya memiliki dua jari yang saling terkait dengan bantalan yang
fleksible. Struktur yang terbuat dari bulatan tebal ini memungkinkan kakinya untuk bertahan dengan kuat pada tanah
3. Unta memiliki punuk sebagai persediaan makanan, ponok unta banyak berisi lemak dan menyediakan zat makanan secara periodic.
4. Unta dapat hidup selama 3 minggu tanpa air, sementara ia kehilangan 33% berat tubuhnya
5. Bulu unta ini terdiri dari rambut tebal dan bulu kempa yang tidak hanya melindungi tubuhnya dari panas,namun juga menghindari kehilangan air tubuhnya.
6. Bulu mata unta berbentuk dua sisir terpisah yang saling melekat.Dengan bentuk spesial semacam ini, meskipun sebutir pasir kecil tidak akan dapat masuk ke dalam mata unta.
7. Unta dapat mengkonsumsi sekiar 130 liter air dalam waktu 10 menit 8. Unta memiliki bibir yang sangat kuat seperti karet yang menjadikannya
mudah untuk memakan duri. frezyprimaardi.wordpress.com
92
minum susu, membuat baju, dan membuat tempat berlindung dari kulit
dan tulang142
Peribahasa-peribahasa di atas membuktikan bahwa unta begitu
dekat dan sangat berharga dalam kehidupan bangsa Arab. Kehidupan
bangsa Arab yang lekat dengan unta dan pengamatan mereka terhadap
tingkah polah dan perilaku unta yang dianggap mirip dengan sikap atau
tingkah laku manusia, menjadikan bangsa Arab kaya dengan peribahasa
bertemakan unta.
2. Anjing
Secara kuantitas, kata anjing yang ada di dalam amtsâl menempati
posisi kedua setelah unta, lalu mengapa kata anjing banyak diabadikan
dalam amtsâl oleh bangsa Arab?
Salah satu budaya yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab zaman
dahulu adalah berburu, baik dalam rangka mencari makan atau untuk
kesenangan semata seperti yang biasa dilakukan oleh para raja. Tradisi
berburu ini sebagai akibat dari kehidupan masyarakat Arab yang sangat
tergantung pada alam dan binatang peliharaan. Maka ketika bahan
makanan yang dihasilkan oleh binatang peliharaannya telah habis,
mereka berburu binatang lainnya seperti biawak, musang, landak dan
hewan gurun liar lainnya.143 Di saat berburu, teman yang paling baik dan
bisa diandalkan biasanya adalah anjing. Bergumulnya kehidupan bangsa
Arab dengan anjing, menyebabkan mereka memahami betul watak dan
karakter anjing yang biasa hidup bersama mereka.
Ada dua jenis anjing yang disebutkan dalam peribahasa Arab,
yaitu al-kalb ( ) jamaknya al-kilâb ( ) dan al-dzi‘b ( ) jamaknya
142 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal, ((Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 19 143
Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 20
93
al-dzi‘âb ( ). Al-kalb yaitu anjing yang biasa hidup dengan manusia
dan bersifat jinak, sedangkan al-dzi‘b adalah anjing hutan atau terkadang
disebut juga dengan serigala.
Dalam peribahasa Arab, kata anjing ataupun serigala digunakan
untuk berbagai perumpamaan, baik positif maupun negatif, namun juga
digunakan sebagai kiasan dalam kehidupan sosial, politik, maupun
tradisi. Sifat anjing yang dijadikan sebagai kiasan positif bagi manusia
tampak dalam peribahasa berikut ini:
Lebih jinak daripada anjing
Peribahasa tersebut untuk menyatakan sesuatu yang sangat jinak
atau patuh, sebagai binatang peliharaan, hanya anjinglah yang dipercayai
oleh tuannya untuk diajaknya pergi kemana-mana, hingga rela
meninggalkan tanah kelahirannya. Peribahasa tersebut sebagai
perumpamaan bagi orang yang sangat setia pada atasannya. Peribahasa
lainnya:
Lebih terima kasih daripada anjing .
Peribahasa di atas adalah perumpamaan bagi orang yang tahu
berterima kasih dan pandai bersyukur. Hal ini bisa dilihat dari sifat anjing
yang bisa dipercaya, tidak suka berbuat onar atau menjengkelkan,
membela tuannya ketika mendapat serangan dari luar, berterima kasih
dengan sedikit pemberian, menjaga rumah tempat beristirahat, ladang
tempat mencari rizki dan lainnya.
144 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.29 145 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.356
94
Selain menjadi kiasan positif, tidak sedikit dari watak anjing yang
menjadi kiasan terhadap perilaku negatif manusia, seperti:
Anjing itu tetap anjing juga sekalipun engkau beri kalung emas.146
Peribahasa ini diucapkan kepada orang yang membebani seseorang
di luar kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, bila memberi
perintah pada orang lain harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, sehingga ia mampu melaksanakan tugas sesuai dengan yang
diinginkan.
Lebih lapar daripada dzu‘alah
Dzu‟alah adalah nama sindiran bagi anjing hutan. Diceritakan
orang bahwa anjing hutan itu selalu menyimpan makanan di dalam
perutnya, ia selalu dalam kelaparan saja. Diceritakan pula bahwa perut
binatang ini dapat melunakkan tulang. Karena itu dijadikan pepatah yang
maksudnya sama seperti kiasan di atas.
Allah melemparnya dengan penyakit anjing hutan.
Anjing hutan menurut anggapan orang-orang selalu kelaparan saja.
Maksud pepatah ini ialah bahwa orang itu di dalam kelaparan yang
sangat. Oleh karena itu, jika orang yang selalu merasa kelaparan dan tidak
puas dengan apa yang telah didapatkannya, dianggap sebagai penyakit
yang tidak disukai oleh masyarakat.
146 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.527 147 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.130 148 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.286
95
Kedua pepatah di atas hampir sama, diambil dari karakter anjing
hutan yang tidak pernah kenyang dan selalu memangsa hewan lainnya.
Watak manusia yang selalu kenyang dan tidak pernah merasa puas
dengan apa yang didapatkannya sama seperti sifat anjing hutan. Dalam
hal ini, tampak perbedaan penggunaan anjing dengan srigala, di mana
anjing menjadi simbol dari kebaikan karakter manusia, sedangkan
serigala menjadi simbol keburukan manusia.
Karakter buruk lainnya yang dikiaskan pada anjing dapat dilihat
pada peribahasa berikut ini:
Lebih penakut daripada anjing hutan
Diceritakan bahwa anjing hutan itu apabila hendak tidur, selalu
berganti-ganti antara kedua matanya. Kalau yang sebuah dipejamkan dan
tidur nyeyak, tetapi yang sebuah lagi dijagakan untuk melihat
sekelilingnya barangkali ada bahaya. Pepatah ini dikiaskan pada
seseorang yang luar biasa penakutnya.
Anjing hutan telah menjadi kambing150
Kiasan bagi seseorang yang asalnya berpangkat tinggi atau
hartawan lalu menjadi hina dan miskin.
Di bawah kulit kambing itu ada hati anjing hitam151
Kiasan bagi seseorang yang lain lidah dengan hatinya. Juga untuk
seseorang yang suka menipu dan menjerumuskan orang lain.
149 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.146 150 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.247 151 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.114
96
Dalam peribahasa di atas, berdasarkan pengamatan masyarakat
Arab saat itu, ada beberapa karakter anjing hutan (al-dzi‘b) yang sangat
kuat dan terkadang mirip dengan perilaku manusia, seperti: penakut,
rakus dan kelaparan, munafik dan suka menipu. Pada intinya, dalam
peribahasa Arab, serigala termasuk pada binatang yang mengandung
kiasan buruk bagi watak dan karakter manusia.
Selain dibuat sebagai perumpamaan watak dan sifat manusia,
anjing juga digunakan sebagai perumpamaan dalam kehidupan berpolitik
oleh masyarakat Arab, sebagai contoh:
Barangsiapa yang dirinya dijadikan tulang, pasti akan dimakan anjing.
Yakni barangsiapa yang melempem, lemah dan enggan berusaha,
tentu akan jadi mangsanya orang-orang yang kuat. Kiasan bagi bangsa
yang dijajah atau diperbudak oleh bangsa lain.
Peribahasa ini tentu saja tidak terlepas dari budaya bangsa Arab
yang terbiasa berperang dan menang menjadi suatu tujuan utama,
sehingga kekuatan menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan, dan yang
lemah akan menjadi mangsa bagi yang kuat. Peribahasa lainnya yang juga
mirip:
Barangsiapa yang tidak menjadi anjing hutan akan dimakan oleh anjing-anjing hutan.
Peribahasa ini hampir sama dengan peribahasa sebelumnya, yaitu
kiasan bagi suatu golongan atau bangsa yang lemah yang tidak mau
menunjukkan giginya pada bangsa lain yang hendak mencengkramnya.
Akhirnya pasti akan diterkam dan dijadikan mangsanya. Suatu anjuran
152 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.113 153 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.247
97
agar kita menyusun kekuatan sesempurna-sempurnanya untuk
menghadapi segala sesuatu.
Laparkan dulu anjingmu tentu ia akan mengikutimu154
Kiasan bagi seorang yang rendah budi dan rusak jiwanya yang
selalu menjilat orang lain hanya sekedar mengisi perut saja. Jadi ia
mengikuti orang itu bukan karena yakin akan kebenarannya, tetapi
semata-mata mencari makan dan minum.
Peribahasa ini juga digunakan dalam siasat berpolitik. Seorang
pemimpin yang cerdas akan menjadikan pengikutnya selalu merasa butuh
padanya, sehingga ia mau tidak mau mengikuti perintahnya guna
mendapatkan keinginannya. Hal ini berlaku bagi orang yang biasanya
lebih menuruti hawa nafsunya, dibanding harga dirinya.
Budaya perang, telah banyak melahirkan berbagai peribahasa,
bahkan anjingpun banyak member inspirasi bagi mereka untuk
menggambarkan budaya tersebut, seperti:
Salak anjing tidak membahayakan awan.
Kiasan bagi seseorang yang mendapatkan sesuatu karena
perbuatan musuhnya, tetapi tidak membahayakan, baik diri maupun
hartanya. Juga dikiaskan pada seseorang yang bermaksud hendak
membuat kegaduhan, perpecahan, kerusuhan dan lain-lain kejahatan di
dalam suatu kelompok suatu kaum, tetapi tidak berhasil berkat
keinsyafan dan keeratan persatuan kaum itu juga.
154 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.129 155 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.564
98
Peribahasa lainnya yang menggunakan kata anjing, namun sebagai
kiasan terhadap sesuatu yang biasa terjadi pada manusia tampak pada
peribahasa berikut ini:
Anjing hutan betina itu tidak akan melahirkan melainkan anjing hutan juga.
Kiasan bahwa seseorang itu pada umumnya adalah menyerupai
orang tuanya, baik rupa, watak, kegemaran dan lain-lainnya lagi.
Peribahasa ini mirip dengan peribahasa Indonesia ―buah jatuh tidak jauh
dari pohon‖atau “Anak harimau tidak akan jadi anak kambing”. Peribahasa
dengan corak seperti ini dalam sastra Arab disebut dengan al-amtsâl al-
sâ‘irah (asy-Sya‘biyyah) atau peribahasa yang umum di masyarakat,
biasanya menggambarkan suatu kebiasaan, adat, perilaku atau kemuliaan
suatu bangsa (masyarakat), baik kehidupan pedesaan ataupun
perkotaan.157
Anjing (al-kalb) yang digunakan dalam peribahasa Arab lebih
cenderung menggambarkan perilaku manusia yang positif, seperti setia
dan pandai bersyukur, sedangkan serigala tampaknya lebih dekat pada
sisi negative dari watak manusia, seperti rakus, penakut, kelaparan, licik,
munafik, dan lain sebagainya.
3. Kuda158
Selain unta, binatang lainnya yang juga lekat dengan budaya
bangsa Arab adalah kuda. Kuda erat hubungannya dengan budaya
156 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.615 157
Mahmud sayyid Syaqir, Alwan minal Amtsal al ‘Araby, h 102. 158 Kuda adalah binatang menyusui, berkuku satu, biasa dipelihara orang sebagai
kendaraan (tunggangan atau angkutan), atau penarik kendaraan, dsb. Dalam bahasa latinnya dikenal dengan equus caballus. Memiliki kromosom 60 helai, sama dengan keledai, oleh karena itu keduanya dapat dikawinkan secara silang hingga kemudian muncul spesies baru yang disebut dengan Bagal. Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 607, Wildan Yatim, Kamus Biologi, h. 533
99
perang saat itu. Ia adalah tunggangan yang sangat terkenal saat perang
berlangsung. Selain sebagai kendaraan perang, kuda juga dianggap
sebagai makhluk suci oleh sebagian masyarakat Arab kuno. Hal ini
tampak pada salah satu berhala bernama Ya‟uq yang berbentuk kuda dan
dijadikan sesembahan oleh mereka.159 Berdasarkan hal tersebut, maka
pantas jika hewan inipun banyak diabadikan dalam peribahasa Arab. Ada
lebih dari sepuluh kata kuda ditemukan dalam peribahasa Arab, di
antaranya:
Sertakanlah kuda itu dengan kendalinya, dan unta dengan pengekangnya160
Maksud dari peribahasa tersebut adalah jika kita menghadiahkan
kuda pada seseorang, sebaiknya kendalinya juga ikut diberikan. Begitu
juga jika menghadiahkan unta, sebaiknya tali kekangnya juga diberikan.
Hal ini merupakan nasihat agar bila memberikan sesuatu pada orang lain
jangan setengah-setengah. Bila ingin berderma jangan kepalang tanggung,
asalkan tidak berlebihan.
Menarik kendali itu menjinakkan kuda liar
Peribahasa ini merupakan kiasan bagi seseorang yang mula-mula
tantangan atau perlawanan karena sesuatu hal, kemudian beralih menjadi
pengikut karena mendapatkan suatu pemberian istimewa dari lawannya.
161
159
Tim penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam, Akar dan Awal, h. 29 160 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, (tp: pt. alma‟arif, 1982), cet. 1, h.
83 161 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, (tp: pt. alma‟arif, 1982), cet. 1, h.
103
100
Bulayyaqpun berlari, tapi (tetap) dicela162
Bulayyaq adalah nama kuda pacuan yang setiap perlombaan pasti
menang, namun demikian masih juga dicela. Peribahasa ini sebagai kiasan
bagi orang yang baik budi, namun masih ada saja yang tidak
menyukainya. Peribahasa ini mirip dengan peribahasa Indonesia “tak ada
gading yang tak retak‖.
Kuda pacuanpun kadang tergelincir163
Peribahasa ini sebagai perumpamaan bagi orang yang biasanya
bekerja dengan baik, tetapi pada suatu saat melakukan kesalahan tanpa
disengaja, atau seseorang yang sangat pandai, namun tanpa disadarinya
berbuat kekeliruan. Peribahasa ini hampir mirip dengan peribahasa
Indonesia “Sepandai-pandai tupai meloncat, jatuh juga” yang artinya tidak
ada orang yang sempurna, setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan,
kejahatan atau kegagalan, atau sepandai-pandai seseorang, ada kalanya
berbuat salah (keliru) juga 164
Kuda itu lebih mengenal penunggangnya165
Berdasarkan pengalaman bangsa Arab, kuda biasanya mengerti
betul siapa penunggangnya. Jika penunggang seorang yang ahli, ia
bersikap tenang dan tidak merasa takut. Artinya serahkan urusan pada
ahlinya.
162 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 108 163 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 103 164http://id.wikiquote.org/wiki, Halaman terakhir diubah pada 16.06, 14 Mei
2009. Hal ini juga dikuatkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer, Indonesia 2008.
165 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 228
101
Anak kuda itu terkadang jinak setelah menyepak166
Kiasan bagi seseorang yang tunduk menyerah sesudah
mengadakan perlawanan, penentangan dan pembangkangan.
Dalam peribahasa di atas, ada beberapa nama yang digunakan
untuk kuda, yaitu: al-faras, al-shi‘âb, Bulayyaq, al-jawwâd, dan al-mahr. Kata
faras (mufrad) atau afras/furus (jamak) di dalam kamus diartikan sama
dengan al-khail yang artinya kuda.167 Adapun kata al-jawwâd ( ) berasal
dari kata kerja jâda-jawwada dan ajwada (د ) yang artinya cepat
larinya. Kosakata ini kemudian identik dengan kuda, sehingga al-jawwâd
diartikan dengan kuda yang cepat larinya.168 Tidak berbeda dengan kata
al-jawwad, kata al-shi‘âb ( ) berasal dari kata sha‘uba-yash‘ubu (
) yang berarti sulit. Untuk itu kata al-shi‘âb diartikan sebagai kuda
yang belum pernah ditunggangi sehingga sulit dikendalikan atau disebut
dengan kuda liar.169 Sedangkan Bulayyaq sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya adalah nama seekor kuda yang sangat terkenal karena
kecepatan larinya, dan al-mahr adalah istilah khusus untuk anak kuda.
Bulayyaq selain dijadikan sebagai kiasan, ia juga memberikan informasi
lain tentang tradisi pacuan kuda yang sudah biasa dilakukan oleh
masyarakat Arab zaman dahulu.
Kedekatan bangsa Arab dengan kuda di masa lalu lebih disebabkan
oleh budaya perang, namun demikian bila dicermati peribahasa dengan
menggunakan kata kuda lebih cenderung pada al-amtsâl al-sâ‘irah atau
166 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 167 S. Askar, Kamus Arab-Indonesia Al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2011),
h. 604 168 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka progressif, 1997), h. 222 169 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‗Alam, h. 424
102
pada hal-hal yang biasa terjadi pada masyarakat pada umumnya bukan
dunia politik dan perang. Hanya ada satu peribahasa yang
menggambarkan tentang kehidupan berperang, yaitu peribahasa yang
terakhir. Peribahasa dengan menggunakan kata kuda lebih banyak
digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral
kemanusiaan, seperti harus bersifat dermawan, bijak, cerdas dan lainnya.
4. Burung
Secara kuantitatif, burung menempati posisi utama dalam
peribahasa Arab. Namun demikian, burung yang disebutkan bukan
berasal dari spesies yang sama namun berbeda-beda. Nama-nama burung
tersebut di antaranya: merpati, elang, rajawali, gagak, pipit, Hubara,
burung hantu, burung unta, anuq, shafir, qirilla, merak, Abu baraqisy,
labad, qatha, thawus, merak, labad dan qatha. Namun demikian, di
anatara burung-burung tersebut ada tiga spesies burung yang sering
disebutkan dalam peribahasa Arab, yaitu: elang, gagak, dan burung unta.
a) Elang
Di antara peribahasa yang menggunakan kata elang:
Lebih busuk bau mulutnya daripada elang.170
Untuk menyatakan bau mulut seseorang yang luar biasa busuknya.
Lebih tajam penglihatannya daripada burung rajawali.171
170
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.48 171
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.55
103
Untuk menyatakan seseorang yang luar biasa ketajaman
penglihatannya.
Lebih mulia daripada elang di udara172
Lebih mencegah daripada elang di udara.173
Mencegah artinya di sini ialah menghargai diri. Dikiaskan pada
seseorang yang terlampau sangat menghargai diri atau menjaga
kehormatannya.
Adakah elang itu dapat bergerak tanpa sayap.
Kiasan bagi seseorang yang meminta kepada kawannya supaya
kawannya itu suka tolong-menolong dengannya. Juga dikiaskan pada
seseorang yang mengaku-akukan dapat melakukan sesuatu tetapi ia tidak
memiliki sama sekali akan alat-alatnya. Pengakuan bahwa manusia
adalah makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan
manusia lainnya.
Burung elang tampaknya memiliki penilaian tersendiri bagi bangsa
Arab. Kemegahannya saat terbang di udara membuatnya dijadikan
sebagai simbol kehebatan atau kelebihan manusia, selain bau mulutnya.
Ada beberapa nama yang digunakan untuk elang, yaitu: shaqar, ‗uqab,
nasar, dan al-bazi175. Shaqar adalah sejenis burung elang. ‗Uqab adalah
sebutan untuk burung elang, baik jantan maupun betina. Nasr adalah
172
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.435 173
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.559 174
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.585 175 Al-bazi adalah sejenis burung elang dalam bahasa Persia. Lewis Ma‟luf, al-
Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 24
104
burung yang paling perkasa, memiliki mata yang sangat tajam, paling
kuat, terbang paling tinggi, sayap paling kuat, dan ditakuti oleh burung-
burung lainnya, dan lebih besar dari „uqab. Burung ini memiliki paruh
bengkok tajam, kuku yang sangat kuat namun tidak mampu
mencengkeram seperti elang. Ada beberapa julukan untuk burung ini,
yaitu: Abu al-Abrad, Abu al-Ashba‟, Abu Malik, Abu al-Minhal, dan Abu
Yahya. Betina burung ini dipanggil dengan Ummu Qasy‟am. 176 Kita biasa
memanggil burung ini dengan sebutan rajawali.177 Kehebatan burung ini
diabadikan dalam peribahasa Indonesia “seperti elang menyongsong angin”
yang artinya tidak gentar menghadapi musuh.178
Kehebatan-kehebatan inilah rupanya yang kemudian membuat
masyarakat Arab kagum akan burung ini dan kemudian dibadikan dalam
peribahasa.
b) Gagak
Di kamus peribahasa Arab, ditemukan sekitar sembilan peribahasa
yang menggunakan burung gagak sebagai kiasan, di antaranya:
Hal itu tidak mungkin terjadi, sampai burung gagak beruban.179
Beruban dalam peribahasa di atas artinya adalah putih, sedangkan
sebagaimana diketahui bahwa gagak adalah jenis burung yang berbulu
hitam, sehingga bila ditemukan gagak berbulu putih, hal tersebut adalah
mustahil. Peribahasa ini kemudian dijadikan kiasan bagi suatu hal yang
sama sekali tidak dapat dicapai atau diperoleh. Kiasan yang sama
ditemukan dalam peribahasa Indonesia, yaitu “menanti putih gagak hitam”.
176
Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 805 177 Dalam bahasa Indonesia rajawali diartikan dengan burung elang yang sangat
besar. Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 922 178 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 292 179
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.365
105
Lebih berlagak jalannya daripada burung gagak.
Untuk menyatakan seseorang yang di waktu jalan banyak beraksi
dan berlagak sebagai jutawan, pemimpin, alim ulama dan lain-lain lagi.
Lebih pagi daripada burung gagak.180
Untuk menyatakan seseorang yang amat pagi bangun tidurnya.
Ia mendapatkan kurma burung gagak.181
Burung ini selalu mencari kurma yang semasak-masaknya dan
sebaik-baiknya dan oleh sebab itu, maka pepatah ini adalah kiasan bagi
seseorang yang mendapatkan sesuatu yang sangat bagus dan indah.
Bukannya dengan teriakan burung gagak, hujan itu akan datang.182
Maksudnya tidak dengan jalan berteriak-teriak, mengajukan emosi,
menuntut ini dan itu, pidato-pidati siang dan malam dan lain-lainnya itu
yang dapat mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi yang
penting adalah kerja giat dalam segala bidang. Ini adalah merupakan
sindiran pahit bagi seseorang yang mengharapkan keenakan tanpa usaha
dan hanya berbicara saja.
Lebih celaka daripada burung gagak yang memberi tanda.183
180
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.70 181
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.384 182
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.384 183
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.335
106
Kedatangan gagak itu dianggap sebagai suatu tanda kesialan dan
kecelakaan oleh orang-orang Arab, apabila burung itu berdiam di rumah
mereka yang kosong. Karena itu jarang-jarang yang suka menempati,
kalau di dalamnya sudah dilihatnya ada sarang burung ini.
Lebih mulia daripada burung gagak yang berkaki putih sebelah.184
Burung gagak yang sedemikian sifatnya itu pasti tidak ada.
Maksud dari kiasan ini untuk menyatakan kebalikan dari pengertian
sebenarnya: lebih sukar didapatkan daripada lelaki hamil yakni mustahil
sekali terjadi.
Gagak adalah sejenis burung berwarna hitam.185 Dalam tradisi
masyarakat Arab kuno, burung gagak memiliki makna tersendiri dalam
kehidupan mereka. Di antaranya terkait dengan keyakinan mereka
terhadap hal-hal yang gaib. Burung gagak dianggap sebagai simbol
kesialan atau kematian.186 Burung gagak yang memberi kabar kematian
atau kemalangan disebut oleh mereka dengan ghurâb al-bain seperti
terdapat dalam peribahasa di atas.
c) Burung unta187
Sejenis burung dengan bentuk separuh burung dan separuh unta.
Bentuk unta tampak dari leher, kaki, dan tapak kuku. Sedangkan bentuk
burung tampak dari sayap, paruh, dan bulu.188
184 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.436 185 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa gagak adalah burung
yang berbulu hitam, memiliki bentuk badan yang besar, pemakai bangkai dan memiliki suara yang keras. Dalam bahasa Latin dikenal dengan nama Carvus macrorhynchos. Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 326
186 Lewis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 547 187 Burung unta adalah sejenis burung yang tidak dapat terbang, se-ordo dengan
kasuari di Indonesia dan Kiwi di Selandia Baru. Burung ini hanya memiliki dua jari, bulu di kepala, leher, dan kaki hanya sedikit. Tinggi sekitar 2 m dengan berat + 150 kg. Hidup di padang rumput savanna kering di Afrika dan Arab. Berkawan hingga 3-20 ekor. Jenis omnivora. Wildan Yatim, kamus Biologi, h. 157
107
Telur di sarang burung unta.189
Dalam salah satu kamus biologi dinyatakan bahwa salah satu
karakter dari burung unta adalah bila betinanya bertelur yang mengerami
telurnya adalah burung unta jantan. Kebiasaan ini kemudian dijadikaan
kiasan oleh masyarakat Arab yang akrab dengan kehidupan burung unta,
bahwa burung ini setelah bertelur selalu saja ditinggalkan dan tidak
kembali lagi ke sana. Jadi seolah-olah dianggapnya telur tadi sebagai
benda yang hina dan tidak berharga. Pepatah ini untuk menyatakan
seuatu yang sama sekali tidak ada nilainya sepeser pun ataupun
seseorang yang sama sekali tidak berguna di masyarakat. Dalam
peribahasa Indonesia dikenal dengan istilah “sampah masyarakat”.
Lebih pengecut daripada burung unta.190
Diceritakan bahwa burung unta itu apabila takut pada sesuatu
benda, maka selama-lamanya ia tidak akan kembali ke tempat benda itu.
Pepatah ini untuk menyatakan seseorang yang mempunyai tabiat
pengecut.
Tidak akan dapat dikumpulkan antara musang dengan burung unta.191
Musang itu senantiasa berada di tempat yang tinggi, sedangkan
burung unta di tempat yang rendah atau lapangan. Pepatah ini dikiaskan
pada dua orang atau dua faham yang berbeda sekali dan tidak mungkin
dapat dipersatukan. Di antara peribahasa Indonesia yang mirip dengan
188 Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 821 189
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.79 190
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.97 191
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.115
108
amtsal tersebut adalah: “bagai minyak dengan air‖, dan ―bagai bumi dan
langit‖.
Ringan sudah burung unta mereka.192
Burung ini keistimewaannya ialah begitu cepat kalau lari dan
tampak ringan apabila berjalan. Dikiaskan pada suatu kaum yang
diwaktu perginya dengan berkumpul berduyun-duyun, tetapi setelah
pulang berpish-pisahan sendiri-sendiri, karena ingin cepat-cepat datang.
Pejamkan mata hai burung kara, burung unta ada di desa.193
Burung kara itu dipersamakan dengan orang kecil atau rakyat
jelata sedang burung unta itu dikiaskan orang-orang besar atau
pemimpin-pemimpin. Dikiaskan pada seseorang tingkat rendah yang
berbicara dipersidangan orang-orang besar, sedang golongan-golongan
kecil tidak ada yang mengeluarkan pembicaraan. Dimaksudkan supaya
orang itu diam dan tahu akan harga diri. Biarlah nanti kalau orang-orang
besar sudah berbicara atau mempersilahkan bicara barulah mulai bicara.
Bagaikan burung unta, bukannya burung dan bukan pula unta.194
Dari definisi sebelumnya, jelas sekali bahwa burung unta adalah
sejenis burung yang memiliki dua bentuk hewan yaitu burung dan unta.
Peribahasa ini diambil dari ciri khas unta tersebut, dan menjadi kiasan
bagi seseorang yang tidak jelas pendiriannya atau seseorang yang tidak
dapat dianggap baik dan tidak pula buruk. Dalam peribahasa Indonesia
192
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.208 193
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.398 194
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.545
109
orang yang tidak jelas pendiriannya diumpamakan dengan “air di daun
talas” yang tidak jelas ke mana arah tujuan.
5. Singa, Macan, dan Harimau
Bagi orang-orang yang mempelajari bahasa Arab, ungkapan “
” Zaid bagai singa atau “ ” kamu bagai singa mungkin
sudah tidak asing lagi. Singa oleh bangsa Arab dianggap sebagai simbol
kegagahan dan keberanian. Simbol ini terkait erat dengan tradisi perang
yang senantiasa membutuhkan jiwa-jiwa yang kuat, gagah,dan pemberani
seperti singa. Selain itu, sebagaimana halnya kuda, singa juga termasuk
dalam kategori binatang yang disucikan oleh sebagian masyarakat Arab.
Patung singa yang bernama Yagus bahkan menjadi salah satu berhala
sesembahan masyarakat Arab Jahiliyah.195
Beberapa peribahasa yang menggunakan singa dan sejenisnya
sebagai kiasan, di antaranya:
Lebih berani daripada Usamah.196
Lebih berani daripada singa Yakhaffan.197
Usamah dan Yakhaffan adalah nama singa yang terkenal akan
keberaniannya. Peribahasa ini sebagai kiasan untuk seseorang yang
sangat luar biasa keberaniannya.
195
Tim Penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 29 196
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.105 197
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.105
110
Lebih menjaga daripada hidung singa.198
Lebih mulia daripada hidung singa.199
Singa dikenal sebagai binatang yang memiliki penciuman yang
sangat tajam. Hidung singa dapat mencium sesuatu dalam jarak yang
sangat jauh. Bila mencium bau peluru meletus, ia segera menjauhkan diri
untuk menghindarinya. Oleh sebab itu dikatakanlah bahwa hidungnya itu
sangat pandai menjaga keselamatan dirinya. Kiasan ini untuk menyatakan
seseorang yang sangat pandai menjaga diri dan hebat.
Lebih mencegah daripada hidung singa.200
Mencegah artinya di sini ialah menghargai diri. Dikiaskan pada
seseorang yang terlampau sangat menghargai dirinya dan
kehormatannya.
Bagaikan orang yang mencari binatang buruan di persembunyian singa.201
Tidak mungkin kita akan mendapatkan binatang buruan itu di
tempatnya singa bersembunyi, sebab sudah tentu dimangsa lebih dulu
oleh singa itu sendiri. Kiasan bagi seseorang yang mencari sesuatu di
suatu tempat yang bukan tempatnya atau menginginkan kedudukan yang
tidak patut ia mendudukinya, misalnya seorang penakut ingin menjadi
panglima perang.
198
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.187 199
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.434 200
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.559 201
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.66
111
Kutinggalkan ia dalam keadaan seperti di bibir singa.202
Yakni dalam keadaan yang mendekati kebinasaan karena
sangatnya penderitaan, baik penghidupannya atau tekanan jiwanya.
Apabila engkau telah selamat dari singa, maka jangan brsifat tamak ingin
memburunya.203
Maksudnya apabila kita telah selamat dari suatu marabahaya,
maka jangan sekali-kali mencoba hendak mendekatinya lagi, apalagi
melakukannya.
Singa kecil ini adalah anak singa itu.204
Dikiaskan pada seseorang yang serupa benar tabiat dan
kelakuannya dengan orang tuanya. Dalam peribahasa Indonesia
dikatakan dengan “Anak harimau tidak akan jadi anak kambing”.
Rangkaian peribahasa di atas jelas menunjukkan bahwa singa,
harimau, ataupun macan merupakan simbol kekuatan dan kehebatan
manusia. Banyaknya nama-nama binatang yang dijadikan sebagai simbol
dalam peribahasa Arab menunjukkan bahwa binatang memiliki arti
khusus bagi masyarakat Arab kuno.
Dalam salah satu ensiklopedi disebutkan bahwa salah satu
kepercayaan umum yang ada pada masyarakat Arab sebelum Islam
adalah totemisme, yaitu pengultusan kepada hewan-hewan yang
dianggap suci. Pengultusan ini terjadi kemungkinan besar disebabkan
oleh ketergantungan hidup mereka terhadap hewan dan tumbuh-
tumbuhan. Oleh karena itu, mereka melarang membunuh, momotong,
202
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.86 203
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.317 204
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.337
112
atau memakan hewan atau tumbuh-tumbuhan tertentu. Pengultusan itu
di antaranya tampak pada pengambilan nama binatang sebagai brand
kabilah, seperti Bani Asad (singa), Bani Fahd (singa), Bani Namir
(harimau), Bani Dhabbah (biawak), Bani Kalb (anjing), Bani Qird
(monyet), Bani Tsa‟labah (kancil), dan Bani Dzi‟b (serigala).205 Banyaknya
peribahasa dengan menggunakan nama-nama binatang sebagai simbol
berbagai karakter dan watak manusia, menjadi syawahid (saksi) yang
menguatkan dari pernyataan ensiklopedi tersebut.
Inilah yang dinamakan dengan al-amtsal al-fardhiyyah oleh penulis
buku al-Wasith206, yaitu peribahasa yang dinisbatkan pada binatang,
tumbuhan, atau benda. Al--Amtsal al-Fardhiyyah banyak berkembang di
saat terjadinya banyak kelaliman dan kekerasan. Para mursyid atau
katakanlah para ulamanya banyak dibungkam dan dibatasi geraknya,
sehingga mereka menggunakan tersebut. Dengan cara itu, mereka merasa
aman dan dapat menyampaikan pesan-pesan moral yang mereka
inginkan melalui amtsal tersebut.207
c. Budaya
1. Peperangan
Salah satu tradisi bangsa Arab terutama pada masa Jahiliyah
sebagaimana banyak tertulis dalam catatan-catatan sejarah adalah tradisi
berperang yang biasa mereka sebut dengan istilah Ayyâm al-‗Arab. Philip
K. Hitti menyatakan bahwa salah satu fenomena sosial yang menggejala
di Arab menjelang kelahiran agama Islam adalah apa yang dikenal
dengan sebutan Ayyâm al-Arab. Menurutnya, Ayyâm al-Arab merupakan
cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang Badui
205 Tim Penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 28 206 Kata fardhiyyah dalam kamus al-Munawwir diartikan berdasarkan dugaan
perkiraan 207 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa „Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa
Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, tth), h. 18-19
113
yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan menjadikan
peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat ayyâm al-Arab itulah,
pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan
dalam kehidupan mereka.208
Untuk itu, perang bagi bangsa Arab Jahiliyah adalah tradisi. Tiada
hari tanpa perang antar kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka
bermacam-macam perang yang dipicu oleh berbagai faktor, seperti perang
Basus, Dâhis wa al-Ghabrâ‟, Fijâr, dan masih banyak lagi. Untuk itu,
sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat Arab Jahiliyah. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur
hingga seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak
hampir seratus kali pula. Perang telah menyita separuh dari hidupnya.
Setiap tahun ia ikut berperang sebanyak dua kali.209 Namun demikian,
dalam bulan-bulan tertentu yang dianggap suci mereka menghentikan
peperangan, meski terkadang kesepakatan ini mereka langgar sendiri.210
Dalam peribahasa Arab (amtsal), ada beberapa diksi yang terkait
dengan tradisi perang bangsa Arab saat itu, di antaranya kata perang itu
sendiri, beberapa alat perang seperti panah, busur, tombak, dan pedang,
tawanan, dan harta rampasan.
a) Perang
Di antara peribahasa Arab yang menggunakan kata perang sebagai
kiasan:
208 Philip K. Hitti., History of The Arabs (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), h. 110 209 Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian
Poetry, (London: William & Norgate, 1985), h. xxii 210 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, (Kuala Lumpur: Utusan
Publications & Distributors SDN. BHD, 1982), h. 7
114
Perang itu adalah tipuan211
Perang itu silih berganti212
Perang itu semena-mena213
Ketiga peribahasa tersebut pada hakikatnya bukanlah sebuah
kiasan, namun gambaran riil tentang peperangan. Perang harus
menggunakan trik dan intrik atau tipu daya agar menang. Demikian pula
kenyataan bahwa kekalahan dan kemenangan dalam peperangan adalah
hal biasa. Perang pun tidak pernah peduli apakah korbannya berdosa atau
tidak, yang penting pulang dengan membawa kemenangan.
Alangkah mudahnya perang itu bagi yang menonton214
Peribahasa ini sebagai kiasan bagi orang yang pengecut dan tidak
mau ikut berjuang, namun di saat kemenangan sudah diperoleh, ia ikut
meminta bagian dari hasil yang didapatkan orang lain.
Tidak ada hari Halimah yang dirahasiahkan215
Hari Halimah adalah salah satu peperangan yang sangat terkenal
pada masa Jahiliyah. Pada hari tersebut Mundzir ibn Ma‟u al-Sama‟ dan
Halimah bin Abu Syamar terbunuh. Peribahasa ini dijadikan sebagai
211 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 150 212 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 150 213 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 150 214 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 594 215 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 623
115
kiasan bagi sesuatu yang sudah terkenal, sehingga sangat aneh bila ada
yang tidak mengetahuinya.
b) Alat perang
Diantara alat perang yang digunakan oleh bangsa Arab dalam
peperangan dan dijadikan sebagai kiasan dalam peribahasa, yaitu, panah,
pedang dan tombak, sebagaimana terdapat dalam peribahasa di bawah
ini:
Di samping yang luput ada juga anak panah yang mengena216
Peribahasa ini dijadikan sebagai kiasan bagi seseorang yang
melakukan usaha namun gagal terus, namun kemudia ada juga yang
berhasil.
Sebelum memanah, anak panahnya diberi bulu dahulu217
Sebelum memanah, penuhi dahulu busurnya218
Dalam peribahasa Arab di atas, ada dua kosa kata yang biasa
digunakan untuk panah, yaitu kata sahm dan kanâ‘in. Dalam kamus kata
sahm jamaknya sihâm diartikan sebagai anak panah, sedangkan kanâ‘in
diartikan sebagai ju‘ab al-sihâm atau tempat anak panah, atau yang kita
kenal dengan istilah busur. Namun demikian, kedua peribahasa tersebut
merupakan nasihat agar sebelum melakukan sesuatu hendaknya
dipersiapkan secara matang. Nasihat seperti ini hampir sama dengan
“sedia payung sebelum hujan” yang ada di dalam bahasa Indonesia.
216 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 206 217 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.288 218 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 288
116
Peribahasa Arab mengambil kiasan dengan menggunakan unsur budaya,
sedangkan dalam peribahasa Indonesia menggunakan unsur alam yaitu
hujan.
Tidak semua orang yang memanah mengenai sasarannya219
Terkadang panah yang mengena itu bukan berasal dari pemanah
Kedua peribahasa tersebut mengandung makna yang berlawanan,
yang pertama sebagai kiasan bahwa terkadang seseorang yang sudah ahli
pun melakukan kesalahan, meski tanpa disengaja. Adapun yang kedua
kiasan bagi seseorang yang biasanya salah, tetapi sesekali benar juga.
Dengan demikian, tidak ada manusia yang sempurna.
Berdasarkan pada peribahasa-peribahasa tersebut, maka panah
maupun profesi sebagai pemanah merupakan tradisi dan budaya bangsa
Arab. Tradisi ini terkait erat dengan budaya perang yang selalu melanda
jazirah Arab saat itu.
Selain panah, senjata lain yang terdapat dalam peribahasa dan juga
menjadi budaya dalam tradisi bangsa Arab adalah pedang, seperti
terdapat dalam peribahasa-peribahasa berikut ini:
Hinalah orang yang tidak berpedang221
Dalam peribahasa ini, kata pedang bisa dimaknai dengan pedang
yang sebenarnya yaitu alat untuk berperang. Dalam pertempuran apabila
tidak membawa senjata pasti akan mudah untuk dikalahkan dan
219 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 288 220 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 289 221 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 251-252
117
kemudian ditawan musuh. Namun demikian, pedang juga dalam hal ini
bisa dimaknai sebagai simbol keluhuran yang dimiliki seseorang di
masyarakat, seperti ilmu pengetahuan dan keahlian, sehingga ketika
senjata itu sudah dimiliki maka tidak akan terhina dan pasti memiliki
harga diri yang tinggi.
Pedang telah mendahului cacian
Pedang milik Amr bin Ma‘dikariba
Apa gunanya pedang tanpa orang
Kadang pedang itu ditakuti sekalipun ia berada dalam sarungnya
Peribahasa-peribahasa tersebut menunjukkan bahwa betapa
pentingnya arti pedang bagi bangsa Arab yang terbiasa hidup dalam
peperangan.
c) Tawanan
Fenomena lainnya yang terkait dengan budaya perang bangsa Arab
adalah tawanan. Meskipun tidak banyak peribahasa bertemakan tawanan,
hal ini tetap memberikan indikasi bahwa fenomena tawanan perang itu
ada. Namun demikian, tawanan perang lebih mengiaskan karakater
manusia yang bersifat negatif terutama bohong, seperti terdapat dalam
peribahasa berikut ini:
222 Lewis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 991 223
Lewis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 996 224
Lewis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 1010 225
Lewis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 1013
118
Lebih dusta bicaranya dari seorang tawanan226
Peribahasa ini dikiaskan untuk orang yang suka berbohong, seperti
yang biasa dilakukan oleh tawanan. Hal ini tentu saja berdasarkan
kebiasaan para tawanan perang yang biasa berbohong demi
menyelamatkan diri dari siksaan.
d) Harta rampasan
Selain tawanan perang, fenomena lain yang terkait dengan budaya
perang adalah harta rampasan atau ghanimah, seperti yang tampak pada
peribahasa di bawah ini:
Aku memilih pulang daripada harta rampasan227
Peribahasa ini sebagai kiasan bagi orang yang lebih cinta pada
keselamatannya daripada meneruskan usaha yang tengah dilakukannya.
Dengan kata lain orang yang tidak berani menanggung resiko dalam
hidupnya.
Keselamatan adalah harta rampasan228
Menurut peribahasa Arab, keselamatan adalah sesuatu hal yang
harus diperjuangkan sebagaimana halnya harta rampasan perang.
Berdasarkan hal tersebut, tampak sangat jelas bahwa harta rampasan
dalam budaya bangsa Arab adalah sesuatu yang dianggap wajar bahkan
harus diperjuangkan sebagai simbol kemenangan dalam pertempuran.
226 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 519 227 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 276 228 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 318
119
Demikian beberapa fenomena yang terkait dengan budaya perang
yang diabadikan dalam amtsâl al-‗arab.
2. Perbudakan
Perbudakan merupakan salah satu budaya bangsa Arab sejak
zaman Jahiliyah, bahkan setelah datangnya Islam budaya ini masih tetap
ada. Budaya ini pun tidak kemudian diabadikan dalam peribahasa Arab,
seperti:
Budak dan perhiasan di tangannya229
Dalam tradisi bangsa Arab, hamba sahaya tidak diperbolehkan
untuk menggunakan perhiasan di badannya. Untuk itu peribahasa ini
sebagai perumpamaan bagi orang yang memakai sesuatu yang bukan
miliknya.
Hamba sahaya dan dibiarkan230
Peribahasa ini sebagai kiasan bagi seseorang yang rendah budi
pekertinya dan dibiarkan berbuat sesuka hatinya.
Hamba sahaya orang lain, merdeka sepertimu231
Dalam tradisi Bangsa Arab, budak orang lain tidak bisa dijadikan
budak oleh selain pemiliknya. Maka hanya tuannya yang berhak untuk
memerintahnya, dan lain-lainnya. Peribahasa ini sebagai kiasan bagi
seseorang yang sudah mengetahui bahwa dirinya memiliki kedudukan
229 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 415 230 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 415 231 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 415
120
yang lebih tinggi dari orang lain, namun tidak mau menonjol-
nonjolkannya.
Hamba sahaya itu dipukul dengan tongkat, sedangkan orang merdeka cukup dengan
isyarat232
Peribahasa ini mengandung arti bahwa mengingatkan orang yang
merdeka itu tidak perlu dengan kekerasan, sehingga tidak ada bedanya
dengan budak.
Hamba sahaya itu orang yang tidak memiliki hamba sahaya233
Budak itu adalah orang yang tidak memiliki budak, artinya orang
yang harus mengerjakan semua pekerjaannya sendiri tanpa bantuan
orang lain, layaknya seorang budak.
Bila dicermati, tampak jelas bahwa semua peribahasa di atas
menunjukkan kedudukan hamba sahaya yang sangat rendah dalam
struktur sosial bangsa Arab. Ia sama sekali tidak memiliki hak terhadap
dirinya sendiri bahkan hampir sama dengan binatang yang harus
diperlakukan dengan kekerasan.
3. Gaya hidup
a) Kehidupan Nomaden
Sebagian besar Jazirah Arab terdiri dari padang pasir dengan
bentuk dan karakter yang berbeda-beda. Ada yang berdebu, ada pula
yang berpasir, dan berbatu. Tempat seperti ini dikenal dengan istilah
badiyah al-samawat, yaitu padang pasir yang tandus, sedikit sumber mata
air dan sumurnya, dan sulit ditempuh dalam perjalanan karena
232 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 416 233 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 416
121
banyaknya debu dan pasir yang beterbangan tertiup angin. Mayoritas
penghuni padang pasir adalah kaum badui atau kaum nomaden yang
hidupnya selalu berpindah-pindah. Pada musim kemarau mereka
mengembara mencari kehidupan di luar tempat tinggalnya dengan cara
menjarah harta milik anggota kabilah lainnya. Ketika musim hujan tiba,
mereka kembali ke tempat semula yang telah ditumbuhi rumput untuk
menggembalakan binatang ternaknya. Demikianlah kehidupan kaum
badui bergulir dari waktu ke waktu, menetap di suatu wilayah, kemudian
keluar untuk mencari kehidupan lain, lalu kembali ke tempat semula.234
Gaya hidup nomaden yang dianut oleh masyarakat Arab tersebut
dahulu terekam dalam peribahasa mereka berikut ini:
Di Setiap lembah ada keturunan Bani Sa‘ad
Di setiap lembah ada bekas Bani Tsa‘labah235
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bila dalam
peribahasa Arab menggunakan nama orang sebagai kiasan, biasanya ada
sejarah yang melatar belakanginya. Peribahasa pertama berasal dari cerita
Adh ibn Qurai dari suku Sa‟ad. Sedangkan yang kedua seorang laki-laki
yang tidak disebutkan namanya berasal dari suku Tsa‟labah. Pada
mulanya keduanya meninggalkan kaumnya dan berpindah tempat karena
merasa tidak cocok dan tidak merasa senang hidup bersama mereka.
Namun setelah keduanya berpindah ke berbagai tempat, tetap tidak
merasa cocok dengan lingkungan barunya. Pada akhirnya ia kembali lagi
ke suku masing-masing. Dari mulut Sa‟ad kemudian terucap ungkapan di
234 Tim Penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 19 235 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 600-601
122
atas, yang artinya di setiap lembah atau tempat yang ia singgahi ada
keturunan Bani Sa‟ad yaitu dia sendiri dan ke mana pun ia pergi, Bani
Sa‟ad tetap di hatinya dan tetap yang terbaik. Sedangkan kejadian yang
dirasakan oleh orang dari suku Tsa‟labah kemudian diabadikan oleh
mereka dengan peribahasa yang kedua. Kedua peribahasa tersebut
hampir sama dengan peribahasa Indonesia yang menyatakan “adat ayam
ke lesung, adat itik ke pelimbahan”, “daripada hujan emas di negeri orang, lebih
baik hujan batu di negeri sendiri” atau “Air hujan jatuhnya ke pelimbahan juga”.
Bedanya peribahasa Arab memiliki latar belakang cerita, sedangkan
dalam peribahasa Indonesia tidak.
Kedua peribahasa di atas tercipta dari gaya hidup nomaden yang
mereka anut.
b) Minum Arak
Budaya lainnya yang juga terkenal di masyarakat Arab pada zaman
dahulu adalah kebiasaan mereka mengkonsumsi minuman keras atau
khamr. Bahkan tradisi ini juga disinggung dalam al-Qur‟an sebagai
kebiasaan buruk bangsa Arab Jahiliyah yang harus dihentikan dan
hukumnya haram seperti terdapat dalam surat al-Maidah ayat 90:
―Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan‖.
Kebiasaan bangsa Arab mengkonsumsi khamr juga terekam dalam
peribahasa berikut ini:
123
Ia tidak mempunyai cuka ataupun arak.236
Yakni ia tidak ada kebaikan ataupun kejelekannya. Juga dikiaskan
seseorang yang tidak tahu menahu perihal sesuatu perkara serta tidak
perlu disangkut-pautkan di dalamnya. Orang Arab dahulu mengkiaskan
arak sebagai kebaikan sebab nyaman serta cuka sebagai keburukan sebab
kecutnya.
Engkau ini bukannya cuka dan bukan pula arak.237
Maksudnya bahwa engkau itu tidak ada kebaikannya atau
kejelekannya. Atau bahwa engkau ini tidak tahu serta tidak perlu
mengetahui persoalan itu.
Hari ini arak dan besok perkara.238
Arak bagi bangsa Arab dahulu adalah simbol kegembiraan. Jadi
maksudnya hari ini boleh bersenang-senang, tetapi besok harus
menghadapi perkara berat yakni peperangan. Maka itu pepatah ini
dikiaskan pada suatu kesenangan yang berikutnya adalah kegawatan.
Pergilah di antara sadar dan mabuk.239
Maksudnya ialah antara berakal dan tidak berakal yakni
melakukanya itu belum dapat dipastikan dengan sengaja atau tidaknya.
Itulah beberapa tradisi bangsa Arab yang terekam dalam amtsâl.
d. Alam
236
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.211 237
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.211 238
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.622 239
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.258
124
1. Bumi, matahari, bulan, dan bintang
Matahari, bulan, dan bintang, bagi bangsa Arab bukan sekedar
benda-benda angkasa biasa. Benda-benda tersebut masuk pada sistem
keyakinan mereka sebelum Islam datang. Menurut Burhanuddin Dallu
dalam bukunya Jazirah al-‗Arab qabla al-Islam, masyarakat Yaman yang
mayoritas adalah petani sangat bergantung pada peredaran bintang, oleh
karena itu penyembahan terhadap benda ini sangat menonjol. Selain
bintang, matahari juga dianggap sebagai sumber cahaya dan panas yang
memberi pengaruh kuat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan,
karena turut menentukan perubahan musim dan waktu. Berdasarkan hal
tersebut, masyarakat Arab kuno sangat yakin bahwa pada kedua benda
langit tersebut terdapat kekuatan yang sangat luar biasa. Karena itu,
mereka menyembah sebagian dari bintang-bintang yang ada di langit dan
memberikan persembahan untuknya agar dijauhkan dari murkanya.240
Pendapat sejarawan tersebut tidak bisa dipungkiri kebenarannya,
terbukti di beberapa peribahasa istilah bintang muncul berulang kali
dengan nama yang berbeda-beda, seperti:
Lebih jauh daripada bintang.241
Lebih jauh daripada ekor bintang Tsurayya.242
Lebih jauh daripada ekor bintang ‗Ayyuq.
240 Tim penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 29 241
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.62 242
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.63 243
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.63
125
Tsurayya adalah kumpulan bintang-bintang yang ada di langit atau
di gugusan.244 Dinamakan demikian, karena letak susunannya yang
teratur antara satu dengan yang lainnya ibarat barisan yang sangat rapi.245
Adapun bintang Ayyuq biasanya terbit bersamaan dengan bintang
Tsurayya dan amat jarang sekali terbitnya itu. Ketiga peribahasa tersebut
untuk menyatakan sesuatu yang sukar sekali dicapai.
Mereka sama-sama pergi di bawah tiap-tiap bintang .
Untuk menyatakan sesuatu kaum yang sama pergi sendiri-sendiri
yakni yang berlain-lainan jalannya serta berbeda-beda tujuan, sesuai
dengan keyakinan masing-masing.
Melihat bintang di waktu siang.
Disebabkan cuaca buruk, udara gelap sehingga seolah-olah
sekalipun di waktu siang dapat tampak bintang. Ini adalah kiasan bagi
seseorang yang dalam keadaan sangat sukar dan payah, baik karena
tekanan kehidupan atau lain-lainnya.
Kuperlihatkan padanya bintang Suha, dan ia memperlihatkan padaku bulan.248
Bintang Suha adalah bintang yang tampak samar, sedangkan bulan
adalah perumpamaan dari sesuatu yang jelas. Hal ini sebagai kiasan bagi
orang yang menjelaskan sesuatu yang sebenarnya telah jelas.
244 Menurut Tim penyusun Ensiklopedi Dunia Islam, sebagian dari suku Tha‟I
menyembah gugusan bintang ini. Ensiklopedi Dunia Islam, h. 29 245
Lewis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, h. 70 246
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.259 247
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.263 248
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.264
126
Lebih kuat jaganya daripada bintang.
Bintang itu karena terus berkedip-kedip semalam-malaman, maka
dianggapnya tidak pernah tidur. Kiasan bagi seseorang yang kuat berjaga
di waktu malam.
Apabila bintang Suhail telah terbit, maka angkatlah takaran itu dan diletakkannya
pula.
Diceritakan bahwa apabila bintang ini keluar, maka buah-buahan
menjadi masak dan matahari turun derajatnya. Ini adalah kiasan sesuatu
negri yang berganti-ganti atau berubah-ubah selalu peraturan-
peraturannya, sedang yang berkuasa tetap orang itu juga.
Dari beberapa peribahasa di atas, tampak jelas sekali kalau bangsa
Arab mengenal betul berbagai jenis dan karakter bintang. Mereka tampak
memuja dan mengagumi sifat dan karakter bintang. Hal ini memperkuat
pernyataan bahwa sebagian dari bangsa Arab kuno adalah penyembah
bintang. Dalam mitos Arabia Selatan, ada sebuah bintang yang diberi
nama al-Zahrah, mereka meyakini bahwa bintang tersebut adalah anak
dari matahari dan bulan.251
Masyarakat Arab Jahiliyah meyakini bahwa bintang memiliki
kekuatan yang luar biasa. Perubahan alam seperti turunnya hujan,
pergantian musim, pergantian siang dan malam, perubahan panas dingin,
tersebarnya wabah penyakit, terjadinya peperangan, mati dan hidup,
diyakini oleh mereka sebagai perbuatan bintang. Menurut keyakinan
249
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.324 250
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.402 251
Tim penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 29
127
bangsa Yaman, bintang terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang
besar dan ada yang kecil seperti halnya manusia.252
Adapun peribahasa yang menggambarkan kedudukan matahari
bagi bangsa Arab tampak pada peribahasa berikut ini:
Setiap matahari itu ada masa terbenamnya.
Sebagai kiasan bahwa kejayaan, kekuasaan, kemegahan dan lain-
lainnya itu pasti ada masa berakhirnya. Dalam hal ini, jelas sekali kalau
matahari disimbolkan sebagai kekuasaan, kejayaan, kemeggahan, dan
sifat hebat manusia lainnya.
Bukankah aku telah mendapat matahari, jangan pula engkau memanasi aku.
Maksudnya bahwa orang yang sudah kepanasan matahari itu,
tidak ingin pula kena panas api. Kiasan bagi seseorang yang dalam
kesukaran dan dibebani pula oleh kesukaran yang lain dari kawan atau
keluarganya.
Lebih tersohor daripada matahari.
Untuk menyatakan sesuatu yang sangat terkenal atau tersohor.
Melumpuri tubuhnya matahari.
252
Tim penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 29 253
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.357 254
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.357 255
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.360 256
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.409
128
Melumpuri maksudnya menutupi dengan lumpur agar tidak
kelihatan bendanya dan kalau matahari yang akan dibuat sedemikian
adalah suatu kemustahilan yang menertawakan. Dikiaskan pada
seseorang yang hendak menutup-nutupi sesuatu yang sudah nyata jelas
dan terang.
Dari peribahasa-peribahasa di atas, tampak nyata bahwa matahari
dianggap sebagai sesuatu yang hebat oleh masyarakat Arab. Pada masa
jahiliyah, penyembahan terhadap matahari lebih banyak dilakukan oleh
masyarakat agraris, seperti Bani Tamim, Bani Shabbah, dan Bani Uday.
Demikian juga kerajaan Sabba, sebagaimana kisahnya diabadikan dalam
al-Qur‟an.257
Lebih bercahaya daripada matahari dan bulan.258
Lebih gemilang daripada matahari dan bulan.
Kedua peribahasa tersebut untuk menyatakan sesuatu yang luar
biasa indah atau cantiknya.
Lebih sempurna daripada bulan purnama.
Untuk menyatakan sesuatu yang sudah sangat sempurna sekali.
Adakah bulan itu tidak terlihat oleh orang banyak.
257
Tim penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 29 258
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.76 259
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.160 260
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.90 261
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.210
129
Kiasan bagi sesuatu yang telah terkenal.
Berjalanlah bersama bulan.
Maksudnya sekalipun malam tetap berjalan juga, mumpung ada
bulan yang dapat menerangi jalan. Kiasan bagi seseorang yang dianjurkan
supaya segera melaksanakan kehendaknya, mumpung ada kesempatan
yang baik baginya.
Lebih tersohor daripada bulan.
Menyatakan sesuatu yang sangat terkenal atau tersohor.
Lebih tersohor daripada bulan purnama.
Kalau bulan telah terbit, nyaman sekali berjaga itu.
Kiasan bagi seseorang yang menyatakan keberaniannya
menghadapi suatu hal, apabila dibelakangnyaternyata ada pendukung
atau pembelanya.
Bulan, bintang, dan matahari dalam rangkaian peribahasa di atas
tampak jelas, oleh masyarakat Arab dianggap sebagai sesuatu yang
sempurna tanpa cacat. Namun demikian, menurut kepercayaan kuno
masyarakat Yaman, bulan lebih diutamakan dari yang lainnya. Oleh
karena itu, bulan memiliki tempat khusus di kalangan mereka.
262
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.330 263
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.360 264
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.361 265
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.402
130
Masyarakat penyembah bulan membuat patung berbentuk bulan sabit. Di
tangan berhala itu ada permata. Mereka menyembah, sujud, dan
melakukan puasa untuk berhala tersebut pada hari-hari tertentu setiap
bulan. Mereka juga membawa makanan dan minuman serta berbagi suka
dan duka. Penyembahan bulan ini juga dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat penggembala dan badui di Jazirah Arab.266
Meskipun bumi tidak dijadikan sebagai simbol keyakinan oleh
masyarakat Arab, namun penghargaan mereka terhadap keberadaan
bumi sangat jelas, seperti terlihat pada peribahasa-peribahasa mereka:
Di bumi jualah engkau dilahirkan oleh ibumu.
Diucapkan kepada seorang yang congkak/pemboros atau perusuh
masyarakat dengan maksud agar ia tidak terlalu congkak, boros atau
sangat merusuhi, sebab kita ingatkan bahwa lahirnyapun sama-sama di
bumi dan tidak di langit.
Bumi pun menerima bagian dari minuman si dermawan itu.
Untuk menyatakan kedermawanan seseorang hingga diucapkan :
Jangankan lagi manusia yang tidak merasakan kedermawanannya,
sedangkan bumi saja merasakan minumannya.
Dalam bumi itu bagi seorang merdeka yang mulia hati, tentu banyak saja rizkinya.
266
Tim penyusun, Ensiklopedi Dunia Islam: Akar dan Awal, h. 29 267
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.22 268
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.22 269
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.22
131
Yakni bagi seseorang yang berbudi luhur dan baik dalam
pergaulan, pasti tidak akan kekurangan rizki sepanjang hidupnya.
Lebih dapat menjaga daripada bumi.
Bumi itu sangat baik menjaganya, sebab berbagai-bagai tanaman
dapat dipeliharanya sambai berbunga, berbuah dan lain-lain. Pepatah ini
dikiaskan pada seseorang yang sangat pandai memelihara atau menjaga
sesuatu yang dimilikinya atau yang dipercayakan padanya.
Lebih tahan daripada bumi.271
Lebih pendiam daripada bumi.272
Bumi itu benar-benar tahan, sebab tidak pernah mengeluh
mengenai apa saja yang dilakukan diatasnya. Juga apa saja yang
didirikandi atasnya, tidak pula mengeluh keberatan memikulnya. Pepatah
ini untuk menyatakan seseorang yang sangat tahan percobaan dan
penderitaan lahir dan batin.
2. Fenomena alam
Beberapa fenomena alam lainnya yang dijadikan sebagai sumber
peribahasa Arab, di antaranya, air, hujan, kilat, awan, banjir, tanah,
fatamorgana, api, musim semi, musim panas, batu, gunung, debu, pasir,
dan angin, sebagaimana dapat dilihat dalam peribahasa-peribahasa di
bawah ini:
270
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.165 271
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.185 272
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.515
132
Hidungnya di langit, tetapi kakinya masih dalam air.
Diucapkan untuk seseorang yang sangat sombongnya, besar kata
namun sebenarnya kecil dan hina.
Permulaan hujan adalah rintik.
Kiasan bagi sesuatu perkara yang mula-mula kecil, tetapi tanpa
disadarinya telah menjadi persoalan besar. Seperti dalam peribahasa
Indonesia, “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”.
Itu hanyalah seperti kilat yang hampa hujan.
Diucapkan untuk seseorang yang suka berjanji, tetapi tidak pernah
memenuhinya. Jadi janjinya itu hanya tipuan belaka.
Barangkali saja awan itu tidak menyalahi.
Biasanya awan tebal itu selalu diikuti oleh hujan. Tetapi
adakalanya terjadi, sekalipun awan tebal sudah berarak, tetapi hujannya
tidak kunjung turun. Pepatah ini dinyatakan apabila kita mengharapkan
sesuatu yang belum pasti berhasilnya, tetapi besar harapan kita semoga
berhasil sebagaimana yang kita kehendaki.
Tidak semua awan itu dermawan untuk memberikan airnya.
273
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.42 274
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.45 275
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.53 276
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.54
133
Untuk menyatakan bahwa sesuatu yang diharap-harapkan
kedatangannya itu tiba-tiba terlepas dari tangan kita, misalnya akan
mendapat keuntungan dalam perdagangan yang sudah dipastikan, tetapi
tiba-tiba meleset.
Sampailah sudah air bah itu pada tanah yang tinggi.
Air itu bila naik ke tempat yang tinggi tentu habis dan kering.
Pepatah ini untuk menyatakan sesuatu yang sudah melampaui batas,
hingga kurang baik akibatnya.
Ia datang dengan dengan membawa air banyak dan tanah .
Dikiaskan pada seseorang yang dating dengan berita yang jelas dan
juga ada yang samar-samar(sukar diperhitungkan). Dikiaskan pula pada
seseorang yang dating dengan membawa sesuatu dengan jumlah yang
banyak, seperti si kaya dengan harta-hartanya atau seorang panglima
dengan segenap bala tentaranya.
Lebih rugi daripada orang yang menggenggam air .
Penggenggam air pasti merasa rugi, sebab airnya pasti bercucuran
dari jari-jari tangannya, jadi sia-sia saja usahanya. Ini untuk
menyatakakan seseorang yang amat besar kerugiannya dan besar pul
penyesalannya.
277
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.54 278
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.71 279
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.133 280
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.204
134
Siapa yang dapat menahan air bah yang melalui alirannya .
Untuk menyatakan sesuatu yang memang tidak ditakdirkan
baginya sekalipun sebenarnya telah berusaha sekeras-kerasnya.
Lebih halus daripada cahaya fatamorgana.282
Lebih menipu daripada fatamorgana283
Fatamorgana adalah bayangan air di padang pasir yang terlihat
tidak jauh, tetapi ketika didekati tidak akan pernah sampai. Ini adalah
kiasan bagi seorang penipu ulung.
Lebih banyak makannya daripada api .
Sempurnanya musim semi adalah musim panas285
Lebih kosong dari batu286
Untuk menyatakan seseorang yang sangat miskin dan tidak
memiliki apapun.
281
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.273 282
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.282 283
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.471 284
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.28 285
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.89 286
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 106
135
Kerikil itu dari gunung
Sebagai kiasan bagi orang yang suka berkumpul dengan
kelompoknya sendiri.
Lebih hina dari debu287
Debu biasanya selalu ada di bawah dan diinjak-injak, hal ini
sebagai perumpamaan orang yang sangat hina dan tidak memiliki nilai di
mata orang lain.
Lebih haus daripada pasir.
Pasir itu sekalipun berapa saja banyaknya air yang disiramkan,
masih juga habis diisapnya. Ini adalah kiasan bagi seseorang yang sangat
benar hausnya.
Hilanglah darahnya mengikuti tiupan angin.
Diucapkan bagi seseorang yang terbunuh secara dianiaya, tetapi
tidak seorangpun yang menuntut atau meembelanya.
Pergilah angin itu mengikuti kebiasaannya.
Kiasan bagi keadaan beberapa orang yang berpisah-pisah menurut
kemauannya sendiri-sendiri atau seseorang yang berbuat sebagaimana
adatnya semula.
287
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 169 288
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 412 289
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 257 290
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 258
136
Lebih halus daripada angin.
Untuk menyatakan sesuatu yang sangat halusnya.
Ada tiga jenis angin yang disebutkan dalam peribahasa di atas,
yaitu rîh, haif, dan nasîm. Rîh adalah sebutan untuk angin secara umum.
Haif adalah sejenis angin panas yang dapat mengeringkan air. Nasîm
adalah angin yang bertiup dengan lembut. 292 Fenomena alam (unsur-
unsur ekstrinsik) yang meliputi bangsa Arab saat itu, jelas sangat
mempengaruhi terhadap proses penciptaan amtsâl.
e. Tumbuhan
Di dalam peribahasa Arab, penyebutan nama tumbuhan tidak
banyak. Hanya ada empat kata tumbuhan yang disebutkan, yaitu kata
pohon secara umum, kurma, anggur, barwaqah, „alqam dan hanzhal.
Kurma termasuk pohon yang paling banyak disebutkan, sedangkan
lainnya masing-masing hanya satu kali.
a) Pohon secara umum
Ada dua peribahasa Arab yang menggunakan kata pohon secara
umum tanpa menyebutkan jenisnya, yaitu:
Dari benihlah, asalnya pohon itu
Cikal bakal pohon adalah biji294
291
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 282 292 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT . Hidakarya Agung, 1990),
h. 149, 489, & 451. 293 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 139 294 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 45
137
Peribahasa ini sebagai perumpamaan bahwa perkara yang besar itu
biasanya berasal dari perkara yang kecil. Dan tanpa disadari hal kecil itu
menjadi persoalan yang besar.
b) Kurma
Kurma adalah jenis tumbuhan atau buah yang paling banyak
digunakan dalam peribahasa Arab, seperti halnya unta untuk jenis
binatang. Hal ini tentu saja tidak mengherankan karena kurma adalah
termasuk makanan pokok bangsa Arab dan negara-negara Timur Tengah
lainnya.295 Ada banyak peribahasa Arab dengan menggunakan kata tamr
atau kurma di dalamnya, dan digunakan untuk berbagai kiasan, seperti:
Kau makan kurmaku, tetapi kau tentang perintahku.
Ini adalah ucapan Abdullah bin Zubair kepada seseorang yang
telah diberinya jabatan tinggi tetapi tidak suka mengikuti kehendaknya.
Ia yang makan kurmanya, tetapi aku yang dilempar bijinya.
295 Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedi Bebas disebutkan bahwa
Kurma telah menjadi makanan pokok di Timur Tengah selama ribuan tahun lamanya. Pohon Kurma diyakini berasal dari sekitar Teluk Persia dan telah dibudidayakan sejak zaman kuno dari Mesopotamia ke prasejarah Mesir, kemungkinan pada awal 4000 SM. Bangsa Mesir Kuno menggunakan buahnya untuk dibuat menjadi anggur kurma dan memakannya pada saat panen. Ada bukti arkeologi budidaya kurma di bagian Arab timur pada tahun 6000 SM. Pada zaman selanjutnya, orang Arab menyebarkanluaskan kurma di sekitar Selatan dan Barat Daya Asia, bagian utara Afrika, Spanyol dan Italia. Kurma diperkenalkan di Mexico dan California, disekitar Mission San Ignacio, oleh bangsa Spanyol pada tahun 1765. http://id.wikipedia.org/wiki/Kurma_%28pohon%29, Halaman terakhir diubah pada 03.04, 4 November 2012
296
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 24 297
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 25
138
Untuk menyatakan bahwa dirinya tidak ikut berbuat, tetapi terkena
bencananya, sedang yang melakukannya tidak terkena akibat dari
perbuatannya tersebut.
Kurma dan bara api.
Diucapkan pada seseorang yang hendak kita suruh memilih,
apakah ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan cara damai (kiasan
kurma) ataukah dengan jalan kekerasan (kiasan bara api) dan kita akan
sanggup menghadapi semua cara itu.
Akulah batang pohonnya yang digunakan tempat menggaruk serta pohon kurmanya
yang diberi kerudung.
Pohon kurma itu apabila termasuk golongan yang teerbaik
hasilnya, selalu didirikan dinding penjaga disekelilingnya agar tidak
dirobohkan oleh angin taufan. Maksud pepatah ini dikiaskan pada
seseorang yang sedang gelisah dan dapat ditenangkan oleh akal fikiran
serta pemecahan dari otaknya sendiri.
Apakah kurma jelek dan jelek pula menukarnya.300
Dikiaskan pada seseorang yang sekaligus melakukan dua macam
kejahatan atau menganiaya orang lain dari dua macam sudut. Jadi
diibaratkan seorang penjual kurma, yang kurmanya kwalitet jelek dan
pula tidak beres cara menukar atau menimbangnya.
298 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 90
299 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 104
300 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 161
139
Lebih murah daripada kurma di Basrah.
Untuk menyatakan sesuatu yang sangat murah harganya.
Tidak semua yang hitam itu kurma.
Kiasan untuk menyatakan seseorang atau sesuatu benda yang
sekalipun ada persamaannya, tetapi tidak tidak semua sama baik sifat
ataupun yang lainnya.
Tiada yang lebih menyerupai kurma daripada kurma.
Maksud kiasan ini adalah untuk menyatakan dua benda atau dua
orang yang hampir benar persamaannya, baik mengenai rupa wajah,
tabiat atau kelakuannya.
Lidah dari kurma dan tangan dari kayu.
Kiasan bagi seseorang yang manis kata-katanya tetapi tidak ada
kemanfaatannya sama sekali, sebab belum pernah terbukti.
Kurma hingga saat ini tetap menjadi tumbuhan dan buah khas
daerah gurun pasir termasuk Saudi Arabia.
c) Anggur, Barwaqah, „Alqam dan Hanzhalah
Selain kurma ada beberapa tumbuhan lain yang disebutkan dalam
peribahasa Arab, sebagaimana terdapat dalam peribahasa berikut ini:
301
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 272 302
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 327 303
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 338 304
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 537
140
Tidak akan engkau dapat menuai anggur daripada duri.
Maksudnya yaitu perbuatan jelek itu akan membuahkan bencana
dan tidak mungkin membuahkan kebaikan. Juga dikiaskan pada
seseorang yang bergaul dengan kawan yang bertabiat buruk, tidak
mungkin ia dapat memperoleh kebaikan dari padanya.
Lebih terima kasih daripada pohon Barwaqah.
Dikatakan bahwa pohon ini kecil bentuknya, dapat subur dengan
hanya ada hujan yang sedikit saja, dapat menghijau daunnya tanpa
datangnya hujan bahkan dapat tumbuh baik dengan tiupan angin saja.
Dikiaskan pada seseorang yang sangat besar terima kasihnya dengan
pemberian yang sangat sedikit, juga seseorang yang sangat bersyukurnya
pada Tuhan dengan mendapatkan kenikmatan sekalipun tidak seberapa
banyaknya.
Lebih pahit daripada rumput laut.
Lebih pahit daripada daun hanzhal.
Kedua peribahasa tersebut untuk menyatakan sesuatu yang pahit
sekali, baik dalam rasa lidah atau perasaan hati. Namun demikian, perlu
diketahui bahwa hanzhalah (timun pahit) dalam budaya bangsa Arab
termasuk pada tumbuhan yang dikultuskan, hal ini tampak pada
305
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 118 306
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 356 307
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 548 308
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 548
141
penamaan kabilah tertentu dengan nama tumbuhan ini, yaitu Bani
Hanzalah. 309
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemilihan kata (diksi) dalam peribahasa Arab dipengaruhi oleh berbagai
unsur, yaitu sejarah atau peristiwa tertentu, fauna, benda-benda langit,
fenomena alam, budaya, serta tumbuhan. Dalam buku al-Wasith, amtsal
dibagi ke dalam dua bagian, pertama, amtsâl haqîqiyah310 kedua amtsâl
fardhiyyah. Amtsâl haqîqiyah yaitu peribahasa yang jelas asal-usulnya dan
riwayatnya dinisbatkan pada seseorang sesuai dengan konteks yang
dialami oleh si periwayat,311 atau dengan kata lain peribahasa yang dibuat
berdasarkan kenyataan yang terjadi pada seseorang. Amtsâl jenis ini ada
juga yang menyebutnya dengan amtsâl târikhiyyah. Peribahasa yang
termasuk pada jenis ini dapat dilihat contohnya pada pembahasan tentang
nama-nama yang dijadikan sebagai symbol kebaikan dan kejelekan.
Adapun amtsal fardhiyyah312, adalah peribahasa yang dinisbatkan
pada binatang, tumbuhan, atau benda, seperti telah dijelaskan
sebelumnya pada diksi yang menggunakan nama-nama binatang,
tumbuhan, fenomena alam, dan lainnya. amtsâl fardhiyyah berdasarkan
penelitian para sejarawan berkembang di saat terjadinya banyak
kelaliman dan kekerasan, di saat para mursyid atau para ulamanya
banyak dibungkam dan dibatasi geraknya, sehingga mereka
menggunakan amtsâl fardhiyyah. Dengan cara itu, mereka merasa aman
dan dapat menyampaikan pesan-pesan moral yang mereka inginkan
melalui amtsal tersebut. Menurut kami, hal ini bisa saja menjadi salah satu
faktor penyebabnya, tapi tidak bisa dijadikan sebagai alasan secara
309
Ensiklopedi Dunia Islam, h. 28 310
Haqiqiyyah adalah berdasarkan kenyataan 311
Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 17
312 Kata fardhiyyah dalam kamus al-Munawwir diartikan berdasarkan dugaan perkiraan
142
keseluruhan, sebab banyak nama-nama binatang yang digunakan sebagai
perumpamaan dalam peribahasa berdasarkan karakter yang dimilikinya
yang mirip dengan sifat dan watak manusia. Hal ini tentu saja
berdasarkan pengamatan yang cerdas terhadap suatu objek yang
kemudian dikaitkan dengan objek lainnya.
Namun bila diperhatikan lebih jauh, memang ada binatang tertentu
yang identik dengan sindiran dalam dunia politik, binatang itu adalah
anjing. Coba kita perhatikan, peribahasa-peribahasa berikut ini:
Anjing itu tetap saja anjing, sekalipun engkau beri kalung emas.313
Peribahasa ini diucapkan kepada orang yang membebani seseorang
di luar kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, bila member
perintah pada orang lain harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, sehingga ia mampu melaksanakan tugas sesuai dengan yang
diinginkan. Hal ini bisa saja dijadikan sebagai sindiran bagi penguasa
yang tidak mampu berbuat apa-apa, namun agar tampak hebat dan
berwibawa ia berpenampilan dengan sesuatu yang dapat menutupi
ketidakmampuannya itu.
Lebih lapar daripada dzu‘alah314
Dzu‟alah adalah nama sindiran bagi anjing hutan. Diceritakan
orang bahwa anjing hutan itu selalu menyimpan makanan di dalam
perutnya, ia selalu dalam kelaparan saja. Diceritakan pula bahwa perut
binatang ini dapat melunakkan tulang. Namun cerita ini juga bisa saja
313 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.527 314 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.130
143
dijadikan sindiran bagi penguasa yang serakah yang tidak pernah puas
memeras harta rakyatnya.
B. Karakteristik Diksi dalam Peribahasa Indonesia
Unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhi diksi peribahasa
Indonesia secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian,
yaitu unsur-unsur yang bersifat agraris dan unsur-unsur yang bersifat
maritim atau perairan, dari kedua unsur tersebut selanjutnya muncul
unsur-unsur budaya. Hal ini tentu saja terkait dengan kondisi geografis
Indonesia. Berdasarkan data, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar
di dunia. Jumlah pulaunya tidak kurang dari 17.504 pulau. Sekitar dua
pertiga luas wilayah Indonesia merupakan perairan laut. Karena perairan
lautnya yang luas, Negara Indonesia juga dikenal dengan Negara
bahari.315 Berdasarkan hal tersebut, pada bagian ini akan dibahas berbagai
hal yang mempengaruhi diksi dalam peribahasa Indonesia, baik yang
terkait dengan hal-hal pertanian, maupun kelautan, baik dari aspek alam,
flora, fauna, budaya maupun kata kerja yang terkait dengan keduanya.
a. Fenomena alam
1. Air
Di antara fenomena alam yang banyak disebutkan dalam
peribahasa Indonesia adalah air, hujan, dan laut. Ketiganya merupakan
unsur alam yang tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling
berhubungan, dan terkait erat dengan kondisi geografis Indonesia. Dalam
Peribahasa Indonesia kata air sebagai unsur alam sangat dominan, hal ini
tentu saja terkait dengan alam Indonesia yang kaya dengan air.
Berdasarkan data geografi, Indonesia memiliki luas laut 7.900.000 km2,
empat kali dari luas daratannya atau 70% dari luas Indonesia, sehingga
Indonesia kemudian dijuluki sebagai negara maritim. Untuk itu, sejak
315
Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2006), h. 3
144
zaman dahulu kala, masyarakat Indonesia akrab dengan air, baik di darat
maupun di laut. Pelaut bahkan menjadi salah satu profesi masyarakat
Indonesia dari dahulu hingga sekarang.
Dekatnya kehidupan bangsa Indonesia dengan air, membuatnya
faham betul dengan berbagai karakter air, baik dan buruknya. Hal ini
menjadikan para ahli bijak membuat berbagai peribahasa yang bersumber
dari watak air.
Dalam Kamus Peribahasa Indonesia, dimuat sebanyak lebih dari 43
peribahasa bertemakan air. Kata air tersebut digunakan di hampir setiap
lini kehidupan dan menjadi simbol dari berbagai karakter manusia,
seperti peribahasa:
Menangguk di air keruh
Peribahasa ini sebagai simbol dari manusia yang gemar mencari
keuntungan di saat orang lain mendapat kesulitan.
Banyak sekali peribahasa yang diambil dari karakter dan watak air,
sebagai contoh:
Air beriak tanda tak dalam
Peribahasa ini diambil dari watak air yang apabila dalam tidak
menimbulkan riak, namun sebaliknya apabila dangkal akan tampak
beriak dan bergerak. Hal ini sebagai bentuk kiasan bagi orang yang
berilmu dan tidak berilmu. Ketika seseorang memiliki ilmu yang
mumpuni, biasanya tidak banyak bicara kecuali saat-saat yang
145
diperlukan, berbeda halnya yang ilmunya sedikit biasanya suka berkoar-
koar. Contoh lain dari watak air tampak dalam peribahasa
Air pun ada pasang surutnya
Air, baik yang ada di darat maupun di laut pasti akan mengalami
pasang surut, kadang banyak kadang sedikit. Demikian pula dengan
kehidupan manusia yang selalu mengalami nasib silih berganti antara
susah dan senang. Peribahasa lainnya yang juga diambil dari karakter air:
Air tenang menghanyutkan
Yaitu orang yang diam jangan disangka bodoh, karena terkadang ia
justru berpengetahuan luas. Peribahasa ini diambil dari karakter air
sungai yang besar dan dalam, meskipun tampak tenang, namun benda
yang dilaluinya pasti terbawa hanyut. Demikian pula orang yang pintar
dan berpengetahuan luas, biasanya ia tidak banyak bicara, namun ketika
bicara mampu mempengaruhi orang yang mendengarkannya. Ungkapan-
ungkapan bijak ini, tentu saja berdasarkan pengamatan pada kebiasaan-
kebiasaan air. Dan masih banyak lagi.
2. Hujan
Selain kata air, kata lainnya yang juga terkait dengan aspek
geografis Indonesia sebagai negara agraris adalah hujan. Contoh:
Bumi mana yang tiada kena hujan
Peribahasa ini mengandung arti “Setiap orang pasti pernah
melakukan kesalahan”. Dalam ungkapan “Bumi mana yang tiada kena hujan,
diksi yang dipilih sangat jelas terkait dengan kondisi geografi Indonesia
sebagai negara tropis. Indonesia sebagai jamrud khatulistiwa, hanya
memiliki dua musim, yaitu panas dan hujan. Seluruh wilayah di
Indonesia beriklim tropis dengan perbedaan suhu yang sangat kecil.
Curah hujan di berbagai daerah bervariasi. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Ensiklopedi Geografi Indonesia, curah hujan yang paling
tinggi terdapat di daerah pegunungan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi
146
dan papua yang memperoleh curah hujan lebih dari 3.000 mm setiap
tahun. Sebagian besar wilayah dataran rendah menerima curah hujan
antara 1600-2.200 mm setiap tahun.316 Unsur geografis ini kemudian
melahirkan berbagai peribahasa yang di dalamnya terkandung pesan-
pesan moral yang bernilai tinggi.
Berdasarkan data tersebut, suatu hal yang wajar bila peribahasa
Indonesia banyak menggunakan diksi dengan tema hujan, sebagaimana
halnya air. Peribahasa lain yang menggunakan kata hujan:
Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri
Artinya “bagaimanapun senangnya hidup di negeri orang, masih
lebih senang hidup di negeri sendiri”. Peribahasa ini merupakan bentuk
cinta seseorang pada tanah airnya sendiri. Dan masih banyak lagi,
peribahasa lainnya yang menggunakan kata hujan.
3. Laut
Unsur alam lainnya yang terkait erat dengan air adalah laut. Kata
laut seperti halnya air, banyak digunakan dalam peribahasa Indonesia,
seperti:
Asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga
Garam dan asam adalah jenis bumbu yang biasa digunakan untuk
memasak. Garam berasal dari laut sedangkan asam berasal dari
pegunungan. Peribahasa tersebut mengandung arti laki-laki dan
perempuan kalau sudah berjodoh pasti bertemu juga, sejauh manapun
jarak yang memisahkan keduanya.317
Selain laut, dalam peribahasa tersebut juga terkandung kekayaaan
alam Indonesia lainnya yaitu garam. Selain peribahasa di atas masih
banyak peribahasa lainnya yang menggunakan kata garam, seperti:
Membuang garam ke laut
316 Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT.
Lentera Abadi, 2006), h. 3 317
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 293
147
Peribahasa tersebut mengandung arti memberikan pertolongan
pada orang yang tidak membutuhkan. Banyaknya diksi garam dalam
peribahasa, sangat dipahami karena Indonesia termasuk Negara penghasil
garam terbesar di dunia dari lautan luas yang dimilikinya.
Selain garam, ombak adalah diksi lain yang terkait dengan laut.
Contoh:
Ombaknya kedengaran, pasirnya tidak kelihatan
Peribahasa tersebut mengandung arti berita yang sudah tersiar,
tetapi tidak ada buktinya atau sama dengan kabar burung.
4. Gunung
Selain garam, gunung juga termasuk diksi yang banyak digunakan
dalam peribahasa Indonesia. Gunung termasuk fenomena alam yang
banyak ditemukan di Indonesia. Banyak wilayah daratan Indonesia yang
terbentuk dari aktivitas vulkanik. Hal ini tampak dari kenampakan pulau-
pulau yang berbentuk pegunungan. Ratusan gunung menyebar di seluruh
wilayah Indonesia. Tidak kurang dari 128 gunung api yang sangat aktif
tersebar di wilayah Indonesia. Gunung-gunung api ini di satu sisi
membahayakan,namun di sisi lain, debu gunung api dapat menyuburkan
tanah di sekitarnya. 318 Peribahasa lainnya yang juga menggunakan diksi
gunung:
Tak akan lari gunung dikejar, hilang kabut tampaklah ia
Artinya jangan tergesa-gesa dalam mengerjakann sesuatu yang
pasti akan dicapai.
5. Angin
Selain garam, kata angin banyak digunakan dalam peribahasa
Indonesia dan terkait erat dengan fenomena alam lainnya, dan juga
budaya Indonesia, sebagaimana dapat dilihat pada peribahasa berikut ini:
318 Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT.
Lentera Abadi, 2006), h. 4
148
Angin yang berputar, ombak yang bersabung
Ombak terkait erat dengan Indonesia sebagai negara bahari serta
profesi sebagian penduduknya sebagai nelayan atau pencari ikan di laut
yang biasa menggunakan perahu dengan bantuan angin dan ombak.
Kedua kata tersebut, yaitu angin dan ombak dijadikan sebagai kiasan atas
kesukaran yang maha hebat.
Angin dalam peribahasa Indonesia lebih banyak dijadikan sebagai
kiasan tentang sesuatu yang tidak jelas, tidak pasti, dan sia-sia, baik
terkait dengan informasi, cara bersikap, persoalan, dan lainnya. Sebagai
contoh:
Kabar angin
Kabar yang tidak jelas dan tidak pasti kebenarannya.
Ke mana angin yang deras, ke situ condong
Perumpamaan bagi orang yang tidak punya pendirian.
Memasukkan angin
Perumpamaan bagi orang yang suka menghasut.
Ke gunung tak dapat angin
Melakukan perbuatan yang sia-sia.
Siapa yang menabur angin, akan menuai badai
Siapa yang berbuat jahat, pasti akan menerima akibatnya
Sia-sia menggiring angin, terasa ada tertangkap tidak
Perumpamaan bagi orang yang melakukan perbuatan yang sia-sia.
Angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam
Rahasia tidak selamanya dapat disembunyikan, karena suatu saat
pasti akan ketahuan juga.
Pengkiasan angin dengan sesuatu yang negatif tersebut, tidak lepas
dari karakternya yang suka bertiup ke segala arah secara tidak pasti, tidak
dapat diraba hanya bisa dirasa, bertiup kencang dan lainnya, kemudian
149
dijadikan sebagai perumpamaan dari sesuatu atau sikap manusia yang
mirip dengannya, seperti terdapat dalam peribahasa-peribahasa di atas.
6. Hutan
Fenomena alam Indonesia lainnya adalah hutan. Sebagai wilayah
yang mengalami iklim tropis dengan curah hujaan yang tinggi, tanah
subur dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini
juga menjadikan Indonesia kaya dengan keragaman hayati. Ribuan
species flora ditemukan di wilayah Indonesia. Indonesia tercatat sebagai
Negara yang memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia dan masih asli.
Hanya saja penebangan hutan meningkat secara cepat sepanjang abad ke-
20 ketika Indonesia mulai mengembangkan industri kertas, kayu, dan
bubur kayu berskala besar. Kebakaran hutan, illegal logging, dan
pembukaan lahan secara besar-besaran semakin mempersempit wilayah
hutan hujan tropis. 319 Di antara peribahasa yang menggunakan kata
hutan:
―Kalau di hutan tak ada singa, beruk rabun bisa menjadi raja‖
Peribahasa ini mengandung arti kalau tak ada orang yang pandai,
maka orang bodohpun dianggap pandai.
7. Api
Selain air, unsur alam lainnya yang juga banyak digunakan dalam
peribahasa Indonesia adalah api. Beberapa peribahasa dengan pilihan kata
api, sebagian besar terkait dengan karakter alaminya yaitu panas dan
membakar. Manusia sebagaimana diketahui memiliki watak panas seperti
api, sebagai contoh:
Bagai api dengan rabuk
Rabuk adalah sejenis bulu atau miang halus yang terdapat pada
pelepah pohon enau, biasanya dapat digunakan untuk menghidupkan api
319 Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT.
Lentera Abadi, 2006), h. 8
150
dari pemantik.320 Ketika rabuk didekatkan dengan api maka dengan cepat
ia terbakar. Kiasan ini digunakan dengan watak seseorang yang mudah
terpancing emosi, atau mudah marah.
Watak api juga disimbolkan dengan perbuatan jahat, seperti
terdapat dalam peribahasa berikut ini:
Seperti api dalam sekam
Sekam adalah kulit padi setelah ditumbuk atau digiling. Sekam
ketika dibakar, biasanya tidak tampak nyala apinya, yang tampak hanya
asap, namun demikian di dalamnya api tetap menyala dan membakar.
Api dalam peribahasa ini disimbolkan dengan kejahatan yang tidak
tampak, padahal berbahaya. Berdasarkan hal tersebut, api dalam
peribahasa Indonesia lebih banyak menjadi simbol dari sifat manusia
yang mudah marah dan jahat.
8. Tanah
Tanah dalam peribahasa Indonesia terkait erat dengan sistem
pertanian masyarakat Indonesia dahulu. Hal ini tampak pada peribahasa
berikut ini:
Bajak lalu ditanah yang lembut
Benih yang baik tak memilih tanah
Kata tanah pada peribahasa yang pertama terkait dengan sistem
pertanian di Indonesia yaitu menanam padi di sawah. Hal ini tampak dari
kata bajak yang mendahuluinya. Bajak sebagaimana diketahui merupakan
salah satu perkakas pertanian yang terbuat dari kayu atau besi untuk
menggemburkan dan membalikkan tanah. Pada peribahasa yang kedua,
kata tanah didahului dengan kata benih, yaitu biji atau buah dari tanaman
yang disediakan untuk ditanam atau disemaikan.321
320 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 806 321 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 79 & 117
151
Selain digunakan dalam konteks pertanian, tanah juga digunakan
sebagai simbol kematian, atau tempat manusia dikuburkan. Contoh:
Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah
Hidup bercermin bangkai artinya menanggung malu, dan
berkalang tanah artinya dikubur. Artinya daripada harus menanggung
malu lebih baik mati saja. Kata tanah yang juga identik dengan makna
kuburan atau kematian tampak pada peribahasa berikut ini:
Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua
Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah
Kecil dikandung ibu, besar dikandung adat, mati dikandung tanah.
Ketiga peribahasa tersebut, semuanya terkait dengan tempat
kematian manusia atau kuburan.
Seperti Belanda minta tanah
Peribahasa ini tentu saja diambil dari sejarah penjajahan Indonesia
oleh Belanda selama kurang lebih 350 tahun lamanya. Saat itu, satu
persatu tanah atau wilayah Indonesia direbut oleh mereka. Latar belakang
sejarah ini kemudian menjadi kiasan bagi seseorang yang sudah dikasih
sedikit lalu masih minta yang lebih banyak.322
9. Benda-benda langit
Beberapa benda langit yang disebutkan dalam peribahasa
Indonesia adalah matahari, bulan, bumi dan bintang. Contoh:
Bagai bulan dengan matahari
Artinya sangat serasi seperti bulan dengan matahari.
Seperti bulan dipagar bintang
Wanita cantik yang dikelilingi oleh saudara yang mengasihinya
Seperti kejatuhan bulan
Mendapatkan keuntungan yang tidak disangka-sangka
Bagai pungguk merindukan bulan
322 Arti peribahasa dapat dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1001
152
Menghendaki sesuatu yang tidak mungkin dapat dicapai
Bagai menentang matahari
Melawan penguasa yang dapat hanya kesusahan
Dari peribahasa di atas, tampaknya bulan dalam peribahasa
Indonesia disimbolkan sebagai sesuatu atau wanita yang indah dan
cantik, dan juga suatu keberuntungan. Sedangkan matahari identik
dengan laki-laki tampan, atau juga penguasa yang hebat.
Selain matahari dan bulan fenomena alam lainnya adalah bumi. Di
antara peribahasa yang menggunakan kata bumi yaitu:
Bagai bumi dan langit
Artinya sesuatu yang sangat berbeda
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung
Artinya harus menyesuaikan diri dengan adat dan keadaan tempat
tinggal.323
b. Hewan
Tidak jauh berbeda dengan peribahasa Arab, dalam peribahasa
Indonesia sejumlah nama binatang kerap dijadikan sebagai perumpamaan
terhadap tingkah laku manusia. Nama-nama binatang yang ada di dalam
peribahasa Indonesia sangat beragam, dari yang jinak hingga yang buas,
ternak maupun liar. Banyaknya nama-nama binatang yang masuk dalam
peribahasa Indonesia, secara tidak langsung menggambarkan negeri yang
kaya akan fauna. Secara umum satwa-satwa tersebut dapat kita
kategorikan ke dalam empat bagian, yaitu hewan ternak, hewan
peliharaan, hewan liar dan, hewan laut.324
1. Hewan ternak
323 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 154-155 324 Satwa yang hidup di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu
satwa Asia dan Australia. Satwa Autralia seperti: kanguru, kakatua, dan kuskus. Satwa Asia seperti: harimau, gajah dan tapir. Di pulau-pulau tertentu hidup binatang khas seperti komodo di pulau Komodo dan biawak di pulau Rinca. Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2006), h. 9
153
Menurut salah satu ensiklopedi geografi Indonesia, jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar, usaha peternakan
yang ada di Indonesia relatif kecil.325 Ada beberapa hewan yang sejak
zaman dahulu diternakkan. Hal ini dapat kita temukan dalam peribahasa
Indonesia, yaitu: ayam sebanyak + 33 kali, kerbau + 9 kali, kambing dan
itik + 6 kali, lembu + 2 kali, kuda + 2 kali, dan domba + 1 kali. Hewan-
hewan ini erat kaitannya dengan kehidupan para petani Indonesia di
masa lalu.
Berdasarkan data di atas, ayam merupakan hewan yang paling
banyak digunakan dalam peribahasa Indonesia yaitu sebanyak 33 kali.
Hal ini sangat dimaklumi, sebab ayam memiliki kedekatan tersendiri
dengan masyarakat Indonesia yang dahulu kala mayoritas sebagai petani
dan rata-rata memelihara ayam meskipun bukan sebagai peternak.326
Keterkaitan ayam dengan petani tampak pada peribahasa-peribahasa
berikut ini:
―Ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan‖
Peribahasa ini merupakan perumpamaan bagi orang yang
bersuamikan atau beristrikan orang kaya namun hidupnya tetap susah
juga, atau orang yang menderita di tempat yang berlimpah ruah.
―Asal ayam ke lesung, asal itik ke pelimbahan‖
Peribahasa ini mengandung arti, pertama, tabiat yang turun
temurun, sukar sekali mengubahnya. Kedua, perempuan yang memiliki
watak buruk walaupun bersuamikan orang baik-baik sifat buruknya
sukar sekali untuk diubahnya.
325
Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2006), h. 11
326 Berdasarkan sebuah data Ensiklopedi, ada beberapa binatang yang umum
diternakkan di Indonesia, yaitu kambing, sapi, dan babi. Hewan yang diternakan dalam skala besar adalah ayam. Pada tahun 2002 jumlah ayam ternak diperkirakan mencapai satu miliyar ekor. Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2006), h. 11
154
Bila diamati, kedua peribahasa di atas tampak memiliki hubungan
yang erat dengan kehidupan petani di Indonesia. Hal tersebut tampak
pada kata digunakan yaitu padi dan lesung. Padi sebagaimana kita
ketahui adalah makanan pokok bangsa Indonesia yang dihasilkan dari
pertanian, sedangkan lesung adalah alat untuk menumbuk padi yang
biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia zaman dulu.327
Selain ayam, kerbau dan lembu juga termasuk hewan ternak yang
lekat dengan kehidupan petani, keduanya bahkan termasuk hewan
penopang langsung pertanian tradisional masyarakat Indonesia. Oleh
petani tradisional keduanya biasa digunakan sebagai alat untuk
membajak sawah. Banyak pelukis yang menggambarkan kehidupan
binatang ini dengan petani. Namun demikian, peribahasa dengan
menggunakan kata kerbau lebih banyak digunakan dibanding lembu atau
sapi. Di antara peribahasa yang menggunakan kata kerbau:
Seperti kerbau dicucuk hidung
Peribahasa ini merupakan perumpamaan bagi orang yang selalu
menurut tanpa banyak tanya. Perumpamaan ini jelas berdasarkan
kebiasaan para petani yang selalu mencucuk hidung kerbau ketika akan
membajak sawah, agar kerbau-kerbau tersebut menurut terhadap
perintah mereka, dan berjalan sesuai intruksi.
Seperti katak hendak jadi lembu
Sebagai perumpamaan bagi orang hina (miskin, rendah) yang ingin
menyamai orang besar. Lembu atau sapi, sebenarnya tidak termasuk pada
hewan yang banyak digunakan oleh petani sebagai alat bajak, ia lebih
banyak dimanfaatkan dagingnya atau susunya, bahkan pada sebagian
masyarakat, binatang ini termasuk pada hewan yang dikeramatkan
seperti terdapat pada cerita legenda dalam mitologi Hindu, Dilipa
327 Alat tersebut saat ini masih dapat ditemukan pada masyarakat pedalaman
(Badui) di Propinsi Banten.
155
Maharaja Putera Duliduha.328 hal ini tampak pada perumpamaan di atas, di
mana lembu atau sapi dijadikan sebagai perumpamaan dari orang besar.
Hewan ternak lainnya yang ada dalam peribahasa adalah itik. Itik
adalah sahabat dekat ayam. Keduanya adalah teman petani. Selepas
panen biasanya kedua binatang ini dilepas ke sawah agar ikut menikmati
hasil panen petani. Salah satu peribahasa dengan menggunakan kata itik
adalah:
Itik diajar berenang
Peribahasa ini mengandung arti melakukan pekerjaan yang sia-sia,
karena itik adalah sejenis unggas yang secara alamiah sudah pandai
berenang, sehingga tidak perlu untuk diajarkan lagi.
Selain itik, kambing juga termasuk binatang yang banyak
disebutkan dalam peribahasa. Hewan ini juga termasuk ternak yang dekat
dengan kehidupan petani. Contoh peribahasa yang menggunakan kata
kambing:
Bagai kambing dihela ke air
Kambing termasuk binatang yang takut air, sehingga kalau dibawa
ke tempat pemandian biasanya ia kabur. Peribahasa ini sebagai
perumpamaan bagi orang yang enggan melakukan suatu pekerjaan.329
Itulah beberapa binatang ternak yang akrab dengan kehidupan
masyarakat Indonesia, terutama para petani.
2. Hewan peliharaan
Ada tiga jenis hewan peliharaan yang dijadikan sebagai kiasan
dalam peribahasa Indonesia, yaitu anjing sebanyak + 29 kali, kucing +13
kali, dan kuda + 5 kali. Anjing dan kucing bahkan dikumpulkan dan
diabadikan dalam satu peribahasa:
Seperti anjing dengan kucing
328
http://id.wikipedia.org. Halaman ini diubah pada 17.44, 24 Desember 2011. 329 Kamus Besar Bahasa Indonesia, H. 436
156
Peribahasa ini tentu saja berangkat dari kebiasaan kedua binatang
tersebut yang selalu bertengkar bila bertemu, meskipun sama-sama
dipelihara oleh manusia.
Anjing termasuk binatang yang sangat akrab dalam kehidupan
manusia. Anjing biasanya dijadikan sebagai penjaga rumah, teman
berburu, atau bahkan hanya dijadikan sebagai hewan peliharaan. Dalam
salah satu website bahkan dikatakan bahwa Anjing merupakan hewan
sosial sama seperti halnya manusia. Kedekatan pola perilaku anjing
dengan manusia menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bermain, tinggal
bersama manusia, dan diajak bersosialiasi dengan manusia dan anjing
yang lain.330
Kedekatan anjing dengan manusia ini, menjadi faktor banyaknya
watak anjing banyak dijadikan sebagai perumpamaan bagi sifat dan
karakter manusia. Namun demikian, bila diperhatikan, hampir seluruh
peribahasa Indonesia yang menggunakan kata anjing, merupakan kiasan
buruk sifat dan watak manusia, sebagai contoh :
Anjing diberi makan nasi, bilakah kenyang
Sebagai perumpamaan bagi orang yang loba, rakus dan tamak
tidak pernah puas dengan keuntungan yang diperolehnya.
Anjing ditepuk, menjungkit ekor
Sebagai kiasan bagi orang yang tidak berbudi, jika dihormati
menjadi sombong.
330 Hubungan antara manusia dan anjing mempunyai sejarah yang panjang. Fosil serigala ditemukan bersama fosil famili Hominidae yang berasal dari 400.000 tahun yang lalu. Penggabungan bukti genetika dan arkelogis menunjukkan anjing sudah didomestikasi sejak akhir zaman Paleolitik Atas yang merupakan peralihan antara zaman Pleistosin dan Holosin, antara 17.000 samapi 14.000 tahun yang lalu. Walaupun demikian, penelitian morfologi fosil tulang dan analisis genetika anjing zaman kuno, anjing zaman sekarang, dan serigala belum bisa memastikan asal mula domestikasi anjing. Semua anjing kemungkinan berasal hanya dari satu kelompok serigala yang mengalami domestikasi. Tapi ada kemungkinan anjing didomestikasi terpisah-pisah di lebih dari satu lokasi. Pada beberapa kesempatan, anjing hasil domestikasi mungkin juga kawin dengan kawanan serigala liar setempat. http://id.wikipedia.org/wiki/Anjing. Halaman terakhir diubah pada 13.46, 12 November 2012
157
Anjing menyalak di pantat gajah
Sebagai perumpamaan bagi orang yang hina dan lemah hendak
melawan orang yang besar dan kuat, tentu tak akan berhasil.
Bagai melepaskan anjing terjepit
Sebagai perumpamaan bagi orang yang tak tahu berterima kasih;
sudah ditolong malah kita dimusuhinya.
Berdasarkan hal tersebut, maka anjing dalam peribahasa Indonesia
indentik dengan simbol keburukan watak dan tingkah laku manusia.
Sebagaimana anjing, perilaku kucingpun tidak lepas dari
pengamatan manusia, kebiasaannya yang suka mengeong, mencuri ikan,
dan takut ketika dibawakan lidi, dijadikan sebagai kiasan dari sikap dan
perilaku manusia. Contoh:
Biarpun kucing naik haji, pulangnya mengeong juga
Mengeong adalah ciri khas seekor kucing, kebiasaan ini kemudian
dijadikan sebagai perumpamaan bahwa pembawaan seorang yang
merantau, tidak hilang ketika ia kembali ke kampung halamannya.
Bagai kucing dengan panggang
Watak kucing lainnya adalah suka mencuri ketika manusia lengah.
Maka ketika kucing dekat dengan panggang, atau tusukan ikan, ia tidak
akan kuat untuk tidak mencurinya. Hal ini mengandung arti bahwa
betapun jujurnya seseorang, jika menjaga harta yang banyak akan tergiur
juga.
Bagai kucing dibawakan lidi
Kebiasaan kucing lainnya adalah takut ketika orang membawa lidi
atau sapu, karena dikira akan memukulnya. Peribahasa ini sebagai kiasan
bagi orang yang sangat ketakutan.
Adapun kuda, pada dasarnya bukan termasuk binatang peliharaan
petani. Kuda biasanya dijadikan sebagai tunggangan atau angkutan di
158
daerah perkotaan di masa lalu. Hal ini tampak pada peribahasa berikut
ini:
Menjadi kuda beban
Seperti kuda lepas dari pingitan
Kedua peribahasa tersebut menggambarkan tugas dan kedudukan
kuda bagi manusia. Pertama sebagai tunggangan atau angkutan, kedua
sebagai peliharaan manusia. Oleh karena itu, pada peribahasa pertama
mengandung arti seseorang yang selalu disuruh-suruh, sedangkan yang
kedua menggambarkan seseorang yang terbebas dari kungkungan.331
3. Hewan Liar
Indonesia tercatat sebagai Negara yang memiliki hutan hujan tropis
terbesar di dunia dan masih asli. Kondisi ini juga menjadikan Indonesia
kaya dengan keragaman hayati. Ribuan species flora dan fauna ditemukan
di wilayah Indonesia.332 Banyak sekali satwa liar yang hidup di hutan
Indonesia dan hal ini tercatat dalam peribahasa, bahkan satwa liar
termasuk kategori binatang yang paling banyak disebutkan dalamm
peribahasa, yaitu gajah sebanyak + 16, harimau + 13 kali, ular sebanyak +
8 kali, pipit sebanyak + 7, beruk sebanyak + 6 kali, musang sebanyak + 5
kali, belalang, babi, cacing, pelanduk, dan rusa sebanyak + 4 kali, elang,
gagak dan bangau sebanyak +3, semut, kura-kura, pungguk, tikus, lalat,
tupai, lembu, biawak, nyamuk dan sebanyak + 2, lebah, cigak, kuman 1
kali.333
331Buku Lengkap Majas dan 3.000 Peribahasa, h. 260 332 Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT.
Lentera Abadi, 2006), h. 8 333 Data diperoleh dari http://id.wikiquote.org/wiki/Peribahasa_Indonesia.
Jumlah ini pada dasarnya tidak sama antar satu buku dengan yang lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya hanya disebbutkan peribahasa-peribahasa yang terkenal saja. Jumlah peribahasa yang dimuat dalam Buku lengkap Majas dan 3000 peribahasa tentu berbeda dengan yang dimuat oleh buku lainnya, oleh karena itu data yang digunakan sangat beragam, sehingga kami hanya memperkirakan sesuai dengan data yang ada.
159
Satwa liar tersebut, ada yang hidup di hutan, namun sebagian
besar adalah satwa yang akrab dengan kehidupan petani, seperti ular,
pipit, musang, belalang, babi, cacing, pelanduk, rusa, elang, tikus, dan
tupai. Hampir seluruhnya adalah musuh petani.
Salah satu satwa liar yang menjadi ciri khas Indonesia di antaranya
adalah gajah. Gajah adalah mamalia darat terbesar yang masih hidup
hingga saat ini. Banyak peribahasa terkenal dengan menggunakan kata
gajah sebagai kiasan, seperti:
Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak
Peribahasa ini mengandung arti kesalahan orang lain, biar pun
kecil tetap kelihatan, tetapi kesalahan sendiri tidak disadari.
Gajah dikalahkan oleh pelanduk
Peribahasa tersebut sebagai perumpamaan orang besar yang
dikalahkan oleh orang lemah namun cerdik.
Gajah ditelan ular lidi
Sebagai kiasan bagi anak orang besar yang jatuh cinta kepada anak
orang kecil atau rendah statusnya.
Gajah mati tulang setimbun
Perumpamaan bagi orang besar atau kaya yang meninggal dan
meninggalkan banyak harta pusaka
Gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah
Peribahasa tersebut mengandung arti orang-orang besar berkelahi,
orang kecil yang menjadi korbannya atau negara berperang, rakyat yang
menjadi korbannya.
Tubuh gajah yang sangat besar, memberi banyak inspirasi bagi
bangsa Indonesia untuk menjadikannya sebagai kiasan. Pada peribahasa
yang pertama, gajah besar diartikan sebagai kesalahan yang dilakukan
sendiri. Pada peribahasa yang kedua, gajah dijadikan sebagai simbol orang
yang besar secara fisik namun bodoh, sehingga dapat dikalahkan oleh
160
orang yang lemah namun cerdik. Pada peribahasa yang ketiga, gajah
dikiaskan sebagai pembesar yang jatuh cinta pada rakyat jelata.
Peribahasa keempat dikiaskan sebagai orang kaya yang banyak
meninggalkan warisan. Peribahasa kelima, gajah dikiaskan sebagai
pemimpin yang berperang, dan menyengsarakan rakyatnya.
Berdasarkan hal tersebut, gajah dalam hal ini menjadi simbol dari
manusia besar, baik dalam hal kekuasaan maupun kekayaan, namun tidak
sesuai dengan kebesaran yang disandangnya.
Selain gajah, satwa liar lainnya yang juga menjadi cirri khas
Indonesia adalah harimau. Lebih dari 12 peribahasa Indonesia yang
menggunakan diksi harimau. Harimau dalam peribahasa Indonesia lebih
banyak digunakan sebagai simbol kekuatan, kebesaran, dan kehebatan,
seperti tampak pada peribahasa berikut ini:
Anak harimau tidak akan jadi anak kambing
Artinya anak orang besar biasanya menjadi orang besar juga
Duduk seperti kucing, melompat seperti harimau
Kiasan bagi orang yang tampangnya bodoh, ternyata kalau sudah
bicara baru tampak bahwa ilmu pengetahuannya tinggi.
Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belang
Orang meninggal selalu meninggalkan kebaikan atau keburukan
yang akan diingat orang lain.
Lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya
Peribahasa ini untuk menggambarkan seseorang yang baru saja
keluar dari situasi genting hanya untuk mendapatkan ke lain situasi
genting.
Rupa harimau, hati tikus
Artinya kelihatannya saja pemberani, sebenarnya penakut
Seperti harimau menyembunyikan kuku
161
Perumpamaan bagi orang yang tidak mau menyombongkan
kelebihannya sendiri, berupa kepandaian, kekayaan, dan lainnya.
4. Hewan Air
Sejak dulu kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia
bertumpu pada perikanan laut. Namun sangat disayangkan, potensi
perikanan laut Indonesia yang sangat besar belum digarap secara
maksimal. Sejak berabad-abad, wilayah pemukiman lebih banyak
berkembang di pesisir pantai. Selain karena jalur pelayaran laut, laut
nusantara juga kaya dengan aneka ragam jenis ikan dan satwa lainnya
yang menjadi sumber makanan penduduknya.334 Indonesia yang kaya
dengan zat mineral air, tentu saja menjadikannya akrab dengan hewan-
hewan air, baik jinak maupun buas.
Ada beberapa hewan air yang disebutkan dalam peribahasa
Indonesia, seperti: ikan, udang, buaya, berudu, belut, dan katak. Binatang-
binatang ini terkait dengan air yang banyak dimiliki oleh negeri ini.
Hewan air yang paling banyak disebutkan dalam peribahasa
Indonesia adalah ikan. Lebih dari 16 peribahasa Indonesia menggunakan
ikan sebagai objek. Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai negara maritim
yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Oleh karena itu, selain
sebagai petani, profesi lainnya yang juga banyak dimiliki masyarakat
Indonesia adalah nelayan. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia
terutama yang bersentuhan dengan ikan mengenal betul karakteristik dan
watak ikan serta hubungannya dengan dunia lainnya. Peribahasa yang
sangat terkenal dengan menggunakan ikan sebagai kiasan:
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya
Peribahasa tersebut mengandung arti bahwa setiap daerah
memiliki adat istiadat yang berbeda, atau bisa juga berarti satu aturan di
suatu daerah bisa berbeda dengan aturan di daerah lain. Hal ini tentu saja
334 Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, h. 11
162
berdasarkan pengalaman dari orang-orang yang biasa berinteraksi dengan
ikan dan mereka mendapati bahwa setiap tempat memiliki ikan dengan
ciri khas masing-masing yang terkadang tidak ditemukan di tempat lain.
Peribahasa lainnya yang juga menggunakan kata ikan:
Air jernih ikannya jinak
Negeri yang aman makmur dan penduduknya ramah-ramah
terhadap orang asing atau pendatang. Peribahasa ini juga
menggambarkan karakteristik masyarakat Indonesia yang makmur dan
ramah terhadap orang lain.
Hewan air lainnya yang juga banyak disebutkan dalam peribahasa
Indonesia adalah udang.
Ada udang di balik batu
Peribahasa ini ditujukan bagi seseorang yang kelihatannya berbuat baik,
namun hatinya tidak tulus. Bisa jadi ia memiliki maksud-maksud tertentu
atau tersembunyi.
Udang hendak mengatai ikan
Udang tak tahu dibungkuknya
Peribahasa ini mengandung arti mencela orang lain tetapi tidak
menyadari atau tidak tahu kekurangan diri sendiri dan tidak melakukan
introspeksi diri. Peribahasa ini tentu saja diambil dari salah satu karakter
udang yang sangat menonjol yaitu memiliki badan yang bongkok atau
melengkung, sehingga seperti orang yang cacat tubuh.
Binatang air lainnya, namun termasuk jenis binatang buas adalah
buaya. Buaya adalah binatang sejenis reptile dan termasuk jenis karnivora.
Di antara peribahasa yang menggunakan kata buaya:
Besar berudu di kubangan, besar buaya di lautan
Artinya setiap orang berkuasa di wilayahnya masing-masing atau
dibidang keahliannya.
163
c. Tumbuhan
Saat berbicara tentang tumbuhan yang ada di Indonesia, secara
otomatis akan berbicara tentang pertanian Indonesia. Sejak zaman dahulu
kala, penduduk yang mendiami wilayah Indonesia telah memanfaatkan
berbagai kekayaan alam yang ada di wilayah ini. Lebih dari 2000 tahun
lalu, penduduk wilayah kepulauan ini yang hidup di sekitar daerah
pantai sudah mengenal sistem irigasi untuk menanam padi. Sementara
penduduk yang tinggal di daerah pedalaman melakukan sistem pertanian
tebang bakar, yaitu berpindah-pindah membuka lahan pertanian dengan
cara menebang atau membakar pepohonan hutan. Meskipun kurang dari
20% daratan yang dijadikan sebagai lahan pertanian, Indonesia
menghasilkan banyak hasil bumi. Nasi adalah makanan pokok bagi
hampir seluruh penduduk Indonesia. Selain beras, hasil bumi utama
lainnya adalah singkong, jagung, kedelai, kacang tanah, dan ubi. Banyak
petani yang tinggal di dekat sungai, danau atau pinggir pantai bekerja
sambilan sebagai nelayan.335
Meskipun Indonesia kaya dengan aneka jenis flora, namun tidak
banyak tumbuhan yang dijadikan sebagai kiasan dalam kehidupan
manusia. Pengamatan terhadap tabiat tumbuhan yang mirip dengan
tabiat manusia tidaklah banyak. Hanya ada beberapa tumbuhan yang
dijadikan sebagai perumpamaan. Tumbuhan-tumbuhan tersebut biasanya
memiliki karakter yang kuat dan dekat dengan kehidupan manusia.
Adapun nama-nama tumbuhan yang ada dalam peribahasa Indonesia di
antaranya adalah padi, cendawan, aur, ubi, talas, dan durian. Namun
demikian, padi seperti halnya kurma dalam peribahasa Arab, merupakan
diksi yang paling banyak digunakan dalam peribahasa Indonesia.
335 Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT.
Lentera Abadi, 2006), h. 11
164
Banyak digunakannya padi sebagai kiasan dalam peribahasa
Indonesia, bukannya tanpa alasan. Indonesia sejak dulu kala dikenal
sebagai negara agraris yang mayoritas penduduknya adalah petani dan
padi adalah makanan pokok masyarakat Indonesia dari dahulu hingga
sekarang. Hal inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Indonesia
lekat dengan kehidupan padi dan banyak mengambil pelajaran darinya.
Di antara peribahasa Indonesia yang menggunakan padi sebagai kiasan
adalah:
Bagai padi makin berisi makin merunduk
Seperti padi hampa, kepalanya mencongak
Peribahasa yang pertama merupakan kiasan bagi orang yang
berilmu tinggi namun tetap rendah hati dan tidak sombong. Sebaliknya
peribahasa yang kedua merupakan kiasan bagi orang yang tidak berilmu
namun sombong. Kedua peribahasa tersebut menggunakan padi sebagai
sumber kiasan. Padi yang bagus ketika berbuah maka akan semakin
berbobot, dan kemudian merunduk, sebaliknya padi yang hampa akan
tetap tegak berdiri karena tidak ada beban. Peribahasa ini memberi pesan
kepada kita agar ketika sudah memiliki ilmu yang banyak maka janganlah
sombong.
Masih banyak lagi peribahasa Indonesia yang menggunakan padi
sebagai sumber inspirasi, seperti:
Berjagung-jagung sementara padi masak
Peribahasa ini mengandung arti berhematlah dahulu sebelum
mendapat keuntungan besar. Baik padi maupun jagung, keduanya adalah
makanan pokok masyarakat Indonesia. Namun dari peribahasa tersebut
tampak jelas, bahwa kedudukan jagung bagi masyarakat Indonesia
bersifat sekunder bukan primer. Jagung dijadikan sebagai simbol bersusah
payah, sedangkan padi merupakan keuntungan besar. Melalui
165
pengamatan-pengamatan inilah para bijak memberikan pesan moral pada
masyarakat, tanpa harus menyinggung secara langsung dengan kata-kata.
Selain padi, nama tumbuhan lainnya yang ada dalam peribahasa
Indonesia di antaranya adalah cendawan, ubi, dan talas. Ketiga jenis
tumbuhan tersebut biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jamur
biasanya tumbuh di pohon-pohon yang sudah mati. Sebagai petani,
masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu sudah akrab dengan jamur,
dan menjadikannya sebagai bahan makanan. Adapun ubi dan talas
merupakan tanaman palawija yang tidak bergantung pada musim dan
bisa dijadikan sebagai penggati nasi. Semua jenis tumbuhan tersebut erat
dengan kehidupan petani. Contoh peribahasa yang menggunakan ketiga
jenis tumbuhan tersebut:
Seperti cendawan dimusim hujan
Peribahasa ini mengumpamakan sesuatu yang tiba-tiba banyak,
sebagai contoh munculnya banyak artis dalam dunia hiburan di Indonesia
bagai cendawan di musim hujan. Secara alamiah, jamur itu biasanya
banyak tumbuh di pohon-pohon yang sudah lapuk pada musim hujan
secara serentak dan banyak.
Bagai air di daun talas
Peribahasa ini sebagai perumpamaan bagi orang yang kehidupan
atau nasibnya terombang-ambing tak menentu, seakan-akan kehilangan
pegangan hidup. Bisa juga diartikan dengan orang yang tidak mempunyai
pendirian, bagaikan air yang sangat rapuh diatas licinnya daun talas.336
Seperti ayam beroleh ubi
Peribahasa ini mengandung arti orang yang sangat gembira karena
memperoleh sesuatu. Peribahasa ini sebenarnya lebih menekankan pada
336 Berdasarkan penelitian, permukaan daun talas mengandung zat seperti lilin,
yang sangat tipis. Zat itu melapisi dinding sel luar daun talas, sehingga air tidak bisa menyatu dengan daun, karena sifat zat itu menjadikannya tidak bisa bercampur dengan air.
166
kebiasaan ayam ketika mendapat sesuatu yang disukainya. Ubi hanyalah
pelengkap dari peribahasa tersebut. Dibandingkan dengan binatang,
maka diksi dengan tema tumbuhan tidaklah banyak. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karakter tumbuhan yang tidak begitu kuat dibandingkan
dengan binatang, sehingga tidak begitu banyak memberi inspirasi ke
dalam peribahasa.
Namun demikian masih ada beberapa tumbuhan lain yang masuk
dalam peribahasa Indonesia, seperti alang-alang, sirih, aur, benalu, bunga,
mentimun, dan durian, meskipun hanya ada pada 1 atau 2 peribahasa.
Dalam peribahasa Arab, tumbuhan-tumbuhan tersebut tentu saja
tidak ditemukan, sebagaimana tidak ditemukannya tumbuhan khas Arab
dalam peribahasa Indonesia.
d. Budaya
Budaya adalah hasil kegiatan dan hasil penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.337 Menurut C.
Kluchohn ada tujuh unsur kebudayaan universal338, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia termasuk di
dalamnya pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, alat transportasi, dan lain
sebagainya.
2. Mata pencaharian dan sistem ekonomi, pertanian,
peternakan, system produksi, dll.
3. Sistem kemasyarakatan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem pengetahuan
337 Kamus Besar bahasa Indonesia, h. 149 338 Kebudayaan universal adalah kebudayaan umum yang bisa ditemukan di
mana-mana, di masyarakat manapun di dunia.
167
7. Sistem kepercayaan atau agama339
Peribahasa Indonesia banyak menggambarkan tradisi dan budaya
tradisional Indonesia. Ada beberapa peralatan dan perlengkapan hidup
masyarakat Indonesia tradisional yang tercermin dari peribahasa.
Sebagian besar menggambarkan alat rumah tangga dan alat transportasi.
Di antara alat rumah tangga yang terdapat dalam peribahasa Indonesia:
Adat periuk berkerat, adat lesung berdedak
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga
Tak lalu dandang di air, di gurun ditanjakkan
Pada peribahasa di atas, ditemukan kata periuk, belanga, dan
dandang. Diksi tersebut semuanya menunjukkan budaya alat-alat rumah
tangga dapur yang digunakan untuk memasak oleh masyarakat Indonesia
tradisional. Periuk adalah alat untuk memasak nasi terbuat dari tanah
atau logam. Belanga adalah kuali besar dari tanah untuk menyayur,
merebus sayur-sayuran, dan lainnya. Dandang adalah periuk besar untuk
mengukus nasi, biasanya terbuat dari tembaga atau alumunium.340 Alat
dapur lainnya yang juga termasuk alat memasak adalah tungku, seperti
tampak pada peribahasa di bawah ini:
Seperti abu di atas tungku341
Tungku adalah batu yang dipasang untuk perapian dapur sebagai
tempat tumpuan periuk saat memasak.342
Selain alat rumah tangga, perlengkapan manusia yang terekam
dalam peribahasa adalah senjata, seperti:
Menjual bedil kepada lawan
Luka di tangan karena pisau, luka di hati karena kata
339 Dikutip oleh Darmansyah dkk., Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: usaha Nasional,
1986), h. 61 dari Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), h. 170
340 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 757, 109 & 208
341Peribahasa ini mengandung arti seseorang yang belum kuat kedudukannya. 342
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1086
168
Seperti bujang jolong berkeris
Lidah lebih tajam daripada pedang.
Ada empat jenis senjata yang terekam dalam peribahasa di atas,
yaitu bedil, pisau, keris, dan pedang. Bedil adalah senjata api model kuno
atau dikenal juga dengan nama senapan. Pisau selain sebagai senjata ia
juga sebenarnya termasuk alat dapur. Keris adalah senjata tradisional
khas Jawa berujung tajam, bermata dua, bilahnya ada yang lurus, namun
ada juga yang berkelok-kelok. Pedang adalah senjata khas timur tengah
berbentuk semacam parang panjang.343
Berikut ini beberapa peribahasa yang menggambarkan alat
transportasi masyarakat Indonesia zaman dahulu:
Bagaimana biduk, bagaimana pengayuh
Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian
Besar kapal besar pula gelombangnya
Buruk perahu, buruk pangkalan
Pada peribahasa di atas ada beberapa diksi yang menggambarkan
alat transportasi yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu: biduk,
rakit, kapal, dan perahu. Biduk adalah perahu kecil yang digunakan
untuk menangkap ikan atau mengangkat ikan-ikan di sungai. Rakit
adalah kendaraan apung dibuat dari beberapa buluh kayu yang diikat
berjajar dipakai untuk mengangkut barang atau orang di air. Kapal adalah
kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut atau sungai.
Perahu adalah kendaraan air dari kayu berbentuk lancip di kedua
ujungnya dan lebar di tengahnya, biasanya tidak bergeladak.344
Berdasarkan hasil penelitian, tidak ditemukan satupun alat
transportasi darat dalam peribahasa Indonesia. Hal ini jelas
mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia pada zaman dahulu hanya
343
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 105, 488, & 740 344
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 131, 812, 442, & 750
169
mengenal transportasi air, oleh karena itu mereka lebih banyak tinggal di
daerah pantai atau di pinggir sungai. Adapun masyarakat yang tinggal di
pegunungan mereka bepergian dengan berjalan kaki dan membawa
barang dengan cara dipikul, seperti tampak pada peribahasa berikut ini:
Memikul diatas bahu
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing
Berikut ini beberapa peribahasa yang menggambarkan mata
pencaharian dan sistem ekonomi masyarakat Indonesia:
Alu patah lesung hilang
Alu dan lesung adalah dua alat yang biasa digunakan oleh petani
sebagai alat pengolahan padi sehingga menjadi beras. Alu digunakan
untuk menumbuk, sedangkan lesung adalah tempat untuk menaruh
padinya. Alat pertanian lainnya yang juga ditemukan dalam peribahasa
adalah bajak, sebuah alat yang digunakan petani untuk menggemburkan
dan membalikkan tanah. Bajak biasanya digunakan juga dengan kerbau
sebagai alat tariknya. Hal ini tampak pada peribahasa:
Bajak lalu ditanah yang lembut
Mata pencaharian dan sistem ekonomi masyarakat Indonesia
lainnya adalah menjadi nelayan, dan berniaga atau berdagang. Hal ini
tampak pada peribahasa berikut ini:
Berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau
Berniaga di ujung lidah
Jual emas beli intan
Ada pedagang ada belalang345
Sistem kemasyarakatan rakyat Indonesia tampak pada peribahasa di
bawah ini:
Adat lama pusaka usang346
345 Peribahasa ini berarti di manapun kita berada pasti ada rizkinya 346 Adat atau kebiasaan yang tetap atau tidak berubah sejak dahulu hingga
sekarang.
170
Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah
Berhakim kepada beruk
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing
Ada sama dimakan tak ada sama ditahan
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh
Peribahasa di atas menggambarkan beberapa sistem
kemasyarakatan penduduk Indonesia, seperti berpegang teguh pada adat,
undang-undang, hukum, mengutamakan hidup gotong royong dan
persatuan. Pada intinya masyarakat Indonesia menganut prinsip bahwa
setiap segi kehidupan ada hukum dan aturannya.
Ada adat dan lembaganya, ada undang dan laksananya
Peribahasa ini mengandung arti bahwa segala sesuatu itu ada hukum dan
aturannya. Hal ini jelas sekali menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
adalah negara hukum, baik dalam bentuk adat maupun undang-undang.
Budaya lainnya yang juga menjadi cermin bangsa adalah bahasa. Salah
satunya tampak pada peribahasa:
Bahasa menunjukkan bangsa
Kesenian yang tergambar dalam peribahasa di antaranya adalah alat
musik gendang dan tarian secara umum tanpa penyebutan jenis:
Bagaimana bunyi gendang, begitulah tepuk tarinya
Sistem pengetahuan secara sederhana tampak pada peribahasa berikut
ini:
Belajar di yang pintar, berguru di yang pandai.
Sebuah pesan agar belajar pada ahlinya.
Ada beberapa ungkapan dalam peribahasa Indonesia yang menggambarkan
sistem kepercayaan (agama) masyarakat Indonesia, di antaranya:
Adat dunia balas-membalas, syariat palu-memalu
Biarpun kucing naik haji, pulang-pulang mengeong juga.
Manusia merencanakan, Tuhan menentukan
Qur'an adalah dasar hidup orang Minang
Sudah makan baru bismillah
171
Takut akan hantu, lari ke pandam347
Kata syari‟at, naik haji, Tuhan, Qur‟an, dan bismillah menjadi indikator
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempecayai adanya Tuhan dan
religious. Sedangkan kata hantu, merupakan indicator bahwa bangsa Indonesia
juga percaya terhadap hal-hal yang bersifat ghaib dan mistik.
Tradisi negatif masyarakat Indonesia yang terungkap dari peribahasa
adalah menyabung ayam. Sebuah tradisi yang hingga kini masih dilakukan
sebagian masyarakat. Hal ini tampak pada peribahasa berikut ini:
Adat menyabung, adat gelanggang348
Alah sabung menang sorak349
Itulah beberapa gambaran tentang budaya Indonesia tempo dulu.
Sebagian dari budaya tersebut masih berlanjut hingga saat ini.
Fenomena alam, hewan, tumbuhan, dan budaya yang dijadikan
sebagai diksi dalam peribahasa, pada hakikatnya satu sama lain memiliki
korelasi yang kuat dan terkait dengan kondisi geografis Indonesia, sebagai
wilayah yang beriklim tropis, agraris, dan maritim. Hal ini juga erat
kaitannya dengan profesi mayoritas masyarakat Indonesia sebagai petani
dan nelayan.
C. Persamaan dan Perbedaan Diksi kedua peribahasa
Persamaan dan perbedaan antara diksi dalam amtsâl dan
peribahasa tampak pada tataran lafaz dan makna. Artinya ada beberapa
kata yang hanya digunakan oleh salah satu peribahasa, namun juga ada
yang digunakan oleh keduanya. Sedangkan dalam tataran makna, terkait
dengan pesan moral yang terkandung dalam peribahasa itu sendiri yang
mana pada beberapa peribahasa, satu sama lain ada kesamaan makna.
Dengan kata lain, baik amtsal maupun peribahasa, masing-masing ingin
347 menghindari dari satu bahaya jatuh ke bahaya yang lain 348 Semua ada aturannya 349 Walaupun sudah kalah, namun masih juga berani menyombongkan diri.
172
menyampaikan pesan yang sama, sehingga makna yang disampaikan
bersifat universal.
a. Lafaz
Salah satu perbedaan yang sangat mencolok antara peribahasa
Indonesia dan amtsâl adalah nama orang. Seperti telah dibahas
sebelumnya, dalam amtsâl banyak sekali nama orang yang dijadikan
sebagai simbol atau kiasan terhadap suatu peristiwa, maupun sifat dan
watak manusia. Nama-nama yang dijadikan sebagai simbol dalam amtsal
lengkap dengan sejarah yang menyertainya. Sedangkan dalam peribahasa
Indonesia tidak ditemukan satu nama orangpun yang dijadikan sebagai
simbol atau kiasan terhadap suatu peristiwa atau watak manusia.
Diksi yang sama-sama digunakan adalah binatang, namun
demikian tentu saja binatang yang menjadi prioritas merupakan ciri khas
dari wilayah masing-masing. Hal ini tampak dari jumlah peribahasa
dengan nama binatang tertentu yang lebih dominan dibanding dengan
yang lainnya. Amtsâl lebih banyak menggunakan unta sebagai kiasan,
sedangkan dalam peribahasa Indonesia, ayam menempati posisi atas.
Kedua binatang ini tentu saja terkait erat dengan kondisi geografis
masing-masing. Unta merupakan hewan yang secara khusus didesain
untuk daerah padang pasir, sedangkan ayam merupakan ternak yang
terbiasa hidup dengan para petani dan makan padi seperti halnya
masyarakat Indonesia. Unta dalam amtsal disebutkan dengan beberapa
nama, yaitu ibil, ba‘ir, ummu qasy‘am, him, jamal, huwar, dan naqah.
Penamaan unta yang bermacam-macam ini menunjukkan kekayaan
bahasa Arab. Bukan hanya unta, binatang lainnyapun hampir sama
memiliki nama yang bermacam-macam. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
kreatifitas masyarakat Arab serta peradabannya di zaman dahulu, jauh
lebih maju dibandingkan masyarakat Indonesia
173
Selain ayam, Indonesia juga memiliki hewan lainnya yang tidak
disebutkan dalam amtsal. Hewan ini adalah ikan yang memang hanya
hidup di air, dan tidak ditemukan di daerah gurun pasir. Hal ini menjadi
ciri khas Indonesia sebagai negara bahari, dan yang membedakannya
dengan jazirah Arab. Binatang lain yang hanya ada pada amtsal dan tidak
dimiliki bangsa Indonesia adalah burung unta, burung yang memiliki
bentuk perpaduan burung dan unta. Sedangkan gajah adalah binatang
yang hanya ada dalam peribahasa Indonesia.
Ada beberapa hewan yang sama-sama digunakan dalam peribahasa,
seperti anjing, kuda dan harimau. Anjing dalam amtsal disebut dengan
dua nama yaitu kalb (anjing) dan dzi‘b (serigala). Dalam amtsal, anjing
digambarkan dalam dua karakter, yaitu baik dan buruk, seperti:
Lebih terima kasih daripada anjing350
Anjing itu tetap anjing juga sekalipun engkau beri kalung emas.351
Peribahasa yang pertama, anjing dijadikan sebagai simbol manusia
yang pandai berterima kasih, sedangkan yang kedua, menjadi kiasan
bahwa seseorang yang memiliki watak hina, meskipun diagung-agungkan
tetap saja hina. Bila anjing menjadi kiasan karakter positif dan negatif,
serigala sepertinya hanya dijadikan sebagai kiasan dari sisi buruk watak
manusia, seperti:
Lebih lapar daripada dzu‘alah
350 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.356 351 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.527 352 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.130
174
Kiasan bagi orang yang rakus dan tamak.
Anjing ataupun serigala, dalam amtsal banyak dijadikan sebagai
sindiran bagi orang-orang tertentu yang jika diungkapkan secara terang-
terang membahayakan orang tersebut.
Bila dalam amtsal, serigalalah yang dijadikan sebagai kiasan dari
watak buruk manusia, dalam peribahasa Indonesia, anjing lebih menonjol
dengan karakter negatifnya, seperti:
Anjing ditepuk, menjungkit ekor
Sebagai kiasan bagi orang yang tidak berbudi, jika dihormati
menjadi sombong.
Binatang lainnya yang sama-sama banyak digunakan adalah
harimau. Ada persamaan makna pada diksi ini, harimau disimbolkan
dengan kekuatan, kekuasaan dan kehebatan, seperti:
Anak harimau tidak akan jadi anak kambing
Artinya anak orang besar biasanya menjadi orang besar juga
Lebih mulia daripada hidung singa.353
Kedua peribahasa di atas sama-sama menggambarkan kehebatan
hewan yang bernama harimau atau singa.
Kuda termasuk hewan yang banyak disebutkan dalam amtsal,
namun hanya sedikit dalam peribahasa Indonesia. Sebagaimana hewan
lainnya, kata kuda juga disebutkan dengan nama yang berbeda-beda.
Semula kuda diprediksikan sebagai hewan yang identik dengan perang,
namun ternyata dalam amtsal, kata kuda lebih menggambarkan tradisi
pacuan yang biasa mereka lakukan. Pacuan ini juga tidak terlepas dengan
tradisi berjudi masyarakat Arab Jahiliyah. Hal ini terlihat pada contoh
peribahasa berikut ini:
353
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.434
175
Kuda pacuanpun kadang tergelincir354
Dalam amtsal kata burung dengan berbagai spesiesnya banyak
digunakan sebagai kiasan atau perumpamaan. Hal ini berbeda dengan
peribahasa Indonesia yang jarang sekali menggunakan kata burung
Indonesia kaya akan keragaman fauna spesies burung, namun demikian
tidak banyak burung yang dijadikan sebagai perumpamaan. Contoh
burung-burung yang ada di dalam amtsal:
Lebih mulia daripada elang di udara355
Kehebatan burung ini juga diabadikan dalam peribahasa Indonesia
“seperti elang menyongsong angin” yang artinya tidak gentar menghadapi
musuh.356
Gagak dalam budaya Arab kuno terkait dengan kepercayaan,
seperti tampak pada peribahasa berikut ini:
Lebih celaka daripada burung gagak yang memberi tanda.357
Selain burung unta, elang, dan gagak masih banyak lagi nama-
nama burung yang disebutkan dalam amtsal, seperti hubara, qatha, dan
lainnya. Burung-burung tersebut terkait dengan gurun pasir. Gagak dan
elang merupakan burung yang juga ada di Indonesia, namun demikian
tidak banyak digunakan dalam peribahasa. Dalam peribahasa Indonesia
lebih banyak menyebutkan kata burung secara umum bukan species
354 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 103 355
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.435 356 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 292 357
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.335
176
tertentu. Hal ini menunjukkan daya nalar masyarakat Indonesia yang
masih sederhana.
Selain nama orang dan binatang, sumber diksi lain yang digunakan
dalam kedua peribahasa adalah budaya. Budaya masyarakat Indonesia
jelas berbeda dengan budaya masyarakat Arab. Di antara budaya yang
terungkap dari diksi amtsal adalah hal-hal yang terkait dengan
peperangan, seperti alat, tawanan, dan harta rampasan. Selain yang terkait
dengan peperangan, budaya lainnya yang juga terungkap dari amtsal
adalah sistem perbudakan, gaya hidup nomaden, dan minum arak.
Contohnya:
Hari ini arak dan besok perkara.358
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa arak bagi bangsa Arab
dahulu adalah simbol kegembiraan. Jadi maksudnya hari ini boleh
bersenang-senang, tetapi besok harus menghadapi perkara berat yakni
peperangan. Minum arak bagi bangsa Arab adalah kesenangan yang
sudah menjadi tradisi.
Budaya yang mempengaruhi diksi peribahasa Indonesia, di
antaranya adalah sistem pertanian, alat rumah tangga, alat transportasi,
agama, sistem kemasyarakatan, kesenian, bahasa dan juga sistem
perekonomian.
Alam memberi banyak inspirasi bagi kedua masyarakat untuk
belajar. Matahari, bulan, bintang dan bumi, banyak dijadikan kiasan oleh
keduanya. Dibalik penggunaan benda-benda alam sebagai kiasan dalam
peribahasa, sejarah mengatakan bahwa bangsa Arab termasuk bangsa
yang percaya terhadap kekuatan ghaib benda-benda tersebut, meskipun
358
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.622
177
dalam peribahasa tidak dinyatakan secara jelas. Contoh peribahasa
dengan menggunakan benda langit:
Lebih bercahaya daripada matahari dan bulan.359
Fenomena alam seperti, air, api, angin, hujan, dan lainnya
merupakan fenomena umum yang dijadikan sebagai diksi dalam kedua
peribahasa. Namun demikian, dalam peribahasa Indonesia, kata air, laut,
dan hujan sangat dominan, berbeda dengan amtsal. Dalam amtsal, ada
beberapa fenomena alam lain yang tidak didapatkan dalam peribahasa
Indonesia, di antaranya kata fatamorgana (sarab) fenomena khas padang
pasir. Kata pasir sama-sama digunakan, namun pasir yang ada di
peribahasa Indonesia identik dengan pantai, sedangkan pasir dalam
amtsal identik dengan pasir gurun.
Tumbuhan adalah diksi yang sama-sama tidak banyak ditemukan
dalam kedua peribahasa. Kurma adalah tumbuhan dan buah yang paling
banyak digunakan dalam amtsal. Meskipun hanya satu atau dua,
tumbuhan lain yang digunakan dalam amtsal adalah Anggur, Barwaqah,
„Alqam dan Hanzhalah. Hal ini bisa dimaklumi oleh karena kondisi alam
padang pasir yang minim dengan tumbuhan. Lalu mengapa masyarakat
Indonesia tidak banyak menggunakan nama tumbuhan sebagai kiasan??
Padi satu-satunya tumbuhan yang banyak dijadikan sebagai kiasan atau
perumpamaan, hal ini jelas terkait dengan kedekatan masyarakat
Indonesia dengan padi makanan pokok bangsa Indonesia. Bisa jadi
ketidaktahuan terhadap nama-nama tumbuhan, atau ketidak pedulian
terhadap tumbuhan karena teramat banyak menjadi faktor tidak
banyaknya peribahasa yang menggunakan jenis tumbuhan sebagai
359
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.76
178
perumpamaan. Namun demikian, selain padi disebutkan juga beberapa
tumbuhan tropis lainnya seperti, ubi, talas, dan cendawan.
Berdasarkan hal tersebut, pemilihan kata atau diksi yang ada
dalam suatu peribahasa tidak tercipta dari sebuah kenihilan, namun
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur ekstrinsik yang ada di sekitarnya,
seperti alam, geografi, dan budaya.
b. Makna atau kandungan
Bahasa boleh berbeda, namun nilai-nilai moralitas universal yang
diinginkan oleh masyarakat manapun dari zaman ke zaman biasanya
tidak jauh berbeda. Peribahasa merupakan gambaran dari nilai-nilai
kebudayaan universal yang bisa kita temui kemiripan makna meskipun
dengan ungkapan yang berbeda. Perbedaan tersebut lebih disebabkan
oleh faktor kebudayaan yang merupakan bukti dari teori relativitas
bahasa, bahwa makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan
ekologis pemakai bahasa tertentu.
Dari aspek kandungan, peribahasa, baik Arab maupun Indonesia,
secara garis besar terbagi dua, yaitu peribahasa yang mengandung pesan-
pesan moral, dan peribahasa yang menggambarkan suatu peristiwa yang
pernah terjadi kemudian dialami kembali dengan cerita yang hampir
sama (kesamaan cerita).
Berikut ini beberapa contoh amtsal (peribahasa Arab) yang memiliki
kesamaan makna dengan peribahasa Indonesia dan mengandung pesan-
pesan moral:
“Sebelum memanah penuhi dahulu busur-busur‖
Amtsal diatas mempunyai kesamaan dengan peribahasa “Sedia
payung sebelum hujan”, merupakan sebuah pesan agar sebelum bertindak
179
haruslah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan tindakan yang
akan dilakukan.
―Jangan mengajari perempuan memakai kerudung‖.
―Anak yatim jangan diajari menangis‖
Dua peribahasa diatas ini mempunyai kesamaan dengan
peribahasa Indonesia ―Jangan mengajari ikan berenang‖ yang mempunyai
kesamaan makna yaitu nasehat bagi manusia, tidak baik mengajari orang
yang lebih pintar dari kita.
“Pedang itu telah mendahului pada celaan‖
Amtsal diatas sepadan dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia
―Nasi telah menjadi bubur‖, dimana celaan tidak mampuh merubah
kejadian yang sudah terjadi. Peribahasa ini pun menunjukkan pada
penyesalan diakhir tak berguna.
―Janji-janji si Urkub”
Amtsal ini mengandung makna yang sama dalam bahasa Indonesia
―Lain di mulut lain dihati‖, yaitu diumpamakan bagi orang yang tidak
pernah menepati janji dan selalu menabur janji palsu.
“Wanita cantik itu tidak lepas dari cela‖
Amtsal ini sama dengan ungkapan peribahasa Indonesia ―Tak ada
gading yang tak retak‖, artinya tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang
180
sempurna, bahkan wanita cantik pun tidak akan lepas dari cela,
sebagaimana pula gading gajah jika retak itu adalah biasa.
―Tiap pedang yang tajam dapat meleset, tiap kuda balap bisa tergelincir dan tiap
orang yang berilmu bisa salah‖
Amtsal ini sama dengan ungkapan peribahasa Indonesia ―Sepandai-
pandai tupai melompat, jatuh juga‖. Bahwa sepintar-pintar orang pasti
pernah melakukan kesalahan atau kekhilafan.
―Engkau melihat para pemuda pohon kurma dan apakah yang engkau ketahui di
dalamnya‖.
Amtsal ini memiliki kesamaan makna dengan peribahasa Indonesia
“Dalamnya laut boleh diduga, dalamnya hati siapa yang tahu”. Peribahasa ini
diucapkan ketika kita tertipu oleh penglihatan dan pandangan yang
menipu, karena di sekitar kita akan kita temukan pemandangan yang
mengelabui terutama dalam pergaulan bermasyarakat untuk bersikap
hati-hati.
―Jika masuk suatu kampung, maka bersumpahlah atas nama Tuhannya‘.
Matsal tersebut memiliki persamaan makna dengan peribahasa
Indonesia yaitu “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” atau bisa
juga kesamaan dengan peribahasa “Hidup di kandung adat, mati dikandung
tanah”, yaitu segala sesuatu harus kita kerjakan sesuai dengan adat
istiadat yang berlaku.
181
―Balasan Sinimmar‖360
Dalam sebuah syair dikatakan:
“Kuajari orang itu memanah setiap hari, tetapi setelah kuat lengannya aku sendiri yang
dilempar anak panahnya‖
Kedua peribahasa di atas kiasan bagi seseorang yang membalas
kebaikan seseorang dengan kejahatan. Dalam peribahasa Indonesia “Air
susu dibalas dengan air tuba”.
― Karena sangat ingin kurma, lalu diisaplah bijinya‖
Kiasan bagi seseorang yang menginginkan sesuatu benda atau
kedudukan tetapi tidak dapat mencapainya. Dapat juga diaskan pada
seseorang yang yang karena tidak dapoat menghasilkan yang banyak, lalu
menerima saja yang sedikit. Dalam peribahasa Indonesia sepadan dengan
“tidak ada rotan akarpun berguna”
―Dari durilah timbulnya bunga mawar‖
Kiasan bagi sesuatu hasil yang memuaskan yang tidak dapat
diperoleh melainkan dengan usaha yang sulit dan menyusahkan. Padanan
dalam peribahasa Indonesia adalah “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang
ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”.
―Apakah bisa terjadi turunnya hujan tanpa awan‖
360 Kisah Sinimmar dapat dilihat pada penjelasan nama manusia sebagai simbol.
182
Peribahasa ini memberi gambaran bagi seseorang yang sulit
diharapkan bantuannya. Makna ini terdapat dalam peribahasa
“Menengadah ke langit biru‖.
“Siapa yang menggali lobang, pasti ia terperosok ke dalamnya‖
Perbuatan jahat pasti akan mengenai dirinya sendiri. Sesuai dengan
peribahasa “senjata makan tuan”.
Berikut adalah contoh peribahasa yang diambil dari suatu
peristiwa, dan dijadikan sebagai kiasan serupa yang terjadi setelahnya:
―Pulang dengan membawa dua buah sandal Hunain”
Matsal ini semakna dengan peribahasa Indonesia “Sudah jatuh
tertimpa tangga”. Yaitu perumpamaan bagi orang yang tidak mau merugi,
tapi justru mengalami kerugian yang begitu besar.
Tidak akan dapat dikumpulkan antara musang dengan burung unta.361
Musang itu senantiasa berada di tempat yang tinggi, sedangkan
burung unta di tempat yang rendah atau lapangan. Pepatah ini dikiaskan
pada dua orang atau dua faham yang berbeda sekali dan tidak mungkin
dapat dipersatukan. Di antara peribahasa Indonesia yang mirip dengan
amtsal tersebut adalah: “bagai minyak dengan air‖, dan ―bagai bumi dan
langit‖.
ال
Anjing hutan betina itu tidak akan melahirkan melainkan anjing hutan juga.
361
Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.115 362 Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h.615
183
Kiasan bahwa seseorang itu pada umumnya adalah menyerupai
orang tuanya, baik rupa, watak, kegemaran dan lain-lainnya lagi.
Peribahasa ini mirip dengan peribahasa Indonesia ―buah jatuh tidak jauh
dari pohon‖atau “Anak harimau tidak akan jadi anak kambing”.
Sampai unta masuk liang jarum
Peribahasa ini mengandung arti menunggu sesuatu yang tidak
mungkin terjadi, atau dalam peribahasa Indonesia sama dengan “Menanti
kucing bertanduk‖.
Bila diperhatikan, kandungan di atas hanya pengumpamaan suatu
sifat dengan sifat lainnya, dan tidak membawa pesan-pesan moralitas.
Namun demikian, sebagian besar peribahasa di dalamnya tersimpan nilai-
nilai moralitas universal, seperti cara bertindak yang baik, menghargai
orang lain, bersikap hati-hati, tidak suka berbohong, menghargai orang
lain, berbuat atau berbicara sesuai sikon, tahu balas budi, sabar,
dermawan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, tampak jelas ada beberapa
persamaan makna antara satu peribahasa dengan peribahasa lainnya,
yaitu pesan moral yang ingin disampaikan di dalamnya.
D. Saling Keterpengaruhan antara Kedua peribahasa
Berbicara tentang persamaan dan perbedaan antara dua
peribahasa, tidak berarti berbicara tentang pengaruh mempengaruhi
antara keduanya. Dari pembahasan sebelumnya, tampak sangat jelas
bahwa masing-masing peribahasa memiliki karakter tersendiri, meskipun
jenis diksi yang digunakan adalah sama. Masing-masing peribahasa
berdiri di atas egonya masing-masing sesuai dengan unsur-unsur
ekstrinsik yang mempengaruhinya.
363 Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Bahasa Arab, h. 365
184
Maka apakah dalam kedua peribahasa ini terdapat unsur
keterpengaruhan? Dalam peribahasa Indonesia, misalanya “Bagai hujan
jatuh ke pasir‖, lalu kita bandingkan dengan yang artinya
lebih banyak minum (lebih menyerap) dari pada air. Kedua peribahasa
tersebut sama-sama menggunakan kata pasir, namun sebagaimana yang
kita ketahui bahwa masing-masing negara memiliki ciri khas pasir
tersendiri. Hujan dan pasir identik dengan kondisi geografis indonesia,
namun pasir juga merupakan salah satu unsur alam yang ada di padang
pasir. Berdasarkan hal tersebut, sulit kita mengatakan bahwa ada unsur
keterpengaruhan dalam kedua peribahasa di atas.
Dalam salah satu peribahasa Indonesia disebutkan, “Biarpun kucing
naik haji, pulang-pulang mengeong juga‖. Dalam peribahasa di atas, jelas
sekali diksi yang digunakan bersifat religi, yaitu naik haji. Akan tetapi,
pengaruh yang masuk bukan berasal dari peribahasa melainkan bahasa
Arab yang disebabkan oleh aspek agama.
Namun demikian, coba kita perhatikan beberapa ungkapan berikut
ini:
―Surga berada di telapak kaki ibu‖
―Tangan diatas lebih mulia daripada tangan dibawah‖
―Lidah lebih tajam daripada pedang‖
Ketiga peribahasa di atas merupakan terjemahan langsung dari:
Berdasarkan contoh-contoh tersebut, bisa disimpulkan bahwa
peribahasa Indonesia dipengaruhi oleh amtsal namun dari jenis hikmah
185
atau biasa disebut dengan kata-kata mutiara bukan peribahasa.
Sedangkan peribahasa yang berkembang di Jazirah Arab pada masa
sebelum Islam, sama halnya dengan peribahasa Indonesia yang telah
berkembang sejak zaman dahulu kala, tanpa diketahui kapan mulainya.
Peribahasa yang masuk dan mempengaruhi peribahasa Indonesia lebih
pada kata-kata hikmah atau kata-kata bijak yang berasal dari ajaran Islam.
Wallahu a‘lam bi shawab
186
BAB V
KESIMPULAN
Sebagaimana disebutkan di awal, penelitian ini memiliki empat
tujuan utama, pertama, mengetahui karakteristik diksi dalam peribahasa
Arab dan Indonesia, kedua, mengetahui unsur-unsur ekstrinsik yang
mempengaruhi terbentuknya diksi dalam pribahasa Arab dan Indonesia,
ketiga, mengetahui persamaan dan perbedaan diksi amtsal dan peribahasa,
keempat, mengetahui unsur keterpengaruhan antara peribahasa Arab dan
Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian sebelumnya, diksi yang digunakan dalam
amtsâl terdiri dari nama-nama orang, nama-nama binatang, benda-benda
langit, fenomena alam, budaya dan tumbuhan. Nama orang yang muncul
dalam amtsâl biasanya disertai dengan riwayat yang melatarbelakanginya,
sehingga jenis dengan corak ini identik dengan amtsâl târikhiyyah atau
amtsâl yang mengandung unsur-unsur sejarah. Nama-nama yang ada
dalam amtsâl biasanya dijadikan sebagai simbol kebaikan atau keburukan
manusia, sesuai dengan sejarah yang melatarbelakanginya.
Selain nama orang, diksi yang banyak digunakan dalam amtsâl
berikutnya adalah binatang. Di antara binatang yang banyak digunakan
sebagai kiasan adalah unta, anjing, kuda, singa, dan beberapa spesies
burung seperti gagak, burung unta, dan elang. Binatang yang dijadikan
sebagai simbol atau perumpamaan dalam amtsâl adalah binatang padang
pasir yang akrab dengan kehidupan masyarakat Arab saat itu. Dalam
amtsâl, diksi binatang diungkapkan dalam berbagai nama, hal ini
menunjukkan kekayaan bahasa Arab yang tidak ditemukan dalam bahasa
lainnya. Beberapa amtsâl dengan menggunakan nama-nama binatang,
mengandung cerita-cerita khurafat dan menggambarkan kehidupan
187
masyarakat pada umumnya, yang disebut dengan al- amtsâl al-sâirah.
Sebagian binatang yang dijadikan sebagai kiasan terkait erat dengan
kepercayaan masyarakat arab saat itu.
Diksi lainnya yang digunakan dalam amtsal adalah hal-hal yang
terkait dengan budaya masyarakat Arab saat itu, seperti perang dengan
segala hal yang terkait dengannya seperti perlengkapan perang, ghanimah
(harta rampasan) dan tawanan. Budaya lainnya yang tercermin dari
peribahasa adalah budaya perbudakan, nomaden, dan tradisi minum
arak.
Bangsa arab juga gemar menggunakan benda-benda langit, seperti
matahari, bulan, dan bintang sebagai kiasan. Berdasarkan penelusuran
sejarah, benda-benda langit tersebut terkait erat dengan sistem
kepercayaan yang mereka anut. Sebagian masyarakat Arab Jahiliyah
adalah penyembah matahari, bulan dan bintang. Fenomena alam lainnya,
seperti air, api, pasir, fatamorgana, angin dan lainnya juga banyak
digunakan dalam amtsal.
Minimnya tumbuhan yang hidup di padang pasir, menjadikan
diksi tumbuhan tidak banyak digunakan dalam amtsal. Kurma satu-
satunya tumbuhan yang banyak digunakan dalam amtsal, sisanya seperti
anggur, hanzhalah (timun pahit), barwaqah, dan alqam, hanya disebutkan
tidak lebih dari sekali.
Secara umum, diksi yang digunakan dalam peribahasa Indonesia
tidak jauh berbeda dengan amtsal, yaitu nama-nama binatang, fenomena
alam, benda-benda langit, budaya dan juga tumbuhan. Namun demikian,
tidak ditemukan satupun nama orang yang dijadikan sebagai kiasan
dalam peribahasa. Kemungkinan hal ini terkait erat dengan watak
masyarakat Indonesia yang selalau segan dan saling menghormati satu
sama lain, sehingga penyebutan kata orang dalam tradisi sastra lisan
dianggap kurang etis.
188
Diksi yang digunakan dalam peribahasa Indonesia, secara umum
terkait dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara agraris dan
maritim. Oleh karena itu, kata air, hujan dan laut, mendominasi diksi
peribahasa Indonesia.
Hewan yang digunakan dalam peribahasa secara umum dibagi ke
dalam empat bagian, yaitu hewan ternak, hewan peliharaan, hewan liar,
dan hewan air. Hewan ternak yang sangat dominan dalam peribahasa
adalah ayam. Satwa ini terkait dengan sistem pertanian yang dianut
masyarakat Indonesia. Sedangkan hewan peliharaan yang banyak
digunakan dalam peribahasa Indonesia adalah anjing dan kucing. Dua
binatang yang selalu hidup bersamaan dengan manusia, satu hidup di
luar rumah dan yang satu hidup dalam rumah. Banyaknya hutan yang
dimiliki Indonesia juga memberikan kotribusi terhadap diksi dalam
peribahasa Indonesia, terbukti beberapa binatang khas hutan tropis
seperti gajah, harimau dan ular banyak digunakan sebagai kiasan. Hewan
air yang banyak digunakan dalam peribahasa Indonesia tentu saja ikan.
Hewan ini identik dengan negara maritim dengan mata pencaharian
penduduknya sebagai nelayan.
Adapun tumbuhan yang paling banyak digunakan dalam diksi
peribahasa Indonesia tentu saja padi, termasuk di dalamnya kata beras
dan nasi. Hal ini tentu saja tidak mengherankan, karena padi adalah
makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia dari dahulu hingga
sekarang.
Beberapa unsur budaya Indonesia digunakan sebagai diksi dalam
peribahasa, seperti berbagai peralatan rumah tangga, peralatan pertanian,
alat transportasi, tradisi dan tata nilai kemasyarakatan, dan lain
sebagainya.
Fenomena alam, hewan, tumbuhan, dan budaya yang dijadikan
sebagai diksi dalam peribahasa, pada hakikatnya satu sama lain memiliki
189
korelasi yang kuat dan terkait dengan kondisi geografis Indonesia, sebagai
wilayah yang beriklim tropis, agraris, dan maritim. Hal ini juga erat
kaitannya dengan profesi mayoritas masyarakat Indonesia sebagai petani
dan nelayan.
Dari pembahasan di atas, tampak ada beberapa persamaan dan
perbedaan karakter diksi dalam amtsal dan peribahasa. Persamaan dan
perbedaan ini tampak pada tataran lafaz dan makna. Pertama, amtsal
banyak menggunakan nama-nama orang sebagai simbol atau kiasan,
sedangkan dalam peribahasa Indonesia tidak digunakan. Kedua, meskipun
diksi binatang dan tumbuhan sama-sama digunakan di kedua peribahasa,
namun ada beberapa binatang yang menjadi ciri khas masing-masing
yang tidak digunakan dalam peribahasa lainnya. Unta dan burung unta
adalah binatang yang menjadi karakter khusus amtsal, sedangkan ayam
dan ikan menjadi karakter khusus peribahasa Indonesia. Begitu pula
halnya dengan diksi tumbuhan, amtsal didominasi oleh kata kurma (tamr),
sedangkan padi menjadi ciri khas peribahasa Indonesia. Perbedaan ini
lebih disebabkan kondisi geografis yang berbeda antara satu negara
dengan lainnya. Ketiga, pada fenomena alam, penggunaan diksi benda-
benda langit sangat mendominasi amtsal, hal ini terkait erat dengan sistem
kepercayaan masyarakat Arab saat itu, namun peribahasa Indonesia lebih
didominasi oleh unsur-unsur yang bersifat agraris dan maritim, seperti
air, hujan dan laut. Keempat, unsur-unsur budaya yang digunakan dalam
diksi masing-masing peribahasa berbeda antara satu dengan yang
lainnya.
Perbedaan dalam pemilihan kata atau diksi ini terjadi karena
dipengaruhi oleh unsur-unsur ekstrinsik yang ada di sekitarnya, seperti
sejarah, alam, geografi, dan budaya yang juga berbeda antara satu dengan
yang lainnya.
190
Pada tataran makna, ditemukan banyak peribahasa yang di
dalamnya menyampaikan pesan moral yang sama meskipun dengan
redaksi bahasa yang berbeda sebagai akibat perbedaan unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi masing-masing peribahasa.
Masing-masing peribahasa pada dasarnya memiliki karakter
tersendiri, meskipun jenis diksi yang digunakan adalah sama. Masing-
masing peribahasa berdiri di atas egonya masing-masing sesuai dengan
unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya. Akan tetapi dari
beberapa fakta yang ada, peribahasa Indonesia dalam beberapa hal
dipengaruhi oleh peribahasa Arab jenis hikmah (al-amtsâl al-hikmiyyah)
yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kata-kata bijak atau
kata-kata mutiara. Jenis amtsal ini diperkirakan masuk ke dalam tradisi
masyarakat Indonesia bersamaan dengan masuknya ideologi Islam ke
Indonesia.
Wallahu a‘lam bi shawab
191
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Qahir al-Jurjani, Asrar al-Balaghah fi ‗ilm al-Bayan (Beirut: Dar al-
Kutub al-ilmiyah, 1998)
„Abdul Wahhab, & „Abdul Lathif, Muhammad, Mausǔ‘ah al-Amtsâl al-
Qurâniyah, juz 1-2, Kairo : Maktabah al-Adab, 1993.
„Abul Halim Muhammad, Shadiq, al-Syi‘r fi maukib al-Da‘wah, ttp, tt.
Ahmad Jam‟ah, Muhammad Kamil, al-Uslûb, Kairo : Maktabah al-Qâhirah
al-Hadîtsah, 1963.
Allen, Roger, An Introduction to Arabic Literature, London: Cambridge
Univercity Press, Australia, 2000.
„Atiq, „Abd al-„Aziz, Ilmu ‗Arud wa al- Qâfiyah, Beirut: Dâr al-Nahdah al-
„Arabiyyah, tt.
„Atiq, „Abd al-„Aziz, Ilm al- Bayân, Beirut: Dâr al- Nahdah al- Arabiyyah, tt.
„Ayyâd, Muhammad Syukri, Madkhal ilâ ‗ Ilm al- Uslǔb, Kairo : Dar al
„Ulŭm, tt
Buana, Cahya, Pengaruh Sastraa Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama dalam
Syair-syair Hamzah Fansuri, (Yogyakarta: Mocopat, 2007)
Darmansyah dkk., Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: usaha Nasional, 1986)
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004),
Endaswara, Suwardi, Metodologi penelitian Sastera: Epistimologi, Model, Teori
dan Aplikasi, Pustaka Widiyatama, 2003.
Endraswara, Suwardi , Metode Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2004
al-Hasan ibn Bisyr ibn Yahya al-Amadi al-Bashri, Abi al-Qasim , al-
Muwazanah baina Abi Tamam wa Abi ‗Ubadah, (Beirut: Maktabah
„Ilmiyyah, tth).
192
Hâsyimy, al- Sayyid , al-Jawâhir al- Balâghah, Beirut: Dâr al- Fikr, 1414 H.
Al-Hâwy, Ǐ liya , fann al- Wasfy, Beirut: Dâr al-Kitab al- Libnany – Dâr al-
Kitab al Misry, tt.
Hamid, Ismail, Arabic and Islamic Literary Tradition, (Kuala Lumpur: Utusan
Publications & Distributors SDN. BHD, 1982)
Hitti., Philip K. History of The Arabs (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006)
Husin, S. Jaafar, Pengantar Kesusasteraan Bandingan, Kuala Lumpur:
Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994
Muhammad Ghanaimi Hilal, Al-Adab al-Muqaran, (Kairo: Mukhaimar, tth)
Ibn Manzûr, Jamal al-Dîn Muhammad, Lisân al-‗Arab, Beirut, Dâr al-Fikr,
1990.
Ibrahim „Ali abu al-Khasyab & Muhammad Abdul Mun‟im Khafaji,
Turatsuna al-Adabi, Kairo: Dar al-Thaba‟ah al-Muhammadiyah, tth
Al-Iskandary, Ahmad, dan Mustafa „Inany, al- Wasît fi al- Adab al-‗Araby
wa Târîkhuhu, Mesir, Dâr al- Ma‟ârif,tt.
J.S. Badudu, Kamus Peribahasa, memahami arti dan kiasan peribahasa, pepatah,
dan ungkapan, Jakarta: Kompas, 2008
Jarim,„Ali dan Mustafa Amin, al Balâghah al- Wâdihah, Mesir: Dâr al-
Ma‟ârif, 1377 H.
Kathleen Morner & Raplh Rausch, NTC,S Dictionary of Literary Terms,
United States of America: NTC, 1998
Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009),
Al Khasyâb, Ibrahim „Ali Abu dan Muhammad Abd al Mun‟im al-
Khafâjî, Turâtsuna al-Adaby, Suwar min Warâih wa Malâmih, Kairo, Dâr
al-Tibâ‟ah al- Muhammadiyah, tt.
K St.Pamuncak, Nursutan Iskandar, Amanda Madjoindo, Buku Peribahasa,
Penerbit Balai Pustaka.
193
Keraf, Goris, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama,
1991.
Koleksi Peribahasa dan Pantun Indonesia, Redaksi Indonesia Cerdas,
Yogyakarta, 2009.
Leech, Geoffrey, Style in Fiction, London, Longman, 1981.
Muh. Abdai Rathomy, Peribahasa Arab, pt Alma‟arif penerbitpercetakan
offset, 1982, cetakan 1.
Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, Beirut, Dâr al-Masyriq, 1986, cet
XXVIII.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
(Surabaya: Pustaka progressif, 1997)
Muslim, Fauzan, Cerita Rakyat dari Negara-negara Arab, Gramedia
Al-Nadwi, Shalahuddin, Mukhtarat min al-Adab al-Muqaran, Program Pasca
Sarjana IAIN, 1997
Nicholson, A, A Literary History of the Arabs, Cambridge; London.
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada
University press, Cet Ke-8 2010
P. Van tieghem, al-Adab al-Muqaran /La Litterature Compere, Beirut: dar al-
Fikr al-Arabi, tt
Qalyubi Syihabudin, Stilistika al-Qur‘an, Pengantar Orientasi Studi al-
Qur‘an, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997.
Al Quran al Karim, terjemahan Departemen Agama
Al-Râfi‟i, Musthafa Shadiq, Târikh al-Adab al-‗Arabi, Beirut: Dâr al-Kitab al-
„Arabi, 1984.
Raharjo, Mujia, Dasar-dasar Hermeneutika: Antara intensionalisme &
Gadamerian, yogyakarta, Mudjia Raharjo, 2008.
Rais, Putera, Panduan super Lengkap, Majaz, EYD, Peribahasa, Yogyakarta:
Buku Pintar, cet 1, 2012
194
Rasyad, Ahmad, Diwan Hatim al-Tha‘i, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1986
Rathomy, Muh. Abdai, Peribahasa Bahasa Arab, (tp: al-Ma‟arif, 1982)
Rane Wellek & Austin Warren (terjemah Melani Budianta), Teori
Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995
Sarwono Pusposaputro, Kamus Peribahasa, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, cet.ke-9, 2010.
Subhani, Ja‟far, Wisata al-Quran tafsir ayat-ayat metafora, terj Amtsal fi
alQuran, Jakarta, al-Huda: 2007, cet pertama
Al-Sayyid al-„Iraqi, al-Adab al-Muqaran: Manhajan wa tatbiqan, Kairo: Dar
al-Fikr al-„Arabi, tth.
Al-Syâyib, Ahmad, al-Uslŭb, Dirâsah Tahlîliyah li al-Usǔl al- Asâlib al-
Adabiyah, Kairo, Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1939.
Al-Syâyib, Ahmad, Ushǔl al- Naqd al- ‗Adaby, Kairo, Dâr al- Fikr, 1956.
Sayyid Syaqir, Mahmud, Alwan minal Amtsal al ‗Araby, Kairo, Dar al-fikr,
tt.
Semi, M. Atar, Kritik Sastra, Bandung, Angkasa, 1990.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo persada, 2010)
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982)
Teuww, A, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar teori sastra, Jakarta, Pustaka
Jaya, 1984.
Tim Agogos, Buku pintar Peribahasa Indonesia, Jakarta:New Agogos, cet 1,
2012
Tim Generasi cerdas, 3000 Peribahasa dan Pantun paling populer, Jakarta:
Generasi cerdas, cet 2, 2010
Tim penyusun, Ensiklopedi sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu, 2004
195
Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal, ((Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),
Tim penyusun, Muatan Lokal Ensiklopedi Geografi Indonesia, (Jakarta: PT.
Lentera Abadi, 2006)
Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi IV, 2008
Tujiman, Panuti, Kamus istilah sastra, Jakarta, UI Press, 1990
Al-Tunji, Muhammad, al-Mu‘jam al-Mufashal fi al-Adab al-‗Arabi, (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1993M/1413 H)
Waluyo, Herman J., Teori dan apresiasi puisi, Jakarta, Erlangga, 1987.
Wellek, Rene & Austin Warren, Theory of Literature, New york: Harcourt
Brace & word, Inc, 1956. terj. Melani Budianta, Teori Kesusastraan,
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Wardani, Yani‟ah, Syair-syair estetika Ibn al Qayyim al Jauziyyah, deskripsi
tentang dunia, hati & surga, Jakarta: Lembaga Penelitian Lemlit UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Wargadinata, Wildana, H. Lc, M.Ag, Laily Fitriani, M.Pd, Sastra Arab dan
Lintas budaya, Malang:UIN Malang Press, 2008
Wildan Yatim, Kamus Biologi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)
Ya‟qub, Emil Badi‟, al-Mu‘jam al-Mufashshal fi ‗Ilm al-‗Arudl wa al-Qafiyah
wa Funun al-syi‘r, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1991 M/1411 H,
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT . Hidakarya Agung,
1990),
Yusuf, Kadar M, Study al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2009)
Zaidan , Abdul Razak, dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka,
2007),
Zaydan, Jurji, Târikh Adab al-Lughah al-‗Arabiyah, Beirut, Dâr al-Fikr, 1996,
jilid 1, cet 1.
http://id.wikiquote.org/wiki/Peribahasa_Indonesia.