pengaruh politik uang terhadap partisipasi dan referensi politik
TRANSCRIPT
1
PENGARUH POLITIK UANG TERHADAP PARTISIPASI DAN
PREFERENSI POLITIK MASYARAKAT KOTA KOTAMOBAGU
(Study Kasus Pilwako 2013, Pileg dan Pilpres 2014)
Komisi Pemilihan Umum
Kota Kotamobagu
2015
2
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr, Wb. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan Riset ini dengan tema “Pengaruh Politik Uang Terhadap
Partisipasi dan Preferensi Politik Masyarakat Kota Kotamobagu”.
Riset ini dibuat melalui berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikannya, tentu banyak ditemui tantangan
dan hambatan selama mengerjakan riset ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan riset ini.
Kami sangat berharap riset ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita tentang apa itu money politik, beserta dampak yang
ditimbulkan, dan juga dapat menjadi bahan evaluasi agar penyelenggaraan
kepemiluan pada masa yang akan datang akan semakin baik.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan riset ini terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan riset ini di masa yang akan datang.
Terakhir, semoga hasil penelitian ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Kiranya hasil riset yang telah disusun ini dapat berguna. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Kotamobagu, Agustus 2015
Tim Penyusun
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………. 2
Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 3
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 4
1. Latar Belakang ……………………………………………… 4
2. Perumusan Masalah ………………………………………… 8
3. Tujuan Penulisan …………………………………………… 8
BAB II KERANGKA TEORI ………………………………………… 9
Partisipasi Politik Secara Umum/Nasional …………………….. 9
BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………. 24
1. Lokasi Penelitian ………………………………………..…. 25
2. Subyek/Obyek dan Informasi Penelitian ……………….…. 25
3. Teknik Penentuan Informasi …………………………….… 25
4. Teknik Pengumpulan Data …………………………….….. 26
5. Sumber dan Jenis Data ……………………………………. 27
6. Teknik Analisis Data ……………………………………… 27
7. Desain Penelitian …………………………………………. 28
8. Konseptualisasi …………………………………………… 28
BAB IV PEMBAHASAN ……………………………………………... 30
1. Kondisi Umum ………………………………………….… 30
2. Hubungan Antara Uang dan Preferensi Politik ……….….. 31
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI……………….….. 36
1. Kesimpulan …………………………………………….… 36
2. Rekomendasi ……………………………………….…….. 36
Daftar Pustaka ……………………………………………………………….. 38
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemilihan umum adalah salah satu wujud dari budaya demokrasi, di mana
pemilu yang merupakan implementasi dari salah satu ciri demokrasi rakyat secara
langsung dilibatkan, diikutsertakan dalam menentukan arah dan kebijakan politik
negara. Pemilihan umum juga merupakan sarana politik untuk mewujudkan
kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif serta
memilih pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden atau wakil presiden
maupun kepala daerah.
Sebagaimana menurut UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilu,“Pemilu adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Pemilihan umum di Indonesia diadakan
setiap lima tahun sekali, yang telah berlangsung sejak tahun 1955 hingga 2014.
Pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil
dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum,
bebas dan rahasia. Kemudian setelah sukses bangsa Indonesia menyelenggarakan
Pemilu 2014 secara langsung, maka disusul dengan pemilihan di tingkat lokal, yakni
pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung
Pemilihan umum hampir-hampir tidak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran
partai-partai politik ditengah masyarakat. Keberadaan partai juga merupakan salah
satu wujud nyata pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai-partai
politik itulah segala aspirasi rakyat yang kedaulatan berada di tangan rakyat, maka
kekuasaan harus dibangun dari bawah.
Konsekuensinya, kepada rakyat harus diberikan kebebasan untuk mendirikan
partai-partai politik. Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dalam UU”. Maksudnya, disana dinyatakan bahwa Pasal 28
ini serta pasal-pasal lain yang mengenai penduduk dan warga negara hasrat Bangsa
Indonesia untuk membangun negara yang bersifat ber-prikemanusiaan.
5
Jadi yang diperlukan untuk memerinci ketentuan Pasal 28 ini adalah sebuah
Undang-undang yang mengatur tentang “Kebebasan Berserikat” warga negaranya.
Bukan sebuah Undang-undang yang justru akan membatasi warga negaranya untuk
menyampaikan aspirasi suaranya.
Memang, kebebasan mendirikan partai tanpa batas dapat menimbulkan
banyak berbagai persoalan yang justru merugikan perkembangan demokrasi. Kalau
memang jumlah partai harus dibatasi, maka persoalannya kemudian ialah bagaimana
caranya agar patai-partai itu dapat memainkan perannya secara wajar dan optimal,
baik sebagai wahana penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai sarana membangun
pemerintahan secara demokrasi dari bawah, yang mampu menunjukkan bahwa
negara memang menganut asas kedaulatan rakyat.
Apa yang berlaku selama hampir 3 (tiga) Dasawarsa terakhir ini
menunjukkan sebuah gejala lemahnya posisi partai dalam memainkan peranan
politiknya sebagai wahana pencerminan asas kedaulatan rakyat serta wahana
pencerdasan rakyat akan sebuah pendidikan politik yang ada di negeri ini.
Apabila kita lihat dari sudut pandang Ilmu Politik, hal ini nampaknya
disebabkan oleh menguatnya peranan birokrasi dalam penyelenggaraan negara,
ditambah dengan dikembangkannya sistem politik yang cenderung ke arah
monolitik. Ada satu sisi segi positif kecenderungan ini, yaitu terpeliharanya stabilitas
politik negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama
dibidang ekonomi yang sangat berpengaruh dari stabilitasan politik dalam negeri.
Namun ada pula sisi negatifnya yakni kurang terserapnya aspirasi dan
partisipasi rakyat secara menyeluruh dari lapisan bawah. Salah satu dampaknya ialah
kecenderungan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi di dalam
masyarakat, terutama masyarakat kecil yang selalu terpuruk dalam keadaan ekonomi
yang tidak menentu. Dan hal ini terlihat saat pemerintah yang menaikkan beban
ekonomi pada masyarakat secara umum, yang mengakibatkan sebuah problema yang
mempengaruhi tata kehidupan ekonomi masyarakat.
Sebagai contoh yang ada pada saat sekarang yaitu, Pemerintah yang
menaikkan harga BBM yang alasan Pemerintah bahwa hal ini disebabkan akan
naiknya harga Minyak Dunia, akan tetapi dengan adanya kompensasi bahwa rakyat
kecil dan miskin akan mendapat bantuan berupa BLT yang dibagikan seharga Rp.
6
400.000,- per kepala keluarga se-Indonesia. Akan tetapi pada kenyataan bahwa data
yang digunakan adalah data lama (2005) yang banyak data yang sewaktu dilihat pada
kenyataannya yaitu banyak rakyat Indonesia yang bertambah miskin sejak tahun
2005 sampai tahun 2008. Serta juga dalam hal pembagian juga banyak sekali
ketimpangan yang terjadi, antara lain adanya rakyat yang miskin yang tidak
mendapat BLT serta juga ada rakyat yang mampu perekonomiannya yang
mendapatkan BLT.
Lemahnya peranan dari partai politik yang terjadi ditengah masyarakat
dengan sendirinya mengurangi makna asas kedaulatan rakyat yang kita anut, serta
juga banyak rakyat yang tidak percaya akan peranan partai politik akan mau
memperjuangkan aspirasi rakyat secara umum yang menjerit akan himpinan hidup
yang diciptakan oleh pemerintahan yang kurang bisa menangani akan tata
pemerintahan dalam hal ekonomi.
Lemahnya posisi partai politik juga turut serta mengambil keputusan-
keputusan politik yang ada di dewan pemerintahan, karena dominan peranan sebuah
birokrasi politik yang membawa dampak kurang bermaknanya arti sebuah pemilihan
umum yang ada di negeri ini.
Pemilihan umum yang berlangsung cenderung tidak membawa perubahan
yang berarti, baik dalam proses peralihan maupun dalam upaya peningkatan aspirasi
rakyat dari bawah dan juga perbaikan ekonomi yang di inginkan oleh rakyat secara
umum.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa pemilihan umum yang selama ini
dilaksanakan selama sama sekali tidak mempunyai makna yang berarti. Keberhasilan
pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pemilihan umum secara yang secara
rutin sekali dalam 5 tahun tentu mempunyai arti tersendiri dalam proses
pembangunan demokrasi yang ada di Indonesia ini, walaupun banyak cacat yang
terjadi disana-sini tetapi hal yang patut di perhatikan bahwa pemerintahan Orde Baru
mampu melaksanakan pemilu secara berkala.
Tetapi, walau bagaimanapun dari waktu ke waktu diperlukan perbaikan-
perbaikan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Ini terutama menyangkut
pembenahan kehidupan kepartaian yang ada di negara kita dan berbagai aspek
mengenai penyelenggaraan pemilihan umum, baik dari segi pengaturan,
7
penyelenggaraan maupun sistemnya serta penyidikan akan pelanggaran dari para
peserta pemilu serta juga dari Jurkam maupun Timsesnya.
Adapun dalam masalah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang sesuai
dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 yang mengatur akan tata Pemerintahan Daerah (PEMDA) dalam
mengatur pemerintahan sendiri terutama dalam hal Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada UUD
1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu bahwa Pemilihan
legislative, Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta
para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang
berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Jimlie Ashshiqie,
2006, hal:792).
Sedangkan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertempat tugas di daerah Tingkat I
(Provinsi), daerah Tingkat II (Kabupaten), dan Kota. Komisi ini melaksanakan
tugasnya sebagai badan pelaksana pemerintah yang mengurusi akan masalah
Pemilihan Kepala Daerah yang ada di daerah tanggung jawabnya.
Adapun tugas dari KPUD bukan hanya saja memilih Gubernur, Bupati,
maupun Walikota akan tetapi DPRD juga turut serta dalam wewenang tanggung
jawab dari KPUD dalam memilih anggota legislatif yang ada di daerah. Akan tetapi
fokus dalam masalah yang berkembang dalam wacana publik yang ada yaitu banyak
masyarakat daerah tersebut atau masyarakat umum se-Indonesia yang membicarakan
masalah pemilihan kepala daerah yang berstatus Gubernur, Walikota, maupun
Bupati.
Sedangkan pengertian dari Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lalu yang ada dalam pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
(Undang-undang No. 32 Tahun 2008, Pasal 1 Ayat 2 dan 3)
8
Berdasarkan penjelasan diatas kami mencoba untuk membandingkan bagaimana
pengaruh Politik Uang terhadap partisipasi dan preferensi Politik masyarakat Kota
Kotamobagu (Study kasus Pilwako 2013, Pileg dan Pilpres 2014)
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan Walikota
Kota Kotamobagu tahun 2013 dan Legislative tahun 2014 hubunganya
dengan politik uang dan kekerabatan ?
2. Apakah demokrasi menjadi kunci terjawabnya partisipasi politik dalam
pemilihan eksekutif maupun legislative?
3. Apakah Money Politics mempengaruhi preferensi politik masyarakat dalam
pemilihan eksekutiv maupun legislative di Kota Kotamobagu?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan
pemilu eksekutive dan legislative di Kota Kotamobagu.
2. Untuk mengetahui apakah benar demokrasi menjadi kunci terjawabnya
partisipasi politik dalam pemilihan umum.
3. Untuk mengetahui pengaruh Money Politics terhadap preferensi politik
masyarakat dalam pemilu eksekutive dan legislative.
9
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Partisipasi Politik Secara Umum/Nasional
Sebelum kita membahas akan bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses
pemilhan kepala daerah maupun adanya indikasi akan permainan Money Politics
dalam acara pesta demokrasi daerah. Maka penulis akan membahas mengenai arti
dari permasalahan awal dalam makalah ini yaitu arti kata politik yang berasal dari
bahasa yunani yaitu Polis yang artinya kota (Pusat Pengaturan Rakyat). Jadi, yang
dimaksud dengan Politik adalah pengetahuan tentang seluk beluk ketatanegaraan
baik dari aspek kekuasaan, pemerintahan dan pengaturan dalam suatu negara.
Pengertian PILKADA ialah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau
Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta
para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang
berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah Secara Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di seluruh
Indonesia.
Namun, ada gejala mencolok yang cukup mengkhawatirkan yang terjadi
dalam masyarakat. Antusiasime publik dan tingkat partisipasi masyarakat luas dalam
pilkada itu cukup rendah. Ukuran paling mencolok dari rendahnya keterlibatan
publik itu adalah rendahnya tingkat Voter Turnout (partisipasi pemilih yang
mencoblos di TPS pada hari pemilihan). Di banyak daerah di Indonesia, hanya 70
persen pemilih yang terdaftar yang datang ke tempat pemungutan suara. Di beberapa
tempat, bahkan hanya sekitar 50 persen dari pemilih yang ikut mencoblos.
Persentase Voter Turnout itu jelas sekali di bawah rata-rata Pemilu Nasional
di Indonesia. Sejak Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi, rata-rata Voter
Turnout itu sekitar 90 persen. Secara hukum, rendahnya tingkat partisipasi publik itu
tidak membatalkan pemilu. Sejak awal negara kita menganut asas suka-rela dalam
partisipasi politik di dalam pelaksanaan pemilu. Para pemilih boleh mendaftarkan
diri sebagai pemilih, boleh juga tidak. Bahkan pemilih yang sudah memiliki kartu
10
pemilih boleh datang ke tempat pemilihan, boleh juga tidak. Partisipasi politik itu
dianggap menjadi hak warga negara bukan kewajiban dari warga negara.
Tabel 2:1:
Perbandingan Tingkat Partisipiasi Masyarakat Kota Kotamobagu
Dalam Pilwako, Pileg dan Pilpres
Kegiatan
Politik
Waktu
Pelaksanaan
Jumlah
DPT
Pengguna
Hak Pilih
Prosentase
Pemilih
Pilwako Juni 2013 86.904 71.027 81,73%
Pileg April 2014 90.658 70.278 79,28%
Pilpres Juli 2014 89.389 58.891 67,26%
Sumber Data: KPUD Kota Kotamobagu
Sebagai contoh perbandingan yang terjadi di Amerika Serikat, yang menjadi
salah satu model demokrasi dunia, Voter Turnout itu juga cukup rendah. Bahkan
dalam pemilu nasional yang memilih Presiden, persentase Voter Turnout itu sekitar
50 persen - 60 persen saja. Namun demokrasi terus berjalan. Pemimpin yang terpilih
juga memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat.
Tetapi, bagi negara demokrasi yang baru dan juga baru dalam menjalankan
demokrasi di negaranya mapun negara yang baru berdiri, rendahnya Voter Turnout
cukup mengkhawatirkan, yang sangat berbeda dengan yang terjadi di Amerika
Serikat. Di negara itu, walau publik tidak datang ke tempat pemungutan suara, terasa
tidak banyak perbedaan yang dianut para kandidat. Ibarat hanya memilih antara Coca
Cola dan Pepsi Cola. Siapa pun yang terpilih, sistem politik di sana sudah berjalan,
yang Prodemokrasi, Propasar Bebas, dan Prokebebasan Individu. Rendahnya Voter
Turnout di sana tak berkaitan dengan Distrust atau ketidak percayaan masyarakat
kepada demokrasi.
Di Indonesia, kita khawatir jika rendahnya Voter Turnout itu akan menjadi
awal dari mosi tak percaya kepada demokrasi. Mereka menikmati kebebasan politik
yang dibawa oleh demokrasi. Namun, gunjang-ganjing demokrasi itu belum mereka
rasakan dalam memperbaiki kehidupan ekonomi konkret mereka sehari-hari. Bahkan
untuk banyak kasus, mereka justru merasa lebih sengsara. Jika ini yang menjadi
11
pangkalnya, rendahnya Voter Turnout dalam pilkada menjadi sinyal lampu kuning
bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Sistem demokrasi tak pernah menjadi kokoh tanpa kepercayaan publik atas
keefektifannya. Konsekuensi rendahnya Voter Turnout dalam Pilkada dapat
menyebabkan terpilihnya kepala daerah yang berbeda. Untuk suatu daerah yang
sangat kompetitif, acap kali jarak kemenangan satu kandidat atas kandidat lainnya di
bawah 20 persen.
Dalam sistem multipartai dan acap kali jumlah kandidat yang ikut serta lebih
dari dua, cukup normal jika selisih persentase dukungan atas kandidat pemenang dan
saingan terdekatnya di bawah 20 persen. Hanya dalam kasus khusus saja selisih itu di
atas 20 persen. Namun, apa yang terjadi jika pemilih yang datang ke tempat
pemungutan suara di bawah 70 persen, apalagi di bawah 50 persen? Itu berarti
sejumlah 30 persen-50 persen pemilih tidak mencoblos.
Jika mayoritas yang tidak mencoblos itu adalah pendukung kandidat tertentu
yang paling kuat, niscaya pemenang pemilu berubah. Tokoh tertentu dikalahkan
dalam pemilih langsung bukan karena ia kalah populer, tetapi semata karena
mayoritas pendukungnya tidak datang ke tempat pencoblosan.
Para ahli strategi politik di belakang kandidat di Amerika Serikat sangat sadar
akan situasi itu. Mobilisasi pendukung untuk datang ke tempat pemungutan suara
dijadikan bagian sentral pemenangan kandidat. Penyebab rendahnya Voter Turnout
dalam pilkada di Indonesia memang dapat disebabkan banyak hal, mulai dari yang
paling teknis sampai kepada yang sangat politis.
Yang paling teknis, itu disebabkan oleh persoalan logistik belaka.
Keterlambatan turunnya dana ke KPUD dapat menyebabkan tidak sempurnanya
semua tahapan pemilu. (Denny JA, 01/05/2006) KPUD terlambat dalam mendata
pemilih. Akibatnya, terlambat pula dalam sosialisasi dan menyiapkan kartu pemilih.
Jumlah pemilih yang memenuhi syarat administratif untuk mencoblos menjadi jauh
lebih rendah daripada jumlah pemilih yang sebenarnya. Pemilih yang sah tetapi tidak
lengkap syarat administrasinya tentu tidak memenuhi syarat untuk ikut mencoblos.
Jika itu alasannya, rendahnya Voter Turnout itu tak ada kaitan sama sekali
dengan trust atau distrust atas demokrasi di Indonesia. Namun, jangan pula
dikesampingkan alasan yang lebih politis. Selalu terbuka kemungkinan pemilih
12
kehilangan antusiasme. Mereka sudah mengalami euforia reformasi sejak 1998.
Sudah tujuh belas tahun usia reformasi. Namun, apa yang mereka rasakan dalam
kehidupan ekonomi konkret mereka sendiri? Tingginya angka pengangguran, harga
kebutuhan pokok yang terus meninggi, kelangkaan BBM, listrik yang semakin sering
mati, tingginya perpecahan partai politik, hilangnya keteladanan pemimpin, tentu
juga menjadi memori kolektif mereka.
Dalam berbagai survei juga terekam bahwa kekecewaan publik atas reformasi
meningkat. Kekecewaan itu dapat saja diekspresikan melalui absen dalam pemilu.
Rendahnya voter turnout dalam pilkada selalu mungkin menjadi puncak gunung es
atas apatisme publik terhadap demokrasi. Rendahnya voter turnout itu dapat pula
menjadi cermin distrust atau ketidakpercayaan atas komitmen maupun kapabilitas
pemimpin yang dipilih secara demokratis.
Kita harap bukan alasan politis itu yang menjadi sebab rendahnya voter
turnout dalam Pilkada. Harapan kita itu dilandasi oleh keyakinan bahwa jika
demokrasi tidak kokoh, bangsa kita akan jauh lebih terpuruk (Denny JA,
01/05/2006).
Pemilihan Kepala Daerah Langsung merupakan mekanisme politik yang
secara langsung melibatkan masyarakat. Berbeda sebelumnya, dimana pemimpin
daerah hanya bisa diputuskan dan dipilih oleh legislatif. Pilkada membuka peluang
selebarnya bagi siapapun menentukan pemimpinnya. Dalam konteks Pilkada,
masyarakat tidak lagi sekedar menjadi sebagai obyek politik, akan tetapi melainkan
sebagai subyek
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang merupakan wujud
kedaulatan masyarakat lokal dalam membentuk sejarah politik yang dapat mengubah
paradigma berfikir terhadap demokrasi pada masyarakat lokal. Sebagai bentuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat sebagai bagian dari proses politik, dan ada
yang mengatakan bahwa pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS)
adalah bentuk partisipasi politik yang paling minimal.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai bentuk partisipasi
yang kecil bagi terciptanya budaya politik rakyat lokal menjadi jalan pembuka untuk
menuju jalan kearah partisipasi politik yang lebih jauh.
13
Ada beberapa partisipasi politik yang lebih besar, antara lain menciptakan
perdamaian dan ketertiban, pencerahan kepada masyarakat luas berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dalam bentuk diskusi-diskusi, maupun seminar-seminar,
membayar pajak, mencerdaskan anak bangsa melalui pendidikan formal dan
informal, memberikan kontribusi dalam bentuk penyampaian ide-ide, pemikiran-
pemikiran tentang ideology nasional, memelihara hasil pembangunan dan bela
negara.
Partisipasi menjadi kunci terjawabnya demokrasi dapat dibuktikan hampir
semua kegiatan membutuhkan partisipasi, kalau kita setuju bahwa demokrasi tanpa
partisipasi adalah manipulasi terhadap demokrasi, hal ini pernah terjadi pada masa
Indonesia menerapkan pemerintah gaya orde baru, karena dengan partisipasi akan
terbentuk demokrasi, dapat ditarik suatu kongklusi, bahwa antara demokrasi dan
partisipasi merupakan dua dasar dengan nilai intitas yang sama, konsep demokrasi
tumbuh melalui partisipasi, asumsi dasar kita bahwa demokrasi berasal dari
partisipasi.
Menurut Peter L. Berger dalam bukunya Pyramids Of Sacrifice ; Political
Etnics and social change menyatakan, bahwa partisipasi merupakan salah satu aspek
penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi dan partisipasi orang yang
paling mengerti tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri.
Untuk mewujudkan demokrasi melalui partisipasi ada beberapa acuan yang
dapat dijadikan sebagai garis demokrasi partisipasi politik, menurut Ramlan Surbakti
“Rambu-Rambu” partisipasi politik sebagai berikut ;
1. Partisipasi politik yang dimaksud berupa kegiatan atau perilaku luar individu
warga negara biasa yang dapat di amati, bukan perilaku dalamnya berupa sikap
dan orientasi. Hal ini perlu di tegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak
selalu termanivestasikan dalam perilakunya.
2. Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik. Termasuk kedalam pengertian ini, seperti kegiatan
mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana
keputusan politik dan kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik
yang dibuat pemerintah.
14
3. Kegiatan yang berhasil guna (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi
pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
4. Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung. Kegiatan yang langsung berarti individu mempengaruhi
pemerintah tanpa menggunakan perantara, sedangkan secara tidak langsung
berarti mempengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang dianggap dapat
menyakinkan pemerintah. Keduanya termasuk dalam kategori partisipasi politik.
5. Kegiatan mempengaruhi dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar dan tidak
berupa kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilihan umum, mengajukan
petisi, melakukan kontak tatap muka dan menulis surat, maupun dengan cara-
cara diluar prosedur yang wajar dan bukan berupa kekerasan seperti demonstrasi
(unjuk rasa), huru-hura, mogok kerja maupun mogok makan, pembangkangan
sipil, serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan politik seperti kudeta dan
revolusi.
Di Indonesia banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sudah
melakukan partisipasi politik melalui penyelenggaraan pendidikan formal dengan
kegiatan kejar paket A, B dan C, serta mengawal proses demokrasi yang sedang
berjalan di negeri ini. Perlu di sadari, ketidak pahaman dari berbagai elemen
bangsa berkaitan dengan partisipasi politik selalu hanya dibatasi oleh Pemilu dan
Pilkada, terhadap kita tidak jarang melalui kontrol terhadap penyelenggaraan
negara, baik itu ditingkat lokal maupun nasional, sebagai contoh konkret
berkaitan dengan masalah penyakit Flu Burung sudah menyebar dengan banyak
memakan korban semakin bertambah, busung lapar, dan kemiskinan yang
melanda rakyat Indonesia hingga tidak pernah dikeluarkan kebijakan politik
untuk menyelesaikannya permasalahan tersebut, masalah ketenagakerjaan dan
masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam membuat formulasi
kebijakan politik dan pemerintah pusat dan daerah.
Partisipasi menurut Oxpord Learner’s Pocket Dictionary yang terbitkan
oleh Oxpord University Press, Parcipate In Take Part Or Become Involved In
Activity, karena itu dalam partisipasi ada yang mengambil bagian atau menjadi
keseluruhan dan sebuah kegiatan berbentuk kerja sama.
15
Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara bisa dalam
menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Karena itu partisipasi politik dapat diwujudkan keikutsertaan rakyat dalam
kegiatan politik, pengertian kegiatan politik tidak tertitik pada fokus memperoleh
dan mempertahankan kekuasaan, akan tetapi lebih luas berkaitan dengan
kesejahteraan dan kebaikan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara,
termasuk sebagai warga negara yang taat hukum positif.
Di dalam perkembangan demokrasi di Indonesia termasuk
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di daerah
menjadi ajang legitimasi kekuasaan bagi setiap kepala daerah dan wakil kepala
daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota ) untuk siap di kontrol dalam pengambilan kebijakan yang
dibuat oleh kepala daerah. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan sudah
menyerahkan sebagian kedaualatannya untuk di kuasai oleh pemerintah, dan oleh
sebab itu kecerdasan rakyat untuk memilih personal yang akan memerintah
menjadi sangat menentukan masa depan daerahnya.
Adapun pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warga negara
preman (Private Citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah. Namun demikian didapati tingkatan hierarki partisipasi politik
yang berbeda dari suatu system politik dengan yang lain, tetapi partisipasi pada
suatu tingkatan hierarki, tidak merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu
tingkatan yang lebih tinggi.
Di era demokrasi yang sedang berlangsung di negeri ini akan dianggap
sebagai ancaman bagi eksistensi suatu pemerintahan yang sedang berjalan, akan
tetapi beberapa fungsi dari suatu negara demokrasi sudah memasuki tahap input
bagi sistem politik. Dalam sistem politik seperti ini input merupakan bagian
output dari proses sistem politik sedang berjalan menuju suatu jawaban terhadap
berbagai tuntunan dan dukungan dalam stabilitas politik.
Menurut Grabiel A Almond dalam bukunya yang berjudul The Politics
Of The Developing Areas menyatakan bahwa fungsi-fungsi input dan output
dapat di kelompokkan sebagai berikut :
16
A. Fungsi-fungsi input terdiri atas:
1. Sosialisasi politik dan rekrutmen.
2. Artikulasi kepentingan.
3. Agregasi kepentingan.
4. Komunikasi politik
B. Fungsi-fungsi output terdiri atas:
1. Pembuatan peraturan.
2. Penerapan peraturan.
3. Ajudikasi peraturan.
Perlu diketahui bahwa seluruh aktivitas dalam sistem politik seperti input
dan output yang tujuan akhirnya tetap dibebankan kepada rakyat atau masyarakat
yang menjadi objek dan subjek politik. Karena itu aktivitas politik tersebut harus
di dukung oleh partisipasi politik yang tinggi, demi terwujudnya Check and
Balances dari outputnya yang dihasilkan berupa peraturan sebagai sebuah produk
politik. Tidak hanya melegalkan posisi terisinya lembaga-lembaga eksekutif dan
legislatif dalam kancah pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara
langsung.
Partisipasi politik menjadi sangat menarik dibicarakan dalam suatu negara
yang baru masuk dalam suatu babak demokrasi baru, dengan perbadaan-
perbedaan demokrasi pada masa lalu seperti dalam konteks Indonesia. Tetapi
terkadang sulit untuk mengobservasi tingkat partisipasi politik masyarakat dalam
menentukan sikap, tidak heran apa yang dikatakan oleh Michel Rush dan Phillip
Althoff ada sedikit kesulitan dalam menyajikan berbagai bentuk partisipasi
politik terlepas dari tipe sistem politik yang bersangkutan, yaitu: segera muncul
dalam ingatan peranan para politis profesional pada para pemberi suara, aktivitas-
aktivitas partai, dan para demonstran.
Menurut Michel Rush dan Phillip Althoff mereka memberikan definisi
tentang partisipasi politik yaitu menurutnya partisipasi politik adalah keterlibatan
individu sampai pada bemacam-bermacam tingkatan di dalam sistem politik.
Aktivitas politik itu bisa bergerak dari keterlibatan sampai dengan aktivitas
jabatannya.
17
Oleh karena itu partisipasi politik berbeda-beda pada satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi dalam masyarakat-masyarakat
khusus. Perlu ditekankan bahwa partisipasi itu juga menumbuhkan motivasi
untuk meningkatkan partisipasinya, termasuk di dalamnya tingkatan paling atas
dari partisipasi dalam bentuk pengadaan bermacam-bermacam tipe jabatan dan
tercakup didalamnya proses rekrutmen politik.
Lalu dalam bahasan selanjutnya dalam pemilihan kepala daerah maupun
pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money
Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang berlangsung di
negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan
Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik.
Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh
satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi
politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap
warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (OPOVOV: satu orang,
satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik
diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang
diterima oleh aktor politik tertentu (Praktino, Jurnal Tarjih, hal:30).
Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk
mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak
di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya di ketahui
oleh para calon atau orang-orang yang berada pada “Ring Dalam” para calon
saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli suara juga berbeda antara
satu daerah dengan daerah lainnya.
Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat
ekonomi masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju
mungkin harga satu suara berkisar antara Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu saja.
Namun, untuk daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi
di duga satu suara sangat variatif berkiasar antara Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta.
Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan
harus dikeluarkan. Dalam permainan politik uang (Money Politics), seorang
18
calon kepala daerah berserta tim suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar
kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakuakan oleh para calon agar
uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat sasarannya.
Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran
berakibat uang hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi
jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada
pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada
kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang
apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari
kelompok yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akan
pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan
kepala daerah.
Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan
berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang adanya bukti praktek uang (Money
Politics) tersebut guna mereka untuk mencari keuntungan bagi pihak-pihak
kandidat yang kalah dalam acara pesta demokrasi tersebut. Maka dapat dijadikan
bahan untuk membatalkan pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah peraturan
pemerintah Nomor 151 tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus
menghadapi masa uji publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata
paling ampuh untuk menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat
bukti adanya praktek politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang
(Money Politics) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.
Di samping mempelajari secara hati-hati dan seksama, calon kepala daerah
tidak pula sembarangan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas guna
dalam memperoleh suara dalam pemilihan nanti. Dalam praktek politik uang
(Money Politics) dikenal beberapa tahapan dana yang dibutuhkan, dimulai dari
proses uang perkenalan, uang pangkal, uang untuk fraksi hingga uang yang
ditujukan untuk membeli suara orang per orang pemilih.
Pada proses pemilihan, masing-masin bakal calon melakukan pendekatan
kepada para anggota dewan, guna mencari dukungan bagi mereka untuk
mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (PILKADA). Bagi mereka
yang terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics) mereka juga
19
menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon yang
“paham betul” dengan situasi lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi
masa perkenalan telah menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi
istilah uang pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah
besar untuk suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan merupakan
suatu hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu besar resikonya.
Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi
kesepakatan untuk memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana
yang disepakati dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal
disertai janji apabila kelak terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.
Memang pola menggunakan uang pangkal ini juga riskan apabila ditinjau
dari sisi kepastian bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada “si pemberi
uang pangkal”. Dalam salah satu kasus yang penulis ketahui dilapangan, uang
pangkal diberikan sejumlah Rp 50 ribu disertai dengan janji akan diberikan
sekitar Rp 100 ribu lagi apabila kelak terpilih. Oleh warga pemilih bersangkutan
ternyata uang pangkal ini dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain
memberikan dana secara kontan tiga kali lebih besar daripada dana yang
dijanjikan oleh “si pemberi uang pangkal pertama” berjumlah Rp 50 ribu
terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang diberikan oleh salah seorang calon
kepala daerah ini hilang percuma karena dana yang lebih besar bukan hanya
dijanjikan tetapi dibayar lunas dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah
yang lain.
Dalam pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak
sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL
(Jujur dan Adil).
Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai asas ini pada awal
akan dimasukkan asas ini dalam asas Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia,
antara lain:
1. Perlunya atau tidak asas jurdil ini dimasukan dalam perundang-undangan
sebagai asas resmi disamping asas LUBER.
2. Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan bahwa asas jurdil ini
merupakan sesuatu yang benar-benar diterapkan.
20
Melihat pengertian asas Jurdil ini disatu pihak dan asas Luber pihak lain,
keduanya memiliki pengertian yang berbeda, namun sangat erat kaitannya.
Dalam pembahasan ini maka sewajarnyalah sebuah Pemilu harus menggunakan
asas LUBER dan JURDIL, guna terciptanya sebuah demokrasi serta pesta
demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan juga sesuai
dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari
praktek KKN.
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini
(LUBER dan JURDIL) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada dasarnya
Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak akan pernah hilang dalam
proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus menerus terjadi dan dilakukan
oleh para calon dan Jurkam serta Timses masing-masing calon dalam pilkada dan
pemilu guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk
memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan
PEMILU (Pemilihan Umum). Walaupun adanya partai politik yang berasaskan
Islam akan tetapi praktek Money Politics ini tetap ada walau dikemas dalam
agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik yang memang
benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics). Serta
merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi
demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics kedaulatan
bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan “uang”.
Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah “pemilik uang”, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas.
Di tengah gelombang demokratisasi yang gencar belakangan ini,
maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya penetrasi politik melalui
uang (Pratikno, 15 September 2003). Maka dengan demikian, Pilkada dengan
sistem Money Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam
praktek politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang hari
pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada
masyarakat pemilih.
Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui
perantara orang ketiga. Pada saat inilah transaksi dilakukan baik dengan
21
memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji atau pemberian atas
pemberian cheque.
Ada hal yang menarik bahwa umumnya masyarakat lebih menginginkan
uang kontan dari pada cheque apalagi janji. Akibatnya, jangan heran kalau uang
kontan berdampak lebih ampuh dibandingkan dengan penggunaan selembar
cheque atau janji manis. Karena itu harga suara itu sangat mahal apabila seorang
bakal calon kepala daerah berasal dari anggota TNI/ POLRI artinya, hal ini dapat
disebabkan karena ada anggapan bahwa calon dari institusi yang tadinya adalah
sebuah fraksi di DPR ini dianggap memiliki jaringan bisnis dan rantai komando
yang lebih jelas.
Padahal, tidak ada lagi perintah komando untuk memilih atau tidak
memilih salah satu bakal calon, seperti masa orde baru. Akibatnya, calon pembeli
suara dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi inilah dibutuhkan dana yang
cukup besar. Biasanya strategi yang dilakukan dengan mendapatkan informasi
berupa dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah
mengetahui harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya “Serangan Fajar” bagi
para bakal calon kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih, adapun
masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam masa inilah
masing-masing calon saling melakukan pengintaian guna semaksimal mungkin
dan seakurat mungkin mendapatkan informasi tentang berapa besar dan yang
beredar bagi satu suara pemilih. Informasi ini menjadi sangat penting karena
pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut.
Namun, dalam praktek juga terjadi Serangan Fajar yang dimaksud sebenarnya
adalah dengan Serangan Fajar ialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan),
kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan informasi paling
mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih yang akan
melakukan pencoblosan pada pagi harinya pemilih mana saja yang kemungkinan
masih dapat digarap untuk dimintai suaranya dalam pemungutan suara dan masa
uji publik serta masa pelantikan kepala daerah.
Ada beberapa kategori mereka yang dapat digarap yaitu sebagai berikut :
Pertama, pemilih yang selama ini dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal
22
sesuai harga. Kedua, pemilih yang masih dihadapkan pada keraguan antara misi
partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar. Namun hal yang inti dari
Money Politics adalah bagaimana strategi pemberian uang ini. Bukankah
tindakan menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hukum, oleh
karena itu proses “penyampaian uang” harus dilakukan secara rapi dan sistematis.
Namun, yang pasti bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan,
tidak melalui transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu
dengan cara mendatangi secara langsung rumah pemilih untuk memberikan uang
tersebut.
Hal ini dilakukan untuk semaksimal mungkin menghilangkan jejak.
Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa perbankan tentu terdapat bukti
setoran yang akan didapatkan di samping memang transaksi perbankan mudah
dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat
yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang
dilakukan oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau
pemilihan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan sebuah
kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik uang (Money
Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut.
Selain itu ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para
kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan
melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis,
dan seterusnya.
Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian uang dari kandidat kepada
anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money Politics). Macam-macam
itu adalah sebagai berikut:
1. Sistem ijon
2. Melalui tim sukses calon
3. Melalui orang terdekat
4. Pemberian langsung oleh kandidat
5. Dalam bentuk cheque
23
Akan tetapi tidak banyak juga Money Politics ini yang tidak berhasil pada
akhirnya dalam masalah pembelian suara pemilih. Ada bebarapa faktor yang
membuat hal ini terjadi, yaitu:
1. Adanya hubungan keluarga dan persahabatan
2. Bakal calon bersikap ragu-ragu
3. Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri
4. Adanya anggota yang dianggap opportunis
Selain dari pembahasan tersebut maka ada pula peraturan yang baku
mengenai politik uang (Money Politics) ini, yaitu dilarangnya akan bagi para
calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala
daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang pesta demokrasi yang
berlangsung. Peraturan tersebut antara lain:
1. BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10
2. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA
PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1
sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai
Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
3. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU
Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.
4. Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah
(yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal
30 Ayat 1 sampai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai
Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal
35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5.
Dari pembahasan data dan aturan yang membahas mengenai pelanggaran
pemilu secara umum maupun pemilihan umum kepala daerah (PILKADA), maka
selanjutnya sanksi pidana atau sanksi administrative yang akan diberikan oleh
KPUD yang dalam hal ini pelanggaran tersebut di laporkan oleh PANWASLU
dan di sampaikan pada Pengadilan Negeri yang akan menyidangkan kasus
pelanggaran PILKADA yang dilaporkan.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini menghasilkan data yang tertulis maupun lisan dari orang-orang yang
diamati (Bagong dan Sutinah, 2006:166). Menurut Denzin dan Linclon
(dalam Moleong, 2006:51) menyatakan bahwa jenis penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena
yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian eksploratif kualitatif. Jenis penelitian
ini bertujuan untuk menggali secara luas tentang sebab-musabab atau hal-hal yang
mempengaruhi sesuatu yang sama sekali baru, ditandai dengan masih sedikitnya
tulisan yang dihasilkan mengenai topik ini. Fenomena yang diteliti
dalam penelitian ini adalah pengaruh Politik Uang Dan Kekerabatan Terhadap
Partisipasi dan Preferensi Politik Masyarakat Kota Kotamobagu (Study Kasus
Pilwako 2013, Kota Kotamobagu.
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kota Kotamobagu dimana diadakannya
pelaksanaan Pilwako tahun 2013 dan pelaksanaan Pileg dan Pilpres tahun 2014.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Pertama, wawancara yaitu tatap muka secara langsung dengan masyarakat
yang memiliki keterlibatan (hak pilih) dalam pelaksanaan Pilwako, Pileg dan Pilpres.
Kedua, studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
membaca literature yang berhubungan dengan topik yang dibahas, dalam penelitian
ini yang bertujuan untuk mencari referensi teori yang relevan dengan kasus atau
permasalahan yang ditemukan, berasal dari buku dan sumber-sumber lainnya seperti
surat kabar, internet dan lain-lain.
Ketiga, studi dokumentasi yaitu salah satu teknik pengumpulan data dengan
memperoleh informasi yang berkaitan dengan kebijakan yang ada seperti undang-
undang, peraturan, dokumen resmi.
25
Keempat, observasi yaitu teknik pengumpulan data dilakukan dengan
mengadakan pengamatan langsung di lapangan dengan maksud untuk menunjang
pemahaman penelitian mengenai kondisi lapangan.
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Kotamobagu, dengan alasan sebagai berikut:
1. Berdasarkan pengamatan sementara peneliti, didaerah tersebut sering
terdapat praktek money politik atau pemberian uang ke warga-warga sekitar
lokasi penelitian setiap mendekati pemilu.
2. Adanya relevansi masalah yang akan diteliti di daerah tersebut
3. Lokasi relatif dekat dengan domisili peneliti, sehingga mudah dijangkau dan
bisa lebih efisien (waktu dan biaya).
3.2 Subjek / Objek dan Informan Penelitian
a. Subjek / objek penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat dan orang-orang yang terlibat
dalam politic money. Sedangkan objeknya yaitu uang yang diterima oleh
masyarakat dari para calon kepala deaerah yang akan bertarung dalam
pemilu.
b. Informan penelitian
Adapun informan dalam penelitian ini yaitu masyarakat Kota Kotamobagu
3.3 Tehnik Penentuan Informan
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh masyarakat yang
ada di Kota Kotamobagu. Namun, tidak semua populasi akan dijadikan sampel untuk
menggali data. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut dilakukan, diantaranya:
1. Pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sequential
yang mana informan yang dipilih tidak ditentukan batasannya, jumlahnya terus
26
bertambah sampai peneliti menilai data yang dikumpulkan dari sejumlah
informan telah cukup dan telah mencapai titik jenuh, sudah tidak ada hal baru
lagi yang akan dikembangkan.
2. Penelitian ini mengkhususkan pada beberapa karakteristik
informan/narasumbernya yakni individu yang pernah mendapat atau
berpartisipasi langsung dalam kegiatan money politik tersebut.
3. Jumlah dari informan juga dibatasi sebanyak 10 orang. Hal ini sesuai dengan
teori yang disampaikan oleh beberapa tokoh penelitian komunikasi bahwa
informan dalam sebuah penelitian berjenis kualitatif adalah 10 sampai 15 orang
saja.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam suatu penelitian ditentukan jenis
penelitiannya. Dalam penelitian ini kami melakukan penelitian dengan: observasi,
dan wawancara secara langsung.
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam (teknik
pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu
tujuan tertentu) dengan informan untuk menggali informasi-informasi penting dan
tajam seputar tema penelitian yang dipandu dengan sebuah guide interview sebagai
bahan dasar wawancara, akan tetapi dalam aktualisasinya dapat berkembang sejalan
dengan wawancara yang berlangsung. Karena salah satu keuntungan dalam
wawancara medalam adalah kita lebih mudah merekam hasil wawancara sehingga
memudahkan kita menganalisisnya, sekaligus dalam wawancara mendalam kita
dapat melakukan observasi langsung sebagai pembantu dan pelengkap pengumpulan
data.
27
3.5 Sumber dan Jenis Data
3.5.1 Sumber data
a. Data primer
Data yang diperoleh secara langsung dari responden/informan yang diteliti
dengan melakukan observasi dan wawancara secara langsung.
b. Data sekunder
Data yang diperoleh melalui observasi dan studi keperpustakaan untuk
memperoleh landasan teori yaitu dengan membaca berbagai literatur atau
buku-buku yang ada kaitannya dengan tema penelitian.
3.5.2 Jenis data
a. Data kualitatif
Data kualitatif adalah data yang diperoleh dengan melakukan pencatatan
unit-unit elementer ke dalam beberapa kategori klasifikasi (Hirdjan, 1992).
Data kualitatif ini bertujuan untuk mendeskriptifkan tentang pengaruh money
politik (politik uang) terhadap daya pilih masyarakat dalam pemilu
berdasarkan hasil observasi langsung dilapangan.
b. Data kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk bilangan yang
nilainya berubah-ubah atau bersifat variabel (Hirdjan, 1992).
Data kuantitatif ini bertujan untuk mendeskriptifkan data yang diperoleh
dengan persentase terhadap pengaruh money politik terhadap daya pilih
masyarakat dalam pemilu.
3.6 Tehnik Analisis Data
Pada dasarnya analisis data merupakan penyusunan data sesuai dengan tema dan
kategori untuk mendapatkan jawaban atas perumusan masalah. Oleh karena itu,
data yang dihasilkan haruslah seaktual dan sedalam mungkin, jika dimungkinkan
28
menggali data sebanyak-banyaknya untuk mempertajam dalam proses
penganalisasian. Hal tersebut merupakan cirri khas dari penelitian kualitatif
bahwa realita dan data sebagai fakta di lapangan tidaklah stagnan, akan tetapi
dinamis sesuai dengan perkembangan di lapangan.
Tehnik yang digunakan dalam menganalisa data penelitian ini dengan
menggunakan deskriptif kualitatif data yang di analisa dalam bentuk paparan
atau deskripsi kata-kata yang jelas, kemudian data tersebut di interpretasikan
secara rinci yang selanjutnya dapat diambil suatu kesimpulan.
3.7 Desain Penelitian
Lokasi penelitian : Kota Kotamobagu
Permasalahan : Bagaimana money politik terhadap Partisipasi dan daya pilih
masyarakat dalam Pilwako 2013, Pileg dan Pilpres 2014.
NO UNIT ANALISIS KERANGKA UNIT
ANALISIS
TEKNIK
PENGUMPULAN
DATA
1.
Money politik terhadap
daya pilih masyarakat
dalam pemilu
1. Kegiatan money politik
2. Daya pilih masyarakat
dalam pemilu
3. Menggunakan pendekatan
social science
- Memberikan sejumlah
uang kepada masyarakat
- Mempengaruhi masyarakat
- Memberikan suara kepada
calon kepala daerah yang
bersangkutan dalam
Pilwako
- Media cetak
- Subjek dan objek
penelitian
Wawancara
Observasi
Wawancara
Observasi
Observasi
3.8 Konseptualisasi
29
Politik Uang memang sulit untuk di hentikan akan tetapi mari kita sebagai
bagian dari komponen bangsa mulailah mengkaji bahwasannya Politik Uang sangat
merugikan bagi kita semua. Memang uang itu kebutuhan kita tetapi uang tidak di
bagikan secara cuma – cuma kecuali pada shodaqoh, hadiah dan infaq. Jika Money
Politics di Indonesia masih berjalan diyakini korupsi belum bisa berkurang. Ini tidak
berlaku di dunia politik saja akan tetapi terjadi di perusahaan maupun institusi lainya.
Untuk mencapai keberhasilan suatu pimilihan tertentu tidak hanya dengan
Politik Uang saja akan tetapi bisa di capai dengan cara-cara yang sah. Dengan cara
menunjukkan dedikasinya sebagai calon pemimpin yang baik, dapat meyakinkan
serta mempunyai visi dan misi yang jelas kepada calon pemilih. Umumnya rakyat
Indonesia sangat berharap kepada para pemimpin untuk memperketat jalannya
Pemilihan Umum agar Politik Uang ini tidak terjadi. Karena sudah ada Undang
Undang yang mengatur yaitu Undang Undang No. 3 tahun 1999 Pasal 73 ayat 3 yang
sudah jelas jelas menerangkan bahwasanya "Barang siapa pada waktu
diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian
atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana
dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga
kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."
Sehingga BAWASLU tidak perlu takut untuk mengungkap kasus tersebut jika itu
terjadi di dalam Pemilihan Umum.
30
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum
Di Kota Kotamobagu yang mayoritas suku Mongondow sangat memegang
teguh adat istiadat yang diturunkan oleh nenek moyang dan disatu sisi umumnya
sudah rasional dengan pendidikan dan ekonomi yang baik, sehingga mereka sangat
sulit untuk dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang datang dari luar, baik itu yang
positip maupun yang negatif.
Sehingga pemerintah dalam memberikan asumsi ataupun masukan tentang
bagaimana cara peyuluhan program-program yang telah dibuat oleh pemerintah
terkadang sulit agar dapat menerapkannya di masyarakat. Sehingga pemerintah harus
berupaya lebih keras agar dapat menjalankan programnya di masyarakat Bolaang
Mongondow, salah satunya yaitu dengan bekerjasama dengan Tokoh adat/Tokoh
masyarakat terlebih dahulu agar dapat tersampaikan kepada masnyarakat.
Selain itu juga kedudukan pemerintah dengan pemerintah adat mempunyai
kedudukan yang sama, malahan dalam sesuatu hal tertentu kedudukan pemerintah
adat lebih tinggi ketimbang pemerintahan nasional. Hal ini dapat dilihat dari
kepatuhan warga, yang mana apabila disuruh berkumpul disuatu tempat/aula desa
kalau aparat desa yang meminta secara langsung terkadang agak sulit, hal ini
berbanding terbalik apabila pemerintah adat yang memanggil cukup dengan bahasa
dari mulut kemulut, maka masyarakat dengan sendirinya tanpa ada paksaan akan
berdatangan ketempat untuk berkumpul.
Hal yang seperti ini juga terjadi di Kabupaten sekitarnya yang mana masih
terpengaruhi oleh pemerintahan adat sehingga dalam menjalankan pemerintahan
diperlukannya kerjasama dengan pemerintah adat. Kota Kotamobagu merupakan
salah satu daerah yang berada di peropinsi Sulawesi Utara dan sebagian pendapatan
warga masnyarakatnya yaitu dari bidang pertanian, akan tetapi masih ada sebagian
yang berpropesi sebagai buruh industri, berdagang dan pegwai lainya.
Daerah Kota Kotamobagu selain mempuyai daerah pertanian di Kabupaten
kelilingnya yang berhimpitan juga terdapat tempat-tempat yang mempunyai daya
31
tarik untuk dijadikan tempat wisata, hal ini yang sedang digarap oleh pemerintah
Kota Kotamobagu bersama pemerintahan adat yang ada dilokasi tersebut agar dapat
dijadikan suatu objek wisata yang dapat menambah penghasilan Kota Kotamobagu.
Dalam hal partisipasi politik warga Kotamobagu sangat berfluktiatif, hal ini
dapat dilihat dari hasil hasil pemilihan Walikota yang sudah dilaksanakan pada
tahun 2013 yang lalu jumlah suara yang sah ataupun yang memilih yaitu 82%
sedangkan yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 18%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik warga Kota kotamobagu
terhadap pemilihan umum cukup baik. Hal yang menjadi permasalahan warga Kota
Kotamobagu dalam hal pemilu yaitu mereka tahu cara memilih akan tetapi mereka
tidak tau siapa orang yang pantas atau patut untuk dipilih.
Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi calon yang akan dipilih terhadap
masyarakat. Dalam kehidupan kemasyarakatan dan pembangunan dari struktur
politik Kota Kotamobagu di pengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
1. Partai politik, yang mana partai tersebut sudah dikenal oleh warga masnyarakat,
sehingga akan menarik simpati masyarakat.
2. Golongan pendekat, yaitu orang yang mampu masuk kedalam pemerintahan adat
sehingga dapat menarik simpati masyarakat dari hal adat.
3. Calon, yaitu orang yang sudah dikenal oleh masyarakat dan merupakan warga
asli sekitar maka hal tersebut akan memberikan kemudahan dalam menarik
simpati warga.
4. Media massa, yaitu cara yang paling berpengaruh dalam hal pendekatan kepada
masnyarakat. Hal ini dikarnakan masyarakat Kota Kotamobagu lebih mudah
menerima inpormasi dari media massa seperi baliho, pamplet, iklan dan
sebagainya.
4.2. Hubungan Antara Politik Uang dan Preferensi Politik
Politik Transaksional (X) 1. Kegiatan pemberian uang (money politic) 2.
Hubungan Kekerabatan (Keluarga, Teman dan Asosiasi Lainya) 3. Preferensi politik,
pengaruh Politik transaksional Terhadap Perilaku Pemilih dalam pemilihan kepala
daerah di Kota Kotamobagu Tahun 2013 serta Pileg dan Pilpres 2014, dapat dilihat
berdasarkan indikator sebagai berikut :
32
1. Berdasarkan hasil pengolahan data, pada indikator kegiatan pemberian uang. Dari
seluruh 198 responden, terdapat 18 responden (9,1%) menyatakan bahwa dalam
kegiatan pemberian uang pada kegiatan Pilwako maupun pemilu legislative dan
Pilpres tidak pernah terjadi, karena masyarakat Kota Kotamobagu tidak pernah
mendengar, tidak melihat, tidak mengetahui serta tidak menerima adanya
kegiatan tersebut. Pada kategori sedang sebanyak 104 responden (52,6%)
menyatakan bahwa dalam kegiatan pemberian uang pada pilkada maupun pemilu
legislative dan Pilpres pernah terjadi, karena masyarakat Kota Kotamobagu
pernah mendengar, melihat, mengetahui serta menerima adanya kegiatan
tersebut. Pada kategori tinggi sebanyak 76 responden (38,3%) menyatakan bahwa
dalam kegiatan pemberian uang pada moment politik sering terjadi, karena
masyarakat Kota Kotamobagu sering mendengar, melihat, mengetahui serta
menerima adanya kegiatan tersebut.
2. Berdasarkan hasil pengolahan data, pada indikator kekerabatan. Dari seluruh 198
responden, terdapat 24 responden (12,1%) menyatakan bahwa dalam hubungan
kekerabatan pada Pilwako maupun Pileg dan Pilpres tidak pernah terjadi, karena
masyarakat Kota Kotamobagu tidak pernah mendengar, tidak melihat serta tidak
mengetahui adanya informasi tersebut. Pada kategori sedang sebanyak 70
responden (35,3%) menyatakan bahwa hubungan kekerabatan pada Pilwako,
Pileg dan Pilpres pernah terjadi, karena masyarakat Kota Kotamobagu pernah
mendengar, melihat, mengetahui serta menerima informasi adanya hal tersebut.
Pada kategori tinggi sebanyak 104 responden (52,6%) menyatakan bahwa dalam
hubungan kekerabatan pada hajatan politik di Kota Kotamobagu pasti terjadi,
karena masyarakat Kota Kotamobagu sering mendengar, melihat dan mengetahui
hal tersebut.
3. Berdasarkan hasil pengolahan data, pada indikator perilaku pemilih masyarakat
secara rasional. Dari seluruh 198 responden, terdapat 48 responden (24,2%)
menyatakan bahwa perilaku masyarakat dalam memilih tidak didasarkan atas
latar belakang dan program kerja kandidat. Pada kategori kurang baik sebanyak
52 responden (26,3%) menyatakan bahwa perilaku masyarakat dalam memilih
sebagian didasarkan atas latar belakang dan program kerja kandidat. Pada
kategori baik sebanyak 98 responden (49,5%) menyatakan bahwa perilaku
33
masyarakat dalam memilih kepala daerah didasarkan atas latar belakang dan
program kerja kandidat
4. Berdasarkan hasil pengolahan data, pada indikator perilaku pemilih masyarakat
secara emosional. Dari seluruh 198 responden, terdapat 50 responden (25,2%)
menyatakan bahwa perilaku masyarakat dalam memilih didasarkan atas
pemberian uang, hadiah, jabatan politik, fisik yang menarik, hubungan
kekerabatan dan tingkat popularitas kandidat. Pada kategori kurang baik
sebanyak 68 responden (34,3%) menyatakan bahwa perilaku masyarakat dalam
memilih sebagian didasarkan atas pemberian uang, hadiah, jabatan politik, fisik
yang menarik, hubungan kekerabatan dan tingkat popularitas kandidat. Pada
kategori baik sebanyak 80 responden (40,5%) menyatakan bahwa perilaku
masyarakat dalam memilih tidak didasarkan atas pemberian uang, hadiah, jabatan
politik, fisik yang menarik, hubungan kekerabatan dan tingkat popularitas
kandidat. Pengujian Pengaruh Model R Square r t 1 .043 .206 2.077 Berdasarkan
hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis menggunakaan SPSS 2.0 dapat
diketahui bahwa nilai R square atau koefisien determinasi (R) dalam penelitian
ini adalah 0,043 berarti pengaruh variabel politik transaksional terhadap perilaku
pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2013 adalah sebesar 4,3%
sedangkan sisanya sebesar 95,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini. Lalu nilai korelasi (r) sebesar 0,206. Berdasarkan
klasifikasi jawaban mengenai pengaruh politik transaksional terhadap perilaku
pemilih di Kota Kotamobagu, menunjukan tingkat keeratan hubungan kedua
variabel adalah rendah karena termasuk rentang koefisien korelasi 0,20-0,399.
Untuk menguji tingkat signifikansi pengaruh politik transaksional terhadap
perilaku pemilih di Kota Kotamobagu, digunakan uji t-. Dengan ketentuan:
a) Apabila t hitung > t tabel dengan dk = n-2 dan α 0,05 maka Ho ditolak.
Sebaliknya Ho diterima.
b) Apabila Probabilitas (Sig.) < 0,05 maka Ho ditolak. Sebaliknya Ho
diterima. Diperoleh nilai t hitung 2.077 lebih besar dari nilai t.
Karena t hitung lebih besar dari t tabel dengan signifikan 5% maka Ho di
tolak dan Ha diterima. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh secara signifikan antara
34
politik transaksional terhadap perilaku pemilih di Kota Kotamobagu baik untuk
Pilwako Tahun 2013 maupun Pileg dan Pilpres 2014.
Pembahasan Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis di
atas, dapat diketahui bahwa ada pengaruh secara signifikan antara politik
transaksional terhadap perilaku pemilih di Kota Kotamobagu. Adanya kegiatan jual
beli politik tersebut hal ini secara tidak langsug mempengaruhi perilaku pemilih
dalam Pemilihan Walikota maupun pemilu legislative dan Pilpres.
Politik transaksional dapat menjadi sebuah stimulus yang dapat melemahkan
pemilih/warga dan bahkan ada yang dapat memperkuat pemilih/warga. Adapun
politik transaksional yang dapat melemahkan warga yaitu kegiatan politik
transaksional menjadikan warga/pemilih sebagai mesin politik pemenangan kandidat
dan melanggar hukum. Selain jual beli suara, bentuk lainnya adalah klientelisme
(warga dijadikan „mesin‟ politik kandidat) dan bias partisan (program untuk simpati
warga). Bentuknya mirip dengan jual beli suara dengan maksud menukar janji-janji
kandidat dengan suara pemilih.
Hasilnya adalah daftar proposal kepada para kandidat yang berisi permintaan
uang untuk mengatasi masalah-masalah warga. Di sisi lain, kandidat pun
menebarkan janji-janji untuk memberikan imbalan jika terpilih dan berusaha keras
untuk memaksimalkan sumber-sumber ekonominya guna membiayai pencalonannya
dan memenangkan persaingan. Tidak ada yang diuntungkan, kandidat dan
warga/pemilih sebetulnya sama-sama merugi.
Sedangkan politik transaksional dapat menguatkan warga/pemilih yaitu
peristiwa transaksi politik merupakan hal yang lazim ditemui dalam kompetisi
Pemilu, maka adanya strategi transaksi politik yang menguatkan posisi dan
kepentingan warga, khususnya pascapemilu. Tujuannya agar terjalin ikatan jangka
panjang antara warga dengan kandidat pemenang Pemilu, di mana warga memiliki
kendali terkait pemenuhan janji/program kandidat tersebut.
Adapun strategi transaksi politik yang menguatkan warga memiliki ciri-ciri:
terbuka, publik, jangka panjang, pendanaan negara dan tidak melanggar hukum.
Namun yang paling menonjol dalam kegiatan perpolitikan di Indonesia khususnya di
Kota Kotamobagu bahwa kegiatan politik transaksional sering melemahkan pemilih
dalam menentukan calon pemimimpin sebelum menjelang Pemilu. Pada kegiatan
35
politik transaksional yang ada berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
bahwa semakin kegiatan politik transaksional sering dilakukan, maka akan semakin
menentukan kepada perilaku pemilih untuk memilih calon pemimpin politik yang
kuat melakukan jual beli politik kepada pemilih. Perilaku pemilih diorientasikan
kepada semakin banyaknya uang, hadiah, pemberian jabatan politik, dan didasarkan
pada pemikiran yang rasional dan emosional dalam menentukan calon pemimimpin
politik pada Pilwako tahun 2013 maupun pemilu legislative dan pemilu presiden
tahun 2014.
36
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh secara signifikan antara
politik transaksional terhadap perilaku pemilih di Kota Kotamobagu sebesar 4,3%.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan pada beberapa indikator politik transaksional
khususnya mengenai kegiatan pemberian uang pernah terjadi sebesar 52,6%,
mengenai kegiatan pemberian hadiah (imbalan, sembako dan diluar uang sering
terjadi sebesar 52,6%, mengenai kegiatan pemberian jabatan politik di Kota
Kotamobagu pernah terjadi sebesar 56,6%. Kemudian pada indikator perilaku
pemilih secara rasional memiliki perilaku yang baik sebesar 59,5% dan indikator
emosional memiliki perilaku yang baik sebesar 40,5%.
Dalam hal ini masyarakat Kota Kotamobagu cukup apresiasif dalam
pelaksanaannya, hanya saja bila calonnya memberikan materi dan di kenal oleh
mereka dan sedikit memiliki garis kekerabatan itu yang lebih mereka dukung.
Memang hal ini sangat wajar , karena mengingat kasus tersebut bukan hanya
terjadi di Kota Kotamobagu saja namun di banyak kabupaten lainnya hal tersebut
masih menjadi persoalan. Hal lain yang menjadi permasalahan adalah masyarakat
yang kurang kenal dengan program para calon sehingga menyuilitkan pula
masyarakat untuk dapat memilih dengan hati nurani, “Tak kenal maka tak sayang”
itu slogan yang biasa kita dengar yang memang kebenarannya sudah dapat di
buktikan.
Intinya selain masyarakat harus berpartisipasi dalam Pemilu, pemerintah juga
harus senantiasa berupaya memberikan fasilitas yang memadai dalam proses Pemilu
agar memudahkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi di dalamnya, ini
memerlukan kerjasama yang baik antara berbagai pihak.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian di atas dan berdasarkan pengamatan kami, maka
kami memberikan rekomendasi sebagai berikut :
37
1. Kepada KPU, disarankan untuk terus menerus melakukan pendidikan Pemilih
baik itu terkait soal demokrasi, politik dan kepemimpinan kepada masyarakat
secara terus-menerus sehingga dapat memberikan pemahaman dan kesadaran
kepada masyarakat akan pentingnya kehidupan berdemokrasi yang sehat agar
dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya legitimate tetapi juga
pemimpin yang jujur, berkompeten dan dapat diterima dengan luas.
2. Kepada Bawaslu kami menyarankan agar lebih intens lagi dalam mengawasi dan
mengontrol setiap jalannya pelaksanaan pemilu khususnya, agar kegiatan-
kegiatan yang bertentangan dengan prinsip Pemilu tidak terjadi lagi.
3. Kepada pemerintah, agar dapat mengeluarkan peraturan-peraturan yang dapat
meminimalisir praktek politik uang pada pelaksanaan pemilihan baik itu, pemilu
legislatif, pemilihan presiden maupun pilkada dengan memberikan sanksi yang
tegas kepada partai atau oknum/calon yang melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Antulian, Rifa’i. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan
kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Asfar, Muhammad. 2008. Pemilu dan Perilaku Memilih 1995-2004.
Surabaya:
Bungin, Burhan. 2001 .Metodelogi Penelitian Sosial: Format-format
kuantitatif dan kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.
EUREKA Abdulsyani. 2007. Sosiologi Sistematika Teori dan Penerapan.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Effendy, Onong Uchajana. 2007. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di
Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
Irwansyah dkk. 2013. Memperkuat warga melalui transaksi politik dalam
pemilu.http://www.puskapol.ui.ac.id/pressrelease/press-release-memperkuat-
warga-melalui-transaksi-politik-dalampemilu.html
Meriam B, dkk. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta Barat: Gramedia
Pustaka Utama
Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda karya. Cetakan Kedua.
Surbakti Ramlan. 1999. Memahami ilmu politik. Jakarta: Gramedia Widia
sarana Indonesia.
Syafiee, Innu Kencana. Drs. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia
(MKDU).Jakarta:PT. Rineka Cipta