penelitian prof. surya

10

Click here to load reader

Upload: immanuel-lumbantobing

Post on 01-Jul-2015

52 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penelitian Prof. Surya

Jurnal Nanosains & Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Vol. 2 No. 1, Februari 2009

38

Menggagas Fotosintesis Buatan Hibrida berbasis Struktur Nano Porfirin

Nasruddin1,2 dan Leenawaty Limantara3

1Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah 2Pusat Studi Aplikasi Radiasi dan Rekayasa Bahan, Lembaga Penelitian

Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah 3Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigment, Universitas Ma Chung, Malang, 65151

1)Email : [email protected] Diterima Editor

:

25 Mei 2008

Diputuskan Publikasi : 30 Mei 2008

Abstrak

Pengkajian tentang kemungkinan penggunaan struktur nano dari senyawa organik planar porfirin telah dilakukan untuk pengembangan fotosintesis buatan bermodel D-A dyad yang merupakan tiruan dari unit fotosintesis bakteri ungu. Struktur nano jenis nanotubes dan nanorods dari porfirin berpotensi sebagai bahan fotokonduktor dan dimungkinkan dapat dipakai dalam pengembangan model tersebut. Upaya ke arah tersebut juga diperkuat dengan bukti bahwa pada tahap pemanenan cahaya (light harvesting) dalam unit fotosintesis organisme bakteri hijau melibatkan struktur nano yang memiliki kemiripan karakteristik dengan porfirin nanotube dan nanorods tersebut. Struktur nano alami tersebut adalah batang pemanen cahaya ( harvestingt-rod element) yang tersusun dari Bakteriklorofil c secara penataan-diri (self assembly) alamiah, tanpa campur tangan dogma genetika.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami menjajaki adanya kemungkinan terlahirnya model fotosintesis buatan hibrida untuk konversi energi surya, yaitu sebuah unit fotosintesis buatan yang dapat diibaratkan sebagai upaya pencangkokan batang pemanen cahaya dari bakteri hijau ke dalam unit fotosintesis bakteri ungu guna optimasi pemanenan cahaya. Dalam realitas biologis, upaya pencangkokan tersebut tampaknya sukar dilakukan. Dalam konteks pengembangan D-A dyad, hal tersebut ditempuh dengan menerapkan struktur porfirin nanotubes atau nanorods ke dalam model fotosintesis buatan bermodel D-A dyad.

Kata kunci: batang klorosom , donor-akseptor, fotosintesis buatan, nanotubes, nanorods, porfirin, penataan-diri

1. Pendahuluan

Porfirin merupakan senyawa organik aromatik. Keberadaan rumpun senyawa ini di bumi sangat melimpah [1]. Karakteristik porfirin kian banyak mendapat perhatian dari berbagai disiplin ilmu karena kemampuannya bersenyawa dalam sistem biologis sekaligus mampu mengkonversi energi surya menjadi energi kimia [2]. Hal ini pula yang menyebabkan porfirin banyak dipakai sebagai fotosensitizer [1,3-5].

Dalam bidang nanosains dan nanoteknologi, porfirin mulai banyak dikembangkan sebagai blok penyusun struktur nano. Penelitian yang dilakukan oleh Schwab et al. menunjukkan bahwa struktur nano porfirin (nanotubes dan nanorods) memiliki sifat fotokonduktif [6] sehingga berpotensi dimanfaatkan untuk pengembangan perangkat elektronik dan fotonik, misalkan untuk pengembangan fotosintesis buatan untuk konversi energi surya.

Akhir-akhir ini, upaya kearah penelitian dan pengembangan fotosintesis buatan untuk konversi energi surya kian banyak mendapat perhatian berbagai pusat penelitian dunia terutama guna mengantisipasi krisis bahan bakar fosil dan ancaman pemanasan global di masa depan. Collings et al menyebutkan bahwa fotosintesis buatan berpotensi menyediakan energi listrik terbarukan dan ramah lingkungan [7].

Dalam pengembangan fotosintesis buatan dikenal model donor-akseptor atau D-A dyad. Model ini terus mengalami kemajuan. Komposisi porfirin (D) – fullerene (A) yang diklaster dengan nanopartikel emas secara quaternary self-organization dilaporkan mampu menghasilkan angka IPCE 54 % dengan tingkat respon terhadap cahaya ~ 1000 nm [8]. Kamat menyatakan bahwa angka tersebut merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah pengembangan model D-A dyad [9]. Namun demikian angka ini masih jauh dari angka yang dicapai dalam pengembangan model Gratzel. Nazeerudin, Gratzel et al dalam [9] menunjukkan bahwa penerapan Ru(II) trisbipyridyl-complex modified TiO2 nanostructured films mampu menghasilkan IPCE mendekati 90 %. Dengan demikian, terobosan-terobosan baru guna pengembangan model D-A dyad mutlak diperlukan.

Pengembangan model fotosíntesis buatan diantaranya merujuk pada proses-proses yang terjadi dalam fotosíntesis alamiah. Fotosíntesis buatan yang terkenal dengan model D-A dyad sesungguhnya didasarkan pada peniruan terhadap bakteri ungu [4,5]. Belakangan terkuak bukti bahwa dalam bakteri hijau terdapat struktur nano menyerupai batangan (rod element)[10]. Struktur ini berperan penting dalam tahap pemanenan cahaya (light harvesting) unit fotosintesis bakteri tersebut. Informasi seputar karakteristik dan fungsi struktu nano alamiah ini tentu menarik untuk dicermati, lebih-lebih peranya sangat erat dengan aktivitas

Page 2: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

39

pengkonversian energi surya menjadi energi kimia dengan melibatkan porfirin (Bakteriklorofil).

Dalam artikel ini akan dikaji kemungkinan penerapan struktur nano porfirin guna pengembangan model fotosintesis buatan D-A dyad tersebut dengan mendasarkan pada : (a) informasi seputar karakteristik struktur nano porfirin; (b) informasi biologis baik dari unit fotosintesis bakteri ungu maupun bakteri hijau, khususnya bagian batang pemanen cahaya klorosom; dan (c) informasi perkembangan model fotosintesis buatan D-A dyad atau model tiruan unit fotosintesis bakteri ungu. Berdasarkan analisis dari ketiga sumber tersebut, kami berupaya mensintesis gagasan untuk pengembangan model fotosintesis buatan pola D-A dyad lebih lanjut.

2. Porfirin

Porfirin merupakan rumpun senyawa organik makrosiklik yang memiliki kedekatan struktural dengan senyawa klorofil dan bakteriklorofil [11]. Klorofil dan bakterioklorofil yang menghijaukan dedaunan dan segenap biota hijau lainnya di bumi merupakan turunan dari protoporfirin IX [1]. Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa terdapat jalur evolusi yang menghubungkan antara keberadaan porfirin, klorofil dan bakterioklorofil sebagai pigmen fotosintesis dominan [12]. Selain itu, porfirin juga memiliki kedekatan struktural dengan senyawa hemin pada darah manusia dan hewan, sama-sama sebagai senyawa tetrapirol [13].

Gambar 1 Atas: senyawa porfirin berikatan. Bawah: modifikasi struktur planar molekuler porfirin [14]. Kajian seputar karakteristik kelistrikan dan stabilitas dari senyawa porfirin dalam sistem biologi tengah menjadi menjadi tantangan bidang kimia sejak lebih setengah abad yang lalu [11]. Akhir-akhir ini, porfirin tengah banyak dikaji dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dari kimia, fisika, biologi dan obat-obatan hingga divais molekuler [2]. Luasnya perhatian terhadap senyawa tersebut disebabkan karena kecocokan dari senyawa tersebut dalam sistem biologis dan kemampuannya dalam mengkonversi energi surya, sebagaimana pada klorofil yang merupakan bagian dari kompleks pemanenan cahaya (light harvesting), tempat dimana kehidupan bumi bergantung [2].

Murray et al melaporkan bahwa porfirin merupakan senyawa yang berwarna dan berpendar [15]. Pada penelitian terhadap porfirin dan turunannya, spektrum absorbsi yang khas pada kedua senyawa tersebut masing-masing memperlihatkan daerah tampak dan daerah ultra violet. Secara khusus pita soret tampak tajam pada panjang gelombang 400 nm. Sifat absorpsi dan fluoresensi yang khas pada porfirin disebabkan oleh adanya ikatan rangkap yang menyatukan cincin pirol pada senyawa porfirin. Sifat-sifat fotodinamik porfirin yang khas ini antara lain digunakan sebagai fotosensitizer dalam fotosintesis buatan untuk konversi energi surya [3,16,17]. Porfirin tergolong senyawa aromatik sehingga memiliki struktur planar. Namun demikian, dalam sistem biologis, keplanaran porfirin, yang mencakup juga klorofil dan bakteriklorofil, terbukti mengalami penyimpangan, diantaranya, karena interaksinya dengan protein [18-20]. Adanya penyimpangan dari keplanaran porfirin ini, berarti memungkinkan adanya modifikasi lebih jauh dari porfirin, termasuk guna menyusun struktur porfirin berdimensi banyak, seperti struktur nano.

3. Struktur Nano Porfirin Karena keunikan karakteristiknya, senyawa porfirin belakangan mulai digunakan untuk mensintesis blok penyusun (building block) struktur nano. Keunikan senyawa porfirin tersebut diantaranya terkait karakteristik elektris, optis dan katalitiknya [21]. Sintesis struktur nano berbasis porfirin banyak dilakukan dengan menggunakan teknik penataan-diri (self-assembly) [6] karena pada tingkatan molekuler senyawa ini menawarkan beberapa keunikan karakteristik, diantaranya terkait keluasan (a large), kedataran (flat) dan keberadaan pusat senyawa tetrapirol makrosikliknya yang dapat dilekatkan dengan senyawa pengganti, baik dari senyawa hidrofobik (hydrophobic) maupun hidrofilik (hydrophilic).

Tabel 1 Daftar struktur nano berbasis porfirin yang telah berhasil disintesis secara penataan-diri (self-assembly).

No. Struktur Nano Porfirin Referensi 1 Hollow Hexagonal Nanoprisma

(HHNP) [2]

2 Nano porous solid material [22-25] 3 Nanotubes [21] 4 Columnar stacks [26] 5 Rigid and ordered monolayer [27,28] 6 Linear tapes [26,29]

7 Rigid rods [30] 8 Nanoparticles [31] 9 Cyclic tetramers [32,33] 10 Pentamers [34]

11 Cyclic hexamers [35] 12 Nonamers [36,37] 13 Nanofiber [38]

14 Nanofiber bundles [39] 15 Nanosheets [38][40]

Page 3: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

40

Selain itu, penataan agregasi porfirin dapat dikembangkan dengan interaksi molekuler π−π. Pendekatan ini merupakan salah satu kekuatan pendorong para peneliti nano dalam mensintesis struktur nano secara penataan-diri. Sehingga, dalam beberapa tahun terakhir ini, sejumlah struktur nano berbasis senyawa porfirin telah berhasil di sintesis secara penataan-diri seperti pada Tabel 1.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa karakteristik struktur nano sangat dipengaruhi oleh bentuk morfologi struktur nano tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Hu et al. menunjukkan bahwa pemberian perlakuan yang berbeda terhadap struktur nano porfirin Hollow Hexagonal Nanoprisma (HHNP) secara penataan-diri akan memunculkan bentuk morfologi yang berbeda pula. Masing-masing bentuk tersebut diduga juga memiliki kekhasan karakteristik [2]. Terkait dinamika perubahan morfologi struktur nano porfirin HHNP tersebut, dapat dilihat pada Gbr. 2.

Gambar 2 Ilustrasi skematik yang mungkin terjadi dalam penyusunan Hollow Hexagonal Nanoprisma (HHNP) secara penataan-diri [2].

Dengan pertimbangan tersebut, dapat diduga

bahwa perubahan struktur dari porfirin planar menjadi struktur nano berpotensi memunculkan karaktrisktik baru pada struktur nano tersebut.

4. Porfirin Nanotubes/Nanorods dan Batang Pemanen Cahaya Bakteri Hijau Dari kelima belas struktur nano porfirin pada Tabel 1, struktur porfirin nanotubes dan nanorods menarik untuk ditelisik lebih jauh karena bentuk morfologis semacam ini ternyata terdapat di alam yang tersusun secara penataan-diri alamiah, yaitu pada elemen batang pemanen cahaya (harvesting -rod element) pada bagian klorosom bakteri hijau [3,21,41].

Gambar 3 Klorosom dan batang pemanen cahaya. Pemanenan cahaya dilakukan oleh batang pemanen cahaya yang tersusun dari bakteriklorofil secara penataan-diri [41].

Batang pemanen cahaya merupakan bagian dari

unit fotosintesis bakteri hijau yang berfungsi memanen cahaya (light harvesting) berlokasi di bagian klorosom bakteri hijau dan dominan tersusun dari pigmen Bakteriklorofil c [10,42].

Berdasar data NMR, van Rossum et al. dalam [10] telah mengusulkan model batang pemanen cahaya bakteri hijau jenis Chl. Tepidum berbentuk tabung (tube) dengan dinding dua lapis. Model tersebut didukung oleh data-data dari mikroskop elektron, panjang diameter luar tabung 10 nm, sedang diameter lubang tabung 3 nm [10].

Berdasarkan penelitian yang seksama, batang pemanen cahaya terbukti tersusun secara penataan-diri mirip teknik yang digunakan Wang et al [21], dalam mensintesis porfirin nanotube, dan Schwab et al. dalam mensintesis porfirin nanorod [6]. de Boer dan de Groot dengan berdasarkan data-data dari alat Magic Angle Spinning Nuclear Magnetic Resonance (MAS NMR) menegaskan hal tersebut. Lebih lanjut, de Boer dan de Groot menyatakan bahwa protein tidak memiliki peran penting dalam fungsi pemanenan cahaya pada unit fotosintesis bakteri hijau. Inilah yang tidak ditemukan pada unit fotosintesis organisme hijau lain [10]. Pemanenan cahaya pada alga, bakteri ungu dan tumbuhan tingkat tinggi masih terpengaruh oleh fungsi matrik protein [42]. De Boer dan de Groot menulis :

The observation that a biological function can be realized without active participation of protein can be considered anomalous, since the central dogma of molecular biology states that all function originates from the DNA via protein : DNA RNA protein function. In chlorosome, the biological function of the antennae is based on self-assembly steered by the physico-chemical properties of the constituting molecules and top-down control from higher levels in biological hierarchy. Lebih lanjut, de Boor dan de Groot memberi

pandangan bahwa mekanisme penyusunan batang pemanen cahaya yang secara penataan-diri (dari Bakteriklorofil c) dan tanpa campur tangan fungsi protein tersebut dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan fotosintesis buatan (artificial photosynthesis) untuk konversi energi surya. Upaya tersebut telah ditempuh oleh Wang et al. [21]. Pertama-tama mereka mensintesis struktur nanotubes secara penataan-diri, dengan mencampur dua jenis porfirin yang berbeda muatan dalam air. Lalu, setelah struktur nanotube tersebut terbentuk, mereka menyinarinya dengan cahaya lampu proyektor (800 nmol cm-2s-1). Setelah disinari, lewat foto dari Transmission Electron Microscope (TEM), tampak bahwa terjadi perubahan bentuk morfologis pada struktur nano tersebut Pada awalnya struktur nano berbentuk tabung (tubular) dengan panjang berorde mikrometer, diameter sekitar 50-70 nm dan ketebalan tabung sekitar 20 nm. Selama penyinaran, secara perlahan struktur tersebut berubah menjadi seperti batangan (rodlike structure), sebelum akhirnya terjadi keruntuhan, setelah 5 menit penyinaran.

Page 4: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

41

Gambar 4 Foto TEM porfirin nanotube. Kiri : kondisi sebelum disinari dengan cahaya. Kanan : kondisi setelah 5 menit disinari dengan cahaya. Porfirin nanotube runtuh [21].

Wang, et al. menduga bahwa runtuhnya struktur nano tersebut sebagai efek dari terjadinya transfer elektron secara molekuler dalam struktur karena terpicu oleh cahaya, sehingga mengguncang keseimbangan muatan dan juga kekekaran (rigidity) struktur nano tersebut. Dugaan Wang, et al. tersebut mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara pemberian cahaya, perubahan bentuk morfologis dan sifat kelistrikan struktur nano tersebut.

Sebelumnya, penyelidikan seputar pengaruh cahaya terhadap karakteristik struktur porfirin nanorods (bentuknya mirip porfirin nanotubes), telah dilakukan oleh Schwab et al. [6]. Schwab, et al. melaporkan bahwa porfirin nanorods mampu mengalirkan arus listrik dalam rentang waktu yang sangat cepat ( < 100 ms ) ketika diberi cahaya secara on/off. Dalam penelitian tersebut, Schwab, et al. juga menunjukkan bahwa training dari arus listrik sirkuit pendek tersebut memerlukan ekspose cahaya dan pemberian tegangan, namun tidak diberikan secara bersama-sama seperti pada Gbr. 5.

Gambar 5 Ilustrasi training effect dari aliran listrik pendek yang muncul ketika porphyrin nanorods diberi cahaya secara on/off. (a) menunjukkan grafik arus listrik terukur (b) grafik merah menunjukkan tegangan yang dipakai pada percobaan, yaitu antara harga 0.00 volt atau 0.50 volt, sementara grafik biru menunjukkan intensitas cahaya 488 nm yang diberikan secara on dan off. Serangkaian cahaya dan pulsa tegangan secara bergantian diberikan kepada sampel, tiap 1 menit. Arus listrik pendek berharga negatif, yang tampak saat elektrode sampel diberi arus pendek (shortcircuited) (VPP=0) dan diberi cahaya (intensitas > 0 ), mengalami kenaikan angka setelah penerapan tegangan. Hal ini menggambarkan training effect arus listrik pendek yang muncul karena pengaruh cahaya [6].

Berubahnya sifat bahan menjadi konduktor karena pengaruh cahaya biasa disebut efek fotokonduksi (photoconductivity). Baik penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al, maupun Schwab et al. tersebut menunjukkan bahwa porfirin nanotubes/rods memiliki efek fotokonduktifitas yang berpotensi untuk diterapkan dalam

Tabel 2 Bentuk morfologis, teknik sintesis, bahan penyusun, perlakuan dan alat identifikasi porfirin Nanotube [21].

Bentuk morfologis porfirin nanotube

Teknik sintesis

Bahan penyusun

Perlakuan

Alat identifikasi

Secara moderat, nanotube berupa kristal (studi difraksi x-ray), berbentuk silinder berisi lembaran lamellar dengan dimensi : panjang : dalam

skala mikrometer diameter : 50-70 nm tebal dinding :

~ 20 nm tampak adanya frinji

(fringes) selebar 1,7-1,8 nm pada tiap tepi nanotube.

ukuran per molekul porfirin :

~ 2 x 2 x 0,5 nm

Penataan-diri ionik (ionic self-assembly)

1. 9 mL larutan

H4TPPS42-

( 10,5 µM H4TPPS4

2-, 0,02 M HCl ).

2. 9 mL Sn(IV) tetrakis(4-pyridyl) porphyrin (SnTPyP2+) dichloride dalam air (3,5 µM SnTPyP2+).

Setelah kedua larutan cair porfirin berbeda muatan tersebut dicampur, lalu dibiarkan selama 72 jam di ruang gelap bersuhu kamar dan tingkat pH 2. Keterangan: Porfirin nanotube yang dihasilkan sekitar 90%.

Identifikasi morfologis : Transmission Electron Microscope (TEM) dan X-Ray Diffraction Identifikasi komposisi : UV-Vis Absorbtion Spectroscopy dan Energy Dispersive X-ray (EDX) Spectroscopy

Page 5: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

42

pengembangan divais elektronik dan fotonik berbasis struktur nano, seperti dalam pengembangan fotosintesis buatan untuk konversi energi surya [41]. 5. Porfirin dan Struktur Nano Porfirin dalam Fotosintesis Buatan untuk Konversi Energi Surya (Model D-A dyad) Sebagai upaya peniruaan terhadap sistem konversi energi surya pada unit fotosintesis biota hayati, telah banyak dikembangkan model fotosintesis buatan, diantaranya model D-A dyad [3-5, 16], model light harvest II [17] dan model Gratzel [44].

Gambar 6 Ilustrasi skematik konversi energi surya menjadi energi kimia pada bakteri ungu [4].

Dalam tulisan ini, fotosintesis buatan yang dimaksud adalah model D-A dyad yang merupakan upaya peniruan terhadap unit fotosintesis pada bakteri ungu. Dibandingkan model lainnya, model D-A dyad ini mencerminkan peniruan unit fotosintesis secara lebih utuh karena berupaya meniru baik tahap pemanenan cahaya (light harvesting) maupun pusat reaksi (reaction center) [3-5, 16]. Pada unit fotosintesis alamiah bakteri ungu, semua tahap melibatkan matrik protein [44] sehingga struktur planar porfirin (Bakteriklorfil) diduga kuat mengalami distorsi atau penyimpangan [18-20].

Keberadaan matrik protein pada unit fotosintesis tersebut juga menunjukkan bahwa proses-proses selama fotosintesis bakteri ungu terpengaruh oleh fungsi protein yang tunduk terhadap dogma genetika [10]. Hal ini agak berbeda dengan unit fotosintesis bakteri hijau dimana untuk tahap pemanenan cahaya dilakukan oleh struktur nano batang pemanen cahaya yang tersusun dari pigmen secara penataan-diri, sebagaimana telah kami sampaikan sebelumnya. Perbandingan ciri antara batang pemanen cahaya bakteri hijau dan tahap pemanen cahaya baktei ungu dapat dilihat pada Tabel 3.

Istilah ”D-A dyad” pada model ini merujuk pada komposisi sistem yang mencakup donor elektron (D) dan akseptor elektron (A). Untuk komponen donor umumnya dipakai porfirin, sementara akseptor menggunakan struktur nano karbon seperti fullerene (C60) [3-5,16,45] atau bukan fullerene seperti single-walled nanotubes (SWNT) dan carbon nanotubes ( CNT) [46-49].

Aliran energi dan transfer elektron merupakan salah satu faktor penentu pada tahapan fotosíntesis alamiah [1,5,42], begitu pula pada fotosíntesis buatan D-A dyad [3-5,16,45]. Pendekatan dalam mamahami perilaku transfer elektron pada unit fotosintesis tersebut banyak mendasarkan pada teori transfer elektron Marcus yang dirumuskan sebagai berikut [3-5]:

dimana : kET : konstanta tingkat transfer elektron, V : kopling listrik antara donor-akseptor, kB : konstanta Boltzmann, h : konstanta Planck, : perubahan energi bebas.

Sementara untuk mengukur kualitas kinerja

model D-A dyad diantaranya didasarkan pada angka

Tabel 3 Perbandingan ciri elemen batang pemanen cahaya bakteri hijau dan tahap pemanen cahaya bakteri ungu [42,43].

No Ciri

Elemen batang pemanen cahaya bakteri hijau

Elemen pemanen cahaya bakteri ungu

1

Fungsi

Memanen cahaya (menyerap cahaya matahari ) dan transfer elektron

Memanen cahaya (menyerap cahaya matahari ) dan transfer elektron

2 Molekul penyusun Pigmen (dominan bakteriklorofil c)

Pigmen ( dominan bakteriklorofilI a) dan matriks protein

3

Proses penyusunan Penataan diri alamiah (dominan dipengaruhi kondisi fisika-kimiawi lingkungan)

Mekanisme biologis (dipengaruhi fungsi protein)

4 Mekanisme transfer energi (pemanenan cahaya)

Interaksi pigmen-pigmen Interaksi pigmen-protein

Page 6: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

43

IPCE (incident photon-to-photocurrent efficiency) yang dirumuskan sebagai berikut [9]: IPCE (%) = 100 × 1240 × Isc /(Iinc × λ) × 100 (2) dimana : ISC : fotocurrent sirkuit pendek (A/cm2 ),

Iinc : intensitas cahaya tumbuk (W/cm2 ), λ : panjang gelombang (nm). Berkembangnya interpretasi terhadap teori

Marcus di atas dan perkembangan informasi terkait unit fotosíntesis alamiah pada bakteri ungu serta perkembangan bidang rekayasa material Dalam dalam ukuran nano (nanoteknologi), baik secara konseptual maupun eksperimen, berpengaruh kuat bagi perkembangan fotosintesis buatan model D-A dyad tersebut.

Sejak perintisan hingga perkembangan terkini, telah diusulkan beragam model dan modifikasi model fotosintesis buatan D-A dyad [3-5,16,37,38]. Dalam perkembangan tersebut, keberadaan porfirin terbukti memiliki peran penting, yaitu sebagai fotosensitiser, meniru fotosensitizer (Bakteri)klorofil pada unit fotosintesis bakteri ungu alami. Selain itu, porfirin biasa difungsikan juga sebagai donor elektron, meski tidak selalu.

Pada tabel 4, dijabarkan garis besar perkembangan fotosintesis buatan model D-A dyad. Sejak perintisan oleh Sakata-Mataga dan Gust et al, [3,4,16] hingga D-A dyad dengan menerapkan klaster porphyrin-peptide oligomers (D) dengan fullerene (A) [50-52]. Berdasarkan tabel tersebut akan dianalisis seberapa jauh peran porfirin, baik sebagai struktur planar maupun sebagai struktur nano, pada perkembangan model D-A dyad tersebut. Analisis perkembangan model : Berdasarkan Tabel 4, diperoleh informasi sebagai berikut :

a. Pada saat perintisan (poin 1 dan 2), pola D-A dyad merupakan upaya peniruan terhadap pola D-A dyad alami pada unit fotosintesis bakteri ungu. Secara alamiah komposisi D-A dyad unit fotosintesis bakteri ungu tersusun oleh karoten-BChl-quinone, sedang D-A dyad tiruan : karotene-porphyrin-quinone.

b. Baik dalam perintisan maupun pengembangan (poin 3-8), porfirin telah digunakan dalam penyusunan model D-A dyad.

c. Dalam rangka pengembangan model, telah dilakukan beberapa kali modifikasi, diantaranya : c.1. Penggantian senyawa planar quinone dengan struktur tiga dimensi fullerene atau C60 sebagai akseptor (poin 4 dan sesudahnya). c.2 Modifikasi porfirin a. Modifikasi jumlah (poin 4, 5, 8) dan fungsi (poin 5). b.Modifikasi dengan menghubungkan porfirin senyawa protein dan memperbanyaknya (poin 8).

Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejak perintisan hingga pengembangan fotosintesis buatan model D-A dyad belakangan, porfirin memiliki peran signifikan, baik berfungsi sebagai fotosensitizer maupun donor elektron. Modifikasi model dengan penambahan jumlah porfirin akan meningkatkan kemampuan model D-A dyad dalam memanen cahaya yang berdampak pada peningkatan kualitas kinerja model tersebut. Namun demikian, dalam perkembangan model D-A dyad tersebut, diperoleh temuan bahwa porfirin yang digunakan, baik pada saat perintisan hingga pengembangan terakhir masih terbatas pada porfirin planar, belum menerapkan porfirin sebagai struktur nano, baik untuk struktur nanorods maupun nanotube. 6. Ringkasan Dalam artikel ini, kami telah menunjukkan bahwa diantara sekian banyak struktur nano dari senyawa porfirin yang telah berhasil disintesis, terdapat struktur yang berpotensi sebagai bahan fotokonduktor, yaitu jenis nanotube dan nanorod. Kedua struktur ini berpotensi digunakan untuk pengembangan fotosintesis buatan untuk konversi energi surya. Upaya ke arah tersebut juga dapat dikuatkan dengan adanya bukti bahwa dalam tahap pemanenan cahaya (light harvesting) pada unit fotosintesis bakteri hijau melibatkan struktur nano dengan bentuk dan karakteristik mirip porfirin nanotubes atau nanorods tersebut, yaitu elemen batang pemanen cahaya ( harvesting-rod element) klorosom. Berdasarkan penelusuran seputar perkembangan fotosintesis buatan model D-A dyad, telah diperoleh informasi bahwa hingga tahap perkembanghan model dengan menerapkan klaster porphyrin-peptide oligomers (D) dengan fullerene (A), keberadaan porfirin memiliki peran signifikan dalam pengembangan model tersebut baik sebagai fotosensitizer maupun elektron donor. Namun porfirin yang dimaksud adalah porfirin berstruktur planar. Sementara untuk struktur nano porfirin, seperti nanotube dan nanorod, belum digunakan dalam pengembangan D-A dyad tersebut. Guna pengembangan fotosintesis buatan model D-A dyad lebih lanjut, kami mengusulkan adanya upaya-upaya kearah penerapkan struktur nano porfirin, khususnya untuk nanotubes dan nanorods.

Upaya penggantian struktur planar dengan struktur nano dalam pengembangan model D-A dyad sesungguhnya sudah pernah dilakukan, yaitu dengan mengganti senyawa planar quinone dengan struktur tiga dimensi fullerene. Upaya ini terbukti telah memberi alternatif baru dalam pengembangan model D-A dyad.

Kami memandang bahwa upaya penerapan porfirin nanotube/rod ke dalam model fotosintesis buatan D-A dyad ibarat mencangkokkan sebagian dari unit fotosintesis bakteri hijau, yaitu tahap pemanenan cahaya pada elemen batang, ke dalam unit fotosintesis bakteri ungu. Model dari hasil pencangkokkan ini kami sebut sebagai model fotosintesis buatan hibrida (hybrid artificial photosyntehsis) untuk konversi energi surya.

Page 7: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

44

Tabel 4 Garis besar perkembangan fotosintesis buatan model D-A dyad .

Referensi

Keterangan

Perkembangan Pola D-A dyad

No.

[4]

Secara umum, prinsip dasar dari mekanisme D-A dyad dalam fotosintesis alami sudah tercakup dalam model ini

Porfirin-quinone-quinone sebagai sensitizer- acceptor-acceptor model (Pola Sakata-Mataga)

1

[4,16]Dibanding model 1, secara signifikan model ini lebih mampu menghambat rekombinasi muatan (charge recombination) sehingga secara relatif menghasilkan tingkat usia hidup (life time) pemisahan muatan lebih lama.

Karotene-porfirin-quinone sebagai donor-sensitizer-acceptor ( Pola Gust and Moore's)

2

[4]

Model ini pertama kali menerapkan struktur tiga dimensi Fullerene (C60) sebagai akseptor elektron menggantikan senyawa planar quinone. Fullerene memiliki tingkat energi reorganisasi (λ) lebih kecil dari pada senyawa planar quinone, sehingga tingkat pemisahan muatan pada D-A dyad terjadi secara cepat pada daerah normal Marcus.

porfirin-fullerene dyad

3

[4]

Usia hidup (life time) dari tingkat pemisahan muatan akhir mencapai 0,38 detik dalam benzonitrile, suhu 163 K. Selain itu total efisiensi pemisahan muatan 34 % dalam DMF, suhu 164 K.

ferrocene (Fc)-porfirin-porfirin-fullerene (C60) tetrad

4

[4]

a. Dalam model ini porfirin sebagai jembatan penghubung (bridge atau spacer) antara Fc (donor) dan C60 (akseptor).

b. Usia hidup (life time) tingkat pemisahan muatan akhir mencapai 0,53 detik dalam DMF, suhu 163 K. Selain itu total efisiensi pemisahan muatan 83 % dalam benzonitrile.

c. Penambahan jumlah porfirin, meningkatkan tingkat pemanenan cahaya D-A dyad.

Ferrocene(Fc)-meso,meso-linked porphyrin trimer-C60 pentad

5

Page 8: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

45

Tabel 5 Garis besar perkembangan fotosintesis buatan model D-A dyad (lanjutan)

Referensi

Keterangan

Pola D-A dyad

No.

[4]

Fc-porfirin-C60 triad pada elektrode emas disusun secara self assembly monolayers (SAMs)

6

[8,9,46,51]

Metode pengembangan model ini menerapkan pengorganisasian-diri tingkat tinggi, quaternary self-organization. Lihat gambar 7 IPCE model ini mencapai 54 % dengan respon terhadap cahaya tinggi ~ 1000 nm. Kamat pada tahun awal tahun 2007 menyebut ini merupakan capaian angka IPCE tertinggi dalam pengembangan model D-A dyad.

Porfirin-Fullerene dengan nanopartikel emas (gold nanoparticles) secara quaternary self-organization

7

[9,50,51] Pola ini menggunakan kompleks supermolekuler dari porphyrin-peptide oligomers (porphyrinfunctionalized R-polypeptides) dengan fullerene. IPCE = 42 %

Porphyrin-peptide oligomers (turunan protein) dengan fullerene

8.

Page 9: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

46

Imahori menyatakan bahwa guna meningkatkan

kinerja fotosintesis buatan model D-A dyad dapat dimulai dengan mencermati interaksi molekuler donor-donor, akseptor-akseptor dan donor-akseptor [52]. Kami memandang bahwa fotosintesis buatan hibrida ini merupakan upaya untuk memodifikasi dan atau mengganti keberadaan porfirin planar yang biasa digunakan sebagai donor elektron sekaligus fotosensitiser pada fotosintesis buatan model D-A dyad. Namun demikian, sebelum diterapkan ke dalam sistim D-A dyad masih perlu diteliti lebih jauh terkait interaksi fisika-kimiawi porfirin nanotube/nanorod – porfirin planar, porfirin nanotube/nanorod - porfirin nanotube/nanorod dan porfirin nanotube/nanorod – akseptor, terutama dalam kaitannya dengan transfer elektron dan energi.

Ucapan terima kasih

1. Nasruddin mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberi Beasiswa Unggulan Persemaian Insan Indonesia Cerdas (PIIC) 2007 lewat Program Studi Magister Biologi Paskasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

2. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Hiroshi Imahori, Universitas Kyoto Jepang, dan Prof. Prashant Kamat, Universitas Notre Dame Amerika Serikat, untuk dukungan informasi seputar perkembangan terkini fotosintesis buatan untuk konversi energi surya.

Daftar Pustaka

[1] H. Scheer, in B. Grimm, R.J. Porra, W. Rüdiger, and H. Scheer (eds): Chlorophyll and Bacteriochlorophyll: Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Advances in Photosynthesis and Respiration 25, 1 Netherlands : Springer (2006).

[2] J. Hu, Y. Guo, H. Liang, L. Wan, and L. Jiang, J. Am. Chem. Soc 127, 17090 (2005).

[3] H. Imahori, Y. Mori, and Y. Matano, J. Photochem. Photobiol. C 4, 51 (2003).

[4] H. Imahori, Bull. Chem. Soc. Jpn. 80, 621 (2007). [5] M. R. Wasielewski, J. Org. Chem 71, 5051 (2006). [6] A. D. Schwab, D. E. Smith, B. Bond-Wats, D. E.

Johnston, J. Hone, A.T. Johnson, J.C. Paula, and W.F. Smith, Nano Letter 4, 1261 (2004).

[7] F.A. Collings and C. Critchley, Artificial Photosynthesis: From Basic Biology to Industrial Application, Weinheim: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA (2005).

[8] T. Hasobe, H. Imahori, P.V. Kamat, T.K. Ahn, S.K. Kim, D. Kim, A. Fujimoto, T. Hirakawa, and S. Fukuzumi, J. Am. Chem. Soc 127, 1216 (2005.

[9] P.V. Kamat, J. Phys. Chem. C 111, 2834 (2007). [10] De Boer and de Groot, in B. Grimm, R.J. Porra, W.

Rüdiger, and H. Scheer (eds): Chlorophyll and Bacteriochlorophyll: Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Advances in Photosynthesis and Respiration 25, Netherlands: Springer (2006).

[11] E. Steiner and P.W. Fowler, in B. Grimm, R.J. Porra, W. Rüdiger, and H. Scheer (eds): Chlorophyll and Bacteriochlorophyll: Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Advances in Photosynthesis and Respiration 25, 337, Netherlands: Springer (2006).

Gambar 7 Skema penataan tingkat tinggi D-A dyad klaster porfirin-C60 [46].

Page 10: Penelitian Prof. Surya

J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 1, Feb 2009

47

[12] A.W.D. Larkum, in B. Grimm, R.J. Porra, W. Rüdiger, and H. Scheer (eds): Chlorophyll and Bacteriochlorophyll: Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Advances in Photosynthesis and Respiration 25, 261, Netherlands: Springer (2006).

[13] C.F. Beck, in B. Grimm, R.J. Porra, W. Rüdiger, and H. Scheer (eds): Chlorophyll and Bacteriochlorophyll: Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Advances in Photosynthesis and Respiration 25, 223, Netherlands: Springer (2006).

[14] K.S. Kim, J.M. Lim, A. Osuka, and D. Kim, J. Photochem & Photobiol C 9, 13 (2008).

[15] R.K. Murray, in R.K. Murray, D.K. Grannner, P.A. Mayes, and V.W. Rodwell, A LANGE medical book Harper's Illustrated Biochemistry, 26th edition, Mc Graw Hill (2003).

[16] D. Gust, T.A. Moore, and A.L. Moore, Pure & Appl.Chem 70, 2189 (1998).

[17] M.L.A. Abrahamsson, Ph.D Dissertation. Sweden : Uppsala University, Sweden (2001).

[18] J.A. Shelnutt, X.Z. Song, J.G. Ma, S.L. Jia, W. Jentzen, and C.J. Medforth, Chem. Soc. Rev. 27, 31 (1998).

[19] J.G. Ma, M. Laberge, X.Z. Song, W. Jentzen, S.L. Jia, J. Zang, J.M. Vanderkooi, and J.A. Shelnutt, Biochem J. 37, 5118(1998).

[20] A.N. Melkozernov and R.E. Blankenship, in B. Grimm, R.J. Porra, W. Rüdiger, and H. Scheer (eds): Chlorophyll and Bacteriochlorophyll: Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Advances in Photosynthesis and Respiration 25, 397, Netherlands: Springer (2006).

[21] Z. Wang, C.J. Medforth, and J.S. Shelnutt, J. Am. Chem.Soc J. Am. Chem.Soc 126, 15954 (2004).

[22] M.E. Kosal and K.S. Suslick, J. Solid State Chem. 152, 87 (2000).

[23] L.-L. Li, C.-J. Yang, W.-H. Chen, and K.-J. Lin, Angew. Chem., Int. Ed 42, 1505 (2003).

[24] Y. Diskin-Posner, S. Dahal, and I. Goldberg, Angew. Chem., Int. Ed. 39, 1288 (2000).

[25] K.-J. Lin, Angew. Chem., Int. Ed. 38, 2730(1999. [26] C.M. Drain, Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 99, 5178

(2002). [27] H. Wang, C. Wang, Q. Zeng, S. Xu, S. Yin, B. Xu,

and C. Bai, Surf.Int. Anal. 32, 266 (2001). [28] G. Li, W. Fudickar, M. Skupin, A. Klyszcz, C.

Draeger, M. Lauer, and J.-H. Fuhrhop, Angew. Chem., Int. Ed. 41, 1828 (2002).

[29] X. Shi, K.M. Barkigia, J. Fajer, and C.M. Drain, J. Org. Chem. 66, 6513 (2001).

[30] A.D. Schwab, D.E. Smith, C.S. Rich, E.R. Young, W.F. Smith, and J.C. de Paula, J. Phys. Chem. B 107, 11339 (2003).

[31] T. van der Boom, R.T. Hayes, Y. Zhao, P.J. Bushard, E.A. Weiss, and M.R. Wasielewski, J. Am. Chem. Soc. 124, 9582 (2002).

[32] A. Tsuda, S. Sakamoto, K. Yamaguchi, and T. Aida, J. Am. Chem. Soc. 125, 15722 (2003).

[33] T.S. Balaban, R. Goddard, M. Linke-Schaetzel, and J.-M. Leng, J. Am. Chem. Soc. 125, 4233 (2003).

[34] R.A. Haycock, A. Yartsev, U. Michelsen, V. Sundstro¨m, and C.A. Hunter, Angew Chem. Int. Ed. 39, 3616 (2000).

[35] R. Takahashi, and Kobuke, J. Am. Chem. Soc. 125, 2372 (2003).

[36] Y. Kuroda, K. Sugou, and K. Sasaki, J. Am. Chem. Soc. 122, 7833 (2000).

[37] C.M. Drain, J.D. Batteas, G.W. Flynn, T. Milic, N. Chi, D.G. Yabloon, and H. Sommers, Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 99, 6498 (2002).

[38] J.-H. Fuhrhop, U. Binding, and U. Siggel, J.Am. Chem. Soc.115, 11036 (1993).

[39] Z. Wang, K.J. Ho, C.J. Medforth, and J.A. Shelnutt, Adv. Mater J. 18, 2557 (2006)..

[40] Z. Wang, Z. Li, C.J. Medfort, and J.A. Shelnutt, J.Am. Chem. Soc 129, 2440.(2007).

[41] Sandia National Laboratories, LDRD Final Report on Adaptive Responsive Nanostructures for Sensing Applications. Sandia Report, California: US Department of Energy (2005).

[42] B. Ke, in Advances Photosynthesis Vol. 10. Netherland: Kluwer Academic Publishers (2001).

[43] B. Grimm, R.J. Porra, W. Rüdiger, and H. Scheer (eds): Chlorophyll and Bacteriochlorophyll: Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Advances in Photosynthesis and Respiration 25, Netherlands: Springer (2006).

[44] M. Grätzel, Nature 414, (2001). [45] Y. Sakata, H. Imahori, H. Tsue, S. Higashida, T.

Akiyama, E. Yoshizawa, N. Aoki, K. Yamada, K. Hagiwara, S. Taniguchi, and T. Okada, J. Pure & Appl. Chem. 69, 1951 (1997).

[46] T. Umeyama and H. Imahori, J Photosynthesis Res. 87, 63 (2006).

[47] P.V. Kamat, Nanotoday 1, 20 (2006). [48] P.V. Kamat, Interface (2006). [49] D.S. Hecth, R.J.A. Ramirez, M. Briman, E.

Artukovic, K.S. Chichak, J.F. Stoddart, G. Gruner, Nano Lett.6, 2031 (2006).

[50] T. Hasobe, P.V. Kamat, V. Troiani, N. Solladie, T.K. Ahn, S.K. Kim, D. Kim, A. Kongkanand, S. Kuwabata, and S. Fukuzumi, J. Phys. Chem. B Lett. 109, 19 (2005.

[51] T. Hasobe, S. Fukuzumi, and P.V. Kamat, J. Mol. Cryst. Liq. 47, 39 (2007).

[52] H. Imahori, J.Mater.Chem 17, 31 (2007).