pendidikan perdamaian dalam liturgi gkmi siloam salatiga ... · terlaksanannya penelitian ini....
TRANSCRIPT
Pendidikan Perdamaian Dalam Liturgi GKMI Siloam Salatiga dan Dampaknya Bagi Kerukunan Masyarakat Beragama di
Lingkungan Sekitar Gereja
Oleh
Ivana Yohana Gabriela
71 2011 039
Tugas Akhir
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2015
i
Kata Pengantar
Era modernisasi merupakan era yang mendahulukan pemikiran rasional, kecanggihan
teknologi dan segala sesuatu yang bersifat instan. Hal ini telah menjadi bagian di seluruh dunia.
Tetapi siapa sangka, dengan kemajuan zaman, agama tetap menjadi bagian terpenting di
belahan dunia lainnya. Indonesia merupakan negara yang sangat mengedepankan agama,
walau di sisi lain menerima pengaruh kemajuan zaman.
Pada awalnya para pendiri negara Indonesia ini mencita-citakan suatu negara dan
masyarakat yang makmur, biasa disebut dengan civil society. Melihat perkembangan Indonesia
sampai pada kemerdekaannya yang ke-70 tahun, ternyata Indonesia masih saja mencari jati diri
mereka untuk mendirikan negara yang bermodelkan demokratis, agamis (fundamental) atau
sosialis. Komunitas model di atas memberikan masukan mereka dalam setiap kesempatan di
media sosial, melaui kebijakan pemerintah ataupun gerakan-gerakan agamawis tertentu.
Melihat dari sisi keagamaan, memang sejak tahun 1990, Indonesia sangat sensitif ketika
berbicara soal agama dilihat dari kekerasan yang dipelopori oleh agama itu sendiri.1 Agama
yang seharusnya memberitakan tentang kebaikan, justru menjadikan umatnya untuk
memelihara budaya kekerasan demi menjaga pemberitaan kebaikan dari salah satu agama
tertentu.
Penulisan jurnal ini ingin membawa para pembaca melihat bagaimana peran agama,
secara khusus untuk mewujudkan cita-cita awal para pejuang negara Indonesia, yakni
perwujudan civil society. Pengkritisan terhadap pengajaran di gereja melalui liturgi sebagai
pendidikan awal bagi jemaat dijelaskan dalam tulisan ini serta bagaimana penciptaan
pendidikan perdamaian melalui liturgi sebagai lawan dari budaya kekerasan oleh agama.
Akhirnya, ucapan terima kasih oleh penulis diperuntukan kepada Tuhan sebagai konselor
terbaik penulis untuk tetap bersemangat merampungkan tulisan walaupun banyak situasi yang tidak
mendukung. Peran konseling keilahian yang penulis rasakan terwujud melalui kehadiran orang-
orang di sekitar, yakni kekasih Eleksio Petrich yang selalu menemani di kala penulis merasa putus
asa. Abraham Wiriadinata-Latuihamallo, M.Div (papa), Nova Kaligis, S. PAK (mama), Rafael dan
Angel selaku keluarga yang terus memberikan dukungan dan kebebasan berpikir untuk kelanjutan
masa depan. Keluarga Jerry Pattiasina yang terus mendukung dalam doa. Pdt. Totok Wiryasaputra,
Th.D sebagai pendamping dan pemberi
1 Olaf Herbert Schumann, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 1-5.
v
masukan serta rekan-rekan pendeta PCF (Pastoral Counselling Foundation). Pdt. Yusak B.
Setyawan, Ph.D sebagai pembimbing pelatih mental integritas seseorang yang luar biasa. Pdt.
Mariska Lutherboom, MATS sebagai pembimbing kedua yang membantu penulis menuntaskan
prosedur penulisan. Angkatan Teologi 2011 yang memberikan makna warna-warni kehidupan,
teman-teman ASKARSEBA, Laura Agustina (2013) yang menolong memberikan tumpangan
kamar selama satu bulan serta GKMI Siloam Salatiga yang menerima penulis sehingga
terlaksanannya penelitian ini. Semoga tulisan ini menghadirkan makna perdamaian yang sejati bagi
para pembaca, sebagaiman perkataan Yesus “Peace be with you.
As the Father sent me, so I send you” (John 20:21).
Salatiga, 07 Oktober 2015
Ivana Yohana Gabriela
vi
DAFTAR ISI Cover ................................................................................................................................. i Lembar Pengesahan........................................................................................................ ii Pernyataan Tidak Plagiat..............................................................................................iii Persetujuan Akses .......................................................................................................... iv Kata Pengantar ............................................................................................................... v Daftar Isi ........................................................................................................................ vii Abstrak ..........................................................................................................................viii 1. Pendahuluan ................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian ........................................................ 3
1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data Penelitan ........................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4
1.5 Sistematika Penulisan ....................................................................................... 4 2. Pendidikan Perdamaian Dalam Pelaksanaan Liturgi ............................................. 4
2.1 Pendidikan Perdamaian Dalam Arti Luas ..................................................... 5
2.2 Pendidikan Perdamaian Dalam Perspektif Kekristenan .............................. 6
2.3 Gereja Sebagai Pusat Pendidikan Perdamaian ............................................. 7
2.4 Liturgi Sebagai Pusat Pendidikan Perdamaian di Gereja ............................ 8 3. Pendidikan Perdamaian dan Liturgi di GKMI Siloam ......................................... 10
3.1 Sejarah GKMI ................................................................................................. 10
3.2 Pendidikan Perdamaian di GKMI Siloam ................................................... 12
3.3 Liturgi Sebagai Pusat Pendidikan Perdamaian di Gereja .......................... 13
3.4 Kesimpulan penelitian pendidikan perdamaian melalui liturgi
di GKMI Siloam .............................................................................................. 17 4. Tinjauan Perspektif Pendidikan Perdamaian Terhadap Unsur-unsur
Liturgi GKMI Siloam Salatiga dan Dampaknya Bagi Kerukunan
Masyarakat Beragama di Lingkungan Sekitar Gereja ........................................ 18
4.1 Wajah Liturgi dalam Kesatuan Tubuh Perdamaian .................................. 18
4.2 Tiga Porsi Penegasan sebagai perombak Liturgi Biasa .............................. 22
4.3 Fungsi Pastoral Liturgi Bagi Perwujudan Civil Society .............................. 23 5. Penutup ...................................................................................................................... 24
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 24
Daftar Pustaka ............................................................................................................ 25
vii
Abstract
Since 1990, in Indonesia, it has been appeared that religion will be firmly and
strongly politicized and used as a stick to beat all opponents of a different religion or
religious doctrine. In fact, religion should teach about good things and not lead to the culture
of violence. This article describes how peace education center takes place through the liturgy
in church as the resistance of a culture of violence and leads to the civil society. GKMI
Siloam Salatiga is one of Anabaptis movement that declares peace. GKMI Siloam is located
in a small alley, called “Kampung Hitam,” but since the presence of GKMI Siloam there
was never violence between religions. By using the theory of peace and liturgy and
combining them into perspective about peace educative liturgy, I found that it is not solely
constituted by the ordinary parts of a common liturgy that contains the value of peacefulness,
but it emphasizes on how the appreciation of every order of the liturgy could be sensed by
the holistic of congregration inculding the spiritual value, moral value and real sense of
peacefulness. Keywords: education, peacefulness, church, liturgy
vi
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Agama merupakan jembatan bagi manusia untuk bertemu dengan Tuhan melalui
pembentukan komunitas maupun aliran tersendiri. Dengan adanya agama, maka status
kehidupan manusia lebih terlihat jelas. Secara obyektif, agama adalah cara bagaimana manusia
berdiri di hadapan Tuhan dan bagaimana manusia harus berlaku terhadap Dia. Maka agama
dipahami sebagai iman yang diikat dengan rasa takut, segan serta dengan sungguh-sungguh
kepada Tuhan.1 Seiring berjalannya waktu, ternyata agama terbagi dalam beberapa golongan,
salah satunya yang menekankan hubungan pribadi dengan Tuhan (vertikalistik) sebagaimana
diungkapkan dalam pola-pola persekutuan, moral dan ibadah serta nyanyian khas.2 Golongan
ini biasa disebut dengan Gerakan Kharismatik atau fundamentalisme.3
Pada masa kontemporer, kekerasan berbau agama lebih sering disebabkan karena adanya
faktor-faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menumbuhkan suatu “budaya
kekerasan” (culture of violence).4 Di Indonesia, sejak tahun 1990, terlihat bahwa agama dengan
tegas dan kuat akan dipolitisasi dan dipakai sebagai tongkat untuk memukul semua lawan yang
berbeda agama ataupun doktrin keagamaan.5 Fakta-fakta tersebut yang memaparkan
keterkaitan antara agama dengan tindakan kekerasan mengakibatkan orang bertanya-tanya,
mengapa agama yang dianggap mengajarkan kebaikan justru melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan ajaran yang dikumandangkannya sendiri. Kenyataan seperti itu
merupakan suatu gerakan keagamaan ekstrem yang mengakibatkan tanda-tanda kegagalan
agama merespon perkembangan zaman. Kekerasan terjadi dimana-mana dengan bersumber
pada Kitab Suci dari masing-masing agama.6 Dengan demikian tugas dari agama untuk
merevitalisasi ajaran-ajaran dan aspek-aspek agama tentang perdamaian.
Dari sinilah gereja, sebagai suatu persekutuan umat Kristiani perlu mengadakan suatu
pembaharuan, karena keberlangsungan sistem keagamaan yang ekstrem menyebabkan
keeksklusivan bagi penganutnya sehingga muncul suatu pertikaian antar agama. Penting disini
untuk menghubungkan makna perdamaian sebagai keutuhan dalam masyarakat yang dicirikan
1 Honog, Ilmu Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 49. 2 Kata “vertikalistik” menunjuk pada suatu golongan keagamaan yang menekankan hubungan pribadi dengan
Tuhan dan bersifat anti pluralisme. Zakaria J. Ngelow, Agama-agama & Problematika Sosial Keagamaan (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI dan Mission 21, 2005), 34. 3 Ngelow, Agama-Agama, 34. 4 Schumann, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 1-5. 5 Schumann, Agama-Agama, 1. 6 Schumann, Agama-Agama, 492.
2
oleh relasi harmonis.7 Tulisan ini memaparkan bagaimana pemupukan kesadaran terhadap
persekutuan orang-orang yang mengabarkan Injil, baik sebagai gereja maupun sebagai individu
dengan caranya masing-masing dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengedepankan golongan
vertikalistik dan yang bersifat introvert, guna mewujudkan suatu perdamaian antar agama serta
membangun suatu kehidupan manusia yang ideal dan/atau civil society, menciptakan rumusan
conflict prevention ataupun mencetak umat—menjadi peacemaker—sebagai pelaku
peacemaking.8
Berdasar pada pandangan Riemer bahwa ibadah adalah intisari gereja.9 Maka, dalam tulisan
ini penulis menyampaikan argumentasi bahwa perwujudan nilai-nilai perdamaian di gereja
berpusat pada liturgi. Hal ini menyatakan bahwa liturgi merupakan “kemasan” keseluruhan
peribadatan. Melalui liturgilah, usaha gereja menciptakan para peacemaker tersebut.
Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) adalah gereja Kristen beraliran Mennonit,
merupakan aliran yang telah lama hadir di Indonesia. Aliran Mennonit merupakan aliran yang
menekankan panggilan orang-orang percaya untuk mengikuti jalan Kristiani yang bersifat
kasih dan non-kekerasan dan untuk hidup terpisah dari kejahatan dunia.10 Aliran ini berupaya
memajukan kesatuan persaudaraan, memelihara ajaran dan kehidupan yang bersih dan
melayani sebagai suatu kesaksian terhadap orang lain.11 Secara geografis, GKMI Siloam
Salatiga yang menjadi pusat penelitian penulisan ini terletak di kawasan pasar Salatiga,
bertempat di pemukiman Pancuran dengan jumlah penduduk 1898 jiwa (641 KK) dan
penduduk beragama Kristen hanya berkisar 317 jiwa.12 Artinya lingkungan sekitar gereja
bermayoritaskan agama non-Kristiani dan kawasan tersebut biasa disebut dengan “Kampung
Hitam”, yakni masyarakat setempat yang adalah preman pasar, pemabuk dan penjudi. Sejak
berdirinya GKMI Siloam, yakni pada tahun 1988, gereja dan penduduk masyarakat sekitar
7 Tony Tampake, “Signifikansi Pendidikan Perdamaian Dalam Masyarakat Bhieka Tunggal Ika”, Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk (Salatiga: Griya Media, 2011), 37. 8 Kata “Introvert” menunjuk pada suatu sikap yang hanya melihat kedalam (diri sendiri) tanpa melihat keluar dimana keberadaan “dia” saat itu. Kata ini dikaitakan kedalam hubungan keagamaan dan lingkungan dimana agama saat ini berada. Kata ini juga ingin merefleksikan bagaimana peran agama saat ini menganggapi lingkungan dimana agama itu berada dan apa saja yang telah dilakukan agama saat ini. Namun agaknya, agama memang hanya berfokus pada kehidupan mereka yang introvert itu. Adapun ide-ide mengenai rumusan conflict prevention dan pembentukan peacemaker terambil dari: David Carment and Albrecht Schnabel, Conflict Prevention: Path to Peace or Grand Illusion? (Tokyo: United Nations University Press, 2003), 70-71; Victor J. Seidle, Religions, Hatreds, Peacemaking and Suffering (New York: I.B Tauris, 2007), 27-45. 9 Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995), 21. 10
Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 104-135. 11
Aritonang, Berbagai Aliran, 104-135. 12
Data diambil dari buku kependudukan warga Pancuran oleh ketua RW Pancuran dan disesuaikan dengan data resmi Pemerintah Kota Salatiga: http://salatigakota.bps.go.id/webbeta/frontend/, pada 28 September 2015, pukul 14:49 WIB.
3
gereja tidak pernah mengalami suatu bentrokan yang disebabkan oleh agama. Sebutan
pemukiman “Kampung Hitam” itu juga telah memudar, seiring berjalannya waktu oleh
keberadaan gereja di pemukiman Pancuran.
Dengan berbagai latar belakang permasalahan tersebut, melalui tulisan ini penulis
memaparkan gagasannya mengenai makna liturgi GKMI Siloam melalui tinjauannya terhadap
liturgi itu sendiri dan menguraikannya di bawah judul: “Pendidikan Perdamaian Dalam
Liturgi GKMI Siloam Salatiga dan Dampaknya Bagi Kerukunan Masyarakat Beragama
di Lingkungan Sekitar Gereja.”
1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti merumuskan
permasalahan, yaitu apa unsur-unsur ibadah Minggu GKMI Siloam Salatiga dan dampaknya
jika ditinjau dari perspektif pendidikan perdamaian bagi kerukunan masyarakat beragama di
lingkungan sekitar gereja?
Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan unsur-unsur
pendidikan perdamaian dalam liturgi ibadah Minggu GKMI Siloam Salatiga dan dampaknya
bagi kerukunan masyarakat beragama di lingkungan sekitar gereja.
1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif.13 Terdapat dua (2) metode yang
dipakai untuk mengumpulkan data, yakni: pertama, pengumpulan data primer merupakan
pengumpulan data dari lapangan, tempat di mana penelitian dilakukan. Metode ini dilakukan
dengan wawancara yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan masalah yang diteliti
dengan percakapan tatap muka, guna mendapatkan informasi yang lebih akurat dan terperinci
untuk memperkuat data tentang obyek yang diteliti. Bentuk wawancara yang digunakan adalah
wawancara terpimpin yaitu wawancara yang terarah dalam mengumpulkan data-data relevan.14
Penelitian dilakukan di GKMI Siloam Salatiga dan masyarakat di lingkungan sekitar gereja.
Kedua, pengumpulan data sekunder, yakni pengumpulan data melalui buku, artikel, naskah dan
bahan kepustakaan lainnya. Metode sekunder juga bermanfaat untuk menyusun landasan
teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian guna menjawab
persoalan pada rumusan masalah penelitian.
13 Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 2004), 63. 14 Koenjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1983), 20.
4
Informan yang dibutuhkan guna menunjang penelitian ini adalah orang-orang yang dapat
memberikan data serta informasi yang akurat dan tepat guna mendukung keakuratan hasil
penelitian. Adapun informan penunjang penelitian adalah para pimpinan gereja dan jemaat
GKMI Siloam Salatiga serta masyarakat sekitar yang berinteraksi secara langsung dengan
warga jemaat GKMI Siloam Salatiga.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoritis penelitian ini menjadi sumbangan terhadap pemahaman yang mendalam
mengenai liturgi, makna dan fungsi liturgi yang seharusnya berimplikasi pada tindakan gereja
secara nyata. Sebagai salah satu sarana gereja yakni tempat peribadatan umat Kristen dalam
usaha untuk mengurangi penderitaan dalam masyarakat dengan menjamin adanya keadilan,
kemakmuran dan kasih yang lebih besar dalam perikehidupan kemasyarakatan, melalui
menciptakan suatu kerukunan masyarakat beragama di lingkungan sekitar gereja. 15
Secara praktis penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi jemaat GKMI Siloam untuk
meningkatkan kualitas persekutuan dalam hidup berdampingan dengan orang lain yang
berbeda agama sehingga mewujudkan suatu kerukunan masyarakat yang berujung pada civil
society.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam kajian terbagi dalam lima bagian. Pada bagian pertama
berisikan pendahuluan. Bagian kedua berisikan kerangka konseptual, penjelasan konsep
mengenai pendidikan perdamaian dan hal-hal yang mendukung dalam pembentukan suatu
liturgi perdamaian yang nantinya akan digunakan sebagai tolak ukur dalam menganalisa hasil
penelitian yang ada. Bagian tiga berisi analisa hasil penelitian. Bagian empat berupa kajian
penelitian. Bagian lima akan memuat penutup daripada tulisan ini.
2. Pendidikan Perdamaian Dalam Pelaksanaan Liturgi
Gereja yang adalah institusi keagamaan dan bagian dari masyarakat, seharusnya
menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Gereja menjadi pusat dari kehidupan
masyarakat dan mengatasi setiap dimensi kehidupan.16 Dalam hal ini, gereja harus berperan
serta dalam menciptakan suatu kehidupan manusia yang ideal (civil society) yang terwujud
15 Simatupang, Tugas Kristen Dalam Revolusi (Percikan Pergumulan Seorang Awam Modern Ditengah-tengah Dunia Yang Bergolak) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1960), 12. 16 Williams, What In The World? (New York : Department of Publication Service NCCUSA, 1965), 23.
5
dalam relasi yang harmonis antar masyarakat, khususnya dalam lingkup umat beragama,
karena dunia yang selalu dicengkram oleh ketidakadilan struktural ataupun cara berpikir
pemimpin keagamaan yang hanya berfokus pada politik keagamaan tanpa melihat keberadaan
mereka ditengah situasi dunia dan menatanya ke arah tatanan dunia yang lebih adil.17
Perdamaian antar agama yang tercipta menjadi suatu cita-cita tertinggi masyarakat beragama
yang ideal.18
2.1 Pendidikan perdamaian dalam arti luas
Pendidikan dilihat dari sudut etimologinya, sebagai suatu terjemahan dari education yang
adalah akar kata dari bahasa Latin, yakni ducare, berarti membimbing (to lead), dengan
tambahan “e” yang berarti keluar (out).19 Pendidikan adalah usaha sadar, terencana dan
disengaja untuk memperlengkapi individu kepada tahap perkembangan yang lebih tinggi dalam
tatanan kemajuan komunitas tertentu. Definisi alternatif atau luas terbatas menambahkan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang berlangsung melalui
proses pelembagaan yang sistematis dan sebuah cara penyebaran (transmition) pengetahuan
dan keterampilan, termasuk nilai-nilai dasar yang berlaku di dalam masyarakat.20 Itu berarti
bahwa semua segi kehidupan seperti spiritualitas, moralitas, sosialitas, rasa, rasionalitas,
semuanya perlu mendapatkan porsi dalam proses pendidikan tersebut.21 Maka, manusia
merupakan subyek utama dari pendidikan yang adalah pembentukan manusia dalam
lingkungannya termasuk sebagai makhluk yang beradab.
Sedangkan perdamaian yang berasal dari kata dasar “damai”, dalam pengertian orang
Indonesia dipahami sebagai suasana dimana tidak terdapat permusuhan. Damai menunjuk
kepada hubungan yang serasi di antara dua atau lebih pihak. Dalam hal ini, damai berarti suatu
17 George R. Wilkes, “Religious Attitudes to The Middle East Peace Process”, ed. Philip Broadhead & Damien Keown (New York: I.B Tauris, 2007), 10. 18
Pernyataan “kehidupan masyarakat beragama yang ideal” merupakan pemikiran kritis terhadap isu-isu kekerasan yang dominan diperankan oleh agama. Pada kenyataannya, agamalah sebagai suatu komunitas yang mengumandangkan suatu kehidupan perdamaian, namun justru menjadi pelaku utama. Kehidupan masyarakat beragama yang ideal, membawa pemikiran kita kepada ke-konsistenan agama terhadap ajarannya serta tindakan nyata dan/atau sosial dalam kehidupan sehari-hari. 19 Nuhamara, Pembimbing PAK, Pendidikan Agama Kristen (Bandung, Jurnal Info Media, 2007), 57. 20 Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 11. 21 Suparno, SJ. Dkk., Reformasi Pendidikan; Sebuah Rekomendasi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 13.
6
kualitas kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan harkat, martabat dan hak
asasinya sehingga memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan adil, setara dan rukun.22
Berdasarkan definisi di atas, maka pendidikan perdamaian dipahami sebagai
pengembangan kemampuan-kemampuan pribadi secara optimal dengan tujuan-tujuan sosial
yang bersifat kemanusiaan seutuhnya yang dapat memainkan peranannya sebagai warga dalam
persekutuan hidup dan kelompok sosial.23 Sebagai suatu pengajaran yang menolong individu
dan masyarakat agar mereka mendapatkan keterampilan dalam menyelesaikan konflik tanpa
menggunakan kekerasan dan memperkuat keterampilan dalam menyelesaikan konflik tanpa
kekerasan. Pendidikan perdamaian memiliki pendekatan yang lebih proaktif. Maka, dapat
dipahami bahwa pendidikan perdamaian didefinisikan sebagai area edukasi interdisipliner
yang tujuannya adalah pengajaran. Namun usaha pendidikan perdamaian ini harus dilakukan
dengan metode yang bersifat partisipatoris, inklusif, mengakomodasi dan melibatkan berbagai
pemangku (stakeholders).24 Dengan maksud, pendidikan yang dilakukan bukan saja dilakukan
dari satu pihak, tetapi terdapat partisipasi dari setiap individu yang ada sehingga membentuk
suatu dialog secara sadar, agar pendidikan dapat benar-benar terjadi dan dihayati oleh individu-
individu yang ada.
2.2 Pendidikan perdamaian dalam perspektif kekristenan
Makna “damai” dalam teks-teks Alkitab, beberapa teks dalam Perjanjian Lama
mengartikan damai sebagai hal yang bertentangan dengan segala jenis konflik termasuk di
dalamnya adalah perang. Menurut pandangan Setyawan yang meninjau dari pandangan
Kremer bahwa “damai” memberikan arti penting, khususnya ketika Yesus menggunakannya
dalam salam perjumpaan maupun perpisahanNya yang menandakan bahwa Tuhan—meraja
saat itu. Hal ini tentunya berhubungan dengan Kerajaan Allah yang berarti adanya suatu
kedamaian, keadilan, kasih dan kerendahan hati.25 Tatanan perdamaian adalah kenyataan
Kerajaan Allah.26 Tanpa adanya kedamaian, maka Kerajaan Allah tidak dapat hadir. Nilai-nilai
di atas itulah yang menentukan kehidupan manusia untuk menghadirkan Kerajaan Allah.
22 Tony Tampake, “Signifikansi Pendidikan Perdamaian Dalam Masyarakat Bhineka Tunggal Ika”, Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk. (Salatiga: Griya Media, 2011), 57. 23 Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, 11. 24 Trijono, Pembangunan Sebagai Perdamaian; Rekonstruksi Indonesia Pasca-Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 65-67. 25 Yusak B, Setyawan, “Makna ‘Damai’ Dalam Alkitab”, Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk. (Salatiga: Griya Media, 2011), 39-40. 26 Gruchy, Saksi Bagi Kristus; Kumpulan Cuplikan Karya Dietrich Bonhoeffer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 128-131.
7
Menurut Slattery, Yesus yang hadir di dunia merupakan kehadiran peacemaking pertama,
Dialah peacemaker itu yang melawan kejahatan dengan kebaikan.27 Yesus yang tersalib
merupakan pendidikan perdamaian yang diciptakanNya melalui sejarah. Yesus yang berkarya
dalam dunia hendak menghadirkan umat baru di dalam dunia. Sebagaimana ajaran pendidikan
perdamaian Yesus yakni, “Love your enemies and pray for those who abuse you” (Lk.6:27;
Mt.5:44).28 Karya Tuhan dalam dunia adalah maksudNya untuk menyelamatkan dunia, dunia
dibuat utuh secara keseluruhan dan dunia diharapkan dapat menentukan tanggapan benar
terhadap karyaNya itu. Maka, umat Tuhan dipanggil juga untuk berkarya di dalam dunia, bagi
segenap manusia khususnya ditunjukan kepada mereka yang menderita dan tertindas.
Jadi, pendidikan perdamaian dalam perspektif kekristenan adalah suatu pengajaran yang
dilakukan secara sengaja guna penerapan nilai-nilai Kerajaan Allah yakni, keadilan, kasih serta
kerendahan hati. Nilai-nilai ini tentunya tidak hanya bersifat vertikalistik,29 namun
mengandung pemaknaan yang dalam terhadap manusia dan sesamanya. Kelanjutan pendidikan
perdamaian yang telah dilakukan dalam sejarah itu, saat ini ditentukan di dalam gereja, guna
menciptakan umat yang memahami betul makna dari perdamaian dan bisa mempraktekannya
dalam kehidupan nyata sehingga terwujudlah cita-cita civil society itu.
2.3 Gereja sebagai pusat pendidikan perdamaian
Gereja yang adalah bagian dari masyarakat, memiliki tantangan untuk menciptakan dan
membangun tatanan dunia yang lebih adil dan merata. Keterlibatan dalam urusan-urusan dunia
sangat penting dalam mempertahankan eksistensi gereja itu sendiri.30 Gereja dipahami sebagai
persekutuan orang beriman yang dalam Perjanjian Baru ialah Ekklesia, diartikan sebagai umat
Allah yang terpanggil keluar untuk tujuan khusus dan pasti.31 Gereja ada karena Kristus sendiri
yang memanggil sehingga seharusnya keberadaan gereja memberikan dampak yang baik
(=damai, perdamaian) bagi lingkungan sekitarnya.32 Menurut Riemer, gereja seharusnya
27 Slattery, Jesus The Warrior? Historical Christian Pespective & Problems and The Morality of War & The Waging of Peace (Marquette: University Press, 2007), 53-55. 28 Slattery, Jesus The Warrior?, 53-55. 29 Kata “vertikalistik” menunjuk pada suatu golongan keagamaan yang menekankan hubungan pribadi dengan Tuhan saja dan bersifat anti pluralisme. Kata “vertikalistik” digunakan oleh Zakaria Ngelow dalam bukunya, Agama-agama & Problematika Sosial Keagamaan (Jakarta: Badan Peneliti dan Pengembangan PGI dan Mission 21, 2005), 34. 30 Weber, The Conggregation In Mission (New York: Abingdon Press, 1964), 171. 31 G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 359. 32 Jacobs, Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 12-13.
8
memberikan perhatian yang besar terhadap ibadah, jika gereja ingin mewujudkan nilai-nilai
Kerajaan Allah, sebab ibadah adalah inti sari gereja.33
Dalam ibadah harus nyata benar bagaimana Tuhan bergaul dengan umatnya. Dasar ibadah
inilah yang memampukan umat untuk dapat melayani dan mengasihi sesama, bukan sebaliknya
umat mengasihi sesamanya karena ingin mendapat rahmat dari Tuhan. Berpijak pada
pengalaman bertemu dengan Bapa yang mengasihi, mengampuni dan menyelamatkan inilah
umat dimampukan mengasihi sesamanya. Tentunya hal ini merujuk pada liturgi, isi dan
dampak liturgi bagi umat Kristen ketika terjadi pelaksanaan peribadatan, sebagai suatu
“kemasan” yang menuntun dan menjadi fokus utama dalam peribadatan.
2.4 Liturgi sebagai pusat pendidikan perdamaian di gereja
Sebagaimana pandangan Riemer bahwa wujud dari nilai Kerajaan Allah terlihat dalam
ibadah yang menjadi inti sari gereja. Maka, liturgi merupakan jantung dari rangkaian
peribadatan gereja. Sebagai pengemas seluruh peribadatan dan tentunya dari jantung ibadah
inilah pendidikan perdamaian di gereja bermuara. Gereja merupakan elemen yang spesifik,
dalam liturgi inilah mencerminkan pijakan awal dari kegiatan gereja. Secara langsung atau
tidak langsung semuanya itu adalah bagian dari liturgi, berasal dari sifat kodrati gereja, yakni
sosial, universal, kelanjutan dari Kristus serta pelayanan pengudusan bagi manusia.
Liturgi berasal dari bahasa Yunani leitourgia. Kata leitourgia terbentuk dari dua akar kata
benda ergon yang berarti ‘karya’ dan leitos yang merupakan kata benda sifat untuk kata benda
laos (=bangsa atau rakyat).34 Secara harafiah leitourgia berarti karya atau pelayanan yang
dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Kata leitourgia berarti karya publik, yakni pelayanan dari
rakyat dan untuk rakyat dan/atau dipahami sebagai pelayanan/kerja bakti bagi masyarakat.35
Barulah dalam perkembangannya, liturgi juga bermakna kultis yakni sebagai tindakan
pelayanan bagi Tuhan dan sesama.
Liturgi dapat dipahami sebagai dasar dari kelanjutan perjalanan gereja. Liturgi adalah doa
gereja, doa yang digerakan dan dibimbing oleh Roh Kudus sendiri, melalui doa tersebut,
Kristus terus menerus hidup sezaman dengan kita. Liturgi merupakan undangan bagi jemaat
untuk masuk kedalam suatu tatanan penyangkalan diri, meninggalkan egoisme yang membuat
mereka cenderung untuk menampilkan diri dengan aneka perasaan dan kebutuhan pribadi, agar
33 Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995), 21. 34 Martasudjita, Liturgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogjakarta: Kanisius, 2011), 15. 35 Martasudjita, Liturgi Pengantar, 15.
9
mereka dapat masuk kedalam sebagaimana yang telah disediakan gereja.36 Terdapat unsur
pasrtisipatoris, inklusif, mengakomodasi dan melibatkan berbagai pemangku, karena tanpa
adanya ketiga hal tersebut jemaat tidak dapat mengikuti peribadatan secara “khusuk.” Hal
tersebut merupakan wujud masuknya pendidikan perdamaian dalam liturgi yang melibatkan
kecerdasan kognitif, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualitas yang
bersinggungan dengan nilai-nilai perdamaian.
Dapat disimpulkan bahwa liturgi pendidikan perdamaian merupakan usaha menumbuhkan
interaksi nyata dalam komunitas peribadatan di gereja seputar nilai-nilai perdamaian.
Demikian empat rumpun liurgi37 secara umum (universal) yang dipakai oleh gereja-gereja:
Pertama, menghadap Tuhan : Pujian Jemaat, Votum, Salam, Pengakuan Dosa.
Kedua, pelayanan Firman : Doa epiklese, Pembacaan Alkitab, Khotbah.
Ketiga, respon umat : Pujian Jemaat, Pengakuan Iman, Pengucapan Syukur.
Keempat, pengutusan : Pengutusan dan Berkat.
Keempat rumpun tersebut akan memuat pendidikan perdamaian jika di dalamnya secara terus-
menerus menegaskan38 bahwa (1) Manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan yang diberikan
mandat untuk mengelola ciptaan Tuhan, guna menciptakan damai sejahtera. Maka pengelolaan
harus dilakukan secara bertanggung jawab, mengusahakan damai bagi sesama dan alam, bukan
kerusakan atau kekerasan. (2) Manusia adalah makhluk multidimensi yang dapat berelasi
dengan Tuhan, sesama dan alam. Liturgi perlu mempertegas kemultidimensian manusia. (3)
Manusia bersifat holistik yang terdiri dari jasmaniah, psikosomatik, dan rohaniah. Maka
pelaksanaan liturgi harus mencangkup ketiga hal tersebut yang bersinggungan pada partisipasi
jemaat secara spiritualitas, moralitas, sosialitas, rasa dan rasionalitas.
Hanya dengan ketiga penegasan di atas yang dilakukan secara konsisten, berfokus dan
berkelanjutan dalam setiap unsur liturgi, dimonitoring dan stabil akan membuahkan budaya
36 Suster Martha E. Driscoll OCSO dalam Majalah Inspirasi Nomer 93 tahun VIII Mei 2012:24-25. 37 Secara umum unsur-unsur ini diambil dalam ketetapan liturgi universal oleh Riemer: G. Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995), 21-45. 38
Tiga rumusan penegasan di atas merupakan hasil pemikiran peneliti terhadap pemikiran para ahli-ahli, beberapa diantaranya ialah Redja Mudyahardjo dalam pemikirannya mengenai pendidikan, Yusak Setyawan dalam pemikirannya mengenai makna ‘damai’ dalam Alkitab, John de Gruchy dan Michael Slattery dalam pemikirannya tentang damai dalam perspektif Kristen, Riemer dalam pemikirannya mengenai liturgi, beberapa ahli lainnya yang berhubungan dengan topik yang ada serta penelitian yang telah dilakukan di GKMI Siloam Salatiga, guna merumuskan pendidikan perdamaian yang tertuang kedalam liturgi. Adapun ide-ide tersebut juga bersumber dari bacaan buku: Louis Leahy, Dunia, Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi (Yogjakarta: Kanisius, 2008); Drijarkara, Filsafat Manusia (Yogjakarta: Kanisius, 1969).
10
perdamaian dalam gereja serta menumbuhkan interaksi nyata antar umat.39 Budaya perdamaian
dalam suatu komunitas berujung pada pembentukan peacemakers.40 Pelaksanaan pendidikan
perdamaian di gereja melalui liturgi juga mewujudkan eksistensi gereja secara nyata, karena
perwujudan kehidupan yang damai inilah mencerminkan bagaimana manusia (baca=gereja)
memiliki hidup yang telah berdamai juga dengan Tuhan.
3. Pendidikan Perdamaian dan Liturgi di GKMI Siloam
3.1 Sejarah GKMI
Gereja Mennonit, diawali di Swiss pada tahun 1525 dengan akar di sayap radikal dari abad
ke-16 bagian dari Reformasi Protestan yang berupaya memulihkan Gereja Perjanjian Baru.
Dalam kepercayaan dan pengungkapan imannya Gereja Mennonit sungguh-sungguh mengakui
ke-Tuhan-an Yesus Kristus, berupaya untuk mengikuti jalan Kristiani yang bersifat kasih dan
non-kekerasan dan untuk hidup terpisah dari kejahatan dunia.41 Aliran ini berupaya memajukan
persaudaraan, memelihara ajaran dan kehidupan yang bersih serta melayani sebagai suatu
kesaksian terhadap orang lain.42 Istilah Mennonit berasal dari nama Menno Simons, seorang
imam dan tokoh gerakan Anabaptis negara Belanda yang menganut garis moderat—anti
kekerasan terkenal di Belanda pada abad pertengahan ke-16.43Aliran Mennonit merupakan
bagian dari gerakan Anabaptis yang muncul di daratan Eropa, tidak lama sesudah Martin
Luther mencanangkan Reformasi. Aliran ini telah lama berada di Indonesia, melalui kehadiran
Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) yang berpusat di Pati dan Persekutuan Gereja Kristen Muria
Indonesia (PGKMI) yang berdiri pada tahun 1950 (GITJ), 1960 (PGKMI) dan termasuk dalam
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI).44 Mennoite dikenal karena penekanan mereka pada isu-
isu perdamaian, keadilan, kesederhanaan, komunitas yang melayani dan saling membantu.45
Menyibak kelahiran GKMI Siloam, berawal dari perpecahan yang dialami GKMI menjadi
dua gereja, yaitu GKMI dan GKMII (Gereja Kristen Muria Injili Indonesia) beraliran Injili.
Salah satu anggota GKMII adalah GKMII Kenari yang terletak di Kota Kudus. Lahir dari
ketidak-puasan terhadap kehidupan berjemaat di gereja sebelumnya dengan anggapan adanya
39 David Carment and Albrecht Schnabel, Conflict Prevention: Path to Peace or Grand Illusion? (Tokyo: United Nations University Press, 2003), 70-71. 40 David and Albrecht, Conflict Prevention, 11. 41
Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 104-105.
42 Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 104-105. 43 John D. Roth, Sejarah Mennonit 44 Aritonang, Berbagai Aliran, 105. 45 Aritonang, Berbagai Aliran, 105-107.
11
ketidaksesuaian dengan ajaran Kitab Suci.46 Sudiarto Timoty yang adalah utusan GKMII
Kudus untuk melanjutkan pendidikan di belajar Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) dan bertemu dengan bapak D.S.Harso Soedirjo (Alm), bapak Soewigyo
(Alm) yang awalnya merupakan anggota jemaat Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU),
bapak Soedibyo (Alm), bapak Hendy Lasimin (Alm) dan bapak Suwarno YS yang merupakan
salah satu simpatisan yang beragama Islam. Mereka berencana untuk membangun sebuah POS
PI (Pos Pelayanan Injil). Persekutuan mula-mula dilakukan pada tanggal 5 Febuari 1978
dengan tempat persekutuan yang berbeda-beda, oleh karena belum adanya tempat persekutuan
yang tetap; (1) Di daerah Langensuko tahun 1978, dilaksanakan tepatnya di depan Hotel
Mutiara. (2) Di rumah bapak Rustamaji, Jl.Taman Pahlawan yang sekarang menjadi pasar
Blauran II. (3) Di daerah Pancuran tahun 1983 hingga sekarang yang bertempat di Jalan Talang
Tirto No.5 Salatiga.
Bangunan tetap yang berdiri di kawasan Pancuran ini, sebagai suatu perubahan bagi jemaat
PI sebelumnya, tentu tidak membawa konsekuensi yang sedikit, mengingat kehadiran gereja di
tengah-tengah masyarakat Pancuran agaknya ditandai dengan sikap curiga dan yang biasa
disebut dengan “Kampung Hitam” itu. Pergulatan eksistensi gereja awal dengan mengingat
misi perintis pembangunan gereja di kawasan Pancuran, yakni “masyarakat Pancuran yang
membutuhkan keselamatan juga (=bukan hanya orang gedongan saja)”47 menjadi semangat
tersendiri bagi gereja. Siloam yang berarti “yang diutus” yang adalah kolam, sebagaimana
kisah yang terdapat dalam Injil Yohanes pasal 9. Diambilnya nama ini berdasarkan dua alasan;
pertama, lokasi gereja sebenarnya dulu adalah kubangan dan yang kedua, ketika pertama kali
dibangunnya gedung gereja, orang menemukan sumber air yang memancar terus menerus dan
hal inilah yang dipakai gereja sebagai sarana penampungan air dari mata air yang terletak di
belakang gereja bagi masyarakat umum. Terjadilah perubahan sikap dari masyarakat, dari
curiga menjadi bersahabat. Bentuk kesaksian hidup gereja inilah yang menarik daya tarik
gereja kepada masyarakat untuk bertobat dan percaya akan Yesus. Pada tanggal 17 Agustus
1988 GKMI Siloam Salatiga resmi menjadi gereja dewasa baru di lingkup Sinode GKMI
dengan tidak mengesampingkan peristiwa perpecahan yang sempat dialami tentunya dan hadir
pula di tengah masyarakat Pancuran. Hadir sebagai kolam yang memancarkan kesejukan,
46 Yusak B. Setyawan, “Menyibak Kelahiran Sang Kolam Di Pancuran Analisis Kesejarahan GKMI Siloam Periode 1978-1988,” Paper Penelitian, 3. 47 Hasil Wawancara Gembala Jemaat GKMI Siloam, 09 Juni 2015, pukul 11.30 WIB.
12
mengubah wajah masyarakat Pancuran yang dulunya disebut sebagai “Kampung Hitam” itu
dan sekarang diliputi kasih dan kedamaian ilahi.48
3.2 Pendidikan perdamaian di GKMI Siloam
Secara Sinodal Gereja Kristen Muria Indonesia memiliki visi dan misi yang mewujudkan
suatu perdamaian.49 GKMI yang berpusat pada Yesus Kristus, setiap ajaran dan tindakan Yesus
memberikan pemaknaan tersendiri bagi orang-orang Mennonit ketika menapaki kehidupan
keseharian mereka. Nilai-nilai perdamaian dari orang-orang Mennonit ini juga terwujud pada
visi dan misi GKMI Siloam, yakni;
• Visi, Menjadi tanda Kerajaan Allah di kota Salatiga.
• Misi, Menjadi komunitas yang berubah dan berbuah yang menjadi dan menjadikan
murid Yesus dan yang hidup dalam kasih, keadilan dan damai sejahtera.
• Membentuk Image GKMI Siloam, Sebagai gereja yang menarik, ramah, akrab degan
ibadah yang hangat, pengajaran yang berkualitas tinggi dan peka terhadap kebutuhan
jemaat dan masyarakat serta sebagai gereja masa depan yang peduli pada kebutuhan
generasi muda.
Melihat hal di atas, tentunya konsep perdamaian menurut GKMI sangatlah dikenal di kalangan
jemaat, dengan penggambaran yakni mengikuti tindakan dan ajaran Yesus Kristus.
Peneladanan terhadap tindakan dan ajaran Yesus Kristus sangatlah ditekankan khususnya bagi
jemaat GKMI Siloam, melihat arsitektur bangunan gereja bagian dalam yang membentuk pilar-
pilar bertuliskan Matius, Markus, Lukas dan Yohanes (4 Injil) guna mengingatkan teladan yang
dicontohkan Yesus Kristus secara terus-menerus kepada jemaat.50 Hal ini termasuk dalam
tindakan gereja menciptakan pendidikan perdamaian melalui simbol-simbol gereja yang ada.
Data lain menyatakan bahwa pada tahun 2011, Badan Pelaksana Harian Sinode GKMI
dengan sengaja telah membagikan 15.000 batas Alkitab, kepada segenap anggota jemaat
GKMI dengan tujuan untuk mensosialisaikan makna perdamaian yang Alkitabiah.51 Dengan
harapan agar anggota jemaat paham bahwa GKMI merupakan gereja perdamaian. Disisi lain,
pembatas Alkitab tersebut tertulis, “Damai berarti....—hidup yang berpusat pada Yesus
Kristus; —moral yang bersih dan tulus; —tubuh yang sehat, cukup sandang, pangan, papan;
—hubungan yang benar dengan Tuhan, diri sendiri sesama dan alam lingkungan.” Selain itu,
48 Yusak B. Setyawan, “Menyibak Kelahiran Sang Kolam Di Pancuran Analisis Kesejarahan GKMI Siloam Periode 1978-1988,” Paper Penelitian, 3, Bdk.Hasil Wawancara, Pdt Jemaat Hasil Wawancara dengan Gembala Jemaat GKMI Siloam, 09 Juni 2015, pukul 11.30 WIB. 49 http://www.sinodegkmi.com/, pada 18 Juni 2015, pukul 17:44 WIB. 50 Hasil Wawancara dengan Gembala Jemaat GKMI Siloam, 09 Juni 2015, pukul 11.30 WIB. 51 Arsip Berita GKMI.
13
gereja juga memiliki upaya untuk mensosialisasikan konsep perdamaian melalui tema-tema
perenungan Firman Tuhan yang berdasar pada nilai-nilai kebaikan yang telah dibuat oleh
Sinode GKMI, yakni:
a) Tahun 2010: Tahun Kasih, c) Tahun 2012: Tahun Keutuhan Ciptaan,
b) Tahun 2011: Tahun Perdamaian, d) Tahun 2013: Tahun Keadilan,
e) Tahun 2014: Tahun Kebenaran
f) Tahun 2015: Tahun Penyataan Perbuatan.
Salah satu tujuan pembentukan tema-tema di atas adalah untuk mewujudkan suatu perdamaian
di kalangan jemaat GKMI.
3.3 Liturgi sebagai pusat pendidikan perdamaian di gereja
3.3.1 Liturgi secara struktural
Fokus GKMI Siloam untuk mewujudkan pendidikan perdamaian yang telah tertuang dalam
visi-misi gereja, nyatanya telah memainkan perannya dalam liturgi ibadah Minggu GKMI
Siloam setiap Minggu. Adapun bentuk liturgi yang dipakai sebagai berikut:
Liturgi Kebaktian Umum Minggu I52 (Warna Liturgi: Variatif sesuai dengan tahun gereja)
a. Menghadap Tuhan : Votum, Salam, Pujian Jemaat “Gloria Patri”, Pembacaan Nats
Pembimbing.
b. Pendamaian : Pengakuan dosa, Berita Pengampunan dosa, Amanat Hidup
Baru: Salam Damai.
c. Pelayanan Firman : Doa epiklese, Pembacaan Alkitab, Khotbah.
d. Respon Umat : Pengucapan Syukur, Warta Jemaat, Doa Syafaat, Pujian
Jemaat.
e. Pengutusan : Pujian Jemaat “Ikut Dikau Saja Tuhan”, Komitmen Pemuridan,
Pengutusan, Tanggapan Jemaat “Kepada Allah B’ri Puji.”
Secara struktural liturgi ibadah Minggu GKMI Siloam telah memberikan unsur interaksi
antar jemaat untuk terjun langsung memasuki arti perdamaian itu sendiri. Dengan pengertian,
terdapat ajakan-ajakan dalam liturgi untuk melakukan peran nyata antar individu dengan
individu yang lain melalui “Salam Damai.” Ajakan-ajakan lain yang melibatkan jemaat secara
langsung bukan saja secara aksi, namun melibatkan unsur manusia yang lain, yakni aspek
spiritual dan moral yang dilakukan oleh pelayan melalui ajakan verbal. Pujian jemaat yang
52 Kumpulan Liturgi Gereja Kristen Muria Indonesia, 17.
14
rutin dilakukan sebagai bagian pujian wajib dalam liturgi juga menginterpretasikan ajakan
gereja kepada jemaat dalam hal untuk mengikuti perbuatan Yesus Kristus dalam keseharian
umat. Sebagaimana yang dijelaskan gembala jemaat bahwa pendidikan yang sebenarnya terjadi
ketika sosialisasi dilaksanakan dan liturgi yang mengandung unsur perdamaian itu telah
dilakukan, kemudian umat dapat mengikuti gerak dan langkah hidup Yesus, menghayatinya
dan melakukannya setiap hari.53
3.3.2 Isi liturgi ibadah Minggu GKMI Siloam
Nilai-nilai utama yang tertuang pada visi-misi gereja menjadi patokan mendasar dalam
pembentukan program-program gereja secara struktural. Sebagaimana pemaparan secara
struktural dalam tatanan liturgi ibadah Minggu gereja, menunjukan bagaimana adanya
perenungan gereja bahwa liturgi sebagai dasar dari kelajutan tugas gereja dan liturgi juga
berfungsi sebagai ‘wajah’ Injil yang memperlihatkan kasih Kristus—Kemerajaan Kristus—
kepada jemaat dan kepada dunia.54
Sayangnya, perenungan yang harus dilakukan setiap hari ataupun ditegaskan setiap saat
melalui struktur dari liturgi itu sendiri tidak dijalankan sedemikian rupa.55 Terdapat sedikit di
antara struktur liturgi gereja yang mengandung pendidikan perdamaian. Sebagai contoh pujian
jemaat yang menjadi bagian terbanyak dalam liturgi. Pujian jemaat justru malah mengandung
pujian yang bernilai hubungan yang erat kepada Tuhan saja dengan tidak melihat hubungan
manusia kepada Tuhan, sesama dan alam sekitarnya. Biasanya hal tersebut ditekankan pada
pujian pop-Kristiani yang saat ini sedang menjadi trend di gereja-gereja saat ini.56 Ketentuan
awal GKMI Siloam dalam hal pujian adalah pada Minggu terakhir (Minggu ke-4 dan Minggu
ke-5) menggunakan liturgi variatif, yakni liturgi yang mengandung banyak pujian pop-
Kristiani sedangkan Minggu pertama hingga Minggu ketiga sepenuhnya menggunakan Puji-
pujian Rohani GKMI (PPR) yang di dalamnya lebih banyak mengandung unsur hubungan yang
seimbang antara manusia, Tuhan, sesama dan alam. Seiring berjalannya waktu, ketentuan
pujian dalam liturgi ibadah Minggu GKMI Siloam berubah, penggunaan PPR secara penuh ada
pada Minggu kedua sedangkan Minggu selanjutnya lebih banyak memasukan pujian pop-
53 Hasil Wawancara dengan Gembala Jemaat GKMI Siloam, 09 Juni 2015, pukul 11.30 WIB.
54 Riemer, Cermin Injil; Ilmu Liturgi (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995), 20. 55 Hasil pengamatan analisis data penelitian oleh peneliti ketika mengikuti ibadah Minggu di GKMI Siloam secara intens mulai dari bulan Agustus (awal)-September (akhir) yang menjadi bulan perdamaian, salah satu program gereja. 56
Pujian pop-Kristiani adalah pujian yang cenderung menggunakan alat musik band dengan segala kevariatifan irama yang dimainkan.
15
Kristiani walaupun pujian PPR tetap terselip pada beberapa bagian pujian jemaat. Hal ini
mengakibatkan ketidak-konsistenan pendidikan perdamaian melalui liturgi. Walupun beberapa
aspek sosial nyata yang dilakukan dalam liturgi, seperti pujiaan wajib, “salam damai” maupun
komitmen pemuridan. Tetapi seharusnya, pelaksanaan pendidikan harus menyentuh berbagai
aspek dalam kehidupan manusia, sebagaimana hakikat manusia itu sendiri, yakni manusia
holistik.57
Aspek manusia holistik ini juga dipengaruhi bagaimana peran pelayan dalam hal
pemanjatan doa dan pewartaan Firman (Wedaran Sabda) sebagai bagian dari struktur liturgi.
Nyatanya, dalam beberapa pekan bergereja pelayan sering tidak menghubungkan pewartaan
dengan tema besar gereja ataupun yang berhubungan dengan pendidikan perdamaian. Hal ini
terlihat dari ketidaksesuaian antara bahan yang tercantum dalam warta serta sampaian pelayan
secara verbal di atas mimbar.58 Adapun isi dari doa pelayan ibadah Minggu, sering tidak
menyentuh aspek perdamaian juga. Penyentuhan aspek perdamaian dalam arti antar sesama
dan bukan “berbau” ajaran vertikalistik saja hanya dilakukan pada Minggu ke-4 sebagai bagian
dari Altar Call.59
3.3.3 Program gereja sebagai perwujudan dari liturgi gereja
Segala bentuk upaya dalam menerapkan visi dan misi GKMI dilakukan melalui berbagai
cara yang terprogram baik oleh gereja lokal maupun program sinodal. Persekutuan Gereja
Mennonit Wilayah (PGMW) melalui programnya, yakni Youth For Peace menjadi wadah
pendidikan perdamaian di kalangan remaja dan pemuda GKMI se-Indonesia. Pemuda dididik
(Training) terhadap hal-hal yang berhubungan dengan perdamaian.60 Pendidikan perdamaian
juga diteruskan gereja, bukan hanya dalam ibadah Minggu, namun secara serempak terus
dibicarakan melalui persekutuan Remaja, Pemuda, Sekolah Minggu, Ibadah Rayon maupun
Pendalaman Alkitab (PA).61
57 Leahy, Dunia, Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi (Yogjakarta: Kanisius, 2008),
1-35. 58
Hasil pengamatan analisis data penelitian oleh peneliti ketika mengikuti ibadah Minggu di GKMI Siloam secara intens mulai dari bulan Agustus (awal)-September (akhir) yang menjadi bulan perdamaian, salah satu program gereja. Lihat juga lampiran-lampiran peneliti. 59
Altar Call, merupakan suatu kegiatan pemanggilan jemaat untuk maju kedepan dan di doakan oleh Gembala jemaat. Hal ini biasa dilakukan Gembala kepada jemaat yang biasanya mengalami permasalahan hidup dan kebanyakan adalah “akar pahit” atau jemaat yang memiliki permasalahan terhadap sesama maupun keluarga. Aksi ini merupakan wujud jemaat untuk mau di perdamaikan kembali dan/atau bertobat sebagai anggota Mennonit dalam kehidupan kesehariannya yang mewartakan tentang perdamaian itu. 60
Hasil Wawancara dengan Pemuda GKMI Siloam 07 Juni 2015, pukul 19.00 WIB 61 Hasil Wawancara dengan Aktivis GKMI Siloam 21 Juni 2015, pukul 09.00 WIB.
16
Secara lokal, GKMI Siloam menetapkan bulan perdamaian pada program tahunan gereja.
Sebagai salah satu bulan pendidikan perdamaian yang berdampak nyata melalui liturgi gereja,
khususnya khotbah yang di dapat langsung dari Sinode GKMI, bertemakan “perdamaian” bagi
bulan perdamaian. Beberapa program gereja sebagai cerminan keluar dari bulan perdamaian
ini dan telah terlaksana di tahun-tahun sebelumnya adalah pemberian tempat sampah bagi
warga pancuran, kerja bakti gorong-gorong kampung Pancuran, pembinaan akupresur bagi
masyarakat yang berminat dan pembukaan les gratis bagi masyarakat Pancuran.62 Tentunya
GKMI Siloam telah melaksanakan tugas gereja sebagai panggilan mereka untuk memberikan
dampak yang baik (=damai, perdamaian) bagi lingkungan sekitarnya.63
3.3.4 Relevansi liturgi GKMI Siloam Salatiga bagi kerukunan masyarakat
beragama di lingkungan sekitar gereja
Perjalanan GKMI Siloam bagi perwujudan pendidikan perdamaian terus mengalami usaha-
usaha yang secara sadar, terprogram dan terstruktur dilakukan, baik bagi jemaat setempat
dalam arti tindakan pendidikan perdamaian ke arah “dalam” dan mewujud-nyatakanya ke arah
“luar” bagi masyarakat di lingkungan sekitar gereja. Hal tersebut terlihat dari program yang
telah dilaksanakan gereja.
Warga Pancuran menanggapi baik aksi gereja, dilihat dari sikap masing-masing individu
GKMI Siloam maupun program-program gereja yang telah dilakukan. Tanggapan ini terlihat
melalui aksi kerja bakti yang dilakukan masyarakat Pancuran bagi pembangunan gedung
GKMI Siloam yang berkisar selama 3 tahun serta panggilan kepercayaan Gembala sidang
GKMI untuk berdoa bagi warga Pancuran muslim yang sedang sakit.
Berbagai aksi yang dilakukan gereja, sebagaimana tersirat di atas, merupakan usaha gereja
dalam hal kerukunan masyarakat beragama di lingkungan sekitar gereja. Jelaslah bahwa gereja
mencoba membangun hubungan yang baik dengan masyarakat, khususnya masyarakat non-
kristen yang lebih banyak jumlahnya di perkampungan Pancuran itu. Kepercayaan yang
diberikan masyarakat kepada gereja ditengah-tengah gang yang sempit itu tetap harus dijaga.
Sebagaimana pengakuan salah satu tokoh masyarakat non-Kristiani di Pancuran yang mewakili
suara komunitas Pancuran berpendapat bahwa gereja yang telah diberi kepercayaan harus
menjaga kepercayaan itu dengan tidak berbuat hal yang dapat menghancurkan kepercayaan
warga hanya melalui musik-musik yang keras (band) dimainkan hingga malam sehingga
menganggu peribadatan umat Muslim.64 Sikap yang terbuka dan/atau komunikatif itulah yang
62 Hasil Wawancara dengan Gembala Jemaat GKMI Siloam, 09 Juni 2015, pukul 11.30 WIB. 63 Jacobs, Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 12-13. 64
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Pancuran, 03 September 2015, pukul 15.30 WIB.
17
dihormati masyarakat ketika ada acara-acara tertentu hingga malam hari yang melibatkan
permainan band.65
Adapun usaha gereja melalui programnya untuk melayani dan menjalin hubungan baik
dengan masyarakat, pertama-pertama gereja harus melihat kedalam aksi gereja yang
mengusahakan perdamaian tersebut yang secara tidak langsung akan berdampak keluar.
Dengan maksud, pujian gereja dan latihan drum yang menjadi program gereja sebagai
“pengganggu” ketenangan masyarakat Pancuran sekitar gereja. Usaha baik oleh gereja diterima
baik oleh masyarakat, namun dengan adanya program bantuan gereja kepada masyarakat
membuat rasa “sungkan” masyarakat untuk menegur gereja dalam hal ini, khususnya tiga tahun
belakangan ini.66
3.4 Kesimpulan penelitian pendidikan perdamaian melalui liturgi di GKMI Siloam
Setelah mencoba melakukan rekonstruksi dan analisa historis serta liturgis, maka penulis
menyimpulkan data yang telah didapat dan direalisasikan sehubungan dengan pendidikan
perdamaian demi kepentingan penulisan selanjutnya.
Pertama, pada dekade pertama perintis telah meletakan dasar-dasar dan teladan perdamaian
dalam pelayanan kepada jemaat maupun kepada masyarakat dalam hal perdamaian. Jadi, upaya
menyatakan suatu perdamaian telah ada pada awal mula atau sejarah dari gereja itu sendiri.
Sejarah yang ada menjadi pedoman dari usaha perdamaian sehingga menjadi suatu pendidikan
perdamaian tersendiri yang diajarkan oleh sejarah kepada perjalanan gereja selanjutnya. Maka,
pelaksanaan pendidikan itu terwujud dalam visi-misi gereja saat ini.
Kedua, pendidikan perdamaian yang dilakukan gereja dilaksanakan secara sengaja dengan
adanya bulan perdamaian yang menjadi salah satu program gereja dan liturgi setiap minggunya.
Namun belum ada kekonsistenan dalam menjalankan pendidikan perdamaian terlihat dari isi
liturgi. Dalam arti pendidikan perdamaian yang dilakukan tidak bersifat terus-menerus terlihat
dari unsur-unsur liturgi yang beberapa diantaranya tidak bersinggungan dengan nilai-nilai
perdamaian. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pemaparan isi liturgi ibadah Minggu
GKMI Siloam.
Ketiga, gereja tidak hanya menjalankan misi dari segi kehadiran (presence) dan upaya-
upayanya hanya sebatas dalam lingkup gereja saja, melainkan juga program-program gereja
yang telah diterapkan mulai dari berdirinya gereja mula-mula sampai saat ini, dengan
65 Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Pancuran, 03 September 2015, pukul 15.30 WIB.
66 Hasil Wawancara dengan Beberapa Masyarakat Pancuran, 13 September 2015, pukul 08.00 WIB.
18
pelaksanaan yang lebih terstruktur bagi masyarakat Pancuran. Misi melalui perorangan
(people) dalam bentuk kesaksian hidup juga menjadi kesaksian tersendiri bagi warga Pancuran.
Namun tetap ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan gereja sehubungan dengan pujian
jemaat dalam liturgi gereja, sebagaimana keluhan masyarakat Pancuran sekitar gereja yang
termasuk dalam misi perorangan itu.
4. Tinjauan Perspektif Pendidikan Perdamaian Terhadap Unsur-unsur
Liturgi GKMI Siloam Salatiga dan Dampaknya Bagi Kerukunan
Masyarakat Beragama di Lingkungan Sekitar Gereja
Pendidikan perdamaian dalam liturgi menjadi suatu tonggak pengingat utama bagi umat
Kristen karena gereja yang lupa akan tugas panggilan mereka yang hadir di dunia untuk
menjadi pembawa damai. Justru dari agamalah kekerasan antar umat terjadi, oleh karena
kepentingan setiap individu secara vertikalistik, tanpa mengkritisi hakikat awal dari hubungan
vertikal yang seharusnya terwujud nyata dalam hubungan antar sesama, layaknya Yesus yang
hadir di dunia yang adalah peacemaker pertama dan yang menjadi peacemaking bagi dunia.67
Guna mempermudah pengkajian penelitian, maka penulis membagi dalam tiga kajian subjudul,
pertama, wajah liturgi dalam kesatuan “tubuh perdamaian.” Kedua, tiga “porsi penegasan”
sebagai perombak liturgi biasa. Ketiga, fungsi pastoral liturgi sebagai perwujudan civil society.
4.1 Wajah liturgi dalam kesatuan tubuh perdamaian
Gereja diyakini oleh umat Kristen sebagai simbol dari “tubuh” Kristus dan kepala gereja
ialah Kristus sendiri. Menurut Jacobs, gereja ada karena Kristus sendiri yang memanggil
sehingga eksistensi gereja seharusnya memberikan dampak yang baik bagi lingkungan
sekitarnya.68 Maka, ada keselarasan misi dari Kristus Sang kepala gereja dan gereja yang
diyakini sebagai tubuh Kristus itu, yakni hadir untuk memberikan dampak baik (=damai,
perdamaian). Lalu bagaimana kesatuan keselarasan itu terlihat dalam gereja? Hal ini membawa
pemikiran baru terhadap makna liturgi dan misi perdamaiannya itu. Sebagaimana pemahaman
penulis mengenai liturgi yang merupakan “kemasan” pusat perdamaian. Sekurang-kurangnya
terdapat tiga pokok penting dalam liturgi yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya demi
mewujudkan pendidikan perdamaian sebagai usaha membangun civil society.
67 Slattery, Jesus The Warrior? Historical Christian Pespective & Problems and The Morality of War & The
Waging of Peace (Marquette: University Press, 2007), 53-55. 68
Jacobs, Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 12-13.
19
4.1.1 Pengaruh wajah liturgi bagi pendidikan perdamaian
Gereja Mennonit merupakan komunitas pengikut Kristus yang memelihara ajaran dan
kehidupan yang bersih, non-kekerasan dan melayani sesama sebagai suatu kesaksian terhadap
orang lain, memberikan karakter tersendiri kepada GKMI secara sinodal untuk mewartakan
nilai perdamaian itu bagi dunia.
Secara struktural liturgi GKMI Siloam merupakan interpretasi dari visi-misi gereja yang
tidak terlepas dari sejarah terbentuknya GKMI Siloam untuk mewujudkan pendidikan
perdamaian. Terkandung unsur-unsur pendidikan perdamaian di dalam liturgi GKMI Siloam.
Hal ini terlihat dari adanya ajakan dalam liturgi untuk melakukan “salam damai” yang termasuk
dalam kategori “Pendamaian” dalam liturgi, yakni ajakan kepada jemaat untuk mewujudkan
perdamaian yang telah dilakukan Tuhan kepada umatNya melalui pengakuan dosa, berita
pengampunan dosa dan amanat hidup baru, melalui respon jemaat dari tindakan nyata kepada
sesamanya. Praktek ini merupakan usaha gereja untuk mempraktekan metode yang bersifat
partisipatoris, inklusif, mengakomodasi dan melibatkan berbagai pemangku (stakeholders)69
dalam menjalankan suatu pendidikan perdamaian. Selain itu “salam damai” termasuk dalam
usaha gereja untuk menegaskan bahwa jemaat adalah salah satu ciptaan Tuhan diberikan
mandat untuk mengelola ciptaan Tuhan, guna menciptakan damai sejahtera dalam relasinya
kepada sesama dan alam.70
Unsur kedua pendidikan perdamaian dalam liturgi ibadah Minggu GKMI Siloam adalah
“komitmen pemuridan” yang dilakukan dalam kategori “Pengutusan.” Bunyi dari komitmen
pemuridan GKMI Siloam adalah sebagai berikut:
“Kami bersaksi bahwa tidak ada seorang pun mengenal Kristus
kecuali mengikutiNya setiap hari.”
Komitmen pemuridan merupakan refleksi gereja terhadap panggilan gereja sebagai
komunitas Mennonit dalam hal perwujudan nyata sikap orang Kristen yang penuh damai
melalui peneladanan terhadap sikap Yesus.71 Komitmen ini mengungkapkan pemahaman kaum
Anabaptis tentang kebebasan rohani yang berbeda dari kaum fanatik maupun kaum konformis,
yakni menekankan pentingnya kelahiran baru dan kemuridan.72 Bukti kelahiran baru terlihat di
dalam upaya yang sungguh-sungguh untuk hidup sebagai murid yang sudah mengikatkan diri
sepenuhnya kepada Kristus sebagai Tuhan. Tanda-tanda hidup dari pemuridan adalah kasih
69 Trijono, Pembangunan Sebagai Perdamaian; Rekonstruksi Indonesia Pasca-Konflik (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007), 65-67. 70
Lihat tiga rumusan penegasan di bagian II hal. 9.
71 Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 104-105.
72 Aritonang, Berbagai Aliran, 104-105.
20
dan tidak menggunakan perlawanan dan kekerasan (non-resistance). Kedua unsur inilah
merupakan wujud dari pendidikan perdamaian GKMI Siloam dalam liturgi, karena dilakukan
secara konsisten setiap Minggu, berfokus dan berkelanjutan. Kedua unsur ini tentunya akan
membuahkan budaya perdamaian dalam gereja serta menumbuhkan interaksi nyata antar
umat.73
Sayangnya, pelaksanaan pendidikan perdamaian dalam liturgi tidak menyinggung unsur-
unsur liturgi yang lain secara keseluruhan. Padahal untuk memberikan pengajaran kepada
“peserta didik” yang adalah manusia holistik itu serta upaya untuk membentuk peacemaker
dan perwujudan manusia yang beradab—cita-cita perwujudan civil society— haruslah melalui
beberapa tahap pemberian pengajaran. Hal ini bertalian dengan unsur pokok yang terlihat dari
empat rumpun liturgi yang tidak mendapatkan “porsi penegasan” yang sama dalam pemberian
pendidikan perdamaian melalui liturgi.74 Hanya dengan ketiga penegasan yang dilakukan
secara konsisten, berfokus dan berkelanjutan dalam setiap unsur liturgi, dimonitoring dan stabil
sebagai bagian dari upaya pendidikan akan membuahkan budaya perdamaian dalam gereja
serta menumbuhkan interaksi nyata antar umat.75 Budaya perdamaian dalam suatu komunitas
berujung pada pembentukan peacemakers.76 Hal tersebut itulah yang tidak mendapatkan
kelanjutan dalam unsur liturgi lainnya, sebagai contoh, pujian jemaat yang merupakan bagian
terbanyak dalam liturgi. Justru lebih menekankan pujian pop-Kristiani yang menekankan
hubungan yang vertikalistik kepada Tuhan tanpa memandang relasi yang seimbang terhadap
sesama dan alam. Pengubahan aturan pujian liturgi dari PPR menjadi pujian yang lebih banyak
pop-Kristiani ini didasarkan oleh alasan bahwa untuk mengikuti “anak muda” atau trend
gereja-gereja saat ini yang mengiringi pujian pop-Kristiani menggunakan band.77
Adapun khotbah yang diwartakan setiap Minggu merupakan pilihan Gembala Jemaat tanpa
adanya kesepakatan bersama secara sinodal, terkecuali pada bulan perdamaian, sinode GKMI
memiliki bahan khotbah sendiri dengan tema besar perdamaian. Terkadang khotbah tidak
bersesuaian dengan visi-misi dan/atau tema besar dari komunitas Mennonit itu sendiri ataupun
bahan khotbah yang terkandung dalam warta dan berbeda dengan penyampaian di atas mimbar.
Dapat diambil kesimpulan bahwa tidak adanya kestabilan pendidikan perdamaian dalam liturgi
73 David Carment and Albrecht Schnabel, Conflict Prevention: Path to Peace or Grand Illusion? (Tokyo: United Nations University Press, 2003), 70-71. 74
Lihat tiga rumusan penegasan di bagian II hal. 9.
75 David Carment and Albrecht Schnabel, Conflict Prevention: Path to Peace or Grand Illusion? (Tokyo: United Nations University Press, 2003), 70-71. 76 David and Albrecht, Conflict Prevention, 11. 77 Hasil Wawancara dengan Beberapa Masyarakat Pancuran, 13 September 2015, pukul 08.30 WIB.
21
GKMI Siloam. Tidak adanya “porsi penegasan” yang sama pada setiap unsur liturgi GKMI
Siloam. Tidak adanya “wajah” liturgi yang sesuai sebagaimana kesatuannya dengan “tubuh
perdamaian” yang telah dibangun oleh sejarah komunitas Anabaptis, secara sinodal maupun
sejarah GKMI Siloam yang mewujudkan perdamaian dimulai dari dalam (baca=person) dan
menyebarkannya secara luas.78
4.1.2 Pengaruh simbol liturgi bagi pendidikan perdamaian
Penyentuhan aspek partisipasi jemaat secara spiritualitas, moralitas, sosialitas, rasa dan
rasionalitas tentunya merupakan bentuk pernyataan tersendiri bagi kedudukan simbol dalam
liturgi.79 Simbol merupakan cara untuk melibatkan emosi, gairah, keterlibatan dan
kebersamaan dari individu.80 Liturgi yang merupakan perjumpaan Tuhan dengan manusia itu
termasuk dalam segi katabtis dan anabatis.81 Simbol yang dimaksudkan melibatkan perayaan
tindakan, gerak, tempat, arah dan benda.
Tentunya arsitektur bangunan GKMI Siloam bagian dalam yang membentuk pilar-pilar
bertuliskan; Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, merupakan simbol yang termasuk dalam
liturgi untuk membawa jemaat dalam perjumpaannya dengan Tuhan melalui sejarah tindakan
Yesus, yakni sebagai peacemaking itu.82 Simbol yang dimaksudkan juga terwujud dalam
struktur liturgi, yakni pujian, doa, “salam damai”, pewartaan Firman serta “komitmen
pemuridan.” Faktanya, simbol terhadap kemerajaan Allah sebagai pendidikan perdamaian
tersebut belum terlihat secara keseluruhan melalui struktur liturgi GKMI.83 Walaupun ada
penegasan-penegasan pada bagian “salam damai” dan “komitmen pemuridan.” Porsi
penegasaan tetap berlaku dalam bagian ini, karena melalui perjumpaan dialogis simbolis yang
menyentuh keholistikan manusia dapat menyatakan arti perjumpaan sejati antara Allah dan
manusia. Simbol merupakan realitas keselamatan yang adalah perwujudan perdamaian yang
dirayakan oleh jemaat dalam liturgi.
78 Yusak B. Setyawan, “Menyibak Kelahiran Sang Kolam Di Pancuran Analisis Kesejarahan GKMI Siloam Periode 1978-1988,” Paper Penelitian, 1-35. 79
Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 11. 80
Rachman, Hari Raya Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 156. 81
Rachman, Hari Raya, 156. 82
Slattery, Jesus The Warrior? Historical Christian Pespective & Problems and The Morality of War & The Waging of Peace (Marquette: University Press, 2007), 53-55. 83 Hasil pengamatan analisis data penelitian oleh peneliti ketika mengikuti ibadah Minggu di GKMI Siloam secara intens mulai dari bulan Agustus (awal)-September (akhir) yang menjadi bulan perdamaian, salah satu program gereja. Lihat juga lampiran-lampiran peneliti.
22
4.1.3 Pengaruh “Suasana Damai” bagi wajah liturgi
Keikutsertaan peneliti dalam ibadah Minggu GKMI Siloam yang telah dilakukan selama
ini, memberikan pemahaman tersendiri terhadap suasana peribadatan di GKMI Siloam selama
ini. Secara implisit suasana ibadah dipengaruhi oleh dua faktor yang menonjol dalam hal
“kekhusukan” jemaat selama beribadah, yakni pengaruh pewartaan Firman dan teknis
peribadatan.
Pewartaan Firman merupakan bagian dalam liturgi yang tidak memunculkan ajakan
partisipasi dari jemaat secara nyata. Pelayan mengambil peran penuh dalam hal ini. Pada hasil
pengamatan ditemukan bahwa sering terjadi ketidaksesuaian pewartaan Firman dengan
konteks, tema dan bahan yang tertera di liturgi jemaat yang mengakibatkan kegelisahan jemaat
berupa tindakan verbal (berbicara dengan jemaat yang lain) atau tindakan untuk pergi keluar
tempat ibadah dengan alasan ke kamar mandi. Hal ini merupakan wujud tidak adanya suasana
yang baik dalam kesatuan tubuh perdamaian melalui wajah liturgi itu sendiri. Kemudian
persiapan yang terbatas dalam kaitannya dengan media yang digunakan, yakni LCD maupun
microphone yang mengakibatkan ketidaknyamanan pelayan, menimbulkan suasana yang tidak
nyaman juga oleh pelayan dan jemaat.84
Berdasar pada tanggapan Setyawan mengenai “damai” yang adalah Kemerajaan Allah yang
terwujud dalam tindakan kedamaian, keadilan, kasih dan kerendahan hati.85 Agaknya suasana
dalam peribadatan di GKMI Siloam belum mencerminkan secara utuh arti dari pendidikan
perdamaian dengan menjaga suasana damai itu sendiri. Mengingat kembali bagaimana
pendidikan perdamaian melalui liturgi dapat dilaksanakan jika segenap stakeholders
memainkan perannya dengan “porsi penegasan” yang sama di setiap unsur-unsur yang ada.
4.2 Tiga porsi penegasan sebagai perombak liturgi biasa
Evaluasi dari pelaksanaan pendidikan perdamaian melalui liturgi dapat dilihat dari
kehadiran budaya perdamaian.86 Artinya, ada interaksi nyata antar umat melalui kehadirannya
(presence) untuk mencerminkan nilai-nilai perdamaian. Hal tersebut itulah yang dinamakan
sebagai pelaku peacemaking.87
84 Hasil pengamatan analisis data penelitian oleh peneliti ketika mengikuti ibadah Minggu di GKMI Siloam
secara intens mulai dari bulan Agustus (awal)-September (akhir) yang menjadi bulan perdamaian, salah satu program gereja. 85
Yusak B, Setyawan, “Makna ‘Damai’ Dalam Alkitab”, Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk. (Salatiga: Griya Media, 2011), 39-40. 86
David Carment and Albrecht Schnabel, Conflict Prevention: Path to Peace or Grand Illusion? (Tokyo: United Nations University Press, 2003), 70-71. 87
Slattery, Jesus The Warrior? Historical Christian Pespective & Problems and The Morality of War & The Waging of Peace (Marquette: University Press, 2007), 53-55.
23
Perwujudan pendidikan perdamaian melalui liturgi dapat terlihat nyata jika ada dampak
keluar dari gereja yang baik bagi masyarakat di lingkungan sekitar gereja, secara khusus bagi
yang beragama non-Kristiani. Melihat pemaparan pada bagian subjudul pertama, tentunya
liturgi ibadah Minggu GKMI Siloam perlu melihat kembali makna dasar dari pendidikan
perdamaian itu. Tiga porsi penegasan yang mencangkup nilai kemanusiaan secara holistik dan
kemultidimensiaan manusia dapat menjadi masukan baik untuk meninjau fungsi gereja yang
berpusat dalam liturgi itu.88 Sebagaimana hakikat liturgi yakni pusat pendidikan perdamaian.89
Penciptaan “atmosfer perdamaian” yang tidak menyeluruh ini mengakibatkan adanya
ungkapan protes dari warga sekitar gereja dalam hal liturgi ibadah Minggu gereja maupun acara
gereja yang dilakukan setiap harinya. Tentu, hal ini berhubungan erat dengan pujian gereja
yang menggunakan alat band sebagai “pengganggu” ketenangan masyarakat sekitar gereja
yang memiliki keyakinan agama yang berbeda, khususnya tiga tahun belakangan ini.90
Maka, pantaslah perombakan kembali makna dari perdamaian secara utuh melalui liturgi
dengan implikasi ke dalam (=bagi gereja dan jemaat) maupun ke luar (=bagi masyarakat).
4.3 Fungsi pastoral liturgi bagi perwujudan civil society
Pastoral adalah tindakan memelihara dengan menjaga dan menumbuhkan.91 Pastoral bukan
pengobatan yang dikerjakan hanya jika sudah menjadi masalah. Melalui perayaan liturgi,
gereja menjaga kawanan domba Allah untuk selalu mengenangkan (anamnesis) peristiwa
Kristus.92 Kristus itulah sumber kehidupan gereja. Liturgi adalah nafas kehidupan gereja. Jadi,
liturgi harus menampakan kepada dunia bahwa gereja itu hidup. Hidup harus bertumbuh (lebih
taat, cerdas dan bijak), bergerak (ada aksi, respons, upaya dan kerja), sehat (aksi memberi
sedekah, giat membangun dan melayani) dan berguna bagi dunia (sebagai juru damai, menjadi
berkat dan inspirasi bagi masyarakat).93 Baik umat maupun lembaga gereja yang beribadah
dengan baik adalah umat dan lembaga gereja yang tahu menjalankan dan mengisi hidup dengan
baik.
Fungsi pastoral liturgi dapat dijalankan jika ada komitmen untuk mempraktekan
pendidikan perdamaian secara konsisten, sebagaimana hakikat dari pendidikan itu sendiri.
88 Lihat tiga rumusan penegasan di bagian II hal. 9. Bdk. Pemaparan pada bagian subjudul pertama; Wajah
liturgi dalam kesatuan tubuh perdamaian besarta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Hal. 18-22.
89 Pemikiran peneliti terhadap makna liturgi pada bagian II. Bdk. Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 1995), 21. 90
Hasil Wawancara dengan Beberapa Masyarakat Pancuran, 13 September 2015, pukul 08.00 WIB.
91 Rasid Rachman, “Gereja Belum Melihat Liturgi Sebagai Teologi”, Berita OIKOUMENE, Januari-Febuari
2008, 31. 92
Rasid Rachman, “Gereja Belum Melihat Liturgi”, 31. 93
Rasid Rachman, “Gereja Belum Melihat Liturgi”, 31.
24
Pelaksanaan pendidikan perdamaian melalui liturgi yang di dukung oleh fungsi pastoral dapat
menciptakan peacemakers Kristiani dan budaya perdamaian serta berujung pada civil society
di lingkungan sekitar gereja GKMI Siloam. Mengingat juga makna dari sejarah hadirnya
GKMI Siloam di Pancuran, sebagai kolam (baca=Siloam) yang memancarkan kesejukan bagi
Pancuran.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Cita-cita untuk mewujudkan suatu perdamaian antar agama serta membangun suatu
kehidupan manusia yang ideal (civil society) memerlukan peranan penting dari agama dalam
kesanggupannya untuk memberikan pendidikan perdamaian. Liturgi yang sebagai pusat utama
pemberian pendidikan perdamaian itu, bukan semata-mata hanya dijalankan dengan
memasukan unsur-unsur perdamaian di dalamnya. Tetapi bagaimana unsur-unsur perdamaian
itu dapat memasuki area kehidupan manusia dari segi keberadaannya sendiri serta dilakukan
secara konsisten. Tiga penegasan yang menjadi usulan dalam penulisan ini, merupakan
landasan bagaimana pendidikan perdamaian dapat dilakukan melalui liturgi, guna mewujudkan
para peacemaker sebagai pelaku peacemaking.
Gereja yang diyakini tubuh Kristus itu, sepenuhnya memiliki tanggung-jawab yang besar
dalam mendidik umatNya. Sebagaimana perkataan Yesus “Peace be with you. As the Father
sent me, so I send you” (John 20:21). Gereja memiliki andil yang besar atas perintah Tuhan.
Maka, seharusnya gereja memampukan diri untuk menjawab persoalan kekerasan yang justru
ditimbulkan oleh agama dan melakukan pendidikan perdamaian sebagaimana tujuan awal
agama. Pendidikan perdamaian dalam liturgi sangat diperlukan bukan saja bagi GKMI Siloam,
namun juga gereja-gereja yang ada di Indonesia. Semoga pendidikan yang diharapkan dapat
terjadi, tentunya sesuai dengan kehendak Kristus bagi gereja untuk menyatakan Kemerajaan
Allah yang hadir secara nyata melalui umat Tuhan bagi sesama manusia di Pancuran, di
Indonesia dan di dunia.
25
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia,
2008).
David Carment and Albrecht Schnabel, Conflict Prevention: Path to Peace or Grand
Illusion? (Tokyo: United Nations University Press, 2003).
Drijarkara, Filsafat Manusia (Yogjakarta: Kanisius, 1969).
G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006).
Gruchy, John de, Saksi Bagi Kristus; Kumpulan Cuplikan Karya Dietrich Bonhoeffer
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).
Honog, A.G. Jr., Ilmu Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 2005).
Jacobs S.J., Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
Koenjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1983).
Leahy, Louis, Dunia, Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi
(Yogjakarta: Kanisius, 2008).
Martasudjita, Emanuel, PR., Liturgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogjakarta:
Kanisius, 2011).
Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar
Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001).
Nawawi, H. Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogjakarta: Gajah Mada University
Press, 2004).
Ngelow, Zakaria, Agama-Agama & Problematika Sosial Keagamaan (Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan PGI dan Mission 21, 2005).
Nuhamara, Daniel, Pembimbing PAK, Pendidikan Agama Kristen (Bandung, Jurnal Info
Media, 2007).
Paul Suparno, SJ. Dkk., Reformasi Pendidikan; Sebuah Rekomendasi (Yogyakarta: Kanisius,
2002).
Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995).
Schumann, Olaf, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011).
26
Seidle, Victor J. Religions, Hatreds, Peacemaking and Suffering (New York: I.B Tauris,
2007).
Setyawan, Yusak B., “Makna ‘Damai’ Dalam Alkitab”, Buku Bacaan Pendidikan
Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk. (Salatiga: Griya Media, 2011).
Simatupang, T.B, Tugas Kristen Dalam Revolusi (Percikan Pergumulan seorang awam
modern ditengah-tengah dunia yang bergolak) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1960).
Slattery, Michael, Jesus The Warrior? Historical Christian Pespective & Problems and The
Morality of War & The Waging of Peace (Marquette: University Press, 2007).
Tampake, Tony, “Signifikansi Pendidikan Perdamaian Dalam Masyarakat Bhieka Tunggal
Ika”, Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk (Salatiga: Griya
Media, 2011).
Trijono, Lambang, Pembangunan Sebagai Perdamaian; Rekonstruksi Indonesia Pasca-
Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).
Weber W., George, The Conggregation In Mission (New York: Abingdon Press, 1964).
Wilkes, George R., “Religious Attitudes to The Middle East Peace Process”, ed. Philip
Broadhead & Damien Keown (New York: I.B Tauris, 2007).
Williams, Colin, What In The World? (New York : Department of Publication Service
NCCUSA, 1965).
Artikel :
Arsip Berita GKMI.
Kumpulan Liturgi Gereja Kristen Muria Indonesia.
Suster Martha E. Driscoll OCSO dalam Majalah Inspirasi Nomer 93 tahun VIII Mei 2012:24-
25.
Rasid Rachman, “Gereja Belum Melihat Liturgi Sebagai Teologi”, Berita OIKOUMENE,
Januari-Febuari 2008.
Paper Penelitian :
Yusak B. Setyawan, “Menyibak Kelahiran Sang Kolam Di Pancuran Analisis Kesejarahan
GKMI Siloam Periode 1978-1988.”
Website :
Pemerintah Kota Salatiga: http://salatigakota.bps.go.id/webbeta/frontend/
Sinode GKMI: http://www.sinodegkmi.com/
27