pendekatan budaya kerja untuk mengurangi ketidakselarasan

6
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian Indonesia selalu menarik untuk diteliti dan diperbincangkan. Negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki tantangan tersendiri dalam mengatur kegiatan ekonominya dari Sabang sampai Merauke, dan dari sektor bisnis kelas kakap hingga sektor mikro, kecil, dan menengah. Komoditi yang dijajakan pun beraneka ragam, baik berupa barang maupun jasa. Kegiatan ekonomi saat ini sudah menuju arah globalisasi, dunia sudah memasuki era pertumbuhan pasar (market) yang sangat cepat, sehingga organisasi atau perusahaan perlu melakukan inovasi berkelanjutan agar dapat bertahan (Dixit dan Nanda, 2011). Oleh karena itu, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di akhir 2015, Indonesia sudah mempersiapkan diri melalui berbagai lini, termasuk sektor Industri Kecil Menengah (IKM). Dengan jumlah masyarakat terbesar di ASEAN, Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial. Setiap provinsi pun saat ini tengah mempersiapkan diri dengan memberikan pembekalan baik teknis maupun non-teknis kepada para pelaku IKM di daerahnya. Pimpinan dari tiap IKM harus bisa memberi warna pada budaya perusahaan dengan memperhatikan potensi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh karyawannya (Inabinett, 2010). Sektor Industri Kecil Menengah (IKM) semakin populer dalam dunia perekonomian Indonesia sejak krisis moneter 1997 silam. Pasca krisis moneter yang menghantam beberapa negara di dunia pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat baik dan meningkat. IKM menunjukkan kedudukannya untuk tetap bertahan, dibandingkan sektor industri besar, bahkan menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi nasional. IKM sangat erat dengan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Penumbuhan jiwa kewirausahaan saat ini sudah mulai digalakkan, dengan harapan akan tercipta lebih banyak IKM di masa mendatang. Jumlah IKM selalu bertambah tiap tahunnya, dan Kementrian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mencatat adanya lebih dari 700,000 unit IKM pada tahun 2013, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Ketangguhan IKM dalam bertahan menghadapi badai krisis ekonomi dibandingkan perusahaan besar patut mendapat apresiasi dan perhatian dari masyarakat dan pemerintah. Dalam pelaksanaan Ragam produk IKM sangat variatif dan lebih banyak bergerak di bidang non-migas. Kota Bogor, sebagai kota penyangga ibukota negara Indonesia tanpa sumberdaya migas, memiliki banyak potensi IKM unggulan. Dengan karakter masyarakat yang heterogen dan didukung kebudayaan masyarakat tanah Sunda yang masih dominan menjadi salah satu faktor pendukung IKM berbasis kebudayaan sangat menonjol di Kota Bogor disamping bidang kuliner. Salah satu kebijakan pemerintah saat ini yaitu One Village One Product (OVOP) sudah mulai dirintis di Kota Bogor. Kota yang berjuluk Kota Hujan ini mengembangkan potensi daerah untuk menghasilkan produk yang unik khas daerah, berkualitas global, namun menggunakan sumberdaya lokal. Komoditi yang sudah mulai diterapkan pada OVOP di Bogor yaitu sulam, daur ulang limbah, dan juga batik.

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendekatan budaya kerja untuk mengurangi ketidakselarasan

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perekonomian Indonesia selalu menarik untuk diteliti dan diperbincangkan. Negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki tantangan tersendiri dalam mengatur kegiatan ekonominya dari Sabang sampai Merauke, dan dari sektor bisnis kelas kakap hingga sektor mikro, kecil, dan menengah. Komoditi yang dijajakan pun beraneka ragam, baik berupa barang maupun jasa.

Kegiatan ekonomi saat ini sudah menuju arah globalisasi, dunia sudah memasuki era pertumbuhan pasar (market) yang sangat cepat, sehingga organisasi atau perusahaan perlu melakukan inovasi berkelanjutan agar dapat bertahan (Dixit dan Nanda, 2011). Oleh karena itu, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di akhir 2015, Indonesia sudah mempersiapkan diri melalui berbagai lini, termasuk sektor Industri Kecil Menengah (IKM).

Dengan jumlah masyarakat terbesar di ASEAN, Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial. Setiap provinsi pun saat ini tengah mempersiapkan diri dengan memberikan pembekalan baik teknis maupun non-teknis kepada para pelaku IKM di daerahnya. Pimpinan dari tiap IKM harus bisa memberi warna pada budaya perusahaan dengan memperhatikan potensi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh karyawannya (Inabinett, 2010).

Sektor Industri Kecil Menengah (IKM) semakin populer dalam dunia perekonomian Indonesia sejak krisis moneter 1997 silam. Pasca krisis moneter yang menghantam beberapa negara di dunia pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat baik dan meningkat. IKM menunjukkan kedudukannya untuk tetap bertahan, dibandingkan sektor industri besar, bahkan menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi nasional.

IKM sangat erat dengan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Penumbuhan jiwa kewirausahaan saat ini sudah mulai digalakkan, dengan harapan akan tercipta lebih banyak IKM di masa mendatang. Jumlah IKM selalu bertambah tiap tahunnya, dan Kementrian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mencatat adanya lebih dari 700,000 unit IKM pada tahun 2013, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Ketangguhan IKM dalam bertahan menghadapi badai krisis ekonomi dibandingkan perusahaan besar patut mendapat apresiasi dan perhatian dari masyarakat dan pemerintah. Dalam pelaksanaan Ragam produk IKM sangat variatif dan lebih banyak bergerak di bidang non-migas. Kota Bogor, sebagai kota penyangga ibukota negara Indonesia tanpa sumberdaya migas, memiliki banyak potensi IKM unggulan. Dengan karakter masyarakat yang heterogen dan didukung kebudayaan masyarakat tanah Sunda yang masih dominan menjadi salah satu faktor pendukung IKM berbasis kebudayaan sangat menonjol di Kota Bogor disamping bidang kuliner. Salah satu kebijakan pemerintah saat ini yaitu One Village One Product (OVOP) sudah mulai dirintis di Kota Bogor. Kota yang berjuluk Kota Hujan ini mengembangkan potensi daerah untuk menghasilkan produk yang unik khas daerah, berkualitas global, namun menggunakan sumberdaya lokal. Komoditi yang sudah mulai diterapkan pada OVOP di Bogor yaitu sulam, daur ulang limbah, dan juga batik.

Page 2: Pendekatan budaya kerja untuk mengurangi ketidakselarasan

2

Gambar 1 Profil IKM di Indonesia 2013 Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM (2016)

Jika kita melihat lebih lanjut lagi, IKM juga berperan dalam menambah

lapangan pekerjaan sehingga menjadi salah satu solusi menghadapi tingginya tingkat pengangguran di Indonesia karena merupakan industri yang padat karya. IKM dapat menyerap 97% tenaga kerja Indonesia, terutama dalam mikro ekonomi mencapai hampir 95% tenaga kerja. Dengan begitu, IKM juga turut serta dalam mengurangi angka kemiskinan. Pada akhir 2010, menurut Jusri dan Idris (2012) IKM yang bergerak di bidang batik di Indonesia tercatat berjumlah 55.778 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 916.783 orang dan nilai produksi mencapai Rp 3,941 triliun dengan total ekspor mencapai US$ 123 juta.

Tabel 1 Perkembangan IKM batik

No URAIAN TAHUN 2006 2007 2008 2009 2010

1 Unit Usaha 48,300 50,715 53,250 55,912 55,778 2 Tenaga Kerja 792,300 831,915 873,510 917,185 916,783 3 Nilai Produksi 2,900,000 3,045,000 3,197,250 3,357,112 3,941,205 4 Nilai Ekspor 14,27 20,89 32,28 125 123 5 Nilai Bahan Baku 1,562,828 1,640,970 1,723,018 1,809,169 1,625,435 6 Nilai Tambah 1,337,172 1,404,030 1,474,232 1,547,934 1,588,624 7 Produktivitas Tenaga Kerja 3,66 3,66 3,66 3,66 3,66 8 Pertumbuhan Nilai Produksi 5,26% / 5,00% 5,00% 5,00% 5,00% 9 Pertumbuhan Nilai Tambah 5,57% 5,00% 5,00% 5,00% 5,00%

Sumber: Jusri dan Idris (2012)

Usaha Besar 5,066 unit (0.01%)

Usaha Menengah 52,106 unit (0.09%)

Usaha Kecil 654,222 unit (1.13%)

Usaha Mikro 57,189,393 unit (98.77%)

Page 3: Pendekatan budaya kerja untuk mengurangi ketidakselarasan

3

Di sisi lain, IKM memiliki keterbatasan eksternal dan internal. Dari sudut pandang eksternal pasar, masih terdapat adanya pengaturan harga-harga pembelian yang dikuasai oleh pihak-pihak tertentu. Dari sudut pandang struktural internal, keterbatasan Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan salah satu kendala pada IKM selain aspek mengenai akses bahan baku, permodalan, teknologi, manajemen, produksi, pengembangan produk, ataupun pengawasan mutu (Usman, 2013). Sejatinya, dengan komunikasi yang lancar dan efektif antar divisi, kegiatan perusahaan secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi, tak ayal terjadi ketidakselarasan antar divisi yang menyebabkan pekerjaan masing-masing divisi tidak tersinkronisasi yang akhirnya berdampak pada hasil yang kurang maksimal. Kemajuan sebuah organisasi atau perusahaan dapat dilihat dari sikap kepemimpinan (leadership) dan keselarasan (alignment). Keselarasan sebuah organisasi atau perusahaan (organizational alignment) adalah hal baru namun merupakan isu yang berkembang dengan sangat cepat. Keselarasan dari ‘atas’ sampai ‘bawah’ sangat penting bagi perusahaan dan brand strategic. Pendekatan kepemimpinan juga dapat membantu dalam mencapai keselarasan, kuncinya dengan menjaga kendali agar terpusat pada inti dan mengaturnya sebagai aset strategis bagi perusahaan (Farquhar, 2005). Sebagaimana pasar terus berkembang, dan kompetisi semakin meningkat tajam, perusahaan tidak hanya ditantang untuk dapat mengatur keseluruhan bidangnya dan mengukur kinerjanya dari sisi keuangan saja, namun juga dari sisi non-keuangan seperti fokus pada pelanggan, seperti yang dipaparkan Anisimova (2009) dapat berupa brand associations dan kepuasan pelanggan.

Batik Bogor Tradisiku (BBT) adalah pelopor batik di Kota Bogor sejak 13 Januari 2008. Membuat usaha yang semula tidak ada menjadi ada merupakan sebuah tantangan untuk menyelaraskan kemampuan dan keterampilan para SDM-nya. Kota Bogor pada awalnya bukan merupakan kota batik, sehingga para karyawan direkrut berdasarkan minat dan kemampuan kemudian diberi pelatihan membatik selama tiga bulan. Karyawan BBT memiliki tingkat pendidikan yang bermacam-macam, mulai dari SD sampai jenjang Magister (S2).

BBT termasuk dalam industri kecil formal, karena sudah mengantongi beberapa perizinan seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Industri (TDI), dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Dengan begitu BBT turut berkontribusi dalam banyaknya industri kecil di Kota Bogor mendominasi di antara banyaknya industri menengah dan besar. Biro Pusat Statistik Kota Bogor menyatakan bahwa di tahun 2013, sebanyak 346 industri kecil formal dan 789 industri kecil non formal tercatat di Kota Bogor dan memiliki nilai investasi mencapai 32 miliar rupiah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

BBT merupakan IKM batik yang mengintegrasikan workshop, galeri, dan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) pada satu lokasi, sedangkan tiga divisi utama yang ada di BBT yaitu produksi batik hingga ke produk turunannya, LKP, dan Mozaik Batik yang mengaplikasikan perca batik pada media keramik atau gerabah sehingga zero waste. Keadaan yang tengah terjadi sekarang dengan adanya tiga divisi utama tersebut diantaranya adalah terjadinya ketidakselarasan antar karyawan lintas divisi yang menyebabkan hasil produksi tidak sesuai dengan standard, pelayanan kurang prima, dan dapat berakibat pada menurunnya kepuasan pada konsumen tertentu.

Page 4: Pendekatan budaya kerja untuk mengurangi ketidakselarasan

4

Setelah BBT dijadikan objek ekowisata, keselarasan menjadi fokus perhatian perusahaan dalam memberikan produk dan jasa yang memuaskan kepada para konsumen. Hal ini dikarenakan visi dari BBT yang tidak ingin menjadi pengrajin batik yang biasa saja, namun mengedepankan servis yang memuaskan dalam penyampaian edukasi mengenai batik kepada konsumen.

Tabel 2 Pemetaan industri di Kota Bogor Jenis Usaha Unit Usaha Investasi Tenaga Kerja

A. INDUSTRI KIMIA, AGRO, DAN HASIL HUTAN 20,711 321,394,940,862 2,549 a. Industri Besar dan Menengah 7,245 276,674,754,015 87 b. Industri Kecil Formal 6,506 42,234,002,947 760 c. Industri Kecil Non-Formal 6,960 2,486,183,900 1,702 B. INDUSTRI LOGAM, MESIN, ELEKTRONIKA, DAN ANEKA 1,183 369,980,174,800 36,035 a. Industri Besar dan Menengah 57 302,968,868,950 25,310 b. Industri Kecil Formal 346 28,189,459,750 7,260 c. Industri Kecil Non-Formal 789 4,647,764,600 2,882

Sumber: BPS Kota Bogor (2015)

Di tengah sistem perdagangan modern saat ini, budaya menjadi salah satu faktor yang dapat berpengaruh pada maju atau mundurnya perusahaan selain karena faktor teknis. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis akan melihat apakah intervensi budaya berpengaruh pada proses terciptanya keselarasan (alignment). Selain itu, akan dilihat juga bagaimana leadership dan power relationship dapat membantu tercapainya keselarasan dengan lebih cepat.

Kemudian, setelah dilihat faktor penyebab terjadinya ketidakselarasan antar divisi di BBT, akan diteliti bagaimana mengimplementasikan perbaikannya melalui pendekatan perubahan budaya kerja agar tercipta kondisi keselarasan. Dengan tercapainya keselarasan dalam perusahaan, maka akan mendorong pula tercapainya goals dan tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Saat perusahaan sudah memiliki desain atau alur proses yang baik, strategi yang taktis, dan budaya perusahaan yang baik, maka kinerja menjadi buah manis yang akan dipanen oleh perusahaan.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Sejauhmana budaya kerja di BBT dapat menyebabkan terjadinya

ketidakselarasan antar divisi? 2. Apakah ketidakselarasan antar divisi di BBT berhubungan dengan kepuasan

pelanggan? 3. Bagaimana strategi melakukan perubahan budaya kerja di BBT untuk

mengurangi terjadinya ketidakselarasan antar divisi?

Page 5: Pendekatan budaya kerja untuk mengurangi ketidakselarasan

5

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis budaya kerja di BBT yang dapat

menyebabkan terjadinya ketidakselarasan antar divisi. 2. Menganalisis hubungan ketidakselarasan antar divisi di BBT dengan kepuasan

pelanggan. 3. Memformulasikan strategi perubahan budaya kerja di BBT untuk mengurangi

terjadinya ketidakselarasan antar divisi.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi manajemen perusahaan dapat menjadi masukan sebagai dasar perbaikan

budaya kerja untuk meningkatkan keselarasan antar divisi di BBT. 2. Bagi peneliti diharapkan dapat berperan serta mengaplikasikan penerapan

budaya kerja yang dapat mengurangi ketidakselarasan antar divisi di BBT. 3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

acuan pembentukan budaya kerja yang kondusif di lingkungan IKM.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di IKM batik di Kota Bogor yaitu Batik Bogor Tradisiku. Data yang digunakan adalah informasi yang diperoleh dari karyawan di seluruh divisi yang ada di BBT pada tahun 2015.

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada aspek internal SDM perusahaan, dan tidak membahas lebih lanjut di luar aspek tersebut, seperti aspek pemasaran atau keuangan perusahaan. Penelitian menitikberatkan pada implementasi perubahan budaya kerja sebagai pendekatan untuk mengurangi terjadinya ketidakselarasan antar divisi di BBT.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Budaya Kerja

Pengertian budaya Budaya pada sebuah organisasi menjadi salah satu faktor kestabilan yang

memainkan peran sangat besar pada kegiatan operasional harian (Sun, 2008). Pada Awal et al. (2006), budaya didefinisikan sebagai kumpulan dari nilai-nilai yang dibagikan (shared values), kepercayaan yang dibagikan (shared beliefs), dan cara berpikir dan bersikap yang mengantar pada bentuk dan perilaku dari tiap anggota pada sebuah organisasi. Budaya tersebut dapat diukur pada level kebersamaan dengan mengambil norma-norma dan ekspektasi atau harapan dari masing-masing anggotanya.

Page 6: Pendekatan budaya kerja untuk mengurangi ketidakselarasan

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB