pemodelan kardiorespiratometer berbasis vibrasi …...aksi sel sistem konduksi, sel atrium dan sel...
TRANSCRIPT
Rencana Disertasi :
PEMODELAN KARDIORESPIRATOMETER BERBASIS VIBRASI DADA
PENDEKATAN TEORITIS PENYUSUNAN MODEL MATEMATIK UNTUK OSILASI REGANGAN DINDING DADA AKIBAT AKTIVITAS JANTUNG
KARYA ILMIAH 4
Oleh :
NURIDA FINAHARI NIM. 0730703012
PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN KEKHUSUSAN TEKNOLOGI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA PROGRAM PASCA SARJANA
M A L A N G 2 0 0 8
LEMBAR PENGESAHAN
PENDEKATAN TEORITIS PENYUSUNAN MODEL MATEMATIK UNTUK OSILASI REGANGAN DINDING DADA AKIBAT AKTIVITAS JANTUNG
KARYA ILMIAH 4
Oleh :
NURIDA FINAHARI NIM. 0730703012
Menyetujui, Pembimbing Akademik
Dr. dr. M. Rasjad Indra, MS NIP. 130 809 092
2
KERANGKA RENCANA DISERTASI Rencana Judul Disertasi : Pemodelan kardiorespiratometer berbasis vibrasi dada
Kualitas Udara
Aktifitas
Pernafasan
Tekanan Rongga
Dada
Denyut Jantung
Regangan Elastis
Dinding Dada
Getaran Dinding
Dada
Superposisi
Getaran
a. Kerangka Konseptual
Listrik JantungDepolarisasi/
Repolarisasi
Detak Jantung/
Gerak Katup/
Aliran Darah Aorta
Ekshalasi/Inhalasi
Pernafasan
Regangan Elastis
Dinding Dada
Bunyi dan
Getaran
Superposisi/
Transmisibilitas
Getaran
Model MatematisSensor,
Pengukuran
Analisis Akurasi/
Kalibrasi
Data ECG dan
Spirometry
Analisis Sinkronisasi
(Statistik)
Transformasi Kuantitas
Verifikasi
b. Aliran Proses dan Latar Belakang Teori
Rencana Judul Karya Ilmiah :
1. Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi
2. Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi
3. Kajian model matematis sistem kardiorespirasi
4. Pendekatan teoritis penyusunan model matematik untuk osilasi regangan dinding dada akibat aktivitas jantung
5. Peranan gerak dinamis paru dan variabel sinkronisasi kardiorespirasi dalam
pemodelan osilasi regangan dinding dada
6. Metode pengukuran dan validasi data osilasi regangan dinding dada sebagai parameter fisiologis sistem kardiorespirasi
3
ABSTRAK Nurida Finahari; Program Pascasarjana Universitas Brawijaya; Pendekatan teoritis penyusunan model matematik untuk osilasi regangan dinding dada akibat aktivitas jantung; Pembimbing Akademik : M. Rasjad Indra. Sinkronisasi kardiorespirasi merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi kardiorespirasi. Penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi ditujukan untuk memahami mekanisme patofisiologis. Penelitian-penelitian tersebut umumnya masih dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah dari alat ukur jantung dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru. Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan vibrasi yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran fisiologis menawarkan alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Untuk dapat mengembangkan peralatan baru tersebut diperlukan pemodelan matematis efek vibrasi dinamika jantung dan paru-paru dalam bentuk osilasi regangan dinding dada. Pemodelan osilasi regangan dinding dada dapat dilakukan secara matematik dengan mengacu pada beberapa referensi. Referensi-referensi acuan tersebut menggunakan dasar dan metode penyusunan yang berbeda yaitu analitis dan eksperimental. Penetapan konstanta dan nilai-nilai variabel juga didasarkan pada kondisi yang berbeda-beda, bisa dari pengadopsian hasil penelitian lain, pendekatan geometris dari hasil foto radiologi atau dari pengukuran fisioanatomi in vivo. Penetapan konstanta dan nilai variabel berdasarkan kondisi in vivo mengalami banyak kesulitan pada level molekuler. Hal ini memerlukan
pertimbangan dalam pemilihan peralatan dan metode pengukuran yang tepat untuk meminimasi terjadinya kesalahan. Model matematik osilasi regangan dinding dada merupakan fungsi persamaan dari perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan gerak otot intercostal (x3). Pemodelan perubahan volume rongga torak akibat aktivitas jantung
dimulai dengan menyusun persamaan yang menggambarkan efek total interaksi potensial aksi sel sistem konduksi, sel atrium dan sel ventrikel jantung sebagai dinamika gerak organ. Persamaan yang menjadi acuan masih memiliki beberapa kekurangan khususnya karena persamaan-persamaan tersebut masih disusun pada level sel tunggal. Jadi masih diperlukan analisis level organ untuk menunjukkan hubungan persamaan berurutan dari pemodelan potensial aksi sel otot jantung, dinamika kontraksi-relaksasi otot, perubahan volume jantung, perubahan volume dan tekanan rongga intratorak dan model akhir osilasi regangan dinding dada. Masih diperlukan keterlibatan dinamika sistem pernafasan dan variabel sinkronisasi untuk dapat mewujudkan vibrasi sebagai parameter fisilogis sistem kardiorespirasi. Kata kunci: potensial aksi, volume rongga intratorak, tekanan rongga intratorak, osilasi
regangan dinding dada
4
ABSTRACT
Nurida Finahari; Postgraduate program Brawijaya University; Theoritical approach on mathematical model development for chest wall stretch oscillation due to heart activity; Supervisor : M. Rasjad Indra. Cardiorespiratory system synchronization is a real phenomenon eventhough not a major variable in cardiorespiratory interaction. The researches on cardiorespiratory is done to understand the pathophysiological phenomenon. These researches usually use separate data record from different equipment for cardiovascular and respiratory system that quantifies to be a new variable. Being biological oscillators, vibration of cardiorespiratory system can be used as physiological measurement data signals that offer new alternative for the development of measuring devices. So, it is needed to develop mathematical model for cardiorespiratory vibration effect as chest wall stretch oscillation. The modelling of chest wall stretch oscillation can be done mathematically by referring to some references. These references are made according on difference basic and methods, that is analytical or experimentally. Constants and variabel values determination are based on difference conditions, it could be adoption of another experimental results, geometrical approach from radiologic pictures or by in vivo physioanatomy measuring. This in vivo measuring find some difficulties in molecular level. That is way it is needed some consideration on equiptment and measuring method selection to minimize errors. Mathematical model of chest wall stretch oscillation is a function of volume changes of intra-thorax cavity due to heart dynamic (x1), diaphragma dynamic (x2) and intercostal muscles dynamic (x3). The modelling of volume changes of intra-thorax cavity due to heart
activity starts from the function development that ilustrated the total effects of interaction action potential from heart conductive cell, atrium cell and ventricle cell, as an organ dynamic activity. The refference equation has some disadvantages especially due to its basic approach on single cell level. So, organ level analysis is needed in order to reach the sequential relationship start from heart cell action potential, muscles contraction-relaxation dynamic, heart volume changes, volume and pressure changes of thoracic cavity and final model of chest wall stretch oscillation. The dynamic roles of respiratory system and synchronization variabel must be added to gain vibration as physiological parameter for cardiorespiratory system. Keyword: action potensial, voume of intra-thoracic cavity, pressure of intra-thoracic cavity,
chest wall stretch oscillation
5
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN 1
KERANGKA RENCANA DISERTASI 2
ABSTRAKS 3
DAFTAR ISI 5
DAFTAR GAMBAR 6
I. PENDAHULUAN 7
1.1. Latar Belakang 7
1.2. Permasalahan 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1. Potensial Aksi Pacemaker Jantung 10
2.2. Potensial Aksi Sel Otot 14
2.3. Perubahan Panjang Otot Akibat Osilasi Kontraksi-Relaksasi 18
2.4. Perubahan Volume Rongga Intratorak 22
2.5. Perubahan Tekanan Rongga Intratorak 25
2.6. Osilasi Regangan Dinding Dada 26
III. PEMBAHASAN 28
IV. PENUTUP 33
4.1. Kesimpulan 33
4.2. Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 36
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka konsep penyusunan model matematik vibrasi kardiorespirasi 8
Gambar 2. Pembangkitan listrik jantung 10
Gambar 3. Mekanisme kanal ion pacemaker 11
Gambar 4. Diagram skematik sel pacemaker primer 12
Gambar 5. Karakteristik model yang menunjukkan potensial aksi pacemaker spontan 13
Gambar 6. Mekanisme kanal ion membran sel otot jantung 15
Gambar 7. Model skematis otot jantung dalam bentuk benang silindris 3 dimensi 15
Gambar 8. Profil potensial aksi sel otot 17
Gambar 9. Struktur otot rangka 19
Gambar 10. Mekanisme kontraksi otot rangka 20
Gambar 11. Model jantung 21
Gambar 12. Bola bertekanan 21
Gambar 13. Pemodelan Ansys 22
Gambar 14. Model dinding dada 23
Gambar 15. Ilustrasi skematik pengukuran volume paru-paru 25
Gambar 16. Pengaruh perubahan elastansi paru (El) dan dinding dada (Ecw) 26
Gambar 17. Model sistem respirasi dibawah pembebanan percepatan aksial 27
Gambar 18. Hubungan fungsional vibrasi kardiorespirasi 28
Gambar 19: Sist. sumbu aktivitas elektrik jantung yang mendasari segitiga Einthoven 29
Gambar 20: Alur modifikasi persamaan acuan osilasi regangan dinding dada 32
7
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kajian fisioanatomi sistem kardiorespirasi pada karya ilmiah 1 menunjukkan
bahwa keselarasan antara detak jantung dan laju respirasi (sinkronisasi kardiorespirasi)
merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi
kardiorespirasi (Toledo, et.al; 2002). Dari hasil simulasi matematik diketahui bahwa
peningkatan volume paru-paru akibat peningkatan tekanan alveolar, menyebabkan
perubahan tekanan intratorak. Perubahan ini berpengaruh pada perfusi paru-paru, aliran
vena dan keluaran jantung (Darowski; 2000). Penelitian tentang efek paparan polusi
dalam jangka panjang terhadap kesehatan kardiovaskular menyebutkan bahwa wanita di
daerah polusi udara yang memiliki nilai FEV1 (forced expiratory volume) kurang dari 80%,
diprediksi meninggal akibat penyakit kardiovaskular dengan rasio resiko RR = 3,79 (95%
CI: 1,64 – 8,74) untuk masa pantauan 5 tahun (Shcikowski, et.al; 2007). Untuk masa
pantauan 12 tahun, nilai RR = 1,35 (95% CI: 0,66 – 2,77). Dalam hal ini tampak bahwa
kesehatan respirasi merupakan prediktor bagi mortalitas kardiovaskular.
Penelitian-penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi ditujukan untuk
memahami mekanisme patofisiologis (Mrowka, et.al; 2003). Penelitian-penelitian tersebut
pada umumnya masih dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah
dari alat ukur jantung dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru. Kajian
terhadap alat-alat ukur standar yang umum digunakan pada pemantauan dan diagnosa
sistem kardiorespirasi menunjukkan bahwa secara individual peralatan-peralatan tersebut
belum menunjukkan kinerja yang optimum yang memudahkan proses analisis data dan
diagnosa klinis yang bersesuaian. Hal tersebut mendorong pengembangan peralatan-
peralatan baru sebagai perbaikan kinerja yang menawarkan akurasi, kepresisian,
kepraktisan, biaya murah dan kenyamanan (Mack; 2003).
Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan
vibrasi yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran fisiologis menawarkan
alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Posisi jantung dan paru-paru yang
berdekatan memungkinkan munculnya gelombang interferensi dari gelombang vibrasi
yang dihasilkan keduanya. Karakteristik gelombang interferensi tersebut merupakan
gambaran karakteristik masing-masing gelombang sumbernya (Finahari; 2008a).
Pemanfaatan 2 buah sensor vibrasi untuk mengukur kinerja sistem kardiorespirasi
telah dilakukan dengan akurasi pencatatan yang tinggi (Mack, et.al; 2003). Dari sisi
pengukuran detak jantung, alat ini berfungsi pada rentang variasi yang lebar (49-84 BPM)
sehingga potensi munculnya variabilitas hasil pengukuran cukup tinggi. Dalam hal ini
masih diperlukan pembuktian kepresisian peralatan. Karakteristik vibrasi juga
dimanfaatkan secara khusus untuk mengembangkan peralatan pencitra distribusi suara
8
paru-paru (Dellinger, et.al; 2008). Alat ini disebut vibration response imaging (VRI) yang
mampu mencatat dan menampilkan gambar dinamis suara pernafasan pada monitor
komputer. VRI memiliki software yang mampu mengkonversikan suara pernafasan pada
rentang frekuensi 150-250 Hz menjadi gambar dinamis dan data kuantitatif dari distribusi
suara pernafasan. Belum dilakukan analisis reliabilitas dan validasi sensitivitas peralatan
terhadap variasi patologis pada sistem pernafasan. Pengembangan peralatan diarahkan
pada penambahan aspek analisis time series dan kuantifikasi distribusi suara berdasarkan
metode-metode baku.
Untuk dapat melakukan proses perbaikan maupun pengembangan peralatan
pengukuran fisiologi sistem kardiorespirasi berbasis vibrasi, analisis berdasarkan
pemodelan matematik perlu dilakukan sehingga variabel-variabel yang berpengaruh
dapat ditentukan. Model matematik yang divisualisasikan secara terkomputerisasi dapat
mengurangi konsekuensi-konsekuensi negatif proses desain yang tidak diinginkan
(Finahari; 2008b). Meskipun demikian, proses penyusunan model matematik untuk vibrasi
sistem kardiorespirasi mempersyaratkan adanya pertimbangan tentang aspek interaksi
antar organ-organ penyusunnya (Finahari; 2008c). Hal ini membutuhkan ketelitian dan
ketepatan dalam menyusun skema mekanik, menentukan asumsi-asumsi fisiologis,
memilih variabel dan hukum-hukum mekanika yang menjadi landasan analisis. Kerangka
konsep penyusunan model matematik vibrasi sistem kardiorespirasi dapat dilihat pada
Gambar 1. Dalam hal ini vibrasi kardiorespirasi dinyatakan sebagai osilasi regangan
dinding dada.
Diagram Kinematis
Otot Pernafasan
Dinamika Gaya
Kontraksi-Relaksasi
Gaya Eksitasi
Getaran
Tekanan Intratorak
Gelombang Tekanan
Diagram Kinematis
Otot Jantung
Dinamika Gaya
Konstraksi-Relaksasi
Gaya Eksitasi
Getaran
Siklus dan Numerisasi
Regangan Dinding Dada
Potensial Aksi Sel
Sinkronisasi Fase
Fisiologis
Gambar 1: Kerangka konsep penyusunan model matematik vibrasi kardiorespirasi (Finahari; 2008c)
9
1.2. Permasalahan
Mengingat luasnya pembahasan untuk penyusunan model matematik vibrasi
kardiorespirasi maka karya ilmiah ini hanya akan membahas pendekatan teoritis
penyusunan model matematik vibrasi kardiorespirasi yang disebabkan oleh jantung dalam
kondisi fisiologi normal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Jantung merupakan sebuah pompa ganda dimana bagian kiri dan kanan
memompa darah secara terpisah, tetapi simultan, menuju sirkulasi sistemik dan pulmonar
(Widmaier et.al., 2006). Proses pemompaan darah tersebut memerlukan kontraksi atrium
yang diikuti hampir seketika oleh ventrikel sehingga dapat berjalan secara efisien.
Kontraksi dari otot jantung dipicu oleh depolarisasi membran plasma yang menghasilkan
potensial aksi. Gap junction yang menghubungkan sel-sel miokardial memungkinkan
potensial aksi tersebut untuk menyebar dari satu sel ke sel yang lainnya. Eksitasi yang
diawali oleh satu sel akan menghasilkan eksitasi dari seluruh sel jantung.
Selama masa perkembangan embrionik, sekitar 1% dari serat otot jantung
berubah menjadi sel-sel otoritmik, yaitu sel-sel yang secara berulang dan berirama
membangkitkan potensial aksi (Tortora, 2005). Sel-sel otoritmik tersebut bertindak
sebagai pacemaker, yang mengatur irama kontraksi dari seluruh jantung dan membentuk
sistem konduksi berupa jalur hantaran potensial aksi melalui otot-otot jantung. Sistem
konduksi tersebut menjamin terjadinya stimulasi bagi otot-otot jantung untuk berkontraksi
secara terkoordinasi. Sekelompok sel otoritmik yang menjadi pemicu potensial aksi awal
disebut node sinoatrial (node SA) yang terletak pada atrium kanan dekat pintu masuk
superior vena cava (Widmaier et.al., 2006). Node SA merupakan pacemaker normal bagi
seluruh jantung.
Potensial aksi pada sel jantung secara normal dimulai dari munculnya impuls listrik
pada node SA yang mengakibatkan kontraksi atrium, darah mengalir ke ventrikel
(Despopoulos, Silbernagl; 2003). Aliran konduksi listrik dari SA melemah pada saat
mencapai node atrioventrikular (AV) untuk memberikan kesempatan atrium
mengosongkan ruangan. Impuls listrik yang mencapai AV mengaktifkan bundel His,
cabang His kanan dan kiri lalu menyebar ke jaringan serat Purkinje. Aktivasi ini
mengakibatkan kontraksi ventrikel kiri dan kanan sehingga darah terpompa ke paru-paru
dan seluruh tubuh. Fase ini diikuti proses relaksasi dimana impuls listrik menghilang,
ventrikel mengembang sehingga tekanan menurun, darah mulai mengalir dari atrium.
Proses aliran potensial aksi yang membangkitkan aliran listrik jantung diilustrasikan pada
Gambar 2.
10
Gambar 2: Pembangkitan listrik jantung (Despopoulos, Silbernagl; 2003)
2.1. Potensial Aksi Pacemaker Jantung
Potensial aksi sel sistem konduksi memiliki karakteristik yang berbeda dengan
potensial aksi sel otot jantung (Widmaier et.al., 2006). Sel node SA tidak memiliki ambang
batas tetap sebagaimana sel otot jantung. Node SA melakukan depolarisasi lambat yang
disebut potensial pacemaker hingga tercapai titik batas potensial membran yang memicu
munculnya potensial aksi. Terdapat tiga mekanisme kanal ion yang berperan dalam
potensial pacemaker (Gambar 3). Mekanisme pertama adalah terjadinya penurunan
permeabilitas potasium. Kanal potasium yang terbuka selama fase repolarisasi pada
siklus sebelumnya secara bertahap menutup akibat perubahan potensial membran
menjadi negatif. Mekanisme kedua mengacu pada keunikan kanal-kanal ion sel
pacemaker yang berbeda dengan kanal-kanal gerbang voltage pada umumnya dimana
kanal-kanal ion sel pacemaker justru terbuka dalam kondisi potensial negatif. Kanal-kanal
tersebut mengakibatkan konduksi ke dalam dalam bentuk arus depolarisasi sodium.
Perilaku ini disebut kanal sodium tipe F (F = funny). Mekanisme ketiga berbentuk kanal
kalsium yang meskipun hanya terbuka sebentar namun berperan dalam memasukkan
arus kalsium ke dalam sel. Aliran arus kalsium ini merupakan pemicu penting terakhir
dalam proses depolarisasi potensial pacemaker. Kanal ketiga ini disebut kanal kalsium
tipe T (T = transient). Pada saat mekanisme pacemaker sel nodal mencapai ambang
batas, maka potensial aksi terjadi. Fase depolarisasi disebabkan oleh masuknya arus
kalsium melalui kanal kalsium tipe L (L = long-lasting) selama beberapa waktu,
selanjutnya diikuti oleh pembukaan kanal potasium yang mengawali proses repolarisasi.
Dengan demikian siklus berulang kembali.
11
Gambar 3: Mekanisme kanal ion pacemaker, a) potensial membran sel nodal jantung, b) pengukuran simultan permeabilitas empat kanal ion yang berbeda selama proses pembangkitan potensial aksi yang ditunjukkan kurva a. (Widmaier et.al., 2006).
Aktivitas pacemaker node sinoatrial (SA) telah dikembangkan dalam bentuk model
matematis yang umumnya diturunkan untuk kondisi sel tunggal dengan obyek jantung
kelinci (Yasutaka et.al.; 2002). Nilai parameter yang dibutuhkan untuk simulasi numerik
diambil dari obyek yang distabilkan pada suhu 37oC dengan asumsi berada dalam kondisi
fisiologis normal. Model matematis Yasutaka et.al. (2002) merupakan model matematis
aktivitas sel pacemaker yang telah melibatkan berbagai variabel kelistrikan sel sehingga
dapat dipandang sebagai model representatif.
12
Sel pacemaker dimodelkan dalam bentuk silinder dengan panjang 70 m,
diameter 8 m, yang merupakan pendekatan bentuk sel spindle (Gambar 4). Diameter
yang diambil merupakan asumsi diameter rata-rata sel spindle tersebut. Volume sel
diasumsikan 35 pl (10-12 liter) dengan kapasitansi membran sel sebesar 32 pF (10-12
Farad). Ukuran ini digunakan berdasarkan pemikiran bahwa sel pacemaker pusat lebih
kecil dari sel pacemaker perifer (Zhang et.al.; 2000). Volume sel yang berperan dalam
pembangkitan arus listrik (gerak difusi Ca2+) diasumsikan 46% dari total volume untuk
mengakomodasi keberadaan organel-organel sel.
Model matematis yang dikembangkan Yasutaka et.al. (2002) mengakomodasi
adanya hambatan arus pada ruang sarkolemal. Ruang sarkolemal ini diset pada nilai 1%
total volume. Konstanta waktu arus dalam menempuh jarak dari ruang sarkolemal ke
mioplasma ditetapkan 40 s untuk koefisien difusi sebesar 1 x 10-9 cm2/ms. Model
lengkap untuk aktivitas normal pacemaker meliputi 13 variabel arus, dimana persamaan
diferensial potensial membran dinyatakan sebagai:
Gambar 4: Diagram skematik sel pacemaker primer. A) diagram lintang sel model, B) ruang-ruang intraseluler untuk arus Ca
2+. R dan L menyatakan diameter sel dan kedalaman ruang
sarkolemal. JSR adalah Sarcoplasmic Reticulum Junction, NSR adalah Sarcoplasmic Reticulum Network. Gerak arus Ca
2+ ditunjukkan arah panah (Yasutaka et.al.; 2002).
m
NaCaNaKAChKNabNasthsustoKsKrTCaLCa
C
IIIIIIIIIIIII
dt
dV
,,,, (1)
(Yasutaka et.al.; 2002)
Aktivitas gerbang arus dalam kondisi stabil (steady state) dinyatakan dalam
variabel gerbang x dan merupakan penyelesaian dari persamaan 2). Variabel x ini
merupakan fungsi V.
x
xxdtdx
/ (2)
Persamaan-persamaan di atas, lengkap dengan persamaan untuk masing-masing
variabel arus, membentuk 27 persamaan dinamis diferensial orde satu simultan non-linier.
Persamaan detail beserta daftar istilahnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Penyelesaian
13
persamaan kompleks tersebut dilakukan secara numerik dengan algoritma Runge-Kutta.
Hasil simulasi numeriknya dapat dilihat pada Gambar 5.
Dari hasil simulasi dinyatakan bahwa model yang disusun telah menunjukkan
karakteristik aktivitas potensial aksi pacemaker yang lebih realistik. Hal tersebut diperoleh
dengan mempertimbangkan semua variabel arus, termasuk aktivitas hambatannya, yang
terlibat dalam pembangkitan listrik sel pacemaker. Namun demikian masih ditemukan in-
konsistensi pada grafik karakteristik hasil simulasi jika dibandingkan dengan aktifitas sel
yang sesungguhnya. Kondisi ini disebabkan kurangnya data eksperimental fisioanatomi
jantung tikus in vivo karena sulit pengukurannya. Model ini juga belum bisa mengakomo-
dasi variabilitas jenis sel pacemaker yang memiliki karakteristik kelistrikan yang berbeda.
Karakteristik arus yang disebabkan ion-ion lain pada sel, distribusi densitas ion pada sel
dan ruang antar sel, pengaturan oleh second messengers dan modulator intraseluler, juga
belum diakomodasi. Kelemahan-kelemahan ini yang menjadi target pengembangan
penelitian berikutnya. Bagaimanapun, hasil simulasi ini dapat dimanfaatkan dalam analisis
pemblokiran arus secara farmakologis.
2.2. Potensial Aksi Sel Otot.
Mekanisme pembangkitan potensial aksi pada membran sel otot jantung pada
dasarnya mirip dengan mekanisme yang terjadi pada jaringan tereksitasi lainnya
(Widmaier et.al., 2006). Namun kombinasi kanal ion yang menunjukkan karakteristik unik
pada sel jantung menghasilkan kurva potensial aksi yang berbeda sebagaimana tampak
pada Gambar 6. Sebagaimana terjadi pada sel otot rangka dan neuron, membran sel
yang berada dalam kondisi istirahat lebih permeabel terhadap potasium daripada sodium
tetapi kondisi ini lebih ekstrem terjadi pada sel otot jantung. Perbedaan tersebut terjadi
karena adanya sub kanal potasium yang secara khusus mengalami kebocoran pada
voltage membran negatif. Hal ini menyebabkan potensial membran sel otot jantung lebih
mengarah pada nilai keseimbangan potensial potasium (-90 mV), sementara potensial
keseimbangan sodium bernilai 60 mV. Fase depolarisasi membran sel otot jantung juga
terutama disebabkan oleh pembukaan gerbang voltage kanal sodium. Pada saat yang
hampir bersamaan permeabilitas terhadap potasium menurun mengikuti tertutupnya
kebocoran kanal potasium. Proses ini memperkuat fase depolarisasi.
Jika pada jaringan tereksitasi lainnya penurunan permeabilitas sodium merupakan
gejala awal proses repolarisasi, pada sel otot jantung tidak demikian halnya. Membran sel
otot jantung tetap berada pada puncak depolarisasi yang bernilai sekitar 0 mV karena:
1. permeabilitas potasium masih tetap berada dibawah nilai istirahat (bocoran kanal
potasium masih tertutup)
2. terjadi peningkatan permeabilitas membran terhadap kalsium.
14
Gambar 5: Karakteristik model yang menunjukkan potensial aksi pacemaker spontan. Kiri: aktivi-tas arus ionik transmembran, Kanan: dinamika Ca
2+ intraseluler, dalam kondisi stabil
(Yasutaka et.al.; 2002).
15
Pada sel miokardial, depolarisasi awal menyebabkan gerbang voltage kanal
kalsium (tipe L) terbuka sehingga terjadi aliran arus ion kalsium masuk ke dalam sel.
Kanal ini terbuka jauh lebih lambat dari kanal sodium tetapi tetap terbuka hingga waktu
yang lama. Hal inilah yang memberikan efek dominan pada stabilitas depolarisasi pada
nilai puncak. Proses repolarisasi sel jantung baru terjadi jika kanal kalsium mulai tertutup
perlahan yang diikuti pembukaan kanal potasium dengan tipe yang berbeda dengan tipe
bocoran. Proses pembangkitan potensial aksi sel-sel atrium mirip dengan proses yang
terjadi pada sel-sel atrial kecuali bahwa durasi puncak depolarisasinya lebih pendek.
c)
Gambar 6: Mekanisme kanal ion membran sel otot jantung, a) potensial membran sel ventrikel, b)
pengukuran simultan permeabilitas empat kanal ion yang berbeda selama proses pembangkitan potensial aksi yang ditunjukkan kurva a), c) perbandingan potensial aksi sel otot rangka dan otot jantung (Widmaier et.al., 2006).
16
Model matematik sel otot jantung pada mulanya dikembangkan dengan
mengasumsikan sel sebagai kabel tunggal satu dimensi, namun model tersebut
dipertanyakan akurasinya mengingat otot jantung merupakan jaringan multiseluler yang
dikelilingi ruang interstisial dan memiliki kanal interseluler (Roth; 1991). Untuk itu dibuat
pendekatan baru dimana jaringan sel jantung digambarkan sebagai benang silindris tiga
dimensi dalam lingkungan cairan garam (Gambar 7).
Gambar 7: Model skematis otot jantung dalam bentuk benang silindris 3 dimensi. Konduktivitas
cairan lingkungan dinyatakan sebagai e, , dan z adalah variabel koordinat silindris untuk menentukan posisi pada model. Cincin anoda dan katoda adalah stimulator aktivitas kelistrikan (Roth; 1991).
Dengan menggunakan asumsi kondisi simetri aksial, variabel dalam koordinat
silindris model tidak memiliki pengaruh dan diabaikan. Dalam model ini terdapat dua
ruang acuan yaitu ruang intraseluler (i) dan ruang interstisial (o) yang dipisahkan oleh
membran sel. Tujuan utama pemodelan adalah menentukan potensial aksi di dua ruang
(i, o) tersebut termasuk potensial aksi lingkungan (e). Sifat-sifat elektris dua ruangan
tersebut diasumsikan homogen dan dapat dinyatakan dengan tensor konduktivitas i~ dan
o~ . Dengan asumsi bahwa sel otot terbentang memanjang sejajar dalam benang, maka
jaringan tersebut bersifat anisotropik dimana konduktivitas ke arah radial berbeda dengan
arah memanjang. Jadi tensor konduktivitas dibedakan menjadi 4 parameter yaitu i~ ,
iz~ , o~ dan oz~ . Karakteristik makroskopik benang dipengaruhi oleh karakteristik
mikroskopik masing-masing sel dengan hubungan:
iiz f ; ooz f )1( ; oof
f
1
1; izi f 1,0 (3)
Persamaan 3) menunjukkan besaran rasio anisotropik ruang interstisial sebagai (1 + f)
dan ruang intraseluler sebesar 0,1.
Aliran arus total yang melewati membran tergantung pada densitas arus pada
membran yang dinyatakan sebagai rasio luas area per volume, . Rasio ini dipengaruhi
oleh jari-jari sel individual, b. Maka:
17
b
f2 (4)
Selanjutnya aktivitas arus pada kanal ion dinyatakan sebagai:
)()( 3
NamNaLmLion VhmgVgJ (5)
dimana gL adalah kebocoran konduktansi per satuan luas, m adalah potensial
transmembran (m = i - o), VL adalah potensial listrik awal, VNa adalah potensial Nernst
sodium dan m, h adalah parameter kanal mengikuti model kinetika Ebihara-Johnson
(Ebihara, Johnson; 1980). Dengan melakukan ekspansi terhadap persamaan 3), 4) dan 5)
didapat persamaan-persamaan umum sebagai berikut:
A. Jaringan
mo
mi
ooo
iii
IJ
IJ
J
J
~
~
(6)
B. Membran
oim
ion
m
mm Jt
CI
(7)
C. Lingkungan 0
e
eee
J
J (8)
D. Kondisi Batas
0
nJ
nJnJ
i
eo
oe
(9)
dalam hal ini Ji, Jo, Je adalah densitas arus pada masing-masing ruang, t adalah waktu,
adalah gradien matrik, adalah operator divergensi dan n adalah vektor satuan normal
terhadap permukaan jaringan, mengarah keluar menuju lingkungan.
Persamaan-persamaan di atas diselesaikan secara numerik. Nilai-nilai parameter
ditentukan dari data eksperimen atau menggunakan data-data penelitian terdahulu yang
diacu. Hasil perhitungan numerik ditunjukkan pada Gambar 8. Meskipun model tiga
dimensi yang disimulasikan ini memberikan perbaikan kinerja yang lebih baik dari
penelitian-penelitian sebelumnya namun belum menunjukkan perubahan kondisi yang
diakibatkan peningkatan kecepatan konduktifitas dari sel pacemaker (Roth; 1991). Model
benang silindris berjari-jari seragam juga belum menunjukkan kondisi fisioanatomi
sesungguhnya. Kelemahan-kelemahan inilah yang masih menjadi bahan pengembangan
penelitian.
18
Gambar 8: Profil potensial aksi pada t = 8 ms untuk a) transmembran, b) intraseluler dan c) ekstraseluler. Garis-garis isopotensial dinyatakan dalam milivolt (Roth; 1991).
2.3. Perubahan Panjang Otot Akibat Osilasi Kontraksi-Relaksasi.
Mekanisme gerak kontraksi-relaksasi otot jantung mirip dengan mekanisme otot
rangka. Sel otot rangka tunggal disebut sebagai serat otot (Widmaier et.al., 2006). Istilah
otot mengacu pada sejumlah serat otot yang terikat oleh jaringan penghubung
(connective tissue) dalam satu bundel. Otot biasanya terhubung pada tulang melalui
bundelan serat kolagen yang disebut tendon. Pola lurik pada otot rangka (dan jantung)
dihasilkan dari rangkaian pengaturan berseling filamen-filamen tebal dan tipis dalam
sitoplasma menjadi miofibril. Sebagian besar sitoplasma serat otot terisi oleh miofibril.
Setiap miofibril tersebut tersusun memanjang dari ujung serat otot ke ujung lainnya dan
terhubung pada tendon di ujung serat.
Satu unit ulangan pola lurik pada serat otot disebut sarcomere. Filamen tebal
pada sarcomere hampir seluruhnya tersusun dari protein kontraktil yang disebut miosin.
Filamen tipis yang diameternya sekitar setengah diameter filamen tebal terdiri atas protein
kontraktil aktin, troponin dan tropomiosin. Protein-protein filamen tipis ini berperan penting
dalam mengatur proses kontraksi otot.
19
Filamen tebal terletak di tengah tiap sarcomere dan membentuk segmen gelap
yang disebut band A. Tiap sarcomere memiliki 2 set filamen tipis di tiap ujungnya. Ujung-
ujung filamen tipis terikat pada jaringan protein interkoneksi yang disebut garis Z (Z line)
sedang ujung lainnya tumpang tindih dengan filamen tebal. Bagian filamen tipis yang tidak
tumpang tindih dengan filamen tebal menghubungkan dua sarcomere yang berdekatan
dan membentuk band I. Di tengah-tengah band A terdapat daerah terang yang
menunjukkan ruang kosong di antara ujung dalam filamen tipis yang disebut zona H.
Pada band H terdapat garis tebal yang menunjukkan hubungan antara filamen tebal yang
berdekatan, disebut garis M. Sebagai tambahan, terdapat filamen yang tersusun atas
protein elastik bernama titin yang menghubungkan filamen tebal dengan garis Z. Titin dan
garis M mengatur posisi filamen tebal dalam serat otot.
Kontraksi otot merupakan proses aktivasi gaya otot yang membangkitkan
pergerakan cross-bridge miosin filamen tebal. Pada kondisi ini cross-bridge miosin
berikatan dengan molekul aktin filamen tipis dan bergerak dalam arah lengkung yang
menyebabkan aktin filamen yang terikatan pada garis Z tertarik ke arah pusat sarcomere.
Hasil akhir gerakan ini adalah pemendekan sarcomere. Jika aktivasi berjalan singkat
maka hanya terjadi pemendekan kecil saja dari sarcomere namun jika aktivasi berjalan
lama maka cross-bridge akan mengulang-ulang gerakannya yang menyebabkan
pemendekan sarcomere besar-besaran. Jika aktivasi gaya hilang, sarcomere kembali ke
posisi semula. Mekanisme ini disebut teori pergeseran filamen (sliding-filament
mechanism) karena pemendekan sarcomere terjadi akibat pergeseran posisi filamen
tanpa merubah panjang filamen-filamen penyusun tersebut.
Perubahan panjang otot jantung akibat proses kontraksi-relaksasi dapat
diindikasikan oleh pergerakan dinding jantung. Pemodelan gerak dinding jantung telah
dipelajari untuk menunjukkan perubahan gerak pembuluh arteri koroner (Gutterrez et.al;
2003). Pemodelan dimulai dengan mengasumsikan jantung sebagai bejana tekan 2 ruang
yang mewakili rongga atrium (atrium kiri dan kanan dijadikan satu) dan rongga ventrikel
(ventrikel kiri dan kanan dijadikan satu). Model jantung tersebut dapat dilihat pada
Gambar 11a. Permukaan luar dinding jantung yang secara alami memiliki kerumitan
perubahan kontur dimodelkan sebagai permukaan padat yang halus sebagaimana
tampak pada Gambar 11b. Model ini dikembangkan oleh The Vascular Intervention Group
of Guidant Corporation. Perumusan model matematik gerak dinding jantung didasarkan
pada Teori Analisis Tegangan Bidang untuk bola bertekanan.
20
Gambar 9: Struktur otot rangka (Widmaier et.al., 2006).
Gambar 10: Mekanisme kontraksi otot rangka pada teori pergeseran filamen (Marshall, 1997).
21
(a) (b) Gambar 11: Model jantung, a). Skema konseptual, b). Penyederhanaan bentuk permukaan
(Gutierrez et.al; 2003)
Dalam Teori Analisis Tegangan Bidang, ruang jantung diasumsikan sama dengan
bola yang memiliki jari-jari r dan ketebalan dinding t. Bola tersebut mengalami tekanan
dari dalam sebesar p (Gambar 12). Tegangan di sekeliling dinding bola harus merupakan
jumlah (resultan) gaya penyeimbang tekanan yang bekerja pada penampang lintang,
yaitu:
22 rptr 10)
2
rpt 11)
Gambar 12: Bola bertekanan (Gutierrez et.al; 2003)
Dari persamaan 11), perubahan ketebalan dinding jantung dapat diilustrasikan
dengan bantuan program Ansys 5.7, yaitu suatu program analisis desain mekanik
khususnya untuk pemodelan dinamis struktur 3D. Model jantung sebagaimana tampak
pada Gambar 13a terlebih dahulu digambarkan dalam bentuk diagram CAD (computer
aided design) selanjutnya ditransformasikan ke Ansys dan dilakukan analisis. Perubahan
panjang otot jantung dapat diekspansikan dari persamaan 11 menjadi :
22
t
pl 12)
dimana tegangan dinding jantung, , dapat diturunkan dari persamaan aksi potensial otot
jantung dengan teori pembangkitan tegangan listrik. Tekanan ruang jantung dalam hal ini
akan merupakan fungsi tegangan dinding jantung dalam kaitannya dengan perubahan
volume ruang akibat aktivitas kontraksi-relaksasi otot jantung.
(a) (b)
Gambar 13: Pemodelan Ansys, a) transformasi file CAD menjadi jaring-jaring Ansys, b) hasil
analisis berdasarkan persamaan 2) dengan input p dan , warna menunjukkan perubahan ketebalan dinding (Gutierrez et.al; 2003)
2.4. Perubahan Volume Rongga Intratorak
Aktivitas fisiologis jantung mengakibatkan perubahan volume sebesar 2-5% dari
total volume yang diukur di antara akhir periode diastol dan akhir periode sistol (Hoffman,
Ritman, 1988). Volume total jantung diperkirakan sebesar kurang lebih 60 cm3 dengan
massa sekitar 300 gram (Tortora, 2005). Perubahan volume jantung ini memiliki peranan
sebagai pompa penambah volume bagi paru-paru (Lichtwarck-Aschoff et.al., 2004).
Dengan demikian, peranan jantung dalam perubahan volume rongga intratorak dapat
dilihat dari pengukuran perubahan volume paru-paru.
Secara eksperimental, regangan dinding dada telah dijadikan parameter
pengukuran perubahan volume rongga rusuk dengan menggunakan pletismograf
induktansi (Palmer et.al; 2004). Regangan diukur menggunakan sabuk induktansi yang
dililitkan pada lingkar dada. Hasil pengukuran dikalibrasikan terhadap hasil pengukuran
pneumotachograf sebagai alat ukur standar. Meskipun metode pengukuran ini tidak
mengganggu pola pernafasan akibat pemakaian masker sebagaimana pada
pneumotachograf, hasil pengukuran sabuk konduktansi masih dipengaruhi oleh beberapa
jenis tekanan non-gas pernafasan dalam tubuh seperti tekanan darah dan tekanan gas
abdominal. Di sisi lain pengukuran sabuk induktansi hanya dapat mencatat perubahan
pada arah radial (2 dimensi) saja. Jadi pergerakan ke arah lain tidak dapat diukur. Hal
tersebut menimbulkan beberapa kesulitan dalam analisis datanya.
23
Pemodelan dinding dada yang telah dilakukan secara matematik ditemukan pada
penelitian terhadap aktivitas paru-paru dan otot perut (Cappelo, De Troyer; 2004).
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh elastansi tulang rusuk terhadap interaksi gerak
paru-paru dan otot perut dalam perubahan volume pada proses pernafasan. Dinding dada
digambarkan secara mekanik sebagai model 2 ruang sebagaimana tampak pada Gambar
14 berikut.
Gambar 14: Model dinding dada (Cappelo, De Troyer; 2004).
Rongga rusuk dan diafragma digambarkan sebagai piston dan pegas pada bagian
atas dan bawah silinder. Paru-paru digambarkan sebagai pegas diantara 2 piston
tersebut. Otot-otot perut digambarkan sebagai gelondong otot (muscle bundles) yang
diikatkan pada piston ketiga menggunakan puli dan tali pada sisi kiri silinder sekaligus
untuk menggambarkan dinding perut. Pada sistem ini gelondong otot menggerakkan
piston abdominal ke kanan jika berkontraksi. Gerak piston abdominal menyebabkan
peningkatan tekanan abdominal (Pab) dan menekan pegas paru-paru. Persamaan
keseimbangan statis sistem pernafasan dalam variabel tekanan pembukaan jalan nafas
(Pao) selanjutnya dinyatakan sebagai :
Pao = KR VR + KL VL (13)
Pao = KDi VDi + Pab + KL VL (14)
Sedangkan :
Pab = KA VA + PA (15)
Dimana :
VR = perubahan volume rongga rusuk KR = elastansi tulang rusuk
VL = perubahan volume paru-paru KL = elastansi paru-paru
VDi = perubahan volume akibat gerak diafragma KDi = elastansi diafragma
VA = perubahan volume abdominal KA = elastansi dinding abdominal
24
Jadi perubahan volume paru-paru merupakan jumlah dari perubahan volume rongga
rusuk dan diafragma, VL = VR + VDi. (16)
Persamaan pengukuran volume paru-paru di atas masih merupakan persamaan
umum dengan cara pandang sistemik sehingga tidak mengakomodasi dinamika
perubahan dimensi organ-organ tubuh yang terlibat pada saat proses pernafasan
berlangsung. Pendekatan pengukuran volume paru-paru yang lebih detail dilakukan
dengan menganalisis beberapa hasil foto radiografis (Singh et.al; 2001). Dalam hal ini
volume paru-paru dinyatakan sebagai :
Volume paru-paru = volume dada – volume jantung – volume spinal – volume subphrenic (17)
Untuk mengukur parameter volume-volume tersebut, dilakukan pemotretan pada
beberapa kondisi pernafasan, yaitu pada posisi volume residual (RV), kapasitas residual
fungsional (FRC), FRC + ½ kapasitas inspirasi (FRC + ½ IC) dan kapasitas total paru-
paru (TLC). Setiap subyek penelitian diharapkan melakukan pernafasan perlahan dari
kondisi RV hingga TLC. Ilustrasi skematik untuk analisis hasil foto radiografis tampak
pada Gambar 15.
Dalam skema tampak acuan untuk pengukuran-pengukuran :
1. panjang diafragma, Ldi :
- bidang coronal : a-d
- bidang sagital : a’-d’
2. panjang zona apposition, Lap
- lateral kanan : a-b
- lateral kiri : c-d
- posterior : c’-d’
3. faktor bentuk diafragma, Kdome
- bidang coronal = b – c / (diameter rongga rusuk)
- bidang sagital = b’ - c’/ (jarak linier antara sudut costophrenic anterior dan posterior)
4. volume rongga diafragma (Vdome), volume frustum (Vf), dan volume subphrenic
Vsubph = Vdome + Vf
5. Perubahan volume akibat gerak diafragma (Vdi) yang dihitung dengan rumus :
Vdi = VsubphRV – VsubphEI -Vaxial + Ve + ½ Vf
Dimana : VsubphRV = Vsubph yang diukur dalam kondisi RV
VsubphEI = Vsubph yang diukur dalam kondisi EI (end inspiration)
Ve = peningkatan Vsubph pada ekspansi inspirasi akibat gerak abdominal
dan rongga rusuk
Meskipun sudah diupayakan pendefinisan secara detail, pengukuran-pengukuran di atas
masih menggunakan asumsi bahwa bentuk penampang lintang potongan tubuh hasil foto
radiografis adalah mendekati elipsoidal.
25
B
Gambar 15: Ilustrasi skematik pengukuran volume paru-paru A. Skema penyesuaian hasil posteroanterior (PA) dan lateral chest radiographic (CXR). B. Skema pengukuran perubahan volume akibat gerak diafragma. (Singh et.al; 2001).
2.5. Perubahan Tekanan Rongga Intratorak
Osilasi kardiogenik akibat detak jantung diketahui mempengaruhi volume paru
secara signifikan (Lichtwarck-Aschoff et.al., 2004). Karena frekuensi osilasi kardiogenik
berubah sejalan dengan waktu, besaran perubahan volume paru tersebut juga tergantung
pada waktu. Pada akhir periode osilasi, volume paru yang dihasilkan semakin kecil, paru
dan dinding dada semakin kaku. Amplitudo osilasi yang semakin datar menunjukkan
adanya peningkatan kekakuan paru. Hal ini menunjukkan potensi penggunaan osilasi
kardiogenik sebagai alat analisis non-invasif bagi mekanika pernafasan.
Di sisi lain, perubahan volume paru berkaitan erat dengan tekanan pada jalan
pernafasan, tekanan alveoli dan tekanan selaput pleura. Tekanan selaput pleura ini
mengindikasikan interaksi antara paru dengan dinding dada yang diakibatkan oleh
perbedaan elastansi antar keduanya (Gattinoni et.al., 2004). Secara matematik hubungan
ini dirumuskan sebagai berikut:
Paw = Pl + Ppl sedangkan Etot = El + Ecw (18)
26
dimana Paw adalah tekanan saluran nafas, Pl adalah tekanan transpulmonar, Ppl adalah
tekanan pleura, Etot adalah elastansi total sistem respirasi, El adalah elastansi paru dan
Ecw adalah elastansi dinding dada. Maka tekanan pleura dan paru dapat dirumuskan
sebagai:
Ppl = Paw x Ecw / Etot dan Pl = Paw x El / Etot (19)
Gambar 16: Pengaruh perubahan elastansi paru (El) dan dinding dada (Ecw) pada elastansi total (Etot) untuk kondisi a) El tinggi, Ecw rendah, b) El = Ecw (Gattinoni et.al., 2004)
Pengukuran tekanan pleura hanya dapat didekati dengan mengukur tekanan esofageal
menggunakan balon esofagus. Perubahan tekanan balon esofagus mengindikasikan
perubahan tekanan pleura. Tekanan pleura juga dapat dihitung dengan melibatkan
tekanan intra abdominal (Pia) melalui persamaan empirik berikut:
Ppl = Paw [(0,47 Pia + 1,43) / (0,47 Pia + 1,43 + El)] (21)
(Gattinoni et.al., 1998)
Tekanan intra abdominal ini menunjukkan pengaruh gerak diafragma sebagai salah satu
komponen sistem pernafasan, namun hubungan dinamik antar semua komponen sistem
belum tampak.
2.6. Osilasi Regangan Dinding Dada
Secara umum model matematik untuk osilasi regangan dinding dada telah diilus-
trasikan pada Subbab 2.4., namun secara eksplisit dapat dilihat pada pemodelan sistem
pernafasan yang mengalami kondisi percepatan aksial, yaitu kondisi tubuh dalam aktivitas
dinamik, seperti misalnya yang terjadi pada saat berjalan atau berlari (Loring et.al., 2001).
Dalam hal ini sistem pernafasan dimodelkan sebagai dua massa yang bergerak dalam
silinder sebagaimana tampak pada Gambar 17. Gaya netto yang diakibatkan oleh gerak
otot-otot pernafasan dada (Frc) dan abdominal (Fab) dirumuskan sebagai:
)()()()( ,1 rcrcmrcrcmrclercGrcrcrc xRxKAPAPxmF
sincoscos yorczorcorc GmGmxm (22)
27
)()()()( ,1 abrcmabrcmableabGababab xRxKAPAPxmF
sincoscos yoabzoaboab GmGmxm (23)
dimana m adalah massa, x adalah posisi, x adalah kecepatan gerak, x adalah
percepatan, PG adalah tekanan relatif paru terhadap udara lingkungan, Pe1,l adalah
tekanan rekoil elastis dari paru, A adalah luas penampang lintang bidang kerja gaya, K rcm
adalah koefisien kekakuan otot (Krcm = Arc2/Crc), C adalah compliance paru, R adalah
koefisien peredaman viskos dari otot (nilainya diasumsikan dari kondisi fisiologis), G
adalah koefisien gravitasi ke arah cephalad (z) dan ventrad (y), α dan β adalah sudut
orientasi sebagaimana tampak pada Gambar 17. Pada penelitian ini persamaan
diselesaikan secara numerik menggunakan Program Matlab Simulink 1.3. untuk
mengetahui profil kecepatan dan percepatan reaksi dari sistem pernafasan setelah proses
akselerasi menggunakan papan latihan. Nilai-nilai parameter diperoleh dari berbagai
referensi pendahuluan, pengukuran fisiologis dan asumsi model.
Kekurangan dari model ini adalah perlunya dilakukan penyesuaian terhadap nilai-
nilai parameter simulasi agar menunjukkan hasil yang sesuai dengan kondisi
fisioanatomis. Sebagai contoh adalah penentuan sudut α dan β tidak bisa dilakukan
secara khas namun diperoleh dari coba-coba. Beberapa parameter yang lain juga
demikian. Hal ini meninggalkan catatan bahwa hasil penelitian masih merupakan
pendekatan yang memerlukan kajian lebih detail.
Gambar 17: Model sistem respirasi dibawah pembebanan percepatan aksial (Loring et.al., 2001).
28
III. PEMBAHASAN
Mengacu pada aliran proses penyusunan model matematik pada Gambar 1 maka
hubungan fungsional antar organ penyebab timbulnya vibrasi kardiorespirasi dalam
bentuk osilasi regangan dinding dada dapat dilihat dari skema pada Gambar 18. Dari
skema tersebut tampak bahwa regangan dinding dada terjadi akibat perubahan volume
rongga torak. Perubahan volume rongga torak terjadi akibat aktivitas periodik dari sistem
pernafasan dan denyut jantung. Dengan demikian regangan dinding dada juga bersifat
periodik. Aktivitas periodik inilah yang disebut sebagai vibrasi. Vibrasi dengan amplitudo
dan frekuensi rendah umumnya disebut sebagai osilasi.
Dalam notasi matematik, osilasi regangan dinding dada (y) merupakan fungsi
perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan gerak
otot intercostal (x3). Maka secara konseptual osilasi regangan dinding dada dapat
dirumuskan sebagai berikut:
y = f (x1; x2; x3) (24)
(a) (b)
(c)
Gambar 18: Hubungan fungsional vibrasi kardiorespirasi, (diadaptasi dari Weinhaus., 2004), a) arah sumber gerakan (panah merah) dan osilasi pada rongga torak (panah hijau), b) arah gerak otot pernafasan pada kondisi inspirasi dan ekspirasi, c) perubahan volume rongga torak akibat gerak diafragma.
29
Fungsi umum pada persamaan 24) tersebut akan dikembangkan menjadi
persamaan matematik detail yang memuat variabel-variabel yang terlibat dalam rangkaian
gerak dinamis aktivitas kardiorespirasi. Persamaan matematik tersebut disusun dari
modifikasi beberapa persamaan acuan pada referensi-referensi pada Bagian II.
Pemanfaatan persamaan-persamaan matematik yang tertulis dalam referensi dapat
dimungkinkan karena penyusunannya selalu didasarkan pada kondisi fisiologis normal.
Perbedaan yang muncul akibat tujuan pemanfaatan persamaan yang berlainan dengan
tujuan penulisan karya ilmiah hanya muncul pada penentuan nilai-nilai variabel dan
penetapan konstanta-konstanta. Hal tersebut memerlukan beberapa langkah modifikasi
yang perlu difikirkan secara detail nantinya. Secara berurutan kemungkinan-kemungkinan
modifikasi persamaan yang perlu dilakukan adalah:
1. Tinjauan sistem sumbu / bidang acuan pemodelan
Sistem sumbu atau bidang acuan pemodelan menentukan dimensi persamaan
matematik yang akan disusun. Secara fisiologis arah aksi aktivitas kardiorespirasi
mengikuti sistem sumbu ruang atau tiga dimensi (3D). Ilustrasi sistem sumbu dalam
pemodelan biologis dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19: Sistem sumbu aktivitas elektrik jantung yang mendasari segitiga Einthoven
(Hyttinen et.al., 1988).
30
Persamaan-persamaan matematik dalam referensi pada umumnya menggunakan
sistem sumbu bidang atau 2D bahkan 1D sesuai dengan tujuan perumusannya untuk
keperluan penyederhanaan tanpa mengurangi signifikansi aspek fisioanatominya.
Mengacu pada posisi pengukuran yang direncanakan untuk vibrasi kardiorespirasi
maka sistem sumbu yang digunakan adalah sistem sumbu bidang (2D) untuk arah
tranversal dengan pusat sumbu mengikuti posisi segitiga Einthoven.
2. Persamaan potensial aksi sel jantung
Proses kontraksi-relaksasi otot jantung yang tampak dalam skala organ merupakan
hasil dari penjalaran potensial aksi sel-sel jantung mulai dari sel-sel sistem konduksi
hingga ke seluruh sel atrium dan ventrikel. Mengacu pada mekanisme tersebut,
persamaan 1) yang menggambarkan aktivitas kelistrikan membran sel pacemaker
jantung dapat digunakan sebagai persamaan awal yang memicu gerak dinamis
jantung. Persamaan ini perlu dikombinasikan dengan persamaan 5) yang
menggambarkan potensial aksi sel ventrikel. Namun demikian, mengingat
kompleksitas sel-sel penyusun sistem konduksi jantung dan adanya perbedaan
karakteristik potensial aksi sel atrium dan sel ventrikel, efek total potensial aksi sel-sel
otot jantung baru terlihat jika ditinjau dalam skala organ. Hal ini mengarah pada
pengembangan kompilasi persamaan 1) dan 5). Aspek-aspek pengembangan
tersebut meliputi kemungkinan-kemungkinan memodelkan karakteristik potensial aksi
untuk sel pacemaker yang berbeda (node SA perifer, node AV, bundel HIS dan serat
Purkinje), interaksi antar sel-sel sistem konduksi serta interaksi antara sel-sel sistem
konduksi dengan sel-sel atrium dan ventrikel. Meskipun persamaan matematik hasil
pengembangan nantinya dapat disusun dalam level organ, masih perlu dipertim-
bangkan kesulitan-kesulitan yang muncul dalam menetapkan konstanta dan nilai-nilai
variabel yang perlu diukur pada level molekuler untuk kondisi in vivo, karena
konstanta dan nilai-nilai variabel tersebut diperlukan dalam simulasi dan analisis hasil.
Kesulitan-kesulitan dalam level molekuler tersebut umumnya berkaitan dengan jenis
alat ukur, metode dan akurasi hasil pengukurannya.
3. Perubahan panjang otot akibat siklus kontraksi-relaksasi
Persamaan 12) yang menggambarkan perubahan panjang otot akibat aktivitas
kontraksi-relaksasi melibatkan variabel tegangan dinding yang menjadi sebab
terjadinya regangan. Dalam hal ini tegangan dinding tersebut diperoleh dari potensial
aksi sel otot jantung. Mengingat persamaan hasil ekspansi persamaan 1) dan 5)
merupakan persamaan yang didasarkan pada teori-teori kelistrikan sedangkan
aktivitas kontraksi-relaksasi otot merupakan aktivitas mekanis, maka diperlukan
transformasi mekanika-elektrik berdasarkan Hukum Newton dan Hukum Ohm.
Transformasi tersebut akan menghasilkan tegangan dinding jantung dalam satuan
31
mekanika maka persamaan 12) dapat dimanfaatkan untuk menentukan persamaan
perubahan volume jantung. Sejauh ini belum ditemukan referensi yang menyatakan
model matematik untuk menentukan volume anatomis jantung.
4. Perubahan volume rongga intratorak
Pada tahap ini belum ditemukan referensi yang mengkaitkan perubahan volume
anatomis jantung dengan volume rongga intratorak. Diketahui hubungan tidak
langsung melalui perubahan volume paru. Sebagaimana tertulis pada halaman 16,
perubahan volume jantung memiliki peranan sebagai pompa penambah volume bagi
paru-paru (Lichtwarck-Aschoff et.al., 2004).Jadi, perubahan volume rongga intratorak
yang diakibatkan oleh perubahan volume jantung, dapat dihitung berdasarkan
persamaan 17). Dalam hal ini volume jantung diekspansikan dari pengembangan
persamaan 12). Mengingat persamaan 17) merupakan pendekatan geometris hasil
foto radiologis maka perlu diantisipasi munculnya kesalahan-kesalahan yang mungkin
muncul dari simpangan-simpangan hasil pengukuran gambar atau asumsi-asumsi
geometris yang diambil dalam penyederhanaan bentuk. Jika dimungkinkan dapat
dicoba penyusunan model matematik yang menggambarkan hubungan analitis antar
variabel yang lebih realistis.
5. Perubahan tekanan rongga intratorak
Mengacu skema pada Gambar 18a. perubahan tekanan rongga intratorak dapat
dimodelkan sebagai perubahan tekanan selaput pleura menggunakan persamaan 21)
dengan mengubah Paw sebagai fungsi Pl pada persamaan 19). Untuk itu hasil
pengembangan persamaan 17) perlu ditransformasikan menjadi fungsi tekanan paru
dengan memanfaatkan Hukum Bernoulli tentang dinamika Mekanika Fluida
khususnya untuk dinamika fluida udara. Pada tahap ini diperlukan kehati-hatian dalam
menentukan nilai-nilai variabel yang terkait dengan dinamika fluida udara khususnya
yang dikaitkan dengan fisioanatomi paru. Di sisi lain ketelitian persamaan 21) juga
perlu ditinjau ulang terkait dengan kompleksitas geometri rongga intratorak dan dasar
penetapan konstanta.
6. Osilasi regangan dinding dada
Dari persamaan 24) telah diketahui bahwa osilasi dinding dada merupakan fungsi dari
perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan
gerak otot intercostal (x3). Pengaturan ulang suku-suku persamaan 22) dapat
mengilustrasikan persamaan 24) menjadi lebih detail jika ditampilkan sebagai berikut:
rcm
yorczorcorcrcrcmrcrclercG
rcK
GmGmxmxRFAPAPx
sincoscos)()()( ,1
Dalam hal ini masih diperlukan perumusan untuk Frc yang merupakan gaya hasil
aktivitas otot-otot pernafasan khususnya oleh otot intercostal. Juga perlu penyesuaian
32
untuk mengakomodasikan efek diafragma dan otot abdominal sebagaimana tertuang
dalam persamaan 23). Penentuan nilai variabel-variabel lainnya secara analitis juga
masih harus dipikirkan sehingga model matematis akhir yang dihasilkan sepenuhnya
bersifat analitis. Hal ini perlu dilakukan sehingga proses validasi model tidak
dirancukan oleh asumsi-asumsi eksperimental yang dapat membiaskan hasilnya.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan model sebagai parameter fisiologis sistem
kardiorespirasi maka masih diperlukan proses pengakomodasian variabel-variabel
sinkronisasi kardiorespirasi dalam model matematik yang disusun.
Secara ringkas, alur modifikasi persamaan yang digunakan dalam pendekatan teoritis
pemodelan osilasi regangan dinding dada dapat dilihat pada skema berikut.
Persamaan 1)
Penentuan
Sistem Sumbu
Persamaan 5)
Persamaan 12)
Persamaan 17)
Persamaan 19)
dan 21)
Persamaan 22)
dan 23)
Dipilih 2D mengacu pada
rencana titik pengukuran
- jenis sel, posisi dan geometri anatomis
- analisis level jaringan
- dinamika repolarisasi-depolarisasi
- hubungan anatomis dengan sel pacemaker
- analisis level jaringan
- transformasi mekanika-elektrik
- persamaan volume jantung
- interaksi dengan sistem pernafasan
- hubungan analisis antar variabel
- persamaan tekanan paru dengan Hukum Bernoulli
- analisis geometri
- ketelitian asumsi dan penetapan konstanta
Model akhir
- dinamika otot-otot pernafasan (diafragma
dan abdominal)
- hubungan analitis antar variabel geometris
- sinkronisasi kardiorespirasi
Gambar 20: Alur modifikasi persamaan acuan osilasi regangan dinding dada.
33
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Pemodelan osilasi regangan dinding dada dapat dilakukan secara matematik dengan
cara distributed analysis atau lumped analysis.
2. Model dapat disusun dari modifikasi persamaan matematik referensi dengan
menyamakan level tinjauan.
3. Diperlukan keseragaman metode penyusunan model mengingat beberapa referensi
yang diacu masih menggunakan pendekatan empirik dan analitis.
4. Diperlukan keseragaman dasar penetapan konstanta dan nilai-nilai variabel sehingga
kemungkinan timbulnya kesalahan dapat diminimasi.
4.2. Saran
Kelengkapan penyusunan model matematik vibrasi kardiorespirasi masih
memerlukan tinjauan tentang pemodelan dinamika sistem pernafasan dan keterlibatan
variabel-variabel sinkronisasi. Untuk itu perlu diupayakan keseragaman referensi dalam
hal metode penyusunan model sehingga dapat meminimasi proses modifikasi. Di sisi lain
perlu dipertimbangkan jenis peralatan dan metode pengukuran yang digunakan untuk
mendapatkan nilai-nilai variabel dan penetapan konstanta sehingga proses dan hasil
validasi model dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
34
DAFTAR PUSTAKA Chappelo M, De Troyer A, 2004, Role of rib cage elastance in the coupling between the
abdominal muscles and the lung, J Appl Physiol, 97: 85-90 Darowski, M, 2000, Heart and lung support interaction — modeling and simulation
(abstract), Frontiers of Medical & Biological Engineering, 10 (3): 157-165(9) Dellinger RP, Parrillo JE, Kushnir A, Rossi M, Kushnir I, 2008, Dynamic Visualization of
Lung Sounds with a Vibration Response Device: A Case Series (Abstract),
Respiration international journal of thoracic medicine, 75 (1):60-72
Despopoulos A., Silbernagl S., 2003, Color Atlas of Physiology, Fifth Edition, Thieme
Stutgart Germany Ebihara L, Johnson EA, 1980, Fast sodium current in cardiac muscle. Biophys J, 32:779-
790 Finahari N, 2008a, Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi, Karya Ilmiah 1
PDIK Universitas Brawijaya Finahari N, 2008b, Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi, Karya
Ilmiah 2 PDIK Universitas Brawijaya Finahari N, 2008c, Kajian model matematis sistem kardiorespirasi, Karya Ilmiah 3 PDIK
Universitas Brawijaya Gattinoni L, Chiumello D, Carlesso E, Valenza F, 2004, Bench-to-bedside review: Chest
wall elastance in acute lung injury/acute respiratory distress syndrome patients, Critical Care, 8:350-355
Gattinoni L, Pelosi P, Suter PM, Pedoto A, Vercesi P, Lissoni A, 1998, Acute respiratory
distress syndrome caused by pulmonary and extrapulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med, 158:3-11.
Gutierrez F, Saha M, Song YN, Timbie A, Andriacchi T, Fabro M, Wolf-Bloom D, Sszobota
S, Taylor C, Elkins C, 2003, Design of a Pre-clinical Fluoroscopic Flow Model For Intravascular Device Testing and Training, Biomedical Device Design and Evaluation II, Mechanical Engineering Department, Stanford University.
Hyttinen JA, Eskola HJ, Sievänen H, Malmivuo JA, 1988, Atlas of the sensitivity
distribution of the common ECG-lead systems, Tampere Univ. Techn., Inst. Biomed. Eng., Reports 2(2): 25-67.
Hoffman EA, Ritman EL, 1988, Intracardiac cycle constancy of total heart volume. Dyn
Cardiovasc Imaging 1: 199–205
Lichtwarck-Aschoff M, Suki B, Hedlund A, Sjostrand UH, Markstrom A, Kawati R,
Hedenstierna G, Guttmann J, 2004, Decreasing size of cardiogenic oscillations reflects decreasing compliance of the respiratory system during long-term ventilation, J Appl Physiol 96: 879–884.
35
Loring SH, Lee HT, Butler JP, 2001, Respiratory effects of transient axial acceleration, J Appl Physiol, 90: 2141–2150
Mack DC, Kell SW, Alwan M, Turner B, Felder RA, 2003, Non-invasive analysis of
physiological signals (naps): a vibration sensor that passively detects heart and respiration rates as part of a sensor suite for medical monitoring, Summer Bioengineering Conference, June 25-29, Sonesta Beach Resort in Key Biscayne, Florida
Marshall V, 1997, Muscles in motion, Science & Technology Issue 4, http://www.
dataweb.clrc.ac.uk/ ; download 17 Juli 2008
Mrowka R, Cimponeriu L, Patzak A, Rosenblum MG., 2003, Directionality of coupling of
physiological subsystems: age-related changes of cardiorespiratory interaction during different sleep stages in babies, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 285: R1395–R1401
Palmer J, Allen J, Mayer O, 2004, Tidal breathing analysis, Neoreviews 5 (5): 186-193
Schikowski T, Sugiri D, Ranft U, Gehring U, Heinrich J, Wichmann HE, Krämer U, 2007,
Does respiratory health contribute to the effects of long-term air pollution exposure on cardiovascular mortality?, Respiratory Research 8 (20): 1-11
Singh B, Eastwood PR, Finucane KE, 2001, Volume displaced by diaphragma motion in
emphysema, J Appl Physiol, 91: 1913-1923
Toledo E, Akselrod S, Pinhas I, Aravot D, 2002, Does synchronization refect a true
interaction in the cardiorespiratory system? (abstract), Med Eng Phys, 24:45-52
Tortora GF, 2005, Principles of human anatomy, tenth edition, John Wiley & Sons, Inc,
Hoboken NJ 07030, USA. Weinhaus A, 2004, Human gross anatomy and embryology, Lecture Notes,
http://www.med.umn.edu/anatomy , download 24 Juni 2008. Widmaier EP, Raff H, Strang KT, 2006, Vander’s Human Phyisiology: The Mechanism of
Body Function, 10th edition, McGraw Hill Higher Education, International Edition, New York, USA.
Yasutaka K, Ichiro H, Sunao I, Toshishige S, 2002, Dynamical description of sinoatrial
node pacemaking: improved mathematical model for primary pacemaker cell, Am J Physiol Heart Circ Physiol 283: H2074–H2101
Zhang H, Holden AV, Kodama I, Honjo H, Lei M, Varghese T, Boyett MR, 2000,
Mathematical models of action potentials in the periphery and center of the rabbit sinoatrial node, Am J Physiol Heart Circ Physiol 279: H397–H421.
36
LAMPIRAN: MODEL MATEMATIS SEL PACEMAKER PRIMER
37
38
39
40
41
42
43
44